Darah Pendekar Jilid 18 karya Kho Ping Hoo - "KOKO!" Bwee Hong menubruk kakaknya yang terengah-engah bangkit duduk itu, dan A-hai juga mendekatinya.
Juga Pek Lian yang masih menghadapi pengeroyokan belasan orang anggauta Tai-bong-pai itu menengok. Perbuatan ini mencelakakan dirinya karena tahu-tahu belasan orang telah menubruknya dan betapapun ia meronta, tetap saja ia tertangkap, dan kaki tangannya dibelenggu sampai dara ini tidak mampu bergerak lagi.
Sementara itu, si kurus pucat sudah menyerang lagi, tongkatnya bergerak seperti kitiran cepatnya dan menyerang ke tubuh Bwee Hong. A-hai menghadang di depan, bertolak pinggang sambil berkata, "Eh, eh, mengapa kalian menyerang orang-orang tak berdosa?"
Melihat sikap A-hai yang begitu polos, agaknya si kurus pucat itu menjadi tertegun dan malu. "Kami harus menawan kalian dan baru akan kami bebaskan setelah urusan kami di tempat ini selesai," katanya, seperti mayat bicara.
"Kalau cuma begitu, kenapa tidak bicara dari tadi? Tanpa kekerasanpun, kami tidak akan melawan. Silahkan kalau mau menawan kami!"
Mendengar ini, diam-diam Pek Lian, Bwee Hong dan Seng Kun tercengang. Pemuda ini sungguh penuh keanehan, kadang-kadang sikapnya begitu matang, tenang dan menguasai keadaan. Dan memang sikapnya itu membuat si pemuda kurus pucat menjadi serba salah.
"Baiklah, kalau begitu kalian ikut bersama kami. Asal tidak melawan kamipun tidak akan menggunakan kekerasan," katanya dan dengan isyarat tangan ia memerintahkan anak buahnya membebaskan Pek Lian dari belenggu. Lalu mereka ber-empat digiring oleh belasan orang itu ke sebuah bukit yang letaknya tak jauh dari pantai itu.
Siapakah pemuda kurus pucat yang amat lihai itu? Dia memang bukan orang sembarangan. Namanya Kwa Sun Tek dan dia adalah putera dari ketua Tai-bong-pai. Kwa Siok Eng adalah adik kandungnya! Pemuda kurus ini telah mewarisi ilmu-ilmu Tai-bong-pai dari ayahnya, maka tentu saja dia lihai sekali, lebih lihai dari pada adiknya dan semuda itu dia telah dijuluki Song-bun-kwi (Setan Berkabung) yang sesuai dengan pakaiannya yang serba putih.
Empat orang muda itu dibawa masuk ke dalam sebuah kuil kosong yang berada di puncak bukit. Mereka dimasukkan ke dalam sebuah kamar dan dijaga ketat oleh belasan orang anak buah Song-bun-kwi Kwa Sun Tek. Dan di tempat itu terdapat puluhan orang anak buahnya yang lain. Mereka kelihatan seperti sedang menunggu kedatangan tamu.
Mengapa putera ketua Tai-bong-pai berada di tempat itu dan siapakah yang dinantikannya? Dan biarpun Pek Lian telah menyebut nama Kwa Siok Eng, adik kandungnya, mengapa pemuda kurus pucat itu seakan-akan tidak memperdulikan nama adiknya?
Song-bun-kwi Kwa Sun Tek tak dapat dibandingkan dengan adiknya. Dan diapun telah menyeleweng dari pada peraturan dan kebiasaan Tai-bong-pai. Tai-bong-pai semenjak dahulu memang tersohor sebagai perkumpulan rahasia yang penuh misteri, penuh dengan keanehan, akan tetapi biarpun perkumpulan ini dapat digolongkan sebagai perkumpulan hitam atau sesat, namun Tai-bong-pai memiliki keangkuhan dan tidak pernah mau melibatkan diri dalam urusan orang-orang lain.
Namiun Kwa Sun Tek tak dapat mempertahankan tradisi nenek moyangnya. Dia tidak sama seperti nenek moyangnya yang selalu mempertahankan keangkuhan sebagai pimpinan suatu golongan tersendiri yang tidak tunduk kepada siapapun dan tidak bersekutu dengan siapapun, mielainkan mengandalkan kekuatan sendiri malang-melintang di dunia kang-ouw. Kwa Sun Tek termasuk seorang muda yang ambisius.
Dan diam-diam dia mengadakan persekutuan dengan golongan-golongan yang hendak mengadakan pemberontakan terhadap kerajaan! Dia mengharapkan kalau sampai pemberontakan itu berhasil, dia akan memperoleh kedudukan. Kemuliaan dalam kedudukan tinggi inilah yang diidamkannya, karena yang lain-lain, seperti kekayaan, kepandaian dan nama besar sudah dimilikinya sebagai putera ketua Tai-bong-pai.
Setiap orang manusia di dunia ini tentu pernah mengalami dorongan hasrat untuk mengejar dan memperoleh kemuliaan hidup ini. Hampir semua orang dicengkeram hasrat ini, keinginan untuk memperoleh kemuliaan hidup yang dianggapnya sebagai sumber dari pada kesenangan! Dan kemuliaan hidup ini mereka lihat bersembunyi di dalam beberapa hal. Dalam kedudukan dan kehormatan. Dalam harta benda. Dalam kekuasaan.
Inilah sebabnya mengapa kita semua seakan-akan berebut dan berlomba untuk memperolehnya, kalau perlu dengan cara apapun juga, dengan jegal-jegalan, dengan pukul-pukulan, dan saling gasak, saling bermusuhan dan saling bunuh. Kita selalu mementingkan tujuan sehingga muncullah cara-cara yang sesat. Kita seolah-olah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Yang menjadi langkah-langkah dalam hidup kita, penuh dengan kepalsuan seperti sekarang ini, tidak wajar lagi karena setiap langkah hidup, setiap kelakuan dan perbuatan kita, hanya merupakan jembatan untuk dapat membawa kita ke arah tujuan yang kita kejar-kejar.
Demikian pula dengan Song-bun-kwi Kwa Sun Tek. Dia mempunyai ambisi besar, mempunyai cita-cita yang menjadi tujuannya, yaitu hidup se-bagai seorang penguasa, dan untuk mencapai tujuan ini, cara apapun akan dipergunakannya. Dan dia melihat kesempatan dan harapan untuk dapat men-capai cita-citanya itu melalui persekutuan dengan pihak pemberontak yang menentang dan hendak menggulingkan kaisar.
Pada waktu itu, para pemberontak memang tengah menyusun kekuatan. Seperti telah kita ketahui, pemerintah mengerahkan pasukan-pasukan kuat yang dipimpin oleh Jenderal Beng Tian yang dibantu pula oleh Pek-lui-kong Tong Ciak, dan berkat kepandaian dua orang tokoh istana ini, pasukan-pasukan para pemberontak di sekitar Lem-bah Yang-ce telah diobrak-abrik dan dihancurkan. Banyak yang tewas dan sisanya melarikan diri cerai berai.
Pasukan-pasukan pemberontak itu adalah sebagian besar pasukan yang dipimpin oleh Chu Siang Yu, yaitu pemimpin para pemberontak yang lihai, keturunan Jenderal Chu yang amat terkenal sepanjang sejarah. Setelah pasukannya dihancurkan oleh pemerintah, Chu Siang Yu bukan mundur, sebaliknya hal ini malah mengobarkan semangatnya untuk membalas dendam.
Cita-citanya setinggi langit, yaitu untuk merebut kekuasaan kaisar! Dan untuk mencapai cita-cita ini, dia mengorbankan semua harta bendanya dan kepandaiannya, mengumpulkan orang-orang gagah, dihimpun dan dibujuk, dibakar semangat mereka sampai akhirnya dia memiliki banyak pengikut yang setia.
Kini Chu Siang Yu mengadakan persekutuan rahasia dengan fihak mana saja yang dapat menguntungkan gerakannya. Dia merasa sakit hati karena daerahnya, yaitu Lembah Yang-ce yang subur itu direbut pemerintah. Mulailah dia memimpin anak buahnya yang jumlahnya cukup banyak sampai melebihi selaksa orang itu untuk bergerak menggempur dari timur. Desa demi desa, sampai kota demi kota direbutnya.
Gerakan itu baru berhenti ketika bala tentara kerajaan datang menyambut dan menggempurnya. Pasukan pemberontak yang dipimpin Chu Siang Yu menjadi kewalahan dan terpaksa mundur, lalu pemimpin pemberontak ini mengadakan persekutuan dengan para pembesar di wilayah timur. Sampai gubernur daerah pantai timur ditempel dan dipengaruhinya.
Di samping ini, juga dia tidak segan-segan untuk bersekutu dengan orang-orang asing dari utara, peranakan Mongol yang memiliki pasukan yang cukup kuat. Pendeknya, untuk mencapai cita-citanya, yaitu menggulingkan kekuasaan kaisar, cara apapun akan ditempuhnya. Maka, bersekutu dengan orang asingpun bukan merupakan sesuatu yang diharamkan. Kemudian, diapun mengajak orang-orang Tai-bong-pai bersekutu setelah melihat betapa pemuda Tai-bong-pai, Kwa Sun Tek, kelihatan berambisi besar.
Pasukan Tai-bong-pai memang tidak dapat dikata besar untuk dipergunakan dalam perang. Akan tetapi sama sekali tidak kecil artinya mengingat bahwa pasukan itu adalah orang-orang yang ahli dalam mempergunakan racun sehingga mereka itu dapat menjadi pasukan istimewa. Juga pemuda itu lihai sekali ilmu silatnya, dapat menjadi pembantu yang amat menguntungkan.
Demikianlah, pada hari itu, di dalam kuil di atas bukit dekat pantai itu akan diadakan pertemuan rahasia antara pemberontak pimpinan Chu Siang Yu yang diwakili oleh Kwa Sun Tek yang sudah mendapat kepercayaan dari pimpinan itu, lalu pasukan Mongol yang dipimpin sendiri oleh kepala mereka, seorang bertubuh raksasa yang bertenaga besar sekali, dan utusan gubernur dan para pejabat daerah.
Gerakan Chu Siang Yu ini diam-diam diikuti oleh para pendekar, yaitu para pendekar penentang kaisar karena kelalimannya, para pendekar yang bergabung dalam pasukan yang dipimpin oleh Liu Pang. Di antara para kelompok atau gerombolan pemberontak yang timbul di sana-sini pada jaman itu, yang patut disebut hanyalah pasukan pimpinan Chu Siang Yu dan para pendekar pimpinan Liu Pang.
Pasukan Chu Siang Yu memang lebih besar jumlahnya, namun pasukan Liu Pang yang tidak berapa besar itu terdiri dari para pendekar yang rata-rata memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi. Apa lagi, karena Liu Pang berasal dari keluarga tani sederhana dan di antara para pendekarpun dia disebut dengan sebutan sederhana, yaitu Liu-twako, maka dia memperoleh dukungan dari rakyat jelata, terutama kaum tani.
