Darah Pendekar Jilid 03 karya Kho Ping Hoo - MEMANG serangan dua orang berjubah coklat yang mendadak itu telah mendatangkan keanehan-keanehan. Selain ayah dan anak itu yang langsung menerima pukulan dan menderita luka parah, juga hawa sinkang dari kedua orang penyerang yang kuat itu telah mendorong hawa sinkang dari ayah dan anak itu sendiri, membuat kekuatan yang mengalir ke dalam tubuh Siok Eng menjadi berlipat ganda.
Dan tenaga sinkang itu, yang tadinya kurang kuat dan hanya berhenti sampai pada pangkal paha dan bawah pundak, kini dengan serentak mengalir dan menyerbu sehingga dapat bertemu dan ditampung oleh nyonya Bu melalui kedua telapak tangannya yang berada di punggung gadis sakit itu.
Seperti aliran listrik yang ditampung dan terlalu besar, maka ibu inipun tidak kuat bertahan dan seperti menerima hantaman dahsyat dari kanan kiri melalui kedua telapak tangannya, membuat ia roboh seketika dan menderita luka yang parah sekali.
Akan tetapi, peristiwa ini mendatangkan keuntungan yang besar kepada Siok Eng. Dengan adanya penambahan tenaga sinkang dari luar, dari kedua orang jubah coklat itu, maka semua pembuluh darah dan urat syaraf dapat ditembus, dan semua kebekuan telah dapat mencair. Kalau tadinya ia tak mampu bicara, sekarang tiba-tiba saja ia sudah dapat bicara bahkan ia sudah dapat menggerakkan semua anggauta tubuhnya.
Setelah siuman dari pingsannya, gadis ini dapat bergerak dan mengenakan pakaian sendiri. Hanya tubuhnya masih amat lemah dan ia masih belum mampu turun dan berjalan, walaupun sudah dapat bangkit duduk kembali tanpa bantuan orang lain.
Melihat keadaan ini, Kwa-toanio yang sejak muda telah menjadi tokoh sesat dalam dunia hitam, sekali ini meruntuhkan air mata dan menangis sesenggukan. Ia melihat betapa keluarga itu telah berusaha sungguh-sungguh untuk menyelamatkan puterinya, dan akibatnya, puterinya benar-benar sembuh, akan tetapi keluarga itu sendiri menjadi hancur!
Maka tentu saja ia merasa berterima kasih sekali, bukan hanya kepada keluarga Bu, akan tetapi juga kepada Ho Pek Lian dan kedua orang gurunya yang juga mengalami luka-luka dalam pertempuran itu. Biarpun penyerbuan itu dilakukan orang kepada keluarga Bu tanpa ada sangkut-pautnya dengan rombongannya, namun kalau tidak ada bantuan Pek Lian dan kedua orang gurunya, tentu akibatnya akan lebih hebat pula.
Memang akibat penyerbuan itu hebat sekali. Kakek Bu Kek Siang dan isterinya ternyata tidak dapat menahan gempuran hebat itu. Bahkan pada keesokan harinya, nyonya Bu yang jatuh pingsan lagi tidak sadar lagi dan tewas! Juga Bu Kek Siang sendiri napasnya tinggal satu-satu. Dia lebih banyak menggunakan isyarat tangan dari pada bicara.
Ketika dia minta agar diambilkan sebuah peti hitam kecil yang disimpannya di tempat rahasia bersama kitab-kitab pusaka. Kitab-kitab pusaka itu telah lenyap diambil oleh si jubah coklat, akan tetapi peti itu biarpun sudah dibuka, ternyata tidak dibawa pergi. Isinya sebuah kitab catatan kakek Bu Kek Siang sendiri.
"Terimalah ini" katanya kepada puterinya. "Dan kelak, berdua dengan kakakmu, bacalah!" Hanya itulah pesan yang ditinggalkan pendekar ini. Agaknya, kematian isterinya membuat dia seolah-olah ingin mempercepat perjalanannya meninggalkan dunia yang penuh kepalsuan ini.
Tentu saja, kematian ayah bundanya ini merupakan pukulan yang amat hebat bagi Seng Kun dan adiknya. Terutama sekali bagi Bwee Hong. Gadis ini berusaha untuk bersikap gagah dan tidak menangis, akan tetapi ternyata usaha ini malah membuat ia menjadi pucat sekali dan air matanya selalu berlinang di kedua matanya dan setiap kali ia berkedip, beberapa butir air mata mengalir ke atas kedua pipinya yang pucat.
Rumah keluarga Bu itu kini menjadi rumah duka yang penuh dengan orang sakit. Karena kakaknya masih terluka dan belum dapat turun dari pembaringan, maka Bu Bwee Hong seoranglah yang menjadi wakil keluarga Bu, menghadapi semua itu. Ayah bundanya tewas, kakaknya terluka berat. Untung di situ terdapat Ho Pek Lian yang menghiburnya, menemani dan membantunya.
Juga kedua orang guru dari Pek Lian yang dengan penuh rasa kasihan membantu sekuat tenaga. Masih ada lagi nyonya Kwa yang merasa berhutang budi dan berterima kasih sekali kepada keluarga itu. Maka nyonya ini mengerahkan sisa anak buahnya yang hanya luka ringan, yaitu hanya enam orang, untuk membantu segala keperluan untuk mengubur jenazah Bu Kek Siang dan isterinya. Dikubur secara sederhana saja, di belakang rumah di mana terdapat sebuah bukit kecil.
Sebelum kedua peti jenazah diangkat, diadakan upacara sembahyang dan dalam kesempatan inilah baru Bu Bwee Hong dapat menangis terisak-isak seperti anak kecil. Pemandangan waktu itu sungguh amat memilukan hati. Dua peti jenazah itu dijajarkan dengan satu meja sembahyang di depannya.
Tidak ada orang lain yang hadir kecuali mereka yang berada di situ semenjak terjadinya penyerbuan itu. Nyonya Kwa dan delapan anak buahnya, dua di antaranya luka parah. Kwa Siok Eng yang terpaksa dituntun ibunya ketika hendak bersembahyang. Dan juga Bu Seng Kun yang dirangkul dan dipapah oleh adiknya.
Dua orang kakak beradik itu menjatuhkan diri berlutut di depan peti dan menangis. Seng Kun ternyata adalah seorang gagah yang cepat dapat menguasai hatinya. Dia menyusut air matanya dan melihat betapa adiknya menangis seperti tak sadarkan diri, dia mencengkeram lengan adiknya itu, mengguncangnya dan berkata, "Moi-moi, mana kegagahanmu? Apakah engkau kira ayah dan ibu akan senang hati mereka melihat engkau cengeng seperti ini?"
Bwee Hong mengangkat mukanya yang basah air mata, memandang kepada kakaknya sejenak, kemudian menjerit dan merangkul kakaknya, dan pingsan dalam pelukan kakaknya! Seng Kun merasa jantungnya seperti diremas-remas, akan tetapi dia menahan diri dan dengan adiknya masih dalam rangkulannya, diapun menghadap dua peti jenazah itu.
"Ayah, ibu... ampunkanlah kelemahan moi-moi, ia masih kanak-kanak... dan menghadapi semua ini... ah, ayah dan ibu, aku tidak dapat berkata apa-apa lagi. Ayah dan ibu tewas dalam tangan saudara seperguruan sendiri, apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan??"
Pemuda itu mengeluh karena hatinya sungguh merasa bingung sekali. Ayahnya selalu mendidik putera-puterinya agar menjauhi kekerasan, agar mengusir segala perasaan dendam. Dan kini mereka tertimpa musibah yang demikian hebat, dan yang menyebabkan adalah keluarga seperguruan sendiri! Karena hendak memperebutkan kitab peninggalan kakek guru mereka.
Ho Pek Lian yang teringat akan keadaan ayahnya sendiri, segera maju dan mengambil Bwe Hong dari rangkulan kakaknya, untuk dipondongnya dan dibawanya ke pinggir, lalu dirawatnya sehingga Bwee Hong siuman kembali dan kedua orang gadis ini saling berangkulan sambil menangis Melihat keadaan kakak beradik itu, nyonya Kwa dan puterinya juga merasa terharu sekali.
"Twako Bu Seng Kun, akulah yang menyebabkan kematian ayah ibumu, maka kau bunuhlah aku untuk menghapuskan penasaran itu!" Tiba-tiba terdengar suara halus dan kiranya Siok Eng yang mengeluarkan kata-kata itu dari tempat duduknya di sudut.
Seng Kun menoleh ke arah gadis itu yang memandang kepadanya dengan mata merah menahan tangis. Dia tersenyum pahit lalu menarik napas panjang. "Nona Kwa, ayah dan ibuku telah mati-matian berusaha menyelamatkanmu, setelah mereka berhasil, engkau minta aku membunuhmu! Apakah berarti engkau menyuruh aku berkhianat dan murtad kepada mereka?"
"Ohhh....!" Siok Eng terkejut dan menangis, dirangkul oleh ibunya.
Kemudian, setelah Kim-suipoa dan Pek-bin-houw membantu Seng Kun yang masih belum dapat berjalan itu, mengangkatnya dan membawanya ke pinggir, nyonya Kwa membawa puterinya untuk bersembahyang di depan sepasang peti mati itu. Mereka menangis sesenggukan ketika mengangkat hio dan terdengar suara Kwa-toanio yang bicara dengan lantang diseling isak tangis,
"Bu-taihiap berdua semenjak puluhan tahun kami tinggal di dalam kuburan. Kematian bukan apa-apa bagi kami. Kuburan adalah tempat tinggal kami. Mayat-mayat adalah sahabat-sahabat kami, dan selama hidup kami berkabung. Entah sudah berapa banyak orang yang kami bunuh. Akan tetapi, taihiap sungguh kematian yang taihiap berdua alami ini membuat hati kami penasaran!! Kami akan membalas kebaikan ini, kami harus menuntut balas atas kematian ji-wi dan mulai saat ini kami menganggap keluarga taihiap sebagai keluarga kami sendiri." Dan nenek itu menangis bersama puterinya.
Pemakaman dilakukan secara sederhana sekali dan setelah pemakaman selesai, Pek Lian dan kedua orang gurunya masih tinggal di situ selama seminggu lagi, membantu Bwee Hong yang masih harus mengobati kakaknya dan juga mengobati Siok Eng. Setelah lewat seminggu, barulah Pek Lian dan kedua orang gurunya berpamit.
Bwee Hong merangkulnya. "Pek Lian, benarkah engkau hendak meninggalkan aku yang kesepian ini?" Gadis itu mengeluh. Setelah menjadi sahabat baik, keduanya tidak menyebut enci adik lagi, karena memang keduanya sebaya berusia delapan belas tahun. "Apakah engkau tidak bisa memperpanjang beberapa hari lagi?"
"Bwee Hong, aku juga sayang sekali kepadamu dan aku ingin dapat terus berdekatan dengan seorang sahabat seperti engkau. Akan tetapi, sudah terlalu lama kami bertiga meninggalkan kawan-kawan kami, dan engkau tentu tidak lupa akan keadaan ayahku." Sampai di sini, suara Pek Lian menjadi gemetar mengandung duka.
