Darah Pendekar Jilid 08

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Darah Pendekar Jilid 08
Sonny Ogawa

Darah Pendekar Jilid 08 karya Kho Ping Hoo - LIMA PULUH jurus telah lewat dan keduanya sudah saling desak samibil mengerahkan tenaga sekuatnya. "Tring... trang... trakkk...!"

Novel silat Darah Pendekar karya Kho Ping Hoo

Tanpa dapat dicegah lagi, rantai itu melibat kedua pedang dan senjata-senjata itu saling berbelit dengan amat kuatnya. Karena tidak ada jalan lain untuk melepaskan senjata yang terlibat itu, keduanya lalu mengerahkan tenaga sinkang. Mereka membentak nyaring dan saling tarik. Akibatnya, kedua pedang Kiong Lee terlepas dari pegangan.

Akan tetapi juga tangan kanan Harimau Gunung itu terpaksa melepaskan senjata rantainya yang kini hanya dipegang oleh tangan kiri. Inipun tidak lama karena secepat kilat kaki Kiong Lee menendang ke arah pergelangan tangan kiri lawan. Kakek tinggi besar itu berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja ujung sepatu menyerempet pergelangan tangan kirinya sehingga tangan inipun terpaksa melepaskan rantainya.

Kini senjata-senjata itu terlepas di atas tanah dan keduanya melanjutkan lagi dengan tangan kosong! San-hek-houw mengeluarkan suara auman seperti harimau yang disambut oleh dua ekor harimau peliharaannya, kemudian diapun mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu silat tangan kosong Houw-jiauw-kang. (Ilmu Cakar Harimau). Kedua tangannya membentuk cakar harimau dan gerakannya juga seperti gerakan kaki depan harimau kalau mencakar-cakar dengan dahsyatnya.

Hanya cakar harimau yang dibentuk oleh jari-jari tangan manusia ini bahkan jauh lebih berbahaya dari pada cakar harimau aseli karena setiap gerak-an mengeluarkan desiran angin tajam. Kedua kakinya berloncatan persis seperti gerakan harimau kumbang dan selama belasan jurus Kiong Lee nam-pak terkurung dan terdesak oleh ilmu silat yang berbeda dengan Ilmu Silat Houw-kun (Silat Ha-rimau) biasanya ini.

Ilmu Silat Houw-jiauw-kang milik Si Harimau Gunung ini benar-benar luar biasa sekali. Agaknya telah dipelajari dengan sempurna sehingga biarpun jari-jari tangan yang membentuk cakar harimau itu tidak sampai menyentuh lawan, namun sambaran angin pukulannya saja telah mampu mencabik-cabik benda.

Baju pemuda yang putih itu, terutama di bagian lengan baju, robek-robek terlanggar angin pukulan itu, seperti dicakari oleh kuku-kuku tajam. Tentu saja semua orang terkejut dan memandang khawatir karena pemuda itu nampak terdesak, terutama sekali tiga orang gadis yang selalu berpihak kepada pemuda itu. Ilmu silat raja perampok itu sungguh lihai bukan main.

Tiba-tiba Kiong Lee mengeluarkan teriakan yang mengejutkan semua orang dan pemuda ini sudah merobah gerakan silatnya. Dia menggerak-gerakkan kaki tangannya perlahan-lahan namun mengandung penuh tenaga sehingga setiap kali kakinya dihentakkan, bumi seperti tergetar rasanya. Telapak tangannya terbuka dan otot-otot lengannya tersembul keluar.

Buku-buku tulangnya seperti saling bergeser mengeluarkan bunyi berkerotokan dan uap putih nampak membayang tipis di setiap permukaan lengannya. Dan ketika lengan yang bergerak perlahan itu menangkis cakaran Si Harimau Gunung, semua orang menjadi terkejut. Gerakan itu, yang dilakukan perlahan, tahu-tahu meluncur cepat bukan main seperti kepala ular yang mematuk mangsa yang sudah lama diintainya.

Suara mencicit bagaikan bunyi burung malam terdengar ketika lengan bergerak dan cepatnya membuat semua serangan cakaran Si Harimau Gunung itu terhenti setengah jalan karena setiap kali tangan yang berbentuk cakar itu bergerak, baru setengah jalan sudah terpukul ke samping dan sebelum cakar dapat ditarik kembali, tangan pemuda baju putih yang bergerak seperti ular mematuk itu telah menyerang bagian-bagian tubuh yang berbahaya.

Si Harimau Gunung terkejut bukan main dan dalam beberapa gebrakan saja nyaris kepalanya kena dipatuk oleh tangan kiri Yap Kiong Lee. Cepat dia membuat gerakan seperti harimau mendekam untuk menghindarkan kepalanya. Akibatnya, sebuah arca singa yang berada tepat di belakangnya kena hantaman tangan Kiong Lee. Nampak cap lima jari tangan di tubuh arca batu itu dan kemudian arca itu menjadi retak-retak dan akhirnya hancur berantakan menjadi kepingan-kepingan kecil berserakan.

Tentu saja semua orang melongo dan ada yang menjulurkan lidah saking kagum dan ngerinya, bahkan Si Harimau Gunung sendiri terbelalak dan air mukanya berobah. Hatinya mulai menjadi ragu dan gentar dan timbul pertanyaan dalam hatinya siapa gerangan pemuda yang amat lihai ini sebenarnya?

Cakaran tangannya itu biasanya mampu menghancurkan batu karang yang keras sekalipun, akan tetapi sekarang ternyata hanya dapat membuat kulit lengan pemuda itu lecet-lecet sedikit saja, sementara dia sendiri tidak berani menangkis pukulan pukulan pemuda yang demikian kuat dan ampuhnya. Ilmu apakah itu?

Nenek Siang Houw Nio-nio juga menggeleng-geleng kepala saking kagumnya. "Hemm, tua bangka itu kiranya telah menurunkan ilmu rahasia keturunannya kepada murid kesayangannya ini," gumamnya.

Pek In dan Ang In tentu saja menjadi kagum bukan main. Mereka memang sudah lama mengetahui bahwa suheng mereka itu amat lihai, akan tetapi mereka tidak menyangka sehebat ini. Diam-diam mereka, dan juga Pek Lian, merasa gembira sekali karena-sekarang Harimau Gunung itu mulai terdesak. Pek In tadi telah mengambil dan menyimpan sepasang pedang milik Kiong Lee yang terlepas, seperti juga seorang di antara penjahat-penjahat itu telah (menyimpan senjata rantai dari Si Harimau Gunung.

Selagi Kiong Lee mendesak Si Harimau Gunung, tiba-tiba dia terkejut bukan main mendengar teriakan seorang di antara para sutenya, "Suheng! Kim-sute lenyap dan Ngo-suheng yang menjaga kereta tertotok pingsan!"

Mendengar teriakan ini, wajah Yap Kiong Lee menjadi pucat seketika dan diapun meloncat meninggalkan lawannya yang sudah terdesak untuk berlari menghampiri kereta yang ditinggalkan di tepi jalan tak jauh dari rumah makan itu. Dengan wajah pucat dia memeriksa dan memang benar, sutenya yang luka parah dan tidak mampu bergerak itu lenyap. Ngo-sutenya pingsan dengan leher berwarna kehijauan, mukanyapun mengandung warna kehijauan.

Maka mengertilah dia bahwa sutenya ini tentu terkena totokan Ceng-ya-kang, Si Kelabang Hijau tokoh Ban-kwi-to itu. Yap Kiong Lee menjadi bengong, wajahnya pucat sekali dan hatinya dicekam rasa khawatir yang hebat akan keselamatan sutenya yang tersayang.

Sesosok bayangan berkelebat cepat sekali dari tahu-tahu nenek Siang Houw Nio-nio telah berada di dekat kereta dan suaranya terdengar keren ketika ia menghardik, "Apa katamu? Ada apa dengan Kim-ji (anak Kim)? Hayo jawab!"

Yap Kiong Lee menjawab dengan suara penuh duka dan kepala ditundukkan, "Subo, adik Kim telah dilukai orang karena dia bergaul dengan orang jahat. Hari ini sebenarnya teecu hendak membawanya kepada suhu, tidak teecu sangka bahwa orang yang menjadi sahabatnya itu telah menculiknya, selagi teecu berkelahi di restoran tadi."

Nenek itu menjadi semakin marah, sepasang matanya memancarkan sinar berapi. "Kenapa engkau dan suhumu membiarkan anak itu berkeliaran? Sungguh orang tua yang tidak tahu mengurusi anak! Berteman dengan segala macam manusia jahat dibiarkan saja. Hemm, aku akan minta pertanggungan jawab kepada suhumu. Akan kulabrak dia kalau tidak bisa mendapatkan anakku dalam keadaan sehat selamat!"

Wajah nenek itu menjadi merah padam dan hampir saja ia menangis. Ia lalu cepat memasuki keretanya dan berkata dengan suara berteriak kepada murid-muridnya, "Kita tidak jadi bermalam di sini! Bayar semuanya lalu susul aku. Malam ini juga aku harus melabrak si tua bangka itu atas keteledorannya mengasuh Kim-ji!" Setelah berkata demikian, kereta dilarikan dengan kencang menuju ke barat, ke arah kota raja.

Para murid itu tertegun dan bengong saja. Yap Kiong Lee menjadi serba salah. Sejak suhu dan subonya hidup berpisah, hatinya merasa bingung dan prihatin sekali, bahkan dia sampai tidak mau menikah sampai sekarang. Dia sangat takut dan hormat kepada subonya karena di waktu dia masih kecil, subonya itulah yang mengasuhnya dan dia tahu bahwa subonya itu sebenarnya amat sayang padanya.

Kemudian suhu dan subonya saling berpisah, subonya meninggalkan suhunya yang sudah tua itu dan mengabdi kepada kaisar di istana yang masih keponakannya sendiri. Suhunya tidak mau ikut dan dia sendiri kasihan dan tidak tega untuk meninggalkan suhunya yang sudah tua dan sendi-rian itu. Karena dia tidak mau ikut subonya dan memilih untuk tinggal di situ merawat suhunya, maka subonya tidak mau lagi menggubrisnya. Kini subonya marah-marah, tentu akan terjadi keribut-an dan dia merasa prihatin sekali.

Yap Kiong Lee lalu memerintahkan para sute-nya untuk berpencar dan menyelidiki ke mana Yap Kim dilarikan orang. Pada saat itu, Si Harimau Gunung bersama empat orang penjahat kasar tadi telah lenyap dari situ, agaknya jerih dan tidak ber-napsu lagi untuk melanjutkan perkelahian.

Pek In dan Ang In membayar sewa kamar yang belum dipakai itu dan membayar harga makanan, kemudian mereka yang juga nampak tegang dan khawatir itu menghampiri Kiong Lee. "Bagaimana baiknya sekarang, Yap-suheng?" tanya Pek In.

"Tidak ada jalan lain, kalian harus mentaati perintah subo, menyusulnya ke tempat suhu. Dan nona ini siapakah nona ini dan bagaimana bisa bersama kalian?"

"Nona Sie Pek Lian ini adalah seorang yang dicurigai subo sebagai teman ketua Lembah Yang-ce, maka subo memerintahkan kami untuk menawannya dan mengajaknya pulang."

