Darah Pendekar Jilid 14 karya Kho Ping Hoo - DUA ORANG gembong penjahat itu mengangguk-angguk dan saling pandang. Biarpun mereka bertiga itu terkenal dengan sebutan Sam-ok, yaitu Si Tiga Jahat untuk mengakui kedudukan mereka sebagai pimpinan para bajak lautan, pimpinan para bajak sungai dan pimpinan para perampok, namun mereka itu tidak pernah saling bersahabat. Bahkan mereka sering kali bentrok dan bersaing.
Hanya setelah muncul Raja Kelelawar, maka Si Buaya Sakti dan Harimau Gunung terpaksa dapat bekerja sama di bawah kekuasaan Raja Kelelawar. Akan tetapi, Rajawali Lautan itu belum menjadi anak buah atau taklukan Raja Kelelawar, maka sikapnya tentu saja berbeda dan dia merasa masih menjadi yang dipertuan di daerah lautan. Dua orang gembong daratan itu sama sekali tidak pernah menyangka bahwa mereka yang datang sebagai utusan Raja Kelelawar, tiba pada saat kebetulan di situ diadakan pemilihan raja lautan baru.
Mereka tidak mengira ada peraturan semacam itu. Mereka hanya mengetahui bahwa Rajawali Lautan adalah seorang datuk lautan yang telah menjadi raja sekalian bajak dan menguasai lautan yang amat luas itu. Mereka berdua maklum bahwa tentu saja urusan itu amat penting bagi para bajak, merupakan peristiwa besar dalam dunia bajak. Mereka membayangkan dengan hati tegang betapa akan serunya pertandingan memperebutkan kursi Raja Lautan itu nanti.
Mereka tadi sudah merasakan kelihaian Raja Muda Selatan dan Petani Lautan, belum tokoh-tokoh lainnya. Menghadapi urusan besar ini, keduanya saling memberi isyarat dan bersepakat untuk menunda urusan mereka sebagai utusan Raja Kelelawar. Mereka ingin melihat pertandingan itu dan melihat siapa yang akan menang dan menjadi Raja Lautan. Lalu kepada orang yang menjadi Raja Lautan itulah mereka berdua akan berhadapan sebagai utusan Raja Kelelawar sebagai pucuk pimpinan semua golongan di dunia sesat.
Kini Rajawali Lautan bangkit berdiri dan memberi isyarat dengan mengangkat tangan kiri ke atas. Seketika suara musik berhenti, para penari berlarian kembali ke tempatnya dan semua orang memandang ke arah tuan rumah. Suasana menjadi sunyi dan tidak ada yang berani mengeluarkan suara berisik. Hal ini bukan karena para tamu itu tahu akan sopan santun dan aturan. Sama sekali bukan. Mereka taat karena mereka itu takut. Pelanggaran dapat saja mengakibatkan mereka dihukum secara kejam sekali, mungkin dibunuh!
"Saudara saudaraku sekalian yang baik! Seperti tiga tahun yang lalu, hari ini adalah hari berbahagia bagi kita kaum pendekar lautan! Dan sekali ini, pertemuan antara kita dihadiri pula oleh dua orang tamu terhormat yang sehaluan dengan kita. Sin-go Mo Kai Ci adalah pimpinan bajak sungai, sedangkan San-hek-houw adalah pimpinan dari semua perampok, maling dan copet sehingga lengkaplah tiga golongan dari kaum kita yang dianggap oleh sementara orang sebagai golongan hitam. Biarlah dua orang tamu kita menjadi saksi atas upacara kita dan marilah kita mulai!"
Para tamu mulai bergerak dan suasana menjadi bising karena para tamu saling bicara sendiri. Ada pula yang sibuk mempersiapkan bingkisan masing-masing. Sebagian besar di antara mereka telah mengenal siapa adanya Rajawali Lautan yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, maka jaranglah di antara mereka ada yang berani main-main. Mereka yang merasa bahwa kepandaian mereka jauh di bawah tingkat Rajawali Lautan, hanya menghaturkan bingkisan atau sumbangan secara suka rela tanpa hendak menguji kepandaian.
Akan tetapi, para kepala perkumpulan bajak, tentu saja di antara mereka ada yang merasa penasaran kalau belum memperlihatkan kepandaian, biarpun mereka tiada harapan untuk dapat mengalahkan Rajawali Lautan, namun setidaknya mereka akan memperlihatkan kepandaian dan agar mereka dianggap sebagai orang yang telah berani mencoba kepandaian Rajawali Lautan! Ini saja sudah akan mengangkat sedikit derajat mereka dan dapat mereka jadikan bahan cerita yang membanggakan hati.
Seorang bajak laut tunggal yang biasa beroperasi di sekitar Lautan Jepang, tampak maju membawa sebuah bingkisan. Seperti yang telah ditentukan dalam peraturan mereka, yaitu peraturan bagi mereka yang hendak menguji kepandaian Rajawali Lautan yang harus mempertahankan kedudukannya, bingkisan diletakkan di atas senjatanya. Senjata bajak tunggal ini adalah sebatang samurai panjang. Dia berdiri tegak di depan Rajawali Lautan yang sudah bangkit berdiri dan melangkah maju di tempat lapang pula.
Bajak tunggal itu melonjorkan pedang samurainya di depan dada, dan bingkisan itu berada di ujung pedangnya. Tangan kirinya diangkat ke atas kepala, melintang dan terbuka, lalu tangan kiri itu turun ke depan dada sebagai penghormatan, dan terdengar suaranya yang berlogat Jepang karena bajak laut ini memang seorang peranakan Jepang dan lebih banyak merantau di luar daratan.
"Hai-ongya, harap terima bingkisan dariku!" Pedang samurainya digetarkan dan bingkisan yang terletak di ujung pedang itu tiba-tiba mencelat ke atas, ke arah Rajawali Lautan.
Raja Lautan yang harus mempertahankan kedudukannya ini berdiri dengan sikap tenang, kipas besinya siap di tangannya. Ketika dia melihat bingkisan itu terbang ke arahnya, tangan kirinya yang memegang kipas besi bergerak untuk menangkap bingkisan itu. Akan tetapi, nampak sinar berkelebat cepat ketika pedang samurai itu menyambar ke arah pergelangan tangan kiri yang memegang kipas dengan gerakan mendatar dari kanan ke kiri.
Suaranya berdesing karena pedang samurai itu tajam dan gerakan orang itu-pun amat kuatnya. Akan tetapi, dengan gerakan pergelangan tangannya, Rajawali Lautan telah membalikkan kipas besinya menangkis dan tangan kanannya diulur ke depan untuk menyambut bing-kisan yang melayang ke arahnya.
"Trangggg!!" Pedang samurai yang tertangkis kipas besi itu terpental, akan tetapi bajak tunggal itupun cukup lihai. Pedang yang terpental itu membuat gerakan lingkaran dan tahu-tahu telah menyambar dari samping ke arah leher lawan!
"Bagus!" kata Rajawali Lautan yang telah berhasil menangkap bingkisan tadi. Sambaran pedang lawan dibiarkan lewat di atas kepalanya dengan menundukkan kepala, dan kipas besinya sudah menotok ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang pedang dan yang menyambar lewat. Bajak tunggal itu terkejut sekali, cepat menarik kembali pedang dan tangannya, akan tetapi pada saat itu, Rajawali Lautan sudah menggunakan tangan kanan yang memegang bingkisan untuk mendorong ke arah dada lawan sambil berkata, "Terima kasih atas bingkisan yang berharga!"
Dorongan itu mengandung tenaga yang luar biasa kuatnya sehingga biarpun bajak tunggal itu mempertahankan diri, tetap saja dia terdorong ke belakang, terhuyung-huyung dan hampir saja dia terpelanting. Diapun tahu diri karena kalau tuan ramah tadi menghendaki, dia tentu sudah terluka parah atau bukan tidak mungkin roboh dan tewas.
Memang cara-cara yang dipergunakan oleh kaum bajak ini amat keras. Para tamu menyerahkan bingkisan, akan tetapi pada saat itu dia dan tuan rumah boleh adu kepandaian dan saling serang, bukan hanya untuk saling mengalahkan dan memperebutkan kedudukan sebagai Raja Lautan untuk waktu tiga tahun, bahkan boleh saja mereka itu mengalahkan lawan dengan membunuhnya!
Raja wali Lautan sendiripun pada sembilan tahun yang lalu telah merobohkan Raja Lautan lama dengan membunuhnya dalam adu ilmu itu! Dan semenjak itu, belum pernah ada bajak lain yang dapat mengalahkannya. Akan tetapi, Rajawali Lautan adalah seorang cerdik. Dia tidak mau membunuh lawan karena dia ingin agar semua tokoh bajak laut tunduk dan takluk kepadanya, bukannya membenci dan mendendam. Maka diapun jarang sekali menurunkan tangan maut, kecuali tentu saja kalau ke dudukannya terancam.
Beberapa orang maju lagi secara bergiliran, akan tetapi tidak ada seorangpun yang mampu menandingi Rajawali Lautan lebih dari sepuluh jurus! Dan sebagian besar dari pada para tamu yang tadinya ingin mencoba-coba kepandaian, menjadi jerih dan akhirnya mereka itu hanya memasuki rombongan yang memberi bingkisan secara suka rela tanpa bertanding lagi.
Ketika Petani Lautan maju, semua orang memandang dengan hati penuh ketegangan dan di sana sini terdengar orang berbisik-bisik. Sekarang tuan rumah benar-benar berhadapan dengan seorang musuh bebuyutan atau seorang yang memiliki kepandaian setingkat. Semua bajak laut tahu belaka bahwa di daerah lautan mereka, yang menjadi jagoan hanya tiga orang, yaitu Raja Lautan seka-rang yang berjuluk Rajawali Lautan Timur, Si Petani Lautan, dan Raja Muda Selatan.
Mereka bertiga inilah yang tiga tahun yang lalu merupakan tokoh-tokoh yang saling memperebutkan kedudukan secara seru dan setingkat. Memang akhirnya Rajawali Lautan yang menang, akan tetapi kemenangannya tipis sekali. Sekarang, tiga tahun telah lewat dan semua orang tentu saja tahu betapa dua orang tokoh yang dikalahkan itu telah memperdalam ilmu-ilmu mereka untuk dapat menjatuhkan Rajawali Lautan dan merebut kedudukan Rajawali Lautan dalam kesempatan ini.
Jadi, dua orang itu tentu telah bersiap-siap dengan matang! Maka, setelah kini akhirnya orang yang mereka tunggu-tunggu muncul, yaitu Si Petani Lautan, semua orang memandang dengan hati tegang dan wajah berseri gembira karena mereka maklum bahwa pertunjukan sekali ini benar-benar amat hebat dan menarik.
"Maaf, Hai-ong. Aku yang bodoh ingin mempersembahkan sebuah pusaka kepadamu!" kata Petani Lautan sambil memberi hormat.
Rajawali Lautan tertawa. Memang sejak tadi dia sudah menanti-nanti datangnya saat ini, di mana Petani Lautan atau Raja Muda Selatan akan menyerahkan bingkisannya yang berarti dia harus mempertahankan kedudukannya terhadap mereka. Hanya dua orang itulah yang dianggapnya sebagai saingan yang patut untuk dilawan, yang lainnya tidak masuk hitungan.