"Ah, sahabatku yang baik. Aku ikut menyesal dengan keadaanmu yang tidak lebih baik dari pada keadaanku. Kalau saja kami dapat membantu...., sayang kakakku masih belum sembuh."
"Terima kasih, engkau baik sekali. Akan tetapi bantuan apakah yang dapat diberikan orang kepada kami? Yang memusuhi kami bukan orang biasa melainkan pemerintah!"
Bu Seng Kun kini sudah dapat turun dari pembaringan dan dapat berjalan, walaupun masih lemah dan perlu beristirahat agar bekas-bekas luka dalam tubuhnya dapat sembuh sama sekali. Diapun memandang kepada kedua orang guru Pek Lian, dan berkata, "Bantuan sam-wi sungguh tak ternilai besarnya bagi keluarga kami, dan entah kapan kami kakak beradik akan sanggup untuk membalasnya. Semoga Thian Yang Maha Esa sajalah yang akan membalas sam-wi dengan berkah yang melimpah-limpah."
"Ah, Bu-taihiap terlalu sungkan," kata Kim-suipoa. "Bantuan apa yang dapat diberikan oleh kami orang-orang lemah ini?"
"Selain itu, sudah menjadi kewajiban kita para pendekar untuk saling bantu, bukan?" kata pula Pek-bin-houw. Mereka bertiga lalu pamit dan meninggalkan tempat itu, diantar oleh kakak beradik itu sampai ke pintu depan dan mereka berdua melambaikan tangan sampai tiga orang tamu itu lenyap di sebuah tikungan.
Dua hari kemudian, setelah dua orang anak buahnya yang terluka itu sembuh, Kwa-toanio juga minta diri. Sambil memegang lengan kedua orang muda itu, Kwa-toanio berkata dengan mata basah dengan air mata, "Anakku sembuh adalah berkat keluarga Bu. Sampai mati, aku dan anakku tidak akan melupakan budi kalian. Aku akan membawa Siok Eng pulang untuk dirawat sampai sembuh. Kami belum dapat memikirkan bagaimana untuk membalas budi kalian. Untuk sementara ini, harap kalian suka menerima bendera keramat dari kami ini untuk disimpan. Bendera ini adalah pusaka Tai-bong-pai, pemegangnya akan dihormati seperti kepada ketua Tai-bong-pai sendiri."
Bwee Hong menerima bendera itu, bendera kecil yang terbuat dari pada anyaman kawat baja lembut yang bersulamkan benang emas dengan lukisan sebuah kuburan dengan huruf Tai Bong Pai.
"Sayang sekali bahwa kami belum berhasil menyembuhkan sama sekali penyakit yang diderita oleh Kwa-siocia," kata Seng Kui dengan suara menyesal. "Padahal, sudah hampir sembuh. Kalau ia dilanjutkan dengan pengobatan yang menggunakan sinkang dari golongan kami, tentu akan dapat disembuhkan secara cepat sekali. Sayang, aku masih terluka sehingga tidak mampu melakukannya, sedangkan adikku, hanya mempelajari tusuk jarum dan pengobatan saja, akan tetapi sinkangnya belum sekuat itu untuk dapat mengobati. Kalau saja ji-susiok tidak memusuhi kami, sekali dia turun tangan tentu puterimu akan dapat disembuhkan dengan seketika, bibi Kwa."
Setelah berkali-kali menghaturkan terima kasih, ibu dan anak itu lalu pergi pada malam hari. Karena belum mampu berjalan sendiri, Siok Eng masih dipikul dalam keranjang bambu seperti ketika ia datang. Ibu dan anak itu berangkat di malam gelap, diiringkan oleh delapan orang anak buah yang seram-seram itu.
Setelah semua tamunya pergi, barulah kakak beradik itu merasa betapa sunyinya rumah mereka. Barulah terasa oleh mereka benar-benar bahwa mereka telah kehilangan ayah bunda mereka. Maka, tak tertahankan lagi, Bwee Hong menangis. Seng Kun juga termenung dengan hati terasa kosong dan kesepian. Akan tetapi untuk menghibur adiknya, dia cepat berkata,
"Sudahlah, adikku. Dari pada membiarkan diri hanyut dalam kesedihan, apakah tidak lebih baik kalau kita membaca buku catatan peninggalan ayah itu?"
Ucapan ini mengingatkan Bwee Hong. Selama ini, mereka berdua belum sempat membaca buku catatan itu karena di situ terdapat banyak tamu dan Bwee Hong juga sibuk merawat kakaknya dan Siok Eng. Kini, teringat akan pesan ayah mereka, Bwee Hong segera memasuki kamar dan membawa keluar peti hitam itu. Mereka duduk berdampingan agar dapat membaca isi kitab itu bersama-sama, Ternyata pada halaman pertama terdapat tulisan ayah mereka yang ditujukan kepada mereka berdua!
"Seng Kun dan Bwee Hong tersayang,
Surat dan catatan ini memang kupersiapkan untuk kalian, pada saat terakhir kita berpisah, akan kuserahkan kepada kalian. Sekarang, kuatkanlah hati kalian untuk menghadapi kenyataan, pahit maupun manis, kenyataan tentang diri kalian yang sesungguhnya. Nah, bacalah catatanku ini."
Ayah angkat kalian,
Bu Kek Siang
"Ayah angkat....? Apa maksud ayah? Bwee Hong berseru dengan kaget sekali membaca sebutan itu.
Kakaknya lebih tenang. "Marilah kita baca catatan ini selanjutnya, adikku."
Mereka berdua dengan tidak sabar lalu membaca catatan itu. Dan keduanya terkejut bukan main. Mula-mula mereka memang tidak mengerti ketika catatan itu bercerita tentang keadaan seorang pangeran. Pangeran itu bernama Chu Sin, seorang pangeran yang berjiwa pemberontak karena dia tidak suka melihat kehidupan istana yang penuh dengan kepalsuan dan korupsi.
Dia menentang keluarga kaisar, keluarga ayahnya sendiri dan karena dia dimusuhi, dia lalu meninggalkan istana dan merantau di luar istana. Akan tetapi, karena dia dianggap sebagai pemberontak yang berbahaya dan mungkin akan menghimpun kekuatan dari rakyat untuk menentang istana, maka dia lalu dikejar-kejar sebagai buronan.
Dalam perantauannya ini, Pangeran Chu Sin bertemu dengan seorang gadis kang-ouw, yaitu keponakan dari nyonya Bu Kek Siang sendiri, seorang gadis she Sim. Mereka saling mencinta dan akhirnya menjadi suami isteri. Pangeran Chu Sin dan isterinya tinggal mengasingkan diri di gunung sampai mereka mempunyai dua orang anak.
Akan tetapi pada suatu hari, datanglah pasukan pemerintah yang telah mengetahui di mana adanya Pangeran Chu Sin. Rumah itu diserbu. Isteri Chu Sin, sebagai seorang wanita kang-ouw, melakukan perlawanan gigih dan akhirnya tewas. Pangeran Chu Sin sendiri tertawan oleh pasukan dan dibawa pergi ke kota raja.
Pada akhir catatan itu, barulah Seng Kun dan Bwee Hong dengan kaget membaca bahwa putera sang pangeran itu bukan lain adalah mereka sendiri!
Ketika itu, demikian menurut catatan pendekar Bu Kek Siang, Seng Kun baru berusia tiga tahun dan Bwee Hong berusia satu tahun. Mereka lalu ditolong oleh pendekar Bu Kek Siang suami isteri dan diakui sebagai anak-anak mereka sendiri, digembleng dengan ilmu silat dan ilmu pengobatan.
"Koko...."
"Moi-moi !" Dua orang anak itu saling berangkulan dan menangis. Kiranya mereka bukan anak kandung pendekar Bu Kek Siang, melainkan putera-puteri seorang pangeran yang kini entah masih hidup ataukah sudah mati. Sedangkan ibu kandung mereka telah lama tewas dalam pengeroyokan pasukan istana. Pendekar yang dianggap ayah itu ternyata malah kakek paman mereka, karena bukankah ibu kandung mereka itu keponakan dari nyonya Bu?
Kenyataan yang mereka baca dalam catatan pendekar Bu Kek Siang itu menimbulkan berbagai macam perasaan. Mereka merasa terharu dengan kenyataan bahwa suami isteri pendekar itu biarpun hanya merupakan ayah dan ibu pungut saja, ternyata telah mencurahkan kasih sayang yang amat besar kepada mereka. Dan ternyata bahwa she mereka sendiri bukanlah she Bu melainkan" she Chu!
Akan tetapi, kenyataan itu pun mendatangkan suatu harapan tipis, yaitu untuk dapat bertemu dengan ayah kandung mereka. Bukankah menurut catatan itu, ayah kandung mereka, Pangeran Chu Sin, masih hidup dan hanya ditawan saja oleh para pasukan istana?
Ho Pek Lian bersama dua orang gurunya, melanjutkan perjalanan mereka yang telah tertunda sampai setengah bulan lebih itu. Pengalaman-pengalaman mereka selama beberapa belas hari ini benar-benar mengejutkan sekali dan membuka mata mereka bahwa di dunia ini terdapat banyak-sekali orang pandai dan bahwa kepandaian mereka sesungguhnya masih amatlah rendah.
Pengalaman-pengalaman ini terutama sekali amat mengejutkan hati Pek Lian. Dua orang kakek itu sudah banyak pengalaman, akan tetapi baru sekarang merekapun menghadapi orang-orang yang amat pandai, seolah-olah ada sesuatu terjadi di dunia kang-ouw ini yang membuat orang-orang sakti bermunculan dari tempat pertapaan dan persembunyian mereka.
Kim-suipoa adalah seorang yang belum pernah menikah dan namanya adalah Tan Sun. Semenjak muda dia suka bertualang, oleh karena itu maka dia tidak pernah menikah setelah di masa mudanya pernah gagal bercinta. Kesukaannya, selain ilmu silat, adalah berdagang dan kalau dia sudah mem-peroleh keuntungan-keuntungan karena tepatnya perhitungannya, maka berbahagialah hatinya.
Akan tetapi, dia tidak pernah dapat mengumpulkan har-tanya. Hatinya terlalu perasa dan kedua tangannya terlalu terbuka sehingga semua keimbangan yang didapatnya karena kelihaiannya mainkan suipoa, selalu habis disumbangkan kepada orang lain. Sekarangpim, seluruh hartanya diberikannya kepada Liu Pang untuk memperkuat kedudukan pendekar yang memimpin orang-orang gagah sebagai seorang bengcu itu.
Pek-bin-houw bernama Liem Tat dan dalam usia semuda itu, baru empatpuluh tahun lebih, dia sudah menduda. Isterinya tergila-gila kepada pria lain dan melarikan diri bersama pria itu. Pek-bin-houw Liem Tat tidak mengejar, membiarkannya saja karena dia berpikir bahwa kalau memang isterinya itu, sebagai seorang wanita sudah tidak suka hidup bersama dia, perlu apa dipaksa? Lebih baik begitu, lebih baik berpisah dari pada memilih seorang isteri yang tidak mencintanya lagi. Untung bahwa selama pernikahannya itu, dia dan isterinya tidak dikurniai anak.