"Hemm, kalau begitu, mari kita susul subo. Pasti akan menjadi ramai di sana." Merekapun berangkat, mempergunakan kereta Kiong Lee untuk mengikuti jejak kereta nenek Siang Houw Nio-nio yang marah itu. Kiong Lee benar-benar merasa prihatin sekali.

"Adik Pek dan Ang, aku khawatir akan terjadi salah paham antara subo dan suhu. Padahal, saat ini suhu sedang mengasingkan diri di tempat samadhinya, sudah belasan hari suhu tidak keluar dari situ."

Dua orang gadis itupun merasa khawatir sekali. Sebaliknya, Pek Lian menjadi ingin tahu sekali dan merasa amat tertarik. Makin lama, makin banyak ia mengalami hal yang aneh-aneh, bertemu de-ngan orang-orang yang aneh dan berilmu tinggi Betapa di dunia ini penuh dengan orang-orang pandai, pikirnya, akan tetapi herannya, semakin pandai orang, semakin banyak masalah yang mereka hadapi, keruwetan-keruwetan hidup yang membuat kehidupan mereka itu menjadi tidak tenang, bahkan menderita.

Biarpun ia belum tahu benar, akan tetapi iapun dapat menduga bahwa tentu ada rahasia besar antara nenek Siang Houw Nio-nio dan ketua Thian-kiam-pang itu, rahasia yang membuat mereka terpisah dan agaknya menderita dan saling bermusuhan. Benar juga kata-kata yang pernah didengarnya dahulu bahwa kelandaian itu, seperti juga harta dan kedudukan, lebih banyak mendatangkan malapetaka dari pada bahagia.

Tadinya ia sendiri tidak begitu mengerti akan arti kata-kata ini yang dianggapnya tak masuk akal karena bukankah semua itu bahkan merupakan sarana untuk dapat merasakan keba-hagiaan? Akan tetapi, sekarang ia mulai melihat betapa orang-orang yang berkepandaian tinggi, justeru menjadi sengsara hidupnya karena kepandaian itu sendiri. Persaingan, permusuhan, perkelahian terjadi di mana-mana dan saling bunuh terjadi di antara orang-orang yang pandai ilmu silat.

Apakah hal buruk ini akan terjadi pada orang-orang yang tidak tahu ilmu silat? Agaknya ke-mungkinannya jauh karena mereka tentu tidak condong mempergunakan kekerasan. Dan kedudukan? Ayahnya sendiri sekeluarga tertimpa malapetaka karena kedudukan. Andaikata ayahnya bukan seorang menteri, melainkan seorang petani miskin, apakah kaisar akan melihatnya? Tentu keluarga ayahnya kini masih aman sentausa, walaupun sebagai keluarga petani miskin!

Untung bagi mereka bahwa malam itu terang bulan sehingga dengan mudah mereka dapat mengikuti jalan yang berlika-liku mengikuti arus sungai itu. Belasan li sebelum memasuki daerah Ko-ta Raja Tiang-an, mereka membelok ke kanan, meninggalkan jalan besar memasuki jalan kecil, akan tetapi tetap mengikuti aliran sungai. Mereka memasuki sebuah hutan kecil yang banyak me-nyembunyikan cahaya bulan.

Akan tetapi karena Yap Kiong Lee sudah hapal akan jalan di tempat itu, dia dapat menjalankan keretanya dengan lancar. Kemudian nampak sebuah telaga kecil di tengah hutan dan di pinggir telaga itu terdapat sebuah bangunan megah yang dilingkari tembok merah yang kokoh kuat seperti benteng.

Hari telah larut malam dan tempat itu nampak sunyi sekali. Akan tetapi mereka tahu bahwa tem-pat itu tentu terjaga ketat oleh para murid perkum-pulan Thian-kiam-pang. Kiong Lee, Pek In dan Ang In longak-longok dan merasa heran karena tidak melihat adanya kereta subo mereka yang ta-di dilarikan kencang lebih dahulu.

"Berhenti! Siapa di sana?" Bentakan nyaring ini segera dikenal oleh Kiong Lee sebagai suara ji-sutenya, yaitu orang ke dua setelah dia di antara murid-murid Thian-kiam-pang. Tentu ji-sute-nya itu sedang bergilir meronda.

Pek Lian yang mendengar bentakan itu, merasa jantungnya tergetar karena suara itu dikeluarkan dengan pengerahan khikang yang cukup kuat untuk membuat orang yang datang dengan niat buruk menjadi gentar. Akan tetapi Kiong Lee tidak jadi menjawab karena dia mendengar suara kaki berlari-lari disu-sul suara beradunya senjata! Agaknya yang ditegur oleh ji-sutenya tadi bukanlah rombongannya, melainkan orang lain.

Yap Kiong Lee mengerahkan ilmu ginkangnya dan sekali tubuhnya meluncur ke depan, dia telah meninggalkan tiga orang wanita muda itu. Tubuhnya lalu mencelat ke atas, berputaran dan tahu-tahu dia telah hinggap di atas pa-gar tembok yang kokoh kuat dan tinggi itu. Akan tetapi baru saja kakinya menginjak pagar tembok, dari sebelah dalam menyambar sebatang piauw ke arah lehernya.

Dia cepat mengelak, akan tetapi penyerangnya itu sudah berada di dekatnya dan menyerangnya dengan tusukan pedang. Kembali Kiong Lee mengelak dan biarpun cuaca remang-remang, agaknya penyerangnya itu mengenal ge-rakan mengelak ini, sedangkan Kiong Lee juga mengenal gerakan serangan pedang.

"Toa-suheng...!" penyerang itu berseru.

"Sam-sute! Ada apakah ini?"

"Entahlah, suheng. Aku baru saja keluar karena mendengar teriakan ji-suheng tadi. Agaknya tempat ini kedatangan orang-orang jahat. Lihat, di sana ji-suheng sedang melayani seorang musuh agaknya!"

"Benar! Cepat kau pergi ke belakang, di sana terdengar banyak orang bertempur. Aku akan membangunkan semua saudara kita!"

Sute ke tiga dari Kiong Lee itu meloncat lenyap dan Kiong Lee lalu mengerahkan ilmunya yang hebat, membungkuk dan mencengkeram ke arah tembok pagar itu sehingga tembok itu hancur di dalam genggaman tangannya, kemudian dia menggunakan tenaganya untuk menyambit ke arah genta besar di atas menara yang berada tinggi dan agak jauh di sudut pekarangan.

Biarpun jaraknya jauh dan yang dipakai menyambit hanyalah hancuran tembok, akan tetapi segera terdengar suara genta nyaring berbunyi berkali-kali seperti ditabuh bertalu-talu oleh tangan yang kuat. Tentu saja suara itu mengejutkan semua penghuni rumah perkumpulan atau perguruan Thian-kiam-pang itu dan semua terbangun dari tidur dan bergegas keluar. Keadaan menjadi gempar akan tetapi kini semua murid telah berlarian keluar dengan pedang di tangan.

Akan tetapi mereka itu hanyalah murid-murid tingkat rendahan yang juga menjadi anak buah Thian-kiam-pang, sedangkan di antara tujuh orang murid utamanya, kini yang berada di situ hanya Yap Kiong Lee, ji-sutenya dan sam-sutenya saja, sedangkan yang lain-lain masih ketinggalan karena sedang berpencar dan mencari-cari ke mana perginya orang yang menculik Yap Kim.

Kiong Lee sudah cepat meloncat ke arah samping bangunan di mana dia melihat ji-sutenya sedang bertanding melawan seorang wanita cantik. Melihat betapa Kwan Tek, yaitu adik seperguruannya yang ke dua itu tidak bersepatu, tahulah Kiong Lee bahwa Kwan Tek tentu terbangun dari tidur dan tidak sempat mengenakan sepatu. Kiong Lee berdiri memperhatikan perkelahian itu.

Dengan sepasang pedangnya, Kwan Tek sebetulnya dapat mendesak lawannya, karena selain serangannya lebih mantap, juga ia memiliki tenaga yang lebih besar sehingga lawannya kewalahan menghadapi serangan-serangan sepasang pedangnya. Akan tetapi wanita baju hitam itu memiliki kegesitan yang luar biasa.

Dan jelaslah bahwa ginkangnya memang hebat sehingga sebegitu jauh ji-sutenya itu belum juga dapat mengalahkannya. Kiong Lee segera mengenal wanita cantik itu yang bukan lain ada-lah Pek-pi Siauw-kwi (Iblis Cantik Tangan Seratus) atau juga terkenal dengan sebutan Si Maling Cantik yang amat terkenal namanya sebagai maling tunggal di daerah selatan.

Maling Cantik itu juga memegang sepasang senjata, yang kiri sebatang pedang pendek dan yang kanan sehelai sa-buk sutera. Kiong Lee maklum bahwa sutenya itu tidak perlu dibantu, maka diapun cepat meloncat ke belakang dan terkejutlah dia melihat betapa tempat itu telah didatangi oleh banyak penjahat yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi.

Bangunan sebelah kiri sudah terbakar dan dia melihat adik seperguruannya yang ke tiga sibuk menghadapi serbuan para penjahat, dibantu oleh para anggauta Thian-kiam-pang. Dia teringat akan suhunya yang masih berada di dalam tempat pertapaannya, yaitu di sebuah bangunan yang berada di atas pulau kecil di tengah telaga kecil.

Cepat dia berlari ke tempat itu dan di depan bangunan itupun terdapat orang bertempur. Ketika Kiong Lee melihat bahwa yang berkelahi itu adalah nenek Siang Houw Nio-nio, dia terkejut bukan main. Lawan subonya itu adalah seorang laki-laki tinggi bermantel hitam, memiliki gerakan yang luar biasa sekali, cepat dan aneh sehingga subonya sendiri nampak terdesak!

Sejenak Kiong Lee berdiri tertegun. Subonya bukanlah tokoh silat sembarangan. Ia merupakan pengawal pribadi kaisar yang berilmu tinggi. Dia tahu betul betapa saktinya subonya itu, mungkin tidak banyak selisihnya dengan kesaktian gurunya. Akan tetapi sekarang, menghadapi lawan berjubah hitam ini, subonya jelas terdesak.

Orang berpakaian hitam itu bergerak luar biasa cepatnya, seperti setan saja. Jantungnya berdebar tegang. Dia sudah mendengar laporan tentang Raja Kelelawar. Inikah orangnya? Kiong Lee mengamati gerakan orang itu dengan penuh perhatian. Memang luar biasa sekali gerakan orang itu. Kiranya mantel hitam itulah yang menjadi semacam perisai, atau tempat berlindung, juga tempat di mana dia bersembunyi dan dari situ melakukan serangan-serangan dahsyat.

Mantel hitam itu kadang-kadang kaku kadang-kadang lemas dan dapat menyembunyikan gerakan-gerakannya dari mata lawan karena pihak lawan hanya dapat melihat ujung kepala, kaki dan tangan saja. Semua serangan lawan banyak digagalkan oleh adanya mantel yang menjadi perisai itu dan setiap kali ada lowongan, tentu iblis itu menyerang dari balik mantel dengan dahsyat. Beberapa kali dilihatnya betapa subonya kewalahan dan nyaris terpukul.

