Darah Pendekar Jilid 09

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Darah Pendekar Jilid 09
Sonny Ogawa

Darah Pendekar Jilid 09 karya Kho Ping Hoo - TENTU saja Cui-beng Kui-ong menjadi semakin marah. Sambil menghardik, diapun sudah menerjang maju. Karena dia tahu bahwa sebagai ayah pemuda itu, tentu kakek ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka begitu menerjang, dia sudah mengeluarkan ilmu andalannya, yaitu dia memukul dengan Tenaga Sakti Asap Hio yang mengeluarkan bau harum aneh itu.

Novel silat Darah Pendekar karya Kho Ping Hoo

Biasanya, ilmu ini akan mengeluarkan bau yang membuat lawan menjadi pusing dan bisa roboh sendiri tanpa dipukul. Dan dari kedua tangannya keluar asap tipis putih berbau harum yang melengkung ke ayah lawannya. Akan tetapi, dengan tenang saja kakek sasterawan ini menghadapi semua pukulannya sambil menerangkan kelemahan-kelemahan jurus yang dimainkan Cui-beng Kui-ong.

"Lihat, bukankah lambung kirimu terbuka? Kalau kumasukkan kakiku ke situ, engkau sudah roboh! Nah, penutupan lambung itu membuka lehermu sebelah kiri, dan pukulanku dengan tangan miring pada leher itu tentu sukar kau hindarkan lagi!"

Dan setiap gerakan Cui-beng Kui-ong disambutnya dengan uraian tentang kelemahan-kelemahannya. Lebih hebat lagi, asap tipis putih berbau hio yang tadinya melengkung ke arah kakek sasterawan itu, kini membalik dan dari kedua lengan Cui-beng Kui-ong bukan melengkung ke depan, melainkan membalik ke belakang!

Cui-beng Kui-ong merasa terkejut bukan main. Memang semua yang dinyatakan kakek itu tentang kelemahan semua jurusnya itu tepat dan bahkan baru sekarang dia melihatnya! Dia merasa penasaran sekali dan cepat diapun mainkan pukulan Pehisap Darah yang amat hebat itu. Akan tetapi, kembali pukulan keji ini sama sekali tidak mempengaruhi si kakek sasterawan.

Tidak ada setetespun darah sasterawan itu terpecik keluar seperti yang biasa terjadi pada lawan-lawan iblis itu kalau mempergunakan Ilmu Penghisap Darah, padahal berkali-kali sasterawan itu mengadu lengan dengan si raja iblis. Bahkan dalam jurus-jurus ilmu inipun si sasterawan menunjukkan kelemahan-kelemahannya.

"Yang paling berbahaya adalah ilmu-ilmu hitam seperti ini, Kui-ong. Kalau engkau tidak merobah sifat dan watakmu, maka ilmu-ilmu seperti ini bahkan akan menjadi kutukan bagimu. Lihat, kalau kulawan begini, bukankah engkau yang akan celaka sendiri?"

Kakek itu menggerakkan kedua lengannya yang kecil dan angin yang menyambar amat dahsyatnya, kemudian Cui-beng Kui-ong terpekik kaget melihat betapa ada darah keluar dari pori-pori kedua lengannya, tanda bahwa dia sendiri telah menjadi korban ilmunya sendiri, seperti senjata makan tuan! Maka tahulah dia bahwa kakek sasterawan ini benar-benar maha sakti dan diapun bukan orang bodoh, melainkan seorang datuk sehingga dia tahu saat kekalahannya. Diapun meloncat ke belakang.

"Hari ini Cui-beng Kui-ong mengaku kalah!" katanya dengan menahan geram lalu mengatur pernapasannya untuk mengobati luka-lukanya sendiri akibat ilmu yang membalik tadi.

Tentu saja tiga orang datuk lainnya hampir tidak percaya akan apa yang mereka saksikan tadi. Di samping keheranan dan kekagetan, juga mereka merasa penasaran. Mungkinkah kepandaian mereka yang menggemparkan dunia persilatan itu harus kalah oleh seorang sasterawan tua renta yang sama sekali tidak terkenal! Kim-mo Sai-ong meloncat maju dan menjura kepada kakek itu. Dia tahu bahwa kakek itu seorang sakti, maka diapun tidak sembrono.

"Sobat, aku mohon petunjukmu!" Dan tanpa menanti jawaban, Kim-mo Sai-ong sudah menerjang dengan dahsyatnya dan begitu turun tangan diapun sudah mempergunakan ilmunya yang paling hebat, yaitu Pukulan Pusaran Pasir Maut dan dimainkannya ilmu silatnya yang, dinamakan Soa-hu-lian (Teratai Danau Pasir). Hawa dingin yang menggigilkan terpancar dengan daya tolak hebat dari tubuhnya.

Kuda-kudanya kokoh kuat, lengannya yang panjang itu mencuat ke sana ke mari mencari lowongan, dengan jari-jari tangan terkembang siap untuk mencengkeram lawan. Seluruh tubuhnya melambangkan setangkai bunga teratai, nampak sangat indah dipandang. Kalau kedua kakinya yang kokoh kuat itu bergerak lamban dan kuat seperti menjadi akar-akar teratai, maka kedua tangannya bergerak cepat dari atas, melambai-lambai seperti tangkai-tangkai bunga teratai tertiup angin.

"Bagus, Kim-mo Sai-ong, akan tetapi ilmumu ini terlalu mengandalkan kekuatan kaki belaka, dan ingat, orang bisa roboh karena kelemahan bagian atasnya, walaupun kakinya tidak roboh akan tetapi kalau bagian atas terluka, apa artinya? Lihat, aku membuat tangkai-tangkai terataimu tidak berdaya!"

Dan benar saja, dengan totokan-totokan satu jari yang mengeluarkan hawa panas, kakek sasterawan itu membuat kedua lengan Kim-mo Sai-ong tidak berdaya karena sebelum mendekati tubuh lawan telah bertemu dengan hawa-hawa yang menotok ke arah jalan darah di seluruh kedua lengannya.

Kim-mo Sai-ong yang telah mencapai tingkat ke tigabelas, tingkat terakhir dari Soa-hu-pai ini mengerahkan seluruh tenaganya sampai daya tolaknya membuat batu-batu besar bergoyang-goyang dan pohon-pohon di sekitar tempat itu seperti tertolak angin badai. Akan tetapi kakek sasterawan itu tenang saja menghadapi daya tolak Tenaga Sakti Pusaran Pasir Maut, seolah-olah tonggak besi kecil namun kokoh kuat yang tidak goyang sedikitpun juga dilanda angin.

Karena kedua lengannya selalu menjadi sasaran totokan yang menyambut semua serangannya, akhirnya Kim-mo Sai-ong kewalahan dan mati kutu. Ilmu yang diandalkannya itu seperti api bertemu air, tidak berdaya sama sekali dan akhirnya, karena terlalu banyak mengeluarkan tenaga sia-sia, dengan terengah-engah diapun meloncat ke belakang.

"Teri-ma kasih, aku Kim-mo Sai-ong mengaku kalah!"

Giliran Sin-kun Bu-tek yang maju. Datuk ini terkenal memiliki ilmu silat yang luar biasa ampuhnya sehingga dijuluki Sin-kun Bu-tek (Tangan Sakti Tanpa Tanding). Sebagai seorang datuk golongan bersih, walaupun wataknya lebih keras dibandingkan dengan Bu-eng Sin-yok-ong, namun datuk ini tidaklah sekasar dua orang datuk pertama. Dia menjura dengan hormat dan berkata,

"Kiranya mata kami seperti buta tidak mengenal Gunung Thai-san menjulang di depan mata! Sahabat yang sakti, saya Sin-kun Bu-tek mohon petunjuk!"

Kakek sasterawan iba telah mengalahkan dua orang datuk, akan tetapi dia kelihatan masih tenang saja, seolah-olah dia mengalahkan mereka tadi tanpa pengerahan tenaga sama sekali. Sikapnya masih biasa, tenang dan merendah. "Sin-kun Bu-tek, julukanmu saja menandakan bahwa ilmu silatmu adalah ilmu pilihan. Belum tentu aku akan dapat mengalahkanmu, akan tetapi aku ingin engkau mengalahkan dan menundukkan keangkuhanmu sendiri. Nah, majulah!"

Sin-kun Bu-tek menerjang dengan ilmu silat andalannya, yaitu Ilmu Silat Angin Puyuh dengan tenaga sakti Thian-hui-gong-ciang (Tangan Kosong Halilintar). Hebat bukan main datuk ini memang dan tingkatnya hanya kalah sedikit saja dibandingkan dengan Bu-eng Sin-yok-ong. Gerakan kaki tangannya amat cepat sehingga tubuhnya lenyap berobah bentuknya menjadi bayangan yang berkelebatan dan gerakan ini mendatangkan angin yang berputar-putar membuat semua pohon bergoyang-goyang di sekeliling tempat itu.

Dan yang hebat sekali adalah kedua tangan yang melancarkan pukulan Thian-hui-gong-ciang itu. Kadang-kadang terdengar ledakan dan nampak asap mengepul ketika kedua tangan itu memukul dan saling bersentuhan, seolah-olah kedua tangan itu mengandung aliran listrik atau aliran kilat yang dapat menghanguskan tubuh lawan yang terkena pukulannya.

Namun, kakek sasterawan itu bersikap tenang saja dan seperti juga tadi, kini diapun memberi petunjuk kepada Sin-kun Bu-tek tentang kelemahan-kelemahan dari ilmu silatnya, mengeritik dengan petunjuk dan bukti-bukti sehingga kalau dia mau, tentu dia akan dapat merobohkan Sin-kun Bu-tek dengan ilmunya yang dipakai untuk menghadapi ilmu datuk utara itu. Sebelum lewat lima-puluh jurus, Sin-kun Bu-tek yang selalu ditunjuk kelemahan-kelemahan ilmunya, merasa takluk dan diapun meloncat ke belakang dan mengaku kalah!

Kini tinggallah Bu-eng Sin-yok-ong seorang. Datuk ini berbeda dari yang lain. Dia sudah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu silat, ilmu pengobatan dan ilmu kebatinan sehingga dia tidak bersikap kasar dan tidak pula penasaran. Kini diapun tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang maha sakti yang sengaja menyembunyikan diri dan diam-diam dia merasa malu bahwa dia menerima sebutan datuk, padahal ada orang yang lebih lihai tidak dikenal sama sekali!

Betapapun juga, setelah tiga orang sahabatnya diberi petunjuk, kalau dia tidak maju, berarti dia akan membikin malu tiga orang sahabatnya itu. Di samping itu, sebagai seorang ahli silat tinggi, diapun suka sekali akan ilmu silat dan tiada salahnya kalau kini setelah mendapat kesempatan bertemu orang sesakti ini, diapun mencoba-coba ilmunya.

"Seorang locianpwe tinggal di sini tanpa nama, sungguh membuat kami merasa malu kepada diri sendiri. Harap sahabat yang mulia sudi memberi petunjuk kepadaku," katanya sambil mengibaskan lengan bajunya yang lebar.

