Darah Pendekar Jilid 17 karya Kho Ping Hoo - SIAUW-THIAN-CI dan Te-tok-ci kaget setengah mati. Cepat-cepat mereka meloncat ke sana-sini untuk menghindarkan cengkeraman maut melalui sinar pedang itu dan merekapun sudah mencabut senjata masing-masing. Te-tok-ci mengeluarkan sebatang golok. Biarpun kelihatannya sebatang golok biasa saja, akan tetapi sesungguhnya golok ini istimewa sekali.
Bukan hanya terbuat dari logam mulia yang amat kuat, akan tetapi juga diperlengkapi dengan alat-alat rahasia sehingga golok ini dapat digerakkan dengan per menjadi memanjang atau memendek sesuka hati pemegangnya, dan gagangnya dapat menyemburkan jarum-jarum beracun. Selain itu, juga gagang golok itu diikat dengan tali yang membuat golok itu dapat dilempar seperti golok terbang dan dapat kembali kepada pemiliknya ketika tadinya ditarik. Sebuah senjata istimewa yang berbahaya sekali!
Sedangkan Siauw-thian-ci lebih suka mempergunakan senjata kepercayaannya, yaitu cambuk panjang yang mengandung rambut-rambut baja halus dan mengandung racun pula.
"Cringgg!" Sedikit bulu cambuk rontok ketika bertemu pedang. "Tranggg!"
Telapak tangan Te-tok-ci tergetar hebat. Ayah dan anak itupun terkejut dan maklum bahwa pemuda pakaian putih itu sungguh merupakan seorang tokoh Thian-kiam-pang yang amat lihai. Sepasang pedang itu kini menyambar-nyambar, membentuk dua gulungan sinar yang panjang dan menyilaukan, seperti sepasang naga bermain di angkasa, menyemburkan maut!
Biarpun dikeroyok dua oleh tokoh pertama Tujuh Iblis Ban-kwi-to dibantu puteranya yang juga amat lihai, namun Kiong Lee sama sekali tidak terdesak. Bahkan gulungan sinar pedangnya merupakan bahaya besar bagi kedua orang pengeroyoknya, terutama sekali Siauw-thian-ci yang berkali-kali terpaksa harus berlindung menyelamatkan diri di belakang ayahnya.
Beberapa kali jarum-jarum rahasia dari golok itu menyambar, namun hal itu sia-sia belaka karena semua jarum runtuh oleh sinar pedang yang seolah-olah telah membentuk benteng sinar yang kokoh kuat. Juga beberapa kali golok itu melayang, terbang menyambar ke arah lawan seperti benda hidup, akan tetapi hampir saja pedang di tangan Kiong Lee berhasil memukul jatuh golok itu sehingga pemiliknya menjadi gentar untuk melemparkannya lagi.
Sementara itu, tiga orang dara dan Yap-lojiri mulai bergerak dan mengeluh. Melihat ini, tentu saja Te-tok-ci menjadi khawatir sekali. Dia mengeluarkan seruan panjang dan bersama puteranya dia menghilang di balik dinding yang ada rahasianya. Juga delapan orang pawang tikus telah menghilang.
Kiong Lee cepat menolong gurunya dan tiga orang dara itu. Dengan totokan, dia mempercepat kesadaran mereka. Dan mereka berlima terheran-heran karena kini, setelah siuman, tenaga mereka bukan hanya pulih kembali, bahkan merasa betapa tubuh mereka segar sekali, seperti orang yang baru habis makan kenyang atau mandi air sejuk! Itulah khasiat dari cairan kuning yang mereka sedot tadi!
Cairan kuning itu membersihkan, bukan hanya membersihkan hawa beracun, akan tetapi juga membersihkan darah dan rongga dada dan perut secara luar biasa sekali. Akan tetapi, saking kerasnya obat ini, pemakainya memang biasanya tertidur atau pingsan lebih dulu, seperti yang dialami oleh mereka. Untung bahwa Kiong Lee yang ping-san terlebih dahulu sehingga dia lebih dahulu pula siuman dan dapat menyelamatkan mereka berlima yang terancam bahaya maut.
Setelah ditinggalkan oleh Tikus Beracun dan anak buahnya, lima orang itu mulai mencari jalan keluar. Akan tetapi, mereka berputar-putar menurutkan lorong bawah tanah dan tidak pernah berhasil menemukan jalan keluar dari terowongan itu. Tiba-tiba Kiong Lee membungkuk dan mengambil sesuatu dari atas lantai lorong.
"Aih, itu saputanganku!" tiba-tiba Pek Lian berkata sambil menerima saputangan itu dari Kiong Lee. "Benar, saputanganku yang terjatuh tanpa kuketahui. Ah, aku ingat sekarang. Tak jauh dari sini terdapat pintu rahasia keluar. Kita jalan lurus saja dari sini, jangan berbelok-belok. Saputangan ini terjatuh ketika untuk pertama kalinya aku dan adik Siok Eng memasuki terowongan ini. Aku terlonjak kaget ketika menginjak seekor tikus. Ingatkah engkau, adik Eng?"
Siok Eng mengangguk dan merasa girang karena iapun ingat bahwa tak jauh dari situ terdapat jalan keluar. Mereka lalu maju terus, kini Pek Lian di depan sebagai penunjuk jalan. Ingatan nona ini kuat sekali sehingga tak lama kemudian mereka tiba di jalan buntu, tertutup oleh sebuah pintu baja. Pek Lian mengamati pintu itu dan berseru girang.
"Nah, inilah pintu rahasia itu! Di balik pintu ini terdapat jalan keluar. Akan tetapi, aku tidak tahu rahasia cara membukanya. Tentu ada alatnya. Mari kita sama-sama mencari alat rahasia untuk membukanya."
"Biar kudobrak saja dengan kekerasan," kata Kiong Lee.
Gurunya mencegahnya. "Jangan. Pintu rahasia tidak boleh dibuka dengan kekerasan, karena kalau hal itu dilakukan tentu akan mendatangkan bahaya lain. Mari kita cari alat rahasia pembukanya itu."
Akan tetapi, sampai pusing dan bosan mereka mencari, tidak juga mereka dapat menemukan alat rahasia pembuka pintu itu. Akhirnya mereka menjadi bosan dan putus asa. "Kita cari jalan keluar lain saja!" kata Bwee Hong.
"Nanti dulu!" Pek Lian berseru dan ia teringat akan tempat lampu minyak di atas pintu baja di mana tikus-tikus itu ditempatkan. Ia lalu meloncat ke atas, tangannya bergantung kepada celah-celah di atas pintu dan meraba-raba. Benar saja, di atas daun pintu terdapat sebuah lubang dan di situ terdapat pula sebuah lampu minyak. Ia mencoba untuk mencabut lampu itu, akan tetapi tidak bergoyang sedikitpun. Lalu diputar-putarnya dan tiba-tiba terdengar suara berkerotokan dan daun pintu itupun terbuka! Semua orang bersorak kegirangan.
"Engkau memang hebat, enci Lian!" Siok Eng memujinya ketika Pek Lian melompat turun.
"Sudahlah, mari kita lari ke pantai!" kata Pek Lian.
Mereka berlima cepat berlari-larian menuju pantai, Pek Lian dan Siok Eng menjadi penunjuk jalan karena kedua orang dara ini hendak mencari perahu-kecil mereka, yaitu milik Tiat-siang-kwi, tokoh ke dua dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to, perahu yang mereka larikan itu. Begitu mereka menemukan perahu, mereka berlima segera naik ke perahu kecil itu dan mendayungnya meninggalkan pulau.
Pada saat itu, mereka melihat orang berbondong-bondong lari ke pantai. Mereka telah ketahuan oleh Tikus Beracun dan anak buahnya, akan tetapi perahu mereka telah menjauh dan mereka telah aman dari gangguan iblis-iblis jahat itu.
"Ah, ternyata telah sehari penuh kita terkurung di dalam terowongan bawah tanah itu," kata Yap-lojin. "Untung ada nona Ho Pek Lian, kalau tidak, ah, agaknya aku orang tua ini sekarang hanya tinggal nama saja. Aku dan muridku ini sungguh berhutang budi dan nyawa kepada nona Ho."
"Aih, Yap-locianpwe, bagaimana dapat bersikap sungkan begitu? Di antara kita ini mana bisa dikatakan melepas dan berhutang budi? Aku bahkan berterima kasih sekali dapat bertemu kembali dengan enci Bwee Hong. Bagaimanakah enci Bwee Hong dapat muncul secara demikian tiba-tiba bersama locianpwe di pulau iblis itu? Aih, enci Hong, aku sudah putus harapan dan mengira engkau telah benar-benar lenyap ditelan lautan ganas," kata Pek Lian.
"Sama saja dengan kekhawatiranku, adik Lian. Kusangka engkaupun sudah lenyap ketika aku tercebur ke dalam lautan itu."
"Ah, aku kebetulan sekali bertemu dengan perahu adik Siok Eng dan ialah yang menolongku. Kemudian ia mengajakku ke Pulau Ban-kwi-to itu karena ia hendak mencari setangkai bunga obat yang hanya terdapat di sana. Dan engkau sendiri bagaimana, enci Hong?"
"Akupun terapung-apung dan kebetulan bertemu dengan perahu Yap-locianpwe sehingga beliau dan Yap-taihiap yang menyelamatkan aku. Karena mereka berdua sedang menuju ke Pulau Ban-kwi-to untuk mencari putera Yap-locianpwe, maka akupun ikut dengan mereka. Sama sekali tidak pernah kuduga bahwa di tempat pesta yang berbahaya itu aku akan bertemu dengan engkau dan adik Siok Eng yang menyamar sebagai selir-selir cantik!"
Tiga orang gadis itu lalu bercakap-cakap dengan gembira setelah pertemuan yang sama sekali tak tersangka-sangka itu, pertemuan yang menda-tangkan kegembiraan karena melihat kenyataan bahwa teman yang disayangnya itu ternyata masih dalam keadaan selamat. Apa lagi setelah apa yang mereka alami di terowongan itu dan kemudian mereka bersama berhasil menyelamatkan diri dari ancaman bahaya maut.
"Nona Ho," akhirnya Yap-lojin berkata, "kalau nona mengetahui di mana adanya puteraku, harap segera memberi tahu karena aku ingin sekali tahu di mana dia berada."
"Dia berada tak jauh dari sini, locianpwe. Di pulau kediaman Thian-te Tok-ong!"
"Hemm, Si Kelabang Hijau tokoh ke lima dari Tujuh Iblis itu?"
"Benar, locianpwe. Lihat, air laut di sini berwarna kekuning-kuningan dan berbau busuk."
"Memang begitu," kata Siok Eng yang banyak tahu tentang Ban-kwi-to karena sebelum berangkat ia telah mempelajarinya dari ayahnya. "Air laut di sini terkena pengaruh racun membusuk dari bangkai-bangkai dan tulang-tulang yang dibuang oleh Tiat-siang-kwi tokoh ke dua dari Tujuh Iblis. Tempat ini sudah termasuk wilayahnya. Nah, itu pulau yang nampak gersang di depan, di sanalah raksasa itu tinggal."