Melihat ilmu silat aneh ini, Kiong Lee teringat akan cerita gurunya tentang ilmu andalan Si Raja Kelelawar yang amat hebat, yaitu yang disebut Ilmu Silat Gerhana Bulan. Mantel itu seolah-olah menjadi awan tebal yang menyelimuti atau menyembunyikan bulan. Inikah il-mu aneh itu? Kiong Lee tidak tega melihat subo nya terdesak dan terancam bahaya, maka diapun cepat terjun ke dalam medan perkelahian dan membantu, subonya.

Begitu terjun, Kiong Lee menyerangnya dari belakang. Dia berpendapat bahwa kalau orang itu dikeroyok dari depan dan belakang, tentu tidak akan mampu berlindung di balik mantelnya lagi. Akan tetapi ternyata pendapatnya ini tidak benar. Secara aneh sekali, mantel yang hitam lebar itu dapat bergerak aneh dan cepat, menggulung dan berkibaran mengelilingi tubuh Si Raja Kelelawar sehingga menyembunyikannya dari semua jurusan, juga dari belakang!

Seperti juga subonya, Kiong Lee tidak dapat melihat tubuh lawan dengan jelas dan tidak melihat pula gerakan lawan di balik mantel hitam itu. Dan semua hantamannya selalu bertemu dengan mantel yang seperti perisai. Kalau dia mempergunakan tenaga sinkang, maka pukul-annya tiba di permukaan mantel yang lunak dan yang menyerap semua tenaga pukulannya, dan kadang-kadang mantel itupun menjadi keras seperti perisai baja yang kuat.

Sungguh merupakan ilmu yang aneh dan, berbahaya. Mantel itu bisa saja tiba-tiba terbuka untuk memberi jalan keluar serangan dahsyat dari Raja Kelelawar itu! Dan gerakan orang itu cepat bukan main, berkelebatan seolah-olah dia mempergunakan ilmu terbang saja. Kiong Lee sudah mencabut sepasang pedangnya dan menyerang dengan sungguh-sungguh.

Namun semua serangannya gagal dan dia sendiripun kini terdesak. Mengeroyok dua bersama subonya yang sakti masih terdesak, padahal tingkat kepandaiannya di saat itu sudah maju pesat, tidak ber-selisih banyak dengan tingkat subonya. Sungguh membuat mereka berdua merasa penasaran sekali.

Tiba-tiba subonya mengeluh karena paha kirinya kena tendangan iblis itu yang mencuat dari balik mantel hitamnya. Tendangan itu datangnya sama sekali tidak tersangka-sangka dan sedemikian cepatnya karena gerakan iblis itu memang luar biasa cepatnya, dilakukan ketika tubuh iblis itu baru saja meloncat dan mengelak dari sambaran pedang Kiong Lee sehingga datangnya tidak tersangka-sangka dan tendangan itu luar biasa kerasnya sampai tubuh Siang Houw Nio-nio terlempar dan menabrak pintu bangunan sampai jebol!

Tentu saja Kiong Lee terkejut sekali dan cepat menolong subonya yang bangkit lagi. Sepasang pedangnya diputar dengan pengerahan sinkang sekuatnya sehingga membentuk gulungan sinar yang lebar dan tidak memungkinkan Raja Kelelawar untuk mendesak nenek yang sudah terkena tendangannya itu dan terpaksa harus menghadapi pemuda perkasa itu. Akan tetapi setelah kini dia harus menghadapi iblis itu sendirian saja sedangkan subonya agaknya belum pulih kembali dan belum terjun membantunya, Kiong Lee merasakan betapa hebatnya kepandaian iblis itu.

Setelah kini dia harus menghadapinya sendirian, baru terasa olehnya kehebatannya. Terutama sekali kecepatan gerakan itulah yang membuatnya benar-benar bingung dan kewalahan karena dia merasa seperti menghadapi banyak lawan. Iblis itu bergerak sedemikian cepatnya sehingga sukar untuk dapat diikutinya dengan pandang mata, sebentar di depan, tahu-tahu sudah menyerang dari kanan, dari kiri, bahkan tahu-tahu menerjang dari belakangnya!

Dia sudah mengerahkan kepandaiannya, memainkan langkah-langkah ajaib, akan tetapi semua itu sia-sia saja karena kecepatan gerak Si Raja Kelelawar itu sungguh tak dapat dipecahkan oleh langkah-langkah ajaib. Iblis itu seolah-olah dapat terbang atau menghilang, dan juga dalam hal tenaga sinkang, Kiong Lee harus mengakui keunggulan lawan. Dia memang kalah segala-galanya, pendeknya tingkatnya masih kalah jauh.

Maka, setelah terdesak hebat, akhirnya pundak kirinya terkena sambaran jari tangan lawan. Kelihatan perlahan saja, akan tetapi cukup membuat lengannya terasa ngilu dan seperti setengah lumpuh, lengan kirinya tergantung lemas dan terpaksa dia melompat mundur. Pada saat itu nampak bayangan di luar pintu.

Nenek Siang Houw Nio-nio yang maklum bahwa pemuda itu terluka pula, khawatir melihat bayangan ini. Kalau ada musuh lagi datang, tentu mereka berdua takkan berdaya lagi. "Lee-ji, cepat buka pintu rahasia bawah tanah! Cepat!"

Kiong Lee tercengang dan meragu. "Tapi... tapi suhu sedang bertapa di dalam... teecu takut mengganggu, tanpa ijin beliau tak seorangpun boleh membukanya... aughh...!" Sebuah tendangan iblis itu mengenai punggungnya dan Kiong Lee terlempar, muntah darah!

"Persetan dengan tua bangka itu! Cepat sebelum kita mati penasaran! Lihat, lawan kita bertambah!" Sambil berkata demikian, nenek itu menyebar jarum-jarum halus ke arah iblis itu.

Bagaimanapun juga, nenek itu adalah seorang yang berilmu tinggi dan hal ini diketahui oleh si iblis yang tidak berani sembarangan dan cepat melindungi tubuhnya dari jarum-jarum halus itu dengan mantelnya. Juga dia maklum bahwa pemuda itupun amat lihai, maka biarpun keduanya telah terluka, dia tidak berani sembarangan mendekat dan menanti kesempatan baik untuk menurunkan tangan mautnya.

Dan kini, khawatir kalau mereka lolos, iblis itu bergerak cepat mengelilingi mereka, tidak membiarkan mereka melarikan diri melalui pintu rahasia yang belum diketahuinya di mana letaknya. Siang Houw Nio-nio dan Kiong Lee berdiri beradu punggung melindungi diri yang sudah terluka.

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang memasuki ruangan bangunan kecil itu. Semua orang melirik dan kiranya yang masuk adalah Ho Pek Lian, nona tawanan itu. Di belakangnya nampak Pek Lian dan Ang In. Ketika Pek Lian melihat Raja Kelelawar yang pernah menawannya, dan melihat betapa pemuda perkasa itu luka, ia menjadi marah sekali dan langsung saja, dengan nekat iapun menerjang maju dan menyerangnya dengan pukulan tangan kanan.

Akan tetapi, Raja Kelelawar itu menangkis dan akibatnya, tubuh Pek Lian terlempar menabrak sebuah pot bunga yang berada di sudut ruangan. Pot bunga kuningan itu tidak roboh terlanggar tubuh Pek Lian, melainkan tergeser ke samping. Terdengar bunyi berkerotokan dan tiba-tiba saja separuh lantai ruangan itu terbuka dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuh nenek Siang Houw Nio-nio dan Kiong Lee, juga tubuh Pek Lian terjerumus ke dalam lubang.

Melihat ini, Pek In dan Ang In berteriak khawatir, akan tetapi merekapun meloncat menyusul ke dalam lubang itu karena mereka maklum bahwa lubang itu tentulah merupakan rahasia yang baru dibuat oleh Thian-kiam-pang. Melihat ini, Raja Kelelawar menjadi marah, hendak mengejar, akan tetapi dia meragu, takut kalau-kalau dia akan terjebak. Kembali terdengar suara berkerotokan dan tahu-tahu lantai telah menutup kembali.

Barulah Raja Kelelawar sadar bahwa mereka itu telah meloloskan diri melalui pintu rahasia, yaitu lubang tadi. Dia menjadi geram. Dihampirinya pot bunga kuningan itu dan digeser-gesernya ke kanan kiri untuk membuka lantai. Namun dia tidak berhasil. Agaknya lubang itu telah tertutup dan dikunci dari bawah. Dia memukul-mukul pot bunga sampai hancur dan memukul-mukul lantai, menendang-nendang.

Akhirnya dia mengerahkan anak buahnya untuk membakar bangunan di tengah pulau kecil itu, lalu diapun keluar dan bersama anak buahnya dia melakukan pembantaian besar-besaran di gedung induk Perguruan Pedang Langit (Thian-kiam-pang). Semua anggauta dan murid dibunuhnya dengan kejam, dan seluruh bangunannya dibakar sampai habis. Agaknya, Raja Kelelawar ini amat membenci Thian-kiam-pang, seperti orang melampiaskan dendam yang hebat!


Mereka yang terjeblos ke dalam lubang itu ter-jatuh ke dalam ruangan bawah tanah dan biarpun lantai di atas telah menutup kembali, namun keadaan di situ cukup terang dengan adanya lampu-lampu yang menempel di dinding batu. Nenek Siang Houw Nio-nio yang terluka pahanya itu, terpincang-pincang menuruni lorong kecil.

Di belakangnya, Pek In dan Ang In memapah Kiong Lee yang terluka parah di pundak dan punggung. Paling belakang adalah Ho Pek Lian. Lorong itu panjang sekali, berbelak-belok naik turun dan akhirnya mereka tiba di depan sebuah pintu tertutup yang bertuliskan RUANGAN SAMADHI.

Agaknya langkah kaki mereka sudah diketahui orang karena dari balik pintu terdengar suara te-guran halus, "Siapa di luar itu? Lee-jikah itu?"

Sebelum Kiong Lee dapat menjawab, nenek itu mendahuluinya menjawab lantang, "Akulah yang datang!"

Terdengar seruan tertahan dari dalam dan tiba-tiba daun pintu terbuka. Di balik pintu itu berdiri seorang kakek berambut panjang. Kiong Lee, Pek In dan Ang In cepat menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Suhu!"

Untuk beberapa lamanya, nenek dan kakek itu berdiri saling pandang penuh selidik dan ada keharuan menyelinap dalam pandang mata mereka. Mereka adalah suami isteri yang telah saling ber-pisah selama limabelas tahun walaupun keduanya sama-sama tinggal di daerah kota raja.

"Sumoi...!" Kakek itu akhirnya menegur dengan suara lirih. Semenjak berpisah, nenek itu tidak mau lagi diakui sebagai isteri, maka terpaksa kakek itupun menyebutnya dengan sebutan semula sebelum mereka menjadi suami isteri, yaitu sumoi karena memang isterinya ini adalah sumoinya sendiri.

Akan tetapi, panggilan yang mengandung keharuan dan kelembutan ini tidak diacuhkan oleh si nenek yang marah. Ia bahkan tidak memperdulikan pahanya yang amat nyeri rasanya, akan tetapi langsung saja ia menyerang kakek itu dengan kata-kata ketus.

"Di mana anakku, Kim-ji? Hayo katakan di mana dia? Engkau membiarkan dia dihina orang, ya? Engkau membiarkan dia bergaul dengan segala macam manusia sesat, ya? Hayo kau kembalikan anakku kepadaku, kalau tidak...!" Nenek itu terengah-engah dan kedua matanya tiba-tiba menjadi basah!

