Darah Pendekar Jilid 05 karya Kho Ping Hoo - BACOKAN golok yang berdesing itu tepat mengenai punggung yang tertutup mantel hitam, membacok dengan kuat sekali, akan tetapi golok itu mental dan mantel itu sedikitpun tidak robek, apa lagi punggungnya. Agaknya terasapun tidak oleh si iblis itu.
Tentu saja semua orang, termasuk mereka yang bersembunyi di dalam kuil, terkejut, kagum dan gentar sekali menyaksikan kehebatan iblis itu. Kiranya, iblis inipun menggunakan mantel pusaka yang menurut dongeng memang kebal terhadap segala macam senjata. Kembali terbukti ciri khas dari si Raja Kelelawar!
Setelah bacokan itu mental, barulah iblis itu menoleh dan melepaskan tubuh Maling Cantik yang tadi dipeluknya. Wanita cantik itu terhuyung dan kedua kakinya masih terasa lemas, akan tetapi semangatnya pulih kembali setelah ia dilepaskan dan ia hanya dapat memandang jerih.
Kini Tiat-ciang Ciong Lek yang berdiri seperti terpesona memandang iblis itu dan dia bergidik melihat betapa sepasang mata yang mencorong itu dingin sekali terasa menusuk jantungnya. Biarpun iblis itu tidak membuka mulutnya, akan tetapi terdengar ada suara siulan dari bibirnya. Siulan ini dijawab oleh suara mencicit dan kelepak sayap. Ternyata binatang kelelawar raksasa yang tadi bergantung di dahan pohon, sudah terbang ke atas lalu menukik ke bawah, ke arah si perampok tunggal Ciong Lek!
Perampok ini tentu saja cepat menggerakkan goloknya untuk melakukan perlawanan, akan tetapi tiba-tiba saja dia tidak mampu bergerak goloknya masih diangkatnya tinggi-tinggi dan tubuhnya seperti mendadak menjadi kaku. Kelela-war raksasa itu meluncur dan menyambar.
"Plokk!" Kelelawar itu menerkam ke arah leher si perampok tunggal, mencengkeram leher itu sebentar dan ketika binatang ini terbang lagi, nampak darah menyembur keluar dari urat nadi leher yang putus tergigit dan terhisap oleh kelelawar itu!
Si perampok tunggal Tiat-ciang Ciong Lek terbelalak, lalu terdengar lehernya mengeluarkan pekik mengerikan dan tubuhnya terguling dan roboh atas tanah, berkelojotan sebentar lalu terdiam karena darahnya habis, sebagian terhisap kelelawar itu dan sebagian lagi membanjir keluar. Semua orang memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat.
Kembali si iblis mengeluarkan suara ketawa yang menyeramkan, ketawanya mencicit seperti bunyi kelelawar atau bunyi tikus-tikus bercanda. "Masih ada lagi yang meragukan kemampuanku dan ingin melawanku?" terdengar dia bertanya sambil memandang ke sekeliling.
Tidak ada yang berani menjawab biarpun yang hadir adalah tokoh-tokoh dunia hitam yang biasanya sewenang-wenang dan tidak mengenal takut. Agaknya, nama Raja Kelelawar sudah sedemikian besar pengaruhnya, ditambah kekejaman iblis ini yang mengaku sebagai keturunan Raja Kelelawar, juga kelihaiannya membuat semua orang maklum bahwa mereka berhadapan dengan orang yang pandai sekali.
Sin-go Mo Kai Ci si Buaya Sakti dan San-hek-houw si Harimau Gunung adalah dua di antara Sam-ok yang dianggap merajai para anggauta liok-lim di bidang masing-masing. Selama ini, mereka bertigalah yang berdaulat penuh dan ditakuti semua penjahat, balikan kalau di antara penjahat timbul pertikaian, mereka inilah yang dianggap berhak untuk mengadili dan menjatuhkan keputusan.
Kini muncul si iblis yang mengerikan, dan tentu saja kalau iblis ini hendak mengangkat diri sendiri menjadi datuk kaum sesat, hal ini sama dengan merendahkan nama Sam-ok sebagai raja-raja kaum sesat. Akan tetapi, mereka berdua adalah orang-orang yang berilmu tinggi dan yang dapat melihat bahwa iblis yang baru muncul ini memang hebat bukan main.
Si Buaya Sakti dan si Harimau Gunung yang tadi hampir saja berhantam sendiri kini saling pandang dan dari pandang mata ini mereka sudah bersepakat untuk bersama-sama menghadapi pendatang baru yang mengancam kedudukan mereka ini.
San-hek-houw lalu melangkah maju dan rantai yang ujungnya bertombak itu telah diiilitkan-nya di pinggang. Dia membungkuk sebagai tanda penghormatan, lalu berkata, suaranya lantang agar terdengar oleh semua tokoh yang hadir.
"Kami semua tentu saja mengenal nama mendiang yang mulia Bit-bo-ong dan menganggap beliau sebagai datuk atau raja kami yang kami muliakan. Akan tetapi, terus terang saja, kami semua belum pernah mendengar akan adanya murid atau keturunan beliau, dan bukan sekali-kali kami berani menentang keturunan beliau. Hanya kami mohon petunjuk apakah benar bahwa locianpwe adalah keturunan beliau.
"Kalau memang benar demikian dan kalau memang benar bahwa di antara kami semua tidak ada yang dapat mengatasi kepandaian locianpwe, tentu saja kami semua akan tunduk dan dengan suka hati mengangkat locianpwe sebagai keturunan beliau dan menjadi raja baru kami."
Semua orang mengeluarkan suara menggumam menyatakan persetujuan mereka. Si iblis hitam tertawa. Wajah yang nampak angker itu tidak bergerak kulitnya, tanda bahwa di luar kulit muka itu dia memakai topeng tipis sehingga mudah diduga bahwa wajah yang menyeramkan ini bukanlah wajah yang sesungguhnya yang berada di balik topeng tipis.
"Ha-ha-ha, omonganmu memang benar, San-hek-houw. Dan untung engkau berpendapat demikian, karena kalau tidak, tentu ketiga Sam-ok akan kubunuh lebih dulu. Aku tahu bahwa Tung-hai-tiauw si Rajawali, Sin-go Mo Kai Ci si Buaya Sakti, dan engkau sendiri San-hek-houw si Harimau Gunung, merupakan Sam-ok, tiga se-rangkai yang merajai bidang masing-masing di Pegunungan, sungai-sungai, dan lautan.
"Karena kalian memandang kepadaku maka akupun suka mengangkat kalian meniadi pembantu-pembantuku Dan untuk membuktikan bahwa aku adalah keturunan dari Bit-bo-ong, biarlah kalian berdua maju menandingiku. Dengar baik-baik. Kalau dalam sepuluh jurus aku tidak mampu mengalahkan kalian berdua, biarlah aku menarik kembali omonganku dan aku tidak akan mencampuri dunia kalian. Akan tetapi kalau aku menang, siapapun yang berani membantah akan kubunuh. Mengerti? Nah, kalian majulah! Jangan takut, aku tidak akan Membunuh calon pembantu-pembantuku!"
Ucapan ini sungguh tekebur bukan main. Sam-ok terkenal memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan sekarang, dua orang di antara mereka ditantang oleh si iblis untuk dikalahkannya dalam waktu sepuluh jurus saja! Si Buaya Sakti dan si Harimau Gunung juga saling pandang dan muka mereka menjadi merah karena merasa marah dan penasaran sekali. Iblis ini sungguh sombong, dan lebih dari itu, kalau sampai mereka berdua yang mengeroyok seorang sampai kalah dalam sepuluh jurus sungguh hal ini akan membuat mereka merasa ma-lu sekali.
"Baiklah, locianpwe. Kami mohon petunjuk untuk meyakinkan hati kami semua!" kata si Harimau Gunung yang sudah melolos rantai dari pinggangnya sedangkan si Buaya Sakti juga sudah melangkah maju dengan melintangkan senjata tong-kat bajanya di depan dada.
"Bagus, majulah. Aku akan memberi kesempatan kepada kalian untuk masing-masing menyerangku selama lima jurus, baru kemudian aku mem-balas, dan kalau kalian dapat bertahan sampai tiga jurus saja sudah boleh dibilang bagus!" kata si iblis itu dan ini menambah kesombongannya.
"Lihat serangan!" Si Buaya Sakti berteriak marah. Biasanya, dalam dunia hitam tidak berlaku segala macam aturan sopan santun, bahkan biasa-nya mereka itu melakukan serangan secara menggelap, maka bentakan si Buaya Sakti ini merupakan suatu keanehan.
Hal ini menunjukkan bahwa biarpun dia marah, pada hakekatnya si Buaya Sakti ini merasa jerih sekali maka dia mengeluarkan seruan yang di kalangan persilatan, terutama di kalangan para pendekar, sudah menjadi lajim, yaitu sebelum menyerang, memberi peringatan lebih dulu kepada yang diserang, sebagai tanda kegagahan.
Senjata tongkat pendek besar dari baja putih itu amat berat dan kini digerakkan dengan cepat sekali, membuktikan besarnya tenaga si Buaya Sakti itu. Tongkatnya menjadi sinar putih yang besar menyambar ke arah kepala si iblis berpakaian hi-tam, dan tangan kiri si Buaya Sakti masih menyusulkan cengkeraman ke arah pusar. Serangan pertama ini sungguh merupakan serangan dahsyat sekali dan dapat mendatangkan maut.
San-hek-houw si Harimau Gunung lebih cerdik. Melihat rekannya sudah menyerang, dia menggunakan kesempatan ini untuk menggerakkan rantainya dan nampak sinar bergulung-gulung ketika rantainya itu membuat serangan dari kanan ke kiri, dari bawah menyerang kaki lalu terus membubung ke atas, merupakan serangan sinar berpusing yang berbahaya dan sukar sekali dielakkan lawan!
"Satu jurus!" Terdengar suara melengking dari si iblis hitam, akan tetapi hanya suaranya saja yang terdengar oleh dua orang lawan dan oleh semua orang itu, karena dua orang lawan itu telah kehilangan orangnya!
Kiranya, dengan menggunakan ginkang yang sukar dapat diikuti oleh mata saking cepatnya, begitu serangan menyambar, tubuh si iblis itu telah mencelat ke atas sehingga serangan rantai itu tidak mengenai sasaran bahkan kehilang-an sasaran dan tahu-tahu kaki si iblis itu telah berada di ujung tongkat baja putih yang tadi dipergunakan oleh Buaya Sakti untuk menghantam kepalanya!
Memang sukar dapat dipercaya kalau tidak dilihat sendiri betapa orang yang kepalanya diserang, tahu-tahu sudah berada di atas dan berdiri di atas tongkat yang tadi menghantam ke arah kepala itu. Ketika si Buaya Sakti hendak menggerakkan tongkatnya, tiba-tiba saja tongkat yang diinjak kaki iblis itu menjadi berat dan hampir saja dia tidak kuat menahan lagi. Akan tetapi ti-ba-tiba iblis hitam itu telah meloncat turun lagi sambil tersenyum.
Dua orang itu merasa penasaran sekali dan mereka lalu menubruk maju lagi dengan serangan berganda yang lebih dahsyat lagi. Kini rantai itu mengeluarkan suara meledak-ledak dan menghan-tam dari atas dengan lecutan yang membuat ujung-nya berbentuk tombak berkait itu menyambar-nyambar ke arah kepala si iblis hitam, sementara itu, tongkat pendek yang berat itupun sudah menyodok ke arah perut.