Sebaliknya, Chu Siang Yu adalah keturunan ningrat dan untuk membangkitkan semangat para pengikutnya, dia menjanjikan pangkat-pangkat dan kemuliaan. Berbeda dengan Liu Pang yang didukung oleh orang-orang yang ingin "berbakti" kepada nusa dan bangsa, ingin menjadi pahlawan dan patriot.
Memang banyaklah "cara" untuk menggerakkan manusia menuju kepada cita-cita. Dalam hal peperangan, caranya hanyalah kekerasan, kekejaman, saling bunuh dan memperebutkan kemenangan. Jadi, kemenangan itulah tujuannya. Akan tetapi tentu saja bukan tujuan terakhir karena kemenangan itu hanyalah merupakan "jembatan" saja untuk mencapai yang diidam-idamkan, yaitu kedudukan-kehormatan, kemuliaan, harta benda.
Para pimpinan yang berambisi pandai sekali membangkitkan semangat rakyat dengan berbagai cara. Ada yang membangkitkannya melalui kepahlawanan, patriot atau pejuang, rela berkorban nyawa! Ada pula yang membangkitkan semangat melalui janji-janji muluk, kedudukan, kehormatan, kemuliaan atau harta benda.
Apapun tujuannya, kalau caranya adalah saling bunuh dengan kejam, sudah dapat dipastikan bahwa tujuannya itupun hanya merupakan pementingan diri sendiri, pemuas kehausan nafsu sendiri belaka, mencari sesuatu yang dianggap akan mendatangkan kesenangan hidup, seperti kedudukan, kemuliaan, kehormatan dan harta benda!
Gerakan Chu Siang Yu yang membalas dendam kepada pemerintah ini, mula-mula memang didiamkan saja oleh Liu Pang. Pada waktu itu, memang kelaliman kaisar membuat rakyat menderita. Rakyat ditindas, dipaksa bekerja membuat Tembok Besar, kaum sasterawan dikejar-kejar dan dibunuh, menteri-menteri yang setia dan jujur dipecat dan dihukum, hukum rimba berlaku di mana-mana.
Karena itu, rakyat membenci kaisar dan pemerintahnya. Dan karena ini pula, maka melihat gerakan Chu Siang Yu, Liu Pang dan pasukannya mendiamkannya saja, menganggap bahwa memang sudah sepatutnya kalau kaisar ditentang. Akan tetapi, setelah mendengar bahwa Chu Siang Yu bersekongkol dengan pasukan asing, Liu Pang menjadi marah sekali dan mencap Chu Siang Yu sebagai seorang pengkhianat yang hendak menjual negara kepada orang asing.
Maka bergeraklah Liu Pang, memimpin pasukan para pendekar, membantu tentara kerajaan dan menggempur pasukan asing yang bersekongkol dengan pasukan pemberontak Chu Siang Yu. Karena pasukan Liu Pang merupakan pasukan istimewa yang menggiriskan, rata-rata memiliki ilmu silat tinggi, maka pasukan pemerintah berhasil merebut kembali dusun dan kota yang jatuh ke tangan bala tentara pemberontak Chu Siang Yu.
Marahlah pimpinan pemberontak she Chu itu dan mulai saat itu, dia menganggap Liu Pang sebagai saingan dan juga musuh. Dan biarpun permusuhan di antara mereka tidak atau belum terjadi secara terbuka, namun di dalam hati masing-imasing mereka itu telah menganggap masing-masing sebagai musuh dan saingan berbahaya.
Akan tetapi, bantuan dari Liu Pang dan kawan-kawannya inipun tidak dapat diterima begitu saja oleh pihak pemerintah. Para pendekar itu terkenal sebagai orang-orang yang mendukung para sasterawan dan menteri yang diperlakukan dengan semena-mena oleh kaisar, dan mereka itupun dianggap sebagai pemberontak. Mereka selalu dicurigai dan hubungan antara mereka tidak akrab sama sekali.
Padahal, ketika Chu Siang Yu memberontak dibantu oleh pasukan asing itu, Liu Pang benar-benar berniat membantu pemerintah. Apa lagi ketika mendengar keputusan kaisar yang mengampuni para menteri yang telah dipecat, hal ini menimbulkan suka di hati para pendekar. Chu Siang Yu maklum akan sikap pemerintah yang mencurigai Liu Pang, maka di manapun juga.
Dia menyuruh anak buahnya untuk menyebar fitnah dan berita-berita bohong untuk memanaskan suasana dan untuk mengadu domba antara pasukan para pendekar dengan pasukan pemerintah! Demikianlah keadaan pemerintah yang dirongrong oleh para pemberontak pada waktu itu dan si kurus Kwa Sun Tek bersama anak buahnya tengah menanti datangnya para tamu penting pada hari itu.
Matahari naik semakin tinggi dan hari nampak cerah. Terdengar derap kaki kuda naik ke bukit itu menuju ke kuil. Mereka adalah tiga orang berpakaian perwira kerajaan yang dikawal oleh sepuluh orang pasukan berkuda. Mereka ternyata adalah pasukan pengawal gubernur daerah pantai timur dan mereka datang sebagai utusan sang gubernur yang bersekongkol dengan pemberontak Chu Siang Yu.
Kwa Sun Tek menyambut mereka dan setelah melihat pakaian yang gemerlapan dan bendera pengenal itu dengan seksama, dia merasa heran sekali. Setelah menyambut dengan ucapan selamat datang, dia bertanya. "Maaf, sam-wi ciangkun (tiga perwira), apakah tidak berbahaya dan tidak akan menimbulkan kecurigaan dan perhatian orang dengan pakaian seragam sam-wi seperti ini?"
Perwira yang berkumis tebal tertawa. "Ah, sama sekali tidak. Bahkan kami kira lebih aman begini. Orang-orang tentu mengira bahwa kami sedang menjalankan tugas atau sedang meronda. Dan pertemuan ini adalah pertemuan penting, kami tidak ingin menjatuhkan martabat kami!"
Kwa Tek Sun mengangguk-angguk dengan alis dikerutkan karena diam-diam dia merasa bahwa orang-orang pemerintah ini sungguh berpemandangan sempit dan bodoh. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani banyak mencela lagi dan mempersilahkan tamu-tamu itu duduk di sebelah dalam, di mana terdapat sebuah ruangan dan di situ telah tersedia bangku-bangku untuk menerima para tamu. Karena pertemuan itu adalah pertemuan rahasia, maka tempat pertemuanpun seadanya dan tidak ada yang mengeluh karena hal ini.
Beberapa orang anggauta Tai-bong-pai datang menghadap Kwa Sun Tek, melaporkan bahwa ada sebuah perahu besar berlabuh. Tak lama kemudian, nampak seorang raksasa tua berjenggot putih melangkah lebar menuju ke kuil, diiringkan pasukan asing yang bersenjata lengkap. Itulah kepala suku yang memimpin pasukan asing peranakan Mongol itu.
Setelah utusan ketiga golongan itu datang, pertemuan segera diadakan. Yang mengadakan percakapan dalam rapat rahasia itu adalah Kwa Sun Tek, tiga orang perwira, dan Malisang, yaitu kepala suku peranakan Mongol yang tinggi besar itu. Anak buah Tai-bong-pai, pasukan pengawal gubernur, dan juga anak buah Malisang berjaga di luar dan di sekitar kuil.
"Chu-bengcu (pemimpin rakyat Chu) menghendaki agar gerakan di timur dimulai dari pantai ini," antara lain Kwa Sun Tek menyampaikan perintah Chu Siang Yu. "Di bagian barat, gerakan pa-sukan Chu-bengcu telah berhasil merebut beberapa kota dan dusun."
"Memulai gerakan mudah saja, akan tetapi kita harus melakukan penyelidikan dengan seksama akan kekuatan penjagaan di setiap daerah," kata si raksasa peranakan Mongol yang bernama Malisang itu.
"Tentu saja dan tentang hal itu, kami percaya sam-wi ciangkun ini tentu lebih paham," kata Kwa Sun Tek.
Sebelumnya, mereka semua memang sudah sepakat untuk membagi gerakan mereka menjadi dua bagian. Bagian barat digerakkan oleh pasukan yang dipimpin oleh Chu Siang Yu sendiri, sedangkan bagian timur dilakukan oleh gabungan sekutu mereka, yaitu pasukan peranakan Mongol dan pasukan gubernur dan para pejabat tinggi. Adapun pasukan Tai-bong-pai yang hanya berjumlah kecil hanya bertugas membantu sana-sini untuk tugas-tugas praktis.
Perwira berkumis tebal mengangguk-angguk. "Hal itu sudah kami selidiki. Panglima kerajaan yang ditempatkan di daerah timur ini adalah Lai-goanswe (Jenderal Lai), bawahan Jenderal Beng Tian yang dipercaya. Dia seorang ahli perang yang pandai, juga memiliki pasukan yang terdidik dan terlatih baik. Harus diakui bahwa bukan merupakan pekerjaan ringan untuk menandingi pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Lai itu."
Kwa Tek Sun berkata, "Chu-bengcu juga sudah tahu akan hal itu dan karenanya beliau mengutus kami dari Tai-bong-pai untuk mencari jalan baik membantu gerakan saudara sekalian. Kami sudah mendengar berita bahwa sebagian pasukan pendekar pimpinan Liu Pang juga berada di daerah ini. Kami akan berusaha agar terjadi bentrokan antara pasukan Liu Pang dan pasukan Jenderal Lai. Kalau mereka itu bentrok sendiri, maka tugas kita untuk membuka dan memulai gerakan di timur ini akan menjadi lancar dan mudah."
Semua orang mengangguk tanda setuju. Lalu seorang di antara tiga perwira itu berkata, "Akan tetapi, bagaimana hal itu dapat dilakukan? Bukankah kaisar telah mengampuni para menteri, bahkan akan mengembalikan kedudukan mereka dan semua itu dilakukan kaisar untuk memberi hati kepada Liu Pang dan anak buahnya?"
"Memang benar demikian," jawab Kwa Sun Tek yang sebagai pembantu terpercaya dari Chu Siang Yu, agaknya mengenal baik keadaan negara pada waktu itu. "Karena itulah, maka Liu Pang bersikap lembut kepada kaisar dan bahkan melakukan gerakan membantu pasukan kerajaan menentang kita. Bahkan Liu Pang agaknya telah sadar bahwa yang meniup-niupkan kebencian antara pasukannya dan pasukan pemerintah adalah pihak kita, maka dia bersikap hati-hati.
"Kami telah mendengar kabar bahwa dia telah mengutus wakilnya ke daerah ini untuk menghubungi Lai-goanswe dan untuk menyampaikan iktikad baiknya membantu pemerintah menghadapi pemberontakan. Selain itu, juga kabarnya dia hendak menanyakan mengapa janji kaisar untuk mengembalikan para menteri ke tempat kedudukan masing-masing, sampai sekarang belum juga terlaksana."
