Darah Pendekar Jilid 13

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Darah Pendekar Jilid 13
Sonny Ogawa

Darah Pendekar Jilid 13 karya Kho Ping Hoo - SEMENTARA itu, langit makin gelap karena berkumpulnya awan-awan mendung dan tiba-tiba perahu mereka terguncang keras dan terayun tinggi, mengejutkan Pek Lian dan Bwee Hong.

Novel silat Darah Pendekar karya Kho Ping Hoo

"Apa yang terjadi?" tanyanya kepada bajaik itu.

"Alih, sungguh nasib kita yang buruk. Agaknya sebentar lagi badai akan mengamuk dan ini tidak kalah bahayanya dari pada pengejaran mereka itu! Cepat bantu saya menurunkan layar, nona. Cepat sebelum badai melanda kita!"

Karena maklum akan kemahiran bajak itu menangani perahu, Pek Lian dan Bwee Hong cepat membantunya dengan membuta dan memang benar sekali, air laut bergelombang hebat dan angin menderu kencang. Kalau layar masih terpasang, entah apa akan jadinya dengan perahu kecil itu!

Mereka bertiga kini mengemudikan perahu dan berusaha menguasainya dengan kekuatan dayung mereka, agar perahu itu tetap berada di atas puncak ombak-ombak yang mengalun ganas. Empat buah perahu bajak yang melakukan pengejaran tadipun tahu akan bahaya dan mereka sudah sejak tadi putar haluan meninggalkan perahu kecil yang ditelan badai itu.

Semalam suntuk tiga orang dalam perahu kecil itu berjuang melawan badai lautan yang mengganas. Demikian hebatnya hempasan badai sehingga tiang layarpun patah! Kalau saja tidak ada Bwee Hong yang cepat menangkis tiang itu dengan lengannya yang kecil dan berkulit halus, tentu tiang itu akan menimpa kepala bajak itu.

"Krekkk!" Tiang sebesar paha itu patah ketika bertemu dengan lengan Bwee Hong sehingga bajak laut itu menjadi semakin kagum. Mereka terus mempertahankan perahu mereka agar tidak sampai terbalik sampai mereka hampir kehabisan tenaga dan napas. Mereka tidak tahu lagi di mana mereka berada. Sekeliling mereka hanya ada air mengganas, bahkan di antara mereka nampak puncak-puncak ombak dengan lidah-lidah yang terjulur dari sana-sini seolah-olah hendak menelan mereka. Mereka tentu telah terseret jauh sekali.

Untung bagi mereka, pada keesokan harinya, bersama dengan munculnya matahari di ufuk timur, badai mereda dan air laut menjadi tenang kembali. Mereka bertiga, di bawah pimpinan si anggauta bajak yang lebih paham akan perahu, mulai berusaha memperbaiki perahu sedapat mungkin.

Untung bahwa mereka berjuang dengan gigih sehingga dayung-dayung tetap berada di tangan mereka, bahkan gulungan layar dan tiang yang patah tidak sampai lenyap terbawa ombak, diam-diam mereka bersyukur bahwa mereka dapat lolos dari lubang jarum, lolos dari ancaman maut yang mengerikan ditelan badai.

Dan bagaimanapun juga, anggauta bajak ini sudah berjasa, karena tanpa adanya orang ini, mereka berdua belum tentu akan mampu mempertahankan perahu kecil itu. Pek Lian agak paham tentang perahu dan lautan, sedangkan Bwee Hong baru saja belajar mengenal air dan perahu setelah pergi bersamanya. Mereka berdua kini sibuk membersihkan pakaian mereka yang basah dan kotor.

Melihat betapa dua orang nona itu tidak menanggapi ucapannya, bajak itupun berdiam diri dan melanjutkan pekerjaannya memperbaiki perahunya yang rusak diamuk badai. Dua orang gadis itu saling pandang. Bajak laut ini bagaimanapun juga menarik hati mereka. Seorang laki-laki yang usianya kurang lebih empatpuluh tahun, agak kurus dan kulit mukanya kehitaman karena terlalu banyak dibakar matahari. Yang menarik adalah sikapnya yang sama sekali berbeda dengan penjahat pada umumnya. Tidak kurang ajar pandang matanya, tidak kasar bicaranya dan tidak ugal-ugalan sikapnya.

"Paman, sudah berapa lamakah engkau menjadi bajak laut?" Akhirnya Pek Lian bertanya setelah selesai membereskan pakaian dan rambutnya.

Orang itu mengangkat mukanya memandang, agaknya terkejut mendengar dirinya disebut paman. "Sudah lama juga, nona. Belasan tahun sudah."

"Mengapa engkau menjadi bajak laut? Dan engkau tidak seperti bajak laut yang kasar itu."

"Nona, tidak semua anak buah Lam-siauw-ong-ya berasal dari penjahat. Lam-siauw-ongya sendiri bukan berasal dari penjahat, bahkan masih ada darah bangsawan dalam tubuhnya. Kami menganggap pembajakan di laut ini sebagai pekerjaan, bukan sebagai kejahatan. Kami tidak pernah mengganggu para nelayan, baik di lautan maupun di pantai."

"Huh, membajak masih dikatakan bukan kejahatan? Lalu apa saja yang dinamakan kejahatan kalau merampok barang orang dengan kekerasan tidak dianggap kejahatan?" Bwee Hong berkata dengan suara mengejek.

Bajak itu menarik napas panjang. "Entahlah, nona, saya sendiripun tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Akan tetapi, sebelum saya menjadi anggauta bajak dan mengabdi kepada Siauw-ong-ya, saya pernah hidup sebagai anak keluarga petani. Saya melihat kejahatan-kejahatan yang lebih ganas dan kejam dilakukan oleh para tuan tanah dan para pejabat terhadap keluarga petani miskin yang tidak mempunyai tanah, yang hanya mengandalkan tenaga dan cucuran keringat mereka untuk dapat makan setiap hari.

"Membajak memang merampas milik orang lain, akan tetapi setidaknya kami memberi kesempatan yang sama kepada pemilik barang untuk mempertahankan barang-barangnya. Akan tetapi, para tuan tanah dan pejabat di dusun-dusun itu seperti lintah yang menghisap darah para keluarga petani, sedikitpun tidak memberi kesempatan kepada para petani untuk dapat memperjuangkan hak dan nasibnya. Saya melihat mereka itu jauh lebih kejam dan jahat dari pada bajak!"

Anggauta bajak itu berhenti sebentar dan dua orang dara itu termenung karena merekapun pernah mendengar tentang kesewenang-wenangan mereka yang mengandalkan kekayaan atau kekuasaan mereka.

"Kemudian, dari dusun saya pernah pindah ke kota dan hidup sebagai buruh kasar. Dan di sanapun saya menyaksikan kekejaman-kekejaman yang luar biasa, dilakukan oleh semua orang kepada orang lain dalam memperebutkan uang dan kekuasaan. ji-wi lihiap, harap maafkan saya. Akan tetapi sesungguhnya, katakanlah bahwa pembajakan merupakan kejahatan, namun kejahatan yang sifatnya terbuka, tidak seperti kejahatan orang-orang itu yang melakukan kejahatan secara gelap dan terselubung, bahkan kadang-kadang kejahatan mereka dilindungi oleh hukum."

Dua orang dara itu kembali saling pandang. Mereka mendengar akan kekejaman-kekejaman para pembesar bahkan kekejaman yang dilakukan kaisar. Bukankah semua itupun merupakan kejahatan, bahkan amat besar, jauh lebih besar dari pada kejahatan para bajak laut ini yang hanya mempergunakan kesempatan dan mengandalkan tenaga mereka untuk merampas barang orang, dan kadang-kadang kalau pihak pemilik barang lebih kuat, mereka akan mati konyol?

Kata-kata bajak yang sederhana itu sama sekali bukan merupakan pembelaan diri seorang penjahat, bukan untuk membenarkan perbuatannya, melainkan timbul karena kepahitan melihat 'kenyataan yang terjadi di dalam dunia ramai yang sopan. Dan kepahitan-kepahitan macam ini sering kali mendorong orang untuk menjadi penjahat secara berterang!

Pek Lian teringat akan para pendekar yang berkumpul di gunung-gunung dan lembah-lembah sungai. Bukankah mereka itu melakukan gerakan menentang pemerintah karena kepahitan itu, dan bukankah merekapun dicap sebagai pemberontak-pemberontak, yaitu golongan yang dianggap paling rendah dan paling berdosa, lebih rendah dari pada perampok atau bajak?

Dan bukankah kalau perlu para pendekar yang memberontak itupun akan melakukan perampokan-perampokan dan pembajakan-pembajakan untuk menentang pemerintah? Sampai di sini jalan pikirannya, Pek Lian menjadi bingung.

"Di manakah kita sekarang, paman?" tanyanya dan suaranya kini lebih ramah, tidak seperti suara orang terhadap musuh yang ditawan, melainkan suara orang terhadap teman seperjalanan, bahkan teman senasib. Setelah mengalami ancaman badai seperti yang telah terjadi semalam, orang-orang yang bersama-sama mengalaminya terdorong untuk menjadi lebih erat dan akrab.

Mendengar pertanyaan itu, si bajak laut agaknya baru sadar dan diapun memandang ke kanan kiri sambil berkata, "Aih, kita sudah terseret jauh ke timur oleh badai semalam, nona. Dan kita harus berhati-hati daerah ini agaknya telah dekat dengan...."

Bajak laut itu berhenti bicara dan mukanya berobah pucat sekali ketika tiba-tiba terdengar suara bising yang gemeresak disertai suara melengking dan mengiang seperti suara suling yang ditiup secara aneh sekali, makin lama makin nyaring.

Sikip bajak laut itu menjadi semakin aneh. Tubuhnya menggigil dan matanya beringas, memandang ke kanan kiri dengan sikap yang amat ketakutan. Melihat ini, tentu saja dua orang dara itu menjadi terkejut dan khawatir juga.

"Paman, ada apakah?" Pek Lian bertanya.

"Nona cepat cepat belokkan arah perahu! Itulah yang kumaksudkan yang kutakuti suara itu. Ah, daerah ini termasuk daerah Siluman Lautan! Itu adalah suara pintu masuk sarang mereka. Pusaran Maut! Dalam jarak selemparan batu, tidak ada benda atau mahluk yang mampu terlepas dari daya sedotnya. Mari kita menghindar cepat, nona!"

Tentu saja Pek Lian tidaklah setakut orang itu. Bukan hanya karena ia lebih tabah dan sudah terlalu sering menghadapi ancaman bahaya dengan mata terbuka, akan tetapi juga karena ia belum mengenal tempat ini dan karenanya ia tidak begitu percaya akan keterangan orang itu.

Akan tetapi tiba-tiba ia dan Bwee Hong melihat di kejauhan ada kabut tebal membubung tinggi berbentuk tiang layar yang luar biasa besarnya dan mengeluarkan suara gemuruh. Dua orang dara itu menjadi terke-jut dan gentar juga, mulai percaya akan keterangan bajak laut itu. Jangan-jangan keterangan itu tidak bohong! Mereka lalu cepat-cepat membantu untuk memutar haluan perahu mereka.

Bajak laut itu berhasil memperbaiki perahu dan memasang tiang layar darurat, lalu mereka memasang layar sedapatnya. Layar itu tertiup angin dan perahupun meluncur menjauhi tempat yang berbahaya itu sampai akhirnya kabut itu tidak nampak lagi dan suara gemuruhpun tidak lagi terdengar oleh mereka.