"Hemm, tempat mengerikan," kata Kiong Lee. "Tidak nampak pohon sama sekali. Hanya batu dan pasir melulu. Tempat berbahaya!"
"Lebih baik kita berputar dan menghindari tempat ini. Bukan main busuk baunya."
Perahu didayung terus meninggalkan pulau gersang itu dan bau busuk itupun makin menghilang dan kini air laut berobah warnanya menjadi agak kebiruan bercampur warna ungu, dan bau yang tadinya busuk seperti bangkai itu kini berobah menjadi amis sekali, makin lama makin memuakkan! Semua orang memencet hidung karena bau itu membuat orang ingin muntah.
"Daerah ini termasuk wilayah orang terakhir dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to, yaitu suami isteri Im-kan Siang-mo. Pulau kediaman mereka penuh dengan lumut dan rawa-rawa, banyak terdapat binatang air dan binatang melata yang beracun sekali. Lihat, itu pulaunya sudah tampak dari sini," kata pula Kwa Siok Eng puteri ketua Tai-bong-pai itu.
Karena ingin tahu, Yap-lojin mengajak mereka untuk mendayung perahu itu mendekati pulau, apa lagi karena arus di situ kuat sekali. Tiba-tiba mereka mendengar suara mendengung-dengung dari atas pulau dan nampaklah sekelompok lebah terbang lewat dan tercium bau wangi arak.
"Ahh lebah arak putih!" seru Yap-lojin dan wajahnya berobah karena dia tahu betapa jahat dan berbahayanya lebah-lebah itu.
"Kurang ajar!" Tiba-tiba Kiong Lee memaki dan memalingkan mukanya agar tidak melihat apa yang terjadi di atas pasir di pantai yang berdekatan. Akan tetapi, tanpa disengaja, seruannya itu bahkan membuat tiga orang dara memandang ke arah pantai.
Mata mereka terbelalak, muka mereka berobah merah sekali dan cepat-cepat merekapun membuang muka. Apakah yang mereka lihat di sana? Dua orang manusia berlainan kelamin, seorang pria dan seorang wanita, sudah kakek dan nenek, akan tetapi gaya dan lagaknya membuat orang-orang muda merasa malu. Mereka berdua itu sedang bersendau-gurau bermain cinta di atas pasir dalam keadaan telanjang bulat!
Dua orang itu bukan lain adalah Im-kan Siang-mo, yaitu Bouw Mo-ko dan Hoan Mo-li, suami isteri yang jahat seperti iblis dan yang tidak tahu malu itu, orang ke enam dan ke tujuh dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to. Ketika mereka melihat ada perahu lewat, keduanya cepat mengenakan pakaian, lalu mereka memaki-maki, mencak-mencak dan mencari perahu mereka untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi, Yap-lojin dan rombongannya sudah cepat meninggalkan pulau cabul itu!
Atas petunjuk Siok Eng, perahu itu kini memasuki daerah yang berbau semerbak harum dan air laut kini berobah warnanya, menjadi kemerahan! Siok Eng memperhatikan sekeliling lalu berkata, "Kita telah memasuki daerah kekuasaan Jeng-bin Siang-kwi (Sepasang Iblis Bermuka Seribu), dua orang wanita kembar yang menjadi tokoh ke tiga dan ke empat dari iblis-iblis itu. Mereka adalah sepasang wanita cantik yang ganas dan kejam bukan main. Kesukaannya adalah mengumpulkan pemuda-pemuda tampan."
"Heii! Perahu kita oleng!" teriak Pek Lian.
Air laut nampak bergelombang dan perahu mereka oleng ke kanan kiri. Tiba-tiba mereka merasa perahu mereka tertumbuk sesuatu dan tergetar hebat seperti dihantam oleh sesuatu dari bawah. Dan di sekeliling perahu itu mendadak muncul moncong-moncong binatang yang bergigi tajam macam moncong buaya.
"Wah, perahu kita bocor!" teriak Kiong Lee.
"Cepat dayung perahu ke pulau!" teriak pula Yap-lojin dan dia menggunakan dayung, dibantu muridnya, menghantam ke arah moncong-moncong buaya laut yang tersembul di sekitar perahu.
Akan tetapi, air mulai memasuki perahu dan untunglah bahwa tiga orang dara yang mendayung perahu itu memiliki tenaga sinkang yang kuat sehingga perahu sudah hampir mencapai pantai ketika air semakin memenuhinya. Merekapun berloncatan ke pantai. Perahu tenggelam!
Sejenak mereka berlima berdiri bengong memandang ke arah perahu mereka yang tenggelam dan perahu itu bergerak ke sana-sini seperti diserang oleh binatang-binatang buas itu di dalam air. Tak lama kemudian, nampak pecahan-pecahan perahu mereka terapung di permukaan air.
Yap-lojin menghela napas panjang sedangkan gadis-gadis itu bergidik. "Untung kita sudah dekat dengan pulau ini, kalau di tengah-tengah lautan bisa berbahaya. Sekarang kita harus berusaha mendapatkan perahu lain."
Dengan hati-hati mereka berlima menyusuri pantai. Pulau itu merupakan pulau yang indah dan subur, penuh dengan pohon-pohon yang hijau dan rimbun daunnya. Juga banyak pohon-pohon bunga tumbuh di sana-sini, bentuk dan warnanya bermacam-macam, selain indah dipandang, juga sedap dicium karena baunya harum semerbak.
"Kita harus hati-hati. Biarpun bunga-bunga itu kelihatan indah dan berbau harum, akan tetapi semua itu beracun!" kata Siok Eng memperingatkan.
Bwee Hong dan Pek Lian memandang kagum dan menjulurkan lidah. Tiba-tiba Yap-lojin memberi isyarat dan mereka semua cepat menyelinap dan bersembunyi di balik pohon-pohon, mengintai ke depan. Dari jauh nampak dua orang wanita kembar sedang berjalan mendatangi tempat itu, bergandeng tangan dengan dua orang pemuda. Kedua orang pemuda itu kelihatan lesu dan loyo, mandah saja digandeng dan diajak berjalan ke manapun.
Ketika mereka sudah tiba agak dekat, Bwee Hong memegang tangan Pek Lian. Nona inipun sudah mengenal kedua orang pemuda itu. Yang seorang adalah kakak Bwee Hong, yaitu Chu Seng Kun, sedangkan pemuda yang ke dua adalah A-hai, pemuda sinting yang aneh itu!
"Kakakku!" Bwee Hong berbisik, lirih akan tetapi terdengar oleh empat orang kawannya.
"Ssttt!" Kwa Siok Eng memberi isyarat. "Hati-hati, lebih baik kita membayangi mereka. Kelihatannya kakakmu itu keracunan, mungkin terbius atau keracunan hebat karena racun perampas ingatan."
"Hemm, itukah kakakmu yang kaucari-cari itu?" tanya Yap-lojin.
Kemudian langsung masuk ke dalam sebuah gedung, langsung memasuki ruangan belakang. Dua orang pelayan wanita sibuk mengeluarkan hidangan di atas meja dan mereka berempat lalu berpesta-pora, makan minum Sepasang iblis itu dengan sikap manja dan genit beberapa kali menyuguhkan arak kepada sepasang pemuda tampan, atau menyuapkan makanan dengan sumpit mereka, dan kadang-kadang mencumbu mereka. Melihat ini, kembali tiga orang dara itu menjadi merah mukanya, akan tetapi sekali ini Bwee Hong hampir tidak kuat bertahan dan ingin menyerbu saja.
"Enci Hong, harap bersabar. Kita harus berhati-hati. Ilmu silat kedua orang iblis itu sih tidak perlu dikhawatirkan, akan tetapi mereka itu licik sekali dan ilmu mereka tentang racun amat hebat. Apa gunanya kita turun tangan menolong kakakmu kalau kemudian ternyata bahwa kakakmu keracunan hebat dan sukar ditolong nyawanya? Kedua orang pemuda itu jelas dalam keadaan tidak wajar. Tentu ada sebabnya," bisik Siok Eng.
Pek Lian mengangguk-angguk. "Enci Hong. apa yang diucapkan Eng-moi itu memang benar. Kau lihat saja A-hai itu. Dia adalah seorang yang wajar dan tidak mampu pura-pura, kini diapun kelihatan tidak wajar dan seperti kehilangan akal. Aku yakin bahwa mereka berdua itu dalam keadaan terbius atau terampas akal mereka oleh racun yang digunakan oleh dua iblis itu. Kita menanti saat yang baik."
Akan tetapi kini dua orang wanita kembar itu sudah bangkit dan menggandeng kedua orang pemuda memasuki sebuah kamar besar dan lima orang yang mengintai itu tidak dapat mengintai lagi. Sebelum mereka tahu apa yang harus mereka lakukan, tiba-tiba terdengar suara parau dari jauh.
"Siang-sumoi! Di mana kalian?"
Kemudian, terdengar langkah-langkah yang membuat lantai tergetar. Muncullah seorang raksasa yang memasuki ruangan itu dan langsung masuk ke dalam kamar besar di mana dua orang iblis cantik dan dua orang mangsanya tadi masuk.
"Kiong Lee, lihatlah apa yang terjadi di dalam, Biar kami menanti di sini dan baru turun tangan kalau kau beri isyarat. Hati-hati, jangan sembarangan bertindak."
"Baik, suhu!" Dan tubuh pemuda itu sudah mencelat ke atas, menerobos daun-daun pohon dan hinggap di atas wuwungan rumah. Gerakannya gesit seperti terbang saja sehingga Bwee Hong yang telah memiliki ginkang paling hebat itupun memandang kagum. Apa lagi Pek Lian yang paling rendah tingkat kepandaiannya, memandang terbelalak.
Siok Eng juga kagum memuji, "Bukan main!"
"Dia memang anak yang baik dan patut dibanggakan," kata sang guru sambil tersenyum. Yap-lojin sengaja mengutus murid atau putera angkatnya itu untuk melakukan pengintaian sendiri saja. Kalau mereka berlima semua mengintai di atas wuwungan, tentu mudah diketahui lawan, dan selain itu, yang terpenting baginya adalah agar tiga orang dara itu tidak usah melihat apa yang terjadi di dalam kamar itu, yang diduganya tentulah adegan cabul yang tidak layak ditonton gadis-gadis seperti mereka.
Kiong Lee mengintai ke dalam. Dari sebuah lubang di genteng dia melihat Seng Kun, kakak Bwee Hong itu, rebah di atas sebuah kursi panjang sambil minum arak. Pemuda lain yang bertubuh tinggi tegap berwajah tampan gagah, yang oleh Pek Lian disebut bernama A-hai, nampak tertelungkup di atas meja, agaknya sudah mabok dan tertidur. Di atas tempat tidur rebah dua orang wanita kembar itu, dengan pakaian hampir telanjang. Mereka itu cekikikan, entah apa yang mereka bicarakan dan tertawakan.
"Siang-sumoi, di mana kalian?" seruan lantang dari Tiat-siang-kwi, ji-suheng mereka itu membuat mereka cepat bangkit dari tempat tidur. Akan tetapi sebelum mereka sempat membetulkan pakaian dalam yang awut-awutan itu, si raksasa sudah muncul dari luar memasuki kamar besar itu.
