Darah Pendekar Jilid 12

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Darah Pendekar Jilid 12
Sonny Ogawa

Darah Pendekar Jilid 12 karya Kho Ping Hoo - ENTAH berapa lamanya mereka berdua mengemudikan perahu layar mereka yang meluncur pesat ke depan sambil menikmati keindahan angkasa dan mendengarkan dendang air yang tersayat oleh moncong perahu mereka, ketika tiba-tiba keduanya terkejut melihat sinar terang lampu dari sebuah perahu besar yang meluncur berlawanan arah dengan perahu mereka.

Novel silat Darah Pendekar karya Kho Ping Hoo

"Cepat, belokkan perahu!" teriak Pek Lian kepada Bwee Hong yang kebetulan sedang menggantikan tugas mengemudikan perahu.

Bwee Hong sudah terlatih beberapa jam lamanya, sudah gapah, akan tetapi karena terkejut dan panik, iapun bingung dan perahunya membelok terlampau keras. Hampir saja perahu itu terbalik ketika layarnya menjadi kacau.

"Dukkkkk!!" Tiba-tiba mereka merasakan guncangan keras dan ternyata perahu mereka telah menumbuk sebuah perahu lain. Kiranya di kanan kiri perahu besar yang terang itu terdapat pula dua buah perahu kecil yang agaknya mengawal perahu besar.

Terdengar teriakan dan maki-makian dalam bahasa asing. Perahu besar itupun berhenti dan ramailah suara orang-orang dengan bahasa asing di atas perahu besar. Ketika Pek Lian dan Bwee Hong dapat menenangkan hati mereka yang terguncang karena perahu mereka hampir terbalik, dengan marah mereka lalu memandang ke atas, ke arah perahu besar dan melihat munculnya beberapa orang di atas perahu itu, menjenguk ke bawah ke arah mereka. Sebuah lampu sorot ditujukan kepada mereka dan perahu kecil mereka kini bermandikan cahaya sehingga mata kedua orang dara itu menjadi silau karenanya.

Orang-orang yang menjenguk ke bawah itu berteriak-teriak dalam bahasa asing, agaknya marah-marah dan ada pula yang tertawa-tawa, kemudian dua buah perahu kecil di kanan kiri perahu besar mewah itu didayung maju dengan cepat dan beberapa batang dayung panjang mendorong-dorong perahu dua orang dara itu, sehingga perahu itu terguncang-guncang ke kanan kiri.

"Eh, kalian ini mau apa?" bentak Pek Lian.

Akan tetapi orang-orang asing yang rata-rata bertubuh pendek itu hanya menjawab sambil tertawa-tawa dan melanjutkan usaha mereka mendorong-dorong perahu dua orang dara itu, agaknya bermaksud untuk menggulingkan perahu. Sementara itu, orang-orang yang berada di atas perahu besar itu tertawa-tawa dan menggerakkan tangan, nampaknya memberi anjuran kepada para pembantu mereka yang berada di dalam dua buah perahu kecil di bawah.

Biarpun tidak mengerti bahasa mereka, Pek Lian dan Bwee Hong maklum bahwa orang-orang ini berusaha untuk menggulingkan perahu mereka, maka tentu saja mereka menjadi marah. "Jahanam, kalian hendak menggulingkan perahu kami?" bentak Pek Lian marah. Akan tetapi, orang-orang di atas perahu besar itu tertawa-tawa dan menuding-nuding ke arah dua orang gadis yang marah-marah itu.

"Adik Lian, mari kita hajar mereka!" kata Bwee Hong dan sekali tangannya bergerak, ia sudah menangkap sebatang dayung yang mendorong pinggir perahu dan sekali renggut, dayung itu dapat dirampasnya dan pemegang dayung berteriak ketika tu-buhnya terlarik dan akhirnya dia terjungkal keluar perahu ke dalam air laut!

"Jangan di sini! Mari kita naik ke perahu besar itu saja dan menghajar pimpinan mereka!" kata Pek Lian yang maklum bahwa kalau mereka berdua melawan di dalam perahu kecil mereka, keselamatan mereka malah terancam. Kalau sampai perahu mereka itu digulingkan, tentu mereka akan celaka.

Bwee Hong mengerti apa yang dimaksudkan oleh kawannya, maka iapun mengangguk dan tiba-tiba mereka berdua, menggunakan kepanikan para pengganggu yang melihat seorang kawan mereka tercebur ke dalam lautan tadi, untuk mengenjot tubuh dan meloncat ke atas perahu besar yang mewah itu.

Ketika mereka yang berada di atas perahu besar melihat berkelebatnya dua bayangan mereka melayang ke atas perahu besar, mereka tercengang dan terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa dua orang penghuni perahu nelayan yang mereka permainkan itu ternyata memiliki kepandaian sehebat itu. Mereka mengeluarkan seruan kaget, apa lagi ketika melihat dua orang dara cantik telah berada di atas perahu besar mereka.

Sejenak mereka semua melongo. Baru sekarang mereka dapat melihat jelas betapa cantik jelitanya dua orang penghuni perahu yang bertumbukan dengan perahu mereka tadi! Tadinya mereka mengira bahwa perahu kecil itu hanya ditumpangi dua orang nelayan dan mereka hendak menghukum dan mempermainkan mereka yang berani menghadang di tengah perjalanan. Siapa kira, penghuninya adalah dua orang dara yang demikian cantik manisnya! Maka timbullah niat buruk di dalam hati mereka untuk mempermainkan dua orang dara cantik jelita ini.

"Aha, kiranya kalian adalah dua orang dewi lautan cantik jelita yang sengaja datang untuk menghibur kami? Ha-ha-ha!" kata seorang di antara mereka sambil menepuk-nepuk perutnya yang gendut. Orang ini dapat bicara dalam Bahasa Han dan dimengerti oleh dua orang gadis itu, walaupun suaranya terdengar kaku dan asing.

Pek Lian segera dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan orang-orang Jepang. Pernah ia melihat tamu-tamu Bangsa Jepang di istana ayahnya ketika ayahnya masih menjadi menteri kebudayaan. Menurut penuturan ayahnya, Bangsa Jepang adalah orang-orang pelarian dari Tiongkok dan masih seketurunan, bahkan berkebudayaan sama, dengan bentuk tulisan huruf yang sama pula.

Merupakan sekelompok suku bangsa yang telah memisahkan diri dari daratan Tiongkok dan tinggal di Kepulauan Jepang di sebelah timur laut. Bangsa Jepang ini, menurut ayahnya, merupakan bangsa yang cerdik, pandai, rajin dan orang harus berhati-hati menghadapi mereka karena mereka itu dapat menjadi lawan yang amat berbahaya.

Dua orang laki-laki pendek, si perut gendut itu dan seorang yang mukanya seperti kanak-kanak akan tetapi sepasang matanya mengandung penuh nafsu berahi, kini melangkah maju dan kedua lengan mereka yang pendek-pendek dan nampaknya ceko itu dikembangkan seolah-olah mereka hendak menangkap dua ekor ayam, ditonton oleh teman-teman mereka yang sudah berkumpul di situ dan mereka semua tertawa riuh dan gembira.

"Nona manis, mari ke sini... mari kupeluk cium..." kata si gendut yang agaknya merupakan satu-satunya orang di antara mereka yang dapat berbahasa Han, sedangkan teman-temannya hanya tertawa-tawa dan berkata-kata dalam Bahasa Jepang yang tidak dimengerti oleh kedua orang nona itu.

Setelah berkata demikian si perut gendut itu menubruk ke arah Pek Lian. Gerakannya cepat dan nampaknya si perut gendut ini kuat sekali. Temannya, yang bermuka anak-anak itupun sudah mengeluarkan teriakan nyaring sambil menubruk kepada Bwee Hong.

Akan tetapi Pek Lian dan Bwee Hong sudah siap siaga. Pek Lian menyambut tubrukan itu dengan elakan ke kiri, kemudian pada saat tubuh si perut gendut itu terdorong ke depan karena menubruk tempat kosong, kakinya sudah melayang dan menyambar ke arah perut lawan.

"Ngekkk ! Aughhh... auhhh...!" Si perut gendut itu membungkuk-bungkuk sambil mendekap perut gendutnya dengan kedua tangan, meringis-ringis karena dia merasa perutnya mulas seketika, begitu mulasnya sampai dia terhuyung-huyung lari ke kakus dan terdengar suara memberebet dari tubuh belakangnya!

Si muka kanak-kanak yang menubruk Bwee Hong mengalami nasib lebih buruk lagi dibandingkan dengan si perut gendut yang menjadi mulas perutnya sehingga isinya menuntut keluar itu. Bwee Hong menyambut tubrukan lawannya dengan marah. Ia memiliki ginkang yang luar biasa hebatnya, dan si muka kanak-kanak itu tadinya sudah merasa yakin bahwa kedua lengannya akan dapat memeluk nona yang cantik jelita itu. Akan tetapi, pada detik terakhir, tahu-tahu tubuh nona itu hilang begitu saja dan sebelum dia dapat melihat di mana adanya nona itu, tiba-tiba kaki nona itu menyambar dari samping dan menyambar dadanya.

"Desss...!" Tendangan itu keras sekali. Tubuhnya yang pendek itu terjengkang dan si muka kanak-kanak itu roboh dan pingsan, mukanya seperti seorang anak kecil sedang tidur dengan nyenyak dan tenteramnya!

Tentu saja peristiwa ini membuat semua orang terkejut dan sekaligus juga sadar bahwa dua orang dara yang hendak mereka permainkan itu ternyata adalah dua orang wanita yang memiliki kepandaian lihai! Mereka bukan hanya terkejut, akan tetapi juga merasa penasaran sekali melihat dua orang teman mereka dirobohkan, dan dengan muka berubah merah cemberut, lenyap semua kegembiraan tadi, belasan orang anak buah perahu layar itu mengurung Pek Lian dan Bwee Hong! Tentu saja dua orang dara perkasa itupun siap-siap untuk menghadapi pengeroyokan.

Orang-orang yang sebagian bertubuh katai itu mengurung makin ketat. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan dalam Bahasa Jepang. Bentakan itu halus, akan tetapi mengandung wibawa yang sedemikian hebatnya terhadap orang-orang itu karena mereka semua terkejut seperti diserang ular dan mereka semua serentak mundur, lalu berdiri tegak dan memandang dengan penuh ketaatan dan kehormatan kepada seorang laki-laki yang berpakaian indah bersikap agung.

Yang baru muncul dari dalam bilik perahu besar itu diiringkan oleh empat orang yang pakaiannya warna-warni dan menyolok sekali. Empat orang ini bertubuh pendek gempal dan nampaknya kokoh kuat, di pinggang mereka tergantung pedang panjang melengkung yang ujungnya terseret di atas lantai perahu!

Perahu layar besar mewah itu adalah milik laki-laki berusia tigapuluh lima tahun yang baru muncul ini. Dia seorang Pangeran Jepang yang melakukan pelayaran menuju ke daratan Tiongkok untuk mengunjungi kaisar dengan membawa banyak barang-barang berharga yang akan dihadiahkan kepada kaisar. Empat orang pengawalnya adalah jagoan-jagoan samurai.