Perahu mereka meluncur ke arah utara ketika mereka menghindarkan diri dari kabut mengerikan tadi dan tiba-tiba dari jauh nampak sebuah perahu besar yang berlayar menuju ke selatan. Karena perahu itu masih terlampau jauh untuk dapat dilihat dari atas geladak, bajak laut itu lalu memanjat tiang layar dan melindungi kedua mata dari sinar matahari untuk mempelajari keadaan perahu dari jauh itu.

"Itu perahu asing dan membawa banyak perajurit asing!" akhirnya dia berkata kepada dua orang pendekar wanita yang berada di atas geladak.

"Ah, apakah mereka itu pasukan Jepang, jagoan-jagoan samurai?" tanya Pek Lian yang teringat akan pengalamannya bertemu dengan perahu Jepang.

"Bukan, nona. Kalau tidak salah mereka itu tentulah orang-orang dari daerah utara, jauh di luar tembok besar. Lebih baik kita menghindar saja, jangan sampai bertemu dengan mereka yang sebentar lagi tentu akan berpapasan dengan perahu kita."

Akan tetapi, agaknya para penumpang perahu besar itu sudah melihat mereka dan memang benar, perahu dari depan itu memotong jalan! Dan kini nampak ada beberapa orang yang berada di puncak tiang layar mengamati perahu kecil yang ditumpangi Pek Lian dan Bwee Hong.

Tidak ada kesempatan untuk menghindar lagi dan jelaslah bagi dua orang nona itu bahwa perahu besar dari depan itu memang sengaja memotong jalan perahu kecil mereka! Dan bajak laut itu sibuk untuk berusaha menghindarkan perahunya ditabrak perahu besar itu.

Pek Lian dan Bwee Hong sudah siap dengan pedang di tangan, berdiri di geladak perahu kecil dan memandang marah. Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan dari perahu besar dan muncullah beberapa orang yang segera meluncurkan anak panah ke arah perahu kecil.

"Keparat! Mereka menyerang dengan anak panah!" teriak Pek Lian dan bersama Bwee Hong ia segera memutar pedang untuk meruntuhkan semua anak panah yang menyambar. Akan tetapi, sungguh kasihan sekali nasib bajak laut itu. Sebatang anak panah menembus dadanya. Dia berteriak keras dan tubuhnya terjungkal keluar dari perahu, tercebur ke dalam lautan.

"Manusia-manusia jahanam!" Bwee Hong juga memaki marah.

Kini perahu kecil itu sudah dekat sekali dan nampak orang-orang tinggi besar yang menuding-nuding ke arah mereka, wajah mereka menyeringai dan pandang mata mereka kurang ajar. Terdengar pula teriakan-teriakan mereka untuk menawan dua orang nona cantik itu hidup-hidup! Bahkan dua orang di antara mereka dengan tidak sabar telah meloncat turun ke perahu kecil.

Tubuh mereka yang besar dan loncatan mereka yang kasar membuat perahu kecil hampir terguling, akan tetapi dua batang pedang berkelebat dan tubuh kedua orang kasar itu sudah terguling ke dalam lautan dengan mandi darah.

Pek Lian dan Bwee Hong sudah menjadi marah sekali karena mereka tadi diserang anak panah yang mengakibatkan bajak laut itu tewas. Karena mereka maklum bahwa perahu kecil mereka bukan merupakan tempat yang tepat untuk berkelahi, Pek Lian berseru, "Enci Hong, kita naik dan serbu!"

Dua orang dara perkasa itu lalu meloncat ke atas perahu besar dan kembali, seperti pernah mereka lakukan di perahu orang-orang Jepang, mereka mengamuk. Mereka segera dikeroyok oleh belasan orang perajurit asing yang merasa terkejut karena sama sekali tidak mengira bahwa dua orang wanita penumpang perahu kecil itu selain cantik jelita, juga memiliki kepandaian sedemikian hebatnya.

Dan kini Pek Lian dan Bwee Hong sudah marah sekali. Pedang mereka berkelebatan dahsyat dan di antara para pengeroyok sudah ada enam orang yang roboh terluka oleh sambaran pedang mereka.

Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan muncullah dua orang laki-laki yang berpakaian preman, tidak seperti para pengeroyok yang berpakaian seragam. Dua orang ini mempunyai rambut, jenggot dan kumis yang lebat namun berwarna agak keputih-putihan, dan muka mereka merah kekanak-kanakan.

Tubuh mereka tinggi besar akan tetapi mata mereka kecil. Begitu kedua orang ini membentak, semua pengeroyok mundur dengan sikap hormat dan kini dua orang laki-laki tinggi besar itulah yang menerjang dan menghadapi Pek Lian dan Bwee Hong.

Mereka berdua tidak bersenjata, akan tetapi dua pasang tangan telanjang itu berani menangkis pedang dan setiap kali tangan mereka bertemu dengan pedang, terdengar suara nyaring dan pedang di tangan kedua orang dara itu terpental seolah-olah bertemu dengan benda-benda keras yang amat kuat!

Tentu saja Pek Lian dan Bwee Hong terkejut dan mereka mengeluarkan semua kepandaian dan mengerahkan semua tenaga mereka. Dan agaknya mereka berdua itu hanya lebih unggul dalam hal kecepatan saja, akan tetapi kalah tenaga dan semua kecepatan mereka tertumbuk kepada kekebalan dua orang tinggi besar ini!

Bwee Hong dan Pek Lian terdesak hebat dan mereka terpisah. Pek Lian didesak sampai terpaksa menggunakan kecepatan gerakannya lari ke sana-sini dan mengelak dari pukulan-pukulan yang amat kuat dari lawannya. Ia berloncatan dan masuk ke lorong-lorong bilik perahu besar itu, terus dikejar dan didesak oleh lawannya. Ketika gadis ini meloncat lagi untuk menghindar dan hampir menabrak pintu sebuah bilik, tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki menegur dari dalam bilik itu.

"Hei, siapa ribut-ribut di luar itu? Pergi dan jangan ganggu aku! Aku tidak sudi dibujuk lagi!" Lalu terdengar suara seperti pukulan dan suara orang itu tidak terdengar lagi.

Pek Lian tertegun dan matanya terbelalak, mukanya pucat sekali dan pada saat itu, pukulan lawannya menyambar. Untung bahwa ia masih sempat membuang diri ke belakang sehingga ia terhuyung dan hampir jatuh, akan tetapi selamat dari pukulan dahsyat yang datang pada saat ia tertegun dan terkejut itu.

Jantungnya masih berdebar kencang, bukan karena ia hampir saja terkena hantaman lawan, melainkan karena suara itu! Suara itu adalah suara ayahnya! Tidak salah lagi! Ia mengenal benar suara ayahnya! Akan tetapi mana mungkin? Ayahnya di perahu orang asing ini?

"Wuuuttt krakkkk!" Pedangnya menyambar ke arah lawan dan ketika lawan mengelak, ia melanjutkan pedang itu menyambar pintu sehingga pintu bilik itu roboh. Akan tetapi di dalam bilik dari mana tadi terdengar suara ayahnya, tidak nampak seorangpun. Ia melihat pintu belakang dalam bilik itu telah terbuka lebar.

Karena perhatiannya terpecah, tentu saja Pek Lian menjadi semakin terdesak. Kembali lawan yang amat tangguh itu menerjang dengan tendangan kakinya yang besar, kuat dan berat. Pek Lian meloncat ke belakang dan hampir terjatuh oleh tambang yang melintang di belakangnya. Ketika ia berdiri lagi, ternyata ia telah berada di tepi perahu!

"Lian-moi, hati-hati!" Terdengar suara Bwee Hong. Nona yang memiliki ilmu lebih lihai dari pada Pek Lian inipun terdesak, akan tetapi dengan kecepatan gerakan tubuhnya, Bwee Hong dapat berloncatan dan seperti mempermainkan lawan yang terlalu lamban untuk dapat mengikuti gerak-geriknya.

Betapapun juga, Bwee Hong juga maklum bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan raksasa berambut putih itu, maka ketika ia melihat Pek Lian terdesak hebat, ia cepat melompat dekat dan pada saat lawan mereka menerjang lagi, melihat mereka telah tersudut di tepi perahu, Bwee Hong berteriak nyaring dan mendorong tubuh Pek Lian keluar dari dalam perahu itu!

Setelah Pek Lian terjatuh ke dalam air di luar perahu, Bwee Hong sendiripun lalu meloncat keluar. Tubuh mereka diterima oleh air bergelombang dan sebentar saja terseret jauh dari perahu. Seorang ahli renang sekalipun takkan banyak dapat berdaya kalau melawan gelombang lautan, apa lagi dua orang dara itu yang kepandaian renangnya hanya amat terbatas.

Mereka berusaha untuk melawan gelombang dan untuk tidak sampai berjauhan, akan tetapi ombak menyeret mereka dan membuat mereka saling terpisah sampai jauh dan akhirnya Pek Lian tidak dapat melihat temannya itu lagi. Karena merasa khawatir, juga lelah dan tidak melihat harapan untuk dapat menyelamatkan diri dari ancaman lautan luas itu, akhirnya Pek Lian tidak sadarkan diri. Tubuhnya hanyut dan dipermainkan air, dilemparkan tinggi-tinggi lalu dihempaskan kembali, ditelan dan dimuntahkan kembali!

Telah banyak sekali terbukti dengan peristiwa-peristiwa yang aneh dan luar biasa yang mengantar manusia kepada kematiannya atau sebaliknya yang menghindarkan manusia dari pada ancaman maut yang nampaknya sudah tak mungkin dapat dielakkan lagi. Banyak sekali orang yang tewas dalam keadaan yang tidak tersangka-sangka sama sekali.

Bahkan dalam keadaan jasmani yang nampaknya segar-bugar dan sehat, banyak pula yang mati secara mendadak oleh kejadian-kejadian yang aneh dalam kecelakaan-kecelakaan maupun bencana-bencana alam. Akan tetapi sebaliknya, banyak pula orang yang terancam bahaya maut, yang nampaknya sudah tidak mungkin dapat dielakkan lagi, secara aneh pula terhindar dari kematian.

Orang yang menderita sakit yang sudah terlalu parah, dapat saja sembuh secara aneh dan kebetulan, atau orang yang sudah dianggap tidak ada harapan lagi untuk ditolong kemudian ternyata dapat terhindar dari maut hanya karena hal-hal yang "kebetulan'' dan sederhana. Semua ini merupakan sesuatu yang mujijat, yang aneh dan yang diliputi rahasia yang sudah terlalu sering diselidiki orang dan hendak ditembusnya.

Segala hal yang belum dimengerti selalu menimbulkan berbagai pendapat, rekaan, dan dipandang sebagai hal yang mujijat dan aneh. Padahal, segala sesuatu yang terjadi di dalam alam ini adalah WAJAR, dan setiap peristiwa itu tentu ada yang menyebabkannya. Hidup dan mati merupakan rangkaian yang tak terpisahkan, merupakan suatu pertumbuhan yang wajar.

Kerusakan jasmani karena usia tua yang berakhir dengan kematian adalah lumrah dan dapat dimengerti dengan adanya kemajuan dalam ilmu tentang itu. Akan tetapi, karena manusia selalu dikuasai oleh pikiran yang menciptakan "aku", maka si aku inilah yang mencari-cari ke mana dia akan pergi setelah jasmaninya berhenti hidup, setelah tubuhnya mati. Dan bayangan bahwa "aku" akan hilang begitu saja membuatnya merasa ngeri dan takut.