"Ha-ha-ha, Siang-sumoi, kalian sungguh tidak manis kepadaku! Berkali-kali kalian menghindarkan diri, menjauhi aku dan tidak mau melayaniku seperti biasa, padahal dahulu kalian suka saling berebut untuk melayaniku. Hemm, sejak kalian merampas dua orang bocah itu dari tangan San-hek-houw dan Sin-go Mo Kai Ci, kalian seperti sudah lupa diri. Ini namanya mendapatkan kekasih baru melupakan yang lama. Jangan begitu, Siang-sumoi, sekali ini kalian harus melayani aku, untuk mengobati rinduku kepada kalian yang sudah bertumpuk-tumpuk!" Raksasa itu lalu melangkah maju mendekat.
Kini dua orang wanita itu sudah berdiri berdampingan menghadapi si raksasa. Mereka memang cantik dan bertubuh denok menggairahkan dan nampaknya usia mereka antara tigapuluh sampai tigapuluh lima tahun.
"Ji-suheng, pergilah dan jangan ganggu kami. Kami sedang lelah!" kata seorang di antara mereka.
"Biar lain hari saja kami melayanimu, ji-suheng!" kata yang ke dua.
"Ha-ha-ha, kalian lelah karena susah payah membujuk dua orang muda yang keras kepala itu, ya? Ha-ha, kenapa susah-susah membujuk rayu orang-orang yang tidak mau. sebaliknya menolak orang yang mau dan bergairah besar seperti aku? Sudahlah, Siang-sumoi, kita panggang saja daging kedua orang muda ini. Dagingnya kalau dipanggang tentu lezat dan akan kuajarkan kalian makan daging manusia yang selain lezat juga dapat mendatangkan kekuatan. Dan mari kalian layani aku, mari kita main-main sepuasnya seperti dahulu!" Raksasa itu mengulur tangan hendak merangkul mereka.
Akan tetapi dua orang wanita itu mengelak dan kelihatan marah. "Ji-suheng, ingat bahwa engkau berada di tempat kami. Pergilah dan jangan ganggu kami. Ataukah kami harus menggunakan kekerasan?"
"Ha-ha-ha, apakah kalian juga ingin aku menggunakan kekerasan untuk bermain-main dengan kalian?" Raksasa itu menubruk ke depan,. akan tetapi kedua orang wanita itu bukan hanya mengelak, bahkan kini menyerang dari kanan kiri dengan hebatnya!
Terjadilah perkelahian mati-matian dalam kamar itu! Walaupun mereka itu masih merupakan sekutu bahkan saudara-saudara seperguruan, namun karena mereka adalah datuk-datuk kaum sesat yang batinnya dipenuhi oleh nafsu pementingan diri sendiri, mereka saling serang dengan sungguh-sungguh dan mati-matian.
Mereka tidak saling mempergunakan racun karena maklum bahwa hal itu tidak berguna mengingat bahwa mereka bertiga itu sudah kebal racun, maka mereka berkelahi dengan mempergunakan ilmu silat saja. Dan dalam hal ilmu silat dan tenaga, sepasang wanita kembar itu harus mengakui keunggulan si raksasa.
Tiat-siang-kwi (Setan Gajah Besi) tertawa-tawa ketika dia mulai dapat melukai dua orang sumoinya dengan pukulan-pukulan, tendangan dan kadang-kadang cengkeraman tangannya. Dia merasa gembira bukan main dapat menghajar dua orang wanita itu. Tubuh yang hanya tertutup pakaian dalam yang banyak memperlihatkan kulit tubuh yang mulus itu menjadi bulan-bulanan pukulan, tamparan dan tendangan, nampak lecet-lecet dan matang biru babak-belur.
Bahkan darah mulai meleleh dari mulut dan hidung mereka. Hal ini membuat si raksasa semakin bernafsu dan gembira. Tentu saja Tiat-siang-kwi tidak pernah mencinta dua orang wanita itu dalam arti yang sesungguhnya, baik mencinta sebagai pria terhadap wanita maupun mencinta sebagai saudara terhadap adik-adik seperguruannya.
Yang ada hanya nafsu dan kalau dia kadang-kadang bermain cinta dengan mereka, sepenuhnya yang menjadi pendorong hanyalah nafsu ber4hi yang memperalat orang lain demi pemuasan diri. Kini, nafsu ber4hinya agaknya telah berobah menjadi nafsu kekejaman dan kesadisan melihat tubuh yang mvlus itu mulai babak belur dan berdarah.
Chu Seng Kun yang tadinya rebah di atas kursi sambil minum arak, memandang dengan sikap tenang dan tidak acuh, akan tetapi A-hai yang tadinya tertelungkup di atas meja dan seperti tidur nyenyak, kini sudah bangkit berdiri, mukanya menjadi pucat melihat penyiksaan sadis yang dilakukan oleh si raksasa itu terhadap dua orang wanita yang kini hanya dapat melawan dengan lemah saja. Mulut A-hai komat-kamit dan terdengar dia mengeluh panjang pendek.
"Ahhh jangan berkelahi.... jangan membunuh, ahhh jangan menggunakan kekerasan untuk menyiksa orang lain." Ketika dia melihat darah bercucuran dari hidung dan mulut sepasang iblis kembar yang cantik itu, A-hai menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dengan terhuyung-huyung seperti orang mabok diapun sempoyongan menuju ke arah pintu keluar.
"Ha-ha-ha!" Si raksasa terbahak dan dengan dua kali jotosan, tubuh dua orang wanita itu terpelanting roboh dengan napas senin-kemis. Melihat betapa dua orang lawannya sudah tidak mampu melawan lagi, dan melihat A-hai menuju ke pintu, Tiat-siang-kwi membentak, "Heh, kelinci tolol, kau hendak lari ke mana? Engkau kasihan dan sayang kepada mereka, ya? Pantas mereka tidak mau lagi dengan aku. Huh, lihat saja nanti kalau sudah kuganyang dagingmu dan kuminum darahmu!"
Melihat raksasa itu mengejar ke pintu, ke arah A-hai yang hendak pergi meninggalkan kamar itu, Kiong Lee sudah bersiap-siap. Dia tidak mungkin membiarkan raksasa itu membunuh pemuda yang kelihatan lemah itu. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar siulan keras. Itulah siulan gurunya yang memanggilnya! Dia cepat menoleh dan memandang ke bawah.
Kiranya di dalam gelap itu telah terjadi pertempuran. Si Tikus Beracun dan Im-kan Siang-mo, suami isteri cabul itu, telah datang membawa anak buah mereka. Melihat ini, Kiong Lee menjadi bingung, mana yang harus dibantunya lebih dulu.
Terdengar suara gaduh di dalam kamar. Dia memandang dan dia mengerutkan alisnya. Ternyata dia telah terlambat. Pemuda itu telah dihajar, terkena pukulan keras dari kepalan tangan yang besar dan kuat dari Tiat-siang-kwi sehingga pemuda itu terlempar menabrak meja, lalu jatuh tunggang-langgang dengan darah mengucur dari luka di dahinya. Pemuda itu bangkit duduk, nampak nanar dan tangannya meraba ke arah dahi yang terbuka.
Kembali terdengar siulan gurunya. Kiong Lee semakin bingung. Dia melihat betapa Tiat-siangkwi sudah mencabut senjatanya, yaitu golok gergaji yang besar mengerikan. Agaknya raksasa itu benar-benar hendak membantai dan menguliti pemuda itu. Pada saat itu, A-hai mengusap lukanya dan ketika dia melihat tangannya penuh darah, juga mukanya menjadi berlepotan darah, terjadi perobahan hebat pada dirinya.
Matanya terbelalak, mencorong ganas, dan lidahnya terjulur menjilati darah yang berlepotan di telapak tangannya sambil menggumam lirih, "Darah... darah!"
Melihat ini, Kiong Lee terbelalak dan merasa kasihan sekali. Dia mengira bahwa tentu pukulan si raksasa tadi telah mengakibatkan luka di dalam kepala pemuda itu sehingga dia mendadak menjadi gila! Dan Tiat-siang-kwi sendiripun melihat ini dan si raksasa tertawa lalu menyimpan kembali goloknya.
"Ha-ha-ha, akan kubeset kulitmu dengan kuku jari tanganku saja, ha-ha-ha!" katanya dan tiba-tiba kata-katanya terhenti dan matanya terbelalak ketika dia melihat secara luar biasa sekali pemuda yang menjilati darah dari telapak tangannya itu mendadak terbang! Ya, gerakan pemuda itu hanya tepat disebut "terbang" karena tidak nampak dia membuat gerakan meloncat dan tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur ke atas, ke depan dan menyerangnya.
Kiong Lee sendiri terbelalak melihat ini, sungguh penglihatan yang ajaib dan membuat dia merasa seperti dalam mimpi. Sementara itu, Chu Seng Kun yang sedang minum arak itu masih enak-enak saja minum araknya dalam keadaan tidak sadar, terbuai dalam kemabokan mendalam.
"Haaaiiiittt!" Tiat-siang-kwi menangkis, bahkan menyambut serangan itu dengan hantaman tangannya yang terbuka seperti cakar naga.
"Blaarrrrr!" Dua tenaga raksasa bertemu dan seluruh ruangan sampai ke atas genteng tergetar hebat. Akibatnya tubuh raksasa sebesar gajah itu terlempar melayang menghantam dinding sehingga dinding kamar itu jebol dan tubuhnya yang besar itu terbanting keluar!
"Adouuhh ehhh ohhh!" Si raksasa merangkak bangun, memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak melalui lubang besar di dinding kepada pemuda itu, kemudian membalikkan tubuh dan lari tunggang-langgang! A-hai, yang sudah berobah menjadi buas itu segera mengejar melalui lubang di dinding.
Kiong Lee mengucek-ngucek kedua matanya, lalu berkejap-kejap, masih belum dapat percaya akan penglihatannya sendiri. Raksasa itu demikian lihai dan kuat sehingga dua orang sumoinya juga tidak kuat melawannya. Akan tetapi apa yang telah terjadi sehingga sekali hantam saja A-hai telah membuat tubuhnya terlempar keras membobolkan dinding dan membuat raksasa itu lari ketakutan?
Siulan gurunya untuk ketiga kalinya membuat dia sadar. Dia cepat meloncat turun. Kiranya gurunya dan juga tiga orang dara perkasa itu berada dalam keadaan berbahaya! Gurunya dikeroyok oleh Tikus Beracun dan puteranya, sedangkan tiga orang dara itu berkelahi melawan kakek dan nenek cabul. Tentu saja mereka berempat akan dapat mengalahkan lawan-lawan itu dengan mudah dalam keadaan biasa.
Akan tetapi, mereka berempat itu kewalahan, bukan oleh lawan melainkan oleh ribuan ekor lebah putih yang beterbangan di atas kepala mereka dan menyerang mereka dengan ga-nas membuat empat orang pendekar itu benar-be-nar kewalahan. Bukan hanya bahaya penyengatan mereka yang beracun itu yang mengkhawatirkan, melainkan juga suara mereka yang berdengung seperti gemuruh air terjun itu membuat Yap-lojin dan kawan-kawannya panik. Bahkan ketika Kiong Lee menyerbu, pemuda itupun segera dikeroyok oleh ribuan ekor lebah putih.
