Darah Pendekar Jilid 10 karya Kho Ping Hoo - MELIHAT ketegangan menyelimuti wajah mereka itu, Ho Pek Lian lalu tersenyum dari berkelakar, "Wah, jangan-jangan yang datang adalah orang-orang yang dikabarkan berkeliaran di istana-istana di waktu malam itu! Siapa tahu mereka itu mendengar akan kecantikan kalian berdua, lalu datang ke sini akan tetapi karena kalian tidak ada, mereka lalu iseng-iseng membakar hio!"
"Ih, genit kau!" Ang In berseru dan mencubit lengan Pek Lian yang mengelak sambil tertawa. Wajah Pek In dan Ang In berobah merah oleh kelakar itu.
Sebelum dua orang gadis itu dapat membalas, tiba-tiba terdengar suara orang-orang di serambi depan. Kiranya nenek Siang Houw Nio-nio datang bersama seorang tamu.
"Wah, subo datang membawa tamu," kata Pek In. Mereka lalu meninggalkan ruang sembahyang itu, menutupkan daun pintunya lalu menuju ke ruang-an depan.
Terdengar suara Siang Houw Nio-nio bercakap-cakap dengan tamunya. Pek Lian merasa jantungnya berdebar tegang ketika mengenal suara tamu itu. Ternyata ada dua orang tamu yang bukan lain adalah Jenderal Beng Tian dan si cebol Tong Ciak! Juga dua orang gadis itu menahan langkah, tidak berani mengganggu ketika mereka mengenal suara dua orang jagoan istana yang sakti itu.
"Kapankah Beng-goanswe berangkat ke tempat Menteri Kang?" terdengar suara nenek itu bertanya. "Aku telah berjanji kepadanya untuk memberi kabar tentang keputusan kaisar dan dua hari telah lewat. Tentu dia sangat menanti-nanti kedatanganku."
"Saya menanti kembalinya Hek-ciangkun yang saya suruh menyusul paduka ke tempat Menteri Kang, karena saya ingin memberi tugas baru kepada Hek-ciangkun agar pergi menjemput dan membawa kembali Menteri Ho ke kota raja."
"Bagaimana dengan para menteri yang lainnya?" tanya Siang Houw Nio-nio.
"Saya telah memerintahkan Liok-ciangkun untuk menghubungi kepala penjara agar membebaskan para menteri yang ditahan, dan menyuruh mencari para menteri yang telah dipecat, mengun-dang mereka ke kota raja."
Si cebol Pek-lui-kong Tong Ciak yang sejak tadi diam saja menarik napas panjang dan berkata, suaranya penuh kekecewaan, "Aah, banyak tenaga telah dibuang secara sia-sia belaka."
Jenderal Beng Tian menjawab ramah, "Memang, akan tetapi siapa mengira keadaan akan menjadi berobah begini macam? Tong-ciangkun telah ikut memeras keringat membantuku ketika mengawal Menteri Ho sampai jauh sehingga tugas Tong-ciangkun sendiri yang menjadi pengawal di istana hampir kebobolan! Untung bahwa dua orang maling yang aneh itu tidak membuat kerusakan apa-apa di istana. Kalau kita tahu bahwa akhirnya sri baginda akan mengampuni dan memanggil kembali para menteri itu, tentu aku tidak sampai memohon kepada sri baginda agar Tong-ciangkun membantu dalam tugas-tugasku itu."
"Ah, Beng-goanswe terlalu sungkan. Kita sebagai rekan sudah selayaknya saling membantu. Pula, kita tidak bisa tahu apa yang akan terjadi. Akupun menyadari betapa beratnya tugas Beng-goanswe harus mengawal Menteri Ho yang terkenal dan dicinta oleh para pendekar itu secara rahasia, padahal pada waktu itu juga Beng-goanswe bertugas menumpas para pemberontak di Lembah Yang-ce.
"Sesungguhnya, saya harus merasa malu karena kebodohanku dalam mengatur siasat sehingga banyak anak buah goanswe yang tewas ketika kawan-kawan Menteri Ho melakukan penghadangan ketika itu. Memang... aku cuma bisa berkelahi saja, sama sekali tidak mengerti akan siasat-siasat perang seperti Beng-goanswe."
"Tidak mengapalah. Yang penting Menteri Ho dapat diselamatkan, dan itupun berkat bantuan ciangkun dan kami sudah amat berterima kasih."
Pek-lui-kong Tong Ciak menarik napas panjang. Dia teringat akan peristiwa penghadangan kereta yang ditumpangi Menteri Ho sebagai tawanan itu. Betapa dia hampir saja gagal mempertahankan tawanan itu. Tak disangkanya akan muncul si pemuda kusir kereta yang memiliki kesaktian luar biasa itu. Untung pemuda itu berotak miring sehingga perkelahian tidak dilanjutkan. Kalau sampai dilanjutkan, mungkin saja tawanan sudah dirampas oleh para pemberontak.
Pemuda itu lihai bukan main. Dia sendiri, yang sudah mampu menyempurnakan ilmunya sehingga mencapai tingkat terakhir, yaitu tingkat tingkat tigabelas terpaksa ketika beradu tenaga, terdorong mundur! Biarpun belum dapat ditentukan siapa yang akan kalah atau menang kalau perkelahian diteruskan, akan tetapi kalau dia harus sibuk menghadapi pemuda lihai itu, bukankah tawanan itu akan mudah dilarikan orang? Pasukannya sudah terdesak ketika itu.
"Pembersihan yang kita lakukan di Lembah Yang-ce itu memang dapat dikata berhasil. Akan tetapi, mereka itu hanya sebagian kecil saja dari pada gerombolan yang memberontak, yang kabarnya semakin besar dan kuat saja karena bantuan rakyat. Dan lebih mengkhawatirkan lagi adalah adanya berita bahwa kaum sesat dari dunia hitam telah bangkit dan dipimpin oleh keturunan si raja kaum hitam setengah abad yang lalu. Orang itu juga menamakan dirinya seperti leluhurnya yaitu Raja Kelelawar! Hal ini sungguh mendatangkan kegelisahan. Mereka itu lebih kejam dan lebih ganas dibandingkan dengan para pemberontak. Para pemberontak itu hanya menentang pemerintah, akan tetapi kaum sesat itu tidak memakai peraturan lagi, mengganas dan melakukan kejahatan tanpa pandang bulu, merusak kehidupan rakyat. Dan mereka itu memiliki kepandaian yang tinggi. Hemm, ingin aku dapat bertemu dan berhadapan dengan iblis itu!" Jenderal Beng Tian mengepal tinjunya.
"Akupun sudah mendengar tentang itu," sambung Pek-lui-kong Tong Ciak. "Aku mendengar bahwa dia memang sakti seperti iblis sendiri. Jangan-jangan dialah yang mengunjungi wuwungan istana beberapa malam yang lalu. Kim-i-ciangkun yang mengejar bayangan kedua orang itu melaporkan bahwa mereka memiliki gerakan cepat seperti setan, berloncatan dan berlarian di atas wuwungan kompleks istana dengan amat ringannya dan sukar disusul. Siapa lagi yang mampu meninggalkan pasukan pengawal yang rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tinggi itu dengan mudah, kecuali iblis itu sendiri?"
"Hemm, benar kiranya dugaanmu itu, Tong-ciangkun. Di antara kita bertiga ini, akulah yang pernah merasakan kelihaiannya."
"Ehh.....?" seru Jenderal Beng.
"Ahh...?" Si pendek Tong Ciak juga berseru kaget dan heran.
"Sesungguhnyalah, baru kemarin aku bertemu dan bertanding melawan iblis itu. Dan terus terang saja kuakui bahwa aku bukan tandingannya. Padahal waktu itu aku sudah dibantu oleh murid pertama dari suamiku. Kami berdua terdesak dan nyaris tewas!"
Tentu saja dua orang jagoan istana itu tertegun. Hampir mereka tidak dapat menerima kebenaran cerita itu kalau tidak mendengar sendiri dari mulut Siang Houw Nio-nio. Mereka tahu benar siapa adanya wamta tua yang berada di depan mereka ini. Pengawal pribadi kaisar! Mereka tahu betapa lihainya nenek ini dan merekapun sudah mendengar siapa pula suami nenek ini. Suhengnya sendiri, ketua Partai Pedang Langit, keturunan Sin-kun Bu-tek, datuk besar utara jaman abad lampau.
Mereka sudah pernah samar-samar mendengar tentang apa yang telah terjadi antara suami isteri sakti itu. Oleh karena itu, mereka merasa sungkan dan sungguhpun mereka merasa heran sekali mendengar bahwa iblis Raja Kelelawar itu menyerang si nenek yang dibantu oleh murid utama suaminya, mereka tidak berani mendesak atau bertanya lebih lanjut.
Di dalam hati, kedua orang jagoan ini berdebar penuh ketegangan. Nenek ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat, tidak banyak selisihnya dengan mereka sendiri, dapat dikatakan setingkat. Biarpun demikian, melawan iblis itu, padahal sudah dibantu oleh murid utama suaminya, masih kalah dan nyaris tewas!
Padahal, merekapun pernah melihat kelihaian murid utama itu, ialah Yap Kiong Lee. Murid utama ini boleh dibilang telah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian gurunya sehingga dapat dibilang hampir selihai gurunya. Pemuda itu sering datang ke kota raja dan semua orang gagah di kota raja mengenalnya.
"Hemm, jelas bahwa tentu iblis itu yang muncul di kota raja!" Pek-lui-kong berkata sambil mengepal tinju. "Aku harus berhati-hati."
"Memang kita harus berhati-hati," kata Siang Houw Nio-nio. "Akan tetapi aku mendengar dari pelaporan para dayang dari Pek-ji dan Ang-ji yang diutus oleh murid-muridku itu menyelidiki ke tempat pertemuan kaum sesat, bahwa si iblis itu bersama dengan pembantunya akan mencari Tung-hai-tiauw (Rajawali Lautan Timur) yang pada waktu itu tidak muncul. Jadi, mungkin dia hanya lewat saja di sini."
Si cebol mengangguk. "Menurut pengamatan paduka, benarkah iblis itu keturunan Si Raja Kelelawar beberapa puluh tahun yang lalu seperti tersebut dalam dongeng-dongeng itu?"
"Kurasa benar demikian, karena ilmu silat yang dimainkannya itu tentulah Kim-liong Sin-kun seperti yang pernah kudengar, dan ilmu ginkangnya itu tentulah Bu-eng Hwee-teng yang membuat aku mati kutu. Kurasa, untuk masa kini, tidak ada lagi orang yang mampu menandinginya."
Nenek itu memandang kepada Pek-lui-kong dengan sinar mata tajam penuh selidik. Menurut penuturan Ouwyang Kwan Ek dalam percakapannya dengan suaminya, si cebol ini telah mencapai tingkat tertinggi dalam perguruan Soa-hu-pai. Ingin sekali ia tahu, bagaimana jika si cebol ini menandingi Raja Kelelawar. Mana yang lebih lihai antara ilmu si iblis itu, yalah Pat-hong Sin-ciang atau Kim-liong Sin-kun dibandingkan dengan Ilmu Silat Teratai Soa-hu-lian dan Ilmu Pukulan Pusaran Pasir Maut?