Kalau memang sudah tiba saatnya sang maut datang menjemputnya, walaupun kita bersembunyi di dalam lubang semut, tetap saja nyawa kita akan direnggut. Sebaliknya kalau memang belum tiba saatnya mati, ada saja yang menjadi penolong diri. Karena ketidakpengertian tentang rahasia saat kematian, kita lalu dengan mudah saja memakai istilah nasib dan takdir!

Padahal, setiap peristiwa, juga kematian, tentu terjadi karena suatu sebab tertentu. Dan sebab-sebab itu terkumpul karena ulah kita sendiri. Oleh karena itu, dari pada mencari-cari akal untuk mengungkapkan rahasia yang tidak mungkin dipecahkan selama kita masih hidup ini, lebih bermanfaat kalau kita selagi hidup menjaga diri, mengurangi hal-hal yang dapat menjadi bertambah banyaknya sebab-sebab yang dapat mengakibatkan kematian.

Menurut perhitungan dan pendapat umum, orang yang dihanyutkan ombak di tengah lautan seperti yang dialami oleh Pek Lian, tentu dianggap sudah tidak ada harapan lagi untuk selamat. Namun, ternyata Pek Lian belum mati! Ketika dara perkasa ini siuman dan membuka matanya, ia mendapatkan dirinya sudah berada di atas perahu.

Seorang nelayan tua dengan caping lebar, nampak sedang mendayung perahunya perlahan-lahan. Pek Lian masih rebah akan tetapi matanya sudah bergerak-gerak memandang ke sana-sini, alisnya berkerut ketika ia mengumpulkan ingatannya.

"Ah, untung nona kuat sekali sehingga laut tidak mampu mengalahkamnu," kakek nelayan itu berkata mengangguk-angguk, kagum melihat betapa wanita muda yang ditemukannya hanyut oleh ombak dalam keadaan pingsan itu ternyata hanya rnenelan sedikit saja air dan kini bahkan sudah siuman kembali.

Kini Pek Lian sudah teringat sepenuhnya dan tiba-tiba ia bangkit duduk dan memandang ke kanan kiri, mencari-cari. "Lopek telah menyelamatkan aku dari lautan?"

Nelayan tua itu mengangguk. "Nona hanyut dalam keadaan pingsan. Tadinya dari jauh kusang-ka seekor ikan mati. Ketika melihat pakaianmu, aku cepat mendekat dan untung saja engkau tidak dihanyutkan menjauh dan dapat kuraih dan kutarik ke dalam perahu."

"Ah, terima kasih atas budi pertolonganmu, lopek. Akan tetapi apakah lopek tidak melihat sahabatku?"

"Sahabatmu? Siapakah yang nona maksudkan?"

"Sahabatku, seorang gadis juga. Kami berdua terjatuh dari atas perahu! Apakah lopek tidak melihatnya?"

Nelayan tua itu menggeleng kepalanya dan mukanya membayangkan rasa duka. "Hanyut oleh gelombang seperti itu, nona, sukarlah bagi seorang manusia untuk dapat menyelamatkan diri. Nona memiliki tubuh dan semangat yang kuat dan kebetulan sekali bertemu denganku, akan tetapi sahabatmu itu ah, agaknya sukar untuk dapat di harapkan."

Pek Lian menutupi mukanya dengan kedua tangan. Matikah Bwee Hong? Ia merasa berduka sekali. Mencoba untuk menolong A-hai dan Seng Kun juga belum berhasil, kini malah kehilangan Bwee Hong! Betapa buruk nasib gadis cantik jelita itu. Tak terasa lagi, dari celah-celah jari tangannya nampak air mata menetes-netes.

Pek Lian adalah seorang dara yang sudah banyak digembleng oleh kekerasan hidup dan sudah menga-lami banyak hal yang menyedihkan, akan tetapi mengingat dan membayangkan betapa Bwee Hong tewas dicabik-cabik ikan hiu, ia tidak dapat menahan tangisnya lagi. Nelayan tua itu merasa kasihan.

"Nona. mari kau ikut bersamaku ke daratan untuk memulihkan kesehatanmu. Siapa tahu, secara aneh pula sahabatmu itu juga dapat diselamatkan. Kekuasaan Thian berada di manapun juga, nona, dan lautan inipun hanya sebagian kecil saja dari pada kekuasaan Thian. Kalau Thian menghendaki, mungkin saja sahabatmu itu masih hidup dan selamat."

Ucapan seorang yang percaya penuh akan kekuasaan Tuhan, ucapan sederhana namun dapat menyegarkan perasaan Pek Lian, dapat menumbuhkan tunas harapan di hatinya, dan sekaligus menyadarkannya bahwa berduka saja tidak ada gunanya sama sekali, bahkan hanya akan melemahkan dirinya lahir batin. Padahal, tugasnya masih banyak, masih bertumpuk.

Bukan hanya mencoba untuk menolong Seng Kun dan A-hai, akan tetapi juga terutama sekali mencari ayahnya! Dan iapun teringat akan suara di dalam perahu asing itu. Suara ayahnya! Maka iapun mengangguk dan menurut saja ketika diajak kembali ke daratan oleh si nelayan tua.

Yang dimaksudkan daratan oleh nelayan tua itu ternyata bukanlah daratan besar, melainkan sebuah pulau kecil yang dihuni oleh belasan orang keluarga saja, keluarga nelayan. Akan tetapi, di tempat sunyi sederhana dan miskin ini nampak pula kenyataan hidup bahwa kemiskinan lahiriah kadang-kadang menonjolkan kekayaan batiniah, sebaliknya kekayaan lahiriah kadang-kadang mendatangkan kemiskinan batiniah.

Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat sikap dan cara hidup orang-orang kota besar dan orang-orang di dusun-dusun terpencil. Orang-orang kota sudah terbiasa hidup mewah, hidup bersaing dan memperebutkan keka-yaan, bersaing dan bermusuhan, iri hati dan ketamakan, membuat mereka hidup menyendiri dan tidak mengacuhkan orang lain.

Sebaliknya, kehidupan di dusun-dusun terpencil, di mana orang-orang-hidup sederhana membuat mereka juga berbatin sederhana, tidak dijejali oleh banyak keinginan sehingga rasa persaudaraan dan kegotong-royongan menjadi tebal, lebih akrab dalam membagi suka dan duka di antara sesama manusia.

Pek Lian merasakan benar hal ini ketika para nelayan miskin di pulau itu menyambutnya dengan gembira, dan ikut merasa bersyukur mendengar betapa gadis yang telah hanyut dipermainkan gelombang lautan ini masih dapat tertolong dan selamat. Dalam keadaan sederhana dan seadanya itu mereka lalu menyambut Pek Lian dengan perjamuan yang meriah, walaupun hidangan yang diberikan kepada gadis itu amatlah sederhana, terdiri dari masakan-masakan ikan laut belaka.

Para penghuni pulau itu bukan hanya gembira karena kedatangan seorang nona tamu, melainkan terutama sekali melihat kembalinya kakek nelayan yang dianggap sebagai orang tertua di pulau itu dan disuka oleh semua anggauta keluarga nelayan. Pada waktu itu, para nelayan tidak ada yang berani keluar mencari ikan karena mereka tahu bahwa banyak bajak laut berkeliaran berhubung dengan pesta besar yang diadakan tiap tiga tahun sekali oleh apa yang mereka kenal sebagai Istana Laut.

Akan tetapi, kakek nelayan itu berlayar seorang diri dan sudah tiga hari belum pulang, membuat mereka merasa khawatir sekali dan untuk menyusul dan mencari, mereka tidak berani. Kini, kakek itu pulang dalam keadaan selamat, bahkan telah menyelamatkan seorang gadis cantik yang hanyut dalam gelombang lautan.

Pek Lian mendengarkan mereka bercakap-cakap dan diam-diam ia mengambil keputusan untuk mengunjungi Istana Laut itu. Ia tidak dapat mencari keterangan tentang nasib Bwee Hong, akan tetapi kedukaan ini tidak menghentikan niatnya untuk mencoba menolong A-hai dan Seng Kun yang ia duga tentu oleh kedua orang Sam-ok di-bawa ke Istana Laut di mana tinggal Rajawali Lautan sebagai pucuk pimpinan para bajak.

Karena maklum bahwa gadis itu baru saja lolos dari cengkeraman maut dan tubuhnya masih lemah, para nelayan tidak terlalu lama membiarkannya bergadang dan nona itu memperoleh sebuah kamar dalam rumah sederhana kakek nelayan. Ia dipersilahkan tidur. Akan tetapi, Pek Lian tidak dapat tidur pulas. Ia rebah di pembaringannya dengan gelisah, pikirannya kacau karena ia teringat kepada ayahnya yang tak diketahui di mana adanya.

Dan yang amat membingungkan hatinya adalah ketika ia teringat suara ayahnya di atas perahu asing itu. Selain teringat ayahnya, juga teringat kepada A-hai dan Seng Kun yang juga menjadi tawanan pen-jahat, dan Bwee Hong yang membuatnya amat berduka karena menduga bahwa sahabatnya itu tentu telah tewas, tenggelam atau dimakan ikan.

Hatinya yang gelisah dan berduka membuat Pek Lian tidak dapat memejamkan matanya, makin keras ia berusaha untuk tidur, makin sulitlah. Akhirnya iapun bangkit dari pembaringan, turun dan keluar dari dalam kamar yang sederhana itu, terus keluar dari pondok kecil menuju ke pantai laut yang mengelilingi pulau kecil itu. Bulan muda yang muncul menerangi pulau dan mendatangkan cahaya remang-remang yang indah.

Ketika ia sedang asyik berjalan-jalan di atas pasir yang lunak basah, tiba-tiba ia terkejut melihat seorang manusia berpakaian serba hitam duduk bersila di atas gundukan pasir. Sinar bulan yang tidak dihalangi awan itu membuat jubah yang juga hitam warnanya itu mengkilat seperti dilapisi perak. Seketika Pek Lian merasa kedua kakinya seperti lumpuh, jantungnya berdebar kencang dan semangatnya terbang. Orang itu adalah Si Raja Kelelawar!

Ingin ia melarikan diri, akan tetapi kedua kakinya mogok. Apa lagi ketika orang itu menoleh, memandang kepadanya sambil menyeringai, matanya yang bulat tajam dan mengeluarkan sinar yang dingin dan aneh sekali itu seolah-olah mempunyai kekuatan untuk mencengkeram hatinya.

Hampir saja Pek Lian jatuh pingsan saking ngeri dan takutnya. Belum pernah ia merasa takut dan ngeri seperti pada saat itu. Sebetulnya, dara perkasa ini tidak takut mati. Akan tetapi, tokoh yang menjadi raja-di-raja sekalian kaum sesat ini sungguh membuat ia merasa ngeri.

"Ke sinilah engkau, heh budak kecil!" Terdengar suara orang berpakaian hitam itu, suaranya berdesah seperti desir angin laut, dingin dan menerbangkan butiran pasir lembut.