"Lari ke bawah pohon itu!" Tiba-tiba Yap-lojin berteriak dan empat orang muda itu mengerti maksudnya. Kalau mereka berada di bawah pohon yang rindang daunnya itu, tentu lebah-lebah ini akan kurang leluasa beterbangan di atas kepala mereka, atau setidaknya tentu jumlah mereka berkurang karena sempitnya ruangan di atas kepala mereka.
Maka mereka lalu memutar sebelah tangan di atas kepala sedangkan tangan lain dipergunakan untuk menghadapi serangan musuh, dan merekapun akhirnya berhasil menyusup ke bawah pohon walaupun Tikus Beracun, puteranya dan sepasang suami isteri iblis itu mencoba untuk menghalangi mereka.
Akan tetapi, hanya sebentar saja mereka merasa lega karena benar-benar ribuan lebah itu tidak begitu leluasa menyerang mereka, karena tiba-tiba Pek Lian menjerit-jerit dan diikuti oleh dua orang gadis lainnya ketika kaki mereka dirambati semut-semut merah yang buas sekali! Semut merah beracun yang buas. Repotlah mereka sekarang harus melawan musuh yang cukup berbahaya sambil menghalau lebah-lebah dan menepuk mati semut-semut yang merayap ke mana-mana!
"Lari ke dalam rumah!" Kembali Yap-lojin memberi komando dan merekapun berlari-larian memasuki ruangan di mana A-hai dan Seng Kun berada. Biarpun mereka masih dikeroyok oleh empat orang iblis yang dibantu lebah-lebah mereka, namun kini mereka tidak sesibuk tadi.
Lebih dari tiga perempat bagian dari pasukan lebah itu kebingungan, tertahan di antara daun-daun pohon tadi. Sedangkan yang masih mengeroyok mereka di dalam rumah juga tidak dapat bergerak leluasa. Melihat betapa kawan-kawannya tidak kerepotan lagi, Bwee Hong segera lari menghampiri Seng Kun.
"Koko!" katanya sambil merangkul pemuda itu. Akan tetapi Seng Kun hanya memandang kepadanya dengan sinar mata bingung karena kakak ini tidak mengenal adiknya lagi. Bwee Hong cepat memeriksa denyut nadi tangan kakaknya dan setelah melakukan pemeriksaan, iapun mengerti bahwa kakaknya berada di dalam pengaruh obat bius perampas ingatan yang amat kuat.
Pada saat itu, tiba-tiba nampak berkelebatnya orang ke dalam ruangan itu. Ternyata dia adalah si raksasa yang melarikan diri dikejar oleh A-hai. "Dess!" Tubuh raksasa itu tunggang-langgang mengacaukan pertempuran yang sedang berlangsung.
"Aduh aduhh tobat! Aku menyerah!" teriaknya dengan suara parau dan mulutnya muntahkan darah segar.
Akan tetapi, agaknya A-hai sudah seperti kesetanan. Dia mengeluarkan suara gerengan buas, tubuhnya melayang ke atas dan jari-jari tangannya terbuka, mencengkeram ke arah kepala raksasa itu. Melihat ini, Kiong Lee terkejut. Bagaimanapun juga, dia tidak ingin melihat pemuda aneh itu menjadi seorang pembunuh keji, membunuh lawan yang sudah mengaku kalah dan bertobat.
Dia menyayangi pemuda luar biasa itu, maka untuk mencegah agar A-hai jangan menjadi pembunuh keji, diapun cepat menggerakkan tubuhnya dan meng-gunakan tangannya memukul ke arah lengan A-hai yang terulur hendak mencengkeram kepala Tiat-siang-kwi itu.
"Dukkk!" Dua lengan bertemu, keduanya terisi tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya. Akibatnya, pukulan A-hai itu menyeleweng dan menghantam lantai di bawah, dekat kaki Tiat-siang-kwi.
"Blarrrr....!" Debu mengepul tinggi dan lantai itu berlubang besar. Semua orang terkejut dan memandang kagum. Kiong Lee sendiri terkejut bukan main ketika lengannya bertemu dengan lengan pemuda itu dan dia sudah meloncat ke belakang sejauh tiga meter. Kini dia berdiri tegak dan memandang dengan mata bernyala. Hatinya terbakar juga. Sebagai seorang pemuda perkasa, dia telah menemukan tandingan. Kini kedua orang muda itu berdiri saling pandang, sama-sama tegap dan gagah. Akan tetapi sepasang mata A-hai tidaklah sebuas tadi, agak meredup, agaknya ada sesuatu yang meringankan kegilaannya yang kambuh itu.
Melihat ini, Pek Lian meninggalkan sepasang suami isteri tua yang masih bertanding melawan Siok Eng dan iapun cepat menghampiri dua orang pemuda yang saling berhadapan dalam jarak tiga meter seperti dua ekor ayam jantan yang hendak berlaga itu.
"Saudara Yap, dia tidak sadar akan apa yang dilakukannya. Jangan layani dia!" Setelah berkata demikian, Pek Lian menghampiri A-hai. "A-hai, lupakah engkau kepadaku?"
A-hai memandang kepada Pek Lian, alisnya berkerut dan dia menggeleng kepalanya, akan tetapi walaupun dia tidak mengenal gadis ini, agaknya ada sesuatu yang membuat hatinya lunak dan pandang matanya tidak seganas tadi.
Pada saat itu, tanpa diketahui orang lain, Tiat-siang-kwi yang nyaris melayang nyawanya kalau tidak ditolong oleh Kiong Lee, tiba-tiba melompat dan menubruk Bwee Hong yang sedang memeriksa keadaan kakaknya. Semua orang terkejut dan Pek Lian menjerit. Akan tetapi terlambat karena Bwee Hong yang tidak mengira akan diserang itu, tahu-tahu telah dicengkeram bahu dan tangan kirinya. Ia dibikin tidak berdaya dengan pukulan jari tangan pada tengkuknya, dan kini kuku-kuku jari yang runcing melengkung itu menusuk daging balut dan lengannya yang lembut. Darah mengalir keluar.
Sambil tertawa si raksasa itu menyeret Bwee Hong, dengan kasar dan buas, menjauhi Seng Kun yang masih memandang dengan linglung. Sambil tertawa-tawa ganas, raksasa itu lalu mencengkeram kaki Bwee Hong, diangkatnya dara itu dan iapun mengamuk, memutar-mutar tubuh Bwee Hong untuk mencari dan membuka jalan keluar dan membantu kawan-kawannya.
Tentu saja Yap-lojin dan teman-temannya menjadi khawatir dan cepat mundur, tidak berani menyerang karena takut kalau-kalau serangan mereka mengenai tubuh Bwee Hong yang diputar-putar itu. Mereka memandang gelisah, tidak tahu bagaimana harus menghadapi lawan yang amat curang itu.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara geraman buas seperti keluar dari mulut seekor binatang liar. Sepasang mata A-hai yang tadinya sudah meredup, berobah ganas lagi. Sepasang mata itu kini memandang ke arah si raksasa dengan pandang mata buas, seperti mata harimau yang penuh nafsu membunuh. Tubuhnya perlahan-lahan bergerak, berputar ke arah raksasa yang tertawa terbahak-bahak kegirangan melihat musuh-musuhnya yang tangguh itu menyingkir semua.
Tiba-tiba, kedua lengannya mengeluarkan uap putih dan begitu tangan kirinya digerakkan ke depan seperti menusuk ke arah kaki Tiat-siang-kwi, raksasa itu berteriak kesakitan dan kakinya terkulai, lututnya tertekuk. Dia hanya merasa seolah-olah pahanya dihantam palu godam yang tidak nampak. Dia mencoba bangkit, akan tetapi jatuh berlutut lagi.
A-hai kembali menggerakkan tangan kanannya, kini membuat gerakan membacok ke arah pundak. Kembali raksasa itu berteriak kesakitan dan lengan kanannya terkulai. Tentu saja Bwee Hong terlepas jatuh ke lantai dan Siok Eng cepat menyambarnya dan memulihkan jalan darahnya yang tadi tertotok.
Sementara itu, Yap-lojin yang sejak tadi mengikuti semua gerakan A-hai, ternganga dan tanpa disadarinya dia menggeleng-geleng kepala dan berkata, "Thai-kek Sin-ciang!"
Kiong Lee terkejut. Yang disebut gurunya itu adalah ilmu pukulan yang kabarnya hanya dimiliki dewa saja, yang hanya terdapat dalam dongeng. Akan tetapi, melihat apa yang dilakukan oleh A-hai tadi, dia percaya bahwa ilmu pukulan jarak jauh itu sungguh amat luar biasa.
Sikap A-hai sungguh luar biasa sekali. Setelah si raksasa roboh, kebuasannyapun lenyap dan kini dia termangu-mangu memandang kepada Bwee Hong yang juga sudah bangkit berdiri dan memandang kepadanya setelah terbebas dari totokan. Dan tiba-tiba saja, A-hai menangis! Air matanya bercucuran dan dia memandang kepada Bwee Hong melalui air matanya, kemudian diapun berlari ke depan, menubruk kedua kaki itu dan menangis.
"Ibu.... ibu...!" A-hai meratap sambil merangkul kedua kaki Bwee Hong.
Sejenak suasana menjadi hening, akan tetapi melihat robohnya adiknya yang ke dua, Te-tok-ci lalu mengeluarkan aba-aba lagi dan semua anak buahnya bergerak lagi mengeroyok. Pertempuran pecah lagi dan kini pihak tuan rumah ditambah dengan dua orang wanita kembar yang agaknya sudah pulih kesehatannya dan sudah berpakaian. Yap-lojin memimpin kawan-kawannya untuk melakukan perlawanan. Hanya A-hai dan Bwee Hong yang tidak memperdulikan itu semua. A-hai masih merangkul kedua kaki dara itu sambil menangis.
Sejenak Bwee Hong menjadi bengong termangu-mangu. Akan tetapi, melihat penolongnya yang memiliki kesaktian luar biasa itu kini berlutut di depannya sambil memeluk kedua kakinya dan menangis, Bwee Hong membiarkannya saja. Sedikit banyak ia sudah mendengar dari Pek Lian tentang pemuda aneh ini yang agaknya mengalami guncangan jiwa yang amat hebat.
Melihat keadaan pemuda ini, timbul rasa iba yang amat mendalam di hati Bwee Hong. Tak terasa lagi kedua tangannya menyentuh dan membelai rambut kepala A-hai yang awut-awutan itu dan dengan suara halus ia mem bujuk, "Jangan menangis!" Akan tetapi ia sendiri tidak dapat menahan menetesnya beberapa butir air mata dari sepasang matanya karena terharu dan kasihan.
Mendengar suara halus ini, A-hai mengangkat mukanya. Air mata gadis itu mengalir turun dan menetes dari wajahnya yang menunduk, jatuh mengenai dahi A-hai, mengalir turun bercampur dengan air mata pemuda itu. Tiba-tiba tubuh A-hai bergetar. Agaknya ada suatu pergolakan jiwa terjadi di bawah sadarnya dan tiba-tiba saja tangisnya meledak, terisak-isak tak terkendalikan lagi.