Kini Malisang, raksasa Mongol yang sejak tadi hanya mendengarkan dengan penuh perhatian, mengangguk-angguk maklum. "Ah, jadi kalau be-gitu, Chu-bengcu yang memerintahkan agar Men-teri Ho dibawa ke daerah ini, sebenarnya ada hubungannya dengan persoalan ini?"
"Benar demikian!" kata Kwa Sun Tek. "Menteri Ho dapat kita pergunakan sebagai alat untuk memecah belah di antara pihak perajurit kerajaan dan pihak anak buah Liu Pang. Dengan demikian maka usaha Liu Pang untuk berdekatan dengan pihak pemerintah akan gagal dan itu merupakan keuntungan yang tak ternilai harganya bagi kita!"
"Eh, bagaimana caranya?" tanya perwira berkumis tebal.
Biarpun di ruangan itu hanya ada mereka berlima dan kuil itu dijaga oleh banyak sekali anak buah mereka, namun sebelum menjawab orang she Kwa yang kurus itu menengok ke kanan kiri lebih dulu, kemudian berbisik, "Mendekatlah ke sini dan dengarkan baik-baik rencana yang telah diatur oleh Chu-bengcu. Mereka lalu berbisik-bisik dengan kepala saling berdekatan.
Empat orang muda itu, Chu Seng Kun, A-hai, Ho Pek Lian, dan Chu Bwee Hong, masih berada di dalam kamar kuil di mana mereka ditahan dan kamar itu dijaga ketat oleh orang-orang Tai-bong-pai. Seng Kun hanya duduk bersila dan berusaha untuk memulihkan kesehatannya. Dia baru saja mengalami keracunan ketika bersama A-hai dia menjadi tawanan Jeng-bin Siang-kwi, dua orang wanita iblis dari Ban-kwi-to itu.
Dan belum juga kesehatannya pulih, dia harus mengalami hal-hal yang berat, bahkan terlempar ke lautan, dan baru saja dia terkena pukulan ampuh dan kuat dari Kwa Sun Tek. Memang tubuhnya sudah tidak keracunan, akan tetapi masih lemah dan tenaganya belum pulih benar. Agaknya A-hai memang memiliki tubuh yang luar biasa sekali maka pengaruh racun-racun itu tidak begitu hebat terasa olehnya dan tubuhnya tidak kelihatan lemah.
Pek Lian, seperti juga Bwee Hong dan A-hai, duduk di atas lantai kamar itu dan termenung. Dara ini diam-diam merasa gelisah sekali memikirkan ayahnya. Ia sama sekali tidak pernah mengira bahwa pada saat itu justeru nama ayahnya disebut-sebut dan menjadi bahan percakapan antara orang-orang yang sedang mengadakan rapat di ruangan dalam kuil itu.
Sebagai murid dari Liu Pang, dan sebagai pemimpin dari pasukan pendekar, tentu saja Ho Pek Lian juga tahu akan keadaan negara pada waktu itu. Ia tahu pula akan gerakan Chu Siang Yu yang menentang kaisar dengan ambisi untuk merampas kedudukan. Gadis yang banyak berkecimpung dalam pergolakan negara itu dapat mengumpulkan data-data bahwa pada waktu itu, negara sedang kacau-balau dan terjadi perpecahan-perpecahan dan pemberontakan-pemberontakan akibat dari kelaliman kaisar.
Kaisar yang agaknya menurutkan bisikan beracun para pembantunya yang palsu, telah melakukan banyak hal yang membangkitkan kemarahan rakyat. Bukan hanya menindas rakyat dengan pekerjaan berat yang mema-kan banyak korban jiwa seperti pembangunan Tembok Besar, juga kaisar telah membakar kitab-kitab kaum sasterawan, bahkan mengejar dan membunuh banyak sasterawan dan pendekar.
Hal ini tentu saja menimbulkan kemarahan di kalangan rakyat dan menimbulkan pemberontakan-pemberontakan Pek Lian maklum bahwa golongan gurunya adalah kaum pendekar yang menentang kelaliman kaisar untuk membela rakyat dan mereka tidak berambisi mengejar kedudukan. Kalau kaisar dapat merobah sikapnya dan rakyat tidak menderita, tentu gerakan Liu Pang ini akan berhenti pula.
Golongan ke dua adalah golongan pemberontak yang tadinya bermarkas di lembah Yang-ce, yaitu pemberontak yang dipimpin oleh Chu Siang Yu, pemberon-takan yang berpamrih merampas kedudukan. Tentu saja selain golongan pendekar yang dipimpinnya bersama suhunya itu dan golongan pemberontak pimpinan Chu Siang Yu, juga ada golongan pemerintah sendiri yang menentang pemberontakan.
Yaitu bala tentara pemerintah yang memiliki banyak jenderal-jenderal yang tangguh terutama jenderal Beng Tian. Kemudian, gadis inipun melihat munculnya golongan baru yaitu golongan kaum sesat yang agaknya akan dihimpun dan dibangun oleh seorang tokoh sesat yang menyeramkan, yaitu Bit-bo-ong Si Raja Kelelawar!
Sementara itu Bwee Hong juga duduk bersila mengumpulkan hawa murni karena bagaimanapun juga, setelah mengalami segala hal yang mengerikan di Kepulauan Selaksa Setan itu dan telah beberapa kali keracunan, walaupun racun telah lenyap dari tubuhnya, namun ia perlu beristirahat dan memulihkan kekuatannya.
A-hai sendiri juga duduk di lantai, dan pemuda ini dengan bengong memandang kepada Bwee Hong penuh kagum, dan kadang-kadang dia menoleh dan memandang kepada Pek Lian, alisnya berkerut seperti orang hendak mengingat-ingat namun lupa segalanya.
Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dan muncullah pemuda kurus yang menawan mereka tadi. Kiranya rapat itu telah bubar dan para tamu telah pergi. Kwa Sun Tek menghampiri empat orang muda itu dan menjura dengan sikap hormat.
"Harap maafkan kami bahwa terpaksa kami menahan kalian berempat di sini karena kami mempunyai urusan yang sangat penting. Tak seorangpun boleh melihat atau mendengar urusan kami itu. Akan tetapi setelah sekarang urusan selesai, kalian boleh meninggalkan tempat ini."
Pek Lian dan kawan-kawannya tentu saja merasa mendongkol sekali. Apa lagi mengingat bahwa mereka ini adalah orang-orang Tai-bong-pai, anak buah Kwa Siok Eng yang mereka kenal dengan baik. Akan tetapi, mereka tidak sudi berurusan dengan orang-orang kasar ini dan di dalam hati saja mereka itu berjanji akan melaporkan sikap orang-orang Tai-bong-pai ini kepada Kwa Siok Eng kelak kalau mereka berkesempatan bertemu dengan dara puteri ketua Tai-bong-pai itu. Tanpa bicara dan tanpa pamit mereka berempat lalu pergi meninggalkan kuil, menuruni bukit dan menuju ke pantai kembali.
"Heiii! Perahu besar di sana itu! Bukankah itu perahu yang telah kita kenal?" Tiba-tiba Pek Lian menuding ke arah lautan di mana nampak sebuah perahu besar yang baru saja berangkat berlayar.
"Benar! Dan perahu itu baru saja berangkat dari sini!" kata Bwee Hong.
"Hemm, ini ada sebatang anak panah di pantai Serupa benar dengan anak panah yang dipergunakan untuk menyerang perahu kita," kata Seng Kun. "Hemm, si kurus itu ternyata mengadakan persekutuan dengan pasukan asing. Pantas orang lain tidak boleh melihat atau mendengar pertemuan mereka di sini. Sungguh mencurigakan sekali. Kita harus melaporkan hal ini kepada Jenderal Beng Tian!"
Tiba-tiba terdengar suara ketawa. Empat orang muda itu terkejut dan ketika mereka yang tadinya memandang ke arah perahu di lautan itu membalikkan tubuh, ternyata di situ telah berdiri si kurus bersama puluhan orang anak buah Tai-bong-pai! Si kurus Kwa Sun Tek telah mendengar ucapan Seng Kun tadi dan kini dia tersenyum mengejek dan berkata,
"Tepat dugaanku bahwa kalian tentu bukan orang-orang sembarangan. Tepat pula siasatku pura-pura melepaskan kalian tadi. Kiranya kalian adalah orang-orang yang menentang kami. Hemm, dari golongan manakah kalian? Anak buah Liu-twako? Ataukah petugas kerajaan?"
Pek Lian mewakili teman-temannya menjawab cepat, "Kami hanyalah pendekar-pendekar yang menentang kejahatan! Dan ketahuilah bahwa adik Kwa Siok Eng adalah sahabat baik kami!"
"Hemm, adikku Siok Eng memang suka bergaul dengan golongan-golongan yang menjadi musuh kami. Anak itu masih saja tolol dan tidak pernah menjadi dewasa. Kalian adalah para pendekar? Kalau begitu berarti menjadi kaki tangan Liu Pang! Dan kalian, hendak melaporkan kepada Jenderal Beng Tian? Kalau begitu juga menjadi mata-mata pemerintah. Kami terpaksa menangkap kalian lagi!"
Empat orang itu terkejut dan heran. Ternyata si kurus ini adalah kakak dari Kwa Siok Eng, akan tetapi agaknya kakak beradik ini memiliki watak yang amat berbeda, seperti bumi dan langit.
"Engkau iblis jahat!" Pek Lian membentak marah dan ia sudah menerjang maju menyerang Kwa Sun Tek dengan pukulan kedua tangannya bertubi-tubi.
Akan tetapi, pemuda kurus itu tertawa mengejek dan dengan mudah mengelak, bahkan balasan tangannya yang mencengkeram ke arah muka Pek Lian mengejutkan dara ini dan membuatnya terpaksa meloncat mundur dengan gugup. Seng Kun yang masih lemah itu juga tidak dapat membiarkan mereka ditangkap begitu saja dan diapun bersama adiknya sudah melakukan perlawanan, dikeroyok oleh Kwa Sun Tek dan puluhan orang anak buahnya.
"Jangan berkelahi lagi, ah, kenapa kita harus selalu berkelahi menggunakan kekerasan?" A-hai berteriak-teriak marah melihat betapa orang-orang itu suka sekali berkelahi. Akan tetapi, tentu saja tidak ada yang memperdulikannya, bahkan dia sudah ditubruk dari belakang oleh dua orang lalu dibelenggu kaki tangannya.
Terjadilah perkelahian yang berat sebelah. Pek Lian, Bwee Hong dan Seng Kun melawan mati-matian. Biarpun Seng Kun sendiri yang paling lihai di antara mereka masih lemah namun karena mereka adalah keturunan orang-orang yang lihai, tidak mudah bagi Kwa Sun Tek untuk menangkap mereka tanpa membunuh.
Maka dia lalu menggunakan asap harum yang mengandung obat bius dan barulah tiga orang lawan itu menjadi pening dan terhuyung-huyung, permainan mereka menjadi kacau dan dengan mudah mereka lalu ditubruk dan diringkus, kemudian dibelenggu seperti juga A-hai.