Pek-lui-kong Tong Ciak tersenyum dingin. "Hemm, sekali-kali aku ingin sekali berkenalan dengan ilmu-ilmunya. Tentu saja hal itu akan sukar terkabul karena aku terikat oleh tugas di dalam istana. Akan tetapi, ingin sekali aku mencoba ilmuku, apakah mungkin dapat untuk dipakai menghadapinya? Kurasa, yang paling sukar dilawan adalah Bu-eng Hwee-teng itu karena kalau benar dia telah mewarisi ilmu itu dengan sempurna.
"Kiranya di dunia ini sukar dicari orang yang akan mampu menandingi kecepatannya. Kecuali apa bila locianpwe Sin-yok-ong hidup kembali. Akan tetapi, dengan kecepatan gerak tangan Ilmu Silat Teratai Soa-hu-lian, kurasa iblis itu tidak akan mudah untuk menundukkanku." Si cebol ini mengakhiri kata-katanya dengan kalimat yang penuh dengan kepercayaan akan kehebatan ilmunya sendiri.
Ucapan itu bukan sekedar kesombongan kosong belaka. Semenjak dia berhasil mencapai tingkat tertinggi dengan ilmu keturunannya, belum pernah ada lawan yang mampu mengalahkan dia. Apa lagi jika dia mengeluarkan Ilmu Silat Soa-hu-lian karena kedua lengannya dapat bergerak dengan luar biasa cepatnya sehingga nampak seperti ribuan tangkai bunga teratai mencuat di antara daun-daun teratai di telaga pasir. Karena ilmunya ini, selain julukan Pek-lui-kong (Malaikat Halilintar), diapun kadang-kadang dijuluki Si Lengan Seribu.
Jenderal Beng Tian menarik napas panjang. Diapun amat tertarik. "Tentang Ilmu Bu-eng Hwee-teng itu, kurasa Tong-ciangkun salah duga kalau mengira tidak ada orang yang akan mampu menandinginya. Ketika aku mengejar-ngejar ketua lembah, aku bertemu dengan seorang kakek yang memiliki ginkang yang luar biasa hebatnya. Kakek itu dengan menggendong seorang gadis masih mampu menggandeng tangan si ketua lembah dan melarikan diri bebas dari kepungan beribu orang perajurit pilihan. Padahal di sana masih ada aku sendiri dan dua orang pengawalku. Bayangkan saja betapa hebat ginkangnya."
"Memang banyak terdapat orang-orang tak terkenal yang sakti," kata Siang Houw Nio-nio. "Para anak buah Ang-ji yang beruntung dapat menyaksikan pertemuan rahasia kaum sesat itu mengatakan bahwa seorang kakek telah berhasil menundukkan kesombongan iblis itu dalam ilmu ginkang yang luar biasa. Kakek itu memperkenalkan diri sebagai murid bungsu Sin-yok-ong (Raja Tabib Sakti)."
"Ohhh! Jadi locianpwe Sim-yok-ong masih mempunyai murid?" kata Jenderal Beng Tian. "Kalau begitu, kakek yang kuhadapi itu tentulah dia juga orangnya!"
"Mungkin demikianlah adanya. Tentang murid-murid Sin-yok-ong, aku masih mengenal seorang muridnya yang lain, yaitu suheng dari murid bungsu itu. Dia adalah ketua perguruan Liong-i-pang (Jubah Naga)."
"Kakek berjubah naga?" Pek-lui-kong berseru kaget. "Ah, tidak kusangka! Pantas saja ilmu silatnya sedemikian hebat. Wah, kalau demikian halnya, si iblis Raja Kelelawar tentu akan banyak menemui kesulitan dalam pemunculannya ini. Murid-murid Sin-yok-ong... hemm, Beng-goanswe, benarkah bahwa ketua orang-orang lembah itu diselamatkan oleh kakek murid bungsu dari Sin-yok-ong?"
"Memang dia diselamatkan seorang kakek, akan tetapi aku tidak yakin apakah benar kakek itu sama dengan kakek yang telah muncul dalam pertemuan rahasia para kaum sesat atau bukan, aku tidak tahu benar apakah dia itu murid Sin-yok-ong ataukah orang lain," jawab jenderal itu.
"Heii! Aku ingat sekarang!" Tiba-tiba Siang Houw Nio-nio berseru keras. "Aku membawa seorang gadis yang pernah bersama-sama dengan ketua lembah itu. Aku malah membawanya ke sini dari perlawatanku ke tempat Menteri Kang tempo hari. Mungkin ia tahu di mana adanya kawannya itu. Heh, kamu pelayan yang di luar. Cepat pang-gil Pek-ji dan Ang-ji ke sini, suruh mereka mem-bawa tamunya!"
Mendengar perintah ini, Ho Pek Lian yang mendengarkan di ruangan samping tentu saja menjadi terkejut sekali. Jantungnya berdebar tegang. Ia akan dihadapkan dengan dua orang jagoan istana yang pernah dilawannya itu? Mereka tentu akan mengenalnya kalau begitu. Akan tetapi ah, mengapa ia mesti takut? Bukankah ayahnya sekarang telah bebas, bukan menjadi pemberontak lagi, bukan menjadi buronan pemerintah atau orang hukuman lagi?
Akan tetapi kalau ia dituduh sebagai komplotan orang-orang lembah itu. Ah, perduli amat! Bagaimanapun juga, ia bukanlah komplotan mereka. Ia termasuk anggauta kelompok yang dipimpin oleh Liu Pang, sedangkan orang-orang lembah pimpinan Kwee Tiong Li itu adalah ke-lompok yang berada di bawah perlindungan bengcu Chu Siang Yu.
Ketika dayang itu datang, dengan sikap tenang saja Pek Lian bersama Pek In dan Ang In pergi menghadap memenuhi panggilan Siang Houw Nio-nio.
Jenderal Beng Tian memandang tajam ke arah gadis itu, kemudian diapun berseru dengan suara keras, "Ah, benar! Inilah gadis itu! Aku pernah berhadapan dengan ia ini sampai dua kali. Pertama ketika ia muncul secara tiba-tiba dari balik gerobak tokoh Ban-kwi-to dan membantu ketua lembah yang menyamar sebagai perajuritku. Ke dua ketika ia diselamatkan oleh kakek sakti itu! Benar begitu bukan, nona?"
Ho Pek Lian maklum bahwa ia tidak mungkin dapat mengelak dan menyangkal lagi, maka iapun dengan sikap tenang sekali mengangguk. "Benar, akulah gadis itu. Akan tetapi sekali lagi kujelaskan kepada siapa saja bahwa aku bukanlah teman orang-orang lembah itu. Aku baru mengenal dia pada saat dia menyamar sebagai peraiurit itu. Pada saat itu aku tidak tega melihat dia dikeroyok banyak perajurit."
Pek Lian bersikap tenang dan sedikitpun ia tidak kelihatan takut. Sementara itu, Pek-lui-kong Tong Ciak juga memandang nona itu dengan penuh perhatian. Dia merasa seperti pernah bertemu dengan gadis ini, akan tetapi dia lupa lagi entah kapan dan di mana.
"Akan tetapi nona selalu bersama dengan pemuda pemimpin lembah itu, maka tentu saja kami menyangka bahwa nona adalah anggauta mereka pula. Sekarang kami ingin bertanya kepadamu, nona, di manakah kawanmu pemimpin lembah itu? Namanya Kwee Tiong Li, bukan? Dan dia itu termasuk kelompok manakah?"
"Tai-ciangkun salah sangka kalau mengira aku selain bersama dengan dia. Sejak aku diselamatkan oleh kakek sakti, aku lalu memisahkan diri. Aku tidak tahu ke mana kakek dan pemuda itu pergi. Memang benar namanya Kwee Tiong Li, akan tetapi aku tidak tahu dia termasuk kelompok mana."
"Ah, nona. Sebagai seorang tua biasa tentu saja aku bisa percaya omonganmu. Akan tetapi sebagai perajurit, aku terpaksa tidak dapat menerimanya begitu saja tanpa penyelidikan. Kami harus menahanmu untuk menyelidiki kebenaran kata-katamu. Tuan puteri, bolehkah aku membawa gadis ini sebentar saja? Kami ingin menyelidikinya!"
Siang Houw Nio-nio mengangguk dan menoleh kepada Pek Lian. "Akan tetapi kuminta dengan sangat kepada Beng-goanswe untuk memperlakukan gadis ini baik-baik. Aku suka kepadanya, ia tabah dan gagah, dan aku percaya bahwa ia memberi keterangan yang sebenarnya."
"Baik," jawab jenderal itu, lalu dia memberi perintah kepada bawahannya. "Bawa gadis ini ke kantorku!"
Perwira itu bersama beberapa orang perajurit melangkah masuk. Pek In dan Ang In memandang bingung, merasa serba salah. Dengan mata gelisah dan bersedih mereka itu memandang kepada Pek Lian dan kepada subo mereka berganti-ganti, tak tahu harus berbuat bagaimana.
Akan tetapi, Pek Lian yang memiliki kekerasan hati itu tentu saja tidak mau ditangkap secara mudah begitu saja. Selama ini ia juga menjadi tawanan Siang Houw Nio-nio dengan dua orang muridnya, akan tetapi ia lebih diperlakukan sebagai sahabat atau tamu dari pada sebagai tawanan.
Selain itu, juga ia merasa bahwa ia kini adalah puteri seorang menteri yang telah bebas dari hukuman pula. Mana mungkin ia membiarkan dirinya di-tangkap oleh perwira muda dan delapan orang perajuritnya itu. Maka, ketika perwira itu hendak menangkap lengannya, iapun nrelangkah mundur dan mengelak.
"Nona, menyerahlah untuk kami tangkap. Jangan sampai kami mempergunakan kekerasan," kata perwira muda itu yang merasa malu karena sambaran tangannya tadi dengan mudah dapat dielakkan oleh nona yang hendak ditangkapnya.
Pek Lian memandang dengan senyum dingin. "Hemm, hendak kulihat apakah akan mudah begitu saja kalian menangkap aku yang tidak berdosa!"
Perwira muda itu menjadi merah mukanya dan diapun memberi aba-aba kepada delapan orang perajuritnya, "Ringkus gadis ini!"
Delapan orang perajurit itu lalu mengurung dan serentak maju untuk menangkap kedua lengan Pek Lian. Akan tetapi, dengan langkah-langkah teratur Pek Lian mengelak sambil menggerakkan kedua 'tangannya. Terdengar suara "plak, plak!" beberapa kali dan tiga orang perajurit terhuyung ke belakang!
Melihat ini, lima orang perajurit yang lain menjadi penasaran dan marah. Tak mereka sangka bahwa gadis itu akan melawan. Merekapun serentak menubruk ke depan. Akan tetapi kembali mereka hanya menubruk tempat kosong saja dan tangan Pek Lian sudah menampar dua orang perajurit lagi yang terhuyung dan terpelanting dengan muka biru terkena tamparan.