Ketika sang pangeran ini mendengar suara ribut-ribut di luar dan setelah dia keluar melihat dua orang dara cantik dikurung oleh anak buah perahu, dia menjadi tertarik sekali dan menyuruh para anak buahnya mundur. Dia sendiri memandang kepada dua orang nona cantik itu, maklum bahwa mereka tentulah dua orang dara berbangsa Han dan melihat sikap mereka, tentulah dua orang nona ini merupakan dua orang wanita petualang yang memiliki ilmu kepandaian silat.

Sudah banyak sang pangeran ini mendengar tentang ahli-ahli silat di Tiongkok, dan tentang pendekar-pendekar wanita. Hatinya tertarik sekali, terutama kepada Pek Lian yang dianggapnya memiliki sifat kegagahan yang amat mengagumkan hatinya di samping kecantikannya. Maka, kalau dia dapat menawan dua orang dara ini, tentu akan menjadi suatu kebanggaan baginya kalau pulang kelak, sebagai hasil perjalanan jauh ini yang paling menyenangkan dan mengesankan hatinya.

Di antara para selirnya, tidak terdapat seorang pendekar wanita dan betapa akan bangga hatinya memiliki selir yang selain cantik juga berkepandaian silat tinggi seperti dua orang dara ini. Maka, dengan senyumnya yang khas, senyum seorang Pangeran Jepang yang hanya merupakan gerakan bibir terbuka saja, seperti topeng tersenyum, pangeran itu melangkah maju menghadapi Pek Lian dan Bwee Hong, lalu mengangguk dengan sikap ramah.

Sebelum meninggalkan negerinya untuk menghadap Kaisar Tiongkok, tentu saja pangeran ini lebih dulu telah mempelajari bahasa dari negara yang hendak dikunjunginya, dan kini dia berkata dengan suara dan sikap halus, kata-katanya teratur rapi seperti kata-kata seorang yang menguasai bahasa asing melalui pelajaran, bukan karena praktek.

"Harap nona berdua sudi memaafkan kekasaran orang-orang kami. Akan tetapi mereka itu menentang nona berdua karena perahu nona menumbuk perahu kami."

"Hemm, dalam hal ini perahu siapa yang menumbuk perahu siapa? Agar tidak menuduh yang bukan-bukan dan sembarangan saja!" bantah Pek Lian sambil memandang kepada laki-laki itu dengan penuh perhatian. Juga Bwee Hong memandang dengan heran.

Laki-laki itu berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun, pakaiannya dari sutera halus dengan potongan aneh-aneh. Wajah orang itu dapat dikatakan tampan dan berwibawa, dengan jenggot yang dicukur dengan bentuk aneh pula. Rambutnya digelung ke atas dengan hiasan beberapa batang tusuk konde kemala.

Akan tetapi dahi yang teramat luas itu jelas merupakan dahi buatan, yaitu sebagian besar dari rambut di atas dahi itu dicukur sehingga dahi kelihatan tinggi dan luas! Diam-diam dua orang dara itu merasa geli dan juga heran. Laki-laki ini termasuk tinggi diantara teman-temannya, setinggi Pek Lian, sedangkan yang lain-lain itu jauh lebih pendek.

Pangeran itu menarik napas panjang. "Kami sudah menerima laporan dan ternyata bahwa perahu nona tidak memakai lampu. Jadi, tabrakan ini jelas sekali terjadi karena kelalaian nona."

Pek Lian tidak dapat membantah. Bagaimanapun juga, ucapan itu memang benar, perahunya tidak mempunyai lampu penerangan sehingga kalau orang-orang ini menabrak perahunya, mereka tidak dapat terlalu disalahkan. "Memang perahuku tidak mempunyai penerangan. Lalu, setelah terjadi tabrakan, apakah sudah sepatutnya kalau anak buahmu hendak menggulingkan perahuku? Aturan mana itu?" kata Pek Lian marah.

"Itupun hanya akibat dari pada tabrakan perahu, nona. Dan nona sudah merasa betapa kesalahan berada di pihak nona karena tidak adanya lampu penerangan. Kemudian nona malah naik ke sini dan merobohkan dua orang kami."

Pek Lian menjadi marah. Dia menegakkan kepalanya dan memandang tajam. "Habis, kalian mau apa?"

Pangeran itu tersenyum dan seperti tadi, Pek Lian merasa seolah-olah tidak mengira bahwa mereka berhadapan dengan seorang pangeran Bangsa Jepang. "Kita mengadu ilmu silat, kalau nona berdua dapat mengalahkan kami, aku berjanji akan membebaskan nona dan akan menghabiskan urusan tabrakan perahu tadi."

"Kalau kami kalah?" Pek kian mendesak.

Pangeran itu tersenyum. "Terpaksa nona berdua harus menjadi tamuku. Aku ingin berkenalan lebih erat dengan nona berdua yang menarik hatiku."

"Bagus!" teriak Pek Lian marah. "Sudah kuduga tentu ada pamrih busuk di balik semua ini. Majulah!" Ia menantang sambil mencabut pedangnya. Bwee Hong juga mencabut pedangnya dan dua orang dara itu siap menghadapi segala kemungkinan.

Pangeran itu tersenyum dan menoleh kepada empat orang pengawalnya, mengangguk dan berkata dalam bahasanya sendiri, "Tangkap mereka ini!"

Seorang jagoan samurai yang pakaiannya warna-warni, totol-totol dan mewah sekali melom-pat maju ke depan menghadapi Pek Lian. jagoan ini juga memiliki dahi yang amat lebar, bahkan seluruh permukaan kepalanya bagian atas telah dibotaki licin sehingga dahinya seolah-olah sedemikian lebarnya sampai di bagian belakapg kepalanya. Sisa rambut bagian bawah digelung kecil dan dihias tusuk konde. Muka jagoan ini seperti monyet.

Akan tetapi harus diakui bahwa gerakannya sigap dan tubuhnya yang pendek itu nampak kuat bukan main. Bajunya rangkap empat, kedua lengannya dari pergelangan tangan sampai dekat siku dibelit-belit kain keemasan, pinggangnya juga dibelit-belit kain totol-totol merah dan sebatang pedang samurai terselip di situ. Kakinya memakai sandal yang banyak talinya.

Jagoan ini berdiri di depan Pek Lian dan dengan sikap kaku membungkuk seperti pisau lipat, kemudian dia mengeluarkan seruan keras dari dalam perut, kedua tangan bergerak dan tahu-tahu nampak sinar berkilat dan sebatang samurai telah dicabutnya dengan kedua tangan dan dipegangnya seperti orang memanggul cangkul.

Pedang ini gagangnya dua kali lebih panjang dari pada pe-dang biasa dan jagoan itupun memegang pedang dengan kedua tangan. Kembali jagoan Jepang ini berteriak nyaring dan tiba-tiba dia sudah melakukan penyerangan. Tubuhnya bergerak dan pedang samurai yang dipegang dengan kedua tangan itu menyambar dari kanan ke kiri mengarah tubuh Pek Lian.

Dara ini cepat meloncat ke belakang sambil menangkis dengan pedangnya. Ia mengerahkan tenaga sinkang karena ia ingin menguji sampai di mana besarnya tenaga lawan. Karena tangkisannya itu, tak dapat dihindarkan lagi. pedangnya bertemu dengan pedang samurai yang dibabatkan dari kanan ke kiri itu.

"Trakkkk!" Pek Lian mengeluarkan seruan kaget dan meloncat ke belakang menghindarkan babatan ke dua ke arah kakinya. Dara ini meloncat ke papan lantai perahu yang lebih tinggi, memandang kepada pedang yang tinggal gagangnya dan sepotong kecil saja di tangannya, matanya terbelalak. Tak disangkanya bahwa pedang samurai lawan itu sedemikian tajam dan kuatnya sehingga sekali beradu saja pedangnya telah patah!

Akan tetapi ia melihat bahwa biarpun pedang samurai lawan itu amat ampuh, tajam dan kuat, gerakan lawan ini tidaklah terlalu gesit. Maka iapun membuang pedangnya dan berseru kepada Bwee Hong, "Hati-hati, enci, jangan mengadu senjata!"

Iapun lalu menerjang maju melawan jagoan yang masih mempergunakan samurainya untuk membacok dan membabat itu. Pek Lian mempergunakan kelincahannya dan memang ia jauh lebih lincah dari pada lawannya sehingga biarpun kini ia bertangan kosong, namun menghadapi samurai itu ia tidak terdesak. Tubuhnya berkelebat ke sana-sini mengelak dari sambaran sinar pedang samurai, dan iapun membalas dengan tidak kalah hebatnya, menggunakan pukulan dan tendangan kaki.

"Buk!" Sebuah tendangan kaki kiri Pek Lian mengenai perut lawan dan jagoan ini terpental ke belakang sambil mengeluh dan memaki. Akan tetapi ternyata dia memiliki kekebalan juga karena tendangan itu tidak merobohkannya, lalu dia maju lagi sambil memutar-mutar pedang samurainya dengan ganas sehingga terpaksa Pek Lian harus menggunakan kelincahan tubuhnya untuk berloncatan dan mengelak ke sana-sini.

Sementara itu, Bwee Hong juga sudah diserang oleh seorang jagoan samurai lain. Akan tetapi, karena Bwee Hong sudah melihat betapa samurai-samurai itu amat tajam dan kuatnya, dan mendengar peringatan Pek Lian, ia sama sekali tidak mau mengadu pedangnya, melainkan menggunakan kecepatan gerakannya untuk menghindarkan setiap bacokan lawan lalu membalas dengan cepat.

Karena Bwee Hong memang memiliki ginkang yang amat hebat, maka dalam beberapa kali gebrakan saja, lawannya telah terdesak hebat dan terpaksa jagoan ke tiga lalu mengeroyoknya! Namun Bwee Hong tidak merasa jerih dan dara ini mengamuk terus, mengandalkan ginkangnya dan juga kecepatan gerakan pedangnya.

Diam-diam sang pangeran mengikuti jalannya pertandingan itu dengan kagum. Melihat betapa seorang di antara jagoannya dalam belasan jurus saja terkena tendangan kaki Pek Lian, dia terkejut sekali. Apa lagi melihat betapa dara yang ke dua itu bahkan memiliki kecepatan gerakan yang melebihi dara pertama sehingga pengeroyokan dua orang jagoannya tidak membuat terdesak, diam-diam dia menjadi kaget, kagum dan juga girang.

Betapa akan bangga hatinya kalau dia dapat berhasil menundukkan dua orang dara perkasa ini dan mengangkat mereka menjadi selir-selirnya! Selain sebagai selir yang patut dibanggakan, juga dapat menjadi pengawal pribadinya dalam arti yang paling mesra dan mendalam.

Pangeran Akiyama lalu memberi isyarat kepada jagoannya nomor empat, lalu memerintahkan jagoan yang melawan Pek Lian untuk membantu dua orang temannya yang sudah mengeroyok Bwee Hong. Kemudian dia sendiri, dengan tangan kosong, dibantu oleh jagoan barunya yang juga bertangan kosong, menerjang dan mengeroyok Pek Lian. Dan Pek Lian terkejut!