Kakek sasterawan itu tersenyum pahit. "Siancai... nama besar Bu-eng Sin-yok-ong bukan sembarangan. Aku jauh lebih kagum akan ilmu pengobatanmu dari pada ilmu silat. Ilmu pengobatanmu itulah ilmu yang amat berguna dan baik, tidak seperti ilmu silat yang selalu disalahgunakan untuk menindas kaum lemah. Marilah, Yok-ong, mari kita main-main sebentar, siapa tahu ada gunanya bagi kita berdua."

"Maafkan kelancanganku!" Sin-yok-ong berseru dan setelah memberi hormat diapun langsung mengeluarkan ilmu simpanannya yang merupakan gabungan dari Ilmu Silat Kim-hong-kun (Silat Burung Hong Emas) digerakkan dengan ginkang Pek-in (Awan Putih) dan dengan tenaga sakti Pai-hud-ciang (Tangan Sakti Penyembah Buddha). Sukar diceritakan betapa hebatnya gerakan kakek yang berjuluk Bu-eng (Tanpa Bayangan) ini.

Gin-kangnya memang hebat luar biasa sehingga tubuhnya kadang-kadang lenyap menghilang, dan ilmu silatnya juga amat indah dan halus, menyambar-nyambar dari atas dan bawah sedangkan tenaganya adalah tenaga sinkang yang sudah mencapai tingkat tertinggi, begitu halus dan mengandung getaran yang hampir tidak terasa, akan tetapi tenaga getaran ini mampu menghancurkan batu karang dari jarak jauh!

"Siancai bukan main hebatnya!" kata kakek sasterawan itu sambil menandingi lawannya. Dan biarpun agak lama, akhirnya dia dapat juga menemukan beberapa kekurangan dan kelemahan dalam ilmu silat Bu-eng Sin-yok-ong sehingga kalau dia menghendaki, dalam waktu kurang dari seratus jurus dia tentu akan dapat mengalahkan Raja Tabib Sakti itu!

Akhirnya, kakek sakti inipun meloncat ke belakang, terlongong sejenak kemudian menjura sambil berkata dengan hati penuh rasa kagum. "Kami sungguh tak tahu diri..., dan benarlah bahwa kami amat angkuh dan terlalu membanggakan diri sendiri. Mulai sekarang, aku tabib tua yang bodoh tidak berani lagi menjual lagak di dunia luar!"

Setelah berkata demikian, Sin-yok-ong lalu pergi dari situ, diikuti oleh tiga orang datuk lainnya. Dan memang benar, sejak saat itu, empat orang datuk itu tidak pernah lagi muncul, lebih banyak mengasingkan diri dan diam-diam memperdalam ilmu masing-masing.

Demikianlah cerita yang amat menarik, yang diceritakan oleh Yap-lojin ketua Thian-kiam-pang kepada para pendengarnya,, yaitu nenek Siang Houw Nio-nio, Ouwyang Kwan Ek, Yap Kiong Lee, Pek In, Ang In, dan juga Ho Pek Lian. Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian dan hati tertarik sekali. Siang Houw Nio-nio yang juga menjadi murid dari Sin-kun Bu-tek, belum pernah mendengar cerita ini dari suhunya.

Bahkan Ouw-yang Kwan Ek, murid ke dua dari Si Raja Tabib Saktipun tidak pernah diceritakan oleh gurunya. Agaknya, empat orang datuk itu sungguh merasa terpukul dan tidak pernah bercerita kepada mere-ka, kecuali Sin-kun Bu-tek yang menceritakannya kepada muridnya yang tersayang, yaitu Yap Cu Kiat atau Yap-lojin, sambil menyerahkan gambar-gambar itu.

Yap-lojin melanjutkan ceritanya. "Lihat, gambar-gambar ini adalah petunjuk-petunjuk dari sasterawan tua itu. Di sini diperlihatkan betapa dengan mudahnya beliau memunahkan setiap ilmu khas dari empat orang datuk. Empat gambar ini memperlihatkan jelas, dan dilukis oleh mendiang suhu sebagai peringatan dan juga untuk memperdalam ilmunya dengan meneliti kelemahan-kelemahan seperti yang ditunjukkan oleh sasterawan itu. Dan memang, semenjak kekalahan yang mutlak itu, empat orang datuk tekun memperbaiki ilmu masing-masing dan karena mereka sudah tidak tekebur lagi, mereka dapat menciptakan ilmu yang jauh lebih baik dan matang."

Kakek berjubah naga mengangguk-angguk. "Sejak dahulu aku menduga bahwa ada rahasia sesuatu yang membuat suhu selalu marah kalau ada muridnya yang tekebur. Mungkin saja rahasia itu diceritakannya kepada twa-suheng Bu Cian yang sayang agaknya juga menyimpan rahasia itu sampai matinya."

Yap-lojin berkata, "Berdasarkan cerita itu maka aku percaya bahwa biarpun kita orang-orang tua tidak mampu menghadapi Raja Kelelawar yang amat hebat itu, nanti pasti akan muncul seseorang yang akan mampu menundukkannya."

"Mudah-mudahan begitulah," kata isterinya. "Menurut pengamatanku, biarpun si pendek Pek-lui-kong Tok Ciak cucu murid Kim-mo Sai-ong itupun agaknya masih jauh untuk dapat menandingi Raja Kelelawar."

Setelah menceritakan rahasia itu dan memperlihatkan gambar-gambar, kakek Yap mengajak mereka semua untuk keluar lagi dari terowongan di bawah tanah. Dalam perjalanan ini. Yap Kiong Lee merasa penasaran bukan main mendengar dongeng gurunya itu. Selama ini, gurunya tidak pernah bercerita tentang rahasia itu. Dia merasa penasaran karena selama ini, dia merasa bahwa ilmu rahasia perguruan mereka yang hanya diturunkan kepadanya oleh gurunya dianggap sebagai tidak ada cacat celanya.

Mereka tiba di luar terowongan, di tepi telaga yang kini sunyi melengang dan menyeramkan itu karena semua bangunannya telah runtuh. "Suhu, setelah peristiwa itu, lalu apa saja yang dikerjakan oleh kakek guru dan para locianpwe yang lain?" Kiong Lee tidak dapat menahan diri dan mengajukan pertanyaan itu kepada suhunya.

Yap-lojin menoleh dan tersenyum melihat keinginan tahu murid kesayangannya ini. "Kakek gurumu lalu menyepi di dalam kamar rahasia itu dan berusaha menyempurnakan ilmunya. Gambar-gambar tadi adalah peninggalan beliau. Selama bertahun-tahun empat orang datuk mengasingkan diri, tidak pernah keluar, dan masing-masing menyempurnakan ilmu-ilmu mereka. Dan pada waktu itu, hanya Kim-mo Sai-ong saja yang telah menerima murid."

"Apakah para locianpwe itu tidak lagi berkunjung ke telaga Hoa-san, setelah mereka memperbaiki ilmu masing-masing untuk mencari sasterawan itu?" Kiong Lee mendesak.

"Baru sepuluh tahun kemudian, setelah kakek gurumu merasa bahwa ilmunya sudah maju, beliau berkunjung ke sana. Akan tetapi sasterawan tua dan anaknya itu sudah tidak lagi berada di sana. Kakek gurumu lalu berkelana mencarinya, akan tetapi usahanya gagal, tidak pernah ketemu. Akhirnya suhu menjadi bosan, pulang ke sini dan menerima murid, yaitu aku dan subomu ini," katanya sambil melirik kepada isterinya, yaitu nenek Siang Houw Nio-nio.

Ouwyang Kwan Ek menarik napas panjang. "Sekarang aku tahu mengapa guruku, menurut cerita twa-suheng, pernah pula mengasingkan diri untuk menyempurnakan ilmu. Belasan tahun kemudian baru suhu keluar dan merantau dan barulah beliau menerima murid-muridnya."

Kiong Lee merasa penasaran. "Jadi kalau begitu, agaknya sampai para locianpwe itu meninggal dunia, mereka tidak pernah dapat menemukan sasterawan tua yang maha sakti itu, suhu?"

Yap-lojin mengangguk. "Agaknya begitulah. Dan selama mereka berempat itu mengembara untuk mencari si sasterawan, mereka telah membuat nama besar sehingga tersohor di seluruh dunia persilatan. Mereka berempat dipuja-puja sebagai tokoh sakti yang tak terkalahkan, tokoh-tokoh yang memiliki ilmu silat sempurna. Tak ada yang mengetahui bahwa empat datuk yang mereka puja-puja itu di dalam hatinya masih merasa gentar terhadap seseorang."

"Ahh, siapakah gerangan sasterawan itu dan di mana beliau sekarang, atau keturunannya?" tiba-tiba Ho Pek Lian tidak dapat menahan hatinya untuk bertanya. Sebetulnya hatinya yang bersuara dan tanpa disadarinya mulutnya ikut pula bicara. Akan tetapi tidak ada yang merasa heran karena pertanyaan itu memang berkecamuk di dalam hati mereka semua.

"Sebetulnya dari perguruan-perguruan kita sendiri saja, kalau ilmu dari perguruan kita terpusat dan terkumpul, tidak terpecah-pecah antara para murid, kiranya kita masih mampu menghadapi dan mengatasi Raja Kelelawar!" kata kakek berjubah naga Ouwyang Kwan Ek dengan suara menyesal.

Mendengar ini, diam-diam Pek Lian memandang tajam kepada kakek ini. Bukankah kakek ini telah mengirim murid-murid dan anak buahnya untuk merampas kitab-kitab pusaka perguruannya sendiri dan bahkan telah dengan kejam membasmi semua keluarga Bu? Hemm, pikirnya dengan penasaran. Kalau caramu mengumpulkan ilmu perguruan sendiri secara demikian kejam, membunuh saudara seperguruan sendiri, maka engkau tidaklah lebih baik dari pada Si Raja Kelelawar! Akan tetapi, tentu saja ia tidak berani mengeluarkan bisikan hatinya ini.

Tiba-tiba semua orang menoleh ke arah bayangan empat orang yang berlari mendatangi tem-pat itu. Setelah dekat, mereka itu ternyata adalah murid-murid Thian-kiam-pang, yaitu para sute dari Yap Kiong Lee yang diperintahkan oleh pemuda ini untuk mencari jejak penculik yang melarikan Yap Kim.

Tentu saja mereka berempat terkejut bukan main melihat betapa bangunan perguruan mereka sudah rusak binasa habis terbakar, dan mereka tak dapat menahan tangis mereka ketika mendengar malapetaka yang menimpa perguruan mereka dan tewasnya dua orang suheng dan para anak buah Thian-kiam-pang.

"Sudah, jangan menangis seperti anak-anak cengeng!" Akhirnya Siang Houw Nio-nio membentak mereka. "Lekas ceritakan bagaimana dengan hasil penyelidikan kalian!"

Empat orang murid itu sambil berlutut lalu bercerita. Mereka dapat menemukan jejak orang yang melarikan Yap Kian dan ternyata bahwa yang melarikan itu memang seorang gemuk pendek yang kemungkinan besar adalah Ceng-ya-kang (Si Kelabang Hijau), seorang tokoh dari Ban-kwi-to.

"Kim-sute dibawa dengan perahu yang berlayar di Sungai Huang-ho. Kami tidak berani melakukan pengejaran karena selain kami tidak mem-punyai perahu, juga kami ingin cepat melapor ke-pada suhu, subo dan suheng."