Hati Pek Lian menjadi semakin gentar. Kekerasan hatinya bermaksud untuk membangkang, namun sungguh aneh. Di luar kehendaknya, kedua kakinya bergerak dan iapun mendekat, menghampiri iblis itu. Ia tidak tahu bahwa ini juga merupakan satu di antara ilmu kesaktian si iblis, yaitu di dalam pandang mata dan suaranya terkandung kekuatan khikang yang dapat mempengaruhi semangat orang lain.

"Cepat!!" Bentakan ini seperti mempunyai daya tarik yang amat kuat.

Sehingga Pek Lian merasa seperti ditarik ke depan atau didorong dari belakang, membuat ia meloncat ke depan menghampiri orang itu, dan berdiri berhadapan dengan orang itu, mukanya agak pucat dan jantungnya berdebar penuh rasa ngeri dan takut.

"Kenapa takut? Saat ini aku sedang tidak mempunyai minat terhadap wanita. Aku hanya ingin bertanya kepadamu. Kenapa engkau sampai di tempat ini dan di mana teman-temanmu itu? Ke mana perginya kakek tua murid Tabib Sakti yang menolongmu itu? Hayo jawab sejujurnya! Kalau tidak kaujawab, akan kutelanjangi kau di sini dan kukubur hidup-hidup di pasir ini!"

Pek Lian mengerahkan tenaga batinnya untuk menenangkan perasaan hatinya, namun iblis itu memiliki wibawa yang sedemikian kuatnya sehingga ia tetap saja merasa betapa tubuhnya gemetar dicekam rasa ngeri dan takut. Ia tahu bahwa iblis ini dapat melakukan hal-hal yang tidak lumrah dan yang kejam karena pembawaannya yang tidak seperti manusia biasa, seperti pembawaan yang dimiliki oleh orang gila. Ketika ia menjawab, suaranya juga tergagap-gagap dan Pek Lian dapat mendengar sendiri betapa suaranya gemetar ketakutan.

"Saya... aku ... aku ingin mencari kawan-kawanku. Mereka dibawa oleh Si Buaya Sakti dan Harimau Gunung ke tempat Si Rajawali Lautan. Tentang kakek yang membantuku dahulu itu.... aku tidak tahu ke mana perginya. Dia bersama ketua muda Lembah Yang-ce itu telah pergi berpisah dengan kami."

"Hemm, sungguh berani engkau, pergi sendirian ke tempat Rajawali Lautan Timur! Tapi aku senang melihat seorang gadis muda yang berani sepertimu ini. Tidak percuma ayahmu mempunyai anak seperti engkau. Eh, bagaimana dengan ayahmu? Bukankah engkau sedang mencarinya? Sudah dapat kau temukan?"

Pek Lian tertegun. Sungguh iblis yang luar biasa, yang agaknya mengetahui segala-galanya! Hatinya menjadi semakin gelisah. Jangan-jangan ayahnya terjatuh ke tangan iblis ini? Begitu membayangkan bahwa ayahnya terjatuh ke tangan iblis ini, sungguh aneh, semua rasa takut lenyap dari hatinya dan ia mulai dapat memandang iblis itu dengan berani.

Dan tubuhnya tidak lagi gemetar. Demi ayahnya, ia sanggup menghadapi dan menentang apapun juga, kalau perlu iblis inipun akan ditentangnya mati-matian. Ia sudah mengepal tinjunya. Akan tetapi iblis itu seakan-akan dapat membaca pikirannya.

"Jangan mengira yang bukan-bukan. Tidak ada persoalan antara ayahmu dan aku. Aku belum pernah bertemu dengan dia, hanya baru mendengar namanya saja. Nah, pergilah! Pakailah perahuku untuk melanjutkan usahamu, aku sendiri akan berjalan kaki saja!" Iblis itu lalu bangkit dari duduknya. Badannya jangkung besar dan begitu kedua kakinya bergerak, tubuhnya berkelebat seperti terbang saja. Tubuh itu meluncur ke arah laut tanpa menengok lagi.

Pek Lian memandang dengan bengong dan matanya terbelalak ketika ia melihat betapa iblis itu terus berlari ke arah laut dan ketika telah mencapai air laut, iblis itu masih terus berlari-lari di atas air laut, menempuh gelombang! Di bawah kedua sepatunya terdapat sepotong bambu kurang lebih semeter panjangnya. Kini iblis itu mengembangkan kedua lengannya dan jubah panjangnya menjadi seperti layar terkembang, menggembung dan tubuhnya didorong oleh angin, meluncur secepat perahu membalap menuju ke tengah lautan!

Pek Lian baru menarik napas panjang setelah bayangan hitam itu lenyap. Ia menggosok mata dengan ujung lengan bajunya, merasa seperti bangun dari mimpi buruk. Matanya dikejap-kejapkan, akan tetapi bayangan hitam itu telah lenyap. Sunyi sekali di situ. Hanya nampak sebuah perahu kecil tergolek di atas pasir, tidak jauh dari situ dan ini menjadi bukti bahwa ia tidak mimpi, bahwa memang benar ia telah bertemu dengan Raja Kelelawar dan bahwa iblis itu telah meninggalkan perahunya, bahkan memberikan kepadanya.

Pek Lian menghampiri perahu itu dan memeriksanya. Sebuah perahu kecil yang baik sekali, buatannya kuat dan bentuknya memungkinkan perahu itu dapat meluncur cepat. Juga perahu kecil ini diperlengkapi dengan dayung, layar dan juga jangkar. Hatinya menjadi girang sekali. Ia tidak tahu mengapa sikap Raja Kelelawar terhadap dirinya menjadi begitu baik, bukan saja tidak mengganggunya, bahkan meninggalkan dan memberikan sebuah perahu yang baik kepadanya dan menganjurkannya untuk mencari ayahnya. Dan ia akan mencari ayahnya besok!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia meninggalkan pulau para nelayan itu setelah mengucapkan banyak terima kasih kepada nelayan tua yang telah menyelamatkannya. Ia menolak ketika para nelayan yang hidup sederhana dan berwatak jujur itu hendak mengantarnya. Ia bertekad untuk mencari sendiri ayahnya. Setelah perahunya meninggalkan pulau itu, ia memasang layar dan mengenangkan semua yang telah dialaminya.

Ia masih bingung mengenangkan suara ayahnya yang didengarnya di dalam perahu para perajurit asing. Benarkah ayahnya berada di dalam perahu itu? Kalau benar demikian, tentu amat sukar baginya untuk menyelamatkan ayahnya. Raksasa-raksasa berambut putih yang berada di atas perahu itu sungguh lihai bukan main. Selain itu, iapun tidak tahu ke mana ia akan dapat menyusul perahu besar yang disangkanya membawa ayahnya itu.

Juga ia merasa curiga kepada Si Raja Kelelawar. Iblis ini menyebut-nyebut ayahnya. Apakah hubungannya? Jangan-jangan iblis yang luar biasa lihainya dan mungkin saja melakukan segala macam perbuatan yang aneh-aneh itu benar-benar telah menguasai ayahnya atau setidaknya tahu di mana ayalmya berada. Wah, kalau benar demikian dan ia harus berhadapan dengan iblis itu, makin kecil kemungkinannya untuk dapat menyelamatkan ayahnya.

Mengingat akan semua kesukaran ini, Pek Lian termenung dan semangatnya menurun. Hampir ia menangis karena ia tidak tahu ke mana ia harus pergi, ke mana ia harus mencari dan di sekelilingnya hanya nampak air kebiruan yang demikian luasnya. Akan tetapi dara pendekar ini mengepal tinjunya dan mengeraskan hatinya. Tidak, ia tidak boleh menangis! Ia tidak boleh patah semangat! Ia harus berbakti kepada ayahnya. Sampai mati sekalipun ia tak boleh undur selangkah, harus melanjutkan usahanya mencari dan menyelamatkan ayahnya.

Akan tetapi, karena ia tidak tahu ke mana harus menuju, perahu layarnya itu meluncur ke depan, ke arah matahari terbit tanpa tujuan tertentu. Kadang-kadang ia membelok ke utara dan mencari-cari, namun sehari penuh ia tidak pernah melihat adanya perahu besar yang diperkirakan membawa ayahnya sebagai tawanan itu. Yang dijumpainya hanya perahu-perahu nelayan, itu pun jarang sekali. Akhirnya, matahari condong ke barat dan malam menjelang tiba.

Untung bagi Pek Lian malam itu bulan purnama. Ia tidak perlu menyalakan lampu perahunya. Lebih aman tidak menggunakan lampu agar tidak mudah nampak oleh perahu lain. Tiba-tiba ia melihat titik-titik terang di kejauhan. Hampir ia bersorak. Biarpun titik-titik terang itu sama sekali tidak menjamin bahwa ia akan menemukan apa yang dicarinya, akan tetapi setidaknya ada harapan dan perahunya mempunyai tujuan.

Iapun mengemudikan perahunya yang didorong angin itu menuju ke cahaya api di depan itu. Lampu itu kelihatan dekat saja, akan tetapi setelah ditempuh, ternyata bukan main jauhnya. Sampai hampir setengah malam, baru ia dapat mendekat dan kini nampak bahwa banyak sekali lampu bernyala memenuhi sebuah pulau kecil. Akan tetapi ketika perahu makin mendekat, ribuan lampu itu makin berkurang, lenyap dan yang nampak hanya tinggal sebuah lampu yang tinggi dan terang, yang terdapat di tengah-tengah pulau.

Tadinya Pek Lian merasa heran. Akan tetapi setelah perahunya dekat dengan pulau itu, mengertilah ia mengapa lampu-lampu itu lenyap. Kiranya pulau itu tepinya tidak landai, melainkan merupakan tebing yang curam seperti dinding tembok yang amat tinggi. Tentu saja ketika perahunya masih jauh dari pulau itu, ia dapat melihat semua lampu yang berada di atas pulau, akan tetapi setelah dekat, lampu-lampu itu terhalang oleh tebing yang tinggi, kecuali sebuah lampu besar yang agaknya berada di tempat paling tinggi di tengah pulau itu.

Melihat pulau yang tebingnya tinggi itu, Pek Lian menjadi bingung. Bagaimana mungkin mendarat dan memasuki pulau? Tebing itu amat curam, sedikitnya ada limapuluh meter tingginya. Hanya burung bersayap sajalah yang kiranya akan dapat mendarat ke pulau itu. Pek Lian mengelilingi pulau dengan perahunya, menggulung layar dan mendayung dengan perlahan, mencari-cari jalan masuk atau tempat mendarat yang tepat, atau hendak melihat di mana para penghuni pulau mendaratkan perahu mereka.

Terdengar suara orang-orang bersorak-sorai di pulau itu, terdengar dari atas datangnya suara sorakan. Agaknya para penghuni pulau itu sedang berpesta-pora atau bersuka ria. Ketika perahu Pek Lian tiba di bagian timur pulau dan dara ini sedang mencaricari tempat pendaratan, tiba-tiba ia melihat berkelap-kelipnya banyak lampu yang datang dari arah laut menuju ke pulau itu. Ia cepat mendayung perahunya, bersembunyi di balik batu karang menonjol dan mengintai.

Beberapa buah perahu datang mendekati pulau. Karena tidak mengenal tempat apa adanya pulau ini dan siapa pula orang-orang dalam perahu itu, Pek Lian merasa lebih aman kalau menyembunyikan diri lebih dulu. Kiranya perahu-perahu itupun dihias dengan meriah, digantungi lampu teng warna-warni, suasana pesta nampak di perahu-perahu itu. Pek Lian mengintai dengan penuh perhatian dan karena perahu-perahu itu mempunyai banyak lampu yang cukup terang, maka dia dapat melihat kesibukan-kesibukan di situ.

