Darah Pendekar Jilid 11

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Darah Pendekar Jilid 11
Sonny Ogawa

Darah Pendekar Jilid 11 karya Kho Ping Hoo - SAMBIL menyusut air mata karena girang dan terharu, dua orang muda itu lalu duduk kembali dan tentu saja kini pandang mata mereka terhadap kakek pendeta itu berrobah sebagai pandangan anak terhadap ayahnya.

Novel silat Darah Pendekar karya Kho Ping Hoo

Bu Hong Sengjin lalu bercerita secara singkat. Di waktu mudanya, dia belajar ilmu silat dan juga ilmu Agama To. Ayahnya, seorang pangeran tua, menghendaki agar dia menjadi seorang panglima. Akan tetapi, biarpun telah mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi dan membuatnya lihai sekali, Pangeran Chu Sin lebih suka memperdalam Agama To dan lebih suka berkelana di antara rakyat.

Apa lagi karena pangeran ini memiliki pandangan yang berbeda dengan keluarga istana. Dia melihat penindasan yang dilakukan oleh istana terhadap rakyat. Dia melihat kemewahan yang berlimpah-limpah di kalangan istana dan melihat kesengsaraan yang memilukan di kalangan rakyat. Hal inilah yang membuat dia enggan untuk menyumbangkkan tenaganya membantu istana.

Ayahnya marah sekali dan dia dianggap sebagai pemberontak atau penentang keluarga istana. Kemudian ayahnya minta bantuan pasukan dan para pembesar untuk mencarinya. Akan tetapi, Pangeran Chu Sin yang sudah bertekad tidak mau pulang itu melarikan diri dan merantau sampai jauh dan sampai bertahun-tahun. Bahkan di dalam pelariannya ini dia bertemu dengan seorang gadis kang-ouw dengan siapa dia saling jatuh cinta.

Kemudian dia menikah dengan gadis she Bu itu, lalu suami isteri ini mengasingkan diri ke gunung, hidup tenteram dan bahagia sampai terlahirlah Seng Kun dan Bwee Hong. Akan tetapi, pada suatu hari, para penyelidik dari istana dapat menemukan jejaknya dan tempat tinggal mereka diserbu. Biarpun Pangeran Chu Sin dan isterinya mengamuk dan melawan, namun jumlah pasukan amat banyak dan setelah melihat isterinya tewas dalam pengamukan itu, Pangeran Chu Sin menjadi lemas dan menyerah dengan syarat bahwa kedua orang anaknya tidak diganggu.

"Demikianlah, anak-anakku dan kalian yang menjadi saksi pertemuan ini," kakek itu menutup ceritanya. "Ketika itu, Seng Kun baru berusia tiga tahun dan Bwee Hong berusia satu tahun. Aku menyerahkan diri dan ditangkap. Kedua orang anak ini benar tidak diganggu dan dipelihara oleh paman Bu Kek Siang, yaitu paman dari isteriku. Aku dibawa ke istana dan karena aku tetap tidak mau memegang pangkat untuk membantu pemerintah, aku dipenjarakan dan ayahku sampai meninggal karena sakit dan menyesal. Bertahun-tahun aku berada di dalam penjara di mana aku memperdalam ilmu silat dan ilmu agama. Akhirnya, aku dibebaskan dan menjadi pendeta di kuil ini, bahkan kemudian diangkat menjadi kepala kuil dan penasihat kaisar seperti sekarang."

Tentu saja peristiwa geger mengejar maling itu berakhir dalam suasana gembira karena pertemuan antara ayah dan kedua orang anaknya itu. Yang tahu akan rahasia itu hanyalah Siang Houw Nio-nio seorang, karena memang Bu Hong Sengjin selama ini merahasiakan nama mudanya. Orang-orang yang tidak mengenalnya di waktu kecil tentu tidak ada yang tahu bahwa di waktu mudanya, ketua kuil itu bernama Pangeran Chu Sin.

Siang Houw Nio-nio tentu saja tahu akan hal ini karena kakek itu ada-lah saudara sepupunya yang dikenalnya sejak ke-cil, bahkan iapun tahu akan petualangan kakek itu di waktu mudanya. Hanya saja, nenek inipun sa-ma sekali tidak tahu bahwa kakak misannya itu, yang menjadi tosu yang dihormati, ternyata di wak-tu mudanya ketika bertualang telah menikah, bahkan mempunyai dua orang anak!

Tentu, saja peristiwa yang menggembirakan itu disambut oleh Siang Houw Nio-nio dan Pek-lui-kong Tong Ciak yang segera menghaturkan selamat kepada Bu Hong Sengjin. Dan dua orang muda-mudi yang berbahagia itupun diterima dengan senang hati oleh Siang Houw Nio-nio, Pek In dan Ang In untuk tinggal di istana itu, karena mereka berdua itulah yang sesungguhnya berhak atas rumah nenek moyang mereka itu.

Dengan hati rela Siang Houw Nio-nio dan kedua orang muridnya menyerahkan kembali gedung istana mungil itu kembali kepada yang berhak dan kakak beradik she Chu itu tinggal di istana itu sebagai tuan dan nona rumah! Akan tetapi karena Seng Kun dan Bwee Hong sejak kecil dididik dengan keras, mereka menjadi orang-orang sederhana yang tidak menjadi angkuh dengan perobahan dalam kehidupan mereka itu.

Mereka sendiri yang membujuk agar Pek In dan Ang In bersama para dayang untuk terus tinggal di istana itu, para dayang itu tetap bekerja di situ dan kedua orang murid Siang Houw Nio-nio itu tinggal di situ sebagai sahabat-sahabat baik, bahkan dapat dibilang masih merupakan kerabat mereka karena bukankah nenek Siang Houw Nio-nio itu adalah bibi mereka sendiri? Dan mereka semua segera dapat menjadi akrab, karena memang di dalam batin orang-orang muda ini terdapat watak pendekar yang gagah perkasa sehingga mereka itu sudah memiliki persamaan dalam selera.

Chu Seng Kun dan Chu Bwee Hong telah dibawa menghadap kaisar oleh ayah mereka. Kaisar sendiri menjadi tertegun dan heran, akan tetapi juga merasa gembira bahwa Bu Hong Sengjin ternyata mempunyai dua orang anak yang demikian cakap dan gagahnya. Atas persetujuan kaisar pula maka Seng Kun dan Bwee Hong secara sah menjadi ahli waris istana nenek moyang mereka, dan kaisar lalu memberikan sebuah istana lain untuk Siang Houw Nio-nio dan murid-muridnya.

Beberapa hari kemudian, Chu Bwee Hong yang menjadi nona rumah itu menerima kunjungan Pek In dan Ang In, sedangkan Pek Lian memang untuk sementara menjadi tamunya yang amat disayangnya. Empat orang gadis yang cantik-cantik ini duduk di serambi depan. Dari tempat mereka duduk bercakap-cakap nampak bunga-bunga yang sedang mekar. Musim semi sudah tua, akan tetapi bunga-bunga di taman itu malah mekar semua sehingga suasana menjadi amat indah dan segarnya di pagi hari itu. Mereka berempat bercakap-cakap sambil menghadapi hidangan teh hangat dan kue-kue.

Chu Bwee Hong nampak cantik jelita bukan main. Apa lagi dalam pandang mata kaum pria, sedangkan Pek Lian, Pek In dan Ang In sendiri diam-diam kagum bukan main. Wajahnya demikian cemerlang, dengan garis-garis yang hampir sempurna, kulit mukanya halus licin dan seolah-olah mengeluarkan kehangatan dan kesegaran yang mempesona.

Rambutnya hitam gemuk, dengan anak-anak rambut yang berjuntai dari dahi, bahkan sinom yang tumbuh di depan telinga itu melengkung ke bawah seperti lukisan seniman yang pandai. Alisnya hitam kecil melengkung seperti dilukis, padahal dara ini tidak pernah mempergunakan alat penghitam alis. Sepasang matanya begitu bening dan tajam, kini sinarnya mengandung kebahagiaan dan kegembiraan, tentu karena pertemuannya dengan ayah kandungnya.

Ia sudah sembuh sama sekali dari akibat pukulan Pek-lui-kong dan nampak segar dari sepasang bibirnya yang merah membasah, merekah seperti sekuntum bunga mawar diselimuti embun pagi itu. Juga kedua pipinya, yang menonjol di bawah mata, kemerahan seperti buah tomat masak. Hidungnya kecil mancung, cupingnya dapat bergerak lembut dan lucu menambah kemanisan wajahnya. Memang, Bwee Hong adalah seorang dara yang cantik jelita dan manis.

Pek Lian dan kedua orang murid Siang Houw Nio-nio itupun merupakan dara-dara yang cantik, terutama sekali Pek Lian yang memiliki kecantikan yang khas, dengan mukanya yang agak lonjong, dagu meruncing halus, hidung mancung dan mata yang lebar dan tajam, kecantikan yang mengandung kegagahan, keberanian dan penuh dengan gairah dan semangat hidup.

Akan tetapi, kecantikan Bwee Hong memang luar biasa sekali sehingga nampak menonjol di antara mereka. Empat orang gadis itu bercakap-cakap dengan gembira sekali, terbawa oleh suasana segar di pagi hari itu.

"Aku dan Kun-koko sudah lebih dari sepuluh hari berkeliaran di daerah istana ini," terdengar Bwee Hong bercerita mengenang kembali semua pengalamannya yang menyeramkan. "Kami berusaha mencari ayah yang belum pernah kami kenal, hanya bermodalkan pesan terakhir mendiang kakek Bu Kek Siang itu."

"Engkau sungguh beruntung, enci Hong," kata Pek Lian. "Kalian mengunjungi tempat yang amat berbahaya dan terjaga kuat, menyelidiki sampai berhasil menemukan rumah keluarga nenek moyang ayahmu tanpa menemukan kesukaran."

Bwee Hong tersenyum manis dan mengangguk. "Memang kami beruntung sekali. Ketika kami berdua tiba di sini, jagoan-jagoan istana kebetulan sekali sedang bertugas keluar. Andaikata pada waktu itu di istana terdapat Beng-goanswe, atau Tong-ciangkun, atau bibi Siang Houw Nio-nio, sudah pasti kami berdua akan tertangkap basah. Betapapun juga, beberapa hari yang lalu kami pernah kepergok oleh Kim-i-ciangkun sehingga terjadi geger. Untung kami masih dapat meloloskan diri.

"Bagaimanapun juga, kami merasa amat kagum akan kepandaian nona Chu," kata Pek In memuji. "Kim-i-ciangkun yang amat lihai dengan pukulan apinya itu masih dapat nona kalahkan, sungguh sukar dapat dipercaya kalau tidak menyaksikannya sendiri. Nona yang begini muda dan cantik jelita dan lembut, mampu mengalahkan seorang jagoan tangguh seperti dia. Bukan main!"

"Apa lagi kakakmu itu, nona. Masih semuda itu sudah mampu melayani jagoan istana nomor satu seperti Tong-ciangkun sampai begitu lama. Sungguh luar biasa sekali, agaknya tidak kalah kalau dibandingkan dengan Yap-suheng kami."