Kiranya Pangeran Jepang inipun pandai ilmu silat tangan kosong, dengan pukulan-pukulan tangan miring yang cukup kuat, sedangkan pembantunya, jagoan samurai itu pandai ilmu semacam Ilmu Kim-na-jiauw, yaitu ilmu menggunakan jari-jari tangan untuk mencengkeram dan menangkap! Dikeroyok dua oleh dua, orang ahli yang memiliki ilmu yang berbeda ini, Pek Lian menjadi sibuk juga.

Setelah melawan sampai belasan jurus, tahu-tahu pergelangan tangan kirinya sudah dicengkeram dan ditangkan oleh jagoan pembantu pangeran itu! Untung sekali Pek Lian bersikap waspada dan bergerak cepat. Sebelum sang pangeran yang juga lihai itu sempat memperburuk keadaannya, kakinya sudah melayang ke arah bawah pusar jagoan itu dan tangan kirinya menusuk dengan jari telunjuk ke arah mata!

Diserang dengan hebat seperti ini, jagoan samurai itu terkejut dan cepat membuang tubuh ke belakang dan tiba-tiba saja pundak kanannya tertotok oleh jari tangan Pek Lian. Seketika lengan kanannya seperti lumpuh dan cengkeramannya terlepas. Pada saat itu, Pangeran Akiyama telah menerjang lagi, akan tetapi Pek Lian sudah terbebas dari cengkeraman sehingga ia mampu bergerak mengelak dan balas menyerang.

Si jagoan samurai hanya lumpuh sebentar saja. Dia sudah pulih kembali dan membantu sang pangeran, mengeroyok Pek Lian dengan lebih ganas. Sekali ini Pek Lian benar-benar merasa kewalahan. Tingkat kepandaian pangeran itu sendiri sudah berimbang dengan tingkatnya, kini pangeran itu dibantu oleh jagoan samurai itu, tentu saja ia menjadi kewalahan.

Keadaan Bwee Hong tidak lebih baik dari pada temannya. Pengeroyokan tiga orang Samurai yang kesemuanya bersenjatakan pedang samurai yang amat berbahaya, tajam dan kuat itu sungguh membuat ia kewalahan. Kalau melawan satu demi satu, atau katakanlah dikeroyok dua, ia masih sanggup untuk menang. Akan tetapi yang mengeroyoknya ada tiga orang!

Perlahan-lahan dara inipun terdesak dan main mundur, mandi keringat seperti juga keadaan Pek Lian. Bagaimanapun juga, seperti juga Pek Lian, Bwee Hong pantang menyerah dan mengamuk terus sambil mengandalkan kecepatan gerakan tubuhnya. Melihat keadaan ini, hati sang pangeran menjadi khawatir. Dia tidak menghendaki dua orang gadis itu terluka, apa lagi terbunuh. Dia ingin menundukkan dan menangkap mereka hidup-hidup.

Akan tetapi mereka berdua itu sedemikian lihai nya sehingga tentu sukar untuk mengalahkan me-reka tanpa merobohkannya. Diapun lalu memberi aba-aba dalam bahasanya dan kini belasan orang anak buahnya datang membawa jala yang lebar. Mereka mengurung Bwee Hong dan tiba-tiba, dengan cepat sekali jala atau jaring itu mereka lemparkan dan karena ia sendiri terancam tiga batang samurai.

Bwee Hong tidak mampu menghindar lagi dan tahu-tahu jaring itu telah menimpa tubuhnya! Tentu saja dara ini terkejut dan cepat menggunakan pedangnya untuk membabat tali jaring yang meringkusnya. Akan tetapi, tiba-tiba pedangnya bertemu dengan benda keras.

"Krakkkk!" Dan pedang itu, seperti pedang Pek Lian tadi, telah patah-patah bertemu dengan dua batang samurai yang menangkisnya dari luar jaring! Dan kini tiga orang jagoan itu menyimpan samurai mereka dan menubruk, meringkus Bwee Hong yang meronta-ronta di dalam jaring seperti seekor ikan yang terjala. Karena tiga orang jagoan itu memang bertenaga besar dan Bwee Hong tak dapat banyak bergerak dalam jaring, akhirnya dara ini telah dibelenggu di dalam jaring dan tidak mampu berkutik lagi.

Melihat ini, Pek Lian marah bukan main. "Pangeran busuk, lepaskan sahabatku!" bentaknya dan iapun menyerang dengan dahsyat, memukul ke arah kepala Pangeran Jepang itu dengan pengerahan tenaga.

Pangeran itu melihat pukulan berbahaya, maka diapun cepat merendahkan dirinya dan mengangkat kedua lengan menangkis. Pembantunya, jagoan yang mengeroyok Pek Lian, melihat kesempatan baik. Ketika lengan Pek Lian bertemu dengan lengan pangeran, diapun mendorong dari samping ke arah lambung gadis itu!

"Dukk!" Pangeran Akiyama terguling ketika beradu lengan dengan Pek Lian, akan tetapi gadis ini sendiri terkena dorongan jagoan samurai itu dan terlempar ke kanan. Malang baginya, di sebelah kanannya adalah tepi perahu itu dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terlempar keluar.

"Byuuurrrr!" Tubuh gadis itu menimpa air. Pek Lian maklum bahwa kalau ia tertawan juga, habislah harapannya untuk menolong Bwee Hong dan juga dua orang pemuda yang tertawan, maka iapun cepat menyelam. Ketika para anak buah pangeran itu menggunakan lampu untuk mencari ke bawah, mereka tidak dapat menemukan gadis itu yang sudah bersembunyi di balik perahu besar, di bagian yang gelap.

Akan tetapi pada saat itu, nampak sinar terang dan ternyata perahu besar mewah milik Pangeran Jepang ini telah dikepung oleh delapan buah perahu yang malam tadi pernah dilihat oleh Pek Lian. Dari permukaan air di balik perahu besar di mana ia bersembunyi, Pek Lian dapat melihat betapa tiga orang yang bergerak sigap sekali memimpin anak buahnya dari delapan buah perahu itu menyerbu ke perahu asing.

Terjadi pertempuran hebat, akan tetapi betapapun lihainya sang pangeran dari Jepang itu bersama para jagoan samurai dan anak buahnya, namun pihaknya kalah banyak dan para bajak itu dipimpin oleh tiga orang yang tingkat kepandaian silatnya tidak kalah dibandingkan dengan para samurai. Maka akhirnya sang pangeran yang melihat bahwa melanjutkan perlawanan tiada guna, lalu menyerukan aba-aba kepada anak buahnya untuk menyerah!

Banyak di antara mereka yang tewas dan sisanya dijadikan tawanan. Para bajak bersorak-sorai penuh kegembiraan ketika mendapat kenyataan bahwa perahu yang mereka bajak itu adalah perahu seorang pangeran dan di dalam perahu terdapat banyak sekali barang-barang berharga yang sedianya hendak dihadiahkan kepada kaisar! Benar-benar merupakan hasil besar, mereka telah menangkap seekor kakap yang besar dan gemuk!

"Harap kalian orang-orang gagah suka dengar baik-baik!" Tiba-tiba Pangeran Jepang itu berteriak sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. "Aku adalah Pangeran Akiyama, seorang bangsawan tinggi dari Jepang yang hendak menghadap kaisar di Kota Raja Sian-yang! Aku adalah sahabat kaisar, maka harap kalian jangan mengganggu kami dan suka membebaskan kami kembali. Untuk itu, kami tidak akan lupa dan akan memberi hadiah yang besar!"

Akan tetapi, tiga orang yang memimpin pembajakan itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, pangeran badut! Biar kaisar sendiri yang berada di dalam perahu, tetap saja akan kami bajak!"

Para bajak laut itu bersorak-sorak dan tertawa-tawa dan Sang Pangeran Jepang terpaksa membungkam dan tidak berani bicara lagi, maklum bahwa dia terjatuh ke tangan para bajak laut yang tidak mau mengakui kedaulatan siapapun kecuali kepala mereka. Dia hanya mengharapkan bahwa kepala bajak akan mau menerima tebusan dan tidak akan membunuhnya. Semua anak buahnya ditawan, dan Bwee Hong juga termasuk menjadi tawanan.

Bwee Hong tidak merasa takut akan nasib dirinya sendiri, akan tetapi ia merasa khawatir sekali ketika melihat Pek Lian tercebur ke dalam lautan tadi. Ingin ia menangisi nasib kawannya itu dan kini setelah ia ditinggalkan Pek Lian, mungkin ditinggal mati, ia merasa betapa harapannya untuk dapat menolong kakaknya menjadi semakin menipis. Akan tetapi, berada di tangan lawan sebagai tawanan, ia pantang menangis!

Ketika pertempuran antara para bajak dan anak buah Pangeran Jepang terjadi, Pek Lian masih bersembunyi dipermukaan air. Dia hanya melihat para bajak berlompatan ke atas perahu mewah setelah menempelkan perahu-perahu mereka ke-pada perahu korban, dan perahu mewah itu terguncang-guncang selagi mereka bertempur.

Untung baginya, ada sebuah perahu sekoci kecil terlepas dari perahu mewah dalam keributan itu dan iapun cepat berenang dan berhasil memegang perahu itu. Sementara itu, pertempuran sudah berhenti dan perahu mewah itu lalu ditarik oleh perahu-perahu bajak laut yang meninggalkan tempat itu jauh lewat tengah malam. Pek Lian menggunakan dayung, sekuat tenaga ia mendayung dan melawan ombak untuk mengikuti ke arah perginya perahu-perahu itu.

Hari telah hampir pagi dan cuaca mulai remang-remang ketika perahu-perahu para bajak itu tiba di sekelompok pulau-pulau kecil yang bertebaran di tengah lautan. Perahu besar mewah yang dibajak itu, yang membawa tawanan, diseret ke sebuah pulau terbesar yang berada di tengah kelompok pulau-pulau. Di atas beberapa pulau kecil nampak beberapa orang menyambut iring-iringan perahu itu dengan teriakan dan sorak-sorai gembira. Mereka itu tahu bahwa kawan-kawan mereka telah ber-hasil membajak sebuah perahu mewah yang kaya.

Tidak seperti pulau-pulau kecil di sekelilingnya yang berpantai pasir dan landai, pantai dari pulau di mana perahu bajakan itu diseret merupakan tebing karang yang tinggi. Di tepi tebing yang curam itulah para bajak menghentikan perahu-perahu mereka. Sebuah pintu baja terbuka dan perahu-perahu itu memasuki pintu ini ke dalam pulau. Pintu rahasia dan agaknya perahu luar tidak akan mungkin dapat masuk karena pintu karang itu menutup jalan masuk.

Ho Pek Lian memutar perahu sekocinya dan akhirnya ia mendapatkan sebuah tempat pendaratan yang tersembunyi dan tidak begitu terjal. Ia menarik sekoci kecil itu ke darat, menyembunyikannya dalam guha batu karang, dan ia sendiri lalu mendaki tebing dengan hati-hati karena iapun maklum bahwa ia telah memasuki tempat berbahaya, sebuah pulau yang dihuni oleh gerombolan bajak laut yang ganas.

