Darah Pendekar Jilid 19 karya Kho Ping Hoo - LIU-BENGCU menarik napas panjang. "Aku sudah tahu akan hal itu, juga kehancuran teman-teman yang seratus lebih banyaknya, bahkan ada puluhan lain teman kita yang kini masih tertawan di Yen-tai. Karena itulah maka aku datang ke sini bersama kawan-kawan dan kami telah mengatur siasat. Ketika tadi rombonganmu lewat, kawan-kawan mengira bahwa kalian dari pihak musuh atau pihak lain yang akan mengacaukan rencana kami, maka mereka menyergap kalian."
"Aku ingin menyembahyangi kuburan ayah, suhu!"
Kembali pendekar besar itu menarik napas panjang. "Aku mengerti bagaimana perihnya hatimu, nona. Akan tetapi ayahmu tewas sebagai seorang pahlawan sejati. Kami bahkan mempunyai rencana yang lebih besar dari pada sekedar menyembahyanginya. Kami bermaksud mengambil jenazah ayahmu agar dapat kita makamkan sebagaimana layaknya."
"Ah, terima kasih, suhu!" Pek Lian berkata pe nuh semangat dan kegembiraan. "Bagaimana rencana itu? Aku akan membantu, kalau perlu berkorban nyawa menghadapi para pembunuh ayah itu!"
"Jangan terburu nafsu, muridku. Di dalam urusan ini terdapat hal-hal yang penuh rahasia. Pada mulanya aku sendiripun penasaran sekali mengapa sri baginda kaisar yang sudah mengampuni para menteri bahkan berjanji akan mendudukkan mereka kembali ke kursi mereka semula, tiba-tiba saja memerintahkan pasukan kerajaan untuk melaksanakan hukuman mati terhadap ayahmu secara liar. Akan tetapi sekarang aku mengerti dan kiranya semua ini terjadi karena ada pihak ke tiga yang hendak memberontak terhadap kaisar dan juga hendak menghancurkan kita dan merusak nama baik kita."
Liu Pang lalu menceritakan dengan singkat. Dia telah menyelidiki di rumah kepala daerah di Yen-tai dan melihat betapa pembesar itu bersama para perwira telah mengadakan perjamuan untuk menghormati orang-orang Mongol dan beberapa orang lain yang telah membantu terlaksananya siasat mereka itu. Liu Pang tidak menyebut nama Kwa Sun Tek, akan tetapi Siok Eng mendengarkan dengan jantung berdebar dan muka merah.
Dari percakapan dalam pesta itu, Liu Pang yang melakukan pengintaian itu baru mengerti bahwa pembunuhan terhadap Menteri Ho dan penyergapan yang merupakan perangkap terhadap anak buahnya adalah siasat yang direncanakan dari persekutuan pemberontak itu.
"Mereka sudah tahu pula akan gerakan rombonganku yang tiba di sekitar kota," sambung pemimpin para pendekar itu. "Dan mereka telah merencanakan siasat baru untuk menghancurkan rombonganku dengan jalan menyebar berita bahwa kuburan Menteri Ho akan dibongkar pada besok malam. Mereka berpendapat bahwa kita tentu akan mengambilnya lebih dulu sebelum malam datang dan mereka telah mempersiapkan pasukan untuk menjebak dan menyergap kita."
Seng Kun mengangguk-angguk. Tepat seperti yang diduganya. Tentu ada pihak ke tiga yang mengacau. "Maaf, Liu-bengcu, kalau boleh saya tahu. Siapakah pihak ke tiga itu? Siapakah yang meng-gerakkan persekutuan ini? Apakah pembesar setempat sini yang hendak memberontak?"
Liu Pang menghela napas panjang. "Memang belum terdapat buktinya, akan tetapi melihat cara mempergunakan siasat yang amat cerdik itu, aku mempunyai dugaan bahwa yang berada di balik semua ini tentulah otak dari Chu Siang Yu." ‖Bengcu yang bergerak di barat itu?" tanya Seng Kun.