"Jangan bunuh mereka sekarang. Ikat mereka pada pohon-pohon. Kita mengadakan upacara hio nanti malam!" terdengar Kwa Sun Tek berkata dengan suara gembira dan para anak buahnya juga menyambut perintah itu dengan gembira. A-hai, Seng Kun, Pek Lian dan Bwee Hong lalu diseret ke dekat pohon-pohon di kaki bukit, kemudian diikat pada batang pohon-pohon itu. Seng Kun diikat pada sebatang pohon bersama adiknya, Bwee Hong, saling membelakangi, terhalang batang pohon.
Pek Lian diikat pada sebatang pohon yang lebih kecil, tak jauh dari situ, demikian pula A-hai diikat pada sebatang pohon. Mereka hanya dapat saling pandang, tidak tahu apa yang akan terjadi atas diri mereka. Mereka tidak tahu apa artinya "upacara hio" yang dikatakan oleh pemuda kurus itu dan tidak berani menduga-duga.
"Koko!" Terdengar bisikan suara Bwee Hong yang ditujukan kepada kakaknya di balik batang pohon.
"Ya?" kakaknya menjawab. Orang-orang Tai-bong-pai berjaga-jaga agak jauh dari situ dan mereka itu agaknya sibuk dengan sesuatu bahkan ada yang dari jauh datang menggotong peti mati! Karena itu, kakak beradik ini memperoleh kesempatan untuk bercakap-cakap.
"Koko, apakah tidak ada jalan keluar?" Suara Bwee Hong agak gemetar. Ia bukan seorang gadis penakut, akan tetapi melihat orang-orang Tai-bong-pai yang mengerikan itu menggotong peti mati, ia menjadi serem dan takut juga.
"Hong-moi, tenagaku belum pulih. Apakah engkau tidak dapat menggunakan sinkang untuk mematahkan ikatanmu dan menolongku?" Seng Kun balas bertanya. "Belenggu ini tidak berapa kuat, kalau engkau menggunakan tenaga Pai-hud-ciang."
"Iblis keparat itu tadi menotokku dan pengaruh totokannya masih terasa, membuat aku tidak dapat mengerahkan sinkang sekuatnya," jawab Bwee Hong lirih dan jengkel.
"Hemmm, mungkin ikatan ini terlalu kuat bagi nona Ho, akan tetapi kalau saja A-hai sadar akan kekuatannya, kalau saja dia kumat, tentu sekali renggut akan bebaslah dia dan dengan kepandaiannya yang hebat, dia akan dapat menyelamatkan kita semua, tapi..."
"Tapi dia dalam keadaan sadar dan lupa akan segala ilmunya itu, koko. Lalu bagaimana? Apakah kita harus menghadapi semua ancaman ini tanpa berdaya sedikitpun?"
"Tenanglah, adikku. Aku sudah sembuh, hanya tenagaku yang belum pulih. Tunggu, aku akan mengumpulkan hawa murni sebanyaknya dan mudah-mudahan saja usahaku tidak terlambat. Kalau tenagaku sudah pulih, aku dapat membebaskan kalian semua dan kurasa aku akan dapat pula me-nandingi ilmu sesat dari si kurus itu."
Bwee Hong lalu berdiam diri, memberi kesempatan kepada kakaknya untuk memulihkan tenaganya dan ia sendiripun lalu menghimpun hawa murni untuk memulihkan tenaga sinkangnya yang tidak dapat dikerahkan dengan baik akibat totokan yang dilakukan oleh Kwa Sun Tek terhadap dirinya.
Malam tiba. Gelap sekali. Tempat itu hanya diterangi sebuah api unggun yang dibuat oleh orang-orang Tai-bong-pai. Cahaya api yang merah menerangi tempat itu, akan tetapi hanya remang-remang saja. Tidak ada angin bertiup, suasana amat sunyi menyeramkan. Di dekat api unggun berjajar empat buah peti mati dan di atas tanah dipasangi hio-hio membara yang mengeluarkan asap putih dan bau harum tapi menyeramkan. Asap hio yang membubung tinggi itu kadang-kadang tegak lurus karena tidak banyak angin bersilir malam itu.
Seng Kun yang sedang tekun sekali menghimpun hawa murni untuk memulihkan tenaga sinkangnya, menjadi terganggu sekali oleh bau asap hio itu. Akan tetapi dia berkeras untuk mengusir gangguan ini dan melanjutkan usahanya. Memang agak sukar baginya karena kedudukan tubuhnya. Kalau dia melakukannya dengan bersila, tentu hasilnya akan lebih cepat. Akan tetapi, dia berdiri dan ke-dua lengannya terangkat ke atas karena terikat pada tali yang digantungkan pada cabang pohon itu.
Bau asap hio itu sungguh keras menusuk hidung. Beberapa kali A-hai sampai terbangkis. Ada duapuluh lima orang Tai-bong-pai duduk bersila mengelilingi api unggun itu dan Kwa Sun Tek sendiri duduk bersila di dekat api. Upacara hio itu agaknya dimulai!
Apakah sesungguhnya upacara hio ini? Suatu kebiasaan dari Tai-bong-pai yang amat mengerikan! Semacam upacara menghukum musuh dari Tai-bong-pai yang merupakan upacara tradisionil. Tadinya dimaksudkan untuk menghormati arwah orang-orang mati dengan memberi korban. Biasanya, dalam sembahyang menghormat arwah orang mati, korban berupa ayam, bebek, babi dan bermacam masakan yang seolah-olah merupakan sebuah pesta yang dihidangkan kepada arwah si mati yang diundang.
Akan tetapi, dalam upacara hio itu, yang dikorbankan adalah orang-orang hidup, yaitu musuh-musuh yang tertawan, sebagai hukuman mati bagi musuh dan sebagai hidangan bagi arwah orang mati. Hebatnya, yang bertugas membunuh musuh adalah mayat-mayat yang sengaja dihidupkan untuk keperluan ini!
Dan bukan sembarangan orang yang akan mampu memimpin upacara ini. Dia harus memiliki tenaga Sakti Asap Hio dan juga mahir dengan Pukulan Mayat Hidup, ilmu yang paling tinggi dari Tai-bong-pai dan pada waktu itu, hanya tiga orang saja yang me-nguasainya, yaitu ketua Tai-bong-pai Kwa Eng Ki, isterinya, dan Kwa Sun Tek inilah.
Kwa Siok Eng sendiri ketika melatih diri dengan ilmu-ilmu ini, karena salah latihan, sampai menderita lumpuh. Tenaga sakti ini, digabungkan dengan ilmu hitam, dapat dipergunakan untuk memanggil roh dan memerintahkan roh memasuki mayat, membuat mayat hidup kembali untuk sementara, untuk membunuh musuh yang dijatuhi hukuman.
Suasana semakin sunyi. Empat orang muda yang menjadi tawanan itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Mereka belum tahu apa yang akan terjadi atas diri mereka, namiun me-reka dapat merasakan adanya suasana yang menge-rikan dan ada getaran-getaran aneh yang mem-buat Pek Lian kadang-kadang menggigil. Tidak terdengar sesuatu kecuali lirih-lirih suara Kwa Sun Tek membaca mantera, mulutnya berkemak-kemik ketika dia bersila sambil mengheningkan cipta di dekat api unggun.
Tiba-tiba terjadi keanehan. Masih tidak ada angin bertiup sama sekali, akan tetapi kini api unggun yang bernyala-nyala itu bergoyang-goyang dan asap hio-hio itupun tidak tegak lurus lagi, melainkan menari-nari seperti ada yang meniupnya, atau seolah-olah ada angin menyambal kare-na kehadiran sesuatu yang baru datang tapi tidak nampak oleh mata.
Melihat ini, para anggauta Tai-bong-pai itu yang duduk bersila, lalu menelungkup dengan ke-dua lengan di atas tanah, di depan kepala, seolah-olah memberi penghormatan kepada "yang baru datang". Sementara itu, Kwa Sun Tek masih terus bersila memejamkan kedua mata dan bibirnya berkemak-kemik semakin cepat.
Hampir saja Pek Lian menjerit ketika kebetulan ia memandang ke arah peti-peti mati itu, ia me-lihat empat sosok mayat dalam peti mati itu kini bangkit duduk dari dalam peti mati, kemudian dengan gerakan kaki empat sosok mayat itu keluar peti dan turun di atas tanah lalu menari-nari kaku dekat api unggun! Sungguh merupakan pemandangan yang amat mengerikan sekali.
Mayat-mayat itu melangkah kaku, dengan kedua lengan seperti kejang, pakaian compang-camping dan mengeluarkan bau busuk! Ada yang sudah mulai membu-suk. Air kekuningan yang berbau busuk menetes-netes dari tubuh mereka, bahkan ada yang sudah mengeluarkan belatung! Suasana menyeramkan menyelubungi tempat itu.
Tiba-tiba Kwa Sun Tek membuka matanya, memandang ke arah empat sosok mayat hidup dan tersenyum puas. Lalu dia melayangkan pandang matanya ke arah empat orang tawanan, dan menyeringai girang melihat keadaan mereka yang dicekam ketakutan. Dengan perlahan dia lalu menudingkan telunjuk jarinya ke arah Seng Kun, orang yang dia ketahui memiliki ilmu kepandaian paling tinggi akan tetapi berada dalam keadaan sakit, lalu dia berseru, "Bunuh orang itu!"
Empat sosok mayat itu memutar tubuh memandang ke arah si kurus, kemudian perlahan-lahan memutar tubuh ke arah yang ditunjuk dan ketika mereka melihat Seng Kun dan agaknya mengerti makna perintah itu, bersicepat mereka berempat itu seperti berlumba dengan langkah-langkah kaku menghampiri Seng Kun. Ketika mereka lewat di dekat Pek Lian, tak tertahankan lagi Pek Lian muntah-muntah karena bau busuk itu sungguh membuatnya merasa muak dan jijik.
Melihat ini, Seng Kun sudah siap siaga. Dia sudah merasa betapa sebagian dari tenaganya pulih kembali. Akan tetapi pada saat itu, sebelum dia bergerak, nampak bayangan berkelebat dan bayangan putih itu ternyata adalah seorang dara cantik yang muncul dari kegelapan malam.
"Koko, jangan!" teriak gadis berpakaian putih itu dan ia ini bukan lain adalah Kwa Siok Eng. Tanpa membuang waktu lagi Siok Eng lalu duduk bersimpuh di dekat kakaknya, mulutnya berkemak-kemik. Sungguh aneh, empat sosok mayat itu tiba-tiba berhenti melangkah, bahkan tiba-tiba mereka itu roboh.
Kemudian, nampak asap hio dan api kembali bergerak-gerak seperti tadi ketika Kwa Sun Tek memanggil arwah-arwah, agaknya kini arwah-arwah itu pergi meninggalkan tempat itu. Suasana yang menyeramkan dan aneh itupun lenyap bersama dengan datangnya kemarahan yang membuat muka Kwa Sun Tek yang biasanya pucat itu menjadi kemerahan.