"Celaka! Kalau Kim-ji berada di tangan kawanan iblis dari Ban-kwi-to, tentu akan celaka! Semua ini adalah kesalahanmu, orang tua yang tidak becus mengurus anak sendiri! Engkau mem-biarkan anak tunggalmu sendiri untuk bergaul dengan segala macam iblis dari Ban-kwi-to. Huh, di mana pertanggungan jawabmu? Bagaimana caramu mendidik anak?"

Yap-lojin yang dimaki-maki di depan orang banyak, terutama di depan Ouwyang Kwan Ek yang menjadi tamunya, memandang dengan muka merah, dan mata mengeluarkan sinar marah. Kakek inipun pada hakekatnya mempunyai watak yang keras, tidak kalah kerasnya dengan watak isterinya.

"Hemm, kalau orang tuanya retak, mana mungkin anaknya dapat memperoleh pendidikan yang baik? Keretakan orang tuanya sudah merupakan contoh, yang amat buruk, yang dapat menghancurkan perasaan anak. Dan kalau seorang isteri meninggalkan suami dan anaknya sehingga kehidupan suami dan anak itu menjadi hancur, si anak tidak memperoleh pendidikan yang baik, salah siapakah itu?"

Diserang oleh ucapan begini, nenek Siang Houw Nio-nio menjadi marah bukan main. Mukanya berobah merah sekali dan matanya berkilat-kilat. Ia membanting kakinya ke atas tanah dan mem-bentak marah.

"Yap Cu Kiat!" Telunjuk kanannya menuding ke arah hidung suaminya itu yang biasanya disebut-nya suheng. "Enak saja engkau bicara! Sudah berulang kali aku membujuk, menyembah-nyembahmu, agar keluarga kita pindah ke kota raja. Aku adalah keluarga kaisar, dan sudah sepatutnya kalau aku menyumbangkan tenagaku pada saat terakhir hidupku untuk kerajaan keluargaku! Akan tetapi, engkau berkeras kepala dan tidak sudi, bahkan engkau berkukuh untuk tidak membolehkan Kim-ji kubawa ke istana! Dan engkau mendidiknya sendiri, sekarang apa jadinya?"

"Wah, kau kira kalau kau bawa dia menjadi orang istana dia akan menjadi lebih baik, ya? Paling-paling dia akan menjadi seorang pemuda bangsawan yang sombong, angkuh dan manja!"

"Jelas tidak serusak sekarang ini!"

"Siapa bilang rusak? Harus diselidiki dulu mengapa dia sampai berdekatan dengan orang Ban-kwi-to dan mengapa pula dia sampai diculik." Kakek itu mencoba untuk menahan kemarahannya. "Jangan sembarangan menuduh yang bukan-bukan!"'

"Tidak perduli! Pokoknya, kalau engkau tidak bisa mencarinya dan menemukannya, membawanya kembali kepada aku ibunya dalam keadaan utuh, aku bersumpah akan mengadu nyawa denganmu!"

Melihat keadaan yang meruncing antara suheng dan sumoi yang telah menjadi suami isteri akan tetapi kemudian saling berpisah karena masing-masing mempertahankan pendirian sendiri itu, Ouw-yang Kwan Ek yang menjadi tamu merasa tidak enak sekali. Dia lalu maju dan menjura kepada dua orang itu.

"Lojin! Nio-nio! Harap maafkan aku, bukan maksudku mencampuri, akan tetapi sebagai sahabat, kiranya aku berkewajiban untuk mengingatkan kalian bahwa dalam keadaan seperti ini, cekcok saja tidak akan dapat mengembalikan putera kalian. Aku akan suka membantu mencarinya."

Suami dan isteri yang sudah tua itu saling pandang dengan sinar mata berkilat, kemudian mereka lalu membuang muka dengan muka masih merah. Memang mereka saling berpisah karena masing-masing mempertahankan pendirian dengan hati keras.

Siang Houw Nio-nio ingin untuk menyumbangkan tenaganya kepada kerajaan, dan iapun sudah minta kepada suaminya untuk membantunya dan hidup di kota raja, untuk mengangkat derajat putera tunggal dan putera angkat mereka, yaitu Kiong Lee yang sudah mereka anggap sebagai anak sendiri.

Akan tetapi, Yap Cu Kiat merasa tidak suka akan sepak terjang kaisar dan diapun berkeras tidak mau sehingga timbullah percekcokkan anta-ra mereka yang mengakibatkan Siang Houw Nio-nio meninggalkan suami dan puteranya, dan pergi sendirian ke kota raja di mana ia lalu menjadi pengawal pribadi dari kaisar.

Pendidikan anak merupakan kewajiban mutlak dan utama bagi orang tua, di samping tentu saja memelihara dan membesarkannya.. Dan pendidikan yang tepat adalah pencurahan kasih sayang yang murni, bukan sekedar pendidikan melalui nasihat-nasihat dari mulut. Seorang anak membutuhkan pencurahan cinta kasih dari ayah bundanya.

Getaran cinta kasih akan terasa oleh anak itu dan orang tua yang benar-benar mencinta anaknya, sudah pasti akan selalu mendidik diri sendiri terlebih dahulu agar si anak dapat melihat dan mengerti, tanpa dibujuk melalui mulut. Apa artinya orang tua melarang anaknya agar jangan berjudi kalau si orang tua sendiri tukang judi?

Apa artinya orang tua melarang anaknya agar jangan memaki kalau si orang tua sendiri tukang maki? Kerukunan ayah dan ibu merupakan pendidikan yang paling baik bagi anak mereka. Sebaliknya percekcokan antara ayah dan ibu merupakan racun-racun dan benih-benih buruk pertama yang merusak watak si anak.

Pujian-pujian tidak akan menjadikan anak baik, karena hal itu bahkan akan membuat si anak menjadi seorang yang selalu haus akan pujian dan kebaikannya itupun hanya palsu karena dilakukan hanya untuk memancing agar memperoleh pujian belaka. Memanjakannya secara berlebihan akan membuat si anak menjadi seorang yang lemah tergan-tung kepada orang tua, tidak berani dan lemah menghadapi halangan dan kesukaran hidup.

Akan tetapi, mendidik dengan kekerasan akan membuat si anak berwatak keras, juga dapat membuatnya menjadi rendah diri. Anak yang menurut kepada orang tuanya karena pendidikan keras, hanya menurut karena takut saja, akan tetapi di dalam hatinya dia memberontak dan kalau sekali waktu dia merasa kuat, dia akan memberontak secara berterang, bahkan mungkin akan sengaja memberontak untuk membalas dendam yang sudah lama disimpan di dalam hatinya.

Ucapan Ouwyang Kwan Ek menyadarkan suami isteri itu bahwa mereka telah dikuasai perasaan sehingga melupakan nasib putera mereka yang berada di tangan orang Ban-kwi-to dan masih belum diketahui bagaimana keadaannya itu. Akan tetapi, Siang Houw Nio nio masih bersungut-sungut ketika berkata, "Pendeknya engkau harus cepat mencari dan menemukan kembali anakku!" Ucapan ini ditujukan kepada suaminya.

"Baliklah, sumoi, baiklah, aku akan turun gunung mencarinya," jawab Yap-lojin dengan suara duka.

Siang Houw Nio-nio lalu mendengus, membalikkan tubuhnya dan memberi isyarat kepada dua orang muridnya untuk pergi bersamanya, kemudian hanya dengan anggukan kecil pada Ouwyang Kwan Ek, iapun lalu pergi meninggalkan tempat itu.

Pek In dan Ang In berlutut kepada Yap-lojin untuk berpamit. Kakek itu menggerakkan tangan kanan menyuruh mereka bangkit. "Pergilah dan jaga baik-baik subo kalian."

Dua orang gadis itu mengangguk dan menahan air mata mereka. Mereka masih diliputi kedukaan melihat apa yang menimpa Thian-kiam-pang dan Pek In mengerling ke arah Yap Kiong Lee dengan pandang mata sayu. Kemudian merekapun pergi sambil mengajak Pek Lian.

Setelah isterinya dan tiga orang gadis itu pergi, Yap-lojin menghela napas panjang. "Sungguh aku tidak mengerti, apa maksudnya orang Ban-kwi-to menculik puteraku. Aku harus menyusul ke pulau itu Sekarang juga."

"Memang sebaiknya begitu, suhu, dan aku akan menemani suhu untuk mendapatkan kembali Kim-sute," kata Kiong Lee.

Pemuda ini memang diangkat anak oleh keluarga Yap, bahkan dia sendiripun memakai she Yap, akan tetapi terhadap ayah dan ibu angkatnya itu, dia selalu menyebut mereka suhu dan subo, seperti murid-murid yang lain. Dan agaknya Yap-lojin dan isterinya itupun tidak menaruh keberatan, apa lagi setelah mereka sendiri juga mempunyai anak, yaitu Yap Kim.

"Jangan khawatir, lojin, biar akupun akan membantumu menghadapi orang-orang Ban-kwi-to," tiba-tiba Ouwyang Kwan Ek juga berkata.

"Ah, mana aku berani merepotkanmu, sahabat Ouwyang?"

"Aku kebetulan berada di sini ketika tempatmu diserbu orang dan aku mendengar akan musibah yang menimpa keluargamu. Hal ini berarti aku berjodoh untuk terlibat dalam urusanmu. Selain itu, akupun ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan nama besar Pulau Selaksa Setan itu."

Yap Cu Kiat tidak dapat menolak lagi dan dia-pun lalu memerintahkan empat orang muridnya untuk mencari tenaga bantuan dan membangun kembali sedapatnya rumah mereka yang terbakar itu. Kemudian, bersama Ouwyang Kwan Ek dan Kiong Lee, diapun meninggalkan sarang Thian-kiam-pang yang telah rusak terbakar itu.


"Seharusnya kita membantu Yap-locianpwe untuk menyusul dan mencari puteranya itu ke sarang Ban-kwi-to!"

Ucapan Pek Lian ini mengejutkan Pek In dan Ang In. Dua orang ini sendiri tidak akan berani mengeluarkan ucapan itu di depan subo mereka, apa lagi ucapan itu dikeluarkan dengan nada su-ara kaku dan mencela!

Benar saja kekhawatiran dua orang gadis ini. Tiba-tiba kereta dihentikan dan kepala nenek itu keluar dari tirai jendela kereta, sepasang matanya mencorong menatap wajah Pek Lian yang juga menghentikan kudanya di dekat kereta.

"Mengapa kau berkata demikian?" bentak nenek itu, matanya agak terpejam dan mulutnya cemberut.

"Melihat orang lain tertimpa bencana, sudah sepatutnya kalau kita turun tangan membantu. Kalau tidak demikian, apa perlunya kita belajar ilmu sejak kecil? Apa lagi kalau yang tertimpa malapetaka itu masih keluarga sendiri, sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu. Pula, harus diingat bahwa Ban-kwi-to kabarnya merupakan tempat yang berbahaya, dihuni oleh tokoh-tokoh sesat yang lihai, maka sudah selayaknyalah kalau kita ikut membantu Yap-locianpwe menghadapi mereka."