"Yap-suheng kalian itu siapakah?" tanya Bwee Hong. Ia sudah pernah mencela sebutan kedua orang murid bibinya ini kepadanya yang bersikap hormat dan menyebut nona, akan tetapi kedua orang gadis itu tetap menyebutnya nona. Bagai manapun juga, Bwee Hong adalah puteri pangeran dan keponakan Siang Houw Nio-nio, maka tentu saja sudah layak kalau dihormati.

Mendengar pertanyaan ini, Ang In tertawa. Biarpun ia dan cicinya selalu bersikap hormat, akan tetapi keakraban mereka terhadap Bwee Hong membuat mereka seperti sahabat-sahabat biasa saja. "Hi-hi-hik, kalau nona hendak mengetahui, tanya saja kepada Pek-cici. Ia pacarnya....!"

"Hushh! Siapa bilang?" Pek In berseru dengan kedua pipi berobah merah sekali. Tangannya menyambar ke depan untuk mencubit lengan adiknya, akan tetapi ribut-ribut disertai kekeh tawa ini terhenti seketika ketika mereka melihat munculnya Seng Kun dari halaman depan.

Bwee Hong segera bangkit dan menyongsong kakaknya. "Koko, ada berita apakah? Kenapa sepagi ini engkau sudah dipanggil menghadap ke dalam?"

Akan tetapi sebelum menjawab pertanyaan adiknya, dengan sikap sopan Seng Kun lebih dulu memberi hormat dan menyapa tiga orang gadis itu yang juga cepat membalas salamnya. Kemudian mereka semua duduk menghadapi meja dan Seng Kun lalu bercerita.

"Malam tadi Hek-ciangkun, utusan Beng-goanswe pulang. Seperti diketahui, dia diutus untuk menjemput ayah nona Ho dari penjara. Juga Beng-goanswe sudah pulang dari tempat Wakil Perdana Menteri Kang. Menteri Kang menunda keberangkatannya ke kota raja memenuhi panggilan sri baginda karena...... karena Hek-ciangkun telah gagal untuk membawa Menteri Ho ke kota raja."

"Eh...!! Kenapa? Apa yang telah terjadi?" Pek Lian berseru kaget, mukanya berobah agak pucat.

Melihat ini, Seng Kun segera menghibur. "Harap nona tidak menjadi gelisah. Karena ayahmu pasti tidak kurang suatu apa."

"Akan tetapi.... apa yang terjadi dengan ayahku?"

"Menteri Ho telah diculik orang sebelum Hek-ciangkun tiba untuk menjemputnya. Para penjaga tidak ada yang mengetahuinya. Jeruji-jeruji baja pintu penjara itu melengkung semua sehingga tawanan dapat lolos. Memang luar biasa sekali. Hanya orang yang memiliki kekuatan luar biasa saja yang akan mampu membuat jeruji-jeruji baja yang amat tebal itu melengkung semua tanpa ada seorangpun penjaga yang mendengarnya."

"Ahh, ayahku!!" Pek Lian mengeluh.

"Akan tetapi, mengapa engkau dipanggil oleh sri baginda, koko?" tanya lagi Bwee Hong kepada kakaknya.

"Sri baginda menjadi sangat marah. Beliau ingin mengutus seseorang yang akan dapat menemukan kembali Menteri Ho dan mengantarkannya ke kota raja dalam keadaan selamat. Utusan itu haruslah seorang yang belum dikenal baik oleh golongan sesat maupun oleh golongan yang menentang kembalinya para menteri di istana, karena kalau tugas merampas kembali Menteri Ho ini diketahui pihak lawan, sebelum beliau dapat diselamatkan, mungkin keselamatannya akan terancam.

"Sri baginda tidak berani mengutus Tong-ciangkun, Beng-goanswe maupun bibi Siang Houw Nio-nio yang sudah banyak dikenal. Pula, istana perlu dijaga karena keadaan yang seperti sekarang ini sungguh mengkhawatirkan. Kemudian sri baginda memilih aku atas petunjuk Tong-ciangkun. Hal itupun disetujui oleh ayah dan oleh bibi. Nah, di sinilah aku, siap untuk berangkat melaksanakan tugas itu."

"Aku juga akan pergi untuk mencari ayah!" Ho Pek Lian yang wajahnya pucat itu berseru, di dalam suaranya terkandung kedukaan dan kegelisahan. Baru saja ia terbebas dari kedukaan ketika sri baginda memutuskan untuk membebaskan ayahnya dan sekarang, kembali ayahnya dilanda malapetaka, diculik orang tanpa diketahui siapa penculiknya dan apa maksudnya menculik orang tua itu.

"Aku juga ikut!" kata Bwee Hong penuh semangat. "Kapan kita berangkat, koko?"

"Hari ini juga, nanti kalau matahari telah terbenam. Akan tetapi sebaiknya kalau kalian tidak usah ikut."

"Aku harus pergi mencari ayah!" Pek Lian berseru. "Kalau engkau tidak mau mengajakku, aku akan pergi mencari sendiri!"

"Dan akupun akan menemani adik Lian kalau engkau tidak mau mengajakku, koko!" sambung Bwee Hong.

Seng Kun tahu akan kekerasan hati adiknya dan diapun sudah mengenal watak Pek Lian, maka dia menarik napas panjang dan mau tidak mau meluluskan juga permintaan mereka. Dia bisa melarang adiknya, akan tetapi tidak mungkin dapat melarang Ho Pek Lian yang hendak mencari ayahnya. Dan diapun tidak enak hati kalau harus melakukan perjalanan berdua saja dengan Pek Lian.

Setelah bercakap-cakap beberapa lamanya, Pek In dan Ang In minta diri. Mereka khawatir kalau-kalau guru mereka mencari mereka dan mereka mengucapkan selamat jalan kepada mereka bertiga.

"Selamat jalan, nona Ho," kata Pek In. "Hati-hatilah di jalan karena sekarang ini di dunia banyak berkeliaran orang-orang jahat yang amat sakti."

"Semoga engkau bisa cepat mendapatkan kembali ayahmu dalam keadaan sehat dan selamat, nona Ho," kata pula Ang In.

Pek Lian mengucapkan terima kasih dan iapun segera bersiap-siap bersama Bwee Hong. Menu-rut petunjuk dan saran Seng Kun, mereka bertiga melakukan perjalanan sambil menyamar sebagai petani-petani. Pemuda ini berpendapat bahwa akan lebih mudah dan aman, menjauhkan gangguan-gangguan kalau tidak melakukan perjalanan sebagai nona-nona cantik yang berpakaian mewah.

Muka mereka dilapisi bedak yang agak kehitaman, rambut mereka dibikin kusut dan di atas telinga diberi warna keputih-putihan sehingga kedua orang dara jelita ini berobah menjadi wanita-wanita petani setengah tua yang sederhana. Seng Kun sendiri juga menyamar sebagai seorang petani, lengkap dengan caping dan jenggot palsu.

Setelah matahari terbenam, berangkatlah tiga orang keluarga "petani" itu meninggalkan kota raja. Mereka bertiga sengaja menguji penyamaran mereka dengan melewati para penjaga, akan tetapi ternyata tidak ada seorangpun yang mengenal atau mencurigai mereka. Mereka keluar dari pintu gerbang kota raja dan berhenti di tempat yang sepi.

"Ke mana kita akan menuju untuk memulai de-ngan tugas mencari ayah ini? Kita buta sama sekali dan tidak tahu dengan siapa kita berhadapan, ke mana kita harus mencari," Pek Lian berkata dengan sikap bingung.

"Benar kita sama sekali tidak tahu siapa penculiknya. Apakah para penculik itu termasuk orang-orang yang menyukai Menteri Ho ataukah justeru mereka itu yang memusuhinya? Kalau yang menculik itu para pendekar yang ingin menyelamatkan Menteri Ho dari hukuman, ahh... tugas kita menjadi ringan sekali dan keselamatan Menteri Ho tidak perlu dikhawatirkan. Akan tetapi bagaimana kalau sebaliknya?" Bwee Hong juga mengemukakan pendapatnya.

"Biarlah kita menggantungkan diri kepada nasib dan kewaspadaan kita. Mari kita menuju ke dusun di depan sana, siapa tahu di suatu tempat kita akan bertemu dengan petunjuk," jawab Seng Kun dan mereka lalu menuju ke dusun yang sudah nampak dari situ.

Sebuah dusun yang tidak begitu jauh dari kota raja. Senja telah tiba ketika mereka memasuki dusun itu dan mereka lalu memasuki sebuah kedai teh yang berada di tepi dusun. Seng Kun mengajak dua orang gadis itu singgah karena dia tertarik sekali melihat betapa warung itu penuh dengan tamu. Padahal biasanya, kedai teh yang menjual makanan tentu hanya dikunjungi orang di-waktu pagi atau siang saja. Seolah-olah ada terjadi sesuatu di situ dan hal inilah yang menarik perhatiannya.

Karena di bagian dalam telah penuh, mereka bertiga duduk di meja yang terdapat di halaman kedai. Kemunculan tiga orang ini tidak menarik perhatian karena mereka dianggap tiga orang dari keluarga petani biasa saja dan banyak pula di situ terdapat petani-petani sederhana. Di halaman depan itupun telah duduk beberapa orang tamu yang bercakap-cakap.

Ketika pelayan datang mengantar teh dan bak-pao yang mereka pesan, secara sambil lalu Seng Kun berkata, "Wah, tamunya banyak sekali, berarti banyak rezeki!"

Pelayan itu menaruh teh dan makanan di atas meja dan tertawa senang. "Memang benar, dan ke datangan kalian bertigapun merupakan rezeki kalian. Ketahuilah bahwa setelah diumumkan oleh pemerintah bahwa Menteri Ho dan para menteri lainnya diampuni, juga Menteri Kang kabarnya hendak bertugas kembali, kami merasa seperti kejatuhan bulan saking girangnya. Majikan kami telah mengatakan kepada para langganan bahwa pada hari ini kami mengundang semua orang untuk mengadakan pesta untuk bersyukur atas kurnia kaisar terhadap Menteri Ho dan Menteri Kang yang kami cinta dan hormati. Jadi, kalian bertigapun kami anggap sebagai tamu dan... ha-ha, tentu saja mendapatkan minuman dan makanan gratis!"

Pelayan itu meninggalkan mereka sambil tertawa gembira, dan menghampiri meja lain. Suasana di situ memang seperti orang dalam pesta. Seng Kun dan Bwee Hong saling pandang dan Pek Lian menundukkan mukanya untuk menyembunyikan kedua matanya yang menjadi merah dan basah. Dengan kekuatan batinnya ia dapat membendung tangisnya. Setelah diusapnya air matanya dengan ujung baju tanpa ada yang melihatnya kecuali dua orang kawan yang duduk di depannya, iapun mengangkat muka.

"Kenapa kau menangis?" Bwce Hong berbisik. "Ayahmu demikian disuka dan dipuja orang ! Li-hat itu di dalam, hampir segala lapisan masyarakat begitu gembira menyambut berita dibebaskannya ayahmu."

