Darah Pendekar Jilid 06

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Darah Pendekar Jilid 06
Sonny Ogawa

Darah Pendekar Jilid 06 karya Kho Ping Hoo - MENDENGAR penuturan ini, pucatlah wajah Tiong Li dan Yang-ce Sam-lo. Juga Pek Lian dan dua orang gurunya terkejut sekali. Bagaimanapun juga, yang terbunuh semua sampai terbasmi habis itu adalah para anggauta pemberontak Lembah Yang-ce, jadi masih rekan-rekan mereka sendiri. Pimpinan mereka, Liu Pang, adalah juga pemberontak Lembah Yang-ce yang untuk sementara ini membangun pusat perkumpulan di Puncak Awan Biru.

Novel silat Darah Pendekar karya Kho Ping Hoo

"Siapa lagi kalau bukan Jenderal Beng Tian dan dua orang pengawalnya itu yang memimpin penyerbuan?" kata Pek Lian dengan gemas.

Kwee Tiong Li mengepal tinjunya, sepasang matanya merah dan mukanya pucat. "Habis sudah kawan-kawanku.....! Dengan susah payah guruku membimbing mereka, melatih mereka, dan akhirnya, mereka hancur di bawah pimpinanku! Ahhh" Pemuda itu menutupi muka dengan kedua tangannya, merasa berduka dan menyesal bukan main.

Melihat keadaan ketua mereka ini, Yang-ce Sam-lo menghibur. "Harap kokcu jangan terlalu menyalahkan dan menyesalkan diri sendiri. Semua ini adalah resiko perjuangan menentang kelaliman dan kematian saudara-saudara kita terjadi di luar kemampuan kita untuk mencegahnya," kata seorang di antara mereka.

"Seandainya kita berada di sini sekalipun, kalau dikepung oleh pasukan besar yang dipimpin jenderal itu, apa yang akan dapat kita lakukan untuk menyelamatkan kita semua? Memang, lebih dari limaratus orang anggauta kita gugur sebagai pejuang-pejuang gagah perkasa yang menentang ketidak-adilan, akan tetapi pihak tentara pemerintah juga banyak yang tewas di tangan kita. Setidaknya, setiap anggauta kita tentu sedikitnya merobohkan dua orang, sehingga kalau dihitung-hitung, kita masih tidak rugi."

Akan tetapi hiburan-hiburan tiga orang pembantunya itu tidak melenyapkan kedukaan hati Kwee Tiong Li yang kehilangan semua anak buahnya. Dia memukulkan tinju kanannya ke atas telapak tangan kirinya dengan keras sehingga ter-dengar suara nyaring. "Bagaimanapun juga aku tidak mau berhenti sampai di sini saja! Aku harus menuntut balas. Harap Sam-lo kembali ke lembah dan menyampaikan laporan kepada suhu. Aku sendiri akan mencari jalan untuk membalas dendam ini!"

Tiga orang pembantunya hendak membantah karena perbuatan itu tentu saja amat berbahaya bagi keselamatan pemuda itu. "Sam-lo, ini adalah keputusanku sebagai ketua lembah!" katanya dengan tegas dan tiga orang itu tentu saja tidak dapat membantah lagi.

Ho Pek Lian melihat betapa pemuda yang biasanya bersikap lembut itu kini nampak keras, bersemangat dan penuh wibawa sehingga hatinya merasa tergetar. Pemuda ini merupakan seorang jantan yang gagah perkasa, membayangkan kepribadian seorang pemimpin yang hebat, membuat hati Pek Lian menjadi kagum sekali.

"Siancai..., saat kematian merupakan rahasia yang tak pernah terbuka oleh manusia. Siapa sangka aku bermaksud menolong mereka, tidak tahunya karena perbuatanku, malah mereka mengalami pembasmian di sini" kata kakek Kam dengan suara menyesal.

Mendengar ini, Kwee Tiong Li cepat menghadapi kakek itu. "Harap locianpwe jangan beranggapan demikian karena locianpwe sama sekali tidak bersalah dalam hal ini."

"Aku tahu, orang muda... akan tetapi membuat hatiku terasa tidak enak......" tiba-tiba kakek itu berhenti dan cepat menoleh ke belakang.

Pada saat itu terdengar bunyi terompet bersahut-sahutan, diiringi sorak-sorai para perajurit dan ternyata dusun itu telah dikepung! Mendengar ini, para penghuni berlari-larian kembali ke rumah masing-masing dan yang tertinggal di dusun itu, di luar rumah, hanya tinggal delapan orang itu saja. Semua penghuni dusun telah bersembunyi!

Delapan orang itu, yang merasa sudah terkepung, tidak mau ikut bersembunyi karena mereka maklum bahwa bersembunyi di dusun kecil itu tidak ada artinya malah-malah akan mencelakakan semua penghuni dusun. Maka, sambil menanti, mereka semua mencabut senjata, siap untuk melawan.

Dengan teriakan yang berisik sekali, bermunculanlah pasukan itu dari segenap penjuru dan mereka segera diserbu dan dikeroyok. Pek Lian telah mencabut pedangnya, Kim-suipoa Tan Sun mengeluarkan senjata suipoanya sedang-kan Pek-bin-houw juga sudah melintangkan pikulan bajanya. Begitu para perajurit menyerbu, mereka bertiga mengamuk bagaikan harimau-ha-rimau kelaparan.

Sementara itu, Kwee Tiong Li, biarpun tenaganya belum pulih seluruhnya, juga sudah mengamuk dan menggerakkan pedangnya dengan dahsyat. Tiga orang Yang-ce Sam-lo juga sudah menyambut pengeroyokan musuh de-ngan senjata golok tipis mereka. Tujuh orang pendekar itu mengamuk dengan penuh semangat, terutama sekali Tiong Li dan Yang-ce Sam-lo yang seolah-olah memperoleh kesempatan un-tuk membalas dendam atas terbasminya seluruh kawan mereka itu. Empat orang ini merobohkan banyak sekali perajurit.

Adapun kakek Kam Song Ki sendiri hanya melindungi dirinya, menggerakkan tongkatnya untuk merobohkan semua orang yang menyerangnya, akan tetapi jelaslah bahwa kakek ini merobohkan orang tanpa bermaksud membunuh. Biarpun demikian, tidak ada perajurit yang dapat mendekatinya karena belum juga dekat mereka itu sudah roboh berpelantingan.

Akan tetapi, tiba-tiba muncul dua orang berpakaian preman yang menjadi pengawal pribadi, juga sute-sute dari Jenderal Beng Tian yang amat lihai itu! Bukan hanya kedua orang pengawal ini saja, melainkan juga belasan orang perwira yang memiliki gerakan-gerakan gesit sekali, tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat. Pengepungan semakin ketat, pengeroyokan semakin rapat.

Dan dengan munculnya dua orang pengawal bersama para perwira itu, delapan orang yang dikeroyok menjadi kewalahan juga. Betapapun juga, mereka terus mengamuk dengan hebatnya dan sudah puluhan orang banyaknya roboh, tewas atau terluka sehingga mayat-mayat mulai bertumpuk dan berserakan, suara orang-orang mengaduh dan mengerang kesakitan amat mengerikan.

Sore semakin gelap. Satu jam lebih mereka mengamuk, akan tetapi jumlah para perajurit amat banyaknya. Ada ratusan orang! Dan akhirnya, apa yang mereka khawatirkanpun tibalah dengan munculnya Jenderal Beng Tian sendiri! Tadinya, dua orang pengawal pribadi jenderal itu masih menemukan kesulitan ketika mereka dihadang dan dibendung oleh tongkat butut kakek Kam, membuat mereka terheran-heran, penasaran dan juga marah karena ternyata tongkat itu membuat mereka tidak mampu banyak bergerak.

Akan tetapi sebaliknya kakek Kam yang tidak ingin membunuh, tidak mudah pula merobohkan dua orang pengawal lihai ini seperti yang dilakukannya kepada para perajurit. Sedangkan tujuh orang pendekar itu dikeroyok oleh belasan orang perwira yang dibantu oleh puluhan orang perajurit pula. Sampai berdesakan dan sukar sekali untuk bergerak dalam pengepungan yang ketat itu. Dan kini, jenderal itu sendiri muncul.

Tadinya, panglima ini tidak ikut memimpin anak buahnya. Bukankah menurut penyelidik, yang berada di dusun itu hanya delapan orang pimpinan pemberontak? Cukup diwakilkan kepada dua orang pengawal atau sutenya saja, para perwira dan pasukan. Akan tetapi, dia memperoleh berita yang mengejutkan bahwa di antara delapan orang itu terdapat seorang kakek yang amat sakti yang membuat kedua orang sutenya tidak berdaya.

Tentu saja dia menjadi terkejut sekali dan jenderal itupun bergegas menuju ke medan pertempuran. Pada saat dia tiba di tempat, itu, dia masih sempat melihat betapa dua orang sutenya mengeroyok seorang lawan yang tidak nampak bayangannya! Seolah-olah dua orang sutenya itu mengeroyok setan saja. Tahulah dia bahwa lawan dua orang pembantunya itu adalah seorang ahli ginkang yang amat luar biasa.

Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, jenderal itu lalu menyerbu dan dua orang sutenya girang bukan main melihat munculnya jenderal yang selain menjadi atasan, juga menjadi suheng mereka itu. Dan pukulan yang dilancarkan jenderal itu terhadap kakek Kam membuat kakek itu mengeluarkaan seruan kaget.

Namun, gerakan kakek itu terlampau cepat sehingga empat serangan yang merupakan rangkaian susul-menyusul dari jenderal itu semua hanya mengenai tempat kosong saja. Dia menduga-duga siapa gerangan orang ini dan diam-diam terkejut bukan main. Kalau pihak pemberontak terdapat orang-orang selihai ini, sungguh amat berbahaya, pikirnya. Bersama dua orang sutenya, dia mengeroyok.

Namun tetap saja mereka bertiga menjadi kewalahan karena jauh kalah cepat gerakan mereka. Kadang-kadang kakek itu seperti lenyap saja dan tahu-tahu muncul di atas mereka, di belakang mereka atau di kanan kiri. Dan malampun tibalah. Para perajurit memasang obor sehingga keadaan di situ semakin menyeramkan.

Betapapun lihainya, tujuh orang pendekar yang dikeroyok oleh banyak sekali lawan yang tiada habisnya dan tak kunjung berkurang itu, menjadi repot. Mereka kelelahan, mandi peluh setelah mengamuk selama hampir dua jam lamanya! Dan akhirnya, tak dapat tertolong lagi, Pek-bin-houw roboh terkena tusukan tombak seorang perwira dari belakang.

Tombak itu menancap di punggung dan tembus ke dadanya, darah muncrat dan dia berteriak seperti harimau terluka, membalik dan senjata pikulannya menghantam kepala penyerangnya sampai pecah. Kemudian dia menubruk ke kiri, merobohkan seorang perajurit, akan tetapi dia sendiripun roboh karena sebatang golok membuat lehernya hampir putus, disabetkan oleh perwira lain. Robohlah Pek-bin-houw Liem Tat sebagai seorang pendekar dan patriot.

Melihat ini, Kim-suipoa berteriak marah dan menyerang dengan nekat, menubruk ke arah perwira yang membacok golok tadi. Perwira itu menangkis, akan tetapi go-loknya terpental oleh hantaman suipoa dan ke-pala perwira itupun remuk terkena pukulan suipoa baja. Akan tetapi, pada saat yang sama, dua batang pedang menembus lambung dan dada Kim-suipoa. Tiong Li dan kakek yang masih dikeroyok tiga oleh Jenderal Beng Tian bersama dua orang sutenya itu.