Hati Bwee Hong semakin terharu. Ia merasa betapa pemuda itu merangkul kakinya sambil menangis sesenggukan, membasahi sepatunya dengan air mata yang hangat. "Sudahlah harap jangan menangis" bujuknya akan tetapi ia sehdiripun menangis.
Menghadapi peristiwa ini, semua orang menjadi bengong. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara berdengung nyaring, bergemuruh datang dari luar. Itulah suara pasukan lebah, pikir Pek Lian dengan hati ngeri.
"Yap-locianpwe, kita harus cepat pergi dan sini !" katanya.
"Benar," kata Yap-lojin setelah tadi dia sendiri termangu menyaksikan hal-hal yang luar biasa itu. "Kiong Lee, engkau mengendong Chu Seng Kun!"
Kiong Lee juga melihat datangnya ancaman bahaya. Agaknya pihak lawan yang tadi mengundurkan diri karena merasa kalah kuat, kini telah menyusun kembali kekuatannya dan hendak datang menyerbu. Maka diapun cepat menggendong Chu Seng Kun yang selain kehilangan ingatannya, juga kelihatan amat lemah.
A-hai kini tidak kelihatan lemah lagi walaupun dia juga seperti kebingungan dan bahkan tidak mengenal Pek Lian. Akan tetapi, begitu Bwee Hong mengulurkan tangan dan berkata, "A-hai, mari kita pergi dari sini." Diapun bangkit dan kelihatan girang, seperti seorang anak kecil yang diajak pesiar oleh ibunya.
"Mari ikut aku!" Pek Lian berkata cepat dan segera ia membawa rombongan itu melalui terowongan di bawah laut yang menuju ke pulau Si Kelabang Hijau, tokoh ke lima dari para penghuni Ban-kwi-to itu. Selagi mereka berlari-lari memasuki terowongan, terdengar suara Te-tok-ci dan anak buahnya mengejar dari belakang.
Akan tetapi, agaknya para pengejar itu juga tidak terlalu berani sehingga pengejaran mereka itu dilakukan dari jarak jauh saja sehingga memudahkan Yap-lojin dan rombongannya untuk melarikan diri. Setelah mereka keluar dari mulut terowongan dan tiba di pulau tempat kediaman Kelabang Hijau, Yap-lojin dibantu Kiong Lee lalu menggunakan tenaga sinkang mereka menggempur batu karang di mulut terowongan sehingga batu-batu itu terbongkar dan terowongan itu. tertutup!
"Inikah pulau di mana puteraku berada?" tanya Yap-lojin.
"Benar, locianpwe. Inilah tempat tinggal Thian-te Tok-ong atau Ceng-ya-kang Si Kelabang Hijau tokoh ke lima dari Tujuh Iblis itu," jawab Pek Lian.
Mereka lalu memasuki bangunan yang berada di tengah pulau. Akan tetapi, ternyata rumah itu kosong dan biarpun mereka telah mencari ke seluruh pulau itu, namun mereka tidak dapat menemukan bayangan Si Kelabang Hijau maupun bayangan Yap Kim. Tentu saja Yap-lojin dan kawan-kawannya menjadi kecewa sekali.
"Tentu iblis itu telah tahu akan kedatangan kita maka dia sudah lebih dahulu melarikan diri mengajak putera locianpwe," kata Pek Lian.
Pada saat itu, terdengar bunyi terompet kapal ditiup nyaring. Mendengar ini, Kwa Siok Eng terbelalak. "Ah, itu suara kapalku berada dalam bahaya. Dayang-dayangku memanggil agar aku segera kembali ke perahu kami."
Rombongan itu lalu berlari-lari ke arah di mana perahu besar Tai-bong-pai itu disembunyikan. Seperti kita ketahui, ketika Siok Eng dan Pek Lian meninggalkan perahu, para dayang atau anak buah Tai-bong-pai itu oleh Siok Eng diperintahkan untuk menunggu dan bersembunyi di situ sampai ia kembali.
Ketika rombongan ini sedang berlari menuju ke pantai di mana perahu itu disembunyikan, di jalan mereka bertemu dengan seorang anak buah Tai-bong-pai yang terhuyung-huyung dan mukanya kehijauan. "Siocia perahu kita dirampas seorang gendut dan seorang pemuda!" dan dayang itu terguling dan terkulai, tewas.
"Si Kelabang Hijau!" Siok Eng berseru marah melihat tewasnya anak buahnya dengan muka kehijauan itu. Ia tahu bahwa itulah akibat pukulan yang mengandung racun kelabang hijau yang amat ganas. Mereka lalu mempercepat lari mereka ke arah pantai dan benar saja, di atas perahu besar itu nampak belasan orang anggauta Tai-bong-pai kewalahan menandingi seorang kakek gemuk pendek dan berkepala gundul yang lihai sekali.
"Iblis keparat, berani engkau mengacau orang-orang Tai-bong-pai?" Siok Eng membentak marah dan ia mendahului yang lain, menerjang ke atas perahu dan langsung menyerang kakek gundul pendek itu.
"Plak-plak-plakk!" Tiga kali tamparan Siok Eng dapat ditangkis oleh Si Kelabang Hijau akan tetapi kakek itu repot juga menghadapi kecepatan gerakan dara Tai-bong-pai ini.
"Wah-wah-wah, galaknya!" Dia berteriak-teriak dan berloncatan ke belakang. "Yap-kongcu, bantulah!"
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dari dalam bilik perahu dan seorang pemuda menerjang Siok Eng untuk membantu kakek gendut pendek itu.
Akan tetapi dari samping, Kiong Lee sudah meloncat dan menangkap tangan pemuda itu sam bil berseru, "Sute!!"
Pemuda tampan itu menoleh dan terkejut bukan main melihat Kiong Lee. "Eh, toa-suheng!" teriaknya girang.
"Sute, lihat siapa yang datang!" Kiong Lee menunjuk ke kiri dan ketika Yap Kim menoleh, dia makin terkejut dan girang.
"Ayah!" teriaknya sambil menghampiri ayahnya dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu.
Yap-lojin mengelus jenggotnya, dan alisnya berkerut. Hatinya lega melihat puteranya dalam keadaan sehat dan selamat, akan tetapi perasaannya tidak sedap melihat puteranya itu bersahabat dengan iblis macam Kelabang Hijau, bahkan tadi dilihatnya puteranya hendak membantu kakek iblis itu menghadapi Siok Eng.
"Hemmm, bagus sekali! Engkau bergaul dengan segala macam iblis dan sekarang engkau malah hendak membantu iblis Kelabang Hijau ini melawan kami? Boleh, majulah dan lawanlah aku!" bentak Yap-lojin dengan muka merah karena marah.
"Tapi... tapi Tok-ong itu baik sekali, ayah!" Yap Kim berkata dengan muka pucat mendengar ucapan ayahnya yang mengandung ke-marahan itu.
"Hemm, dia baik? Orang yang mengatakan bahwa Tujuh Iblis penghuni Ban-kwi-to baik hanyalah orang jahat, dan dia adalah tokoh ke lima dari Tujuh Iblis itu!"
"Tapi tahukah ayah ketika aku terluka oleh Raja Kelelawar dan hampir mati, kalau tidak ada Tok-ong yang menolongku, tentu sekarang aku hanya tinggal nama saja. Aku berhutang nyawa padanya, ayah, dan kulihat selama ini dia bukan orang jahat. Perahu ini milik orang-orang Tai-bong-pai, bukankah perkumpulan itu termasuk perkumpulan kaum sesat, ayah? Kenapa ayah dan suheng malah berpihak kepada orang-orang Tai-bong-pai?'"
Yap-lojin adalah seorang gagah perkasa yang berwatak adil. Mendengar ucapan puteranya itu, dia termangu-mangu. Memang benar ucapan puteranya yang terakhir itu. Tai-bong-pai terkenal sebagai perkumpulan hitam yang sesat, akan tetapi karena Siok Eng, puteri ketua Tai-bong-pai baik, diapun menganggapnya baik. Agaknya demikian pula dengan puteranya, yaitu menganggap baik kepada Thian-te Tok-ong karena Tok-ong bersi-kap baik, bahkan telah menyelamatkan nyawanya.
Sesungguhnya, baik atau buruk hanyalah pendapat yang berdasarkan penilaian dan penilaian tentu saja amat pribadi, tergantung ke aku-an masing-masing. Dia menoleh dan melihat betapa Kelabang Hijau terdesak hebat karena sekarang Kiong Lee membantu Siok Eng.
"Kiong Lee, bebaskan dia!" katanya. Mendengar bentakan ini, Kiong Lee melompat mundur, dan Siok Eng juga menghentikan penyerangannya dan memandang dengan ragu.
Sementara itu, Thian-te Tok-ong meloncat turun dari perahu menghadapi Yap-lojin sambil tertawa-tawa. "Ha-ha-ha-ha. Yap-lojin tidak suka kepadaku, hal itu tidaklah aneh! Akupun tidak suka kepadamu, dan tidak suka kepada para pendekar karena mereka itu adalah orang-orang sombong sok suci! Kami memang golongan jahat, akan tetapi setidaknya kami tidaklah berpura-pura suci. Tangan kami memang kotor dan kami mengakuinya, tidak menutupinya dengan sarung tangan bersih! Ha-ha-ha, terus terang saja, aku suka kepada Yap-kongcu karena dia tidaklah pura-pura suci seperti para pendekar."
"Thian-te Tok-ong, Tujuh Iblis Ban-kwi-to sudah terkenal dengan kejahatannya. Orang yang suka bermain dengan racun seperti engkau, mana bisa dibilang baik?"
"Bagus! Bagus! Memang sejak kecil aku sudah diajar bermain dengan segala macam binatang beracun. Dan binatang-binatang beracun itu lebih baik dari pada manusia. Setidaknya, mereka itu mempergunakan racun mereka untuk membela diri dan mereka tidak pura-pura. Sebaliknya, sikap gagah dan baik, sikap manis dari manusia menyembunyikan racun yang lebih jahat dari pada binatang beracun."
Siok Eng termangu mendengar ucapan itu, ucapan yang sering kali didengarnya di antara para tokoh Tai-bong-pai sendiri! Ucapan yang mengandung kepahitan hati orang-orang yang dianggap jahat dan kotor, dipandang dengan sinar mata menghina oleh para tokoh kang-ouw yang menganggap diri mereka pendekar-pendekar budiman dan baik.
Ia sendiri tidak setuju dengan tindakan-tindakan kasar dan bengis dari orang-orang Tai-bong-pai, namun kadang-kadang terasa pula olehnya betapa kaumnya itu dikesampingkan dan bahkan kadang-kadang dihimpit dan disudutkan oleh orang-orang yang menganggap diri mereka "baik".