Penyebab utama mengapa isterinya meninggalkannya adalah karena dia suka bertualang, sebagai seorang pendekar kang-ouw tidak memperdulikan keadaan kesejahteraan rumah tangga, bahkan tidak jarang dia bertualang meninggalkan isterinya sampai berbulan-bulan. Ini-lah salahnya kalau orang memperisteri wanita yang tidak sehaluan dengan sang suami. Andaikata isterinya juga seorang kang-ouw, tentu keduanya dapat bertualang bersama-sama.
Dua orang ini yang sekarang menjadi pembatu-pembantu Liu Pang, yaitu bengcu (pemimpin rakyat) yang amat terkenal itu, menjadi terkejut dan terheran ketika melihat munculnya banyak orang sakti selama ini. Mereka lalu mengajak murid mereka untuk cepat-cepat kembali ke Puncak Awan Biru untuk kembali ke sarang mereka dan melapor kepada Liu-twako.
Akan tetapi Pek Lian membantah. "Maaf, suhu. Akan tetapi aku ingin sekali mengetahui bagaimana nasib ayahku. Menurut kabar, ayah akan ditawan di kota Wu-han di Propinsi Hu-peh. Aku ingin sekali menyelidiki ke sana."
Kim-suipoa mengerutkan alisnya. "Sungguh berbahaya sekali bagimu, nona. Engkau telah di kenal dan tentu sekarang mereka sudah bersiap-siap. Apa lagi setelah terjadi serangan kita yang ternyata gagal itu, tentu pemerintah telah meng-anggap engkau seorang buronan yang akan dikejar-kejar."
"Dan untuk menyelidiki keadaan Ho-taijin, sebaiknya kalau diserahkan kepada pendapat dan siasat Liu-twako yang dapat mengirim penyelidik-penyelidik rahasia, tentu hasilnya akan lebih baik dari pada kalau kita sendiri yang menyelidiki sambil sembunyi-sembunyi," Pek-bin-houw menyambung. Akan tetapi gadis itu mengerutkan alisnya.
"Suhu sendiri tentu akan kecewa kalau melihat muridnya menjadi seorang anak yang tidak memperdulikan keadaan ayah yang tertawan, dan takut menghadapi bahaya demi menolong ayahnya. Suhu, aku ingin mencari keterangan tentang ayah," Gadis itu berkata lagi dan teringat akan ayahnya yang menderita, matanya menjadi basah.
"Nona, kami sama sekali tidak berkeberatan dan memang sepantasnya kalau Ho-taijin dibebaskan dari cengkeraman kaisar lalim. Akan tetapi apa daya kita kalau beliau sendiri tidak mau dibebaskan? Apakah yang akan kita lakukan kalau kita pergi ke Wu-han?"
"Aku hanya ingin mendengar bagaimana kea-daannya."
"Baiklah," akhirnya Kim-suipoa Tan Sun mengangguk.
"Bagaimanapun juga, untuk pulang ke Puncak Awan Biru, kita dapat mengambil jalan melewati Wu-han. Mari kita pergi agar sebelum terlampau gelap kita sudah bisa tiba di kota Ki-han di sebelah selatan Wu-han."
Mereka melakukan perjalanan cepat dan pada sore hari itu tibalah mereka di kota Ki-han, sebuah kota yang cukup besar dan ramai. Selagi mereka berjalan di jalan raya untuk mencari sebuah rumah penginapan, mereka melihat betapa di jalan raya itu banyak terdapat perajurit-perajurit pemerintah hilir-mudik dan Suasana nampak sibuk sekali.
Melihat ini, Pek Lian lalu berjalan di belakang kedua orang gurunya untuk menyembunyikan mukanya dan mereka mengambil jalan di tepi jalan raya itu agar jangan bertemu dengan komandan-komandan pasukan. Akan tetapi, dara ini tidak mengenal betul watak para perajurit yang sedang mengadakan suatu gerakan di sebuah tempat.
Mereka ini bukan hanya merupakan kelompok orang-orang yang sudah biasa dengan kekerasan dan juga yang selalu merasa memiliki kekuasaan atas rakyat jelata sehingga sering sekali melakukan tindakan dan sikap sewenang-wenang, juga mereka yang bertugas dan agak lama berjauhan dari wanita itu selalu mempergunakan kesempatan untuk bersikap kurang ajar terhadap wanita-wanita yang dijumpainya di mana saja. Apa lagi kalau wanita itu secantik Ho Pek Lian!
Para perajurit yang berkeliaran di kota Ki-han itu adalah pasukan yang baru saja kembali dari tugas mereka untuk menumpas gerombolan, yaitu mereka yang tidak mentaati pemerintah, gerombolan di sepanjang Sungai Yang-ce yang terkenal itu.
Biarpun Pek Lian telah mengambil jalan di pinggir namun kemudaan dan kecantikannya tidak lolos dari pandang mata seorang perajurit mabok yang kebetulan lewat di dekatnya. Apa lagi karena siang-siang para wanita kota itu sudah menyembunyikan diri di dalam rumah ketika pasukan tiba, sehingga di jalan raya itu tidak nampak wanita muda, maka kehadiran Pek Lian amatlah menyolok.
"Heh, nona manis, hendak ke mana?" perajurit mabok itu berkata sambil menyeringai dan tangannya terjulur ke depan untuk meraih dada!
Tentu saja Pek Lian mengelak dan menjadi marah. "Manusia tak sopan!" desisnya akan tetapi ia tidak melayani perajurit itu dan mengharap perajurit itu akan lewat begitu saja. Akan tetapi dugaannya keliru karena tiba-tiba perajurit itu membalik dan menubruk pinggangnya yang ramping.
Tentu saja Pek Lian yang sedang berduka memikirkan keadaan ayahnya itu menjadi jengkel sekali, apa lagi karena setelah ayahnya ditawan oleh pasukan kerajaan, ia membenci setiap orang pera-jurit kerajaan, maka tanpa ampun lagi ia mengge-rakkan kaki tangannya dan perajurit itu roboh ter-jungkal di atas jalan. Ketika menerima hantaman yang amat keras itu, perajurit mabok ini berteriak keras, akan tetapi setelah roboh terbanting, dia tidak mampu berteriak lagi.
Tentu saja peristiwa itu menimbulkan kegempar-an. Para perajurit yang sedang berkeliaran itu, cepat berlari mendatangi dan melihat betapa seo-rang di antara kawan mereka dihantam roboh oleh seorang dara cantik, tentu saja mereka langsung saja maju mengeroyok! Pek Lian cepat melawan dan tentu saja dua orang gurunya juga tidak tinggal diam dan membantu murid mereka itu.
Tentu saja banyak perajurit yang roboh malang-melintang ketika tiga orang ini mengamuk. Akan tetapi makin banyak perajurit berdatangan. Melihat ini, karena khawatir kalau-kalau para peiwira tinggi yang lihai datang, Kim-suipoa lalu berteriak kepada Pek-bin-houw dan Pek Lian untuk mengikutinya melarikan diri dan menghilang ke dalam kegelapan malam.
Tentu saja para perajurit mengejar sambil berteriak-teriak. Kim-suipoa terus berlari, diikuti oleh Pek-bin-houw dan Pek Lian. Mereka lari ke tepi kota dan melihat sebuah rumah di tempat yang sunyi dan gelap, mereka segera menghampirinya. Rumah itu gelap di luar maupun di dalamnya, maka mereka lalu mendorong daun pintu depan. Daun pintu terbuka dan di dalamnya gelap sekali. Kebetulan, pikir mereka. Agaknya rumah kosong. Mereka lalu melangkah masuk dan menutupkan kembali daun pintunya.
Dari jauh mereka mendengar derap kaki orang-orang yang berlari-larian, yaitu kaki para perajurit yang mengejar dan mencari-cari mereka. Agaknya mereka itu tidak mencurigai rumah ini, buktinya tidak ada perajurit yang menuju ke rumah itu.
Keadaan kamar yang gelap pekat itu membuat mereka tidak berani bergerak. Setelah suara kaki di jalan raya itu tidak terdengar, lagi, terdengar Kim-suipoa berbisik, "Mereka sudah pergi. Tempat ini agaknya kosong, sebaiknya kalau kita bermalam di sini saja."
"Sebaiknya begitu, akan tetapi kegelapan ini..." kata Pek-bin-houw.
"Aku membawa batu pembuat api!" kata Pek Lian. "Kalau saja ada lilin di sini."
"Kamar ini tentu ada mejanya, barang kali ada lilin atau lampu." kata Kim-suipoa. Mereka melangkah untuk meraba-raba mencari meja.
"Ihh...!" Pek Lian menahan jeritnya.
"Ehh...!" Kim-suipoa juga berseru.
"Apa yang terinjak ini?" Pek-bin-houw juga berseru.
Mereka merasa menginjak sesuatu yang lunak. Karena tidak dapat menyentuh meja, dan ingin melihat apa yang mereka injak itu, Pek Lian lalu memukul batu apinya. Terdengar bunyi "crek! crek!" dan setiap ada api berpijar, nampak sinar terang.
Tiba-tiba Pek Lian menjerit ketika ia melihat ke depan pada saat bunga api berpijar. Ia melihat sepasang mata melotot dari seorang pria berpakaian perwira kerajaan yang duduk di atas kursi! Saking kagetnya, ia menjerit dan batu api itu terlepas, jatuh. Ia berjongkok dan dengan tangan menggigil karena merasa ngeri, ia hendak mencari bata apinya. Akan tetapi, untuk kedua kalinya ia menjerit karena tangannya meraba-raba sesuatu yang ternyata adalah muka orang!
"Ihhh...!"
"Ada apa, nona?"
"Ada.... ada orang duduk kursi dan rebah di lantai"
Kim-suipoa meraba-raba dan diapun dapat meraba orang-orang yang malang-melintang di atas lantai. "Ah, ada beberapa orang dan mereka agaknya telah mati. Ini batumu!" katanya dan cepat mereka mencetuskan batu api sehingga terpancar sinar.
Setelah mencetuskan beberapa kali, mereka dapat melihat tempat minyak dan lampu. Cepat mereka lalu menyalakan api dan betapa ngeri hati mereka melihat bahwa ada sedikitnya enam orang perwira kerajaan yang tewas malang-melintang di atas lantai, sedangkan seorang perwira yang telah mati duduk di atas kursi dengan mata melotot dan lidah terjulur keluar. Mengerikan sekali. Rumah itu kosong, agaknya tidak ada orang lain, atau orangnya yang masih hidup kecuali mereka bertiga.
Tiba-tiba terdengar suara terkekeh perlahan. Mereka bertiga terkejut dan memandang ke atas. Kiranya di atas tiang yang melintang nampak empat orang yang memiliki wajah yang menyeramkan, wajah yang gagah dan juga bengis. Tiga orang di antara mereka sudah berusia limapuluh tahun lebih, akan tetapi seorang di antaranya masih muda, kurang lebih duapuluh tahun usianya, wajahnya halus dan tampan.