Sementara itu, Bwee Hong yang masih berada di dalam jaring dan diikat dari luar, tidak dapat bergerak. Selama terjadi pertempuran di atas perahu, ia hanya dapat rebah sambil menonton saja dan ketika iapun terbawa sebagai tawanan bersama Pangeran Akiyama dan anak buahnya, iapun hanya diam saja. Apa gunanya kalau ia berteriak memberi tahu bahwa ia biikan anak buah pangeran itu? Yang menang itu jelas adalah gerombolan bajak laut yang tentu lebih ganas dan kejam dari pada gerombolan anak buah pangeran itu. Ia merasa betapa baru saja terlepas dari mulut serigala ia kini terjatuh ke mulut buaya!

Semua tawanan dibawa ke dalam sebuah bangunan besar yang dibangun seperti benteng di pulau itu. Mula-mula Sang Pangeran Jepang itu yang dihadapkan kepada pimpinan bajak. Di atas sebuah kursi besar, di ruangan yang luas, duduklah pemimpin bajak itu yang memandang kepada semua tawanan yang dikumpulkan di situ dengan wajah dingin.

Dia adalah seorang laki-laki yang usianya kurang lebih limapuluh tahun, pakaiannya mewah, lebih pantas menjadi seorang bangsawan atau seorang hartawan besar dari pada seorang kepala bajak. Wajahnya juga tidak membayangkan kekejaman atau kekerasan seperti wajah para anggauta bajak, walaupun wajah itu berkulit tebal kehitaman dan segala sesuatunya pada kepala bajak ini nampak tebal dan bulat!

Wajahnya gemuk bulat, dengan mata yang lebar dan biji mata besar. Hidungnya juga besar dan bulat, bibirnya tebal. Akan tetapi wajah ini bukan wajah yang buruk atau menakutkan, melainkan membayangkan kemakmuran duniawi, sering nampak pada wajah orang-orang kaya atau bangsawan tinggi yang selalu hidup dalam kemewahan dan kesenangan.

Tubuhnya gemuk dan perutnya gendut. Begitu si gemuk ini tadi muncul ke dalam ruangan, semua anggautanya memberi hormat dengan menekuk sebelah lutut. Baru setelah ia duduk di atas kursi besar itu, semua bajak berdiri lagi, dan ada pula yang duduk. Ketika Sang Pangeran Jepang dihadapkan, pangeran ini mengambil sikap angkuh.

"Engkaukah pemilik perahu itu?" tanya si kepala bajak dengan suara tenang.

Pangeran Akiyama lalu menggunakan kesempatan ini untuk memperkenalkan diri. "Aku adalah Pangeran Akiyama, seorang bangsawan tinggi di Jepang dan masih kerabat dari kaisar. Aku sedang melakukan perjalanan menuju ke daratan besar untuk menghadap Kaisar Cin Si Hong-te. Karena tidak tahu, kami telah melanggar wilayah tuan, maka harap suka memberi maaf dan untuk itu kami sanggup untuk mengganti kerugian."

Kepala bajak yang perutnya gendut itu tersenyum, akan tetapi senyumnya penuh ejekan. "Kaum pedagang kaya raya dan bangsawan yang tinggi kedudukannya merupakan korban yang paling kami sukai. Pangeran, tanpa kau usulkan, karena engkau telah terjatuh ke tangan kami, engkau baru akan kami bebaskan kalau keluargamu dapat menebus dengan sejumlah emas yang akan kami tetapkan kemudian. Masukkan dia ke kamar tahanan dan perlakukan dengan baik!"

Empat orang anak buah bajak lalu menarik pangeran itu keluar dari ruangan. Pangeran Akiyama bersikap tenang seperti layaknya seorang pangeran. Bagaimanapun juga, keluarganya takkan membiarkan dia teran-cam oleh para bajak dan tentu uang tebusan akan dikirim.

Setelah pangeran itu dibawa pergi, kepala bajak itu memandang kepada sisa anak buah sang pangeran, lalu berkata kepada para pembantunya, "Suruh mereka ini bekerja keras, kalau ada yang melarikan diri, bunuh saja!"

Para tawanan itu lalu digusur pergi, dan di antara mereka itu terdapat Bwee Hong yang masih terikat dan terbungkus jaring. "Tahan dulu, biarkan tawanan wanita ini tinggal di sini! Aku mau memeriksanya!" kata si kepala bajak.

Anak buahnya yang tadi sudah menyeret wanita dalam jaring itu nampak kecewa. Biarpun berada dalam jaring, Bwee Hong masih dapat dilihat dengan mudah dan anak buah bajak itu sudah merasa girang memperoleh seorang tawanan yang demikian muda dan cantiknya. Akan tetapi kini dia diperintahkan untuk meninggalkan tawanan ini maka tentu saja dia kecewa.

Kini yang berada di dalam ruangan itu tinggallah si kepala bajak dan tiga orang pembantunya, yaitu bajak laut lihai yang tadi memimpin penyerangan terhadap perahu asing itu. "Siapakah engkau?" tanya kepala bajak itu sambil memandang kepada wanita tawanan itu yang rebah miring di atas lantai.

Bwee Hong yang merasa amat terhina itu tidak mau menjawab sama sekali. Ia sudah tertawan dari tangan orang Jepang itu ke tangan bajak laut, dibelenggu dan terbungkus jaring, merasa seperti seekor harimau tertangkap, diseret dan dilempar begitu saja di atas lantai. Ingin ia menangis karena sakit hati, maka kini ia menimpakan kemarahan hatinya kepada kepala bajak ini. Ia sudah tertangkap, biar akan dibunuh sekalipun ia tidak akan sudi memperlihatkan sikap lunak atau tunduk!

Melihat wanita itu diam saja, si kepala bajak mengerutkan alisnya. Dalam keadaan terbungkus jaring dan terikat seperti itu, tentu saja Bwee Hong tidak kelihatan terlalu cantik, bahkan sebagian dari mukanya tertutup rambutnya yang terlepas dari sanggul dan riap-riapan, dan bagian yang tidak tertutup itupun masih tidak dapat nampak jelas karena tertutup benang-benang jaring.

"Kenapa engkau terbungkus jaring dan dibelenggu seperti seekor binatang buas?" kembali si kepala bajak laut bertanya.

Bwee Hong makin mendongkol dan tidak mau menjawab. Menjawab sama saja dengan menceritakan kekalahannya.

"Apakah engkau tuli? Ataukah gagu barang kali?" Kepala bajak itu mulai ragu-ragu. Semua tawanan tadi, biarpun tidak kelihatan ketakutan, setidaknya mentaatinya dan tidak memperlihatkan sikap melawan, sadar bahwa mereka sudah kalah dan tertawan. Agaknya tidak mungkin kalau wanita ini berani menentangnya dan sengaja tidak mau menjawab.

"Atau barangkali engkau tidak mengerti bahasa kami?" Lalu tiba-tiba kepala bajak itu mengajukan pertanyaan lagi dalam Bahasa Jepang! Mendengar ini, diam-diam hati Bwee Hong merasa geli, akan tetapi kemarahannya tidak mereda dan tiba-tiba iapun menjawab dengan suara lantang.

"Aku sudah tertawan, kalau mau bunuh, laksanakanlah. Siapa takut mati? Tak perlu banyak cerewet lagi!"

Kepala bajak itu nampak terkejut sekali mendengar ucapan ini. Sungguh merupakan jawaban yang sama sekali tidak diduganya. Dan suara wanita ini sungguh merdu, nyaring dan penuh semangat, tidak mungkin suara seorang wanita biasa saja!

"Eh, siapakah sesungguhnya engkau? Bukankah engkau juga anak buah Pangeran Jepang itu kepala bajak itu mendesak dengan penuh keinginan tahu.

"Bukan!" jawab Bwee Hong. "Perahuku bertabrakan dengan perahunya, aku dikeroyok dan tertangkap."

"Ah, begitukah?" kepala bajak itu berseru heran dan kagum. Tahulah dia kini bahwa wanita itu adalah seorang wanita gagah, kalau tidak demikian, tak mungkin sampai dikeroyok. "Lepaskan!" katanya kepada tiga orang pembantunya.

Tiga orang pimpinan bajak itu lalu menggunakan golok untuk membikin putus tali yang mengikat kaki tangan dan tubuh Bwee Hong. Begitu terle-pas dari ikatan, Bwee Hong meronta dan jaring itupun jebol dan iapun meloncat keluar, berdiri tegak dengan gagahnya di depan kepala bajak itu.

"Ahhh!" Kepala bajak yang perutnya gendut itu kini memandang dengan melongo, juga tiga orang pembantunya itu memandang kagum. Kiranya tawanan wanita itu adalah seorang dara yang luar biasa cantik jelitanya! Biarpun pakaiannya kusut dan rambutnya awut-awutan, mukanya kotor, namun jelas nampak betapa cantiknya gadis ini.

Seketika jantung kepala bajak itu berdebar-debar dan diapun sudah jatuh hati kepada gadis itu. Dia sudah mempunyai seorang isteri dan beberapa orang selir, akan tetapi begitu melihat Bwee Hong, mau rasanya dia membuang semua isteri dan selirnya itu dan menggantikan tempat mereka dengan gadis ini!

"Aihh, nona yang cantik dan gagah perkasa. Siapakah engkau? Siapa namamu?"

Melihat perobahan sikap itu, senyum lebar yang disertai pandang mata penuh gairah, hati Bwee Hong sudah menjadi penasaran dan mendongkol. Ia menduga bahwa tentu si gendut inilah yang pernah dibicarakan oleh Pek Lian, yaitu kepala atau raja penjahat yang menguasai lautan dan memimpin para bajak yang berjuluk Tung-hai-tiauw Si Rajawali Lautan Timur, seorang di antara Sam-ok yang sedang dicari-cari oleh dua orang rekannya, yaitu Si Harimau Gunung dan Si Buaya Sakti, atas perintah Raja Kelelawar! Ia tidak ingin berkenalan atau memperkenalkan diri kepada segala macam raja penjahat!

"Namaku tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian!" jawabnya kaku.

Kepala penjahat itu tidak menjadi marah melihat sikap ini. Malah sikap itu nampak semakin menarik dan gagah baginya! Setiap pendapat itu selalu diwarnai oleh perasaan suka atau tidak suka, karenanya, pendapat itu selalu palsu adanya dan tidak dapat dijadikan ukuran untuk menilai keadaan sesungguhnya dari sesuatu.

"Nona, bagaimanapun juga, aku telah menyelamatkan nona dari pada malapetaka hebat. Kalau tidak ada aku yang menolongmu, bukankah engkau akan celaka sebagai tawanan pangeran asing itu?" katanya membujuk.

"Kalian menyerbu perahu pangeran itu untuk membajak, sama sekali bukan untuk menolongku," bantah Bwee Hong.

Makin lama, kepala bajak itu menjadi semakin tertarik dan terpesona oleh kecantikan gadis ini. "Kalau begitu, berilah kesempatan kepadaku untuk dapat menolongmu, nona. Agar aku dapat membuktikan bahwa aku sungguh ingin menolongmu dan mempunyai niat baik terhadap dirimu."

"Kalau engkau beriktikad baik, berilah aku se-buah perahu kecil agar aku dapat pergi mencari temanku yang terpisah dariku karena pengeroyokan orang-orang Jepang itu!"

"Ah, ada lagi seorang temanmu? Apakah diapun tertawan? Seorang pemuda ataukah sudah tua?"