Pek Lian melihat betapa dua orang gadis murid-murid Siang Houw Nio-nio itu berkedip kedip memberi isyarat kepadanya agar ia menghentikan ucapannya, akan tetapi ia tidak perduli. Orang-orang lain boleh takut setengah mati kepada nenek bangsawan ini, akan tetapi ia tidak! Ia menganggap bahwa nenek ini terlalu angkuh, terlalu tinggi hati dan kejam sehingga mendengar putera kandungnya diculik orang dan terluka parah, agaknya bersikap tidak perduli saja. Hal ini sudah membuat hati Pek Lian memberontak dan marah.

"Bocah lancang mulut! Berani engkau mencampuri urusan kami?"

Akan tetapi, dengan pandang mata yang berani dan jujur Pek Lian menghadapi nenek itu. "Biarpun saya menjadi tawanan dan orang yang dicurigai, akan tetapi selama ini locianpwe dan terutama kedua orang cici bersikap baik kepada saya sehingga saya sama sekali tidak merasa menjadi tawanan. Sebaliknya, saya merasa sebagai sahabat atau tamu yang diperlakukan dengan baik. Setelah mengalami suka-duka, bahkan sudah sama-sama menghadapi lawan tangguh, bagaimana mungkin saya bersikap tidak perduli dengan malapetaka yang menimpa keluarga locianpwe? Sedapat mungkin, saya tentu akan menyumbangkan tenaga saya yang tidak seberapa ini untuk membantu."

Sejenak dua orang wanita itu saling berpandangan. Akhirnya nenek itu menarik kembali kepalanya ke dalam kereta dan terdengar ia menarik napas panjang, lalu terdengar suaranya, "Hemm, engkaupun seorang yang keras hati dan keras kepala. Akan tetapi engkau memiliki keberanian dan kejujuran." Dan tiba-tiba kereta itupun bergerak lagi.

Pek In menyentuh lengan Pek Lian. "Adik Lian, engkau sungguh membuat kami menahan napas. Kami tidak mengira engkau masih dapat hidup setelah berani bersikap seperti itu."

Pek Lian tersenyum. "Kenapa, enci Pek? Aku merasa benar, dan matipun bukan apa-apa kalau berada dalam kebenaran."

Biarpun ia dapat mengerti akan kata-kata ini, namun di dalam hatinya Pek In harus mengakui bahwa ia tidak mempunyai keberanian yang sede-mikian besarnya seperti gadis ini. Kereta nenek itu berhenti di depan pintu gerbang kota raja. Para penjaga pintu gerbang berbaris rapi di kanan kiri, dengan tombak di tangan kanan dan perisai di tangan kiri. Pakaian seragam mereka mengkilap tertimpa sinar matahari dan mata tombak mereka juga berkilauan karena setiap hari digosok.

Seorang komandan jaga yang pakaiannya lebih mentereng lagi, nampak berlutut dengan kaki kiri di tengah jalan dan inilah yang membuat nenek itu menghentikan kereta. Sambil membawa tongkatnya nenek Siang Houw Nio-nio turun dari atas keretanya. Pek In dan Ang In juga meloncat turun dari atas kuda mereka dan menyerahkan kendali kuda kepada Pek Lian. Dua orang gadis ini cepat mendampingi subo mereka memasuki pintu gerbang.

Para penjaga bersikap hormat melihat nenek ini. Siang Houw Nio-nio sendiri melangkah dengan tenang, tangan larinya membawa tongkat ke-pala naga dan dua orang muridnya berjalan di kanan kirinya. Komandan jaga yang setengah berlutut itu mem-beri hormat. "Hamba menerima perintah dari istana untuk melapor kepada paduka tuan puteri."

"Perintah apa yang datang dari istana? Lekas laporkan kepadaku," jawab Siang Houw Nio-nio. Komandan itu adalah perwira penjaga yang bertugas di luar istana, dan hal ini dikenalnya dari pakaian seragamnya.

"Sri baginda kaisar menanyakan apakah paduka sudah tiba kembali. Dan baru saja beliau mengutus Hek-tai-ciangkun untuk menyusul paduka ke istana Wakil Perdana Menteri Kang."

Nenek itu mengerutkan dahinya dan mengang-kat tangan kanan ke depan. "Baiklah, kau pergi dan laporkan ke dalam istana bahwa aku akan segera menghadap sri baginda."

Komandan jaga itu memberi hormat, lalu bangkit dan dengan sigapnya meninggalkan pintu ger-bang untuk membuat laporan ke istana. Derap kaki kuda terdengar lantang dan gagah.

Siang Houw Nio-nio diikuti oleh dua orang muridnya kembali ke kereta. "Pek-ji dan Ang-ji, kita terus saja ke istana. Ajak sekalian nona itu dan beri pinjam pakaianmu. Agaknya ada perkem-bangan baru di istana. Mari!"

Pek Lian diberi pinjam pakaian dan mereka bertiga lalu berganti pakaian sebagai dayang atau pelayan puteri bangsawan itu. Nenek itu sendiripun berganti pakaian, karena biarpun ia masih bibi dari kaisar sendiri, kalau menghadap kaisar, ia tidak dapat meninggalkan peraturan-peraturan yang sudah ditentukan. Setelah selesai berdandan, mereka berempat lalu menuju ke istana.

Ho Pek Lian merasa girang sekali dan jantungnya berdebar keras. Ia merasa girang karena tahu bahwa nenek bangsawan itu agaknya sudah mulai menaruh kepercayaan kepadanya, bahkan merasa suka seperti juga kedua orang muridnya itu. Kalau tidak demikian tak mungkin ia diajak, masuk ke istana sebagai dayang sang puteri tua. Tidak akan sukar bagi nenek itu untuk menyerahkannya kepa-da pasukan untuk dijebloskan ke dalam tahanan!

Suasana menegangkan yang membayangkan bahwa ada apa-apa di istana nampak dari pintu gerbang istana yang paling depan. Penjagaan amat ketat dan ada belasan orang perajurit jaga di situ, padahal biasanya hanya ada enam orang saja. Dan di balai perajurit yang luas itu, nampak banyak sekali pengawal-pengawal resmi para menteri sedang duduk beristirahat.

Hal ini menandakan bahwa para menteri sedang berada di istana, menghadap sri baginda kaisar. Siang Houw Nio-nio tahu akan hal ini dan diam-diam iapun menduga-duga apa gerangan yang terjadi maka kaisar me-ngumpulkan semua menteri negara.

Setelah tiba di serambi istana, nampak bahwa penjagaan dilakukan oleh para pengawal yang di-sebut pasukan pengawal Gin-i-wi (Pengawal Pa-kaian Perak). Mereka itu rata-rata bersikap gagah, bertubuh kuat dan pakaian mereka yang berlapis perak itu nampak gemerlapan. Komandan mereka juga berpakaian serba mengkilap berlapis perak, dan nampaknya keren berwibawa sekali. Ketika dia melihat datangnya Siang Houw Nio-nio yang diikuti oleh tiga orang dayang cantik, segera maju memberi hormat.

"Paduka tuan puteri telah dinanti-nanti oleh yang mulia sri baginda kaisar. Silahkan!" Komandan itu dengan sikap hormat lalu mengantar nenek bangsawan dan tiga orang dayangnya itu sampai ke pintu induk.

Di sini, tugasnya diambil alih oleh komandan pasukan Kim-i-wi (Pengawal Pakaian Emas). Pasukan Kim-i-wi nampak tidak kalah gagahnya dibandingkan pasukan Gin-i-wi, bahkan pakaiannya yang berlapis emas itu amat megah dan mewah. Pasukan Kim-i-wi ini bertugas menjaga di bagian dalam istana, sedangkan pasukan Gin-i-wi bertugas di bagian luar istana.

Akan tetapi keduanya adalah pasukan-pasukan pengawal istana yang terkenal dan mereka dipim-pin oleh komandan masing-masing yang merupa-kan pembantu-pembantu dari Pek-lui-kong Tong Ciak, itu jagoan terkenal yang bertubuh pendek dari istana!

Di dekat pintu gerbang induk ini, terdapat bangunan samping di mana nampak beberapa belas orang-orang yang sikapnya aneh-aneh dan membayangkan kepandaian tinggi. Mereka ini adalah pengawal-pengawal pribadi para menteri yang tentu saja hanya diperbolehkan mengawal sampai di situ dan tidak diperkenankan ikut masuk menghadap kaisar. Di sekitar tempat itu nampak pengawal-pengawal Kim-i-wi berjalan hilir mudik dengan tombak di tangan.

Sedangkan di bagian luar pintu gerbang nampak pengawal-pengawal Gin-i-wi yang juga berjaga-jaga. Nampak angker dan gagah. Juga nampak pengawal-pengawal dari kedua pasukan ini berjaga-jaga di gardu-gardu ronda, di atas dinding dan di menara-menara. Mereka semua sjap siaga dengan ketat.

Siang Houw Nio-nio dengan sikap tenang dan agung, diiringkan oleh tiga orang gadis dan didahului oleh komandan pasukan Kim-i-wi berjalan di sepanjang ruangan-ruangan yang amat luas itu. Ho Pek Lian berjalan di belakangnya bersama Pek In den Ang In. Pek Lian adalah puteri seorang bekas menteri. Gedung ayahnya sendiri sangat indah dan gadis ini sejak kecil sudah terbiasa dengan kemewahan dan keindahan.

Akan tetapi baru pertama kali ini ia memperoleh kesempatan memasuki istana dan melihat segala kemewahan yang terhampar di depannya, ia merasa dirinya kecil dan merasa seperti seorang miskin yang baru pertama kali me-lihat kekayaan berlimpah. Ia merasa seolah-olah keindahan yang luas itu amat besar, seperti hendak menelan dirinya.

Setelah mereka tiba di depan sebuah pintu besar yang berkilauan dan dilapis emas, komandan Kim-i-wi itu berhenti. Agaknya kedatangan mereka sudah nampak dari dalam karena tirai sutera merah yang menutupi pintu itu terbuka dan muncullah dua orang yang nampak gagah perkasa.

Yang seorang bertubuh tinggi tegap, mukanya brewok dan dia memakai pakaian panglima yang berlapis perak. Orang ke dua bertubuh tinggi kurus dan dia ini memakai pakaian panglima yang berlapis emas. Melihat mereka, komandan Kim-i-wi segera memberi hormat, lalu membalikkan tubuh meninggalkan tempat itu.

Agaknya tugasnya mengawal Siang Houw Nio-nio telah selesai dan kini kedua orang panglima itulah yang menggantikannya, menyambut kedatangan nenek bangsawan itu. Dua orang panglima itu memberi hormat lalu mempersalahkan nenek bangsawan itu melanjutkan perjalanan melalui pintu emas.

Ang In yang berjalan di samping Pek Lian, berbisik di dekat telinga nona ini, "Mereka itu berilmu tinggi, memiliki tenaga berlawanan. Kim-i-ciangkun (Panglima Baju Emas) itu memiliki pukulan telapak tangan panas yang dapat membakar pakaian lawan dan Gin-i-ciangkun (Panglima Baju Perak) itu memiliki pukulan tangan dingin yang membuat darah lawan membeku."

Pek Lian memandang ke depan dan mengangguk. Ia tidak merasa heran mendengar ini karena ia sudah sering mendengar bahwa di istana kaisar terkumpul jagoan-jagoan yang amat lihai. "Akan tetapi semua itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan atasan mereka, yaitu Tong-tai-ciangkun yang berjuluk Pek-lui-kong," bisik Pek In.