Kini perwira muda itu menjadi marah dan dia sendiripun maju, dibantu oleh delapan orang, pera-juritnya. Akan tetapi, Pek Lian sudah mengambil keputusan untuk melawan. Ia tidak akan membiarkan orang menangkapnya dengan mudah tanpa perlawanan. Biarlah ia tertawan karena kalah, bukan karena takut. Maka terjadikah perkelahian, antara sembilan orang pengeroyok itu dengan Pek Lian.
Pek In dan Ang In yang melihat perkelahian ini, tersenyum-senyum melihat betapa Pek Lian membuat sembilan orang itu kocar-kacir. Dan karena yang hadir adalah ahli-ahli silat, merekapun tertarik. Bahkan Jenderal Beng Tian setengah membiarkan perkelahian itu terjadi dan diapun kagum melihat sepak terjang gadis itu.
"Bukan main..." pikirnya. "Boleh juga gadis muda ini." Diam-diam dia memperhatikan gerakan-gerakan Pek Lian dan dia merasa heran. Dasar gerakan gadis itu menunjukkan bahwa ia telah mempelajari ilmu silat yang baik dan bersih. Akan tetapi mengapa begitu campur aduk, seolah-olah gadis itu telah menggabungkan beberapa macam ilmu silat dari aliran-aliran yang berbeda dalam gerakan silatnya.
Kadang-kadang gerakan silatnya bergaya harimau tutul, kadang-kadang seperti gaya ular dan ginkangnya juga amat baik, membuat tubuhnya dapat bergerak ringan sekali. Jelaslah bahwa gadis ini bukan orang sembarangan dan telah menerima pendidikan ilmu silat dari guru-guru yang baik.
Sembilan orang perajurit itu benar-benar dibuat kewalahan oleh Pek Lian. Nona ini bukan hanya menghindarkan diri untuk ditangkap dengan cara mengelak atau menangkis, akan tetapi juga membagi-bagi pukulan dan tamparan, walaupun nona itu tidak pernah mempergunakan pukulan maut yang dimaksudkan untuk membunuh lawan. Hal inipun diketahui dengan baik oleh para ahli silat yang melihat perkelahian ini dan diam-diam mereka merasa kagum juga kepada nona muda ini yang agaknya masih mampu mengendalikan perasaannya.
Jenderal Beng Tian merasa sungkan untuk turun tangan sendiri terhadap seorang gadis muda seperti Pek Lian. Akan tetapi diapun maklum bahwa gadis ini tidak boleh dipandang ringan dan kalau dia hanya menyuruh perwira-perwira saja agaknya akan sukar untuk menangkapnya. Oleh karena itu, melihat sembilan orang itu kembali jatuh bangun.
Dia lalu membentak dan menyuruh mereka mundur sambil memberi isyarat kepada dua orang pengawal pribadinya yang sejak tadi berjaga-jaga di dekat pintu. Dua orang pengawal pribadi dari Jenderal Beng Tian ini adalah sute-sutenya sendiri, maka biarpun tingkat kepandaian mereka tidak setinggi sang jenderal, namun mereka merupakan dua orang tangguh yang berilmu tinggi.
Dua orang pengawal ini maklum bahwa atasan atau juga suheng mereka itu sungkan turun tangan terhadap nona muda itu, maka merekapun meng-angguk dan keduanya lalu maju menggantikan perwira muda dan delapan orang perajuritnya yang sudah keluar dari situ dengan muka matang biru.
Seorang di antara mereka lalu menyelonong ke depan dan tangannya menyambar, mencengkeram ke arah pundak Pek Lian. Ada angin bersuit ketika tangan ini meluncur ke depan. Pek Lian sudah maklum akan kelihaian dua orang ini, maka iapun sudah siap-siap dan cepat mengerahkan tenaganya menangkis tangan yang mencengkeram itu.
"Plakkk!" Sambil menangkis, Pek-Lian menggunakan tangan kanan untuk memukul ke arah dada dan ia terkejut bukan main melihat betapa lawannya sama sekali tidak mengelak atau menangkis melainkan menerima pukulan itu begitu saja dengan dadanya.
"Bukk!" Kepalan tangan Pek Lian itu mendarat di dada dengan empuk saja. Ia merasa seperti memukul benda lunak yang kenyal seperti karet. Pek Lian terkejut dan maklumlah ia bahwa lawan-nya ini memiliki kekebalan yang amat kuat. Maka iapun cepat mencabut pedangnya. Biarpun ia menjadi tawanan Siang Houw Nio-nio dan dua orang muridnya, akan tetapi ia telah dipercaya setelah ia bersama dengan mereka ikut melawan musuh dan iapun diperbolehkan membawa pedang di pinggangnya.
Kini Pek Lian yang maklum bahwa kalau hanya dengan kedua tangan kosong tak mungkin ia mampu menghadapi dua orang pengawal Jenderal Beng Tian, telah mencabut pedangnya. Dengan ilmu pedang yang dipelajarinya dari gurunya yang baru dan lihai, yaitu Liu Pang atau lebih terkenal dengan sebutan Liu-twako, bengcu yang amat disegani itu, Pek Lian mulai memainkan pedangnya menghadapi pengawal pribadi Jenderal Beng Tian yang hendak menangkapnya.
Pedangnya bergerak indah dan kuat, membentuk gulungan sinar yang menyilaukan mata dan mengeluarkan suara berdengung-dengung. Akan tetapi, pengawal yang masih sute sendiri dari Beng-goanswe itu tetap menghadapinya dengan kedua tangan kosong. Pengawal yang tangguh inipun maklum akan kelihaian pedang si nona muda, maka diapun mengeluarkan ilmu andalannya, yaitu ilmu pukulan yang amat hebat dari perguruan mereka. Pukulan ini bernama Khong-khi-ciang (Pukulan Tangan Udara Hampa) yang amat hebat.
Dari jarak jauh saja pukulan ini mampu melukai lawan karena mengandung getaran seperti petir menyambar. Juga, pukulan ini mengeluarkan suara berdentam dan meledak-ledak. Dengan kedua lengan yang am-puh ini, yang dipenuhi getaran tenaga sinkang yang amat kuat, pengawal itu berani menghadapi pedang Pek Lian, bahkan berani menangkis pedang dengan lengan telanjang!
Ilmu pedang Pek Lian adalah ilmu pedang pilihan yang merupakan ilmu silat tinggi. Akan tetapi, gadis ini belum begitu lama menjadi murid Liu-taihiap atau Liu Pang, maka ilmu pedangnya selain kurang matang, juga tenaga sinkangnya belum dapat mengimbangi sifat ilmu pedang yang hebat itu. Oleh karena itulah, kini menghadapi seorang lawan yang memiliki ilmu silat tinggi, setelah lewat tigapuluh jurus, ia mulai terdesak. Pada hal, pengawal ke dua belum juga maju membantu temannya.
Sementara itu, Pek-lui-kong Tong Ciak yang sejak tadi menonton perkelahian itu selalu memperhatikan gerakan-gerakan Pek Lian dan mengingat-ingat di mana dia pemah melihat gadis ini. Setelah memperhatikan ilmu pedang dari gadis itu, barulah dia teringat.
"Tahan!" teriaknya dan diapun meloncat ke dalam arena pertempuran. Melihat majunya si cebol, Pek Lian terkejut dan mengira bahwa si ce-bol botak itu hendak menangkapnya, maka iapun sudah membalikkan tubuhnya ke kiri, meninggalkan pengawal lihai itu dan menggunakan pedangnya untuk menyerang Pek-lui-kong Tong Ciak.
"Hyaaatttt....!" Pek Lian menerjang dan mengangkat pedangnya tinggi di atas kepala lalu membacok ke arah kepala botak si cebol.
"Hemm...!" Pek-lui-kong berseru, kedua tangannya bergerak dan pandang mata Pek Lian menjadi silau karena kedua tangan itu seolah-olah berobah menjadi banyak sekali dan tahu-tahu pergelangan tangan kanannya kena ditotok dan dalam sekejap mata saja pedangnya telah berpindah tangan!
"Aku sekarang mengenal gadis ini!" kata Pek-lui-kong sambil meloncat mundur kemudian melempar pedang rampasan itu ke atas lantai. "Tidak salah lagi! Nona, bukankah engkau gadis yang menghadang iring-iringan kereta tawanan di sebelah utara kota Kong-goan, di dusun Han-kung-ce itu? Heran, hampir saja engkau dan kawan-kawanmu berhasil menculik Menteri Ho ketika pemuda gila kusir kereta itu mengamuk. Hampir separuh perajurit-perajuritku terbunuh. Bukankah engkau gadis yang memimpin penghadangan itu?"
Pek Lian merasa serba salah untuk menjawab pertanyaan ini dan sementara itu, Jenderal Beng Tian dan Siang Houw Nio-nio, juga Pek In dan Ang In, terkejut bukan main mendengar ucapan panglima cebol yang tidak berpakaian sebagai panglima itu.
"Alih?" Jenderal Beng berteriak hampir berbareng dengan nenek itu. Kemudian jenderal itu melanjutkan, "Kalau begitu gadis ini harus ditawan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya melawan negara! Pengawal, cepat ringkus gadis ini!"
Pengawal yang seorang lagi bergerak cepat menubruk ke depan hendak menangkap pundak Pek Lian yang sudah tidak memegang pedang. Akan tetapi, tiba-tiba Pek-lui-kong Tong Ciak menggerakkan tangannya menangkis cengkeraman tangan pengawal yang tangguh itu.
"Ehh...!!" Pengawal itu terkejut dan meloncat ke belakang. Semua orang memandang dengan mata terbelalak. Apakah Pek-lui-kong telah menjadi gila? Apakah panglima pengawal aneh ini mau berkhianat? Jenderal Beng Tian mengerutkan alisnya dan dengan penuh rasa penasaran dia memandang kepada rekannya sambil melangkah maju, juga bersiap siaga. Siang Houw Nio-nio juga melangkah maju, siap membantu jenderal itu menghadapi si cebol yang lihai.
"Tong-ciangkun, apakah maksud ciangkun mencegah pengawalku menangkap gadis ini?" tanya Jenderal Beng Tian dengan sikap hati-hati, tidak berani sembarangan bergerak sebelum mengerti benar duduknya perkara.
Melihat sikap jenderal itu dan juga Siang Houw Nio-nio yang mengerutkan alis dan bersiap untuk melawannya, barulah Pek-lui-kong sadar akan keadaannya dan mengerti bahwa tindakannya tadi menimbulkan kecurigaan. Maka cepat-cepat dia menjura dengan hormat kepada jenderal itu dan berkata lantang, "Beng-goanswe, saya kira engkau tidak ingin menentang keputusan sri baginda kaisar yang baru saja dikeluarkan itu, bukan?"
Dengan sikap masih penasaran, tanpa mengurangi kewaspadaannya, jenderal itu mengerutkan alisnya dan balas bertanya, "Apakah maksud ucap-an Tong-ciangkun itu?"
Dengan sikap tenang dan ada kegembiraan terpancar dari pandang matanya, kegembiraan dari, orang yang mengetahui suatu rahasia yang tidak diketahui oleh orang lain, panglima cebol itu kem-bali ke kursinya dan duduk.