Kakek itu menjadi bengong. Matanya memandang berganti-ganti kepada isterinya dan murid-murid itu, karena dia sungguh tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh isterinya yang marah-marah. Juga dia merasa heran melihat mereka masuk seperti itu, bahkan isterinya dan juga murid utamanya menderita luka yang cukup parah.

Melihat keadaan suhunya, Kiong Lee merasa kasihan dan diapun berkata, "Suhu... adik Kim... dia telah dilukai orang... lalu diculik!"

Sejenak kakek itu terbelalak, akan tetapi sebentar saja dia sudah mampu menguasai hatinya lagi dan dengan sikap tenang diapun berkata, "Marilah kita semua masuk ke dalam, jangan ribut-ribut di sini. Aku mempunyai seorang tamu di sebelah dalam. Mari, sumoi, silahkan masuk dan kalian samua, anak-anak, masuklah."

Biarpun masih cemberut, nenek Siang Houw Nio-nio melangkah masuk terpincang-pincang, diikuti semua murid dan juga Pek Lian tidak ke-tinggalan memasuki ruangan itu dengan hati tegang dan heran. Ternyata ruangan itu sangat luas dan nyaman sejuk. Pada dinding-dindingnya bergantungan lukisan-lukisan orang dalam posisi bersilat.

Di dalam kamar itu telah berdiri seorang kakek tua yang nampaknya masih sehat dan bersemangat, menyambut sambil tersenyum membung-kuk terhadap Siang Houw Nio-nio. Melihat pakaian kakek itu, diam-diam Pek Lian menjadi terkejut bukan main. Kakek tamu ini berjubah hitam yang ada lukisannya seekor naga di bagian dadanya, menutupi tabuhnya yang tinggi besar.

Pek Lian teringat akan orang-orang dari Liong-i-pang, yaitu Perkumpulan Jubah Naga yang berambut riap-riapan dan yang pernah menyerang keluarga Bu itu. Inikah ketua dari Liong-i-pang yang mempunyai anak buah yang kasar dan kejam itu? Akan tetapi karena maklum bahwa ia berada di antara orang-orang sakti, maka Pek Lian berlagak tidak tahu dan bersikap tenang saja walaupun hatinya terguncang hebat.

"Isteriku, inilah dia saudara Ouwyang Kwan Ek!" Kakek itu memperkenalkan.

Nenek itu memandang dan nampaknya tertarik. "Ah, murid ke dua dari mendiang Sin-yok-ong?" tanyanya.

Kakek tinggi besar berkulit hitam itu tersenyum dan menjura. "Sudah lama mendengar nama besar Siang Houw Nio-nio, sungguh beruntung hari ini dapat bertemu. Toanio, kakimu terluka dan mengandung racun, kalau boleh saya berlancang, silahkan toanio menelan obat ini, tentu segera sembuh kembali," kata si tinggi besar sambil menyerahkan sebutir pel merah.

Nenek itu maklum bahwa ia berhadapan dengan murid seorang tokoh besar raja obat, maka iapun tidak mau sungkan lagi, menerima pel itu dan menelannya. Rasa panas menjalar dari perutnya dan dengan sinkangnya ia menekan hawa panas itu ke arah pahanya yang terluka dan sungguh ajaib, ia merasa betapa rasa nyeri di pahanya perlahan-lahan lenyap. Cepat ia menghaturkan terima kasih.

"Ouwyang-toyu, jangan pelit, sekalian berilah obat kepada muridku yang terluka," kata kakek itu. "Lee-ji, majulah agar diobati oleh Ouwyang-locianpwe."

Kiong Lee maju dan berlutut di depan kakek itu. Ouwyang Kwan Ek adalah murid ke dua dari Si Raja Tabib dan sebenarnya dia tidak mewarisi ilmu pengobatan karena yang mewarisi adalah mendiang Bu Cian murid pertama Si Raja Tabib. Akan tetapi sebagai murid Raja Tabib, tentu saja dia tidak buta dengan ilmu pengobatan dan kalau tidak terlalu hebat saja, dia mempunyai obat-obat untuk bermacam luka parah. Setelah meraba punggung dan pundak Kiong Lee, kakek itu menarik napas panjang.

"Siancai...! Luka-luka ini diakibatkan pukulan-pukulan sakti yang hebat. Untung muridmu ini telah memiliki sinkang yang amat kuat, kalau tidak, tentu aku akan sukar mengobatinya, Yap-lojin!" katanya kepada tuan rumah.

Kakek ketua Thian-kiam-pang itu bernama Yap Cu Kiat atau di antara kenalan-kenalannya lebih terkenal disebut Yap-lojin (orang tua Yap). Setelah menotok pundak dan punggung Kiong Lee, kakek itu lalu memberi obat bubuk berwarna kuning untuk diminum dengan air. Dan memang obat itu mustajab sekali karena Kiong Lee merasa betapa luka-luka di dalam tubuhnya tidak terasa nyeri lagi dan hanya membutuhkan pengobatan dengan pengerahan sinkang sendiri. Diapun cepat menghaturkan terima kasih.

"Kiong Lee, apakah yang terjadi? Kenapa engkau sampai terluka dan juga subomu..."

"Hemm, enak-enak saja bersenang sendiri di sini, tidak tahu di luar dibanjiri musuh yang dipimpin oleh Raja Kelelawar. Anak sendiri dilarikan orangpun tidak tahu!" Nenek itu masih marah.

Mendengar ini, terkejutlah Yap-lojin. "Raja Kelelawar menyerbu ke sini? Ah, aku harus keluar melihatnya!"

"Aku akan menemanimu, lojin!" kata Ouwyang Kwan Ek yang segera mengikuti tuan rumah.

Mereka cepat keluar dari terowongan itu dan mencari keluar. Akan tetapi, setelah mereka tiba di luar, pertempuran telah berhenti dan pihak musuh telah tidak nampak lagi bayangannya. Yang ada hanya mayat-mayat para anggauta Thian-kiam-pang, termasuk murid-muridnya yang ke dua, yaitu Kwan Tek, dan murid ke tiga, di antara bangunan yang terbakar habis!

Tentu saja Ouwyang Kwan Ek merasa terkejut dan kasihan kepada sahabatnya yang berdiri bengong dengan muka pucat. Dia la-lu membantu tuan ramah untuk mengangkut ma-yat-mayat itu melalui terowongan. Melihat kedua adik seperguruannya tewas, Kiong Lee memekikinya sambil menangis. Juga Pek In dan Ang In ikut menangis sedih.

Bahkan nenek Siang Houw Nio-nio sendiri tak dapat menahan runtuhnya beberapa butir air matanya dan nenek ini mengepal tinju. "Raja Kelelawar, aku akan menghadapimu kelak untuk membuat perhitungan!"

Pek Lian yang melihat semua ini menjadi ikut terharu dan ikut menangis. Tak disangkanya bahwa keluarga yang sakti ini tertimpa malapetaka demikian hebat dan kembali matanya seperti dibuka oleh kenyataan bahwa semakin tinggi kepandaian orang, semakin besar pula bahayanya karena tentu orang itu mempunyai musuh-musuh yang lihai pula.

Dengan penuh duka cita mereda semua lalu mengubur mayat-mayat dengan upacara sederhana saja. Mayat-mayat itu dikubur di belakang bangunan yang sudah menjadi abu dan malam hari itu terpaksa mereka kembali memasuki terowongan karena semua tempat telah terbakar sehingga sisa tempat yang ada hanyalah ruangan di bawah tanah.

Mereka duduk berkumpul dalam suasana duka dan masing-masing merasakan suatu keakraban. Bahkan Pek Lian sendiri yang tadinya adalah seorang tawanan, pada saat itu merasa seolah-olah ia menjadi anggauta keluarga itu. Juga Ouwyang Kwan Ek memperlihatkan simpatinya. Suami isteri yang tadinya seperti mengambil sikap bertentangan itupun kini seperti melupakan perselisihan mereka yang sudah berlangsung belasan tahun itu.

"Ilmu silat Raja Kelelawar dengan jubahnya itu memang hebat luar biasa. Semua setanganku kandas, bahkan jarum-jarumku tidak ada gunanya. Mengeroyoknya bersama Kiong Lee pun masih terdesak dan terluka."

Suaminya menarik napas panjang. "Itu baru Ilmu Gerhana Bulan, belum yang lain-lain. Ah, sungguh tidak kusangka setelah berpuluh tahun tidak ada jago silat yang menonjol dan berbakat, kini muncul keturunan raja kaum hitam yang penuh bakat dan menyamai kesaktian leluhurnya, Si Raja Kelelawar yang sakti."

"Memang kenyataan yang pahit sekali!" kata Ouwyang Kwan Ek, kakek tinggi besar hitam berju-bah naga itu. "Padahal, di pihak kaum bersih, sampai kini tidak ada seorangpun jago berbakat yang muncul. Dari perguruan kamipun tidak ada seorang yang berbakat seperti mendiang suhu Raja Tabib Sakti. Aku sendiri cuma mewarisi sebagian saja dari ilmu-ilmunya, seperti halnya saudara seperguruanku yang lain."

"Demikian pula pada perguruan kami," Yap-lojin berkata penuh sesal. "Sebenarnya Kiong Lee ini sangat berbakat, akan tetapi akulah yang bodoh tak mampu membimbingnya. Sayang, guruku, Sin-kun Bu-tek, telah tiada. Kalau masih ada, tentu beliau akan dapat membimbing Lee-ji ini dan akan ada seorang penggantinya yang boleh diandalkan!"

Mendengar percakapan mereka, diam-diam Pek Lian mengalami kejutan lain. Tahulah ia sekarang bahwa ketua Perguruan Pedang Langit ini adalah keturunan dari Sin-kun Bu-tek, datuk dari utara, pendekar sakti terbesar seabad yang lalu, yang pernah didengarnya ketika ia masih bersama dua orang gurunya. Sin-kun Bu-tek yang sejajar namanya dengan si datuk selatan, yaitu Raja Tabib Sakti.

Keduanya merupakan datuk-datuk kaum bersih yang merupakan saingan terbesar dari datuk-datuk kaum sesat seperti pendiri Tai-bong-pai, pendiri Soa-hu-pai, dan juga tentu saja menjadi musuh yang ditakuti dari Bit-bo-ong Si Raja Kelelawar. Mengertilah ia kini mengapa Raja Kelelawar memusuhi Thian-kiam-pang.

Kiranya iblis itu ingin membalas dendam leluhurnya yang kabarnya tewas di tangan Sin-kun Bu-tek. Pantas saja sarang Thian-kiam-pang itu dibasminya, semua penghuninya yang ada ditewaskan dan bangunan-bangunannya dibakar habis.

Nenek Siang Houw Nio-nio juga hanyut dalam percakapan itu dan ia menarik napas panjang lalu berkata, "Yahh... padahal asal salah seorang dari murid-murid kita bisa mendalami pelajaran perguruan masing-masing secara sempurna seperti halnya iblis itu mempelajari ilmu leluhurnya yaitu Raja Kelelawar, aku berani bertaruh bahwa iblis itu pasti akan bisa ditaklukkan. Seperti juga di jaman dahulu Si Raja Kelelawar tidak berkutik ketika melawan guru-guru kita, baik melawan guru kami Raja Tabib Sakti maupun melawan Sin-kun Bu-tek."