"Ha-ha-ha, silahkan, saudara Phang, silahkan. Sebenarnya hampir aku tidak berani menerima persembahanmu. Tiga tahun yang lalu saja, hampir aku kehilangan sebelah tanganku ketika mencoba untuk menerima bingkisanmu. Apa lagi sekarang tentu engkau sudah maju pesat sekali, buktinya engkau sudah bisa mengendalikan aliran keringatmu. Dahulu engkau terpaksa harus selalu bertelanjang baju, akan tetapi sekarang engkau sudah dapat memakai baju dan mengendalikan keluarnya keringatmu. Hebat! Aku sebenarnya jerih, akan tetapi aku kepingin mencobanya juga!"
Rajawali Lautan sengaja mengucapkan kata-kata merendah, bukan hanya untuk membuat lawan tenggelam dalam kebanggaannya sehingga mungkin saja menjadi lengah, juga dia harus menjaga segala kemungkinan, sehingga andaikata dia benar-benar kalah, dia tidak sampai terbanting oleh sikap yang congkak sebelum bertanding. Sebenarnya, bagi orang-orang yang hidup di dunia hitam, atau yang disebut kaum sesat, mereka tidak lagi memperdulikan akan sopan santun, tidak perduli apakah sikap mereka itu merugikan orang lain atau menyinggung orang lain. Setiap jalan pikiran, setiap ucapan dan perbuatan, selalu hanya demi keuntungan diri sendiri.
Sikap kaum sesat itu menjadi pelajaran yang teramat baik bagi kita. Pernahkah kita meneliti dan mengamati sikap hidup kita sendiri sehari-hari? Bagaimanakah keadaan jalan pikiran atau batin kita, kemudian bagaimana pula keadaan yang nyata dari perbuatan dan juga ucapan kita? Pernahkah kita berpikir, berkata atau berbuat yang di baliknya tidak mengandung pamrih untuk enak sendiri, senang sendiri, dan menang sendiri?
Benarkah apa yang terucap oleh mulut kita selalu sejalan dengan bisikan hati kita? Adakah kesatuan antara batin, ucapan dan perbuatan? Kita berlumba menonjolkan kebaikan-kebaikan kita, bukankah itu hanya merupakan jembatan saja bagi kita untuk mencapai kesenangan dalam bentuk kepuasan batin, pujian, harapan, pahala dan sebagainya?
Pernahkah kita bertindak atau bicara dengan dasar belas kasihan atau cinta kasih? Pernahkah? Kalau tidak pernah, mengapa? Semua pertanyaan ini kiranya amat perlu bagi kita manusia-manusia yang hidup dan yang dianggap sebagai mahluk berahlak dan berakal budi, bukan?
Sikap Rajawali Lautan Timur yang merendah tadi jelas mengandung pamrih demi keuntungan diri sendiri, bukan rendah hati lagi. Rendah hati bukan terletak di mulut, melainkan di batin, dan mulut baru bersih dan benar kalau menyuarakan batin tanpa dipertimbangkan dan disensor oleh pikiran yang selalu berpalsu-palsu.
Si Petani Lautan yang bernama Phang Kui tersenyum. Senyum orang yang percaya akan kehebatan diri sendiri, yang menyembunyikan rasa bangganya karena pujian lawan tadi, menyembunyikannya di balik senyuman, yang bukan lain juga merupakan suatu bentuk pamer terselubung. Dia membuka bajunya sehingga badan yang kurus dengan tulang iga menonjol dan membayang di balik kulit nampak nyata. Tidak nampak setetespun keringat keluar dari kulit tubuhnya.
Akan tetapi semua orang yang sudah mengenal kelihaian pria ini, cepat mundur dan menjauh karena mereka tahu betapa berbahayanya benda cair kecut yang keluar dari tubuh tokoh ini. Phang Kui menarik napas panjang, menghimpun sinkangnya dan... brolll! Peluhnya mulai keluar dari pori-pori kulitnya dan mengucur deras! Mula-mula nampak butir-butir air seperti mutiara menghias kulit tubuhnya, dan tak lama kemudian butir-butir ini saling bertemu dan mengalir ke bawah, berlenggak-lenggok dan membasahi semua kulit tubuhnya.
Dia mengacungkan senjatanya yang istimewa, sebuah cangkul bergagang panjang. Sebelum bergerak lebih lanjut, Phang Kui menyambar sebuah teko terisi air teh dari atas meja. Teko besar itu dituangkannya ke mulut yang ternganga sampai habis isinya. Dengan wajah nampak lega dan puas, Si Petani Lautan mengembalikan teko kosong dengan tangan kirinya ke atas meja, kemudian mulutnya berkata lirih dan lembut,
"Terimalah persembahanku!" Kata-kata yang halus itu tiba-tiba disambung dengan bentakan yang amat nyaring dan mengejutkan semua orang. "Hyaaaatttt!!" Nampak sinar menyambar dan cangkul bergagang panjang itu telah bergerak seperti kilat cepatnya. Mata cangkul berkilauan dan gerakannya mengundang datangnya angin, ketika mata cangkul itu terangkat dan bungkusan panjang terlempar dengan amat lajunya ke arah muka Rajawali Lautan!
Baru meluncurnya benda sumbangan itu saja sudah merupakan serangan kilat yang berbahaya. Akan tetapi itu hanya merupakan "pembukaan" belaka karena luncuran benda sumbangan itu disusul hampir sama. cepatnya oleh mata cangkul yang membacok atau mencangkul ke arah dada lawan!
"Hemmmm!" Rajawali Lautan Timur menggerakkan tubuhnya yang tinggi kurus, meloncat ke belakang dan miringkan kepala, menangkap bungkusan dengan tangan kiri yang memegang kipas besi.
"Trappp....!" Kipas besi yang tadinya terbuka itu, begitu menerima bungkusan lalu menutup dan menjepit benda sumbangan. Akan tetapi pada saat itu, cangkul lawan telah datang menyambar ke arah dadanya dengan kecepatan yang dahsyat.
Dengan gerakan indah Tung-hai-tiauw atau Rajawali Lautan Timur sudah melemparkan barang sumbangan itu ke arah pembantunya yang segera menerimanya dan menumpuk benda itu di atas meja tempat menaruh benda-benda sumbangan, dan sambil melontarkan benda tadi, Si Rajawali Lautan sudah mengelak sambil menangkis dengan gagang kipas besinya. Akan tetapi karena sebelum menangkis tadi dia melontarkan dulu barang sumbangan, tangkisannya agak terlambat sehingga mata cangkul itu masih menyerempet lambungnya.
"Cringgg... trakk!" Mata cangkul tertangkis gagang kipas lalu menyerempet lambung, akan tetapi Kim-pouw-san (Jubah Mustika Emas) yang kebal membuat serangan itu meleset dan tidak melukai kulit lambung! Bahkan karena pengerahan sinkang, mata cangkul itu terpental dan penyerangnya merasa betapa kuatnya lambung yang menerima mata cangkul tadi.
Akan tetapi, Petani Lautan itu lihai bukan main. Dia sudah mempergunakan langkah ajaibnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah menyelinap dan gagang cangkulnya kini menyerang dengan sodokan keras ke arah leher lawan!
"Bagus!" Si Rajawali Lautan memuji dan diapun terkejut, tidak menyangka lawan memiliki gerakan secepat ini. Karena yang menyerangnya adalah gagang cangkul, maka dia berani menang-kis dengan lengan kirinya yang kuat.
"Dukk!" Lengan kiri yang kuat itu menangkis gagang cangkul. Pertemuan antara lengan dan gagang cangkul itu tidak terhenti di situ saja karena gagang cangkul itu telah membalik dan kini mata cangkulnya mencangkul kepala dan lengan yang tadinya menangkis itupun tiba-tiba meluncur ke depan, tangan yang berkuku tajam sekuat baja itu sudah membentuk cakar rajawali dan mencengkeram ke depan, ke arah pusar lawan!
Begitu cepatnya kedua orang ini bergerak melanjutkan pertemuan lengan dan gagang cangkul sehingga keduanya terkejut karena tahu-tahu serangan lawan telah tiba sedemikian hebatnya! Kalau mereka berdua melanjutkan serangan dan membiarkan serangan lawan datang, tentu berarti akan mengadu nyawa dan mungkin keduanya akan tewas atau setidaknya terluka parah. Melihat ini, diam-diam Lam-siauw-ong sudah tersenyum-senyum girang. Biar mereka berdua itu mampus bersama, pikirnya,, dan kursi Raja Lautan akan dapat diperolehnya tanpa banyak membuang tenaga!
Akan tetapi, Tung-hai-tiauw dan Petani Lautan adalah dua orang tckoh besar yang telah memiliki kepandaian tinggi, tentu saja mereka tidak mau mati konyol begitu saja. Dalam ilmu silat ada hal-hal yang selalu dipentingkan oleh kaum persilatan, yaitu pertama, sedapat mungkin mendahului lawan dengan serangan yang tepat, dan kalau hal ini tidak mungkin, maka yang terutama adalah menyelamatkan atau menghindarkan diri lebih dulu dari bahaya yang mengancam pada saat itu.
Maka, melihat bahaya yang mengancam hebat, keduanya lalu menunda serangan mereka dan lebih dulu mereka berdua melemparkan diri ke belakang. Bagi Petani Lautan yang memiliki langkah-langkah ajaib, dengan lebih mudah sudah dapat memutar kaki mengatur langkah sehingga tubuhnya menjauh dan sekaligus menghindarkan diri dari cengkeraman lawan akan tetapi juga hantaman mata cangkulnya tidak mencapai kepala lawan. Si Rajawali Lautan lebih repot dan terpaksa tadi dia melempar diri ke belakang sehingga tubuhnya membuat poksai (salto) sampai tiga kali ke belakang.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Petani Lautan. Dia sudah lebih dulu dapat menguasai posisinya dan melihat betapa lawan masih bersalto untuk mengatur keseimbangan tubuh, dia sudah mendesak dengan cangkulnya, mainkan Ilmu Silat Ban-seng-kun yang dahsyat! Didesak seperti itu, Rajawali Lautan Timur terpaksa memutar kipasnya dan mengandalkan jubah emasnya untuk mempertahankan diri dan sampai belasan jurus dia tidak sempat membalas serangan lawan yang bertubi-tubi.
Memang hebat sekali permainan cangkul dari Petani Lautan. Selama tiga tahun ini dia sudah memperdalam gerakan-gerakannya, bahkan memperkuat sinkangnya dengan latihan-latihan. Selain gerakannya cepat dan kuat, langkah-langkah kedua kakinya aneh sekali dan tubuhnya seperti dapat pindah-pindah posisi di luar perhitungan lawan, juga kini peluh-peluhnya mulai berpercikan di sekitar tubuhnya.
Dan terutama sekali di bagian depan tubuh sehingga butiran-butiran keringat itu menyambar ke arah lawan seperti senjata-senjata rahasia. Memang tentu saja butiran-butiran peluh ini tidak berbahaya, akan tetapi bagaimanapun juga harus diakui bahwa sambaran air-air yang berbau kecut ini cukup membingungkan lawan, apa lagi kalau menyambar ke arah muka dan terutama mata.