Karena mengira bahwa tentu mereka itu adalah orang-orangnya pasukan yang mengejar mereka, maka Kim-suipoa sudah menggerakkan tangannya dan empat butir biji suipoa terbuat dari baja meluncur ke arah empat orang itu. Senjata Kim-suipoa Tan Sun ini adalah alat suipoa, dan senjata rahasianya juga biji suipoa, tentu saja bukan dari emas melainkan dari baja. Akan tetapi, dengan tenangnya empat orang itu menyambut sinar yang menyambar itu dengan tangan mereka! Kim-suipoa terkejut karena hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya mereka itu.
"Aha, kiranya Kim-suipoa yang dikejar-kejar para perajurit. Ha-ha, ini namanya jodoh!" kata pemuda itu dan dia sudah mendahului meloncat turun diikuti oleh tiga orang temannya.
Karena sikap empat orang itu tidak bermusuhan, maka Pek Lian dan dua orang gurunya juga hanya memandang dengan sikap waspada. Orang muda itu menyingkirkan mayat yang menghalang di depan kakinya dengan menendangnya ke pinggir dan dengan sikap menghina. Kemudian dia menjura kepada Kim-suipoa.
"Maaf kalau kami mengejutkan lo-enghiong berdua dan nona. Kalau boleh kami bertanya, mengapa sam-wi dikejar-kejar para perajurit?"
"Aku diganggu perajurit dan kami merobohkan beberapa orang perajurit, lalu kami dikeroyok dan lari sampai di sini," kata Pek Lian.
Pemuda itu tersenyum. "Hemm, memang begitulah watak mereka. Sudah lama kami mendengar nama besar Kim-suipoa lo-enghiong, dan kamipun merasa kagum sekali kepada Liu-taihiap."
"Beliau adalah guruku!" kata Pek Lian.
Mendengar ini, mereka berempat menjura. "Ah, kiranya para pendekar dari Puncak Awan Biru. Maafkan kami. Tempat inipun tidak aman, kami mohon diri lebih dulu!" berkata demikian, pemuda itu berkelebat diikuti oleh tiga orang temannya dan merekapun lenyap dari situ. Hanya ada angin menyambar yang membuat api lampu di atas meja bergoyang-goyang.
Pek Lian saling pandang dengan dua orang gurunya sambil menggeleng-geleng kepala. Kembali mereka bertemu dengan orang-orang yang berkepandaian tinggi. "Suhu, siapakah kiranya orang-orang tadi?"
Kedua orang gurunya menggeleng kepala karena mereka memang belum mengenal orang-orang tadi dan tidak dapat menduga siapa mereka. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara derap kaki orang di luar rumah dan diikuti teriakan-teriakan para perajurit.
"Mari lari dari jendela!" teriak Kim-suipoa yang sudah membuka jendela samping dan mereka berloncatan keluar.
"Tangkap!"
"Serbu...!"
"Kejar...!!
Akan tetapi tiga orang itu dengan cepat telah melarikan diri di dalam kegelapan malam dan dikejar-kejar oleh para perajurit. Dan kiranya kota Ki-han itu telah dijaga ketat sekali oleh banyak perajurit sehingga pintu-pintu gerbang tak mung-kin dilalui orang tanpa pemeriksaan dan penggeledahan yang ketat. Untuk melompati pagar tembok kota juga berbahaya karena agaknya malam itu para perajurit benar-benar sibuk melakukan penjagaan. Untuk melalui pintu gerbang tentu saja mereka tidak berani.
Dan untuk tetap tinggal di dalam kota, tanpa ada tempat menginap, selain berbahaya juga akan membuat, mereka tentu menjadi lelah sekali. Akhirnya mereka dapat menemukan tembok kota yang gelap dan agak jauh dari penjagaan, maka tanpa ragu-ragu lagi mereka lalu berlompatan dan keluar dari kota Ki-han melalui tembok kota itu.
Betapapun juga, mereka tidak berhenti dan terus berlari sampai akhirnya mereka melihat sebuah kuil tua di kaki bukit. Ke situlah mereka menuju dan mereka segera mengetuk pintu kayu tebal kuil itu. Beberapa kali mereka mengetuk dan akhirnya pintu depan terbuka dan seorang hwesio dengan mata mengantuk berdiri di depan mereka.
Kim-suipoa yang memimpin rombongannya segera memberi hormat kepada hwesio itu. "Kami mohon kemurahan hati para hwesio di sini untuk dapat menampung kami bermalam di tempat ini melepaskan lelah."
Hwesio itu mengerutkan alisnya. "Pinceng tidak berani memberi keputusan karena sam-wi datang di tengah malam begini, apa lagi ada seorang wanita muda sebaiknya pinceng melapor kepada suhu, yaitu kalau suhu belum tidur. Kalau suhu sudah tidur, tentu saja pinceng tidak berani membangunkannya dan tidak berani menerima sam-wi."
"Sudahlah, A-ceng, silahkan mereka masuk ke kamar tamu." Tiba-tiba terdengar suara halus dari dalam.
Hwesio yang dipanggil A-ceng itu tersenyum. "Ah, suhu belum tidur. Silahkan, sam-wi, silahkan masuk ke sini......" Dia lalu membawa lampu teng bergagang, menutupkan kembali daun pintu dan memalangnya, kemudian mengantar tamu-tamu itu menuju ke sebuah ruangan tamu di samping.
Seorang hwesio tua sudah duduk di situ. Kim-suipoa selain terkenal sebagai seorang pendekar gagah perkasa, juga terkenal sebagai seorang dermawan, maka mengingat bahwa dia banyak dikenal oleh kuil-kuil yang sudah banyak disumbangnya, dia lalu memperkenalkan diri setelah memberi hormat.
"Saya Kim-suipoa Tan Sun dan dua orang teman mohon maaf kalau mengganggu losuhu. Kami bertiga kemalaman di jalan dan mohon diperkenankan mengaso sampai pagi di kuil ini."
Mendengar julukan ini, benar saja hwesio tua itu segera merangkapkan kedua tangan di depan dadanya. "Omitohud..., kiranya Tan-sicu yang datang. Apa lagi Tan-sicu yang telah banyak melimpahkan budi kepada kaum miskin dan tempat-tempat ibadah, biar orang lain sekalipun kalau kemalaman tentu akan pinceng terima dengan hati dan tangan terbuka. Silahkan, sicu."
Hwesio tua itu lalu menyuruh hwesio bernama A-ceng itu untuk membawa tiga orang tamunya ke kamar tamu, dua buah kamar, sebuah untuk siocia (nona) dan yang ke dua untuk kedua orang sicu (orang gagah) itu.
Malam itu Pek Lian dan kedua orang gurunya dapat beristirahat dengan tenang dan daffat tidur nyenyak sehingga pada keesokan harinya, ketika pagi-pagi mereka bangun, mereka merasa segar dan tenaga mereka telah pulih kembali. Pagi-pagi sekali, mereka bertiga sudah bangun, mereka membersihkan diri, berkemas dan bersiap-siap untuk berpamit dari ketua kuil untuk melanjutkan perjalanan mereka, karena mereka merasa bahwa terlalu lama berada di sekitar daerah di mana sedang diadakan pembersihan itu, tidaklah menguntungkan. Pula, yang mereka tuju adalah Wu-han, di mana Menteri Ho kabarnya ditawan.
Akan tetapi, pada saat mereka berjalan menuju ke ruangan depan, terdengar ada orang membuka pintu depan dan menutupkannya kembali, lalu terdengar suara ketua kuil yang halus dan sabar. "Hei, A-hai, ke mana sajakah engkau semalam? Omitohud... pinceng benar-benar mengkhawatirkan dirimu. Kenapa engkau tidak pulang? Apakah terjadi kesukaran lagi, Hai-ji (anak Hai)?"
"Maaf, suhu. Aku tidak berani pulang. Habis, banyak sekali perajurit-perajurit di kota pada mengamuk membabi-buta. Aku jadi ketakutan dan aku tidur bersama para jembel di dalam pasar." Jawaban suara ini seperti tidak asing dan telah dikenal oleh Pek Lian dan dua orang gurunya, akan tetapi mereka lupa lagi di mana pernah mendengar suara itu, suara yang ketolol-tololan.
Kim-suipoa lalu maju dan membuka pinta lalu melangkah keluar. Orang yang disebut Hai-ji dan baru datang itu telah memegang sebatang sapu bergagang panjang dan sudah siap untuk menyapu pelataran di mana banyak terdapat, daun-daun sang berguguran semalam. Mudah diduga bahwa pemuda itu adalah murid atau juga pelayan di kuil itu karena dia bukanlah hwesio, melainkan seorang pemuda yang bertubuh jangkung tegap, dengan rambut hitam panjang digelung ke belakang dan pakaiannya sederhana. Mendengar pintu dibuka orang, pemuda itu menoleh.
"Eh, kau??!" Suara Kim-suipoa terdengar kaget sekali ketika dia mengenal pemuda itu.
Pek Lian dan Pek-bin-houw cepat keluar dari pintu itu dan merekapun terkejut, memandang kepada pemuda yang memegang sapu itu dengan mata terbelalak dan pandang mata gentar. Tentu saja mereka gentar karena pemuda ini bukan lain adalah pemuda yang pernah menjadi kusir kereta tawanan yang membawa Menteri Ho, pemuda yang terluka lalu mengamuk dengan kepandaiannya yang mentakjubkan dan mengerikan itu!
Mereka bertiga memandang dengan muka berobah dan sikap waspada. Siapakah pemuda ini? Bagaimana dulu pernah menjadi kusir pasukan pemerintah, dan sekarang menjadi pelayan kuil?
Ketua kuil, hwesio yang usianya sudah mendekati tujuhpuluh tahun itu kini datang menghampiri. Diapun tersenyum gembira. "Omitohud..., betapa sempitnya dunia ini. Kiranya sam-wi (anda bertiga) telah mengenal anak ini? Sungguh kebetulan sekali! Baru setengah bulan dia bekerja di sini dan pinceng tidak tahu siapa dia sebenarnya. Siapakah anak ini, sicu?" tanyanya kepada Kim-suipoa.
"Sungguh aneh!" Ho Pek Lian berseru. "Apakah losuhu belum mengenal dia? Kalau begitu, bagaimana dia bisa berada di sini? Kami baru dua kali ini bertemu dengan dia dan kamipun tidak tahu siapakah dia sebenarnya."
"Orang muda, bukankah sudah tiba saatnya bagimu untuk memperkenalkan diri?" Pek-bin-houw berkata sambil memandang tajam kepada wajah yang tampan dan gagah sekali itu.
Sejenak pemuda tinggi besar itu memandang kepada mereka satu demi satu. Alisnya yang tebal hitam berbentuk golok itu berkerut, sepasang mata yang bening tajam akan tetapi nampak bingung itu menjadi semakin muram. Dia membanting kakinya dan nampak jengkel sekali, bahkan dia lalu membuang sapunya.
Wajahnya muram dan membayangkan kekesalan hatinya. Tangan kirinya menggaruk-garuk kepala di belakang telinga, bahkan lalu mencengkeram dan menjambaki rambutnya sehingga gelungnya terlepas dan rambut yang diikat di bagian belakang itu menjadi seperti ekor kuda yang besar.