Sementara itu, Yap-lojin merasa penasaran mendengar kata-kata tokoh sesat itu yang jelas menyerang pihak pendekar. "Tok-ong, apakah engkau hendak mengatakan bahwa kaum sesat lebih benar dari pada para pendekar? Kalian adalah orang-orang yang suka melakukan kejahatan, mengandalkan kekerasan dan bertindak sewenang-wenang, sedangkan kami para pendekar mempergunakan kepandaian untuk menentang kejahatan dan membela pihak lemah yang tertindas. Bukankah sudah jelas adanya garis pemisah antara kita?"
"Ha-ha-ha, Yap-lojin, apa yang berbeda? Kalau kami mempergunakan kekerasan dan membunuh, kalian para pendekar juga menggunakan kekerasan dan membunuh. Apa bedanya? Dan garis antara baik dan buruk, di mana letaknya? Pula, apakah engkau hendak melupakan bahwa tanpa adanya kami, kalian tidak akan ada? Tanpa adanya Im takkan ada Yang, tanpa adanya buruk takkan ada baik, tanpa adanya kanan takkan ada kiri! Kekayaan dapat dinikmati hanya karena adanya kemiskinan! Kesehatan dapat dinikmati karena adanya penyakit, dan apa artinya ahli pengobatan tanpa adanya racun-racun dan penyakit-penyakit? Ha-ha-ha, dipikir lebih mendalam, kalian para pendekar yang suka sok suci ini sepatutnya berterima kasih kepada kami, karena sesungguhnya kamilah yang mengangkat nama kalian sehingga dipuji-puji sebagai pendekar!"
Yap-lojin termangu bingung. Orang ini memiliki kepandaian bicara yang luar biasa, pikirnya. Pantas puteranya mudah terpikat. Dia menoleh kepada kawan-kawannya yang juga termangu bingung mendengar ucapan-ucapan yang langsung menyentuh hati mereka itu. Hanya A-hai seoranglah yang tidak acuh, juga Chu Seng Kun yang masih "linglung".
Apa yang diucapkan oleh Thian-te Tok-ong atau Ceng-ya-kang Si Kelabang Hijau secara ugal-ugalan itu memang sesungguhnya mengandung kenyataan-kenyataan yang patut untuk kita pikirkan. Di dunia ini kehidupan manusia sudah terbelenggu dengan kuatnya oleh dua hal yang selalu bertentangan. Baik-buruk, senang-susah, kaya miskin, pintar-bodoh, sorga-neraka dan selanjutnya.
Keduanya merupakan lingkaran setan yang saling kait-mengait mempermainkan batin manusia sehingga setiap saat terjadilah konflik da-lam batin antara yang satu dengan yang lain. Di antara semua dualisme itu yang terbesar mengguncang dunia dan manusia adalah perang dan damai. Karena adanya perang orang rindu akan perdamaian, lalu menggunakan segala cara, kalau perlu dengan cara berperang pula, untuk mencapai kedamaian!
Padahal, kalau tidak ada perang, tidak seorangpun membutuhkan damai! Jadi, bukan damai yang perlu dikejar-kejar, melainkan perang yang perlu dihentikan atau dibuang jauh-jauh. Demikian pula dengan golongan yang baik dan yang jahat. Kaum pendekar yang "baik" ini menentang kaum yang dianggap jahat, kalau perlu dengan jalan kekerasan, bahkan membunuh.
Akan tetapi, mungkinkah kejahatan dapat dibunuh atau dibasmi? Orangnya tentu dapat dibunuh atau disiksa, akan tetapi kejahatan itu letaknya bukan di luar atau di tubuh, melainkan di dalam batin! Jadi, yang diobati haruslah batinnya kalau kita ingin melihat kejahatan lenyap. Kejahatan seperti penyakit, harus kita usahakan agar penyakitnya itu lenyap.
Bagaimanapun juga, setelah kita terseret ke dalam kebudayaan seperti sekarang ini, di mana kita terbelenggu oleh dualisme-dualisme yang saling berlawanan, kita dapat melihat bahwa segala hal-hal negatip ini bukannya tidak ada manfaatnya! Karena adanya kebodohan maka timbul gairah untuk belajar. Karena ada kemiskinan maka timbul perjuangan untuk memperoleh kemajuan dalam materi.
Karena ada ancaman neraka maka timbul usaha untuk memperoleh sorga, dan sebagainya. Dan apakah artinya kekayaan kalau tidak ada kemiskinan? Kalau kita semua manusia di seluruh dunia ini kaya, siapakah yang akan dapat menik-mati kekayaan lagi? Kalau tidak ada kebodohan, apa lagi artinya menjadi orang pintar?
Bahkan setelah kita memasuki lingkaran setan dalam kebudayaan kita sekarang ini, jangankan orang-orang macam Tujuh Iblis itu, bahkan Setan sendiripun bukan tidak ada manfaatnya! Adanya Setan menjadi pendorong bagi manusia untuk berpaling dan mencari Tuhan! Andaikata tidak ada Setan, andaikata tidak ada dosa, mungkinkah manusia mencari Tuhan lagi? Untuk apa?
Karena ucapan Si Kelabang Hijau itu mendatangkan kebingungan, maka Yap-lojin lalu berseru kepada puteranya, "Kim-ji, katakan saja, engkau hendak ikut ayahmu pulang ataukah engkau akan tinggal bersama dia selamanya? Jawab!"
Yap Kim kebingungan. Selama dia berkelana bersama Kelabang Hijau, dia merasakan kehidupan yang lain. Dia merasa bebas dan tidak ada ikatan apapun, tidak ada penghalang-penghalang berupa peraturan-peraturan dan pantangan-pantangan, hidup bebas seperti burung di udara, melakukan apa saja yang dibisikkan oleh hatinya, bicara apa saja yang dikehendaki hatinya.
Akan tetapi, sejak kecil dia digembleng oleh ayahnya untuk menjadi pendekar dan dia tahu bahwa jawabannya ini akan merupakan keputusan. Dan bagaimanapun senangnya hidup seperti ketika dia berkelana dengan Kelabang Hijau, tidak mungkin dia dapat melepaskan ayahnya begitu saja. "Aku ikut bersama ayah," jawabnya lirih.
"Kalau begitu, mari kita pergi dari neraka ini!" kata Yap-lojin.
"Silahkan naik ke perahu kami, locianpwe," kata Siok Eng dan semua orang naik ke dalam perahu besar itu. Dayung digerakkan, layar dipasang dan perahu itu meninggalkan pantai pulau diiringi suara ketawa bergelak-gelak oleh Kelabang Hijau yang berdiri di pantai dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangan di pinggang. Tak seorangpun di atas perahu itu melihat betapa kedua mata kakek pendek gendut itu menjadi basah ketika dia melihat Yap Kim ikut terbawa pergi oleh perahu itu.
Perahu itu melaju dengan cepatnya. Layar terkembang penuh didorong angin. Semua orang merasa lega hatinya. Ho Pek Lian bergidik, merasa ngeri hatinya. "Ih, aku tidak mau lagi pergi ke pulau-pulau itu. Benar-benar mengerikan sekali! Heii, kenapa gatal amat?" Iapun menggaruk punggung tangannya dan melihat bercak-bercak putih. Teriakannya disusul oleh teriakan Siok Eng dan Bwee Hong.
"Celaka, ini racun lebah putih itu!" seru Siok Eng.
"Saya saya kedinginan" kata seorang anggauta Tai-bong-pai kepada Siok Eng.
"Saya juga, nona!" kata yang ke dua dan disusul oleh yang ke tiga. Muka mereka pucat kehijauan dan tubuh mereka menggigil.
"Hemm, itu tentu pukulan Si Kelabang Hijau, pukulan beracun kelabang hijau!" kata pula Siok Eng.
"Hemm, kakiku juga terasa panas dan gatal-gatal!" Kiong Lee juga berkata dan ketika dia menyingkap celananya, kakinya nampak ada totol-totol merah.
"Gigitan semut merah!" seru Siok Eng. "Racunnya juga jahat sekali!"
Semua orang kebingungan, akan tetapi Yap-lo-jin tetap tenang dan tiba-tiba dia bertanya kepada Pek Lian dan Siok Eng, "Bukankah kalian masih mempunyai obat penawar racun cairan kuning dari Ban-kwi-to itu?"
"Aihh, benar! Kenapa kita lupakan obat itu, adik Eng?" teriak Pek Lian yang memegang lengan Siok Eng.
Puteri ketua Tai-bong-pai inipun menjadi girang dan cepat mengeluarkan sisa obat cairan kuning yang diambilnya dari kamar Te-tok-ci itu. Semua orang yang keracunan diberi obat ini dan sungguh amat luar biasa sekali! Agaknya memang obat itu khusus dibuat oleh Te-tok-ci untuk melawan segala macam racun yang ada di Ban-kwi-to, karena begitu memakai obat ini, semua orang sembuh.
Bahkan Chu Seng Kun dan A-hai juga sembuh dari kehilangan ingatan mereka, walaupun tubuh mereka, terutama Seng Kun, masih terasa lemah. Begitu keduanya diberi minum obat ini, kedua orang pemuda ini segera tertidur pulas setengah pingsan, demikian pula yang lain-lain karena kerasnya obat itu bekerja. Orang terakhir yang siuman dari pingsannya adalah A-hai dan Seng Kun. Akan tetapi karena A-hai memang sudah lebih dulu linglung, maka ketika sadar diapun masih tetap lupa segala, kecuali Pek Lian dan Bwee Hong! Begitu melihat Pek Lian, dia tersenyum dan cepat bangkit berdiri, memandang dengan wajah berseri.
"Engkau nona Pek Lian!" katanya girang.
Pek Lian juga memandang dengan tersenyum manis. "A-hai, engkau sudah sembuh!"
Akan tetapi A-hai memandang ke sekeliling dan ketika dia melihat Bwee Hong, terdengar seruan heran dan kaget di kerongkongannya dan diapun melangkah maju menghampiri gadis ini, memandang bengong lalu berkata bingung, "Nona... nona?"
Bwee Hong tersenyum, mengangguk. "Namaku Chu Bwee Hong."
"Chu Bwee Hong, Chu Bwee Hong." A-hai berulang-ulang menyebut nama itu lirih-lirih seperti seorang anak kecil sedang menghafal tiga buah huruf baru.
Semua orang memandang kepadanya dengan hati kasihan sekali, akan tetapi, sungguh Pek Lian merasa heran kepada diri sendiri mengapa sikap A-hai itu mendatangkan rasa tidak enak di hatinya! Ia merasa seolah-olah tidak diperdulikan lagi oleh A-hai dan pemuda itu kini duduk dekat Bwee Hong seperti seekor anjing yang tidak mau jauh dari majikannya! Ia merasa iri ataukah cemburu? Ia sendiri tidak tahu, akan tetapi yang jelas, ia merasa betapa hatinya tidak sedap.
Seng Kun sadar paling akhir karena dialah yang paling banyak terkena racun dari Kepulauan Ban-kwi-to. Begitu sadar dia bangkit duduk dan terheran-heran melihat semua orang berkumpul di dalam perahu, merubungnya. Akan tetapi, wajahnya berseri gembira ketika dia melihat adiknya. "Hong-moi!"
"Koko!" Dara yang cantik jelita itu membiarkan dirinya dirangkul oleh kakaknya.