Di atas perahu paling depan nampak berdiri seorang laki-laki bertubuh kurus dengan kumis tikus, pakaiannya mewah seperti seorang pembesar kerajaan saja. Terdengar orang meniup terompet tanduk dan perahu-perahu itu merapat ke tebing. Ketika Pek Lian memandang ke arah tempat itu, nampaklah olehnya sebuah lubang besar di tebing itu, persis di atas permukaan laut, seperti mulut raksasa.

Di dalam lubang itu berserakan batu-batu besar kecil dan di sela-selanya mengalir air bening ke laut. Itu adalah sebuah muara sungai bawah tanah yang menembus ke tebing itu dan ternyata muara inilah yang agaknya menjadi pintu menuju ke pulau! Satu-satunya pintu yang aneh sekali. Para penghuni perahu berlompatan memasuki lubang. Diam-diam Pek Lian mendayung perahunya sambil bersembunyi di balik batu karang dan kini ia memandang penuh perhatian.

Setelah dekat, baru ia melihat bahwa di mulut lubang terowongan itu terdapat ukiran huruf-huruf di tebing yang licin mengkilap. Jantung gadis itu berdebar tegang ketika ia membaca tulisan huruf-huruf besar itu. Hai Ong Kong Hu (Istana Raja Lautan)! Kiranya di sinilah tempat tinggal Si Rajawali Lautan Timur, datuk atau raja para bajak itu! Akan tetapi mengapa tidak ada penjagaan sama sekali? Apakah semua sedang berpesta-pora di pulau itu seperti yang dapat didengarnya dari luar pulau?

Pek Lian menanti sampai semua orang dalam perahu-perahu itu memasuki lubang dan mereka meninggalkan perahu-perahu mereka yang melepas jangkar di dekat tebing. Perahu-perahu itu bergoyang-goyang akan tetapi tidak sampai membentur tebing, tertahan oleh tali-tali kuat yang dihubungkan dengan jangkar yang dilepas di dasar laut. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada lagi orang yang akan dapat melihatnya, Pek Lian lalu menambatkan perahunya pada batu karang di pinggir tebing yang terlindung, kemudian berindap-indap dia berloncatan dari batu karang lain menghampiri lubang.

Dengan hati-hati iapun memasuki terowongan itu. Dengan penuh kewaspadaan, ia berloncatan ke atas batu-batu dan ternyata terowongan itu berbelok-belok mendaki. Ia terus mengikuti terowongan itu dan akhirnya sampailah ia ke mulut terowongan di atas pulau. Terowongan itu tiba di tepi sebuah telaga kecil dan agaknya terowongan itu merupakan jalan air untuk pembuangan air dari telaga.

Dengan berindap-indap, Pek Lian mengintai keluar dari lubang yang merupakan mulut terowoagan itu. Ia melihat bahwa di mulut terowongan itu terdapat sepuluh lebih penjaga. Akan tetapi, seperti semua orang yang berada di pulau itu, para penjaga inipun asyik bersorak-sorak dan menonton perlumbaan yang diadakan di atas telaga, menjagoi sampan yang dikemudikan oleh kawan-kawan mereka. Ternyata di atas telaga itu diadakan perlumbaan perahu sampan yang luar biasa ramainya.

Semua orang menonton, di tepi telaga penuh orang dan yang berada di belakang mencari tempat yang agak tinggi untuk dapat menyaksikan perlumbaan perahu itu. Para penjaga ini yang berada di mulut terowongan, mendapatkan tempat yang tinggi sehingga mereka dapat menyaksikan perlumbaan itu dengan jelas, walaupun dari tempat yang agak jauh.

Agaknya seluruh penghuni pulau itu dan juga semua penjaga dan para tamu, berkumpul di tepi telaga itu. Karena keadaan yang berjejal-jejal ini, laki-laki dan wanita, walaupun jauh lebih banyak prianya ketimbang wanitanya, maka kehadiran Pek Lian tidak begitu menarik perhatian. Apa lagi waktu itu masih malam dan mulut terowongan itu masih gelap, demikian pula tempat di mana semua orang menonton itu.

Hanya di tepi telaga terdapat penerangan yang beraneka warna, dan juga pada sampan-sampan yang melakukan perlumbaan itu terdapat lampu-lampu yang mengenakan kap dengan warna dan tulisan tertentu sehingga mereka itu dapat dikenal dari jauh oleh teman-teman mereka yang menjagoi mereka.

Pertempuran adu kepandaian antara tiga orang raja lautan yang diadakan tiap tiga tahun sekali, selalu diawali dengan tontonan yang amat menarik ini, yaitu lumba perahu. Perlumbaan ini diikuti oleh semua perkumpulan bajak laut yang tergabung di bawah bendera tokoh yang dianggap sebagai Raja Lautan dan yang berhak mendiami Istana Raja Lautan selama tiga tahun. Pada saat itu, yang menjadi Raja Lautan adalah Rajawali Lautan Timur.

Perkumpulan-perkumpulan ini adalah anak buah Lain-siauw-ong si Raja Muda Selatan, kemudian Petani Lautan, dan beberapa perkumpulan kecil lainnya. Akan tetapi tentu saja hanya para anak buah tiga perkumpulan di bawah tiga orang datuk itu saja yang termasuk golongan kuat, yaitu anak buah Rajawali Lautan Timur, Raja Muda Selatan, dan Petani Lautan.

Tiga orang ini sejak bertahun-tahun telah menjadi saingan-saingan yang paling keras, sedangkan para pimpinan perkumpulan-perkumpulan kecil lainnya boleh dibilang tidak masuk hitungan. Mereka yang kecil ini boleh dibilang hanya bertugas meramaikan pesta perte-muan itu saja, walaupun mereka juga berhak untuk mengikuti perlumbaan, bahkan mencoba kepandaian mereka untuk dapat terpilih sebagai Raja Lautan yang baru!

Perahu-perahu yang ikut dalam perlumbaan itu adalah sampan-sampan kecil yang bentuknya runcing, ditumpangi tiga orang. Selain ada lampu warna-warni, juga setiap perahu dihias dan dicat, diberi bendera dari perkumpulan masing-masing yang berkibar di kepala perahu. Namanya saja perlumbaan dan perahu-perahu itu menang berlumba cepat mencapai garis yang telah ditentukan di mana dipasang tambang dengan pita berkembang. Siapa yang lebih dulu melewati tambang inilah yang dianggap juara.

Namanya saja perlumbaan adu cepat, akan tetapi karena yang melakukan perlumbaan adalah para bajak perompak, maka perlombaan itupun bersifat keras, sesuai dengan watak mereka masing-masing. Perlumbaan itu tanpa memakai peraturan, pendeknya siapa mencapai dan melewati tambang sebagai garis terakhir, dialah yang menang. Tidak ada larangan apapun dalam perlumbaan ini. Karena tidak ada aturan ini, dan tidak ada larangan sama sekali, maka merekapun berusaha untuk mencapai kemenangan dengan segala macam cara mereka sendiri.

Terjadilah pukul-memukul dan usaha me-nenggelamkan perahu lawan! Saling sodok, saling kemplang dengan dayung. Pendeknya, mereka itu saling menghalangi lawan agar jangan sampai mencapai garis finish dan tentu saja usaha ini dilakukan dengan kekerasan, maka terjadilah perkelahian sengit di antara mereka sebelum ada yang berhasil mencapai garis kemenangan.

Hanya ada batasnya dan hal ini sudah diumumkan sebelumnya, yaitu bahwa mereka, sesuai pula dengan kedudukan mereka sebagai bajak-bajak laut, mereka tidak diperbolehkan menggunakan alat senjata lain kecuali dayung dan mereka juga tidak boleh meninggalkan perahu masing-masing. Tentu saja pertempuran yang kacau-balau dan acak-acakan itu amat ramainya.

Banyak sudah di antara para anggauta bajak yang terlempar ke luar dari perahunya, tercebur ke dalam air telaga dengan kepala benjol atau bocor terkena hantaman dayung lawan. Akan tetapi mereka adalah orang-orang kasar yang sudah biasa dengan kekerasan sehingga mereka tidak menjadi marah, bahkan tertawa-tawa dalam suasana pesta dan mereka itu rata-rata adalah perenang-perenang yang pandai maka masing-masing dapat menyelamatkan dirinya sendiri.

Ada pula perahu yang sempat digulingkan lawan, dan tentu saja tiga orang penumpangnya terguling semua dan tercebur ke dalam air, berenang ke sana-sini berusaha membalikkan perahu sendiri atau kalau tidak berhasil, merekapun lalu menggulingkan perahu lawan mana yang terdekat. Suasana menjadi ramai, hiruk-pikuk dan lucu. Para penonton bersorak-sorai gembira.

Akan tetapi kegembiraan yang kasar, dan tidak jarang terjadi perkelahian sendiri di antara penonton, bukan perkelahian antara musuh melainkan perkelahian sesama rekan, menggunakan tangan kosong dan sudah puas kalau lawan terpelanting, tidak ada yang bermaksud membunuh rekan. Taruhanpun terjadilah dan para petaruh ini yang bersorak-sorak kalau melihat perahu yang mereka jagoi itu dapat maju melampaui lainnya.

Pek Lian menengok ke sana-sini, mencari-cari dengan penuh perhatian. Ia tidak melihat adanya orang-orang berperahu yang dilihatnya berloncatan memasuki terowongan mendahuluinya tadi. Dan iapun tidak dapat menduga di mana adanya Bu Seng Kun atau juga A-hai kalau memang mereka berdua itu dibawa ke tempat ini oleh para penawan mereka. Pek Lian sendiri sampai menjadi bingung memikirkan nasibnya.

Mula-mula ia bersama Bu Seng Kun dan Bu Bwee Hong mencari ayahnya. Ayahnya belum bisa didapatkan, Bu Seng Kun dan juga A-hai malah lenyap ditawan orang. Dan akhirnya, mencari ayahnya dan dua orang pemuda itu belum berhasil, ia sudah harus berpisah lagi dengan Bwee Hong yang tidak diketahui bagaimana nasibnya itu.

Perlombaan perahu itu terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah para anggauta bajak tingkat rendah yang tadi telah diperlihatkan kenekatan masing-masing. Adapun golongan ke dua yang diperlumbakan adalah golongan thouw-bak (kepala regu) dari perkumpulan masing-masing yang akan diadakan kemudian.

Sementara itu, kebut-kebutan sambil berkelahi kacau-balau itu masih terus berlangsung dengan ramai dan sengitnya di tengah telaga. Pek Lian bersembunyi di belakang setumpuk jerami kering sambil melihat suasana di sekeliling tempat itu. Ia sadar sepenuhnya bahwa ia telah memasuki sarang srigala buas di mana terdapat banyak sekali orang yang memiliki kepandaian tinggi.

Juga ia tahu bahwa orang-orang di tempat, ini berwatak seperti binatang, kejam dan buas. Kalau sampai ia tertangkap, tentu ia akan mengalami nasib yang amat mengerikan. Akan tetapi ia telah berada di situ, tidak mungkin lagi ia mengundurkan diri karena kini ia melihat betapa mulut terowongan dari mana ia tadi lewat, telah mulai dijaga dan diperhatikan kembali.