"Benar, nona. Semestinya nona gembira dan berbahagia mempunyai seorang ayah yang demikian disuka orang," kata Seng Kun menyambung ucapan adiknya.

Pek Lian menghela napas panjang dan balas berbisik, "Semestinya demikian, akan tetapi mereka itu tidak tahu kalau orang yang mereka rayakan kebebasannya itu kini sama sekali tidak bebas lagi, bahkan tidak diketahui hidup matinya."

Diingatkan akan hal ini, kakak beradik itupun menjadi prihatin dan diam saja. Suasana di dalam kedai itu benar-benar gembira dan terdengarlah orang-orang di dalam ruangan itu bersorak-sorak dan berteriak, "Hidup Menteri Ho ! Hidup Menteri Ho!"

Seorang laki-laki yang berjenggot tebal naik ke atas sebuah kursi sambil mengisyaratkan dengan kedua tangan ke atas agar semua orang suka memperhatikannya. Keadaan menjadi hening dan laki-laki itupun berkata dengan suara yang lantang,

"Saudara-saudara, marilah kita bergembira merayakan kebebasan para tokoh pembela rakyat dari kecurangan musuh-musuh rakyat. Menteri Ho mendapat pengampunan kaisar dan Wakil Perdana Menteri Kang kembali akan memimpin kita. Negeri akan menjadi tenteram dan damai seperti semula, dan kita akan hidup tenang dan terbebas dari pada penindasan!"

Semua orang bersorak-sorak. Bwee Hong mengerutkan alisnya dan berkata kepada kakaknya dan Pek Lian, "Orang itu sungguh lancang dan berani. Tempat ini dekat sekali dengan kota raja. Kalau kaki tangan para menteri korup yang memusuhi Menteri Ho dan menentang keputusan kaisar mendengar, bukankah akan terjadi keributan dan mungkin orang itu takkan diampuni?" Akan tetapi ketika Bwee Hong memandang kepada Pek Lian, ia terkejut dan berbisik, "Adik Lian, ada apakah? Engkau melihat siapa?"

"Ssttt hati-hatilah kalian di sini terdapat pengunjung lain, seorang anak buah dari Raja Kelelawar...."

"Ehh? Di mana?" tanya kakak beradik itu dengan kekagetan yang ditekan.

"Sstt lihat di sudut halaman sebelah kanan," kata Pek Lian tanpa memandang ke arah orang yang ditunjuknya.

Kakak beradik itupun memandang secara sepintas lalu saja dan mereka melihat adanya seorang laki-laki yang usianya kurang lebih tigapuluh lima tahun, berwajah ganteng dengan pakaian yang indah mewah. Pria itu tersenyum-senyum, wajahnya selalu berseri dan berlagak, tangannya memegang sebatang huncwe (pipa tembakau) dari emas yang kadang-kadang diisapnya.

Seng Kun dan Bwee Hong tidak mengenal pria itu, akan tetapi tentu saja Pek Lian mengenalnya karena orang itu bukan lain adalah Jai-hwa Toat-beng-kwi, satu di antara tokoh sesat yang dahulu pernah menghadiri pertemuan rahasia pemunculan Raja Kelelawar. Itulah penjahat cabul yang lihai sekali, dan yang menjadi anak buah San-hek-houw si Harimau Gunung, pembantu utama Raja Kelelawar. Sebagai anak buah San-hek-houw, tentu saja penjahat cabul ini juga menjadi kaki tangan Raja Kelelawar.

Mendengar bahwa pria itu adalah anak buah Raja Kelelawar, tentu saja Seng Kun menjadi curiga. Dia tidak mempunyai pegangan untuk mengikuti jejak penculik Menteri Ho, maka setiap petunjuk penting baginya. Dan kalau ada anak buah Raja Kelelawar di situ, belum tentu penjahat ini tidak akan dapat memberi petunjuk.

Peristiwa-peristiwa kejahatan harus diselidiki di antara pen-jahat, pikirnya. Oleh karena itu, Seng Kun diam-diam memperhatikan pria tampan pesolek itu. Ketika melihat laki-laki itu bangkit berdiri dan pergi, diapun segera mengajak dua orang gadis itu untuk membayanginya.

"Akan tetapi itu berbahaya sekali," bisik Pek Lian. "Dia amat lihai, dan siapa tahu dia akan menemui kawan-kawan si Raja Kelelawar yang lain?"

"Justeru itu kebetulan sekali. Siapa tahu para penjahat itu menculik ayahmu, nona? Dan setidaknya, mungkin mereka itu tahu siapa penculik yang kita cari."

Mendengar jawaban Seng Kun ini, Pek Lian terpaksa lalu mengikutinya karena iapun ingin sekali dapat cepat menemukan ayahnya. Akan tetapi setelah tiba di tempat sunyi, si penjahat cabul itu mengerahkan ginkang dan berlari cepat sekali. Seng Kun dan Bwee Hong juga berlari cepat mengejar sehingga terpaksa Pek Lian yang tingkat ginkangnya paling rendah itu harus mengerahkan seluruh tenaganya sampai ia terengah-engah.

Baiknya orang yang dibayangi itu tidak mengambil jalan hutan karena cuaca sudah mulai gelap. Penjahat itu mengambil jalan melalui semak-semak dan padang ilalang sehingga mereka bertiga dapat membayanginya dari jauh dengan mudah tanpa bahaya kehilangan dia.

Setelah tiba di jalan besar lagi, penjahat itu menuju ke sebuah rumah yang berdiri terpencil di tempat sunyi, di tepi jalan yang membelah pa-dang ilalang itu. Ternyata bahwa rumah itu adalah sebuah kedai minuman yang biasa, dipakai untuk tempat peristirahatan dan persinggahan para pedagang yang akan memasuki kota raja. Di setiap sudut kedai itu dipasangi lampu besar sehingga keadaan di sekitarnya menjadi terang. Kedai itu nampak sunyi menantikan datangnya orang lain.

"Harap kalian suka bersembunyi dulu di sini. Aku akan mengambil jalan memutar dan pergi ke warung itu sebagai tamu yang kemalaman dan ingin minum untuk mencoba mendengarkan percakapan mereka dan kita melihat perkembangannya nanti," kata Seng Kun kepada dua orang gadis itu.

"Baik, akan tetapi engkau berhati-hatilah, koko," kata adiknya.

Ketika Seng Kun tiba di kedai itu dari arah lain, dia disambut oleh pelayan dan tanpa menarik perhatian dan sambil lalu dia lalu duduk di meja yang tidak berjauhan dengan meja penjahat cabul bersama dua orang wanita itu. Akan tetapi, mereka sudah berhenti berbicara, atau agaknya mereka memang tidak ingin percakapan mereka terdengar orang lain.

Maka mereka menghentikan percakapan dan memperhatikan petani setengah tua yang baru datang itu. Ketika melihat bahwa petani itu hanya seorang petani sederhana yang kehausan, mereka kelihatan lega. Dan pada saat itu, Seng Kun melihat munculnya sebuah gerobak yang ditarik oleh seekor kuda dan dikusiri seorang pemuda.

"Heii, A-piang! Kenapa arakmu sangat terlambat?" pemilik warung yang setengah tua dan agak gemuk itu keluar dari kedainya dan menghampiri gerobak yang berhenti di pekarangan kedai. "Sudah dua hari persediaan arakku yang baik habis. Tamu-tamuku sudah mengomel!" Pemilik kedai itu menegur, kemudian dia melihat pemuda yang turun dari tempat kusir dan tertegun. "Eh, siapa engkau?"

"Lo-pek, A-piang berhalangan datang karena dia jatuh salut, itulah sebabnya pengiriman arak menjadi terlambat dan sekarang aku yang disuruh menggantikannya mengantarkan pesananmu."

Pemuda itu bertubuh tinggi tegap dan dengan kaku, agaknya merupakan pekerjaan yang tidak biasa baginya, dia mulai menurunkan guci-guci arak dari gerobaknya. Pemilik kedai sejenak termangu, akan tetapi lalu mengangguk-angguk dan mulai menghitung guci-guci arak yang diturunkan itu, membuka tutup beberapa buah guci, mencium bau arak yang terhembus keluar dan mengangguk-angguk puas.

Siapapun kusirnya, bukan hal yang penting baginya. Yang penting, araknya bagus! Seng Kun yang duduk tak jauh dari meja penjahat cabul, mendengarkan akan tetapi mengambil sikap tidak perduli dan mengeluh memijati kedua kakinya seperti orang yang kelelahan setelah melakukan perjalanan jauh.

Sementara itu, ketegangan hebat terjadi dalam diri Pek Lian. Matanya terbelalak dan jantungnya berdebar-debar keras, darahnya berdenyut kencang. Bwee Hong sendiri sampai terkejut ketika merasa betapa lengannya dicengkeram orang.

"Eh, eh, kau kenapa?" bisiknya kepada Pek Lian.

"Enci Hong... aku mengenal pemuda kusir pedati itu!" suara Pek Lian terdengar tergetar.

"Ehemm... begitukah?" Matanya yang bening itu melirik ke arah kawannya dan mulutnya yang indah itu tersenyum penuh arti. "Dia memang seorang pemuda yang ganteng dan gagah, pantas kalau menjadi kenalan baikmu."

Seketika muka Pek Lian menjadi merah sekali. "Ih, kau jahat, enci Hong! Siapa bilang dia tampan dan gagah? Aku kan cuma bilang kalau aku mengenal dia. Perkara dia ganteng atau bopeng, siapa perduli?"

"Wah-wah, kenapa jadi marah-marah? Aku juga cuma bergurau! Maafkan, ya?" Bwee Hong yang berada dekat sekali dengan Pek Lian itu mendekatkan mukanya dan mencium pipi temannya.

"Siapa sih dia? Putera seorang pedagang arak?" tanya Bwee Hong, suaranya kini sungguh-sungguh.

"Entahlah, aku sendiri tidak tahu benar siapa dia itu. Dia sangat baik, akan tetapi wataknya sangat aneh. Mungkin... mungkin dia itu berpenyakit gila!"

"Lhoh...?!" Dara cantik itu tertegun.

"Benar, enci, aku tidak bergurau. Sudah tiga kali aku bertemu dengan dia dan selalu dia menolong dan menyelamatkan aku. Pertama ketika kami serombongan menghadang iring-iringan kereta yang membawa ayahku. Pemuda itu yang menjadi kusir keretanya. Ke dua ketika kami dikejar oleh Beng-goanswe, pemuda itu menjadi pelayan di kuil. Dan sekarang dia menjadi penjual arak."

Pek Lian memandang dan jantungnya berdebar aneh. Rasanya, ingin ia keluar dan berlari menghampiri pemuda itu. Tadipun, hampir ia berteriak memanggil nama A-hai! Rasa girang yang aneh dan luar biasa menyelinap di dalam hatinya ketika ia melihat A-hai. Padahal, selama ini, jarang ia teringat kepada pemuda itu.

"Hemm, kalau begitu dia mencurigakan," kata Bwee Hong yang kini juga memandang penuh perhatian melihat pemuda itu menurun-nurunkan guci arak.