"Sahabatku itu juga seorang gadis, ia terjatuh dari perahu. "Bwee Hong mulai mau bercerita karena ia mengharapkan orang-orang ini akan dapat membantunya mencari dan menyelamatkan Pek Lian. Selain itu ia percaya bahwa kakaknya tentu sudah menjadi tawanan pula di tempat ini dan siapa tahu ia akan dapat membujuk agar kepala bajak ini mau membebaskan kakaknya pula.

"Nona, Lautan Po-hai ini begini luas dan engkau yang tidak berpengalaman, bagaimana dapat mencari seorang teman yang hilang hanya dengan menggunakan sebuah perahu kecil? Jadilah tamuku yang terhormat dan aku akan membantumu mencarikan sahabatmu itu. Akan kukerahkan semua anak buahku. Engkau tentu lelah sekali, biarlah engkau mengaso dulu. Mari, nona, mari kuantar nona ke kamar tamu dan nona akan menikmati ke hidupan di tempat ini."

Kepala bajak itu lalu membawa sendiri Bwee Hong menuju ke ruangan sebelah dalam dan di situ, beberapa orang pelayan wanita menyambutnya. Bwee Hong diberi sebuah kamar yang indah. Karena mengharapkan bantuan untuk menemukan kembali Pek Lian, juga karena mengharapkan akan dapat membebaskan kakaknya yang ia kira tentu berada di tempat ini pula sebagai tawanan, Bwee Hong tidak menolak, walaupun ia tidak pernah kehilangan kewaspadaannya dan tidak mau bersikap manis kepada tuan rumah yang pandang matanya mengandung gairah itu.

Bagaimanapun juga, nona ini terkesan juga oleh sikap tuan rumah. Sama sekali tidak seperti sikap kepala bajak. Begitu halus dan sopan, dan ternyata di sebelah dalam istana itu, keadaannya seperti dalam istana raja-raja saja. Juga para pelayan wanita terlatih baik dan bersikap amat halus!

Para anak buah bajak selama sehari semalam berpesta-pora merayakan hasil yang amat besar di malam hari itu. Para tawanan, yaitu anak buah pangeran, dijebloskan dalam tempat tawanan yang berada di bawah tanah. Hanya Pangeran Akiyama seorang yang dimasukkan dalam kamar tahanan lain dan diperlakukan dengan sikap baik. Anak buah pangeran ini menjadi orang tahanan dan dipekerjakan secara berpencar untuk pembangunan di pulau itu.

Ho Pek Lian telah berhasil naik ke tebing dan dengan berindap-indap ia menyelinap melalui bukit-bukit karang dan akhirnya ia berhasil memasuki bangunan megah seperti istana itu. Ia melihat betapa tempat itu terjaga ketat seolah-olah tempat itu merupakan benteng dengan banyak bala tentaranya. Dan istana itu, yang terletak di tengah-tengah kompleks bangunan benteng, sungguh megah. Aneh melihat sebuah istana dibangun di tengah-tengah pulau kosong ini, di antara pulau-pulau kecil yang terpencil di tengah lautan.

Untung bagi Pek Lian bahwa para anak buah bajak sedang merayakan pesta kemenangan dengan hasil baik itu. Para penjaga ikut pula berpesta dan biarpun mereka masih tetap dalam tempat penjagaan masing-masing, namun mereka juga kebagian arak dan daging sehingga tentu saja penjagaan mereka menjadi kurang teliti dan lengah.

Kesempatan inilah yang dipergunakan oleh Pek Lian, dengan mengandalkan gerakannya yang gesit dan ginkangnya yang tinggi, untuk menyusup masuk ke dalam istana itu melalui pintu belakang di dekat taman bunga batu karang.

Hanya ada beberapa pohon bunga kecil yang hidup di dalam pot-pot bunga, dengan tanah yang diambil dari daratan besar, sedangkan hiasan lain merupakan batu-batu karang yang dibentuk dengan nyeni, dicat dan diatur sedemikian rupa sehingga tempat itu merupakan sebuah taman yang aneh tapi indah.

Bukan main girangnya hati Pek Lian ketika dalam usahanya menyelidik dan mencari Bwee Hong dalam istana yang luas ini, ia tersesat masuk ke dalam dapur! Memang perutnya sudah terasa lapar bukan main. Kalau menurut perasaan hatinya, ingin ia menyerbu dan merampas makanan dengan kekerasan. Akan tetapi Pek Lian bukanlah seorang gadis sebodoh itu.

Tidak, ia adalah seorang dara muda yang sudah banyak digembleng oleh keadaan, yang membuatnya menjadi cerdas, tenang dan juga berpemandangan luas. Ia melihat tiga orang tukang masak sedang sibuk di dapur itu dan beberapa orang pelayan hilir-mudik mengangkuti masakan-masakan. Beberapa kali Pek Lian menelan ludah ketika bau masakan yang sedap memasuki hidungnya, membuat perutnya berkeruyuk seperti ayam jago sedang berlagak.

Ia sampai terkejut sendiri dan menekan perut dengan tangan, khawatir kalau-kalau suara perutnya itu akan terdengar orang dan membuatnya ketahuan. Ia hanya menanti kesempatan baik untuk dapat mencuri makanan. Tiga orang koki itu sibuk masak dan kini, setelah para pelayan yang mengangkuti masakan-masakan itu pergi, mereka bercakap-cakap.

"Huh, kalau sedang begini, kitalah yang repot!" kata seorang di antara mereka yang matanya juling, agaknya karena bertahun-tahun bekerja di dapur dan matanya terlalu sering terserang asap. "Setiap orang-orang merayakan pesta dan bersenang-senang, kita sendiri yang repot di sini setengah mati. Terlambat sedikit akan didamprat!" Dengan gerakan tangan yang sudah terlatih baik sehingga tidak perlu lagi menggunakan mata melihat, dia mencacah daging, agaknya hendak membuat bakso.

"Aih, A-pek, engkau ini mengomel saja!" kata koki ke dua sambil melemparkan sepotong daging panggang yang banyak gajihnya ke dalam mulutnya, lalu mengunyahnya sampai ada minyak gajih yang menetes dari ujung bibir.

Melihat ini, kembali Pek Lian menelan ludah dan memandang dengan mata benci kepada koki yang perutnya amat gendut ini. Mungkin karena terlalu banyak makan, pikir Pek Lian iri.

"Sekali ini bukan hanya karena pesta. Untuk anak buah itu, cukup masakan seadanya, asal sudah ada panggang daging dan arak bagi mereka sudah cukup. Akan tetapi apakah engkau tidak tahu bahwa ong-ya mempunyai dua orang tawanan istimewa?"

Ucapan ini membuat Pek Lian melupakan laparnya dan mendengarkan penuh perhatian. Koki ke tiga yang tubuhnya jangkung dan kurus seperti orang kurang makan, keadaan yang amat janggal mengingat akan pekerjaannya sebagai tukang masak, segera berkata, "Tawanan pangeran itu?"

"Yang pertama adalah pangeran itu. Biarpun dia menjadi tawanan, akan tetapi dari keluarganya diharapkan uang tebusan yang besar, maka dia harus dijamu dan diperlakukan sebagai seorang tamu terhormat dan berharga," jawab si gendut dengan mulut masih bergerak-gerak mengunyah daging. "Tapi yang paling istimewa adalah tamu ke dua."

"Kau maksudkan gadis yang cantik dan gagah itu?" kata si juling. "Kabarnya ia cantik sekali. Semua pelayan mengatakan bahwa belum pernah mereka melihat seorang gadis secantik tawanan itu, Aihhh, aku jadi ingin sekali menengoknya!" Si juling itu tersenyum-senyum dan sikapnya menjadi genit, tanda bahwa kalau temannya yang gendut itu lebih suka makan enak, dia sendiri agaknya lebih memperhatikan wanita cantik.

"Hushh! Apa kau sudah bosan hidup? Kau tahu apa?" cela si gendut yang agaknya selain doyan makan enak juga paling tahu akan keadaan dalam istana itu. "Ong-ya agaknya jatuh cinta kepada gadis ini dan karena itulah kita sekarang harus masak semua bahan simpanan seperti mengadakan pesta besar. Semua ini untuk disuguhkan kepada gadis itu! Masak pauwhi, sarang burung, daging capit kepiting, sup kaki biruang, hemmm... hebat deh!"

Tukang masak gendut ini mengusap air liurnya ketika menyebutkan nama masakan-masakan mewah ini dan diam-diam Pek Lian juga menelan ludahnya. Tentu Bwee Hong yang mereka bicarakan, pikirnya. Wah, Bwee Hong agaknya menjadi tamu terhormat dan disuguhi makanan lezat-lezat sedangkan ia sendiri harus bersembunyi-sembunyi setengah kelaparan!

Tiga orang koki itu kini sibuk memasak sayuran yang tadi disebutkan oleh si gendut dan Pek Lian semakin menderita karena bau masakan itu sung-guh luar biasa sedapnya, apa lagi bagi seorang yang sedang kelaparan seperti dirinya. Ia tahu bahwa kalau masakan-masakan itu sudah selesai dan siap, tentu para koki itu akan menarik tali yang agaknya menjadi penyambung tanda rahasia bagi para pelayan bahwa masakan telah siap dan para pelayan itu akan datang mengangkut masakan-masakan tadi.

Maka Pek Lian pun siap-siap. Ketika masakan-masakan itu sudah selesai dan dipindahkan dari tempat masak ke dalam mangkok-mangkok besar, tiba-tiba Pek Lian menggerakkan tangannya. Terdengarlah suara gedombrangan bi-sing sekali di lain ruangan dapur itu, di mana disimpan mangkok piring dan panci-panci. Mendengar ini, para koki itu terkejut.

"Wah, wah, jangan-jangan ada kucing lagi masuk ke sana!" kata si gendut yang segera berlari ke tempat itu disusul oleh dua orang temannya.

Pek Lian cepat meloncat keluar dan dengan cekatan sekali ia bekerja. Tak lama kemudian ia sudah kembali ke tempat persembunyiannya, membawa sebuah mangkok besar terisi nasi dengan lauk-pauknya, yaitu pauwhi, sarang burung, capit kepiting, dan sup cakar biruang. Lezat! Ia makan dengan lahapnya, dengan tangan saja karena dalam keadaan tergesa-gesa itu ia lupa menyambar sumpit. Hatinya girang dan geli ketika mendengar tiga orang itu kembali ke dalam dapur sambil mengomel, akan tetapi agaknya mereka tidak tahu bahwa masakan-masakan itu telah berkurang.

Ketika akhirnya pelayan-pelayan datang mengangkut masakan-masakan, Pek Lian sudah selesai mengisi perutnya dan iapun menyelinap dan membayangi para pelayan yang membawanya ke tempat di mana sahabatnya ditahan! Di lain saat, Pek Lian telah bersembunyi di atas genteng kamar Bwee Hong dan mengintai ke dalam. Dilihatnya Bwee Hong duduk menghadapi meja, dilayani oleh dua orang pelayan wanita dan benar saja, sahabatnya yang cantik itu diperlakukan sebagai seorang tamu kehormatan.

