Darah Pendekar Jilid 16

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Darah Pendekar Jilid 16
Sonny Ogawa

Darah Pendekar Jilid 16 karya Kho Ping Hoo - DENGAN penuh perhatian dua orang gadis itu memandang ke arah mereka. Kini matahari telah membuat mereka dapat meneliti wajah orang-orang itu dengan jelas. Yang berjalan paling depan di dalam rombongan tuan rumah adalah seorang laki-laki pendek kecil yang pakaiannya mewah sekali.

Novel silat Darah Pendekar karya Kho Ping Hoo

Orang ini mempunyai sepasang mata yang kecil dan dalam, akan tetapi mata itu berkilat-kilat penuh kecerdikan dan kelicikan. Dari gerak-gerik dan pandang matanya saja mudah diduga bahwa orang ini tentu lihai sekali. Rombongan tuan rumah itu mengantar para tamunya sampai mereka semua naik ke perahu masing-masing dan perahu-perahu itu berlayar meninggalkan pulau.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Siok Eng dan Pek Lian ketika melihat rombongan tuan rumah itu kini menuju ke arah pohon tempat mereka bersembunyi. Biarpun pohon itu besar dan daunnya lebat, akan tetapi kalau orang-orang itu berada di bawah pohon, tentu mereka berdua akan ketahuan.

"Adik Eng, lihat, ada lubang besar di batang pohon ini!" Tiba-tiba Pek Lian berkata sambil menuding ke bawah. Memang benar. Pohon itu memiliki batang yang amat besar, sebesar pelukan tiga empat orang dewasa dan kini setelah Pek Lian menyingkap daun-daun yang rimbun, nampak ada lubang besar tepat di tengah-tengah batang pohon itu.

"Bagus, kita bersembunyi saja di dalamnya!" kata Siok Eng yang mendahului Pek Lian memasuki lubang itu. Pek Lian mengikuti dan ternyata lubang itu memang cukup besar untuk mereka masuki berdua.

Akan tetapi, ternyata lubang itu terus menembus ke bawah, merupakan terowongan gelap yang terus ke dalam tanah! Kiranya, itu merupakan sebuah jalan rahasia pula! Tentu saja keduanya yang takut ketahuan itu menjadi heran dan girang, lalu melanjutkan perjalanan mereka melalui terowongan.

Di bawah tanah, mereka dapat berjalan sambil merunduk, akan tetapi cuacanya menjadi semakin gelap sehingga mereka harus meraba-raba ke atas dan ke depan agar kepala mereka tidak terbentur dan kaki mereka tidak terjeblos. Karena makin lama lorong terowongan itu menjadi semakin dalam dan gelap, Pek Lian merasa khawatir juga.

"Eng-moi, apakah tidak sebaiknya kita kembali saja? Guha ini gelap menyeramkan dan kita tidak mengenalnya sama sekali, tidak tahu ke mana terowongan ini menuju. Bagaimana kalau terowongan ini runtuh dan jalannya terputus? Kita tentu akan terkubur hidup-hidup di sini, kita akan megap-megap kehabisan napas, seperti tikus-tikus tertimbun.

"Aaiiihhhh!" Pek Lian menjerit saking ngerinya ketika tiba-tiba saja kakinya menginjak seekor tikus besar yang menggigit betisnya! Untung bahwa betisnya telah diolesi obat penawar dan juga dilindungi kaos kaki dan ia tadi mengerahkan sinkang sehingga tidak sampai terluka. Sekali ia menggerakkan kaki menginjak, terdengar bunyi "cieeettt prakkk!" dan tikus itu mati dengan kepala dan tubuh pecah, isi tubuhnya dan darahnya muncrat ke mana-mana. Tercium bau wangi bercampur amis yang memuakkan.

"Ihhh ! Adik Eng, sungguh menjijikkan....." Pek Lian berseru. "Aku aku menginjak tikus dan kuinjak ia sampai lumat!"

"Hihhh... mengerikan...!" Siok Eng juga bergidik jijik, akan tetapi ia segera menguatkan batinnya. "Akan tetapi terowongan ini agaknya sudah biasa dimasuki orang. Coba raba, tanahnya begini bersih dan kering dan terowongan ini agaknya menuju ke tengah pula. Siapa tahu ini merupakan jalan rahasia yang akan membawa kita ke tempat Si Tikus Beracun?"

"Tapi... tapi... tikus-tikusnya..." Pek Lian bergidik. Ia masih merasa ngeri membayangkan tikus-tikus besar yang pernah menghadang mereka dan membayangkan tikus yang diinjaknya pecah tadi.

"Adik Eng, aku bukan takut mati, akan tetapi siapa tahu terowongan ini penuh dengan tikus beribu-ribu banyaknya? Hiihh, kalau harus berhadapan dengan ribuan tikus, sebelum apa-apa aku mungkin sudah akan mati lemas karena jijik...!"

"Baiklah, enci Lian, mari kita kembali saja eh, awas, ada orang datang!" Siok Eng berkata lirih dan menarik tangan kawannya, diajak bersembunyi mepet di dinding terowongan, lalu mundur ke bagian yang berbelok.

Tak lama kemudian, laki-laki pendek kecil yang tadi mereka lihat di luar, lewat di terowongan itu. Untung bahwa tempat itu gelap sehingga laki-laki itu tidak melihat dua orang gadis yang mepet di dinding. Tangan kanan laki-laki ini memegang sebatang cambuk. Setelah melewati tempat persembunyian dua orang dara itu sampai beberapa langkah, tiba-tiba dia berhenti dan hidungnya mendengus-dengus.

"Hemm, ada bau asing di tempat ini! Apa yang dibawa anak-anak itu ke sini?" terdengar dia menggerutu.

Tentu saja hati kedua orang dara itu berdebar tegang. Apakah jejak mereka telah diketahui? Bukan main tajamnya daya cium manusia ini. Apakah dia ini yang berjuluk Te-tok-ci, orang pertama dari Ban-kwi-to? Akan tetapi menurut keterangan yang diperoleh Siok Eng, Tikus Beracun itu sudah berusia enampuluh tahun lebih, sedangkan orang pendek kecil ini usianya paling banyak tigapuluh lima tahun.

Pada saat orang itu dengan penuh keraguan hendak berbalik dan dua orang dara itu sudah siap siaga menghadapi segala kemungkinan, tiba-tiba terdengar suara riuh mencicit dari depan sana. Demikian gaduh dan riuh suara itu, suara dari mungkin ratusan ekor tikus yang bercuitan, sehingga orang pendek kecil itu tidak jadi kembali.

"Kurang ajar! Ada apakah dengan anak-anak setan itu?" gerutunya dengan suara geram. Dia meloncat ke depan dan tubuhnya meluncur dengan cepatnya.

Dua orang gadis itu memandang ke depan dan tiba-tiba nampak cahaya terang di depan, seolah-olah ada pintu yang dibuka. Mereka berdua menjadi tertarik dan karena tidak ada jalan lain untuk keluar dari tempat itu, merekapun tidak jadi kembali, khawatir bertemu dengan orang-orang yang baru masuk, dan merekapun lalu berindap-indap melangkah maju dengan hati-hati. Kini te-rowongan menjadi tidak segelap tadi, remang-remang dan mereka dapat melihat ke depan.

"Ah, di depan itu terang benar, agaknya kita menuju ke lubang keluar, Eng-moi," kata Pek Lian dengan suara berbisik gembira. Ia merogoh saku hendak mengambil saputangan untuk menghapus keringatnya, akan tetapi ternyata kantongnya kosong. Agaknya saputangannya itu terjatuh ketika ia menginjak tikus tadi. Mereka berjalan terus ke depan, ke arah sinar terang.

Akan tetapi ternyata mereka kecelik. Sinar terang itu sama sekali bukan datang dari lubang keluar, melainkan dari sebuah lampu minyak yang besar sekali, yang berdiri di atas meja batu. Di tempat ini, terowongan menjadi besar dan membentuk sebuah ruangan yang luas penuh dengan batu-batu besar berserakan.

Dan di ruangan luas ini, terdapat pintu-pintu terowongan lain yang semuanya berjumlah delapan buah termasuk terowongan dari mana mereka datang. Tentu saja dua orang dara itu menjadi bingung sekali. Tidak nampak laki-laki kecil pendek tadi, dan mereka berdua tidak tahu ke mana mereka harus pergi, mulut terowongan mana yang harus mereka ambil untuk dapat keluar dari tempat itu.

"Wah, enci Lian, sungguh aku menyesal sekali telah membawamu ke sini. Agaknya kita akan benar-benar terkubur hidup-hidup di sini,"

"Jangan sesalkan hal itu, adik Eng. Kalau bukan engkau yang menolong, bukankah aku juga sudah mati ditelan lautan? Sekarang kita belum mati, tidak boleh putus asa, walaupun aku seperti mendapat firasat bahwa kita telah memasuki tempat yang sangat mengerikan." Bayangan tikus yang diinjaknya tadi masih membuat nona ini bergidik ngeri dan jijik.

"Bagus, enci. Engkau telah membangkitkan semangatku kembali. Kita memang tidak boleh putus asa dan kita hadapi bersama segala bahaya yang mungkin menimpa kita. Akan tetapi karena kita kehilangan jejak orang tadi, mari kita cari sendiri saja jalan keluar secara untung-untungan."

"Lalu mulut terowongan mana yang harus kita pilih, Eng-moi?"

"Aku yakin bahwa satu di antara mulut-mulut terowongan itu tentu menuju ke istana Te-tok-ci. Karena kita baru saja keluar dari mulut terowongan yang di kanan, maka untuk menuju ke tengah pulau tentu harus mengambil jalan yang bertentangan, yaitu yang berada di lari. Akan tetapi, di sebelah kiri terdapat tiga buah mulut terowongan yang harus kita pilih salah satunya. Enci Lian, berkali-kali engkau lolos dari cengkeraman maut, itu tandanya bahwa nasibmu masih baik. Oleh karena itu, biar aku membonceng nasib baikmu itu dan engkaulah yang memilih satu di antara tiga pintu terowongan itu."

Pek Lian tersenyum. "Mudah-mudahan saja nasibku akan selalu mujur dan tidak salah memilih terowongan ini. Bagaimanapun juga, andaikata salah pilih, kita masih dapat kembali ke sini dan memilih yang lain lagi, bukan? Nah, mari kita memasuki lubang yang di tengah itu."

Ternyata lubang ini tidaklah selebar yang mereka lalui tadi. Juga amat sukar dilaku karena di dalamnya banyak sekali batu-batu karang yang tajam dan runcing bertonjolan di kanan kiri atas dan bawah. Mereka harus berhati-hati, kadang-kadang meloncat dan harus selalu waspada karena kalau tidak hati-hati, kepala mereka dapat tertumbuk batu di atas. Apa lagi lubang itu tidak begitu terang, hanya remang-remang.

Tiba-tiba terdengar suara ledakan cambuk di sebelah depan. Tentu saja dua orang gadis yang sejak tadi sudah merasa tegang dan amat berhati-hati itu, menjadi terkejut dan mereka berhenti melangkah, saling berpegang tangan dan memandang tajam ke depan.

"Enci Lian, itu dia! Kiranya masuk juga ke terowongan ini," bisik Siok Eng.

Mereka bergerak dengan hati-hati menuju ke depan. Dari depan ada angin bertiup lembut dan mereka menutupi hidung. Angin itu membawa bau yang menyengat hidung karena amis dan busuk. Tibalah mereka di sebuah ruangan yang luas dan pada dinding-dinding ruangan itu terdapat beberapa buah lampu minyak yang terang. Ketika dengan hati-hati mereka mengintai ke ruangan itu, mereka bergidik dengan hati ngeri.