Akan tetapi Siok Eng tidak perduli. Melihat bahwa bahaya mengerikan telah lewat, ia lalu berlari ke depan dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Seng Kun. Dengan pandang mata mesra dan lembut, dara itu terdongak memandang wajah penolongnya. "In-kong, harap sudi memaafkan kesalahan kakakku yang ceroboh dan jahat itu."
Seng Kun memandang wajah cantik itu dan tersenyum halus. "Tidak mengapa, nona Kwa, agaknya ini hanya kesalah pahaman belaka."
Kwa Sun Tek sudah bangkit berdiri. Senjata pacul penggali kuburan itu menggigil di tangan kanannya dan mukanya kembali menjadi pucat seperti muka mayat, matanya mengeluarkan sinar berkilat saking marahnya. "Siok Eng! Berani kau!" bentaknya dan dia sudah melompat ke depan, mengepal tinju.
Dara itupun meloncat berdiri dan pada saat itu, Kwa Sun Tek sudah menerjangnya. Siok Eng menangkis dan dua tenaga sakti bertemu. Akan tetapi, baru saja Siok Eng memperoleh bunga hitam berdaun putih, dan ia belum sempat menyempurnakan ilmunya, maka ketika kedua lengan bertemu, iapun terjengkang dan bergulingan di atas tanah.
"Bocah lancang, berani engkau membela musuhku? Engkau layak dihajar!" bentak Kwa Sun Tek yang agaknya sudah marah sekali. Pemuda kurus itu sudah menerjang maju lagi, mengirim hantaman ke arah Siok Eng yang baru saja bangun dengan pakaian kotor terkena debu.
"Desss!!" Tubuh Kwa Sun Tek terpental kebelakang dan dia memandang dengan mata terbelalak. Kiranya yang menangkis pukulannya atau yang menyambut dorongan tangannya dengan dorongan lain dari depan itu bukan lain adalah pemuda jangkung tampan yang tadinya masih terbelenggu.
Seng Kun telah dapat melepaskan belenggunya dan membantu Siok Eng menangkis pukulan itu dengan pengerahan tenaga sinkang. Tenaga sakti Pai-hud-ciang ternyata berhasil memukul mundur tenaga sakti Asap Hio! Dan pada saat itu, Pek Lian, Bwee Hong dan A-hai juga sudah terbebas dari belenggu dan berdiri dengan sikap menantang.
Kiranya sebelum menangkis pukulan, Seng Kun juga berhasil membebaskan totokan yang mempengaruhi tubuh adiknya sehingga dengan sinkangnya Bwee Hong mampu mematahkan ikatan kaki tangannya kemudian gadis ini membebaskan Pek Lian dan A-hai. Melihat semua tawanan-nya sudah terlepas dan melihat betapa kini tenaga pemuda jangkung itu hebat sekali, Kwa Sun Tek menjadi gentar juga.
Akan tetapi, Kwa Sun Tek mengandalkan anak buahnya. "Serbu dan bunuh mereka!" bentaknya kepada anak buahnya. Akan tetapi Siok Eng juga melangkah ke depan menghadapi anak buah Tai-bong-pai.
"Siapa berani maju melawan aku?"
Tentu saja melihat puteri ketua mereka, semua anak buah atau anggauta Tai-bong-pai menjadi ketakutan dan tidak ada yang berani maju atau bergerak! Mereka takut dan taat kepada Kwa Sun Tek sebagai putera ketua mereka, akan tetapi merekapun takut kalau harus melawan puteri ketua mereka sendiri.
"Siok Eng!" Kwa Sun Tek membentak marah. "Engkau hendak berkhianat dan menghadapi Tai-bong-pai sebagai lawan? Tahu engkau apa hukumannya sebagai seorang pengkhianat? Engkau akan dikorbankan kepada arwah-arwah kalau ku-laporkan kepada ayah dan ibu tentang sikapmu membela musuh Tai-bong-pai ini!"
"Hemm, engkaulah yang akan menjalani hukuman itu kalau kulaporkan kepada ayah ibu!" Siok Eng juga membentak. "Mereka ini bukan musuh-musuh Tai-bong-pai, sebaliknya malah. Taihiap ini adalah penolongku. Dia telah menyelamatkan aku dengan mengorbankan nyawa ayah bundanya. Kalau engkau membunuhnya, berarti engkau memberontak dan berkhianat kepada ibu. Lihat baik-baik, apa yang dimilikinya ini?"
Siok Eng lalu menarik tali kalung yang tergantung di leher Seng Kun dan kini nampaklah benda yang berada di ujung kalung, yang tadinya tersembunyi di balik baju. Sebuah bendera logam dari Tai-bong-pai!
Melihat benda itu, Kwa Sun Tek terkejut sekali. Itulah bendera pusaka yang biasanya hanya dipegang dan dimiliki ayah bundanya saja. Kalau pemuda ini memilikinya, berarti bahwa dia telah dianggap sebagai orang yang sederajat dengan ketua Tai-bong-pai dan selalu harus dilindungi oleh Tai-bong-pai! Hatinya merasa penasaran dan kecewa sekali, akan tetapi di depan adiknya, dia tidak berani menentang.
Kalau dia menentang dan sampai terdengar oleh ayah bundanya, tentu dia tidak akan mampu meloloskan diri. Maka, dengan wajah bersungut-sungut dia lalu menjura kepada Seng Kun dan berkata, "Maafkan kami, karena tidak tahu telah berani mengganggu. Tai-bong-pai akan selalu melindungi pemegang bendera pusaka."
"Ah, tidak mengapa. Sebagai kakak nona Siok Eng, bolehkah kami mengenal namamu?"
Akan tetapi pertanyaan Seng Kun ini tidak dijawab karena Kwa Sun Tek telah menjura lagi dan pergi dari tempat itu setelah memberi isyarat kepada para anak buahnya yang segera membawa mayat-mayat dan peti-peti itu pergi pula meninggalkan tempat itu entah ke mana.
Setelah mereka pergi, Pek Lian memegang tangan Siok Eng. "Adik yang baik, sungguh mengerikan sekali ilmu-ilmu dari Tai-bong-pai itu. Dan melihat keadaanmu, sungguh hampir aku tidak percaya bahwa engkau adalah puteri ketua Tai-bong-pai dan adik dari si kurus yang lihai tadi."
Siok Eng menarik napas panjang. "Aku memang menjadi anak bandel dan suka melawan dalam keluarga kami, karena aku tidak menyetujui banyak hal dalam Tai-bong-pai. Karena itulah maka ayah tidak menurunkan ilmu-ilmu yang tertinggi sehingga terpaksa aku belajar sendiri sampai tersesat dan hampir mati karena salah latihan. Setelah demikian, barulah ayah bundaku menolong membimbing. Kakakku itu sebenarnya tidak jahat, menurut ukuran Tai-bong-pai dan dia taat sekali terhadap perkumpulan kami.
"Memang kadang-kadang perkumpulan kami keras dalam menghukum musuh-musuh yang merugikan kami. Tapi, ibu sebenarnya bukan wanita kejam ah, sudahlah. Semua orang tahu bahwa Tai-bong-pai adalah sebuah perkumpulan sesat dan aku adalah puteri dari ketuanya." Dara itupun menarik napas panjang lagi dan kelihatan berduka."
Melihat ini, Pek Lian menyimpangkan percakapan dan berkata, "Eh, bagaimana engkau dapat menyelamatkan diri dari lautan itu, adik Eng?"
Mereka lalu saling menceritakan pengalaman mereka semenjak mereka saling berpisah karena perahu Tai-bong-pai itu pecah terbakar. Ternyata Siok Eng dan anak buahnya berhasil menyelamatkan diri.
"Banyak anak buahku yang tewas tenggelam. Setelah kami berhasil mendarat, aku perintahkan mereka pulang memberi laporan kepada ayah tentang segala hal, dan aku sendiri lalu mencari ke sepanjang pantai kalau-kalau ada di antara kalian yang selamat. Untung aku dapat mencium bau hio itu dari jauh, kalau tidak..."
Mereka bercakap-cakap sambil melanjutkan perjalanan menuju ke sebuah kota terdekat. Kota itu adalah kota Yen-kin yang berada paling dekat dengan pantai di daerah itu. Mereka berlima memasuki sebuah restoran dan memesan hidangan. Biarpun malam telah agak larut, banyak juga tamu yang makan di situ. Semenjak mereka memasuki kota Yen-kin, sudah terasa suasana panas karena perang.
Rakyat sudah berkelompok dan terpisah-pisah, terasa ada ketegangan dan permusuhan. Agaknya bentrokan dan kerusuhan dapat saja terjadi sewaktu-waktu di kota itu. Banyak toko menutup pintunya dan yang buka memberi harga tinggi kepada barang-barang dagangan mereka.
Rakyat sudah bersiap dan mengumpulkan barang-barang untuk sewaktu-waktu dibawa pergi mengungsi. Padahal, perang baru terjadi di daerah barat dan utara, belum melanda daerah itu. Namun, suasana panas sudah terasa, bahkan percakapan-percakapan di dalam restoran, di antara para tamu yang sedang makan, juga berkisar sekitar pemberontakan-pemberontakan itu.
"Pemberontak-pemberontak itu telah merebut sebuah kota lagi!" seorang laki-laki berpakaian pedagang bercerita kepada temannya sambil menghadapi hidangan.
Lima orang muda itu saling pandang, akan te-tapi tentu saja A-hai tidak begitu memperhatikan suasana ini. Seng Kun bertukar pandang dengan adiknya. "Hemm, orang she Chu keturunan jende-ral itu agaknya kini memberontak secara terbuka," bisiknya.
"Ihh, koko, jangan memburukkan she-nya. Ingat, kitapun sekarang she Chu juga!" cela Bwee Hong.
Kakaknya menghela napas panjang. "Sayang bahwa kenyataannya demikian. Mudah-mudahan antara kita dan dia, si pemberontak itu, tidak ada hubungan darah kekeluargaan."
"Sayang bahwa kaisar banyak melakukan tindakan-tindakan yang mengecewakan hati rakyat. Kalau rakyat merasa tidak senang kepada kaisar, hal ini akan membuat mereka mudah terpancing oleh kaum pemberontak dan keadaan sungguh amat berbahaya," kata pula Bwee Hong.
Pek Lian yang mengikuti percakapan mereka, mengangguk. "Memang benar. Dan agaknya para pemberontak maklum akan hal ini dan memanfaatkannya."
Tiba-tiba Seng Kun memandang kepada Siok Eng dan bertanya lirih, "Maaf, nona. Apakah Tai-bong-pai juga melibatkan diri dalami kekeruhan negara ini?"
Dengan keras Siok Eng menggeleng kepala. "Setahuku tidak, in-kong. Tai-bong-pai adalah perkumpulan bebas yang tidak mau melibatkan diri dengan urusan di luar Tai-bong-pai."