Pek Lian merasa betapa jantungnya berdebar kencang dan kedua kakinya agak gemetar. Kiranya dua orang panglima, ini adalah tangan kanan si pendek itu. Bagaimana kalau si pendek itu berada di situ pula dan mengenalnya? Akan tetapi Pek Lian meneliti pakaiannya dan hatinya lega.

Tidak mungkin si cebol yang lihai itu akan mengenalnya. Mereka baru saling berjumpa satu kali saja, yaitu ketika ia menghadang bersama empat orang suhunya untuk membebaskan ayahnya. Ketika itu, ia berpakaian sebagai seorang gadis kang-ouw, tidak seperti pakaian puteri atau dayang istana se-perti sekarang ini. Pula, kalau ia datang sebagai dayang nenek bangsawan yang menjadi bibi kaisar ini, siapa yang berani mencurigai dan mengganggunya?

Memang kedudukan Siang Houw Nio-nio di istana amat tinggi. Orang lain, betapapun tinggi kedudukannya, tidak boleh menghadap kaisar membawa pengawal atau pengikut. Akan tetapi nenek ini masuk diiringkan tiga orang dayangnya dan tidak ada orang berani menentangnya. Bagaikan bayangan saja, Pek Lian mengikuti gerak-gerik dua orang gadis itu dan ketika mereka semua memasuki ruangan pertemuan di mana duduk kaisar dihadap oleh para menterinya.

Pek Lian juga ikut pula menjatahkan diri berlutut di belakang Ang In. Ketika ia mengerling, jantungnya berdebar tegang melihat ada dua orang berdiri di belakang kaisar. Dua orang itu bukan lain adalah Pek-lui-kong Tong Ciak si cebol yang lihai itu dan yang ke dua adalah Jenderal Beng Tian yang tidak kalah lihainya!

Tentu saja Pek Lian diam-diam mengeluarkan keringat dingin ketika melihat "singa dan harimau", dua jagoan pengawal kaisar yang amat terkenal itu. Pernah ia bertemu, bahkan bentrok de-ngan mereka berdua! Kini, mereka berdua itu berdiri di belakang kaisar, berdampingan dan mata mereka itu menyapu ruangan dengan sinar mata yang mencorong tajam dan menyeramkan.

Pek Lian cepat-cepat menundukkan mukanya dan ini tidak menarik perhatian karena memang sikap para dayang harus begitu, takut-takut dan malu-malu! Penyamaran ini menguntungkan Pek Lian karena selain ia diperbolehkan selalu menyembunyikan muka tanpa dicurigai, juga siapakah yang akan memperhatikan seorang dayang? Dua orang lihai itupun tentu tidak akan memandang sebelah mata kepada seorang dayang!

Di kanan kiri, berderet-deret duduk para menteri menghadapi meja masing-masing. Nenek Siang Houw Nio-nio yang memasuki ruangan itu, dengan sikap angkuh dan kesadaran bahwa kedudukannya lebih tinggi dari pada para menteri itu, mengangguk ke kanan kiri membalas penghormatan para menteri yang hadir. Wanita tua ini sadar akan harga dirinya. Ia adalah pengawal pribadi, juga kepercayaan, juga bibi sendiri dari kaisar! Ke-mudian, dengan sikap tenang nenek itu berlutut menghormati kaisar yang masih keponakannya sendiri itu.

"Selamat datang, bibi!" kata kaisar dengan ramah dan dengan tangannya mempersilahkan nenek itu untuk bangkit dan mengambil tempat duduk di kursi yang telah disediakan untuknya.

Biarpun para dayang pengikut nenek ini diperbolehkan ikut masuk, akan tetapi tentu saja mereka tidak boleh mengganggu persidangan dan Pek In lalu mengajak adiknya dan Pek Lian untuk berkumpul di pinggir, bersama dengan para dayang istana, di mana mereka duduk berkelompok dan tidak berani mengeluarkan suara, seperti sekelom-pok bunga di taman yang ringkih dan takut terlanda angin.

Setelah Siang Houw Nio-nio tiba, maka persidangan dilanjutkan dan nenek itu kini mengerti bahwa sri baginda memang mengadakan sidang darurat, memanggil semua menteri untuk membicarakan keadaan yang membuat sri baginda kaisar merasa khawatir. Kaisar Cin Si Hong-te mengerti bahwa beberapa tindakannya telah menimbulkan heboh dan kegemparan di seluruh negeri.

Kaisar merasa marah sekali. Menurut hematnya, semua tindakan yang dilakukannya adalah benar dan tepat, dan demi kebaikan pemerintahnya. Pembakaran kitab-kitab Guru Besar Khong Cu dianggap amat tepat karena pelajaran dalam kitab-kitab itu dianggap menghasut rakyat untuk tidak tunduk dan setia kepada rajanya. Banyak isi pelajaran yang dianggap memburuk-burukkan kaisar, merendahkan kaisar merendahkan martabat kaisar sebagai Wakil atau Utusan Tuhan!

Dan tindakan ini ditentang oleh para sasterawan lemah itu, bahkan beberapa orang menteri ikut menentangnya. Tentu saja mereka yang menentang itu harus dibasmi habis ! Kalau tidak demikian, ke-wibawaan kaisar akan merosot, demikian pendapat orang-orang kepercayaan kaisar seperti kepala thaikam Chao Kao dan Perdana Menteri Li Su, yang dibenarkan oleh kaisar.

Selain itu, juga pembangunan tembok besar di utara banyak ditentang oleh menteri dan orang-orang yang menamakan dirinya pendekar. Katanya usaha itu menyiksa rakyat! Padahal, pembangunan itu adalah untuk keselamatan negara, untuk kesela-matan rakyat pula, untuk membendung datangnya orang-orang dari utara yang akan menyerbu ke selatan. Soal pembangunan tembok besar inipun menimbulkan geger dan pemberontakan.

Untuk melihat reaksi yang sesungguhnya dari rakyat jelata, kaisar sudah mengutus dua orang jagoan istana itu, Pek-lui-kong Tong Ciak dan Jenderal Beng Tian, sekalian untuk menumpas pihak pemberontak yang menentang kekuasaan pemerintah. Ketika kedua orang utusan itu tiba kembali dan membuat laporan mereka, kaisar menjadi terkejut, marah dan segera mengumpulkan para menteri untuk diajak bermusyawarah.

Menurut pelaporan dua orang jagoan itu, rakyat memang sedang bergolak dan nampak tanda-tanda bahwa rakyat akan bergerak menentang pemerintah, dipanaskan oleh gerakan para pendekar. Pelopor utama adalah seorang jago pedang yang terkenal bernama Liu Pang yang oleh rakyat jelata diangkat menjadi semacam bengcu (pemimpin rakyat) dan yang bermarkas di Puncak Awan Biru di Pegunungan Fu-niu-san.

Selain Liu Pang ini, juga masih ada seorang lagi keturunan Jenderal Chu yang pernah menjadi musuh besar kaisar ketika masih menjadi Raja Chin, yaitu yang bernama Chu Siang Yu yang bermarkas di sepanjang Lembah Yang-ce. Anak buah Chu Siang Yu telah banyak dihancurkan oleh dua orang jagoan istana ini di sepanjang Sungai Yang-ce, akan tetapi itu hanya merupakan sebagian saja dari pada kekuatan para pemberontak yang ma-sih berkeliaran.

Menurut penyelidikan dua orang jagoan istana itu, Liu-twako, demikian sebutan umum untuk Liu Pang, memiliki pengaruh yang amat besar di kalangan rakyat dan para pendekar. Anak buahnya banyak sekali. Juga dia memiliki hubungan yang amat luas di dunia kang-ouw. Bukan ini saja yang dilaporkan oleh dua orang jagoan itu.

....Ada Bagian yang hilang....

Di atas istana-istana mereka kadang-kadang nampak bayangan dua orang yang berkeliaran dan yang berilmu amat tinggi. Para pengawal tidak ada yang mampu mengejar mereka sehingga mereka itu tidak diketahui benar bagaimana macamnya. Bahkan dua bayangan orang itu pernah muncul di atas istana kaisar!

Peristiwa ini terjadi ketika dua orang jagoan itu sedang melaksanakan perintah kaisar sehingga tidak berada di istana. Juga Siang Houw Nio-nio tidak berada di istana karena diutus membujuk Wakil Perdana Menteri Kang yang ikut-ikut menentang pemerintah dan hendak mengundurkan diri itu.

Demikianlah, para menteri, juga Siang Houw Nio-nio, mendengarkan penuturan ini dengan hati ikut gelisah melihat perkembangan keadaan yang tidak menguntungkan itu. Bagaimanapun juga, tentu saja kaisar dan juga mereka tidak ingin melihat rakyat memberontak.

"Semua ini adalah kesalahan para menteri yang tidak setia!" Tiba-tiba terdengar Perdana Menteri Li Su berkata setelah memberi hormat kepada kaisar. "Para menteri dan pejabat yang menentang kebijaksanaan sri baginda, itulah yang menyebarkan hasutan kepada rakyat, memberi contoh ketidaksetiaan yang besar. Dosa mereka itu amat hebat dan mereka sepatutnya dihukum berat beserta seluruh keluarga mereka. Kalau tidak demikian, kalau pemerintah hanya menghukum orangnya saja, tentu sanak keluarganya akan mendendam dan menghasut rakyat untuk memberontak!"

Ucapan Perdana Menteri Li Su ini memancing datangnya pendapat-pendapat yang berbeda antara para menteri dan pejabat tinggi yang hadir sehingga keadaan menjadi ramai dengan suara mereka, seperti sarang tawon yang diganggu. Melihat ini kaisar mengerutkan alisnya dan memberi isyarat kepada Pek-lui-kong Tong Ciak.

Si cebol ini mengangkat kedua tangan ke atas dan terdengar suaranya yang bergema dan melengking nyaring, mengandung getaran kuat karena dikeluarkan dengan dorongan tenaga khikang. "Cu-wi harap tenang dan dengarkan amanat sri baginda!"

Mendengar suara yang amat berpengaruh ini, suasana menjadi sunyi sekali dan semua orang me-mandang ke arah kaisar, walaupun mereka segera menundukkan muka kembali karena menentang wajah kaisar lama-lama merupakan dosa besar!

Kaisar menarik napas panjang. Dalam keadaan seperti itu, terasa benar olehnya betapa para pembantunya itu hanya merupakan sekelompok orang-orang tolol yang pandainya hanya menjilat-jilat saja. Maka diapun lalu memandang kepada Siang Houw Nio-nio dan berkata, "Bibi yang baik, ba-gaimanakah hasil pertemuan bibi dengan Menteri Kang? Maukah dia kembali dan memangku jabatannya sebagai wakil perdana menteri?"

Pertanyaan ini menimbulkan ketegangan dan semua mata memandang kepada nenek itu. Memang harus mereka akui bahwa di antara semua menteri, maka Wakil Perdana Menteri Kang adalah orang yang paling berani bertindak tegas, bahkan paling berani menentang kebijaksanaan kaisar. Menteri Kang adalah seorang yang memiliki wibawa besar sekali, dan juga amat bijaksana dan cerdik pandai. Setelah menteri itu meletakkan jabatannya, keadaan menjadi semakin kacau dan banyak pejabat tinggi seperti kehilangan pegangan.