Ouwyang Kwan Ek mengangguk-angguk membenarkan ucapan ini. Memang patut disayangkan bahwa tidak ada murid dari para datuk itu yang dapat mewarisi seluruh ilmu gurunya sampai mencapai tingkat setinggi mereka. Akan tetapi dia tiba-tiba teringat akan sesuatu, lalu diapun berkata,

"Kim-mo Sai-ong pendiri Soa-hu-pai yang bersama dengan iblis pendiri Tai-bong-pai merupakan juga datuk-datuk persilatan yang setingkat dengan guru-guru kita seabad yang lalu? Nah, aku mendengar bahwa ada cucu murid dari Kim-mou Sai-ong ini yang sangat berbakat, dan kabarnya kini telah mencapai tingkat ke tigabelas ilmu-ilmu Soa-hu-pai, yaitu tingkat terakhir dari Soa-hu-pai yang hebat itu. Dan kabarnya orang itu kini mengabdi kepada kaisar." Berkata demikian, Ouwyang Kwan Ek memandang kepada nenek Siang Houw Nio-nio yang juga mengabdikan dirinya kepada kaisar karena masih terhitung keluarga dekat kaisar.

Nenek itu mengangguk-angguk. "Memang benar, akan tetapi orang itu menjadi komandan pengawal istana dan kurasa diapun masih belum setinggi Raja Kelelawar tingkatnya. Dan seperti juga dahulu, alirannya tidak mau berurusan dengan iblis itu. Seperti, juga guru-gurunya tidak pernah acuh terhadap Raja Kelelawar."

"Selama ini aku tidak pernah mendengar tentang orang-orang Tai-bong-pai. Setelah keturunan Raja Kelelawar keluar, apakah keturunan-nya juga tidak memperlihatkan diri? Ataukah Tai-bong-pai sudah mati dan tidak mempunyai keturunan?" Yap-lojin bertanya karena percakapan itu membongkar hal-hal lama, mengingatkan mereka akan golongan-golongan jaman dahulu yang pernah menggemparkan dunia persilatan.

Mendengar pertanyaan ini, hampir saja Pek Lian membuka mulut menjawab. Ia teringat akan orang-orang yang membawa gadis cantik dalam keranjang yang terluka parah dan lumpuh itu. Untung bahwa ia masih dapat menahan hatinya, karena kalau ia membuka mulut, akhirnya tentu ia akan terpaksa membuka rahasianya bahwa ia adalah puteri Menteri Ho dan hal ini dapat berbahaya bagi dirinya. Maka iapun diam saja dan menundukkan muka, hanya memasang telinga mendengarkan percakapan yang amat menarik hatinya itu.

"Entahlah, tidak ada berita tentang mereka ...." kata kakek berjubah naga.

Tiba-tiba Yap-lojin berseru, "Ahh...!

Pek Lian terkejut dan mengangkat muka memandang kepada kakek itu yang agaknya teringat akan sesuatu. "Lupakah kalian akan sasterawan itu? Dia yang yang mengalahkan keempat datuk sakti dahulu, leluhur kita itu?"

Kakek berjubah naga terkejut. "Maksudmu?"

"Mari kita memasuki ruang samadhiku." Kakek itu mendahului mereka semua memasuki pintu rahasia dan berkumpul di ruangan bawah tanah yang luas. Yap-lojin membawa mereka semua kepada beberapa buah gambar. Gambar-gambar yang melukiskan bermacam gerakan menyerang, gambar searang sasterawan terhadap lawan-lawannya. Dalam tiap gambar, sasterawan tua itu menghadapi seorang lawan berbeda.

"Lihat gambar-gambar ini dilukis untuk mengabadikan pengalaman yang amat langka itu, yaitu kalahnya para datuk sakti terhadap si sasterawan tua dan lukisan-lukisan ini adalah jurus-jurus terampuh yang dipergunakan para datuk, akan tetapi selalu si sasterawan yang menang," kata Yap-lojin.

"Ah, betapa hebat dan menariknya. Harap suhu sudi menceritakan karena teecu amat tertarik mendengarnya."

Kakek ita menarik napas panjang. "Hal ini sebenarnya merupakan rahasia para datuk yang dianggap amat memalukan, bahkan subomu sendiripun tidak tahu akan cerita ini. Akan tetapi setelah kini Raja Kelelawar seperti menjelma lagi dan mengacaukan dunia, kita memang boleh mengharapkan munculnya tokoh keturunan sasterawan ini yang akan menundukkannya. Nah, kalian dengarlah ceritaku." Kakek itupun lalu menceriterakan peristiwa hebat yang terjadi puluhan tahun yang lalu.

Seabad yang lalu, dunia persilatan mengenal nama empat orang datuk yang dianggap sebagai tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian silat paling tinggi di dunia persilatan. Mereka itu adalah dua orang tokoh golongan putih, yaitu Bu-eng Sin-yok-ong (Raja Tabib Sakti Tanpa Bayangan) yang merupakan datuk putih daerah selatan, dan Sin-kun Bu-tek (Kepalan Sakti Tanpa Tanding) yang menjadi datuk putih di utara.

Kemudian dua orang datuk golongan hitam, yaitu Cui-beng Kui-ong (Raja Iblis Pengejar Arwah) pendiri dari Tai-bong-pai dan Kim-mo Sai-ong (Raja Singa Berbulu E-mas) pendiri dari Soa-hu-pai. Empat orang tokoh inilah yang dianggap amat sakti dan paling tinggi ilmunya sehingga seorang seperti Bit-bo-ong (Raja Kelelawar) yang dianggap rajanya kaum penjahat sekalipun tidak pernah berani bertingkah terhadap mereka dan dianggap masih lebih rendah dari pada mereka berempat.

Biarpun di antara dua golongan itu ada golongan putih dan golongan hitam, akan tetapi mereka itu dapat mengikat persahabatan dan tidak pernah saling bermusuhan. Memang aneh, akan tetapi memang kehidupan para datuk ini tidak lumrah manusia biasa. Biarpun Cui-beng Kui-ong dan Kim-mo Sai-ong itu merupakan dua orang datuk hitam, akan tetapi mereka sendiri tidak pernah melakukan kejahatan, hanya dianggap datuk dan didewa-dewakan oleh kaum sesat.

Mereka itu balikan memiliki kegagahan yang mengagumkan, walaupun pandangan mereka kadang-kadang sesat dan tidak mengenal arti kesopanan atau hukum-hukum yang ada. Mungkin karena saling segan oleh ilmu masing-masing yang amat tinggi, dan saling menyayang kepandaian masing-masing kawan, maka mereka itu dapat bersahabat.

Anehnya, setiap empat tahun sekali, empat orang datuk itu selalu mengadakan pertemuan untuk membicarakan ilmu silat, bahkan mereka itu masing-masing memperlihatkan kemajuan-kemajuan yang mereka peroleh selama empat tahun terakhir, untuk dikagumi oleh yang lain, juga diakui! Akan tetapi baiknya, belum pernah di antara mereka itu terjadi persaingan atau cekcok, apa lagi lalu saling serang sampai bunuh-membunuh.

Mereka agaknya maklum bahwa sekali bentrok, berarti mereka akan membiarkan dirinya terancam maut, karena sekali berkelahi, tentu kematian mengancam mereka. Bukan tidak mungkin, mengingat bahwa tingkat mereka seimbang, mereka akan sampyuh dan mati semua. Kadang-kadang mereka mengadakan pertemuan di tepi pantai, kadang-kadang di puncak gunung atau di tempat-tempat yang sunyi dan yang tak pernah didatangi orang lain.

Pada suatu hari, kembali mereka mengadakan pertemuan setelah selama empat tahun mereka tidak pernah saling bertemu. Sekali ini, mereka memilih tempat di lembah Gunung Hoa-san yang indah dan amat sunyi. Dan di lembah itu terdapat sebuah telaga yang indah sekali, dengan airnya yang dalam dan kehijauan, bening seperti kaca. Sunyi sekali di situ sehingga ketika empat orang datuk itu datang secara beruntun, mereka merasa suka sekali dan memuji tempat itu sebagai tempat pertemuan yang amat menyenangkan.

"Ha-ha-ha, kamu tukang obat memang pandai memilih tempat yang bagus!" Cui-beng Kui-ong pendiri Tai-bong-pai memuji karena memang tempat itu adalah pilihan Bu-eng Sin-yok-ong.

Mereka lalu duduk mengelilingi sebuah perapian sambil bercakap-cakap, membicarakan tentang ilmu silat dan tentang hasil-hasil mereka selama empat tahun ini. Bu-eng Sin-yok-ong mengatakan bahwa diapun hanya mendengar saja tentang keindahan telaga ini dan baru sekarang dia datang ke tempat itu.

"Yok-ong, selama empat tahun ini ilmu apa sajakah yang berhasil kauciptakan?" Kita-mo Sai-ong bertanya.

Di antara mereka berempat, memang boleh dibilang tingkat Bu-eng Sin-yok-ong yang paling tinggi sehingga tiga orang yang lain menganggap dia seperti saudara tua. Menurut tingkat mereka, walaupun mereka tidak pernah saling gempur, orang pertama adalah Bu-eng Sin-yok-ong, ke dua adalah Sin-kun Bu-tek dan Cui-beng Kui-ong yang memiliki tingkat seimbang, dan yang sedikit lebih rendah adalah Kim-mo Sai-ong.

Akan tetapi, perbedaan tingkat ini tidak pernah mereka, nyatakan dengan mulut, hanya masing-masing mencatatnya di dalam hati, mengukur dari kepandaian mereka ketika saling mendemonstrasikan ilrnu masing-masing.

Ditanya oleh Kim-mo Sai-ong secara terbuka itu, Bu-eng Sin-yok-ong tersenyum sambil mengelus jenggotnya. "Ah, sudah tua seperti aku ini, perlu apa memperdalam ilmu membunuh orang lain? Tidak, selama ini aku tidak mau menambah ciptaan ilmu membunuh. Sudah terlalu banyak ilmu membunuh diciptakan orang-orang pandai seperti kalian bertiga ini, maka aku lalu tekun di dalam guha untuk mencari rahasia ilmu menghidupkan yang menjadi kebalikan dari ilmu membunuh."

"Lo-heng, engkau adalah seorang Raja Tabib yang merupakan dewa pengobatan di dunia ini, apakah engkau maksudkan selama ini engkau memperdalam ilmu pengobatan yang sudah hebat itu? Hampir tidak ada penyakit yang tak dapat kau sembuhkan dengan ilmumu," tanya Sin-kun Bu-tek yang merasa seperti saudara sendiri dengan datuk selatan itu sehingga menyebutnya lo-heng.

"Bukan hanya ilmu pengobatan, lo-te, melainkan ilmu menghidupkan," jawab yang ditanya.

"Ha-ha-ha, tukang obat!" Cui-beng Kui-ong yang suka ugal-ugalan dan tidak pernah mau memakai peraturan, juga dalam hal memanggil nama itu, tertawa. "Yang dihidupkan itu hanyalah orang mati, apakah kau mau katakan bahwa engkau dapat menghidupkan orang mati?" Pertanyaan ini seperti kelakar, akan tetapi diam-diam yang bertanya merasa tegang dan juga dua orang lainnya memandang wajah Bu-eng Sin-yok-ong dengan mata terbelalak penuh perhatian.