"Tapi kakakmu?" Setelah meragu sejenak, Seng Kun melanjutkan, berpikir bahwa terhadap dara ini yang sudah dikenal wataknya, lebih baik dia berterus terang karena dara ini tentu berpihak kepadanya atau kepada yang benar.
"Dengar, nona. Perahu besar pasukan asing yang menyerang perahumu itu, ternyata berlabuh di sini dan agaknya para pemimpinnya mengadakan pertemuan rahasia dengan kakakmu. Aku merasa curiga sekali bahwa ada persekutuan rahasia antara kakakmu dengan orang-orang Mongol itu."
Siok Eng mengerutkan alisnya. "Ah, kakakku Kwa Sun Tek itu memang sejak dahulu berwatak keras dan aneh, suka memakai jalan kekerasan dan mencari menang sendiri. Entah apa lagi yang hendak dilakukannya sekarang. Biar, aku akan memberitahukan ayah agar diselidikinya dan kalau perlu dicegah perbuatannya yang akan menyeret Tai-bong-pai kepada kehancuran."
Setelah makan sambil bercakap-cakap lirih, mereka lalu mencari penginapan. Tiga orang dara itu tidur sekamar, dan dua orang pemuda itu tidur di lain kamar. Seng Kun mengatakan bahwa dia perlu untuk beristirahat dan menghimpun hawa murni untuk memulihkan seluruh tenaganya yang sudah pulih sebagian besar akan tetapi belum sepenuhnya itu.
Tiga orang dara itu masih belum tidur dan me-reka masih bercakap-caikap. Tiba-tiba Siok Eng memberi isyarat agar mereka diam. Dara puteri ketua Tai-bong-pai ini memang paling tinggi ilmunya dibandingkan dengan kawan-kawannya. Diperhatikannya suara di luar pintu dan ia mendengar langkah-langkah orang, langkah-langkah dari orang-orang yang berkepandaian! Kini Pek Lian dan Bwee Hong juga mendengarnya. Ada beberapa orang lewat di depan kamar mereka.
"Kita harus berhasil menyelamatkannya!"
Kalimat ini terdengar oleh tiga orang gadis itu dan tentu saja mereka menjadi tertarik, terutama sekali Pek Lian dan Bwee Hong yang keduanya sedang melakukan tugas rahasia, yaitu mencari ayah Pek Lian. Karena besarnya hasrat hatinya menyelamatkan ayahnya, maka mendengar kalimat itu, Pek Lian menjadi curiga dan tanpa kata-kata ia memberi isyarat kepada kawan-kawannya, kemudian iapun keluar dari dalam kamar melalui jendela.
Dua orang temannya mengikuti dan bagaikan tiga ekor burung saja, mereka berloncatan naik ke atas wuwungan rumah dan melakukan pengintaian. Mereka melihat empat orang laki-laki yang dari langkah kakinya dapat diketahui berilmu silat tinggi. Empat orang ini keluar dari rumah penginapan, dan setelah berjalan keluar kota, merekapun melanjutkan perjalanan dengan ilmju berlari cepat.
Tentu saja tiga orang gadis itu tertarik dan membayangi mereka. Tak lama kemudian, di tempat yang sunyi empat orang itu berhenti dan di situ telah berkumpul belasan orang pula. Ketika seorang di antara mereka bicara, Pek Lian menjadi girang dan juga terkejut bukan main.
"Para penyelidik kita mendengar berita bahwa Menteri Ho akan menjalani hukuman mati, dilakukan oleh perajurit-perajurit pemerintah, di luar kota Yen-tai, pada besok malam. Kita harus cepat bergerak. Yang penting, kita harus cepat memberi tahu kepada Sin-kauw Song-taihiap. Dia berada di sini."
Mendengar ucapan ini, tentu saja Pek Lian girang sekali. Ia berbisik kepada dua orang ka-wannya. "Mereka ini tentu teman Sin-kauw Song Tek Kwan, seorang di antara Huang-ho Su-hiap, yaitu seorang di antara guru-guruku. Mereka akan berusaha membebaskan ayah. Aku akan mengikuti mereka, aku ingin bertemu dengan guruku."
"Tapi, bagaimana dengan A-hai dan kakakku yang sedang mengobati dirinya di rumah penginapan itu?" tanya Bwee Hong.
"Kalian pulanglah, biar aku sendiri yang pergi," jawab Pek Lian.
"Aih, mana bisa begitu?" bantah Bwee Hong. "Aku harus menggantikan tugas kakakku."
"Biarlah aku yang kembali ke penginapan dan besok akan kuceritakan kepada in-kong tentang kepergian kalian ini," kata Siok Eng. Dua orang kawannya setuju dan puteri ketua Tai-bong-pai itupun segera meninggalkan tempat itu, kembali ke rumah penginapan.
Sementara itu, Pek Lian dan Bwee Hong segera mengikuti dan membayangi rombongan orang ga-gah yang berangkat meninggalkan tempat pertemuan di luar kota itu. Mereka memasuki hutan, mendaki bukit dan turun di sebuah lembah yang sunyi. Dan mereka itu tiba di tepi sebuah hutan kecil di mana terdapat sebuah pondok bambu sederhana.
"Song-taihiap! Kami datang dari Lembah Yang-ce!"
Seorang di antara mereka berkata ke arah pintu pondok yang tertutup. Kiranya itu merupakan kata-kata sandi untuk saling mengenal di antara para pendekar patriot. Daun pintu terbuka dan seorang laki-laki yang usianya menjelang limapuluh tahun, mukanya kecil hidungnya pesek dan muka itu kelihatan seperti muka monyet, keluar sambil membawa lampu gantung.
Melihat kakek ini, Pek Lian merasa terharu sekali dan iapun meloncat keluar dari tempat sembunyinya sambil berseru memanggil, "Song-suhu!"
Semua orang terkejut dan Sin-kauw Song Tek Kwan, orang ke empat dari Huang-ho Su-hiap, juga terkejut dan mengangkat obornya tinggitinggi sambil membalikkan tubuh memandang Pek Lian. Seketika wajahnya berseri gembira ketika dia mengenal wajah muridnya yang tercinta itu.
"Nona Ho Pek Lian !" teriaknya sambil melangkah maju menghampiri.
"Suhu!" Hubungan antara Pek Lian dan keempat orang suhunya memang akrab sekali, seperti kepada paman sendiri saja. Maka kinipun, dalam keadaan terharu, Pek Lian tidak melakukan banyak peraturan, melainkan lari menghampiri dan memegang tangan gurunya itu, matanya basah dan air mata menitik turun ke atas pipinya.
"Song suhu ah, Tan-suhu dan Liem-suhu!" Ia tidak dapat melanjutkan, lehernya seperti tercekik rasanya teringat akan kematian dua orang gurunya ketika mereka dikeroyok oleh pasukan pemerintah.
Sin-kauw (Monyet Sakti) Song Tek Kwan mengangguk-angguk. "Aku sudah tahu, aku sudah mendengar akan hal itu. Mereka berdua tewas sebagai pendekar sejati, dan darah mereka hanya menambah mengalirnya darah pendekar di bumi kita, semoga menjadi pupuk bagi tanah air. Sudahlah, seorang wanita perkasa seperti engkau ini tidak patut kalau meruntuhkan air mata, nona Ho. Siapakah kawanmu itu?" tanya Sin-kauw Song Tek Kwan sambil menunjuk kepada Bwee Hong yang juga muncul mengikuti Pek Lian.
"Ia adalah enci Chu Bwee Hong!"
"She Chu?" Sin-kauw Song Tek Kwan memotong, memandang kaget.
"Jangan khawatir, suhu. Biarpun enci Hong ini she Chu, akan tetapi tidak ada hubungannya sedikitpun juga antara ia dan Chu Siang Yu. Dan ia ini adalah pewaris dari Bu-eng Sin-yok-ong."
"Ahhh!" Si Monyet Sakti berseru takjub dan cepat menjura sebagai penghormatan terhadap gadis yang diperkenalkan sebagai keturunan Raja Tabib Sakti Tanpa Bayangan itu.
Bwee Hong cepat membalas penghormatan itu dan Sin-kauw lalu memperkenalkan dua orang gadis itu kepada teman-temannya. Semua pendekar memandang Pek Lian dengan hormat karena semua pernah mendengar nama murid Liu-twako yang telah diangkat menjadi pemimpin para pendekar, bahkan yang ayahnya amat terkenal karena ayahnya adalah Menteri Ho yang sedang dijadikan bahan per-cakapan itu.
Mereka lalu memasuki pondok untuk bercakap-cakap di dalam pondok. Berada di antara para pendekar ini Pek Lian merasa betah seperti di rumah sendiri, juga Bwee Hong merasa suka akan sikap para pendekar yang gagah itu.
"Kebetulan sekali engkau datang, nona Ho. Kami memang sedang merencanakan untuk menyelamatkan Menteri Ho, ayahmu. Kami mendengar berita bahwa Menteri Ho akan dihukum mati oleh pasukan pemerintah di luar kota Yen-tai-Maka kami berkumpul di sini dan mempersiapkan ka-wan-kawan untuk menyergap dan menyelamatkan ayahmu besok malam, sebelum pelaksanaan hukuman itu terjadi."
Mereka lalu mengatur siasat dan membagi tugas. Para pendekar itu mendapatkan tugas untuk menghubungi dan mengajak para pendekar yang berada di luar kota, dan pada besok sore sudah harus berkumpul di semua pintu gerbang kota Yen-tai. Setelah mengadakan perundingan sampai jauh malam, mereka semua beristirahat dan dua orang gadis itupun beristirahat di dalam pondok bambu, mendapatkan kamar untuk dipakai mereka berdua sedangkan para pendekar pria beristirahat di ruangan luar.
Pada keesokan harinya, mereka berpencar, ada yang pergi mencari para pendekar, dan ada pula yang langsung menuju ke kota Yen-tai yang letaknya kurang lebih duapuluh li dari situ. Pek Lian dan Bwee Hong bersama Sin-kauw Song Tek Kwan menuju ke pintu gerbang kota Yen-tai sebelah barat, di mana mereka menanti kawan-kawan dan menanti datangnya malam sambil mengintai ke arah pintu gerbang untuk melihat setiap orang yang keluar masuk.
Mereka mengenal banyak pendekar yang berdatangan, akan tetapi mereka itu hanya saling pandang dan pura-pura tidak saling mengenal, namun kesemuanya bersiap-siap tak jauh dari pintu gerbang. Demikian pula dengan para pendekar yang telah mengadakan persiapan di pintu-pintu gerbang lain dan di antara pintu-pintu gerbang ini terdapat kontak melalui kurir-kurir yang pergi datang tiada hentinya.