Andaikata menteri itu masih ada, tentu dia akan dapat bertindak dengan tegas dan cepat menghadapi pergolakan yang sedang terjadi. Semua orang tahu bahwa seperti juga Menteri Kebudayaan Ho, maka wakil perdana menteri itupun seorang yang amat disegani, bahkan dihormat dan dikagumi oleh para pendekar di dunia kang-ouw.

Dengan suara tenang dan sikap hormat, nenek Siang Houw Nio-nio lalu menceritakan hasil pertemuannya dengan Menteri Kang. Diceritakannya betapa bekas wakil perdana menteri itu mau menjabat lagi kedudukannya sebagai wakil perdana menteri asal dipenuhi syarat yang dimintanya, yaitu dibebaskannya bekas Menteri Ho dan juga para menteri yang ditahan atau dihentikan agar diampuni, dibebaskan dan dipekerjakan kembali.

"Menurut pendapat bekas Wakil Perdana Menteri Kang, penangkapan dan pemecatan para menteri yang setia itulah yang menyebabkan terjadinya pergolakan dan ketidakpuasan di kalangan rakyat. Oleh karena itu, dia sanggup bekerja lagi kalau syarat itu dipenuhi." Demikianlah Siang Houw Nio-nio mengakhiri pelaporannya. "Kalau tidak, maka dia menyerahkan jiwa raganya kepada paduka sri baginda."

Pelaporan nenek ini mengejutkan semua orang dan menimbulkan perdebatan sengit di antara mereka yang hadir. Ada yang setuju agar kaisar memenuhi tuntutan atau syarat itu, akan tetapi ada pula yang tidak setuju.

"Bagaimana pendapatmu, Perdana Menteri Li Su?" Akhirnya kaisar mengangkat tangan memberi isyarat agar semua orang diam dan dia bertanya kepada perdana menterinya.

Selama ini, perdana menterinya itulah yang menjadi penasihat utamanya, yaitu di kalangan para menterinya, sebagai orang yang amat dipercayanya. Di dalam istana, sebagai penasihat pribadi, terdapat Chao Kao kepala thaikam yang amat dipercayanya. Di antara kedua orang pembesar ini memang terdapat suatu persekongkolan untuk mempertahankan kedudukan, kekuasaan dan kepentingan-kepentingan pribadi mereka.

"Hamba sangat khawatir kalau syarat yang diajukan oleh Menteri Kang itu dipenuhi, sri baginda. Pertama, Menteri Kang telah mengajukah permintaan berhenti sendiri, berarti dia telah kehilangan kesetiaan. Oleh karena itu, pengangkatannya kembali dengan memenuhi syarat yang dimintanya, akan membuat dia merasa dimanja dan dipakai dan hal ini pasti akan menimbulkan watak angkuh, sombong dan selanjutnya segala buah pikiran dan keinginannya tentu harus dipenuhi.

"Ke dua, membebaskan para menteri dan pejabat yang berkhianat dan berani menentang kebijaksanaan paduka, apa lagi memakai mereka kembali sebagai pejabat, sama saja dengan mengumpulkan pengkhianat-pengkhianat yang kelak akan membahayakan kedudukan paduka. Dan ke tiga, Menteri Ho adalah orang yang paling besar dosanya, yang terang-terangan menentang kebijaksanaan paduka dan menghasut orang-orang kang-ouw untuk memberontak. Pergaulannya dengan orang-orang kang-ouw amat luas, maka kalau dia dibebaskan, tentu akan menambali berani kepada para pemberontak."

"Akan tetapi, justeru Menteri Ho itulah yang menjadi tuntutan utama dari Menteri Kang, karena menteri kebudayaan itu adalah sahabat baiknya, juga merupakan penasihat utamanya," nenek Siang Houw Nio-nio memotong.

Mendengar ini, kaisar lalu mempersilahkan para menteri dan ponggawa yang hadir untuk mengajukan pendapat-pendapat mereka masing-masing. Dan terjadilah perdebatan sengit, Tentu saja banyak menteri dan pejabat yang diam-diam telah menjadi kaki tangan Perdana Menteri Li Su dan mereka ini dengan sendirinya mendukung pendapat perdana menteri itu.

Akan tetapi ada beberapa orang menteri yang menjadi sahabat bekas wakil perdana menteri, mencoba untuk mendebat mereka. Perdebatan itu dibiarkan saja oleh kaisar yang mendengarkan dengan penuh perhatian, mendengarkan setiap pejabat yang mempertahankan kebenaran pendapatnya sendiri. Tentu saja, di samping kaisar yang mendengarkan dengan penuh perhatian itu, terdapat seorang lain yang juga mendengarkan dengan penuh perhatian, bahkan dengan jantung berdebar tegang dan badan terasa panas dingin.

Orang ini bukan lain adalah Ho Pek Lian! Siapa orangnya yang tidak akan menjadi tegang hatinya kalau mendengarkan betapa ayahnya dijadikan pokok pembicaraan, bahkan persidangan itu seolah-olah merupakan pengadilan terhadap nasib ayahnya? Mati hidup ayahnya tergantung dalam keputusan persidangan itu dan ia menghadiri dan menyaksikannya tanpa ada seorangpun di antara mereka yang tahu bahwa anak tunggal dari Menteri Ho berada di situ!

Siang Houw Nio-nio mengerutkan alisnya mendengar dalih-dalih yang dikemukakan oleh kelompok pendukung Perdana Menteri Li Su. Nenek ini memang sudah mempunyai perasaan tidak suka terhadap perdana menteri itu yang ia tahu adalah seorang yang pandai sekali mengambil hati kaisar, dan pandai pula merebut kepercayaan kaisar, menjilat-jilat dan bermuka-muka.

Akan tetapi ia sendiri tidak mau berpihak dalam urusan ini. Melihat betapa kaisar nampak bingung mendengar pendapat-pendapat para menterinya yang seolah-olah terpecah menjadi dua itu, nenek Siang Houw Nio-nio lalu mengemukakan pendapatnya dengan suara lantang.

"Cu-wi telah memperbincangkan keadaan sekarang, maka sekarang tinggal melakukan pilihan antara dua kemungkinan. Pertama, menuruti permintaan Wakil Perdana Menteri Kang dan dialah orangnya yang akan sanggup untuk menyelesaikan segala pergolakan dan keruwetan yang mengancam negara ini dengan jalan damai. Atau, cu-wi menolak pemintaannya dan kita semua menghadapi pemberontakan-pemberontakan dunia kang-ouw dan juga menghadapi pengacauan kaum sesat.

"Harap cu-wi suka mempertimbangkan baik-baik. Memilih yang pertama berarti keadaan akan tetap tenang dan damai baik di kalangan pemerintah maupun di kalangan rakyat, atau memilih yang ke dua dan berarti akan terjadi kerusuhan dan pembunuhan di mana-mana. Harap cu-wi ingat! Orang-orang kang-ouw itu dengan ilmu mereka yang tinggi sanggup berkeliaran di wuwungan rumah-rumah, baik rumah rakyat, rumah cu-wi sendiri maupun di istana-istana."

Tentu saja peringatan ini membuat semua orang merasa ngeri. Akan tetapi Perdana Menteri Li Su sudah memandang kepada nenek itu dengan sinar mata penuh selidik dan penasaran. "Apakah Nio-nio hendak berpihak kepada para menteri jahat yang tidak setia dan berani membangkang terhadap sri baginda itu? Dosa mereka terlalu besar. Mereka sepatutnya dihukum mati bersama seluruh keluarga mereka untuk menjadi contoh bagi rakyat agar tidak ada yang berani menentang kekuasaan sri baginda, bukannya diangkat kembali yang akan membuat mereka menjadi kepala besar!"

"Harap paduka tidak menuduh yang bukan-bukan. Saya sama sekali tidak mau memihak siapapun juga dalam soal ketidak-cocokan pendapat antara kalian! Akan tetapi, betapa bodohnya untuk bertengkar antara rekan sendiri selagi negara berada dalam bahaya pergolakan dan pemberontakan. Dalam keadaan seperti ini, seorang pejabat yang setia akan memikirkan keselamatan negara, sama sekali tidak akan memperdulikan perasaan-perasaan pribadi. Saya bicara bukan karena berpihak, melainkan mengingat akan keselamatan negara!"

Mendengar semua perdebatan itu, Kaisar Cin Si Hong-te menjadi semakin bingung. Memang pendapat yang saling bertentangan itu ada benarnya. Dan para menteri yang menunjang pendapat Perdana Menteri Li Su adalah menteri-menteri yang pandai menyenangkan hatinya, selalu setia dan taat, tidak pernah membantah atau menentang kebijaksanaannya, bahkan mendukung semua kebijaksanaan yang diambilnya sepenuhnya.

Mereka itu selalu berusaha untuk menyenangkan diri, sedangkan para menteri yang bertentangan dan yang mendukung pihak Menteri Kang adalah mereka yang suka cerewet, banyak membantah dan banyak menentang kebijaksanaannya, membuat dia kadang-kadang merasa penasaran dan marah. Tentu saja di dalam hatinya dia condong membenarkan Perdana Mentei Li Su dan para menteri pendukungnya.

Akan tetapi, kaisar juga bukan seorang bodoh yang tidak dapat melihat keadaan. Keadaan negara benar-benar terancam. Kalau api pemberontakan yang baru mulai bernyala ini tidak segera dipadamkan, maka keadaan akan benar-benar berbahaya dan api pemberontakan itu akan dapat membakar seluruh negeri.

Dan agaknya, satu-satunya jalan untuk mencegah api itu berkobar, adalah kembalinya Wakil Perdana Menteri Kang. Akan tetapi, dia tahu bahwa kembalinya menteri yang keras hati ini tidak menyenangkan hati Perdana Menteri Li dan teman-temannya. Lalu bagaimana baiknya?

Akhirnya, dengan pandang mata penuh harap kaisar itu menoleh ke arah Siang Houw Nio-nio dan bertanya, "Bibi yang baik, bagaimanakah menurut pendapatmu?"

"Harap paduka mengampuni hamba kalau hamba katakan bahwa hak itu sepenuhnya terserah kepada kebijaksanaan paduka sendiri. Bagi hamba, yang terpenting adalah keselamatan sri baginda dan kerajaan, hal-hal lainnya hamba tidak perduli. Bagi hamba, siapa saja yang membahayakan keselamatan sri baginda maupun tahta paduka, baik itu datang dari orang-orang yang memberontak maupun dari orang-orang kita sendiri yang tidak becus mengatur negara sehingga membikin bahaya kedudukan paduka, akan hamba sikat dan basmi sampai habis!"

Suara nenek itu berapi-api penuh semangat ketika ia mengucapkan kata-kata ini dan Perdana Menteri Li Su bersama teman-temannya mengerutkan alis karena mereka merasa seolah-olah sebagian dari pada ancaman nenek itu ditujukan kepada mereka.

Sri baginda kaisar mengangguk-angguk mendengar ini. Kemudian dia menoleh ke arah dua orang jagoannya yang berdiri di belakangnya, dan berkata kepada jenderal tinggi besar yang gagah perkasa itu, "Jenderal Beng Tian, bagaimana pendapatmu?"