"Beng-goanswe, untuk memulihkan keadaan negara yang dilanda kekeruhan, yang diakibatkan karena rasa tidak puas dari rakyat atas dipecat dan dihukumnya beberapa orang menteri, sri baginda telah memutuskan untuk memanggil kembali Wakil Perdana Menteri Kang dan membebaskan Menteri Kebudayaan Ho dan menteri-menteri lainnya, agar memangku kembali jabatan mereka, dengan tujuan agar rakyat menjadi tenang kembali. Bukankah demikian keputusan sri baginda?"
"Benar! Akan tetapi apa hubungannya hal itu dengan pemberontak kecil ini?" tanya Beng-goanswe sambil menuding ke arah Pek Lian.
"Harap goanswe suka bersabar. Ketahuilah, gadis ini adalah puteri tunggal dari Menteri Ho Ki Liong! Nah, kalau sekarang kita menangkapnya dan memasukkannya ke dalam penjara, apa yang akan terjadi jika ayahnya mendengar akan hal itu? Tentu dia akan marah dan menolak untuk kembali ke istana. Padahal, Menteri Ho adalah sahabat baik Menteri Kang, bahkan pembebasan Menteri Ho merupakan syarat utama dari Menteri Kang. Hal ini tentu akan menimbulkan akibat luas dan kalau sampai bertentangan dengan keputusan sri baginda kaisar, lalu siapakah yang akan menanggung aki-batnya? Siapa yang berani mempertanggungja-wabkan?"
Tentu saja semua orang tertegun mendengar penjelasan Pek-lui-kong Tong Ciak itu. Semua mata kini ditujukan memandang kepada Pek Lian dari kaki sampai kepala. Tentu saja mereka tidak pernah mengira bahwa gadis ini ternyata adalah seorang puteri bangsawan, puteri tunggal dari Menteri Ho yang amat terkenal itu.
Jenderal Beng Tian sendiri menjadi lemas mendengar penjelasan itu. Dengan sinar mata tajam dia memandang gadis itu lalu bertanya, "Benarkah bahwa nona adalah puteri Menteri Ho?"
Dengan sikap angkuh Pek Lian berkata, "Memang benar! Memangnya kenapa kalau begitu? Mengapa tidak diteruskan pengeroyokan atas diriku?"
"Nah, lihat saja sikapnya!" Pek-lui-kong ber-kata lagi. "Dan harap goanswe ketahui bahwa nona ini adalah murid dari jago pedang yang terkenal dengan sebutan Liu-taihiap atau Liu-twako, bengcu yang terkenal memimpin para pendekar yang merasa tidak puas atas perlakuan pemerintah terhadap para menteri itu."
Jenderal Beng Tian menjadi semakin kaget. Dia terbelalak memandang. "Benarkah itu?"
"Dahulu aku pernah bertanding melawan jago pedang she Liu itu sebelum aku mengabdi di istana, dan aku mengenal gaya permainan pedangnya," kata Pek-lui-kong tegas.
"Akan tetapi mengapa la selalu bersama-sama orang-orang lembah?" Jenderal itu bertanya dengan nada suara sangsi dan curiga.
"Apakah anehnya hal itu? Bukankah kedua pihak itu sama-sama memusuhi pemerintah? No-na ini merasa sakit hati karena ayahnya akan dihukum mati. Orang-orang lembah itupun sakit hati karena mereka dikejar-kejar dan dibasmi oleh pasukan pemerintah. Kalau keduanya bertemu, tentu saja akan terjalin persahabatan sebagai ka-wan senasib sependeritaari, bukan?"
Jenderal Beng Tian mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. "Ah, betapa bodohnya aku sekali ini! Nona Ho, maafkanlah kekasaran para pembantuku tadi," katanya kepada Pek Lian dan diapun kembali ke kursinya.
Pada saat itu, seorang perajurit datang melapor bahwa Hek-ciangkun yang diutus oleh jenderal itu ke tempat tinggal Wakil Perdana Menteri Kang telah tiba kembali. Mendengar ini, Jenderal Beng Tian lalu berkata, "Suruh tunggu sebentar!" Ke-mudian dia menjura kepada Siang Houw Nio-nio dan Panglima Tong Ciak. "Harap maafkan karena saya terpaksa menunaikan tugas."
Siang Houw Nio-nio lalu mengantar dua orang tamunya pergi, karena Panglima Tong Ciak juga minta diri. Pertemuan itupun bubar dan kedua orang gadis itu setelah kini tahu bahwa Pek Lian adalah puteri Menteri Ho yang terkenal itu, segera merangkulnya.
"Ah, kiranya engkau adalah puteri Menteri Ho yang hebat itu. Ah, pantas saja sikapmu demikian angkuh!" kata Pek In dengan kagum.
"Sungguh nakal sekali! Kenapa tidak dari dulu kaukatakan tentang dirimu?" Ang In juga berkata gemas sambil mencubit sayang.
"Bagaimana aku berani mengaku?" Pek Lian berkata sambil tertawa. "Kalau dahulu aku mengaku, tentu enci berdua sudah menyerangku dan bagaimana aku akan dapat selamat? Tadipun kalau tidak ada Tong-ciangkun, bukankah aku sudah dijebloskan ke dalam sel tahanan?"
Siang Houw Nio-nio memang tidak pernah memperdulikan urusan politik, akan tetapi sebagai seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, diam-diam iapun merasa simpati kepada Menteri Ho yang berani itu, dan merasa suka kepada Pek Lian juga karena keberanian gadis ini. Sekarang, mendapat kenyataan bahwa gadis ini adalah puteri menteri itu, iapun merasa semakin suka.
"Sementara engkau menanti kedatangan ayahmu ke istana, engkau boleh tinggal bersama Pek In dan Ang In di sini," kata nenek itu dengan sikap ramah.
Pek Lian cepat memberi hormat kepada nenek itu, penghormatan yang sungguh-sungguh, seba-gai puteri seorang menteri kepada seorang yang berkedudukan tinggi seperti bibi kaisar itu. Akan tetapi karena ia lebih kagum dan tertarik kepada nenek ini sebagai seorang wanita sakti, maka ia tetap menyebut locianpwe sebagai penghormatan seorang ahli silat muda terhadap seorang tokoh besar yang jauh lebih tinggi tingkat ilmunya.
"Saya menghaturkan terima kasih atas semua kebaikan locianpwe dan harap sudi memaafkan segala kesalahan saya yang sudah-sudah terhadap locianpwe."
"Melihat sikap dan mendengar pula tanda-tanda adanya orang yang memasuki ruangan itu, bahkan telah bersembahyang, subo. Akan tetapi, tidak ada seorangpun di antara anak buah teecu yang melihatnya." Demikian Pek In imenutup laporannya. Gurunya mengerutkan alis dan memandang heran. Ia tidak perlu meme-riksa sendiri ke ruangan itu karena ia percaya pe-nuh akan ketelitian muridnya ini.
"Mengingat akan cerita tentang munculnya dua bayangan orang yang amat lihai di gedung para bangsawan bahkan juga di istana, jangan-jangan yang memasuki ruangan sembahyang inipun mereka itu, subo," kata Ang In dan diam-diam gadis yang gagah perkasa ini melirik ke kanan kiri dengan hati mengandung rasa jerih juga. Siapa tahu bayangan setan itu pada saat itu masih berada di situ!
"Akan tetapi, apa perlunya mereka berkeliaran di sini dan memasuki ruangan sembahyang tempat penyimpanan abu leluhur?"
Nenek itu bertanya sangsi, akan tetapi ia teringat akan dugaan Pek-lui-kong akan kemungkinan bahwa seorang di antara dua bayangan itu adalah Si Raja Kelelawar sendiri. Kalau benar yang datang ke istana ini adalah Si Raja Kelelawar, lalu apa maksudnya? Apakah iblis yang mengerikan itu masih terhitung keluarga istana dan dia datang untuk bersembah-yang di depan abu leluhurnya sendiri?
Siang Houw Nio-nio mengerutkan alisnya dan dengan termenung iapun lalu memasuki kamarnya sendiri. Dua orang muridnya yang melihat sikap subonya, mak-lum bahwa subonya sedang berpikir keras, maka merekapun tidak berani banyak bertanya, melain-kan mengiringkan subonya.
Siang Houw Nio-nio duduk termenung di da-lam kamarnya, di atas kursinya. Pek In dan Ang In, diikuti oleh Pek Lian, duduk di luar kamar menanti dan menduga-duga apa yang dipikirkan oleh nenek itu. Nenek itu melayangkan lamunannya. Gedung mungil ini dahulunya menjadi tempat tinggal keluarga pamannya yang menjabat sebagai kepala rumah tangga istana. Pamannya itu hanya mempunyai seorang putera yang kini menjadi kepala kuil istana, yaitu Bu Hong Sengjin yang masih terhitung saudara sepupunya sendiri.
Ketika masih muda, Bu Hong Sengjin yang pangeran itu oleh ayahnya disuruh mempelajari ilmu silat tinggi dari seorang kepala kuil Agama To-kauw. Tentu saja pamannya itu mengharapkan agar putera tunggalnya itu kelak dapat menjadi seorang panglima atau perwira tinggi. Akan tetapi, tempat perguruan di mana pangeran itu belajar tidak hanya mengajar-kan ilmu silat tinggi, melainkan juga keagamaan. Dan dia memang telah mewarisi ilmu silat tinggi, akan tetapi di samping itu juga mewarisi ilmu keagamaan yang mendalam.
Bahkan agaknya, pemuda itu lebih condong mendalami agama dari pada ilmu silatnya sehingga setelah tamat belajar silat, dia tidak mau pulang ke rumah orang tuanya, bahkan lalu masuk menjadi pendeta Agama To dengan julukan Bu Hong Tojin. Kemudian, sebagai seorang tosu dia lebih senang mengembara di kalangan rakyat untuk menyebarkan Agama To-kauw.
Tentu saja hal ini amat mengecewakan hati pamannya. Watak pamannya itu keras dan perbuatan puteranya itu dianggap merendahkan martabat dan nama keluarga. Maka dengan jalan kekerasan pamannya lalu mengurus pasukan mencari puteranya itu. Sampai bertahun-tahun usaha itu dila-kukan dan akhirnya dengan bantuan para pembesar dan pasukan, puteranya dapat dibawa kembali ke istana. Akan tetapi, Bu Hong Tojin juga memiliki watak yang sama kerasnya dengan ayahnya.
Dia berkeras tidak mau menjadi perajurit. Perbantahan terjadi dan akhirnya, pamannya yang keras hati itu menjebloskan puteranya ke dalam penjara. A-kan tetapi, Bu Hong Tojin tetap berkeras kepala. Hal ini amat mengesalkan hati pamannya sehingga dia "makan hati" dan jatuh sakit sampai akhirnya meninggal dunia.
Hal ini amat mendukakan hati Bu Hong Tojin. Akan tetapi bagaimanapun juga, dia tidak suka akan kekerasan, tidak mau menjadi perajurit. Dia tidak meninggalkan istana, akan tetapi dia bahkan memasuki istana dan menjadi pendeta di situ. Akhirnya, kaisar mengangkatnya menjadi kepala kuil dan juga menjadi penasihat. Dan gedung istana mungil ini, karena tidak ada yang menempati lagi, oleh kaisar lalu dihadiahkan kepadanya.