Di atas lantai, di tengah-tengah ruangan itu nampak bangkai ratusan ekor tikus berserakan dan bertumpuk-tumpuk! Dan di antara bangkai-bangkai itu berdiri seorang laki-laki memegang cambuk yang digerak-gerakkan ke kanan kiri seperti orang mengancam. Itulah laki-laki pendek kecil tadi.

Pek Lian dan Siok Eng mengintai dari tempat sembunyi mereka dengan hati ngeri. Kini nampak jelas oleh mereka bahwa bangkai-bangkai tikus itu terdiri dari dua macam tikus yang besar-besar, yang berbulu kemerahan dan kehitaman. Dan kini nampaklah oleh mereka bahwa di sebelah kiri nampak tikus berbulu merah, ratusan banyaknya, dengan sikap ganas dan siap menyerang.

Sedangkan di sebelah kanan orang pendek itupun bergerombol ratusan ekor tikus hitam yang berbintik-bintik putih, semua juga menyeringai buas seperti tikus-tikus merah. Mudah diduga bahwa dua macam gerombolan tikus ini telah mengadakan perang, terbukti adanya bangkai-bangkai dua macam tikus di tempat itu.

Dua gerombolan tikus yang masih hidup itu, nampak buas dan marah, siap untuk saling serang akan tetapi mereka itu kelihatan tunduk dan takut kepada si kecil pendek yang berdiri dengan cambuk di tangan, di antara mereka. Agaknya si pendek inilah yang tadi menghentikan perang antar tikus ini.

"Bedebah busuk! Keparat jahanam! Tikus-tikus tengik yang tak tahu aturan! Kenapa kamu saling serang dan saling bunuh? Kurang ajar! Berani ya kalian menyerang tanpa diperintah? Uhh, percuma saja kamu dipelihara dan diberi makan.

Tar-tar-tarrrr!" Cambuknya meledak-ledak dan tikus-tikus kedua pihak itu undur ketakutan. "Binatang-binatang busuk, di mana pengasuh-pengasuh kalian? Ang-lojin! Hek-lojin Di mana kalian? Kenapa bocah-bocah peliharaamnu kalian biarkan saling bunuh?"

Gema suaranya yang mengandung tenaga khi-kang itu menerobos ke seluruh lorong-lorong bawah tanah itu, kemudian lenyap dan suasana menjadi amat sepi. Dan di dalami kesunyian ini tiba-tiba terdengar suara rintihan dari lubang terowongan sebelah kanan. Di ruangan itu terdapat empat buah lubang terowongan. Pulau kecil yang menjadi tempat tinggal atau sarang Te-tok-ci atau Tikus Tanah Beracun ini memang merupakan tempat yang paling berbahaya.

Di bawah tanah pulau ini penuh dengan jalur-jalur lalu lintas bawah tanah, terowongan-terowongan yang mempunyai banyak cabang dan ranting, penuh rahasia dan di-pasangi alat-alat rahasia pula, bahkan di situ terdapat tikus-tikus beracun peliharaan Te-tok-ci. Maka, dapat dibayangkan betapa berbahayanya keadaan di pulau ini.

Dari atas memang nampak sebagai sebuah pulau yang indah dan menyenangkan, namun di bawah pulau tersembunyi jebakan-jebakan dan binatang-binatang peliharaan yang kalau dikerahkan akan merupakan pasukan yang menyeramkan dan berbahaya. Apa lagi kalau sampai ada musuh yang terjebak ke dalam terowongan ini!

Mendengar suara rintihan dari terowongan sebelah kanan ini, si pendek kecil berkelebat ke kanan dan lenyap ke dalam terowongan itu. Dan begitu orang itu pergi, tikus-tikus kedua pihak yang sejak tadi memang sudah siap tempur itu sudah saling berlompatan menyerang lawan dengan ganasnya. Terdengar suara hiruk-pikuk menggiriskan dan darah tikus berhamburan, udara menjadi amat busuk dan amis.

Apa lagi ketika muncul seekor tikus hitam berbintik putih yang sangat besar, dua kali besarnya dari pada teman-temannya. Tikus ini menyerang dengan buas dan biarpun dikeroyok oleh lima ekor tikus merah, dia masih dapat mengungguli mereka. Darah makin banyak berhamburan dan bau amis membuat dua orang gadis yang menonton semua ini dari tempat persembunyian mereka itu hampir muntah.

"Enci Lian, mari kita pergi" Suara Siok Eng agak menggigil karena ia merasa ngeri. "Kalau sampai kita yang dikeroyok ribuan atau laksaan tikus hihih, aku bisa jatuh pingsan karena jijik."

Akan tetapi pada saat itu kembali terdengar bunyi cambuk meledak-ledak dan sungguh luar biasa sekali, tikus-tikus yang tadinya saling terkam, saling gigit dan saling bantai itu mendadak saja berhenti dan mereka mundur ke tempat masing-masing, bersatu dengan kawan-kawannya.

Tikus-tikus yang mati menambah banyak bangkai yang berserakan, sedangkan tikus-tikus yang terluka parah dengan susah payah beringsut-ingsut dan tersaruk-saruk mencoba untuk berkumpul ke dalam barisan teman-temannya.

Si pendek kecil itu datang lagi dan tangan kirinya menarik lengan seorang kakek yang berkulit hitam legam mengkilat. Kakek itu nampak ketakutan dan tubuhnya agak gemetar. Dia berjalan setengah diseret dan kelihatan lemah dan terhuyung seperti orang sakit.

"Tar-tarrr!" Cambuk itu meledak di udara. "Jahanam-jahanam gila! Apa yang telah terjadi? Apakah dunia telah kiamat dan neraka muncul di tempat ini? Agaknya setan-setan berkeliaran dan memasuki tubuh kalian semua! Heh, Hek-lojin. Hayo katakan, apa yang telah terjadi di sini? Kenapa engkau sampai menderita luka dalam akibat pukulan? Dan di mana adanya Ang-lojin?"

Kakek berkulit hitam itu lalu menjatuhkan dirinya berlutut dan kelihatan semakin ketakutan. Dengan suara lirih dan gemetar, kakek yang usianya sudah enampuluh tahun lebih itupun mulai bercerita. Dia dan Ang-lojin merupakan dua di antara delapan orang penjinak atau pawang tikus-tikus liar yang menjadi kaki tangan Te-tok-ci. Tentu saja keduanya, bersama enam orang lainnya, adalah sahabat-sahabat dan rekan-rekan yang mempunyai daerah-daerah sendiri di dalam dunia bawah tanah itu, mengepalai gerombolan tikus masing-masing.

Akan tetapi, ketika rombongan perahu asing itu datang bertamu, muncul seorang perempuan yang menjadi pelayan di sebuah di antara perahu-perahu itu. Ketika perempuan itu turun ke pulau untuk mencari air, Hek-lojin melihatnya, tertarik dan merayunya. Perempuan itu, seorang perempuan peranakan Mongol, mau menyambut dan melayani rayuannya. Akan tetapi celakanya, perempuan itu adalah seorang perempuan yang tidak puas dengan hanya seorang pria saja dan iapun melayani rayuan Ang-lojin. Tentu saja hal ini mengakibatkan cemburu dan persaingan.

"Demikianlah, siauw-ya (tuan muda), kami berkelahi dan tentu saja kami berdua juga mengerahkan binatang-binatang peliharaan kami untuk saling menyerang. Kami berdua sama-sama terluka!"

"Keparat tolol! Hanya untuk urusan perempuan saja saling gasak dengan rekan sendiri? Jahanam! Hayo. katakan, di mana sekarang Ang-lo-jin?" Orang cebol yang galak itu membentak-bentak.

"Dia... dia bersama perempuan itu di gudang makanan..."

"Bangsat!" Si cebol itu memaki-maki dengan segala macam makian kotor dan tubuhnya sudah berkelebat pergi lagi. Tak lama kemudian, setelah menemukan Ang-lojin yang sedang dirawat karena luka-lukanya oleh seorang perempuan Mongol, dia menyeret kedua orang itu kembali ke tempat di mana Hek-lojin masih berlutut dengan takut-takut. Setelah tiba di situ, dengan kasar si cebol itu mendorong Ang-lojin dan perempuan itu sehingga merekapun jatuh bersimpuh dan berlutut.

Pek Lian dan Siok Eng mengintai dengan jantung berdebar. Ang-lojin bermuka merah dan memang dia itu beberapa tahun lebih muda dan kelihatan ganteng apa bila dibandingkan dengan Hek-lojin yang berkulit hitam legam! Pantaslah kalau perempuan itu lebih condong hatinya kepada si muka merah ini.

Dan wanita itu sendiri sebenarnya bukan seorang wanita cantik. Usianya tentu sedikitnya tigapuluh lima tahun, bermuka kasar se-perti orang-orang Mongol dan juga tubuhnya besar seperti pria. Akan tetapi dari pandang mata dan senyum mulutnya nampak jelas bahwa ia adalah seorang wanita yang "panas" dan besar nafsu berahinya.

"Hek-lojin dan Ang-lojin, bagaimana sekarang? Kalau kalian sudah menyadari kesalahan, minta maaf kepadaku dan saling memaafkan, melupakan semua permusuhan, baru aku akan memberi ampun. Kalau tidak, aku sendiri yang akan menghukum kalian!" bentak si cebol yang sudah nampak marah sekali.

Hek-lojin dan Ang-lojin yang masih berlutut itu lalu berkata, hampir berbareng. "Harap siauw-ya sudi memaafkan saya."

"Bagus, sekarang kalian berjabat tangan dan saling melupakan semua kesalahan masing-masing."

Dua orang kakek itu saling pandang, kemudian mereka mengulurkan tangan dan saling berpegangan dan pada saat itu juga habislah semua permusuhan dan dendam di antara mereka karena mereka sadar bahwa permusuhan antara mereka hanya akan mencelakakan diri mereka sendiri.

Tiba-tiba si cebol tertawa. Dua orang dara yang menonton semua itu, mengkirik. Si cebol ini sungguh mengerikan. Baru saja maki-maki dan marah-marah, tiba-tiba dapat tertawa segembira itu. Dan tiba-tiba si cebol sudah menubruk ke depan dan menangkap perempuan itu. Tentu saja perempuan itu menjerit kaget, akan tetapi si cebol sudah membenamkan mukanya pada leher perempuan itu! Terdengar jerit melengking mengerikan.

Pek Lian dan Siok Eng memandang dengan muka pucat. Mereka mengira bahwa si cebol itu melakukan hal yang kurang ajar dan cabul, mencium leher perempuan itu. Akan tetapi ketika mereka melihat darah bercucuran, tahulah mereka bahwa si cebol bukannya mencium, melainkan menggigit putus urat darah di leher perempuan itu! Hampir saja Pek Lian meloncat ke depan, akan tetapi Siok Eng sudah memegang lengannya dan mencegahnya.

Kini sambil tertawa, si cebol melepaskan gigitannya dan perempuan itu kelihatan terbelalak dan terhuyung, lehernya mengucurkan darah seperti pancuran karena urat darah di lehernya putus. Si cebol menggerakkan cambuknya, terdengar suara meledak dan tubuh perempuan itu terlempar ke daerah gerombolan tikus.

Dan terjadilah pemandangan yang amat mengerikan hati dua orang dara itu. Tikus-tikus yang tadinya saling serang itu kini beramai-ramai menyerang tubuh perempuan yang sudah terluka lehernya itu. Hanya sebentar saja perempuan itu meronta-ronta dan menjerit-jerit. Suaranya hilang dan tubuhnya berhenti meronta, mengejang sedikit lalu terdiam, dan dalam waktu singkat saja semua daging tubuhnya habis, tinggal tulang-tulangnya saja! Dan dua orang kakek itu hanya memandang dingin saja kepada bekas kekasih mereka yang terbunuh dalam keadaan yang demikian mengerikan.