Sin-yok-ong menarik napas panjang. "Siancai... aku hanya manusia biasa, mana mungkin dapat membuka rahasia antara mati dan hidup? Akan tetapi, sebagai ahli pengobatan, aku tertarik untuk menyelidiki sebab-sebab mengapa ada kematian dalam hidup ini. Manusia ini hidup karena adanya tenaga yang menggerakkan segala sesuatu dalam tubuh kita, baik selagi terjaga maupun sedang tertidur, menggerakkan jantung, pernapasan dan seluruh urat syaraf dalam tubuh, sampai yang terhalus sekalipun.

"Kematian disebabkan karena tenaga penggerak ini tidak dapat menembus bagian tubuh yang rusak, baik oleh kuman maupun oleh kekerasan dari luar. Nah, aku melakukan penyelidikan bagaimana untuk menembus bagian tertutup itu sehingga tenaga penggerak itu mampu menembus ke bagian-bagian yang terpenting sehingga semua anggauta tubuh dapat bekerja dengan baik walaupun ada bagian yang cacat dan hidup dapat dipertahankan."

Tiga orang datuk lainnya mendengarkan dengan mata terbelalak. "Wah, wah, bukan main hebatnya! Kalau benar engkau telah berhasil mengatasi kematian, maka segala ilmu di dunia ini tidak ada artinya lagi. Selamat, Yok-ong!" kata Kim-mo Sai-ong akan tetapi Sin-yok-ong mengangkat tangannya.

"Jangan tergesa-gesa memberi selamat, Sai-ong. Aku baru dalam taraf penyelidikan dan percobaan saja dan ternyata di balik itu tersembunyi rahasia-rahasia yang amat pelik dan gawat. Sudahlah, lebih baik kalian menceritakan dan memperlihatkan ilmu-ilmu baru yang kalian berhasil ciptakan selama ini."

Kim-mo Sai-ong lalu mendemonstrasikan ilmunya yang paling hebat, yaitu ilmu tenaga sakti Rawa Pasir. Ketika dia mainkan ilmu ini yang diberi nama Pukulan Pusaran Pasir Maut, di sekitar tubuhnya terasa ada tenaga hebat yang berdaya tolak luar biasa kuatnya, mengandung hawa dingin yang menggigilkan, terasa oleh tiga orang datuk lainnya yang dapat mengerti bahwa lawan yang kurang kuat tidak akan dapat bertahan mengha-dapi datuk ini dalam jarak tiga langkah saja. Dan kaki tangan Kim-mo Sai-ong mainkan ilmu silat yang dinamakannya Soa-hu-lian (Teratai Danau Pasir). Tiga orang datuk itu memuji ilmu-ilmu baru ini.

Tiba giliran Cui-beng Kui-ong yang mendemonstrasikan ilmunya yang mutakhir, yaitu Ilmu Pukulan Penghisap Darah! Bukan main hebatnya pukulan ini. Terasa oleh tiga orang datuk lainnya betapa dalam angin pukulan itu terkandung hawa beracun yang menyedot ke arah lawan dan setiap pertemuan anggauta badan dengan lawan, seperti kalau lawan menangkis dan sebagainya.

Lawan yang kalah kuat sedikit saja tenaganya tentu akan terkena akibat hawa pukulan ini yang akan menyedot keluar darah dari balik kulit mereka sehingga lawan seolah-olah akan berkeringat darah! Sebelum ilmu yang mengerikan ini, Cui-beng Kui-ong sudah pula memiliki Ilmu Tenaga Sakti Asap Hio yang membuat keringatnya berbau seperti hio (dupa biting) yang harum-harum aneh.

Diam-diam Sin-yok-ong dan Sin-kun Bu-tek merasa khawatir dan ngeri. Kalau ilmu kedua orang datuk kaum sesat itu dipergunakan oleh mu-rid-murid mereka yang berahlak bobrok, tentu akan mendatangkan malapetaka di dunia ini. Akan tetapi mereka berdua merasa yakin bahwa biarpun dua orang datuk sakti itu dianggap sebagai datuk sesat, namun mereka amat keras terhadap muridmurid mereka dan tidak sembarangan menurunkan ilmu mereka kepada murid mereka.

Tiba giliran Sin-kun Bu-tek yang memperlihatkan ilmu pukulan terbarunya. Ilmu itu dinamakan Ilmu Silat Angin Puyuh dan dimainkan dengan pengerahan tenaga sakti yang dinamakannya tenaga Thian-hui-gong-ciang (Tangan Kosong Halilintar). Ketika orang sakti ini memainkan ilmunya, maka terasa oleh tiga orang datuk lainnya betapa ada hawa menyambar-nyambar panas dan disertai angin puyuh yang mengamuk hebat. Debu mengepul tinggi dan berpusing seperti terbawa angin puyuh dan pohon-pohon di sekeliling tempat itu bergoyang-goyang, daun-daun rontok beterbangan terbawa berpusing pula.

"Hebat, hebat... lo-te. Ilmu pukulan ini hebat sekali" Bu-eng Sin-yok-ong memuji, demikian pula dua orang datuk sesat juga merasa kagum dan merasa bahwa bagaimanapun juga, kemajuan ilmu mereka masih kalah dibandingkan dengan Sin-kun Bu-tek ini.

"Nah, sekarang tiba giliranmu, lo-heng. Biarpun engkau mengaku belum berhasil, akan tetapi selama empat tahun ini tentu telah ada kemajuan. Siapa tahu engkau telah dapat menghidupkan orang mati! Wah, kalau benar demikian, kami bertiga akan berlutut dan takluk!" kata Sin-kun Bu-tek yang dibenarkan oleh dua orang datuk lainnya.

Kalau benar Tabib Sakti itu dapat menghidupkan orang mati, apa artinya semua kemajuan yang mereka peroleh? Kecil sekali dibandingkan dengan ilmu yang dapat menghidupkan orang mati!

Bu-eng Sin-yok-ong tersenyum dan menggeleng kepala. "Jangan kalian melebih-lebihkan. Sudah kukatakan, aku baru membuat penyelidikan dan percobaan, dan di balik kehidupan ini terdapat hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh kekuatan otak belaka. Akan tetapi, memang selama empat tahun ini aku sudah membuat percobaan-percobaan. Nah, Sai-ong, engkau yang paling gesit, cobalah engkau mencari seekor kelinci."

"Baik!" Begitu menjawab, tubuhnya sudah melesat lenyap dan sebentar saja iblis pendiri Soa-bu-pai ini telah datang kembali membawa seekor kelinci.

"Bunuhlah tanpa merusak kepalanya!" kata pula Bu-eng Sin-yok-ong.

Kim-mo Sai-ong tertawa dan sekali tangan kirinya bergerak, jari telunjuknya telah memukul punggung kelinci itu. "Ngekk!" dan kelinci itupun tewaslah, hanya berkelojotan sekali dua kali saja.

"Periksalah oleh kalian apa benar-benar binatang, ini sudah mati," kata pula Bu-eng Sin-yok-ong dengan tenang.

Tiga orang datuk itu dengan bergantian memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa kelinci itu memang sudah mati, darahnya sudah terhenti sama sekali dan napasnya tidak jalan walaupun tubuhnya masih hangat.

Bu-eng Sin-yok-ong sudah mengeluarkan serangkaian jarum-jarum emas dan perak. Lalu dia mengambil bangkai kelinci itu dan mulai menggunakan jarum-jarumnya untuk menusuk sana-sini.

Belum sampai duabelas kali dia menusuk... eh, binatang itu dapat bergerak kembali dan ketika jarum-jarum itu diambil dan kelinci dilepaskan, binatang itu berlari cepat memasuki semak-semak!

Tiga orang datuk itu terbelalak dan seperti telah mereka janjikan tadi, mereka menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi Bu-eng Sin-yok-ong juga berlutut membalas mereka dan berkata, "Sudah, sudah, jangan main-main. Mari kita duduk kembali. Aku hanya menghidupkan seekor kelinci yang matinya dalam keadaan utuh. Kalau manusia yang mati dan rusak alat tubuhnya yang penting, sungguh aku tidak berani memastikan apakah aku akan dapat menghidupkannya."

Biarpun kakek itu merendah, namun tiga orang datuk itu semakin kagum dan hormat kepadanya. Mereka lalu bercakap-cakap dan mula-mula yang membangkitkan kebanggaan di hati mereka adalah Kim-mo Sai-ong yang berkata, "Setelah kita berempat mencapai tingkat seperti sekarang ini, siapakah di dunia ini yang sanggup mengatasi kita?"

"Ha-ha-ha, omonganmu sungguh aneh, Sai-ong!" Cui-beng Kui-ong mencela temannya.

"Kita berempat adalah datuk-datuk yang memiliki kepandaian tinggi, siapa lagi yang mampu melebihi kita? Bahkan Bit-bo-ong saja yang dianggap rajanya penjahat menyembunyikan ekornya diantara kaki belakang kalau melihat diantara kita!"

Kata-kata dua datuk sesat itu sedikit banyak menimbulkan rasa bangga dan angkuh dalam hati dua orang datuk bersih.

Sin-kun Bu-tek batuk-batuk untuk menekan rasa bangga ini, kemudian dia berkata, "Uhh, tua bangka-tua bangka seperti kita ini menghabiskan waktu puluhan tahun untuk menciptakan ilmu-ilmu silat yang tinggi. Kalau sudah mencapai tingkat tertinggi, lalu untuk apa?" Biarpun demikian, dalam ucapannya ini mengakui bahwa mereka telah mencapai tingkat tertinggi!

"Siancai..., sungguh beruntung bahwa kita berempat dapat bersahabat seperti ini. Kalau ilmu-ilmu kita ini dipergunakan untuk saling hantam, bukankah dunia akan menjadi kacau dan kiamat?" Bu-eng Sin-yok-ong juga berkata dan dalam kata-katanya juga terbayang rasa bangga akan kepandaian mereka berempat yang mereka anggap sudah tidak ada bandingnya lagi di seluruh dunia ini.

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara nyanyian halus yang datangnya dari seberang telaga! Suara itu halus sekali seperti berbisik, akan tetapi mereka dapat mendengar dengan jelas, seperti suara anak-anak yang dibawa angin lalu.

"Langit biru tinggi nian,
apa gerangan yang berada di atasmu?
Telaga biru betapa dalam,
apa gerangan yang berada di bawahmu?
Adakah yang tertinggi?
Adakah yang paling dalam?
Aku tak tahu...!"

Empat orang tua itu saling pandang dan dalam pandang mata itu mereka tahu babwa nyanyian itu seolah-olah mengejek dan menusuk jantung mereka, seolah-olah mencela rasa bangga dan angkuh yang tadi mencekam hati mereka. Di samping rasa penasaran, juga mereka merasa malu bahwa mereka yang telah berada di tempat itu selama hampir setengah hari, tidak tahu bahwa di dekat telaga itu ada orangnya!

Orang itu adalah seorang sasterawan, atau seorang kakek yang memakai pakaian sederhana seperti sasterawan, sudah tua sekali, dengan kumis dan jenggot panjang berwarna putih, tubuhnya kurus kering seperti orang kurang makan, namun wajahnya membayangkan kelembutan yang mengharukan. Kakek ini sejak pagi buta telah duduk di tepi telaga, terlindung oleh semak-semak dan pohon-pohon.