Ketika lamunannya melayang-layang sampai sejauh itu, Siang Houw Nio-nio lalu teringat akan kakak sepupunya itu. "Hemm, tentu saja dia, siapa lagi? Tentu Bu Hong Sengjin yang datang bersembahyang di sini, menyembahyangi arwah mendiang paman. Tentu saja dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat datang tanpa terlihat oleh para dayang. Sebaiknya kutanyakan sendiri kepadanya." Wanita itupun lalu bangkit dari tempat duduknya dan melangkah keluar kamar, wajahnya tidak sekeruh tadi.
"Pek-ji dan Ang-ji, aku mau kembali ke istana," katanya kepada dua orang muridnya itu. Tanpa menanti jawaban, nenek itu melangkah cepat meninggalkan mereka yang tentu saja hanya dapat mengangguk dan tidak berani bertanya.
Malam yang kelam. Hujan rintik-rintik membuat hawa dingin sekali. Suasana di kompleks is-tana amat sunyi menyeramkan. Bukan hanya karena kelamnya malam gelap-gulita, melainkan teruta-ma sekali dengan adanya cerita tentang tamu yang misterius maka suasana menjadi nampak sunyi dan menyeramkan. Para petugas jaga merasakan ini dan mereka memperketat penjagaan, bersikap was-pada. Namun, makin tegang hati mereka, makin menyeramkanlah suasananya.
Lewatnya seekor kucing di atas genteng saja sudah cukup untuk membuat jantung berdetak seolah akan pecah dan membuat darah tersirap meninggalkan muka. Lampu-lampu teng yang dipasang oleh para hamba istana tidak mampu memberi penerangan yang cukup, bahkan kabut tipis yang diciptakan oleh hujan rintik-rintik itu membuat lampu-lampu itu nampak seperti cahaya-cahaya yang aneh menyeramkan.
Tiga orang gadis itu bukanlah orang-orang yang lemah. Sama sekali bukan. Pek In dan Ang In adalah murid-murid kesayangan Siang Houw Nio-nio dan mereka telah memiliki tingkat ilmu silat yang tinggi, lebih tinggi dari kepandaian Ho Pek Lian. Dan Pek Lian sendiri, biarpun belum selihai dua orang gadis itu, namun sudah merupakan seorang gadis yang hebat ilmu silatnya, dan jarang ada orang yang akan mampu menandinginya.
Mereka bertiga ini sudah jelas sekali bukan orang-orang penakut, bahkan tidak pernah merasa takut menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, pada malam hari ini, ada rasa ngeri dan takut menyelinap dalam hati masing-masing dan mereka mencoba untuk menyembuyikannya dengan melalui obrolan yang asyik di dalam ruangan duduk itu.
Rasa takut bukan datang dari luar, melainkan dari dalam batin kita. sendiri. Rasa takut timbul dari permainan pikiran sendiri yang membayangkan hal-hal yang mengerikan. Kalau kita menghadapi segala sesuatu tanpa bayangan pikiran akan hal-hal yang belum ada ini, maka rasa takut tidak akan muncul. Umpamanya, kita duduk seorang diri di dalam kamar dalam suasana yang sunyi. Pikiran kita teringat akan cerita orang tentang adanya setan dalam kamar, tentang hal-hal yang mengerikan lain, maka pikiran itu lalu membayangkan hal-hal yang tidak ada.
Dalam keadaan seperti itu, suara seekor tikus melanggar sesuatu saja sudah cukup untuk menimbulkan bayangan dalam pikiran ten-tang munculnya setan yang menakutkan. Timbul-lah rasa takut dan rasa takut ini membuat orang tidak waspada sehingga ada bayangan sedikit saja lalu bisa kelihatan seperti setan oleh mata kita yang sudah terselubung rasa takut. Kewaspadaan yang menyeluruh, perhatian yang menyeluruh terhadap apapun yang terjadi di depan kita, akan meniadakan rasa takut itu.
Tiga orang gadis itu, dalam keadaan diliputi rasa ngeri dan takut akan kemungkinan munculnya hal-hal yang tidak mereka inginkan, terutama sekali munculnya dua bayangan yang dihebohkan itu, dan juga adanya bekas-bekas orang bersem-bahyang di dalam ruangan penyimpanan abu leluhur, mencoba untuk melarikan diri dari rasa takut dengan jalan mengobrol. Mereka saling mencerita-kan pengalaman dan riwayat masing-masing dan dalam kesempatan itu, mereka merasa menjadi semaian akrab satu sama lain.
"Aih, ternyata engkau mempunyai banyak guru yang sudah amat terkenal di dunia kang-ouw. Mula-mula Huang-ho Su-hiap, empat orang pendekar Huang-ho yang terkenal itu menjadi guru-gurumu, kemudian engkau digembleng pula oleh Liu-taihiap yang terkenal itu. Pantas saja engkau lihai sekali, adik Lian," kata Ang In memuji.
"Ah, jangan terlalu memuji, enci Ang. Biarpun aku mempunyai lima orang guru, akan tetapi diban-dingkan dengan engkau atau enci Pek yang hanya mempunyai seorang guru saja, aku masih belum ada setengahmu! Aku masih harus banyak belajar dari kalian!"
"Hemm, sesungguhnya tidak demikian, adik Lian. Ilmu silatmu sudah cukup hebat, hanya agaknya engkau masih kurang dalam latihan. Ilmu-ilmumu itu belum dapat kau kuasai dengan matang. Kalau sudah matang, tentu aku bukan lawanmu karena engkau mempunyai ilmu yang lebih lengkap dan banyak ragamnya. Kalau engkau bisa merangkai semua itu, tentu engkau benar-benar akan tangguh sekali," bantah pula Ang In.
Selagi Pek Lian hendak membantah untuk merendahkan diri, tiba-tiba Pek In memandang kepada mereka dengan mata terbelalak dan nona ini menaruh telunjuk di depan mulut sambil mendesis lirih, "Ssshhhhh!" Ang In dan Pek Lian melihat perobahan muka yang menjadi tegang itu, dan mereka berdua menjadi waspada. Melihat betapa cuping hidung Pek In berkembang-kempis.
Merekapun menggerakkan cuping hidung mencium cium dan barulah mereka dapat menangkap bau yang agak harum itu. Dan mereka merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang, leher terasa dingin karena serem. Itu adalah bau asap dupa hio! Mereka bertiga saling pandang. Mereka lalu bangkit dan atas isyarat Pek In, ketiganya lalu berganti pakaian ringkas.
Dengan hati tegang mereka mengadakan persiapan, kemudian dengan hati-hati sekali, mengerahkan ginkang agar jangan sampai langkah kaki mereka bersuara, dipimpin oleh Pek In, ketiganya lalu keluar dari situ dan menuju ke belakang, ke arah datangnya bau asap hio itu yang datang dari arah belakang, dari ruangan sem-bahyang tempat penyimpanan abu leluhur!
Mereka bergerak sigap dan seluruh urat syaraf meneka menegang. Jantung mereka berdebar pe-nuh ketegangrn ketika, mereka berindap-indap menuju ke ruangan sembahyang itu. Makin dekat dengan ruangan itu, bau dupa semakin keras me-nusuk hidung. Betapa beraninya orang itu, pikir mereka. Membakar hio di rumah orang sedemikian menyoloknya, seolah-olah tidak memperdulikan penghuni rumah dan tidak takut dipergoki. Akan tetapi, bulu tengkuk mereka meremang kalau mereka teringat akan kata-kata Pek-lui-kong siang tadi.
Jika benar dugaan si cebol itu yang mengatakan bahwa orang yang berkeliaran di komplek istana pada beberapa hari yang lalu adalah Si Raja Kelelawar, maka mungkin sekali orang yang membakar hio dalam mangan itu adalah si Iblis itu sen-diri ! Jika hal ini benar, maka amatlah berbahaya untuk didekati. Iblis itu kabarnya memiliki kepan-daian yang amat hebat dan apa yang mereka saksi-kan ketika iblis itu berkelahi dengan Siang Houw Nio-nio sudah cukup membuat mereka jerih.
Mereka maklum bahwa kalau yang membakar hio adalah Raja Kelelawar, maka mereka bertiga bukanlah tandingan iblis itu dan menyerbu masuk sama saja dengan membunuh diri atau mati konyol. Oleh karena itu setelah tiba di luar ruangan yang pintunya tertutup itu, mereka berhenti dan saling pandang dengan ragu-ragu.
"Kita pukul saja tanda bahaya?" bisik Ang In kepada kakaknya.
Pek In menggeleng kepalanya. "Jangan dulu," bisiknya kembali. "Kita masih belum yakin. Kalau benar musuh, memang baik sekali memukul tanda bahaya. Bagimana kalau bukan? Bagaimana kalau dia sudah pergi? Berarti menggegerkan istana dengan sia-sia dan tentu Kim-i-ciangkun akan marah-marah kepada kita. Kita tunggu sebentar."
Tiba-tiba mereka bertiga terkejut dan cepat menyelinap dan bersembunyi di balik tiang besar sambil mengintai ke depan. Daun pintu ruangan sembahyang itu terbuka perlahan dari dalam! Keadaan menjadi semakin menyeramkan. Mereka bertiga memasang mata, memandang tanpa berkedip.
Daun pintu terbuka perlahan-lahan dan di antara keremangan sinar lilin, mereka melihat dua sosok tubuh yang tinggi kurus, mengenakan pakaian ringkas serba hitam. Wajah mereka itu ditutupi kain hitam dari kepala sampai ke leher dan hanya sepasang mata mereka saja yang nampak bersinar-sinar seperti bintang kecil. Dari bentuk tubuh mereka, tiga orang gadis yang mengintai itu dapat menduga bahwa seorang di antaranya tentulah wanita. Ho Pek Lian memandang dengan penuh perhatian dari tempat persembunyiannya.
Yang pria mungkin si iblis Raja Kelelawar, pikirnya. Badannya juga jangkung kurus, pakaiannya hitam-hitam, sepasang matanya mencorong. Dan wanita itu, matanya begitu jeli, bukankah itu Si Maling Cantik? Akan tetapi kalau memang benar mereka itu adalah Raja Kelelawar dan Maling Cantik, mengapa mereka harus memakai kedok kain?
Dua orang yang berada di dalam ruangan sembahyang itu setelah membuka daun pintu perlahan-lahan, dengan mata mereka yang mencorong itu memandang keluar ruangan, ke kanan kiri, kemudian agaknya mereka hendak melanjutkan kesibukan mereka di dalam kamar itu, dan siap untuk meninggalkan ruangan yang sudah mereka buka pintunya.
Sementara itu, Pek In berbisik kepada dua orang kawannya, "Ang-moi, cepat kau pukul tanda bahaya sedangkan aku dan Lian-moi akan menyerbu mereka dan menghadang mereka agar tidak melarikan diri. Siap? Hayo, Lian-moi!"