Malam tiba dan apa yang mereka tunggu-tunggupun terjadilah. Sebuah kereta yang jendela dan pintunya tertutup rapat keluar dari pintu gerbang barat, diiringkan oleh pasukan pengawal yang kuat. Melihat ini, Sin-kauw, Pek Lian dan Bwee Hong bergegas membayangi dan para pendekar yang berjaga di pintu-pintu gerbang lainnya segera diberi kabar dan merekapun cepat melakukan pengejaran dan ikut membayangi. Jumlah para pendekar ini lebih dari seratus orang!
Sesuai dengan rencana para pendekar, ketika kereta tiba di sebuah dataran luas, para pendekar menghadang dan mengepungnya. Lebih dari seratus orang pendekar mengepung dan menyerbu. Pasukan pengawal yang jumlahnya hanya duapuluh lima orang itu melawan. Akan tetapi tentu saja mereka kewalahan walaupun mereka merupakan pasukan pengawal pilihan karena para penyerbu itu selain berjumlah lebih besar, juga rata-rata memiliki ilmu silat yang kuat.
Para perajurit pengawal itu mundur sambil melawan sedapat mungkin, akan tetapi banyak di antara mereka yang roboh. Kereta itupun ikut dibawa mundur sampai ke lem-bah yang tak berapa jauh dari dataran itu. Ketika para pengawal itu sudah terdesak hebat dan seba gian besar di antara mereka sudah roboh, tiba-tiba saja pintu kereta terbuka dan dari dalam kereta itu muncul seorang laki-laki kurus yang memiliki gerakan gesit sekali.
Dan begitu dia meloncat keluar dan menerjang para pengeroyok, empat orang anggauta pasukan pendekar terlempar ke sana-sini, dan pada saat itu tercium bau dupa harum yang keras. Pek Lian dan Bwee Hong terkejut sekali ketika mengenal pemuda kurus yang bukan lain adalah Kwa Sun Tek, kakak dari Siok Eng, putera ketua Tai-bong-pai yang amat lihai itu.
Melihat kelihaian pihak lawan ini, Sin-kauw Song Tek segera menubruk dengan sebuah loncatan cepat. Kedua tangannya terulur hendak menceng-keram muka dan dada lawan. "Haiiiiittt!" Bentaknya dengan serangan kilat sambil melompat itu.
"Huhh!" Pemuda kurus yang kini mengenakan jubah biru itu mendengus dan kedua lengannya menangkis dari atas ke bawah.
"Desss!" Tubuh Sin-kauw Song Tek terpelanting dan dia tentu akan roboh terbanting kalau saja dia tidak memiliki kegesitan dan cepat dia menggulingkan tubuh ke atas tanah. Melihat betapa kakek itu sama sekali tidak dapat menandingi Kwa Sun Tek jagoan muda Tai-bong-pai yang lihai itu, Pek Lian dan Bwee Hong segera menerjang maju dan menyerangnya. Dua orang dara perkasa ini masih dibantu oleh beberapa orang pendekar.
Tentu saja Kwa Sun Tek merasa kewalahan dan maklum bahwa dia dikeroyok oleh orang-orang lihai, terutama dara cantik jelita Chu Bwce Hong yang memiliki ginkang istimewa itu. Maka sambil berteriak panjang Kwa Sun Tek meloncat ke belakang, lalu naik kembali ke dalam kereta yang dilarikan cepat turun ke lembah.
"Kejar! Rampas kereta itu!" teriak Sin-kauw Song Tek Kwan menganjurkan kawan-kawannya dan mereka semua melakukan pengejaran sampai ke lembah.
Kereta itu berhenti di tengah lembah dan begi-tu semua pendekar masuk lembah itu, tiba-tiba terdengar terompet disusul sorak-sorai gemuruh. Muncullah ratusan orang perajurit yang tadinya bersembunyi di balik semak-semak belukar dan tempat itu telah terkepung ketat!
"Celaka! Kita terjebak. Mundur lari!" Sin-kauw Song Tek Kwan berteriak lantang.
Namun terlambat. Tidak ada jalan keluar lagi. Pasukan yang besar jumlahnya itu sudah mengepung dan menyerbu dari segala jurusan. Para pendekar itu tentu saja melawan mati-matian dan terjadilah perang kecil di lembah itu, perang yang dahsyat dan mengerikan, kejam dan tidak mengenal ampun. Akan tetapi, biarpun para pendekar melawan mati-matian dan nekat, pertempuran itu lebih menyerupai pembantaian karena jumlah para pendekar itu kalah jauh.
Sin-kauw Song Tek Kwan sendiripun akhirnya roboh dan para pendekar itu satu demi satu roboh terluka atau tewas. Melihat ini, bukan main marahnya hati Pek Lian dan dara ini mengamuk bagaikan seekor naga dan agaknya ia akan melawan terus sampai mati kalau saja tangannya tidak disambar oleh Bwee Hong dan diajak pergi dari situ.
"Mari kita pergi, adik Lian!" teriak Bwee Hong sambil menarik dara itu dan membawanya loncat menjauh. Pek Lian hendak membantah akan tetapi Bwee Hong menyeretnya dan berkata, "Tidak perlu bunuh diri, lain waktu kita masih dapat membuat perhitungan!"
Akhirnya, dengan amukan mereka, dua orang dara itu berhasil lolos dari kepungan dan melarikan diri. Akan tetapi, diantara seratus lebih orang pendekar yang menjadi anak buah Liu-bengcu itu, tidak ada yang dapat lolos. Semua dibantai, sebagian besar tewas dan sebagian pula dengan sengaja hanya dibuntungi lengan mereka dan dibiarkan hidup untuk menyaksikan hukuman mati yang dilaksanakan di tempat itu juga terhadap seorang kakek berusia limapuluh tahun lebih yang bersikap tenang dan agung.
Kakek ini mengenakan pakaian pembesar yang sudah rompang-ramping, tubuhnya kurus, jenggot dan rambutnya panjang riap-riapan, akan tetapi pandang matanya masih tajam dan lembut. Para pendekar yang roboh terluka dan belum tewas, dengan terkejut mengenal Menteri Ho yang dibawa ke tempat itu oleh rombongan perajurit. Kemudian, para pendekar yang terluka itu hanya dapat mengucurkan air mata ketika mereka melihat betapa menteri tua yang mereka ka-gumi dan hormati itu dihukum mati dengan tusukan pedang pada lambungnya!
Tubuh tua kurus itu terkulai dan tewas mandi darahnya sendiri, menggeletak begitu saja di atas tanah yang sudah ternoda darah pertempuran tadi. Menteri yang setia dan jujur ini tewas dalam keadaan menyedihkan, tanpa upacara, bahkan pelaksanaan hukuman itupun nampaknya liar, disaksikan oleh para pen-dekar yang sudah luka-luka!
Ketika kakek bangsawan ini tewas, para perajurit bersorak dan jenazah bekas menteri itu lalu di-kubur di tempat itu juga secara sederhana, hanya dilemparkan ke dalam lubang dan ditimbuni tanah dan batu. Setelah itu, pasukan pemerintah mening-galkan tempat itu, membiarkan bekas lawan yang terluka begitu saja tanpa membunuh mereka dan ini memang merupakan perintah yang harus mereka laksanakan sebagai siasat atasan mereka.
Para pen-dekar yang dibiarkan hidup dalam keadaan terluka dan buntung kaki atau tangannya itu, menjadi saksi dari pada pelaksanaan hukuman mati terhadap diri Menteri Ho dan tentu saja para pendekar yang dibiarkan hidup ini akan menjadi corong dan terompet mereka untuk mengabarkan kepada rakyat jelata bahwa pasukan pemerintah membantai para pendekar dan menghukum mati Menteri Ho.
Siasat inilah yang dijalankan oleh Kwa Sun Tek dan sekutunya sebagai rencana yang diatur oleh pem-berontak Chu Siang Yu dalam usahanya mengadu domba antara pemerintah dan para pendekar di bawah bimbingan Liu-bengcu. Kwa Sun Tek memasuki kota Yen-tai bersama sekutunya dengan gembira sekali. Mengingat akan jasa-jasanya, maka Kwa Sun Tek lalu dijamu oleh para perwira yang menjadi utusan gubernur wilayah timur yang bersekutu dengan pemberontak Chu Siang Yu.
Dan hadir pula di situ sekutu mereka yang lain, yaitu raksasa peranakan Mongol yang bernama Malisang itu. Apa yang telah terjadi siang tadi, pembantaian para pendekar dan dilaksanakannya hukuman mati terhadap Menteri Ho di depan para pendekar yang terluka tapi belum tewas, adalah pelaksanaan dari pada siasat yang dibisikkan oleh Kwa Sun Tek pada rekan-rekan sekutunya ketika diadakan pertemuaan di antara mereka itu.
Ternyata siasat itu berjalan dengan baik sekali. Sekali pukul mereka memperoleh dua keuntungan besar. Pertama dapat menghancurkan sebagian dari pada kekuatan para pasukan pendekar yang dipimpin oleh Liu Pang, dan ke dua menanam persangkaan rakyat dan terutama para pendekar bahwa Menteri Ho dihukum mati oleh kaisar yang berarti kaisar mengingkari janji.
Hal ini pasti akan menimbulkan dendam dan tentu para pendekar akan menentang kaisar sehingga keduanya akan terpecah. Hal ini amat menguntungkan bagi usaha pemberontakan Chu Siang Yu. Dan memang kenyataannyapun demikianlah. Para pendekar yang terluka dan buntung kaki atau tangannya itu, dengan susah payah dapat melarikan diri dari lembah dalam keadaan luka parah.
Dan tentu saja mereka tidak tinggal diam dan menceritakan semua peris-tiwa itu kepada siapa saja. Dengan demikian, se-bentar saja menjadilah berita di kalangan rakyat bahwa Menteri Ho telah dihukum mati oleh kaisar, dan bahwa pasukan pendekar di bawah pimpinan Liu-bengcu telah dibantai habis-habisan oleh para perajurit pasukan pemerintah.
Pek Lian dan Bwee Hong yang berhasil meloloskan diri itu juga mendengar akan pelaksanaan hukuman mati dari Menteri Ho dan dibasminya semua pendekar. Mereka belum jauh meninggalkan tempat itu dan mereka bertemu dengan seorang pendekar yang buntung lengannya dan dari pen-dekar inilah mereka mendengar berita itu. Tentu saja Pek Lian menjadi berduka dan terkejut sekali. Ia menangis sepanjang perjalanan ketika ia dibujuk untuk kembali ke Yen-kin, di mana menunggu Seng Kun, A-hai dan Siok Eng.
Ketika Siok Eng dan Seng Kun mendengar berita buruk itu, mereka ikut merasa berduka dan penasaran sekali. A-hai yang ikut mendengarkan hanya mengerutkan alisnya, bukan karena berita itu, melainkan karena terharu dan kasihan melihat Pek Lian menangis demikian sedihnya.
"Sudahlah, enci Lian," kata Siok Eng dengan tenang. Dara ini hidup di antara kaum sesat dan sudah banyak mengalami hal-hal mengerikan, maka jaranglah ada hal yang dapat membuat darah-nya yang dingin menjadi terharu. "Kematian bukan apa-apa bagi seorang gagah."