"Suhu... sungguh celaka, semua membuatku menjadi pusing saja! Setiap orang mengatakan bahwa dia pernah mengenalku, pernah melihatku, malah banyak yang mengatakan bahwa aku pernah memukulnya. Mereka memandang dengan takut kepadaku, katanya aku lihai dan pandai silat. Padahal, aku belum pernah melihat mereka! Dan aku sama sekali tidak bisa silat, apa lagi memukul orang. Bagaimana ini? Suhu, siapakah aku ini sebenarnya? Kenapa begitu banyak orang mengenalku sedangkan aku belum pernah bertemu dengan mereka? Ah, aku bisa menjadi gila kalau menghadapi teka-teki ini... suhu, katakanlah siapa sebenarnya diriku ini."
Hwesio tua itu merangkap kedua tangan di depan dada, pandang matanya diangkat ke atas seolah-olah dia berdoa. "Omitobud.....!" Dipandangnya pemuda itu dengan sinar mata penuh iba kasih mendalam. "Sudahlah, Hai-ji... engkau masuk dan beristirahatlah dulu. Mungkin engkau masih merasa kaget oleh ulah para perajurit malam tadi, maka tenangkanlah hatimu dan mengasolah."
Pemuda itu mengangguk dan melangkah pergi, baru beberapa langkah berhenti dan mengambil sapu yang dibuangnya tadi, menyandarkannya di batang pohon, barulah dia pergi meninggalkan tempat itu tanpa menoleh kepada Pek Lian dan dua orang gurunya. Dan melihat sikap pemuda itu, entah bagaimana ia sendiripun tidak tahu dan tidak mengerti mengapa, hati Pek Lian terasa amat kecewa.
Pemuda itu sama sekali tidak memperhatikannya, melirik sedikitpun tidak, seolah-olah ia tidak pernah ada di situ! Dan anehnya, pemuda itu nampaknya seperti ketakutan benar ketika diingatkan akan para perajurit. Dan pemuda itu nampak bahwa dia benar-benar sama sekali tidak mengenal mereka. Benarkah pemuda itu sakit ingatan? Sungguh sayang sekali. Pemuda yang demikian gagahnya, tampan dan juga sebetulnya lihai bukan main sehingga seorang tokoh besar seperti Pek-lui-kong saja dapat dibuat gentar olehnya.
Hwesio tua itu menarik napas panjang, "Sunggun patut dikasihani anak itu. Agaknya sesuatu yang amat hebat telah menimpa dirinya sehingga jiwanya terguncang hebat. Dia benar-benar lupa sama sekali akan masa lalunya. Dia tidak tahu siapa dirinya dan siapa pula orang tuanya."
"Akan tetapi, losuhu. Bukankah losuhu menyebut namanya dengan Hai-ji (anak Hai)?"
Hwesio itu kembali menghela napas. "ketika dia mengerahkan seluruh ingatannya, dia mengatakan bahwa dia hanya ingat orang tuanya menyebutnya Hai-ji (anak Hai). Oleh karena itu maka pinceng menyebutnya A-hai atau Hai-ji. Agaknya namanya, tak salah lagi, tentu ada huruf Hai-nya. Dia telah berkelana sampai jauh, mencari orang yang tahu akan riwayat hidupnya, yang benar-benar mengenalnya dan tahu keadaan keluarganya. Namun, sampai sekarang sia-sia belaka."
"Sungguh aneh sekali. Apakah dia tidak ingat sama sekali peristiwa yang terjadi pada saat terakhir dia dapat mengingatnya, losuhu?" tanya Pek-bin-houw.
Kakek itu menggeleng kepalanya. "Keadaan dirinya sendiripun kadang-kadang aneh dan dia kehilangan ingatan sama sekali. Dalam keadaan sadar, dia adalah seorang pemuda yang rajin, sopan, biarpun pemurung karena selalu memikirkan dirinya, dan juga seorang pemuda yang lemah, dalam arti kata tidak mengenal ilmu silat walaupun pada dasarnya dia bertenaga besar dan bertulang bersih sekali. Akan tetapi apa bila dia mengalami tekanan batin atau melihat darah, maka dia akan kumat.
"Dan kalau sudah begitu, dia bisa berbahaya bukan main. Dengan tiba-tiba saja dia menjadi buas, liar dan memiliki gerakan silat yang luar biasa sekali. Sudah setengah bulan dia bekerja di sini. Pinceng membawanya ke sini setelah dia roboh pingsan, sesudah kumat dan mengamuk. Setelah sadar, dia menyatakan bahwa tempat ini menenangkan hatinya dan dia minta bekerja di sini. Karena kasihan, pinceng menerimanya."
Pek Lian dan dua orang suhunya yang sudah merasakan kelihaian pemuda itu ketika kumat, lalu menceritakan tentang pertemuan mereka yang per-tama kali dengan pemuda itu kepada ketua kuil yang mendengarkan dengan penuh rasa heran dan kagum.
"Pinceng tidak percaya bahwa dia dengan sengaja membantu pasukan," katanya, tidak mengerti bahwa nona itu adalah puteri Ho-taijin yang terkenal karena mereka tidak menceritakan hal itu. "Dia tidak berpura-pura. Dalam keadaan sadar, dia sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Pinceng sudah beberapa kali mencobanya. Akan tetapi kalau penyakit aneh itu kambuh, ilmunya hebat bukan main. Sungguh mengherankan sekali, mengapa begitu hilang kesadarannya, dia malah menjadi lihai sekali."
"Memang mengherankan dan patut dikasihani," kata Kim-suipoa. "Kalau dia tidak cepat memperoleh pengobatan sampai sembuh, keadaannya seperti itu amat berbahaya dan tentu saja dia dapat disalahgunakan oleh golongan penjahat."
Hwesio itu mengangguk-angguk. "Memang berbahaya sekali. Tiga hari yang lalu ketika dia sedang bergembira, pinceng menyuruhnya membetulkan genteng yang pecah dan bocor. Entah karena kurang hati-hati barangkali, dia terjatuh ke bawah. Kakinya terluka, lecet dan mengeluarkan banyak darah. Begitu dia melihat darah, langsung saja dia kumat, mengamuk. Kalau pinceng dan para hwesio tidak cepat melarikan diri, mungkin ada yang terbunuh. Dia mengejar pinceng dan melawanpun percuma.
"Pinceng lalu pasrah dan bersila, bersembahyang. Eh, melihat pinceng bersembahyang, dia tidak jadi memukul walaupun angin pukulan tangannya sempat membuat pinceng tergetar hebat. Dan diapun melayang naik ke. atas genteng di wuwungan tertinggi dan duduk menangis! Hebatnya, setelah dia sadar kembali, dia menjadi ketakutan dan tidak dapat turun se-hingga pinceng terpaksa memasang anak tangga untuk dia turun."
Pek Lian dan dua orang gurunya merasa heran dan juga geli. Sungguh keadaan pemuda itu amat aneh dan penuh rahasia. Akan tetapi karena pemuda itu sendiri tidak dapat menceritakan keada-an dirinya, dan mereka mempunyai urusan penting mereka lalu mohon diri dari ketua kuil. Akan tetapi, baru saja mereka hendak melangkah keluar, tiba-tiba terdengar suara terompet bersahut-sahutan dari jauh, disusul suara derap kaki banyak kuda di sepanjang jalan tak jauh dari kuil itu.
Jelaslah bahwa keributan para perajurit itu menunjukkan bahwa telah terjadi sesuatu yang hebat. Para hwesio kuil itu berlari-larian keluar untuk menonton, kecuali pemuda aneh yang malah bersembunyi di belakang kuil. dan ketua kuil yang dengan tenang saja berada di ruangan depan.
"Maaf, losuhu, kemarin kami bentrok dengan para perajurit ketika saya diganggu, maka kami ingin tinggal dulu di sini sampai mereka itu pergi," kata Pek Lian. Ketua kuil itu mengangguk dan mempersilahkan.
"Kami akan menyelidiki keadaan di luar dan melihat apa yang terjadi," katanya, kemudian dia memanggil beberapa orang hwesio dan memberi perintah kepada mereka untuk pergi menyelidik.
Menjelang tengah hari, ketua kuil itu menemui para tamunya dengan wajah yang serius. Setelah duduk berhadapan, ketua kuil itu lalu menarik napas panjang berkali-kali. "Omitohud... dunia semakin menjadi kacau kalau manusia-manusianya tidak lekas-lekas sadar akan dirinya, baik yang paling tinggi kedudukannya maupun yang paling rendah."
"Apakah yang telah terjadi, losuhu?" tanya Pek Lian.
"Ah, sungguh menyedihkan dan mengerikan. Para pendekar mulai memperlihatkan kemarahannya dan banyak perwira-perwira dibunuh di mana-mana, tidak terkecuali di kota Ki-han. Beberapa orang perwira yang sedang berkemah di dekat kota dan sedang menghibur diri di kota, tahu-tahu dibunuh orang. Ahhh..., semua ini akibat dari pada peraturan-peraturan tidak adil yang dilakukan oleh kaisar. Malah baru saja pemerintah melarang terhadap orang-orang bersenjata.
Pendeknya, semua senjata yang ada dalam rumah dirampas dan disita untuk dilebur dan dihancurkan, dan tentu saja setiap orang yang membawa senjata ditangkap, senjatanya dirampas dan kalau dia melawan akan dipukuli bahkan ada yang dibunuh. Kacau... kacau..., dan sam-wi sebagai pendekar-pendekar sebaiknya cepat menyembunyikan senjata kalau sam-wi membawanya."
Pek Lian meraba pedangnya dan saling berpan-dangan dengan kedua orang gurunya. Kaisar telah bertindak terlampau jauh. Akan menentang para pendekar dengan terang-terangan agaknya. Kim-suipoa mengepal tinjunya.
"Tindakan pemerintah sungguh sewenang-wenang. Semenjak ratusan tahun yang lalu, para pendekar mempersenjatai dirinya untuk melawan kejahatan. Kalau dilarang memegang senjata, bagaimana harus membela diri terhadap serangan segala macam binatang buas dan orang jahat?"
"Omitohud makin tua pinceng mengalami hal-hal yang amat menyedihkan. Semenjak kaisar yang sekarang berkuasa, memang ada beberapa hal yang pinceng anggap merupakan kebijaksanaan yang baik sekali. Penertiban ukuran dan timbangan sungguh menguntungkan dalam dunia perdagangan.
"Kemudian disamakannya huruf-huruf di seluruh daratan juga merupakan hal yang amat baik sekali bagi kesusasteraan dam kesenian. Akan tetapi, kenapa akhir-akhir ini bermunculan perintah-perintah yang begitu jahat? Kitab-kitab suci dibakar dan dimusnahkan! Bagaimana mungkinhal itu dilakukan tanpa menggegerkan dunia?
"Pinceng sendiri beragama Buddha, akan tetapimelihat betapa kitab-kitab Nabi Khong Cu dimusnahkan, diam-diam pinceng merasa ngeri. Jelas itu merupakan persaingan agama yang tidak adil. Kemudian, Menteri Ho yang bijaksana itu ditangkap seluruh keluarganya! Bukan main."
"Berita apa lagi yang diperoleh murid-murid losuhu?" Kim-suipoa bertanya.