Mereka bertiga berpencar sambil menyelinap ke tempat gelap. Ang In cepat menuju ke sudut di mana tergantung kentungan alat untuk dipukul kalau ada bahaya, sedangkan Pek In dan Pek Lian sudah berindap menghampiri jendela ruangan yang berada di depan kamar sembahyang itu. Mereka berdua menanti dan begitu terdengar suara kentungan dipukul bertalu-talu dengan gencarnya, merekapun menerjang ke depan! Mendengar suara kentungan tanda bahaya ini dua orang yang berada di dalam kamar sembahyang terkejut dan menengok.
Pada saat itu, Pek Lian sudah meloncat masuk sambil membentak nyaring, "Maling-maling hina jangan lari!"
Hampir berbareng, Pek In juga muncul dan menyerbu dari pintu yang terbuka. Akan tetapi hanya sejenak saja dua orang aneh itu kelihatan terkejut.
"Mari...!" Terdengar yang pria menggumam dan keduanya melesat dengan amat cepatnya ke arah pintu.
Pek In memapaki dengan pukulannya, akan tetapi dengan mudahnya dua orang itu menghindar dengan gerakan tubuh yang amat cepat, dan sekali meloncat mereka telah dapat melewati Pek In dan terus melesat keluar dari dalam ruangan itu melalui pntu. Pek Lian sendiri tidak sempat menyerang. Dua orang itu meloncat naik ke atas tembok dan ketika mereka mengayun tangan, semua lampu teng di sekitar tempat itu padam dan kea-daan menjadi gelap sekali.
"Kejar!" Pek In berseru dan bersama Pek Lian ia mengejar. Akan tetapi karena di luar amat gelap, mereka hampir kehilangan bayangan dua orang itu.
Akan tetapi, pukulan tanda bahaya yang dibunyikan oleh Ang In itu mengakibatkan datangnya banyak sekali pengawal dan penjaga. Derap kaki mereka terdengar dari semua penjuru, dan hal ini agaknya membuat dua orang itu menjadi bingung juga. Sebaliknya, Pek In dan Pek Lian merasa lega dan terus mengejar ke depan dan melihat dua orang itu sedang berdiri bingung di serambi depan taman bunga.
Dua orang gadis ini segera menyarang dan menggunakan pedang mereka. Pek In menyerang maling pria dan Pek Lian menerjang maling wanita. Akan tetapi dua orang itu sungguh lihai bukan main. Hanya dengan gerakan langkah kaki dan kadang-kadang mengibaskan tangan, mereka mampu menghadapi serangan pedang itu dan jelaslah bahwa Pek In maupun Pek Lian bukan tandingan mereka.
Ketika mereka membalas dengan serangan tamparan tangan dan tendangan kaki, Pek In dan Pek Lian terdesak mundur. Untung bagi mereka bahwa pada saat itu, Ang In datang bersama para pengawal yang segera terjun dan mengeroyok.
Melihat ini, dua orang maling itu berloncatan jauh dan melarikan diri. Tak lama kemudian keduanya sudah berada di atas genteng-genteng wuwungan kompleks istana dan melarikan diri, dikejar oleh tiga orang gadis itu bersama para perwira pengawal yang memiliki kepandaian cukup tinggi untuk dapat mengejar sambil berlompatan di atas wuwungan rumah.
Karena datangnya banyak pengejar dari semua jurusan, dua orang yang gerakannya cepat seperti iblis itu kadang-kadang harus melawan pengeroyokan para pengejar, melarikan diri lagi, dikeroyok lagi dan terjadilah kejar-kejaran yang amat ramai di kompleks istana, di bawah cucuran hujan rintik-rintik. Banyaknya pengawal yang menghadang di sana-sini membuat dua orang maling itu kebingungan.
Mereka berputaran di seluruh kompleks dan agaknya malah kehilangan jalan. Memang ja-lan keluar telah dijaga ketat oleh para pengawal sehingga dua orang maling itu hanya mampu berlari-larian di sekitar bangunan-bangunan kompleks istana yang luas itu dan tanpa mereka sadari mereka beberapa kali kembali ke tempat semula. Dari tingkah mereka ini saja mudah diketahui bahwa dua orang maling itu masih belum mengenal benar keadaan di kompleks istana.
Padi saat itu muncullah Kim-i-ciangkun, komandan dari pasukan Kim-i-wi. Melihat bahwa para anak buahnya yang membantu tiga orang nona itu mengeroyok dua orang berpakaian hitam dan berkedok kain, Kim-i-ciangkun menjadi marah. Dengan suara gerengan seperti seekor harimau marah dia menerjang ke depan, begitu maju dia telah mengeluarkan ilmunya yang ganas, yaitu Hwi-ciang (Tapak Tangan Api) memukul ke arah maling yang bertubuh ramping. Iblis betina yang berkedok ini agaknya memandang rendah kepada lawan, dengan mengandalkan kecepatan tubuhnya dan kekuatan tangannya iapun menangkis.
"Desss! Aihhh!" Jeritan suara wanita membuka rahasianya sehingga semua orang tahu bahwa maling ke dua bertabuh ramping ini benar-benar seorang wanita. Wanita itu meloncat ke belakang dan matanya terbelalak memandang ke arah lengan baju kirinya yang terbakar hangus!
Untung bahwa ia telah memiliki tenaga sinkang yang amat kuat sehingga pukulan ampuh itu tidak melukai kulitnya dan gerakannya yang cepat meloncat ke belakang tadi telah menyelamatkannya.
Diam-diam Kim-i-ciangkun juga terkejut, tidak mengira bahwa wanita itu benar-benar mampu menangkis pukulan saktinya, maka diapun menyerang terus. Akan tetapi wanita itupun agaknya marah karena lengan bajunya hangus. Ia menangkis, mengelak dan balas meyerang. Kecepatan gerakannya membuat Kim-i-ciangkun kewalahan dan sebuah tendangan kilat mengenai pahanya, membuat Kim-i-ciangkun terpelanting. Akan tetapi para pengawal menerjang dan mengeroyok.
Melihat betapa banyaknya pihak pengeroyok, maling pria berseru kepada temannya, "Lari....!"
Dan merekapun lari lagi, dikejar oleh banyak sekali pengawal. Bahkan kini nampak pula pengawal Gin-i-wi yang berpakaian perak datang membantu dari luar. Karena dikepung makin rapat, kedua orang maling itu semakin bingung. Ke manapun mereka lari, tentu ada pasukan yang menghadang. Akhirnya, tanpa disengaja mereka lari sampai ke kuil agung istana. Melihat bangunan kuil ini, dua orang itu lari ke sana.
Akan tetapi setibanya di depan kuil yang megah itu, kembali mereka telah dikepung rapat oleh para pengawal yang sudah ada pula yang berjaga di tempat itu. Segera terjadi penge-royokan lagi. Biarpun ada beberapa orang penga-wal dan pengeroyok yang roboh terluka, namun dua orang itu dikepung terus sampai tiga orang gadis lihai dan juga Kim-i-ciangkun datang pula di tempat itu.
"Sungguh aneh, kenapa iblis itu tidak segesit dahulu?" kata Pek Lian kepada dua orang temannya. "Bukankah dahulu gerakannya luar biasa cepatnya seperti pandai menghilang saja? Biarpun sekarang gerakannya juga cepat bukan main akan tetapi rasanya tidak sehebat dahulu!"
"Mungkin karena dia harus melindungi teman perempuannya itulah," jawab Pek In yang segera mengajak dua orang temannya untuk membantu para pengeroyok karena memang dua orang iblis itu luar biasa sekali. Pengeroyoknya amat banyak, dipimpin oleh Kirn-i-ciangkun yang tangguh.
Semua pengawal adalah perajurit-perajurit pilihan karena untuk dapat diterima menjadi anggauta pasukan pengawal istimewa ini orang harus melalui ujian berat. Maka mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. Biarpun demikian, agaknya mereka itu menghadapi kesulitan untuk dapat merobohkan atau menangkap dua orang iblis itu. Bahkan banyak sudah anggauta pengawal yang roboh terluka oleh pengamukan mereka berdua.
Hebatnya, dua orang maling itu tidak pernah menggunakan pedang mereka yang tergantung di punggung. Ini saja menunjukkan bahwa selain mereka tidak ingin membunuh para pengeroyok, juga menjadi tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah memiliki ilmu silat tinggi sehingga merasa tidak perlu lagi dibantu oleh senjata dalam menghadapi lawan.
Selagi para pengawal itu dengan ramainya melakukan pengeroyokan, tiba-tiba terdengar bentakan melengking nyaring dan muncullah Pek-lui-kong Tong Ciak! Melihat munculnya tokoh ini, tentu saja para pengawal bersorak girang. Kalau jagoan ini yang turun tangan, tentu dua orang ma-ling itu akan dapat ditangkap atau dirobohkan. Juga Kim-i-ciangkun merasa girang sekali melihat munculnya atasan ini.
Sebaliknya, Pek Lian dan dua orang tokoh wanita bertusuk konde kemala itu mundur dan hanya menonton karena mereka sudah mulai meragukan bahwa orang berkedok itu adalah Si Raja Kelelawar. Pula, kalau yang maju adalah orang seperti Pek-lui-kong, tentu amat tidak enak bagi jagoan itu kalau dibantu. Biasanya, seorang tokoh besar yang sudah menjadi jagoan, tidak sudi dan merasa malu untuk melakukan pengeroyokan.
Pengeroyokan itu terjadi di serambi depan, di bawah pagoda kuil yang bertingkat enam. Melihat betapa para anak buahnya ternyata t'dak mampu menundukkan dua orang maling itu, Pek-lui-kong Tong Ciak menjadi marah. Sambil membentak dia lalu menerjang ke depan dan menggerakkan tangan kanannya menampar. Melihat ini, wanita dalam kedok itu menangkis dan seperti tadi, perbuatannya ini sungguh ceroboh. Ia tidak tahu dengan siapa ia berhadapan dan dengan ceroboh ia berani meng-adu tenaga begitu saja! Padahal, pukulan Pek-lui-kong Tong Ciak ini sama sekali tidak dapat disamakan dengan pukulan api dari Kim-i-ciangkun tadi.
"Dessss.... ahhhh!!" Tubuh wanita itu terlempar ke udara! Demikian hebatnya tenaga yang terkandung dalam pukulan Pek-lui-kong sehingga ketika wanita itu menangkis mengadu tenaga, tubuhnya terlampar keras. Tubuh itu meluncur ke arah pagoda dan terjadilah hal yang mengagumkan sekali.
Kiranya wanita itu juga memiliki sinkang yang amat hebat sehingga biarpun tubuhnya mencelat ke atas, namun agaknya ia tidak terluka. Malah dengan ginkang yang luar biasa indahnya, ia berjungkir balik dan dapat dengan tenangnya turun dan hinggap di lantai dari tingkat ke dua pagoda itu! Semua orang memandang kagum.
Ketika tubuhnya terlempar ke atas tadi, temannya terkejut dan dengan ringannya tubuhnya juga melayang ke atas menyusul kawannya. Melihat ini, Kim-i-ciangkun yang sudah mempersiapkan pasukan panah segera memberi isyarat dan meluncurlah belasan batang anak panah ke arah tubuh maling yang melayang ke atas itu.