Liu Pang mengangguk. "Aku pernah membantunya dan tahu akan kecerdikannya."
"Suhu, lalu apa yang harus kita lakukan selanjutnya?" Pek Lian bertanya.
"Pertama-tama, malam ini juga kita harus dapat mengambil jenazah ayahmu! Kita bergerak kilat sehingga mereka tidak menduga-duga. Mereka tentu mengira bahwa belum ada yang akan bergerak, baru besok setelah berita itu disiarkan. Mereka tidak mengira bahwa aku telah mendengar siasat mereka, maka kita harus mendahuluinya ma-lam ini juga."
"Baik, kami akan membantu, suhu!" kata Pek Lian mewakili teman-temannya yang tentu saja merasa setuju.
Malam telah larut ketika mereka menuju ke lembah. Di mulut lembah terdapat pasukan perajurit pemerintah berjaga-jaga di tempat gelap. Tentu saja Liu Pang dan para pendekar muda itu tahu akan hal ini dan dengan mudah mereka dapat menyelinap masuk tanpa diketahui oleh para perajurit penjaga itu. Dengan jalan memutar, melewati tebing, Liu Pang dan lima orang muda itu menuruni lembah dan ketika mereka tiba di tempat yang sunyi dan menyeramkan itu, tempat pertempuran, mereka menjadi bingung.
Di tempat itu, di tempat bekas pertempuran, nampak gundukan makam yang banyak. Puluhan banyaknya. Mereka tidak tahu, makam yang mana yang terisi jenazah Menteri Ho. Kiranya para korban telah ditanam secara kasar dan semua gundukan tanah itu sama tanpa ada tandanya sama sekali.
"Ah, bagaimana kita dapat menemukan makam ayah kalau begini?" keluh Pek Lian.
"Hemm, sungguh gila mereka itu. Tak mungkin kita harus membongkar semua makam ini untuk menemukan jenazah ayahmu," kata Liu-bengcu.
Tiba-tiba terdengar suara bisikan dan mereka semua, kecuali A-hai, terkejut bukan main karena mereka semua maklum apa artinya bisikan yang seolah-olah dibisikkan di dekat telinga mereka itu. Itu adalah pengiriman suara dari jarak jauh atau apa yang disebut Coan-im Jip-bit dan pengirimnya tentu telah memiliki khikang yang amat kuat sehingga suara dari jauh itu terdengar demikian jelas di dekat telinga masing-masing.
"Kalau kalian ingin mencari makam Menteri Ho, di sinilah tempatnya."
Liu Pang diikuti oleh lima orang muda itu lalu menghampiri ke arah datangnya suara itu, walaupun bagi orang yang kurang tajam pendengarannya suara itu tidak mempunyai arah melainkan terde-ngar di dekat telinga. Dan di dalam keremangan malam mereka melihat bayangan dua orang berdiri di dekat sebuah gundukan tanah kuburan, di bawah sebatang pohon yang tidak berdaun dimakan musim rontok. Karena tubuh mereka terselimut oleh bayangan pohon, maka kedua orang itu hanya kelihatan seperti dua tonggak hitam saja.
Maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, Liu Pang bersama lima orang muda itu melangkah maju menghampiri dengan hati-hati sekali. Setelah dekat barulah dia dapat melihat bahwa dua orang itu adalah seorang kakek yang sangat tua dan seorang muda yang gagah. Dia sama sekali tidak mengenal dua orang itu, akan tetapi Pek Lian segera berseru heran.
"Ah, kiranya Kwee-kokcu (ketua lembah Kwee) dan locianpwe!" Pek Lian meragu karena ia belum yakin benar siapa adanya kakek ini walaupun ia sudah mendengar tentang murid-murid Sin-yok-ong.