"Hebat, dan membuat pinceng merasa tidak enak terhadap sam-wi. Ada berita yang mengatakan bahwa para perajurit itu mencari seorang gadis dan dua orang laki-laki setengah tua yang kabarnya pernah membuat onar dan mereka bertiga itu dituduh telah melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap para perwira kerajaan itu."
"Ah, yang dimaksudkan adalah kami!" kata Pek Lian terkejut.
"Agaknya demikianlah, nona. Maka sebaiknya kalau sam-wi bersembunyi dulu di kuil ini dan baru pergi setelah keadaan aman dan tenteram."
Tiga orang itu menjura dan menghaturkan terima kasih. Tan Sun si Suipoa Emas dan Liem Tat si Harimau Muka Putih mengintai dari balik pintu depan, sedangkan Pek Lian pergi ke belakang untuk mencari pemuda aneh yang sinting itu. Didapatkannya pemuda itu asyik membelah kayu-kayu bakar dengan pisau dapur yang tidak tajam dan juga kecil. Dari belakang pemuda itu, Pek Lian memandang kagum.
Biarpun dalam keadaan sadar pemuda itu tidak paham ilmu silat, akan tetapi ha-rus diakuinya bahwa pemuda ini bertenaga besar. Kalau tidak, mana mungkin membelah kayu bakar hanya mempergunakan pisau dapur kecil yang tumpul pula? Pemuda itu bertelanjang baju, hanya memakai celana hitam panjang. Dari belakang nampak tubuhnya yang kekar dan kokoh kuat, dengan otot-otot yang besar dan hidup.
Pek Lian memandang kagum sekali sampai melongo dan seperti orang menahan napas. Menarik sekali dan indah sekali bentuk tubuh pemuda itu, membayangkan kejantanan dan kekuatan yang mengagumkan hatinya. Tiba-tiba pemuda itu menengok, seolah-olah merasa bahwa ada orang memandanginya.
Dua pasang mata bertemu dan sejenak bertaut. Pek Lian segera menundukkan mukanya yang menjadi merah. Ia telah tertangkap basah sedang "mencuri" pandang. Pemuda itupun kelihatan canggung dan dihentikannya pekerjaannya.
"Ada ada apakah, nona?" dia bertanya sambil mengusap keringat dari dada dan lehernya, menggunakan saputangan besar.
"Ah, tidak apa-apa, maaf kalau aku mengganggu pekerjaanmu, eh... saudara A-hai. Bolehkah aku memanggilmu A-hai?" Pek Lian melangkah, mendekat dan memandang ramah.
Pemuda itu sejenak menatap wajah itu, lalu menunduk dan dengan canggung seperti orang yang malu-malu membelah lagi kayu di depannya, akan tetapi karena canggung, gerakannya kaku dan kayu itu tidak dapat terbelah pecah. "Tentu saja boleh, nona. Memang namaku A-hai."
"Dan namaku Pek Lian," kata dara itu tanpa menyebutkan she-nya yang untuk sementara ini harus disembunyikan dulu.
"Pek Lian?" Pemuda itu mengerutkan alisnya, seolah-olah hendak mengingat-ingat atau hendak menanamkan nama itu dalam-dalam di batinnya. "Pek Lian..., Pek Lian...!"
Pek Lian menahan senyumnya. Aneh sekali rasanya. Mengapa ketika namanya disebut berulang-ulang itu hatinya terasa senang sekali? "Engkau mengenal nama itu?"
A-hai menggeleng kepala. "Aku hendak mengingatnya agar jangan lupa."
Kembali Pek Lian terasa sejuk nyaman. Senang sekali hatinya dan iapun berjongkok di dekat pemu-da itu yang masih mencoba-coba untuk membelah kayu akan tetapi selalu gagal karena dia tiba-tiba menjadi canggung sekali.
"Begini kalau membelah kayu!" kata Pek Lian dan gadis ini miringkan tangan kanannya, menge-rahkan tenaganya dan sekali "bacok" dengan tangan miring itu pecahlah kayu bakar di depannya menjadi dua, seperti terbacok golok yang tajam saja.
Wajah A-hai berseri. "Wah, engkau pandai sekali, Pek Lian!"
Pek Lian semakin girang. Padahal, pemuda ini seharusnya menyebut nona. Lalu iapun teringat bahwa ia sendiripun menyebut A-hai begitu saja, dan dalam sebutan-sebutan ini terasa olehnya suatu keakraban yang luar biasa. "Apa engkau tidak bisa melakukannya dengan tangan kosong, A-hai?"
Pemuda itu menggeleng. "Mana mungkin? Dengan pisau inipun amat sukarnya."
"Dengan pisau itu memang lebih sukar dari pada dengan tangan kosong. Cobalah dan tirulah aku, engkau tentu bisa," kata Pek Lian. "Nah, mula-mula tangan kananmu begini, lalu kerahkan tenaga, tahan napas dan salurkan tenaga ke tanganmu, pusatkan pada bawah tanganmu dan curahkan perhatian dan keyakinan bahwa kayu ini tentu akan pecah terbelah oleh pukulan tanganmu yang tajam seperti golok. Mulai. Lihatlah dulu tanganku. Satu-dua-tiga! Krakk!" Kayu itu pecah oleh bacokan tangan Pek Lian. "Sekarang coba kau lakukan dengan kayu di depanmu itu."
Wajah pemuda itu berseri seperti seorang anak kecil memperoleh suatu permainan baru. Diapun lalu menegangkan tangannya, dibentuk seperti bentuk tangan dara itu tadi, kemudian diapun menahan napas dan mengerahkan tenaga. Pek Lian menekuk ibu jari pemuda itu agak membengkok ke dalam telapak tangan, lalu mengangguk.
"Sudah baik begitu, nah, kerahkan tenaga dan dengar hitunganku. Satu..., dua... tiga...!" Pemuda itu mengayun tangannya dan "Krakkk!" kayu itupun pecah terbelah! A-hai tertawa gembira biarpun sambil menyeringai karena tangannya agak nyeri rasanya.
Diam-diam Pek Lian memandang kagum. Tanpa disadari, pemuda ini sebenarnya memiliki sin-kang yang amat kuat. Kalau saja pemuda ini dapat mempergunakannya, tentu akan hebat sekali. Kalau begitu, pikirnya, keadaan menjadi sebaliknya ma-lah. Kalau pikirannya sedang sadar seperti ini, jus-teru ilmu pemuda itu seperti "tidur", akan tetapi sebaliknya kalau pikirannya kacau dan tidak sadar, ilmunya malah "bangun".
"Engkau baik sekali, Pek Lian," katanya dan sikapnya menjadi ramah.
"Engkau juga baik sekali, A-hai. Benarkah bahwa engkau sudah tidak ingat sama sekali akan asal-usulmu?"
Pemuda itu mengerutkan alisnya yang hitam tebal itu, lalu menghela napas panjang. Dadanya yang bidang dan kuat itu membusung ketika di menyedot napas. "Aahh, Pek Lian, jangan bicara tentang masa laluku. Aku menjadi pusing kalau memikirkan itu. Aku tidak mau ingat apa-apa lagi yang penting aku ingat sekarang ini bahwa engkau bernama Pek Lian dan engkau baik sekali terhadap diriku."
Hati dara itu terasa senang sekali. Ia sendiri merasa heran. Sebagai puteri seorang menteri, ia sudah biasa dengan kata-kata menjilat dan memuji, dan sebagai seorang gadis yang cantik dan lihai, banyak sudah orang memuji kecantikannya atau kelihaiannya. Akan tetapi biasanya, puji-pujian itu membuatnya merasa muak karena ia tahu bahwa di balik pujian itu tersembunyi maksud lain Sebaliknya, pujian pemuda ini begitu wajar dan bersih dari pada pamrih apapun, dan terasa meng-harukan dan juga menyenangkan baginya.
"A-hai, apakah selain aku, tidak ada orang lain yang juga amat baik kepadamu?"
Pemuda itu cemberut, lalu menggeleng kepa-lanya. "Ada sih ada, seperti losuhu di kuil ini juga baik kepadaku. Akan tetapi kebanyakan orang amat jahat, jangankan menolong, malah mereka itu selalu menggangguku. Semua orang jahat kepadaku, Pek Lian, akan tetapi engkau baik... baik sekali, aku suka kepadamu."
Pek Lian tersenyum dan dalam keharuannya, otomatis jari-jari tangannya menyentuh lengan yang berotot itu. "Kasihan engkau, A-hai"
Dalam suara Pek Lian terkandung getaran penuh belas kasihan dan agaknya hal ini terasa dan menyentuh perasaan A-hai karena tiba-tiba saja pemuda itu menangis sesenggukan! Pek Lian ter-kejut, memandang pemuda yang menutupi muka dengan kedua tangannya itu dan melihat air mata mengalir dari celah-celah jari tangan itu.
Pek Lian memegang lengannya. "A-hai, jangan berduka, A-hai" katanya lirih, hampir tak dapat menahan air matanya sendiri.
Pemuda itu menggunakan tangan yang dikepal untuk menyusuri air matanya, lalu dengan muka muram memandang wajah dara itu. "Bagaimana aku tidak akan berduka, Pek Lian, kalau hatiku terasa berduka sekali? Aku berduka sekali aku sengsara sekali"
"Eh, apakah yang menyebabkan engkau berduka, A-hai? Apakah yang telah terjadi maka engkau merasa begini sengsara?" Dipandangnya wajah itu dengan penuh harap kalau-kalau pemuda itu sekarang telah menemukan kembali ingatannya. Akan tetapi, pemuda itu menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
"Tidak tahu aku tidak tahu, tahuku hanya bahwa aku berduka dan sengsara sekali"
Pek Lian memandangi pemuda itu, dari kepaL sampai ke kaki. Biarpun dalam keadaan kehilangan ingatannya, ternyata pemuda ini merawat diri-nya dengan baik. Rambutnya, kukunya, terawat dan bersih. Jelas bahwa dia ini bukan seorang pemuda dusun yang bodoh.
Tiba-tiba pendengaran Pek Lian menangkap suara ribut-ribut di luar kuil. Ia khawatir kalau-kalau pemuda ini akan kumat pula, maka ia bangkit berdiri dan berkata, "A-hai, engkau lanjutkan pekerjaanmu dan latihlah membelah kayu dengari tangan seperti tadi. Aku hendak menemui losuhu di luar."
A-hai mengangguk dan sudah mulai membelah-belah kayu dengan tangan seperti yang diajarkan oleh Pek Lian tadi. Pek Lian sendiri cepat berlari ke ruangan luar di mana ia melihat kedua orang gurunya sedang mengintai dari balik pintu dengan wajah tegang. Iapun cepat menghampiri dan ikut mengintai.
Kiranya di luar kuil sedang terjadi sesuatu yang amat menarik, yaitu suatu perkelahian yang aneh karena di situ nampak seorang perajurit muda dikeroyok oleh belasan orang perajurit lain. Perajurit muda itu dikeroyok oleh teman-temannya sendiri! Akan tetapi, perajurit muda itu lihai bukan main. Dengan tangan kosong saja dia menghadapi pengeroyokan belasan orang perajurit bersenjata itu dan berhasil membuat para pengeroyoknya kocar-kacir.