Akan tetapi Bwee Hong tidak kelihatan gembira, bahkan sebaliknya, sahabatnya yang cantik itu kelihatan pucat dan agak kurus dan menghadapi hidangan lezat itu dengan wajah gelisah dan duka. Karena agaknya kurang bernafsu, maka tidak lama Bwee Hong makan, lalu ia me-nyuruh para pelayan membersihkan meja. Tak lama kemudian, gadis itu nampak duduk termenung ditemani oleh dua orang pelayan yang agaknya juga bertugas untuk menjaga dan mengamatinya.

Selagi Pek Lian berniat untuk meloncat masuk, tiba-tiba terdengar suara orang dan Pek Lian melihat seorang laki-laki setengah tua yang pakaiannya mewah dan perutnya gendut, yang memasuki kamar Bwee Hong itu diikuti oleh empat orang dayang muda-muda dan cantik-cantik.

Melihat masuknya kepala bajak ini, Bwee Hong bangkit dari tempat duduknya dan memandang dengan sinar mata bertanya-tanya dan alis berkerut. Sudah sehari semalam ia ditahan di situ sebagai tamu terhormat dan ia masih menanti berita tentang Pek Lian, dan mencari kesempatan untuk bertanya tentang kakaknya.

"Bagaimana kabarnya dengan usaha mencari sahabatku itu?" Bwee Hong segera menyambutnya dengan pertanyaan ini.

Kepala bajak yang gendut itu lalu memberi isyarat kepada para dayang dan pelayan yang segera meninggalkan kamar itu dan menutupkan daun pintunya dari luar, kemudian mereka duduk di luar bersama dengan tiga orang pembantu utama kepala bajak itu yang agaknya memang mengawal dan menanti di luar.

Dari atas genteng Pek Lian dapat melihat bahwa selain tiga orang itu, terdapat pula belasan orang penjaga yang agaknya siap membantu kalau sampai pimpinan mereka membutuhkan tenaga mereka. Keadaan ini membuat Pek Lian menjadi waspada dan tidak berani turun tangan secara lancang. Iapun mengintai ke dalam kamar dan memperhatikan pertemuan antara sahabatnya dan kepala bajak itu.

"Belum berhasil, nona. Kalau sahabatmu itu tidak mendapatkan perahu untuk menyelamatkan diri, setelah tercebur ke dalam lautan, mana mungkin ia dapat diharapkan tinggal hidup? Di daerah itu terdapat banyak ikan hiunya yang ganas. Jadi, hanya ada dua kemungkinan. Pertama, ia menemukan perahu dan berhasil menyelamatkan diri, atau ke dua, yaaahh... nyawanya sukar tertolong!"

"Ahhh....!" Bwee Hong mengeluh sambil menutupi mula dengan kedua tangannya.

Hening sejenak, kemudian kepala bajak laut itu berkata, suaranya halus seperti juga sikapnya, "Nona, engkau telah menjadi tamuku, dan aku akan tetap mencari sampai anak buahku tahu di mana adanya sahabatmu itu. Akan tetapi sampai sekarang aku belum mengenal namamu!"

Agaknya Bwee Hong merasa tidak enak juga kalau tidak memperkenalkan nama, karena memang sesungguhnya sikap kepala bajak ini amat baik selama ia menjadi tamu, balikan baru sekarang kepala bajak ini datang menjenguknya. "Namaku Chu Bwee Hong...."

"Nona Chu, sungguh aku merasa berbahagia sekali mendapatkan kesempatan bertemu dan berkenalan denganmu. Aku ingin sekali mendengar sendiri bagaimana jawabanmu terhadap usul yang kuajukan pagi tadi. Engkau tentu telah mendengarnya dari pelayan dan utusanku, bukan?"

Sepasang mata yang jernih dan indah itu tiba-tiba mengeluarkan sinar berkilat dan Bwee Hong bangkit berdiri dengan sikap marah. "Aku sudah mendengarnya dan justeru karena itulah aku akan menjawab dan menegurmu! Sudah kukatakan kemarin bahwa anak buahmu menyerang perahu Pangeran Jepang itu untuk membajak, bukan untuk menolongku! Kemudian, engkau memperlakukan aku dengan baik, sudah kuduga bahwa tentu ada pamrih sesuatu yang busuk. Ternyata benar, engkau hendak membujuk aku menjadi isterimu! Hemm, dengarlah. Aku tidak sudi menerimanya dan kalau sampai besok engkau tidak berhasil mendengar tentang sahabatku, aku akan pergi dari sini!"

Kepala bajak itu menarik napas panjang. "Aku dapat mengerti penolakanmu, nona. Engkau seorang dara yang cantik jelita dan berkepandaian tinggi. Akan tetapi, engkau belum tahu siapa adanya aku. Kalau engkau menjadi isteriku, nona Chu, berarti engkau akan mendapatkan kemuliaan, kedudukan tinggi dan juga menjadi kaya."

Bwee Hong teringat akan kakaknya dan ia mengangkat mukanya memandang, lalu bertanya dengan suara ketus, "Siapakah engkau?"

"Nona Chu, dengarlah. Aku adalah raja di lautan sebelah selatan, aku hanya dikenal dengan sebutan Lam-siauw-ong (Raja Muda Selatan)."

"Ehh...?" Bwee Hong memotongnya dengan kaget dan juga dengan wajah mengandung kekecewaan. "Jadi engkau bukan Tung-hai-tiauw?"

Kepala bajak itu mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. Hatinya kecewa pula karena nona yang dicintanya ini ternyata mengira dia orang lain, orang yang selama ini memang menjadi saingannya! "Bukan! Tung-hai-tiauw itu adalah seorang di antara kami, di antara tiga raja bajak di lautan ini, dan dia kebetulan pada saat ini sedang menduduki kursi pimpinan."

Pek Lian yang ikut mendengarkan percakapan itu, juga sama kecewanya dengan Bwee Hong. Kalau orang ini bukan Si Rajawali Lautan Timur, berarti bahwa dua orang di antara Sam-ok itu tidak datang ke tempat ini, dan dengan demikian mereka telah kehilangan jejak dari A-hai dan Seng Kun yang dibawa oleh kedua orang raja penjahat itu. Orang ini telah memiliki kedudukan tinggi dan kuat, kalau orang ini masih merupakan pembantu saja dari Rajawali Lautan, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya raja penjahat itu sendiri.

Bwee Hong tidak tahu banyak tentang dunia penjahat dan ia hanya tahu sedikit-sedikit karena mendengar cerita Pek Lian. Ia sudah mendengar dari sahabatnya itu bahwa Sam-ok adalah tiga raja penjahat yang kini menjadi pembantu-pembantu dari Raja Kelelawar yang dianggap sebagai datuknya kaum sesat. Akan tetapi mengapa kini kepala bajak ini mengatakan bahwa Rajawali Lautan kini menduduki kursi pimpinan?

Biarpun hatinya kecewa karena merasa seperti kehilangan jejak kakaknya, akan tetapi keinginan tahu membuatnya bertanya, "Apa maksudmu mengatakan bahwa dia menduduki kursi pimpinan?"

"Duduklah, nona dan agaknya engkau belum mengenal kami. Baiklah, engkau perlu mengenal keadaanku lebih baik. Lautan di sebelah timur ini dikuasai oleh kami bertiga dan kami masing-masing mempunyai anak buah sendiri. Kami bertiga adalah Tung-hai-tiauw yang menguasai wilayah timur, yang ke dua adalah Si Petani Lautan yang menguasai wilayah utara, sedangkan ke tiga adalah aku sendiri yang menguasai wilayah selatan. Kami masing-masing tidak saling melanggar wilayah dan melakukan operasi di batas wilayah masing-masing. Tempat kami menyerang perahu Jepang itu adalah batas wilayah kami."

"Jadi kalian bertiga adalah saingan-saingan yang saling bermusuhan?" tanya Bwee Hong yang tertarik juga hatinya. Kepala bajak ini biarpun seorang penjahat, namun sikapnya bukan seperti penjahat yang kasar.

"Pada mulanya kami memang saling bermusuhan sehingga terjatuh banyak korban di antara kami sendiri. Lalu kami bermufakat untuk bersatu dan yang paling lihai di antara kami berhak menduduki kursi pimpinan, menempati gedung istana lautan yang kami bangun bersama. Nah, ternyata Rajawali Lautan yang berturut-turut menang dalam pemilihan dan menjadi raja lautan. Setiap tiga tahun sekali kami mengadakan pertemuan dan mengadu ilmu. Tiga tahun telah lewat sejak pemilihan yang lalu dan di dalam bulan ini juga, kurang beberapa hari lagi, kami akan mengadakan lagi pertemuan. Tiga hari lagi dan aku yakin akan dapat mengalahkan Si Rajawali Lautan karena selama ini aku telah berlatih dengan tekun. Tentu saja aku harus dapat pula mengalahkan Petani Lautan yang memperdalam ilmunya yang hebat, yaitu ilmunya Ban-seng-kun (Silat Selaksa Bintang) yang hebat. Dan engkau.... kalau engkau menerima pinanganku, nona, engkau akan menjadi ratu lautan!"

Baik Bwee Hong maupun Pek Lian yang ikut mendengarkan, menjadi ngeri. Macam apakah Ilmu Silat Selaksa Bintang itu? Sampai di mana kehebatannya? Dan si gendut ini agaknya memiliki ilmu yang tidak kalah tingginya, karena buktinya dia merasa yakin akan dapat menangkan Petani Lautan dan juga Rajawali Lautan! Betapa banyaknya terdapat orang-orang lihai di dalam dunia kaum sesat.

"Engkau akan merasa ngeri kalau menyaksikan Ilmu Silat Selaksa Bintang itu, nona. Petani Lautan itu tidak pernah memakai baju karena tubuh atasnya selalu penuh dengan keringat yang keluar bagaikan sumbernya yang tidak pernah kering. Dia selalu membawa tempat air ke manapun dia pergi untuk minum setiap saat. Minumnya banyak sekali, melebihi kuda karena keringatnya luar biasa banyaknya. Di dalam pertempuran, keringatnya itu memercik-mercik keluar dan kalau tertimpa sinar matahari atau lampu, dapat menimbulkan sinar berwarna-warni dan berkelap-kelip seperti selaksa bintang di langit.

"Itulah sebabnya maka ilmunya dinamakan, Selaksa Bintang dan gerakannya demikian cepatnya seperti bintang beralih. Siapapun yang bertanding melawannya akan menjadi basah kuyup tersiram keringat-keringat itu, apa lagi kalau keringat itu menyerang ke arah muka lawan, akan membuat mata menjadi silau dan gerakan Petani Lautan yang cepat itu akan sukar dapat diikuti lagi."

Bwee Hong mendengarkan cerita itu dengan alis berkerut dan diam-diam ia kurang begitu percaya akan cerita ini. Ilmu sesat macam itu tidak perlu ditakuti, pikirnya. Yang hebat hanya luarnya saja, akan tetapi pada hakekatnya, tidak mengandung inti yang kuat dari dalam. Akan tetapi, Pek Lian yang sudah sering menyaksikan betapa ganas dan jahatnya ilmu orang-orang dari dunia hitam, mendengarkan dengan hati ngeri dan jijik. Betapa menjijikkan kalau harus bertanding melawan Petani Lautan itu. Keringat orang itu akan menyiram seluruh tubuhnya, mukanya dan ihh, betapa keras dan busuk baunya dan menjijikkan! Pek Lian bergidik.