Seng Kun dan Bwee Hong belum pernah bertemu dengan murid ke tiga dari Sin-yok-ong ini, yang masih terhitung adik seperguruan kakek guru mereka, akan tetapi mereka sudah banyak mendengar tentang tokoh ini dari mendiang Bu Kek Siang dan pernah pula mendengar penuturan Pek Lian tentang pertemuan dara itu dengan kakek yang ginkangnya luar biasa itu. Maka Seng Kun sudah dapat menduga siapa adanya kakek ini, apa lagi ketika mendengar bahwa pemuda gagah itu adalah kokcu dari Lembah Yang-ce seperti yang pernah diceritakan oleh Pek Lian.
"Kam-susiok-couw, teecu Chu Seng Kun dan Chu Bwee Hong menghaturkan hormat," kata Seng Kun sambil menjura dengan sikap hormat.
Kakek yang memegang tongkat itu menatap tajam kepada Seng Kun dan Bwee Hong, lalu mengerutkan alisnya. "Kalian... kalian she Chu? Menyebutku susiok-couw? Ah, kalian inikah yang dahulu diambil anak oleh Bu Kek Siang?"
Dua orang muda itu lalu menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi kakek itu menggerakkan tongkatnya ke depan dan seperti ada tenaga sakti yang mengangkat mereka, kedua orang muda itu terpak-sa bangkit berdiri lagi dan menjura.
"Tidak perlu banyak peraturan dalam keadaan seperti ini," kata kakek itu yang segera menghadapi Liu Pang. "Aku gembira dapat bertemu dengan Liu-bengcu yang gagah perkasa."
Liu Pang cepat menjura dengan hormat. "Maafkan bahwa saya tidak mengenal nama dan julukan locianpwe, akan tetapi saya berterima kasih atas petunjuk locianpwe. Inikah makam jenazah Men-teri Ho?"
"Benar dan kalau kalian hendak membongkar, cepat-cepatlah. Para penjaga itu telah kami bikin pulas sampai pagi sehingga sementara ini kalian tidak akan ada yang mengganggu."
Maka mulailah mereka menggali lubang kuburan baru itu. A-hai tanpa diminta juga membantu dan ternyata tenaganya besar ketika dia menggali tanah dan batu itu. Juga Seng Kun bekerja keras, dibantu pula oleh Kwee Tiong Li, ketua Lembah Yang-ce atau murid dari pemberontak Chu Siang Yu yang kini menjadi murid dari kakek sakti Kam Song Ki itu. Akhirnya, jenazah itu dapat dikeluarkan dari timbunan tanah dan batu, dan ternyata jenazah itu masih utuh walaupun pakaiannya masih compang-camping. Darah dari lambungjnya telah mengering dan kakek bangsawan itu kelihatan seperti orang tidur saja.
"Ayaaaahhh!!" Pek Lian tidak dapat menahan kesedihan hatinya dan ia lalu menjatuhkan diri berlutut di dekat mayat ayahnya sambil menangis. Semua orang memandang dengan terharu ketika melihat gadis yang perkasa itu bersimpuh dan mengguguk. Seorang gadis yang malang. Keluarganya menjadi korban keadaan dan pergolakan.
Tanpa mengenal lelah, gadis ini telah menempuh segala macam bahaya dan kesukaran untuk mencari dan menyelamatkan ayahnya. Kini, ia hanya menemukan ayahnya yang sudah menjadi mayat dalam keadaan yang demikian menyedihkan.
Kakek Kam Song Ki yang juga masuk ke dalam lubang itu dan berdiri di belakang Pek Lian dengan tongkat di tangan kiri, melangkah maju dan me-nyentuh pundak gadis yang sedang menangis se-senggukan itu. "Cukup, nona. Tidak baik yang sudah mati ditangisi, tidak ada gunanya dan hanya mengeruhkan suasana dan pikiran saja."
Sentuhan di pundak itu mengandung getaran hangat dan sekaligus membersihkan pikiran Pek Lian dan membangkitkan semangatnya. Ia menoleh dan tangisnya terhenti.
"Terima kasih, locianpwe," katanya sambil bangkit berdiri. Ketika ia bangkit berdiri itulah ia berhadapan dan bertemu pandang mata dengan Kwee Tiong Li, pemuda yang juga berlutut di dekat kepala jenazah itu, memegang tongkat dan mengerutkan alisnya.