Jenderal itu terkejut, tidak menyangka bahwa pendapatnya ditanya oleh junjungannya. Biarpun dia merupakan seorang yang amat dipercaya oleh kaisar, akan tetapi dia hanyalah petugas pelaksana, melaksanakan semua perintah kaisar dan tidak pernah mencampuri urusan politik, walaupun di sudut hatinya dia merasa kagum dan suka sekali kepada Menteri Kebudayaan Ho Ki Liong dan juga Wakil Perdana Menteri Kang.

"Hamba? Pendirian hamba tiada bedanya dengan pendirian yang mulia Siang Houw Nio-nio tadi. Hamba bukanlah seorang ahli pikir yang pandai. Yang hamba ketahui hanyalah perang dan berkelahi dengan setia untuk menjunjung paduka dan negara yang akan hamba bela sampai titik daah terakhir. Siapapun yang berani merongrong kekuasaan paduka dan kerajaan akan hamba musnahkan!"

Kembali kaisar mengangguk-angguk dan kini dia memandang kepada si cebol Pek-lui-kong Tong Ciak. "Dan bagaimana dengan pendapatmu?"

Tong Ciak menjatuhkan diri berlutut. "Hamba adalah seorang pengawal istana yang bertanggung jawab atas keselamatan sri baginda dan keluarga, oleh karena itu, segalanya terserah kepada keputusan paduka. Hanya satu hal yang hamba ketahui, yaitu menyerahkan nyawa bagi keselamatan paduka sri baginda dan sekeluarga kerajaan. Persoalan lain-lainnya hamba tidak bisa memikirkannya."

Pada hakekatnya, pendapat tiga orang pelindungnya itu sama saja. Kaisar menjadi semakin bingung. Pikirannya bercabang dua dan dia merasa sulit untuk dapat mengambil keputusan, memilih mana yang tepat, baik dan menguntungkan.

Tiba-tiba seorang kakek berpakaian seperti pendeta yang sejak tadi diam saja dan duduk dengan antengnya di sebelah kanan kaisar, bangkit berdiri dari tempat duduknya, menghampiri ke arah kaisar dan mengebut-ngebutkan ujung lengan bajunya sebagai tanda penghormatan lalu menjura dengan dalam.

Semua orang memandang dan ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh pendeta ini. Kakek ini adalah Bu Hong Sengjin, berusia hampir tujuh-puluh tahun, berwajah lembut. Bu Hong Sengjin adalah seorang tosu (pendeta Agama To) yang menjadi kepala paderi dari kuil agung yang berada di dalam lingkungan istana. Kuil Thian-to-tang itu adalah kuil bagi kaisar dan para bangsawan, dan mereka yang menjadi tosu dalam kuil itu adalah para bangsawan kerajaan sendiri.

Bu Hong Sengjin sendiripun seorang bangsawan karena dia masih terhitung paman dari kaisar sendiri. Pada waktu itu, banyak sekali bangsawan-bangsawan yang setelah tua lalu menjadi paderi dengan maksud untuk menyucikan diri atau untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian agar jiwanya bersih!

Betapa palsunya kita manusia ini! Kita selalu ingin senang, ingin enak sendiri. Sewaktu muda, kita mengumbar nafsu angkara sesuka hati, tanpa memperdulikan apakah tindakan-tindakan kita itu merugikan orang lain ataukah tidak. Hidup kita dipenuhi dengan tindakan-tindakan yang merugikan orang lain dan bergelimang dengan dosa.

Setelah kita menjelang tua, barulah kita ingin merobah jalan hidup, bukan karena penyesalan dan karena kesadaran bahwa jalan hidup kita yang lalu itu kotor dan tidak benar, melainkan terdorong rasa takut akan akibat perbuatan-perbuatan itu, takut kalau-kalau setelah mati kita akan tersiksa dan terhukum, akan tidak kebagian tempat yang baik dan menyenangkan.

Betapa palsunya ini. Di waktu muda mengejar kesenangan sampai lupa diri, di waktu tua masih saja mengejar kesenangan yang diharapkannya akan didapatkan di "sana" kelak. Apa bedanya ini? Yang terpenting sekali adalah sekarang ini! Saat ini! Setiap saat kita harus sadar dan mawas diri. Perbuatan tidak dapat dinilai dan dibanding-bandingkan. Manusia hidup berhak untuk mengecap dan menikmati kesenangan hidup.

Bukan berarti kita harus sejak muda hidup sebagai pertapa dan pantang akan segala kesenangan, menjauhi se-gala kesenangan! Sama sekali tidak, karena inipun pada hakekatnya hanyalah mengejar kesenangan yang lain lagi, yang kita namakan kebahagiaan batin dan sebagainya. Akan tetapi, yang penting kita harus selalu mengamati semua gerak-gerik badan dan batin kita penuh kewaspadaan.

Hanya perbuatan yang didasari cinta kasih sajalah yang murni dan tidak dapat dinilai baik atau buruk. Dan perbuatan yang didasari cinta kasih sudah pasti tidak akan merugikan orang lain baik lahir maupun batinnya. Karena cinta kasih itu berarti bebas dari kebencian, iri hati, cemburu, pementingan diri pribadi.

Baik hanya sebuah kata sebutan, hanya sebuah pendapat. Maka kalau kita ingin baik, berarti kita ingin disebut baik, dan di balik "keadaan baik" ini tentu mengandung pamrih untuk mendapatkan sesuatu, pahala anugerah maupun imbalan jasa dari "kebaikan" itu sendiri. Dan jelas ini bukan baik lagi namanya, melainkan kemunafikan, kepu-ra-puraan karena "kebaikan" itu hanya dilakukan secara palsu, untuk memperoleh pamrih yang ter-sembunyi di baliknya.

Karena itu, bagi orang yang memiliki cinta kasih dalam hatinya, dalam setiap perbuatannya yang disinari cinta kasih, tidak ada istilah baik atau buruk. Dia tidak akan menilai, tidak akan tahu apakah yang dilakukannya itu baik atau buruk, dan penilaian orang lain tidak akan mempengaruhinya. Cinta kasih itu indah, cinta kasih itu sederhana, seperti indah dan sederhananya bunga mawar yang harum semerbak, seperti indah dan sederhananya sinar matahari pagi.

Kesederhanaan bukanlah hidup bercawat di puncak bukit memamerkan "kesederhanaannya" kepada setiap orang yang datang untuk memujanya. Kese-derhanaan berarti kewajaran tanpa pamrih, tanpa kepalsuan, tidak dibuat-buat, hanya didasari cinta kasih.

Setelah memberi hormat, Bu Hong Sengjin lalu menanti teguran atau pertanyaan sri baginda. Melihat kakek ini bangkit berdiri, agaknya kaisar itu baru sadar bahwa kepala kuil istana ini selain menjadi pamannya, juga menjadi seorang di antara para penasihat kaisar. Maka diapun cepat berkata setelah menerima penghormatan itu,

"Ahh..., hampir aku melupakan kehadiran orang-orang tuaku yang dapat menasihatiku. Paman yang mulia, bagaimanakah menurut pendapatmu?"

Pendeta itu dengan tenangnya menjura lagi, kemudian terdengar suaranya yang lembut. Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian sehingga suasana di ruangan itu sunyi sekali dan suara yang lembut dan tenang itu terdengar satu-satu,

"Bagi seorang yang mencinta kedamaian seperti hamba, cara yang terbaik haruslah mengingat akan keselamatan semua pihak. Baik keselamatan paduka dan kerajaan, keselamatan para pejabat, keselamatan rakyat dan lain-lain. Kita harus menghindarkan segala pertentangan yang mengakibatkan pertumpahan darah. Hamba kira, jalan satu-satunya untuk itu hanya memanggil kembali Wakil Perdana Menteri Kang yang telah kita ketahui pengaruhnya terhadap rakyat, agar dia memangku kembali jabatannya agar suasana keruh dapat dijernihkan kembali.

"Mengenai para menteri yang dijadikan syarat kembalinya Wakil Perdana Menteri Kang, dapat dipertimbangkan dan dimusyawarahkan kembali tanpa meninggalkan kepentingan yang menyangkut persoalan itu dari segala pihak. Misalnya, pengampunan dan penempatan kembali para menteri itu dapat dilakukan dengan syarat-syarat berat tertentu yang akan mengikat mereka."

Mendengar ucapan yang dikeluarkan dengan kata-kata yang lugu, suara yang lembut dan jelas itu, wajah sri baginda kaisar nampak berseri. Kaisar Cin Si Hong-te bangkit dari tempat duduknya dan menggerakkan tangannya menunjuk kepada jenderal Beng Tian, tangan kirinya memegangi kalung mutiara dan matanya bersinar-sinar.

"Bagus! Benar sekali itu! Begitulah keputusanku. Jenderal Beng Tian, sekarang juga kau pergilah dan panggil Menteri Kang ke sini! Semua syaratnya akan kupenuhi. Bawalah surat perintah dariku!"

Kaisar menengok ke arah sudut di mana seorang petugas yang berpakaian sebagai sastera-wan telah menuliskan surat perintah itu dengan cekatan. Setelah membubuhi cap sebagai tanda kekuasaan kaisar, surat itu diberikan kepada Jenderal Beng Tian dan kaisar berkata, "Selain Menteri Kang, juga perintahkan agar para menteri yang ditahan agar semua menghadap ke sini!"

Para pejabat tinggi yang mendukung Menteri Kang tentu saja menjadi gembira sekali dan hati mereka merasa lega. Tentu saja Perdana Menteri Li Su dan kaki tangannya mengerutkan alis dan merasa penasaran, tidak puas walaupun mereka tidak berani membantah keputusan yang diambil oleh kaisar. Mereka juga merasa khawatir karena mereka tahu bahwa para menteri itu, di bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri Kang, akan selalu menentang dan memusuhi mereka.

Ho Pek Lian merupakan orang yang paling gembira mendengar keputusan kaisar itu. Hampir saja ia lupa diri dan bersorak kegirangan. Untung ia masih ingat akan keadaan dan ia hanya menun-dukkan muka menyembunyikan senyum di wajahnya yang mendadak menjadi berseri-seri itu.

Setelah Jenderal Beng Tian berangkat, persidangan dibubarkan. Para menteri siap untuk mengundurkan diri. Sebelum kaisar meninggalkan ruangan, Siang Houw Nio-nio yang bertugas menga-wal kaisar sampai ke bagian dalam istana, berkata kepada dua orang muridnya, "Ajaklah kawanmu pulang dulu. Nanti aku menyusul setelah selesai tugasku di sini."

Setelah kaisar meninggalkan ruangan itu, barulah para menteri bubaran dan mereka itu tentu saja berkelompok, memilih kelompok masing-masing dan ramailah mereka membicarakan keputusan menghebohkan yang baru saja diambil oleh kaisar.

Rakyat di manapun juga di dunia ini mengharapkan kemakmuran dalam hidup. Makmur dalam arti kata lahir batin. Makmur lahiriah adalah murahnya sandang pangan sehingga nilai tenaga manusia dihargai dan cucuran keringat dari pekerja mendatangkan hasil yang lebih dari cukup untuk keperluan hidup yang pokok. Makmur batiniah adalah hidup dalam suasana aman tenteram bebas tanpa adanya penindasan dari yang kuat terhadap yang lemah, dari yang berkuasa terhadap rakyat jelata, merasa terjamin keselamatan dan kebebasan dirinya lahir batin.