Dan karena dia sama sekali tidak mengeluarkan suara sedikitpun, seperti gerakan bayangan pohon saja, maka empat orang datuk sakti itu sama sekali tidak tahu akan kehadirannya. Sasterawan itupun tidak memperdulikan mereka berempat, tenggelam dalam kesibukannya sendiri. Dia sedang melukis keindahan telaga dengan gunung-gunung yang mengelilinginya. Di dekatnya terda-pat tangkai pancing yang ditancapkan, ada bebera-pa buah berderet-deret di tepi telaga.

Akan tetapi sasterawan itupun tidak memperdulikan pancing-pancing ini, melainkan asyik melukis. Hanya setelah empat orang datuk itu berbincang-bincang dengan penuh kebanggaan dan keangkuhan tentang kepandaian mereka, kakek tua ini secara langsung menyanyikan sajak tadi, sama sekali bukan bermaksud untuk mengejek atau menyindir.

Melainkan karena ucapan-ucapan empat orang yang mengandung keangkuhan itu membuat dia termenung dan bertanya-tanya dalam hati tentang apakah ada yang tertinggi dan terdalam. Pertanyaan ini timbul karena dia melukis langit dan danau, dan terdorong oleh percakapan yang mengandung nada angkuh dan bangga akan diri sendiri itu.

Empat orang datuk itu dengan kepandaian mereka yang hebat, dalam beberapa detik saja sudah berada di tepi telaga, berhadapan dengan kakek sasterawan yang asyik melukis itu. Kakek itu hanya menengok dan memandang dengan sinar mata lembut dan mulutnya yang kempot tak bergigi itu tersenyum tenang.

Akan tetapi Cui-beng Kui-ong, si iblis pengisap darah dari Tai-bong-pai yang berangasan itu sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia melangkah maju dan memandang kepada kakek sasterawan itu dengan sinar mata berapi dari sepasang matanya yang lebar terbelalak, lalu dia menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu.

"Heh, orang tua yang sombong ! Engkau telah lancang mengintai kami, ya? Sungguh kurang ajar sekali perbuatan itu, melanggar peraturan dan kebiasaan orang-orang gagah! Bukan jantan kalau suka mengintai orang lain!"

Sasterawan tua itu nampak terkejut dengan serangan kata-kata yang kasar ini. Dia bangkit berdiri dengan gerakan lemah, meninggalkan lukisannya yang terbentang di atas tanah, akan tetapi dia tidak melepaskan tempat tinta bak yang dipegang dengan tangan kiri dan pena bulu yang dipegang dengan tangan kanan, yaitu alat-alatnya untuk melukis tadi.

"Maaf, maaf harap cu-wi yang gagah perkasa tidak salah sangka dan menuduh aku melakukan hal yang bukan-bukan. Sejak pagi buta aku telah berada di sini seperti yang kulakukan setiap hari, memancing dan melukis atau menulis sajak. Rumahkupun tidak jauh dari sini, itu di lereng sebelah sana, nampak dari sini. Siapa yang mengintai? Salahkah aku kalau aku sudah berada di sini ketika cu-wi datang?"

Ucapan itu halus dan cukup beralasan, akan tetapi karena Cui-beng Kul-ong merasa penasaran dan menduga bahwa orang ini tentu telah menyaksikan ilmu-ilmu baru yang mereka keluarkan, tadi, dia menjadi naik darah. Apa lagi, sejak tadi dia memang merasa kurang puas, karena dia merasa bahwa ilmu barunya tadi masih kalah hebat di-bandingkan dengan ilmu bara dari Sin-kun Bu-tek, dan hal ini berarti bahwa dalam empat tahun ini kemajuan ilmunya masih kurang dibandingkan dengan kemajuan tiga orang datuk lainnya.

"Mancing? Alasan! Beginikah caranya orang mancing?" Dan diapun menggunakan tangannya bergerak ke depan dan batang-batang pancing itu tercabut semuanya dan ternyata di mata kail-nya tidak ada seekorpun cacing! "Inikah namanya mancing?" Dia melempar-lemparkan semua batang pancing ke atas tanah.

Akan tetapi, kakek sasterawan itu ternyata sabar sekali. Dia sama sekali tidak marah, bahkan dia lalu mengangkat muka memandang ke atas dan bersajak lagi.

"Memancing tanpa umpan
karena tidak butuh ikan
hanya memancing ketenangan
untuk menikmati kebahagiaan.
Apa artinya pintar
kalau hanya untuk menipu?
Apa artinya kuat
kalau hanya untuk menindas?
Lebih baik bodoh
lebih baik lemah!"

Cui-beng Kui-ong menjadi semakin marah karena dia merasa diejek dan disindir. "Keparat, berani engkau memaki orang?" katanya dan diapun merenggut lukisan dari atas tanah dan merobek-robek lukisan itu! Datuk yang bertubuh tinggi besar dengan kumis dan jenggot kasar pendek ini kelihatan menyeramkan sekali.

Lukisan itu hancur lebur ketika dirobeknya. Padahal, sasterawan tua itu bersusah payah dengan lukisan itu selama berhari-hari dan lukisan itu telah mendapatkan bentuknya. Sebuah lukisan yang amat indahnya. Matahari pagi dilukisan itu seolah-olah menyinarkan cahaya begitu hidup, cahaya keemasan yang gilang-gemilang dan yang membentuk cahaya panjang di permukaan danau. Padahal, lukisan itu hanya hitam putih saja, namun orang yang menatap lukisan itu seolah-olah melihat ke indahan warna-warna aselinya.

Bu-eng Sin-yok-ong dan Sin-kun Bu-tek mengerutkan alisnya dan merasa bahwa tindakan Cui-beng Kui-ong itu agak keterlaluan walaupunmereka berduapun merasa tidak senang kalau mengingat bahwa kakek sasterawan ini tadi telah mendengarkan semua percakapan mereka berempat, bahkan mungkin sekali telah melihat demonstrasi kepandaian mereka yang amat dirahasiakan itu.

Sasterawan tua itu ternyata tidak marah, hanya dengan muka sedih sekali dia melihat betapa lukisan kesayangannya dirobek-robek orang. Kedua lengan yang memegang mouw-pit dan tempat bak itu tergantung lemas dan wajahnya yang tua keriputan nampak amat berduka. Lalu dia berlutut di dekat robekan-robekan lukisan, menaruh pena bulu dan tempat tinta di atas tanah, memunguti robekan lukisan, melihatnya dengan air mata berlinang, kemudian dia berkata dengan lirih, nadanya penuh keprihatinan,

"Kuharap dengan sangat agar tuan-tuan suka cepat berlalu dari tempat ini sebelum anak angkatku yang pemarah itu datang ke sini dan melihat malapetakka ini."

Tentu saja ucapan yang mengandung peringatan ini membuat empat orang datuk itu mau tidak mau tertawa, bahkan Bu-eng Sin-yok-ong sendiripun sempat tersenyum dan mengelus jenggot-nya. Mereka adalah empat orang datuk terbesar di seluruh dunia persilatan, merasa tanpa tandingan dan tentu saja menghadapi siapapun mereka tidak merasa takut, apa lagi harus berhadapan dengan anak angkat kakek itu yang berangasan saja.

Bahkan dengan kaisar dan bala tentaranya sekalipun mereka tidak akan gentar menghadapinya. Bahkan Sin-kun Bu-tek yang berjiwa pendekar juga merasa tersinggung diperingatkan seperti itu, seolah-olah mereka berempat akan merasa takut terhadap an-caman seorang bocah, karena betapapun juga, anak angkat kakek itu tentu masih muda. Maka diapun bertanya dengan suara mengandung kemarahan.

"Sobat yang pandai melukis dan bersajak, tahukah engkau siapa adanya kami berempat?"

Dengan sikap tenang sasterawan itu menjawab, "Sejak cu-wi datang, sebenarnya aku tidak tahu sama sekali siapa cu-wi dan akupun tidak perduli. Akan tetapi aku tahu bahwa cu-wi saling bersahabat dan ingin menguji ilmu masing-masing, Baru setelah cu-wi selesai saling menguji ilmu dan bercakap-cakap serta saling memanggil nama ma-sing-masing, aku tahu bahwa cu-wi adalah empat orang datuk dunia persilatan yang tersohor itu. Benarkah demikian? Menilik dari kesaktian-kesaktian yang telah cu-wi perlihatkan tadi, tentu perkiraanku benar."

Jawaban ini tentu saja mengejutkan dan mencengangkan. Kalau sasterawan ini sudah dapat mengenal ilmu kesaktian mereka, berarti kakek ini tidak asing dengan ilmu silat tinggi. Kim-mo Sai-ong yang sejak tadi diam saja kini berkata dengan suara mengejek,

"Meskipun telah dapat menduga siapa kami, engkau masih berani menakut-nakuti kami dengan anak angkatmu itu? Apakah anak angkatmu itu bisa mengalahkan kami?"

"Justeru itulah yang kutakutkan. Biarpun berangasan, aku sangat mengasihinya, dan aku tidak ingin melihat orang menyakitinya. Kalau dia datang dan melihat lukisanku dirobek-robek orang, tentu dia akan marah dan mengamuk. Padahal, pada waktu ini, ilmunya belum mencapai tingkat setinggi tingkat cu-wi. Akibatnya tentu dia akan dihajar habis-habisan. Bukankah aku akan merasa sedih sekali kalau begitu?"

"Sudahlah mari kita pergi saja!" Bu-eng Sin-yok-ong membujuk tiga orang temannya karena dia merasa kasihan terhadap sasterawan tua itu. Tiga orang datuk lainnya juga merasa enggan untuk mengganggu seorang kakek lemah seperti itu. Tidak pantaslah kalau datuk-datuk sakti seperti mereka harus melayani seorang sasterawan tua lemah. Merendahkan martabat saja dan membuang-buang tenaga sia-sia. Mereka bertiga mengangguk dan sudah hendak pergi bersama Bu-eng Sin-yok-ong.

Tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan muncullah seorang pemuda tinggi tegap dari balik tebing gunung. Begitu datang, pemuda ini melihat lukisan yang robek-robek dan ayah angkatnya yang berdiri dengan muka berduka, berhadapan dengan empat orang kakek yang agaknya hendak meninggalkan tempat itu.

"Tahan!!" Pemuda itu berteriak dan karena teriakannya mengandung tenaga khikang yang cukup dahsyat, maka empat orang datuk itu terkejut dan tertarik, lalu tidak jadi pergi dan memandang kepada pemuda itu. Inikah anak angkat kakek sasterawan yang berangasan itu?

"Siapakah yang berani merobek-robek lukisan ayahku? Hayo, siapa berani melakukan perbuatan biadab ini? iblis sekalipun tidak akan tega mengganggu ayah, apa lagi merobek lukisannya yang dibuatnya dengan penuh kecintaan dan ketekunan selama berhari-hari. Hayo kalian mengaku, siapa di antara kalian yang merobek-robeknya?"

"Anakku.... sudahlah!" Sasterawan tua itu membujuk, suaranya gemetar.

"Biar, ayah. Aku tidak akan mau sudah sebelum yang merobeknya berlutut minta-minta ampun kepadamu dan bersumpah lain kali tidak akan berani berbuat sewenang-wenang lagi!"