Pek Lian menyusut air matanya dan memandang kepada gadis Tai-bong-pai itu. "Aku tidak menangisi kematian ayah, melainkan menangis karena menyesal mengapa aku sebagai anaknya tidak mampu menyelamatkan ayah di depan hidungku sendiri."
Tiba-tiba Siok Eng kelihatan marah dan mengepal tinjunya. "Hemm, kakakku yang keparat itu! Siapa kira dia melanggar pantangan Tai-bong-pai dan membiarkan dirinya menjadi kaki tangan pemerintah! Aku akan melaporkan hal ini kepada ayah dan dia pasti akan menerima hukumannya!"
Bwee Hong mengerutkan alisnya. "Aku merasa heran sekali mengapa sri baginda kaisar melanggar janji sendiri dan menjatuhkan hukuman mati juga kepada Menteri Ho."
Seng Kun sejak tadi termenung saja tidak mengeluarkan kata-kata, akan tetapi diam-diam diapun merasa heran seperti adiknya. Akan tetapi dia tetap tidak dapat percaya bahwa pelaksanaan hukuman terhadap Menteri Ho itu adalah atas perintah kaisar. Bukankah kaisar telah mengutus dia untuk mencari dan menyelamatkan Menteri Ho yang diculik orang? Tidak mungkin kalau kaisar memberi perintah lain untuk menghukum mati menteri itu.
Tentu ada hal-hal yang tidak beres dalam urusan ini. Apa lagi melihat munculnya Kwa Sun Tek, pemuda Tai-bong-pai itu yang kemarinnya telah mengadakan pertemuan di dekat pantai dengan pasukan kapal asing. Diam-diam dia merasa curiga sekali dan ingin menyelidiki apa yang sesungguhnya terjadi di balik peristiwa hu-kuman aneh itu.
"Aku harus melihat kuburan ayah dan bersembahyang di sana. Harus!!" tangis Pek Lian.
"Akan tetapi, hal itu tentu sangat berbahaya, enci!" cela Siok Eng. "Siapa tahu pasukan mengadakan penjagaan dan pengintaian dan akan turun tangan terhadap siapa saja yang berani datang bersembahyang."
"Aku tidak perduli! Kalau ada yang menggangguku, aku akan mengamuk dan biarlah aku mati di kuburan ayahku!" Kembali gadis itu menangis. Teman-temannya segera menghiburnya.
"Baik, malam nanti kita bersama pergi ke kuburan. Aku pun ingin sekali tahu apa yang sebetulnya telah terjadi," kata Seng Kun. "Kesehatanku telah pulih, tenagaku telah kembali, aku akan dapat membantumu sekarang, nona."
Mereka menanti sampai siang terganti senja. "Kuharap saudara A-hai tinggal saja di losmen ini, menanti kami pulang," Seng Kun berkata kepada pemuda sinting itu.
A-hai menggeleng kepala keras-keras. "Aku tidak suka ditinggal, aku mau ikut! Nona Bwee Hong, Pek Lian, biarkan aku ikut!"
Memang aneh pemuda sinting ini. Dia lupa segala, akan tetapi nama Pek Lian dan Bwee Hong dia tidak pernah lupa!
"Tapi kita melakukan perjalanan yang berbahaya sekali!" Siok Eng mencegah karena khawatir ka-lau-kalau terjadi sesuatu dan pemuda sinting ini tidak dapat menjaga diri, kecuali kalau sedang ku-mat. Akan tetapi siapa tahu kapan kumatnya?
"Biarpun berbahaya aku tidak takut. Biarlah kalian berempat tidak usah memikirkan aku, tidak perlu menjagaku. Apapun yang terjadi kepada diriku, aku tanggung sendiri dan tidak akan menyalahkan kalian."
Tentu saja empat orang pendekar itu tidak dapat membantah lagi. Bagaimanapun juga, mereka semua maklum bahwa kalau pemuda ini sedang kambuh, tidak ada seorangpun di antara mereka yang akan mampu menandingi kelihaiannya. A-hai gembira sekali ketika diperbolehkan dan malam itu berangkatlah mereka meninggalkan losmen dengan cepat menuju ke lembah bukit di mana terjadi per-tempuran pada siang hari tadi.
Baru saja mereka keluar dari pintu gerbang kota, serombongan orang yang berpakaian ringkas dan bersikap gesit mendahului mereka. Orang-orang itu lalu menoleh dan menghentikan langkah mereka, seorang di antara mereka menyapa lirih, "Kalian dari gunung mana?"
Tentu saja Seng Kun dan teman-temannya termangu-mangu mendengar pertanyaan ini. Mereka tahu bahwa pertanyaan itu merupakan semacam kata sandi untuk mengenal lawan atau kawan, akan tetapi karena mereka sama sekali tidak tahu arti kata sandi itu, merekapun hanya memandang bengong. Akan tetapi A-hai segera menjawab dengan nada suara lucu, tanda bahwa pemuda ini sedang bergembira dan dalam keadaan sehat, "Maaf, kami bukan dari gunung!"
Serombongan orang itu memandang dengan penuh kecurigaan, akan tetapi karena cuaca hanya remang-remang, mereka tidak dapat melihat banyak. Seng Kun dan teman-temannya juga tidak banyak cakap dan melanjutkan perjalanan dengan cepat. Di tengah perjalanan A-hai mengomel.
"Heran sekali, kenapa tiba-tiba bertanya apakah kita datang dari gunung? Eh, nona-nona, apakah orang macam aku ini kelihatan kampungan dan seperti orang gunung?" A-hai menunjuk hidungnya sendiri. Melihat sikap ini, tiga orang dara itu tertawa dan sejenak Pek Lian dapat melupakan kesedihannya.
"Engkau sepantasnya datang dari alam rahasia, A-hai!" kata Siok Eng menggoda.
Ketika mereka tiba di kaki bukit, di tepi hutan kecil nampak beberapa orang laki-laki berdiri di tepi jalan. Ketika mereka lewat, orang-orang itu menyapa mereka dengan pertanyaan yang sama, "Kalian dari gunung mana?"
Kembali rombongan Seng Kun tak dapat menjawab dan melihat betapa rombongan yang mereka sapa itu tidak dapat menjawab, merekapun cepat pergi. A-hai menggaruk-garuk kepalanya. "Duhai betapa banyaknya orang gila di dunia ini!"
Kembali kawan-kawannya tersenyum melihat sikap A-hai ini. Dia sendiri kalau sedang kumat kaya orang gila tanpa disadarinya sendiri, kini mengatakan orang lain gila.
"Agaknya ada sesuatu yang tidak wajar. Kita harus berhati-hati," kata Seng Kun menjadi marah dan tanpa banyak cakap lagi mereka berempat lalu menerjang ke depan dan mengamuk.
Biarpun para pengeroyok itu berjumlah puluhan orang, akan tetapi ternyata mereka itu merasa kewalahan menandingi amukan empat orang pendekar muda yang lihai itu. Hanya A-hai yang tidak ikut berkelahi. Pemuda ini hanya berdiri bingung dan berulang-ulang menegur dan mencela, menyuruh mereka jangan berkelahi.
Tentu saja pemuda ini akan celaka dan terluka kalau saja Bwee Hong dan Pek Lian tidak selalu melindungi-nya. Dua orang dara ini mengamuk tidak jauh dari tempat A-hai berdiri dan setiap kali ada pengeroyok berani mendekati dan menyerang A-hai, tentu mereka robohkan dengan tamparan atau tendangan.
"Tahan, jangan berkelahi!" Tiba-tiba terdengar seruan orang yang penuh wibawa dan semua pengeroyok menahan senjata dan mundur. Seorang laki-laki yang gagah perkasa, sikapnya tenang namun berwibawa, berpakaian sederhana seperti petani, mukanya agak kurus dan tubuhnya jangkung, muncul menghadapi lima orang muda itu.
Ketika melihat laki-laki gagah perkasa yang usianya antara tigapuluh lima sampai empatpuluh tahun ini, Pek Lian berteriak girang. "Suhu....!!"
"Nona Ho, tak kusangka akan dapat bertemu denganmu di sini!" kata laki-laki gagah itu yang bukan lain adalah Liu Pang atau lebih terkenal dengan sebutan Liu-twako atau Liu-bengcu. "Mari kita menjauhi tempat ini dan bicara di tempat aman."
Tanpa membantah Pek Lian lalu mengajak kawan-kawannya pergi bersama mereka, menghilang di dalam kegelapan sebuah hutan tak jauh dari lembah. Kiranya di tengah hutan ini telah didirikan sebuah pondok darurat dan Liu Pang mengajak lima orang muda itu masuk ke dalam pondok di mana dinyalakan sebuah lampu gantung.
Pek Lian memperkenalkan gurunya kepada teman-temannya. "Inilah guruku."
Seng Kun, Bwee Hong, dan Siok Eng, juga A-hai memberi hormat kepada laki-laki gagah perkasa itu dan A-hai berkata lantang, "Pantas saja nona Pek Lian gagah perkasa, kiranya gurunya juga seorang yang amat gagah!"
Mendengar ini, Liu Pang hanya tersenyum. Pemuda itu kelihatan begitu gagah, akan tetapi kejujurannya itu berbau ketololan!
"Sudah lama kami mendengar nama besar Liu-bengcu!" kata Seng Kun.
"Nona Ho, siapakah teman-temanmu ini? Semuda ini sudah memiliki kepandaian demikian hebatnya sehingga para pendekar kewalahan dibuatnya." Pendekar yang kini menjadi pimpinan rakyat itu memang selalu menyebut nona Ho kepada muridnya, hal ini tentu saja karena Pek Lian adalah puteri seorang menteri yang berkedudukan tinggi.
"Suhu, twako dan enci ini adalah Chu Seng Kun dan Chu Bwee Hong, keduanya adalah keturunan dan ahli waris dari Bu-eng Sin-yok-ong! Dan adik ini adalah Kwa Siok Eng, puteri ketua Tai-bong-pai! Sedangkan twako ini adalah eh, namanya dikenal sebagai A-hai saja. Dia sendiri lupa akan asal-usulnya, akan tetapi kalau dia sedang kesetanan, tidak ada seorangpun di dunia ini yang akan dapat melawannya!"
"Wah, wah, jangan begitu Pek Lian. Apakah aku kadang-kadang kemasukan setan?" A-hai memprotes, menimbulkan senyum mereka.
"Siancai, tak kusangka akan dapat bertemu dengan orang-orang muda yang ternyata adalah keturunan tokoh-tokoh besar yang amat hebat! Sungguh merupakan kegembiraan besar sekali. Sayang kami sedang dalam keadaan prihatin sehingga tidak dapat menyambut sepatutnya kepada cu-wi (anda sekalian). Nona Ho, bagaimana engkau dapat muncul di sini bersama sahabat-sahabatmu ini?"
Ditanya demikian, tak tertahankan lagi Pek Lian menangis. "Suhu ayah..." Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya...