Darah Pendekar Jilid 07 karya Kho Ping Hoo - BIARPUN waktu itu sudah tengah hari, akan tetapi cuacanya agak dingin dan agak gelap karena sejak pagi hujan. Kota yang besar, penuh dongan toko-toko, rumah-rumah makan dan juga rumah-rumah penginapan itu nampak sunyi karena yang berani berlalu-lalang hanya mereka yang membawa payung dan yang naik kereta. Sebagian besar orang berteduh di emper-emper toko dan jalan raya yang cukup lebar itu telah digenangi air.
Ketika gerobak yang dikendarai Pek Lian memasuki pintu gerbang, tak lama kemudian masuk pula sebuah kereta indah yang dihias tanda-tanda kebesaran. Kereta itu dikawal oleh belasan orang perajurit yang berpakaian serba mewah dan indah gemerlapan. Di sebelah kanan kiri kereta itu nampak dua orang gadis cantik yang berpakaian indah seperti puteri-puteri bangsawan istana atau pengawal-pengawal wanita istana yang berkedudukan tinggi.
Di belakang masing-masing gadis ini terdapat seorang perajurit yang melindungi mereka dari air hujan dengan sebuah payung bergagang panjang. Perlakuan ini saja membuktikan bahwa dua orang gadis itu bukanlah sembarang pengawal, setidaknya tentu pengawal-pengawal seorang puteri istana yang dipercaya. Melihat pedang panjang tergantung dipunggung dua orang gadis itu, makin mudah diduga bahwa mereka itu tentulah pengawal-pengawai istana yang penting.
Karena kereta indah itu mendahuluinya, Pek Lian dapat memperhatikan kereta di depannya itu. Ia melihat betapa orang-orang yang berteduh di tepi jalan, membungkuk dengan hormat ketika kereta lewat. Ini hanya menunjukkan bahwa penumpang kereta itu tentulah seorang pejabat tinggi. Dan melihat dua orang pengawalnya, mudah diduga bahwa penumpang itu tentulah seorang wanita bangsawan. Pek Lian menduga-duga. Siapakah wanita bangsawan tinggi di dalam kereta itu?
Pek Lian memandang kepada dua orang pengawal wanita itu dengan penuh perhatian. Sejak melihatnya tadi, ia merasa seperti telah mengenal atau setidaknya pernah melihat mereka ini, akan tetapi ia lupa lagi entah kapan dan di mana. Kini ia memandang lagi penuh perhatian dan karena kini ia memandang dari belakang, segera ia tertarik oleh sesuatu pada rambut mereka itu. Tentu saja!
Tusuk konde batu giok! Sama benar bentuknya dengan tusuk konde yang dipakai oleh delapan orang wanita berpakaian sutera hitam itu, yang pernah menawannya. Hanya bedanya, dua orang gadis ini masih muda, cantik dan pakaiannya indah. Karena ia sendiri tidak tahu harus me-nujukan gerobaknya ke mana, maka kuda yang di-diamkannya itu otomatis mengikuti jalannya kereta di sebelah depan.
Kereta mewah itu berhenti di pintu gerbang sebuah gedung besar dengan pekarangan yang luas dan indah. Pek Lian juga menghentikan gerobaknya di belakang kereta itu sambil memandang dengan penuh perhatian. Pintu kereta terbuka dan turunlah seorang wanita tua yang berwibawa, berpakaian indah dan bersikap tenang sekali. Wanita tua ini menengok satu kali ke arah gerobak, lalu melangkah ke depan, disambut oleh seorang laki-laki setengah tua yang agaknya menjadi tuan rumah penghuni gedung itu.
Pek Lian melihat nenek ini dan juga pria itu, hatinya berdebar tegang. Ia mengenal dengan baik siapa adanya mereka, walaupun ia tidak pernah berkenalan dekat dengan mereka. Pria setengah tua yang kelihatan gagah itu, yang usianya antara limapuluh lima tahun, adalah Wakil Perdana Menteri Kang yang amat terkenal karena selain wakil perdana menteri ini amat cerdik pandai, juga dia terkenal sebagai seorang pembesar atau pejabat yang adil, jujur dan setia. Semua pejabat di kota raja segan kepadanya, bahkan kaisar sendiripun menaruh hormat kepada wakil perdana menteri ini.
Sedangkan nenek itupun pernah dilihat oleh Pek Lian, bahkan nama nenek ini sudah lama dikenalnya. Nenek ini dikenal sebagai Siang Houw Nio-nio, bukan nenek sembarangan karena ia adalah bibi dari kaisar sendiri! Bahkan, biarpun tidak secara resmi, terdengar desas-desus bahwa nenek inilah yang bertanggung jawab atas keamanan keluarga kaisar di istana karena nenek ini memang memiliki ilmu kepandaian yang amat lihai.
Pek Lian hanya dapat memandang dengan melongo ketika nenek itu disambut dengan penuh kehormatan oleh pihak tuan rumah, kemudian nenek itu diiringkan masuk ke dalam gedung, dikawal oleh dua orang gadis cantik yang berjalan gagah di belakangnya.
Setelah mereka itu lenyap, ke dalam gedung, barulah Pek Lian sadar bahwa ia sejak tadi telah duduk bengong di atas gerobak yang dihentikannya di belakang kereta. Dan baru ia tahu bahwa para pengawal yang jumlahnya empatbelas orang tadi mulai memperhatikan gerobaknya. Bahkan empat orang segera melangkah lebar menghampirinya.
"Heii, nona! Sejak tadi engkau mengikuti kami, ada urusan apakah?" tegur seorang di antara mereka. Mereka tadi ketika mengawal kereta, melihat gerobak ini, akan tetapi mereka tidak berani membikin ribut karena takut kepada Siang Houw Nio-nio yang mereka kawal, juga karena dua orang nona pengawal pribadi nenek itu diam saja, merekapun tidak berani banyak bertingkah.
Sekarang, setelah nenek penghuni kereta bersama para pengawal pribadinya telah diterima oleh pihak tuan rumah dengan selamat, barulah mereka berani ribut-ribut untuk menyatakan rasa penasaran dan mereka menghampiri gerobak yang masih berhenti tak jauh dari pintu gerbang itu.
"Jangan-jangan ia menyelidiki perjalanan kita!" kata seorang di antara mereka sambil. mendekat.
"Eh, kenapa kakimu dirantai, nona?" tanya orang ke tiga dan kini ada enam orang pengawal ramai-ramai mendekat karena tertarik oleh seruan terakhir ini.
Pek Lian tidak dapat banyak mengharapkan orang-orang seperti para pengawal ini. Ia sudah tahu sampai di mana kepandaian perajurit-perajurit pengawal ini. Kalau dua orang gadis tadi, barulah boleh diharapkan dapat menolongnya. Akan tetapi, betapapun juga, ia melihat kesempatan untuk menimbulkan keributan dan menarik perhatian, maka mendengar pertanyaan itu, ia lalu menoleh dan menudingkan jari telunjuknya ke dalam gerobak.
Isyarat ini cukup bagi para perajurit pengawal. Bagaikan pendekar-pendekar atau pahlawan-pahlawan yang hendak menolong seorang gadis manis yang tersiksa, mereka itu lalu mendobrak pintu dengan gedoran-gedoran keras.
"Penjahat-penjahat keji yang berada di dalam gerobak! Hayo keluar menerima hukuman!" teriak mereka sambil beramai-ramai mendorong pintu gerobak yang terkunci dari dalam itu.
Tiba-tiba terdengar teriakan melengking dari dalam, mengejutkan para perajurit pengawal karena teriakan seperti itu hanya dapat dikeluarkan oleh mulut binatang-binatang buas. Dan tiba-tiba saja pintu gerobak itu terbuka lebar dari dalam, disusul berkelebatnya dua bayangan orang dan empat orang perajurit berteriak dan roboh, menggigil kedinginan terkena pukulan beracun!
Tentu saja hal ini amat mengejutkan sepuluh orang perajurit pengawal lainnya dan mereka sudah cepat mencabut senjata lalu mengeroyok kakek dan nenek yang telah merobohkan empat orang kawan mereka itu. Terjadilah perkelahian yang ramai, di mana sepuluh orang pengawal dihadapi oleh dua orang kakek dan nenek yang amat lihai.
Kakek itu berkelahi sambil terkekeh-kekeh dan seperti biasa, dia memperma-inkan para pengeroyoknya, membuat mereka jatuh bangun hanya dengan menjegal, mendorong dan tidak menjatuhkan pukulan maut karena memang dia ingin puas mempermainkan dulu para pengero-yoknya sebelum membunuh mereka.
Sebaliknya, nenek itu menggerakkan kaki tangannya dengan buas sambil memaki-maki dan dalam waktu sing-kat, sudah ada dua orang lagi perajurit pengawal yang dirobohkan oleh pukulannya yang mengandung hawa beracun. Suasana menjadi ribut karena para penjaga gedung itupun sudah berlari-lari mendatangi sambil memegang senjata.
Kembali sudah jatuh dua orang perajurit penga-wal sehingga kini sudah ada delapan orang meng-geletak keracunan oleh pukulan suami isteri yang lihai itu. Keributan ini tentu saja segera diketahui oleh para pengawal-pengawal dalam gedung dan merekapun cepat berlari keluar. Kini kakek dan nenek itu dikeroyok oleh puluhan orang perajurit pengawal dan penjaga.
Akan tetapi, para perajurit itu sama saja dengan menyerahkan nyawa mencari kematian. Makin banyak kini yang roboh sehingga mayat mereka malang melintang memenuhi halaman yang luas itu. Melihat ini semua, diam-diam Pek Lian bergidik. Kakek dan nenek itu benar-benar amat keji dan juga amat lihai.
Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan nampak berkelebat bayangan merah dan putih meluncur keluar dari dalam gedung. Pek Lian melihat bahwa yang bergerak cepat sekali itu ternyata adalah dua orang gadis pengawal tadi. Tahu-tahu mereka telah berada di situ dan mereka sudah mengenal keadaan dengan pandang mata mereka yang tajam dan berpengalaman.
"Pek-cici, tentu mereka inilah yang telah membunuh orang-orang kita! Manusia-manusia iblis dari Ban-kwi-to!"
"Benar, Ang-siauwmoi! Kau bantu para pengawal, biar aku bebaskan gadis tawanan itu!" kata wanita baju putih.
Sedangkan wanita yang bajunya merah telah mencabut pedang panjangnya dan dengan gerakan yang amat cepat dan dahsyat, ia sudah menerjang kakek nenek iblis dengan serangan maut. Pedangnya membuat gulungan sinar dan mengeluarkan suara bercicit, tanda bahwa ilmu pedang gadis baju merah ini amat lihai dan digerakkan oleh tenaga sinkang yang amat kuat.
Sementara itu, gadis baju putih sekali meloncat telah tiba di dekat Pek Lian. Dengan cekatan ia mematahkan rantai kaki Pek Lian dengan pedangnya yang ternyata terbuat dari pada baja yang amat kuat itu, dan melihat keadaan Pek Lian, iapun lalu menotok dan mengurut leher Pek Lian sehingga Pek Lian dapat mengeluarkan suara lagi.