"Engkau belum mendengar semua, enci. Kau lihat langkahnya itu? Seperti seorang biasa yang sama sekali tidak mengenal ilmu silat, bukan? Nah, itulah keadaannya kalau dia sedang waras, seorang pemuda biasa yang baik hati dan lemah, yaitu tidak tahu ilmu silat walaupun dia boleh jadi memiliki tenaga dasar yang amat kuat. Akan tetapi jangan ditanya kalau dia menjadi kumat! Dia seperti menjadi gila, menangis dan marah-marah, akan tetapi juga seketika dia menjadi seorang yang sakti. Bahkan Tong-ciangkun sendiri, jagoan nomor satu di istana itu, terpaksa mundur ketika beradu tangan dengan dia."

"Wah! Benarkah itu? Kalau begitu, betapa lihainya dia!" Nona cantik itu terkejut sekali dan kini pandang matanya terhadap pemuda kusir itu berobah, menjadi kagum dan juga penuh keheranan. Kalau bukan Pek Lian yang bicara, tentu ia akan mentertawakan.

Dari gerak-geriknya ketika menurunkan guci-guci arak itu, jelas terlihat bahwa pemuda kusir itu tidak pandai ilmu silat dan agaknya tidak tahu bagaimana mempergunakan tenaga dalam. Buktinya dia menurunkan guci-guci arak itu mengandalkan tenaga otot saja. Ia sendiri bersama dengan kakaknya yang lihai pernah berhadapan mengeroyok si cebol Tong-ciangkun. Dan akhirnya mereka berdua harus mengakui kelihaian si cebol itu.

Dan sekarang ia mendengar bahwa pemuda kusir itu mampu membuat si cebol terdorong mundur? Betapa mustahilnya hal ini. Kini dengan tajam sepasang mata yang indah bening itu memandang ke arah wajah si pemuda kusir. Mata seorang ahli silat dan ahli pengobatan, menilai dan memeriksa. Kini ia melihat bahwa perawakan pemuda itu memang tepat apa bila menjadi seorang ahli silat yang tangguh. Tapi gerakan-gerakan pemuda itu sungguh tidak meyakinkan.

"Enci, engkau adalah keturunan Sin-yok-ong dan gurumu adalah seorang ahli pengobatan yang paling hebat di dunia. Tahukah engkau penyakit apa yang membuat orang kadang-kadang mengamuk dan kadang-kadang waras, kemudian lupa diri sama sekali seperti pemuda itu? Bisakah engkau atau kakakmu mengobati dan menyembuhkan pemuda itu?"

"Entahlah, tidak mudah dikatakan begitu saja. Harus lebih dulu memeriksanya dengan teliti. Akan tetapi, kalau penyakit gila itu akibat rusaknya syaraf-syarafnya, atau karena guncangan jiwanya, memang tidak mudah menyembuhkannya."

Jawaban ini meragukan dan mengecewakan hati Pek Lian. Betapa akan bahagia rasa hatinya kalau ia dapat melihat A-hai disembuhkan sama sekali dari penyakit lupa diri dan gila itu. Biarpun dia tidak akan pernah bisa menjadi sakti kembali karena sudah tidak dapat kumat gilanya, namun pemuda itu tidak akan menderita seperti itu. Keadaan lalu menjadi sunyi, Pek Lian tenggelam ke dalam lamunannya membayangkan nasib A-hai, sedangkan Bwee Hong masih terkesan akan cerita tentang pemuda aneh itu. Mereka berdua memandang ke arah kedai itu.

A-hai, pemuda itu, setelah selesai menurunkan semua guci arak, agaknya menanti pembayaran dan untuk itu dia melepaskan lelahnya sambil duduk di dekat lampu minyak yang tergantung di atas. Pemilik warung itu sedang membereskan barang-barang dagangannya yang baru diterimanya itu, dibantu pelayan mengangkut guci-guci arak itu ke dalam kedai, langsung ke gudang yang berada di bagian belakang. Mata pemuda itu menyapu ke arah warung, meneliti setiap wajah untuk melihat kalau-kalau ada yang dikenalnya.

Tiba-tiba kesunyian malam itu dipecahkan oleh suara derap kaki kuda yang datang ke arah kedai itu. Semua orang menoleh ke arah datangnya suara derap kaki kuda. Di bawah remangnya sinar bintang-bintang di langit, nampak serombongan penunggang kuda yang menuju ke kedai itu. Yang terdepan adalah dua orang laki-laki gemuk pendek berjenggot lebat yang mukanya hampir mirip satu sama lain. Di pinggang mereka tergantung sepasang golok pendek.

Di belakang mereka terdapat sepuluh orang yang agaknya adalah anak buahnya, semua bersenjata dan lagak mereka kasar dan bengis, jelas membayangkan bahwa mereka bukanlah golongan orang baik-baik melainkan lebih pantas kalau digolongkan orang-orang yang biasa mengandalkan kekuasaan melakukan kekeras-an dan kekejaman untuk memaksakan kehendak mereka.

Dari tempat persembunyiannya, Pek Lian dan Bwee Hong yang merupakan dua orang dara perkasa dan sudah banyak mengenal orang-orang dari dunia hitam, maklum bahwa rombongan ini tentu merupakan gerombolan kaum sesat yang jahat. Maka merekapnn bersikap waspada karena agaknya di tempat itu datang banyak gerombolan jahat.

"Ha-ha-ha, kalian memang gesit, agaknya telah tiba lebih dulu dari pada kami!'' dua orang laki-laki gemuk pendek itu berteriak dari punggung kuda ketika mereka melihat Jai-hwa Toat-beng-kwi si Penjahat Cabul dan dua orang wanita itu. "Mana kawan-kawan yang lain, apakah belum ada yang datang?"

Duabelas orang itu berloncatan turun dari atas kuda mereka dan dua orang gendut itu segera menghampiri Jai-hwa Toat-beng-kwi yang menjawab pertanyaan mereka tadi, "Baru kami yang datang. Duduklah dulu sambil menanti kedatangan teman-teman yang lain."

Dua orang pemimpin rombongan itu memandang ke kanan kiri dan ketika mereka melihat Bu Seng Kun yang menyamar sebagai seorang petani setengah tua, seorang di antara mereka menggerakkan kepala dengan dagu menunjuk ke arah petani itu sambil bertanya kepada Si Cabul, "Teman-mukah dia?"

Si Cabul melirik ke arah Seng Kun lalu menggeleng kepala dengan sikap tak acuh. Tadi ketika petani itu masuk, dia telah melakukan penyelidikan dan keadaan petani itu tidak mencurigakan. "Bukan, dia hanya tamu biasa yang kelaparan dan kehausan."

Mereka lalu bercakap-cakap dengan suara berbisik-bisik, kadang-kadang kalau mereka hanya bersendau-gurau, suara mereka keras dan mereka tertawa-tawa sehingga Seng Kun yang berada di meja lain, juga dua orang dara pendekar yang mengintai, mengerti bahwa bisikan-bisikan itu adalah percakapan penting yang menyangkut urusan mereka pada waktu itu.

Malam itu nampak semakin menegangkan karena tiga orang pendekar itu seperti merasakan adanya suatu ancaman, sesuatu yang akan meledak dan yang akan terjadi. Tidak percuma saja para penjahat berkumpul di tempat itu pada malam hari itu. Pasti ada apa-apanya dan agaknya urusan itu tentu penting sekali. Apa lagi ketika mereka melihat datangnya orang yang semakin banyak. Seluruhnya terdiri dari orang-orang yang bersikap galak, bertampang serem dan bertingkah kasar. Dari sikap mereka, di antaranya banyak yang saling mengenal dan pertemuan itu mendatangkan kegembiraan di antara mereka.

Seng Kun dapat menduga bahwa memang pertemuan itu sudah direncanakan dan golongan hitam itu tentu datang berkumpul atas panggilan atau perintah pimpinan mereka untuk merencanakan sesuatu yang penting. Maka diapun merasa beruntung sekali dapat secara kebetulan hadir di situ. Sayangnya, di antara mereka itu tidak ada seorangpun yang membocorkan rahasia urusan atau rencana mereka itu.

Warung itu menjadi penuh dan orang-orang baru masih saja berdatangan. Melihat keadaan ini, pemilik warung itu merasa khawatir juga. Seorang bermuka hitam brewok yang matanya lebar dan bengis, berteriak, "Heii, tukang warung! Di mana kami harus duduk? Engkau bisa menyediakan bangku untuk petani busuk, apakah tidak dapat melayani, kami dengan baik?" Mata yang lebar itu melotot ke arah Seng Kun yang menyamai sebagai petani setengah tua dan yang duduk dengan tenangnya itu.

Pemilik warung melihat gelagat tidak baik. Karena dia melihat bahwa petani itu telah selesai makan minum, maka bergegas dia menghampiri Seng Kun dan berkata dengan suara lunak dan membujuk, "Harap saudara suka meninggalkan meja ini agar dapat dipakai oleh orang lain. Lihat saja sendiri, tamu begini banyak dan tempat menjadi kurang. Tentu saudara tidak ingin menyusahkan aku, bukan?"

Sejak tadi, Seng Kun tentu saja sudah merasa tidak suka kepada mereka itu. Akan tetapi dia datang bukan untuk mencari keributan atau memancing perkelahian, melainkan untuk melakukan penyelidikan. Dia sedang melaksanakan tugas yang amat penting, jauh lebih penting dari pada urusan yang menyangkut perasaan pribadi. Maka, biarpun dia merasa tidak senang dan penasaran sekali karena dia diusir dengan halus.

Namun dia mengangguk dan sambil mengerutkan alis menahan rasa jengkel diapun bangkit berdiri. Dirogohnya saku bajunya untuk, membayar harga makanan dan minuman, akan tetapi pemilik warung yang merasa bahwa dia telah mengusir tamu, cepat menggerakkan tangan menolak.

"Tak usah bayar..., engkau sudah baik sekali mau meninggalkan tempat ini."

Kalau menurut perasaannya, tentu saja Seng Kun menjadi semakin penasaran dan tentu dia akan memaksa dan membayar harga makanan dan minuman. Bukan wataknya untuk merugikan lain orang. Akan tetapi dia teringat bahwa kalau dia melakukan hal ini, maka tentu akan menimbulkan kecurigaan. Harga diri tidak pantas dipegang terlalu tinggi oleh seorang petani sederhana. Maka diapun tersenyum dan memaksakan diri untuk mengucapkan terima kasih, lalu pergilah dia keluar.

Dengan sikap sambil lalu dan tidak acuh, juga santai seperti seorang petani yang kecapaian, Seng Kun yang keluar dari rumah makan itu lalu duduk di atas bangku butut yang berada di luar warung. Di emper itu telah duduk pemuda kusir gerobak yang tadi datang mengirim arak. Pemuda itu memandangnya dan mereka saling pandang. Seng Kun maklum bahwa pemuda ini bukan seorang di antara para gerombolan itu, maka diapun tersenyum dan mengangguk.

