Darah Pendekar Jilid 15

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Darah Pendekar Jilid 15
Sonny Ogawa

Darah Pendekar Jilid 15 karya Kho Ping Hoo - TIBA-TIBA dia mengeluarkan suara tertahan saking girangnya. Dia tidak tahu betapa Pek Lian sejak tadi menderita ketakutan yang amat hebat. Dara ini dalam keadaan tertotok dipanggul dan dibawa berkelahi mati-matian, lolos dari lubang jarum di antara sambaran senjata tiga orang raja bajak yang mengeroyok raja iblis itu. Kemudian, sekarang dibawa berloncatan berjuang mempertahankan nyawa diancam kematian mengerikan di Pusaran Maut!

Novel silat Darah Pendekar karya Kho Ping Hoo

Ingin rasanya Pek Lian menjerit dan menangis, akan tetapi dara ini menguatkan hatinya dan hanya memejamkan mata melihat ombak menggunung yang setiap saat seperti hendak menelannya. Beberapa kali mukanya disiram air laut dan mulut, hidung dan matanya terasa asin dan pedas sekali. Ketika raja iblis itu mengeluarkan suara tertahan dengan girang, Pek Lian membuka matanya dan dara inipun melihat bayangan sebuah perahu yang hanya nampak samar-samar dalam cuaca remang-remang itu.

Perahu itu masih agak jauh, dan Raja Kelelawar memperhitungkan bahwa untuk mencapai perahu itu dia membutuhkan tiga atau empat kali loncatan lagi. Balok tempat dia berdiri sudah mulai berputaran kencang. Raja Iblis itu memandang ke sekeliling dan tiba-tiba di dekat balok yang dipijaknya itu tersembul dua sosok mayat. Otaknya bekerja cepat sekali. Tangan kanannya mencengkeram rambut kepala dua mayat itu dan menariknya ke atas.

Karena ditambah beban dua sosok mayat itu, balok yang dipijaknya tenggelam, akan tetapi raja iblis itu telah mempergunakan balok itu untuk mengenjot tubuhnya meloncat ke arah perahu di depan sambil melemparkan sebuah di antara dua mayat yang dicengkeramnya. Mayat itu menimpa permukaan air dan kedua kaki Raja Kelelawar menyusul cepat, hinggap di atas punggung mayat itu dan diapun melontarkan mayat ke dua ke depan, meloncat lagi dan dia sudah hinggap lagi di atas mayat ke dua.

Kini dia sudah makin mendekati perahu itu, tinggal dua kali loncatan lagi. Akan tetapi tidak ada benda yang mengapung dekat, sedangkan tentu saja dia tidak mungkin dapat berdiri terlalu lama di atas mayat itu yang merupakan benda yang tidak tahan terapung. Sekarangpun mayat itu telah mulai turun dari permukaan air dan kedua kakinya sudah terendam! Sekali ini, Raja Kelelawar benar-benar merasa ngeri. Tidak ada jalan lain lagi, pikirnya cepat.

Sebelum dia terendam terlalu dalam sehingga sukar untuk meloncat, dia sudah mengenjot tubuhnya lagi menggunakan mayat itu sebagai landasan, dan tubuhnya melayang ke depan. Karena tidak ada apa-apa yang dapat dijadikan tempat mendarat, kini dia melemparkan tubuh Pek Lian ke atas air setelah terlebih dahulu menotoknya sehingga jalan darah dara itu pulih kembali.

"Byuuurrr!!" Tubuh Pek Lian jatuh ke air dan tiba-tiba kaki Raja Kelelawar telah menginjak punggungnya. Nona itu gelagapan dan meronta, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya tertekan kuat dan diapun tenggelam. Kiranya tubuhnya dipakai landasan meloncat oleh Raja Kelelawar yang kini meloncat ke arah perahu yang telah dekat. Akan tetapi oleh karena ketika dipakai landasan meloncat, tubuh Pek Lian tenggelam dan meronta, maka loncatan Raja Kelelawar itu tidak dapat mencapai sasaran dan tubuhnya melayang turun masih kurang tiga meter dari perahu itu!

Kalau orang lain yang meloncat seperti itu, tak dapat dicegah lagi tentu tubuhnya akan terjatuh ke dalam air. Akan tetapi Raja Kelelawar bukanlah manusia biasa, melainkan orang yang telah memiliki tingkat kepandaian yang amat hebat. Maka ketika tubuhnya melayang turun, dia lalu mengeluarkan sabuknya, melolos sabuk itu dan dihantamkannya sabuk itu ke atas permukaan air laut. Terdengar bunyi ledakan keras seperti cambuk yang dipukulkan dan ketika ujung sabuk itu mengenai permukaan air, terjadilah gelombang besar dan tubuhnya sendiri dapat berjungkir balik ke atas sampai mendekati perahu, kurang satu setengah meter lagi!

Kini sabuknya kembali bergerak menyambar pinggiran perahu dan sekali dia membetot, tubuhnya meluncur ke arah perahu. Dengan gerakan yang istimewa, akhirnya Raja Kelelawar itu berhasil mendarat di atas dek perahu itu. Hatinya lega bukan main. Akan tetapi ketika dia menoleh ke arah air di mana tadi dia melemparkan tubuh Pek Lian, ternyata nona itu sudah tidak nampak lagi. Akan tetapi raja iblis ini tidak memperdulikannya lagi. Dia lalu mendayung perahunya dan menyelamatkan dirinya dengan membawa perahu itu menempuh ombak dan badai, menjauhi Pusaran Maut.

Badai dan ombak makin menggila dan agaknya keadaan ini malah dapat menyelamatkan sebagian dari para anak buah bajak. Perahu-perahu itu ada yang ditiup badai dan dibawa ombak menjauhi Pusaran Maut, walaupun banyak pula perahu yang diseret tenggelam berikut para pemumpangnya. Tiga orang raja bajak itu dapat menyelamatkan diri mereka dan dengan lesu mereka semua berkumpul di pulau Raja Laut, menghitung anak buah masing-masing dan ternyata sepertiga bagian dari anak buah mereka lenyap menjadi korban Pusaran Maut.

Sekali ini, bukan seorang perawan suci yang mereka persembahkan kepada Dewa Laut, melainkan anak buah mereka sendiri yang puluhan orang jumlahnya. Diam-diam mereka menyalahkan peristiwa itu kepada Raja Kelelawar, akan tetapi di samping itu merekapun harus mengakui bahwa Raja Kelelawar itu sungguh luar biasa sekali ilmunya dan memang pantas menamakan diri sebagai keturunan raja iblis itu.

Biarpun dia masih terpilih sebagai Raja Lautan, namun sekali ini pengangkatannya sebagai raja diawali peristiwa yang amat tidak menyenangkan, membuat Tung-hai-tiauw berhati-hati dan cepat menyusun kekuatan anak buahnya lagi dengan mengambil anggauta-anggauta baru.

Pek Lian mengeluh ketika punggungnya diinjak oleh kala Raja Kelelawar. Kekuatan yang mendorongnya membuat tubuhnya tenggelam. Ia gelagapan, meronta dan akhirnya dapat muncul kembali di permukaan air laut. Untung bahwa ia sudah keluar dari arus berputar yang dibawa oleh Pusaran Maut. Sekuat tenaga ia berenang menjauhi walaupun seluruh tubuh, terutama punggungnya, terasa nyeri-nyeri.

Akkhirnya ia berhasil meraih sebuah papan yang cukup lebar dan yang lewat di dekatnya. Agaknya papan itu adalah bekas pintu kamar perahu. Ia lalu naik dan merebahkan diri di atas papan itu, lalu dibiarkannya ombak membawa papan itu ke mana saja. Ia sudah keha-bisan tenaga dan ia memasrahkan dirinya kepada kekuasaan yang menggerakkan air laut luas itu. Dan iapun terlelap, setengah pingsan, tak tahu apa-apa lagi.

Fajar telah menyingsing. Matahari yang lembut sinarnya, kemerahan dan bulat besar, muncul dari permukaan air laut sebelah timur. Sudah tidak ada bekasnya lagi hujan badai semalam. Langit nampak bersih cerah, dengan awan-awan putih kebi-ruan menghias disana-sini, nampak begitu tenang tenteram penuh damai yang mengamankan hati. Tiada angin menggerakkan awan-awan tipis itu.

Burung camar beterbangan di udara. Sepagi itu mereka belum sibuk mencari ikan, agalknya masih bermalas-malasan membiarkan dirinya melayang dan meluncur berkeliling di udara. Sayap mereka hanya bergerak sekali-kali saja, dan hanya dikembangkan untuk menjaga keseimbangan tubuh ketika meluncur di langit yang kosong.

Ekornya kadang-kadang bergerak bersama kepala, agaknya untuk mengemudikan penerbangan mereka yang seenak-nya itu. Kadang-kadang mereka mengangkat ke-pala agak tinggi dan mengeluarkan teriakan, mungkin memanggil pacarnya atau temannya. Namun gerakan tubuh yang meluncur berkeliling itu, teriakan sekali-kali yang parau itu, sama sekali tidak mengganggu keheningan yang terasa menyelimuti dunia di saat itu. Mereka bahkan menjadi sebagian dari kesunyian dan keheningan itu, dan tanpa mereka keheningan itu takkan lengkap agaknya.

Matahari pagi menciptakan sebuah lorong emas di permukaan air laut yang tenang, sebuah lorong emas memanjang yang kadang-kadang dilintasi bayangan ikan yang tersembul dari permukaan air, nampak siripnya lalu menyelam kembali meninggalkan lingkaran-lingkaran di permukaan air. Makin lama, lorong keemasan itu berobah semakin terang dan akhirnya terganti menjadi lorong perak yang mulai menyilaukan mata. Pada saat itu orang sudah tidak lagi berani memandang ke arah matahari yang telah berobah menjadi bola perak yang bernyala-nyala.

Pek Lian mengeluh, membuka matanya dan sejenak ia bingung. Akan tetapi, begitu terasa betapa punggung dan pundaknya nyeri, dan mengenal papan di mana ia rebah, ia segera teringat akan keadaannya dan iapun memaksa tubuhnya untuk bangkit duduk. Laut tenang sekali sehingga papan yang ditumpanginya itu hampir tidak bergerak. Ia memandang ke sekeliling. Air dan air biru yang mulai berkilau tertimpa cahaya perak matahari.

Ketika menoleh ke arah timur, matanya menjadi silau dan cepat-cepat ia membuang muka. Ia tidak tahu sampai di mana papan itu membawanya, dan di sekitarnya yang nampak hanya air laut saja. Perutnya terasa perih dan lapar bukan main. Ketika ia melihat sebatang dayung di dekatnya, ia merasa girang bukan main dan cepat mengambilnya. Ia tidak ingat lagi kapan ia menemukan dayung ini, mungkiri semalam ketika ia naik ke papan ini, ia tidak tahu lagi. Yang penting, dayung ini akan dapat membawanya ke darat!

Ia harus cepat-cepat menemukan daratan kalau ia ingin hidup karena tidak mungkin ia dapat bertahan lama di atas papan ini tanpa makan dan minum, sedangkan tubuhnya masih lelah dan nyeri semua rasanya. Ia tahu bahwa ia berada di laut timur, maka ia tidak ragu lagi bahwa daratan tentu berada di barat, arah sebaliknya dari matahari. Maka iapun mulai mendayung ke arah yang sebaliknya dari matahari terbit, ke barat.