"Terima kasih," kata Pek Lian.
"Tidak perlu, kalau engkau ada kepandaian, lebih baik bantu kami menghadapi sepasang iblis itu!" jawab si wanita baju putih yang kini segera meloncat turun dan membantu gadis baju merah dengan putaran pedangnya yang ternyata tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan si baju merah.
Dua orang gadis itu memang benar amat lihai. Terutama sekali ilmu pedang mereka sedemikian hebatnya sehingga sepasang iblis itupun berkali-kali mengeluarkan seruan kaget dan nyaris menjadi korban pedang kalau mereka tidak cepat-cepat menghindarkan diri dengan cekatan sambil membalas dengan mengawut-awut jarum, pasir dan asap beracun.
Para pengawal yang mengeroyok hanya berani menggunakan senjata-senjata panjang seperti tombak untuk menyerang kakek daii nenek itu dari jarak jauh setelah melihat betapa pe-rajurit pengawal yang berani mehyerang terlalu dekat tentu roboh dalam keadaan mengerikan, men-jadi korban pukulan beracun.
Melihat betapa sepasang iblis itu terdesak, akan tetapi masih amat sukar bagi dua orang gadis dan para pengawal untuk merobohkannya, Pek Lian yang merasa sakit hati terhadap mereka lalu meloncat turun dari atas gerobak, dan menyambar sebatang pedang yang berserakan di halaman. Banyak senjata para pengawal yang sudah roboh itu berserakan di tempat itu dan pedangnya sendiri entah dibuang ke mana oleh suami isteri iblis itu.
Dengan pedang di tangan, Pek Lian menyerbu dan ikut mengeroyok. Tentu saja serangan Pek Lian dengan ilmu pedang yang tidak boleh dipandang ringan ini membuat suami isteri dari Ban-kwi-to menjadi semakin terdesak. Bagaimanapun juga, ilmu silat pedang Pek Lian adalah ilmu pedang yang masih aseli dan bersih, mengandung dasar yang kuat. Dan selama ini ia telah memperoleh banyak pengalaman dalam pertempuran-pertempuran melawan musuh-musuh yang tangguh sehingga ia memperoleh banyak kema-juan pesat.
Maka, pengeroyokannya juga terasa berat oleh suami isteri iblis itu sehingga mereka semakin terdesak. Karena khawatir kalau-kalau sampai terluka dan roboh, tiba-tiba nenek itu mengeluarkan sebuah tabung bambu kuning dari saku jubahnya yang kedodoran, dan membuka tutupnya. Melihat ini, Pek Lian yang selama tiga hari berkumpul dengan mereka dan sudah tahu akan isi tabung bambu itu, berteriak kaget, "Awas binatang berbisa!!"
Teriakannya itu ternyata benar karena dari tabung bambu itu keluar beterbangan beratus-ratus lebah yang warnanya putih yang mengamuk dan menyerang para pengeroyok. Hebatnya, di antara para perajurit yang terkena sengatan lebah itu, seketika roboh berkelojotan, tubuhnya kejang-kejang!
Bukan main hebatnya bisa dari sengatan lebah putih ini. Yang belum menjadi korban sengatan lebah, segera melarikan diri ke dalam gedung, termasuk Pek Lian dan dua orang wanita tokoh tusuk konde batu giok itu, dikejar oleh lebah-lebah yang marah.
Sementara itu, melihat jatuhnya beberapa orang korban sengatan lebahnya, kakek dan nenek itu seperti kumat gilanya. Mereka tertawa-tawa, bertepuk-tepuk tangan dan bersorak, lalu berjongkok dan menonton orang-orang yang berkelojotan dan kejang-kejang sebagai akibat sengatan lebah, kelihatan gembira bukan main seperti anak-anak kecil menikmati cacing-cacing yang berkelojotan terkena abu panas.
Mereka agaknya seperti telah melupakan keadaan sekeliling mereka, karena asyik dengan permainan baru ini. Memang nampaknya dua orang ini seperti iblis yang amat kejam. Akan tetapi, bukankah kesadisan, yaitu rasa gembira melihat orang atau mahluk lain tersiksa ini telah ada pada diri setiap orang manusia sejak kanak-kanak? Hanya agaknya pada suami isteri ini kesadisan itu menonjol sekali sehingga kelihatannya luar biasa dan keterlaluan.
Sementara itu, nenek Siang Houw Nio-nio yang berada di dalam gedung, sedang bercakap-cakap dengan Wakil Perdana Menteri Kang. Mereka bicara dengan serius sekali dan wajah keduanya agak muram dan nampak bersemangat. Agaknya mereka saling berbantah dan kini terdengar suara nenek yang berwibawa itu, yang bicara sambil menatap tajam wajah wakil perdana menteri itu, suaranya terdengar lantang dan berpengaruh.
"Menteri Kang! Aku pribadi dapat mengerti akan perasaan hatimu. Aku mengerti, apa yang menjadi sebab sesungguhnya dari permintaanmu untuk pensiun itu. Alasan yang kau ajukan bahwa engkau sudah merasa terlalu tua dan tidak sanggup bekerja lagi adalah alasan yang dicari-cari saja. "Aku tahu bahwa sebab yang sesungguhnya adalah karena semua nasihatmu tidak pernah digubris oleh kaisar, bukankah demikian? Di dalam batinmu, engkau selalu berselisih pendapat dengan Sri baginda dan hal itu amat mengesalkan hatimu. Bukankah demikian? Apa lagi setelah sahabat eratmu, yaitu Men-teri Ho, ditangkap karena dianggap menentang kebijaksanaan pemerintah.
"Dan karena engkau setia, muka dari pada engkau harus mengalami tekanan batin, lebih baik engkau mengundurkan diri saja. Bukankah demikian, Wakil Perdana Menteri Kang!'" Ucapan nenek itu begitu terus terang dan ditujukan langsung tanpa pura-pura lagi sehingga bagi men-teri setia itu terasa seolah-olah ada todongan pedang langsung ke ulu hatinya.
Mendengar ucapan itu, pembesar ini agak pucat mukanya dan sampai lama dia menundukkan mukanya. Dia maklum bahwa akan percuma saja untuk menyangkal terhadap puteri yang amat cerdas ini. Akhirnya, setelah menarik napas panjang, diapun berkata, suaranya terdengar berat membayangkan keadaan hatinya yang terhimpit,
"Tuan puteri, hamba mengerti bahwa sebagai bibi dan pelindung sri baginda kaisar, paduka memiliki pandangan yang luas, waspada dan bijaksana. Oleh karena itu, tentu paduka juga maklum bahwa hamba sama sekali tidak mempunyai niat yang kurang baik terhadap sri baginda. Di dalam lubuk hati hamba, yang ada hanyalah kesetiaan, sifat yang dijunjung oleh nenek moyang hamba.
"Selama ini, selagi mendampingi sri baginda, hamba selalu berbuat baik dan bijaksana agar dapat meraih rasa hormat dan cinta dari rakyat. Kekuatan negara terletak kepada kekuatan kaisarnya dan kekuatan kaisar timbul dari kesetiaan rakyat yang mencintanya. Akan tetapi... ah, bagaimana hamba harus mengatakannya?"
"Lanjutkanlah, Menteri Kang. Jangan khawatir, engkau bicara dengan orang yang mempergunakan hati nuraninya, bukan hanya mempergunakan perasaannya."
"Bagaimana hati hamba tidak akan berduka melihat betapa sri baginda agaknya hanya selalu menuruti keinginan beberapa orang kepercayaan saja. Mengejar kesenangan dan kurang mempertimbangkan usul-usul mereka yang dipercaya sehingga sering kali muncul keputusan dan perintah yang amat berlawanan dengan kehendak rakyat jelata. Hal itu membuat negara kita menjadi tegang dan kacau seperti sekarang ini.
"Hamba adalah wakil perdana menteri, tentu ikut bertanggung jawab atas keadaan negara. Akan tetapi apa yang dapat hamba lakukan kalau semua usul hamba tidak diperhatikan? Kalau semua nasihat hamba dikalahkan oleh bujuk rayu para penjilat? Lebih baik hamba mengundurkan diri saja. Bukan karena hamba ingin melarikan diri atau karena kecewa, melainkan karena kehadiran hamba di dekat sri baginda sama sekali tidak ada artinya lagi."
"Aku dapat mengerti perasaan hatimu, akan tetapi jalan pikiranmu yang demikian itu sesungguhnya keliru sama sekali, menteri yang baik. Kalau engkau mundur, apakah keadaan akan menjadi lebih baik? Tentu akan semakin parah. Aku sendiri tidak berhak mencampuri urusan pemerintahan, akan tetapi aku tahu bahwa kalau engkau mundur, berarti makin berkurang pula menteri yang berani memberi ingat dan menegur sri baginda kalau beliau melakukan kesalahan dalam tindakannya.
"Betapapun juga, usia sri baginda masih terlalu muda sehingga beliau perlu dibimbing dan dinasihati oleh orang-orang yang bijaksana dan berpengalaman seperti engkau. Sayang bahwa aku hanya mahir dalam urusan ilmu silat, sedikitpun aku tidak tahu akan seluk-beluk pemerintahan.
"Maka aku minta dengan sangat kepadamu, Menteri Kang, secara pribadi dan demi persahabatan kita, agar engkau suka mempertahankan kedudukanmu, mendampingi sri baginda. Biarlah kita bekerja sama. Aku yang mendampingi dan menjaga keselamatan sri baginda, sedangkan engkau yang menjaga kebijaksanaannya." Setelah bicara dengan panjang lebar, nenek itu menghapus sedikit peluh dari dahi dan lehernya.
"Akan tetapi, tuan puteri... paduka tentu mengenal kekerasan hati sri baginda. Mungkin saja peringatan hamba akan membuat hamba dijebloskan pula ke dalam penjara seperti Menteri Ho yang baik dan jujur itu."
"Hemm, kalau begitu engkau merasa takut dan ngeri? Engkau lebih suka melihat keadaan menjadi semakin buruk dari pada kehilangan nyawamu un-tuk negara? Inikah ucapan Wakil Perdana Men-teri Kang yang terkenal setia dan berbudi itu?"
"Bukan begitu, tuan puteri..." Akan tetapi pembesar ini tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk dari para pengawal dan penjaga yang berlarian ke dalam gedung, dikejar oleh lebah-le-bah berbisa. Bahkan di ruangan depan gedung itu, terdapat beberapa orang pengawal yang jatuh bergelimpangan dan sekarat.
Dua orang gadis bertusuk konde batu giok sudah meloncat ke dalam dan dengan singkat menceritakan kepada nenek itu tentang pengamukan suami isteri dari Ban-kwi-to yang mempergunakan lebah-lebah berbisa untuk merobohkan banyak sekali pengawal. Mendengar keterangan dua orang pengawal pribadi yang juga menjadi murid-murid kesayangannya itu, Siang Houw Nio-nio menjadi marah sekali. Dikibaskannya lengan bajunya.