Pemuda itu, seperti telah dikenal oleh Pek Lian dari tempat persembunyiannya, memang benar adalah A-hai, pemuda aneh yang pernah dijumpai gadis itu beberapa kali. Biarpun A-hai sedang menderita penyakit yang aneh, namun perasaannya masih peka dan diapun agaknya dapat merasakan bahwa petani setengah tua yang duduk tak jauh darinya itu adalah seorang baik-baik, tidak seperti para tamu yang berdatangan di situ, yang kelihatan bengis-bengis dan jahat-jahat. Maka diapun balas mengangguk dan tersenyum kepada petani yang dianggapnya ramah itu.

"Banyak sekali tamu malam ini," kata Seng Kun sambil lalu, menoleh ke dalam di mana para tamu memenuhi semua meja dan mereka itu bercakap-cakap dan bersendau-gurau secara kasar sekali.

"Ya," A-hai mengangguk. "Amat banyak dan ramai."

Mendengar jawaban singkat dengan suara tenang ini, Seng Kun memandang dan memperhatikan. Pemuda ini sungguh tampan, pikirnya, dan memiliki bentuk tubuh yang begitu kokoh membayangkan tenaga besar. Seorang pemuda yang bertulang baik sekali dan diapun menjadi tertarik. "Saudara juga tamu?" tanyanya.

A-hai menggeleng kepala. "Bukan, saya pembawa arak untuk warung ini. Itu gerobakku." Dia menunjuk ke arah gerobak dan Seng Kun memandang guci-guci arak yang berjajar di halaman warung, tak jauh dari tempat mereka berdua duduk.

Kini agaknya sudah tidak ada lagi tamu baru yang datang, akan tetapi warung itu telah penuh sesak, bahkan banyak di antara mereka yang tidak kebagian bangku sehingga mereka hanya bercakap-cakap dan minum arak sambil berdiri saja. Mereka mulai kelihatan tidak sabar, agaknya ada orang yang mereka nanti-nantikan dan yang belum juga muncul. Beberapa orang yang tidak kebagian tempat duduk, menjadi tidak sabar dan merekapun keluar dari warung itu, berjalan-jalan hilir-mudik di pelataran warung sambil mengomel. Mereka semua membawa cawan penuh arak yang mereka minum sambil menanti di luar.

Dua orang laki-laki kasar yang pakaiannya kumal dan berbau busuk karena tak pernah diganti dan dicuci, berkali-kali terendam keringat, mendekati Seng Kun dan A-hai yang sedang duduk mengobrol di emper warung. "Sudah terlalu lama kalian duduk di sini, sekarang giliran kami. Hayo berikan bangku-bangku itu kepada kamil" bentak seorang di antara mereka.

Seng Kun maklum bahwa melayani orang-orang seperti ini sama artinya dengan membuat keributan, maka diapun bangkit berdiri, akan tetapi A-hai kelihatan tak senang hati dan mengerutkan alisnya, memandang dengan mata terbelalak dan marah.

"Pergi kau! Mau apa melotot?" bentak orang ke dua dan diapun sudah memegang lengan A-hai dan menarik pemuda itu dari atas bangkunya.

A-hai terhuyung dan hendak marah, akan tetapi tangannya sudah dipegang oleh Seng Kun yang menariknya dengan halus menjauhi bangku-bangku itu. "Ah, terlalu lama duduk juga melelahkan pinggang, mari kita jalan-jalan saja," kata Seng Kun dan A-hai yang sudah mengepal tinju itu dapat disabarkan. Mereka berjalan menjauhi orang-orang itu dan berdiri di bawah pohon di sudut halaman.

"Mereka itu semua bukan orang baik-baik!" kata A-hai.

"Ssstt, perlu apa mencari keributan dengan mereka?" Seng Kun berbisik. "Hanya akan merugikan diri sendiri saja."

"Orang-orang macam itu tentu hanya akan menimbulkan kekacauan, hanya, akan melakukan kejahatan saja."

"Saudara yang baik, apalah engkau mengenal mereka? Siapakah mereka itu dan mengapa malam ini mereka berkumpul di tempat ini?"

A-hai memandang kepada petani itu sejenak, lalu menggeleng kepalanya. "Aku sama sekali tidak tahu, malah tadinya aku mengira engkau yang tahu dan mengenal mereka."

Seng Kun menggeleng kepala. "Eh, kenapa engkau menyangka bahwa aku mengenal mereka?" tanyanya.

"Entahlah, karena engkau kelihatan begitu cerdik."

Seng Kun mengerutkan alisnya. Pemuda ini, yang kelihatan bodoh dan jujur, ternyata memiliki pandang mata yang tajam sehingga agaknya seperti sudah menduga bahwa dia bukanlah seorang petani biasa! Begitu burukkah penyamaranku, pikir Seng Kun dengan hati khawatir juga. Apakah orang lain juga akan menduga seperti pemuda ini? Kalau begitu, gagallah penyamarannya ini.

"Heii... ! Jangan ambil arakku...!!" Tiba-tiba A-hai melompat dan berlari ke depan.

Seng Kun terkejut memandang dan melihat seorang di antara para tamu itu mengambil sebuah guci arak, membuka tutupnya dan menuangkan arak dari guci itu ke dalam cawannya yang telah kosong. A-hai berlari mendekat dan hendak merampas guci araknya, akan tetapi penjahat itu tertawa dan menggerakkan kaki menendang. Sebuah tendangan yang sembarangan saja, bukan tendangan seorang ahli silat tinggi, akan tetapi akibatnya, tubuh A-hai terjengkang setelah terdengar suara berdebuk karena perutnya tertendang.

"Ha-ha-ha! Lihat tikus ini berguling-gulingan!!" Penjahat itu tertawa bergelak, disusul suara ketawa teman-temannya yang sudah berdatangan. "Hayo siapa yang ingin tambah arak?"

Enam orang lain yang berada di luar warung itu berdatangan dan mereka mengulurkan cawan-cawan kosong mereka untuk diisi oleh orang yang memegang guci arak.

"Itu arakku! Jangan kalian mencuri sembarangan saja!" A-hai sudah bangkit lagi dan menyerbu, hendak merampas guci.

Akan tetapi, beberapa buah kepalan menyambutnya dan orang-orang itu kini menjadi marah karena dimaki mencuri. A-hai lalu dihajar dan dijadikan bulan-bulanan pukulan dan tendangan kaki mereka. Terdengar suara berdebukan dan A-hai jatuh bangun menjadi korban pukulan-pukulan keras.

Biarpun dia sedang menyamar dan tidak berniat untuk memancing keributan, akan tetapi melihat pemuda yang amat disukanya karena diang-gap jujur dan polos, juga bertulang bersih itu, Seng Kun tidak dapat menahan diri lagi.

"Heii, jangan pukuli orang yang tidak berdosa!" bentaknya dan sekali bergerak, tubuhnya sudah melayang ke tempat di mana A-hai dihajar dan begitu dia menggerakkan kaki tangannya, tujuh orang pengeroyok itu terlempar ke kanan kiri dan mereka mengaduh-aduh. Seng Kun lalu menarik bangun A-hai yang memandang kepada-nya dengan wajah berseri, walaupun pipinya bengkak dan matanya menghitam.

"Haa, sudah kuduga, engkau seorang yang lihai, paman petani!" serunya.

Akan tetapi, teriakan-teriakan itu memancing munculnya para penjahat dari dalam warung dan melihat keributan itu, mereka segera serentak me-nyerbu dan mengeroyok Seng Kun dan A-hai. Seng Kun tentu saja menyambut mereka dan para pengeroyok segera menjadi kaget mendapat kenyataan betapa petani setengah tua itu benar-benar amat lihai. Akan tetapi, pemuda tukang gerobak itu tidak merupakan lawan berat sehingga kini mereka mengeroyok Seng Kun sedangkan empat orang pertama masih menghajar A-hai yang melawan sedapatnya sambil memaki-maki.

"Kalian manusia-manusia jahat! Kalian iblis-iblis berwajah manusia!" Pemuda ini hanya bergerak sembarangan saja, sama sekali tidak menurut gerakan ilmu silat dan karena empat orang pengeroyoknya adalah orang-orang kasar yang sudah biasa berkelahi dan juga semua memiliki ilmu silat, maka A-hai menjadi bulan-bulanan pukulan. Akan tetapi pemuda ini memiliki tubuh yang kuat sehingga biarpun sudah dipukuli jatuh bangun, dia tetap terus bangkit dan melawan lagi.

Melihat pemuda itu dihajar dan dipukuli, Seng Kun yang dikeroyok oleh banyak orang itu membantu dan mencoba untuk melindunginya. Karena ini, maka dia sendiri menerima beberapa kali pukulan yang cukup keras.

Ketika melihat terjadinya keributan itu, dari tempat sembunyinya, Pek Lian dan Bwee Hong tentu saja menjadi terkejut. Bwee Hong yang melihat kakaknya dikeroyok banyak sekali orang jahat, segera meloncat maju, sedangkan Pek Lian yang melihat A-hai dipukuli orang, juga tidak mungkin dapat berdiam diri dan gadis irupun sudah melompat keluar dari tempat persembunyiannya. Dua orang gadis ini lalu menyerbu dan mengamuk.

Para penjahat itu terkejut sekali melihat munculnya dua orang wanita petani yang demikian lihainya. Mereka pun sadar bahwa petani setengah tua dan dua orang wanita petani ini tentulah pihak musuh yang datang melakukan penyelidikan, maka merekapun kini mengurung dan menyerang mati-matian mempergunakan senjata mereka. Jumlah pengeroyok ada tiga puluh orang lebih dan mereka semua rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi dan pengalaman berkelahi yang matang, apa lagi mereka itu adalah penjahat-penjahat yang kejam dan sudah biasa membunuh orang.

Melihat kehebatan petani setengah tua itu, Jai-hwa Toat-beng-kwi, penjahat cabul berusia tigapuluh lima tahun yang berwajah ganteng dan berpakaian mewah pesolek itu lalu meloncat ke depan, begitu menerjang, dia sudah menggunakan huncwe emasnya untuk menotok ke arah leher Seng Kun.

Melihat meluncurnya sinar emas di bawah sinar lampu yang kini dibantu obor itu. Seng Kun maklum bahwa penyerangnya tidak boleh disamakan dengan para pengeroyok lainnya. Diapun cepat melangkah mundur sambil mengelak dan menggerakkan lengan kanan untuk menangkis huncwe emas itu.

Akan tetapi, Si Cabul sudah menarik kembali huncwenya dan dengan gerakan cepat sudah menggerakkan senjata istimewa itu yang meluncur ke arah muka Seng Kun, didahului oleh percikan api tembakau dari hunewe yang menyambar ke arah mata.

Inilah keistimewaan huncwe itu! Seng Kun maklum akan bahayanya serangan kilat itu, maka diapun lalu meniup ke depan untuk menghalau percikan api tembakau, lalu membuang diri ke belakang, menyelinap ke bawah dan dengan gerakan indah namun kuat, tangannya sudah menusuk perut lawan dengan jari-jari tangan terbuka.