Punggung dan pundaknya terasa nyeri ketika mendayung, na-mun ia memaksa diri dan mendayung dengan gerak-an tetap, tidak berani terlalu mengerahkan tenaga karena hal ini akan cepat menghabiskan tenaganya. Karena air laut amat tenang, maka papannya dapat meluncur dengan kelajuan yang cukup membesar-kan hati.

Akan tetapi kebesaran hatinya mulai mengecil dan harapannya makin menipis setelah matahari naik tinggi dan sinarnya menimpa ubun-ubun kepalanya, kedua lengannya sudah pegal-pegal senerti hendak patah-patah rasanya, punggung dan pundaknya kiut-miut rasanya, namun belum juga nampak adanya daratan atau pulau. Perutnya sudah terasa lapar sekali dan tabuhnya lemas. Tenggorokannya kering. Tubuh terasa setengah lumpuh dan matanya mulai berkunang-kunang.

Pek Lian mengeluh dan menghentikan gerakan tangannya yang mendayung. Ia memejamkan kedua matanya, merasa bahwa kematian agaknya tak lama lagi ten-tu datang menjemputnya. Dari jauh ia seperti melihat wajah ayah dan ibunya. Mereka datang hendak menjemputnya! Ayahnya nampak berpakaian serba putih, jenggotnya yang panjang dan putih itu berkibar tertiup angin dan ibunya yang telah tiada itu nampak masih muda dan cantik sekali.

Mereka berdua itu mengulurkan tangan kepada nya dan iapun tidak ingat apa-apa lagi. Samar-samar dilihatnya lagi ayahnya yang berpakaian putih, bersama ibunya yang juga berpa-kaian serba putih. Mereka itu lewat atau lebih tepat melayang agak jauh dari tempat ia rebah. Mereka meninggalkannya.

"Ayaaahhh! Ibu!" Pek Lian mengeluh dan memanggil lalu tersadar. Ia membuka matanya. Bayangan ayah bundanya sudah tidak nampak lagi. Dan ia mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah kamar kecil, rebah di atas sebuah dipan. Ia terbawa oleng ke kanan kiri dan telinganya dapat mendengar suara hempasan air memukul dinding kamar. Ia berada dalam sebuah bilik perahu!

Ketika menoleh ke kiri, ia melihat seorang gadis berpakaian serba putih duduk di atas sebuah kursi kayu, memejamkan kedua matanya, agaknya tertidur atau beristirahat. Ketika Pek Lian meneliti dirinya, ternyata pundak kirinya telah dibalut dan terasa olehnya betapa punggung dan pundaknya hangat dengan obat lumur, juga ada tercium bau obat olehnya. Sekalipun tubuhnya masih penat-penat, akan tetapi punggung dan pundaknya sudah tidak terasa nyeri lagi ketika digerakkan.

Ia memandang ke sekeliling memeriksa keadaan dalam bilik itu. Di atas meja kecil terdapat bermacam-macam gelas obat, agaknya obat-obat untuknya. Akan tetapi tiba-tiba hidungnya mencium bau yang aneh. Ia menjadi waspada dan ketika ia mengenal bau harum dupa yang biasa dipakai orang untuk menyembahyangi orang mati, alisnya berkerut. Kurang ajar! Agaknya orang-orang dalam perahu ini menganggap bahwa ia sudah mati!

Akan tetapi, pada saat itu timbul gagasan yang membuat dara ini hampir tertawa cekikikan. Kalau ia dianggap sudah mati, biarlah ia akan membuat mereka semua itu ketakutan! Tentu mereka itu akan ngeri melihat ia hidup kembali! Ia melirik ke arah gadis yang terkantuk-kantuk di atas kursi dan tersenyum. Orang pertama yang akan melihat mayat hidup adalah gadis ini. Ia membayangkan betapa gadis itu akan terkejut dan ketakutan setengah mati, terkencing-kencing!

"Ehem! Ehem!!" Ia terbatuk-batuk sambil duduk menghadapi gadis itu.

Benar saja. Gadis itu terbangun dari tidurnya. Akan tetapi bukan gadis itu yang terkejut ketakutan melihat mayat hidup, melainkan Pek Lian sendiri yang kecelik karena gadis itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan girang. Gadis itu lalu meloncat mendekati dan berusaha mencegahnya untuk duduk terlalu lama.

"Aihh nona sudah siuman kembali? Dan eh, harap nona jangan banyak bergerak dulu, harap suka rebah saja!"

Akan tetapi Pek Lian tidak mau rebah kembali. Sambil memandang tajam iapun bertanya, "Dimana aku berada? Dan siapakah engkau?"

Sebelum gadis itu menjawab, pintu bilik perahu itu terbuka dan muncullah seorang gadis cantik jelita yang berperawakan langsing. Juga gadis ini berpakaian serba putih, terbuat dari pada sutera halus. Wajah yang cantik itu tersenyum ramah ke pada Pek Lian.

"Enci Lian berada di perahu kami. Lupakah enci kepadaku? Kami adalah kaum Tai-bong-pai dan enci pernah membantuku ketika aku sedang diobati oleh keluarga keturunan Tabib Sakti beberapa bulan yang lalu."

"Ahli engkau adik Kwa Siok Eng ?" Pek Lian berkata lirih, kini teringat kepada gadis remaja yang cantik itu, yang dahulu menderita sakit lumpuh dan diusung dalam keranjang pada tengah malam oleh anak buah Tai-bong-pai, diantar oleh nyonya Kwa tokoh Tai-bong-pai, ibu dari gadis ini.

"Enci Pek Lian, aku sangat berterima kasih kepadamu atas budimu yang besar itu." Siok Eng menjura dengan hormat, kemudian mendekati pembaringan dan dengan halus ia membujuk agar Pek Lian suka rebah kembali karena gadis itu sedang berada dalam pengobatan. "Lukamu yang berada di sebelah dalam cukup gawat, enci, maka engkau perlu beristirahat dan mengalami pengobatan yang teliti."

"Terima kasih, adik Eng. Kalau tidak bertemu dengan perahumu eh, bagaimana engkau dapat menolongku dan dengan siapa saja engkau berlayar ini? Dan hendak ke mana?"

Siok Eng tersenyum dan nampak deretan gigi yang putih dan rata seperti rangkaian mutiara. Diam-diam Pek Lian harus mengakui bahwa da-ra ini juga amat cantik jelita ! Hanya sayangnya, wajah yang rautnya manis ini nampak kepucatan seperti wajah orang-orang Tai-bong-pai pada umumnya. Siok Eng merasa geli mendengar hujan pertanyaan itu.

"Enci Lian, aku sedang pergi hendak mencari Ban-kwi-to!"

"Ban-kwi-to?" Pek Lian bergidik, teringat bahwa Ban-kwi-to (Pulau Selaksa Setan) adalah tempat tinggal orang-orang yang amat lihai dan kejam seperti Bouw Mo-ko dan Hoan Mo-li, kakek nenek cabul tak tahu malu yang ganas dan amat jahat itu.

Siok Eng mengangguk. "Dengan ditemani tiga belas orang dayang dan ahli-ahli perahu, aku berlayar mencari Ban-kwi-to dan kebetulan sekali aku melihat engkau rebah pingsan di atas papan itu. Aih, betapa besar rasa terima kasihku kepada Dewa Lautan yang telah mempertemukan kita sehingga aku berkesempatan untuk membalas segala budi kebaikanmu dahulu, enci Lian." Ia berhenti sebentar dan menatap wajah Pek Lian, lalu melanjutkan dengan pertanyaan, "Akan tetapi, sungguh tak ada habisnya aku berheran bagaimana engkau tahu-tahu berada di tengah lautan, di atas sebuah papan pintu, dalam keadaan terluka dan kehabisan tenaga, enci Lian?"

Pek Lian menarik napas panjang. "Ah, agak panjang ceritanya, adik Eng. Aku tertawan oleh anak buah Raja Lautan, hendak dijadikan korban Pusaran Maut agaknya."

"Ah, bukan main! Engkau terpilih menjadi korban Dewa Laut di Pusaran Maut? Tentu mereka itu kembali mengadakan pemilihan Raja Lautan yang diadakan tiga tahun sekali, bukan? Dan bagaimana engkau dapat lolos dari bahaya maut seperti itu?"

"Terjadi keributan dengan munculnya Raja Ke lelawar."

"Ihhh....!" Siok Eng membelalakkan matanya yang bening. "Benarkah raja iblis itu muncul di sana? Di pulau Raja Lautan?"

"Tidak, tahu-tahu dia muncul di antara perahu-perahu, hendak menundukkan tiga raja bajak laut. Terjadi perkelahian hebat dan perahu-perahu itu tanpa mereka sadari telah terseret oleh Pusaran Maut. Semua orang nyaris tewas dan aku sendiri akhirnya dapat menyelamatkan diri dan menumpang pada papan itu."

Pek Lian tidak mau menceritakan semua pengalamannya yang mengerikan, juga memalukan. Mana mungkin ia menceritakan betapa ia ditawan Raja Kelelawar, dipanggul dan pinggulnya dielus-elus dan dicubit, kemudian betapa ia dijadikan batu loncatan oleh raja iblis itu yang hendak menyelamatkan diri?

Siok Eng menarik napas panjang. "Ah, ternyata para dewa masih melindungimu, enci Lian! Lolos dari tangan mereka sungguh merupakan keajaiban, dan lolos dari Pusaran Maut juga merupakan suatu kemujijatan."

"Dan dalam keadaan hampir mati bertemu denganmu merupakan berkah yang luar biasa besarnya, adik Eng. Sebenarnya, orang seperti engkau ini mau apa pergi ke Pulau Selaksa Setan yang menjadi sarang manusia-manusia iblis yang amat kejam itu?"

Siok Eng tersenyum. "Biarkan aku memeriksa lagi luka-lukamu, enci, nanti kuceritakan semuanya kepadamu." Dara itu lalu membuka balut pun-dak Pek Lian, memeriksa dan memijat sana-sini dengan jari-jari yang ahli.

"Engkau sekarang telah menjadi seorang ahli pengobatan yang hebat, Eng-moi," ia memuji. "Dan tentu engkau sekarang sudah sembuh sama sekali dari penyakitmu dahulu itu, bukan?"

Dara yang usianya baru kurang lebih tujuhbelas tahun itu mengangguk. "Ya, aku sudah sembuh berkat pertolongan locianpwe Kam Song Ki "

"Apa? Kau maksudkan kakek murid ke tiga dari Raja Tabib, yang amat hebat ilmu ginkang-nya itu?" Pek Lian berseru dan terbayanglah wajah yang tampan dari Kwee Tiong Li, ketua lembah pemimpin para patriot itu. Biarpun dia menyebut nama kakek itu, namun sesungguhnya yang terbayang olehnya adalah pemuda itu yang pergi bersama si kakek. "Di manakah adanya kakek itu sekarang?"

Siok Eng menggeleng kepalanya. "Entahlah, setelah dia mengobati aku, bersama muridnya dia lalu pergi meninggalkan tempat kami, entah ke mana. Apakah enci mengenal mereka?"

Pek Lian mengangguk tanpa menjawab. Wajah yang tertimpa sinar lampu itu nampak demikian cantiknya dan karena lampu itu terbungkus kertas warna merah sehingga sinarnya kemerahan maka kepucatan wajahnya tertutup oleh sinar itu. Di lain fihak, Siok Eng yang dipandang seperti itu oleh Pek Lian, menjadi agak heran dan malu-malu. Ia melanjutkan pengobatannya, memberi obat lumur ke pundak dan punggung Pek Lian sambil bercerita.