"Pek-ji! Ang-ji! Apakah menghadapi iblis Ban-kwi-to saja kalian tidak mampu mengatasinya dan perlu menggangguku?" bentaknya penasaran.
Biasanya, kedua orang muridnya ini sudah dapat mengatasi segala persoalan yang timbul, karena itu ia sudah menaruh kepercayaan besar dan bahkan mengangkat mereka menjadi pengawal-pengawal pribadinya agar ia tidak usah turun tangan sendiri kalau timbul persoalan. Tentu saja ia merasa penasaran dan marah melihat kedua orang murid yang diandalkannya ini sekarang menjadi kacau hanya oleh amukan dua orang iblis Ban-kwi-to saja.
"Maaf, subo, sebetulnya teecu berdua tidak akan kalah kalau saja mereka itu mempergunakan ilmu silat biasa. Akan tetapi mereka melepaskan lebah yang ratusan ekor banyaknya, lebah berbisa yang mengerikan sehingga sudah banyak perajurit yang roboh dan keracunan. Teecu berdua kewalahan untuk mengusirnya."
Mendengar laporan muridnya yang berbaju putih yang diberi nama panggilan Pek In (Awan Putih) sedangkan yang berbaju merah disebut Ang In (Awan Merah), Siang Houw Nio-nio mengerutkan alisnya. "Lebah berbisa...? Apakah berwarna putih dan yang kena sengatannya terus kejang-kejang karena panas yang hebat dan berkelojotan, lalu kulit para korban juga menjadi putih?"
"Benar, subo," kata Ang In.
"Hemm, tentu lebah beracun dari pohon-pohon arak di Sin-kiang yang amat berbahaya. Dalam waktu tiga jam kalau tidak diberi obat penawarnya, luka sengatan itu akan menjadi busuk dan sukar ditolong lagi. Menteri Kang, apakah engkau mempunyai arak yang tua, keras dan wangi? Cepat keluarkan dan bawa ke sini. Suruh semua orang membawa obor, karena hanya dengan api sajalah lebah-lebah itu dapat diusir dan mereka sangat suka kepada arak wangi dan keras. Cepat!"
Wakil Perdana Menteri Kang lalu memberi perintah kepada pengawal pribadinya dan tak lama kemudian nenek bangsawan itu telah menuangkan arak wangi ke dalam guci arak yang indah buatannya, kuno dan nyeni. la membawa keluar guci arak itu dan meletakkannya di ruangan depan. Dan terjadilah keanehan. Bau arak yang harum itu agaknya menarik lebah-lebah putih itu yang beterbangan dengan cepatnya menuju ke guci arak itu.
Dan sebentar saja semua lebah mengerumuni guci dan mengeroyok arak harum itu seperti semut-semut mengerumuni gula. Setelah semua lebah berkumpul di situ, Siang Houw Nio-nio lalu menyingsingkan lengan bajunya dan dengan kedua tangannya ia meraup lebah-lebah itu dan memasukkannya ke dalam sebuah botol besar, kemudian iapun keluar membawa botol terisi lebah-lebah putih itu.
Di halaman depan, suami isteri iblis itu masih seperti orang gila, berjongkok dan tertawa terpingkal-pingkal melihat para korban yang berkelojotan di atas tanah. Memang ada lucunya melihat muka yang tertarik-tarik itu dan kaki tangan yang kejang-kejang, akan tetapi bagi orang biasa, tentu rasa ngeri dan kasihan akan mengusir semua bagian yang lucu.
"Heh-heh-heh, lihat hidungnya! Heh-heh, hidungnya jadi bengkok!" kata nenek itu sambil terpingkal-pingkal.
"Dan yang sana itu, kakinya menendang-nendang, ha-ha, agaknya dia mimpi belajar ilmu tendangan baru yang sakti, ha-ha-ha!" suaminya juga tertawa bergelak melihat tingkah laku seorang korban lain.
"Hemm, kiranya tak salah dugaanku. Im-kan Siang-mo yang datang mengacau, sungguh berani mati sekali!" nenek bangsawan itu berkata.
Suami isteri itu terkejut dan cepat melompat berdiri, berdampingan menghadapi nenek itu, memandang heran bahwa ada seorang yang mengenal julukan mereka di tempat ini. Akan tetapi ketika mereka melihat nenek yang berpakaian indah dan bersikap penuh wibawa itu, mereka berdua saling pandang dan nampak terkejut, lalu dengan sikap canggung keduanya menjura ke arah nenek itu.
"Bagaimana toanio dapat mengenal Im-kan Siang-mo?" tanya nenek itu dengan suara parau. Siang Houw Nio-nio tersenyum. "Memang baru sekarang aku dengan sial bertemu dengan kalian, akan tetapi siapakah yang tidak pernah mendengar nama kalian sebagai tokoh-tokoh Ban-kwi-to? Kalian mempunyai ciri-ciri badan yang mudah di-kenal. Im-kan Siang-mo, Sepasang Iblis dari A-khirat, juga suami isteri Bouw Mo-ko dan Hoan Mo-li."
"Engkau mengenal kami, lalu mau apa?" tiba-tiba nenek iblis itu menantang.
Siang Houw Nio-nio tetap tersenyum dengan tenang. "Lihat, tidak kenalkah kalian kepada lebah-lebah ini lagi?"
Melihat betapa lebah-lebah putih itu berada di dalam botol yang dipegang oleh si nenek sakti, suami isteri itu menjadi marah sekali. "Kembali-kan lebah-lebahku!" bentak Hoan Mo-li, nenek gendut itu sambil menyerang, diturut pula oleh suaminya.
Lebah-lebah itu adalah binatang-binatang peliharaan mereka yang menjadi sahabat-sahabat baik dan bahkan merupakan senjata mereka yang terampuh dalam menghadapi lawan tangguh, dan mereka memperoleh lebah-lebah itu dengan amat sukar, bahkan dengan taruhan nyawa.
Belum lagi waktu yang dipergunakan untuk menjinakkan mereka yang membutuhkan ketelitian, kesabaran dan juga mengandung bahaya. Oleh karena itu, melihat betapa lebah-lebah itu berada di tangan nenek bangsawan itu, tentu saja mereka menjadi marah dan menyerang dengan dahsyat dan mati-matian.
Akan tetapi, suami isteri yang mempunyai pukulan-pukulan beracun itu sekarang seolah-olah ketemu gurunya. Pada hakekatnya, dasar ilmu si-lat dari tokoh-tokoh Ban-kwi-to ini tidaklah terlalu tinggi. Yang membuat mereka berbahaya bukanlah kelihaian ilmu silat mereka, melainkan racun-racun yang mereka pergunakan itulah. Kini, berhadapan dengan Siang Houw Nio-nio yang memiliki tingkat ilmu silat tinggi, mereka itu mati kutu.
Puteri tua yang menjadi bibi dan juga pelindung kaisar ini ternyata amat lihai. Ia menghadapi pengeroyokan dua orang itu hanya dengan tangan kanan saja, sedangkan tangan kirinya dipakai untuk memegang botol terisi lebah-lebah putih. Biarpun demikian, dengan langkah-langkah ajaib, ia selalu dapat menghindarkan diri dan kedua orang suami isteri iblis itu tidak pernah mampu menyentuhnya.
Sampai tigapuluh jurus lebih suami isteri itu mendesak tanpa ada gunanya sama sekali. Tiba-tiba, Siang Houw Nio-nio yang tadi hanya ingin melihat dasar-dasar gerakan mereka dan mengukur tingkat mereka, meloncat ke pinggir sambil berseru, "Berhenti!!"
Seruannya mengandung tenaga khikang yang demikian kuatnya sehingga dua orang lawannya itu, mau atau tidak, otomatis berhenti bergerak dan memandang kepadanya dengan bengong.
"Kita tukar lebah-lebah peliharaan kalian ini dengan obat pemunahnya untuk menyembuhkan para korban. Hayo cepat, kalau tidak, kuhancurkan lebah-lebah ini kemudian kepala kalian juga!"
Ucapan nenek itu penuh wibawa dan sekali ini suami isteri itu tidak ragu-ragu lagi. Mereka telah memperoleh bukti bahwa nenek ini tidak hanya mengeluarkan gertak sambal belaka, karena selama tigapuluh jurus lebih tadi mereka berdua memang sama sekali tidak berdaya dan kalau nenek itu be-nar-benar hendak membunuh mereka, agaknya hal itu bukan tidak mungkin.
"Baik..., baik... ini obat pemunahnya, obat luar dan obat minum. Berikan kembali lebah-lebahku," kata Hoan Mo-li si nenek gendut.
Penukaran terjadilah dan Siang Houw Nio-nio lalu memerintahkan dua orang muridnya untuk mengobati para korban. Dan benar saja, setelah diolesi obat luar dan diberi minum obat minumnya, para korban itu berhenti berkelojotan dan tak lama kemudian merekapun sembuh kembali.
Sementara itu, kakek kecil kurus, Bouw Mo-ko, setelah sejak tadi memandang kepada nenek bangsawan itu, lalu berkata, "Benarkah kami berhadapan dengan yang mulia Siang Houw Nio-nio?"
Mendengar ucapan suaminya itu, Hoan Mo-li juga kelihatan terkejut. Nenek bangsawan itu mengangguk dan berkata, "Nah, kalian boleh pergi dari sini dan jangan mencoba untuk membikin kacau di kota ini!"
Bouw Mo-ko yang maklum bahwa tinggal lebih lama di tempat itu tidak menguntungkan mereka, lalu menggandeng tangan isterinya. "Isteriku, mari kita pergi dari sini!"
"Nanti dulu!" Hoan Mo-li mengibaskan tangannya yang digandeng suaminya. "Siang Houw Nio-nio, perjanjian antara kita hanya mengenai tukar-menukar lebah dan obat penawarnya. Akan tetapi gadis itu adalah tawanan kami, maka kami akan membawanya kembali!"
Nenek bangsawan itu menoleh kepada Pek Lian yang ditudingi oleh nenek iblis itu, lalu ia meng-angkat pundaknya. "Tidak ada hubungannya de-nganku," katanya. Mendengar ini, Hoan Mo-li lalu menghampiri Pek Lian.
"Anak manis, mari kau ikut dengan kami!"
"Tidak sudi! Biar mati aku tidak akan mau menyerah!" bentak Pek Lian sambil melintangkan pedangnya, pedang yang dipungutnya dari atas tanah di halaman itu.
"Eh, eh, kau berani melawanku, ya?" Hoan Mo-li membentak dan menubruk maju.
Pek Lian mengelak dan balas menyerang. Akan tetapi, Bouw Mo-ko kini juga sudah maju menubruk dan Pek Lian menjadi repot sekali. Melawan seorang di antara kedua iblis itu saja ia takkan mampu menang, apa lagi kalau dikeroyok dua. Akan tetapi pada saat itu, Pek In dan Ang In sudah menerjang maju membantunya.