Perlumbaan masih terjadi dengan amat ramainya. Sampan dari anak buah Si Raja Muda Selatan agaknya seperti memimpin perlumbaan, dikejar oleh sampan pihak tuan rumah, yaitu anak buah Rajawali Lautan Timur. Sedangkan kelompok perkumpulan lain mengejar sambil gebug-gebugan. Dua buah perahu, yang lampunya merah dan hijau, saling tabrak dan perahu merah terguling!

Tiga orang penumpangnya terpelanting, disoraki lawan. Akan tetapi, tiga orang itu berhasil memegang ujung perahu lawan yang berlampu hijau dan mendorongnya terbalik pula. Tentu saja tiga orang penumpangnya juga terpelanting dan tercebur. Dan enam orang itu kini saling pukul menggunakan dayung, berkelahi di air. Hiruk-pikuk suaranya! Agaknya, perlumbaan ini belum tentu dapat selesai sampai fajar nanti.

Perahu-perahu yang sudah maju selalu terhalang oleh lawan sehingga segi lumbanya sendiri hanya sedikit sekali, akan tetapi perkelahiannya yang banyak. Para penonton makin keranjingan. Makin banyak darah muncrat, makin banyak orang celaka, makin banyak perahu terguling, makin penuh gairah para penonton, makin gembira hati mereka karena dalam keadaan seperti itu mereka ingin melihat orang menderita sehebat-hebatnya.

Memang demikianlah watak orang. Suka sekali melihat orang lain menderita, bahkan merasa lucu kalau melihat orang lain menderita dan ke-sakitan. Sebaliknya, melihat orang menikmati kesenangan, timbullah iri hati. Manusia pada umumnya memiliki watak welas asih (belas kasihan), penuh pertimbangan, suka akan keadilan, menentang kelaliman. Akan tetapi di samping watak-watak yang baik ini, terdapat pula watak yang sadis, yang senang melihat penderitaan orang lain dan merasa iri hati kalau melihat orang lain bersuka ria.

Sifat-sifat yang bertentangan ini disebabkan oleh konflik batin yang ditimbulkan oleh pikiran yang menciptakan si aku yang selalu ingin senang dan selalu mencari dan mengejar kesenangan, atau keadaan lain yang lebih menyenangkan dari pada keadaan sekarang yang telah dirasakan dan dimilikinya. Watak seseorang dibentuk oleh kebiasaan-kebiasaan. Dan kebiasaan lahir dari ketidakwaspadaan.

Kebiasaan membuat seseorang menjadi seperti robot, yang bergerak karena kebiasaan itu sendiri, dan kebiasaan dihidupkan oleh keinginan untuk senang. Kebiasaan ini dapat dihentikan seketika dengan kewaspadaan. Waspada memandang kenyataan, mengerti dan sadar akan kekeliruan sendiri dan kewaspadaan ini, kesadaran ini berarti tindakan seketika pula, yang menghentikan kebiasaan itu.

Tanpa ini, maka pengertian itu palsu adanya, bukan kewaspadaan, melainkan permainan si aku yang enggan melepaskan kesenangan sehingga dalam melihat kesalahan atau kekeliruan sendiri, si aku lalu mencari seribu satu macam alasan untuk membela diri dan mempertahankan kebiasaan itu! Semua ini dapat kita lihat dengan jelas apa bila kita mau membuka mata dan mengamati diri sendiri lahir batin.

Ho Pek Lian melihat betapa semua orang seperti tenggelam ke dalam tontonan yang makin ramai itu, maka iapun berindap-indap meninggalkan tepi telaga menuju ke rumah-rumah yang bertebaran di sekitar telaga kecil itu. Ia memasuki sebuah rumah dengan hati-hati dan tepat seperti yang diduganya, rumah itu kosong karena semua penghuninya beramai-ramai nonton perlombaan perahu. Pek Lian merasa betapa jantungnya berdebar-debar tegang.

Ia merasa seperti seorang pencuri memasuki rumah orang yang kosong dan merasa khawatir kalau-kalau penghuni rumah itu akan masuk sewaktu-waktu dan memergokinya di dalam rumah itu. Dimasukinya sebuah kamar dan dengan girang akhirnya ia menemukan pakaian wanita yang cocok untuknya, pakaian sederhana dan kasar dari keluarga bajak.

Setelah merasa bahwa dengan dandanan itu ia tidak akan berbeda banyak dengan para wanita yang berada di tepi telaga, ia lalu keluar. Rambutnya sudah diubah gelungnya meniru gelung cara dusun dari para wanita yang berada di antara para penonton. Mulailah ia mencampurkan dirinya dengan para penonton lainnya dan memang tidak ada orang yang tertarik untuk memperhatikannya setelah ia memakai pakaian seperti para wanita lain di tempat itu.

Pek Lian memperhatikan dan mencari-cari dengan pandang matanya, namun ia tetap tidak melihat para penumpang perahu-perahu yang mendahuluinya memasuki terowongan yang menuju ke pulau itu. Tiba-tiba ia menyelinap di antara banyak orang untuk menyembunyikan diri ketika ia melihat munculnya tiga orang yang telah dikenalnya.

Mereka itu adalah para pembantu Raja Muda Selatan yang pernah mengeroyok Bwee Hong ketika Bwee Hong dicoba oleh raja bajak itu. Mereka bertiga itu nampak sedang berjalan bersama dua orang bermuka hitam dan bopeng, meninggalkan tepi telaga dan menuju ke sebuah gedung di tengah pulau. Melihat tiga orang ini, Pek Lian segera membayangi mereka.

Gadis ini tadi sudah melihat bahwa anak buah Si Raja Muda Selatan hadir pula dalam keramaian itu, dan karena itulah ia sangat berhati-hati menyembunyikan diri karena ia teringat akan minat Raja Muda Selatan terhadap Bwee Hong, yaitu ingin mengambilnya sebagai isteri, baik dengan halus maupun kasar. Lima orang yang dibayangi Pek Lian memasuki gedung itu dan mereka disambut oleh empat orang lain yang wajahnya membayangkan kekerasan dan sikap mereka kasar-kasar, akan tetapi pakaian mereka bukan seperti bajak laut, melainkan seperti para petani.

Melihat ini, Pek Lian dapat menduga bahwa tentu empat orang itu anak buah Petani Lautan seperti yang pernah didengarnya dari percakapan antara Raja Muda Selatan dengan Bwee Hong. Melihat sembilan orang itu duduk di ruangan depan gedung itu, minum bersama dan ditemani oleh wanita-wanita muda yang genit-genit, Pek Lian menyelinap dan mengintai untuk mendengar-kan percakapan mereka.

"Hei, kawan. Persembahan apakah yang akan dihaturkan oleh pimpinan kalian?" tanya empat orang anak buah Petani Lautan itu kepada tiga orang anak buah Raja Muda Selatan.

"Pimpinan kami akan menghadiahkan beberapa buah benda berharga hasil rampasan kami dari perahu Pangeran Jepang," jawab seorang di antara mereka, "dan apa yang akan dipersembahkan pimpinan kalian?"

"Entah, mungkin sebuah golok pusaka yang kami rampas baru-baru ini dari perahu kerajaan."

"Aih, besok akan ramai sekali dan membayangkannya hatiku menjadi tegang. Pertandingan silat antara para raja lautan yang hanya dapat kita nikmati setiap tiga tahun sekali," kata orang yang mukanya bopeng, yaitu anak buah dari tuan rumah, Si Rajawali Lautan.

"Kitapun besok sore akan saling bertemu dalam perlumbaan perahu," sambung temannya yang bermuka hitam.

"Ha-ha-ha! Benar sekali, aku sudah ingin sekali tahu kemajuan apa yang kalian peroleh selama tiga tahun ini!" seorang thouw-bak dari Raja Muda Selatan berkata gembira.

Suasana menjadi makin gembira ketika mereka itu mengadu tebak jari sambil minum-minum. Makin banyak mereka minum arak, makin gembira suasananya dan kadang-kadang terdengar jerit-jerit kecil para wanita pelayan kalau tangan orang-orang kasar itu mulai usil.

Pek Lian menyelinap masuk ke dalam gedung itu dari pintu samping. Ternyata gedung inipun kosong dan di ruangan dalam ia tidak menemui se-orangpun manusia. Agaknya penghuninya keluar semua dan para wanita yang menemani sembilan orang itu tentu pelayan-pelayan atau memang wanita yang disediakan untuk para tamu. Ketika ia menuju ke ruangan belakang, ia mendengar suara orang dari sebuah kamar.

Pek Lian cepat menyelinap bersembunyi. Suara itu tidak jelas, akan tetapi seperti suara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Karena ia hendak menyelidiki dan mencari kalau-kalau ia dapat menemukan di mana adanya Bu Seng Kun atau A-hai, maka ia lalu berindap menghampiri kamar itu.

Dengan ludah dan jari tangan, ia melubangi kertas jendela dan mengintai ke dalam kamar yang hanya diterangi oleh sebatang lilin itu. Dan apa yang disaksikannya membuat Pek Lian cepat-cepat membuang muka, wajahnya menjadi kemerahan dan cepat-cepat ia pergi meninggalkan tempat itu dengan hati menyumpah-nyumpah! Kiranya yang berada di dalam kamar itu adalah seorang anggauta bajak yang sedang bergumul dengan seorang wanita!

Pek Lian terus menuju ke belakang dan keluar dari gedung itu melalui pintu belakang. Ia melihat sebidang tanah kosong yang penuh dengan batu-batu karang di antara semak-semak. Di tengah nampak sebatang sungai kecil yang dangkal penuh dengan batu-batu. Fajar mulai menyingsing dan Pek Lian mendaki bukit dari mana air sungai kecil itu mengalir. Pulau itu sepi, tidak nampak ada penjagaan seorangpun. Agaknya, semua orang telah pergi menonton perhambaan di tepi telaga.

Pek Lian termenung. Rajawali Lautan bukanlah seorang pemimpin yang baik. Pulau ini memang merupakan tempat sembunyi yang baik sekali, juga dapat menjadi semacam benteng yang kuat karena pulau ini dikelilingi tebing yang terjal dan tidak akan dapat diserbu lawan. Jalan masuk satu-satunya hanya melalui terowongan. Akan tetapi mengapa penjagaannya begini lemah? Kalau terjadi serbuan musuh, mana mungkin akan dapat melawan dengan baik? Apa lagi kalau yang menyerang itu orang-orang yang lihai macam Harimau Gunung dan Buaya Sakti.

Berpikir demikian, dara itu teringat akan dua orang dari Sam-ok yang menjadi pembantu-pembantu utama Raja Kelelawar itu. Heran sekali, ke manakah mereka itu pergi? Apakah belum sampai di pulau ini? Rasanya mustahil. Mereka itu berangkat lebih dulu dari padanya. Melihat betapa di puncak bukit di depan terdapat sebuah bangunan besar, jantung Pek Lian berdebar tegang. Bangunan itu seperti istana saja.

Itukah Istana Raja Laut? Ah, kalau memang benar dua orang pemuda yang dicarinya itu menjadi tawanan, agaknya di istana itulah mereka ditahan! Dan siapa tahu ia akan bertemu dengan ayahnya pula di istana itu. Hatinya menjadi tegang dan dengan cepat namun hati-hati sekali ia berlari mendaki bukit menuju ke istana itu.

Makin dekat, makin nampaklah bahwa bangunan itu memang megah dan indah, pantas menjadi sebuah istana. Ia menyelinap di antara semak-semak dan mengintai ke depan. Nampak para penjaga hilir-mudik dihalaman istana. Tidak salah, pikirnya. Tentu inilah yang dinamakan Istana Raja Laut dan karena bangunan ini merupakan tempat tertinggi, maka satu-satunya lampu yang nampak ketika perahunya su dah mendekati pulau malam tadi tentulah lampu dari istana itu.

Pek Lian maklum bahwa tentu amat berbahaya kalau sampai ketahuan, maka iapun lalu menyelinap ke samping bangunan, menjauhi aliran sungai kecil yang agaknya bermata air di bukit itu. Ia mengintai dari balik sebatang pohon dan melihat beberapa orang wanita muda yang berpakaian seperti pelayan-pelayan istana turun dari anak tangga pintu samping istana membawa keranjang, menuju ke arah telaga.

Fajar telah tiba dan sinar matahari pagi mulai mengusir kegelapan malam. Pek Ljan mulai melihat para penonton bubaran. Dari tempat tinggi itu ia dapat melihat keadaan di tepi telaga di mana perhambaan diadakan. Celaka, pikirnya. Semua orang akan pergi ke tempat masing-masing dan kalau ia tidak cepat mendapatkan sebuah tempat persembunyian yang baik, tentu akan sukar baginya untuk menghindar dari tangkapan.

Mencoba memasuki istana sama dengan menyerahkan diri. Dari tempat tihggi ini ia mencari-cari dengan pandang matanya dan akhirnya ia melihat sebuah bangunan kuno yang tidak terawat berdiri terpencil di lereng bukit, arahnya di belakang istana itu. Cepat ia meninggalkan tempat ia mengintai tadi dan berlari-lari menuju ke bangunan kuno itu. Hatinya girang melihat bahwa bangunan kuno itu memang sebuah bangunan yang tidak dipakai orang lagi.

Semacam bengkel atau gudang di mana bertumpuk banyak bangkai perahu, sampan, tiang layar dan semacam itu, berserakan tidak dipakai lagi. Pek Lian cepat membuka pintu dan menyelinap masuk. Memang sebuah tempat per-sembunyian yang baik, kata hatinya girang. Di situ terdapat alat-alat pertukangan dan balok-balok kayu. Sebuah bengkel tempat pembikinan perahu. Terdapat banyak pula patung-patung yang biasanya dipakai menghias kepala perahu-perahu besar, patung dewa-dewa dengan muka yang menyeramkan, sebesar manusia.

Mengerikan juga melihat patung-patung itu sebesar orang dengan posisi berdiri atau duduk, dengan muka yang menyeramkan. Ada. patung yang rambutnya terbuat dari rambut manusia aseli. Patung-patung ini berada di sebuah ruangan yang cukup luas dan sambil melangkah perlahan-lahan memeriksa keadaan tempat itu, Pek Lian merasa serem. Seolah-olah semua patung itu mengawasi setiap gerak-geriknya. Dan patung-patung itu seperti hidup saja, apa lagi di dalam ruangan yang remang-remang seperti itu.

Pek Lian berusaha untuk tidak mengamati patung-patung itu. Tengkuknya meremang dan hatinya diliputi rasa serem. Akan tetapi, makin ia berusaha untuk tidak memandang, matanya malah selalu memperhatikan ke sekeliling, ke arah patung-patung itu. Berada di tempat itu ia merasa seolah-olah kalau berada seorang diri di tanah kuburan, atau di ruangan yang penuh dengan peti-peti mati. Seolah-olah ada yang bergerak, ada yang hidup, ada setannya!

Kita tidak mungkin dapat melarikan diri dari rasa takut. Rasa takut bukanlah sesuatu yang ter-pisah dari kita. Rasa takut adalah kita sendiri, ba-tin kita sendiri penciptanya. Kemanapun kita lari, kalau memang kita takut, tentu akan tetap takut. Hiburan yang kita cari hanya akan membuat kita terlupa sebentar saja, akan tetapi rasa takut itu masih ada dalam batin.

Ada bermacam-macam rasa takut, yaitu misalnya takut terhadap setan, takut terkena malapetaka, takut penyakit, bahkan takut mati. Akan tetapi semua bentuk rasa takut itu pada hakekatnya sama saja. Semua itu timbul dari pikiran yang membayangkan hal-hal yang belum ada, hal-hal yang dianggapnya amat tidak menyenangkan seperti yang pernah diketahuinya dari orang lain atau dari pengalaman sendiri.

Orang takut kepada setan yang melakukan hal-hal yang menyeramkan, dan orang yang takut kepada setan itu tentu belum bertemu dengan setan, jadi yang ditakutinya itu hanyalah bayangan-bayangan yang dibuatnya sendiri dalam pikirannya. Orang yang takut mati tentu takut karena membayangkan keadaan yang mengerikan sesudah mati seperti yang pernah didengarnya dari cerita-cerita dongeng, atau takut membayangkan kesepian dan kehilangan segalanya sesudah mati.

Melarikan diri dari rasa takut sia-sia belaka. Akan tetapi, kalau kita mau mengha-dapinya, menghadapi rasa takut setiap kali ia mun-cul, mengamatinya dengan penuh perhatian, maka pengamatan ini sendiri akan membebaskan kita dari cengkeraman rasa takut. Pengamatan dengan penuh perhatian akan melenyapkan pikiran yang membayang-bayangkan, dan pengamatan ini akan membuat kita mengerti dengan jelas proses terjadinya rasa takut dalam pikiran kita.

Pek Lian yang sudah merasa ngeri itu hampir saja menjerit ketika ia melirik ke kiri dan merasa ada sebuah patung yang bergerak di pojok ruangan itu. Untung ia masih ingat sehingga tidak ber-teriak dan menutupi mulutnya dengan tangan kiri. Ah, mana mungkin ada patung bisa bergerak? Dibantahnya sendiri dugaan tadi. Akan tetapi tetap saja hatinya merasa gentar dan ia menjauhi tempat patung-patung itu menuju ke pintu untuk mengintai keluar, melihat suasana di luar.

"Gedobrakkk! Huh, bedebah! Sialan!"

Tentu saja Pek Lian merasa terkejut sekali seperti disambar halilintar mendengar suara bising yang disusul suara makian itu. Cepat ia menoleh dan wajahnya menjadi pucat, matanya terbelalak ketika ia melihat sebuah patung benar-benar bergerak menyingkirkan sebuah patung lain yang tadi agaknya roboh menimpanya. Rasa takut membuat Pek Lian kehilangan kewaspadaan dan iapun mendorong daun pintu dan melompat keluar dari dalam rumah setan itu.

Serombongan orang yang sedang lewat di depan rumah tua itu terkejut melihat munculnya seorang gadis yang ketakutan. Mula-mula mereka mengira bahwa gadis itu teman sendiri karena Pek Lian memang menyamar dengan pakaian yang diambilnya dari sebuah rumah, akan tetapi ketika mereka melihat wajah Pek Lian, mereka tahu bahwa gadis itu adalah seorang asing. Karena masih menduga bahwa mungkin ia seorang gadis yang dibawa datang oleh para tamu, maka seorang di antara mereka cepat meloncat ke depan Pek Lian sambil menyeringai.

"Eh, nona manis, engkau datang dari rombongan manakah? Dan apa yang telah terjadi maka engkau keluar dari bengkel lama ini?"

"Ha-ha-ha, agaknya nona manis ini menjumpai kekasihnya di sini!"

"Tak salah lagi, tentu semalam suntuk telah bermain cinta sepuasnya!"

Beberapa orang laki-laki mengeluarkan kata-kata yang makin lama makin cabul dan tidak pantas, maka Pek Lian tidak dapat menahan kemarah-annya lagi. "Tutup mulutmu yang busuk!" bentaknya dan tangan kirinya menampar.

"Plakk!" Orang yang mengeluarkan kata-kata cabul itu terkena tamparan pipinya. Dia mengaduh dan terpelanting roboh, lalu merintih karena muka yang kena dihantam itu membengkak! Tentu saja para anak buah pulau itu menjadi marah. Dua orang teman yang melihat kawannya ditampar, sudah meloncat ke depan dan mereka berdua ini menubruk untuk merangkul dan menangkap gadis yang galak itu.

Akan tetapi, Pek Lian menggerakkan kaki tangannya dan dua orang itupun roboh terpelanting! Gegerlah para anak buah pulau itu. Baru mereka tahu bahwa gadis ini lihai sekali. Lima orang maju mengeroyok dan yang lain memberi tanda memanggil teman-teman. Para anak buah Rajawali Lautan berdatangan dan selain nona itu dikeroyok, juga rumah tua itu di kepung.

"Periksa di dalam rumah! Mungkin masih ada kawan-kawannya. Mereka ini tentu mata-mata dari luar!" demikian seorang thouw-bak pembantu Rajawali Lautan berteriak.

Tiba-tiba terdengar sumpah serapah dari dalam rumah itu dan pintu depan yang baru setengahnya dibuka oleh Pek Lian tadi kini jebol di tendang orang dari dalam. Lalu muncullah dua orang kakek yang keluar sambil mengomel. Yang seorang berusia empatpuluh lima tahun, bertubuh gemuk pendek dan membawa sebatang toya baja putih, sikapnya angkuh dan memandang rendah mereka yang datang mengepung.

Orang ke dua adalah seorang kakek berusia limapuluh tahun berjubah kulit harimau, tubuhnya tinggi besar menakutkan dan tangannya membawa sehelai rantai baja yang ujungnya merupakan tombak berjangkar, dililitkan di lengannya. Dua orang ini bukan lain adalah dua di antara Sam-ok, yaitu yang pertama adalah Singo Mo Kai Ci Si Buaya Sakti, sedangkan yang ke dua bukan lain adalah San-hek-houw Si Harimau Gunung!

Tentu saja Pek Lian segera mengenal dua orang pembantu utama dari Raja Kelelawar ini, dan para pengeroyok terkejut karena ternyata dua orang ini jauh lebih ganas dan lihai dari pada nona itu. Sebentar saja, beberapa orang pengeroyok telah roboh dan luka-luka.

Sementara itu, San-hek-houw men-dekati Pek Lian dan memaki, "Bocah kurang ajar! Engkau membikin kacau rencana orang saja!"

Perkelahian keroyokan itu menjadi semakin seru ketika muncul sembilan orang thouw-bak dari tiga kepala bajak itu. Karena mereka ini termasuk orang-orang yang lihai, maka setelah sembilan orang ini mengeroyok, barulah dua orang di antara Sam-ok itu agak dapat ditahan. Bagaimanapun juga, sembilan orang thouw-bak itu kewalahan, walaupun mereka telah dibantu oleh banyak anak buah mereka.

Sementara itu, Pek Lian juga repot sekali dikeroyok banyak anggauta bajak, walaupun banyak sudah anggauta bajak yang roboh olehnya. Agaknya perkelahian keroyokan ini merupakan pertunjukan yang tidak kalah menariknya dari pada perlumbaan semalam. Banyak yang datang me-nonton dan kalau ada seorang anggauta bajak yang terpental dengan kepala benjol atau tulang patah, para penonton mentertawainya. Sementara itu pengeroyokan menjadi semakin ketat.

Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan para penonton bersibak memberi jalan masuk kepada Lam-siauw-ong Si Raja Muda Selatan dan Si Petani Laut. "Kalian mundurlah dan biarkan kami menghajar pengacau-pengacau ini!"