Gerakannya cepat dan mantap, setiap tamparan tangannya membuat perajurit yang terkena seketika roboh dan terlempar. Akan tetapi, karena pihak pengeroyok amat banyak, roboh satu maju peng-gantinya, maka perajurit muda itu terkepung. Pek Lian mengerutkan alisnya, merasa seperti sudah pernah melihat wajah perajurit muda itu.
Dikeroyok banyak orang, perajurit muda itu kelihatan semakin gembira. Dia tersenyum dan membentak, "Gentong-gentong kosong, majulah kalian semua!"
Begitu pemuda itu tersenyum dan bicara, teringatlah Pek Lian. "Suhu dia itu orang yang berada di atas tiang melintang di rumah itu. Akan tetapi, di mana tiga orang temannya yang lebih tua itu?"
Kedua orang gurunya memperhatikan, dan pada saat itu terdengar derap kaki kuda dan muncullah seorang berpakaian panglima diiringkan oleh dua orang laki-laki gagah berpakaian preman yang agaknya merupakan pengawal-pengawal panglima itu. Di belakang panglima ini nampak belasan orang perajurit berpakaian lengkap berlari-lari mengikuti larinya kuda.
Sementara itu, pertempuran itu agak menjauh, maka Pek Lian dan dua orang gurunya juga sudah keluar dari kuil dan melihat ada sebuah gerobak tertutup yang berhenti di tepi jalan tak jauh dari kuil itu.
"Wah, wah... dia muncul juga" terdengar Kim-suipoa berbisik ketika melihat panglima itu. Pek-bin-houw juga mengenalnya dan tentu saja Pek Lian yang sudah banyak mengenal panglima-panglima kota raja itupun mengenal panglima berkuda itu.
Pada jaman itu, di kota raja terdapat dua orang jagoan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali dan namanya dikenal dan ditakuti orang. Orang pertama adalah Pek-lui-kong Tong Ciak, jagoan cebol yang jarang keluar karena selalu bekerja secara rahasia dan menjadi panglima dari Kim-i-wi (Pasukan Baju Emas). Panglima pengawal ini selain memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi karena dia mewarisi ilmu-ilmu dari Soa-hu-pai, juga mempunyai kekuasaan yang tak terbatas besarnya di dalam lingkungan istana.
Hal ini tidaklah mengherankan, karena selain si cebol ini amat dipercaya oleh kaisar, juga dia masih sanak dengan Chao Kao, yaitu thaikam (pembesar kebiri) kepala yang berkuasa di dalam istana dan menjadi orang kepercayaan nomor satu di dalam istana. Bahkan para selir dan keluarga kaisar sendiri menaruh hati jerih terhadap pembesar ini.
Adapun jagoan ke dua yang ditakuti orang adalah panglima yang kini tiba-tiba muncul di jalan raya tak jauh dari kuil di luar kota Ki-han itu. Panglima ini adalah seorang jenderal yang mengepalai pasukan-pasukan pilihan. Namanya sudah amat terkenal dan setiap kali jenderal ini memimpin pasukannya menghadapi musuh atau melakukan operasi pembersihan, maka selalu pasti berhasil baik.
Namanya adalah Jenderal Beng Tian dan melihat tubuhnya yang tinggi besar itu saja dia sudah nampak amat gagah perkasa. Dan memang ilmu silatnya kabarnya juga amat hebat, mendekati kesaktian yang sukar dicari tandingannya, dan kabarnya setingkat dengan ilmu silat si cebol Pek-lui-kong Tong Ciak. Tentu saja keduanya memiliki kelebihan, yaitu Jenderal Beng Tian mahir ilmu perang dan menguasai banyak pasukan, sedangkan Tong Ciak mempunyai pengaruh besar di istana, dan lebih dekat dengan kaisar.
Dua orang berpakaian preman yang selalu mendampingi Jenderal Beng Tian adalah pengawal-pengawal pribadinya. Bukan orang-orang lain, melainkan masih saudara seperguruannya sendiri. Maka dapat dibayangkan betapa lihai mereka berdua itu, hanya setingkat lebih rendah dibandingkan dengan jenderal itu sendiri. Jaranglah jenderal itu turun tangan sendiri, karena setiap lawan yang berani melintang di depannya, cukup ditanggulangi dan ditundukkan oleh dua orang pengawalnya yang tangguh itu.
Beng-goanswe (Jenderal Beng) kini sudah tiba di dekat tempat perajurit muda dikeroyok itu. Dia menghentikan kudanya dan menonton dengan pandang mata tertarik. Dia merasa kagum sekali kepada perajurit muda itu. Diam-diam dia merasa heran dan menduga-duga siapa adanya orang muda yang demikian tangguh dan beraninya, menyamar sebagai seorang perajurit dan menyusup ke dalam perkemahan bala tentaranya itu.
Sungguh suatu perbuatan yang luar biasa beraninya dan ke-gagahan yang mengagumkan sekali. Gerakan pemuda itu selain cepat dan gesit, juga mengandung tenaga kuat dan aneh sekali. Diam-diam Beng-goanswe mempelajari gerakan-gerakannya itu dan mengingat-ingat, akan tetapi dia tidak mengenal ilmu silat pemuda itu.
Di lain pihak, ketika perajurit muda palsu itu mengenal siapa yang muncul, diam-diam menjadi terkejut bukan main. Tidak disangkanya sama sekali bahwa orang nomor satu dari pasukan pemerintah pilihan itu muncul di situ! Tentu saja dia mengenal bahaya dan berusaha untuk meloloskan diri dari kepungan belasan orang perajurit yang mengeroyoknya.
Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan teriakan melengking nyaring, kedua lengannya membuat gerakan memutar-mutar membentuk lingkaran-lingkaran yang saling menyambung dan para pengeroyoknyapun berjatuhan! Dalam satu gebrakan yang mengandung serangan bertubi-tubi itu, sekaligus robohlah enam orang perajurit pengeroyok!
Beng-goanswe terkejut dan mengeluarkan seruan tertahan sambil mengangkat tangan kanannya ke atas. Dua orang sutenya, atau juga dua orang pengawal pribadinya, maklum akan isyarat ini maka keduanya lalu berloncatan turun dari atas kuda masing-masing, berjungkir balik dan dengan gerakan indah keduanya sudah melayang dan memotong jalan lari perajurit muda palsu itu!
Pemuda yang menyamar sebagai perajurit itu terkejut, maklum bahwa dia berhadapan dengan dua orang lawan yang tangguh, padahal di situ masih terdapat sang panglima dan puluhan orang perajurit, maka diapun tidak mau membuang banyak waktu lagi, membentak nyaring dan dia sudah menyerang dua orang pengawal panglima itu.
Dan melihat betapa dua orang pengawal itupun menghadapi si pemuda dengan tangan kosong, dapat dimengerti bahwa tingkat kepandaian mereka-pun sudah tinggi sekali. Sekali ini para perajurit hanya mengurung dari jauh sambil menonton. Perkelahian yang terjadi memang hebat bukan main. Sang panglima yang masih duduk di atas kudanya memandang dengan mata semakin kagum.
Tak disangkanya sama sekali bahwa musuh yang menyamar itu, yang masih demikian muda, mampu melayani pengeroyokan dua orang pengawalnya, dapat membalas setiap serangan dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya, walaupun lambat-laun pemuda itu nampak kewalahan juga. Panglima ini dapat mengukur bahwa andaikata tidak dikeroyok, belum tentu sutenya dapat menang.
Kini, mengandalkan pengeroyokan itu, dua orang pengawalnya dapat menghujani serangan dan dengan cengkeraman-cengkeraman, satu demi satu pakaian perajurit penyamaran itu dapat dilucuti dan akhirnya nampaklah pakaian pemuda itu sendiri, yaitu pakaian yang dipakai oleh pemuda yang semalam telah bertemu dengan Pek Lian dan dua orang gurunya di rumah kosong.
Tiba-tiba Pek-bin-houw menahan seruannya. Setelah kini melihat wajah pemuda itu di siang hari, diapun mengenalnya. Pernah dia bertemu dengan pemuda itu, setahun lebih yang lalu. "Ahhh...! Aku ingat sekarang!" Dia berbisik kepada Kim-suipoa dan Pek Lian. "Dia adalah Yang-ce Siauw-kokcu (Ketua Muda Lembah Sungai Yang-ce)!"
Mendengar ini, Pek Lian memandang tajam. Kiranya inilah pemimpin dari orang-orang gagah yang bermarkas di sepanjang lembah Sungai Yang-ce, yang kini sedang digempur oleh pasukan pemerintah itu! Para pendekar lembah Sungai Yang-ce amat terkenal karena gagah perkasa, dan nama-mereka sejajar dengan nama para pendekar Puncak Awan Biru.
Memang kedua perkumpulan orang gagah ini sama-sama terkenal sekali sebagai orang-orang gagah yang menentang kelaliman pemerintah. Puncak Awan Biru di Pegunungan Fu-niu-san menjadi sarang para pendekar yang tentu saja oleh pemerintah dinamakan gerombolan penentang pemerintah atau gerombolan pemberontak, dipimpin oleh seorang pendekar yang gagah perkasa, yaitu Liu Pang yang terkenal dengan sebutan Liu-toako.
Pek Lian dan empat orang gurunya bergabung kepada perkumpulan pimpinan Liu Pang inilah. Adapun gerombolan lembah Sungai Yang-ce ini dipimpin oleh seorang pendekar yang tidak kalah terkenalnya, yaitu yang bernama Chu Siang Yu. Karena sama-sama sebagai perkumpulan pendekar atau patriot yang menentang kelaliman pemerintahan dan membela rakyat kecil yang tertindas.
Maka kedua pihak ini saling menghormat dan saling membantu. Bahkan Liu Pang yang berasal dari keluarga petani kecil menaruh sikap hormat sekali kepada Chu Siang Yu yang masih berdarah bangsawan, bahkan terkenal sekali karena dia adalah keturunan Jenderal Chu Tek yang pernah menggegerkan dunia karena kegagahannya di jaman dahulu.
"Bukan main..." kata Pek-bin-houw. "Kok-cu muda ini lihai sekali. Gurunya lebih hebat lagi, pernah pibu (mengadu ilmu silat) secara persahabatan dengan Liu-toako."
"Ah, lalu bagaimana hasilnya, suhu?" tanya Pek Lian, tertarik sekali mendengar bahwa guru pemuda yang lihai ini pernah pibu melawan gurunya yang baru, ketua Puncak Awan Biru.
"Mereka pibu tangan kosong, dan kalau saja pibu itu dilakukan dengan senjata, dengan keisti-mewaannya bermain pedang mungkin tidak akan "kalah."
"Jadi, suhu kalah?" tanya Pek Liari kecewa.
"Begitulah, akan tetapi hal itu terjadi ketika. Liu-toako masih muda, masih sama-sama muda dahulu, sepuluh tahun yang lalu. Sekarang tentu saja Liu-twako telah memperoleh kemajuan yang amat hebat. Akan tetapi melihat kelihaian pemuda, itu, tentu dapat dimengerti bahwa ilmu silat gurunya tentu jauh lebih hebat lagi."