"Eh, eh, bukankah gadis tawananku ini tidak termasuk perjanjian tukar-menukar lebah?" Hoan Mo-li mencela.
"Kalian berjanji dengan subo, bukan dengan kami. Kami tidak terikat perjanjian!" jawab Pek In yang terus menggerakkan pedangnya, dibantu oleh Ang In dan Pek Lian. Kini dua orang suami isteri iblis itu yang menjadi kewalahan. Untuk mempergunakan racun, mereka segan dan jerih terhadap Siang Houw Nio-nio, maka akhirnya sambil mengeluarkan seruan-seruan marah dan kecewa, keduanya meloncat ke atas gerobak dan melarikan gerobak mereka itu dengan cepat meninggalkan tempat itu, langsung keluar dari pintu gerbang kota besar Lok-yang.
Setelah dua orang iblis itu melarikan diri, Siang Houw Nio-nio memandang kepada Pek Lian de-ngan sinar mata penuh selidik, kemudian bertanya, "Nona, siapakah engkau?"
Pek Lian merasa ragu-ragu untuk menjawab. Ia tahu siapa adanya nenek ini yang masih keluarga dekat kaisar. Tentu saja ia tidak berani mengaku bahwa ia adalah puteri Menteri Ho yang kini men-jadi musuh dan tawanan pemerintah. Sebagai bibi kaisar, tentu saja nenek inipun memusuhi keluarga Ho yang dianggap pemberontak. Melihat keraguan Pek Lian, gadis baju merah lalu berkata sebagai keterangan kepada subonya,
"Gadis ini tentu merupakan kawan dari orang-orang Lembah Yang-ce yang memberontak. Anak buah teecu pernah menawannya. Bukankah begitu?" tanyanya kepada Pek Lian.
Pek Lian tak dapat menyangkal akan hal ini dan iapun tahu bahwa tentu wanita-wanita bertusuk konde batu giok itu telah melapor kepada pimpinan mereka ini. Maka iapun menjawab dengan suara mengejek, "Hemm... kiranya wanita-wanita bertusuk konde batu giok itu adalah anak buahmu?" Pek Lian memandang ke arah tusuk konde pada rambut nona baju merah itu. "Anak buahmu itu sungguh kurang ajar sekali. Aku hanya pernah berjalan bersama-sama ketua lembah itu saja, dan aku lalu ditangkap! Aturan mana itu?"
"Adik yang baik, kau maafkanlah anak buah kami. Akan tetapi orang-orang lembah itu adalah buronan pemerintah, maka karena engkau mengenal mereka, sudah selayaknya kalau engkau dicurigai," kata Pek In si baju putih.
"Akan tetapi, apa hubungannya dengan wanita-wanita baju sutera hitam bertusuk konde batu giok itu? Ada hak apakah mereka mencurigai orang?" Pek Lian bertanya penasaran.
Gadis baju putih itu tersenyum dan kalau biasanya ia nampak gagah, kini baru terlihat jelas bahwa wajahnya manis sekali kalau tersenyum. "Adik, tahukah engkau siapa pembesar pemilik gedung ini? Beliau adalah Wakil Perdana Menteri Kang, dan guru kami ini, beliau adalah bibi dari sri baginda kaisar. Nah, kini engkau mengerti mengapa anak buah kami mencurigai orang-orang yang menjadi teman para pemberontak, bukan?"
Tentu saja Pek Lian sama sekali tidak terkejut mendengar siapa adanya pembesar dan nenek bangsawan itu karena memang ia sudah pernah mengenal dan mendengar tentang mereka. Hanya tadi ia merasa kagum bukan main menyaksikan kelihaian nenek itu ketika menghadapi Im-kan Siang-mo, suami isteri iblis yang lihai itu.
Dan baru sekarang ia tahu bahwa pasukan wanita berpakaian sutera hitam dengan tusuk konde batu giok itu adalah anak buah murid-murid dari Siang Houw Nio-nio jadi orang-orangnya pemerintah! Atau setidaknya adalah golongan yang membela kaisar. Ia sendiri tidak ingin dikenal sebagai puteri Menteri Ho karena hal ini akan berbahaya sekali baginya.
Maka, ketika melihat Wakil Perdana Men-teri Kang keluar dan memandang kepadanya dengan sinar mata tajam, Pek Lian menundukkan mukanya. Menteri Kang itu mengerutkan alisnya dan merasa seperti pernah mengenal gadis ini. akan tetapi dia lupa lagi. Pek Lian merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Bagaimana kalau sampai ia dikenal? Tidak ragu lagi, ia tentu akan ditangkap sebagai anggauta keluarga pemberontak. Ia harus berhati-hati dalam memberi jawaban, pikirnya dan ia tidak boleh terlalu banyak bicara.
"Nona, siapakah engkau? Benarkah orang-orang Lembah Yang-ce itu adalah kawan-kawan mu? Ataukah engkau barangkali juga anggauta pemberontak?" kembali wanita tua itu bertanya dengan halus, namun sinar matanya seperti hendak menembus jantung Pek Lian.
"Saya adalah seorang perantau dan kebetulan bertemu di jalan dan berkenalan dengan ketua lembah itu. Karena saya pernah ditolongnya, maka kami menjadi sahabat, akan tetapi saya bukan anggauta mereka."
"Di manakah sekarang sahabatmu, ketua lembah itu?"
Ho Pek Lian memang tidak tahu ke mana perginya Kwee Tiong Li yang ikut bersama gurunya yang baru, yaitu kakek Kam Song Ki yang lihai. Maka iapun menggeleng kepalanya dan berkata, "Saya tidak tahu. Kami saling berpisah tiga hari yang lalu dan saya ditawan oleh pasukan tusuk konde batu giok lalu dirampas oleh sepasang iblis itu."
Wakil Perdana Menteri Kang mempersilahkan nyonya bangsawan itu untuk duduk kembali di ruangan tamu melanjutkan percakapan mereka. Siang Houw Nio-nio memberi isyarat kepada dua orang muridnya, "Bawa ia masuk dan awasi baik-baik."
Pek In dan Ang In lalu memegang kedua tangan Pek Lian dengan halus dan mengajaknya masuk pida ke ruang tamu di mana kedua orang gadis itu duduk agak jauh di belakang nenek yang kini melanjutkan percakapan dengan Menteri Kang. Dua orang muridnya adalah orang-orang keper-cayaan maka diperbolehkan untuk hadir. Dan ne-nek ini biarpun seorang bangsawan, akan tetapi sikapnya seperti orang kang-ouw, tidak begitu perduli akan segala peraturan.
Bahkan ia seperti sengaja membiarkan Pek Lian ikut pula mendengarkan, agaknya memang nenek ini ingin memancing agar Pek Lian dapat memberi keterangan lebih banyak tentang para pemberontak. Pek Lian duduk diapit-apit dua orang gadis lihai yang biarpun bersikap halus akan tetapi tetap saja merupakan pengawal-pengawal yang takkan membiarkan ia lolos. Diam-diam Pek Lian memasang telinga men-dengarkan percakapan tingkat tinggi itu.
"Menteri Kang, sekali lagi kuharapkan engkau suka memegang lagi jabatanmu dan mengurungkan niatmu untuk mengundurkan diri. Hal ini telah diputuskan oleh para penasihat istana dalam rapat terakhir dengan sri baginda kaisar sendiri. Akulah yang ditugaskan datang ke sini untuk menyampai-kannya kepadamu."
Wakil Perdana Menteri Kang mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. "Kalau hamba menolak, tentu paduka telah mendapat wewenang dari sri baginda untuk memenggal kepala hamba sekeluarga, bukan? Begini, tuan puteri. Hamba siap untuk kembali, akan tetapi hamba juga siap untuk membiarkan kepalaku dipenggal sekarang juga oleh paduka."
Nenek itu mengerutkan alisnya dan sinar matanya mencorong menatap wajah pembesar itu. "Hem, apa maksudmu, Menteri Kang?"
"Hamba siap untuk bertugas kembali, apabila syaratnya dipenuhi. Hamba mohon agar para menteri jujur dan setia yang dipecat dan dipensiunkan agar diampuni dan ditarik kembali karena tenaga mereka amat dibutuhkan negara, termasuk sahabat hamba Menteri Ho. Menteri Ho hendaknya diampuni dari hukuman mati, keluarganya dibebaskan dan agar dia menduduki lagi jabatannya. Demikianlah, tuan puteri. Kalau permohonan hamba itu tidak dipenuhi, maka lebih baik hamba menerima untuk di..."
"Nanti dulu, Menteri Kang!" nenek itu menyela. "Mana mungkin aku dapat memutuskan hal itu sekarang! Bukan wewenangku. Akan tetapi aku akan berusaha untuk menyampaikan permohonanmu kepada sri baginda dan akan berusaha agar beliau mengabulkannya. Aku mendengar bahwa sri baginda telah menghentikan empat orang menteri, bahkan menjatuhkan hukuman mati kepada seorang di antaranya yang kini sedang hendak menjalankan pelaksanaan hukuman matinya. Menteri itu adalah sahabat karibmu."
Nenek itu menghela napas. Ia tidak tahu betapa jantung Pek Lian berdebar penuh ketegangan dan keharuan. Betapa tidak akan tergetar rasa hati gadis ini mendengar orang membicarakan ayahnya. Akan tetapi ia menguasai hatinya dan hanya menundukkan muka sambil terus mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Maaf, tuan puteri. Soalnya bukan semata-mata karena Menteri Ho adalah sahabat karib hamba. Andaikata hamba tidak mengenal dia sekalipun, tetap dia akan hamba bela karena hamba tahu bahwa dia adalah satu di antara para pembantu sri baginda yang terbaik, paling jujur dan setia sampai ke tulang-tulang sumsumnya."
"Tapi dia berani menentang kebijaksanaan sri baginda!" kata nenek itu penasaran.
"Tidak, tuan puteri. Bukan menentang sri baginda, melainkan mengingatkan beliau bahwa keputusan yang diambil beliau itu kurang tepat dan pada akbarnya hanya akan merugikan negara sendiri. Hanya menteri-menteri jujur sajalah yang berani mengeritik, sebagai tanda bahwa dia benar-benar setia, bukan sebangsa pejabat yang pandainya hanya menjilat-jilat, menyenangkan hati sri baginda karena pamrih untuk mencari kedudukan dan pengaruh, pejabat macam ini sesungguhnya adalah pengkhianat, musuh dalam selimut yang amat berbahaya. Kenapa justeru menteri yang jujur dan setia yang harus ditangkap dan dihukum?"
"Sudahlah, aku mengerti apa yang kaumaksudkan. Aku akan menghadap sri baginda dan tunggu-lah selama satu minggu. Aku akan datang lagi, Pek-ji, Ang-ji, mari kita pulang. Bawa nona itu sebagai kawan."