Dan pertemuan pandang mata itu mengingatkan Pek Lian siapa adanya pemuda ini. Murid kesayangan Chu Siang Yu! Dan menurut perhitungan gurunya, semua kejadian itu diatur oleh Chu Siang Yu si pemberontak. Berarti, kematian ayahnya adalah akibat perbuatan Chu Siang Yu dan pemuda ini adalah murid kesayangannya. Siapa tahu, murid inilah yang menjadi pelaksana rencana gurunya.
"Engkau harus mempertanggungjawabkan kejahatan gurumu!" bentaknya dan tiba-tiba gadis itu menyambar pedang yang tadi diletakkan di atas tanah dan dengan pedang itu diserangnya Kwee Tiong Li yang menjadi terkejut sekali.
"Trang-trang-tranggg!!" Tiga kali Tiong Li mengangkat tongkat untuk menangkis serangan pedang itu dan dia sengaja tidak mengerahkan tenaga agar pedang di tangan gadis yang sedang kalap itu tidak sampai terlepas. Sementara itu, yang lain-lain sudah cepat turun tangan melerai.
"Nona Ho, dalam keadaan seperti ini, tidak baik sembarangan saja menuduh orang," kata Liu Pang. Pemimpin inipun melihat bahwa sikap pemuda dan kakek itu tidak seperti musuh, maka diapun berhati-hati dan tidak mau menyangka orang tanpa melihat buktinya lebih dahulu.
"Nona, aku tidak tahu menahu dan tidak mencampuri urusan ini!" kata Tiong Li dengan wajah berduka.
"Nona, semenjak kita saling berpisah, Tiong Li selalu bersamaku. Dia tidak mempunyai hubungan lagi dengan segala macam pemberontakan," kakek Kam Song Ki juga menerangkan.
Pek Liian sadar akan kelancangannya, maka dengan muka merah ia memandang kepada Tiong Li sambil berkata, "Maafkan... pikiranku sedang kacau!"
Tiong Li tersenyum kasihan. "Tidak mengapa nona. Aku mengerti."
Liu Pang lalu mengeluarkan segulung kain lebar dan jenazah itu dibungkus, kemudian mereka pergi meninggalkan lembah itu. Setelah tiba di luar lembah, kakek Kam Song Ki berkata, "Kami berdua harus pergi dari sini. Selamat tinggal!" Dan sekali berkelebat, kedua orang itupun lenyap dari depan mereka.
Melihat ini, Liu Pang menggeleng-geleng ke-palanya dengan penuh kagum. "Di jaman ini masih ada orang dengan ginkang seperti itu, sungguh sukar untuk dipercaya kalau tidak melihatnya sendiri."
"Suhu, kakek itu adalah murid ke tiga dari mendiang Sin-yok-ong locianpwe," kata Pek Lian.
Liu Pang mengangguk-angguk dan menjadi semakin kagum, juga diam-diam dia merasa heran mengapa kini bermunculan keturunan dari para datuk sakti di jaman dahulu. Apakah ini menjadi pertanda akan terjadinya perobahan besar di dunia? Pemimpin ini sama sekali pada saat itu tidak pernah mengira bahwa dialah orangnya yang akan mendatangkan perobahan besar itu seperti terbukti dalam sejarah bahwa Liu Pang inilah yang kelak akan menjadi kaisar yang berkuasa penuh!
Jenazah Menteri Ho dipanggul oleh Liu Pang sendiri dan fajar telah menyingsing ketika rombongan itu tiba kembali di dalam hutan, di mana para pendekar berkumpul. Jenazah itu dengan upacara sederhana namun penuh hormat, menerima penghormatan para pendekar itu, kemudian diperabukan.