Pek Lian hampir pingsan. Ia memejamkan matanya dan dipeluk oleh Siok Eng. Agaknya, dara yang lebih muda ini lebih tabah menghadapi penyiksaan yang demikian sadis tadi. Hal ini tidak aneh karena gadis itu adalah seorang puteri Tai-bong-pai, perkumpulan yang oleh dunia kang-ouw dianggap sebagai perkumpulan iblis juga.

Kini si cebol duduk di atas batu karang bundar di tengah-tengah ruangan itu. Tidak ada bangkai tikus lagi di situ karena semua telah habis "disikat" tikus-tikus yang liar tadi. Agaknya mereka telah menerima perintah atau ijin dari pamong atau pawang masing-masing dan mereka bukan hanya makan daging perempuan Mongol itu, melainkan juga bangkai-bangkai tikus yang berserakan itu mereka ganyang beramai-ramai.

Kemudian tikus-tikus itupun pergi dan ruangan itu kembali bersih, bahkan darah yang tadinya berceceran di mana-mana telah bersih dijilati tikus-tikus itu. Yang ada hanya tinggal tulang-tulang besar tubuh perempuan itu yang tidak dapat dihabiskan atau ditelan oleh tikus-tikus itu.

Si cebol meraih ke atas di mana tergantung sebuah genta besar, lalu memukulnya. Terdengar suara nyaring yang bergemuruh dan gemanya membalik dari semua penjuru. Tak lama kemudian, panggilan ini telah mendapat sambutan dan terdengar suitan-suitan dari lorong-lorong itu.

Dan muncullah enam orang lain yang rata-rata memiliki tampang yang menyeramkan. Bersama Ang-lojin dan Hek-lojin, mereka berdiri mengelilingi batu di mana si cebol yang mereka sebut siauwya itu duduk. Si cebol memandang kepada mereka semua, seorang demi seorang, dengan pandang mata tajam penuh wibawa.

"Dengarlah kalian semua! Ayah amat sibuk dan tidak ingin diganggu, maka kalian harus tidak menimbulkan keributan. Hari ini ayah menerima banyak tamu. Akan tetapi ketahuilah, Selain kawan-kawan ayah dari dunia kang-ouw dan liok-lim yang berkunjung untuk bersahabat dan minta sesuatu dari ayah, ada pula seorang jago silat bekas musuh ayah yang datang untuk suatu keperluan yang belum kita ketahui.

"Karena itu, ayah menyuruhku menghubungi kalian agar kalian bersiap-siap dan berhati-hati. Semua peliharaan harus dipersiapkan agar sewaktu-waktu dibutuhkan, dapat segera dipergunakan. Periksa alat rahasia yang menghubungkan tempat ini dengan istana. Dan ingat baik-baik.

"Musuh yang datang sekarang ini bukanlah sembarang orang, akan tetapi dia adalah keturunan seorang datuk dari utara. Bukan mustahil kalau ayah sendiri tidak akan mampu menundukkan. Maka kita harus bersiap-siap, kalau terpaksa dia akan kujebak ke dalam terowongan."

Setelah selesai menyampaikan berita penting itu, yang disambut oleh delapan orang pembantu yang mengangguk-angguk, si cebol yang ternyata adalah putera dari Te-tok-ci itu meloncat ke arah meja batu di mana terdapat sebuah lampu minyak. Meja itu didorongnya ke samping sampai miring.

Tiba-tiba di atas langit-langit ruangan itu terbuka sebuah lubang kecil dan secepat kilat si cebol sudah meloncat dan menerobos keluar ke atas. Tak lama kemudian meja itu tegak kembali seperti semula dan lubang di atas itupun tertutup kembali oleh sebongkah batu karang besar.

Si cebol itu adalah putera Te-tok-ci dan dia memakai julukan Siauw-thian-ci (Tikus Langit Kecil)! Agaknya, dalam hal julukan, dia tidak mau kalah oleh ayahnya yang berjuluk Tikus Beracun Bumi. Dia berjuluk Tikus Langit! Hanya ditambah Kecil karena tentu saja dia tidak berani melampaui ayahnya. Dan semua anak buah Tikus Beracun menyebut siauw-ya (tuan muda).

Setelah Siauw-thian-ci pergi, delapan orang itupun meninggalkan ruangan itu, kembali ke tempat tugas masing-masing. Sampai lama Pek Lian dan Siok Eng belum berani bergerak, sampai mereka merasa yakin benar bahwa tidak ada lagi orang yang kembali ke tempat itu.

"Ke mana sekarang, Eng-moi? Menerobos lewat lubang langit-langit seperti dia tadi?"

"Itu sangat berbahaya, enci Lian. Siapa tahu dia masih berada di atas, sedangkan untuk kembali kita tidak mengenal alat rahasianya dari atas. Apa lagi kalau di sanapun masih terdapat pintu-pintu rahasia seperti ini."

"Habis bagaimana? Tinggal di sini kita menjadi seperti tikus-tikus itu, tidak dapat keluar."

"Mari kita ke sana saja." Siok Eng menunjuk ke arah lubang terowongan yang paling lebar. Mereka berjalan dengan hati-hati sekali dan bersikap waspada. Tiba-tiba keduanya menghentikan langkah dan mepet di dinding terowongan. Seorang di antara delapan anak buah yang tadi berkumpul sedang berjalan membawa sebuah keranjang yang nampaknya berat.

Orang itu bermuka putih pucat dan dia membelok ke kiri lalu menuruni anak tangga. Di dasar tangga itu terdapat sebuah ruangan berpintu baja. Dua orang dara perkasa itu mengikutinya dan mengintai ketika orang itu berdiri di depan pintu baja. Si muka putih mencabut setangkai obor yang terpasang di atas pintu baja dan pintu itupun terbuka secara otomatis.

Ketika pintu terbuka, hampir saja dua orang dara itu mengeluarkan teriakan kaget dan jijik. Di balik pintu baja itu terdapat sebuah guha yang luas dan di situ berkumpul tikus berbulu putih yang mungkin ribuan ekor banyaknya! Orang bermuka putih itu melontarkan isi keranjang besar ke dalam. Tikus-tikus putih berebutan sambil mengeluarkan suara bercicit riuh rendah.

Sebentar saja isi keranjang itupun habis dan agaknya tidak mencukupi. Tikus-tikus yang tidak mendapat bagian kelihatan menjadi buas dan marah. Mereka menyerbu ke arah pintu. Melihat ini, Pek Lian menangkap lengan Siok Eng dan mencengkeramnya dengan hati penuh kengerian. Kalau bukan puteri ketua Tai-bong-pai yang dicengkeramnya, tentu lengan itu akan terluka!

Akan tetapi, dengan tenang saja si muka putih itu mencabut keluar sebuah tabung bambu besar lalu mengeluarkan isi tabung yang berupa bubuk putih. Tercium bau yang keras ketika bubuk putih itu digenggamnya dan aneh sekali, tikus-tikus yang tadinya buas menyerbu ke depan itu, seketika undur kembali ketakutan dan kembali ke tempat masing-masing. Si muka putih menyeringai gembira.

"Nah, begitu baru anak-anak baik namanya. Nanti aku akan kembali membawa makanan lebih banyak lagi." Kakek itu lalu menutupkan kembali pintu baja dengan mengembalikan obor di tempat semula, lalu diapun pergilah dari situ.

Ketika orang itu lewat, dua orang dara cepat bersembunyi di dalam lubang-lubang dan celah-celah batu. Ketika orang itu datang dekat, dia lalu memandang ke kanan kiri, cuping hidungnya kembang kempis. Akan tetapi dia lalu menciumi tangannya yang tadi menggenggam obat bubuk dan dia menggeleng kepala lalu lewat pergi.

"Aih, orang-orang di sini mempunyai penciuman yang peka sekali, enci. Untung dia tidak menemukan kita. Mari kita ikuti dia!"

Dengan hati-hati dua orang dara itu memba-yangi si muka putih. Ketika tiba di persimpangan jalan terowongan, muncul berturut-turut tujuh orang anak buah yang lain dan mereka semua juga memegang tabung bambu besar berisi obat bubuk putih yang merupakan obat yang ditakuti tikus itu.

Mereka mengumpulkan tabung-tabung itu dan dua orang di antara mereka lalu membawa tabung-tabung itu ke sebuah ruangan besar setelah melalui jalan berbelak-belok. Agaknya dua orang ini bertugas untuk mengumpulkan dan menyimpan tabung-tabung itu, karena isinya merupakan barang yang amat penting bagi mereka dan tidak boleh sampai terjatuh ke tangan musuh. Bubuk putih itu merupakan senjata ampuh untuk mengusir tikus-tikus liar.

Ada dua buah pintu di ruangan itu, dan mereka berdua itu lalu membuka pintu hijau, menyimpan tabung itu ke dalam sebuah kamar di balik pintu hijau. Kemudian merekapun pergi melalui jalan terowongan di sebelah kiri, meninggalkan dua orang nona yang membayangi mereka.

Setelah dua orang kakek itu pergi, Siok Eng berbisik, "Kita perlu sekali dengan bubuk putih itu. Kita harus mengambil yang cukup untuk dipergunakan kalau perlu."

Pek Lian mengangguk dan mereka lalu berindap-indap menghampiri pintu hijau, membuka daun pintu yang tidak dipasangi alat rahasia. Siok Eng yang sebagai puteri ketua Tai-bong-pai amat ahli tentang racun, mengambil bubuk putih, membungkusnya dengan saputangan dan Pek Lian melakukan hal yang sama. Kemudian mereka berunding sambil bisik-bisik.

"Sekarang lihat baik-baik pintu merah itu, enci Lian. Di atasnya ada tulisan yang melarang orang masuk. Kurasa itu menandakan bahwa di dalam kamar di balik pintu merah itu tentu ada rahasianya yang penting. Kita masuk ke situ!"

"Tapi bagaimana kalau di dalamnya menanti jebakan-jebakan atau orang-orang yang sudah siap? Bukankah itu berarti kita seperti ular-ular mencari penggebuk?"

"Kita harus berani menghadapi resiko itu. Kurasa tulisan itu ditujukan kepada para anak buah dan ini berarti bahwa hanya orang-orang penting seperti ketuanya sendiri saja yang boleh masuk. Dan mustahil kalau jalan untuk sang ketua dipasangi jebakan. Mari, ikuti aku."

Mereka berdua mendorong pintu merah yang terbuka dengan mudah. Keduanya tertegun. Di balik pintu itu terdapat sebuah kamar yang indah dan di dekat dindingnya terdapat sebuah tempat tidur yang besar.

"Ehh...!" Pek Lian menahan seruannya dan menghampiri meja, lalu mengambil benda yang ternyata adalah sebuah cincin. Cincin ayahnya! Cincin stempel tanda kebesaran Menteri Ho!

"Cincin apakah itu, enci?"

"Cicin ayahku! Ah, benar! Tentu ayah terbawa oleh perahu yang sekarang berlabuh di sini! Ayahku berada di sini!" Pek Lian merasa gembira sekali dan matanya berkilat-kilat. Ia menyimpan cincin itu di saku bajunya sebelah dalam.

"Hemm, obat ini penting...!"

Tiba-tiba Pek Lian melihat sekilat cahaya di balik lemari. "Eng-moi, lihat. Ada sinar dari belakang lemari. Ini berarti bahwa di belakang lemari itu tentu ada ruangan lain. Mari kita geser!"

Mereka bekerja sama menggeser lemari itu dan setelah tergeser mereka melihat adanya sebuah lorong yang menuju ke atas. Akan tetapi lorong ini kemudian terpecah menjadi dua. Mereka lalu memilih yang kiri. Dengan hati-hati mereka melangkah, takut kalau-kalau ada jebakan rahasia di depan.