"Akan tetapi, sehebat itu, dia masih kalah oleh Rajawali Lautan?" Bwee Hong bertanya, bukan hanya ingin tahu, akan tetapi juga untuk mengikat tuan rumah itu dalam membicarakan urusan lain agar urusan "pinangan" itu tidak diulang lagi.

"Nona Chu, agaknya engkau belum tahu siapa Rajawali Lautan itu. Dia amat lihai, dia malah orang pertama dari Sam-ok, Si Tiga Jahat di daratan besar. Bukan saja ilmu silatnya yang amat tinggi, akan tetapi sepuluh buah jarinya mempunyai kuku yang kuat seperti baja, dan juga dia memakai baju emas yang membuatnya kebal terhadap segala macam senjata."

"Hemm, jadi dia kebal?"

"Benar, dan kekebalan serta kuku-kuku jari tangannya itulah yang berbahaya."

"Kalau begitu, bagaimana engkau akan dapat menang menghadapinya?"

Si gendut itu menarik napas panjang. "Entahlah, akan tetapi pokoknya, aku harus menang dan aku telah memperdalam ilmu pedangku yang kuberi nama Hun-kin-kiam (Pedang Pemutus Urat), mudah-mudahan aku akan dapat mengalahkan mereka berdua."

"Mudah-mudahan."

"Dan engkau menjadi ratu."

"Sudahlah, jangan bicara soal itu. Aku tidak dapat menjadi isterimu."

"Kenapa tidak dapat? Kurang apakah aku ini?"

"Pokoknya aku tidak mau, aku belum mau menikah."

"Engkau harus mau!"

Bwee Hong meloncat berdiri dan menegakkan kepalanya. "Eh? Siapa yang mengharuskan? Aku tidak mau dan hendak kulihat engkau akan dapat berbuat apa terhadap diriku!" Bwee Hong menantang berani. Agaknya tidak ada jalan lain baginya kecuali menggunakan kekerasan. Kakaknya tidak berada di sini dan agaknya sukar mengharapkan bantuan Pek Lian, maka jalan satu-satunya hanya menantang dan menggunakan kekerasan. Menang dan bebas, atau kalau kalah biarlah ia mati di situ dari pada harus menjadi isteri si perut gendut ini.

Lam-siauw-ong juga melompat dari tempat duduknya. Mukanya yang bulat itu menjadi merah, matanya yang lebar itu melotot semakin lebar dan kepalanya yang bundar itu mengangguk-angguk. "Bagus, akupun ingin sekali melihat sampai di mana kelihaianmu agar dapat kupertimbangkan apakah engkau memang patut menjadi ratuku." Si gendut ini menepuk tangan dua kali dan tiga orang pembantunya yang lihai itupun bermunculan dari pintu, berdiri dengan sikap hormat.

"Nona Chu ingin memperlihatkan kepandaiannya. Coba kalian menangkapnya dan kalau berhasil, ikat kaki tangannya!"

Tanpa bertanya lagi, tiga orang pembantu setia ini maklum dan dapat menduga bahwa tentu nona ini menolak kehendak raja mereka, maka setelah memberi hormat kepada Lam-siauw-ong, mereka lalu menghampiri Bwee Hong dan mengurungnya dengan kedudukan segi tiga.

Bwee Hong berdiri tegak dan siap untuk menghadapi pengeroyokan mereka. Bahkan ia tidak mau membuang waktu lagi karena maklum bahwa perkelahian yang akan dihadapi ini baginya bukan sekedar menguji kepandaian, melainkan perjuangan untuk mencapai kemenangan dan untuk meloloskan diri!

Begitu tiga orang lawan itu datang dekat, ia sudah mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan tubuhnya sudah bergerak cepat sekali mengirim serangan kepada orang yang di depannya, sedangkan kakinya mencuat dalam tendangan kilat ke arah lawan di sebelah kanan.

Dua orang lawan itu terkejut bukan main. Hampir mereka tidak melihat gerakan nona itu dan tahu-tahu orang yang berada di kanan itu telah kena tendangan pada pahanya! Dan orang yang berada di depannya itu hanya menggulingkan tubuh saja dapat terhindar. Dan Bwee Hong lalu mengamuk! Tiga orang itu berusaha untuk mengurungnya rapat, akan tetapi mereka itu bahkan menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan Bwee Hong yang membuat mereka jatuh bangun!

Melihat ini, Lain-siauw-ong memandang dengan wajah berseri-seri dan tiada hentinya memuji. "Bagus! Bagus! Ginkang yang sempurna! Hebat! Pantas menjadi ratuku, lebih dari pada pantas!" Dia bertepuk tangan tiga kali dan muncullah lima orang pembantu lain yang dia perintahkan untuk membantu tiga orang pertama dan mengeroyok Bwee Hong.

"Keparat, curang tak tahu malu!" Bwee Hong memaki dan Pek Lian yang berada di atas juga merasa marah sekali menyaksikan kecurangan si gendut yang main keroyok itu. Akan tetapi ia tidak menurutkan hati, tidak mau turun tangan membantu sebelum melihat kesempatan baik agar ia dan sahabatnya itu dapat lolos dari pulau yang dihuni oleh para bajak itu.

Andaikata ia turun membantu dan mereka menang sekalipun, masih amat sukar untuk dapat lolos dari pulau itu karena para penjahat itu tentu akan merintangi dan menghadapi mereka di laut, sama saja dengan membunuh diri atau menyerahkan diri!

Tidak, ia harus menanti saat baik. Hanya kalau terpaksa saja, kalau melihat Bwee Hong menghadapi ancaman maut, baru ia akan turun tangan dengan nekat, kalau perlu mati bersama dengan sahabatnya itu.

Biarpun dikeroyok delapan, namun Bwee Hong tetap mengamuk dan semua pengeroyoknya telah merasakan pukulan atau tendangannya. Semua perabot dan isi kamar menjadi porak-poranda ketika para pengeroyok itu terlempar ke sana-sini. Akan tetapi, tiba-tiba Lam-siauw-ong sendiri maju dan begitu dia menyerang.

Bwee Hong terkejut sekali. Ternyata raja penjahat ini benar-benar amat lihai! Bahkan melawan satu sama satu saja ia belum tentu dapat mengalahkan si gendut ini! Maka ia menjadi penasaran dan marah sekali. Memiliki kepandaian yang tinggi, namun si gendut ini masih mengerahkan anak buahnya untuk mengeroyok!

Akan tetapi Pek Lian mengerti mengapa si gendut itu tadi tidak maju sendiri dan menyuruh orang-orangnya untuk mengeroyok. Tentu selain ingin menguji sampai di mana kelihaian Bwee Hong, juga si gendut ini ingin menangkap Bwee Hong tanpa melukainya, maka dia menggunakan tenaga banyak orang. Dan memang dugaannya ini tepat.

Setelah dikeroyok sembilan orang, maka akhirnya Larn-siauw-ong berhasil menotok pundak kiri Bwee Hong. Separuh tubuh dara itu menjadi lumpuh dan ketika si gendut "memeluk dan meringkusnya, iapun tidak dapat berkutik dan di lain saat dara itu telah dibelenggu kaki tangannya!

Pek Lian sudah mengepal tinju. Ia tentu akan nekat kalau melihat Bwee Hong hendak diperkosa, akan tetapi ternyata si gendut iba, biarpun kepala bajak, bukanlah seorang yang kasar. Dia sama sekali tidak memperkosa, bahkan menciumpun tidak! Agaknya, di depan delapan orang anak buahnya, si gendut ini menahan diri dan karena itulah maka dia dihormati sekali oleh para anak buahnya. Setidaknya, biarpun dia kepala bajak, namun julukannya adalah Raja Muda Selatan!

Setelah tubuh Bwee Hong direbahkan di atas pembaringan, kedua kaki dibelenggu, kedua lengan diikat di belakang tubuh dan mulutnya juga diikat saputangan agar jangan mengeluarkan teriakan atau makian, si gendut menyuruh semua anak buahnya keluar lagi. Mereka keluar, ada yang terpincang-pincang, ada yang mengaduh memegangi perut, ada yang kepalanya benjol-benjol dan ada yang sebelah matanya menghitam.

Kini tinggallah si gendut berdua dengan Bwee Hong dan kembali Pek Lian siap untuk menolong sahabatnya. Akan tetapi, Lam-siauw-ong hanya mendekati pembaringan sambil berkata, "Nona Chu, salahmu sendirilah sehingga terpaksa aku membelenggumu. Akan tetapi, engkau masih kuberi waktu untuk berpikir selama tiga hari ini. Setelah selesai menghadiri pertemuan antara pimpinan lautan, baru aku akan memaksa engkau mengambil keputusan, yaitu menjadi isteriku secara suka rela ataukah secara paksaan!"

Setelah berkata demikian, Lam-siauw-ong meninggalkan kamar itu. Tak lama sesudah si gendut ini pergi, barulah Pek Lian cepat melayang turun ke dalam kamar itu. Tadi, ketika mencari-cari di dalam istana, ia menemukan gudang senjata dan ia telah memilih sebatang pedang untuk dibawa berlindung diri.

Melihat melayangnya sesosok tubuh ke dalam kamarnya, Bwee Hong cepat memandang dan dapat dibayangkan betapa girangnya melihat bahwa yang melayang turun itu adalah Pek Lian yang ta-dinya dikhawatirkan telah terkubur di perut ikan hiu. Kalau saja mulutnya tidak diikat dengan kain, tentu ia sudah berteriak saking girangnya.

"Ssttt!" Pek Lian menaruh telunjuk kanan di depan mulut memberi isyarat kepada sahabatnya itu agar tidak bersuara. Kemudian dengan cekatan ia meloncat ke dekat pembaringan, mencabut pedang curiannya dan membebaskan Bwee Hong dari belenggu.

Setelah bebas dari belenggu, Bwee Hong merangkul sahabatnya itu. Sejenak mereka berangkulan tanpa ada sepatahpun kata keluar dari mulut mereka. Kata-kata tidak berarti lagi untuk menya-takan kebahagiaan hati mereka masing-masing pada saat itu, bahkan kata-kata dapat berbahaya karena dapat terdengar para penjaga di luar pintu.

"Mari kita pergi, melalui atas saja," bisik Pek Lian.

Bwee Hong mengangguk dan dara ini telah mendapatkan kembali semangatnya setelah melihat sahabatnya ini. Seperti biasa, biarpun kepandaiannya masih kalah dibandingkan dengan Bwee Hong, namun Pek Lian mengambil sikap memimpin. Ia sudah mendahului meloncat ke atas dan dengan selamat mereka berdua lolos dari kamar itu tanpa menimbulkan suara berisik dan keduanya di lain saat telah berdiri di atas genteng dan memandang ke kanan kiri.

"Kita ke mana, adik Lian?" tanya Bwee Hong.

Karena tidak melihat seorangpun penjaga. Pek Lian berbisik memberitahukan rencananya, "Kita harus dapat cepat meninggalkan pulau ini sebelum ketahuan. Kita naik perahu dan mencari Istana Laut di mana tinggal Si Rajawali Lautan!"

"Kau tahu juga?"