Setelah upacara penyempurnaan jenazah Men-teri Ho selesai, pada pagi hari itu juga Liu Pang mengadakan musyawarah dengan para pimpinan pendekar, dihadiri pula oleh Pek Lian, Bwee Hong, Siok Eng, Seng Kun, dan A-hai. Sebelum musyawarah dimulai, Liu Pang yang sudah mendengar keterangan muridnya tentang kawan-kawan muridnya itu berkata,
"Saudara sekalian hendaknya maklum bahwa Chu-taihiap ini dan adiknya, adalah dua orang utusan pribadi sri baginda kaisar..."
"Ahhh!!" Beberapa orang pendekar kaget dan memandang dengan mata terbelalak.
Liu Pang mengangkat tangan menyuruh mereka tenang. "Harap kalian tenang. Mereka ini adalah putera dan puteri dari Bu Hong Sengjin kepala kuil istana Thian-to-tang yang berpihak kepada para menteri yang baik. Dan mereka ini diutus oleh kaisar untuk menyelamatkan Menteri Ho. Jadi, pekerjaan mereka ini sama sekali tidak bertentangan dengan perjuangan kita."
Mendengar ini, para pendekar itu mengangguk-angguk dan tidak menjadi gelisah lagi.
"Dan nona Kwa Siok Eng ini adalah puteri dari ketua Tai-bong-pai!"
Kembali para pendekar menjadi terkejut dan gelisah. "Pemuda kurus yang bernama Kwa Sun Tek itupun putera ketua Tai-bong-pai dan dia membantu persekutuan pemberontak!"
"Kwa Sun tek adalah kakak kandungku, akan tetapi dia menyeleweng dari peraturan Tai-bong-pai yang tidak membolehkan semua anggautanya melibatkan diri dengan urusan orang lain, apa lagi urusan pemberontakan. Jadi, kalau dia bersalah, harap kalian jangan melibatkan Tai-bong-pai yang tidak tahu apa-apa, itu adalah kesalahan pribadinya."
Keterangan nona itu cukup jelas dan dapat diterima karena orang-orang muda itu adalah sahabat-sahabat dari nona Ho Pek Lian, maka merekapun dapat mempercaya keterangan gadis Tai-bong-pai itu.
"Dan saudara A-hai ini adalah seorang sahabat yang sudah banyak membantuku." Pek Lian melanjutkan keterangan gurunya karena tidak ada seorangpun di antara mereka yang tahu betul siapa sebenarnya pemuda aneh ini. Bahkan orangnya sendiripun tidak tahu asal-usulnya sendiri.
Musyawarah lalu dimulai. "Jelaslah bahwa gubernur wilayah ini telah bersekongkol dengan pasukan asing yang dipimpin oleh orang Mongol. Mereka itu akan menjebak kita di lembah malam ini dan mengharapkan kita akan datang merampas jenazah. Kita telah berhasil mendahului mereka dan makam itu telah kita tutup kembali sedangkan para penjaga itu dalam keadaan pulas akibat bantuan kakek sakti sehingga mereka tidak tahu bahwa jenazah telah kita rampas.
"Adanya pasukan asing itu sungguh amat berbahaya bagi negara kita, maka kewajiban kita adalah untuk menghancurkan pasukan asing itu. Dan kalau bala tentara kerajaan yang berada di bawah kekuasaan para pembesar setempat membantu pasukan asing, berarti mereka itu, adalah pengkhianat-pengkhianat yang harus kita hancurkan pula."
Dengan panjang lebar Liu Pang lalu memberi gambaran keadaan di waktu itu. Bahwa ada kekuatan lain yang memberontak terhadap kaisar, yang bersekongkol dengan pasukan asing. "Kita bukan membela kaisar pribadi, melainkan membela negara agar tidak dicengkeram oleh para pemberontak yang mementingkan diri pribadi untuk merampas kedudukan, juga harus menghancurkan pasukan asing agar jangan menduduki tanah air kita. Kalau perlu, kita rampas dusun dan kota yang berada di bawah kekuasaan bala tentara pemerintah yang memberontak dan bersekongkol dengan pasukan asing."