Lorong itu berakhir dengan sebuah pintu dan ketika mereka membuka dan mengintai, mereka melihat bahwa di luar daun pintu itu terdapat sebuah taman yang indah, dengan kolam renang di tengah-tengah dan pada saat itu terdapat belasan orang wanita cantik yang sedang mandi sambil bersendau-gurau.

Kedua orang dara itu dapat menduga bahwa tempat ini tentu merupakan tem-pat tinggal para isteri atau selir pemilik pulau. Mereka tidak berani memasuki taman, menutupkan kembali daun pintu itu dan kembali sampai di lorong bercabang, lalu kini mengambil lorong yang kanan. Dan tidak lama mereka tiba di akhir lorong ini yang merupakan sebuah halaman terkurung pagar besi.

Dan di tengah halaman itu tumbuh sebuah pohon bunga yang luar biasa. Daun-daunnya putih dan bunganya hitam mengkilat! Itulah bunga yang dicari-cari oleh Siok Eng! Melihat bunga ini, Siok Eng melompat kegirangan, hampir ia bersorak dan seperti seorang anak kecil mendapatkan sebuah mainan yang sudah lama diinginkannya, ia menghampiri pohon bunga itu.

"Hati-hati, enci, kau jangan memegang bunga ini," katanya dan ia sendiri lalu mengeluarkan sebuah botol berisi cairan berwarna kuning, kemudian menggunakan cairan itu untuk melumuri semua bagian kedua lengannya dan jari-jari tangannya. Setelah itu, barulah ia memetik beberapa kuntum bunga hitam dan disimpannya baik-baik ke dalam guci kecil yang sudah ada airnya.

"Aih, benar kata ayahku dan tidak sia-sialah perjalananku yang jauh dan berbahaya ini," kata Siok Eng sambil tersenyum manis. "Dan engkau juga berjasa atas hasil yang kuperoleh ini, enci. Terima kasih!"

"Adik Eng, bukan engkau yang harus berterima kasih, melainkan aku. Sekarang, bagaimana kita akan dapat keluar dari lubang tikus ini? Ingat, selama kita belum dapat meninggalkan pulau ini, belum berarti bahwa kita berhasil."

"Engkau benar, cici. Lebih baik kita mengambil jalan lewat taman itu. Andaikata kita ketahuan, lebih baik kita melayani musuh di tempat terbuka dari pada di dalam terowongan ini. Kalau mereka menutup saja pintu rahasia terowongan ini, berarti kita akan terkubur hidup-hidup dan menjadi santapan tikus-tikus menjijikkan itu!''

Membayangkan ini, Pek Lian sendiri bergidik. "Marilah, Eng-moi!"

Diingatkan tentang tikus-tikus itu, kedua orang dara ini lalu bersicepat menuju ke daun pintu yang berada di akhir terowong-an kiri. Mereka membuka daun pintu dan ternyata para wanita cantik tadi sudah selesai mandi dan tidak ada orangnya dan di situ mereka melihat banyak pakaian wanita yang indah-indah. Kiranya itu adalah sebuah kamar pakaian yang serba lengkap.

"Adik Eng, aku mempunyai gagasan baik. Bagaimana kalau kita menyamar saja sebagai seorang di antara wanita-wanita itu? Dengan demikian, setidaknya memudahkan kita untuk mencari jalan keluar."

"Bagus, enci Lian. Gagasanmu itu baik sekali!" kata Siok Eng sambil tertawa girang.

Keduanya lalu memilih pakaian yang cocok untuk ukuran tubuh mereka dan sambil cekikikan seperti dua orang anak nakal, mereka lalu berdandan. Dan karena keduanya memang cantik jelita, tentu saja setelah berdandan, mereka nampak makin menarik sehingga keduanya saling memuji.

"Wah, adik Eng, kalau melihat engkau, agaknya wanita-wanita itu takkan terpakai lagi oleh majikan pulau! Engkau cantik seperti bidadari!"

"Aih, tidak menang dibandingkan denganmu, enci. Pakaian itu pantas benar kau pakai!"

Akan tetapi, tiba-tiba mereka waspada dan saling pandang ketika ada langkah kaki menuju ke kamar itu. Pek Lian berkedip, lalu ia membuka pintu dan dengan suara berwibawa menegur, "Siapa berani menganggu kami?"

Kiranya yang datang adalah seorang penjaga dan dibentak demikian, dia kelihatan ketakutan dan cepat menjatuhkan dirinya berlutut. "Maaf, saya tidak tahu bahwa ji-wi (kalian berdua) berada di sini. Saya diperintahkan oleh tocu (majikan pulau) untuk minta kepada dua orang hujin dari puri ini sebagai wakil para hujin lain untuk menerima tamu."

Pek Lian mengerutkan alisnya. Sebagai seorang pemimpin ia memiliki kecerdikan dan ia sudah dapat menduga apa yang terjadi, maka iapun mengambil sikap angkuh dan bertanya dengan lagak seorang nyonya besar bertanya kepada pelayannya. "Masa hanya kami berdua? Siapakah tamu-tamunya?"

"Bukan hanya ji-wi hujin (kedua nyonya) yang diharapkan hadir. Setiap puri diwakili oleh dua orang, jadi dari empat puri berjumlah delapan orang. Adapun yang menjadi tamu-tamunya banyak sekali. Ada orang-orang Mongol, ada orang-orang kang-ouw, dan ada seorang datuk dari utara bersama murid-muridnya. Delapan orang hujin dari empat puri diminta mengatur dan mengepalai para pelayan untuk menghormat para tamu."

Karena penjaga itu bicara sambil berlutut maka dua orang dara itu sempat untuk saling pandang dan Siok Eng memberi tanda setuju dengan mengangguk sedikit kepada temannya. Mereka tidak mempunyai pilihan lain. Menolak berarti membuka rahasia. Mereka akan menerima saja dan nanti akan dicari jalan terbaik kalau sudah tiba saatnya yang gawat. Apa lagi mendengar nama julukan datuk utara itu, membuat hati Pek Lian tertarik.

"Apakah kau maksudkan datuk utara itu adalah Yap-lojin ketua Thian-kiam-pang?" tanyanya.

Pertanyaan yang tepat ini tidak mengherankan hati si penjaga. Sebagai isteri atau selir majikannya, tidak aneh kalau wanita cantik ini tahu akan nama tokoh-tokoh dunia persilatan. Maka diapun mengangguk. "Benar dugaan hujin yang mulia."

Tentu saja Pek Lian menjadi girang bukan main. Bagaimanapun juga, Yap-lojin adalah seorang pendekar besar dan hal ini dapat diartikan bahwa mereka berdua mempunyai seorang kawan dalam sarang iblis ini. Apa lagi kalau Yap Kiong Lee, murid utama atau putera angkat Yap-lojin berada di situ.

Pemuda perkasa itu sudah pasti tidak akan membiarkan ia dan Siok Eng celaka dan bantuannya sangat boleh diharapkan dan diandalkan. Besarlah hati Pek Lian mendengar bahwa Yap-lojin dan murid-muridnya, para pendekar Thian-kiam-pang itu, berada pula di pulau iblis ini.

Dua orang dara itu lalu mengikuti si pengawal dan akhirnya terkumpul delapan orang "nyonya" bersama mereka. Tentu saja para selir itu memandang kepada mereka dengan heran karena tidak mengenal mereka. Akan tetapi, karena mereka menghadapi tugas penting dan mereka sudah terbiasa dengan adanya muka-muka baru di kalangan mereka, yaitu selir-selir baru yang diambil oleh Tikus Beracun, merekapun tidak banyak bertanya, hanya memandang dengan alis berkerut seperti pandang mata seorang wanita terhadap madu baru yang dianggap saingan.

Dengan iringan pengawal, mereka lalu menuju ke pendapa di mana telah berkumpul para tamu. Karena pakaian mereka serupa, maka kehadiran dua orang dara di antara para selir ini tidak terlalu menyolok dan sekelebatan mereka itu tidak ada bedanya dengan yang lain.

Di ruangan pendapa itu terdapat lebih dari lima puluh orang tamu. Dengan bantuan pelayan-pelayan yang juga cantik-cantik akan tetapi pakaian mereka lebih sederhana, delapan orang selir ini lalu melayani para tamu, menyuguhkan hidangan-hidangan dan minuman-minuman. Pek Lian mencari-cari dengan pandang matanya dan akhirnya ia menemukan orang yang dicarinya.

Mereka duduk di deretan depan. Seorang kakek yang usianya sudah tujuhpuluhan tahun, berpakaian putih-putih dengan jenggot putih panjang, sikapnya ga-gah. Di sebelahnya duduk seorang pemuda perkasa berusia tigapuluh tahun lebih, juga mengenakan pakaian serba putih dengan pedang di punggung.

Di sebelah kiri kakek itu duduk seorang gadis yang luar biasa cantik jelitanya, berpakaian hitam dari sutera sehingga kulit leher dan tangannya nampak semakin putih mulus. Hampir semua mata para tamu pria, baik tua maupun muda, tiada hentinya mengerling ke arah gadis yang luar biasa cantiknya ini.

Melihat tiga orang ini, Pek Lian hampir berte-riak kegirangan. Tidak saja ia mengenal Yap-lojin dan Yap Kiong Lee, akan tetapi juga ia mengenal gadis berpakaian sutera hitam itu karena gadis itu bukan lain adalah Bu Bwee Hong atau lebih tepat lagi bermarga Chu, karena gadis ini adalah anak kandung dari Pangeran Chu Sin!

Di samping rasa girang yang luar biasa melihat bekas teman seper-jalanan ini ternyata masih hidup, juga timbul rasa herannya bagaimana gadis yang terbawa hanyut oleh gelombang lautan dan terpisah darinya itu tahu-tahu berada di situ bersama Yap-lojin ketua Thian-kiam-pang dan murid pertamanya.

Juga Siok Eng merasa girang bukan main ketika ia mengenal Bwee Hong, puteri dari keluarga Bu yang telah menolongnya, bahkan telah menyelamatkan nyawanya dengan pengorbanan nyawa suami isteri Bu dan terbukanya putera mereka, kakak dari Bwee Hong. Akan tetapi, tiga orang itu sama sekali tidak mengenal Pek Lian dan Siok Eng yang tidak mudah dibedakan dari selir-selir tuan rumah yang lain.

Baru setelah Pek Lian melayani meja mereka dan sengaja menginjak kaki Bwee Hong, nona cantik jelita ini mengangkat muka memandang dan sinar mata mereka bertemu. Pek Lian berkedip dan memberi isyarat kepada Bwee Hong agar tidak mengeluarkan suara. Bwee Hong terkejut dan girang bukan main ketika mengenal Pek Lian.

Akan tetapi melihat isyarat itu, ia tidak berani berkata sesuatu, hanya memandang bengong. Apa lagi ketika Bwee Hong mengenal pula Siok Eng sebagai gadis Tai-bong-pai yang pernah diobati oleh ayah bundanya, ia terheran-heran dan juga amat girang.

"Enci, kalian bertiga harus menelan pel ini untuk menjaga diri terhadap racun," bisik Siok Eng sambil memberikan tiga butir pel kepada Bwee Hong, akan tetapi gadis cantik jelita itu tersenyum.

"Jangan khawatir, adik yang baik. Kami telah minum obat penawar racun," jawabnya dengan bisikan lirih.

Siok Eng mengangguk dan iapun merasa tenang karena ia percaya bahwa nona cantik ini adalah puteri seorang datuk yang menjadi keturunan Sin-yok-ong, Si Raja Tabib Sakti. Tentu saja dara ini seorang ahli pengobatan yang tidak takut akan segala macam racun!