Tiong Li dan Pek Lian masih mengamuk dan keduanya maklum bahwa nyawa merekapun tidak akan tertolong lagi. "Nona Ho, selamat berpisah di sini !" kata Tiong Li sambil memutar pedangnya.

Pek Lian terharu sekali, akan tetapi juga bangkit semangatnya melihat pemuda yang gagah perkasa itu! "Selamat berpisah, saudara Kwee. Akan tetapi aku tidak mau mati sebelum membasmi anjing-anjing ini sebanyak mungkin!"

Keduanya mengamuk lagi penuh semangat. Kakek Kam mendengarkan semua ini dan hatinya tergerak. Kalau dia menghendaki, tentu dia sudah dapat membunuh tiga orang lawannya. Akan tetapi dia tidak tega untuk membunuh. Kalau dia mau melarikan diripun tidak sukar baginya, akan tetapi dia merasa kasihan kepada dua orang muda itu. Diam-diam dia merasa kagum sekali melihat gerak-gerik Tiong Li dan Pek Lian.

Terutama pemuda itu sungguh membuat hatinya yang tua merasa terharu. Seorang pemuda gagah perkasa yang penuh setia kawan! Sungguh seorang eng-hiong (pendekar) sejati! Dan melihat betapa Pek Lian terhuyung oleh pukulan rayung lawan yang mengenai punggungnya, cepat dia menggerakkan kakinya dan tahu-tahu tiga orang pengeroyoknya sudah kehilangan kakek itu yang kini telah menyambar tubuh Pek Lian sebelum dara itu terguling roboh.

Dipanggulnya tubuh Pek Lian dan diapun berseru kepada Tiong Li, "Kwee-sicu, mari kita pergi!'"

Memang mudah saja bagi kakek sakti yang memiliki ginkang istimewa itu untuk mengatakan demikian, bahkan mudah pula baginya untuk meloloskah diri dari kepungan ketat dan pengeroyokan itu, akan tetapi amat sukarlah bagi Tiong Li untuk melaksanakannya. Pula, dia telah dibakar kemarahan meluap-luap.

Dan sudah diambilnya keputusan untuk mengamuk sampai mati, membela kematian tiga orang pembantunya dan juga dua orang guru Pek Lian itu. Melihat betapa pemuda itu mengamuk makin hebat dan seperti tidak memperdulikan ajakannya, kakek itu berseru lagi,

"Orang muda, perlu apa mengorbankan nyawa dengan konyol? Ingat, kelak engkau harus membuat perhitungan dan membalas semua dendam. Kalau mati sekarang, siapa yang akan membalas dendam kelak?" Ucapan ini sengaja dikeluarkan hanya untuk membakar semangat pemuda itu agar mau meloloskan diri, bukan ucapan yang keluar dari lubuk hatinya.

Mendengar ini, Tiong Li menjadi sadar. Semua anak buahnya, berikut tiga orang pembantunya yang setia, telah gugur. Hanya tinggal dia seorang diri. Kalau dia gugur pula, lalu siapa yang akan membalas semua ini.? Siapa yang akan melanjutkan perjuangan, membantu para pendekar lain, membantu gurunya? Dia tidak boleh sekedar menurutkan perasaan hati duka dan marah.

Akan tetapi, bagaimana dia dapat meloloskan diri dari kepungan begini banyak musuh? Sambil memutar, pedang mengamuk, Tiong Li mencari jalan keluar, namun, sia-sia belaka. Seorang lawan dirobohkan, dua orang menggantikannya. Dua orang dirobohkan, empat orang yang maju. Pedangnya sudah berlumur darah, pakaiannya juga berlepotan darah, darah lawan dan darahnya sendiri.

Tubuhnya sudah lelah sekali dan agaknya gerakannya itu hanya dikendalikan oleh semangatnya yang berkobar-kobar. Seolah-olah kesehatannya yang baru berkembang baik dan belum pulih benar itu kini menjadi sembuh sama sekali dengan adanya pertempuran mati-matian ini.

Sementara itu kakek Kam Song Ki melihat kesukaran yang dialami pemuda itu. Dia sendiri masih dikepung ketat, bahkan kini Jenderal Beng Tian dan dua orang pengawalnya meneriakkan perintah agar para perwira juga ikut mengepung kakek yang luar biasa lihainya itu. Kakek Kam masih memondong tubuh Pek Lian dan tubuhnya berkelebatan ke sana-sini dan tahu-tahu dia sudah mendekati Tiong Li.

Caranya amat menggiriskan hati para pengeroyoknya karena tubuhnya itu berloncatan atau lebih tepat lagi "beterbangan" melayang-layang, meloncat di antara pundak dan kepala para pengeroyok, kadang-kadang menginjak pundak dan kepala, bahkan menginjak ujung senjata, ba-gaikan seekor burung walet saja tubuh itu kini tahu-tahu sudah mendekati Tiong Li dan menyam-bar tangan pemuda itu.

"Pegang erat-erat tanganku dan ikuti gerakan ku. Kau menurut saja, jangan melawan! Dengarkan petunjuk-petunjukku baik-baik. Kalau perlu pejamkan mata, jangan bergerak menurut kemauan sendiri, tapi turuti aku dengan membuta, Ini pelajaran ilmu langkah ajaib yang dapat meloloskan dirimu dari kepungan!"

"Baik... locianpwe!" Tiong Li menjawab.

Maka mulailah pemuda itu menurutkan tenaga tarikan, betotan, maupun dorongan tangan kakek itu, mengatur langkahnya sesuai dengan tenaga kakek itu, ke kiri, kanan, ke depan, ke samping, ke belakang, kadang-kadang meloncat rendah dan meloncat tinggi, cepat sekali gerakan itu dan amat aneh, akan tetapi hebatnya, gerakan-gerakan itu membuat dia terbebas dari semua serangan dan kepungan tanpa mengelak satu demi satu seperti yang dilakukannya sendiri tadi.

Dia tidak tahu bahwa dia telah dibawa oleh kakek sakti itu mela-kukan Ilmu Ban-seng-po Lian-hoan (Langkah Selaksa Bintang Berantai). Langkah-langkah ini menurut garis-garis perbintangan dan langkahlangkahnya teratur sedemikian rupa, penuh rahasia sehingga seolah-olah semua gerakan itu telah mendahului datangnya hujan serangan.

Melihat ini, seorang di antara pengawal atau sute dari Jenderal Beng Tian menjadi marah sekali! Sambil berseru keras dia menyerang dahsyat ke arah kepala Tiong Li. Pemuda ini terkejut, maklum bahwa dia tidak akan mungkin dapat menyelamatkan diri, akan tetapi dia memejamkan matanya dan dengan membuta dia menurutkan tenaga kakek yang mengendalikannya. Dia menggeliat dan meloncat ke depan malah! Tentu saja hatinya terasa ngeri sekali. Dipukul demikian dahsyat mengapa malah meloncat ke depan?

Akan tetapi sungguh aneh, karena dia meloncat ke depan ini, dia malah terhindar dari pukulan dahsyat yang ternyata telah datang kecuali tentu saja ke depan, karena si pemukul sama sekali tidak pernah menduga bahwa orang yang dipukul itu malah melangkah maju! Inilah hebatnya Ban-seng-po Lian-hoan itu. Ilmu ini memungkinkan segala gerakan kaki dan tubuh dalam menghadapi pengeroyokan lawan lawannya yang tangguh.

"Plak! Plakk!" tangan kakek itu menampar dan dua orang pengawal itu terhuyung ke belakang dengan muka pucat ketika mereka menangkis.

"Pemberontak hina!" Terdengar Jenderal Beng Tian membentak dan pedang panjangnya menyambar. Tiong Li sudah berhasil merampas sebatang tombak yang dibetotnya dari tangan seorang pera-jurit yang menyerangnya dan menggunakan tom bak itu untuk menangkis pedang yang menyambar ke arah kakek Kam.

"Trakkkk.....!" Tombak itu patah menjadi dua dan Tiong Li merasakan tangannya sampai ke pangkal lengannya seperti lumpuh! Dia terkejut setengah mati, akan tetapi pada saat itu, Jenderal Beng Tian juga terhuyung ke belakang karena ketika pedangnya bertemu dengan tombak di tangan pemuda itu, secepat kilat kakek Kam telah berhasil mendorong punggungnya.

Dan dia merasa betapa hawa yang dingin sekali menyusup ke dalam tubuhnya, membuat dia terhuyung dan cepat-cepat jenderal ini yang tidak mau menderita luka parah segera mengatur pernapasan seperti yang dilakukan oleh dua orang sutenya pula.

Melihat betapa tiga orang tertangguh itu menghentikan penyerangan, kakek Kam melihat kesempatan yang baik sekali. "Kwee-sicu, cepat rampas kuda!"

Tiong Li yang sejak tadi secara membuta sudah menurut perintah kakek ini, sekarang membuka mata dan melihat seorang perwira menunggang kuda tak jauh dari situ, diapun meloncat mendekati. Perwira itu menyambutnya dengan bacokan golok, akan tetapi Tiong Li mengelak ke kiri dan menyambar lengan perwira itu, menariknya keraskeras ke bawah.

Pada saat tubuh perwira itu terpelanting ke bawah, Tiong Li meloncat ke atas punggung kuda! Dan pada saat itu pula, seorang lain telah terlempar dari atas punggung kudanya, tak jauh di sebelah depan Tiong Li, dan tubuh Pek Lian melayang ke atas punggung kuda.

"Naiki kuda itu dan larilah kalian!" terdengar kakek Kam berseru. Akan tetapi karena Pek Lian menderita luka-luka dan merasa lelah sekali, dara ini tidak dapat mengatur tubuhnya dan ia hinggap di atas kuda itu dalam keadaan terbalik! Akan tetapi sebelum ia terpelanting jatuh, tubuhnya sudah disambar lagi oleh kakek Kam yang tadi merobohkan empat orang perajurit, lalu kakek itupun membalapkan kuda, diikuti oleh Tiong Li.

"Hayo, jangan tidur, anak nakal!" Kakek itu mengguncang-guncang tubuh Pek Lian. "Engkau seorang gadis gagah perkasa, masa baru begini saja sudah turun semangat? Bangunlah, dan naiki kuda ini, larikan secepatnya, aku melindungi dari belakang!" Kembali dia mengguncang. "Mengertikah kau?"

Mendengar kata-kata ini dan karena guncangan-guncangan itu, apa lagi ketika tengkuknya ditotok dua kali oleh jari si kakek sakti, Pek Lian membuka matanya lebar-lebar. "Aku mengerti, locianpwe."

Dan tahu-tahu kakek itu sudah meloncat ke atas, meninggalkan Pek Lian, berjungkir balik dan membiarkan Tiong Li lewat, lalu dia sendiri menghadang para pengejar!

"Kejar! Tangkap ! Bunuh mereka!" Terdengar teriakan para perwira dan tiba-tiba mereka itu melepaskan anak panah!