"Wuuttt!" Tusukan tangan yang kuatnya melebihi golok itu dapat dihindarkan pula oleh Jai-hwa Toat-beng-kwi yang diam-diam juga merasa kaget. Kiranya petani ini benar-benar bukan lawan ringan! Diapun mempercepat gerakan huncwenya dan kini mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmunya untuk mengha-dapi petani yang lihai itu, dibantu pula oleh beberapa orang penjahat yang memiliki kepandaian cukup tinggi.

Sementara itu, dua orang wanita yang pertama kali datang ke warung itu bersama Si Cabul yang amat mirip satu sama lain, sudah mencabut pedang dan menyambut Bwee Hong karena mereka melihat betapa wanita petani ini gerakannya amat sigap dan cepat. Bwee Hong tahu pula bahwa dua orang wanita ini cukup lihai, maka iapun sudah mencabut pedang yang disembunyikan di balik baju, menyambut dan menyerang mereka dengan sengit. Terjadi pula pertandingan seru di antara mereka dan dua orang wanita itu juga dibantu oleh beberapa orang penjahat yang mempergunakan senjata mereka untuk mengurung Bwee Hong.

Pek Lian meloncat dan hendak menolong A-hai yang masih menjadi bulan-bulan pukulan dan tendangan empat orang jahat itu, akan tetapi iapun disambut oleh banyak orang yang mengurung dan mengeroyoknya. Pek Lian membentak marah, mencabut pula pedangnya dan mengamuklah gadis ini.

Daerah yang sunyi itu kini menjadi medan perkelahian yang amat seru. Akan tetapi, kepandaian tiga orang pendekar muda ini agaknya terlalu kuat bagi para penjahat itu. Terutama sekali kakak beradik bangsawan she Chu itu, biarpun di pihak kaum sesat terdapat Si Cabul dan dua orang wanita berpedang, namun tetap saja mereka itu kewalahan menghadapi pengamukan Seng Kun dan Bwee Hong.

Bagaimanapun juga, dua orang muda ini adalah keturunan dari datuk sakti Sin-yok-ong dan mereka memiliki gerakan yang amat cepat. Juga Ho Pek Lian merupakan seorang dara yang gagah perkasa. Ia memiliki dasar ilmu silat tinggi yang baik, dan selama beberapa bulan ini ia telah digembleng oleh pengalaman-pengalaman hebat, bertemu dengan orang-orang sakti dan semua pengalaman ini membuatnya menjadi masak dan ilmunya juga menjadi semakin mantap. Pedangnya membentuk gulungan sinar yang membuat para pengeroyoknya kewalahan.

Tiba-tiba terdengar suara mengaum seperti auman singa dan disambut oleh dua kali auman harimau. Suara ini menggetarkan suasana yang hiruk-pikuk oleh perkelahian di tempat itu. Semua orang tertegun dan Pek Lian segera mengerti bahwa bahaya besar muncul karena ia tahu siapa orangnya yang datang. Mungkin orang inilah yang dinanti-nanti oleh para penjahat itu. San-hek-houw Si Harimau Gunung telah muncul! Juga Bwee Hong dan Seng Kun cepat meloncat ke belakang dan memandang.

Seorang kakek tinggi besar yang mengenakan jubah kulit harimau berdiri dengan gagahnya, dan di belakangnya nampak dua ekor harimau kumbang. Ketika tiba di tempat itu tadi, San-hek-houw sudah tahu bahwa petani yang berkelahi melawan Si Cabul bersama beberapa orang teman-nya itulah yang paling lihai di antara mereka yang dikeroyok oleh anak buahnya, maka diapun tanpa banyak cakap lagi lalu menerjang ke depan dan menyerang Seng Kun.

Tangannya diulur ke depan dengan jari-jari tangan terbuka membentuk cakar harimau dan Seng Kun cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan cakaran-cakaran yang amat kuat itu. Itulah Umu Silat Houw-jiauw-kun (Ilmu Cakar Harimau) akan tetapi yang berbeda dengan ilmu silat harimau lainnya. Gerakan orang ini amat kuat dan ganas! Dengan hati-hati Seng Kun lalu balas menyerang dan segera terjadi perkelahian yang amat seru di antara mereka.

Melihat bahwa lawan yang tangguh itu kini telah dihadapi oleh San-hek-houw yang merupakan tokoh yang lebih tinggi tingkatnya dari padanya, Si Cabul lalu tersenyum-senyum menghampiri Bwee Hong. "Ih, wanita petani kotor ternyata pandai juga berkelahi. Sayang kau sudah agak tua, kalau masih muda tentu akan menjadi penghibur yang menarik!" Sambil berkata demikian, Si Cabul sudah mencolek ke arah dada Bwee Hong.

"Plakk!" Bwee Hong menangkis dengan pengerahan tenaga dan akibatnya, Si Cabul itu terdorong ke belakang. Jai-hwa Toat-beng-kwi menjadi marah dan diapun menyerang dengan huncwenya, dibantu pula oleh dua orang wanita berpedang. Kini Bwee Hong menghadapi lawan yang jauh lebih lihai dari pada tadi. maka iapun memutar pedangnya dan melawan dengan mati-matian.

Akan tetapi, pada saat Seng Kun mengerahkan semua kepandaiannya untuk dapat mengalahkan San-hek-houw yang sudah dibantu pula oleh beberapa orang anak buahnya, tiba-tiba saja terdengar suara tinggi seperti suara wanita, akan tetapi suara itu mengandung getaran khikang yang kuat.

"Ha-ha-ha, apakah Harimau Gunung sudah kehilangan sebagian giginya maka menghadapi seorang petani saja sudah kewalahan?"

Dari dalam kegelapan malam, muncullah seo-rang laki-laki yang usianya kurang lebih empat-puluh tahun, tubuhnya gendut pendek, perutnya besar seperti perut kerbau bunting, dan tangan kanannya memanggul sebuah senjata yang kelihatannya sederhana saja, yaitu sebatang toya besar seperti alu yang terbuat dari pada baja putih.

Akan tetapi, melihat munculnya orang ini, Pek Lian terkejut sekali karena ia mengenal orang ini sebagai Sin-go Mo Kai Ci. Julukannya Sin-go (Buaya Sakti), raja dari segala bajak sungai dan menjadi rekan dari Harimau Gunung. Inilah dua di antara Sam-ok (Tiga Jahat) yang menjadi pembantu-pembantu utama Si Raja Kelelawar!

"Buaya hina, dari pada banyak mulut, tidakkah lebih baik cepat membantuku menundukkan musuh ini? Dia bukan petani biasa, tentu mata-.mata pihak musuh!" kata San-hek-houw sambil mencoba untuk mendesak lawan.

Namun, Seng Kun yang juga sejak tadi munculnya Harimau Gunung ini sudah mainkan sebatang pedang, menahan serangannya dengan baik dan membalas dengan serangan kilat yang nyaris merobek ujung jubah harimaunya. Buaya Sakti tertawa bergelak dan begitu tubuhnya yang bundar itu bergerak, toya putihnya sudah diputar dan diapun terjun ke dalam perkelahian itu membantu rekannya.

Melawan Harimau Gunung saja sudah merupakan hal yang cukup berat bagi Seng Kun. Kini ditambah munculnya Sin-go Mo Kai Ci yang memiliki tingkat yang seimbang dengan rekannya, maka tentu saja Seng Kun menjadi repot sekali. Apa lagi karena corak permainan silat dan gaya permainan senjata pendatang baru ini jauh berbeda, membuat mereka berdua itu me-rupakan kombinasi yang sulit untuk dilawan.

Biarpun Seng Kun melawan mati-matian, na-mun akhirnya sebuah hantaman toya dari Buaya Sakti itu mengenai punggungnya dengan amat ke-rasnya. Untung bahwa Seng Kun memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, maka hantaman itu tidak sampai mematahkan tulang punggungnya, hanya membuatnya terpelanting saja. Akan tetapi, banyak orang menubruk dan meringkusnya sehingga Seng Kun tidak mampu berkutik lagi. Dia telah tertawan!

Melihat ini, Bwee Hong menjadi marah. Akan tetapi Pek Lian yang melihat betapa sia-sia kalau mereka melawan dan akhirnya mereka berduapun tentu akan roboh tewas atau tertawan, cepat mendekati Bwee Hong.

"Enci Hong, mari kita lari!"

"Tapi... tapi... Kun-ko..."

"Kita bicarakan nanti. Lekas, ikut aku!" Dan Pek Lian lalu menarik tangannya. Bwee Hong adalah seorang gadis yang cukup cerdas. Biarpun ia merasa khawatir sekali akan nasib kakaknya, akan tetapi iapun tahu apa yang dimaksudkan oleh Pek Lian. Kalau mereka berdua selamat, setidaknya mereka akan mampu untuk memikirkan usaha agar dapat menyelamatkan Seng Kun. Sebaliknya, kalau mereka berdua nekat dan melawan, lalu merekapun tertawan, habislah sudah semua harapan untuk dapat lolos! Dua orang wanita itu meloncat dan melarikan diri dalam gelap.

"Kejarl" teriak Harimau Gunung dan Buaya Sakti dengan penasaran, dan merekapun ikut lari mengejar. Akan tetapi, dua orang gadis itu memang dapat bergerak cepat sekali, dan pula, kegelapan malam menolong mereka sehingga akhirnya para pengejar itu terpaksa kembali ke warung dengan tangan hampa.

Setelah melibat tidak ada pihak musuh yang mengejar, kedua orang dara itu berhenti dan Bwee Hong segera mencela Pek Lian, "Adik Lian, bagaimanakah engkau ini? Kakakku tertawan dan engkau malah memaksaku melarikan diri! Memang aku tahu bahwa kita tidak dapat selamat dan tidak dapat menolongnya, akan tetapi, melarikan diri selagi kakakku tertawan, sungguh membuat aku merasa berduka dan malu. Apa yang akan dipikir oleh kakakku?"

"Kakakmu tentu akan membenarkan tindakan kita ini, enci. Pihak musuh begitu banyak dan di antaranya banyak terdapat orang lihai. Sedangkan kakakmu saja tertawan, apa lagi kita. Belum lagi kalau sampai pimpinan mereka datang, yaitu Si Raja Kelelawar. Sungguh habislah kita! Sekarang kita berdua masih selamat. Apa kau kira akupun akan diam saja melihat kakakmu dan A-hai ditawan orang? Kita dapat membayangi mereka dan melihat keadaan selanjutnya. Kalau memang bahaya mengancam mereka, kita boleh turun tangan dan mengadu nyawa!"

Bwee Hong yang kebingungan karena memikirkan kakaknya itu hanya mengangguk dengan lesu dan selanjutnya ia akan menurut saja kepada sahabatnya ini. Biarpun tingkat kepandaian silatnya masih lebih lihai dari pada Pek Lian, namun harus diakuinya bahwa ia kalah wibawa, dan juga kalah pengalaman. Hal ini adalah karena Pek Lian telah mewakili gurunya untuk memimpin para pendekar. Pandangannya lebih luas dan ia tidak bertindak menurutkan perasaan belaka, melainkan bertindak dengan pedntungari sebagai layaknya seorang yang berjiwa pemimpin.