Akan tetapi, kembali terjadi hal yang amat mengagumkan ketika iblis atau maling itu berjungkir balik dan dengan mudahnya menggerakkan kaki tangan memukul dan menendang runtuh semua anak panah yang meluncur ke arah tubuhnya. Semua ini dilakukan selagi tubuhnya berada di tengah udara. Kemudian tubuh itu meluncur turun ke lantai tingkat dua, di dekat temannya.
Melihat ini, Pek-lui-kong mengeluarkan dengus mengejek dan diapun bersama Kim-i-ciangkun meloncat ke atas loteng tingkat dua. Para perajurit pengawal berlari-larian melalui tangga. Merekapun hanya ingin menambah semangat saja karena setelah si cebol sendiri yang maju, mereka tidak berani mengganggu dengan pengeroyokan mereka.
Hanya pasukan anak panah saja yang masih siap di luar dan di bawah menara, meman-dang ke atas di mana dua orang iblis itu kini bertanding dengan amat serunya melawan Pek-lui-kong dan Kim-i-ciangkun.
Pek Lian, Pek In dan Ang In menonton di bawah. Mereka merasa terheran-heran melihat betapa iblis yang mereka sangka Si Raja Kelelawar itu ternyata nampak terdesak oleh Pek-lui-kong setelah mereka berkelahi belasan jurus lamanya. Sebaliknya, maling wanita itu bertempur dengan seru dan nampaknya seimbang dengan Kim-i-ciangkun.
Pek-lui-kong dan Kim-i-ciangkun bernapsu sekali untuk mengalahkan dua maling itu, maka merekapun sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuan, mendesak dua orang lawan yang hanya melakukan perlawanan dengan sikap ragu-ragu itu. Karena terdesak dan tersudut, akhirnya iblis itu kembali menjejakkan kakinya dan tubuhnya sudah melayang ke atas, ke arah loteng tingkat tiga.
Memang tidak ada lain jalan baginya. Ketika dia sudah tersudut ke pinggir loteng, hanya ada dua pilihan, yaitu meloncat ke bawah lagi atau meloncat ke atas. Di bawah sudah menanti ratusan pengawal yang siap dengan anak panah dan yang sudah mengepung pagoda kuil itu. Maka diapun meloncat ke atas dan melihat ini, temannya si maling wamta juga mempergunakan ginkangnya yang hebat untuk menyusul dengan loncatan ke atas.
Melihat betapa dua orang lawannya berloncatan ke atas, tentu saja Pek-lui-kong yang sudah merasa "menang angin" itu tidak mau melepaskannya dan diapun meloncat ke atas, mengejar, diikuti oleh Kim-i-ciangkun yang berbesar hati karena adanya Pek-lui-kong di sampingnya.
Kini terjadi kejar-kejaran dan juga perkelahian sengit di tingkat tiga. Agaknya dua orang maling itu hendak mengandalkan ginkang mereka karena mereka hanya sebentar saja menghadapi lawan lalu cepat berloncatan lagi ke tingkat yang lebih tinggi. Dua orang jagoan istana itu terus mengejar dan terjadilah perkelahian seru di atas loteng ke empat. Semua orang yang menonton di bawah dapat mengikuti semua kejar-kejaran dan perkelahian itu dengan jelas. Para anggauta pasukan bersorak-sorak menjagoi komandan mereka.
Kini Pek Lian dan dua orang temannya dapat melihat bahwa Pek-lui-kong benar-benar dapat mendesak si iblis pria dengan pukulan-pukulan saktinya! Iblis itu nampak kewalahan sekali. Akan tetapi, sebaliknya, Kim-i-ciangkun juga nampak terdesak oleh iblis wanita itu. Terutama sekali karena dia kalah cepat dalam bergerak, dan kalah panjang napasnya membuat panglima ini terdesak dan napasnya mulai terengah-engah.
Melihat ini, para perajurit yang di bawah dan tidak dapat membantu itu lalu melepas anak panah ke atas. Mereka tahu bahwa dengan pakaian pengawalnya, komandan mereka tidak akan terlukai oleh anak panah. Kembali terjadi keheranan dalam hati Pek Lian. Ia tahu bahwa iblis Si Raja Kelelawar memiliki jubah yang dapat menahan segala macam senjata tajam. Akan tetapi iblis ini agaknya tidak berani mengandalkan jubahnya, atau dia tidak memakai jubah pusakanya itu.
Iblis itu dan teman wanitanya harus mengelak ke sana-sini dan menjadi kewalahan ketika dihujani anak panah dari bawah, maka mereka berdua lalu meloncat lagi ke tingkat lima. Di sini anak panah tidak lagi dapat mencapai mereka karena terhalang langkau melintang di tepinya. Pek-lui-kong dan Kim-i-ciangkun terus mengejar. Terjadilah perkelahian yang lebih hebat di tingkat lima.
Agaknya si maling wanita itu menjadi marah karena terdesak dam tersudut. Ia mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya melesat dengan luar biasa cepatnya menyambut Kim-i-ciangkun yang sudah mengejar ke tingkat lima. Komandan itu maklum bahwa lawannya melakukan serangan yang berbahaya, maka diapun cepat mengerahkan tenaga untuk menangkis. Akan tetapi, agaknya dia kurang cepat dan tahu-tahu sebuah pukulan telah mengenai pundak kirinya.
"Dess!" Kim-i-ciangkun mengeluh dan terpelanting, roboh dan ketika dia hendak bangkit lagi, dia menyeringai karena pundaknya terasa nyeri sampai ke dada, bahkan lengan kirinya tidak dapat digerakkan, amat nyeri rasanya kalau digerakkan! Tentu saja dia menjadi terkejut dan maklum bahwa dia tidak mungkin dapat maju untuk bertanding lagi.
Sementara itu, melihat pembantunya roboh, Pek-lui-kong menjadi marah dan sepak terjangnya menjadi semakin hebat. Dia kini dikeroyok dua oleh lawannya. Akan tetapi, dia tidak merasa gentar, bahkan kini mengeluarkan ilmunya yang amat diandalkan, yaitu tenaga pukulan Pusaran pasir Maut. Begitu dia melancarkan pukulan ini, angin puyuh bertiup dan hawa dingin terasa melanda tubuh kedua orang lawannya!
Seketika butiran-butiran keringat dan air hujan yang membasahi tubuh kedua lawan itu menjadi beku! Keduanya meng-gigil kedinginan dan menjadi gelagapan. Cepat mereka mengerahkan sinkang untuk memunahkan pengaruh luar biasa dari pukulan Pusaran Pasir Maut itu. Si cebol mengeluarkan suara ketawa me-nyeramkan.
"Hayo, keluarkan ilmu-ilmu andalanmu yang terkenal itu!" bentaknya kepada iblis yang tinggi dan yang disangkanya Raja Kelelawar itu. "Sudah kutunggu sejak tadi. Kenapa tidak kau keluarkan ilmu-ilmumu? Orang bilang, ginkangmu tidak ada keduanya di dunia ini, tidak tahunya cuma sebegitu saja!"
Kembali si cebol tertawa mengejek. Kemudian dia memasang kuda-kuda dengan tubuh yang sudah cebol itu direndahkan, kedua tangannya bergerak cepat sekali di selatar tubuhnya, makin lama makin cepat.
"Hayo, majulah!" bentaknya dan kini dua lengannya sudah sukar diikuti pandang mata, biar oleh seorang ahli silat tinggi sekalipun. Seolah-olah kedua lengan itu kini nampak menjadi ratusan atau ribuan banyaknya, membentuk bayang-bayang dan sukar dilihat dengan nyata yang manakah lengan aselinya dan di mana adanya kedua lengan itu di satu saat. Itulah ilmu sakti yang luar biasa, Ilmu Silat Soa-hu-lian (Teratai Danau Pasir)! Iblis itu nampak terkejut, sepasang matanya terbelalak, nampak jerih dan putus asa.
"Koko, awas!" Maling wanita memperingatkan dengan suara halus. Mereka berdua cepat bersatu untuk menghadapi si cebol yang benar-benar amat menggiriskan ilmunya.
Biarpun dikeroyok dua, namun tetap saja dia mampu mendesak lawan. Kedua tangan yang berobah menjadi banyak sekali saking cepat gerakannya itu, mengeluarkan angin berputar menyambar-nyambar dan membawa hawa dingin. Butir-butiran air hujan yang jatuh di sekitar tempat itu, terkena sambaran angin dingin ini menjadi beku dan berjatuhan mengeluarkan bunyi seperti batu!
Ho Pek Lian, Pek In dan Ang In juga sudah tiba di tingkat ke lima itu. Mereka berloncatan dan kini menonton pertandingan hebat itu dari jarak yang agak jauh. Biarpun demikian, mereka masih merasa betapa hawa dingin melanda tubuh mereka, terdorong oleh angin pukulan si cebol, membu-at mereka mengg:gil.
Sepasang iblis itu telah terdesak hebat. Mereka tidak dapat lari lagi. Terpaksa melawan dari pada mati konyol. Akan tetapi, gerakan si cebol benar-benar membuat mereka bingung. Ketika Pek-lui-kong mengeluarkan bentakan nyaring dan kedua tangannya bergerak cepat, sepasang maling itu menangkis dan akibatnya hebat sekali. Kedok yang dipakai oleh maling pria itu terenggut lepas, sedangkan maling wanita yang terkena sambaran tangan pada pundaknya itu, menjerit dan tubuhnya terlempar jauh ke atas, ke tingkat paling atas!
Pada saat itu, dari tingkat paling atas terdengar suara halus menegur, "Siapa berkelahi di bawah?" Dan muncullah seorang kakek pendeta ke serambi tingkat teratas itu. Ketika dia melihat sesosok tubuh terlempar dari bawah, cepat dia mengulurkan tangan dan menangkap dengan mencengkeram punggung baju tubuh itu. Dan ket;ka dia melihat bahwa wanita yang berpakaian hitam itu terluka parah, dia lalu merebahkannya di atas lantai.
Pada saat itu berkelebat bayangan hitam dan ternyata maling pria tadi, yang terhindar dari pukulan akan tetapi kedoknya copot itu, telah meloncat dan menyusul maling wanita yang terpukul dan terlempar ke atas. Tak lama kemudian, si cebol juga sudah meloncat ke atas dan melihat betapa lawannya berjongkok menghampiri dan memeriksa tubuh kawannya yang terluka, Pek-lui-kong sudah melangkah maju untuk melakukan pukulan maut pula.
Pada saat itu, terdengarlah teriakan Ho Pek Lian, "Tahan!! Dia bukan Raja Kelelawar!!"
"Ehhh??" Tentu saja Pek-lui-kong menjadi terkejut, juga, kecewa karena tadinya dia sudah merasa girang dan bangga bahwa dia mampu menandingi bahkan mendesak dan nyaris merobohkan iblis yang dikenal dengan nama si Raja Kelelawar itu! Akan tetapi, kini puteri Menteri Ho itu mengatakan bahwa orang itu bukanlah si Raja Kelelawar! Tentu saja dia terkejut dan kecewa. Dia menengok dan melihat bahwa Ho Pek Lian. Pek In dan Ang In juga sudah tiba di tempat itu.