Biarpun nenek itu menyebut "kawan" namun dua orang muridnya tentu saja maklum bahwa guru mereka mencurigai nona ini yang harus dibawa sebagai seorang tawanan. Pek Lian tidak membantah. Ia dan dua orang murid Siang Houw Nio-nio itu diberi pinjaman pakaian oleh keluarga Wakil Perdana Menteri Kang untuk mengganti pakaian mereka yang tadi basah ketika mereka berkelahi melawan Im-kan Siang-nio.
Setelah berpamit, rombongan puteri tua itu meninggalkan Lak-yang untuk kembali ke kota raja. Pengawal yang tadinya berjumlah empat belas orang itu masih utuh biarpun mereka telah menderita luka-luka berat yang kemudian dapat disembuhkan kembali. Tentu saja mereka masih nampak loyo. Akan tetapi, sesungguhnya tugas mereka itu lebih banyak sebagai tanda kebesaran saja dari pada benar-benar mengawal puteri tua yang amat lihai.
Dan yang tentu saja sama sekali tidak membutuhkan pengawalan orang-orang seperti mereka. Pek Lian menungang kuda di belakang kereta, diapit oleh Pek In dan Ang In. Dua orang gadis ini bersikap manis kepadanya, sama sekali tidak bersikap seperti orang yang menawannya. Pek Lian mengakui namanya, hanya she Ho itu digantinya dengan she palsu, yaitu she Sie.
Hujan telah berhenti sama sekali sehingga para pengawal, juga Pek In, Ang In dan Pek Lian yang berada di luar kereta tidak lagi basah oleh air hujan. Nenek bangsawan itu sengaja membuka tirai kereta sehingga dari belakang, sambil naik kuda yang disediakan oleh keluarga Menteri Kang, Pek Lian dapat melihat wajah nenek itu yang duduk termenung seperti patung. Diam-diam, seperti tidak sengaja, Pek Lian memperhatikan wajah itu.
Seorang wanita yang sudah tua, usianya tentu ada enampuluh lima tahun, akan tetapi masih jelas membayang bekas kecantikannya. Wajah itu masih putih lembut biarpun di sana-sini, terutama di kanan kiri mulut dan di antara kedua mata, terda-pat keriput. Alisnya diperindah dengan hiasan hitam seperti sudah lajimnya dilakukan oleh para wanita bangsawan. Mulut itu dahulu tentu indah dan penuh gairah, masih nampak jelas garis-garis lengkungnya, akan tetapi kini membayangkan se-suatu yang menyeramkan, menimbulkan sifat di-ngin dan juga keras.
Pek Lian teringat akan cerita ayahnya tentang wanita ini, seorang bibi dalam dari kaisar dan juga menjadi pelindung kaisar. Bia-sanya wanita ini selalu berada di dalam istana, menjadi semacam pelindung tersembunyi dari kaisar, di samping adanya pengawal-pengawal pribadi kaisar yang dipimpin oleh Pek-lui-kong Tong Ciak si pendek cebol tokoh Soa-hu-pai itu. Karena nenek ini tidak pernah mencampuri urusan pemerintahan, maka perkenalannya dengan Menteri Ho juga hanya sepintas lalu saja.
Bahkan Pek Lian sendiri hanya baru mendengar namanya saja dan belum pernah berkenalan secara langsung, hanya melihatnya dari jauh. Tidak demikian dengan Wa-kil Perdana Menteri Kang yang menjadi sahabat baik ayahnya. Ia pernah bertemu, bahkan berke-nalan dengan pembesar ini, walaupun hanya meru-pakan pertemuan sambil lalu. Karena itulah maka pembesar itu meragu dan tidak mengenalnya tadi.
Kereta itu dengan tenangnya meluncur keluar dari pintu gerbang benteng sebelah utara. Para penjaga yang mengenal kereta dengan tanda-tan-da pangkatnya ini, cepat berdiri tegak memberi hormat dan kereta itu lewat dengan cepatnya, Pada saat itu, Ang In mendekati jendela kereta dan berkata kepada nenek Siang Houw Nio-nio.
"Subo, di depan terdapat empat orang dari perkumpulan Thian-kiam-pang. Mereka juga keluar dari pintu gerbang dan juga membawa sebuah kereta."
Nenek itu mengerutkan alisnya yang kecil panjang dan hitam karena alis itu buatan dengan alat penghitam. "Biarkan saja, kenapa ribut-ribut? Jangan perdulikan bocah-bocah ingusan itu. Pura-pura tidak melihat saja!" Jelas bahwa dalam kata-kata nenek itu terdapat kemarahan atau kemengkalan hati yang tidak senang.
"Tapi... tapi, subo disana terdapat Yap-suko! Teecu... teecu..." gadis baju merah itu tergagap. Juga nona Pek In nampak gugup seperti adik seperguruannya.
Melihat semua ini, Pek Lian memandang heran. Ada apakah? Ia juga melihat kereta di depan dengan beberapa orang pemuda perkasa yang mirip dengan rombongan pria yang pernah dilihatnya ketika ia masih bersama kedua orang suhunya. Orang-orang Thian-kiam-pang! Pria gagah perkasa, berbaju putih-putih membawa pedang pasangan yang panjang, sikap merekapun gagah dan jelas menunjukkan bahwa mereka adalah golongan pendekar-pendekar perkasa.
"Huh, kalau ada bocah itu, kenapa sih? Apakah kalian takut padanya?" nenek itu bertanya dan nampaknya semakin penasaran. "Lihat, apa yang dapat mereka lakukan kalau ada aku di sini!"
Ho Pek Lian menjadi semakin heran. Ada apakah antara nenek dan dua orang muridnya itu dengan orang-orang dari Thian-kiam-pang, sehingga dua orang gadis lihai itu nampak seperti gentar dan kehilangan keberanian mereka? Apakah orang-orang Thian-kiam-pang itu musuh-musuh mereka dan apakah mereka itu demikan lihainya sehingga dua orang gadis itu kelihatan gentar? Karena tertarik, Pek Lian agak menjauhkan kudanya dari kereta untuk dapat melihat lebih jelas ke arah orang-orang Thian-kiam-pang yang berada di depan itu.
Kereta di depan itu agaknya berjalan lambat-lambat sehingga hampir tersusul oleh kereta yang ditumpangi Siang Houw Nio-nio. Kini Pek Lian dapat melihat lebih jelas. Orang-orang dari Perkumpulan Pedang Langit itu rata-rata berusia antara tigapuluh lima sampai empatpuluh tahun, kelihatan tegap dan gesit, rata-rata bersikap ga-gah dan membayangkan kepandaian silat yang tinggi.
Setelah kereta yang berada di belakang itu menyusul dekat, pria-pria gagah perkasa yang rata-rata berpakaian serba putih itu serentak me-nengok ke belakang dan kesemuanya nampak ter-kejut sekali dan kikuk, persis seperti sikap Pek In dan Ang In ketika melihat mereka! Jadi ada semacam rasa tidak enak, segan dan takut antara kedua rombongan itu.
Kini Pek Lian teringat betapa wanita-wanita berpakaian sutera hitam yang memakai tusuk konde batu giok itupun nampaknya kikuk ketika pria-pria gagah itu bertemu dengan pimpinan wanita bertusuk konde batu giok. Empat orang pria itu meringis, senyum yang masam dan kikuk, dan mereka hampir berbareng menegur ke-pada dua orang gadis itu. "Adik Pek! Adik Ang!"
Teguran yang dilakukan dalam keadaan cang-gung itu membuat dua orang gadis itu kelihatan makin serba salah, keduanya hanya tersenyum masam sambil sedikit mengangguk ketika mendengar sebutan itu. Padahal, melihat nada suara sebutan itu, mudah diduga bahwa hubungan antara mereka itu sesungguhnya amat dekat. Kini dua orang gadis itu hanya mengerling tajam dengan sikap takut-takut ke arah jendela kereta.
Mereka merasa lebih gugup ketika melihat betapa kereta itu, kereta para pria itu, berhenti dan pemuda yang tadi duduk di bangku kusir kini meloncat turun dan menghampiri mereka! Pemuda ini nampaknya paling muda di antara mereka berempat, akan tetapi melihat caranya memberi isyarat kepada yang lain untuk berhenti dan yang lain mengangguk ta-at, dapat diduga pula bahwa kedudukannya adalah yang paling tinggi.
Tentu saja Pek In dan Ang In tahu siapa pemuda ini. Namanya Yap Kiong Lee dan biarpun usianya termuda di antara yang lain, yaitu baru tigapuluh satu atau dua tahun, akan tetapi dia adalah murid tertua atau paling lama sehingga merupakan toa-suheng dari yang lain dan tingkat ilmu silatnya juga paling tinggi. Melihat dua orang gadis itu, murid Thian-kiam-pang yang paling lihai ini tersenyum girang dan dengan langkah lebar menghampiri sambil menegur.
"Hei, kiranya Pek-siauw-moi dan Ang-siauw-moi! Apa kabar, adik-adik yang manja? Dari manakah?" tiba-tiba dia terdiam ketika dua orang gadis itu kelihatan ketakutan dan kebingungan, memandang ke arah jendela kereta di belakang itu. Cepat dia menghentikan langkahnya dan memandang ke arah jendela kereta pula, wajahnya agak berobah dan sikapnya menjadi gugup pula.
Tiba-tiba terdengar suara nenek bangsawan dari dalam kereta, suaranya agak ketus, "Hayo, Pek-ji dan Ang-ji! Jangan layani bocah-bocah itu!"
Pek In dan Ang In menjadi semakin ketakutan. "Yap-suheng... aku... aku..." Pek In tak dapat melanjutkan kata-katanya dan menjalankan kudanya maju menjauhi pemuda itu, disusul oleh Ang In.
Yap Kiong Lee juga kelihatan jerih, sambil menjura ke arah kereta, diapun berkata, "Subo...!"
Dan saudara-saudara seperguruannya juga menjura dengan hormatnya. Akan tetapi, nenek di dalam kereta itu sama sekali tidak menjawab dan keretanya lewat dengan cepat mendahului kereta Thian-kiam-pang itu dan Pek Lian juga mengikuti kereta sambil melirik dengan penuh keheranan.
Betapa anehnya semua orang ini, pikirnya. Jelaslah bahwa mereka itu saling mengenal dengan amat baiknya, apa lagi pemuda she Yap itu sudah jelas memiliki hubungan yang amat akrab dengan dua orang gadis itu. Akan tetapi mengapa mereka itu bersikap seolah-olah mereka bermusuhan atau merasa takut untuk memperlihatkan keakraban?
Pek Lian melirik ke belakang ketika mereka me-lalui kereta orang-orang Thian-kiam-pang itu, dan ia melihat kereta itupun bergerak dengan ce-patnya, melalui jalan kecil di sebelah kiri dan agak-nya memang hendak mengambil jalan lain agar tidak sejalan dengan nenek bangsawan. Sebentar saja kereta mereka itu lenyap, meninggalkan debu mengepul tinggi. Sementara itu, kereta nenek bangsawan jalan seenaknya seperti yang diperintahkan oleh nenek itu kepada kusirnya.