"Dua jurus!" kembali terdengar si iblis hitam berseru dan sekali ini dia tidak mendemonstrasikan kelincahan gerakannya melainkan ketangkasan kedua tangannya. Tangan kirinya bergerak ke atas dan tangan kanan bergerak ke bawah dan dengan tepat sekali kedua tangan terbuka itu telah menangkis dua senjata itu.
"Plakk! Plaakkk!"
Dua orang raja para penjahat itu berseru kaget karena mereka merasa betapa tangan mereka menjadi panas dan nyeri sekali, sedangkan sebelah lengan yang memegang senjata terasa seperti lumpuh. Akan tetapi hal ini hanya sebentar saja dan lenyap setelah si iblis itu menarik kembali tangannya sambil tertawa dan dia sudah siap lagi menghadapi serangan kedua orang itu.
Dua orang itu kini menggunakan kecepatan, memutar-mutar senjata mereka menjadi bentuk sinar bergulung-gulung lalu keduanya menyerang dengan cepat. Dan kembali si iblis memperlihatkan bahwa gerakannya jauh lebih cepat dari pada kedua senjata itu, tubuhnya lenyap berkelebatan seolah-olah dia dapat menyusup di antara gulungan sinar kedua senjata itu sambil terus menghitung jurus-jurus penyerangan lawan sampai lima kali dan kedua senjata itu tidak pernah dapat menyentuh ujung bajunya sekalipun!
Setelah lewat lima jurus, tiba-tiba iblis hitam itu tertawa melengking disambung suaranya yang terwibawa, "Awas terhadap seranganku!"
Dan tiba-tiba saja dua orang raja penjahat itu menjadi bingung dan silau karena tubuh hitam itu berkelebat sedemikian cepatnya sehingga mereka tidak tahu ke mana arah penyerangan lawan aneh ini.
"Jurus pertama!" kata raja iblis itu dan dua orang lawannya menggerakkan senjata mereka untuk menangkis dan melindungi diri.
Akan tetapi tiba-tiba saja tangan yang memegang senjata terasa lumpuh dan mereka melihat sepasang mata, yang mencorong penuh wibawa, membuat mereka menjadi lemas seketika dan iblis hitam itu hanya sekali menggerakkan kaki, akan tetapi kaki itu su-dah dua kali menendang dan tubuh kedua orang itu terlempar sampai tiga tombak ke belakang dan terbanting keras!
Untung bahwa si iblis tidak mempergunakan tenaga sinkang ketika menendang sehingga dua orang itu tidak terluka parah, hanya babak bundas saja karena terbanting tadi. Mereka bangkit berdiri, hampir tidak percaya kalau tidak mengalami sendiri. Mereka telah dirobohkan dalam satu jurus saja! Akan tetapi mereka bukanlah orang-orang bodoh dan mereka sudah yakin kini bahwa orang berpakaian hitam di depan mereka itu memang memiliki ilmu kepandaian, yang mujijat sekali dan sudah selayaknya kalau menjadi raja mereka semua.
Maka mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut, menghadap iblis hitam itu! Melihat perbuatan dua orang yang selama ini me-reka anggap sebagai raja, tentu saja para tokoh liok-hm yang hadir di situ terkejut bukan main dan satu demi satu merekapun lalu menjatuhkan diri berlutut, termasuk si Maling Cantik Pek-pi Siauw-kwi dan si penjahat cabul Jai-hwa Toat-beng-kwi!
"Ha-ha-ha-ha! Bagus sekali kalau kalian sudah mengakui aku sebagai raja kalian! Jangan khawatir, seperti yang telah dilakukan oleh kakekku dahulu, aku akan memimpin kalian dan dunia hitam kita akan menjadi jaya kembali!"
Mendengar ini, semua penjahat yang berkumpul di situ bersorak gembira. Iblis hitam itu mengangkat lengan kanannya ke atas dan suara berisik mereka itu tiba-tiba sirap dan berhenti sama. sekali. "Dan aku tetap melanjutkan julukan kakekku, yaitu Bit-bo-ong dan kalian semua harus menyebut ong-ya kepadaku!"
Kembali mereka bersorak dan ketika ada yang berteriak, "Hidup ong-ya...!" maka mereka semua juga ikut berteriak-teriak.
Akan tetapi kembali Raja Kelelawar itu mengangkat tangan kanannya ke atas dan semua orang terdiam kembali. Dengan muka kelihatan marah Raja Kelelawar atau Bit-bo-ong itu menoleh ke arah kuil dan terdengar suaranya yang melengking tinggi.
"Siapa berani tidak berlutut kepadaku? Kalian yang berada di dalam kuil, tidak lekas keluar?" Raja Kelelawar lalu menggerakkan tangannya sambil melangkah mendekati kuil, kedua tangannya mendorong dan terdengar suara keras ketika sebagian dari dinding kuil tua itu ambruk menge-luarkan suara gemuruh dan debu mengebul ke atas!
Tentu saja Pek kian dan enam orang lainnya terkejut bukan main. Kiranya iblis itu telah mengetahui bahwa di dalam kuil ada orangnya dan kalau tadi iblis itu tidak turun tangan adalah karena mengira bahwa mereka juga anggauta dunia hitam. Setelah semua orang berlutut dan hanya mereka yang bersembunyi itu saja yang tidak, agaknya barulah iblis itu tahu dan menegur.
Tentu saja tujuh orang yang bersembunyi di dalam menjadi terkejut dan karena mereka tahu bahwa tempat persembunyian mereka telah diketahui orang, maka terpaksa mereka lalu keluar dari pintu kuil, apa lagi karena sebagian tembok dan atap telah ambruk dan tadi terpaksa mereka harus berloncatan menghindar dan kini mereka semua keluar.
Kwee Tiong Li yang biarpun masih lemah dari belum pulih kembali tenaganya, merasa bahwa dialah yang menjadi pemimpin dan bertanggung jawab, cepat maju dan memberi hormat kepada Bit-bo-ong atau Raja Kelelawar. "Harap locian-pwe sudi memafkan kami yang tidak sengaja hendak mengintai. Kami hanya kebetulan berada di dalam kuil, lama sebelum locianpwe dan para saudara datang berkumpul di luar kuil."
Sepasang mata Raja Kelelawar yang mencorong itu menyapu tujuh orang yang keluar dari dalam kuil, alisnya berkerut dan jelas bahwa dia merasa tidak senang hatinya. "Kenapa kalian bersembunyi dan tidak keluar?" bentaknya.
"Maaf, locianpwe, kami merasa sebagai orang luar maka kami tidak berani mengganggu!"
"Siapakah kalian?"
"Kami.... kami hanya pelancong-pelancong yang kemalaman di sini" Pemuda itu tidak mau memperkenalkan diri mereka.
"Dia itu Kim-suipoa!" Tiba-tiba berteriak seorang, di antara para penjahat yang mengenal pendekar tua itu.
"Dan itu dia Pek-bin-houw!" teriak seorang lain.
Mendengar disebutnya dua nama ini, tiba-tiba Raja Kelelawar tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kiranya hanya kaum pemberontak hina? Kalian sudah mengintai kami, harus mampus semua!" Dan diapun lalu mendorongkan tangannya yang sakti ke arah Kwee Tiong Li!
Pemuda ini terkejut. Dia masih belum memperoleh kembali tenaganya dan sedapat mungkin dia meloncat ke kiri untuk menghindarkan diri. Akan tetapi tetap saja angin pukulan itu menyambar dan diapun terguling dan jatuh terduduk di bawah pohon depan kuil. Sambil tertawa Raja Kelelawar melangkah dan hendak memukul, akan tetapi pada saat itu, Yang-ce Sam-lo tentu saja sudah meloncat ke depan dan menyerangnya untuk menolong ketua rnereka.
"Dessss...!!" Raja Kelelawar mengibaskan tangannya menyambut mereka dan tiga orang Yang-ce Sam-lo yang lihai itupun terlempar dan terbanting jatuh semua!
"Manusia iblis!" Tiba-tiba Pek Lian sudah menerjang dengan pedangnya.
"Cringg......!" Pedang itu disampok oleh tangan Raja Kelelawar dan terlepas dari pegangan Pek Lian, dan sebelum Pek Lian mampu mengelak, pergelangan tangan kanannya telah dipegang oleh tangan kanan Raja Kelelawar! Melihat ini, Kim-suipoa dan Pek-bin-houw segera menerjang ma-ju untuk menolong, akan tetapi Raja Kelelawar menggerakkan kakinya dan dua orang itupun terlempar dan terbanting jauh!
"Heh-heh-heh, ternyata engkau cantik sekali lebih cantik dan manis dibandingkan Maling Cantik. Ha-ha-ha, dan engkau masih perawan. Bagus...!"
Pek Lian yang dipegang pergelangan tangan kanannya meronta dan hendak memukul dengan tangan kirinya, akan tetapi ketika dia bertemu pandang dengan iblis itu, tiba-tiba kepalanya terasa pening dan tenaganya menjadi lemas dan habislah semangat melawannya. Iblis itu menariknya dan agaknya hendak mencium.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa perlahan dan lembut dari dalam kuil. Mendengar suara ketawa halus yang mengandung getaran sampai terasa oleh jantungnya itu, Raja Kelelawar terkejut dan mengangkat muka memandang.
Tiba-tiba dari dalam kuil muncul seorang kakek berjenggot putih yang memegang sebatang tongkat butut. Orang tua ini mengangkat tangan kirinya ke atas dan berkata kepada Raja Kelelawar, "Heh-heh-heh, nama Raja Kelelawar terlalu besar dan gagah untuk dirusak oleh perlakuan rendah terhadap seorang nona muda. Raja Kelelawar, kalau memang engkau gagah, lepaskan nona muda itu!"
Raja Kelelawar sejenak meragu dan dia memandang penuh perhatian. Seorang kakek tua yang sederhana saja, dengan jubah seperti pertapa dan tubuhnya agak kecil, akan tetapi ketika bertemu pandang mata dengan kakek itu, Bit-bo-ong baru ini terkejut melihat sepasang mata tua itu berkilat-kilat sebagai pertanda bahwa kakek itu bukan orang sembarangan.
Dan kakek itu memang cerdik, menantangnya untuk melepaskan gadis itu sebagai orang gagah sehingga kalau tidak dilepaskannya, sama saja mengakui bahwa dia bukan orang gagah! Maka didorongnya Pek Lian sehingga gadis itu terjengkang, hampir menimpa tubuh Tiong Li yang masih rebah di atas tanah.
Kakek itu lalu berkata kepada Pek Lian, "Nona, lekas bantu dia dan menjauhlah dari sini."
Pek Lian, dibantu oleh Yang-ce Sam-lo dan juga oleh dua orang gurunya yang sudah datang .endekat, lalu memapah Tiong Li menjauhi Raja Kelelawar yang kini sama sekali tidak lagi memperdulikan mereka, melainkan menghadapi kakek bertongkat itu dengan sinar mata tajam. Dia tahu bahwa kakek ini adalah orang yang pandai sekali dan dia dapat menduga bahwa sekali ini dia akan menghadapi lawan yang amat tangguh. Dia sama sekali tidak merasa gentar.
Tidak ada apapun di dunia ini yang dapat membuatnya merasa takut. Akan tetapi, di depan semua tokoh sesat di mana baru saja dia diangkat sebagai raja-di-raja, dia harus dapat cepat menundukkan orang ini yang dianggap sebagai musuh pertama yang melintang di jalan. Kalau tidak, hal itu tentu akan menurunkan martabatnya yang telah terangkat tinggi sejak kemunculannya tadi.
"Orang tua, dengarlah baik-baik. Kalau engkau bisa menandingi ilmuku, maka tujuh orang itu akan kubebaskan. Kalau engkau tidak mampu, mereka semua dan engkau juga akan kubunuh di sini!" Suara yang melengking tinggi itu terdengar mengerikan sekali.
Mendengar ini, Tiong Li, Pek Lian dan lima orang tua terkejut bukan main. Mereka kini dapat menduga bahwa suara batuk-batuk yang pernah mereka dengar tanpa melihat orangnya, tentulah kakek bertongkat ini yang melakukannya, untuk memberi peringatan kepada mereka akan bahaya yang mengancam dari para orang sesat yang berkumpul di luar kuil.
Akan tetapi kakek itu nampak tenang-tenang saja bahkan lalu terkekeh, kelihatan girang sekali, "Heh-heh, benarkah begitu? Ah, terima kasih terima kasih! Akan tetapi, kalau engkau memang benar keturunan Raja Kelelawar, ilmu yang manakah yang harus kutandingi? Sejak muda sudah kudengar bahwa Raja Kelelawar memiliki beberapa ilmu simpanan yang diandalkan, yaitu antara lain Ilmu Bu-eng Hwee-teng (Loncat Terbang Tanpa Bayangan) yang merupakan ginkang yang ama hebat, Ilmu Kim-liong Sin-kun (Silat Sakti Nag Emas) yang merupakan ilmu silat yang amat tinggi mutunya, dan Ilmu Pat-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Delapan Penjuru) yang merupakan gabungan sinkang dan sihir! Yang manakah di antaranya yang harus kuhadapi? Kalau harus menghadapi semuanya, wah, wah, terus terang saja aku yang tua ini tidak akan mampu menandinginya!"
Mendengar ucapan itu, Raja Kelelawar meras bangga dan girang sekali karena ucapan itu mengandung pujian-pujian terhadap ilmu-ilmunya yang didengarkan oleh sekian banyaknya orang sehingga derajatnya makin menaik. Akan tetapi diapun sadar bahwa kakek bertongkat yang telah mengenal ilmu-ilmu simpanan dari perguruannya ini jelas adalah seorang yang amat lihai. Dia harus berhati-hati. Orang selihai ini tidak boleh dihadapi dengan sembrono. Kalau sampai dia dikalahkan di depan semua anak buahnya, tentu namanya akan runtuh. Dan diapun tidak mempunyai permusuhan.
Sementara itu orang-orang yang tadinya bersembunyi di dalam kuil memandang dengan hati diliputi ketegangan, terutama sekali Pek Lian dan kawan-kawannya yang mengerti bahwa nyawa mereka seolah-olah tergantung kepada kakek bertongkat itu!
"Hemmm kalau aku harus melayani ilmumu Pat-hong Sin-ciang, tentu saja aku akan kalah karena aku sudah tua dan sudah puluhan tahun tak pernah berkelahi. Kalau melawan Kim-liong Sin-kun, biarpun aku tidak akan kalah akan tetapi akupun sukar untuk bisa menang. Maka biarlah aku akan mencoba ilmu kesaktian Raja Kelelawar yang pertama tadi, yaitu Bu-eng Hwee-teng yang kabarnya hebat sekali itu."
Semua orang, terutama sekali Tiong Li dan kawan-kawannya, terkejut bukan main mendengar ucapan kakek itu. Bahkan di antara para tokoh sesat yang hadir di situ, ada yang tertawa cekikikan.
"Kek-kek-kek! Tua bangka ini sudah bosan hidup!" Jai-hwa Toat-beng-kwi terkekeh dan mengejek.
"Hi-hik, biar melawankupun takkan menang apa lagi mengadu ginkang melawan ong-ya," kata Pek-pi Siauw-kwi si Maling Cantik.
Kaum sesat adalah orang-orang yang tidak memperdulikan kesopanan dan tidak menghiraukan peraturan, maka biarpun mereka itu amat takut dan takluk terhadap Bit-bo-ong si Raja Kelelawar, namun tetap saja mereka itu bersikap sembarangan dan tidak memakai aturan. Dan Pek-pi Siauw-kwi si Maling Cantik sudah menyebut-nya ong-ya, sebutan untuk raja, pangeran atau juga biasanya untuk menyebut "raja" di antara mereka. Sebutan yang sifatnya menjilat, bukan penghormatan dan penjilatan mengandung rasa takut.
Memang pilihan kakek itu amat menggelikan di samping mengejutkan. Hanya orang yang miring otaknya sajalah yang untuk mengadu ilmu melawan Raja Kelelawar memilih adu ilmu ginkang. Sama saja dengan bunuh diri, seperti ular mencari penggebuk. Seluruh dunia sudah mendengar bahwa di antara sekian banyak ilmunya yang mujijat, ilmu meringankan tubuh inilah justeru yang sangat diandalkan dan dibanggakan oleh mendiang Raja Kelelawar tua dahulu dan ilmu itu telah meng-angkat namanya setinggi langit.
Dunia kang-ouw menganggap bahwa sukar dicari orang yang akan mampu menandingi Bu-eng Hwee-teng, ilmu "terbang" dari raja datuk kaum sesat itu. Sebaliknya, ilmunya yang lain, ilmu silatnya dan ilmu sinkangnya, masih dapat ditandingi oleh para tokoh kang-ouw yang sakti. Dan sekarang, kakek itu memilih ilmu yang hebat itu untuk menandinginya. Gilakah kakek ini? Ataukah memang disengaja untuk menguji kebenaran pengakuan iblis hitam itu bahwa dia benar-benar keturunan mendiang manusia iblis Raja Kelelawar?
Si iblis itu sendiri juga merasa amat heran dan terkejut. Dia memandang bimbang. Benarkah kakek ini ingin menghadapi ilmu ginkangnya yang tak pernah bertemu tanding itu? Semenjak dia mempelajari ilmu warisan dari Raja Kelelawar, justeru ilmu itulah yang dipelajarinya secara sempurna karena dia tahu bahwa ilmu ginkang Bu-eng Hwee-teng itu sukar dicari bandingannya di dunia persilatan. Apakah kakek ini sudah putus asa ataukah gila, ataukah justeru orang ini malah merasa yakin akan dapat mengatasi ilmu itu?
Siapakah orang ini? Dia harus waspada karena pilihan yang aneh ini menimbulkan kecurigaan dan mungkin saja mengandung sesuatu di dalamnya. Bagaimanapun juga, dia amat percaya akan kemampuannya sendiri dalam hal ginkang dan selama ini belum pernah ada orang yang mampu menandingi ilmunya.
Kakek itu sendiri, seorang kakek sederhana saja, agaknya maklum bahwa lawannya merasa bimbang atau memandang rendah dan semua orang mentertawakan dirinya, maka diapun tertawa sambil mengangkat muka memandang ke langit.
"Ha-ha-ha-ha! Kenapa kalian semua heran mendengar aku ingin menghadapi Bu-eng Hwee-teng, ilmu yang amat tersohor dari mendiang Raja Kelelawar... eh, yang lama itu? Dengarlah kalian semua, aku sejak kecil pertama kali mempelajari ilmu silat adalah tentang ginkang ini. Sebelum belajar silat yang lain aku lebih dulu belajar ilmu meringankan tubuh! Ini penting sekali, karena aku dapat berlari cepat dan kalau kalah berkelahi, aku dapat mengandalkan ginkang ini untuk melarikan diri dan aman! Ha-ha-ha!"
Semua orang tertawa, mentertawakan kakek pikun yang mereka anggap sudah tidak waras otaknya ini. Melihat suasana yang tadinya begitu terpengaruh oleh kehadirannya sehingga semua orang nampak serius dan takut kini menjadi hambar oleh suara ketawa mereka karena ulah kakek ini, Raja Kelelawar menjadi marah. Dengan angkuh dia berkata,
"Kakek pikun, menghadapi ilmuku Bu-eng Hwee-teng, engkau tidak usah memenangkan, asal dapat melayaninya saja cukuplah sudah. Kalau dapat menandingi saja, engkau boleh membawa pergi tujuh orang itu."
"Heh-heh, benarkah itu? Heii, dengarlah semua saudara golongan hitam! Pemimpin baru kalian sudah berjanji dan biarpun golongan hitam, janji seorang pemimpin selalu harus dipegang teguh sebagai lambang kekuasaannya, karena hanya anjing rendah sajalah yang menjilat ludahnya sendiri yang sudah dikeluarkan. Terima kasih, marilah kita mulai. Eh, bagaimana aku harus menandingi ginkang Bu-eng Hwee-teng yang amat hebat itu?"
Dengan suara yang tetap bernada tinggi, iblis berpakaian serba hitamitu berkata, "Ginkang mempunyai dua manfaat, yaitu untuk berlari cepat dan untuk bergerak cepat dalam perkelahian. Nah, kita pertandingkan keduanya. Pertama-tama, kita berlumba menaruh dua buah batu ini ke atas puncak bukit di depan sana. Siapa yang kembali ke sini lebih dulu, dia menang."
"Batu-batu ini?" Kakek itu menudingkan tongkatnya kepada dua buah batu sebesar perut kerbau yang berada di dekat tempat itu, di depan kuil. "Wah, tentu berat sekali."
"Orang yang berani menandingi Bu-eng Hwee-teng tentu tidak sukar membawa batu itu!" Tiba-tiba terdengar suara seorang di antara para tokoh kaum sesat itu.
Kakek itu mengangguk-angguk. "Biarlah, biar kucoba tenaga tubuhku yang sudah rapuh ini. Baik, aku setuju. Dan bagaimana dengan pertandingan ke dua? Ingat, aku tidak menantangmu untuk berkelahi!"
"Tidak perlu berkelahi. Untuk pertandingan ke dua, kita masing-masing memakai sebatang daun pada lubang kancing baju dan kita saling berlumba mengambil daun itu dari tubuh lawan. Siapa yang kalah dulu dia kalah."
"Heh-heh-heh, bagus sekali permainan itu. Aku setuju! Hayo kita mulai saja sekarang!" kata kakek bertongkat butut itu sambil mengangguk-angguk setuju.
Tanpa banyak cakap lagi iblis hitam itu lalu menghampiri dua buah batu dan sengaja dia memilih batu yang lebih besar dan sekali kaki kirinya bergerak menendang, batu sebesar perut kerbau itu seperti sebuah bola karet yang ringan saja melambung ke atas dan diterima oleh tangan kirinya yang menyangganya di atas pundak kiri. Begitu mudahnya!
"Bersiaplah membawa batumu!" katanya kepada kakek itu di bawah tepuk sorak para tokoh kaum sesat yang memuji kehebatan tenaga si iblis hitam itu, walaupun banyak di antara mereka yang akan sanggup melakukan hal seperti itu.
Kakek itu memandang dengan mata terbelalak, seperti orang terkejut. "Wah, aku yang tua mana sanggup menggunakan tanganku yang sudah lemah ini untuk mengangkat batu sebesar itu? Biar kuminta tolong tongkatku. Hei, tongkat tua, tolonglah aku sekali ini!"
Dan tongkatnya itu lalu ditusukkan ke arah batu yang sebuah lagi dan "crokkk!" seperti sumpit menusuk tahu saja, tongkat itu amblas memasuki batu itu dan ketika diangkatnya, maka kini kakek itu memanggul tongkat yang ujungnya sudah menusuk batu!
Tentu saja semua orang melongo menyaksikan ini dan diam-diam si iblis hitam juga terkejut. Kiranya kakek ini memiliki tenaga dalam yang demikian kuatnya sehingga disalurkan melalui tongkat, dapat membuat tongkat itu menusuk batu seperti menusuk benda lunak saja.
Karena tidak mau kalah membuat kesan, diapun mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, lalu tiba-tiba saja batu yang disangga tangan kiri itu dilontarkannya ke atas dan ketika batu itu meluncur turun ke arah kepalanya, iblis hitam ini menggunakan tangan kiri yang jari-jarinya diluruskan dan dibuka.
"Crokkk!" Tangan itu amblas memasuki batu sampai dekat siku! Tentu saja semua orang bersorak memuji. Kalau kakek itu menusuk batu dengan tongkat, sekarang si iblis hitam yang menjadi pemimpin mereka itu menusuk batu dengan tangan Degitu saja seolah-olah tangan itu telah berobah menjadi golok tajam runcing dan batu itu berobah lunak sekali!
"Kakek yang nekat, mari kita mulai. Ingat, kita berlumba meletakkan batu ini di puncak bukit sana itu, lalu kembali ke sini. Kuhitung sampai tiga. Satu... dua... tiga!"
Dan orang hanya melihat dua bayangan berkelebat dan tahu-tahu dua orang itu lenyap dari tempat mereka berdiri seperti dua setan yang menghilang saja! Tentu saja semua orang terkejut dan melihat betapa orang-orang yang memiliki kepandaian tertinggi di antara mereka seperti si Buaya Sakti dan si Harimau Gunung memandang ke satu arah, mereka-pun ikut-ikut memandang dan dapat dibayang-kan betapa kagum rasa hati mereka melihat di titik hitam "terbang" menuju ke puncak bukit di depan!
Kehebatan ilmu ginkang dari Raja Kelelawar telah menjadi semacam dongeng, karena Raja Kelelawar telah meninggal dunia puluhan tahun yang lalu. Dan sekarang muncul seorang keturunan yang menguasai semua ilmu-ilmunya, termasuk ilmu ginkang luar biasa itu. Memang jarang ada orang yang sanggup menandingi ginkang dari Raja Kelelawar, karena kalau para ahli yang lain hanya mengandalkan kemampuan tubuh latihan dan kekuatan dalam, Raja Kelelawar mempunyai rahasia-rahasia yang tidak diketahui orang lain.
Ada alat-alat rahasia yang dipakainya, yang membantunya dapat berlari seperti terbang dan bergerak amat lincahnya. Alat-alat rahasia itu sebagian tersembunyi di dalam jubahnya, dan juga di sepatunya yang membuat kakinya seperti menginjak pegas yang dapat membuatnya memantul.
Iblis berpakaian hitam itu dapat menduga akan kelihaian kakek yang menantangnya maka diapun mengerahkan seluruh kemampuannya sehingga tubuhnya bagaikan terbang saja. Dia terkejut melihat betapa kadang-kadang ada bayangan berkelebat di dekatnya, dan tahulah dia bahwa kakek itu benar-benar amat luar biasa, dapat menyamai kecepatan gerakannya. Dan dia menjadi semakin penasaran dan terheran-heran ketika dia meletakkan batu besar itu di puncak bukit, diapun melihat batu yang tadi dibawa oleh kakek itu telah berada di situ!
Maka diapun tidak mau menengok lagi ke sana-sini, melainkan "tancap gas" dan ngebut, secepat mungkin dia terbang menuruni puncak bukit! Ketika dia tiba di situ, terdengar sorak-sorai dan tepuk tangan para "anak buahnya" menyambutnya. Raja Kelelawar menjadi girang sekali dan merasa menang.
Akan tetapi dia mendengar suara terkekeh dan ternyata kakek itupun sudah berada di situ, agaknya bersamaan waktunya dengan dia! Jantung Baja Kelelawar terasa berdebar dan perutnya panas. Dia merasa ditantang benar-benar! Jelaslah bahwa biarpun kakek ini tidak dapat dikatakan menang atau mendahuluinya, akan tetapi setidaknya dapat menyamainya!
"Bagus, sekarang pertandingan ke dua kita mulai," katanya dengan suaranya yang melengking tinggi. "Pertandingan pertama masih belum dapat menentukan siapa menang siapa kalah!"
Berkata demikian, sekali menggerakkan tubuhnya, si iblis hitam telah lenyap dari situ dan sebelum semua orang hilang kagetnya, tubuhnya sudah melayang turun dari atas pohon dan tangannya membawa dua tangkai daun. Dia memberikan setangkai kepada kakek, itu dan memasukkan yang setangkai lagi ke lubang kancing bajunya.
Kakek itupun sambil tersenyum dan terkekeh memasukkan tangkai daun ke lubang kancingnya, lalu menghadapi Raja Kelelawar sambil berkata, "Bu-eng Hwee-teng memang hebat bukan main! Akan tetapi hendaknya diingat bahwa kita tidak sedang berkelahi, melainkan mempergunakan kecepatan gerakan untuk saling merampas daun, Maka, kita berdua cukup mengerti banwa tidak dipergunakan pukulan dan tangkisan dalam lumba ini, melainkan hanya usaha merampas daun dan pengelakan untuk menyelamatkan daun, jadi sepenuhnya menggunakan kecepatan gerakan. Begitu, bukan?"
Si iblis hitam mengangguk. "Begitulah, dan mari kita mulai!" Berkata demikian, tiba-tiba iblis hitam sudah menggerakkan tangannya, cepat sekali, menyambar ke arah dada kakek itu.
"Eeiiiittt, luput!" Si kakek sudah mengelak dengan kecepatan yang tak terduga-duga sehingga tubuhnya seperti menghilang saja.
Selanjutnya, semua orang melihat betapa tubuh dua orang itu benar-benar lenyap bentuknya, yang nampak hanya bayangan berkelebatan sedemikian cepatnya sehingga sukar untuk dapat diikuti dengan pandang mata! Bahkan para tokoh kaum sesat yang sudah tinggi ilmunya menjadi pening dan silau menyaksikan gerakan dua tubuh itu dan kadang-kadang bayangan itu seperti menjadi satu, kadang-kadang saling kejar akan tetapi tidak dapat dibedakan siapa yang dikejar dan siapa yang mengejar.
Bukan main hebatnya permainan kejar-kejaran saling memperebutkan daun ini sehingga seperempat jam lewat sudah, dan semua orang memandang dengan penuh ketegangan. Dua orang yang sedang berlumba itu sendiripun menjadi kagum bukan main karena sampai sekian lamanya, belum juga mereka mampu merampas daun.
Iblis sakti itu mengeluarkan suara melengking nyaring karena penasaran. Sungguh di luar dugaannya bahwa dia akan bertemu dengan seorang kakek yang mampu menandinginya! Dan kakek ini keluar pada saat dia memperkenalkan diri kepada dunia lagi!
Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan seruan kaget karena kini tangan yang mencengkeram ke arah daun itu membalik ke arah lehernya dengan totokan maut! Akan tetapi, kakek ini memang sudah bersiap-siap, maklum akan curang dan kotornya watak seorang dari dunia hitam. Cepat dia mengelak dan pada saat itu, daun di lubang kancingnya telah kena dirampas! Si iblis hitam meloncat ke belakang dan mengangkat tinggi-tinggi daun itu di atas kepalanya.
"Hemm, daunmu telah dapat kuambil!" katanya dan semua tokoh sesat bersorak menyambut kemenangan ini.
Akan tetapi tanpa dilihat siapapun, kakek itu membuka tangannya dan melihat sebuah kancing hitam di telapak tangan kakek itu. Raja Kelelawar terbelalak. Itulah kancingnya, kancing jubahnya! Kalau kancing jubahnya saja dapat diambil kakek itu, apa lagi daunnya. Sengaja kakek itu tidak mau mengambilnya dan sengaja kakek itu mengalah!
Iblis hitam itu adalah seorang yang tingkatnya sudah tinggi sekali, maka diapun maklum bahwa lawan telah mengalah dan memberi muka terang kepadanya. Hal ini berarti bahwa biarpun kakek itu lihai dan mampu mengatasinya, namun kakek itu tidak berniat buruk dari hanya ingin menyelamatkan tujuh orang itu saja. Maka diapun lalu membuang daun itu dan berkata, suaranya melengking nyaring.
"Sudahlah! Betapapun juga, ilmu kepandaianmu hebat dan sudah lebih dari cukup untuk membiarkan engkau membawa pergi tujuh orang itu!" Semua tokoh sesat merasa heran karena tadinya mereka mengira bahwa Raja Kelelawar tentu akan membunuh kakek itu bersama tujuh orang lainnya. Akan tetapi tidak ada seorangpun di antara mereka yang berani membantah.
Kakek itupun membungkuk-bungkuk dan tertawa. "Ahh, ternyata Raja Kelelawar seperti hidup kembali! Kebesarannya sungguh hebat, sesuai dengan perbuatannya dan kegagahannya. Terima kasih, sobat!" Kakek itupun menghampiri Pek Lian dan teman-temannya, lalu berkata. "Orang telah bersikap lunak kepada kita, tidak lekas pergi mau tunggu apa lagi?"
Tujuh orang itu tidak menjawab hanya melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Ketika kakek itu hendak pergi juga, tiba-tiba Raja Kelelawar bertanya, suaranya melengking, membuat Pek Lian dan kawan-kawannya terkejut dan merekapun menghentikan langkah dan menengok, siap menghadapi segala kemungkinan. Hal macam apa saja dapat dilakukan oleh orang-orang dari dunia hitam!
Akan tetapi, ternyata Raja Kelelawar itu hanya bertanya kepada kakek itu dengan suara mengandung geram, "Kakek, siapakah engkau sebenarnya?"
Kakek itu mencoret-coret tanah dengan ujung tongkat bututnya dan menarik napas panjang berulang-ulang sebelum menjawab. "Aihh, belasan tahun hidup aman tenteram penuh damai di puncak gunung, siapa kira hari ini terpaksa terjun ke dalam kekeruhan dunia. Dan tidak nyana sama sekali bahwa mendiang Raja Kelelawar benar-benar telah mempunyai seorang pewaris sepertimu ini. Sungguh mengagumkan. Terus terang saja, selama hidupku, baru sekali ini aku mengalami bertemu tanding yang membuatku kewalahan dalam ilmu ginkang. Padahal, aku mengira bahwa aku telah mewarisi semua kemampuan mendiang guruku yang terkenal, dengan julukan Bu-eng Sin-yok-ong (Si Raja Tabib Sakti Tanpa Bayangan)." Kakek itu menarik napas panjang lagi dan memandang kagum kepada iblis berpakaian hitam itu.
Semua orang terkejut mendengar ucapan kakek itu. Nama Si Raja Tabib Sakti amat terkenal, seperti tokoh dongeng yang sama terkenalnya dengan nama Raja Kelelawar, di jaman dahulu. Juga Pek Lian dan kawan-kawannya memandang heran. Mereka teringat akan keluarga Bu, keturunan dari Raja Tabib Sakti pula, keturunan murid pertama manusia sakti itu.
Juga mereka pernah bertemu dengan murid-murid ketua iblis berambut riap-riapan yang jubahnya bergambar naga, sebagai keturunan murid ke dua si Raja Tabib Sakti. Jadi inikah murid, ke tiga Raja Tabib Sakti yang dikabarkan mewarisi ginkang dari manusia sakti itu? Pantas ginkangnya demikian hebatnya!
Timbul dalam hati Ho Pek Lian untuk menceritakan semua yang telah dialaminya di rumah keluarga Bu, tentang perebutan kitab pusaka pening-galan Raja Tabib Sakti, maka iapun melanjutkan langkahnya diikuti oleh kawan-kawannya mening-galkan tempat itu.
"Heh-heh-heh, selamat tinggal, Raja Kelelawar, atau engkau hendak mempergunakan julukan lain?" kata kakek itu kepada si iblis hitam.
"Tidak! Aku tetap memakai nama Bit-bo-ong si Raja Kelelawar untuk melanjutkan nama besar dari nenek moyangku dan mempersatukan semua sahabat di dunia kang-ouw dan liok-lim."
"Bagus, Raja Kelelawar, selamat tinggal dan sampai jumpa pula."
"Selamat jalan, dan dalam perjumpaan lain kali, bagaimanapun juga aku tidak akan melepaskan engkau begitu saja!" kata si Raja Kelelawar dengan sikap angkuh untuk meyakinkan hati para pengikutnya bahwa dia "lebih unggul" dari pada kakek itu, walaupun di dalam hatinya dia mengakui bahwa ginkangnya masih setingkat kalah oleh kakek itu.
Setelah kakek itu pergi pula mengikuti rom-bongan Pek Lian, si Raja Kelelawar lalu melanjutkan pertemuannya dengan para tokoh sesat. Dengan suaranya yang melengking tinggi dan penuh wibawa dia lalu berkata kepada dua di antara Sam-ok yang hadir, yaitu Sin-go Mo Kai Ci dan San-hek-houw,
"Kalian berdua telah datang dan menyambutku. Itu bagus sekali dan biarlah kalian menjadi pembantu-pembantuku di bidang masing-masing. Akan tetapi mengapa Tung-hai-tiauw tidak muncul di sini?"
Setelah berkata demikian, iblis hitam itu memandang ke sekeliling, seolah-olah hendak mencari orang pertama dari Sam-ok itu di sekitar tempat itu. Suasana menjadi tegang dan semua orang memandang kepada iblis itu dengan rasa takut, khawatir kalau-kalau raja mereka itu marah.
Akhirnya San-hek-houw memberanikan diri menjawab, "Ong-ya, kami semua tidak tahu mengapa dia tidak muncul, mungkin saja terhalang sesuatu."
"Selidiki tentang dia!" kata raja datuk sesat itu. "Kalau dia memang sengaja tidak memenuhi panggilanku, kalian berdua bunuh dia dan bawa kepalanya di depanku! Akan tetapi kalau memang terhalang sesuatu, bantu dia, kemudian ajak dia bersama-sama menghadap padaku."
"Akan tetapi, ong-ya, kalau kami sudah bertemu dengan Tung-hai-tiauw, ke manakah kami harus pergi untuk dapat menghadapmu?" tanya Sin-go Mo Kai Ci.
"Datang saja ke kuil ini!" jawab sang raja singkat. "Akan ada wakilku di manapun kalian kehendaki untuk menghadapku. Tandanya adalah kelelawar itu. Di mana ada kelelawar itu, maka di situ akan terdapat seorang wakilku. Dan kalau kalian ingin langsung menghadapku, dapat kalian pergi ke kota raja."
"Kota raja......?" Tentu saja dua orang raja kecil kaum sesat itu terkejut sekali. Tentu saja mereka terkejut karena kota raja merupakan tempat terakhir yang ingin mereka kunjungi, tempat yang amat berbahaya karena di kota raja terdapat petugas-petugas keamanan yang berilmu tinggi dan merupakan tempat paling tidak aman bagi penjahat-penjahat yang menjadi tokoh besar dan mudah dikenal orang.
"Ya, di kota raja. Di belakang istana kaisar terdapat sebuah kuil kecil. Datanglah ke sana, katakan kepada hwesio penjaga kuil bahwa kalian ingin menghadapku, dan kalau aku kebetulan berada di kota raja, aku akan datang. Seandainya aku tidak sedang berada di sana, dapat kalian meninggalkan pesan kepada hwesio di situ."
"Tapi, ong-ya..." San-hek-houw berkata.
"Jangan bantah! Tidak ada orang yang berani menggangguku di sana! Cukup, aku hendak pergi sekarang."
Akan tetapi dia tidak melangkah pergi, melain-kan memandang ke sekeliling, kepada mereka semua. "Tidak tahukah kalian bagaimana caranya menyambut dan mengantar kepergian Raja Kelelawar, pemimpin besar kalian??"
Semua orang terkejut dan dua orang raja kecil kaum sesat itu lalu membungkuk dengan dalam, tidak berani memandang. Semua orang mengikuti gerakan mereka. Terdengar suara melengking tinggi yang dibalas oleh lengking suara kelelawar besar yang tadi bergantung pada pohon, lalu terasa oleh mereka angin menyambar. Kemudian sunyi. Setelah beberapa lamanya dan mereka mengangkat muka, ternyata iblis berpakaian hitam itu telah lenyap dari tempat itu!
Maka kini meledaklah suara berisik di antara mereka, membicarakan pemimpin mereka itu. Dan rata-rata mereka merasa gembira sekali karena kalau keturunan Raja Kelelawar ini seperti pada jamannya dahulu, maka dunia hitam akan bangkit dan menjadi jaya! Para pendekar tidak akan sembarangan berani menindas mereka, bahkan peme-rintahpun akan bersikap lunak.
Dan dua orang "raja kecil" yang tadinya hampir saja saling serang itu kini hanya dapat saling pandang, merasa seo-lah-olah ada kekuasaan lain yang mengamati me-reka dan merekapun tidak berani berkutik. Mereka merasa seperti seekor harimau yang dicabuti ca-karnya, tidak berani lagi merajalela memperlihat-kan kekuasaan.
Betapapun juga, mereka tidak merasa menyesal karena mereka maklum bahwa dengan munculnya seorang datuk besar seperti Raja Kelelawar itu, kedudukan mereka malah lebih terjamin. Apa lagi sebagai pembantu-pembantu raja datuk itu!
Kemunculan kakek yang mengaku sebagai murid Raja Tabib Sakti saja tentu sudah membuat mereka semua ketakutan dan mungkin saja celaka di tangan orang sakti itu kalau saja di situ tidak ada Raja Kelelawar! Maka mereka merasa terlindung dan Si Buaya Sakti tiba-tiba berteriak, "Hidup Bit-bo-ong pemimpin kita!"
Dan semua orangpun lalu menyambutnya dengan sorakan yang sama sampai berkali-kali sebelum mereka bubar dengan kacau seperti biasa menjadi watak mereka yang tak pernah dapat tertib.
Tujuh orang itu menuruni bukit bersama kakek yang masih berjalan tertatih-tatih dibantu tong-katnya. Tidak ada seorangpun di antara mereka yang mengeluarkan kata-kata ketika mereka menuruni bukit itu, meninggalkan kuil kuno yang kini menjadi tempat mengerikan. Mereka semua merasa seolah-olah mata Raja Kelelawar mengikuti mereka sehingga membuat hati terasa tegang dan tidak enak. Akhirnya, kesunyian yang amat mencekam itu dipecahkan oleh si kakek sakti yang terkekeh.
"Heh-heh-heh, sejak dahulu nama Raja Kelelawar selalu mendatangkan perasaan menyeramkan. Sudah lama meninggalkan dunia, tahu-tahu kini muncul lagi dan aku berani bertaruh bahwa Raja Kelelawar yang sekarang ini tidak kalah lihainya oleh Raja Kelelawar yang tua dan yang sudah tidak ada lagi itu. Sungguh berbahaya!"
Kakek itu berhenti melangkah dan tujuh orang itupun Menghentikan langkah mereka. Kini mereka telah tiba di kaki bukit, sudah jauh dari kuil itu. Melihat kakek itu duduk di tepi jalan kecil, di atas akar pohon yang menonjol keluar dari permukaan bumi, tujuh orang itu saling pandang lalu merekapun semua duduk menghadapi kakek itu.
Bagaimanapun juga, kakek ini telah menyelamatkan nyawa mereka dari ancaman tangan maut Raja Kelelawar. Mereka maklum bahwa mereka semua sudah pasti akan mati kalau tidak ada kakek itu. Baru Raja Kelelawar sendiri saja sudah demikian lihainya sedangkan ketua Lembah Yang-ce, Kwee Tiong Li, masih dalam keadaan lemah, walaupun seandainya dia dalam keadaan sehat sekalipun dia bukanlah lawan Raja Kelelawar.
Selain merasa berhutang budi dan nyawa, juga mereka semua ingin bicara dengan kakek ini, menceritakan pertemuan mereka dengan keluarga Bu yang kemudian melihat keluarga Bu tertimpa malapetaka sedangkan keluarga itu masih ada hubungan dekat dengan kakek ini, masih sekeluarga perguruan. Juga, mereka maklum bahwa kakek ini adalah seorang sakti yang menentang kejahatan dan kelaliman, maka ada baiknya kalau mereka "mendekati" orang sakti ini agar kelak dapat membantu mereka menentang kelaliman kaisar dan kaki tangannya.
Tanpa menanti kakek itu mengeluarkan suara Kwee Tiong Li lalu mewakili teman-temannya memperkenalkan diri sambil memberi hormat, "Lo-cianpwe, setelah menerima budi pertolongan locian-pwe sehingga kami semua masih dapat hidup sampai saat ini, perkenankanlah kami memperkenalkan diri kepada locianpwe."
Kakek itu mengangkat tangannya ke atas sambil tertawa. "Heh-heh, jangan kecewa, aku sudah mengenalmu, orang muda. Engkau adalah ketua Lembah Yang-ce, memimpin para pendekar yang sedang melawan kekuasaan kaisar dan namamu Kwee Tiong Li, engkau murid dari pendekar Chu pemimpin besar para pemberontak, bukan?"
Tiong Li mengangguk dan memandang kagum. Kakek itu tidak perduli lalu menoleh kepada tiga orang kakek pembantunya. "Dan kalian ini yang disebut Yang-ce Sam-lo, pembantu ketua Lembah Yang-ce."
"Locianpwe sungguh berpengetahuan luas dan berpemandangan tajam," puji seorang di antara Yang-ce Sam-lo.
Kembali kakek itu tertawa, ketawanya polos. "Heh-heh, orang yang tahu bukan merupakan hal yang patut dibanggakan. Kalau sudah mendengar dari orang lain, tentu saja tahu, apa sih hebatnya? Aku mendengar nama para pimpinan Lembah Yang-ce dari anak buah Lembah Yang-ce sendiri."
Mendengar ini, giranglah hati Tiong Li. "Ah, kiranya locianpwe yang telah menolong para saudara kami pula? Di manakah mereka sekarang, locianpwe?"
"Tidak jauh dari sini, di sebuah pondok tua kosong di dalam hutan kecil. Terpaksa kusembunyikan di situ karena aku tahu betapa bahayanya kalau mereka berkumpul di dalam kuil itu lalu bertemu dengan para tokoh sesat yang mengadakan pertemuan. Akan tetapi harap kalian maafkan aku. Orang-orang Lembah Yang-ce itu agaknya sudah terbiasa dengan kekerasan dan selalu mencurigai orang. Mereka tidak percaya kepadaku dan terpaksa aku harus menotok roboh mereka dan membawa mereka turun bukit ke hutan itu. Maaf!"
"Ah, kami yang sepatutnya minta maaf kepada locianpwe bahwa para saudara kami itu mencurigai maksud baik locianpwe."
"Dan nona ini siapakah? Juga dua orang saudara yang gagah ini? Apakah juga tokoh-tokoh Lembah Yang-ce?" tanya kakek itu sambil me-mandang kepada Pek Lian dan dua orang gurunya dengan penuh perhatian, terutama sekali kepada Pek Lian kakek itu memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Tiong Li lalu memperkenalkan Pek Lian dan dua orang gurunya sebagai rekan-rekan patriot yang menentang kelaliman kaisar. "Nona Ho Pek Lian ini adalah puteri dari Menteri Ho Ki Liong yang telah ditangkap oleh kaisar dan yang namanya menggemparkan seluruh dunia orang gagah itu."
Kakek itu mengerutkan alisnya. "Aku pernah mendengar akan nama besar menteri kebudayaan itu. Bukankah kabarnya beliau itu menentang pembakaran kitab-kitab Guru Besar Khong Cu yang dilakukan oleh kaki tangan kaisar? Apa yang terjadi dengan dia? Mengapa seorang pejabat tinggi yang demikian baiknya malah ditangkap oleh kaisar?"
Tiong Li memandang kepada Kim-suipoa dan berkata, "Kiranya Tan-lo-enghiong yang dapat berceritera lebih jelas mengenai hal itu, atau nona Ho sendiri."
Ho Pek Lian lalu menceritakan tentang keadaan ayahnya, betapa ayahnya menentang keputusan kaisar yang dianggapnya keterlaluan dan merusak kebudayaan itu, yaitu menentang pembakaran kitab-kitab yang dianggapnya sebagai kitab-kitab kesusasteraan dan kitab-kitab yang menjadi pe-gangan seluruh rakyat tentang cara hidup tata su-sila mereka.
Pada waktu itu, biarpun pelajaran dari Nabi Khong-cu masih belum dianggap sebagai suatu agama dan Nabi Khong-cu sendiri disebut sebagai seorang Guru Besar, namun pelajarannya banyak dianut oleh rakyat sebagai pedoman hidup mereka.
Setelah Pek Lian selesai bercerita tentang ayahnya yang ditangkap oleh kaisar, tentu saja karena hasutan-hasutan pembesar-pembesar lalim dan penjilat, Kim-suipoa dan Pek-bin-houw juga menceritakan tentang kelaliman kaisar, bukan hanya memaksa rakyat bekerja sampai mati untuk membangun Tembok Besar sehingga yang jatuh menjadi korban sampai ratusan ribu orang.
Akan tetapi juga pemerintahan tangan besi yang dijalankan kaisar untuk menekan rakyat, dan semua perbuatan kaisar yang membuat para pendekar diam-diam menentangnya dan menyusun kekuatan untuk memberontak.
Mendengar semua itu, kakek ini menarik napas panjang. "Siancai... siancai... siancai...! Dunia takkan pernah aman, manusia takkan pernah hidup dalam damai selama masih terjadi kekerasan-kekerasan. Sudah menjadi penyakit umum bahwa penguasa mempergunakan tangan besi terhadap rakyat, dibantu oleh semua kaki tangannya, dengan seribu satu macam alasan, katanya demi kebaikan kehidupan rakyat.
"Mengapa para penguasa tidak sadar bahwa rakyat hanya akan menentang karena tidak puas melihat kelaliman mereka? Biasanya, kaisar tidak tahu bagaimana macam para pembantunya yang selalu bertindak sewenang-wenang, memeras dan korup, sama sekali tidak ada ingatan untuk memperbaiki kehidupan rakyat melainkan hanya berlumba untuk mengumpulkan kekayaan bagi dirinya dan keluarganya sendiri saja.
"Mengapa kaisar sejak dahulu sampai sekarang tidak mau menyadari bahwa dia dikelilingi oleh orang-orang yang sifatnya penjilat ke atas dan menindas ke bawah? Aihh, kapankah ada kaisar seperti Bu Ong yang akan memerintah dengan adil dan bijaksana? Seorang kaisar sepatutnya menggunakan tangan besi terhadap bawahannya, terhadap semua kaki tangannya agar semua pejabat menjadi pejabat yang bijaksana dan baik.
"Bukan mempergunakan tangan besi terhadap rakyat! Salahnya, hampir semua kaisar tidak menyadari bahwa dia dibantu oleh iblis-iblis yang korup, yang memeras rakyat akan tetapi selalu membuat pelaporan yang baik-baik saja kepada kaisar. Kapankah ada kaisar yang menyelinap di antara rakyat dan menyelidiki sendiri kehidupan rakyat, menyelidiki sendiri cara kerja para pembantunya? Aih, agaknya untuk itu, Thian harus menciptakan manusia-manusia yang khas."
"Locianpwe benar sekali," kata Kim-suipoa sambil menarik napas panjang. "Sang Bijaksana mengajarkan bahwa sebelum mengatur orang lain, harus lebih dulu dapat mengatur diri sendiri. Seorang ayah takkan mungkin dapat mendidik anak-anaknya kalau dia sendiri tidak terdidik, karena dia menjadi contoh dari pada anak-anaknya. Seorang pembesar harus mencuci bersih kedua tangannya sendiri terlebih dahulu sebelum dia ingin melihat anak buahnya bersih. Kalau penguasa yang di atas korup, mana mungkin bawahannya jujur dart tidak korup? Akan tetapi, kalau atasannya bersih, tentu dia akan berani bertindak terhadap bawahannya yang kotor."
Pek-bin-houw menarik napas panjang. "Siancai..., alangkah akan senangnya kalau keadaan pemerintahan dapat seperti itu. Sayang, kaum atasan hanya menuntut agar bawahannya bersih, dan hal ini sama sekali tidak mungkin selama dia sendiri masih kotor. Bawahan mencontoh atasan, dan pula, atasan yang kotor mana akan ditaati oleh bawahannya? Sungguh sayang...!"
"Munculnya Raja Kelelawar menandakan bahwa kaum sesat kini bangkit dan menjadi semakin kuat. Kalau hal ini ditambah lagi dengan kelaliman kaisar dan kaki tangannya, sungguh amat mengerikan kalau dibayangkan bagaimana akan jadinya dengan nasib rakyat jelata," kata kakek itu sambil menarik napas panjang penuh penyesalan. Keadaan seperti itu tentu akan memaksa orang-orang seperti dia yang tadinya sudah mengasingkan diri dan hidup tenteram dan penuh damai, akan terpaksa terjun ke dunia ramai.
Kalau kita memperhatikan percakapan mereka, sungguh banyak terdapat pelajaran yang dapat diambil berdasarkan kenyataan hidup. Memang tak dapat dipungkiri kebenaran pribahasa yang mengatakan bahwa "guru kencing berdiri, murid kencing berlari". Kebaikan seorang guru belum tentu dapat ditauladani muridnya dengan mudah, namun keburukan seorang guru akan dapat diikutinya dengan amat cepatnya.
Guru dalam hal ini dapat diperluas menjadi orang tua atau juga kepala suatu kelompok atau seorang pemimpin. Betapapun kerasnya seorang ayah melarang anaknya berjudi, kalau dia sendiri seorang penjudi, maka dia tidak akan berhasil. Betapapun kerasnya seorang atasan melarang bawahannya agar tidak korupsi, kalau dia sendiri tukang korup maka usahanya akan sia-sia.
Bawahan selalu condong mencontoh atasan, seperti murid condong mencontoh guru dan anak mencontoh orang tua. Menekan anak, atau murid, atau bawahan untuk meniadi baik, tanpa si orang tua, guru atau atasan lebih dulu membereskan dirinya, tidak akan ada gunanya!
Namun, kekuasaan selalu digandeng oleh kesewenang-wenangan. Orang tua, atau guru, atau pemimpin yang merasa berkuasa, selalu membenarkan dirinya sendiri. Orang tua bilang, berjudi untuk dia tidak apa-apa, akan tetapi tidak boleh untuk anak-anak. Guru mengatakan, tidak sopan sedikit untuk guru tidak mengapa, akan tetapi tidak boleh untuk murid. Atasan bilang, penyalahgunaan wewenang untuk atasan adalah wajar, tapi tidak boleh untuk bawahan!
Seorang kaisar merupakan batang sebuah pohon. Kalau batang itu sehat, ca-bang ranting dan daunnya juga tentu sehat. Akan tetapi kalau batangnya sakit, jangan mengharapkan cabangnya, rantingnya dan daun-daunnya akan tumbuh sehat.
"Locianpwe, belum lama ini kami bertiga telah berjumpa dengan murid keponakan locianpwe." Akhirnya Ho Pek Lian berkata kepada kakek itu setelah percakapan mereka mengenai keadaan negara karena kelaliman kaisar itu mereda.
Kakek itu memandang kepadanya. "Murid keponakan? Yang mana?"
"Namanya Bu Kek Siang," Pek Lian memberi keterangan.
"Bu Kek Siang? Ah, dia itu putera Bu-suheng! Sudah puluhan tahun aku tidak bertemu dengan dia," kata kakek itu, tersenyum dan wajahnya menjadi berseri. "Di antara murid suhu, Bu-suhenglah murid yang boleh dibanggakan mendiang suhu."
"Memang, beliau adalah seorang pendekar yang amat hebat dan budiman, seorang ahli pengobatan yang dalam menolong manusia tidak memandang bulu, sungguh sayang, seorang pendekar sedemikian hebatnya harus tewas dalam keadaan yang amat menyedihkan," kata pula Pek Lian.
Kakek itu tidak nampak terkejut, hanya nampak alisnya yang sudah putih itu berkerut seben-tar. "Kek Siang? Tewas?"
Hanya itulah tanyanya dan Pek Lian lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi di rumah keluarga Bu itu. Kakek itu menarik napas panjang mendengar betapa murid keponakannya itu bersama isterinya tewas di waktu mengobati puteri tokoh iblis Tai-bong-pai, dan yang membuat dia merasa menyesal adalah bahwa kedua orang murid keponakannya itu tewas di tangan murid-murid keponakan lain, yaitu murid-murid dari ji-suhengnya (kakak seperguruan ke dua).
"Hayaaaa...!" Dia mengeluh. "Jadi ji-suheng masih hidup malah mendirikan Perkumpulan Baju Naga. Sungguh luar biasa, sudah tua masih bersemangat! Ji-suheng itu amat lihai, memiliki ilmu silat yang paling hebat di antara kami bertiga. Heran, dia bukan orang jahat, kenapa murid-muridnya begitu kejam, tega membunuh Bu Kek Siang yang masih saudara seperguruan? Mungkinkah ji-suheng tua-tua telah berobah?"
Tujuh orang itu tentu saja tidak berani menanggapi urusan perguruan orang, apa lagi karena mereka merasa bahwa mereka berada di tingkat yang jauh lebih rendah. Kakek itu menarik napas panjang lagi. "Kedua orang anaknya itu... apakah mereka terluka parah?"
"Bu Bwee Hong tidak terluka, akan tetapi kakaknya, Bu Seng Kun, terluka parah. Untunglah bahwa mereka adalah ahli-ahli pengobatan yang pandai sekali sehingga agaknya tidak perlu dikhawatirkan keadaannya, locianpwe," kata Pek Lian.
"Sudahlah, lain hari akan kujenguk mereka. Sekarang mari kutunjukkan kepada kalian di mana kusembunyikan orang-orang Lembah Yang-ce itu."
Kakek itu bangkit dan melangkah dibantu tong-katnya, nampaknya seenaknya saja akan tetapi tujuh orang itu terpaksa harus mengerahkan tenaga Snkang mereka untuk mengikutinya! Bahkan Tiong Li yang masih belum pulih seluruh tenaganya, digandeng oleh dua orang pembantunya dan mereka bertujuh itu harus berlari-larian agar ti-dak sampai tertinggal oleh kakek sakti itu.
Ketika mereka tiba di sebuah hutan kecil, kakek itu memasuki hutan dan tak lama kemudian mereka telah tiba di depan sebuah pondok tua. Kakek itu me-mandang ke arah sebuah gerobak yang berhenti tak jauh dari pondok. Kuda penarik gerobak nampak sedang makan rumput dengan tenangnya, tak jauh dari gerobak itu. Ketika Pek Lian dan kawan-kawannya melihat gerobak itu, mereka terkejut bukan main. Jantung mereka berdebar tegang dan wajah mereka agak pucat oleh rasa khawatir.
Dan gerobak itu bergoyang-goyang mengeluarkan bunyi berkereyotan karena memang gerobak tua. Pada saat itu, Pek Lian menoleh dan saling pandang dengan Tiong Li. Mendadak, keduanya menunduk dengan muka merah karena malu dan jengah. Kembali mereka dihadapkan dengan kecabulan yang tidak tahu malu dari kakek dan nenek iblis pemilik gerobak!
Kakek sakti itupun tidak lama memandang kepada gerobak yang bergoyang-goyang itu, lalu dia melangkah memasuki pondok diikuti oleh tujuh orang pendekar. Akan tetapi, begitu masuk pondok kakek bertongkat itu berseru perlahan, "Siancai... ke mana mereka?"
Tiong Li dan tiga orang Yang-ce Sam-lo memandang kepada kakek itu dengan sinar mata penuh pertanyaan. Hati mereka berempat menjadi tegang dan khawatir sekali. Kalau para anak buah mereka itu bertemu musuh dalam keadaan tertotok, tentu tidak akan ada seorangpun di antara mereka yang dapat lolos dan selamat. Akan tetapi, kalau bertemu musuh dan dibunuh, lalu ke mana perginya mayat-mayat mereka?
Apakah mereka ditemukan oleh pasukan pemerintah yang menawan mereka semua? Akan tetapi, pasukan pemerintah biasanya tidak bersikap demikian lunaknya dan tentu langsung membunuh orang-orang Lembah Yang-ce, walaupun pada saat itu pemerintah membutuhkan banyak tenaga orang-orang hukuman untuk membangun tembok besar.
"Ah, siapa lagi kalau bukan perbuatan dua orang itu?" tiba-tiba kakek itu berkata dan dia-pun sudah berjalan keluar dari dalam pondok, diikuti oleh tujuh orang itu, menghampiri gerobak yang masih bergoyang-goyang. Kakek itu tidak berani lancang menuduh orang, akan tetapi karena di tempat itu tidak terdapat lain orang kecuali pemilik gerobak yang berada di dalam kendaraan itu, diapun menghampiri untuk bertanya.
"Sobat-sobat pemilik gerobak, keluarlah, aku ingin bertanya!" kakek itu berkata dengan suara yang bernada halus.
Tujuh orang pendekar itu memandang dengan khawatir. Tidak ada jawaban, bahkan gerobak itu makin keras guncangannya dan kini terdengar suara cekikikan genit diiringi suara ketawa parau. Jelas suara laki-laki dan wanita! Kakek sakti itu mengangkat alisnya dan kembali dia bertanya.
"Maaf, sobat-sobat yang berada di dalam gerobak. Apakah ada yang melihat orang-orang yang tadinya mengaso di dalam pondok itu? Ke manakah perginya mereka? Apa yang telah terjadi dengan mereka?"
Pertanyaan ini diajukan oleh kakek sakti karena dia maklum bahwa menurut perhitungannya, pada saat itulah orang-orang Lembah Yang-ce itu baru akan dapat pulih dari totok-annya. Jadi tidak mungkin kalau dapat terbebas sebelumnya. Akan tetapi tidak terdengar jawaban dari dalam gerobak dan sendau-gurau di dalam gerobak itu malah lebih seru dan ramai!
"Locianpwe, yang berada di dalam adalah dua orang tokoh terakhir dari Ban-kui-to (Pulau Selaksa Setan)..." tiba-tiba Kim-suipoa membisiki kakek sakti itu. Kakek itu mengerutkan alisnya.
Akan tetapi sebelum kakek itu menjawab atau melakukan sesuatu, tiba-tiba terdengar suara keras dan gerobak itu bergoyang-goyang keras, lalu terdengar suara gedebugan seperti orang berkelahi disusul maki-makian dan tiba-tiba daun pintu gerobak itu jebol dan terlepas dari kaitannya, disu-sul terlemparnya sesosok tubuh setengah telanjang seorang kakek yang begitu terlempar dari atas gerobak lalu berjungkir balik dan bangkit berdiri terus lari.
"Mau lari ke mana kau!" terdengar bentakan dan dari dalam gerobak meloncat seorang nenek yang pakaiannya juga tidak karu-karuan, agaknya dikenakan secara tergesa-gesa dan celananya masih kedodoran. Nenek ini tidak memperdulikan semua orang yang berada di situ, langsung saja mengejar kakek tadi sambil memaki-maki! Sekejap mata saja sepasang iblis itu telah lenyap.
Tentu saja melihat ini, Ho Pek Lian menundukkan mukanya dan merasa jengah sekali. Sepasang iblis tua bangka itu benar-benar keterlaluan sekali! Tujuh orang pendekar itu tadi hanya memandang dengan bengong, tidak tahu harus berbuat apa, sedangkan kakek sakti hanya menggeleng kepala menyaksikan kelakuan sepasang iblis itu.
"Siancai, kiranya Ban-kui-to sampai sekarang masih dihuni iblis-iblis seperti itu. Kalau mereka itu sudah berkeliaran di tempat ramai, hal itupun menjadi tanda-tanda bahwa dunia akan menjadi semakin tidak aman. Ahhh, mana mungkin orang dapat menikmati keheningan lagi melihat munculnya orang-orang seperti Raja Kelelawar dan penghuni Pulau Selaksa Setan itu?"
Mereka mendekati gerobak dan longak-longok mengintai ke dalam. Akan tetapi tidak nampak ada seorangpun manusia di situ, kecuali benda-benda aneh yang mereka duga tentulah barang-barang berbahaya milik sepasang iblis itu. Mereka tidak mengganggu milik orang, melainkan menanti di dalam hutan itu sampai kembalinya sepasang iblis yang tadi lari berkejaran seperti gila itu. Akan tetapi sampai lama sekali, belum juga nampak ada tanda-tandanya nenek dan kakek itu kembali.
Tak lama kemudian, dari dalam hutan mereka melihat banyak orang lewat dan mereka mengenal tokoh-tokoh sesat yang tadi hadir dalam pertemuan mereka menghadap pimpinan baru mereka, si Raja Kelelawar. Mereka tetap tinggal di dalam hutan dan tidak memperlihatkan diri.
Akan tetapi ketika tiba-tiba terdapat serombongan orang menyusup keluar dari balik semak-semak belukar di dalam hutan, tidak jauh dari tempat mereka berada, tujuh orang pendekar itu terkejut dan diam-diam merekapun mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan sambil memandang kepada rombongan orang itu. Mereka itu tadi tidak nampak hadir dalam pertemuan para tokoh sesat.
Mereka berjumlah delapan orang dengan pakaian sutera hitam. Kesemuanya adalah wanita yang sudah setengah tua, antara empatpuluh sampai empatpu-luh lima tahun usianya. Rata-rata bersikap gagah dan gerakannya gesit, dan selain pakaian sutera hitam yang ringkas, juga di sanggul rambut mereka terhias tusuk konde dari batu giok.
Selagi Pek Lian dan kawan-kawannya memperhatikan, tiba-tiba dari lain jurusan muncul pula rombongan empat orang pria yang memakai seragam putih-putih. Di punggung masing-masing terdapat sepasang pedang panjang dan sikap mereka juga gagah sekali, sedangkan usia mereka kurang lebih empatpuluh tahun. Rombongan empat orang seragam putih inipun tadi tidak kelihatan di antara kaum sesat yang berkumpul di depan pondok di atas bukit.
Maka merekapun menduga bahwa agaknya, selain para tokoh sesat yang hadir, kiranya banyak juga terdapat tamu tak diundang yang secara diam-diam berdatangan ke tempat itu secara sembunyi-sembunyi. Ketika kedua rombongan, yaitu delapan orang wanita berpakaian hitam-hitam dan empat orang pria berpakaian putih-putih itu berpapasan di dalam hutan, kedua pihak nampak kaget.
"Ah, mereka berempat itu adalah pendekar-pen-dekar Thian-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Langit) yang terkenal itu!" bisik Kwee Tiong Li. Sebagai ketua Lembah Yang-ce, tentu saja dia sudah banyak mengenal atau mendengar tentang perkumpulan-perkumpulan pendekar lainnya.
"Perkumpulan macam apakah itu?" Pek Lian berbisik, ingin tahu.
"Itu adalah perkumpulan pendekar pedang yang terkenal gagah perkasa. Kalau di daerah untuk daerah utara, nama Thian-kiam-pang amat terkenal, ilmu pedang mereka hebat."
Kini muncul pula rombongan para tosu Bu-tong-pai, terdiri dari lima orang tosu. Kedua rombongan terdahulu segera menyingkir, pergi ke jurusan-jurusan yang berlainan. Juga para tosu Bu-tong-pai itu menyingkir. Mereka adalah tokoh-tokoh dari dunia putih, akan tetapi karena mereka semua datang ke daerah itu sebagai pengintai dan tidak saling berhubungan, maka mereka-pun saling menghindar, tidak ingin berjumpa karena kalau mereka berkumpul, berarti mereka tidak dapat bergerak secara sembunyi-sembunyi lagi.
Kakek itu makin tertarik dan diapun melangkah keluar dari hutan kecil itu, diikuti oleh Tiong Li, Pek Lian dan teman-teman mereka. Dan ternyata banyak bermunculan rombongan-rombongan dan tokoh-tokoh persilatan dari kaum bersih atau dari mereka yang tidak memasukkan dirinya ke dalam kaum bersih maupun kaum sesat, yang ingin berdiri bebas. Melihat betapa banyak orang itu baru mereka ketahui sekarang kehadirannya, diam-diam Ho Pek Lian merasa kagum dan dapat menduga bahwa mereka itu adalah orang-orang yang berkepandaian hebat.
"Siancai...!" Kakek ahli ginkang yang sakti itu berkata setelah melihat betapa banyaknya para pendekar bermunculan setelah pertemuan para tokoh sesat itu bubar, "Agaknya kemunculan keturunan Raja Kelelawar benar-benar membuat dunia persilatan menjadi geger! Bukankah demikian, sobat yang berada di balik semak-semak itu?"
Kalimat terakhir ini ditujukan ke arah semak-semak yang berada di sebelah kiri, beberapa meter jauhnya dari tempat mereka berdiri. Tentu saja tujuh orang pendekar yang mendengar kalimat ini menjadi terheran-heran kemudian terkejut ketika tiba-tiba melihat tiga orang hwesio muncul dari balik semak-semak itu sambil (mengangkat kedua tangan memberi hormat dengan wajah mereka yang alim dan ramah.
"Omitohud..., lo-sicu sungguh bermata tajam bukan main!" seorang di antara mereka memuji. Melihat seorang di antara tiga hwesio berusia kurang lebih enampuluh tahun ini, yang dahinya terhias bekas luka memanjang, Pek-bin-houw Liem Tat cepat maju memberi hormat.
"Ah, kiranya Ta Beng losuhu yang berada di sini. Tidak kami kira bahwa para tokoh Siauw-lim-pai juga hadir di tempat ini! Terimalah hormat saya, losuhu."
Hwesio itu sejenak memandang wajah Pek-bin-houw yang putih, mengingat-ingat, lalu menepuk dahinya dan balas menjura. "Omitohud... bukankah Si Harimau Putih yang berada di sini? Bagaimana kabarnya, sicu? Pinceng mendengar berita bahwa sicu dan kawan-kawan mengadakan gerakan di Lembah Yang-ce sekarang, meninggalkan Huang-ho. Benarkah?"
Pek-bin-houw Liem Tat lalu memperkenalkan hwesio itu kepada teman-temannya. Hwesio itu berjuluk Ta Beng Hwesio, seorang tokoh Siauw-lim-pai, merupakan tokoh ke dua dalam urutan tingkat di Siauw-lim-pai, seorang hwesio yang berilmu tinggi.
"Sicu tentu mencari para pendekar Lembah Yang-ce, bukan?" Tiba-tiba hwesio itu bertanya. "Karena itulah pinceng bertiga sengaja menanti di sini." Lalu Ta Beng Hwesio menceritakan bahwa dia dan dua orang sutenya itulah yang membebaskan totokan para anak buah Lembah Yang-ce itu. "Pinceng melihat munculnya kakek dan nenek iblis dari Ban-kui-to, maka pinceng merasa khawatir melihat mereka itu dalam keadaan tertotok. Kami membebaskan mereka dan menyarankan agar mereka menjauhi tempat itu dan menanti cu-wi (anda sekalian) sebagai pimpinan mereka di dalam dusun di sebelah utara sana."
Mendengar keterangan ini, bukan main girangnya hati Kwee Tiong Li dan tiga orang pembantunya. Cepat dia maju dan memberi hormat. "Sungguh besar budi pertolongan losuhu terhadap kawan-kawan kami. Saya menghaturkan banyak terima kasih."
Ketika hwesio itu mendengar bahwa pemuda yang perkasa ini adalah ketua muda dari Lembah Yang-ce, murid dari pendekar Chu Siang Yu, wajahnya berseri girang. "Ah, kiranya sicu adalah murid Chu-taihiap. Sudah lama sekali pinceng tidak berjumpa dengan dia. Bagaimana kabarnya?"
"Suhu dalam keadaan baik saja, akan tetapi perkumpulan kami di Lembah Yang-ce mengalami pukulan hebat dari pasukan pemerintah."
Tiga orang hwesio itu mengangguk-angguk karena mereka sudah mendengar akan berita buruk itu dari para anak buah Lembah Yang-ce yang mereka bebaskan dari totokan. Mereka lalu berpisah dan kakek sakti bersama tujuh orang pendekar itu menuju ke dusun yang ditunjuk oleh para hwesio Siauw-lim-pai.
"Maafkan pertanyaan saya, locianpwe. Akan tetapi setelah menerima budi pertolongan locian-pwe, kami ingin sekali mengenal nama locianpwe yang mulia. Sudikah locianpwe memberitahukan kami?"
Pertanyaan yang diajukan oleh Pek Lian ini melegakan hati enam orang lainnya karena mereka semuapun ingin sekali mendengar lebih banyak dari kakek sakti ini, hanya karena kakek itu lebih sering berdiam diri seperti orang melamun, mereka merasa ragu-ragu dan tidak enak hati untuk bertanya, hanya mengharapkan kakek itu akan memberitahukan sendiri.
Akan tetapi, kini Pek Lian yang mungkin sebagai seorang dara yang lincah lebih berani dalam hal bertanya seperti itu, te-lah mewakili keinginan hati mereka, maka kini mereka semua memandang kepada kakek sakti itu dengan penuh perhatian.
Kakek itu menarik napas panjang. "Hemm, sudah puluhan tahun aku ingin menyembunyikan diri agar namaku tidak disebut-sebut orang. Siapa tahu, gara-gara Raja kelelawar kedua tanganku menjadi kotor, berlepotan dengan urusan dunia. Datuk-datuk sesat, seperti setan-setan yang keluar dari neraka, telah bermunculan. Biarlah aku menceritakan keadaanku, apa lagi karena kalian telah berkenalan dan menjadi sahabat dari keluarga Bu."
Kakek itu mulai bercerita sambil berjalan. Tujuh orang pendekar mendengarkan dengan penuh perhatian. Gurunya, mendiang Bu-eng Sin-yok-ong atau Raja Tabib Sakti Tanpa Bayangan mem-punyai tiga orang murid. Murid pertama adalah ayah dari Bu Kek Siang dan murid pertama ini mewarisi ilmu pengobatan dan tenaga sinkang yang amat kuat sehingga bagaimanapun juga, dengan kekuatan sinkang itu, dia dapat dikatakan paling unggul di antara tiga orang murid, sesuai dengan kedudukannya sebagai murid tertua.
Murid ke dua adalah seorang yang berasal dari selatan bernama Ouwyang Kwan Ek, yang mewarisi ilmu pukulan sehingga murid ini memiliki ilmu silat yang amat hebat gerakan-gerakannya. Sedangkan orang ke tiga yang menjadi murid termuda dan yang mewarisi ilmu ginkang adalah kakek bertongkat itu yang bernama Kam Song Ki.
Semenjak matinya Raja Tabib Sakti, tiga orang murid ini terpencar dan saling berpisah. Ayah Bu Kek Siang yang bernama Bu Cian itu tinggal di utara. Ouw-yang Kwan Ek yang berasal dari selatan itu kem-bali ke dunia selatan dan tidak pernah terdengar beritanya, sedangkan Kam Song Ki yang memang hidup sendirian saja dan suka merantau, tidak diketahui di mana tempat tinggalnya yang tetap.
Tentu saja di samping mewarisi keahlian-keahlian itu, masing-masing juga mewarisi ilmu silat yang tinggi, ilmu pengobatan dan ilmu ginkang serta tenaga sinkang. Hanya saja, masing-masing telah mewarisi keistimewaan yang diberikan oleh guru mereka disesuaikan dengan bakat masing-masing pula.
"Aku suka merantau, dan aku tidak suka berurusan dengan dunia, seperti juga halnya dengan twa-suheng almarhum. Bahkan ji-suhengpun bi-asanya tidak pernah mau merisaukan urusan dunia sesuai dengan pesan suhu yang tidak ingin murid-muridnya mengandalkan kepandaian untuk melakukan kekerasan dan bermusuhan dengan orang lain.
Maka, sungguh mengherankan sekali kalau kini ji-suheng selain masih hidup, malah juga mendirikan perkumpulan Liong-i-pang (Perkumpulan Jubah Naga) itu, bahkan telah membunuh murid keponakannya sendiri hanya untuk memperebutkan kitab pusaka." Dia menarik napas panjang dengan penuh penyesalan.
Mendengar penuturan singkat itu, tujuh orang pendekar ini menjadi kagum. Kakek ini murid seorang yang kesaktiannya terkenal seperti dewa, dan memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur tingginya. Namun sikapnya demikian sederhana, tidak ingin namanya dikenal orang, bahkan tidak ingin mempergunakan kepandaiannya untuk bermusuhan dengan orang lain.
Dengan kagum Tiong Li lalu memberi hormat. "Penuturan Kam-locianpwe membuka mata kami bahwa makin banyak gandumnya, makin menunduklah tangkainya, makin dalam airnya, makin tenang dan diam. Akan tetapi, kalau para locianpwe seperti Kam-locianpwe tidak mempergunakan kepandaian untuk membendung datuk-datuk hitam yang berkepandaian tinggi, tentu akan lebih parah dan celakalah kehidupan rakyat jelata, dilanda oleh kejahatan mereka."
"Itulah yang menyebalkan!"' kata Kam Song Ki sambil menggurat-guratkan ujung tongkatnya di atas tanah di depannya. "Kemunculan iblis-iblis seperti Raja Kelelawar itu mau tidak mau menyeret pula orang-orang tua yang sudah mendekati lubang kubur seperti aku ini untuk ikut pula meramaikan dunia dengan pertentangan-pertentangan antara manusia!"
Setelah berkata demikian, kakek itu mempercepat langkahnya sehingga semua orang bergegas mengejarnya dan sikap ini seperti menjadi tanda bahwa dia tidak ingin bicara lagi tentang dirinya. Ketika akhirnya mereka tiba di dusun itu, hari telah sore dan keadaan dusun yang agak sunyi itu membuat mereka merasa heran. Bahkan beberapa orang kanak-kanak yang tadinya bermain-main di pekarangan rumah.
Ketika melihat munculnya delapan orang ini, dengan wajah ketakutan mereka melarikan diri memasuki rumah mereka, rumah pondok miskin. Beberapa orang dewasa yang kebetulan berada di luar rumah juga cepat-cepat memasuki rumah dan menutupkan daun pintu rumah mereka. Jelaslah bahwa penduduk di dusun itu dicekam rasa ketakutan melihat orang asing memasuki dusun mereka.
Hal ini hanya berarti bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat. Mereka terus memasuki dusun itu dan ketika mereka tiba di tengah dusun, tiba-tiba saja bermunculan puluhan orang penduduk dusun itu, kesemuanya pria dan mereka membawa alat-alat senjata seadanya, mengurung dengan sikap mengancam.
Melihat ini, kakek itu tenang-tenang saja, akan tetapi Kwee Tiong Li segera mengangkat tangan ke atas dan berkata dengan suara berwibawa, "Saudara-saudara hendaknya jangan salah menyangka orang! Kami bukanlah orang-orang jahat dan kami datang untuk mencari teman-teman kami yang kemarin dulu datang ke tempat ini. Jumlah mereka kurang lebih ada limapuluh orang."
Dari para pengepung itu majulah seorang laki-laki berusia lebih dari empatpuluh tahun. Suaranya agak parau ketika dia berkata, "Mereka semua telah mati! Semua telah mati!"
Tentu saja delapan orang itu terkejut, terutama sekali Tiong Li. "Mati? Kenapa? Siapa membunuh mereka dan mengapa?"
"Malam tadi di sini terjadi pertempuran hebat, antara pasukan pemerintah yang menyergap orang-orang yang agaknya bersembunyi di dusun kami. Kami semua ketakutan, takut terbawa-bawa dan memang ada belasan orang muda di dusun kami yang ikut pula terbunuh karena disangka menyembunyikan mereka. Kami semua bersembunyi ketakutan. Akhirnya, semua orang itu tewas, juga puluhan orang perajurit tewas. Sejak pagi tadi kami penduduk dusun bertugas untuk mengubur semua mayat itu. Mengerikan! Lebih dari seratus mayat terpaksa dikubur dalam beberapa lubang besar saja, di luar dusun..."