Terdengar Raja Muda Selatan berkata dan sembilan orang thouw-bak yang sudah kewalahan itu lalu mundur. Juga para bajak yang tadinya mengeroyok. Pek Lian, mengundurkan diri sehingga nona itu dapat mengaso dan menghapus peluh di leher dan dahinya dengan ujung lengan baju.

Raja Muda Selatan yang berpakaian mewah dan bertubuh gendut itu segera mencabut sebatang pedang panjang yang besar, lalu menerjang Si Bua-ya Sakti tanpa banyak cakap lagi. Agaknya Lam-siauw-ong ini tadi sudah melihat betapa lihainya kakek gemuk pendek ini, maka dia langsung saja menyerang menggunakan pedangnya.

"Trang-trang-tranggg!" Pedang bertemu bertubi-tubi dengan toya baja putih, membuat telinga yang mendengarnya menjadi sakit dan nampak bunga api berpijar menyilaukan mata. Ternyata keduanya memiliki tenaga yang berimbang dan terjadilah perkelahian seru antara Raja Muda Selatan dengan Si Buaya Sakti.

Adapun Si Petani Laut yang melihat rekannya-sudah saling serang dengan seorang pengacau, lalu menggerakkan senjatanya untuk menyerang Si Harimau Gunung. Senjata dari Petani Laut ini memang istimewa, yaitu sebuah cangkul bergagang panjang. Caranya menyerang seperti mencangkul tanah, akan tetapi sekali ini bukan tanah yang dicangkulnya, melainkan kepala lawan!

"Trangg... wuuuut, cringgg!" Si Harimau Gunung juga cepat menangkis dengan senjata rantainya dan balas menyerang sehingga merekapun terlibat dalam perkelahian yang amat seru.

Kini para penonton menjadi semakin gembira karena pertandingan itu sungguh amat hebat, jauh lebih ramai dari pada tadi karena kedua pihak memiliki kepandaian dan tenaga yang berimbang. Pek Lian sendiri hanya dapat menonton karena tentu saja ia tidak dapat berpihak manapun. Mereka yang saling berkelahi itu adalah sama-sama penjahat, hanya bedanya kalau Si Buaya Sakti dan Harimau Gunung adalah raja-raja penjahat daratan, maka dua orang lawannya adalah raja penjahat lautan.

Diam-diam ia merasa heran mengapa mereka itu saling hantam sendiri, akan tetapi ia teringat bahwa kedua orang raja penjahat daratan itu adalah pembantu-pembantu utama Raja Kelelawar dan bahwa Tung-hai-tiauw si Rajawali Lautan Timur sebagai orang pertama dari Sam-ok masih belum menjadi anak buah atau pembantu iblis itu.

"Tahan senjata!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Kita adalah orang-orang sendiri!"

Empat orang yang sedang berkelahi itu berhenti dan ternyata yang muncul itu adalah seorang bertubuh tinggi kurus yang berwibawa dan orang ini bukan lain adalah si Rajawali Lautan Timur sendiri, penghuni Istana Raja Lautan karena selama tiga tahun ini dialah yang berhak menjadi raja lautan setelah mengalahkan semua kepala bajak lainnya.

Empat orang itu segera berloncatan mundur dan perkelahian yang amat seru itupun segera dihentikan. Tung-hai-tiauw tertawa bergelak dan meng-angkat tangan sebagai tanda salam kepada dua orang raja penjahat daratan itu.

"Ha-ha, selamat datang di tempat kami! Sungguh tidak pernah kami duga bahwa dua orang sahabat lama kami sudi berkunjung ke sini. Ha-ha, kalau tidak berkelahi berarti tidak kenal, betapa tepatnya kata-kata itu. Saudara-saudaraku Raja Muda Selatan dan Petani Lautan, mereka ini adalah sobat-sobatku yang baik, yaitu Sin-go Mo Kai Ci Si Buaya Sakti dan San-hek-houw Si Harimau Gunung, dua orang yang amat terkenal di daratan sana!" kata-katanya yang terakhir ini untuk saling memperkenalkan empat orang yang tadi saling serang itu.

"Aha! Kiranya ini saudaramu yang berjuluk Raja Muda Selatan yang tersohor itu? Aihh, pantas saja, hampir-hampir aku terjungkal di tangannya kalau aku tidak berhati-hati tadi!" kata Si Buaya Sakti memuji.

"Wah, Sin-go Mo-sicu terlalu memuji orang," kata Raja Muda Selatan. "Sebaliknya, toya baja putihmu benar-benar membuat aku repot tadi!"

"Gila! Aku sendiripun repot sekali menghadapi cangkul panjang itu, kiranya yang memainkannya adalah Petani Lautan! Pantas begitu lihai!" kata pula San-hek-houw memuji.

"Dan nona ini, siapakah ia? Apakah murid dari kalian?" Rajawali Lautan bertanya sambil memandang kepada Pek Lian, diam-diam kagum karena selain cantik sekali, juga nona ini masih muda akan tetapi telah memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan keberanian yang luar biasa. Juga sikap dara ini bukan seperti wanita-wanita dari golongan sesat, melainkan gagah sekali dan membayangkan keagungan dan ketinggian harga diri.

"Sialan mempunyai murid macam ini!" Harimau Gunung berseru.

"Bocah perempuan ini di mana-mana hanya membikin kacau saja!'" kata pula Si Buaya Sakti "Kami tidak mengerti bagaimana ia bisa tiba-tiba muncul di tempat ini!"

Mendengar ucapan dua orang tamu itu, wajah Rajawali Lautan berseri gembira. Kiranya nona ini tidak ada sangkut-pautnya dengan dua orang ta-mu itu. Tentu seorang mata-mata, akan tetapi mata-mata dari mana? Dan ia begitu muda dan cantik dan lihai. "Bagus! Kalau begitu, ia adalah tawanan kami!" Ia lalu memberi isyarat kepada para pembantunya untuk menangkap Pek Lian.

Empat orang thouw-bak maju dan menubruk Pek Lian. Akan tetapi dara ini sudah siap dan segera menggerakkan kaki dan tangannya melakukan perlawanan mati-matian. Semua orang kini nonton dara yang hendak ditawan ini dan ternyata empat orang thouw-bak yang lihai-lihai itu kewalahan untuk dapat menangkap si nona. Kalau mereka diperintahkan untuk merobohkan Pek Lian, mungkin lebih mudah bagi mereka.

Akan tetapi perintahnya adalah menangkapnya, jadi mereka tidak berani mempergunakan senjata dan tidak berani menggunakan pukulan maut, hanya berusaha menubruk dan menangkap saja. Karena itu, mereka berempatlah yang menjadi bulan-bulanan tamparan dan tendangan Pek Lian. Bahkan seorang di antara mereka terkena hantaman pada dadanya sehingga roboh pingsan dan tidak mampu bangkit kembali!

Melihat keadaan itu, Rajawali Lautan menjadi marah. Dia mendengus dan menerjang maju, tangannya yang berkuku tajam seperti baja kuatnya itu mencengkeram ke arah pundak Pek Lian. Dara ini mengenal serangan berat, maka ia-pun cepat mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak sambil mengirim tendangan yang disusul pukulannya ke arah perut kepala bajak itu.

"Dukk! Bukkk!" Baik tendangan maupun pukulannya dengan tepat mengenai sasaran, yaitu dada dan perut orang tinggi kurus itu. Akan tetapi sama sekali tidak mengguncangkan tubuh Tung-hai-tiauw, bahkan dia mempergunakan kesempatan selagi Pek Lian tertegun melihat serangannya mengenai tubuh yang kebal, cepat tangannya menyambar tengkuk dan menotok.

Seketika Pek Lian merasa tubuhnya lunglai dan iapun tidak dapat melawan lagi ketika para thouw-bak menubruk dan meringkusnya, membelenggu kaki tangannya dan membawanya pergi ke kamar tahanan!

Rajawali Lautan tertawa, lalu berkata kepada empat orang kawannya, "Nah, sobat-sobatku, marilah kita pergi ke ruang tamu untuk bercakap-cakap!"

Mereka lalu pergi menuju ke istana di puncak bukit. Dua orang raja penjahat daratan itu tiada habisnya mengagumi istana yang megah dan mewah itu. Sungguh keadaan para bajak lebih baik dibandingkan dengan keadaan para perampok di daratan yang selalu dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah. Di sebuah ruangan yang luas di dalam Istana Raja Lautan itu sedang diadakan perjamuan makan minum istimewa, perayaan pesta untuk meramaikan pertemuan antara pimpinan yang diadakan tiap tiga tahun itu.

Ketika Rajawali Lautan sebagai tuan rumah bersama empat orang tamu dan rekan-nya memasuki ruangan itu, tempat itu sudah penuh dengan para tamu dan sejak tadi suara musik mengiringi para penari dan penyanyi yang cantik-cantik. Para tamu bangkit berdiri ketika melihat lima orang gagah itu, terutama sekali untuk menghormat Ra-jawali Lautan yang dianggap sebagai raja dan juga tuan rumah.

Dengan sikap ramah dan gagah, Rajawali Lautan memberi isyarat kepada semua tamu untuk duduk kembali dan diapun mempersilahkan Raja Muda Selatan, Si Petani Lautan, Si Buaya $akti dan Si Harimau Gunung untuk mengambil tempat duduk di kursi-kursi kehormatan, dekat tempat duduknya sendiri sebagai tuan rumah.

Setelah tuan rumah dan para tamu kehormatan hadir, musik dipukul makin meriah, dan para penari memperlihatkan keindahan tarian mereka, diseling oleh para penyanyi. Guci-guci arak baru dikeluarkan dan suasana menjadi semakin meriah.

"Kursi siapakah itu?" tiba-tiba Si Buaya Sakti bertanya kepada tuan rumah. Juga temannya, Si Harimau Gunung, merasa heran melihat adanya sebuah kursi yang gemerlapan, seperti sebuah singgasana raja. Kursi itu kosong dan ditutup kain putih, ditaruh di tengah-tengah dan di tempat yang paling tinggi.

Tuan rumah tertawa dan memberi penjelasan kepada dua orang rekan yang menjadi tamu kehor-matan. "Ah, kalian secara kebetulan saja datang ke sini, tidak tahu bahwa kami sedang mengadakan pesta yang paling meriah di antara kami, para pendekar lautan! Ketahuilah, di antara kami, setiap tiga tahun sekali dipilih seorang yang paling tinggi tingkat kepandaiannya dan orang ini diangkat menjadi Raja Lautan.

"Dan dia berhak tinggal di pulau ini, di Istana Raja Lautan sebagai orang yang paling berkuasa di seluruh lautan ini, selama tiga tahun. Dan setelah tiga tahun, diadakan pemilihan untuk mengangkat Raja Lautan yang baru. Untuk tiga tahun terakhir ini, akulah yang beruntung menjadi Raja Lautan. Hari ini aku harus dapat mempertahankan kedudukan itu untuk tiga tahun lagi.

"Kalau ada yang lebih lihai dari pada aku, dialah yang berhak menjadi Raja Lautan selama tiga tahun mendatang. Kursi itu adalah singgasana raja kami dan karena hari ini sedang diadakan pemilihan, maka tentu saja kedudukan itu kosong. Hari ini kedudukanku telah berakhir maka akupun tidak duduk di situ. Mengertikah kalian, sekarang...?"

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.