"Nona Ho! Dan engkau saudara A-hai! Syukurlah kalian juga selamat!" kata Seng Kun. Akan tetapi dia melihat Yap-lojin, Kiong-Lee dan juga Siok Eng. Alisnya berkerut memandang Yap-lojin dan Kiong Lee yang tak dikenalnya.
"Koko, ini adalah Yap-locianpwe, ketua Thian-kiam-pang dan ini adalah saudara Yap Kiong Lee, putera beliau. Mereka berdua telah menyelamatkan aku dari ancaman bahaya tenggelam di lautan."
"Ah, sungguh besar budi ji-wi yang telah menyelamatkan nyawa adikku," kata Seng Kun yang cepat-cepat menjura dengan hormat. Tentu saja Yap-lojin dan muridnya cepat membalas penghormatan itu.
Pada saat itu, terdengar suara halus, "In-kong, kami menghaturkan selamat dan hormat."
Seng Kun memandang dan dia melihat seorang gadis cantik bersama semua anak buah perahu yang terdiri dari wanita-wanita cantik, berlutut di depannya! Seng Kun mengerutkan alisnya dan dia tidak ingat lagi kepada gadis cantik itu.
"Koko, ia adalah Kwa Siok Eng, puteri dari ketua Tai-bong-pai yang pernah kita obati dahulu itu."
"Ahhh!" Seng Kun teringat dan kedua mukanya menjadi merah. Dia bukan hanya merasa jengah teringat kepada dara yang hampir mati, yang diobati olehnya dan oleh ayah bundanya yang ternyata kemudian hanyalah paman kakeknya suami isteri, dan pengobatan itulah yang mengakibatkan matinya dua orang tua itu.
Dia merasa jengah mengingat betapa gadis ini dahulu telanjang bulat di depan matanya ketika diobati, akan tetapi di samping rasa malu-malu ini, juga dia teringat akan kematian paman kakek dan isterinya itu, yang sudah dianggapnya sebagai orang tua sendiri.
"In-kong (tuan penolong), perkenankanlah saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan in-kong dahulu, yang in-kong lakukan dengan pengorbanan yang teramat besar."
Seng Kun menggerakkan tangan menolak. "Sudahlah, nona, harap jangan memakai banyak peraturan dan sungkan-sungkan. Kita berada di antara teman sendiri dan sudah seharusnyalah kalau selagi hidup kita saling bantu-membantu."
Sikap yang sederhana dan halus dari pemuda ini mendatangkan rasa kagum dalam hati Yap-lojin dan muridnya, apa lagi mengingat bahwa pemuda inilah ahli waris utama dari ilmu-ilmu sakti yang dimiliki oleh mendiang Raja Tabib Sakti!
Kalau semua orang ikut terharu menyaksikan adegan ini, adalah A-hai yang bersikap tidak perduli, bahkan seperti orang bingung dia hanya duduk memandang wajah Bwee Hong yang cantik jelita itu, membuat Bwee Hong kadang-kadang tersipu malu, akan tetapi membuat hati Pek Lian merasa semakin tidak enak saja.
Malam itu lewat tanpa peristiwa yang berarti. Perahu mereka melaju, cepat sekali menuju ke barat, ke arah daratan besar. Karena lautan cukup tenang dan angin kuat, perahu mereka dapat melaju dengan amat cepatnya. Setelah berlayar sehari lagi, menjelang senja mereka sudah dapat melihat daratan besar, merupakan garis hitam di barat. Tentu saja hati mereka merasa gembira setelah lama mereka merantau di lautan ganas dan di antara pulau-pulau yang mengerikan.
Hanya dua orang yang nampak tidak gembira, yaitu Yap Kim dan Pek Lian. Agaknya pemuda putera tunggal ketua Thian-kiam-pang itu merasa kehilangan kebebasannya setelah dia kembali ke "dunia sopan" di mana dia terikat oleh peraturan-peraturan, tidak seperti ketika dia berada di dunianya Si Kelabang Hijau yang serba bebas. Sedangkan Pek Lian merasa gelisah memikirkan ayahnya yang juga belum dapat ditemukan, walaupun ia telah berkumpul kembali dengan Seng Kun dan Bwee Hong.
"Heiiii! Perahu besar di depan!" Tiba-tiba terdengar teriakan wanita penjaga di atas. Semua orang keluar dari bilik dan memandang kedepan. Benar saja, remang-remang nampak sebuah perahu besar di depan, bahkan kini perahu besar itu mulai menyalakan lampu lampunya yang cuku banyak.
"Eh, itu perahu Mongol yang dipimpin orang-orang bermuka merah dan berambut putih itu!" Tiba-tiba Pek Lian berseru.
"Benar sekali, adik Lian!" seru Bwee Hong.
"Di mana engkau mendengar suara ayahmu itu, nona Ho?" tanya Seng Kun dengan hati tertarik. Dia sudah mendengar dari Pek Lian dan Bwee Hong tentang pengalaman mereka ketika berpisah darinya.
"Kalau begitu, kita harus menolong Menteri Ho!" kata Yap-lojin yang juga berjiwa gagah dan sudah lama kagum kepada menteri itu. Sejak dahulu dia memang tidak suka kepada keluarga kaisar, dan inilah sebabnya mengapa dia sampai cekcok dengan isterinya karena isterinya, bibi dari kaisar, mengajaknya menghambakan diri kepada kaisar.
Sejak dahulu Yap-lojin berpihak kepada para pendekar dan orang gagah yang menentang kelaliman, maka kini mendengar bahwa mungkin Menteri Ho yang dikaguminya itu tertawan musuh dan berada di perahu besar di depan, timbul semangatnya untuk menolong menteri itu.
"Kita kejar perahu di depan!" katanya penuh semangat dan sikapnya ini tentu saja menggirangkan hati Seng Kun, Bwee Hong, dan Pek Lian yang memang bertugas untuk menyelamatkan Menteri Ho. Layar cadangan dipasang dan perahu melaju cepat menyusul perahu besar di depan.
"Ayah, aku mendengar bahwa orang-orang dari utara itu bukan orang Mongol asli dan mereka adalah ahli-ahli di lautan. Kulihat perahu besar itu tentu kuat sekali dan banyak anak buahnya. Perahu kecil kita dengan tenaga kita yang sedikit ini mana dapat menang? Pula, perlu apa kita mencampuri urusan orang lain dan menanam permusuhan dengan mereka?" Yap Kim berkata.
Mendengar ucapan putera kandungnya ini, sepasang mata Yap-lojin melotot. "Apakah engkau tidak tahu siapa adanya Menteri Ho itu? Dia adalah seorang patriot besar, seorang menteri yang setia dan bersih, jujur, berani menentang kelaliman kaisar dan pembela rakyat jelata. Dan kau bilang mencampuri urusan orang lain kalau kita kini hendak menyelamatkannya dari tangan musuh-musuhnya yang menawannya? Sungguh ucapan yang tolol sekali. Tolol!"
Yap Kim menarik napas panjang. "Maaf, ayah. Bukan maksudku untuk bersikap pengecut dan tentu aku akan membantu ayah dengan taruhan nyawa. Hanya kupikir, bodoh sekali dan sama sekali bukan gagah kalau nekat menyerbu lawan yang jauh lebih kuat. Dan agaknya di dunia ini terlalu banyak terjadi permusuhan karena pencampur-tanganan pihak ke tiga."
Sang ayah tidak membantah lagi walaupun amat marah karena ketika itu, perahu mereka telah berdekatan dengan perahu besar di depan yang agaknya juga memperlambat pelayaran dan menanti mereka. Dan tiba-tiba saja, para perajurit di atas perahu besar itu bersorak-sorak dan menghujankan anak panah ke arah perahu para pendekar! Bukan anak panah biasa, melainkan anak panah yang membawa api!
Jarak mereka sudah terlampau dekat untuk serangan anak panah, akan tetapi masih terlampau jauh untuk meloncat dan menyerbu, maka para pendekar sibuk menangkis anak panah yang datang seperti hujan itu. Melihat A-hai sama sekali tidak mampu mengelak atau menangkis, Bwee Hong sudah memutar pedangnya melindungi pemuda ini yang kelihatan ketakutan dan bingung.
Para anak buah perahu sibuk memadamkan kebakaran-kebakaran yang diakibatkan anak panah api itu, dan karena kesibukan ini, maka beberapa orang di antara mereka roboh terkena anak panah. Keadaan menjadi kalut, apa lagi ketika kebakaran makin menghebat dan layar sudah termakan api, juga tiang layar dan perahu itupun mulai terbakar! Sukar meloncat ke perahu musuh yang memang sengaja menjauh itu, maka tiada pilihan lain, para pendekar itu berloncatan ke air yang gelap!
Pek Lian gelagapan. Di dalam hatinya ia mengeluh. Kenapa ia harus terlempar ke air lautan lagi? Apakah sudah menjadi nasibnya untuk mati di lautan? Ia menggerakkan kaki tangannya berusaha berenang ke arah perahu besar di mana diduga ayahnya berada. Ia ingin naik ke perahu besar itu dan mengamuk, kalau perlu mati demi membela ayahnya.
Akan tetapi, perahu besar itu setelah melihat perahu kecil terbakar, lalu cepat menjauhkan diri dan terdengar sorak-sorai para perajurit itu yang merasa memperoleh kemenangan besar. Pek Lian tidak mampu mengejar perahu itu dan ia hampir kehabisan tenaga dipermainkan gelombang.
Tiba-tiba terdengar seruan, "Adik Lian, ke sinilah!"
Remang-remang dilihatnya Bwee Hong dan dua orang lain di atas atap perahu mereka. Atap ini masih utuh, akan tetapi perahunya entah lenyap ke mana, juga entah ke mana perginya orang-orang lain. Pek Lian mengerahkan sisa tenaganya dan akhirnya terengah-engah ia berhasil mencapai atap perahu itu dan dibantu oleh Bwee Hong dan dua orang itu yang ternyata adalah Seng Kun dan A-hai, iapun naik dan terkapar di atas papan dalam keadaan setengah pingsan.
"Nona Pek Lian! Nona Pek Lian!!"
Suara itu terdengar sayup-sayup, seperti panggilan orang dari jauh, dan ia mengenal benar suara itu, karena selama ini, suara itu hampir selalu terngiang di dalam telinganya. Suara A-hai! Pek Lian merasa seolah-olah ia terbawa oleh air, hanyut di atas perahu kecil, makin jauh meninggalkan A-hai yang juga berada di atas perahu lain dengan seorang dara jelita yang bukan lain adalah Bwee Hong!
Dan A-hai memanggil-manggilnya. Ah, betapa ingin hatinya menjawab panggilan itu, dan betapa inginnya untuk dekat dengan pemuda yang sejak semula telah menimbulkan rasa iba dan suka bercampur kagum di dalam hatinya. Akan tetapi, kini A-hai bersama dengan Bwee Hong dalam sebuah perahu dan ia tahu betapa akrab hubungan antara mereka.