Sementara itu, San-hek-houw dan Sin-go Mo Kai Ci yang memimpin pertemuan itu, nampak tergesa-gesa membagi-bagi tugas kepada para anak buahnya, kemudian terdengar dia berkata, "Munculnya gangguan ini merobah acara. Kita harus cepat pergi meninggalkan tempat ini. Tidak aman setelah diketahui orang lain."

Pertemuan itupun bubaran dan dua orang yang ditawan itu, A-hai dan Seng Kun, dibawa pergi sebagai tawanan oleh dua orang tokoh sesat itu, ditotok dan di belenggu kemudian dilempar di dalam pedati milik A-hai yang tadi dipergunakan untuk mengangkat arak.

Melihat betapa dua orang itu dibawa pergi oleh Si Harimau Gunung dan Si Buaya Sakti, Pek Lian dan Bwee Hong lalu membayangi gerobak itu. Mereka berdua tidak berani sembarangan turun tangan karena maklum bahwa keselamatan A-hai dan Seng Kun terancam jika mereka dengan sembrono melakukan penyergapan. Apa lagi karena dua orang tokoh sesat itu masih dikawal oleh para pembantunya yang lihai.

Sampai beberapa hari lamanya dua orang gadis itu membayangi kereta atau gerobak dua orang tokoh sesat yang menawan A-hai dan Seng Kun. Mereka melihat betapa kedua orang tawanan itu diperlakukan dengan cukup baik, masih dibelenggu akan tetapi setiap kali rombongan berhenti untuk makan, keduanya mendapatkan hidangan secukupnya. Hal ini melegakan hati Bwee Hong dan Pek Lian yang mendapat kenyataan bahwa agaknya para penjahat tidak berniat membunuh dua orang tawanan itu.

Dan memang sesungguhnya demikianlah. Setelah berhasil menawan A-hai dan Seng Kun, Si Harimau Gunung dan Si Buaya Sakti memperhatikan Seng Kun dan melarang anak buah mereka untuk membunuh atau melukainya. Juga A-hai yang telah dibela oleh petani itu mendapatkan perlakuan yang cukup baik walaupun kedua orang tawanan itu selalu dibelenggu.

Hal ini adalah karena Harimau Gunung merasa curiga melihat kelihaian petani itu dan menduga bahwa petani itu tentulah seorang tokoh pembantu yang cukup tinggi kedudukannya dari Si Petani Laut, seorang di antara raja-raja lautan. Ciri khas dari para tokoh bajak lautan ini adalah pakaian mereka yang seperti pakaian petani, walaupun pekerjaan mereka adalah perampok-perampok di lautan alias bajak-bajak laut!

Kabarnya, Si Petani Laut berasal dari keluarga petani, maka setelah menjadi seorang di antara jagoan-jagoan atau bahkan raja-raja kecil yang menguasai lautan timur, dia tetap berpakaian petani bahkan mengharuskan para pembantunya berpakaian seperti petani! Dan karena Si Petani Laut juga termasuk tangan kanan atau juga sekutu dari Tung-hai-tiauw (Rajawali Lautan Timur), maka Si Harimau Gunung menduga bahwa petani yang tertawan itu adalah seorang utusan dari ke-lompok bajak laut.

Seperti kita ketahui, Sam-ok atau Si Tiga Jahat adalah Tung-hai-tiauw Si Rajawali Lautan Timur, Sin-go Mo Kai Ci Si Buaya Sakti, dan San-hek-houw Si Harimau Gunung. Merekalah yang disebut raja-raja di wilayah dan daerah masing-masing, yaitu raja lautan, raja sungai-sungai dan raja daratan. Dua di antara mereka, yaitu Si Buaya Sakti dan Si Harimau Gunung telah menakluk terhadap Raja Kelelawar. Kemudian Raja Kelelawar yang merupakan datuk tertinggi di antara kaum sesat itu mengutus dua orang pembantunya ini untuk menghubungi Si Rajawali Laut.

Demikianlah, karena menduga bahwa Seng Kun adalah tokoh sesat lautan yang menjadi anak buah Si Rajawali Laut, maka Harimau Gunung dan Buaya Sakti tidak mau bertindak lancang. Bahkan mereka menganggap bahwa Seng Kun dapat men-jadi semacam sandera agar mereka dapat dengan mudah menghubungi rekan yang kadang-kadang menjadi saingan dan musuh itu.

Harimau Gunung dan Buaya Sakti scndiripun tadinya sering kali bentrok dan bersaing. Hanya kini setelah muncul Raja Kelelawar, mereka menjadi akur dan tidak berani bentrok, karena sama-sama menjadi pembantu dari atasan mereka yang baru, yang amat mereka takuti, yaitu Raja Kelelawar.

Ketika rombongan itu tiba di tepi lautan di sebelah timur kota raja, menghadapi Teluk Po-hai yang luas, rombongan yang mengawal kedua orang raja penjahat itu segera menyediakan sebuah perahu layar besar. Kemudian, dikawal oleh belasan orang saja. Si Harimau Gunung dan Si Buaya Sakti membawa dua orang tawanan naik perahu yang berlayar ke arah timur laut.

Ketika itu, hari masih amat pagi akan tetapi matahari telah meninggalkan permukaan laut dan membakar seluruh permukaan air dengan cahayanya yang masih belum terlalu panas, masih keemasan. Perahu layar besar yang membawa dua orang tawanan itu membentuk sebuah bayangan memanjang di atas permukaan air yang merah tembaga. Angin laut pagi itu lembut saja, namun cukup membuat perahu itu melaju karena layar terkembang yang lebar itu menangkap banyak angin yang mendorong perahu.

Sunyi sekali, karena perahu-perahu nelayan yang terapung di sana-sini sedang tenang, me-nanti datangnya rombongan ikan yang biasanya muncul setelah sinar matahari menjadi keperakan. Para nelayan duduk di dalam perahu masing-masing, memandang ke arah perahu besar yang lewat melaju, tidak merasa curiga atau heran karena memang sering terdapat perahu-perahu besar lalu-lalang di perairan itu, baik perahu-perahu pedagang maupun perahu-perahu pelancong.

Merekapun tidak khawatir kalau-kalau ada perahu bajak laut, karena mereka semua berada dalam "perlindungan" raja-raja bajak laut dengan cara membayar "pajak penghasilan" setelah mereka pulang membawa hasil penangkapan ikan mereka nanti. Di darat telah menanti kaki tangan para raja bajak yang akan menentukan besar kecilnya pajak itu disesuaikan dengan hasil pekerjaan mereka semalam, atau sehari. Dengan pembayaran pajak seperti itu, keselamatan mereka terjamin dan mereka dapat bekerja dengan tenang.

Pungutan liar semacam ini terdapat di manapun juga dan di jaman apapun juga. Pungutan liar ini tercipta oleh kesempatan mengeduk keuntungan yang banyak dimiliki oleh mereka yang mempunyai banyak kekuasaan, oleh mereka yang mempunyai wewenang. Dengan kekuasaan atau wewenang yang ada pada mereka, maka terbukalah kesempatan untuk memeras. Kekuasaan atau wewenang itu bisa saja timbul dari kedudukan atau dari kekuatan.

Kedudukan dan kekuatan itu dijadikan modal untuk memeras atau mencari keuntungan dengan jalan memeras. Para nelayan itu tanpa mereka sadari te-lah diperas. Mereka merasa "dilindungi" oleh para bajak, dan untuk itu mereka mau menyerahkan sebagian dari pada hasil keringat mereka. Dilindungi dari siapa? Tentu saja dari gangguan, dan biasanya, yang mengganggu adalah para bajak itu sendiri.

Berarti, kalau tidak mau menyogok, akan diganggu! Perbuatan para bajak laut ini tiada bedanya dengan perbuatan para pejabat yang juga akan "mengganggu" dengan menggunakan kekuasaan dan wewenang mereka apa bila mereka tidak disogok. Pungutan liar memang akibat disalahgunakannya wewenang dan kekuasaan. Akan tetapi, sumber pokoknya terletak dalam batin seseorang itu sendiri.

Kedudukan tinggi sebagai pejabat tidak mempunyai kecondongan ke arah perbuatan baik atau buruk tertentu. Kedudukan itu diperlukan untuk mengatur orang banyak, dan untuk pekerjaan ini dia telah menerima upah. Jadi sepenuhnya tergantung kepada seseorang itu sendiri, mau dijadikan apakah kedudukannya itu!

Dapat saja dijadikan modal untuk memeras, akan tetapi dapat pula dijadikan alat untuk menertibkan dan mengatur, yang pertama adalah untuk kesenangan diri sendiri sedangkan yang ke dua adalah untuk kesenangan orang-orang lain, atau setidaknya untuk memenuhi tugas yang telah dibebankan ke atas pundaknya dengan imbalan upah yang semestinya.

Demikian pula dengan kekuatan yang ada pada diri seseorang, dapat saja kekuatan itu dipakai untuk menindas demi memenuhi kesenangan diri pribadi, dapat juga dipakai untuk melindungi orang-orang lain dari pada ancaman kejahatan yang mengandalkan kekuatan. Jadi, sumber pokok dari perbuatan pungutan liar itu, seperti dari penyelewengan-penyelewengan hidup yang lain, terletak dalam batin masing-masing. Tanpa adanya kesadaran batin, segala usaha untuk memberantasnya hanya akan berhasil untuk sementara saja.

Dengan kekerasan, mungkin saja perbuatan sesat dapat dihentikan, akan tetapi penghentian ini hanya lahiriah, hanya bersifat sementara karena borok di dalam batin itu masih belum sembuh. Kalau penjagaannya kurang ketat, maka borok itu akan kambuh lagi dan perbuatan sesat itu akan datang, mungkin lebih hebat dari pada yang sudah. Sebaliknya, kalau batinnya sudah sembuh dari pada bibit penyakit itu, tanpa pengekangan sekalipun, perbuatan sesat itu takkan muncul.

Ketika Pek Lian dan Bwee Hong melihat persiapan para penjahat itu, Pek Lian segera dapat menduga bahwa dua orang tawanan itu akan dibawa pergi berlayar. Maka dengan cepat iapun mencari perahu yang disewanya dari seorang nelayan. Ketika perahu besar itu mengembangkan layar, Pek Lian dan Bwee Hong juga sudah mendayung perahu dan tak lama kemudian perahu kecil mereka pun berlayar mengikuti perahu besar. Dengan adanya banyak perahu nelayan di sekitar tempat itu, maka tentu saja perbuatan dua orang wanita ini tidak menarik perhatian, juga tidak dicurigai oleh para penjahat itu.

Dua orang gadis itu telah menanggalkan penyamaran mereka begitu perahu kecil mereka bergerak. Kini tidak perlu lagi menyamar karena mereka bukan sedang melakukan tugas menyelidik dan membantu Seng Kun, melainkan sedang menghadapi para penjahat secara langsung. Tidak perlu lagi mereka menyamar. Perahu kecil mereka meluncur cepat ketika mereka memasang layar. Untung bagi mereka bahwa Pek Lian tidak asing dengan pelayaran dan Bwee Hong ternyata juga merupakan seorang gadis yang dapat belajar dengan cepat.