Ketika kereta Siang Houw Nio-nio memasuki kota kecil di sebelah timur kota raja, hari telah senja. Jarak antara kota kecil Bin-an dengan Kota Raja Tiang-an tinggal perjalanan setengah hari saja. Akan tetapi karena nenek bangsawan itu tidak ingin melakukan perjalanan di malam hari, ia memerintahkan agar mereka bermalam di kota kecil Bin-an.
Dan biarpun ia seorang yang berkedudukan tinggi di istana, namun karena ia tidak termasuk orang pemerintahan dan tidak begitu mengenal para pejabat, iapun tidak mau merepotkan pejabat kota itu dan memerintahkan dua orang muridnya untuk mencari penginapan, tentu saja hotel yang paling baik dan besar di kota itu. Hotel itu selain besar dan mempunyai banyak kamar, juga menyediakan sebuah rumah makan yang mewah.
Nenek Siang Houw Nio-nio segera memasuki kamar yang disediakan untuknya dan memesan kepada Pek In dan Ang In agar untuk makan malamnya, diantar saja ke dalam kamar karena ia enggan keluar.
"Kalian boleh makan di luar dan jalan-jalan, akan tetapi jaga jangan sampai gadis itu lolos," katanya.
Dua orang gadis itu menyanggupi lalu mereka mengajak Pek Lian keluar dan memasuki rumah makan itu. Sikap keduanya gembira dan terhadap Pek Lian mereka menganggap seperti se-mang sahabat sendiri.
"Adik Pek Lian, engkau tahu bahwa demi tugas, kami harus mengawasimu karena engkau dicurigai, akan tetapi percayalah bahwa kami suka kepadamu dan sedikitpun kami tidak mempunyai hati benci atau memusuhimu," demikian mereka pernah berkata sehingga di dalam hatinya, Pek Lian juga suka kepada dua orang gadis yang berilmu tinggi ini.
Ketika mereka memasuki rumah makan, tempat itu penuh dengan tamu-tamu yang makan minum. Ada sebuah meja kosong di sudut dan tiga orang gadis itu duduk menghadapi meja ini, tidak jauh dari meja di mana terdapat empat orang laki-laki yang menarik perhatian mereka. Di pinggang me-reka ini terselip golok. Padahal, waktu itu sudah ada larangan membawa senjata.
Jelaslah bahwa empat orang ini termasuk jagoan-jagoan dan dua orang di antara mereka mempunyai lengan yang dibalut, tanda bahwa mereka telah mengalami luka. Sikap mereka kasar-kasar dan diam-diam Pek Lian melirik penuh perhatian karena ia merasa seperti pernah melihat wajah-wajah kasar ini.
Empat orang kasar itu kini menjadi semakin kasar karena mereka telah agak kebanyakan minum arak keras. Ketika mereka minta tambah arak dan pelayan datang agak terlambat, seorang di antara mereka bangkit berdiri dan menampar pelayan itu. Pelayan yang sial itu roboh terguling dengan pipi bengkak dan pingsan.
Tentu saja keadaan menjadi gempar. Banyak di antara para tamu merasa tidak enak dengan adanya peristiwa ini dan mereka sudah bangkit berdiri, bermaksud meninggalkan tem-pat itu. Akan tetapi, empat orang kasar itu bangkit berdiri, mencabut golok mereka dan mengacung-acungkannya ke atas.
"Jangan ribut! Teruskan kalian makan, siapa berani pergi akan kami bunuh!"
Tentu saja para tamu menjadi semakin ketakutan. Mereka tidak jadi pergi, akan tetapi tentu saja napsu makan sudah lama terbang meninggalkan hati mereka. Para pelayan lain dengan ketakutan segera menggotong pelayan sial yang pingsan itu.
"Harap nona suka hati-hati," bisik seorang di antara para pelayan ketika mereka lewat dekat meja tiga orang gadis itu.
Ketika ada beberapa orang petugas keamanan kota memasuki rumah makan, para tamu memandang dengan penuh harapan. Tentu mereka akan menangkap empat orang yang jelas merupakan penjahat-penjahat kasar itu. Akan tetapi, empat orang itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan seorang di antara mereka mengangkat kakinya ke atas meja secara menantang sekali. Dan anehnya, para petugas keamanan itu nampak ragu-ragu!
Hal ini tentu saja amat mengherankan hati Pek Lian. Kota kecil ini tidak terlalu jauh dari kota raja, akan tetapi mengapa para penjahat ini begitu beraninya, seolah-olah menantang petugas keamanan? Melihat sikap mereka, Ang In hampir tidak dapat menahan hatinya, akan tetapi sucinya berkedip kepadanya dan mencegahnya turun tangan karena Pek In ingin melihat perkembangannya.
Empat orang yang mabok-mabokan itu agaknya tidak memperdulikan kanan kiri dan kesempatan ini dipergunakan oleh Pek Lian untuk menggapai pelayan yang tadi membisikkan peringatan kepada mereka bertiga. Pelayan itu datang ke meja mereka dan sambil berpura-pura memesan makanan, Pek Lian berbisik dan bertanya kepada pelayan itu tentang empat orang kasar tadi. Sambil berbisik pula, dengan singkat pelayan itu lalu bercerita.
Kiranya memang sudah kurang lebih sepekan ini kota kecil itu didatangi oleh penjahat-penjahat yang beraksi di sekitar kota raja, termasuk di kota kecil itu. Ketika para petugas keamanan turun tangan bertindak, para penjahat melawan dan beberapa orang petugas tewas dalam perkelahian. Hal ini membuat para komandan marah dan diadakanlah pembersihan terhadap para penjahat.
Akan tetapi, ketika diadakan pembersihan pada siang harinya, maka pada malam harinya, terjadilah pembunuhan-pembunuhan gelap terhadap para komandan yang memimpin pembersihan. Dan di setiap tempat di mana perwira itu dibunuh, terdapat sebuah bendera kecil berdasar hitam dengan gambar harimau berwarna kuning. Di pinggang harimau itu melilit sebuah rantai yang kedua ujung nya bermata tombak.
Mendengar penuturan itu, Pek Lian menahan kagetnya. Bukankah gambar yang dilukiskan itu merupakan tanda dari San-hek-houw (Harimau Gunung Hitam), raja kaum perampok dan begal, copet dan maling, yang merupakan seorang di antara Sam-ok (Tiga Jahat)?
"Hemm, mengherankan sekali," kata Ang In. "Apakah tidak ada pasukan penjaga keamanan dari kota raja?" tanyanya kemudian.
Pelayan itu sambil berbisik melanjutkan ceritanya. Agaknya dia termasuk orang yang suka dengan kabar angin, dan suka bercerita pula, agaknya bangga karena dia dapat menceritakan semua itu. Menurut kabar, oleh penguasa kota telah dilaporkan ke kota raja, akan tetapi sampai hari itu belum ada hasilnya. Para penjahat itu nampaknya semakin berani.
Beberapa kali terjadi perkelahian antara para penjahat dan para penjaga yang dibantu oleh pendekar-pendekar yang kebetulan lewat di situ dan yang membela rakyat dari ancaman para penjahat. Hampir setiap hari. terjadi pembunuhan. Baru kemarin terjadi pertempuran sengit antara para penjahat dengan beberapa orang pendekar dari Kun-lun-pai.
Para penjahat melarikan diri sambil membawa teman-teman mereka yang terluka karena lima orang pendekar Kun-lun-pai itu lihai sekali. Akan tetapi, kemudian muncul seorang laki-laki tinggi besar yang berjubah kulit harimau. Laki-laki tinggi besar ini selalu diikuti oleh dua ekor harimau kumbang dan lima orang pendekar Kun-lun-pai itu tewas semua di tangan raja penjahat ini!
"Dan mereka itu..." kata si pelayan sambil melirik ke arah empat orang yang duduk di meja sambil tertawa-tawa itu. "Adalah sebagian dari penjahat-penjahat yang melarikan diri karena kalah oleh pendekar-pendekar Kun-lun-pai"
Mendengar penuturan itu, Pek Lian mengepal tangannya di bawah meja dan tanpa disadarinya lagi iapun berkata gemas, "Hemm, orang-orang si Raja Kelelawar sudah mulai merajalela!" Setelah mengeluarkan kata-kata itu dan melihat betapa dua orang gadis itu memandangnya dengan aneh, barulah Pek Lian terkejut sendiri.
"Adik Pek Lian sudah mengenal Raja Kelelawar dan pengikut-pengikutnya?" tanya Pek In sambil memandang tajam.
"Ah, tidak..." kata Pek Lian yang sudah menyadari bahwa ia tadi terdorong oleh perasaannya dan kelepasan bicara. "Aku hanya mendengar berita angin saja bahwa kini kaum hitam telah bersatu dan dipimpin oleh seorang raja penjahat besar yang bernama Raja Kelelawar. Raja ini kabarnya dibantu oleh dua orang pimpinan penjahat yang berjuluk Si Harimau Gunung dan Si Buaya Sakti."
Gadis baju merah mengangguk-angguk. "Memang berita itu benar. Anak buah yang kami kirim ke tempat pertemuan itu juga melaporkan demikian. Kiranya engkaupun sudah mendengar akan berita menghebohkan itu." Ang In tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu terdengar suara berisik derap kaki kuda di luar restoran.
Pelayan yang datang mengantar hidangan ke meja tiga orang gadis itu, menjadi pucat ketika menaruh mangkok-mangkok di atas meja. "Celaka... mereka... mereka datang lagi....!"
Dan setelah menaruh masakan-masakan panas di atas meja, pelayan itu bergegas pergi meninggalkan ruangan dan bersembunyi di bagian belakang restoran bersama teman-temannya.
Empat orang kasar itu kini semakin mabok dan semakin ugal-ugalan. Kata-kata mereka kasar dan juga jorok dan cabul, apa lagi setelah kini mereka melihat adanya tiga orang wanita cantik tidak jauh dari meja mereka. Kata-kata mereka mulai menyindir dan mengenai tiga orang wanita itu se-hingga wajah ketiga orang gadis itu menjadi merah karena marahnya.
"Ha-ha-ha, A-tung, gadis-gadis di sini memang berani-berani. Lihat saja, banyaknya gadis yang datang mendekati kita ke manapun kita berada. Ha-ha-ha!"
"Memang rejeki kita sedang besar. Tapi, kita berempat sedangkan yang ada hanya tiga, harus diundi!"
"Aku ingin yang paling muda!"
"Kalau aku yang lebih tua, karena tentu lebih berpengalaman dan lebih menyenangkan."