Tentu saja sejak tadi Cui-beng Kui-ong sudah marah bukan main. "Heh, bocah gila, akulah yang telah merobek-robek gambar busuk itu! Habis, kau mau apa?" Sambil berkata demikian, datuk ini melangkah maju dan membusungkan dadanya yang bidang dan kokoh kuat.

Pemuda itu memandang kepada datuk tinggi besar itu dengan mata berapi-api. "Engkau, ya? Siapakah engkau begitu berani menghina ayahku?"

Cui-beng Kui-ong masih merasa malu kalau harus melayani seorang pemuda seperti ini, maka dia menahan kemarahannya dan tertawa. "Ha-ha-ha, ketahuilah, pemuda tolol. Aku adalah Cui-beng Kui-ong!" Dikiranya bahwa pemuda itu tentu akan ketakutan setengah mati mendengar namanya. Di seluruh dunia ini, baik pendekar maupun penjahat, gemetar ketakutan mendengar namanya, apalagi seorang pemuda tak terkenal seperti ini.

Akan tetapi sikap pemuda itu sungguh mengejutkan empat orang datuk itu. "Hernm, engkau baru seorang Kui-ong (Raja Iblis) sudah berani mengganggu ayahku. Sedangkan seorang Sian-ong (Raja Dewa) sekalipun tidak akan berani. Iblis seperti ini memang patut dihajar!"

Dan pemuda itu langsung saja memukul dengan kepalan lurus ke arah dada Cui-beng Kui-ong! Hampir saja raja iblis ini tertawa bergelak melihat pemuda itu berani menyerangnya dengan kepalan biasa seperti itu. Tentu saja dengan mudah dia akan dapat mengelak, akan tetapi karena dia ingin segebrakan saja membuat pemuda itu "tahu rasa", maka diapun tidak mengelak, melainkan menangkis sambil mengerahkan sinkang biasa yang cukup kuat untuk mematahkan tulang lengan pemuda itu dan sekaligus membuatnya terlempar.

"Dukkk!!" Akibat benturan kedua lengan itu membuat Cui-beng Kui-ong terbelalak, bahkan tiga orang datuk lainnya juga menjadi bengong. Mereka bertiga itu maklum akan maksud Cui-beng Kui-ong dengan tangkisan itu. Akan tetapi akibatnya, pemuda itu sama sekali tidak terlempar, apa lagi patah tulang lengannya, bahkan Cui-beng Kui-ong merasa betapa pemuda itu memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, setidaknya mampu menandingi tenaganya tadi!

Tentu saja dia merasa kecelik, terkejut dan juga penasaran dan cepat datuk ini membalas serangan dengan dahsyat dan bertubi-tubi. Akan tetapi kembali dia terkejut setengah mati karena dengan gerakan-gerakan aneh akan tetapi teratur dan cepat sekali, pemuda itu dapat menghindarkan semua serangannya dengan baik, bahkan membalas setiap serangan secara kontan dan berantai!

Karena Cui-beng Kui-ong memandang rendah, hal yang tidak aneh karena memang selama ini dia tidak pernah menemukan tanding, nyaris dalam serangan jurus ke tigabelas kepalan tangan pemuda itu mengenai lehernya. Untung dia masih dapat melempar tubuh ke belakang sehingga terhindar dari pada malu terkena pukulan lawan. Akan tetapi pemuda itu terus mendesaknya dengan pukulan-pukulan yang mantap sekali.

"Anakku, sudahlah sudahlah, Cong Bu ... jangan berkelahi!" Sasterawan tua itu meratap-ratap.

Akan tetapi anak angkatnya yang berangasan dan yang sudah marah dan sakit hati sekali itu mana mau mendengarkan permintaannya? Pemuda itu menerjang terus dan terjadilah perkelahian yang seru dan yang amat mengherankan hati tiga orang datuk lainnya, juga membuat semakin penasaran hati Cui-beng Kui-ong. Dia merasa malu sekali karena tadi memandang rendah dan ternyata pemuda ini sedemikian lihainya sehingga dapat melayaninya sampai hampir tigapuluh jurus.

Marahlah Cui-beng Kui-ong an diapun mulai memainkan ilmunya yang paling baru, yaitu Ilmu Pukulan Penghisap Darah! Bukan main hebatnya pukulan ini dan sekali ini pemuda itu terdesak hebat. Memang harus diakui bahwa bagaimanapun juga, tingkat kepandaian pemuda ini walaupun memiliki bakat yang amat kuat, namun masih belum matang dan masih kalah setingkat dibandingkan dengan Cui-beng Kui-ong.

Dia terdesak mundur, akan tetapi dasar wataknya keras dan berangasan, dia masih nekat terus melakukan perlawanan. Akhirnya, sebuah pukulan dahsyat dengan Tenaga Sakti Asap Hio mengenai dada sebelah kanan pemuda itu yang roboh terjengkang dan tak sadarkan diri!

"Cong Bu ah, Cong Bu, mengapa engkau tidak mentaati kata-kataku tadi?" Sasterawan tua itu menubruk dan menangisi anak angkatnya, mengeluh panjang pendek. Diambilnya sehelai koyo (obat tempel) dan ditempelkan pada dada anaknya yang terluka parah itu. Baju bagian dada itu berlubang seperti terbakar dan kulitnya juga matang ha-ngus terkena pukulan itu dan masih mengepulkan uap!

Melihat ini Raja Tabib Sakti lalu mendekat dan sekali lihat saja tahulah dia bahwa pemuda itu terkena pukulan Tenaga Sakti Uap Hio, maka dia-pun cepat-cepat mengeluarkan obat cair dalam botol. Dia percaya bahwa pemuda itu tidak terancam nyawanya karena tadi sudah dilihatnya bahwa pemuda itu memiliki sinkang yang cukup kuat, akan tetapi kalau tidak cepat diberi obat yang tepat, hawa beracun dari pukulan itu bisa merusak jalan darah.

"Sobat, tuangkan obat ini pada luka di dadanya dan paksa dia minum sebagian sisanya," katanya halus.

Tanpa berkata apa-apa, sasterawan itu menerima botol dan membukanya, lalu menyiram luka itu dengan sebagian dari obat cair itu. Kemudian, dia membuka mulut anaknya dan menuang-kan sisa obat ke dalam mulutnya. Kalau dia tidak memiliki kepercayaan sepenuhnya kepada datuk yang berjuluk Raja Tabib Sakti itu, tentu dia meragu mendengar bahwa obat luar bisa dipergunakan untuk obat dalam itu. Dan memang hebat sekali obat dari Raja Tabib Sakti itu. Begitu diobati, pemuda itu siuman kembali dan mengeluh lirih.

"Nah, apa kataku tadi, Cong Bu, janganlah kau lanjutkan sifatmu yang berangasan itu, hanya mendatangkan malapetaka saja bagimu. Untung engkau tidak mati dan menerima pertolongan dari Bu-eng Sin-yok-ong!" kakek sasterawan itu menegur anaknya.

"Akan tetapi... akan tetapi mereka menghina ayah! Hemm, kelak aku akan membalas penghinaan ini, setelah aku menyempurnakan pelajaran ilmu yang ayah berikan. Sungguh kurang ajar sekali! Aduhh... huh-huh... kepandaiannya cuma seperti itu sudah berani menyombongkan di depan ayah! Huh, lihat saja dua tahun lagi, aku tentu akan menghajar raja iblis itu!"

Sasterawan tua itu cepat membungkam mulut anaknya yang marah-marah dan penasaran itu, sambil dengan muka waswas melirik kepada empat orang datuk yang sudah hendak pergi itu. Dan memang sesungguhnyalah apa yang dikhawatirkannya. Cui-beng Kui-ong marah bukan main mendengar ocehan pemuda yang telah dirobohkannya itu.

Sambil menggeram dia melangkah ke depan, sekali mengulur tangan dia telah mencengkeram leher sasterawan tua itu dan melemparkannya ke tengah telaga. Tubuh yang kurus kecil itu terlempar bagaikan layang-layang putus talinya. Cui-beng Kui-ong yang marah-marah itu melanjutkan gerakannya, menjambak rambut pemuda itu untuk dijotos. Melihat ini, Bu-eng Sin-yok-ong hendak mencegah akan tetapi tiba-tiba mereka semua dikejutkan oleh hal yang sama sekali tidak pernah mereka duga!

Tubuh sasterawan tua itu tadi terlempar ke arah telaga seperti layang-layang putus talinya, dan tak dapat diragukan lagi bahwa tubuhnya yang ringan itu tentu akan terjatuh ke air telaga. Akan tetapi, ketika sasterawan tua itu melihat betapa anaknya dijambak rambutnya dan terancam nyawanya, tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking tinggi halus sekali seperti suara nyamuk terdengar di dekat telinga dan tubuhnya yang tadinya meluncur itu, mendadak menggeliat di udara dan dapat menukik kembali ke darat dengan kecepatan seperti seekor burung walet terbang saja.

Bu-eng Sin-yok-ong adalah seorang ahli gin-kang yang tiada keduanya di dunia persilatan, akan tetapi menyaksikan ginkang yang diperlihatkan oleh kakek sasterawan itu, dia sampai melongo dan bengong keheranan. Kemudian, sekali kedua tangan kakek sasterawan itu bergerak, tahu-tahu pemuda yang tadinya dijambak rambutnya oleh Cui-beng Kui-ong itu telah berpindah tangan dan dipondong oleh kakek sasterawan kecil kurus itu!

Sasterawan itu memangku anaknya di atas tanah dan sambil mengelus-elus kepala puteranya, dia berkata dengan suara gemetar, "Agaknya cu-wi memiliki hati yang demikian angkuhnya sehingga selalu mau menang sendiri. Agaknya untuk memohon agar cu-wi suka pergi, haruslah lebih dulu menundukkan keangkuhan itu. Nah, sekali lagi, harap cu-wi suka meninggalkan tempat ini sebelum cu-wi kehilangan keangkuhan itu."

Sebelum yang lain menjawab, Cui-beng Kui-ong sudah menjadi marah sekali dan dia maju menghampiri kakek sasterawan itu. "Tua bangka sombong! Inilah aku, Cui-beng Kui-ong yang telah memukul anakmu karena anakmu lancang mulut. Kau hendak menundukkan keangkuhan kami? Hemmu, majulah, siapa takut kepadamu? Akan tetapi ingat, kalau engkau mampus ditanganku, anakmu inipun akan kubunuh agar engkau tidak mati sendiri!"

Ucapan datuk ini bukan sekali-kali karena kekejamannya, melainkan karena kecerdikannya. Kalau kakek itu tewas, tentu kelak anaknya yang berangasan itu hanya akan mendatangkan ke-sulitan saja baginya, maka harus dibunuh sekali untuk menghilangkan balas dendam.

Dengan perlahan kakek sasterawan itu bangkit berdiri dan mengangguk. "Sesukamulah, akan tetapi dengan kepandaianmu yang jauh dari pada bersih itu, dengan banyak kelemahan dan kekurangannya di sana-sini, bagaimana engkau akan dapat memastikan kemenanganmu? Pertama-tama, engkau harus merobah watakmu yang bukan saja kejam, akan tetapi juga sombong dan tekebur itu, ini merupakan pelajaran pertama bagimu, Cui-beng Kui-ong!"

Kini ucapan sasterawan itu tidak lemah seperti tadi, melainkan penuh wibawa dan mengandung kekuatan yang menggetarkan jantung...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.