Ia tidak ingin menjadi penghalang, tidak ingin menyaingi Bwee Hong! Maka iapun tidak menjawab dan membiarkan perahunya hanyut makin jauh meninggalkan A-hai. Hatinya seperti ditusuk rasanya dan tak tertahankan lagi, iapun menangis terisak-isak! Padahal, tidak mudah bagi pendekar wanita ini untuk menangis!
"Nona Pek Lian!" Kembali terdengar seruan A-hai, sekali ini suaranya terdengar amat dekat.
"Adik Lian, engkau kenapakah?" Tiba-tiba terdengar suara Bwee Hong, juga dekat sekali.
Pek Lian membuka kedua matanya dan melihat betapa A-hai dan Bwee Hong berlutut didekatnya, mengguncang-guncang tubuhnya yang basah kuyup dan kedinginan itu. Ia masih terpengaruh mimpi tadi, mengira bahwa mereka berdua berhasil mengejarnya dan kini berada di atas perahunya dan berusaha menghiburnya. Keramahan mereka bahkan menambah perih pada luka di hatinya, maka iapun menggerakkan kedua lengannya menolak dengan halus dan berkata dengan nada suara sedih,
"Biarkan aku sendiri... ah, biarkan aku sendiri dalam kemalanganku hu-huhuuhhh." Dan iapun terisak menangis karena ia segera teringat akan ayahnya dan merasa betapa sengsara hidupnya.
Seng Kun memberi isyarat kepada adiknya dan A-hai untuk membiarkan dara itu menangis. Pemuda ini dapat menduga apa yang menyebabkan Pek Lian berduka, tentu karena teringat akan ayahnya, pikirnya. Tentu saja dia tidak dapat menduga lebih mendalam dari pada itu. Setelah tangis Pek Lian agak mereda, diapun menghibur.
"Nona Ho, harap engkau dapat menenangkan hatimu. Bagaimanapun juga, aku tidak akan berhenti berusaha untuk menemukan kembali ayahmu. Hal itu merupakan tugasku, perintah dari sri baginda kaisar sendiri."
Pek Lian sadar akan kelemahannya. Iapun bangkit duduk, menyusut air matanya, memandang dengan sinar mata bersyukur kepada Chu Seng Kun dan menarik napas panjang. "Harap kalian maafkan kelemahanku tadi," katanya kepada Bwee Hong, sedangkan A-hai diam saja, memandang bingung karena dia tidak mengerti urusan.
Perahu istimewa mereka itu dipermainkan gelombang samudera dan karena mereka berempat tidak berdaya, merekapun hanya dapat menyerahkan nasib mereka kepada lautan luas. Mereka mencari-cari, namun tidak pernah dapat melihat tanda-tanda tentang teman-teman mereka yang lain. Tidak ada bayangan seorangpun di antara teman-teman mereka. Padahal mereka begitu banyak. Kwa Siok Eng dengan anak buahnya, Yap-lojin, Yap Kiong Lee dan Yap Kim. Apakah mereka semua itu telah menjadi korban dan ditelan lautan?
"Mudah-mudahan saja mereka dapat tertolong, seperti juga kita," kata Seng Kun menghibur hati Pek Lian dan Bwee Hong yang merasa gelisah dan berduka kalau membayangkan malapetaka menimpa teman-teman mereka itu.
Akan tetapi, pada keesokan harinya, begitu matahari terbit, mereka bergembira sekali melihat daratan begitu dekatnya! Daratan besar! Perahu mereka yang dipermainkan gelombang itu ternyata telah dihanyutkan oleh gelombang menuju pantai. Seperti pulih kembali tenaga mereka dan dengan wajah cerah mereka mendayung perahu yang sesungguhnya bukan perahu melainkan atap perahu itu, mendekat tepi.
Mereka hanya menggunakan tangan saja untuk mendayung, akan tetapi karena mereka adalah pendekar-pendekar yang memiliki kekuatan hebat, mereka berhasil juga mendayung perahu atap itu sampai kandas ke pasir. Mereka berlompatan dan dengan pakaian basah kuyup mereka tiba di daratan. Chu Seng Kun dan A-hai masih lemah walaupun mereka sudah sembuh. Agaknya, pemuda sinting itu pada dasarnya memiliki tubuh luar biasa yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan Seng Kun, karena tubuhnya tidaklah selemah Seng Kun yang benar-benar harus banyak istirahat untuk memulihkan kembali tenaganya.
Mereka berempat duduk di tepi pantai ketika tiba-tiba hidung mereka mencium bau harum dupa! Cuping hidung mereka kembang-kempis dan mereka menoleh ke kanan kiri. Pantai lautan itu sunyi dan tidak nampak adanya manusia lain, namun jelas bahwa yang tercium oleh mereka itu adalah bau dupa harum. Pek Lian dan Bwee Hong saling pandang dan berbareng mereka berbisik, "Dupa harum kaum Tai-bong-pai!"
"Adik Siok Eng selamat!" kata Pek Lian girang karena mengira bahwa tentu dara puteri ketua Tai-bong-pai itu yang mengeluarkan bau dupa harum seperti ini.
Akan tetapi, mereka berempat memandang dengan curiga dan khawatir ketika muncul belasan orang laki-laki kasar yang dipimpin oleh seorang pria berusia kurang lebih tigapuluh tahun yang berperawakan kurus. Orang ini juga kelihatan kasar dan menyeramkan. Pakaiannya serba putih, rambutnya awut-awutan dan kaku, mukanya seperti muka mayat saja, pucat dan jarang bergerak. Wajah itu sebetulnya tampan, akan tetapi karena pucat dan tak bergerak seperti mayat, maka menyeramkan sekali. Begitu tiba di situ, belasan orang itu segera mengurung dan bau hio semakin keras.
Empat orang itu bangkit berdiri dan Pek Lian cepat menjura ke arah pemuda yang seperti mayat itu. "Kami adalah sahabat-sahabat dari adik Kwa Siok Eng. Di manakah dia? Apakah ia selamat?"
Akan tetapi, pertanyaan ini agaknya membuat belasan orang itu marah-marah. Mereka mengepal tinju dan memandang dengan sikap mengancam. Pek Lian tidak tahu bahwa pertanyaan keselamatan merupakan pantangan bagi para anggauta Tai-bong-pai! Mereka itu menganggap diri mereka sebagai keluarga kuburan, sebagai orang-orang yang telah mati, maka pertanyaan tentang keselamatan itu seperti ejekan atau penghinaan saja bagi mereka! Pemuda pucat itupun marah-marah dan tanpa banyak cakap dia sudah mengeluarkan tong-katnya dan menyerang Pek Lian.
"Eh, eh gila!" Pek Lian cepat mengelak, akan tetapi sambaran tongkat itu lihai bukan main seolah-olah tongkat itu bernyawa dan terus mengikuti ke mana ia mengelak, sampai Pek Lian terpaksa bergulingan menyelamatkan diri.
"Manusia jahat!" Bwee Hong membentak sambil menotok dari belakang ke arah punggung pemuda muka pucat itu. Akan tetapi, biarpun totokan yang dilakukan oleh Bwee Hong itu bukan sembarang totokan melainkan ilmu keturunan dari Si Tabib Sakti, ternyata pemuda itu mampu mengelak dengan cekatan! Diam-diam Bwee Hong terkejut juga, dan maklumlah dara perkasa ini bahwa ia berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh.
Pek Lian dapat bernapas lega karena serangan bertubi-tubi tadi tidak dilanjutkan dan kini pemuda mengerikan itu telah ditandingi oleh Bwee Hong yang jauh lebih lihai dari padanya. Akan tetapi ia sendiripun tidak dapat tinggal enak-enakan karena belasan orang sudah mengeroyoknya dengan sengit. Kiranya para anggauta Tai-bong-pai itu membencinya karena pertanyaan keselamatan tadi!
Tentu saja Pek Lian melawan mati-matian dan untung baginya bahwa tingkat kepandaian para anggauta Tai-bong-pai ini tidaklah sehebat pemuda muka pucat itu. Biarpun demikian, repot jugalah ia karena dikeroyok oleh belasan orang kasar dan ia sendiri bertangan kosong. Pedangnya telah hilang ketika ia terlempar ke lautan.
Keadaan Bwee Hong sama buruknya dengan Pek Lian. Ternyata pemuda kurus pucat itu lihai bukan main! Dan makin kagetlah hati Bwee Hong ketika melihat betapa pemuda itu mengeluarkan ilmu-ilmu yang mujijat dari Tai-bong-pai, ilmu-ilmu yang pernah didengarnya. Begitu sebuah pukulan menyerempet lengannya, ia melihat lengan bajunya menjadi merah dan ternyata darah telah keluar dari lubang pori-pori kulit lengannya!
Tahulah ia bahwa itu adalah ilmu mengerikan dari Tai-bong-pai yang disebut Pukulan Penghisap Darah! Dan tenaga pemuda kurus itu sungguh membuatnya pening, karena tenaga sinkang yang amat kuat itu mengeluarkan bau asap hio wangi! Selain Tenaga Sakti Asap Hio ini, yang membuat keringat pemuda itu berbau dupa, juga ilmu silatnya aneh dan mengerikan. Tentu itulah yang dinamakan Ilmu Silat Mayat Hidup karena kadang-kadang gerakan pemuda itu kaku seperti mayat hidup.
Hanya dengan kelebihan ginkang (ilmu meringan-kan tubuh) sajalah maka sampai sekian lamanya Bwee Hong masih mampu mempertahankan diri dan tidak sampai terkena pukulan-pukulan ampuh itu. Entah mana yang lebih berbahaya, sinar tong-kat yang menyambar-nyambar itu ataukah cengke-raman tangan kiri itu.
"Jangan berkelahi ah, jangan berkelahi....!" A-hai berteriak-teriak kebingungan, mengangkat kedua tangan ke atas dan lari ke sana ke sini.
Dengan matanya yang bersinar tajam, Seng Kun dapat melihat bahwa adik kandungnya terancam bahaya besar. Pukulan-pukulan orang kurus pucat itu sungguh amat ampuh dan dia tahu bahwa sekali terkena pukulan itu, tentu adiknya akan terluka parah dan mungkin akan keracunan. Dia sendiri masih amat lemah, tenaganya belum pulih benar, akan tetapi tentu saja tak mungkin dia mendiamkan adiknya terancam bahaya tanpa membantu.
Melihat betapa adiknya ini hanya dapat mengelak ke kanan kiri mengandalkan kegesitannya, Seng Kun lalu meloncat ke depan dan membantu adiknya, mengirim pukulan yang merupakan tamparan tangan kanan ke arah leher pemuda kurus pucat itu. Hebat tamparan ini dan si muka pucat terkejut, lalu diapun menggunakan lengan kiri menangkis sambil mengerahkan tenaga.
"Wuuuuttt! Plakkk...!"
Pertemuan dua tenaga sinkang yang kuat itu amat hebat dan seandainya keadaan Seng Kun sehat-sehat seperti biasa, belum, tentu dia kalah kuat. Akan tetapi, dia masih belum pulih benar kesehatan dan kekuatannya, maka pertemuan tenaga itu tidak dapat tertahan oleh tubuhnya yang masih lemah. Dia terdorong ke belakang dan terpelanting ke atas tanah, sedangkan si muka pucat itu hanya terhuyung mundur...!