Tiga tahun yang lalu, dalam pertandingan yang sama, yaitu memperebutkan kedudukan Raja Lautan, Rajawali Lautan Timur menang tipis. Hanya sesedikit selisih tingkat di antara mereka. Andaikata tingkat kepandaian Si Rajawali Lautan masih sama dengan tiga tahun yang lalu, sekali ini mungkin dia akan kalah. Akan tetapi, sebagai seorang Raja Lautan, tentu saja selama ini dia tidak tinggal diam.
Dia tahu bahwa mempertahankan lebih sukar dan berat ketimbang merebut karena yang hendak merebut tentu berusaha mati-matian untuk merebut kedudukan itu. Maka selama tiga tahun ini Si Rajawali Lautan Timur juga telah menggembleng diri dan mencapai kemajuan-kemajuan besar.
Setelah agak terdesak selama belasan jurus, akhirnya Tung-hai-tiauw dapat mengatur kembali posisinya dan dapat menguasai perkelahian itu. Kipas besinya mengebut runtuh semua butiran keringat yang menyambar ke arahnya dan sekaligus menangkis setiap serangan cangkul dan gagangnya. Kipas besinya itu seolah-olah membentuk benteng baja yang membuat cangkul lawan tidak dapat menembusnya, dan sebagai pembalasan, tangan kanannya membentuk cakar rajawali dan menyambar-nyambar ke depan.
Kipas telah dipindahkan ke tangan kiri, dan kini lengan kanannya berobah keras dan amat kuat, kuku-kuku jari tangán kanannya tajam dan runcing melengkung. Betapapun juga, Si Rajawali Lautan Timur hanya dapat me-lindungi dirinya karena semua cengkeramannya tidak pernah mengenai sasaran. Agaknya langkah-langkah ajaib dari lawannya amat luar biasa pula, membuat tubuh lawannya itu kadang-kadang seperti lenyap dari depannya.
Dan tahu-tahu muncul di sebelah kiri, kanan atau bahkan di belakangnya! Karena merasa jengkel melihat kelincahan lawan, Rajawali Lautan Timur lalu sengaja memperlambat gerakannya. Melihat lowongan ini Si Petani Lautan girang sekali dan cangkulnya menyambar dengan dahsyatnya ke arah kepala lawan.
"Wuuuuttt!" Mata cangkul berobah menjadi sinar berkilat ketika menyambar muka Tunghai-tiauw. Akan tetapi, Rajawali Lautan itu tidak mengelak atau menangkis, bahkan meloncat ke atas sehingga mata cangkul menyambar ke arah dadanya! Raja Lautan itu sengaja menerima hantaman cangkul itu dengan dadanya yang tentu saja terlindung oleh jubah emasnya yang membuatnya kebal. Dan satu-satunya bahaya hanyalah tenaga pukulan itu yang mengandung sinkang amat kuat, maka diapun mengerahkan tenaga sinkang ke arah dada untuk melawan tenaga penyerangnya.
"Desss!" Pada saat mata cangkul menghantam dadanya, pada saat itupun Tung-hai-tiauw menggunakan tangan kiri yang memegang kipas menotok ke arah jalan darah di dada lawan. Si Petani Lautan terkejut sekali. Mata cangkulnya terpental ketika mengenai dada lawan dan melihat totokan gagang kipas, dia cepat mengelak. Akan tetapi, kini tangan kanan Tung-hai-tiauw yang membentuk cakar telah mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya.
Melihat ini, Si Petani Lautan cepat membalikkan cangkulnya, menangkis dengan gagangnya. Akan tetapi, Tiing-hai-tiauw melanjutkan serangannya dan ketika gagang cangkul menangkis, dia mencengkeramnya. "Krekkkk!" Gagang cangkul itu hancur lebur dicengkeram oleh cakar rajawali! Dengan wajah pucat, Si Petani Lautan meloncat dua meter ke belakang sambil menjura.
"Hai-ong, kepandaianmu makin hebat saja dan engkaulah yang pantas menjadi Raja Lautan. Aku mengaku kalah!"
Semua orang yang mengikuti jalannya perkelahian itu memandang terbelalak dan merasa ngeri membayangkan betapa kuatnya cakar rajawali itu. Kalau anggauta badan lawan yang kena dicengkeram, tentu akan tercabik-cabik dagingnya dan remuk-remuk tulangnya. Setelah Si Petani Lautan mengaku kalah, terdengar tepuk tangan memuji.
Tepuk tangan itu tiba-tiba terhenti ketika semua orang melihat majunya Lam-siauw-ong. Si Raja Muda Selatan. Dengan sikapnya yang angkuh, pakaiannya yang mewah seperti seorang bangsawan tulen, tubuhnya yang gendut, dia melangkah ke depan menghampiri tuan rumah.
"Hebat, hebat kepandaian Si Rajawali Lautan Timur semakin tangguh saja, membuat aku merasa jerih untuk dapat merebut kedudukan. Hai-ong, terimalah persembahanku ini!"
Sambil berkata demikian, tangan kanannya meraba ke balik jubahnya yang lebar panjang dan pada saat itu, seorang pembantunya melontarkan sebuah bungkusan kecil yang kelihatan berat ke arahnya. Nampak kilat menyambar menyilaukan mata dan tahu-tahu Raja Muda Selatan ini telah memegang sebatang pedang di depan dadanya, pedang ditodongkan ke depan dan bungkusan kecil yang berat itu telah berada di ujung pedangnya!
"Tunggu sebentar, Siauw-ong!" kata Rajawali Lautan Timur dan diapun sudah menghampiri meja tempat ditaruhnya barang-barang bingkisan, menyimpan kipasnya dan mengambil bungkusan panjang pemberian Si Petani Lautan tadi. Dibukanya bungkusan itu dan ternyata benda itu adalah sebatang golok dengan sarungnya yang amat indah. Sebuah golok pusaka yang telah dirampas oleh Si Petani Lautan dari perahu kerajaan!
Rajawali Lautan Timur agaknya sudah tahu ketika tadi menerima benda itu dan untuk menghadapi pedang Raja Muda Selatan, tidak cukup kalau hanya mempergunakan kipas besinya. Dia sudah mendengar bahwa lawan ini telah memperdalam ilmu pedangnya dan menguasai Ilmu Pedang Hun-kin-kiam (Pedang Pemutus Urat) yang amat berbahaya. Untuk menghadapi ilmu pedang itu, Raja Lautan ini sengaja menciptakan sebagai tandingannya ilmu golok yang hebat.
Dia memang ahli main golok di samping ilmu silat lainnya dan dianggapnya bahwa satu-satunya senjata yang tepat untuk menghadapi pedang lawan hanya ilmu golok. Dia sendiri memiliki sebatang golok yang baik, akan tetapi karena dia tahu bahwa golok yang dipersembahkan oleh Si Petani Lautan itu adalah golok pusaka yang ampuh, maka diapun segera mengambilnya.
Si Petani Lautan tersenyum. Memang dia sengaja menyerahkan golok itu karena dia mendengar akan persiapan tuan rumah menghadapi Raja Muda Selatan. Memang sudah direncanakan demikian. Kalau dia kalah, biarlah tuan rumah ini tetap menjadi Raja Lautan dan mengalahkan Raja Muda Selatan pula. Dia tidak rela kalau kedudukan Raja Lautan itu akan terampas oleh Lam-siauw-ong, saingan besarnya.
Tung-hai-tiauw kini melangkah ke depan dan berdiri di lantai atas, lebih tinggi dua anak tangga dari pada Lam-siauw-ong yang berdiri di bawah. Raja Lautan ini nampak gagah perkasa dengan pakaian yang mewah pula, gelung rambut di atas kepala itu dihias dengan hiasan rambut seperti yang biasa dipakai oleh para bangsawan, agaknya untuk menandakan bahwa dia adalah Raja Lautan, walaupun raja kaum bajak! Tubuhnya yang tinggi itu berdiri tegak, tangan kanan memegang golok pusaka di depan dada, tangan kirinya siap pula membantu, dan matanya memandang tajam ke arah lawan.
"Lam-siauw-ong, aku telah siap menghadapi Ilmu Hun-kin-kiam dari pedangmu!" katanya dengan sikap tenang.
Lam-siauw-ong berdiri tegak dengan kaki kanan di depan. Suasana amat sunyi dan menegangkan hati. Orang bertubuh gendut yang mengaku sebagai Raja Muda Selatan ini, sejenak menoleh dan memandang ke arah Petani Lautan dengan alis berkerut. Agaknya diapun dapat "mencium" rencana siasat yang dijalankan oleh saingannya itu dengan memberi sumbangan berupa sebuah golok pusaka kepada tuan rumah. Melihat Si Petani Lautan yang sudah kalah itu tersenyum, Lam-siauw-ong mengeluarkan suara menggumam dari kerongkongannya, kemudian dia memandang lagi kepada tuan rumah yang sudah siap.
"Hai-ong, terimalah!" Tiba-tiba dia berseru dan sekali pedangnya tergetar, tiba-tiba bungkusan di ujung pedang itu seperti hidup, bergerak-gerak dan akhirnya meloncat ke arah tuan rumah! Menyusul itu, nampak sinar pedang bergulung-gulung dan terdengar suara berdesing-desing disertai angin yang membuat lampu-lampu gantung bergoyang dan api lilin berkelap-kelip.
"Haiiiittt!" Lam-siauw-ong mengeluarkan suara melengking nyaring dan sinar pedang yang bergulung-gulung itu kini meluncur ke arah tuan rumah, mengikuti bungkusan barang sumbangannya tadi.
Tung-hai-tiauw sudah menggerakkan goloknya menyambut bungkusan. "Trakkk!" Bungkusan yang berat itu menempel pada golok itu seperti besi dengan sembrani. Akan tetapi sinar pedang lawan sudah datang menyerang. Menerima bungkusan sumbangan haruslah dengan hormat dan pantang untuk menjatuhkan bungkusan itu.
Akan tetapi kalau bungkusan yang menempel pada golok itu tidak dilempar, tentu akan sukar baginya menghadapi serangan lawan yang demikian dahsyat! Maka Tung-hai-tiauw lalu menggetarkan goloknya dan bungkusan itu terbang ke atas. Pada saat itulah sinar pedang datang menyambar dan golok yang diputar itupun berobah menjadi gulungan sinar putih cemerlang.
"Trang-cringgg....tranggg, tranggg...!!"
Empat kali beruntun dua senjata itu bertemu. Bunga api berpijar dan keduanya merasa betapa ta-ngan mereka tergetar hebat. Pada saat itu, bungkusan sumbangan sudah melayang turun kembali, disambut oleh Tung-hai-tiauw dengan tangan kiri sedangkan kakinya meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri kalau-kalau lawan kembali menyerang. Akan tetapi, sinar pedang itu berkelebat panjang mengitari tubuh Lam-siauw-ong dan ketika dia berdiri tegak, ternyata ada tiga batang lilin pendek bernyala di atas pedangnya!
Kiranya pedang itu telah menyambar tiga batang lilin yang bernyala di atas meja tak jauh dari situ dan sedemikian hebat gerakan pedang itu sehingga mampu membabat tiga batang lilin yang potongannya melekat pada pedang, sedangkan api ketiga lilin itu tidak padam! Kecepatan gerak disertai tenaga sinkang yang amat kuat ini membuat semua orang melongo karena gerakan pedang membabat dan membawa potongan lilin itu seperti permainan sulap saja. Maka terdengarlah tepuk tangan memuji.
Lam-siauw-ong memandang dengan mata bersinar mengejek ketika tuan rumah melemparkan bungkusan sumbangan itu kepada seorang pembantunya yang segera menaruhnya dengan sikap hormat ke atas meja, di antara tumpukan barang-barang sumbangan lain. Kemudian, Lam-siauw-ong menggerakkan tangan yang memegang pedang dan tiga batang lilin pendek yang bernyala itu menyambar berturut-turut ke arah Tung-hai-tiauw.
Laki-laki tinggi kurus ini menggerakkan goloknya dan nampak sinar golok berkelebat menyilaukan mata tiga kali dan tiga batang potongan lilin itu berobah menjadi enam potong dengan apinya masih menyala ketika enam potong itu runtuh ke atas lantai dan apinya padam. Kiranya golok itu dengan kecepatan kilat telah membelah potongan lilin itu menjadi dua dengan belahan di tengah-tengah sehingga sumbunyapun terbelah dua dan masing-masing masih bernyala! Tentu saja demonstrasi penggunaan golok yang luar bia-sa hebatnya ini disambut dengan tepuk sorak oleh para tamu.
Lam-siauw-ong memandang dengan hati panas dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang ke depan, pedangnya bergerak dengan cepat. Lawannya menyambut dan mereka sudah sa-ling serang dengan serunya, tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan sinar pedang dan golok yang seolah-olah berobah menjadi dua ekor naga yang saling belit dan saling himpit.
Dua orang raja kaum sesat yang hadir sebagai tamu, yaitu Sin-go Mo Kai Ci dan San-hek-houw, memperhatikan gerakan mereka berdua yang berkelahi itu dan diam-diam mereka terkejut dan kagum bukan main, maklum bahwa mereka berdua tidak akan mampu menandingi tuan rumah dan saingannya itu. Apa lagi mengingat bahwa mereka sebagai tokoh-tokoh darat dan sungai kini berada di "dunia lain", yaitu di daerah kekuasaan bajak-bajak laut sehingga mereka terpencil dan merasa amat asing. Kalau saja mereka tidak mengingat bahwa mereka berdua adalah utusan Raja Kelelawar dan mengandalkan iblis yang amat lihai itu, tentu mereka berdua akan merasa jerih sekali.
"Cring-trang-tranggg!!" Untuk ke sekian kalinya pedang bertemu dengan golok dan nampaklah bunga api berpijar menyilaukan mata. Kedua orang yang telah mengadu tenaga lewat senjata mereka itu cepat memeriksa senjata masing-masing dan legalah hati mereka melihat bahwa senjata mereka tidak menjadi rusak.
Lam-siauw-ong yang tadinya mengandalkan pedangnya dengan Ilmu Pedang Hun-kin kiam-sut itu, merasa penasaran sekali bahwa lawannya mampu mematahkan semua serangannya dengan ilmu goloknya. Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan menerjang lagi ke depan dengan dahsyat, pedangnya lenyap berobah menjadi gulungan sinar panjang dan me-nyambar-nyambar dengan ganasnya. Hun-kin-kiam-sut (Ilmu Pedang Pemutus Urat) adalah ilmu pedang yang dilatihnya selama tiga tahun ini, dan merupakan ilmu pedang yang amat dahsyat.
Ujung pedang itu seperti hidup saja, dapat mencari urat-urat halus dan jalan-jalan darah yang mematikan, maka setiap tusukan atau bacokan meru-pakan serangan maut. Karena Lam-siauw-ong menggerakkan pedangnya dengan pengerahan sin-kang, maka selain pedang itu lenyap berobah menjadi sinar bergulung-gulung, juga dari gulungan sinar itu kadang-kadang mencuat sinar menyam-bar ke arah lawan dan setiap kali nampak sinar menyambar ini, terdengar bunyi bercuitan mengerikan.
Akan tetapi, ternyata ilmu golok yang dimainkan oleh Tung-hai-tiauw juga hebat sekali. Selain golok yang dimainkannya merupakan golok pusaka, juga ilmu goloknya amat hebat. Golok itu adalah golok pusaka yang tadinya merupakan pusaka istana kaisar, bernama Toat-beng-to (Golok Pencabut Nyawa). Sebenarnya, kalau dibandingkan dengan ilmu golok yang dimainkan tuan rumah dengan Ilmu Pedang Hun-kin-kiam-sut, maka ilmu golok itu masih kalah hebat.
Sekiranya Tung-hai-tiauw hanya mengandalkan ilmu goloknya menghadapi Lam-siauw-ong, agaknya dia akan kalah. Akan tetapi, kekalahannya dalam hal mainkan senjata itu tertutup oleh keuntungannya karena dia memakai baju emas yang membuatnya kebal itu. Beberapa kali ketika ujung pedang me-nyambar ke arah dadanya, dengan berani dia me-nerima tusukan itu dengan baju emasnya dan membarengi dengan bacokan golok sehingga Lam-siauw-ong menjadi sibuk bukanlah main karena tusukannya meleset dan dirinya bahkan terancam bacokan maut!
Di samping baju emas yang membuatnya kebal itu, juga Tung-hai-tiauw masih memiliki cengkeraman kukunya dari tangan kiri dan cengkeraman ini amat berbahaya, tidak kalah dari serangan goloknya. Karena bantuan baju emas dan cengkeraman kuku inilah maka Tung-hai-tiauw mulai dapat mendesak lawannya!
Kembali pedang itu meluncur ke arah leher dengan tusukan yang halus dan cepat sekali sampai mengejutkan hati Tung-hai-tiauw. Kalau tusukan itu mengenai jalan darah di lehernya, tidak usah dalam-dalam tusukan itu, tentu dia akan roboh dan tak mungkin dapat bangkit kembali. Maka cepat dia menangkis dengan goloknya sambil mengerahkan tenaga. Pedang tertangkis, terpental dan dengan cepatnya pedang yang tertangkis itu meluncur ke bawah, membacok ke arah urat di pundak.
Untuk ke sekian kalinya, Lam-siauw-ong yang bergerak menurut ilmu pedangnya, lupa bahwa lawannya memakai baju emas yang membuatnya kebal, maka pedangnya membacok pundak lawan. Tung-hai-tiauw membiarkan saja pundaknya diserang bacokan dan sebagai balasan, goloknya menyambar ke arah paha kanan lawan dan tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar!
Sungguh luar biasa dahsyat dan berbahayanya se-rangan balasan Tung-hai-tiauw ini! Pada detik terakhir yang amat menegangkan dan berbahaya bagi nyawanya ini, terdengar Lam-siauw-ong mengeluarkan suara melengking, pedangnya berkelebat dan tubuhnya dilemparkan ke belakang.
"Bretttt...!!" Terdengar suara nyaring dan Lam-siauw-ong berjungkir balik dan dapat berdiri dengan terhuyung, mukanya pucat sekali karena bajunya bagian pusar telah koyak-koyak. Nyaris perutnya yang koyak oleh cengkeraman tadi dan pedangnya mampu menyerempet punggung tangan kiri lawan, menimbulkan luka sedikit dan berdarah sedikit.
Mengertilah Lam-siauw-ong bahwa pihak tuan rumah telah bersikap murah hati terhadap dirinya, karena kalau Tung-hai-tiauw tadi menghendaki, tentu kini dia telah roboh dengan isi perut berantakan! Maka diapun tahu diri, maklum bahwa sampai saat itu tingkat kepandaiannya masih kalah sedikit. Diapun menjura dan berkata dengan suara mengandung kekecewaan besar, "Hai-ong, aku mengaku kalah!"
Tung-hai-tiauw merasa girang bukan main telah dapat mengalahkan lawan yang paling berbahaya ini. Dia tersenyum lebar dan balas menjura. "Ah, Siauw-ong telah bersikap merendahkan diri dan sengaja telah mengalah terhadapku. Terima kasih, Siauw-ong. Nyaris tanganku buntung oleh pedangmu yang amat lihai!"
Raja Muda Selatan itu kembali ke tempat duduknya dengan lesu dan tepuk sorak para hadirin yang menyambut kemenangan Rajawali Lautan itu baginya seperti ejekan terhadap dirinya sehingga mukanya menjadi kemerahan.
Setelah Petani Lautan dan Raja Muda Selatan kalah, tidak ada lagi kepala bajak yang berani maju mencoba kepandaiannya terhadap Rajawali Lautan, oleh karena itu, jelas bahwa kedudukan Hai-ong (Raja Lautan) masih dimiliki Tung-hai-tiauw untuk jangka waktu tiga tahun lagi. Kursi singgasana yang tadinya ditutupi kain putih kini dibuka dan dengan resmi, di bawah tepuk tangan para hadirin, Tung-hai-tiauw duduk di atas kursi singgasana itu dengan sikap gagah dan gembira.
Semua orang lalu mengangkat cawan memberi se-amat kepada Raja Lautan. Sin-go Mo Kai Ci dan San-hek-houw yang datang sebagai tamu yang tidak mempunyai hu-bungan dengan pemilihan Raja Lautan, juga sebagai rekan-rekan dari Tung-hai-tiauw karena mereka bertiga pernah dikenal di dunia kang-ouw sebagai Sam-ok (Si Tiga Jahat), juga bangkit dari kursi mereka, menghampiri Tung-hai-tiauw sambil mengangkat cawan arak mereka.
"Hai-ong, kami berdua dalam kesempatan ini mengucapkan selamat atas kemenanganmu!" kata San-hek-houw dan dia mengangkat cawan araknya, diikuti oleh Si Buaya Sakti.
Karena dua orang ini merupakan tokoh-tokoh besar di dunia hitam, Tung-hai-tiauw menerima ucapan selamat itu sambil tertawa gembira dan bangga, mengucapkan terima kasih sambil mengangkat cawan dan sekali tenggak habislah arak dalam cawannya. Sebelum kedua orang rekannya itu kembali ke tempat duduk mereka, Tung-hai-tiauw berkata kepada mereka,
"Dua sahabat baik yang jauh-jauh datang tentu membawa keperluan penting. Nah, setelah kini upacara pemilihan Raja Lautan yang baru telah selesai, harap kalian suka. menceritakan keperluan penting itu."
Dua orang itu lalu menarik bangku dan duduk di depan Rajawali Lautan itu, dan Si Buaya Sakti dengan suaranya yang tinggi lalu berkata, "Sesungguhnya kami berdua diutus oleh keturunan dari junjungan golongan kita, yaitu yang mulia Raja Kelelawar, untuk menemuimu dan menanyakan apakah engkau sudah menerima surat undangan beliau beberapa bulan yang lalu?"
Tung-hai-tiauw mengerutkan alisnya dan memandang tajam kepada kedua orang tamunya. Kalau bukan dua orang ini yang datang bercerita, tentu dia tidak akan mau percaya. Dua orang ini adalah raja-raja kaum sesat golongan darat dan sungai, mana mungkin dapat menjadi utusan kalau yang mengutusnya itu bukan orang yang benar-benar hebat sekali kepandaiannya? Mereka itu memiliki kedudukan dan kepandaian yang setingkat dengan dirinya, dan kini mereka datang sebagai utusan, agaknya untuk menegurnya karena dia telah mengabaikan surat undangan yang diterima-nya secara aneh itu.
"Memang benar, aku telah menerimanya. Akan tetapi aku harus hati-hati. Siapa tahu ada orang yang memalsukan nama junjungan kita itu dan mengaku-aku saja. Kita sendiri kan belum pernah bertemu dengan tokoh yang disebut Raja Kelelawar itu. Kita cuma mendengar saja dari dongeng nenek moyang kita. Mana kita bisa tahu apakah yang muncul ini tulen ataukah palsu?"
San-hek-houw mengerutkah alisnya dan pandang matanya mengandung kemarahan. Dia sudah takluk benar kepada Raja Kelelawar dan dia sudah yakin bahwa raja iblis itu memang benar amat sakti dan memiliki kesaktian-kesaktian seperti yang terdapat dalam dongeng tentang Raja Kelelawar. Kini sebagai orang kepercayaan Raja Kelelawar, dia mendengar bahwa keaselian junjungannya itu diragukan orang, maka hatinya menjadi panas.
Akan tetapi dia bukan orang bodoh dan dia tahu bahwa dia sebagai seorang tamu di sarang ba-jak, mempunyai kedudukan yang amat lemah dan berbahaya. Oleh karena itu, diapun menelan saja perasaan dongkolnya dan memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Buaya Sakti agar mereka cepat-cepat pergi dari tempat itu. Si Buaya Sakti maklum akan kemarahan kawannya, maka diapun berkata dengan suara datar,
"Kami berdua hanya utusan saja, dan jawaban Hai-ong tentu akan kami sampaikan seperti apa adanya kepada Raja Kelelawar yang mengutus kami. Nah, sekarang kami berdua terpaksa mohon diri untuk kembali ke tempat kami masing-masing."
"Ah, kenapa tergesa-gesa?" Tung-hai-tiauw berkata, merasa tidak enak juga karena tidak ingin dianggap kurang ramah apa lagi mengusir dua orang tamunya ini. Diapun tahu bahwa di darat, dua orang ini jauh lebih terkenal dari pada dirinya dan juga kedudukan mereka berdua ini lebih kuat. Dengan dua orang seperti ini, yang telah dirangkaikan dengan dia sebagai Si Tiga Jahat, lebih aman kalau bersahabat, bukan bermusuhan. "Apakah kalian tidak ingin melihat perlumbaan perahu-perahu kita malam nanti? Dan yang lebih mena-rik lagi, apakah kalian tidak ingin melihat upacara penyerahan korban perawan jelita di Pusaran Maut?"
"Tidak, terima kasih." Kini Harimau Gunung, yang menjawab. "Kami harus cepat-cepat pulang untuk membuat laporan kepada Raja Kelelawar."
Rajawali Lautan Timur bukan tidak berkesan mendengar tentang Raja Kelelawar itu. Kalau dua orang rekannya ini sudah begitu tunduk, tentu tokoh yang mengaku sebagai Raja Kelelawar ini benar-benar hebat kepandaiannya. Akan tetapi, dia sendiri baru saja menangkan kedudukan Raja Lautan, mana mungkin dia memperlihatkan kelemahan dan rasa jerihnya terhadap tokoh yang baru muncul dan yang belum dikenal serta diketahui sampai di mana kelihaiannya itu?
Pula, dia berada di tempat sendiri, di daerah bajak, di mana hadir orang-orang lihai yang akan membantunya dan membela kawan sendiri seperti Petani Lautan, Raja Muda Selatan dan semua anak buah yang demikian banyaknya. Takut apa? Maka diapun tersenyum mengejek mendengar ucapan Harimau Gunung tadi.
"Hemm, baiklah. Aku tidak akan menahan lagi. Akan tetapi, kita bertiga yang sudah lama menjadi rekan-rekan, yang nama kita dikaitkan orang sebagai Sam-ok, sungguh sayang kita kini berbeda pendapat dalam hal kekuasaan dan kedaulatan kita. Sampaikan saja salam kami kepada orang yang mengaku keturunan Raja Kelelawar itu. Katakan bahwa kami, orang-orang lautan, ingin hidup bebas tanpa harus diperintah orang dari golongan lain."
Ucapan ini merupakan tantangan halus yang ditujukan kepada Raja Kelelawar! Dua orang tokoh sesat itu marah dan mendongkol sekali. Kalau saja mereka tidak berada di wilayah bajak, tentu mereka akan menyerang Rajawali Lautan. Akan tetapi mereka tahu diri, maka mereka tidak menjawab dan hanya mengangguk. Tung-hai-tiauw juga tidak mau banyak cakap lagi, lalu dia sendiri mengantar dua orang tamu ini keluar dan melihat sampai keduanya benar-benar telah pergi meninggalkan pulau itu.
Setelah dua orang yang dianggapnya saingan berbahaya itu pergi, Tung-hai-tiauw yang kini untuk ketiga kalinya kembali telah menduduki singgasana Raja Lautan dan berhak menjadi majikan dari pulau dengan istananya itu, lalu mengajak dua orang tangan kanannya, yaitu Petani Lautan dan juga Raja Muda Selatan untuk melihat perlumbaan perahu.
Dengan diiringkan oleh para pengawal, para dayang dan juga isteri dari Rajawali Lautan, mereka semua lalu pergi ke panggung yang didirikan di tepi telaga, dengan wajah gembira nonton perlombaan yang baru akan dimulai setelah Raja Lautan itu hadir di panggung.
Senja telah mendatang, matahari telah condong jauh ke barat. Perlombaan yang hendak diadakan sekarang adalah perlumbaan terakhir yang merupakan puncak pertunjukan karena kini yang akan berlomba hanya tiga buah sampan saja. Akan tetapi, para penumpangnya adalah thouw-bak-thouw-bak (mandor-mandor bajak) yang merupakan pembantu-pembantu utama para raja bajak yang telah memiliki kepandaian tinggi.
Tentu saja keadaan menjadi menegangkan dan panas, karena tiga perahu yang akan berlumba itu seakan-akan mewakili golongan masing-masing, yaitu golongan anak buah tuan rumah yang menjadi Raja Lautan, golongan anak buah Petani Lautan dan anak buah Raja Muda Selatan. Setelah tiga buah perahu yang ditumpangi masing-masing oleh tiga orang itu siap, dimulailah perlombaan dan terjadilah perlumbaan seperti yang sudah terjadi kemarin.
Akan tetapi sekarang lebih ramai lagi karena para penghuni perahu itu adalah orang-orang yang lihai, bukan hanya lihai ilmu silatnya akan tetapi juga lihai dalam mengemudikan dan melayarkan perahu mereka. Dan seperti juga kemarin, perlombaan ini lebih berupa, perkelahian di atas perahu atau usaha untuk saling menenggelamkan perahu lawan dari pada perlum-baan adu cepat.
Setiap kali ada sebuah perahu yang agaknya meluncur paling cepat, yang dua lalu menggunting dari kanan kiri dan menyerang perahu itu dengan dayung-dayung panjang mereka, bukan hanya berusaha menghantam badan perahu atau merusak layar atau merobohkan tiang layar, akan tetapi bahkan tidak segan-segan untuk saling hantam!
Mereka sungguh ahli mengemudikan perahu. Perahu-perahu itu sampai miring, saling, serobot dan saling tabrak, akan tetapi dengan cekatan mereka mampu menghindar dan balas menyerang untuk menggenjot perahu lawan dari samping dalam usaha mereka menggulingkan lawan.
Perlombaan atau perkelahian antara tiga perahu itu terjadi dalam suasana panas, apa lagi karena tepuk sorak para pendukung masing-masing tak pernah berhenti memberi semangat kepada jagoan masing-masing. Beberapa kali ada perahu yang tertabrak dan terguling. Akan tetapi dengan cekatan para penumpangnya sudah berhasil membalikkan perahu mereka dan mendayung lagi.
Ada yang kepalanya benjol-benjol terkena hantaman dayung. Akhirnya, dengan kepala benjol-benjol dan perahu dalam keadaan tidak utuh lagi, perahu anak buah Raja Muda Selatan keluar sebagai pemenang setelah lebih dulu berhasil mencapai garis yang ditentukan. Mereka menerima sambutan sorak-sorai dan juga menerima hadiah-hadiah dari Raja Lautan.
Sementara itu, matahari telah terbenam dan sebagai gantinya, bulan yang amat besar dan merah muncul dari permukaan laut sebelah timur. Setelah perlumbaan selesai, kini disusul pesta air! Raja Lautan dan keluarganya, juga para kepala bajak seperti Petani Lautan dan Raja Muda Selatan, naik perahu yang dihias meriah dengan lampu-lampu gantung yang berwarna-warni, dan berpesta-pora di atas telaga.
Terdengar bunyi musik mengiringi nyanyian wanita-wanita penghibur dan semua orang mulai bermabok-mabokan. Acara terakhir malam itu adalah penyembahan korban untuk Dewa Laut yang akan dilakukan di Pusaran Maut. Seorang perawan jelita akan dikorbankan, seperti yang terjadi setiap tiga tahun sekali!
Tiupan rumah kerang raksasa menjadi tanda bahwa upacara itu akan segera dilaksanakan. Perahu-perahu dipersiapkan dan semua perahu yang berpesta-pora lalu minggir. Perahu Rajawali Lautan dan perahu-perahu para pimpinan bajak telah siap mengikuti upacara itu. Sebuah perahu yang dihias secara khas nampak diturunkan ke air dari pantai. Lalu dari pantai nampak sebuah gerobak dorong yang didorong orang ke atas perahu. Di atas gerobak dorong ini nampak seorang gadis yang duduk bersandar tiang dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya.
Gadis itu dalam keadaan sadar dan dengan sepasang matanya yang mengeluarkan sinar berapi-api, gadis itu memandang ke kanan kiri. Jelas bahwa ia berada dalam keadaan terancam, akan tetapi hebatnya, sedikitpun ia tidak kelihatan takut. Kedua lengannya terbelenggu ke belakang tubuhnya, diikat oleh belenggu besi pada tiang, dan kedua pergelangan kakinya juga dibelenggu dengan belenggu besi yang dipasang di papan gerobak. Dara itu bukan lain adalah Ho Pek Lian!
Seperti telah kita ketahui, dara itu memasuki pulau dengan berani dalam usahanya mencari Bu Seng Kun, A-hai, dan juga Bu Bwee Hong, di samping juga berusaha untuk mencari ayahnya yang pernah didengar suaranya di dalam sebuah perahu. Akan tetapi, karena terkejut melihat patung yang tiba-tiba hidup, ia ketahuan dan akhirnya dikeroyok dan tertawan. Sungguh malang baginya, pada waktu itu Raja Lautan membutuhkan seorang dara jelita yang pantas untuk menjadi korban yang akan dipersembahkan kepada Dewa Laut, dan iapun terpilih!
Bahkan Tung-hai-tiauw merasa bangga dapat mempersembahkan seorang dara yang bukan hanya cantik jelita melainkan juga gagah perkasa. Dia percaya bahwa Dewa Lautan akan merasa girang sekali dengan persembahan istimewa ini dan tentu akan memberi berkah kepada semua bajak sehingga di masa mendatang akan berhasil baik dalam pekerjaan mereka membajak!
Perahu kecil terhias yang membawa Pek Lian itu pun meluncur perlahan, diiringkan oleh perahu-perahu Rajawali Lautan, Petani Lautan, Raja Muda Selatan dan para kepala bajak lainnya. Iring-iringan perahu itu amat banyak, seperti armada saja akan tetapi suasananya tetap gembira, apa lagi karena bulan purnama yang bundar besar kemerahan itu nampak cemerlang tidak terhalang awan seolah-olah sang bulan ikut merestui kesibukan mereka yang akan mempersembahkan korban sedemikian mulusnya kepada Dewa Laut!
Bulan purnama yang kemerahan itu nampak besar dan perlahan-lahan naik menjauhi permukaan laut. Malam yang amat indah. Lautpun tenang sekali, seolah-olah tidak ada keriputnya sedikitpun juga. Langit bersih sekali sehingga nampak bintang-bintang dengan cahayanya yang pudar karena dikalahkan oleh sinar bulan.
Akan tetapi, kini para anak buah bajak mulai tenang dan suara kegaduhan merekapun mereda, bahkan lalu menghilang. Mereka maklum bahwa perjalanan sekali ini bukan lagi kelanjutan dari pesta-pora, melainkan perjalanan yang keramat dan penting, juga berbahaya! Mereka akan melakukan upacara persembahan korban seorang perawan suci, kebiasaan tradisionil nenek moyang mereka.
Yang membuat mereka merasa ngeri adalah karena persembahan korban itu dilakukan di daerah yang teramat berbahaya dan yang amat mereka takuti, yaitu daerah pusaran maut, tempat yang mereka anggap sebagai pintu gerbang menuju ke neraka. Oleh karena itu, makin dekat dengan tempat mengerikan itu, makin teganglah hati mereka dan makin sunyilah keadaan di atas perahu-perahu yang beriringan itu.
Pek Lian yang duduk terbelenggu di atas gerobak dorong yang berada di atas perahu itu, memandang semua kegiatan ini. Ia tahu bahwa ia menghadapi bahaya maut walaupun ia belum mengerti bahaya maut macam apa yang dihadapinya. Ia tertawan dan dalam keadaan tertotok, ia telah ditelanjangi dan dimandikan oleh para dayang, dimandikan dengan air yang diberi wangi-wangian seperti seorang calon mempelai saja. Kemudian, pakaian yang baru dari sutera dikenakan pada tubuhnya.
Sampai ia dibelenggu di atas gerobak dan didorong menuju ke perahu itu, ia masih belum mengerti apa yang akan dilakukan orang terhadap dirinya. Namun, ia bersikap tenang walaupun hati dan pikirannya tak pernah berhenti berusaha mencari kesempatan untuk dapat meloloskan diri. Ia sudah terbebas dari totokan dan sudah beberapa kali ia mengerahkan tenaga mencoba kekuatan belenggu kaki tangannya.
Maka satu-satunya harapan hanyalah pada saat orang membebaskannya dari belenggu itu, baru ia akan bergerak mengamuk mati-matian. Kalau perlu, ia akan meloncat ke dalam lautan dari pada mati di tangan iblis-iblis berwajah manusia ini. Satu-satunya hal yang membuatnya berduka hanyalah bahwa ia belum berhasil menemukan ayahnya.
Dan yang amat aneh terasa olehnya adalah betapa dalam keadaan menghadapi bahaya maut seperti itu, yang terbayang olehnya hanya wajah ayahnya dan wajah A-hai! Di manakah pemuda itu sekarang? Masih hidupkah? Apakah masih ingat kepadanya? Pertanyaan-pertanyaan ini tanpa disengaja menyelinap dalam hatinya dan membuatnya heran sendiri.
Kini semua orang mulai dapat mendengar suara itu. Suara yang selalu mendatangkan rasa ngeri di hati setiap orang bajak laut. Suara gemuruh bagaikan guntur. Wajah para bajak laut menjadi pucat. Itulah suara Pusaran Maut! Dan sungguh luar biasa sekali, berbareng dengan terdengarnya suara gemuruh itu, seperti secara mendadak sekali, nampak awan tebal hitam bergulung-gulung datang dan menutupi bulan purnama.
Keadaan yang tadinya terang-benderang itu tiba-tiba menjadi gelap-gulita dan lampu-lampu perahu kini baru nampak terang berkelip-kelip. Semua orang memandang ke arah bulan yang menyelinap ke balik awan hitam itu dengan hati cemas. Suara gemuruh semakin keras terdengar, membuat semua orang menjadi gelisah.
Tiba-tiba sekali sehingga membingungkan semua orang, terdengarlah suara mengiang yang merupakan lengking tinggi, seperti suara nyamuk di dekat telinga. Mengiang tajam sekali, membuat semua orang menjadi semakin ngeri. Semua orartg yang memandang ke atas mengharapkan agar awan yang menutup bulan cepat berlalu.
Mereka tidak ingin datang ke daerah Pusaran Maut dalam cuaca yang gelap-gulita seperti itu. Terlalu berbahaya! Akhirnya, awan tebal itu sedikit demi sedikit meninggalkan bulan purnama. Para pengawal yang menjaga Pek Lian bernapas lega. Calon korban masih terikat di tempatnya seperti tadi.
Akan tetapi, tiba-tiba juru mudi perahu calon korban itu mengeluarkan teriakan tertahan, disusul kata-katanya yang gagap, "Heiii! Lihatlah! Lihatlah bulan itu! Ada manusia di dalamnya!!"
Semua orang, di atas perahu-perahu itu memang sudah melihatnya dan semua mata terbelalak. Memang benar ucapan juru mudi perahu calon korban itu! Di sana, di atas leher burung rajawali sebagai penghias ujung perahu Rajawali Lautan, nampak seorang laki-laki berpakaian hitam-hitam dan bermantel hitam pula, berdiri membelakangi bulan purnama, maka dia kelihatan seolah-olah berada di dalam bulan yang besar itu!
Karena pakaiannya serba hitam dan bulan itu sendiri kuning keemasan, maka nampak kontras dan indah seperti lukisan saja. Pek Lian sendiri juga sudah melihat bayangan itu dan jantungnya berdebar tegang ketika ia mengenal bahwa orang itu serupa benar dengan orang yang pernah dijumpainya di atas pulau nelayan. Raja Kelelawar!
Semua orang masih memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, wajah pucat. Mereka tidak tahu bagaimana tiba-tiba tubuh orang berpakaian serba hitam itu melayang dengan kecepatan seperti burung terbang saja menuju ke arah perahu di mana Pek Lian terbelenggu.
Mantel hitam itu berkibar di belakangnya seperti sayap yang lebar dan tahu-tahu dia sudah berada di atas dek perahu dekat gerobak di mana Pek Lian terikat. Kedua tangannya bergerak-gerak dan terdengarlah besi belenggu itu patah-patah dan dalam sekejap mata saja Pek Lian telah bebas! Akan tetapi, Pek Lian masih belum mampu bergerak. Tubuhnya masih kaku-kaku karena terlalu lama dibelenggu.
Para pengawal tadinya tertegun seperti orang-orang terpesona oleh permainan sulap yang mengherankan saja. Akan tetapi, mereka segera sadar bahwa tawanan telah dibebaskan orang, maka empat orang pengawal dengan senjata di tangan menerjang dan menyerang pria tinggi kurus berjubah hitam itu.
Bit-bo-ong atau Raja Kelelawar, orang yang mukanya kaku seperti topeng itu, seperti tidak memperdulikan datangnya empat buah senjata tajam yang menyerangnya. Dia hanya mendengus, tangan kirinya bergerak cepat dan terdengar empat kali suara pekik mengerikan dan empat orang pengawal itu roboh terpelanting dengan kepala berlubang tertembus jari-jari tangan yang runcing bagaikan pedang.
Tentu saja para pengawal lain yang berada di atas perahu itu menjadi ngeri dan jerih. Bunyi terompet tanda bahaya segera ditiupkan orang dan perahu-perahu yang lain berdatangan mengepung perahu calon korban.
"Hemmmm!" Raja Kelelawar mendengus, tangan kirinya bergerak ke arah Pek Lian dan gadis ini mengeluh karena ia telah tertotok dan di lain saat tubuhnya sudah diangkat dan dipanggul di atas pundak iblis itu. Gilanya, agaknya sesuai dengan watak iblisnya yang biadab, tangan kanan iblis itu mengelus-elus pinggul dara yang membusung itu, sedikitpun tidak merasa takut atau malu biarpun ditonton oleh begitu banyaknya musuh yang mengepungnya! Kasihan Pek Lian yang hanya dapat mematikan rasa malunya karena ia sama sekali tidak berdaya biarpun ia merasa betapa pinggulnya dielus-elus dan beberapa kali dicubit!
Terdengar aba-aba dari Rajawali Lautan dan ratusan anak panah menyambar ke arah Raja Kelelawar. Agaknya tak mungkin orang dapat menghindarkan diri dari sambaran ratusan anak panah itu kecuali kalau dapat memutar senjata menangkis atau kalau mengelakpun harus meloncat keluar perahu. Akan tetapi, iblis itu sama sekali tidak mengelak, juga tidak menggunakan senjata untuk menangkis, melainkan menggerakkan tangannya dan jubah lebarnya bergerak melingkari dan menyelimuti seluruh tubuhnya dan tubuh Pek Lian yang dipanggulnya.
Anak panah yang ratusan banyaknya itu begitu menyentuh jubahnya, berjatuhan di sekeliling badannya sampai bertumpuk-tumpuk. Tidak ada sebatangpun yang mampu menembus jubah itu. Anak panah yang ratusan banyaknya itu berserakan di sekeliling kakinya. Melihat kesaktian ini, para anak buah perahu calon korban cepat-cepat meninggalkan perahu, pindah ke perahu lain karena merasa takut dan ngeri terhadap iblis itu.
Para thauw-bak dengan suara gagap dan kaki gemetaran mencoba untuk mengumpulkan kembali anak buah masing-masing yang dilanda ketakutan. Melihat munculnya orang yang sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka itu, apa lagi karena tadi Raja Lautan memang membicarakan iblis ini dengan kedua orang pembantunya, maka Tung-hai-tiauw, Petani Lautan dan Raja Muda Selatan serentak berloncatan dari perahu masing-masing menuju ke perahu calon korban di mana iblis itu masih berdiri sambil memanggul tubuh Pek Lian, dengan sikap yang amat tenang.
Tiga raja bajak itu tiba di perahu calon korban hampir berbareng, dari tiga jurusan. Melihat ini, tiba-tiba Raja Kelelawar mengeluarkan suara melengking nyaring dan begitu dia menggerakkan jubahnya yang dikembangkan dengan kekuatan dahsyat, tumpukan anak panah di sekelilingnya itu terbang berhamburan kembali ke tempat masing-masing!
Kembali terdengar jerit-jerit mengerikan dan belasan orang anak buah bajak roboh dengan tu-buh tertembus anak panah! Ada pula yang sempat menyelamatkan diri di balik perisai mereka. Tiga orang raja bajak itu sendiri cepat mengibaskan tangan mereka dan runtuhlah anak panah yang meluncur ke arah mereka.
Kini Tung-hai-tiauw, Petani Lautan, dan Raja Muda Selatan sudah berdiri berhadapan dengan iblis itu. Mereka bertiga tentu saja sudah mendengar dongeng penuturan nenek moyang mereka tentang Raja Kelelawar dan kini, berhadapan dengan orang yang mengaku keturunan Raja Kelelawar, mereka memandang tajam penuh selidik.
Terutama sekali Tung-hai-tiauw yang baru saja tadi menolak untuk menakluk kepada iblis ini karena bagaimanapun juga, dia masih belum dapat menerima begitu saja munculnya seseorang yang mengaku sebagai keturunan raja diraja penjahat yang hanya hidup sebagai dongeng itu. Apa lagi kalau dia, seorang Raja Lautan, harus takluk begitu saja!
Bagaimanapun juga, hati tiga orang raja bajak ini gentar juga. Orang yang berdiri dengan tegak di depan mereka itu memang mempunyai ciri-ciri seperti Raja Kelelawar dalam dongeng yang mereka dengar dari orang-orang tua dan guru-guru mereka. Orangnya tinggi kurus dengan pakaian serba hitam, mantel atau jubah hitam pula dan mukanya tersembunyi dalam gelap karena membelakangi bulan, muka yang nampak kaku seperti topeng. Di pinggangnya sebelah kiri terselip dua buah pisau panjang yang gagangnya indah berta-bur batu permata.
Tiga orang raja bajak itu tertarik dan juga merasa tergetar hatinya. Menurut dongeng yang pernah mereka dengar, raja iblis ini memiliki ilmu-ilmu yang sakti dan tidak lumrah. Kabarnya memiliki ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang tidak ada bandingnya yang disebut Bu-eng Hwee-teng (Loncat Lari Tanpa Bayangan), ilmu silat sakti Kim-liong Sin-kun (Naga Emas) dan tenaga sinkang yang dinamakan Pat-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Delapan Dewa).
Akan tetapi, mereka bertiga memberanikan diri dan mengandalkan ilmu kepandaian mereka sendiri yang tidak boleh dipandang rendah. Maka, merekapun bersikap menantang dan bersiap untuk melayani iblis itu. Raja Kelelawar melangkah maju dan dengan suaranya yang tajam dan tinggi dia bertanya,
"Siapakah di antara kalian yang berjuluk Rajawali Lautan Timur?"
Tung-hai-tiauw juga maju selangkah dengan berani, kemudian menjawab dengan suara nyaring, lebih nyaring dari biasanya untuk menambah semangatnya sendiri, "Akulah Tung-hai-tiauw yang juga menjadi Hai-ong! Siapakah engkau?"
Iblis itu mendengus. "Huh, mengapa engkau tidak mau datang memenuhi perintahku menghadiri pertemuan di kuil atas bukit itu? Kenapa pula engkau tidak menerima kedua orang utusanku siang tadi secara baik? Benarkah engkau tidak mau bersatu di bawah benderaku, seperti yang terjadi pada jaman nenek moyang kita dahulu? Apakah engkau masih meragukan aku? Nah, kalau begitu, majulah, akan kuperlihatkan bahwa aku adalah keturunan Raja Kelelawar yang sejati!"
Sambil berkata demikian, dengan lengan kiri masih memanggul tubuh Pek Lian di atas pundaknya, tangan kanan bertolak pinggang, raja iblis itu melangkah maju dengan sikap menantang sekali! Tung-hai-tiauw adalah seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi. Apa lagi dia merasa sebagai Raja Lautan, tentu saja dia tidak mau memperlihatkan kelemahannya. Ditantang seperti itu, tentu saja dia tidak sudi untuk undur selangkah.
"Bagus! Hendak kulihat macam apa adanya orang yang berani menggunakan nama Raja Kelelawar untuk mengacau"
Tung-hai-tiauw sudah menggunakan ilmu andalannya, yaitu Tiauw-jiauw-kang (Ilmu Kuku Rajawali) yang begitu dipergunakan, kuku-kuku jarinya menjadi kaku dan keras seperti baja. Akan tetapi, cakaran-cakaran kedua tangannya itu disambut oleh tangan kanan Bit-bo-ong seenaknya saja dan setiap kali cakar yang kuat itu bertemu dengan tangan Raja Kelelawar, Tung-hai-tiauw merasa betapa tangannya panas dan tergetar hebat! Padahal, lawannya itu menyambut serangan-serangannya hanya dengan sebelah tangan saja karena tangan kirinya masih memanggul tubuh Pek Lian di pundaknya!
Tung-hai-tiauw merasa penasaran sekali dan dia sudah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu kipas besi dan segera menubruk ke depan, tangan kirinya tetap mencengkeram ke arah kepala lawan sedangkan kipas besinya sudah menotok ke arah pusar. Kembali Raja Kelelawar memperlihatkan kelihaiannya. Dengan mudah saja dia menangkis cengkeraman pada kepalanya sedangkan totokan kipas besi itu diterimanya dengan badan yang terlindung jubah pusakanya.
"Trakkk!" Tubuh Tung-hai-tiauw terpental ke belakang karena ketika kipas besinya menotok, senjatanya itu membalik dengan amat kerasnya. Dia menjadi semakin penasaran dan dicabutlah golok pusaka Toat-beng-to hadiah dari Petani Lautan. Kini golok dan kipasnya berkelebatan cepat menyerang Bit-bo-ong tanpa memperdulikan kalau-kalau senjatanya itu akan mengenai tubuh nona yang dipanggul oleh raja iblis itu. Namun, tiba-tiba saja tubuh Raja Kelelawar itu lenyap dari pandang matanya dan dari samping, tangan kanan iblis itu sudah mencengkeram ke arah pelipisnya!
Demikian cepat gerakan iblis itu sehingga Tung-hai-tiauw tidak mampu mengikuti gerakannya dengan pandang mata! Namun, Raja Lautan inipun lihai dan dari angin pukulan yang menyambar dia tahu di mana lawan yang pandai "menghilang" itu, dan diapun membacokkan goloknya menangkis untuk membuntungi lengan lawan. Kembali Bit-bo-ong mengelak dan kini dengan mengandalkan kelincahan gerakan tubuhnya yang seolah-olah pandai menghilang atau beterbangan amat cepatnya itu, dia dapat mempermainkan Tung-hai-tiauw!
Raja Lautan itu merasa terkejut bukan main. Lawannya itu memanggul tubuh dara itu, dan hanya mempergunakan sebelah tangan saja, tangan kosong pula, namun sanggup menghadapi golok dan kipas besinya. Maklumlah dia bahwa memang benar lawan ini sakti bukan main, maka diapun lalu memberi isyarat kepada dua orang pembantunya.
Memang sejak tadi Petani Lautan dan Raja Muda Selatan sudah merasa penasaran. Mereka berduapun merasa tidak rela kalau sampai kedau-latan mereka di atas lautan digeser dan dikuasai oleh seorang asing yang berada di daratan. Maka, begitu melihat isyarat Raja Lautan, mereka berdua lalu terjun ke dalam perkelahian itu dan mempergunakan senjata mereka.
"Plakkk!" Tiba-tiba sebuah tamparan tangan kanan Raja Kelelawar mengenai punggung Raja Lautan. Tamparan itu memang bertemu dengan baju emas yang melindungi tubuh Tung-hai-tiauw sehingga tidak sampai terluka. Akan tetapi hawa tamparan itu sedemikian kuatnya sehingga dia merasa seolah-olah isi dadanya rontok semua! Untung bahwa pada saat itu, kedua orang pembantu utamanya sudah menerjang. Petani Lautan mempergunakan senjata cangkul bergagang panjang sedangkan Raja Muda Selatan mempergunakan pedang pemutus urat yang berbahaya itu.
Bit-bo-ong mengeluarkan suara mendengus keras dari hidungnya. Harus diakuinya bahwa setelah tiga orang raja bajak ini mengeroyoknya, dia tidak mungkin dapat melayani mereka seenaknya seperti itu. Betapapun lihainya, harus diakuinya bahwa tiga orang itupun memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Maka diapun lalu menggerakkan tangan kanannya dan tahu-tahu dia sudah mencabut keluar sebatang pisau panjang yang gagangnya indah bertaburan batu permata itu. Karena tangan kirinya masih merangkul Pek Lian yang dipanggulnya, maka dia hanya dapat mempergunakan sebatang pisau panjang saja.
Namun, ini juga sudah cukup karena dengan ilmunya meringankan tubuh yang luar biasa, ditambah pula lindungan yang kuat dari jubah hitamnya, tiga orang lawannya itu tidak mampu berbuat banyak. Senjata mereka hanya dapat mengenai jubah hitam dan selalu senjata mereka terpental tanpa dapat melukai lawan, sedangkan gerakan iblis itu memang amat cepat, sukar diikuti dengan pandang mata.
Betapapun juga, karena mereka bertiga itu dapat bekerja sama dan saling bantu, bagi raja iblis itupun tidak mudah untuk dapat merobohkan seorang di antara mereka. Kalau saja iblis itu tidak memanggul tubuh Pek Lian, kiranya tiga orang jagoan laut itu tidak akan mampu bertahan sedemikian lamanya. Pertempuran satu melawan tiga ini sungguh amat seru dan mati-matian.
Sebetulnya, kalau saja Raja Kelelawar menghendaki, biarpun dia memanggul tubuh Pek Lian, dengan ilmunya yang mujijat, agaknya dia masih mampu merobohkan dan membunuh para lawannya dengan serangan-serangan maut. Akan tetapi, dia tidak menghendaki demikian. Dia membutuhkan bantuan raja-raja bajak ini untuk memperluas kekuasaannya, maka dia harus mampu menaklukkan mereka, bukan membunuh mereka. Tenaga mereka akan sangat berguna baginya kelak. Karena inilah maka pertempuran itu berjalan seru dan sampai lewat ratusan jurus belum ada yang kelihatan menang atau kalah.
Perkelahian tingkat tinggi ini amat menegangkan hati para anak buah bajak, juga para raja bajak kecil yang tidak berani maju karena merasa betapa tingkat kepandaian mereka masih belum cukup untuk membantu raja mereka. Mereka demikian tegang dan tertarik, hampir tak pernah berkedip menyaksikan pertempuran di atas perahu calon korban itu sehingga mereka tidak sadar bahwa perahu-perahu itu bersama-sama terbawa arus yang halus mendekati daerah Pusaran Maut!
Baru setelah sebagian dari mereka terkena percikan air laut yang halus seperti kabut, mereka sadar! Tadi, suara gemuruh itu seolah-olah tertelan oleh suara mengaungnya senjata-senjata yang digerak-kan oleh tangan-tangan yang memiliki tenaga sakti amat kuat itu. Kini, tahu-tahu mereka sadar bahwa perahu-perahu mereka telah berada di dae-rah Pusaran Maut. Semburan air akibat berpusingnya air di pusaran maut itu telah mengenai mereka, padahal pusaran itu masih jauh sekali.
Setelah mereka sadar, kini suara gemuruh itu menggeratak dan tiba-tiba saja seperti menulikan telinga. Mulailah mereka menjadi panik dan berteriak-teriak, apa lagi setelah perahu-perahu mereka itu mulai terasa oleng terbawa arus dan gelombang yang amat kuat menyeret perahu-perahu itu ke satu jurusan. Tadi mereka tidak merasakan bahwa perahu-perahu mereka terseret karena perkelahian tingkat tinggi itu memang hebat bukan main.
Demikian cepatnya gerakan Raja Kelelawar menghindarkan diri dari kepungan tiga orang lawannya sehingga perkelahian itu dilakukan sambil berloncatan di antara perahu-perahu, tiang-tiang layar, atap dan bergantungan pada tali-tali layar. Memang menakjubkan sekali menyaksikan kehebatan gin-kang dari Raja Kelelawar yang seolah-olah me-mang hendak mendemonstrasikan kepandaiannya sambil memanggul tubuh dara yang masih lemas tertotok itu.
Setelah kini mereka sadar, mereka semua terkejut bukan main dan mereka menjadi ketakutan karena mereka maklum akan ancaman bahaya maut yang amat mengerikan. Bagaikan orang-orang yang baru sadar dari mimpi buruk, semua orang tidak lagi memperdulikan pertempuran yang masih berlangsung mati-matian itu dan mereka semua berusaha untuk mendayung perahu masing-masing menjauhi atau keluar dari daerah berbahaya itu.
Akan tetapi, arus air begitu kuatnya menarik perahu-perahu itu ke arah satu jurusan dan kini terasa hembusan angin yang amat kuat disertai alunan gelombang yang makin meninggi. Perahu-perahu itu menjadi cerai-berai. Semua perahu seperti tersedot ke arah suara gemuruh sehingga suasana menjadi semakin kacau dan semua orang menjadi panik ketakutan. Kabut tebal menggelapkan cuaca. Semua orang berteriak-teriak ketakutan. Perahu-perahu mereka tak dapat mereka kuasai lagi, tersedot aras yang amat kuat dan melaju melingkari kabut tebal itu.
Mereka telah berada dalam kekuasaan cengkeraman Pusaran Maut! Perahu-perahu berputaran semakin cepat dan sema-kin ke tengah. Kabut air makin tebal, orang-orang berteriak dan tiba-tiba terdengar suara gemeratak seperti benda kayu patah-patah disusul jeritan-jeritan mengerikan. Pusaran Maut telah mendapatkan korban pertama dengan pecahnya sebuah perahu dan menghanyutkan semua penumpangnya, tersedot oleh air yang berpusing itu entah ke mana.
Para bajak yang berada di atas perahu-perahu yang agak besar dan yang belum benar-benar tercengkeram sedotan air berpusing itu berusaha mati-matian untuk menjauhi tempat berbahaya itu. Akan tetapi perahu mereka itu rasanya seperti ada yang menahan dari belakang dengan kekuatan yang mengerikan, seperti ada tangan tak nampak yang memegangi buritan mereka. Saking panik dan ketakutan, ada bajak yang meloncat ke laut, ingin berenang menjauhi tempat itu.
Akan tetapi justeru dengan perbuatan itu, mereka itu seperti benda kecil ringan yang dengan mudahnya terseret ke pusat dari Pusaran Maut. Hanya terdengar teriakan-teriakan mereka yang minta tolong melolong-lolong lalu sunyi, sunyi yang mengerikan. Korban-korban berikutnya berjatuhan ketika ada tiga buah perahu yang seperti saling diadu oleh tangan raksasa yang tidak nampak, pecah berantakan dan para penumpangnya terlempar disambut air berpusing lalu disedot entah ke mana.
Para bajak itu menjadi semakin panik. Biasanya, dalam upacara persembahan korban kepada Dewa Laut di Pusaran Maut, mereka tidak pernah sampai ke tempat sedekat itu dengan air berpusing itu. Tadi, saking terpesona oleh perkelahian tingkat tinggi di atas perahu, mereka tidak sadar dan tahu-tahu semua perahu telah berada begitu dekat di tempat berbahaya itu. Perahu di mana tiga orang itu bertanding kini juga sudah berada di tepi pusaran dan diseret berputar-putar tak dapat dikendalikan lagi.
Tentu saja perkelahian itu terhenti secara mendadak. Tiga orang raja bajak itu memandang keluar perahu dengan muka pucat dan mata terbelalak, tidak perduli lagi kepada Raja Kelelawar yarig berdiri tegak di atas dek sambil memanggul tubuh Pek Lian. Anak buah bajak yang kebetulan berada di perahu itu sibuk berusaha mendayung, namun usaha mereka sia-sia belaka, bahkan ada dayung yang patah ketika melawan arus.
Tiga orang raja bajak itu adalah ahli-ahli dalam air dan jagoan-jagoan dalam mengemudikan perahu. Akan tetapi sekali ini mereka berdiri bengong dengan muka pucat seperti kehilangan akal. Angin menghembus semakin kuat dan ombak mengganas menggiriskan hati. Awan hitam bergulung-gulung dan tiba-tiba turun hujan badai yang dahsyat. Tentu saja hujan badai ini tercipta oleh pusaran maut itu karena di daerah itu langit nampak bersih.
Setelah berada dalam keadaan seperti itu, maka setiap orang hanya ingat akan keselamatan diri sendiri saja. Masing-masing hendak mencari keselamatan sendiri-sendiri. Rasa takut merupakan perasaan yang paling kuat untuk menyeret manusia menjadi mahluk yang paling pengecut, paling kejam, dan paling tidak berperikemanusiaan! Kalau ada orang yang melakukan perbuatan kejam, pada hakekatnya di lubuk hatinya terdapat rasa takut yang amat besar.
Kalau ada orang melakukan perbuatan yang pengecut, diapun sedang dicengkeram oleh rasa takut yang amat besar. Rasa takut menghilangkan kewaspadaan dan ketenangan, membuat orang melakukan tindakan karena dorongan rasa takut itu, yang kadang-kadang merupakan perbu-atan yang membuta. Bermacam-macam bentuknya rasa takut. Ada yang takut menghadapi kesulitan, takut kehilangan, takut kesepian, takut menderita, takut dijauhkan dari kesenangannya, dan takut akan kematian.
Akan tetapi, semua bentuk rasa takut itu sesungguhnya berdasar sama, yaitu sang pikiran atau si aku yang membayangkan sesuatu yang tidak menyenangkan, yang mungkin akan menimpanya. Kalau kita dapat terbebas dari rasa takut dan menghadapi segala sesuatu yang menimpa diri kita pada saat itu juga, tanpa membayangkan sesuatu yang belum terjadi.
Maka kita akan selalu tenang dan waspada dan pada saat-saat bahaya mengancam, kita akan dapat bertindak atau memberi tanggapan yang tepat berdasarkan kewaspadaan dan ketenangan. Dan untuk dapat terbebas dari rasa takut tentu saja harus meniadakan si AKU yang membayang-bayangkan hal-hal yang belum ada itu.
Tiga orang raja bajak itu cepat mencari perlengkapan untuk menyelamatkan diri. Mereka memang selalu membawa perlengkapan untuk menolong diri kalau-kalau perahu mereka pecah atau terbalik diserang badai atau apa saja. Kini mereka telah membawa sebuah jangkar dengan tali yang panjang. Raja Laut yang lebih dulu mengayun jangkarnya ke belakang, menggaet sebuah papan dari pecahan perahu. Dengan tepat jangkarnya menggaet papan itu dan diapun meloncat sambil memegangi tali, lalu berenang menuju ke arah papan.
Dari situ dia meloncat lagi, jangkarnya menggaet lain benda. Dengan cara demikan, juga berkat kepandaian renangnya yang mahir, akhirnya dia dapat lolos dari sedotan Pusaran Maut. Dua orang rekannya juga melakukan hal yang sama. Untuk melontarkan jangkar ke perahu lain tak mungkin karena jarak mereka dengan perahu-perahu lain cukup jauh dan kabut tebal membuat cuaca gelap. Hanya sedikit sinar bulan yang menembus kabut dan awan buatan Pusaran Maut itu, membuat sekeliling tempat itu nampak air berkilauan seperti cengkeraman-cengkeraman tangan maut yang hidup.
Raja Kelelawar bersikap tenang untuk memperlihatkan kebesarannya. Akan tetapi sesungguhnya diapun agak bingung menghadapi ancaman maut mengerikan ini. Dia tahu bahwa sebagai seorang manusia, betapapun saktinya, dia tidak akan mampu melawan kekuatan alam yang demikian dahsyatnya. Pula, ilmu-ilmunya adalah ilmu di daratan, dan dia sama sekali bukanlah jago air seperti tiga orang raja bajak itu, walaupun ini tidak berarti bahwa dia tidak pandai berenang.
Untuk dapat melakukan penyelamatan diri seperti tiga orang raja bajak tadi, dia merasa tidak mampu. Akan tetapi, tokoh yang satu ini memang luar biasa. Dia sama sekali tidak menjadi panik sehingga dia tidak kehilangan kewaspadaannya. Sambil memanggul tubuh Pek Liari, dia melangkah ke tepi perahu. Dia masih mempunyai ilmu yang dapat diandalkan untuk menyelamatkan dirinya, yaitu ilmu ginkangnya yang sudah mendekati kesempurnaan itu.
Setelah mencari-cari dengan pandang matanya seperti hendak menembus kegelapan, akhirnya dia melihat sebuah tiang layar hanyut tak jauh dari perahu. Cepat dia menurunkan tubuh Pek Lian dari panggulan, mengempit tubuh itu dengan lengan kirinya dan diapun menggerakkan kedua kakinya meloncat keluar dari perahu. Tubuhnya melayang dengan ringannya dan ketika kedua kakinya hinggap di atas tiang layar yang terapung itu.
Diapun sudah menggunakan tiang itu sebagai landasan untuk meloncat lagi menjauh dan kini yang hendak dijadikan tumpuan loncatan adalah sesosok mayat orang yang terapung. Dengan cekatan dia meloncat ke atas perut mayat itu dan menggunakannya untuk mengenjot tubuhnya lagi ke arah pecahan perahu di dekatnya. Karena pecahan perahu itu cukup besar, dia memperoleh kesempatan untuk berhenti sejenak di atasnya.
Akan tetapi dia tidak boleh terlalu lama di situ karena walaupun dia telah agak menjauhi pusat Pusaran Maut, namun pecahan perahu itupun masih terseret ke tengah lagi. Maka ketika dia melihat sebuah balok besar lewat, diapun meninggalkan pecahan perahu itu dan meloncat ke arah balok besar. Ketika dia tiba di atas balok, dia mendengar suara hiruk-pikuk dan ternyata perahu yang tadi dipakai meloncat telah "dimakan" pusaran air dan hancur berantakan.
Kini dengan perimbangan badan yang luar biasa, dia berdiri di atas balok yang bergoyang-goyang. Hujan angin membuat penglihatannya kabur dan dia tidak dapat melihat terlalu jauh. Dia mencari-cari dengan pandang matanya kalau-kalau terdapat perahu untuk dipakai menyelamatkan diri dari tempat mengerikan itu, karena diapun tidak mungkin dapat terlalu lama bertahan di atas balok itu. Kalau tidak ada tempat lain yang lebih aman, kalau sampai dia tergelincir ke dalam air dan terseret ombak, akan celakalah dia...!"