"Aku tadi ikut mendengarkan cerita Lam-siauw-ong. Tapi kita harus mempunyai seorang petunjuk jalan. Kita tawan seorang anggauta bajak dan memaksanya membawa kita ke sana. Nah, mari ikuti aku, enci, dan berhati-hatilah. Sekali ketahuan dan kita dikepung, akan sukar sekali meloloskan diri."

Dengan Pek Lian menjadi petunjuk jalan di depan karena Pek Lian sudah mulai mengenal tempat itu, mereka menuju ke belakang gedung besar itu, di tempat sunyi dari mana Pek Lian tadi datang dan bersembunyi. Mereka berdua mendekam di balik pohon dalam taman batu karang, pohon buatan dari batu karang pula dan menanti. Tak lama kemudian rombongan penjaga meronda lewat dan kedua orang gadis itu membiarkan mereka lewat tanpa mengganggu.

Setelah keadaan sunyi kembali dan aman, barulah Pek Lian mengajak Bwee Hong melanjutkan perjalanan. Dengan berindap-indap dan hati-hati, mereka menyelinap dan menyusup, menuju ke pantai. Untung bagi mereka bahwa pantai itu gelap dan malam hanya diterangi bintang saja. Di pantai itu terdapat banyak perahu dan terdapat pula beberapa orang anggauta bajak yang hilir-mudik, dan ada pula yang bertugas menjaga pantai.

"Enci, kita harus dapat menangkap seorang!"

"Lian-moi, sekarang giliranku. Engkau sudah terlalu banyak bekerja, dan aku hanya menyusahkan saja. Sekarang biarkan aku yang turun tangan menangkap seorang bajak."

Pek Lian mengangguk. Sudah tentu saja ia percaya akan kemampuan Bwee Hong dan kalau ia menolak permintaan itu, mungkin saja Bwee Hong akan tersinggung dan merasa tidak percaya.

"Baiklah, enci Hong, asal engkau berhati-hati saja. Aku menanti di sini," bisiknya kembali.

Bwee Hong mengangguk dan tak lama kemudian dara itu berkelebat lenyap. Diam-diam Pek Lian merasa kagum sekali. Ia sudah tahu bahwa Bwee Hong terutama sekali amat unggul dalam ilmu ginkangnya. Ia sendiri kalah jauh dibandingkan dengan Bwee Hong walaupun ia sendiri telah menerima gemblengan dari Huang-ho Su-hiap (Empat Pendekar Huang-ho) bahkan kemudian diperdalam oleh bimbingan Liu-twako atau Liu-taihiap.

Akan tetapi kalau diingat bahwa Bwee Hong mewarisi ilmu keturunan dari mendiang Sin-yok-ong, maka kehebatan ginkangnya itu memang tidaklah mengherankan. Betapapun juga, Pek Lian merasa tidak enak kalau membiarkan sahabatnya itu bekerja tanpa perlindungannya, maka diam-diam iapun membayangi.

Ia melihat Bwee Hong telah berada di ujung pantai, agaknya mendekati dua orang penjaga yang terpencil. Dara itu mengambil dua potong batu karang sebesar kepalan tangan, kemudian menga-yun tangannya ke kanan kiri. Terdengarlah dua suara berisik berturut-turut di kanan kiri tempat itu.

"Eh, apa itu?" terdengar dua orang penjaga bertanya kaget dan merekapun lalu bangkit berdiri dan berpencar ke kanan kiri, hendak memeriksa apa gerangan yang menimbulkan bunyi berisik tadi.

Setelah jarak antara mereka cukup jauh, tiba-tiba Bwee Hong meloncat ke depan dan sebelum orang itu sempat berteriak, ia sudah merobohkannya dengan pukulan pada tengkuknya, menggunakan ta-ngan miring. Orang itu roboh pingsan lalu dara cantik dan perkasa itu menyeretnya pergi ke tempat semula ia meninggalkan Pek Lian.

Akan tetapi, Bwee Hong merasa kaget ketika ia tidak mendapatkan lagi Pek Lian di tempat itu. Ia melemparkan tubuh orang yang pingsan itu ke atas tanah dan ia sendiri lalu berdiri dan memandang ke sana-sini, mencari-cari Pek Lian. Tak lama kemudian, muncullah Pek Lian dan dara ini tersenyum, menyerahkan sebatang pedang kepada Bwee Hong.

"Ih, engkau membuatku gelisah, adik Lian. Kemana saja engkau pergi dan dari mana kau mendapatkan pedang ini?"

Sambil berbisik Pek Lian menceritakan bahwa ketika melihat Bwee Hong merobohkan seorang di antara dua penjaga, ia berpendapat bahwa kalau penjaga ke dua tidak dirobohkan pula, tentu penjaga itu akan kehilangan kawannya dan menjadi curiga. "Karena itu, aku merobohkannya, dan kini dia tersembunyi dalam keadaan tertotok dan kaki tangannya terikat, mulutnyapun kusumbat. Selain itu, juga pedangnya ini tentu berguna bagimu. Aku sendiri sudah mengambil pedang dari gudang senjata. Mari kita kerjakan tawanan itu, enci!"

Bwee Hong menerima pedang dan semakin kagum. Sungguh seorang dara muda yang cerdas sekali, pikirnya. Ia sendiri sama sekali tidak memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu dan kalau tidak bersama Pek Lian, mungkin perbuatannya menawan seorang bajak ini akan cepat ketahuan dan hal ini tentu akan membahayakan sekali. Maka iapun menyerahkan segala sesuatu selanjutnya kepada Pek Lian, juga ketika "mengerjakan" tawanan itu.

Dengan beberapa kali tepukan, Pek Lian menyadarkan tawanan itu, akan tetapi begitu orang itu membuka mata, ujung pedang di tangan Pek Lian telah menempel di lehernya. "Engkau tentu belum ingin mati, bukan?" bisiknya dengan suara penuh ancaman.

Orang itu terkejut sekali, apa lagi ketika merasa betapa lehernya sakit tertusuk ben-da tajam. "Belum, ampunkan aku!" bisiknya.

"Baik, kamipun tidak ingin membunuhmu. Kami hanya ingin engkau membantu kami melarikan diri dari sini. Kalau sampai kami berhasil lolos dengan selamat, engkau akan kami ampuni dan tidak kami bunuh. Mengerti?"

Bajak itu mengangguk dan matanya terbelalak ketakutan. "Ampun aku mempunyai anak isteri, ampunkan aku dan aku akan berusaha membantu ji-wi lihiap (nona pendekar berdua)!"

"Bagus! Nah, sekarang kita harus dapat menggunakan sebuah perahu untuk melarikan diri. Hayo bawa kami mendapatkan sebuah perahu yang baik. Awas, jangan sampai ketahuan kawan-kawanmu, karena kalau ketahuan, terpaksa aku akan membunuhmu lebih dulu sebelum kami mengamuk dan membasmi mereka semua!"

"Baik, saya tidak berani menipumu, nona, saya masih ingin hidup."

"Kalau begitu, mari kita ke sana," Pek Lian menunjuk ke kiri, ke tempat yang nampaknya sunyi untuk mencari perahu di sana.

"Tidak, di sana berbahaya."

"Mengapa?" Pek Lian menghardik. "Di sana sunyi tidak nampak penjaga dan kulihat ada beberapa buah perahu di sana." Ia merasa curiga.

"Jangan salah duga, nona. Di sana ada penjaga-penjaga tersembunyi, memang disengaja karena semua pelarian tentu akan mencari perahu di sana. Tidak, mari kita mencari ke sana." Orang itupun menunjuk ke kanan, arah sebaliknya dari yang dikehendaki Pek Lian.

Sebelah kanan itu nampak ramai oleh hilir-mudiknya para anggauta bajak. Tentu saja dia dan Bwee Hong meragu. Melihat keraguan mereka, bajak yang sudah tertawan itu berkata, "Tentu ji-wi mengetahui bahwa sekali saya menipu, ji-wi akan membunuh saya. Marilah, saya tidak menipu, saya masih sayang nyawa."

Pek Lian dan Bwee Hong menurut, akan tetapi mereka tidak pernah melepaskan pedang yang selalu siap untuk menyerang bajak ini kalau-kalau dia mengkhianati mereka. Akan tetapi, setelah melalui jalan berliku-liku, akhirnya bajak itu dapat menemukan sebuah perahu dan tidak ada seorangpun penjaga di situ.

Cepat dia melepaskan tali perahu dan mereka bertiga lalu naik ke dalam perahu dan mereka bertiga bekerja sama mendayung perahu itu meninggalkan pantai. Karena langit mulai penuh dengan awan hitam, dan cahaya bintang-bintang di langit yang sudah muram itu kini menjadi semakin gelap, maka hal ini amat menguntungkan mereka yang sedang berusaha untuk melarikan diri.

Akan tetapi, tiba-tiba bajak itu mengeluarkan seruan kaget dan nampak panik. Sungguh tidak kebetulan sekali, dari depan datang meluncur empat buah perahu bajak yang baru saja pulang! Tentu saja hal ini sama sekali tidak disangka-sangkanya.

"Celaka, kita ketahuan!" katanya dan diapun mendayung perahu itu dengan sepenuh tenaga. Dan memang benar. Dari perahu-perahu itu terdengar bentakan-bentakan dan perahu-perahu itupun lalu memutar haluan dan melakukan pengejaran!

Melihat ulah si bajak yang mati-matian mendayung perahu itu, Pek Lian dan Bwee Hong maklum bahwa bajak itu tidak mengkhianati mereka dan memang pertemuan dengan perahu-perahu bajak itu merupakan hal yang tidak disangka-sangka dan di luar perhitungan, maka mereka berduapun lalu membantu bajak itu mendayung perahu menambah lajunya perahu yang hanya terdorong oleh sedikit angin pada layar terkembang yang hanya kecil itu.

Akan tetapi, begitu mendapat bantuan dua orang dara perkasa itu, perahu kecil melaju lebih cepat dan empat buah perahu bajak yang lebih besar dengan layar yang lebih lebar itu tertinggal. Mereka berteriak-teriak dan kini merekapun mengerahkan anak buah bajak untuk mendayung sehingga kembali jarak di antara mereka tidak begitu jauh.

Kalau pengejaran itu terjadi di darat, tentu Pek Lian dan Bwee Hong takkan merasa gentar. Mereka berdua dapat melarikan diri lebih cepat, dan kalau perlu harus bertanding sekalipun, mereka tidak takut menghadapi pengeroyokan duapuluh lebih bajak-bajak ini. Akan tetapi, mereka berada di atas perahu-perahu di tengah lautan, daerah yang asing bagi mereka dan kalau sampai mereka dapat disusul, tentu keadaan mereka berbahaya sekali.

Para bajak itu tentu saja lebih mahir menjalankan perahu dan lebih mahir pula berkelahi dalam air kalau sampai perahu itu digulingkan. Maka Pek Lian dan Bwee Hong lalu mati-matian mengerahkan tenaga untuk mendayung perahu kecil itu.

"Cepatan! Cepatan lagi! Ah, untung ji-wi sungguh hebat dapat mendayung begini kuat..... ah, kita dapat meninggalkan mereka!" Bajak itu terengah-engah memuji karena memang dia kagum sekali terhadap dua orang gadis ini....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.