"Suhu, ternyata di dunia ini demikian banyaknya orang-orang yang memiliki ilmu silat sedemikian tingginya." Dalam suara Pek Lian terkandung kekecewaan karena dara ini melihat betapa ilmunya sendiri masih amatlah dangkalnya.
Dua orang pendekar itu maklum akan perasaan hati murid mereka. Mereka sendiripun setelah secara berturut-turut mengalami pertemuan dengan begitu banyaknya orang pandai, merasa betapa kepandaian sendiri masih teramat rendah. Mereka maklum bahwa Pek Lian merasa kecewa sekali melihat kenyataan yang menghancurkan harga diri itu.
Dara itu telah berlatih silat dengan amat tekunnya, bahkan telah belajar dari lima orang guru dan ilmu kepandaiannya bahkan sudah melampaui tingkat masing-masing dari keempat Huang-ho Su-hiap. Gadis itu tentu mengira bahwa ilmu silatnya sudah baik dan tidak sembarang orang akan dapat mengalahkannya.
Akan tetapi sungguh merupakan kenyataan yang amat pahit baginya bahwa begitu ia turun gunung untuk pertama kalinya, bertualang sebagai gadis pendekar kang-ouw setelah keluarganya hancur, ia mengalami kekalahan karena bertemu dengan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.
Pertama-tama, bertemu dan kalah oleh si ce-bol Pek-lui-kong Tong Ciak. Kemudian pemuda sinting itupun memiliki kepandaian yang luar biasa lihainya. Setelah itu, bertemu dengan keluarga Bu yang sakti, yang rata-rata memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari padanya. Juga orang-orang berjubah naga itu, baru bertemu dengan yang berjubah biru saja ia sudah kalah, belum lagi kalau harus melawan yang berjubah coklat.
Kemudian muncul pemuda Lembah Yang-ce ini, jelas pemuda ini memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi di atasnya. Dan orang-orang Tai-bong-pai itupun lebih lihai lagi. Bertemu dengan demikian banyaknya tokoh-tokoh yang hebat, tentu saja dara itu merasa betapa dirinya kecil dan lemah tak berarti!
Perkelahian antara kokcu lembah Sungai Yang-ce dengan dua orang pengawal Jenderal Beng Tian itu menjadi semakin seru, akan tetapi jelaslah kini bahwa pemuda itu terdesak hebat. Kedua pengeroyoknya itu masing-masing tidak memiliki tingkat lebih tinggi darinya, akan tetapi mereka berdua dapat bekerja sama dengan baik sekali. Beberapa kali pemuda itu telah terkena pukulan-pukulan dua orang pengeroyoknya.
Kalau saja tenaga sinkangnya tidak amat kuat, tentu pukulan-pukulan dahsyat itu sudah merobohkannya. Pemuda itu terdesak terus, main mundur sampai akhirnya pertempuran itu tiba di dekat gerobak yang berhenti, di mana Ho Pek Lian dan kedua orang gurunya bersembunyi.
Sementara itu, Pek Lian dan dua orang gurunya hampir lupa diri saking asyiknya nonton perkelahian itu, lupa bahwa kalau mereka bertiga itu sampai ketahuan, amat berbahayalah bagi mereka yang memang sedang dicari-cari oleh para peraju-rit karena mereka dicurigai sebagai pembunuh para perwira itu.
Sebuah pukulan menyambar ke arah kepala pemuda dari Lembah Yang-ce itu. Pemuda ini menangkis dan sebuah tendangan ke arah pusarnya dapat dielakkannya. Akan tetapi karena dia terhimpit ke gerobak itu, pukulan yang mengarah lehernya dan sudah dielakkannya masih saja mengenai pundaknya.
"Dukk!!" Keras sekali pukulan ini, membuat tubuhnya terdorong dan menabrak gerobak sehingga gerobak itu bergoyang-goyang. Sebelum pemuda itu dapat memperbaiki kembali sikapnya, kedua orang lawan itu dengan tenaga gabungan telah dapat menghantamnya lagi.
"Dess!!" Kini tubuh pemuda itu menabrak gerobak dengan keras dan jatuh terlentang ke bawah gerobak. Dari mulutnya keluar darah segar, tanda bahwa dia telah menderita luka dalam yang cukup parah. Akan tetapi dua orang lawannya tidak mau memberi ampun, masih mendesak maju hendak mengirim pukulan susulan yang tentu akan mematikan.
Melihat ini, Ho Pek Lian dan guru-gurunya tidak dapat menahan hatinya lagi. Mereka adalah pendekar-pendekar yang sejak lama digembleng untuk selalu mengulurkan tangan menolong pihak lemah atau pihak yang benar, maka melihat betapa nyawa pemuda Lembah Yang-ce itu terancam, mereka segera keluar dari balik gerobak itu dan menyerang dua orang pengawal yang hendak menghabiskan nyawa pemuda Lembah Yang-ce.
"Wuuut! Singgg...!!" Pedang ditangan Pek Lian menyambar ke arah leher seorang di antara dua lawan terdekat untuk menyelamatkan pemuda itu. Akan tetapi pengawal itu gesit sekali, dengan sebuah loncatan menyamping dia dapat menghindarkan diri dari sambaran pedang ke lehernya, bahkan secepat kilat tangannya sudah menyambar dari samping, mengarah ubun-ubun kepala Pek Lian!
Melihat ini, pemuda Lembah Yang-ce terkejut. Dia sendiri sudah terluka parah, akan tetapi melihat bahaya mengancam nona yang mencoba menyelamatkannya itu, diapun meloncat bangkit dan menangkis pukulan itu. Kembali dia terlempar, akan tetapi pukulan pengawal itu meleset, tidak mengenai kepala Pek Lian, dan sebaliknya menyambar dan mengenai tiang gerobak bagian belakang.
"Krakkkk....!!" Tiang itu patah dan sebagian atapnya yang belakang ambruk.
"Kurang ajar! Anak setan sialan dangkalan!!" Terdengar suara parau menyumpah-nyumpah dari bawah atap gerobak yang patah dan runtuh itu berbareng dengan suara jeritan serak suara wanita yang juga memaki-maki lebih kotor lagi. "Anak haram anjing babi monyet!" maki wanita itu.
Semua orang terkejut dan dari bawah atap gerobak yang runtuh itu muncullah sepasang laki-laki dan wanita setengah tua dengan pakaian kedodoran setengah telanjang sambil memaki-maki. Keduanya berloncatan keluar sambil membetulkan celana yang kedodoran dan diikat sekenanya saja. Kemudian, tanpa bicara apa-apa lagi pria dan wanita ini menggerakkan kedua tangan mereka dengan cepat luar biasa, tanpa pilih bulu, baik Pek Lian dan kedua orang gurunya, juga pihak perajurit.
Dan terjadilah hal yang mengerikan sekali. Tangan pria dan wanita itu seketika berobah kehijauan dan ketika mereka menggerakkan kedua tangan, angin besar menyambar-nyambar seperti terjadi angin puyuh. Karena gerakan empat buah tangan itu cepatnya sukar diikuti dengan mata, orang sebanyak itu merasa seperti mereka masing-masing menerima pukulan, maka merekapun ada yang mengelak dan ada yang menangkis.
Namun akibatnya sama saja. Baik yang mengelak maupun yang menangkis, semua terkena pukulan itu atau bersentuhan dengan tangan itu dan seketika juga mereka merasa tubuh mereka panas seperti terbakar api, kemudian berobah dingin sampai menggigil, panas dan dingin menyerang tubuh mereka seperti orang sakit demam.
Pek Lian, dua orang gurunya, juga dua orang pengawal lihai itu, tak terkecuali, semua menggigil dan kepanasan silih berganti. Hanya pemuda Lembah Yang-ce, karena tadi ketika menangkis tubuhnya roboh, terbebas dari hawa beracun yang hebat itu.
Panglima itu, Jenderal Beng Tian, melihat hal ini, berobahlah wajahnya. Dari atas kudanya dia mengirim pukulan dorongan kedua tangannya berganti-ganti. Pria dan wanita itu terdorong mundur oleh hawa pukulan ini dan mereka berteriak kesakitan. Sementara itu, Beng-goanswe sudah berteriak memberi peringatan kepada anak buahnya.
"Semua mundur! Awas pukulan Im-yang Tok-ciang mereka! Sangat beracun. Mereka adalah iblis-iblis dari Pulau Selaksa Setan!"
Sambil berkata demikian, Jenderal Beng Tian melompat turun dari atas kudanya agar dapat bergerak lebih leluasa. Akan tetapi, sepasang laki perempuan itu telah meloncat ke atas gerobak dan dari tangan mereka berhamburan pasir-pasir putih beracun ke arah sepasang panglima dan para perajurit yang hendak mengejar. Panglima itu dan dua orang pengawalnya saja yang masih menggigil, yang dapat menghindarkan dirinya.
Para pera-jurit, delapan orang banyaknya, roboh dan menjerit-jerit, bergulingan karena pasir-pasir putih itu mengandung racun yang mendatangkan rasa gatal-gatal dan panas. Gerobak itu telah dilarikan secepatnya, diseret oleh dua ekor kudanya meninggalkan tempat itu. Hampir saja gerobak itu bertabrakan dengan sebuah kereta yang juga bergerak datang dengan cepat.
Akan tetapi ternyata kakek yang mengusiri gerobak, juga seorang laki-laki setengah tua yang mengusiri kereta itu, amat cekatan. Sambil memaki, kakek pengemudi gerobak itu dapat menyim-pangkan gerobaknya ke kiri, demikian pula kereta itupun menyimpang ke kiri sehingga tubrukan dapat dihindarkan. Kereta itu berhenti dan secepat kilat, tiga orang kakek, yaitu kawan-kawan dari kokcu Lembah Yang-ce, berloncatan keluar. Mereka sudah bersiap-siap untuk menghadapi panglima yang lihai itu.
Akan tetapi tiba-tiba kedua pengawal dari jenderal itu mengeluh kepanasan oleh racun pukulan suami isteri aneh tadi, maka pertempuran dengan sendirinya berhenti. Tiga orang kakek itu lalu mengangkat pemuda Lembah Yang-ce, juga Pek Lian dan dua orang gurunya ditarik naik memasuki kereta, lalu kereta itu dilarikan secepatnya.
Panglima yang masih gentar menghadapi suami isteri yang tiba-tiba saja muncul dan seolah-olah juga menentangnya itu, apa lagi melihat dua orang pengawalnya sudah terluka, cepat bersuit panjang memberi isyarat kepada pasukannya untuk mengejar dan menghalangi orang-orang yang memberontak itu untuk melarikan diri.
Maklum bahwa tidaklah mudah untuk dapat melarikan kereta itu dari pengejaran pasukan, apa lagi melihat kenyataan yang tidak menguntungkan betapa kokcu Lembah Yang-ce telah terluka parah, bahkan tiga orang pendekar dari Puncak Awan Biru yang dapat diharapkan bantuannya itupun telah menggigil panas dingin, maka tiga orang kakek dari Lembah Yang-ce itu membalapkan kereta sedapat mungkin untuk mencapai hutan di depan...