Dan kemakmuran seperti itu tidak mungkin terlaksana kalau pemerintahnya tidak baik. Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang dikemudikan oleh alat pemerintah yang cakap dan sehat lahir batin. Karena alat pemerintah merupakan kelompok bertingkat, maka sudah barang tentu tingkat yang tertinggi haruslah benar dan bersih. Dalam sebuah kerajaan, kalau sang raja tidak bersih dan korup, mana mungkin mengharapkan para pejabat dan pembantunya bersih?

Sebaliknya kalau sang raja benar-benar bersih dan sehat, tentu dia akan mampu untuk menegur, memecat atau menghukum para pembantunya yang menyeleweng dan korup, lalu memilih pembantu-pembantu puncak yang jujur dan bersih agar para pembantu puncak ini dapat pula membersihkan bawahan-bawahannya. Karena, kalau bukan atasan-nya sendiri, siapa lagi di antara rakyat yang berani menentang kekuasaan orang yang sedang diberi kursi kekuasaan?

Rakyat tidak akan berani menentang lurahnya yang korup. Yang dapat menentangnya hanyalah atasan sang lurah itu, yaitu camat atau bupati misalnya. Dan sang bupatipun kalau menyeleweng hanya dapat ditentang oleh atasannya pula. Jadi jelaslah bahwa sang atasan yang duduk paling tinggi dan memegang Kekuasaan paling besar yang harus lebih dulu bersih, dalam hal sebuah kerajaan adalah sang raja sendiri.

Sayanglah bahwa kebanyakan raja bersikap keras menekan justeru terhadap rakyatnya, bukan terhadap para pembantunya. Para pembantu itu hanya menurut atasan. Kalau atasannya korup, maka para pembantunya juga mendukung kekorupan itu atau penyelewengan itu. Kalau atasannya jujur dan bersih, para pembantunya akhirnya terpaksa akan mendukung kejujuran dan kebersih-an itu. Ini sudah menjadi watak manusia pada umumnya yang ingin bermuka-muka kepada atasan.

Raja juga seorang manusia. Dan manusia itu lemah terhadap kesenangan. Oleh karena itu, banyak raja yang jatuh hanya karena mengejar ke-senangan sehingga melupakan kewajibannya yang besar, yaitu mengatur pemerintahan yang bersih agar kemakmuran mungkin dapat dinikmati oleh rakyat jelata. Rakyat jelata yang selalu diam itu amatlah awas.

Kalau ada raja yang bertindak bijjaksana dan membersihkan para pembantunya dari penyelewengan, maka sudah dapat dipastikan bahwa rakyat pada umumnya akan setuju sepenuhnya. Yang dimaksudkan dengan rakyat di sini adalah rakyat jelata yang tidak ada sangkut-pautnya dengan segala perbuatan korupsi.

Tentu saja tindakan raja yang membersihkan para pembantunya dari tindakan korupsi itu akan ditentang oleh mereka yang sudah biasa melakukan perbuatan itu, sudah biasa menyalahgunakan kedudukannya untuk memeras dan memperoleh hasil-hasil yang tidak wa-jar dari rakyat. Akan tetapi mereka ini tidak masuk hitungan rakyat, bahkan menjadi penjegal kemakmuran rakyat!

Tak dapat disangkal bahwa ada sebagian rakyat yang sengaja mempergunakan uang untuk menyogok para pejabat. Hal ini dilakukan bukan karena paksaan pejabat itu lagi, melainkan karena si penyogok itu mempunyai pamrih lain, yaitu dengan jalan menyogok dia akan memperoleh kesempatan dan wewenang yang akan mendatangkan hasil yang lebih besar lagi. Penyogokannya itu sama dengan memberi umpan untuk mendapatkan ikan.

Akan tetapi, hal ini hanya merupakan akibat atau lanjutan dari pada penyelewengan si pejabat. Karena kalau raja sudah berhasil membersihkan seluruh pembantunya dari pada watak menyeleweng, maka para pejabat yang sudah bersih itu sendiri yang akan menindak dan menghukum orang-orang yang membujuk dan hendak menyogoknya dengan uang.

Dengan demikian, maka segalanyapun akan beres dan bersih. Atasan ditindak oleh atasannya, atasan menindak bawahan dan bawahan yang menjadi petugas dan pelaksana menindak rakyat yang hendak menyeret mereka ke dalam penyelewengan.

Tentu saja hal ini tidaklah semudah dibicarakan. Untuk dapat berhasil membutuhkan suasana dan keadaan yang dapat menimbulkan gairah dan semangat untuk kebersihan itu. Dan rakyat sudah pasti akan mendukung sekuat tenaga. Rakyat selalu mengidamkan kemakmuran dan kesejahteraan.

Sayang bahwa Kaisar Cin Si Hong-te masih terombang-ambing oleh pengejaran kesenangannya diri sendiri. Bahkan keputusan yang dikeluarkannya itu pun bukan didasari kesadaran hatinya, melainkan didasari perhitungan untung rugi bagi dirinya, bagi kerajaan, bukan bagi rakyat jelata. Dia lupa bahwa raja dan pemerintah diadakan untuk rakyat jelata! Tanpa rakyat, apa artinya negara? Apa artinya kaisar?


Ho Pek Lian ikut bersama Pek In dan Ang In keluar dari istana kaisar melalui pintu samping yang menembus melalui sebuah taman yang luas di mana terdapat banyak jembatan-jembatan yang bercat dan terukir indah menyeberangi sungai-sungai buatan kecil yang penuh dengan ikan-ikan emas dan bunga teratai.

Kembali Pek Lian merasa kagum bukan main karena selama hidupnya belum pernah ia melihat taman bunga seluas dan seindah ini. Kiranya tempat tinggal Siang Houw Nio-nio juga berada di kompleks istana, tidak begitu jauh dari bangunan induk yang menjadi tempat tinggal kaisar.

Sebagai seorang pengawal pribadi, tentu saja ia harus selalu dekat dengan kaisar sehingga dalam sekejap saja dapat dipanggil kalau kaisar memerlukannya. Bahkan ada rahasia antara kamar kaisar dan kamar Siang Houw Nio-nio, rahasia yang hanya diketahui oleh mereka berdua. Kalau kaisar menarik tali tertentu, sebuah kelenengan kecil akan bergenta di kamar nenek itu.

Genta kecil ini tentu saja dihubungkan dengan tali halus yang dipasang secara rahasia, melalui taman bunga. Ketika Pek In dan Ang In tiba di pintu gedung yang cukup indah itu, mereka disambut oleh para pelayan wanita yang bukan hanya berwajah can-tik-cantik akan tetapi juga dari gerak-gerik me-reka dapat diketahui bahwa mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi!

"Heii! Nona Pek dan nona Ang sudah kembali!" kata mereka dengan nada suara gembira.

Kedua orang nona itu tersenyum lalu memperkenalkan Pek Lian kepada mereka. Para pelayan itu yang berpakaian sebagai dayang-dayang menyambut Pek Lian dengan ramah. Kemudian Pek Lian diajak melihat-lihat gedung kecil mungil yang indah itu. Di situ terdapat ruangan berlatih silat yang cukup luas, ada tempat samadhi, tempat di mana disimpan abu leluhur yang menjadi semacam tempat sembahyang, ada ruangan tamu yang indah, mangan duduk, ruangan makan dan sebagainya.

Gedung itu sungguh indah sekali, jauh lebih megah dan indah dibandingkan dengan gedung tempat tinggal keluarga ayannya sebagai menteri kebudayaan. Mungkin kemenangan satu-satunya di gedung keluarga Ho adalah tergantungnya lukis-an-lukisan dan tulisan-tulisan bagus yang diha-diahkan oleh para sasterawan dan seniman kepada Menteri Ho.

"Apakah subomu tinggal di sini?" tanya Pek Lian kepada mereka. Pek In menggeleng kepalanya.

"Tidak. Hampir setiap malam subo tidur di dalam istana, tidak jauh dari kamar sri baginda. Subo mempunyai sebuah kamar indah pula di sana. Hanya kadang-kadang saja subo ke sini. Gedung ini adalah bekas tempat tinggal kakak sepupunya yang meninggalkan istana dan tidak menempatinya lagi. Lalu gedung ini oleh sri baginda kaisar dihadiahkan kepada subo ketika subo meninggalkan suhu dan mengabdikan diri ke dalam istana. Karena subo sendiri bertugas menjaga keselamatan sri baginda, maka gedung ini lalu oleh subo diserahkan kepada kami berdua untuk menempatinya bersama dayang-dayang kami." Pek In menunjuk kepada para dayang yang sedang sibuk bekerja dengan wajah berseri.

Pek Lian memandang kepada mereka dan maklum bahwa mereka itu adalah anggauta-anggauta kelompok wanita bertusuk konde kemala yang lihai-lihai. Ia menghela napas panjang. "Dayang-dayangmu itu sungguh lihai-lihai sekali." Ia teringat betapa ia pernah jatuh ke tangan mereka, bahkan menjadi tawanan mereka.

Pek In dan Ang In tersenyum, lalu Ang In yang menjawab, "Hal itu tidak mengherankan karena mereka itu langsung menerima pelajaran dari subo, tidak ada bedanya dengan kami berdua. Hanya saja, kami berdua adalah murid-murid utama, tentu saja mempelajari ilmu yang lebih tinggi dari pada mereka."

Ruangan sembahyang, di mana abu leluhur disimpan, merupakan bagian terakhir dari gedung itu yang mereka masuki. Ketika mereka masuk, Pek In mengerutkan alisnya. Sepasang matanya yang bening itu memandang ke sana-sini dengan sinar mata menyelidik. Pandang mata tajam dari nona ini dapat melihat adanya bekas-bekas abu.

Dan ada beberapa batang hio yang tinggal gagangnya saja menancap di tempat dupa, batang hio yang masih baru, berbeda dengan yang sudah lama. Dari ini saja Pek In dapat menduga bahwa baru beberapa hari yang lalu ada orang membakar hio di tempat itu. Segera dipanggilnya pelayan. Dengan cepat, tiga orang pelayan sudah berdatangan ke ruangan itu.

"Siapakah yang datang untuk bersembahyang di sini beberapa hari yang lalu?" tanya Pek In.

Akan tetapi, sungguh mengherankan hati Pek In dan Ang In ketika mendengar bahwa tidak ada seorangpun di antara para pelayan yang tahu. Menurut mereka, ruangan itu selalu tertutup pintunya dan jarang sekali dimasuki mereka, kecuali kalau mau membersihkan. Itupun dilakukan paling cepat dua minggu sekali.

Selama ini, tidak ada pelayan yang masuk ke situ, sedangkan kedua orang nona itu bersama subo mereka juga selama beberapa hari pergi keluar kota. Kalau ada orang luar memasuki ruangan itu, sudah pasti para pelayan itu akan melihatnya. Mereka semua adalah anggauta-anggauta pasukan wanita bertusuk konde kemala, rata-rata memiliki kepandaian tinggi sehingga rasanya mustahil kalau ada orang masuk tanpa mereka ketahui....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.