"Engkau tadi bertanya mengapa aku pergi mencari Pulau Selaksa Setan? Sesungguhnya aku mencari tempat tinggal orang-orang beracun dari pulau itu adalah untuk mencari Hek-kui-hwa (Bunga Mawar Hitam atau Bunga Setan Hitam) yang berdaun putih. Menurut ayahku, bunga itu hanya tumbuh di sana dan bunga itulah yang dapat menjadi obat untuk membantuku menyempurnakan latihan ilmu keturunan Tai-bong-pai.

"Dengan bantuan racun bunga itu, yang dalam hal umum mengandung racun yang mematikan dan tidak ada obat penawarnya, maka aku akan dapat menyalurkan sinkang untuk membuka jalan darah yang paling rumit dan gawat, yaitu Kim-nauw-hiat di ubun-ubun kepala. Tanpa dapat menembus jalan darah itu, ilmu keturunan kami tidak akan dapat dikuasai dengan sempurna. Akan tetapi memang banyak bahayanya menyempurnakan ilmu itu sehingga ayah telah melarangku.

"Akan tetapi aku nekat karena ingin sekali mewarisi ilmu itu dan akibatnya engkau telah tahu sendiri. Aku menjadi lumpuh dan hampir saja mati. Melihat kenekatanku. setelah aku sembuh, ayah membuka rahasia ini, yaitu bahwa kalau aku bisa memperoleh Hek-kui-hwa dari Pulau Ban-kwi-to, maka aku akan dapat berhasil mewarisi ilmu itu. Sampai kini, hanya ayah seorang saja yang telah menguasai ilmu keturunan itu dengan sempurna."

Pek Lian mendengarkan dengan hati penuh kagum. Semuda itu, Siok Eng telah mempelajari ilmu yang sedemikian hebatnya dan semangat dara ini demikian besar sehingga berani menempuh bahaya dengan mencari pulau yang ditakuti oleh semua tokon kang-ouw itu. Mereka melakukan pelayaran sampai seminggu lamanya. Karena diobati dengan tekun dan dibantu pengerahan tenaga sinkang dari Siok Eng, maka kesehatan Pek Lian pulih kembali.

Setiap kali melihat cara Siok Eng melakukan siulian, Pek Lian merasa heran sekali. Nona dari Tai-bong-pai itu kalau melakukan samadhi, selalu dikelilingi berpuluh dupa wangi yang membara sehingga asap hio itu menyelimuti seluruh tubuhnya. Akhirnya ia tidak dapat menahan diri dan bertanya tentang hal ini kepada Siok Eng.

"Biasanya orang bersamadhi sebaiknya memilih tempat di mana hawa udaranya bersih dan tenang, akan tetapi mengapa justeru engkau menggunakan begitu banyak dupa yang asapnya dapat menyesakkan pemapasan?"

Siok Eng tersenyum mendengar ucapan itu. "Enci yang baik, hio-hio yang kubakar ini adalah dupa khusus buatan kami kaum Tai-bong-pai. Setiap batang hio mengandung sari obat penguat urat-urat dan jalan darah. Siapa saja dari kami yang mulai mempelajari sinkang perguruan Tai-bong-pai akan menggunakan dupa-dupa itu sebagai landasan atau dasar dari ilmu kami yaitu Tenaga Sakti Asap Hio yang membuat badan dan keringat kami berbau harum seperti hio."

Diam-diam Pek Lian bergidik. Keringat yang berbau harum seperti hio mengingatkan orang akan iblis dan siluman. Hanya iblis dan siluman sajalah agaknya yang keringatnya berbau hio. Akan tetapi tentu saja ia tidak menyatakan isi hati itu melalui mulut. "Sudah lamakah engkau melatih ilmu rahasia khusus Tai-bong-pai?"

"Tentu saja sejak aku masih kecil. Akan tetapi ilmu-ilmu yang sukar hanya dapat dipelajari setelah dewasa."

Pek Lian mengangguk-angguk dan memandang kagum. "Hemm, engkau tentu sekarang telah menjadi lihai bukan main."

Siok Eng menggeleng kepala dan berkata merendah, "Masih belum, enci Lian. Aku masih harus dapat menembus pintu Kim-nauw-niat di ubun-ubun itu, baru ada kemungkinan aku berhasil baik."

Seorang dayang kepercayaan yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu dan melihat betapa nonanya selalu merendah, menjadi tidak sabar. "Nona kami memang pandai merendah! Sebenarnya nona kami adalah nomor tiga tingkat kepandaiannya di dalam perguruan kami. Nomor satu tentu saja adalah pangcu (ketua), kemudian nomor dua adalah siauw-ya (tuan muda) yaitu kakak dari nona kami, dan nomor tiga adalah nona Kwa Siok Eng. Toa-hujin saja kalah oleh nona!"

Mendengar ini, Siok Eng hanya mendengus dan menyuruh dayangnya berhenti bicara sedangkan Pek Lian mendengar dengan hati penuh kagum. Ia pernah melihat betapa ibu nona ini memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa lihainya. Jadi, kalau Siok Eng sudah dapat melampaui ibunya, maka sukar dibayangkan betapa hebatnya ilmu kepandaian nona remaja ini! Padahal, Siok Eng kelihatan begitu lemah lembut dan halus.

Malam itu gelap. Bulan tua belum lama muncul di langit timur, hanya memberi cahaya yang remang-remang. Akan tetapi banyak bintang ber-munculan di angkasa. Setiap kali angkasa tiada bidan atau yang ada hanya bulan sepotong yang remang-remang, pasti bintang-bintang bermunculan. Dua orang gadis itu berada di atas geladak perahu dan melihat-lihat bintang yang memang nampak cemerlang indah seperti ratna mutu manikam yang menghias langit-langit beludru hitam kebiruan yang lembut dan maha luas.

"Di manakah adanya Pulau Selaksa Setan itu, Eng-moi? Apakah masih jauh dari sini?" tanya Pek Lian. Ia sendiri merasa heran mengapa ia kini betah tinggal di sebuah perahu. Pelayaran ini terasa indah dan menyenangkan baginya, mungkin hal ini karena baru saja ia mengalami pelayaran yang penuh bahaya dan sama sekali tidak menyenangkan hatinya. Kini ia merasa begitu aman tenteram dan penuh damai di perahu milik Tai-bong-pai itu. Apa lagi di situ terdapat Siok Eng yang amat ramah dan halus budi.

"Entahlah, enci Lian. Kami sendiri belum pernah melihatnya. Akan tetapi aku telah mempela-jari keadaan pulau itu dari keterangan yang dapat kukumpulkan. Menurut penyelidikanku itu, Pulau Selaksa Setan tidak nampak dari jauh karena selalu diliputi kabut tebal sehingga sukarlah ditemukan dan orang luar tidak dapat melihat keada-annya. Mungkin sekali kabut itu tercipta dari hawa beracun yang memenuhi pulau itu. Kabarnya, semua benda, binatang, tumbuh-tumbuhan dan apa saja yang berada di sana mengandung racun. Juga kabarnya, menurut para nelayan yang pernah melihatnya, pulau itu dapat berpindah-pindah, mengikuti arus air laut."

"Ih, kenapa bisa begitu?" Pek Lian bertanya heran mendengar ada pulau yang bisa pindah-pindah.

"Itulah sebabnya maka pulau itu dinamakan Pulau Selaksa Setan," kata Siok Eng sambil tersenyum. "Bukan hanya karena beracun, melainkan juga karena dapat berpindah-pindah seolah-olah ada setan-setan yang mendorong pulau itu pindah tempat."

"Tapi tapi, mana mungkin dongeng tahyul seperti itu dapat terjadi sungguh-sungguh?"

"Aku sendiri tidak percaya ada setan mendorong-dorong pulau, enci Lian. Akan tetapi, andaikata benar terjadi pulau itu pindah-pindah tempat, ada kemungkinannya. Mungkin saja tanah dari pulau itu di bagian bawahnya tidak menjadi satu dengan dasar laut, hanya menempel saja. Dengan demikian, apa bila ada terjadi arus yang kuat, bukan tak boleh jadi pulau itu tergeser dari tempatnya. Bukankah kemungkinan itu besar dan masuk akal, enci Lian?"

Pek Lian memandang kagum. "Adik Eng, engkau sungguh membuat hatiku kagum. Engkau pandai dan cerdik, lihai ilmu silatmu dan cantik jelita lagi. Alangkah bahagianya pemuda yang dapat menyuntingmu kelak. Dan aku yakin sebentar lagi ilmumu akan melebihi ayahmu."

"Aihh, cici pandai benar memuji orang! Siapa pula sudi mengawini gadis yang pernah lumpuh sepertiku ini?" Siok Eng berkata dengan muka kemerahan. Akan tetapi di sudut hatinya ia bergembira sekali. Terbayang di matanya wajah seorang pemuda yang jangkung dan tampan sekali, pemuda yang pernah menyelamatkannya, bahkan yang hampir saja mengorbankan nyawanya sendiri demi penyakit lumpuh yang dideritanya. Pemuda itu mengobati dirinya yang waktu itu dalam keadaan telanjang bulat. Seorang pemuda yang tampan, gagah perkasa, dan berbudi. Bu Seng Kun! Hatinya ingin sekali bertemu dengan pemuda itu, untuk menyatakan rasa terima kasihnya. Akan tetapi, apa bila ia teringat bahwa ia pernah bertelanjang di depan pemuda itu, ia merasa malu sekali dan sukar untuk membayangkan bagaimana ia akan dapat berhadapan muka dengan pemuda itu.

"Heii, itu di sana ada ikan besar terapung! Tukang dayung! Tangkaplah ikan itu, kita adakan pesta besar malam ini!" Tiba-tiba terdengar seman seorang dayang yang menudingkan telunjuknya ke sebelah kanan perahu mereka.

Sibuklah anak buah perahu itu menangkap ikan yang besarnya seperti manusia dewasa itu. Ikan meronta-ronta dalam jala. Dua orang gadis itu cepat mendekati dan memeriksa ikan yang dari jauh nampak kebiruan itu. Dan memang benar. Ikan itu segala-galanya berwarna biru. Sisiknya, matanya, dagingnya dan segalanya.

"Awas, lepaskan dia! Ikan itu beracun!" kata Siok Eng dan mereka lalu, melepaskan kembali ikan itu yang segera menyelam ke dalam air. "Ah, kita sudah dekat dengan daerah Ban-kwi-to! Agaknya tidak sia-sia jerih payah kita berlayar sekian lamanya. Ikan itu menurut keterangan adalah satu di antara penghuni perairan di sekitar pulau. Kulihat tadi dia terluka di bagian kepalanya, maka tersesat ke sini." Siok Eng lalu memanggil seorang pembantunya yang ahli dalam memeriksa arus gelombang.

Kakek setengah tua yang juga menjadi kepala bagian pendayung itu mengadakan pemeriksaan dengan teliti. Dia lalu menunjukkan arah arus air yang menuju ke kiri. Sementara itu, bulan tua sudah naik semakin tinggi. Perahu mereka terus dilajukan ke arah kiri dan semua orang bersikap tegang namun waspada karena nona mereka sudah mengatakan bahwa mereka telah berada dekat dengan tempat yang mereka cari.

"Nona, lihatlah! Air laut ini warnanya kemerahan seperti darah!" kata seorang dayang.

"Dan baunya busuk sekali!" kata Pek Lian yang juga berada di tepi geladak perahu bersama Siok Eng.

Siok Eng juga meneliti ke arah air dan cuping hidungnya yang tipis itu berkembang-kempis. Ti-ba-tiba ia berkata, suaranya mengandung ketegangan dan kegembiraan, "Hati-hati, agaknya daerah ini sudah termasuk perairan Ban-kwi-to. Air laut di sini sudah beracun. Tutup hidung kalian dengan saputangan, udaranya juga mengandung racun. Nanti kuberi obat penawar."

Setelah nona itu mengeluarkan obat penawar berupa pel-pel putih kecil yang dibagi-bagikan kepada anak buahnya, juga Pek Lian disuruh menelan sebutir, mereka tidak perlu lagi melindungi pernapasan dengan saputangan. Akan tetapi karena bau air laut amat busuk, para dayang itu berbangkis-bangkis dan ada yang mau muntah.

Pek Lian bergidik ngeri. Sukar untuk dapat membayangkan bagaimana ada manusia dapat hidup di tempat seperti ini. Dan iapun semakin kagum kepada Siok Eng. Ia tahu bahwa kaum Tai-bong-pai adalah ahli-ahli racun, akan tetapi melihat seorang dara remaja seperti Siok Eng bersikap sedemikian tenangnya menghadapi tempat yang amat berbahaya itu, ia merasa kagum sekali. Hatinya terasa besar dan gembira untuk menghadapi petualangan bersama seorang kawan seperti puteri ketua Tai-bong-pai ini.

Makin dalam mereka memasuki daerah itu, makin keras bau busuk dari air laut merah. Akan tetapi tiba-tiba saja mereka telah melewati air berbau busuk itu, akan tetapi sebagai gantinya, airnya kini berobah kehijauan dan baunya juga amat kecut, seperti bau keringat yang sudah lama.

"Ihh, seperti bau keringatmu, A-cin!" seorang dayang berolok kepada temannya.

"Sialan! Keringatku tidak bau seperti ini, A-cui. Keringat seperti ini hanya patut dimiliki oleh laki-laki!"

"Hi-hik, ketahuan sekarang! Si A-cin agaknya sudah hafal akan bau keringat laki-laki!" seorang dayang lain menggoda. "Tentu keringat pacarnya seperti ini baunya. Wahhhh!"

"Lancang mulut! Kalau keringat pacarku seperti ini baunya, dalam waktu sehari saja mana aku kuat?" kata pula A-cin dan semua dayang tertawa.

Pek Lian ikut tersenyum. Para dayang itu agaknya, sebagai orang-orang Tai-bong-pai, juga memiliki nyali yang besar sehingga di tempat seperti itu masih sempat berkelakar. Memang bau air laut amat kecut, mirip bau keringat.

"Hei, kalian tenanglah!" tiba-tiba Siok Eng berkata. "Dan simpan kelakar kalian itu. Ketahuilah, kita sudah dekat! Ayah pernah bercerita bahwa air laut yang merah berbau busuk itu merupakan perbatasan, dan kalau sudah tiba di daerah air laut kehijauan yang berbau masam, itu tandanya bahwa pulau itu akan kelihatan. Kita perhatikan saja, menurut ayah, air laut akan berobah lagi kebiruan dan bau kecut itu akan terganti bau wangi dan pulau itu tentu akan kelihatan di depan kita."

Semua orang termasuk Pek Lian, kini dengan serius memperhatikan keadaan sekeliling. Dan memang benar seperti yang dikatakan oleh Siok Eng tadi, air laut makin lama makin berobah war-na menjadi kebiruan dan bau yang masam tadi mulai berobah dengan bau yang wangi, wangi yang aneh seperti sari seribu bunga bercampur bau manis. Dan perlahan-lahan, di antara kabut yang masih remang-remang, nampaklah garis-garis daratan pulau.

Tentu saja semua orang memandang dengan hati penuh ketegangan karena mereka semua tahu bahwa sebentar lagi mereka akan tiba di tempat yang penuh bahaya. Pulau Selaksa Setan terkenal sebagai pulau terlarang bagi orang luar dan kabarnya, siapapun juga tidak berani masuk karena siapa yang masuk tentu tidak akan dapat keluar kembali dalam keadaan hidup-hidup!

Anak buah Tai-bong-pai memang pemberani, apa lagi mereka itu mengiringkan nona mereka yang mereka percaya penuh sebagai orang yang memiliki kepandaian luar biasa tingginya. Memang Siok Eng amat mengagumkan. Biarpun usianya baru tujuhbelas tahun, masih remaja, namun, sikapnya sudah dewasa. Ia bersikap tenang dan berwibawa sebagai seorang yang bertingkat tinggi.

Dengan hati-hati ia membagi-bagikan pel pencegah keracunan kepada semua orang, termasuk Pek Lian. Ada pel anti hawa beracun, pel anti tanaman beracun, berikut minyak pelumurnya untuk mengobati luka-luka yang terkena racun. Iapun memimpin pendaratan perahu mereka, memilih tempat yang agak menonjol ke depan yang ditumbuhi pohon-pohon rindang sehingga ketika mereka mendarat, mereka terlindung oleh pohon-pohon itu.

Waktu itu, tengah malam telah lewat. Bulan tua itu tidak mampu menembusi daun-daun pohon yang rimbun sehingga tempat itu nampak gelap, sunyi dan menakutkan. Di dalam kesunyian itu seperti terasa oleh mereka adanya ancaman maut yang mengintai dari tempat-tempat gelap. Diam-diam Pek Lian sendiri bergidik. Ia adalah seorang gadis gemblengan yang semenjak ayahnya ditawan telah mengalami banyak hal-hal yang mengerikan dan membuat hatinya mengeras dan tabah.

Akan tetapi, berada di pulau aneh ini, yang namanya saja Pulau Selaksa Setan dan penghuninya adalah iblis-iblis macam kakek dan nenek bergerobak itu, mau tidak mau hatinya gentar juga. Namun ia melihat betapa Siok Eng masih kelihatan tenang-tenang saja. Dengan tenang dan penuh wibawa Siok Eng berkata kepada para anak buahnya,

"Kalian semua tidak boleh turun dari perahu. Siap dan waspadalah karena tempat ini benar-benar berbahaya. Sama sekali tidak boleh memegang benda-benda atau mahluk hidup di tempat ini karena semua itu mengandung racun yang ganas. Air itu, rumput itu semua mengandung racun. Kalian sudah memakai obat penawar, akan tetapi, kalau kalian memegang apa lagi memakannya, belum tentu obat penawar itu akan dapat melindungi kalian. Makan dan minum saja dari perbekalan sendiri. Tunggu di sini sampai tiga hari. Kalau sampai tiga hari tiga malam aku belum kembali, kalian pulanglah dan beri laporan kepada ayah. Nah, aku pergi. Hayo, Lian-ci!"

Kecut juga rasa hati Pek Lian ketika ia digandeng oleh Siok Eng meninggalkan perahu di mana semua anak buah Tai-bong-pai menanti itu. Biarpun pada waktu lain atau dalam keadaan umum, berada bersama orang-orang Tai-bong-pai yang berbau dupa dan pucat-pucat itu sudah merupakan hal yang menyeramkan, namun kalau dibandingkan dengan memasuki pulau setan itu, sungguh jauh lebih senang tinggal bersama mereka! Akan tetapi, melihat ketabahan Siok Eng, Pek Lian lalu menekan perasaannya. Masa ia harus kalah berani dibandingkan dengan dara remaja ini?

"Mari, adik Eng, dan berhati-hatilah," katanya dengan sikap dewasa.

"Kau pergunakan ini, enci. Lumurilah semua muka leher dan kedua tanganmu agar kulit-kulitmu terlindung dari serangan racun," kata Siok Eng sambil menyerahkan sebuah poci kecil di mana tersimpan minyak membeku yang berwarna kuning dan berbau harum.

Pek Lian lalu memakai minyak itu, dioleskan pada seluruh muka, telinga, leher dan kedua tangannya, pendeknya semua bagian tubuh yang tidak terlindung pakaian. Siok Eng agaknya sudah sejak tadi memakainya dan dara ini membantu Pek Lian sampai pemakaian obat penawar itu rata benar. Kemudian merekapun melanjutkan perjalanan di malam remang-remang itu.

Biarpun mereka berdua sama-sama belum pernah datang ke pulau ini, namun karena Siok Eng sudah banyak mencari keterangan dan mem-pelajari keadaan pulau ini, maka dara remaja inilah yang memimpin perjalanan. Mereka menyelinap dan menyusup di antara pohon-pohon menuju ke tengah pulau. Tak lama kemudian Siok Eng menunjuk ke depan karena sejak tadi mereka tidak mau mengeluarkan suara dan hanya memakai gerak tangan untuk saling memberi tahu.

Pek Lian juga sudah melihat adanya lampu-lampu di kejauhan. Mereka berdua mulai merasa tegang. Itulah sarang penghuni Ban-kwi-to yang amat terkenal itu. Dengan amat hati-hati keduanya menyelinap di antara pohon-pohon, hanya melanjutkan gerakan setelah meneliti lebih dulu dan merasa yakin bahwa tidak ada manusia lain di sekitar tempat itu.

Tiba-tiba Siok Eng mengangkat tangan menyuruh kawannya berhenti. Mereka berdua bersembunyi di balik sebatang pohon besar, pohon terakhir karena ternyata mereka tiba di tempat yang terbuka, tanah kosong yang tidak ditumbuhi pohon, bahkan tidak ditumbuhi rumput. Yang ada pada tanah kosong itu hanyalah kerikil dan batu-batuan berserakan, seperti dasar sebatang sungai yang sudah tidak ada airnya dan kering. Ditimpa sinar bulan tua dan bintang-bintang, batu-batu di. tempat itu berwarna kehijauan, padahal tidak terdapat lumut atau rumput di situ. Dan seolah-olah ada uap tipis kehijauan yang melayang dari tempat itu.

"Awas, Lian-ci. Inilah daerah dari Ceng-ya-kang atau Si Kelabang Hijau itu, orang yang ke lima dari Ban-kwi-to, di mana terdapat tujuh orang tokohnya. Batu-batuan di depan itu adalah tempat di mana dia memelihara kelabang-kelabangnya," bisik Siok Eng kepada Pek Lian yang mau tidak mau bergidik ngeri membayangkan kelabang-kelabang beracun. Baru kelabangnya saja ia sudah merasa jijik dan ngeri, apa lagi kalau yang beracun.

"Lalu bagaimana kita harus melalui tempat ini? Lihat, di seberang sudah nampak genteng-genteng rumah mereka," bisiknya kembali sambil memandang ke arah batu-batuan itu dengan alis berkerut.

"Enci Lian, lihat baik-baik. Kau lihat batu-batu di sebelah kanan itu? Lihat batu-batu besar yang bagian atasnya lebih mengkilap terkena sinar bulan dan yang menonjol di antara batu-batu lain? Batu-batu itu tentu biasa diinjak orang. Hayo kita lewat di sana, tidak perlu kuatir akan jebakan."

Pek Lian menelan ludah dan mengangguk, tidak berani menjawab karena khawatir kalau-kalau suaranya akan membayangkan rasa ngerinya. Siok Eng menekan tangannya lalu dara remaja itu melangkah dengan hati-hati, mengerahkan ginkangnya dan Pek Lian mengikuti di belakangnya, mempergunakan jejak kaki kawannya sehingga ia tidak akan menginjak tempat lain yang mungkin mengandung jebakan.

Dengan ringan Siok Eng lalu meloncat dari batu ke batu, memilih batu-batu yang puncaknya mengkilap, terus dibayangi oleh Pek Lian. Di tengah-tengah tempat itu, Pek Lian melihat sinar-sinar hijau merayap di antara batu-batu dan ia bergidik. Tentu itulah kelabang-kelabang yang dimaksudkan oleh Siok Eng! Kalau sampai terpeleset dan jatuh lalu dikeroyok kelabang beracun! Hihh! Sungguh menyeramkan bayangan itu dan Pek Lian cepat-cepat mengumpulkan kekuatan batinnya untuk melawan rasa takutnya.

Akhirnya Pek Lian mendaratkan kakinya di seberang dengan hati lega. Mereka telah berhasil melewati daerah kelabang itu. Melihat sebuah kebun sayur di mana terdapat tanaman sayur kubis yang cukup subur dan sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda bahaya adanya racun, Pek Lian menghampirinya.

Akan tetapi Siok Eng memegang lengannya. "Sstt, hati-hati, enci Lian. Lihat semut-semut itu!"

Pek Lian terkejut dan menahan langkahnya. Ia melihat betapa kobis-kobis yang kelihatan segar itu penuh dengan semut-semut merah. "Semut-semut apakah itu?" tanyanya gagap.

"Semut-semut ini beracun. Binatang-binatang ini dipelihara untuk memberi makan kepada kelabang-kelabang tadi. Dan kebun ini bukan kebun kobis seperti yang biasa kita makan, akan tetapi sejenis tumbuh-tumbuhan yang mengandung inti racun hijau!"

Pek Lian memandang dengan mata terbelalak kepada kobis-kobis itu dan meleletkan lidahnya. Kini, kobis-kobis yang tadinya nampak menggiurkan dan segar itu seolah-olah berobah menjadi pemandangan yang menyeramkan, seolah-olah tadi ia melihat wajah bidadari yang tiba-tiba saja berubah menjadi wajah iblis.

Siok Eng menunjuk ke kiri. "Rumpun-rumpun bambu itulah yang merupakan daerah aman dan be-bas dari racun, begitu menurut keterangan ayah yang pernah satu kali datang ke sini. Nah, kita meng-ambil jalan melalui kebun bambu hijau itu." Mereka berdua dengan hati-hati menyelinap di antara rumpun bambu menuju ke sebuah ba-ngunan yang berada di tengah-tengah rumpun bambu itu. Mereka menyelinap ke samping ba-ngunan dan melihat adanya pintu yang terbuka.

Dari pintu itu keluar bau bacin yang menyerang hidung mereka dan membuat mereka hampir muntah-muntah. Siok Eng mengeluarkan dua helai saputangan merah dan menyerahkan sebuah kepada kawannya untuk menutupi hidung. Ketika Pek Lian menggunakan saputangan merah itu di depan hidungnya, tercium olehnya bau harum yang keras dan segera bau bacin itupun lenyap atau kalah oleh bau harum.

Dengan isyarat tangannya, Siok Eng mengajak kawannya masuk karena dari luar nampak jelas betapa pondok yang pintunya terbuka itu kosong tidak ada orangnya. Mereka melihat sebuah panci yang penuh dengan air kehi-jau-hijauan mendidih di atas tungku api dan uap air mendidih inilah yang menyebarkan bau bacin tadi.

Di dalam almari tak jauh dari situ nampak banyak sekali botol-botol besar kecil. Dan di dalam sebuah keranjang sampah di sudut nampak bangkai kelabang-kelabang yang besar, nampak berkilauan kulitnya tertimpa sinar lampu gantung. Uap yang keluar dari dalam guci itu menyambar hidungnya, membuat Pek Lian hampir tak dapat bernapas.

"Cepat telan pel ini, kelabang-kelabang itu amat berbisa!" kata Siak Eng yang melihat keadaan Pek Lian. Gadis ini menurut dan cepat menelan sebutir pel kecil dan dadanya terasa lega kembali. Ia bergidik. Sungguh berbahaya sekali. Baru hawa atau uapnya saja sudah demikian berbahaya, apa lagi sengatannya!

Siok Eng mengajak mereka keluar dengan cepat dari tempat itu. Dengan berindap keduanya menuju ke gedung induk. Tempat itu kelihatan sepi sekali seolah-olah tidak ada penghuninya sa-ma sekali. Namun mereka berdua tidak pernah mengurangi kewaspadaan. Tak mungkin di situ ti-dak ada orang, karena buktinya terdapat lampu-lampu yang tentu dinyalakan dan dipasang orang. Mungkin para penghuninya sedang tidur.

"Heh-heh-heh-heh!"

Pek Lian terperanjat seperti disengat kelabang hijau. Suara ketawa kecil itu keluar dari sebuah kamar di bangunan sebelah kiri. Dua orang dara itu cepat menyelinap keluar dan menyusup ke balik rumpun barnjbu dengan hati berdebar tegang. Kiranya suara ketawa itu keluar dari sebuah jendela yang kini terbuka lebar. Sinar terang dari lampu di dalam kamar itu menyinari halaman.

Siok Eng menyentuh tangan kawannya dan mengajaknya berindap mendekati jendela, bersembunyi di antara daun-daun bambu yang tumbuh di luar jendela, mengintai ke dalam dengan hati-hati sekali. Mereka melihat ada dua orang pria duduk saling berhadapan, menghadapi meja sambil bercakap-cakap.

Pria yang berkepala gundul dan tubuhnya gemuk pendek berperut gendut duduk menghadap ke arah jendela sedangkan orang yang diajaknya bicara adalah seorang pria yang agaknya masih muda. Kamar itu cukup indah dengan lampu gantung yang mewah dan kain-kain sutera bergantungan. Si gendut pendek itu tersenyum lebar, nampaknya amat ramah kepada tamunya, pemuda itu.

Siok Eng mendekatkan bibirnya ke telinga kanan Pek Lian, lalu berbisik lirih sekali sehingga Pek Lian yang telinganya demikian dekat dengan mulutnyapun harus mengerahkan ketajaman pendengarannya untuk dapat menangkap apa yang dikatakan temannya.

"Kalau tidak salah si gundul itu adalah Ceng-ya-kang Si Kelabang Hijau. Awas kalau berhadapan dengan dia. Orang itu licik dan kejam bukan main, suka menyiksa musuhnya sambil berkelakar. Anehnya, apa yang dilakukannya lewat tengah malam mengobrol dengan tamunya?"

Diam-diam Pek Lian terkejut mendengar bahwa si gendut itu adalah Si Kelabang Hijau yang disohorkan sebagai tokoh Ban-kwi-to. Mereka berdua menahan napas dan mengintai. Makin dilihat, makin heranlah hati mereka karena sikap si gendut itu sungguh teramat manis, bahkan terasa oleh mereka betapa sikap itu berlebihan manisnya, mendekati rayuan!

"Kongcu, di tempat ini engkau tidak perlu khawatir. Tidak akan ada seorangpun setan yang berani mengganggumu selama aku berada di dekatmu. Dan apapun yang engkau kehendaki, tentu akan dapat kuadakan. Maka senangkanlah hatimu tinggal di sini, kongcu."

"Terima kasih, locianpwe. Aku hanya ingin meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuanku saja," jawab pemuda itu dan dari suaranya, dua orang gadis itu dapat menduga bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan dan juga bukan orang kasar, bahkan kata-katanya teratur dan halus seperti ucapan seorang terpelajar. Maka, tentu saja mereka berdua menjadi semakin tertarik dan heran.

Atas bujukan si gendut, mereka berdua itu lalu makan minum dengan gembira dan dua orang dara itu menjadi bingung melihat betapa kakek gendut itu makin lama makin gila omongannya. "Kongcu, selama ini banyak sudah kutemui pemuda-pemuda yang gagah dan tampan, akan tetapi baru sekarang aku bertemu dengan seorang ganteng seperti engkau. Ha-ha-ha, betapa senang hatiku dapat ber-kenalan denganmu!" Sambil berkata demikian, kakek itu mengajak si pemuda untuk minum lagi arak wangi dari cawan mereka.

"Aku sudah cukup banyak minum arak, locian-pwe," pemuda itu agaknya segan juga untuk menolak.

"Ha-ha-ha, makin banyak minum, makin kemerahan pipimu, kongcu. Ha-ha, sungguh segar dan tampan sekali engkau!" Kakek gendut itu mengulur tangannya, mula-mula tangan itu memegang tangan si pemuda untuk dibelainya, akan tetapi tangan itu terus merayap ke atas, mengelus dagu!

"Ah, jangan begitulah, locianpwe," pemuda itu nampak bingung seperti kehilangan akal menghadapi tingkah kakek yang makin genit itu.

Pek Lian dan Siok Eng saling pandang dengan mata terbelalak dan wajah mereka berobah merah karena jengah dan malu. Namun merekapun ingin sekali tahu karena mereka tidak mengerti mengapa ada seorang kakek begitu genit merayu dan membelai seorang pemuda!

Akan tetapi, kakek gendut itu agaknya sudah terlalu banyak minum arak dan sudah setengah mabok karena penolakan pemuda itu bahkan membuat dia merayu semakin panas! "Kongcu, aku sungguh kagum dan tergila-gila kepadamu. Aku akan menurunkan semua ilmuku kepadamu, akan tetapi, jangan kecewakan hatiku, kau harus menjadi kekasihku!"

Wajah dua orang dara itu menjadi semakin merah, akan tetapi hati merekapun diliputi keheranan besar mendengar seorang kakek hendak menjadikan seorang pemuda kekasihnya! Apakah kakek itu sudah gila ataukah memang pulau itu menjadi tempat orang-orang yang miring otaknya? Dua orang dara itu tidak tahu bahwa memang kakek Ceng-ya-kang atau Si Kelabang Hijau ini me-miliki sifat yang lain dari pada pria-pria biasa. Dia tidak suka atau tidak tertarik oleh kecantikan wanita, akan tetapi sejak muda dia suka bercinta dengan pria!

Jasmaninya adalah pria, akan tetapi watak dan sifatnya cenderung kepada sifat dan watak wanita. Memang banyak terdapat orang-orang seperti Si Kelabang Hijau ini. Alam telah memberi keadaan yang bertentangan antara badan dan batin mereka dan mereka ini adalah orang-orang yang patut dikasihani. Mereka suka bergaul dan berdekatan, bahkan bermesraan dan bermain cinta dengan pria dan hal ini sama sekali tidak mereka sengaja, dan bukan timbul dari watak yang buruk atau cabul.

Sama sekali tidak, karena memang demikianlah keadaan batin mereka. Mereka kagum melihat sifat jantan, mereka akan merasa bahagia kalau dikasihi oleh seorang pria yang jantan. Mereka tidak suka berdekatan dengan wanita sebagai kekasih, kecuali hanya sebagai teman, bahkan ada yang merasa muak kalau memikirkan bahwa mereka harus berkasih sayang dengan seorang wanita.

Keadaan seperti ini dapat terjadi karena kesalahan keadaan jasmaniah yang mempengaruhi batin, akan tetapi juga mungkin diperkuat oleh keadaan ling-kungan hidupnya di waktu kecil sehingga batin yang mempengaruhi jasmani. Memang, antara badan dan batin selalu terjadi isi mengisi, saling mempengaruhi.

Karena sifatnya inilah maka Si Kelabang Hijau itu sering kali meninggalkan Pulau Selaksa Setan dan merantau sampai jauh ke seluruh pelosok dunia, dan sering mendekati pria-pria yang tampan dan gagah. Karena watak ini pula maka tokoh sesat ini pernah menjadi sahabat dari Yap Kim, putera kandung dari ketua Thian-kiam-pang yaitu Yap Cu Kiat, murid dari mendiang Sin-kun Bu-tek yang sakti.

Kalau saja Pek Lian dan Siok Eng sudah tahu akan sifat dan watak seorang laki-laki seperti Ceng-ya-kang, tentu mereka akan segera pergi dan tidak sudi untuk nonton terus. Akan tetapi karena mereka belum tahu dan tidak mengerti, maka keinginan tahu membuat mereka bertahan untuk menyaksikan adegan yang mereka anggap aneh dan luar biasa itu.

Mereka melihat betapa kakek itu membujuk-bujuk dan berusaha untuk memegang tangan si pemuda yang berulang kali mengelak dengan menarik tangannya dan dengan halus minta agar kakek itu jangan melanjutkan sikapnya yang ganjil.

Tiba-tiba dua orang dara itu terkejut melihat berkelebatnya bayangan dua orang yang dengan cepat sekali melayang masuk dari pintu dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang wanita yang nampaknya masih muda, tidak lebih dari tigapuluh tahun usianya dan wajah mereka serupa benar. Sepasang wanita kembar, hal ini mudah dilihat dari dandanan pakaian, gelung rambut, perhiasan dan wajah mereka yang serupa benar.

Pakaian mereka itu ketat membayangkan dada, perut dan paha yang menonjol. Mereka berdiri dengan kaki agak terpentang, tangan kiri bertolak pinggang, dan sikap mereka genit bukan main. Mereka berdiri seperti pohon cemara tertiup angin saja, pinggul mereka agak bergoyang-goyang, mulut mereka yang digincu merah tebal itu tersenyum merekah, alis mereka bergerak-geiak diangkat-angkat.

Dan mata mereka itu melirik-lirik genit ke arah si pemuda yang kebetulan berdiri membelakangi jendela dan menghadap ke arah dua orang wanita itu. Dua orang dara yang berada di luar jendela itu memandang penuh perhatian, agak terkejut melihat munculnya dua orang wanita yang demikian cepat gerakannya tanpa mengeluarkan sedikitpun suara itu.

Biarpun dua orang wanita itu masuk ke kamar tanpa menimbulkan suara, namun kakek gendut yang tadinya berdiri dalam usahanya merayu si pemuda, kini tiba-tiba duduk kembali dan tanpa menoleh diapun berkata, "Suci berdua kenapa malam-malam begini berkunjung ke daerahku? Apakah kalau ada keperluan tidak bisa datang di siang hari?" Dari nada suaranya, jelas bahwa dia merasa marah dan terganggu, dan biarpun mulutnya tersenyum, akan tetapi wajahnya masam.

Mendengar ucapan si gendut itu, Siok Eng menempelkan bibirnya di dekat telinga kawannya dan berbisik, "Mereka itu orang ke tiga dan ke empat dari iblis-iblis Ban-kwi-to. Mereka kembar dan pandai beralih rupa. Kelakuan mereka sangat tersohor buruknya, segala hal yang kotor-kotor mereka lakukan!" Suara bisikan Siok Eng mengandung rasa jijik.

Dua orang wanita itu mencibirkan bibir mereka mendengar pertanyaan Ceng-ya-kang tadi dengan sikap yang penuh kegenitan dan ejekan, lalu seorang di antara mereka berkata, suaranya nyaring dan genit, "Huh! Kami ke sini cuma ingin melihat apakah engkau sudah kembali ke rumah. Lupakah engkau bahwa esok pagi adalah hari perayaan wafatnya guru kita yang ke sepuluh? Toa-suheng mengharapkan agar semua orang dari Ban-kwi-to hadir di tempat toa-suheng."

Sambil berkata demikian, wanita itu dan saudara kembarnya tiada hentinya menatap ke arah wajah pemuda yang duduk berhadapan dengan Ceng-ya-kang itu lirak-lirik dan senyum simpul penuh daya pikat.

"Aku sudah kembali sejak kemarin!" Kakek gendut itu mendengus dengan suara tak senang. "Aku telah datang, sekarang kalian pergilah. Kita bisa berkelahi kalau kalian tidak mau segera pergi dan jangan ganggu aku!"

Pek Lian yang mengintai dan mendengarkan di luar jendela, merasa heran bukan main. Bagaimana mungkin hari wafat seorang guru malah dirayakan, bukan berkabung malah berpesta? Dan bukankah mereka itu saudara-saudara seperguruan, segolongan pula, sebagai saudara-saudara yang sama-sama menjadi penghuni Ban-kwi-to, akan tetapi kenapa sikap mereka satu sama lain begitu tidak bersahabat dan bahkan seperti bermusuhan saja?

Pek Lian lupa bahwa mereka itu adalah golongan hitam, kaum sesat, bahkan tokoh-tokoh besarnya yang sudah tidak lagi mengindahkan segala macam aturan dan sopan santun dan mengeluarkan semua isi hati melalui mulut tanpa disaring lagi. Merekapun sudah tidak sudi lagi untuk bermanis muka. Apa lagi hanya terhadap saudara seperguruan, bahkan terhadap guru sendiripun mereka sudah tidak mau lagi bersopan santun atau menggunakan tata cara manusia beradab.

Mereka tidak perduli terhadap orang-orang lain. Golongan mereka hanya mengenal pamrih seenaknya untuk diri sendiri. Yang ada hanya kepentingan diri pribadi, lahir batin. Dan menghadapi orang lain, yang ada hanya dua perasaan, yaitu berani atau takut. Kalau mereka berani, nah, segala hal bisa saja mereka lakukan, sampai yang paling kurang ajar, yang paling kejam, sadis dan tidak tahu aturan sekalipun. Akan tetapi kalau mereka merasa kalah dan takut, mereka tidak malu-malu untuk melakukan segala macam kecu-rangan atau melarikan diri.

Dan untuk kepentingan pribadi, segala cara dihalalkan, menipu, membokong, bahkan membunuh kawan sendiri sekalipun. Pendeknya, mereka hidup tanpa adanya suatu ketertiban apapun, tiada bedanya dengan kehidupan binatang-binatang liar di dalam hutan dan hukum satu-satunya bagi mereka hanyalah hukum rimba raya, yaitu siapa kuat dia menang dan siapa menang dia benar dan harus dipatuhi dan ditaati.

Seperti yang telah diterangkan oleh Siok Eng kepada Pek Lian, kakek gundul gendut itu memang benar berjuluk Ceng-ya-kang atau Thian-te Tok-ong dan merupakan tokoh ke lima dari Ban-kwi-to. Terdapat tujuh orang tokoh Ban-kwi-to yang merupakan saudara-saudara seperguruan, juga merupakan saudara segolongan yang tinggal di kepulauan setan itu.

Orang pertama terkenal dengan julukan Tikus Beracun Bumi, yang ke dua berjuluk Tiat-siang-kwi (Setan Gajah Besi), orang ke tiga dan ke empat adalah dua orang wanita kembar yang masing-masing bernama Jeng-bin Sam-ni (Nyonya Ke Tiga Bermuka Seribu), dan Jeng-bin Su-nio (Nyonya Ke Empat Bermuka Seribu). Mereka ini dikenal dengan julukan Jeng-bin (Muka Seribu).

Karena kepandaian mereka beralih rupa, walaupun mereka masih memiliki banyak macam keahlian lagi. Ceng-ya-kang atau Thian-te-Tok-ong adalah tokoh yang ke lima. Tokoh ke enam dan ke tujuh adalah suami isteri Im-kan Siang-mo, yaitu Bouw Mo-ko dan Hoan Mo-li, kakek dan nenek yang selalu menggunakan gerobak itu.

Mendengar ucapan adik seperguruan mereka yang kasar dan menantang itu, Jeng-bin Siang-kwi, yaitu sebutan bagi mereka berdua, hanya senyum-senyum saja dan tidak kelihatan marah. Tentu saja senyum itu bukan ditujukan kepada Ceng-ya-kang, melainkan kepada pemuda itu yang kelihatan duduk dengan gelisah.

"Hi-hi-hik, pantas saja engkau tidak mau muncul-muncul biarpun sudah kembali ke mari.... kiranya engkau telah memperoleh seorang korban baru yang ganteng!" kata Jeng-bin Su-nio.

"Pergi kalian!" Tiba -tiba si gundul gendut itu mencelat dari kursinya. Gerakannya demikian cepatnya, tidak sesuai dengan tubuhnya yang gendut pendek, dan tahu-tahu dia sudah meloncat sambil membalikkan tubuhnya, langsung saja menyerang kedua orang wanita itu dengan pukulan yang mengandung angin dahsyat.

Akan tetapi, dua orang wanita itu mengeluarkan suara ketawa mengejek dan segera mengelak, menangkis dan balas menyerang dengan tak kalah cepat dan hebatnya. Angin pukulan menyambar-nyambar dan dua orang gadis yang mengintai di luar jendela itu mencium bau amis, tanda bahwa pukulan-pukulan tiga orang yang saling hantam itu mengandung hawa beracun yang jahat sekali.

Siok Eng menarik tangan Pek Lian, diajak pergi menjauhi tempat itu. Setelah jauh, dara ini menarik napas panjang. "Betapa ganas dan kejinya mereka itu. Mari kita segera mencari Hek-kui-hwa itu, enci Lian. Tak perlu kita mencampuri mereka yang berengsek itu."

"Ke mana kita mencari, adik Eng?"

"Aku harus mencarinya. Bunga itu hanya dapat tumbuh di tempat terbuka, tidak boleh terlindung oleh benda atau tumbuh-tumbuhan lainnya, harus sepenuhnya menerima sinar matahari dan bulan, dan terpisah dari tanam-tanaman lain. Bunga mawar hitam atau setan hitam itu bentuknya seperti mawar biasa, hanya tidak berbau sama sekali, warnanya hitam legam dan daunnya putih."

"Mari kubantu engkau mencarinya, Eng-moi," kata Pek Lian dan mereka segera mulai mencari-cari di pulau itu. Akan tetapi mereka tidak berhasil, apa lagi menemukan bunga itu, bahkan tidak menemukan daerah terbuka seperti yang dimaksudkan oleh Siok Eng tadi.

"Sungguh heran, kenapa pulau ini demikian kecil? Dan bangunannya juga hanya ada sebuah itu. Di mana para penghuninya yang lain?" Pek Lian berkata dengan hati kecewa karena kegagalan mereka menemukan, bunga yang dicari sahabatnya itu.

"Enci Lian, Ban-kwi-to bukan terdiri dari sebuah pulau saja, melainkan terdiri dari lima buah pulau yang berpencar akan tetapi juga saling berdekatan. Tiap pulau dihuni oleh seorang tokoh, kecuali si kembar itu dan sepasang suami isteri yang masing-masing keduanya mendiami sebuah pulau. Kau lihatlah di seberang sana itu."

"Ah, engkau benar! Itu adalah sebuah pulau yang lain. Akan tetapi, bagaimana kita dapat menyeberang ke sana? Apakah kita harus mengambil perahu kita? Tentu bunga itu berada di pulau yang lain, tidak mungkin di sini."

"Agaknya benar, enci. Akan tetapi karena kita tidak tahu persis di mana tumbuhnya bunga itu, terpaksa kita harus mencarinya di semua pulau. Hanya, kita harus berhati-hati sekali. Sungguh aneh, bagaimana dua orang wanita kembar tadi dapat datang ke sini? Tidak nampak adanya perahu mereka."

Tiba-tiba mereka melihat bayangan berkelebat keluar dari rumah Ceng-ya-kang dan mereka berdua cepat menyelinap bersembunyi. Tak lama kemudian, nampaklah dua orang wanita kembar itu berjalan lewat lalu berhenti tak jauh dari tempat persembunyian mereka.

"Bangsat gundul keparat jahanam!" terdengar seorang di antara mereka memaki-maki sambil mengacungkan tinju ke arah rumah Ceng-ya-kang.

"Anjing banci disambar geledek kamu!" Orang ke dua memaki pula dan keduanya lalu memaki-maki dengan kata-kata yang jorok dan cabul. A-gaknya mereka itu merasa mendongkol dan penasaran, yang hendak mereka lampiaskan dengan caci maki dan sumpah-serapah mereka terhadap kakek gundul gendut itu.

"Sialan! Bocah gundul itu telah mencapai titik kesempurnaan dalam menyerap Ilmu Racun Kelabang Hijau yang lihai itu," kata Jeng-bin Sam-nio dengan suara penasaran.

"Benar, sungguh jahanam! Tak kusangka dalam pengembaraannya dia dapat meningkatkan ilmunya sampai ke titik mendekati kesempurnaan. Lihat ini! Kantongku racun bunglon merah menjadi tawar terkena ilmunya ludah inti racun kelabang hijau. Sialan! Untung aku selalu dapat menghindari semburan ludahnya!"

"Ludahnya yang bacin itu sungguh berbahaya," kata orang ke dua. "Sayang kita tidak membawa alat-alat rias kita. Hemm, ingin aku tahu, mana yang lebih hebat, ludah bacinnya ataukah bedak-bedak harum kita!"

"Biarlah lain kali kita coba lagi. Hatiku penasaran kalau sampai kalah oleh adik seperguruan kita."

"Eh, ngomong-ngomong, pemuda tadi tampan benar, ya? Dan kelihatan jantan. Sayang, sudah lebih dulu disekap oleh si gundul gila itu!"

"Aih, sudahlah! Kita sendiri kan sudah mempunyai simpanan yang tidak mengecewakan," kata yang lain sambil tersenyum genit sekali. "Tidak rugi kita main kucing-kucingan dengan perahu Si Harimau Gunung."

"Sayang mereka belum mau tunduk..."

"Akhirnya akan tunduk juga, dan ingat, yang sukar ditundukkan itu sekali tunduk, waahhh hebat deh!"

Mereka berdua cekikikan seperti kuntianak dan dua orang gadis yang mendengarkan dalam tempat persembunyian mereka menjadi muak. Pek Lian dan Siok Eng melihat betapa kedua orang wanita kembar itu memasuki sebuah rumpun bambu kuning. Sampai lama mereka tidak muncul kembali dan keadaan begitu sunyi senyap.

Dua orang dara itu menjadi curiga lalu dengan hati-hati merekapun memasuki rumpun bambu itu. Ternyata di tengah-tengah rumpun bambu itu terdapat sebuah lubang besar yang masuk ke dalam tanah. Ketika mereka memeriksa, ternyata lubang itu adalah terowongan di dalam tanah yang agaknya lewat di bawah laut!

Dua orang dara yang gagah perkasa itu dengan hati-hati sekali mengikuti terowongan itu. Jalan-nya gelap dan menurun sekali, akan tetapi mereka berdua adalah dua orang dara gemblengan yang berilmu tinggi, maka mereka tidak merasa takut. Mereka merasa yakin bahwa dua orang wanita kembar itu tentu mengambil jalan ini dan mereka dapat menduga bahwa tentu inilah jalan yang menghubungkan satu dengan lain pulau. Pantas saja dua orang wanita kembar tadi tidak menggunakan perahu. Kiranya mereka datang ke pulau daerah Si Kelabang Hijau melalui sebuah terowongan bawah laut.

Ketika dua orang dara itu muncul di pulau yang lain, kiranya mereka itu tiba di sebuah ruangan kecil di sudut taman, merupakan pondok kecil yang mungil. Cepat mereka meloncat keluar dan bersembunyi, meneliti keadaan sekeliling. Bulan tua telah condong ke barat, akan tetapi bintang-bintang di langit masih nampak terang. Tentu telah jauh lewat tengah malam. Dan agaknya semua orang yang berada di pulau ini sudah tidur. Tidak terdengar suara orang, tidak nampak seorangpun penjaga.

Agaknya para penghuni kepulauan ini sudah begitu percaya akan keadaan tempat tinggal mereka yang penuh dengan racun sehingga orang luar yang berani memasuki daerah mereka tentu akan mati sendiri terkena racun. Dengan adanya racun-racun yang terkandung dalam tumbuh-tumbuhan, dalam gigitan binatang-binatang kecil, bahkan dalam udara, maka tidak diperlukan lagi penjaga. Orang luar tentu akan tewas kalau memasuki daerah kepulauan Ban-kwi-to ini.

Ketika dengan hati-hati Siok Eng dan Pek Lian mulai mencari-cari bunga Hek-kui-hwa, mereka mendapat kenyataan bahwa keadaan pulau ini jauh sekali bedanya dengan pulau milik Si Kelabang Hijau yang baru saja mereka tinggalkan. Pulau kecil milik wanita kembar ini penuh dengan taman bunga-bunga yang indah, keadaannya terawat dan bersih apik, tidak seperti keadaan pulau milik Si Kelabang Hijau yang penuh pohon belukar dan awut-awutan. Akan tetapi, biarpun di situ terdapat banyak sekali bunga beraneka macam dan warna, dua orang dara itu tidak berhasil menemukan bunga mawar hitam berdaun putih.

"Sungguh heran! Sedemikian banyaknya bunga-bunga di sini, akan tetapi bunga yang kaucari itu tidak ada! Adik Eng, tidak kelirukah keterangan yang kau dapat mengenai Hek-kui-hwa itu?" Pek Lian berkata dengan nada suara meragu.

"Tidak, enci Lian. Memang, menurut keterangan ayah, bunga itu langka sekali dan ayahpun tidak dapat memastikan apakah bunga itu ditanam di pulau-pulau ini. Hanya satu hal adalah pasti, yaitu bunga Hek-kui-hwa itu berada dalam kekuasaan Tujuh Iblis dari Pulau Selaksa Setan ini. Entah di mana mereka sembunyikan. Aku harus menemukannya. Heii, awas, enci Lian! jangan kau sentuh bunga-bunga itu. Biarpun kelihatannya begitu bersih dan indah, akan tetapi bunga itu beracun. Bunga-bunga ini memang ditanam untuk memelihara dan mendapatkan racun-racunnya.

"Ssttt , itu ada perahu datang. Cepat sembunyi!" Mereka menyelinap lagi ke balik semak-semak beberapa rumpun alang-alang yang ditanam sebagai penghias dan pagar taman.

Tiba-tiba bumi di sekitar tempat itu tergetar ketika seorang raksasa melangkahkan kakinya. Berdentam-dentam bunyinya, seolah-olah bumi ditimpa oleh benda yang amat berat setiap kali raksa-sa itu membanting kakinya. Anehnya, dia agaknya sengaja membanting kakinya ketika melangkah memasuki taman!

Rambutnya gimbal dan kotor, matanya lebar dan membelalak. Jubah dan pakaiannya terbuat dari kain kotak-kotak yang dibelit-belitkan di tubuhnya. Bagian dadanya terbuka dan nampak betapa dada itu penuh bulu tebal. Mulutnya lebar dan seperti nampak ada taring di antara giginya yang besar-besar. Raksasa ini sungguh tinggi besar, tingginya tidak kurang dari dua meter, bahkan lebih. Ada suara seperti ngorok ketika dia melangkah memasuki taman.

Ketika raksasa itu tiba di dekat tempat dua orang dara itu bersembunyi, tiba-tiba saja dia menghentikan langkahnya. Dua orang dara itu mencium bau amis yang menusuk hidung, membuat mereka hampir saja muntah-muntah. Dan raksasa itupun mengembangkempisikan hidungnya. Mulutnya menyeringai buas, matanya yang besar itu melotot dan mengamat-amati sekelilingnya, dan air liurnya menetes-netes dari ujung bibirnya,

"Heh-heh... bau daging segar! Daging lunak! Hemm, alangkah sedapnya!" Matanya jelalatan ke kanan kiri, mencari-cari.

Tentu saja dua orang dara itu seketika mandi keringat dingin! Mereka bukan penakut, bahkan Siok Eng telah mewarisi ilmu kepandaian yang hebat. Akan tetapi bagaimanapun juga, mereka itu hanyalah dua orang gadis remaja dan keadaan manusia raksasa itu memang sungguh amat menyeramkan. Apa lagi dalam perjalanan mereka dengan perahu, Siok Eng sudah pernah menceritakan kepada Pek Lian bahwa orang ke dua dari Tujuh Iblis ini, yang berjuluk Tiat-siang-kwi (Setan Gajah Besi) kabarnya suka makan daging manusia.

Biarpun seluruh urat syaraf mereka sudah menegang dan bersiap siaga, akan tetapi ketika raksasa itu melangkah mendekati tempat mereka bersembunyi, mereka merasa tubuh mereka panas dingin! Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa cekikikan yang nyaring dari arah gedung di tengah pulau. Suara cekikikan yang penuh kegenitan, terkekeh-kekeh dibuat-buat.

Mendengar suara itu, si raksasa berhenti melangkah dan menoleh ke arah gedung. Agaknya suara itu mengingatkan dia akan maksud kedatangannya ke pulau itu. Mendadak dia lari tunggang-langgang menuju ke arah gedung. Tanah yang diinjaknya ketika dia berlari itu tergetar seperti gempa bumi dan dua orang dara itu bernapas lega.

"Mari kita pergi!" Siok Eng menarik tangan Pek Lian.

Sekali ini, Pek Lian yang biasanya berwibawa dan memimpin karena ia adalah seo-rang patriot di lembah, menurut saja karena ia maklum betapa berbahayanya tempat itu dan bahwa Siok Eng lebih tahu dari pada ia sendiri mengenai kepulauan setan itu.

Siok Eng mengajak Pek Lian menggunakan perahu milik Tiat-siang-kwi itu. Ia ingin mencari bunga Hek-kui-hoa di pulau ke tiga setelah gagal mencari di kedua pulau pertama. Mereka mendayung perahu itu dengan cepat. Di depan nampak dua buah pulau kecil berdampingan. Dari jauh, kedua pulau itu nampak gersang tidak ditumbuhi pohon sama sekali. Ketika mereka mendekat, maka mereka melihat bahwa pulau yang satu terdiri dari batu-batu dan pasir melulu.

Menurut pengetahuan Siok Eng, pulau ini adalah tempat tinggal si raksasa, orang ke dua dari tujuh iblis. Kabanya, entah berapa ratus orang yang menjadi korban iblis raksasa ini di tempat itu, tulang-tulangnya berserakan dan terpendam dalam batu-batu dan pasir. Adapun pulau yang ke dua terdiri dari rawa-rawa dan di tengah rawa nampak sebuah gubuk besar yang berdiri di atas tiang-tiang dari kayu yang tahan air. Itulah tempat tinggal suami isteri Im-kan Siang-mo (Sepasang Iblis Neraka), yaitu kakek dan nenek yang selalu bergerobak dan tak tahu malu itu.

"Eng-moi, pulau yang mana harus kita darati lebih dulu?" tanya Pek Lian, melihat betapa kawannya itu hanya membawa perahu mereka berputar-putar tak menentu.

"Kita terus saja, enci Lian. Pulau-pulau ini adalah tempat tinggal Tiat-siang-kui dan Sepasang Iblis Neraka, yaitu orang ke dua, ke enam dan ke tujuh dari Tujuh Iblis. Melihat keadaan kedua pulau ini, juga melihat macamnya raksasa itu, tak mungkin dia yang menanam atau menyimpan Hek-kui-hwa. Juga suami isteri itu jarang berada di rumah, selalu mengembara dan pulaunya terdiri dari rawa-rawa pula, kiranya tidak mungkin berada di sana itu."

"Lalu bagaimana? Ke mana kita harus mencari?"

"Enci Lian, kepulauan mereka hanya ada lima buah. Yang empat telah kita ketahui dan agaknya bunga itu tidak berada di situ. Tinggal sebuah pulau lagi yang menjadi tempat tinggal tokoh pertama dari mereka, yaitu Te-tok-ci (Tikus Beracun Bumi). Ke sanalah kita menuju."

Pek Lian menutup mulut menahan ketawanya. "Sudah banyak kita melihat orang aneh. Ingin aku melihat bagaimana macamnya yang berjuluk Tikus Beracun itu. Apakah mukanya seperti tikus?"

Siok Eng tersenyum geli. "Mungkin saja. Aku sendiri belum pernah melihatnya. Akan tetapi ayah bilang bahwa dia mempunyai koleksi banyak macam tikus yang aneh-aneh dan buas. Tikus-tikus itu dibuat beracun dan mereka ditempatkan di terowongan-terowongan yang banyak terdapat di pulau tempat tinggalnya."

Pek Lian bergidik. Di antara binatang-binatang kecil, tikus merupakan binatang yang menjijikkan baginya. Apa lagi kalau jumlahnya banyak, dan beracun lagi. "Mudah-mudahan aku tidak harus berhadapan dengan tikus-tikus lebih baik aku melawan Te-tok-ci itu sendiri," katanya.

"Lebih baik kalau bisa jangan, enci. Kepandaian iblis itu paling lihai dan diapun kabarnya paling kejam di antara Tujuh Iblis."

"Aku sungguh merasa heran, adik Eng. Engkau sudah tahu betapa lihainya Tujuh Iblis dan betapa besarnya bahayanya mengunjungi Ban-kwi-to, akan tetapi mengapa engkau lakukan juga petualangan ini? Apakah engkau tidak takut sedikitpun juga?"

Siok Eng tersenyum dan wajahnya yang pucat itu nampak manis sekali kalau tersenyum. "Enci, engkau tidak tahu. Kami orang-orang Tai-bong-pai mengutamakan kegagahan. Aku sendiri lebih menghargai kegagahan dari pada nyawa, maka untuk mematangkan ilmuku, biar harus menempuh bahaya yang mengancam nyawa sekalipun, akan kujalani tanpa rasa takut sedikitpun."

Dan kini sepasang mata yang bening itu mengeluarkan sinar yang dingin dan menyeramkan sehingga Pek Lian tidak mau bertanya lagi. Ia teringat akan cerita-cerita yang pernah didengarnya bahwa Tai-bong-pai adalah golongan yang termasuk sesat dan hitam. Heran ia membayangkan bahwa seorang gadis yang begini ramah dan lemah lembut, begini cantik jelita, adalah puteri dari ketua Tai-bong-pai. Padahal, nama Tai-bong-pai di dunia persilatan tidak kalah seram dan menakutkannya dibandingkan dengan nama Pulau Selaksa Setan ini! Teringat ini, Pek Lian bergidik dan baru ia teringat bahwa dara yang menjadi kawan akrabnya ini sebenarnya datang dari dunia yang sama sekali berlainan dengan dunianya sendiri. Ia teringat bahwa Tai-bong-pai adalah golongan yang ahli dalam hal racun, mungkin tidak kalah keji dan berbahayanya dibandingkan dengan Tujuh Iblis penghuni kepulauan ini.

Akhirnya mereka melihat pulau terakhir, sebuah pulau yang bulat dan berbentuk sebuah bukit kecil. Pulau ini banyak ditumbuhi pohon-pohon seperti pohon cemara yang kecil dan tinggi. Pada waktu itu, fajar telah menyingsing. Langit timur seperti terbakar, kemerahan oleh sinar matahari yang telah mendahului sang raja siang. Udara sejuk dan angkasa cerah.

Indah dan nyaman, sungguh berlawanan dengan bahaya yang mengancam di pulau itu yang nampaknya begitu hening dan menyenangkan. Mereka mendarat dengan hati-hati, memilih celah-celah di mana terdapat semak-semak belukar. Baru saja mereka menarik perahu ke pinggir dan melangkahkan kaki, hampir saja Pek Lian menjerit ketika tiba-tiba muncul seekor tikus berbulu hitam yang besarnya seperti kucing bunting.

Tikus ini muncul di dekat kakinya, hampir terinjak. Hebatnya, tikus itu tidak melarikan diri, bahkan berhenti dan melotot ke arah Pek Lian, dan bibirnya ditarik ke atas, menyeringai memperlihatkan giginya seperti seekor harimau kalau marah. Sikapnya seakan-akan hendak menyerang, dan bulu di bagian lehernya tegak, sedikitpun dia tidak kelihatan takut menghadapi manusia!

"Ssttt! Hushhhhttt!" Pek Lian mencoba mengusirnya dengan desisan suara.

Akan tetapi tikus itu bukannya takut malah meruncingkan moncongnya dan mengeluarkan bunyi menguik tajam, kepalanya diangkat dan lagaknya siap untuk menyerang.

"Sudahlah, enci, lebih baik jangan kita usik dia. Mari kita pergi ke dalam pulau," kata Siok Eng yang merasa ngeri juga melihat ada tikus sebesar itu yang berani melawan manusia.

"Hei, awas, Eng-moi! Lihat di belakangmu dan itu juga di sebelah kananmu. Awas!" Tiba-tiba Pek Lian berseru dan Siok Eng hampir meloncat saking kagetnya. Ternyata kini bermunculan tikus-tikus hitam yang besar-besar, seperti mengepung mereka dan tikus-tikus itu nampak menyeringai dan mengeluarkan bunyi, siap tempur!

Beberapa ekor lagi nampak datang dengan sikap mengancam. "Wah, wah hiiih, jijik aku. Mari kita cepat pergi, enci Lian!" kata Siok Eng yang sudah menyambar tangan Pek Lian dan kedua orang nona itu sudah berloncatan pergi menjauhi tikus-tikus yang melotot marah itu.

Dengan bulu tengkuk meremang keduanya sudah berlari cepat mengelilingi pulau. Mereka mencari-cari bunga mawar hitam di antara semua tanaman yang tumbuh di pulau dan mereka sengaja menjauhi bangunan-bangunan rumah yang nampak berdiri di tengah-tengah pulau. Akan tetapi sekian jauhnya mereka belum juga berhasil menemukan apa yang mereka cari dan akhirnya mereka tiba di pantai yang landai dan penuh pasir.

Dan tiba-tiba mereka menyelinap dan bersembunyi di balik batu karang. Mereka melihat banyak perahu besar kecil berlabuh di tempat itu. Bermacam-macam perahu yang agaknya datang dari tempat asing yang jauh.

"Aihh, banyak benar tamu yang datang berkunjung ke pulau ini, enci," kata Siok Eng dengan suara mengandung keheranan. "Lihat perahu-perahu itu, ada yang berbendera asing pula. Yang kiri itu kelihatannya seperti bendera orang-orang Mongol."

Pek Lian mengangguk. "Tak salah lagi, itu memang bendera Mongol. Dan yang di kanan itu, perahu bercat kuning itu. Bukankah orang-orangnya memakai pakaian seragam perajurit pemerintah? Hemm, apakah tempat ini diserbu pasukan pemerintah?"

"Ah, kurasa tidak, enci. Lihat saja perahu Mongol itu. Di sana juga terdapat pasukan asing dan mereka nampak bersahabat dengan pasukan pemerintah. Hemm, ada apa pula ini? Padahal, antara pasukan pemerintah dan para raja kecil Mongol selalu terjadi permusuhan. Mengapa kini kedua pihak nampak rukun dan bersama-sama berada di sini? Tidak nampak tanda-tanda pertempuran dan mereka itu agaknya datang ke sini dengan baik-baik."

Pek Lian sebagai puteri menteri dan juga pemimpin pasukan patriot, sedikit banyak tahu akan hal itu, maka iapun berkata dengan alis berkerut, "Sungguh membingungkan. Kedua pasukan itu nampak bersahabat, padahal di perbatasan utara antara kedua pasukan selalu terjadi pertempuran. Tentu ada hal-hal yang aneh dan tidak beres di sini."

Karena matahari mulai bersinar dan di tempat itu terdapat demikian banyaknya orang, dua orang dara itu lalu bersembunyi di antara pohon-pohon yang tumbuh di sepanjang pantai itu. Ketika melihat sebatang pohon besar yang daunnya lebat, keduanya lalu naik ke atas bersembunyi di dalam pohon itu, di antara daun-daun yang lebat.

Karena mereka telah memakai olesan obat anti racun, maka mereka tidak takut menghadapi serangan binatang-binatang kecil. Dari tempat persembunyian ini mereka memandang ke arah pantai di mana terdanat perahu-perahu dan para perajurit itu.

Tiba-tiba jantung Pek Lian berdebar tegang ketika ia melihat sebuah perahu besar yang baru saia meninggalkan pulau itu. Perahu besar itu berbendera asing dan ia mengenalnya sebagai perahu di mana ia dan Bwee Hong pernah berkelahi melawan para penumpang perahu, dan di mana ia pernah mendengar suara ayahnya.

Akan tetapi perahu itu agaknya baru saja meninggalkan pulau sehingga hati Pek Lian menjadi kecewa sekali. Ingin ia dapat menyelidiki keadaan perahu itu, untuk melihat apakah benar ayahnya berada di perahu besar itu. Di tempat persembunyian ini, mereka berdua merasa aman, dapat melepaskan lelah sambil mengatur rencana selanjutnya dalam usaha mereka mencari Hek-kui-hwa.

Tiba-tiba terdengar suara banyak orang. Mereka cepat menoleh dan dari arah tengah pulau nampak belasan orang berbondong-bondong menuju ke pantai. Pakaian mereka itu aneh-aneh dan dari sikap mereka mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang dari dunia persilatan.

Di antara mereka terdapat orang-orang yang dari pakaiannya mudah diduga bersuku Bangsa Mancu dan Mongol. Semua orang membawa senjata dan sikap mereka gembira sekali ketika mereka menuju ke perahu-perahu itu. Di belakang mereka nampak belasan orang pula yang agaknya merupakan rombongan tuan rumah, sikap mereka seperti mengantar tamu itu menuju ke perahu-perahu mereka. Mereka berjalan beriringan sambil tertawa-tawa gembira....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.