Adapun Yap-lojin dan putera angkatnya yang belum begitu akrab dengan Pek Lian, tidak mengenal nona ini. Baru setelah Bwee Hong berbisik-bisik kepada ketua Thian-kiam-pang itu, Yap-lojin mengerutkan alisnya. Dia teringat kepada gadis yang menjadi tawanan isterinya, Siang Houw Nio-nio. Akan tetapi dia diam saja, hanya merasa heran apa lagi yang dikerjakan oleh gadis pemberani itu di tempat seperti ini.

Pek Lian dan Siok Eng juga tidak sempat bicara dengan Bwee Hong karena pada saat itu muncul tuan rumah, yaitu Tikus Beracun Bumi! Para tamu bangkit dari tempat duduk mereka untuk menghormati tuan rumah yang terkenal sebagai datuk pertama dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to! Karena para tamu bangkit berdiri, Siok Eng dan Pek Lian merasa aman, mereka tertutup oleh para tamu sehingga tuan rumah yang bertubuh pendek kecil itu tidak dapat melihat mereka.

Te-tok-ci atau Tikus Beracun Bumi itu ternyata memliliki tubuh yang sama sekali tidak serem seperti namanya. Kakek ini usianya sekitar enam-puluh lima tahun, tubuhnya pendek kecil nampak lemah, mengenakan pakaian mewah seperti seorang bangsawan saja. Mukanya kecil sempit dan panjang ke muka, memang dari samping wajahnya memiliki bentuk seperti muka tikus.

Di sebelah kanannya berjalan laki-laki berusia tigapuluh tahun lebih yang juga bertubuh kecil pendek. Itulah Siauw-thian-ci, putera tunggal Tikus Beracun Bumi, yaitu pria kecil pendek kejam, yang pernah dilihat oleh Pek Lian dan Siok Eng di dalam tero-wongan bawah tanah itu.

Setelah tiba di tempat duduk yang dipersiapkan untuknya, yaitu di antara kursi para tamu kehormatan, tuan rumah yang pendek ini lalu berdiri di atas tangga, menjura ke empat penjuru dan suaranya lantang ditujukan kepada semua tamu yang bangkit berdiri ketika dia datang.

"Cu-wi sekalian, selamat datang dan silahkan duduk! Semua dipersilahkan untuk menikmati hidangan yang kami suguhkan!"

Setelah berkata demikian dia bersama Siauw-thian-ci duduk menghadapi meja yang penuh hidangan, kemudian tanpa banyak cakap lagi ayah dan anak ini lalu makan minum dengan lahapnya, sama sekali tidak memperdulikan kanan kiri lagi! Dan lucunya, biarpun di atas semua meja tamu telah tersedia hidangan yang nampaknya lezat dan mewah, namun tidak ada seorangpun yang berani menyentuhnya, apa lagi makan!

Hal inipun tidak mengherankan, karena siapakah yang akan berani menyentuh hidangan yang disuguhkan oleh datuk sesat ahli racun yang paling kejam dan berbahaya di dunia ini? Selain itu, agaknya para tamu yang sebagian besar terdiri dari tokoh-tokoh sesat itu memang sudah tahu akan adegan yang sudah diatur ini dan agaknya sikap tuan rumah itu memang ditujukan kepada para tamu yang bukan segolongan dengan mereka, terutama sekali ditujukan kepada ketua Thian-kiam-pang.

Maka, para tokoh sesat yang hadir hanya tersenyum-senyum saja menonton pertunjukan yang mereka anggap sebagai lelucon yang menarik. Mereka tersenyum-senyum geli dan gembira melihat aksi Te-tok-ci dan Siauw-thian-ci. Akan tetapi, bagi manusia sopan pada umumnya, aksi ayah dan anak itu sungguh memuakkan, menjijikkan dan juga memanaskan perut!

Mana ada pihak tuan rumah makan minum seenak perutnya sendiri tanpa memperdulikan para tamu, bahkan mereka makan minum dengan lahap, berdahak dan kadang-kadang meludahkan tulang-tulang ikan ke kanan kiri. Setengah jam lamanya para tamu disuguhi tontonan ini dan seperti orang baru tahu bahwa para tamu tidak ada yang makan hidangan di atas meja depan mereka, terdengar Te-tok-ci tertawa dan bicara dengan puteranya.

"Ha-ha-ha, dunia penuh penakut dan pengecut, anakku yang gagah! Lihat, tidak ada yang berani menyentuh hidangan di atas meja. He-hehe, siapa yang makan minum hidangan itu dan tidak mampus mendadak, aku sungguh kagum padanya dan akan kuangkat saudara!"

Ucapan ini sungguh merupakan ejekan menghina yang sepatutnya hanya diucapkan orang gila. Seorang tamu yang usianya baru tigapuluh tahun lebih dan berwatak berangasan, dari golongan sesat yang agaknya belum paham akan sikap tuan rumah dan dia merasa tersinggung, bangkit dari tempat duduknya.

Dia tidak berani menentang tuan rumah, akan tetapi merasa tidak senang dengan sikap itu dan diapun melangkah pergi hendak meninggalkan ruangan itu. Akan tetapi, beberapa orang pengawal, anak buah Si Tikus Beracun, sudah menghadangnya dengan tombak melintang.

"Sicu hendak pergi ke mana? Sebelum to-cu selesai makan minum, tidak ada yang boleh pergi kecuali seijin to-cu!"

"Apa?" Laki-laki bermuka hitam itu melotot. "Aku Tiat-pi Hek-kwi (Setan Hitam Lengan Besi), datang dan pergi tidak pernah diatur orang lain. Aturan gila mana ini?"

Dia hendak memaksa pergi dan ketika tiga orang pengawal itu tetap menghadang, dia menggunakan kedua lengannya untuk mendorong dan tiga orang pengawal itupun terjengkang. Ternyata Setan Hitam Lengan Besi ini memang memiliki sepasang lengan yang kuat sekali.

Si Tikus Beracun yang sedang asik makan minum itu menoleh dan sepasang matanya yang kecil itu menyipit, akan tetapi mengeluarkan sinar berkilat. Marahlah dia melihat ada orang berani bersikap menentangnya. "Cuhh!" Dia meludah ke atas lantai yang sudah, kotor dengan ludah dan tulang-tulang ikan itu. "Bunuh orang itu!" teriaknya bengis.

Tiga orang kepala pengawal berloncatan datang dan mereka memegang alat semprotan dari bambu. Begitu mereka menggerakkan alat itu, ada benda cair yang amat lembut dan beruap menyambar ke arah Si Setan Hitam dari tiga jurusan. Tentu saja orang itu berusaha mengelak dan melawan, namun begitu uap mengenai tubuhnya, dia menjerit kesakitan. Kulit tubuhnya dan pakaian yang terkena uap itu hancur dan melepuh, seperti terbakar dan orang itupun tak dapat menahan lagi rasa nyerinya. Dia terguling dan berkelojotan di atas lantai, sekarat dan tewas seketika!

Semua tamu memandang dengan muka pucat dan mereka bergidik. Akan tetapi, Yap-lojin ketua Thian-kiam-pang yang melihat ini menjadi marah sekali. Mukanya berobah merah dan diapun bangkit berdiri, diikuti oleh Yap Kiong Lee dan Chu Bwee Hong. Bagaimanapun juga, sebagai seorang tamu Yap-lojin tidak sudi mencampuri urusan orang, apa lagi urusan antara Setan Hitam dan tuan rumah yang keduanya adalah orang-orang golongan sesat. Dengan sikap hormat namun gagah Yap-lojin menjura ke arah Tikus Beracun dan suaranya terdengar lantang.

"Te-tok-ci, aku datang ke sini untuk berjumpa dengan seorang di antara penghuni Ban-kwi-to, yaitu Thian-te Tok-ong atau yang juga dikenal sebagai Ceng-ya-kang. Aku ingin bertanya kepadanya tentang puteraku!"

Yang ditanyakan Yap-lojin adalah tokoh ke lima dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to, yaitu si gendut pendek yang berjuluk Thian-te Tok-ong (Raja Racun Bumi Langit) atau juga terkenal dengan sebutan Ceng-ya-kang (Kelabang Hijau) karena dia suka mengumpulkan kelabang beracun. Seperti telah diceritakan di bagian depan, tokoh sesat ini nampak gulang-gulung dengan Yap Kim, putera kandung Yap Cu Kiat atau Yap-lojin itu yang kini lenyap dan sedang dicari oleh ayahnya dan suhengnya.

Tentu saja Tikus Beracun sudah tahu akan hal ini dan memang sejak tadi semua adegan yang disuguhkan di situ hanya untuk memancing keturunan datuk utara ini. Sekarang, melihat tamu yang dianggap musuh besar ini sudah bangkit dan mengeluarkan suara, pihak tuan rumah menemukan alasan untuk turun tangan, seperti yang telah dilakukannya terhadap Setan Hitam tadi.

Pada saat itu, mulut Si Tikus Beracun penuh makanan. Dia mengangkat muka memandang ke arah Yap-lojin, lalu dia memuntahkan makanan itu ke atas lantai dan menudingkan telunjuknya kearah kakek itu sambil membentak, "Bunuh juga orang itu!"

Tiga orang kepala pengawal itu sudah mengurung Yap-lojin dan dua orang muda itu, kemudian tanpa menanti perintah kedua kalinya lagi, tiga orang yang memang mempunyai hobby membunuh orang itu menyemprotkan alat semprot mereka yang mengandung racun amat jahat itu. Akan tetapi, karena tadi mereka sudah menjaga diri dengan minum obat penolak racun yang diberikan oleh Bwee Hong, mereka tidak takut terhadap racun itu, dan untuk menjaga pakaian mereka, tiga orang ini lalu menggerakkan kedua tangan dikibaskan ke depan.

Bahkan Yap Kiong Lee sudah mengerahkan tenaga Thian-hui Khong-ciang yang luar biasa, itu, yang menjadi ilmu keturunan dari datuk utara Sin-kun Bu-tek. Akibatnya luar biasa hebatnya karena tiga orang itu terjengkang dan tidak dapat bangkit kembali, napas mereka empas-empis dan muka mereka pucat, tubuh terasa lumpuh kehilangan tenaga!

Gegerlah ruangan itu ketika para anak buah Tikus Beracun maju mengeroyok. Bahkan Tikus Beracun sudah berteriak-teriak minta bantuan para tamu. Para tamu yang sebagian besar adalah tokoh-tokoh kaum sesat itu dan menjadi sekutu Tujuh Iblis Ban-kwi-to tentu saja berpihak kepada Tikus Beracun dan terjadilah pengeroyokan atas diri tiga orang itu. Namun, mereka bukanlah orang-orang sembarangan!

Nona Chu Bwee Hong adalah keturunan dari datuk selatan Sin-yok-ong yang memiliki ilmu silat luar biasa tingginya. Yap-lojin adalah ketua Thian-kiam-pang yang merupakan keturunan datuk utara Sin-kun Bu-tek yang amat lihai, sedangkan Yap Kiong Lee, murid utama atau putera angkatnya, telah sedemikian maju dalam ilmunya sehingga tidak jauh selisihnya dengan ilmu kakek itu sendiri!

Inilah sebabnya yang membuat para orang sesat itu seperti air bah membentur batu karang yang kokoh kuat. Bwee Hong mengandalkan ginkangnya yang istimewa. Tubuhnya berkelebatan seperti terbang saja di antara pengero-yokan banyak orang. Tidak ada sebuahpun senjata mampu menyentuhnya dan ia membagi-bagi pukulan dan tendangan secepat kilat.

Dengan gin-kang keturunan datuk selatan Sin-yok-ong yang luar biasa, yaitu yang dinamakan Pek-in Gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh Awan Putih), tubuhnya berkelebatan seperti kilat dan Ilmu Silat Kim-hong-kun (Silat Burung Hong Emas) membingungkan para pengeroyoknya.

Yap-lojin bersikap tenang-tenang saja menghadapi semua pengeroyokan. Kakek ini hanya menggerak-gerakkan kedua lengannya dan ujung jubahnya yang lebar itu mendatangkan angin keras, membuat para pengeroyoknya terpelanting atau terdorong mundur. Akan tetapi, sepak terjang Yap Kiong Lee lebih hebat lagi. Pemuda ini mengamuk dan kedua tangannya bergetar menimbulkan suara gemuruh seperti angin ribut.

Itulah Hong-i Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Angin Badai) yang hebat, dsertai penggunaan tenaga sakti Thian-hui Khong-ciang yang mengeluarkan suara ledakan seperti petir dan menghancurkan benda-benda di sekitarnya. Semua orang terkejut ketakutan dan menjauhkan diri, tidak kuat menahan pukulan-pukulan sakti ketiga orang itu. Semua orang menjadi kagum sekali, bahkan si kakek Yap-lojin juga diam-diam amat kagum terhadap murid ini.

"Kiong Lee, engkau cari adikmu, biar kuhadapi tikus-tikus ini!" kata Yap-lolin yang menduga bahwa tentu puteranya, Yap Kim, disembunyikan di pulau itu.

"Baik, suhu!" kata Kiong Lee yang sudah mulai membuka jalan dengan menghambur-hamburkan pukulan saktinya ke kiri untuk keluar dari kepungan.

Akan tetapi tiba-tiba Pek Lian berteriak, "Locianpwe, puteramu tidak berada di sini. Mari ikut dengan kami!"

Karena teriakan ini, Kiong Lee meragu dan tidak jadi keluar dari kepungan, dan sebaliknya, Pek Lian dan Siok Eng ketahuan dan dikeroyok pula. Karena ingin mencari kawan, Pek Lian dan Siok Eng mengamuk dan mendekati Yap-loiin bertiga sehingga kini mereka berlima mengamuk dan merobohkan banyak pengeroyok yang berani menyerang terlalu dekat.

Melihat kehebatan lima orang musuh ini, Tikus Beracun dan puteranya menjadi marah. Mereka sibuk berteriak-teriak memberi komando kepada para pengawal. "Semprotkan darah maut!"

"Taburkan bubuk pencabut nyawa!"

"Bakar dupa setan sebanyaknya!"

"Serang dengan jarum kalajengking!"

Para pengawal sibuk melaksanakan perintah-perintah ini, namun karena lima orang itu semua telah melumuri tubuh dengan obat anti racun, juga sudah menelan obat mujijat dari Raja Obat Sakti atau juga terkenal dengan julukan Tabib Sakti, sedangkan Pek Lian dan Siok Eng telah dilindungi obat anti racun dari Tai-bong-pai, maka semua racun yang mengerikan itu tidak dapat melukai mereka.

Apa lagi dengan ilmu silat mereka yang amat hebat itu, semua senjata dan racun dapat ditolak dan yang celaka bahkan para tamu yang ikut mengeroyok. Yang terkena racun-racun itu berjatuhan dan berkelojotan sekarat dan tewas seketika dalam keadaan amat mengerikan.

Melihat kehebatan lawan, Tikus Beracun dan puteranya lalu tiba-tiba menghilang. Mereka hendak mempersiapkan diri untuk menjebak musuh-musuh yang amat tangguh itu agar terperosok ke dalam terowongan rahasia mereka karena mereka maklum bahwa menghadapi mereka takkan mungkin menang kalau hanya mengandalkan ilmu silat dan pengeroyokan.

Melihat mundurnya tuan rumah, para tamu yang memang sudah gentar menghadapi lima orang pendekar itu, juga banyak yang mulai menjauhkan diri sehingga pengepungan tidak begitu ketat lagi.

Sementara itu, Pek Lian yang mencurigai kepergian Si Tikus Beracun dan puteranya, dengan cerdik sudah dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh tuan rumah yang licik dan amat curang itu. Tuan rumah telah menghilang, para pengawal juga mundur sehingga mereka berlima ditinggalkan di ruangan depan itu.

"Yap-locianpwe, harap hati-hati terhadap jebakan rahasia. Jangan sembarangan menginjak lantai yang mencurigakan ahhhh!!"

Ia yang memperingatkan, akan tetapi ia sendiri bersama Siok Eng yang berdiri di sebelahnya yang lebih dulu menjadi korban ketika lantai yang mereka pijak dan yang tadinya kokoh kuat itu tiba-tiba saja bergerak dan mereka berduapun terjeblos ke bawah tanpa dapat mereka hindarkan lagi.

"Adik Lian, awas!" Bwee Hong berteriak dan gadis yang memiliki ginkang luar biasa hebatnya ini sudah melesat ke depan, maksudnya untuk menolong Pek Lian dan Siok Eng, akan tetapi akibatnya ia sendiripun ikut terjeblos bersama dua orang dara itu!

Melihat betapa tiga orang dara itu telah terjeblos dan lenyap ke bawah, sedangkan lantai itu telah menutup kembali, Yap-lojin menyambar tangan muridnya dan berkata, "Mari kita keluar!"

Mereka berdua meloncat dengan cepatnya, melayang untuk keluar dari pintu. Akan tetapi tiba-tiba dari luar menyambar puluhan batang anak panah beracun ke arah mereka! Karena maklum bahwa anak panah itu berbahaya sekali, keduanya terpaksa menangkis dan meruntuhkan senjata-senjata rahasia itu dengan pukulan sakti, akan tetapi terpaksa pula mereka menurunkan kaki menginjak ambang pintu dan merekapun terjeblos ke bawah karena lantai berikut pintunya juga terjeblos dalam jebakan rahasia itu!

Guru dan murid ini mengerahkan sinkang dan mereka berhasil berjungkir balik, membuat poksai (salto) ke atas sehingga tubuh mereka yang sudah terjeblos ke bawah itu mencelat ke atas lagi. Akan tetapi, kembali puluhan anak panah menyambar. Tentu saja mereka terpaksa menangkis dan tubuh mereka jatuh lagi ke bawah dan lantai itupun telah tertutup kembali ketika tubuh mereka meluncur ke dalam lubang yang amat gelap.

"Kerahkan ginkang!!" Yap-lojin masih sempat memperingatkan muridnya karena dia khawatir kalau-kalau dibawah terdapat senjata-senjata runcing menyambut tubuh mereka. Hanya dengan pengerahan ginkang yang hebat saja mereka dapat menghindarkan maut kalau terjadi hal seperti itu dan paling banyak hanya akan mengalami sedikit luka-luka pada kaki mereka.

Tentu saja Yap Kiong Lee yang sudah banyak pengalaman di dunia kang-ouw itupun telah tahu akan hal ini sehingga tubuh guru dan murid itu melayang turun dengan ringan. Akan tetapi, mereka merasa lega dan juga heran karena kedua kaki mereka hinggap di atas tanah kering biasa, tidak ada senjata yang menerima tubuh mereka. Mereka telah tiba di dalam sebuah terowongan, lorong di bawah tanah dan ada sinar menerangi terowongan itu dari depan dan belakang.

Sebelum mereka mengambil keputusan ke mana mereka akan mencari jalan keluar, tiba-tiba terdengar bunyi ledakan cambuk, disusul suara gemuruh dan mencicit. Suara tikus! Dan kini nampaklah tikus-tikus itu. Tikus-tikus itu berwarna coklat dengan kepala dan ekor berwarna putih. Kalau hanya seekor dua ekor, tentu binatang-binatang itu merupakan tikus-tikus yang menarik, mungkin bagus untuk dipelihara.

Akan tetapi, yang muncul ini bukan seekor dua ekor melainkan ratusan dan tikus-tikus itu luar biasa besarnya, bukan seperti tikus biasa. Juga mereka itu nampak ganas dan liar, sambil mencicit mereka menyerbu maju, ratusan banyaknya, hampir memenuhi terowongan itu!

Melihat ini, guru dan murid cepat membalikkan tubuh dan melarikan diri dari tempat itu, menjauh. Mereka mengikuti terowongan yang berbelak-belok itu dan akhirnya berhadapan dengan seorang kakek berwajah putih menyeramkan yang berdiri di depan sebuah pintu baja. Kakek ini menyeringai dan tangannya bergerak mencabut obor yang tertancap di atas pintu. Tiba-tiba pintu terbuka dan ratusan, bahkan ribuan tikus putih menerobos keluar dan dengan bunyi bercicitan menyerbu ke arah guru dan murid itu!

Yap-lojin adalah ketua Thian-kiam-pang yang sudah sering kali menghadapi penjahat-penjahat kejam dan sudah sering menghadapi maut pula. dan Yap Kiong Lee juga seorang pendekar yang berpengalaman. Namun belum pernah mereka menghadapi penyerbuan ribuan ekor tikus yang kelihatan buas itu, maka mereka berdua terbelalak memandang dan merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang bergidik.

Mereka meloncat ke belakang dan membalikkan tubuh hendak menjauh kan diri, akan tetapi dari arah belakang, barisan tikus coklat yang tadi mengejar sudah datang, kini digiring oleh seorang kakek yang berambut coklat penuh uban sambil tertawa-tawa. Karena berada di jalan terowongan dan sudah terjepit dari depan dan belakang oleh dua barisan tikus, terpaksa Yap-lojin dan Yap Kiong Lee berdiri tegak beradu punggung saling membelakangi, memasang kuda-kuda dan siap untuk membela diri menghadapi ribuan ekor tikus itu.

Diam-diam mereka mengerahkan tenaga sakti Thian-hui Khong-ciang dan begitu tikus-tikus itu sudah menyerbu dekat, kedua orang guru dan murid ini lalu menggerakkan kedua tangan menyerang dan memukul ke depan. Terdengar suara gemuruh angin pukulan dahsyat menyambar ke depan dan bagaikan petir menyambar pukulan-pukulan sakti itu mengenai tikus-tikus dan batu-batu dinding. Tikus-tikus itu terpental dan darah berhamburan, debu mengepul tebal.

"Hati-hati, Kiong Lee. Jangan sampai terowongan runtuh terkena pukulanmu!" teriak Yap-lojin memperingatkan muridnya. Dia tahu bahwa muridnya itu marah dan pukulannya mengandung tenaga dahsyat. Kalau sampai terowongan itu runtuh karena pukulan muridnya, berarti mereka akan terkubur hidup-hidup. Diam-diam guru ini amat kagum dan sayang kepada muridnya atau anak angkatnya itu.

Memang Kiong Lee memiliki bakat yang luar biasa sehingga dalam usia semuda itu telah mewarisi ilmu-ilmu sakti dari perguruannya, bahkan hampir mencapai tingkat yang sama dengannya. Puluhan ekor tikus tewas dan hancur terbanting kepada dinding terowongan, dan bau yang amat amis dan busuk memenuhi udara, memusingkan kepala guru dan murid itu.

"Suhu, tikus-tikus ini beracun!" teriak Kiong Lee.

"Tentu saja! Lindungi hidung dengan saputangan."

Mereka lalu mengeluarkan saputangan dan mengikatkan saputangan itu di depan hidung. Akan tetapi, tikus-tikus itu sungguh nekat dan liar sekali. Biarpun guru dan murid itu sekali pukul membunuh puluhan ekor, namun yang datang semakin banyak. Mati sepuluh datang seratus! Dan ribuan ekor masih berjubel-jubel di belakang seperti berebut untuk dapat mengeroyok dua orang manusia yang menjadi musuh mereka itu, atau juga merupakan calon-calon mangsa mereka.