Hujan anak panah itu tiba-tiba runtuh semua ketika ditahan oleh bayangan kakek Kam yang ber-kelebatan ke kanan kiri, atas bawah. Demikian cepatnya, gerakan kakek ini sehingga dia mampu membendung dan meruntuhkan semua anak panah yang meluncur itu dengan kebutan-kebutan kedua ujung lengan bajunya dan pemutaran tongkatnya. Bahkan ada beberapa batang anak panah yang mengenai tubuhnya, hanya merobek dan melubangi kain bajunya saja, namun tidak dapat melukai kulit tubuhnya.

Ketika barisan pengejar tiba dekat, kakek itu menggerakkan kedua tangannya dan anak panah yang belasan batang banyaknya meluncur ke depan, ke arah kaki kuda dan barisan terdepan terguling, membawa para penunggangnya terlempar dan jatuh tersungkur, ditabrak oleh teman-teman dari belakang. Tentu saja keadaan menjadi kacau-balau dan terdengar teriakan-teriakan mengaduh dan sumpah-serapah. Sebagian besar meloncat turun dan menyerbu.

Kakek Kam sudah mengamuk lagi dengan tongkat bututnya dan siapapun yang dekat dengannya tentu roboh terguling. Akan tetapi Jenderal Beng Tian dan dua orang pengawalnya, dibantu oleh para perwira, telah mengurungnya lagi. Sekali ini jenderal itu yang dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang sakti, membentak marah.

"Kakek pemberontak jabat! Siapakah engkau?" Mendengar bentakan panglima mereka, para pengeroyok itu menahan senjata mereka dan semua mata memandang kakek itu di bawah sinar obor-obor yang cepat menerangi tempat itu, dipegang oleh para perajurit.

"Siancai...... tai-ciangkun yang gagah perkasa. aku bukanlah pemberontak. Namaku Kam Song Ki."

Jenderal Beng Tian adalah seorang panglima yang berilmu tinggi dan sudah banyak pengalaman, sudah banyak mengenal hampir semua tokoh persilatan, akan tetapi dia tidak mengenal nama ini. Hal itu tidaklah mengherankan mengingat bahwa kakek ini biarpun merupakan murid ke tiga dari Raja Tabib Sakti, namun dia selalu mengasingkan diri dan selama puluhan tahun tidak pernah menonjolkan diri di dunia kang-ouw sehingga namanya tidak dikenal orang.

"Orang tua she Kam, apakah engkau pura-pura tidak tahu bahwa orang-orang muda yang kaubela itu adalah pimpinan pemberontak-pemberontak besar dari Lembah Yang-ce?"

"Siancai...... sayang sekali aku tidak tahu tentang berontak memberontak. Setahuku kalau ada yang memberontak tentu ada sebabnya dan hanya yang tertindas sajalah yang akan memberontak, bukan? Setahuku, mereka adalah orang-orang yang baik dan melihat orang baik-baik dikeroyok, tentu saja aku membela mereka."

"Engkau hendak melawan pasukan pemerintah? Berarti engkau berani memberontak terhadap pemerintah!"

Kakek itu tertawa. "Tai-ciangkun, kalau tidak salah ciangkun adalah Jenderal Beng Tian yang terkenal itu. Tentu saja orang seperti engkau ini akan bersetia sampai mati kepada pemerintah, tidak perduli bagaimana keadaannya, karena engkau mempertahankan kedudukanmu, kehormatan dan kemuliaan sebagai jenderal besar! Akan tetapi, aku hanyalah seorang rakyat biasa saja, dan orang macam aku ini hanya mempertahankan hidup, asal dapat makan setiap hari dan dapat menutupi tubuh dengan pakaian saja sudah cukuplah. Aku tidak ingin memberontak, akan tetapi kalau melihat kesewenang-wenangan, tentu saja aku tidak dapat tinggal diam saja."

"Kesewenang-wenangan yang bagaimana maksudmu?" jenderal itu membentak.

"Nona Ho Pek Lian kehilangan keluarganya. Seluruh keluarga ayahnya ditangkap, padahal, siapakah yang tidak tahu bahwa Menteri Kebudayaan Ho Ki Liong adalah seorang menteri yang amat baik? Dan semua teman dari Kwee Tiong Li itu telah dibasmi oleh pasukan pemerintah! Apakah namanya itu kalau bukan sewenang-wenang? Karena itulah aku membela mereka, bukan karena berontak-memberontak!"

Mendengar bahwa gadis yang tadi dikeroyok adalah puteri Menteri Ho, jenderal itu terkejut bukan main. Biarpun Menteri Ho dianggap pemberontak oleh pemerintah dan menteri beserta seluruh keluarganya itu ditangkap, namun diam-diam jenderal yang gagah perkasa ini merasa kagum bukan main terhadap Menteri Ho. Tentu saja, sebagai seorang jenderal dia tidak mampu berbuat sesuatu kecuali merasa menyesal akan nasib menteri yang dia tahu amat setia dan baik itu.

Kini, mendengar bahwa gadis yang gagah perkasa tadi adalah puteri Menteri Ho, dia menjadi semakin kagum dan lenyaplah napsunya untuk menangkap atau membunuh gadis itu. Tugasnya hanyalah menumpas para pemberontak di Lembah Yang-ce dan tugas itu telah diselesaikannya dengan baik. Semua pemberontak telah berhasil ditumpasnya walaupun dia harus kehilangan banyak sekali perajurit.

Akan tetapi, sebagai seorang panglima, tentu, saja dia tidak boleh memperlihatkan sikap kagum terhadap orang yang dianggap pemberontak, maka diapun berteriak, "Tangkap orang tua ini!"

Dua orang pengawal yang juga menjadi sutenya adalah orang-orang yang amat setia terhadap jenderal itu, akan tetapi merekapun sudah mengenal baik suheng mereka. Mereka itu, dengan pandang mata saja, sudah maklum akan isi hati suheng mereka yang di dalam hati tidak ingin menangkap atau membunuh kakek ini, maka mereka berduapun bergerak lambat, membiarkan para perwira dan perajurit yang maju mengeroyok.

Di lain pihak, kakek Kam juga merasa heran mengapa panglima dan dua orang pembantunya yang amat lihai itu tidak turun tangan melainkan membiarkan anak buahnya yang maju mengeroyoknya. Maka diapun cepat menggerakkan tubuhnya dan dengan mudah saja dia meloloskan diri dari kepungan, terus melarikan diri, sengaja tidak berlari cepat agar para perajurit itu dapat terus mengejarnya.

Dia mengambil jalan ke kanan, berlawanan dengan jalan yang diambil oleh dua ekor kuda yang melarikan Tiong Li dan Pek Lian tadi. Dia terus main kucing-kucingan dan untuk menyembunyikan perasaan hati yang sesungguhnya, biarpun dia dapat menduga bahwa kakek Kam yang tidak berlari sekuatnya itu sengaja memancing ke arah lain, Jenderal Beng Tian terus mendesak pasukannya untuk mengejar kakek itu sampai pagi!

Tentu saja pasukan itu menjadi semakin jauh dari jejak kaki dua ekor kuda itu dan menjelang pagi, mereka kehilangan bayangan kakek Kam. Kakek ini tentu saja sudah kembali ke tempat semula dan di bawah sinar matahari pagi dia melanjutkan perjalanan mengikuti jejak kaki dua ekor kuda.

Sambil berjalan, kedua kakinya diseret dan menghapus jejak kaki kuda itu dari permukaan tanah. Matahari telah naik tinggi ketika kakek Kam tiba di dalam hutan di mana dia mendapatkan Tiong Li dan Pek Lian sedang beristirahat. Tiong Li duduk bersila dan mengatur pernapasan, mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan kekuatan badannya.

Sedangkan Pek Lian dengan wajah agak pucat duduk bersandar pohon tak jauh dari pemuda itu. Kedatangan kakek itu sama-sekali tidak mereka ketahui dan barulah setelah kakek itu berada di depan mereka, keduanya terkejut sekali akan tetapi juga girang karena semalam mereka mengkhawatirkan keadaan kakek sakti itu.

"Locianpwe......!" Pek Lian berkata dan tiba-tiba saja kedua mata gadis ini menjadi basah air mata. Hatinya memang sudah berduka sekali karena kematian dua orang gurunya dan khawatir akan keadaan kakek Kam yang melindungi ia dan Tiong Li.

"Locianpwe, kami menghaturkan terima kasih karena hanya berkat pertolongan locianpwe maka kami berdua masih dapat hidup sampai sekarang," kata Tiong Li, juga suaranya mengandung kedukaan besar.

Kakek itu duduk di dekat mereka. "Nona, engkau masih mengandung luka dalam yang cukup berbahaya kalau tidak diobati akan berbahaya sekali. Mendekatlah!"

Kakek itu lalu menaruh telapak tangannya di punggung Pek Lian yang segera merasakan adanya hawa panas menjalar masuk ke dalam ruang dadanya. Iapun cepat memejamkan kedua mata dan menerima hawa panas itu, membiarkan hawa itu berputar-putar dan mendorong atau menekan ke arah bagian yang terkena pukulan dalam pengeroyokan tadi.

Setelah menyembuhkan luka-luka di dalam tubuh Pek Lian dan membantu Tiong Li memulihkan kembali tenaganya, maka kakek itu lalu mengajak mereka duduk bercakap-cakap di bawah pohon dalam hutan itu.

"Sekarang aku ingin sekali mengetahui, apa rencana kalian selanjutnya? Apa yang akan kaulakukan sekarang, nona?"

Ho Pek Lian mengusap air matanya akan tetapi tidak terisak, lalu dengan mata kemerahan diamatinya wajah kakek sakti itu, kemudian ia menunduk dan berkata, "Saya hendak menyelidiki keadaan ayah, locianpwe."

"Tapi itu berbahaya sekali!" kata Tiong Li. "Saya sudah menasihatinya untuk tidak melakukan hal itu, locianpwe. Tentu ia akan terjebak dan tertawan."

"Jangankan hanya tertawan, biar mati sekalipun aku rela!" Pek Lian berkata. "Bagaimanapun juga, sebelum ayah tewas dalam hukuman... aku ingin melihatnya sekali lagi..." Kembali tangannya mengusap air mata, membuat Tiong Li dan juga kakek itu menarik napas panjang dan merasa kasihan sekali.

"Dan bagaimana dengan engkau, Kwee-sicu?"

Bekas kokcu (ketua lembah) itu mengepal tinjunya. Matanya bersinar-sinar seperti mengeluarkan api ketika dia berkata, suaranya penuh kegeraman, "Saya akan membalas dendam, locianpwe saya akan bergabung dengan suhu yang menjadi bengcu (pemimpin rakyat) dan menghancurkan pemerintah dan Kaisar Chin yang lalim ini!"

"Sayapun demikian!" Tiba-tiba Pek Lian berkata, mengepal tinjunya. "Saya tidak akan berhenti sebelum pemerintah ini dapat dihancurkan!"

"Siancai... siancai... siancai...!" Kakek Kam berseru lirih sambil merangkap tangan di depan dada, lalu menarik napas panjang berulang-ulang. "Kekerasan... kekerasan..... di mana-mana kekerasan. Mungkinkah kekerasan dapat menghasilkan hal-hal yang baik? Mungkinkah tujuan yang baik dapat dicapai melalui jalan kekerasan?"

"Akan tetapi, locianpwe!" bantah Kwee Tiong Li dengan suara keras karena hatinya dibakar semangat dan kebencian. "Kaisar telah bertindak lalim dan sewenang-wenang. Lihat saja keadaan rakyat yang miskin terhimpit dan lihat keadaan para pembesar yang berlebihan! Pembesar bertindak sewenang-wenang menekan rakyat, pembesar-pembesar melakukan korupsi besar-besaran.

"Sebaliknya rakyat ditindas, disuruh kerja paksa sampai mati untuk membangun tembok besar. Rakyat dibelenggu dan dibikin tak berdaya, membawa senjata pelindung diri dari ancaman bahaya saja dilarang. Kitab-kitab sastera dibakar sehingga rakyat kehilangan pegangan. Sasterawan-sasterawan dibunuh.

"Apakah kita harus diam saja, locianpwe? Kalau bukan kita kaum pendekar yang bergerak membela rakyat, habis siapa lagi? Apakah kaisar dan kaki tangannya yang korup dan sewenang-wenang itu dibiarkan saja merajalela di atas kepala rakyat yang menderita?"

"Benar sekali!" sambung Pek Lian. "Kalau o-rang-orang tua bersikap sabar, maka penindasan akan makin membabi-buta! Ayahku bersabar, akan tetapi aku tidak. Kita kaum muda harus serentak bangkit menentang kelaliman, kalau perlu dengan taruhan nyawa!"

"Siancai.....!" Kakek Kam menarik napas panjang dan menggeleng kepala. "Nanti dulu, anak-anak. Memang baik sekali semangat kalian untuk membela rakyat yang sengsara dan menderita hidupnya. Akan tetapi, tidak baik kalau hanya menurutkan perasaan marah, dendam dan benci saja. Bangsa merupakan keluarga, pemerintah merupakan rumah keluarga itu. Kalau ada sesuatu yang tidak benar pada rumah itu, mari kita perbaiki bagian yang tidak benar itu saja.

"Bukan lalu meruntuhkan seluruh rumah itu, bukan lalu harus membakar rumah kita sendiri itu! Pemerintah bukan milik kaisar atau para pembesar saja Mereka bahkan menjadi pelayan dan pelaksana. Pemerintah adalah milik kita bersama. Kalau ada yang tidak benar, mari kita perbaiki bersama, dengan musyawarah. Kita berhak menyadarkan pembesar yang bersalah.

"Akan tetapi, jalan kekerasan hanya akan menimbulkan perang saudara, sama saja dengan membakar rumah kita sendiri dan ka-lau terjadi perang, akhirnya rakyat pula yang akan menderita, bukan? Akan jatuh banyak korban, bunuh-membunuh antara bangsa sendiri, betapa-akan menyedihkan sekali kalau hal itu terjadi, seperti yang terjadi malam tadi."

"Tapi, locianpwe. Tanpa melakukan kekerasan, tanpa menggunakan kekuatan untuk menghantam yang jahat, mana mungkin kita dapat mengenyahkan kejahatan itu sendiri?" bantah Tiong Li.

"Kejahatan merajalela, orang-orang jahat bahkan telah mengadakan rapat, dipimpin oleh iblis hitam itu. Apakah kita harus diam saja, locianpwe? Kalau begitu, apa artinya kita mempelajari ilmu silat sejak kecil? Apa perlunya jiwa kependekaran ditanamkan dalam batin kita?"

Pek Lian juga membantah dan kedua orang muda itu seperti merasa-kan persatuan yang kokoh untuk menentang pendirian kakek yang biarpun sakti akan tetapi mereka anggap memiliki pendirian lemah itu.

Kakek itu tersenyum. "Seorang pendekar adalah abdi kebenaran dan keadilan. Hal ini memang benar dan memang sudah sepatutnya demikian. Akan tetapi kebenaran dan keadilan tidak mungkin dapat dipertahankan atau didirikan melalui kekerasan. Mungkin saja kita harus mempergunakan ilmu silat untuk melindungi diri dan untuk menundukkan lawan yang juga mempergunakan ilmu itu, akan tetapi ini bukan kekerasan namanya.

"Pendekar bahkan harus menjadi pembantu pemerintah untuk menahan merajalelanya kejahatan dan melindungi rakyat. Bukan malah menentang pemerintah. Bukankah penjahat-penjahat itu merupakan musuh pemerintah? Kalau kita menentang pemerintah, berarti kita memberi angin kepada para penjahat."

"Tapi kalau pemerintahnya yang lalim dan jahat?"

"Tidak ada pemerintah yang lalim. Yang jahat itu. hanya seorang dua orang pembesar saja. Bukan semua pejabat itu jahat. Buktinya, bukankah Menteri Ho juga seorang pejabat yang amat baik?"

"Justeru karena baik itu maka ayah menjadi celaka!" kata Pek Lian penuh penasaran.

"Ayahmu itulah pendekar dan pahlawan sejati, nona! Tanpa kekerasan, namun dia berani menentang kejahatan. Kalau kita melihat ada pembesar jahat, jangan lalu menganggap pemerintahnya yang jahat, melainkan pembesar itulah yang merupakan perorangan. Dan kewajiban kita adalah mengingatkan, agar pemerintah bertindak terhadap pembesar yang korup dan jahat itu."

"Akan tetapi, kalau yang lalim kaisarnya dan orang-orang yang duduk di tingkat teratas, seperti kepala thaikam Chao Kao si penjilat dan Perdana Menteri Li Su rajanya segala pembesar korup dan sewenang-wenang, lebih tepat kalau kita memberontak dan menggulingkan pemerintah bejat ini!" Tiong Li berkata lagi.

Kembali kakek itu menggeleng-geleng kepala. "Melalui perang saudara?"

"Kalau perlu!"

"Mengorbankan ratusan ribu nyawa rakyat yang tak berdosa? Perang selalu diikuti oleh kejahatan-kejahatan seperti perampokan, perkosaan, pembakaran, balas dendam pribadi, kekacauan karena tidak adanya hukum dan penjaga keamanan! Setelah pemerintah dapat digulingkan misalnya.

"Dan orang-orang yang memimpin pemberontakan itu duduk di atas kursi empuk dan kemuliaan, lalu mereka ini, para pimpinan pemberontak ini, yang tadinya dengan segala propaganda membujuk para pendekar dengan berbagai slogan indah muluk kosong, menjadi berbalik wataknya dan menjadi tukang korup pula, lalu apa yang hendak kalian lakukan?

"Memberontak dan menggulingkan peme-rintahan baru itu pula? Menimbulkan perang sau-dara yang baru pula? Membakar pemerintah dan negara yang menjadi rumah bangsa lagi? Celaka-lah kalau begitu ! Apakah kalian mampu menjamin bahwa di dalam pemerintahan baru tidak akan timbul tikus-tikusnya?"

Dua orang muda itu saling pandang, ragu-ragu, lalu mengerutkan alisnya merenung bingung, tak mampu menjawab!

Penggambaran kakek itu terlalu mengerikan, namun bukan merupakan hal yang tidak mungkin terjadi! Bahkan sejarah sudah mencatat berulang kali terjadinya peristiwa seperti itu! Pemerintah yang dipimpin pembesar-pembesar yang dianggap lalim, ditumbangkan oleh sekelompok orang yang pada waktu itu memang berjiwa pahlawan, mengerahkan rakyat untuk membantu perjuangan mereka menumbangkan kekuasaan lalim. Kemudian, mereka menang dan menjadi penguasa.

Akan tetapi, setelah menjadi pembesar-pembesar mereka seperti lupa akan suara hati nurani perjuangan, lelap dalam kesenangan, mabok kemuliaan dan berobah menjadi orang-orang yang tidak kalah lalim dan korupnya dibandingkan dengan pembesar-pembesar terdahulu yang mereka tumbangkan. Muncul pula pahlawan-pahlawan yang mempergunakan kekuatan rakyat menumbangkan pemerintah baru itu, dan demikianlah, susul-menyusul terjadi pemberontakan-pemberontakan dan perang saudara.

Rakyat terus-menerus menjadi korban. Kalau ada perjuangan, rakyatlah yang dijadikan perisai dan tombak, kalau perjuangan berhasil, hanya sekelompok manusia sajalah yang menikmati hasil kemenangan itu dan melupakan rakyat sampai ada kelompok pejuang atau pahlawan lain yang muncul, yang kembali mempergunakan rakyat sebagai mata tombak dan perisai. Betapa menyedihkan keadaan di seluruh dunia ini!

"Anak-anak yang baik," kata pula kakek itu melihat mereka termenung. "Sebuah pemerintahan terdiri dari ratusan, dan ribuan pejabat. Tak mungkin mengharapkan bahwa seluruh pejabat itu bekerja dengan jujur dan baik. Tentu ada saja yang salah jalan, sesat dan curang. Adalah kewajiban semua orang yang mencintai tanah air dan bangsanya untuk mengamati hal ini dan memprotes keburukan-keburukan seorang pejabat, menuntut agar pejabat itu diganti dengan orang yang lebih jujur.

"Bukan lalu memberontak dengan kekerasan. Kekerasan ini mencerminkan adanya keinginan untuk mengejar sesuatu dan biasanya, pengejar-pengejar kesenangan akan mabok kesenangan. Kemenangan dalam kekerasan membuat orang mabok akan kemenangan itu dan menjadi lupa diri dan buta, sebaliknya kekalahan dalam kekerasan menimbulkan sakit hati dan dendam."

Dua orang itu saling pandang dan menundukkan muka. Mereka tidak dapat membantah lagi. Keterangan kakek itu mengejutkan hati mereka, membuat mereka seolah-olah dipaksa membuka mata melihat kenyataan yang amat kotor dan pahit. Membuat mereka merasa ngeri. Mereka sendiri adalah orang-orang muda yang berhati bersih dan jujur. Sedikitpun mereka tidak memiliki keinginan untuk menang dan berpesta dalam kemenangan itu.

Mereka hanya melihat ketidakadilan, menjadi penasaran dan hendak membela mereka yang tertindas. Keterangan-keterangan yang baru saja diucapkan oleh kakek itu membuat Pek Lian dan Tiong Li diam-diam membayangkan keadaan guru masing-masing. Pemimpin rakyat Liu Pang guru Pek Lian yang terkenal dengan sebutan Liu-toako, pendekar dan pahlawan sejati itu, apakah benar dia memiliki keinginan kotor untuk kesenangan diri pribadi yang tersembunyi di balik cita-cita perjuangan demi rakyat itu?

Dan Tiong Li juga meragukan apakah gurunya, pendekar dan pejuang Chu Siang Yu, juga memiliki keinginan demi kesenangan pribadi seperti yang digambarkan oleh kakek ini, atau setidaknya kelak kalau menang akan berobah menjadi penindas dan pengejar kemuliaan sendiri saja? Dia tidak mampu membayangkan dan merasa ngeri.

"Locianpwe, semua keterangan locianpwe terlalu mengerikan dan terlalu mendalam bagi saya. Sekarang, bagaimana baiknya? Saya mohon nasihat locianpwe," katanya.

"Aku tetap hendak melihat keadaan ayahku dan selanjutnya... entahlah. Kata-kata locianpwe sudah memadamkan sebagian besar api dendamku..." kata Pek Lian meragu.

Kakek Kam tersenyum. "Anak-anak muda berdarah panas dan bersemangat, memang sudah sepatutnya demikian, asal saja darah panas dan semangat itu disertai kebijaksanaan dan jangan sampai dipergunakan orang-orang demi keuntungan mereka sendiri. Kwee Tiong Li, engkau adalah seorang pemuda yang hebat! Semuda ini sudah memiliki ilmu silat tinggi dan tenaga sinkang yang amat kuat, juga memiliki batin yang bersih penuh dengan semangat kegagahan.