Kekuatan dalam mereka berkat latihan membuat mereka dapat bertahan terhadap guncangan dan goyangan perahu mereka ketika dipermainkan oleh air laut yang mulai bergelombang. Bersama meningginya matahari, gelombangpun semaian membesar. Hal inilah yang membuat mereka tertinggal oleh perahu besar di depan. Perahu besar itu tidak begitu payah melawan gelombang seperti perahu kecil dua orang dara perkasa ini.

Menjelang tengah hari, mereka berdua kehilangan perahu besar di depan! Tentu saja mereka menjadi bingung dan biarpun mereka berusaha untuk mengejar, namun gelombang laut yang besar itu membuat perahu mereka terombang-ambing.

"Ah, celaka perahu itu telah meninggalkan kita! Aih, bagaimana ini, adik Lian! Bagaimana dengan Kun-koko!"

Bwee Hong meratap dan hampir saja ia menangis. Bwee Hong sama sekali bukan seorang gadis lemah. Bahkan dalam hal ilmu silat, ia masih lebih lihai dari pada Pek Lian. Akan tetapi, ia amat sayang kepada kakaknya. Kini kakaknyalah satu-satunya keluarga terdekat di dunia ini baginya. Ayah kandungnya, yang baru saja dijumpainya, telah merupakan orang yang jauh dari batinnya.

Bukan hanya karena sejak kecil terpisah, melainkan juga karena ayahnya itu telah menjadi seorang pendeta di istana dan sudah tidak mau tahu akan urusan keluarga lagi. Keluarga Bu yang mengasuh ia dan kakaknya sejak kecil, sudah tewas. Di dunia ini ia hanya mempunyai seorang saja, yaitu Seng Kun dan sekarang kakaknya itu dilarikan penjahat.

"Tenangkan hatimu, enci Hong. Dalam keadaan seperti sekarang ini, yang penting sekali bagi kita adalah ketenangan. Kita tidak boleh panik dan putus asa. Arah perahu mereka menuju ke arah timur laut dan lihatlah, bukankah di depan sana itu terdapat gugusan pulau-pulau yang nampak lapat-lapat dari sini? Tentu ke sanalah mereka menuju dan perahu mereka lenyap karena pandang-an kita terhalang oleh gelombang. Kita menuju ke arah itu, pasti kita akan bertemu lagi dengan mereka."

Melihat sikap Pek Lian yang tangkas dan pandang mata yang penuh semangat itu, Bwee Hong terhibur dan merasa malu. Dirangkulnya teman-nya itu dan sejenak ia memejamkan mata sambil bersandar pada pundak sahabatnya yang memiliki watak amat kuat itu. Sahabatnya inipun menderita. Ayahnya juga dilarikan penjahat, akan tetapi Pek Lian masih mampu menghibur dan membesarkan hatinya!

"Maafkan aku, Lian-moi. Aku telah bersikap cengeng seperti anak kecil. Mari, kita lanjutkan pelayaran kita. Ombak-ombak ganas ini harus kita lawan dan atasi!" Di dalam suara dara cantik jelita ini terkandung ketabahan dan ketekadan besar sehingga Pek Lian tersenyum,

"Bagus! Mari kita bekerja keras!"

Demikianlah, kedua orang gadis itu bersitegang dengan gelombang lautan, memperebutkan perahu dan nyawa mereka. Ombak-ombak besar itu seolah-olah merupakan jangkauan tangan maut yang hendak menelan dan menghempaskan perahu, sedangkan mereka berdua dengan kedua tangan yang berjari kecil mungil halus itu mengerahkan tenaga untuk menahan perahu mereka agar jangan tenggelam!

Terjadilah proses pertarungan dan perjuangan hidup yang mungkin sudah setua lautan itu sendiri atau setua sejarah manusia, antara manusia dan alam! Antara ancaman mati dan mempertahankan hidup! Proses yang sampai kini masih me-landa kehidupan manusia, dan karenanya amat mengharukan. Bukankah kita inipun setiap saat dikelilingi jangkauan tangan-tangan maut? Melalui penyakit, melalui kecelakaan, melalui bencana alam?

Betapa mati dan hidup ini seling menyeling, merupakan perpaduan yang serasi, yang menguasai diri kita? Kalau kita tidak membuka mata mempelajari apa sesungguhnya kehidupan ini, apakah kita lalu hanya hidup untuk menghindarkan diri dari pada jangkauan maut belaka dan akhirnya kita akan tercengkeram juga dan tunduk di bawah kekuasaan maut sebelum kita tahu apa sesungguh-nya kehidupan ini?

Apakah hidup ini hanya perjuangan, kesengsaraan, kekecewaan, duka nestapa, permusuhan, segala pahit getir dengan hanya sedikit manis sekali-kali, kemudian habislah semua itu dan mati?

Setelah terhindar dari rasa khawatir, baik kekhawatiran akan nasib kakaknya maupun rasa takut akan gelombang yang mengancam nyawanya, mulailah terasa oleh Bwee Hong kegairahan dan kegembiraan dalam menghadapi gelombang lautan yang mendahsyat itu. Kegembiraan yang jarang terasa olehnya, mungkin hanya terasa oleh mereka yang tahu apa artinya berdekatan dengan maut, apa artinya dapat menyelinap di antara jari-jari tangan maut yang mengancam.

Saking besarnya rasa gembira ini, Bwee Hong yang membantu Pek Lian mengemudikan perahu, menjerit-jerit, suaranya ditelan angin dan gemuruh gelombang air yang saling timpa. "Hayo, majulah! Datanglah gelombang! Ha-ha, hayo serbulah, aku tidak takut padamu! Huiiii-huuu!"

Perahu itu melambung tinggi lalu meluncur turun dengan kecepatan yang membuat jantung terasa copot tertinggal di udara Namun Bwee Hong menjerit dan tertawa, sehingga Pek Lian ikut pula terseret kegembiraan itu dan kedua orang dara perkasa itupun menjerit-jerit dan tertawa-tawa, dan gelombang lautan itu berobah menjadi sahabat-sahabat yang mengajak mereka bersendau-gurau!

Setengah hari lamanya dua orang dara pendekar itu berjuang melawan amukan air laut dan tiga kali hampir saja perahu mereka terbalik. Pakaian mereka sudah basah kuyup, basah oleh air bercampur keringat mereka. Wajah mereka yang cantik itu nampak berseri, berkilau dengan cahaya kehi-dupan dan kesegaran, kemerahan dan sepasang mata mereka bersinar-sinar, muka mereka yang berkulit halus itu kemerahan dan agak coklat ter-bakar matahari.

Setelah setengah hari lamanya bergurau, agaknya air laut menjadi jemu dan bo-san juga dan gelombangpun tidak seganas tadi. Napas lautan yang tadinya terengah-engah itu kini menjadi tenang dan hanya tinggal sisanya saja. Tiba-tiba Pek Lian menunjuk ke arah depan. "Lihat, itu mereka!"

Di antara puncak-puncak gunung ombak di kejauhan, nampak mula-mula ujung tiang perahu layar besar dengan benderanya, kemudian nampak layarnya dan mereka berdua hampir bersorak girang mengenal bahwa memang itulah perahu yang mereka bayangi, perahu yang membawa A-hai dan Seng Kun sebagai tawanan.

Karena kini gelombang tidak terlalu mengganas lagi, badai tidak mengamuk seperti tadi dan angin bertiup tenang dan kuat, mereka lalu memasang layar besar dan perahu kecil itu melaju, seperti anak kecil berlari-larian di atas rumput-rumput ketika mereka menerjang puncak-puncak gelombang, mengejar ke depan.

Matahari telah condong jauh ke barat dan cuaca sudah mulai berkurang terangnya, sinar perak telah berganti sinar lembayung yang lemah dan redup, seolah-olah matahari telah mulai mengantuk dan siap untuk beristirahat di balik permukaan laut, seperti hendak tenggelam di dalam lautan yang amat luas itu.

Dan seperti juga di waktu munculnya pagi tadi, ketika menghilang, matahari juga bergerak amat cepatnya, tenggelam sedikit demi sedikit sampai akhirnya yang tinggal hanya sinar redup kemerahan, memancar dari balik permukaan kaki langit di atas lautan, bola mataharinya sendiri telah tenggelam di balik ujung laut.

Dua orang gadis itu tidak merasa khawatir lagi. Biarpun kegelapan malam akan melenyapkan perahu di depan dari pandang mata mereka, akan tetapi mereka percaya bahwa perahu besar itu akan memasang lampu, atau setidaknya mereka berdua sudah melihat bayangan gugusan pulau-pulau di depan. Mereka merasa yakin bahwa ke sanalah perahu di depan itu menuju.

Tiba-tiba, di dalam keremangan senja, nampak cahaya lampu bermunculan di sebelah kanan dan kiri. Perahu-perahu ini membawa penerangan yang cukup terang, menerangi air laut di sekitarnya.

"Eh, eh, dari mana munculnya perahu-perahu ini dan siapakah mereka?" Pek Lian bertanya dengan heran dan juga hatinya terasa tidak enak.

Kini bermunculan perahu-perahu dari kanan kiri dan melihat lampu-lampu mereka, mudah menghitung jumlahnya. Ada delapan buah perahu yang muncul, semua memakai penerangan dan dari perahu kecilnya, Pek Lian dan Bwee Hong dapat melihat bahwa di atas setiap perahu terdapat anak buah sebanyak sepuluh orang. Dan mereka itu bersenjata lengkap. Delapan buah perahu itu meluncur searah dengan perahu yang ditumpangi A-hai dan Seng Kun, seolah-olah mengawal perahu penjahat itu. Dan mereka itu mungkin tidak melihat perahu kecil Pek Lian yang tidak memakai lampu.

Kurang lebih satu jam lamanya perahu-perahu itu berlayar menuju ke arah timur laut. Tiba-tiba terdengar suara peluit ditiup berulang-ulang saling sahutan dan kedua orang dara itu melihat betapa semua perahu itu berpencar ke kanan kiri dengan teratur, membentuk barisan seperti hendak menggunting dan lampu-lampu penerangan merekapun kadang-kadang padam kadang-kadang nampak, itupun hanya merupakan penerangan lampu hijau redup-redup.

Karena seolah-olah ditinggalkan oleh barisan perahu itu, perahu kecil Pek Lian dan Bwee Hong kini meluncur ke depan dengan cepatnya sendirian saja menempuh kegelapan malam. Keadaan amat mengerikan, seolah-olah setiap saat mereka akan ditelan oleh sesuatu yang telah meng-ancam sejak tadi.

Namun, dua orang gadis itu telah memperoleh kembali ketabahan mereka dengan jalan bersendau-gurau dan bercakap-cakap, seolah-olah mereka sedang menikmati sebuah pelayaran yang amat romantis dan menggembirakan.

Langit amat indah. Langit di waktu malam hanya nampak indah kalau gelap seperti itu. Bintang-bintang nampak jelas menghias angkasa menghitam. Seperti hamparan beludru hitam yang ditaburi ratna mutu manikam yang berkilauan....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.