Bau amis membuat mata mereka berkunang. Biarpun mereka sudah melindungi hidung dengan saputangan, tetap saja hawa beracun tikus-tikus itu membuat mereka pengap dan sukar bernapas. Memang, dengan pukulan-pukulan Thian-hui Khong-ciang, tikus-tikus itu tidak ada yang mampu mendekat, akan tetapi sampai kapan mereka akan mampu bertahan?

Tikus-tikus itu tak terhitung banyaknya, dan agaknya bukan liar atau buas lagi, melainkan sudah gila dan agaknya sebelum habis sama sekali tidak akan mau mengaku kalah atau mundur. Dan tidak mungkin guru dan murid itu akan sanggup bertahan demikian lamanya sampai tikus-tikus itu habis.

"Suhu, kita menyerbu satu jurusan saja membuka jalan darah!"

Tiba-tiba Kiong Lee berkata, dan gurunya menjadi kagum dan girang. Memang benar pendapat muridnya. Kalau mereka beradu punggung, masing-masing menghadapi satu barisan tikus, berarti mereka terjepit dan harus melayani barisan itu sampai habis, yang agaknya tidak mungkin. Akan tetapi kalau mereka menyerbu satu jurusan saja, dengan kerja sama mereka, agaknya mereka masih memiliki harapan untuk dapat melepaskan diri dari himpitan maut ini.

"Baik, aku membantumu!" Yap-lojin berseru dan diapun membalik setelah lebih dulu mengirim pukulan dahsyat yang membuat tikus-tikus di depannya itu terlempar jauh ke belakang dan menjadi kacau. Mempergunakan kesempatan ini, dia membalik dan membantu muridnya.

Dengan pukulan mereka berdua, tentu saja akibatnya lebih hebat lagi. Gabungan pukulan mereka membuat tikus-tikus coklat itu seperti sekumpulan daun kering ditiup angin badai. Ratusan ekor tikus terlempar saling bertubrukan dan bertumpuk-tumpuk. Guru dan murid itu melakukan pukulan bertubi-tubi, lalu meloncat dan menggunakan tumpukan bangkai tikus untuk menjadi batu loncatan, terus melarikan diri setelah melompati barisan tikus coklat itu.

Kakek penggiring tikus itupun tidak berani turun tangan menyerang, bahkan mepet di dinding karena merasa gentar melihat kelihaian guru dan murid itu. Akan tetapi, diapun cepat membunyikan cambuknya berdetak-detak dan tikus-tikus coklat itu diikuti oleh tikus-tikus putih, melakukan pengejaran sambil mengeluarkan bunyi bercicitan riuh-rendah.

Udara di terowongan itu penuh dengan hawa beracun dari tikus-tikus itu. Yap-lojin dan Kiong Lee merasa betapa kepala mereka pening sekali, akan tetapi mereka harus berlari terus kalau tidak ingin celaka. Tiba-tiba mereka mendengar suara Pek Lian sayup-sayup memanggil-manggil. Mereka berdua mempercepat lari mereka ke depan dan nampaklah oleh mereka tiga orang dara itu berdempetan, berdiri ketakutan di sebuah ruangan luas, dikepung oleh ribuan tikus yang bermacam-macam bentuk moncongnya dan bermacam-macam pula warna bulunya.

Ada yang hitam, ada yang kemerahan atau bintik-bintik. Tikus-tikus itu sungguh amat luar biasa banyaknya, sampai bertumpuk-tumpuk. Dan dari jarak jauh, nampak beberapa orang kakek memegang cambuk yang dengan berbagai gaya dan cara memerintahkan barisan masing-masing menyerang tiga orang dara itu. Namun, sungguh aneh. Tikus-tikus itu agaknya tidak berani menyerang, hanya memandang, mencicit dan memperlihatkan taring dengan buas-nya tanpa berani maju menyerang.

Tentu saja dikerumuni ribuan ekor tikus yang memperlihatkan sikap buas mengancam itu, tiga orang dara menjadi ketakutan dan jijik sekali. Agaknya merekapun sudah bosan melawan tikus-tikus yang tiada habis-habisnya itu, lelah dan muak karena hawa beracun yang berbau busuk, apek dan amis.

"Yap-locianpwe tolonglah kami!" Pek Lian berseru ketika melihat Yap-lojin dan Yap Kiong Lee berlarian datang.

Akan tetapi ia tidak tahu bahwa untuk menolong diri sendiri saja guru dan murid itu sudah kerepotan sekali. Kini tikus-tikus yang berada di ruangan itu, begitu melihat munculnya Yap-lojin dan Kiong Lee, sudah membalikkan tubuh dan disertai suara mencicit riuh-rendah mereka semua menyerbu ke arah Yap-lojin dan muridnya. Tentu saja guru dan murid ini menyongsong mereka dengan pukulan sakti Thian-hui Khong-ciang. Kembali darah berhamburan ketika tikus-tikus itu dilanda pukulan sakti.

Akan tetapi binatang-binatang itu agaknya sudah sejak tadi menahan kemarahan mereka ketika mereka secara aneh tidak berani menyerang tiga orang dara itu. Seperti sekawanan tikus kelaparan melihat daging empuk tiga orang dara yang tinggal mengganyang saja namun ada sesuatu yang melarang mereka atau membuat mereka tidak berani menyerang.

Kini, mereka menumpahkan semua kemarahan dan kerakusan mereka kepada dua orang pendatang baru ini. Bagaikan air bah mereka itu menerjang datang. Tikus-tikus ini terdiri dari bermacam-macam jenis, menyerang menjadi satu, ribuan banyaknya, disertai bau busuk menyengat hidung. Kembali guru dan murid itu mengamuk, mengirim pukulan berantai bertubi-tubi, namun tikus-tikus itu makin banyak juga yang datang menyerbu. Bau racun bercampur bau darah dan bau kotoran mereka sungguh membuat udara di situ penuh racun.

Yap-lojin adalah seorang yang sakti, juga muridnya amat gagah perkasa, dan tiga orang dara itupun bukan orang sembarangan. Di samping ini, mereka semua sudah menelan pel anti racun yang amat mujarab. Namun, menghadapi bau yang teramat busuk ini, mereka tidak dapat bertahan lagi dan isi perut mereka meronta, lalu mereka itu muntah-muntah!

Pek Lian yang memang sudah mempunyai perasaan jijik terhadap tikus, dan di antara mereka berlima itu dara inilah yang terhitung paling lemah, tidak kuat dan muntah-muntah lalu jatuh terduduk. Kepalanya pening bukan main. Untung tidak ada tikus yang berani menyerangnya, karena kalau terjadi hal demikian, tentu ia dan dua orang kawannya tidak akan dapat melawan dan tentu mereka akan dikeroyok dan diganyang sampai habis oleh tikus-tikus itu. Mengerikan!

Syukur bahwa tidak ada seekorpun yang berani menyerang padahal begitu Yap-lojin dan muridnya muncul, semua tikus berobah ganas dan menyerang dengan buas dan berani. Mengapa demikian? Dalam kepeningannya, sambil duduk bersandar dinding terowongan itu Pek Lian merenung. Apakah karena mereka bertiga itu wanita maka tikus-tikus ini tidak berani menyerang? Ah, mustahil! Bukankah ketika pertama kali ia bertemu tikus-tikus itu bersama Siok Eng, iapun dikejar-kejar?

Kenapa sekarang ah, kenapa ia lupa? Bukankah ia dan Siok Eng membawa bubuk putih yang mereka bungkus dengan saputangan itu? Bukankah bubuk putih itu merupakan racun anti tikus? Benar! Itulah sebabnya dan agaknya Siok Eng yang demikian gagahnya akan tetapi demikian takutnya terhadap tikus sampai lupa pula akan hal itu saking jijiknya menghadapi ribuan ekor tikus.

Kesadaran akan hal ini membangkitkan semangat Pek Lian dan iapun membuka matanya. Dilihatnya kedua temannya sudah terduduk dengan lemas pula, di kanan kirinya. Ketika ia melihat ke depan, ternyata guru dan murid yang lihai itu masih mengamuk, akan tetapi mereka berdua sudah kepayahan, terhuyung-huyung dan mepet ke din-ding terowongan. Tenaga pukulan mereka tidaklah sedahsyat semula.

Agaknya mereka mulai kehabisan tenaga atau keracunan oleh bau yang amat busuk itu. Pakaian guru dan murid itu yang terbuat dari sutera putih, yang semula indah dan bersih, kini sudah koyak-koyak dan berlepotan darah. Di depan kedua orang ini bertumpuk bangkai tikus dan daging-daging tikus yang hancur berserakan.

Baunya amat menjijikkan dan penglihatan itu sungguh amat mengerikan. Tikus-tikus itu masih terus menyerbu, tiada habis-habisnya dan jauh di belakang mereka nampak kakek-kakek yang menjadi pawang-pawang mereka itu memegang cambuk, mendorong anak buah mereka sambil tertawa-tawa mengejek. Tikus-tikus itu mundur setiap kali dua orang guru dan murid memukul, akan tetapi apa bila mereka berdua diam, mereka menyerbu. Ada beberapa ekor telah bergantung di pakaian guru dan murid itu, mati akan tetapi mereka masih mengait pada celana. Mengerikan!

Dengan tubuh lemah Pek Lian lalu mengeluarkan bungkusan bubuk putih itu sambil berbisik kepada Siok Eng, "Eng-moi kita lupa tidak mempergunakan bubuk anti tikus kita!"

Siok Eng membuka matanya. Karena sinkangnya jauh lebih kuat dibandingkan dengan Pek Lian, maka iapun cepat dapat menguasai dirinya. "Aih, benar, enci!" Dan iapun cepat mengeluarkan saputangan yang membungkus obat putih itu.

Dengan penuh harapan mereka lalu mengambil sejumput bubuk putih dan menyebarkannya ke arah tikus-tikus yang mengurung guru dan murid itu. Dan begitu bubuk putih itu disebarkan, tikus-tikus yang berada di dekat bubuk putih itu mencicit ketakutan dan cepat pergi menjauh. Hal ini menggembirakan hati dua orang dara itu yang cepat ber-jalan sambil menyebarkan bubuk putih, membuka jalan ke arah Yap-lojin dan muridnya. Bwee Hong juga sudah bangkit berdiri dan memandang dengan girang. Ia tahu apa artinya bubuk putih itu.

"Locianpwe, marilah mendekat ke sini!" kata Pek Lian.

Yap-lojin dan Kiong Lee juga merasa girang sekali. Melihat jalan terbuka, mereka berdua lalu berloncatan mendekat dan bersatu dengan tiga orang gadis itu di dalam ruangan, sedangkan tikus-tikus itu mengurung agak jauh, tidak berani mendekat lagi dan mereka itu gelisah karena di satu pihak, para pawang mereka membujuk mereka untuk maju, akan tetapi bubuk putih itu membuat mereka ketakutan dan memaksa mereka untuk mundur menjauh.

Pek Lian berangkulan dengan Bwee Hong. Baru sekarang mereka, dalam keadaan sama-sama lemas, mendapat kesempatan untuk berdekatan. "Enci Hong, akhirnya kita dapat berkumpul dan sama-sama menempuh segala bahaya lagi!" kata Pek Lian sambil mencium pipi yang kemerahan dan halus itu dengan hidungnya.

Bwee Hong membalas ciuman itu dan kedua pipinya menjadi semakin merah karena Pek Lian bersikap sedemikian terbuka, padahal di situ ada Yap-lojin dan terutama sekali Yap Kiong Lee. "Ah, adik Lian. Sungguh aku berterima kasih kepada Thian yang telah mempertemukan kita kembali, dan sekali ini engkau kembali telah menolongku dengan bubuk putihmu yang mujijat itu!"