Ang In sudah meraba gagang pedangnya, akan tetapi lengannya disentuh oleh sucinya yang melarangnya untuk menanggapi orang-orang kasar itu. Pek In lebih hati-hati dari pada sumoinya, ia selalu ingat bahwa mereka berada dalam tugas dan mereka tidak sepatutnya kalau melibatkan diri dengan urusan pribadi. Mereka hanya akan bergerak kalau ada perintah dari subo yang juga menjadi majikan mereka. Kalau mereka menimbulkan keributan karena urusan pribadi, tentu mereka akan menerima teguran dari subo mereka.
Akan tetapi, empat orang kasar itu agaknya tidak tahu gelagat dan mereka itu makin menjadi-jadi kurang ajarnya. Apa lagi ketika Pek Lian yang merasa marah karena dirinya dibicarakan secara jorok itu, melirik dengan sinar mata berapi. Seorang di antara mereka, yang berkumis tebal, bangkit dan dengan langkah sempoyongan menghampiri meja tiga orang gadis yang sedang mulai makan itu.
"Ha-ha-ha, nona manis, jangan jual mahal. Mari makan bersama kami" Dan diapun mengulurkan tangannya hendak meraba dada Pek Lian. Gadis itu tidak dapat lagi mengendalikan kemarahan hatinya. Disambarnya mangkok kuah bakso panas dan sekali ia menggerakkan tangan "byuurrr" kuah panas itu menyiram muka yang berkumis tebal itu.
"Aduuhhh... auphh... panas, panas...!" Dia menjerit-jerit, kulit mukanya terbakar, matanya kemasukan kuah yang banyak mericanya, terasa pedas dan perih.
Tiga orang kawannya terkejut dan marah sekali, meloncat sambil, mencabut golok mereka. Suasana menjadi panik karena para tamu sudah menjadi ketakutan. Akan tetapi, sebelum empat orang kasar itu sempat turun tangan, terdengar bentakan yang amat nyaring, "Tahan! Jangan mengganggu wanita!!"
Kiranya yang membentak dan yang kini telah berdiri di situ adalah Yap Kiong Lee, murid kepala dari ketua Thian-kiam-pang itu. Tiga orang su-tenya dengan sikap tenang berdiri di belakangnya. Kiranya derap kaki kuda tadi adalah kuda dan kereta mereka.
Empat orang kasar itu adalah penjahat-penjahat yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri. Apa lagi sekarang, seperti diceritakan oleh pelayan tadi dan diketahui pula oleh tiga orang gadis, mereka sedang berbesar hati karena banyak kawan mereka merajalela di situ, dan mereka merasa dilindungi oleh raja mereka, Si Harimau Gunung! Mengandalkan semua ini, tentu saja mereka tidak merasa gentar menghadapi empat orang pria muda ini.
"Keparat jahanam! Berani engkau hendak mencampuri urusan kami?" bentak pimpinan gerombolan empat orang penjahat itu yang kepalanya botak kelimis sambil menudingkan goloknya ke arah muka Yap Kiong Lee.
Pemuda ini tersenyum tenang saja. "Mengganggu wanita di tempat umum bukanlah urusan pribadi, melainkan urusan umum karena kalian telah mengacaukan orang lain di tempat umum, Sebaliknya kalian berempat pergi saja dari sini dan jangan membuat gaduh."
"Keparat!" Si botak itu dengan marahnya membacok dengan goloknya ke arah leher pemuda she Yap.
Namun, dengan amat mudahnya, pemuda she Yap ini miringkan kepala dan golok itu lewat di dekat lehernya tanpa menyentuhnya sedikitpun ju-ga. Hanya seorang ahli silat tinggi sajalah yang da-pat mengelak seperti itu, sedikit saja dan membiar-kan senjata lawan lewat dekat. Karena gerakan yang sedikit inilah yang memungkinkan dia dapat cepat pula melakukan serangan balasan. Akan tetapi agaknya pemuda itu sabar sekali dan tahu bahwa -dia hanya menghadapi orang-orang kasar. Dia tidak membalas dan pada saat itu, dua orang sute-nya sudah maju.
"Toa-suheng, biarkan kami yang maju menghajar bajingan-bajingan kecil ini!" Dua orang sutenya itu lebih tua beberapa tahun dari pada Kiong Lee, akan tetapi mereka menyebut suheng, bahkan toa-suheng atau kakak seperguruan terbesar karena memang pemuda inilah yang pertama kali menjadi murid ketua Thian-kiam-pang.
Yap Kiong Lee segera mundur dan dua orang sutenya maju. Empat orang kasar itu tidak perduli dan mereka sudah menerjang dengan golok mereka. Akan tetapi, dua orang murid Thian-kiam-pang yang maju ini adalah murid-murid kepala, murid-murid pilihan yang sudah mempunyai ilmu kepandaian tinggi.
Dengan kedua tangan kosong saja mereka menghadapi empat orang bergolok itu dan membagi-bagi pukulan dengan enaknya, membuat empat orang kasar itu jatuh bangun dan akhirnya mereka memperlihatkan warna aselinya, yaitu pengecut-pengecut yang beraninya hanya main keroyok, menindas yang lemah dan kalau bertemu tanding yang lebih kuat, mereka itu berlumba melarikan diri!
Yap Kiong Lee melirik ke kanan kiri untuk melihat apakah guru dari dua orang gadis yang dikenalnya itu berada di situ. Setelah merasa yakin bahwa nenek yang ditakutinya itu tidak berada di situ, wajahnya menjadi cerah dan diapun bersama tiga orang sutenya cepat menghampiri meja Pek In dan Ang In.
"Suheng, apa kabar? Subo berada di kamarnya. Marilah!" Pek In mempersilahkan pemuda itu dan mereka berempat lalu mengambil tempat duduk dan bercakap-cakap dengan amat akrabnya dengan Pek In dan Ang In.
"Sebetulnya, Yap-suheng dari manakah? Kelihatan tergesa-gesa sekali. Dan bagaimana kabarnya dengan Kim-suheng? Kenapa dia tidak kelihatan bersamamu? Biasanya, Kim-suheng yang bandel itu tidak pernah berpisah denganmu," kata Pek In dan ketika ia menyebutkan "Kim-suheng", ia melirik kepada sumoinya, Ang In.
Mendengar pertanyaan Pek In ini, mendadak sikap empat orang gagah itu berobah dan mereka kelihatan berduka dan menundukkan mukanya. Terutama sekali Yap Kiong Lee, pemuda ini menundukkan muka dan matanya menjadi basah. Teringatlah pemuda itu akan semua keadaannya yang membuatnya berduka sekali pada saat itu, setelah mendengar pertanyaan Pek In tentang adiknya.
Ya, Yap Kim adalah adiknya. Dia sendiri adalah seorang anak yatim piatu yang sejak kecil telah diambil murid, kemudian bahkan diangkat anak oleh gurunya sendiri, yaitu seorang pendekar terkenal yang memiliki ilmu kepandaian hebat dan kemudian menjadi ketua Thian-kiam-pang. Gurunya itu she Yap dan biasanya orang hanya me-ngenal sebagai Yap-taihiap saja, dan setelah tua dikenal sebagai Yap-lojin yang disegani orang. Nama lengkapnya adalah Yap Cu Kiat.
Karena suhunya itu tadinya tidak mempunyai keturunan ma-ka diapun diangkat anak oleh Yap Cu Kiat. Dua tahun kemudian, ketika dia berusia delapan tahun, isteri suhunya melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Yap Kim karena ketika isterinya mengandung, suhunya pernah bermimpi isterinya melahirkan sebuah boneka emas!
Yap Kiong Lee sendiri amat sayang kepada adiknya ini. Dialah yang menggendongnya, dialah yang mengajaknya bermain-main sejak Yap Kim kecil dan setelah adiknya itu dewasa, mereka menjadi akrab dan ru-kun sekali, saling menyayang.
Takkan ada orang yang menyangka bahwa mereka itu sesungguhnya hanyalah saudara angkat saja. Kiong Lee sangat menyayang adiknya itu dan memang Kim-ji, de-mikian sebutannya, amat dimanjakan oleh semua orang sehingga sejak kecil anak itu menjadi ban-del dan nakal bukan main. Dan kini, diingatkan oleh pertanyaan Pek In, hati Kiong Lee seperti di-tusuk karena dia teringat kepada adiknya.
"Ahh... dia... Kim-te terluka parah!" Akhirnya dia dapat mengeluarkan kata-kata yang penuh kegelisahan.
"Terluka parah......??" Ang In bertanya dan mukanya berobah pucat. "Apa yang terjadi dengan dia?"
"Dia dilukai oleh Si Raja Kelelawar! Lukanya parah sekali... entah bisa sembuh atau tidak..." Suara Kiong Lee gemetar penuh kegelisahan.
"Apanya yang terluka? Dan... di manakah dia sekarang?" Kembali nona Ang In bertanya, hampir menangis.
Melihat semua ini, Pek Lian dapat menduga bahwa nona Ang yang gagah ini agaknya ada hati terhadap pemuda bernama Yap Kim yang terluka parah itu. "Sebenarnya, bagaimanakah dia dapat sampai terluka oleh si Raja Kelelawar?" nona Pek In memotong karena dengan hati terharu ia pun merasa gelisah mendengar cerita itu dan ingin sekali tahu apa yang telah terjadi.
Kiong Lee menarik napas panjang dan mengepalkan tangannya. "Kalau di ingat sungguh membuat hatiku menyesal sekali. Tanpa diketahui oleh Suhu, Kim-te mengajakku menonton pertemuan yang diadakan oleh kaum sesat itu. Akan tetapi karena ada larangan dari suhu, maka akupun tidak mau. Tidak kusangka sama sekali bahwa dengan nekat adik Kim pergi sendiri! Mendengar bahwa Kim-te pergi seorang diri, suhu lalu memanggilku dan menyuruhku mencari dan mengajaknya pulang.
"Aku mengajak beberapa orang suteku untuk menyusul Kim-te, akan tetapi setibanya di tempat pertemuan itu, ternyata sudah terlambat. Orang-orang sudah bubaran dan pertemuan itu telah lewat. Kami ber-pencar untuk mencari Kim-te. Kalian tentu sudah tahu bahwa biarpun Kim-te sangat berbakat dalam ilmu silat, namun watak nakalnya sukar untuk dirobah. Apa lagi setelah subo pergi meninggalkan suhu, anak itu makin sukar diurus." Yap Kiong Lee menarik napas panjang, nampak berduka sekali.
"Akan tetapi bukankah dia amat penurut kepadamu, Yap-suheng?"
"Memang dia amat patuh kepadaku karena sejak kecil akulah yang mengasuhnya, melindungi dan mengajarnya ilmu silat yang diberikan oleh suhu dan subo."
"Yap-suheng memang sangat berbudi, aku dan adik Ang juga sejak kecil selalu menyusahkanmu," kata Pek In lirih.
"Hemm, adik Pek, engkau tahu apa? Sejak kecil aku sudah yatim piatu. Suhu memungut dan memeliharaku, bahkan mengangkatku sebagai anak. Setelah aku berusia delapan tahun, baru adik Kim terlahir. Budi suhu dan subo yang dilimpahkan kepadaku, sampai matipun takkan dapat kubalas, maka apa artinya membimbing kalian yang menjadi murid-murid tersayang dari subo?"
"Lalu bagaimana dengan Kim-suheng?" tanya Ang In.
"Baiklah, kulanjutkan ceritaku. Dari seorang pengunjung pertemuan itu, kami mendengar bahwa ada seorang pemuda yang berpakaian putih dan bersenjata siang-kiam (pedang pasangan) tampak bersama seorang gemuk pendek berkelahi melawan kelompok orang berjubah naga di lereng bukit sebelah selatan. Kami segera mengejar ke sana. Akan tetapi terlambat. Perkelahian telah selesai dan kedua pihak sama-sama terluka dan kedua pihak telah pergi.
"Yang membuat kami khawatir adalah ketika kami melihat dari bekas-bekas pertempuran bahwa kawan Kim-sute yang pendek itu adalah seorang tokoh pulau terlarang atau Pulau Ban-kwi-to. Kalau benar seperti kata orang yang menyaksikan itu, orang yang gemuk pendek itu tentulah Ceng-ya-kang (Kelabang Hijau) tokoh penting dari Ban-kwi-to."
"Lalu bagaimana?" Ang In mendesak, khawatir sekali.
"Kami mengikuti jejaknya. Di sebuah dusun kami menemukan Kim-sute terluka parah di rumah seorang petani, dirawat oleh seorang pendekar tua yang tidak mau menyebutkan namanya. Menurut pengakuannya, adik Kim telah berkelahi melawan penjahat-penjahat yang dipimpin oleh raja bajak, kemudian datanglah Raja Kelelawar dan Kim-sute dilukainya. Untung ada pendekar tua itu yang lewat dan menolongnya."
"Lalu ke mana perginya si Kelabang Hijau itu?" tanya Pek In.
"Entahlah, Kim-sute sendiripun tidak tahu karena setelah terpukul, dia pingsan."
"Di mana adanya Kim-suheng sekarang?" Ang In bertanya, wajahnya membayangkan kekhawatiran hebat.
"Di dalam kereta, dijaga oleh Ngo-sute."
"Aku ingin menengok Kim-suheng !" Ang In cepat bangkit berdiri dan semua orangpun bangkit hendak mengikutinya. Akan tetapi, sebelum mereka meninggalkan meja itu, tiba-tiba terdengar suara halus.
"Hemm kalian mau ke mana?"
Semua orang terkejut karena mengenal suara ini dan ketika mereka membalikkan tubuh, ternyata Siang Houw Nio-nio telah berdiri di situ! Yap Kiong Lee terkejut dan jerih, cepat-cepat dia dan ketiga orang sutenya menjatuhkan diriberlutut sambil berkata takut-takut, "Subo...!"
Akan tetapi wanita bangsawan itu tidak mengacuhkan mereka melainkan memandang kepada kedua orang muridnya yang nampak ketakutan, dan wanita tua itu nampak marah.
"Kenapa kalian tetap bergaul dengan murid-murid tua bangka itu? Apakah engkau ingin mengikuti mereka dan memusuhi aku?" Di dalam ucapan ini terkandung kepahitan yang amat mendalam sehingga dua orang gadis itu menjadi bingung dan tidak mampu menjawab.
Melihat ini, Yap Kiong Lee mengangkat muka dan berkata, "Subo... teeculah yang..."
"Diam kau!" bentak wanita bangsawan itu dengan suara keras, membuat Pek In menjadi semakin pucat.
Peristiwa ini diam-diam sejak tadi diikuti oleh Ho Pek Lian. Jiwa pendekarnya bergolak. Ia melihat ketidakadilan dan merasa tidak senang dengan sikap nenek bangsawan itu yang dianggapnya terlalu menekan kepada orang-orang muda yang dikaguminya itu. Tanpa dapat menahan gelora hatinya, Pek Lian sudah melangkah ke depan dan dengan jari telunjuk menuding kepada nenek bangsawan itu, ia berkata marah,
"Haii, apa-apaan ini? Main gertak main kasar! Lihat dulu masalahnya baru marah-marah, itu baru adil namanya!"
"Anak kecil, engkau tahu apa!" bentak nenek itu dan tangannya melayang, menampar ke arah pipi Pek Lian.
Tentu saja nona ini tidak membiarkan pipinya ditampar dan iapun sudah cepat meloncat ke belakang dan baiknya nenek itu agaknyapun bukan menyerang dengan sungguh-sungguh hanya untuk melampiaskan kemengkalan hatinya saja sehingga tidak melanjutkan serangannya. Dan pada saat itu, terdengarlah suara ribut-ribut di luar.
Yap Kiong Lee melihat empat orang laki-laki jahat yang tadi dihajar oleh dua orang sutenya, maka diapun cepat meloncat keluar. Hampir saja dia bertabrakan dengan seorang tinggi besar bermantel kulit harimau yang melangkah masuk.
Laki-laki tinggi besar ini tidak menghindar atau mihggir, akan tetapi malah memasang kuda-kuda dan menggerakkan sikunya ke depan, menyerang ke arah tulang rusuk pemuda baju putih itu. Mereka sudah berada dalam jarak dekat sekali dan serangan itu dilakukan secara tiba-tiba dan tidak terduga-duga, akan tetapi ternyata pemuda she Yap ini amat lihai, tenang dan tidak kehilangan akal.
Dia maklum bahwa kalau dia mengadu tenaga, dia akan kalah posisi dan kalau orang itu ber-tenaga besar seperti nampaknya, dia akan menderita rugi. Dan pintu itu terlalu sempit untuk dapat menerobos keluar, apa lagi karena lubang pintu telah dijaga oleh sepasang lengan yang panjang dan kuat dari orang itu, di samping adanya dua ekor harimau hitam yang berdiri di kanan kiri orang itu, dengan rantai leher yang ujungnya dipegang oleh dua orang diantara empat penjahat yang tadi mengganggu Pek Lian.
Dalam beberapa detik saja, Yap Kiong Lee telah memperoleh akal yang amat cerdik. Kakinya yang sedang melangkah tadi dilanjutkan dengan tendangan ke arah selangkang si tinggi besar dan dia bersikap seolah-olah dia memang hendak mengadu tenaga. Melihat ini, orang tinggi besar itu menyeringai dan tubuhnya sedikit membungkuk untuk menangkis tendangan dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya tetap melakukan serangan dengan siku.
Akan tetapi tiba-tiba Kiong Lee menarik kembali kakinya dan mengenjot badan dengan menekankan kaki pada lantai, tangannya menampar siku yang menyerang rusuknya, meminjam tenaga lawan untuk mengayun tubuhnya meluncur ke atas di antara kepala lawan.
Dan daun pintu seperti seekor burung lolos dari pintu kurungan yang terbuka sedikit saja. Kemudian, tubuhnya yang meluncur keluar itu membuat salto yang amat manisnya sehingga dia dapat turun di luar pintu dengan lunak. Semua orang melongo dan memandang kagum.
Bahkan nenek Siang Houw Nio-nio sendiri merasa kagum dan memuji ketangkasan dan kecerdikan pemuda itu. "Berani... bagus sekali... anak ini sungguh semakin lihai saja!"
Kalau semua orang memandang kagum sekali, tiga orang gadis itupun bersorak karena gembiranya. Pek In dan Ang In sampai lupa kepada subonya yang marah-marah. Mereka terbawa oleh sikap Pek Lian yang bersorak memuji sehingga merekapun ikut pula bersorak. Baru setelah mereka melihat subo mereka memandang kepada mereka dengan mata melotot, mereka sadar dan tangan yang sedang bertepuk itupun terhenti di tengah jalan.
Sementara itu, orang tinggi besar itu menjadi marah sekali. Dia adalah orang ke tiga dari Sam-ok, yaitu tiga raja penjahat. Dia adalah San-hek-houw atau Si Harimau Gunung yang sebelum munculnya Raja Kelelawar telah merajai semua penjahat di daratan, rajanya para. perampok, maling dan copet. Kini dia telah menjadi pembantu utama dari Raja Kelelawar di samping dua orang rekannya yang terkenal dengan julukan Sam-ok atau Si Tiga Jahat.
Melihat betapa dalam gebrakan pertama dia tidak mampu menghadang pemuda baju putih itu dan sebaliknya malah memberi ke-sempatan kepada pemuda itu mendemonstrasikan kepandaiannya sehingga memperoleh pujian, Sam-hek-houw menjadi marah sekali. Cepat dia mem-balikkan tubuhnya dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang ke depan dan menyerang Kiong Lee yang baru saja turun ke atas tanah.
Serangan San-hek-houw ini ganas dan dahsyat sekali, tiada bedanya dengan ulah seekor harimau yang sedang kelaparan. Dua ekor harimau hitam yang menjadi binatang peliharaannya itu mengaum-ngaum melihat majikan mereka berkelahi, seolah-olah memberi semangat. Tentu saja para tamu restoran menjadi panik ketakutan.
Berdiam di restoran merasa ngeri, mau lari keluar terhadang oleh perkelahian di luar pintu, juga mereka takut kepada dua ekor harimau itu yang rantainya dipegang oleh empat orang penjahat yang kini tertawa-tawa karena mereka merasa yakin bahwa muculnya raja mereka ini akan dapat membalaskan kekalahan mereka tadi.
Akan tetapi sekali ini mereka kecelik. Baru sekarang mereka memperoleh kenyataan bahwa raja mereka itu bukanlah jaminan untuk selalu menang. Biarpun Si Harimau Gunung menyerang dengan ganas dan dahsyat, namun pemuda baju putih itu dengan sikap tenang sekali dapat menandinginya dan sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah ampuhnya.
Mereka ternyata seimbang, baik kecepatan maupun tenaga mereka. Perkelahian itu amat seru dan menegangkan, terutama sekali bagi mereka yang mempunyai keahlian dalam ilmu silat sehingga dapat mengikutinya. Yang merasa marah dan penasaran adalah San-hek-houw sendiri. Biasanya, selama ini setiap kali dia turun tangan, dan hal ini jarang terjadi karena dia cukup mewakilkan kepada anak buahnya saja, sudah dapat dipastikan bahwa dia akan berhasil baik.
Akan tetapi ternyata pemuda baju putih ini sedemikian lihainya sehingga semua serangannya gagal dan dia malah harus menjaga diri karena pemuda itu membalas dengan serangan yang amat berbahaya pula. Karena penasaran, maka raja penjahat ini lalu mengeluarkan senjatanya yang mengerikan, yaitu rantai yang kedua ujungnya bermata tombak. Begitu diputar, rantai itu lenyap berobah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar.
Melihat ini, Yap Kiong Lee cepat mencabut sepasang pedangnya yang tergantung di punggung. Nampak dua sinar putih berkelebatan menghadapi senjata rantai dan kembali terjadi perkelahian yang lebih seru dan juga ternyata dalam adu kepandaian senjata, mereka memiliki tingkat yang seimbang...