Sementara itu, iblis yang sedang berjongkok memeriksa kawannya yang terluka, terkejut melihat si cebol telah mengejarnya, maka diapun meloncat dan siap menghadapi serbuan lawan yang amat tangguh itu. Pada saat itu, ada suara gemuruh angin pukulan melanda dirinya, dari samping. Karena dia tadi memperhatikan ke arah si cebol, dia tidak tahu bahwa di sampingnya ada seorang lawan lain, maka kini diapun cepat mengangkat tangannya menangkis.
"Bresss!" Maling itu terdorong ke belakang oleh tenaga yang amat hebat. Celaka, pikirnya. Ada seorang lagi yang memiliki ilmu sedemikian hebatnya. Kesempatan untuk meloloskan diri bersama kawannya sungguh menjadi semakin tipis lagi. Cepat dia mengangkat muka memandang dan ternyata orang yang melepaskan pukulan sakti yang amat hebat itu adalah seorang nenek!
Memang, sesungguhnya penyerang itu adalah Siang Houw Nio-nio yang juga baru keluar dari ruangan dalam di tingkat tertinggi, bersama dengan kakek pendeta itu. Nenek ini memang sedang berada di situ, dan melihat ada orang berpakaian hitam yang dikejar oleh si cebol, iapun sudah dapat menduga bahwa tentu dua orang berpakaian hitam itulah yang dikabarkan menjadi pengacau yang sering muncul di kompleks istana, maka iapun segera mengirim pukulan tadi.
"Adikku sabar dulu jangan sembarangan turun tangan!" Pendeta tua yang bukan lain adalah Bu Hong Sengjin itu berkata halus. Pendeta itu sedang memeriksa maling wanita yang terluka.
Ketika Pek Lian tadi melihat maling pria yang terenggut kedoknya, segera ia dapat mengenal pria muda yang tampan itu. Maka iapun cepat mengejar ke atas dan kini ia menghampiri maling pria yang ternyata merupakan seorang pemuda tampan yang jangkung, usianya duapuluh tahun lebih. "Bu-taihiap...!" serunya.
Pemuda itu memang Bu Seng Kun, yang dikenal oleh Pek Lian sebagai putera Bu Kek Siang keturunan murid Sin-yok-ong si Tabib Sakti itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan dari ki-sah ini, setelah Bu Kek Siang tewas, barulah Bu Seng Kun dan adiknya, Bu Bwee Hong, mengetahui dari surat peninggalan kakek itu bahwa mereka sesungguhnya bukan putera dan puteri Bu Kek Siang, melainkan cucu keponakan pendekar itu.
Ayah kandung mereka adalah seorang pangeran yang bernama Pangeran Chu Sin yang ditawan oleh pasukan pemerintah, sedangkan ibu mereka yang She Bu, keponakan dari Bu Kek Siang, telah tewas. Jadi, mereka itu adalah Chu Seng Kun dan Chu Bwee Hong dan mereka berdua meninggalkan tempat tinggal mereka untuk pergi mencari ayah mereka yang lenyap setelah ditawan oleh pasukan pemerintah!
Melihat Pek Lian, pemuda itu segera mengenalnya. "Ah, kiranya Ho-siocia berada di sini?" Dia memberi hormat dan menoleh ke arah maling wanita yang rebah terluka. "Dan dia adalah adikku."
Lalu dengan sedih dia mendekati adiknya, mengeluarkan sebutir pel dan berkata, "Kau cepat telan pel ini."
Dibukanya topeng adiknya dan dimasukkannya pel itu ke mulut adiknya. Semua orang terkejut dan kagum. Kiranya yang bersembunyi di balik kedok hitam itu adalah wajah yang luar biasa cantiknya!
"Enci Hong!" Pek Lian cepat berlutut dan memegang tangan dara cantik yang sudah dikenalnya dengan baik itu.
Gadis yang terluka itu setelah menelan pel dari kakaknya, dapat bernapas agak longgar dan iapun tersenyum melihat Pek Lian. "Anak nakal, engkau di sini dan ikut mengeroyok kami pula?" katanya dan senyumnya membuat semua orang seolah-olah melihat bulan bersinar penuh, demikian manis dan cemerlangnya wajah itu.
"Ah, enci, mana aku tahu bahwa Bu-taihiap dan engkau? Kenapa... ah, kenapa?" tanya Pek Lian yang tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu, Siang Houw Nio-nio sudah bertanya kepadanya.
"Nona Ho, siapakah sesungguhnya mereka ini?"
"Locianpwe, mereka ini adalah kakak beradik she Bu, yaitu Bu Seng Kun dan Bu Bwee Hong. Mereka ini adalah keturunan dan ahli waris dari Sin-yok-ong, putera dan puteri dari mendiang pendekar besar Bu Kek Siang cucu murid Sin-yok-ong locianpwe."
"Hemm!" Tiba-tiba pendeta Bu Hong Sengjin berseru dan diapun memberi isyarat kepada nenek Siang Houw Nio-nio, lalu berkata, "Mari kita semua bicara di dalam. Ternyata dua orang muda ini adalah orang-orang sendiri. Dan nona ini perlu istirahat dari lukanya."
Yang ikut masuk adalah selain kakek pendeta itu sendiri, Siang Houw Nio-nio dan dua orang muridnya, Pek Lian, kakak beradik she Bu itu, dan Pek-lui-kong Tong Giak. Kim-i-ciangkun lalu keluar dan memerintahkan semua pasukan untuk mengundurkan diri dan merawat mereka yang menderita luka dalam perkelahian tadi. Suasana menjadi hening dan tenang kembali setelah tadi terjadi keributan yang menggegerkan itu.
Biarpun pukulan dari si cebol itu amat hebat, namun berkat sinkangnya yang kuat, Bwee Hong tidak sampai terancam maut. Apa lagi ia telah menelan pel mujijat dari kakaknya, bahkan Pek-lui-kong sendiripun lalu memberi obat luka yang khusus untuk melawan bekas pukulannya kepada gadis itu. Maka nona itu dapat ikut bercakap-ca-kap, walaupun ia harus duduk dengan punggung diganjal bantal dan kaki dilonjorkan, dijaga oleh kakaknya, dan oleh Pek Lian.
"Nah, sekarang ceritakanlah semua," kata pendeta tua itu dengan suara halus. "Kalau kalian benar putera dan puteri dari pendekar Bu Kek Siang, lalu mengapa kalian datang ke sini seperti dua orang maling? Ceritakan sejujurnya, karena hanya itulah yang akan menerangkan duduknya perkara dan akan dapat membebaskan kalian dari kecurigaan dan hukuman."
Kakak beradik itu saling pandang, kemudian Bu Seng Kun bercerita dengan singkat namun jelas, "Kami berdua mengunjungi kompleks istana seperti dua orang pencuri, sesungguhnya bukan dengan iktikad buruk. Kami sedang melakukan penyelidikan untuk mencari seseorang yang dahulu pernah tinggal di kompleks istana. Kami tidak tahu apakah dia masih hidup, akan tetapi kami tahu bahwa dia pernah menjadi seorang bangsawan di sini. Akhirnya, setelah mencari selama beberapa hari, kami menemukan istananya dan kami mengunjunginya, tentu saja dengan diam-diam karena tak mungkin kami dapat berkunjung dengan terang-terangan..."
Siang Houw Nio-nio yang sejak tadi memandang tajam penuh perhatian, merasa berhak untuk bertanya karena yang dikunjungi kedua orang muda ini adalah rumahnya yang diberikan kepada dua orang muridnya. "Siapakah bangsawan yang kalian cari itu?"
"Dia seorang pangeran, namanya Chu Sin."
Kalau nenek Siang Houw Nio-nio dan kakek Bu Hong Sengjin terkejut, maka mereka tidak memperlihatkan perasaan ini pada wajah mereka yang tetap tenang saja itu. Bahkan, nenek Siang Houw Nio-nio lalu bertanya cepat, "Lalu mengapa kalian mendatangi gedung itu, memasuki ruangan penyimpan abu leluhur dan bersembahyang di sana?"
"Kami hendak bersembahyang kepada arwah leluhur dari Pangeran Chu Sin."
Pek Lian, Pek in, Ang In dan juga Pek-lui-kong Tong Ciak mendengarkan dengan heran karena mereka tidak tahu siapa yang dimaksudkan dengan Pangeran Chu Sin itu. Akan tetapi, kini kakek Bu Hong Sengjin bertanya, dan suaranya agak gemetar, "Mengapa kalian menyembahyangi leluhur Pangeran Chu Sin?"
Kembali kakak beradik itu saling pandang, lalu Seng Kun menarik napas panjang. Tidak ada jalan lain untuk menyatakan bahwa mereka tidak bermaksud buruk, yaitu hanya dengan membuka rahasia mereka. "Beliau adalah ayah kandung kami, maka leluhur beliau berarti leluhur kami, pula!"
Sebelum nenek Siang Houw Nio-nio yang terkejut sekali itu sempat bicara dan hanya memandang kepada kakak sepupunya dengan melongo, kakek pendeta itu sudah bertanya lagi, "Bagaimana baru sekarang kalian datang mencari ayah kandung kalian di sini?"
"Kami mendengar akan rahasia tentang ayah kandung kami itu baru saja setelah ayah... eh, setelah paman kakek kami Bu Kek Siang meninggal, melalui surat wasiat peninggalannya. Kakek Bu suami isteri meninggal dunia dan begitu kami tahu akan riwayat ayah kandung kami, lalu kami datang ke kompleks istana untuk mencarinya."
Pendeta itu menarik napas panjang dan memandang kepada dua orang muda itu berganti-ganti, kemudian dia menunduk dan sungguh mengherankan hati semua orang yang hadir kecuali Siang Houw Nio-nio ketika nampak beberapa butir air mata turun dari sepasang mata itu.
"Seng Kun, Bwee Kong, akulah orangnya yang memberi nama-nama kepada kalian itu karena akulah Pangeran Chu Sin yang kalian cari-cari."
Seng Kun terperanjat dan memandang kepada kakek itu dengan mata terbelalak, akan tetapi ia didahului oleh adiknya yang sudah menjerit, "Ayah!!" Dan gadis itu sudah turun dari kursi tempat ia bersandar dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bu Hong Sengjin. Juga Seng Kun cepat menjatuhkan diri berlutut. Suasana menjadi sunyi dan mengharukan sekali, yang terdengar hanya isak tangis Bwee Hong.
Sambil duduk, kakek itu lalu meraih pundak. Suasana menjadi semakin mengharukan. Akan tetapi, agaknya kakek itu telah dapat menguasai hatinya dengan mudah. "Seng Kun, Bwee Hong, kalian adalah anak-anak kandungku. Duduklah dan tenangkan hatimu, biar aku menceritakan semua riwayat kita agar mereka yang menyaksikan pertemuan antara kita ini dapat mengerti duduknya perkara. Kurasa hanya bibi kalian Siang Houw Nio-nio sajalah yang tahu akan rahasiaku ini..."