"Hi-hik, bubuk ini adalah milik mereka," katanya sambil memandang ke arah para pawang. "Untung adik Eng yang memperingatkan sehingga kami berdua membawanya dengan saputangan."

"Kita harus cepat-cepat keluar dari sini sebelum hawa beracun in'i membuat kita semua pingsan," Yap-lojin berkata. "Hawa beracun ini lebih berbahaya dari pada tikus-tikus itu sendiri."

"Ke mana kita harus pergi? Lorong-lorong di sini penuh rahasia dan tikus-tikus itu" Kiong Lee mengeluh.

Sementara itu, para pawang sudah memberi perintah kepada tikus-tikus itu dengan bermacam gerakan, suara dan ledakan cambuk. Dan tiba-tiba terdengar suara berdesis-desis dan beberapa macam tikus jenis tertentu mengeluarkan semburan yang mengeluarkan bau yang luar biasa kerasnya, membuat ruangan itu penuh dengan hawa beracun! Lima orang itu merasakan ini dan kepeningan menyerang mereka, membuat mereka terhuyung-huyung.

"Mari kita pergi" Yap-lojin memimpin kelompok itu meninggalkan ruangan setelah dia menerima saputangan berisi obat bubuk putih dari Pek Lian, sedangkan Kiong Lee juga menerima saputangan berisi bubuk putih itu dari Siok Eng lalu dia berjalan di belakang. Dengan senjata bubuk putih ini, mereka dapat keluar dari tempat itu.

Akan tetapi keadaan mereka sudah payah, terutama sekali Pek Lian yang paling lemah sinkangnya. Kepalanya terasa pening dan ia ter-paksa dipapah oleh Bwee Hong dan Siok Eng yang lebih kuat sinkang mereka. Mereka semua merasa khawatir sekali. Biarpun untuk sementara waktu, berkat khasiat bubuk putih, mereka terhindar dari maut karena tikus-tikus itu takut menyerang mereka, namun keadaan mereka begini lemah dan kalau sampai tuan rumah, Si Tikus Beracun, turun tangan, bagaimana mereka akan mampu bertahan?

Pada saat yang amat gawat itu, Siok Eng teringat akan botol berisi cairan kuning yang diambilnya dari dalam kamar merah, botol yang ada tulisannya bahwa cairan kuning itu adalah obat penawar segala macam racun! Ia tadi sedang kebingungan, karena biarpun Tai-bong-pai merupakan perkumpulan para ahli racun, namun di antara obat-obat penawar racun yang dibawanya sebagai bekal tidak terdapat obat untuk melawan hawa beracun seperti yang dikeluarkan oleh tikus-tikus itu.

Kini ia teringat akan obat dalam botol yang diperolehnya di kamar Tikus Beracun, maka dikeluarkanlah obat itu. Setelah diperiksanya, sebagai seorang ahli ia tahu bahwa obat itu dapat dipergunakan dengan cara meminumnya, atau menciumnya atau mengoleskannya. Memang benar obat penawar segala macam racun. Iapun mencobanya dan menciumnya dan seketika peningnya lenyap ketika ia mencium bau yang agak harum itu,

"Ah, inilah obat penawarnya. Harap kalian mencium dan menyedotnya secara bergilir," katanya.

Empat orang yang lain itu menjadi girang dan cepat menyedot dari botol cairan kuning itu dan memang mujarab bukan main. Mereka sembuh dan merasa tubuh mereka segar kembali. Akan tetapi, tiba-tiba Pek Lian jatuh terkulai.

"Celaka" keluhnya "obat bius" dan dara inipun sudah jatuh pingsan!

Siok Eng dan Bwee Hong terkejut, apa lagi ketika mereka berduapun tiba-tiba merasa lemas seperti dilolosi semua urat dalam tubuh. Mereka mencoba mempertahankan diri, namun terhuyung dan akhirnya jatuh pingsan pula!

Terdengar suara pecut meledak-ledak dan delapan orang pawang tikus telah mengurung dan menyerang dengan cambuk-cambuk mereka. Yap-lojin dan Yap Kiong Lee juga merasa betapa kelemahan menyelubungi diri mereka, namun dengan pengerahan sinkang dan kemauan membaja, mereka berdua masih dapat melakukan perlawanan dan dengan pukulan-pukulan sakti, mereka berdua masih dapat menahan delapan orang itu sehingga mereka tidak berani terlalu mendekat, hanya mengandalkan cambuk-cambuk panjang mereka untuk menyerang dari jarak jauh.

Akan tetapi, betapapun mereka mengerahkan tenaga mengamuk, dari dalam ada suatu daya melumpuhkan membuat guru dan murid itu menjadi bulan-bulanan patukan dan gigitan ujung cambuk delapan orang anak buah Tikus Beracun itu. Ketika Kiong Lee terhuyung ke kiri, dia disambut oleh pukulan beracun pawang tikus putih, sebuah pukulan keras yang menyambut dadanya.

"Bukkk!" Kiong Lee mengeluh dan terpental, kemudian terbanting ke dinding ruangan itu dan jatuh terkapar dekat tubuh tiga orang dara yang sudah pingsan terlebih dulu. Pemuda ini tidak bergerak lagi.

Tentu saja Yap-lojin merasa terkejut dan khawatir bukan main. Dia tidak tahu apakah muridnya tewas atau hanya pingsan oleh pukulan yang keras tadi. Dia mengamuk dan mengerahkan sin-kangnya, namun tenaganya semakin lemah dan diapun terhuyung-huyung.

'Ha-ha-ha-ha! Kiranya hanya sekian sajakah kelihaian Yap-lojin yang terkenal sebagai keturunan datuk utara Sin-kun Bu-tek itu? Ha-ha-ha, tidak berapa hebat! Baru kau tahu sekarang betapa lihainya para jago dari Ban-kwi-to, ha-ha!" Ini adalah suara Tikus Beracun dan dia sudah berdiri di situ bersama puteranya si Tikus Langit Kecil yang berdiri dengan sikap angkuh.

Yap-lojin berhenti memandang dan kepalanya terasa semakin pening. Matanya menjadi kabur dan musuh-musuhnya hanya kelihatan samar-samar saja. Akan tetapi, kakek yang gagah perkasa ini tidak mau menyerah begitu saja, sedikitpun dia tidak menjadi gentar. Nyawa empat orang muda yang sudah roboh entah pingsan entah tewas itu, kalau masih ada, terletak dalam tangannya. Kalau dia jatuh, mereka semua tidak akan tertolong lagi. Dia sendiri sudah lemah bahkan untuk berdiri tegakpun sudah sukar, namun dia tidak memperlihatkan kelemahannya.

"Hemm, kalian majulah semua!" bentaknya.

"Tar-tar-tar-tarr!" Delapan orang pawang itu tetap tidak berani mendekatinya karena dari kedua tangannya keluar hawa pukulan yang masih ampuh.

"Minggirlah kalian!" tiba-tiba Siauw-thian-ci membentak. "Biar kuhadapi tua bangka ini!"

Sikap Siauw-thian-ci angkuh dan sombong karena memang matanya yang kecil sipit akan tetapi tajam itu sudah dapat melihat bahwa kakek itu sudah kehilangan tenaga saktinya dan gerakannya sudah kacau dan lemah. Kalau tidak melihat demikian, mana dia berani omong besar?

Tadi dia sudah menyaksikan sendiri kehebatan ketua Thian-kiam-pang ini. Bahkan ayahnya sendiri tidak mampu melawan dan mengalahkannya. Melihat kelemahan kakek itu, Siauw-thian-ci dengan sikap sombongnya, untuk pamer kepada anak buahnya, melepaskan cambuknya dan maju menyerang Yap-lojin dengan tangan kosong!

Melihat ini, biarpun dia sudah lemah dan terancam, Yap-lojin tidak mau mencabut pedangnya. Kalau tadi dia tidak mencabut pedang ketika dikeroyok delapan, adalah karena untuk menghadapi cambuk-cambuk lemas itu lebih baik menggunakan kedua tangan, sekarang dia tidak mungkin dapat menggunakan pedang melihat betapa penyerangnya hanya bertangan kosong saja.

Siauw-thian-ci menubruk ke depan dan mengirim pukulan kilat ke arah dada Yap-lojin. Ka-kek ini mengenal pukulan berat, maka diapun cepat menangkis karena untuk mengelak, dia sudah kurang gesit dan pandang matanya sudah kabur.

"Dukk!" Benturan kedua lengan yang keras itu membuat tubuh Yap-lojin terhuyung dan sebelum dia mampu menguasai dirinya, Siauw-thian-ci sudah menerjang lagi dengan tendangannya yang mengenai pinggang lawan.

"Dess!" Tubuh kakek itu terpelanting. Akan tetapi, kakek yang gagah perkasa ini masih bangkit kembali, hanya untuk menerima pukulan yang mengenai lehernya, membuat dia jatuh lagi dan terkapar pingsan. Siauw-thian-ci menyeringai puas dan bangga, lalu memandang kepada ayahnya, sikapnya menanti perintah.

Si Tikus Beracun memandangi tubuh lima orang yang sudah tak bergerak di atas lantai itu, lalu dia berkata, "Hemm, mereka ini orang-orang berbahaya. Bunuh saja mereka sekarang, tidak usah terlalu lama dibiarkan hidup, hanya akan merongrong kita saja!"

"Akan tetapi, tiga orang dara itu muda-muda, cantik dan mulus, ayah, apa lagi yang berpakaian hitam itu. Sayang kalau dibunuh begitu saja," kata Siauw-thian-ci, sikapnya ragu-ragu.

Tikus Beracun menyeringai dan mengusap kumisnya yang hanya beberapa lembar, kumis tikus. "Heh-heh, benar juga! Tapi yang berpakaian hitam itu untuk aku. Kau ambil saja yang dua itu." Lalu dia memandang kepada Yap-lojin dan muridnya. "Akan tetapi cepat bunuh dua orang itu, baru kita bersenang-senang dengan tiga orang dara itu."

Siauw-thian-ci menyeringai, terkekeh girang dan dia menghampiri tiga orang dara yang sudah terkapar tak bergerak itu. Tangannya digerakkan ke depan, ke arah dada Pek Lian, entah apa yang hendak diperbuatnya. Sebelum jari-jari tangan yang kurang ajar itu berhasil menyentuh baju, tiba-tiba terdengar keluhan dan ternyata Kiong Lee siuman!

Pemuda ini mengeluh dan bangkit duduk, kepalanya digoyang-goyang seperti mengusir kepeningan, matanya dibuka. Tentu saja Te-tok-ci dan Siauw-thian-ci menjadi terkejut dan khawatir sekali.

"Anakku, bunuh saja dulu bocah itu!" teriak Te-tok-ci.

Tanpa menanti perintah kedua kalinya, Siauw-thian-ci mengerahkan tenaga pada tangan kanannya, lalu dia menerjang ke depan, menghantam dengan pengerahan tenaga sepenuhnya ke arah kepala Kiong Lee yang masih duduk dan masih nanar itu. Kiong Lee terkejut dan cepat mengangkat lengan menangkis.

"Desss!" Benturan tenaga dahsyat itu mengakibatkan, tubuh Siauw-thian-ci terlempar ke belakang sedangkan tubuh Kiong Lee yang baru saja siuman itupun terguling-guling. Akan tetapi pemuda ini cepat meloncat bangun dalam keadaan sadar sepenuhnya, sebaliknya Siauw-thian-ci memandang dengan muka pucat.

Kiong Lee menoleh ke arah gurunya dan tiga orang dara itu. Melihat mereka menggeletak pingsan, diapun marah bukan main dan dicabutnyalah sepasang pedang dari punggungnya. Nampak sinar berkilat disusul dua gulungan sinar pedang menyambar-nyambar...!

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.