"Kalau engkau memiliki sedikit ginkang yang baik, kiranya kelak engkau akan menjadi seorang pendekar pilihan. Maukah engkau ikut denganku untuk belajar ginkang dariku? Dan engkau, nona? Engkaupun memiliki bakat yang amat baik, aku ingin mewariskan beberapa ilmuku kepada kalian berdua."

"Teima kasih, locianpwe. Saya terpaksa tidak dapat menerima kebaikan hati locianpwe, karena saya harus pergi melihat keadaan ayah, kemudian kembali ke Puncak Awan Biru," kata Pek Lian.

Akan tetapi Tiong Li menerima penawaran kakek itu dengan girang. Pendekar muda ini maklum betapa dengan kepandaiannya yang sekarang, dia tidak dapat berbuat banyak terhadap para kaum sesat yang amat lihai itu, maka kalau kakek sakti ini mau mendidiknya, tentu saja dia merasa gembira sekali.

"Kita tidak boleh terlalu lama berada di sini," kata kakek Kam. "Biarpun jejak kaki kuda sudah kuhapus, akan tetapi mereka tentu akan terus mencari dan tentu akan sampai di sini pula."

"Kalau begitu, biarlah saya akan pergi lebih dulu," kata Pek Lian. Ia bangkit berdiri lalu memberi hormat kepada kakek itu. "Kam-locianpwe, sekali lagi saya menghaturkan terima kasih atas semua budi kebaikan locianpwe kepada saya. Kwee-toako, terima kasih dan selamat tinggal."

Kakek itu hanya mengangguk-angguk dan Tiong Li cepat membalas penghormatan gadis itu. Hatinya merasa terharu sekali. Karena bertemu dengan dia dan kemudian membelanya, maka gadis itu kehilangan kedua orang gurunya.

"Nona, akulah yang harus berterima kasih. Mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling bertemu kembali"

Pek Lian mengangguk, tak kuasa menjawab karena ia khawatir kalau-kalau suaranya akan terdengar parau pada saat hatinya amat berduka itu. Ia lalu menghampiri kuda rampasannya, lalu meloncat ke atas punggung sela kudanya. Ia menoleh dan mengangguk.

Akan tetapi sebelum ia membedal kudanya, tiba-tiba Tiong Li meloncat mendekat sambil berseru, "Tahan dulu. nona!"

Pek Lian menahan kendali kudanya dan menoleh. Matanya basah, akan tetapi kini ia dapat menguasai hatinya karena merasa heran. "Ada apakah, Kwee-toako?" tanyanya.

Tiong Li tidak menjawab, melainkan cepat dia membuang semua tanda-tanda pada kendali dan pelana kuda itu sehingga yang tertinggal hanya sela kasar dan kulit kendali sederhana tanpa hiasan. Kemudian dia mencari sebatang ranting pohon penuh daun dan mengikatkan ranting ini dengan pelana kuda sehingga ranting itu akan terseret kalau kudanya lari.

Setelah selesai melakukan semua itu yang diikuti oleh pandang mata keheranan Pek Lian, dia berkata, "Dengan begini, orang tidak akan mengenal kuda tentara kerajaan dan ranting itu akan menghapus jeiak kudamu, nona Ho."

Barulah Pek Lian mengerti dan merasa gembira. "Terima kasih, toako. Engkau baik sekali. Sampai jumpa ! Selamat tinggal, Kam-locianpwe!" Dan Pek Lian lalu menjalankan kudanya. Kuda itu berlari cepat, menyeret ranting yang mengha-pus jejak Liki kuda, mengeluarkan debu yang mengepul tinggi.

Tiong Li memandang sampai bayangan gadis dan kudanya itu lenyap, baru dia membalikkan tubuhnya menghadap kakek Kam dan menjatuhkan dirinya berlutut. "Suhu, teecu mohon petunjuk selanjutnya."

Kakek itu tersenyum. "Bagus, mulai saat ini engkau menjadi muridku. Tiong Li, kalau engkau kelak berjodoh dengan nona itu, sungguh akupun merasa gembira sekali. Ia seorang gadis yang luar biasa!"

Mendengar ini, wajah pemuda yang biasanya tenang itu berobah merah sekali, akan tetapi hatinya terasa perih. Dia tidak tahu apakah dia mencinta gadis itu, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat membayangkan dirinya berjodoh dengan seorang puteri menteri kebudayaan? Dia hanya seorang yatim piatu yang miskin, bahkan rumahpun tidak punya, hidup sebagai seorang pelarian pula.

Ah, terlampau jauhlah khayal itu. Dia masih seperti berada dalam lamunan ketika gurunya mengajaknya pergi dari situ, meninggalkan kuda rampasan karena kakek itu tidak mau menunggang kuda dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki saja.


Ho Pek Lian melakukan perjalanan seorang diri dengan kudanya. Tadinya, ketika meninggalkan Tiong Li dan kakek Kam, ia membalapkan kudanya karena ingin cepat-cepat pergi agar mereka tidak melihat kesedihan dan tidak mendengar tangisnya. Setelah ia pergi jauh, ia membuang ranting di belakang kudanya dan menjalankan kudanya perlahan-lahan sambil termenung.

Kedukaan menghimpit hatinya, membuat wajahnya pucat kehilangan cahaya, matanya sayu dan kadang-kadang, kalau pikirannya meremas perasaan hatinya dengan kenang-kenangan dan bayangan-bayangan, air matanya meluap keluar dari pelupuk kedua matanya.

Selama ini ia melakukan perjalanan dengan dua orang gurunya, menemui hal-hal hebat dan semua ini seolah-olah merupakan hiburan, atau setidaknya membuatnya seperti lupa akan keadaan dirinya sendiri, keadaan keluarganya yang berantakan itu. Akan tetapi sekarang, pada saat ia menunggang kuda seorang diri, melalui pegunungan yang sepi itu, tanpa adanya seorangpun manusia menyertainya, ia merasa amat kehilangan kedua orang gurunya.

Dan perasaan kesepian ini menjalar ke dalam hatinya, membuatnya termenung dan berduka. Dalam keadaan kesepian itu, pikirannya melayang-layang, mengingat-ingat akan keluarga ayahnya yang menjadi tawanan, dan hatinya terasa semakin terhimpit oleh kesepian yang membuat air matanya mengalir keluar, penuh dengan rasa duka dan sengsara.

Semakin diingat, semakin gundah hatinya, makin besar rasa iba diri menyerangnya dan membuat ia beranggapan bahwa di dunia ini, hanya ia seoranglah yang paling sengsara hidupnya. Kedukaan membuat tubuhnya terasa lemas dan Pek Lian lalu menghentikan kudanya, turun dari atas punggung kuda dan membiarkan kudanya makan rumput, sedangkan ia sendiri duduk di bawah pohon, bersandar batang pohon dan menerawang ke langit yang penuh awan putih berarak.

Akan tetapi sekali ini tidak nampak keindahan di angkasa itu bagi Pek Lian. Bahkan membuat rasa dukanya menjadi semakin menyesak di dada. Ia merasa seperti menjadi segumpal awan putih kecil yang melayang-layang jauh dari kelompok awan lain, terpencil di sana, sendirian, kesepian. Semilirnya angin membuat hatinya perih oleh rasa rindu kepada orang tuanya.

Kenangan akan tewasnya Kim-suipoa Tan Sun dan Pek-bin-houw Liem Tat, dua di antara guru-gurunya yang amat sayang kepadanya seperti orang tua sendiri, membuat air matanya mengalir lagi. Bencana yang menimpa keluarga ayahnya masih belum dapat diatasi, kedua orang gurunya telah tewas pula.

Usianya baru delapanbelas tahun dan ia sudah harus mengalami demikian banyak kepahitan hidup. Ia bukanlah seorang dara yang cengeng, sama sekali bukan! Biarpun sejak kecil, sebagai puteri seorang menteri yang berkedudukan tinggi ia hidup di dalam kemuliaan, kehormatan dan kaya raya, namun Pek Lian bukanlah seorang dara yang manja dan cengeng.

Sejak kecil pula ia digembleng oleh guru-gurunya sebagai seorang wanita yang berjiwa pendekar, yang tidak mudah mengeluh menghadapi kesukaran. Namun, kepahitan yang dihadapinya sekarang ini terlampau hebat, luka di hatinya terlampau parah, membuatnya menangis seorang diri di tempat sunyi itu. Ia harus bertemu dengan ayahnya sekali lagi sebelum ayahnya dihukum!

Di dunia ini, ia hanya mempunyai seorang keluarga terdekat, yaitu ayahnya. Ibunya sudah tiada, dan ia tidak mempunyai saudara kandung. Ia harus bertemu dengan ayahnya, apapun yang akan terjadi! Bisikan hati ini menggugah semangat Pek Lian dan iapun bangkit lagi, menaiki punggung kudanya dan melanjutkan perjalanan.

Matahari telah condong ke barat ketika kuda yang ditunggangi Pek Lian menuruni sebuah lereng bukit. Ia menghentikan kudanya dan memandang ke sekeliling, hendak mencari sebuah dusun untuk melewatkan malam ketika tiba-tiba ia melihat munculnya lima orang wanita. Begitu bertemu, Pek Lian terkejut karena ia mengenal mereka itu sebagai rombongan wanita bertusuk konde batu giok yang pernah ia jumpai ketika ia masih bersama-sama dua orang gurunya.

Lima orang wanita itu muncul dari jalan simpangan dan bertemu dengannya tepat di perempatan jalan kecil itu. Dan mereka berlima itupun agaknya terkejut melihatnya, dan mengenalnya pula. Mereka berhenti dan seorang di antara mereka yang bertahi lalat di bawah telinga kiri berkata, suaranya lantang,

"Ah, engkaukah ini? Di mana adanya kokcu (ketua lembah) yang muda itu bersama tiga orang sam-lo-nya? Kenapa engkau hanya sendirian saja?" Pertanyaan ini lantang dan diajukan dengan nada suara yang meremehkan, tanpa sikap hormat sama sekali seperti sikap orang dewasa yang bertanya kepada anak kecil saja.

Pada saat itu, batin Pek Lian sedang mengalami tekanan dan dalam keadaan seperti itu, tentu saja ia mudah sekali tersinggung. Hatinya terasa mengkal dan ia sama sekali tidak memperdulikan pertanyaan orang, melainkan dengan gemas ia menarik kendali kudanya, membuat kuda itu terlonjak dan lari. Dengan dagu terangkat Pek Lian lewat menanggalkan mereka.

"Haii, bocah sombong, tunggu!" Terdengar bentakan di belakangnya, disusul berkelebatnya bayangan lima orang itu yang sudah melakukan pengejaran.

"Tar-tar-tarrr!"

Pek Lian terkejut sekali melihat sinar biru menyambar-nyambar di dekat kepalanya dan meledak ketika ia mengelak. Kiranya ia telah diserang oleh seorang di antara mereka dengan sehelai sabuk berwarna biru yang tadi melakukan totokan tiga kali berturut-turut ke arah leher dan pundaknya.

"Orang-orang jahat!" bentaknya dan terpaksa ia meloncat turun dari atas kudanya sambil mencabut pedangnya. "Kalian kira aku takut melawan?" Iapun sudah memutar pedangnya dan menyerang wanita yang tadi menggerakkan sabuk.

Karena dalam keadaan marah dan menganggap bahwa wanita itu tentulah bukan golongan baik-baik dan yang agaknya sengaja hendak memusuhinya, Pek Lian sudah menyerang dengan dahsyat sehingga gerakan pedangnya melahirkan tusukan-tusukan maut ke arah wanita itu. Wanita itu mengelak beberapa kali, nampaknya terkejut juga me-nyaksikan kehebatan gerakan pedang di tangan Pek Lian.

"Cring! Tarang-tranggg!"

Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kembali wanita itu terkejut ketika memperoleh kenyataan betapa tenaga dara muda itu cukup kuat untuk menandingi tenaganya. Pek Lian terus menyerang, akan tetapi wanita yang bertahi lalat, yang menjadi pemimpin di antara mereka, segera berteriak dan teman-temannya sudah maju mengepung Pek Lian.

Pek Lian terus memutar pedangnya, melawan mati-matian dan penuh kemarahan. Akan tetapi tingkat kepandaiannya hanya seimbang dengan seorang di antara mereka, maka setelah mereka berlima maju bersama, tentu saja ia segera terdesak hebat. Untung baginya bahwa lima orang wanita, bertusuk konde batu giok itu agaknya tidak berniat membunuhnya. Kalau demikian halnya, tentu ia tidak akan dapat bertahan lama.

Beberapa belas jurus kemudian, lima orang itu mempergunakan sabuk biru yang menyambar-nyambar dan akhirnya Pek Lian terpaksa menyerah ketika sabuk-sabuk biru itu telah melibat tubuhnya, membuat ia tidak dapat lagi menggerakkan kaki tangannya. Ia tertawan dan dibelenggu kedua lengannya ke belakang.

"Manusia-manusia hina, pengecut besar. Beraninya hanya main keroyokan! Kalau mau bunuh lekas bunuh, jangan dikira aku takut mati!" teriak Pek Lian marah.

"Pemberontak hina!" Si tahi lalat itu memaki.

Dan makian ini membuat Pek Lian membungkam. Siapakah mereka ini, pikirnya, dan apakah mereka ini tahu bahwa ia adalah puteri Menteri Ho yang dianggap pemberontak? Ia mulai merasa khawatir. Kalau sampai ia ditangkap sebagai pemberontak, ditawan seperti ayahnya, tentu ayahnya akan marah dan semua usahanya sia-sia belaka. Ia harus mencari akal dan kesempatan untuk meloloskan diri dari orang-orang ini. Ia harus mencari ayahnya.

Akan tetapi, gerak-gerik lima orang wanita ini demikian teliti dan teratur, jelas menunjukkan bahwa mereka adalah rombongan orang-orang terlatih, seperti pasukan kecil yang dikemudikan oleh pemimpinnya, yaitu wanita yang bertahi lalat. Tak pernah mereka itu lengah menjaganya dan ketika malam tiba, mereka berhenti di bagian yang tinggi dan agaknya mereka itu menanti sesuatu.

Pek Lian tidak pernah membuka mulut dan hanya memperhatikan gerak-gerik mereka yang juga tidak banyak mengeluarkan kata-kata itu. Mereka berlima itu bersikap seperti menantikan orang, sering kali memandang ke empat penjuru dari tempat tinggi itu dan saling pandang seperti orang-orang yang mulai merasa gelisah. Pek Lian menduga-duga siapa gerangan yang mereka nantikan.

Ia teringat bahwa ketika ia bersama kedua orang gurunya dan juga orang-orang Lembah Yang-ce melakukan perjalanan dan berjumpa dengan mereka ini, terdapat delapan orang di antara wanita bertusuk konde batu giok ini. Akan tetapi sekarang hanya tinggal lima orang. Ke manakah perginya tiga orang lagi? Apakah mereka ini menanti munculnya tiga orang kawan mereka itu?

Pek Lian diajak makan dan dara ini tidak me-nolak. "Kalau engkau tidak melawan, kamipnun tidak akan mengganggumu, hanya engkau harus menurut saja sebagai tawanan yang baik," kata si tahi lalat sambil melepaskan belenggu kedua tangan Pek Lian.

Pek Lian hanya mengangguk. Ia tidak takut, hanya ia tahu bahwa kalau ia bersikap keras, ia tidak berdaya untuk lolos, ia harus mempergunakan kecerdikan dan tidak menuruti hati yang panas. Setelah makan, mereka berlima itu duduk bersila, seperti orang bersamadhi, membentuk lingkaran dan Pek Lian berada di tengah-tengah.

Pek Lian maklum bahwa lima orang wanita itu beristirahat, namun mereka itupun tidak pernah lengah dan ia seperti dikurung. Maka iapun mencontoh perbu-atan mereka, duduk bersila mengumpulkan tenaga. Api unggun yang dibuat oleh mereka itu bernyala tak jauh dari mereka, mengusir nyamuk dan dingin.

Hanya satu kali si tahi lalat itu mengeluarkan suara yang mengandung kegelisahan, "Mengapa sampai sekarang mereka belum juga datang?"

Ucapan ini meyakinkan hati Pek Lian bahwa mereka tentu menanti datangnya tiga orang kawan mereka, dan memang dugaannya ini tepat. Lima orang wanita yang memiliki ciri khas, yaitu tusuk konde batu giok itu, memang sedang menantikan datangnya tiga orang kawan mereka.

Menjelang tengah malam, suasana sunyi bukan main di tempat itu. Hutan di dekat puncak bukit nampak hitam menyeramkan dan suara binatang-binatang hutan kadang-kadang membuat Pek Lian terkejut dan membayangkan yang bukan-bukan. Biarpun ia masih duduk bersamadhi seperti lima orang yang menawannya.

Namun diam-diam Pek Lian selalu waspada. Sedikit saja kesempatan untuk meloloskan diri, sudah pasti tidak akan dilewatkannya. Akan tetapi, lima orang itu agaknya tidak pernah lengah, karena mereka itu masih tetap menantikan munculnya tiga orang kawan mereka.

Tiba-tiba terdengar bunyi desing di sebelah selatan. Mereka semua terkejut, termasuk Pek Lian dan semua orang menengok ke arah selatan. Nampak oleh mereka meluncurnya anak panah berapi kuning yang meluncur ke angkasa. Anak panah tanda bahaya! Si tahi lalat sudah meloncat bangun dan berkata, "Tanda bahaya mereka! Tentu terjadi sesuatu yang gawat! Mari kita bantu mereka. A-bwee, engkau di sini menjaga tawanan!"

Wanita yang disebut A-bwee mengangguk dan tanpa diduga oleh Pek Lian, wanita ini sudah meringkus dan membelenggu kedua lengannya. Pek Lian terkejut dan hendak melawan, namun maksud hati ini diurungkannya, karena apa dayanya menghadapi mereka berlima? Kedua lengannya diikat di belakang tubuhnya dan setelah melihat betapa tawanan itu tidak berdaya, empat orang di antara mereka lalu berloncatan pergi sedangkan yang seorang itu duduk menjaga tawanan yang sudah ter-belenggu kedua lengannya itu.

Ketika empat orang wanita gagah itu dengan tangkasnya berloncatan ke arah anak panah tanda bahaya tadi, tiba-tiba mereka melihat anak panah ke dua dan mengertilah mereka bahwa teman-teman mereka terancam bahaya besar.

"Mari cepat!" kata yang bertahi lalat dan me-rekapun mengerahkan seluruh kepandaian mereka berlari cepat menuruni bukit itu dan ketika mereka tiba di lereng, mereka melihat betapa pemimpin mereka sedang berkelahi dengan amat serunya menghadapi seorang nenek yang bertubuh gendut dan lihai bukan main.

Jelaslah bahwa pemimpin mereka itu terdesak hebat. Tak jauh dari situ nampak seorang kakek kurus kecil sedang berjongkok, nongkrong di atas sebuah pedati. Dekat pedati itu tergeletak dua orang tubuh wanita, dua di antara tiga kawan kelompok wanita bertusuk konde batu giok itu. Melihat betapa muka mereka nampak kebiruan, mudah diduga bahwa mereka itu tentu terluka hebat dan keracunan. Begitu melihat nenek gendut dan kakek kurus ini, empat orang wanita yang baru datang terkejut bukan main.

"Iblis-iblis dari Ban-kwi-to (Pulau Selaksa Iblis)!" teriak mereka dan merekapun sudah cepat mencabut pedang untuk membantu pemimpin mereka.

"Awas....!" Pemimpin mereka berseru sambil memutar pedang melindungi dirinya dari desakan lawan. "Lindungi hidung dengan saputangan! Tempat ini telah penuh disebari racun oleh iblis-iblis ini!"

Mendengar seruan itu, empat orang wanita bertusuk konde giok segera mengikatkan saputangan melindungi hidung danmulut mereka, kemudian merekapun maju mengeroyok wanita gendut yang amat lihai itu. Hebat bukan main wanita gendut itu. Biarpun tubuhnya gendut, akan tetapi ia dapat bergerak dengan amat gesitnya dan ia menghadapi pengeroyokan lima orang wanita lihai yang berpedang itu dengan kedua tangan kosong saja!

Akan tetapi, yang terancam maut malah lima orang pengeroyoknya karena setiap gerakan wanita gendut ini selalu mengandung bahaya. Jarum-jarum halus menyambar-nyambar dari jarak dekat kepada mereka sehingga mereka itu harus lebih banyak mempergunakan pedang mereka untuk melindungi tubuh.

Setiap tamparan tangan wanita itupun mengandung hawa beracun yang selain membawa bau amis, juga mengandung hawa yang kadang-kadang amat panas dan kadang-kadang amat dingin. Untunglah bahwa lima orang wanita itu memang pada dasarnya memiliki ilmu pedang yang tangguh, dan setelah kini mereka maju berlima, nenek gendut itu tidak mudah merobohkan seorang di antara mereka.

"He-he..., ha-ha-ha, rasakan sekarang! Kau sekarang dikeroyok banyak orang lihai, sebentar lagi tentu kau akan dicincang pedang mereka menjadi bakso! Ha-ha-ha! Mereka akan menggorok lehermu yang buntek, menusuk hidungmu yang pesek dan merobek perutmu yang gendut, lalu kau boleh pelesir ke neraka! Dan aku akan bebas, heh-heh! Jadi ini namanya kita sehidup semati, aku yang hidup, kau yang mati dan aku akan kawin lagi, aku akan mencari yang muda, yang cantik, yang... heiiiittt!"

Kakek kecil kurus itu cepat mencelat dan mengelak karena tiba-tiba saja isterinya, si nenek gendut itu telah meninggalkan lima orang pengeroyoknya dan menyerang ke arah suaminya dengan terkaman dahsyat. Melihat suaminya mengelak, nenek itu menyerang lagi dengan hebatnya dan sekarang suaminya menangkisnya.

"Desss!!" Nenek gendut itu terdorong sampai tiga langkah akan tetapi suaminya terdorong sampai lima langkah. Ini saja membuktikan bahwa si nenek itu ternyata lebih lihai dari pada suaminya. Perkelahian antara suami isteri iblis ini demikian hebatnya, membuat lima orang wanita bertusuk konde giok itu melongo.

Ketika suami isteri itu mulai mempergunakan racun, si suami menyebar pasir beracun, sedangkan isterinya yang tidak mau kalah itu menyebar jarum-jarum dan asap beracun, lima orang wanita itu cepat menyingkir sambil menyeret dua orang kawan mereka yang terluka.

Sepasang iblis tua itu benar-benar gila. Agaknya mereka sudah melupakan sama sekali tentang musuh-musuh mereka dan kini mereka itu berkelahi mati-matian. Si nenek lebih ganas lagi menyerang, baik dengan kaki tangan maupun dengan mulutnya yang memaki-maki, dan akhirnya kakek itu kewalahan lalu melarikan diri terbirit-birit, dikejar oleh isterinya yang makin keras memaki-maki penuh kemarahan.

Melihat kesempatan ini, lima orang wanita bertusuk konde giok itu cepat membawa dua orang teman mereka yang terluka untuk menjauhkan diri dari tempat berbahaya itu. Yang terpenting bagi mereka adalah mencoba untuk menolong dua orang teman yang terluka.

Cepat mereka membawa dua orang itu ke dalam hutan dan setelah merebahkan kedua teman itu di atas rumput, mereka berusaha mengobati dengan pe-ngerahan sinkang dan dengan obat-obat penawar racun yang selalu mereka bawa di antara obat-obat luka luar atau dalam. Akan tetapi, luka-luka beracun yang diderita oleh dua orang itu sungguh berbeda dengan luka-luka beracun biasa.

Luka gigitan ular berbisa saja masih akan dapat disembuhkan oleh mereka, akan tetapi luka-luka yang diakibatkan serangan tokoh Ban-kwi-to itu sungguh luar biasa sekali dan semua usaha pengobatan mereka sia-sia. Nyawa kedua orang itu tidak dapat diselamatkan dan akhirnya merekapun tewas tanpa dapat meninggalkan kata-kata pesanan lagi.

Lima orang wanita yang kelihatan gagah perkasa itu, kini menangisi mayat dua orang teman-nya. Kemudian pemimpin mereka, yang tadi dengan gagahnya melawan nenek iblis, menghentikan tangis mereka dan dengan wajah muram berduka mereka lalu mengubur jenazah kedua orang teman mereka di tempat itu juga.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berlima meninggalkan dua gundukan tanah itu dan bergegas kembali ke tempat di mana mereka meninggalkan seorang teman mereka menjaga tawanan. Akan tetapi apa yang mereka dapatkan ketika mereka tiba di tempat itu membuat mereka terkejut bukan main.

Tawanan telah lenyap dan teman mereka yang bernama A-bwee itu telah menggeletak tanpa nyawa, dengan muka kebiruan tanda keracunan pula! Setelah mereka berlima memeriksanya, ternyata luka keracunan yang diderita mayat ini sama dengan yang diderita oleh kedua orang teman mereka yang tewas.

"Keparat busuk!!" Pimpinan mereka, wanita berusia empatpuluh tahun yang sepasang matanya berkilat-kilat tajam itu, berseru marah sambil menghentak-hentakkan kakinya ke atas tanah, wajahnya penuh geram dan kedukaan. "Sepasang iblis itu sungguh jahat dan kejam! Sayang kita bukan tandingan mereka. Kita harus cepat pulang dan melapor, biarlah siocia yang akan membalaskan sakit hati ini!"

Dengan berduka merekapun mengubur jenazah teman ke tiga ini. Tentu saja mereka merasa berduka dan terpukul sekali. Mereka terkenal sebagai Delapan Singa Betina yang terkenal, dan sekarang, sungguh tak terduga sama sekali, dalam waktu-semalam saja, jumlah delapan itu tinggal lima dan yang tiga tewas dalam keadaan yang amat menyedihkan.

Dan penderitaan ini, korban tiga nyawa ini sungguh merupakan, korban yang sia-sia dan mati konyol, karena mereka bentrok dengan sepasang iblis itu tanpa sebab-sebab tertentu yang kuat, hanya merupakan percekcokan di antara dua kelompok yang berpapasan di jalan! Setelah selesai mengubur jenazah teman ke tiga itu. lima orang wanita bertusuk konde batu giok itu lalu cepat meninggalkan tempat itu dengan wajah muram.

Sudah sejak tadi Pek Lian; merasa betapa jalan darahnya telah pulih kembali. Akan tetapi ia tidak berani bergerak, dan pura-pura masih lumpuh tertotok atau setengah pingsan. Tubuhnya bergoyang-goyang dalam keadaan rebah miring di bagian belakang gerobak yang berjalan lambat-lambat itu, berjalan di atas jalan yang tidak rata sehingga bergoyang-goyang keras.

Hanya sepasang mata dara itu saja yang bergerak melirik ke bagian depan gerobak, di mana nampak dua orang suami isteri gila itu sedang duduk berdampingan dan bercanda, tertawa-tawa, kadang-kadang mereka itu bercumbu dengan kasar, tanpa mengenal malu seolah-olah tidak ada Pek Lian di dekat mereka yang dapat melihat semua adegan ini. Begitulah kalau suami isteri itu sedang dalam keadaan rukun.

Pek Lian memejamkan kedua matanya. Wajahnya yang bulat telur itu agak pucat dan kurus. Memang selama ayahnya ditawan ia mengalami banyak hal-hal yang pahit, ditambah lagi dengan kematian dua orang gurunya, membuat dara ini menderita tekanan batin yang membuatnya kurus dan pucat. Namun wajah yang kini nampak pucat itu masih tidak kehilangan kecantikannya. Biarpun rambutnya awut-awutan, kulit mukanya agak kotor dan pakaiannya kusut, dara ini masih nampak gagah dan cantik manis.

Dagunya yang runcing itu membayangkan kekerasan hati dan keberanian yang luar biasa. Mulutnya tidak pernah membayangkan rasa takut, sedangkan sepasang matanya yang memang agak lebar itu, setelah wajahnya menjadi kurus nampak lebih lebar lagi, sepasang mata tajam yang mengeluarkan sinar berkilat. Memang pantaslah puteri Menteri Ho ini menjadi pimpinan para pendekar di Puncak Awan Biru, membantu suhunya.

Sebutan "nona Ho" oleh para pendekar dengan sikap menghormat, tidaklah mengecewakan karena selama ini sepak teriang Ho Pek Lian memang gagah perkasa dan nenuh semangat. Akan tetapi pada saat itu, Ho Pek Lian atau nona Ho yang dikagumi para patriot itu, berada dalam keadaan yang menyedihkan dan sama sekali tidak berdaya. Dalam keadaan lumpuh tertotok ia menjadi tawanan sepasang suami isteri iblis itu.

Dan ia tahu bahwa kepandaiannya masih jauh untuk dapat menandingi seorang saja di antara mereka, apa lagi kalau harus menghadapi mereka berdua. Dalam keadaan lumpuh tertotok, ia dilempar begitu saia seperti karung kosong di atas gerobak dan selanjutnya suami isteri itu tidak memperdulikannya dan membawanya melalui dusun-dusun yang terpencil menuju ke utara.

Biarpun ia tidak takut menghadapi kematian, akan tetapi menghadapi kemungkinan apa yang akan dilakukan oleh sepasang iblis itu kepadanya, membuat Pek Lian merasa ngeri juga. Ada hal-hal yang lebih mengerikan dari pada kematian. Siang tadi saja ia telah mengalami hal yang mengerikan, masih meremang bulu tengkuknya kalau ingat.

Si kakek kecil kurus yang seperti tulang bungkus kulit itu mendekatinya. Kemudian jari-jari tangan yang kecil dan keras dingin itu meraba dan membelai lehernya. Pek Lian merasa ngeri dan bulu-bulu di seluruh tubuhnya bangkit berdiri. Ia menutupkan kedua matanya dan menahan bau apek yang keluar dari tubuh kakek itu.

"Heh-heh-heh, halus kulitnya. Hemm, lunak halus. Cantik sekali gadis ini!" Jari-jari tangan itu meraba dan membelai. Pek Lian menahan jeritnya ketika jari-jari tangan itu makin menurun ke dadanya. Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu menarik tangannya ketika isterinya menghardik.

"Hem, bagus, ya? Dahulu engkau merayu dan mengatakan bahwa di dunia ini akulah wanita paling cantik! Dan sekarang, didepan hidungku engkau memuji kecantikan lain orang! Bagus, ya? Engkau menantangku, ya?"

"Uhh, tidak, tidak ! Jangan salah sangka, isteriku yang manis. Sampai sekarangpun, engkaulah wanita paling cantik di dunia. Gadis ini memang cantik, akan tetapi engkaulah yang paling cantik. Heh-heh!"

"Betulkah itu, kakanda?" Si isteri merayu manja.

"Heh-heh, siapa bohong padamu?" jawab ka-kek itu dan merekapun lalu bercanda, bergelut di dalam gerobak, saling berciuman, saling cubit dan saling cakar sampai gerobak itu bergoyang-goyang dan berguncang keras! Melihat semua ini, Pek Lian memejamkan matanya akan tetapi tidak mampu menutup telinganya yang terpaksa mendengar semua cumbu rayu mereka yang kasar itu.

Setelah permainan cinta mereka itu mereda, si isteri berkata, "Awas engkau, ya? Sekali lagi engkau berani menyentuhnya, akan kurobek kulit yang kausentuh dan akan kupatahkan tanganmu yang menyentuh!"

Tentu saja Pek Lian bergidik ngeri, akan tetapi hatinya merasa lega juga. Kakek itu sangat takut kepada bininya yang besar cemburu itu dan hal ini telah menolongnya karena ia melihat pandang mata penuh nafsu dari kakek itu kepadanya. Akan tetapi suami isteri itu sungguh menyeramkan dan agaknya keduanya memang tidak normal otaknya. Mereka itu kadang-kadang bermain cinta di depannya saja, dan kadang-kadang bercekcok sampai berkelahi mati-matian.

Pek Lian merasa tersiksa bukan main. Ia tidak tahu hendak dibawa ke mana dan mau diapakan oleh suami isteri itu. Belum setengah hari ia berada di dalam gerobak tubuhnya sudah terasa gatal-gatal, kulitnya timbul bintik-bintik merah seperti digigiti nyamuk. Ia tahu bahwa hal itu disebabkan oleh hawa beracun yang memenuhi gerobak itu.

Untung bahwa ia telah memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat sehingga ia dapat melawan hawa beracun ini. Yang amat menyiksanya hanyalah totokan yang membuat kaki tangannya seperti lumpuh itu. Pek Lian memulihkan tenaganya. Totokan itu telah mulai kehilangan kekuatannya dan jalan darahnya pulih kembali. Ia diam saia, pura-pura masih lumpuh. Sampai lama ia membiarkan darahnya berjalan lancar sampai akhirnya ia merasa betapa tubuhnya telah segar dan sehat kembali.

Pek Lian menanti sampai malam tiba. Gerobak itu dihentikan oleh dua orang penawannya di tepi jalan dan seperti biasa, suami isteri itu meninggalkan gerobak untuk mencari bahan makan malam. Indah kesempatan terbaik, pikir Pek Lian dan setelah melihat mereka pergi, iapun cepat meloncat turun. Senja telah tiba dan cuaca mulai remang-remang. Akan tetapi, tiba-tiba dara ini meloncat kembali memasuki gerobak ketika ia mendengar suara kakek nenek itu tertawa-tawa dari jauh.

"Aduh, dingin sekali airnya....!" Terdengar kakek itu berseru dan tahulah Pek Lian bahwa mereka itu sedang mandi. Agaknya terdapat sumber air, anak sungai atau telaga di dekat tempat itu. Ia pun mengintai dari balik tirai gerobak, melihat apakah keadaannya cukup aman baginya untuk melarikan diri. Ia harus berhati-hati sekali karena kakek dan nenek itu lihai luar biasa dan kalau sampai larinya ketahuan sebelum ia pergi jauh se kali, besar bahayanya ia akan tertawan kembali.

Tiba-tiba ada angin menyambar yang membuat pintu gerobak itu bergerak dan hampir saja Pek Lian menjerit saking kagetnya ketika mendadak ada tubuh meloncat masuk dan tahu-tahu kakek kurus itu telah berdiri di pintu gerobak dalam keadaan telanjang bulat sama sekali! Badannya yang kurus itu masih basah kuyup, air masih menetes-netes dari seluruh tubuhnya. Pek Lian menutupi mulut dengan tangan menahan jeritnya dan cepat membuang muka agar tidak usah melihat tubuh telanjang itu walaupun cuaca mulai remang-remang dan ia tidak dapat melihat jelas.

"Heh-heh-heh, engkau sudah dapat bangun, manis? Bagus, mari temani aku bersenang-senang sebentar!" Dan kakek itu lalu menubruk dan meraih tubuh Pek Lian.

"Tidak! Jangan...!" teriaknya dan ia memapaki tubuh itu dengan pukulan tangannya.

"Plakk!" Pergelangan tangannya ditangkap dan sebelum tangan ke dua bergerak, juga pergelangan tangan ke dua ini ditangkap oleh kakek itu yang terkekeh dan ada air liur menetes dari mulutnya ketika dia mencoba untuk mencium muka nona itu. Pek Lian meronta-ronta sekuat tenaga, melawan mati-matian dan tiba-tiba kakinya yang tertindih, tanpa disengaja, menendang sebuah benda di dalam gerobak itu.

"Prakk!" Guci kecil itu pecah dan dari dalam guci itu keluarlah berpuluh-puluh kelabang merah. Bau amis memenuhi ruangan gerobak itu dan Pek Lian menggigil ketakutan melihat kelabang-kelabang besar merah itu merayap cepat dan ada yang merayap ke pakaiannya, bahkan memasuki lubang celana dan bajunya. Ia berteriak-teriak dan mencoba untuk mengusir binatang-binatang itu.

"Heh-heh-heh, ha-ha-ha!" Kakek itu merasa girang bukan main dan agaknya dia seperti seorang anak kecil yang menemukan permainan baru. Sejenak dia lupa akan rangsangan nafsu berahinya dan dia merasa gembira sekali melihat gadis itu tersiksa seperti itu. Sambil berjongkok di dekat Pek Lian, dia terkekeh-kekeh melihat gadis itu menggeliat-geliat kengerian dikeroyok puluhan ekor kelabang itu!

Dan Pek Lian sekali ini baru dapat mengalami apa artinya rasa takut dan jijik. Dari takutnya ia sampai jatuh pingsan! Melihat gadis ini pingsan, kakek itu seperti kehilangan kegembiraannya dan teringat lagi akan nafsu berahinya maka diapun mulai meraba-raba hendak menang-galkan pakaian gadis itu. Akan tetapi, baru dua buah kancing baju dibukanya, tiba-tiba dia menarik kembali tangannya mendengar isterinya berteriak-teriak dari kejauhan.

"Bangsat penipu pembohong! Laki-laki penakut dan pengecut! Di mana kau? Akan kurobek mulutmu yang membohongiku. Di mana ada buaya di sungai itu? Sampai kehabisan napas aku menyelam dan mencari-cari tanpa hasil. Kau pembohong! Di mana kau? Jangan lari!"

Mendengar teriakan isterinya ini, kakek itu menjadi ketakutan dan cepat diapun meloncat keluar dari dalam gerobak dan melarikan diri dalam keadaan masih telanjang bulat, meninggalkan Pek Lian yang masih rebah pingsan di dalam gerobak.

Nenek itu meloncat masuk ke dalam gerobak. Matanya terbelalak melihat binatang-binatang itu terlepas dan berkeliaran di situ. "Wah, celaka, siapa berani melepaskan peliharaan kesayanganku, hah?"

Cepat ia mengambil sebuah botol kecil dan menuangkan isinya yang berupa cairan ke dalam mangkok. Bau yang amis busuk memenuhi tempat itu dan sungguh mengherankan sekali, semua kelabang itu cepat-cepat merayap datang dan memasuki mangkok itu. Nenek itu menangkapi dengan jari-jari tangan yang cekatan sekali dan tak lama kemudian semua kelabang sudah disimpannya kembali ke dalam sebuah guci kosong.

Kemudian ia memperhatikan keadaan Pek Lian dan alisnya yang tebal itu berkerut. Apa lagi ketika ia melihat genangan air di dalam gerobak. Ia lalu meloncat turun dan kembali terdengar suaranya memaki-maki. "Bangsat cabul tak tahu diri! Di mana kau?"

Tak lama kemudian, nenek itu mendapatkan suaminya sedang enak-enak memancing ikan di tepi sungai sambil bersiul-siul, seolah-olah tidak pernah melakukan sesuatu yang salah. Akan tetapi, agaknya isterinya tidak dapat dikibuli begitu saja dan segera telinga sang suami dijewer dan dia diseret oleh isterinya yang galak itu kembali ke pedati, yang segera diberangkatkan oleh nenek yang marah-marah itu.

Dengan terjadinya peristiwa itu, pengawasan si nenek menjadi lebih ketat sehingga kakek itu tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk menco-ba-coba mendekati Pek Lian. Hal ini tentu saja amat menguntungkan Pek Lian, akan tetapi di samping itu, juga ia mengalami penyiksaan lain sebagai akibat dari rasa cemburu dan benci dari nenek iblis. Karena cemburu, kini sikap nenek iblis itu terhadap Pek Lian menjadi sadis.

Pada hari ke tiga, Pek Lian tidak dibelenggu kedua lengannya lagi, melainkan diharuskan duduk di bagian depan, di atas tempat duduk kusir dan kaki kanannya di-rantai dengan tiang gerobak. Ia diharuskan men-jadi kusir, mengamati dan mengendalikan kuda penarik gerobak. Lebih celaka lagi, nenek itu telah menotok urat gagunya sehingga ia tidak mampu mengeluarkan suara, hanya duduk dengan anteng-nya di bangku kusir sementara itu suami isteri iblis itu bersenang-senang di dalam gerobak.

Pek Lian masih selalu menanti saat baik. Bagaimanapun juga keadaannya, gadis perkasa ini tidak pernah putus asa. Selama hayat dikandung badan, ia tidak akan pernah putus harapan. Pada suatu ketika, ia pasti akan dapat meloloskan diri. Ia tidak mau mati konyol dengan melakukan perlawanan yang sia-sia belaka terhadap suami isteri iblis yang amat lihai itu.

Bagaimanapun juga, ia kini terlindung oleh rasa cemburu isteri itu terhadap suaminya. Bahaya yang terbesar telah tersingkir dan iapun tidak bodoh untuk dapat menduga bahwa suami isteri itu tidak menghendaki kematiannya, karena kalau demikian halnya, tidak mungkin ia dibiarkan hidup sampai tiga hari lamanya.

Hari itu, sejak pagi telah turun hujan. Akan tetapi suami isteri iblis itu membiarkan Pek Lian tetap duduk di luar dan kehujanan sampai pakaiannya basah kuyup. Juga nenek itu tidak memperbolehkannya menghentikan gerobak untuk berteduh. Tentu saja keadaan Pek Lian ini membuat orang-orang yang melihatnya menjadi terheran-heran. Sementara itu, di dalam gerobak terjadi pula perdebatan antara suami dan isterinya yang galak itu.

"Eh, isteriku yang manis, yang denok, di luar hujan deras sekali. Apakah akan kaubiarkan saja anak ayam itu kehujanan di luar? Ia bisa masuk angin dan sakit!"

"Huh! kau perduli apa sih? Kau kasihan ya? Kau cinta padanya ya?"

"Eh, eh... jangan marah dulu dong! Aku hanya bilang kalau ia sakit dan tidak dapat mengendalikan kuda, kita akan kehilangan seorang kusir yang can... eh,yang cakap."

"Sudah, jangan cerewet! Biarkan saja. Hayo kita bersenang-senang, di dalam sini, kan hangat, mari kita main adu kelabang!"

"Isteriku yang manis, mengapa tidak dibunuh saja biar lekas beres dan tidak mengganggu?"

"Manusia tolol engkau! Lupakah engkau bahwa kita pernah dipesan oleh Sam-suci? Aku akan diberi hadiah ramuan awet muda yang diciptakannya, apa bila kita dapat mencarikan seorang gadis muda cantik keturunan bangsawan yang bertulang bagus dan berdarah murni, juga mempunyai kepandaian tinggi. Nah, inilah gadis itu!"

"Alaaaa, awet muda. Mana bisa orang tetap awet muda kalau usianya sudah tua?" kakek itu menggerutu.

Mereka tidak mempersoalkan Pek Lian dan gadis itu pun tidak memperhatikan mereka. Ia merasa muak sekali dan ia sudah lama belajar untuk menulikan telinganya, tidak mendengar apa yang terjadi didalam gerobak. Ketika ia mendengar betapa suami isteri iblis yang tadinya bercanda itu kini tidur mendengkur, diam-diam ia lalu membelokkan gerobak itu menuju ke jalan besar.

Hanya inilah yang dapat dilakukannya. Ia tidak dapat mematahkan rantai yang membelenggu kakinya, maka jalan satu-satunya adalah membelokkan kuda menuju ke kota agar kalau ada orang melihat keadaannya, ia akan menarik perhatian orang dan siapa tahu kalau di antara mereka itu terdapat pendekar-pendekar yang sakti dan dapat membebaskannya dari cengkeraman suami isteri iblis itu.

Kini ia sudah tahu mengapa ia ditawan dan tidak dibunuh. Kiranya iblis betina itu mempunyai niat untuk "menjualnya" kepada seorang iblis lain yang disebut Sam-suci oleh iblis betina itu, untuk ditukar ramuan obat awet muda.

Hujan masih deras ketika gerobak itu memasuki pintu gerbang sebuah kota. Agaknya karena hujan yang mendatangkan hawa dingin, suami isteri iblis itu masih enak-enak tidur mendengkur, tidak tahu bahwa gerobak mereka telah disesatkan memasuki kota besar, padahal mereka selalu ingin menjauhi tempat ramai selama ini.

Orang-orang yang berteduh di tepi jalan memandang dengan heran kepada gadis yang menjalankan gerobaknya dan membiarkan dirinya ditimpa air hujan sampai rambut dan pakaiannya basah kuyup itu.

Kota yang dimasuki gerobak itu adalah Lok-yang, yang merupakan kota kedua setelah Tiang-an yang menjadi kota raja. Tentu saja Pek Lian yang menjadi puteri seorang menteri, mengenal ko-ta besar ini dan diam-diam ia mengharapkan un-tuk dapat bertemu dengan orang-orang gagah yang akan dapat membantunya membebaskan diri dari kedua orang iblis itu.

Jantungnya berdebar tegang, akan tetapi ia merasa lega mendengar betapa kedua orang iblis itu masih enak-enak tidur mendengkur. Mereka itu sungguh seperti bukan manusia lagi, pikir Pek Lian. Bermain cinta dengan kasar tanpa mengenal malu, bercekcok dan berkelahi, selalu bersaing, bahkan dalam mendengkur saja mereka seperti bersaing keras...!

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.