Demikian antara lain dia berkata. Mereka lalu mengatur siasat. Jumlah anak buah Liu Pang yang telah berkumpul di sekitar tempat itu tidak kurang dari tigaratus orang. Karena dia tahu bahwa kekuatan pasukan penjaga kota Yen-tai dan pasukan asing akan dikerahkan untuk menjebak mereka di lembah itu sehingga kota Yen-tai akan ditinggalkan kosong atau tidak terjaga kuat, dia mengambil keputusan untuk menyerbu dan menduduki kota Yen-tai!
"Kita pecah kekuatan kita menjadi dua. Muridku, nona Ho ini memimpin para sahabatnya yang berilmu tinggi dibantu oleh belasan orang yang memiliki kepandaian tinggi, pergi ke lembah malam ini, pura-pura hendak mengambil jenazah. Hal ini akan menarik seluruh perhatian dan pemusatan kekuatan musuh ke lembah. Sementara itu, sisa seluruh kekuatan kita akan kupimpin sendiri menyerbu kota Yen-tai, mendudukinya dan membebaskan ratusan teman-teman kita yang tertawan."
Sehari itu, para pendekar ini mengatur siasat dan membagi-bagi pekerjaan. Ada pula yang bertugas memancing perhatian musuh dengan menyelidiki keadaan lembah sehingga menimbulkan kesan bahwa malam nanti para pendekar hendak mendahului pasukan pemerintah membongkar makam! Sementara itu, diam-diam beberapa orang anggauta rombongan yang berkepandaian tinggi melakukan penyelidikan ke kota Yen-tai dan melihat gerak-gerik dan gerakan pasukan di kota itu.
Memang tepat dugaan Liu Pang seperti yang telah dipaparkan kepada teman-temannya. Setelah menyebar berita desas-desus bahwa malam itu pasukan hendak membongkar makam Menteri Ho, dan setelah melihat adanya orang-orang yang melakukan penyelidikan ke makam, maka pasukan pemerintah dibantu oleh pasukan asing dipusatkan ke sekeliling lembah.
Lembah itu seperti mereka kepung untuk menanti datangnya rombongan pendekar untuk menjebak dan membinasakan mereka seperti yang telah dilakukan kemarin. Dan karena pemusatan kekuatan ke lembah itu, maka kota Yen-tai hanya dijaga oleh pasukan kecil saja.
Setelah rencana diatur matang berangkatlah Pek Lian bersama Seng Kun, Bwee Hong, Siok Eng dan tidak ketinggalan pula A-hai, disertai pula oleh beberapa orang pendekar sehingga jumlah mereka ada limabelas orang menuju ke lembah. Mereka itu sengaja mengambil jalan menyusup-nyusup seperti orang-orang yang sungguh-sungguh hendak melakukan pekerjaan rahasia, memasuki lembah.
Tentu saja gerakan mereka itu diketahui oleh pasukan yang sudah berjaga-jaga dan para pemimpin pasukan sudah menggosok-gosok tangan dengan gembira dan puas, merasa betapa siasat mereka berhasil baik dan para pendekar telah berdatangan ke lembah. Mereka itu percaya bahwa yang datang tentu banyak pendekar, tentu dengan jalan menyusup-nyusup dari berbagai jurusan.
Para pemimpin pasukan itu menanti sampai tidak nampak lagi adanya musuh yang menyusup memasuki lembah. Cuaca mulai remang-remang karena senja telah mendatang ketika lembah yang sunyi itu tiba-tiba menjadi gempar oleh suara terompet sebagai tanda bagi pasukan-pasukan itu untuk menyerbu ke dalam lembah. Dan mereka itu dihadapkan pada suatu kenyataan yang membingungkan!
Ternyata yang berada di dalam lembah itu hanya ada lima belas orang saja, di antaranya malah tiga orang gadis cantik. Dan empatbelas orang di antara mereka, karena yang seorang biarpun nampak gagah perkasa hanya tinggal diam saja, sudah menyambut pasukan dengan senjata pedang di tangan, lalu empatbelas orang pendekar itu menerjang dan mengamuk.
Dan biarpun yang terjadi kemudian adalah sebuah pertempuran yang terlalu berat sebelah, empatbelas orang melawan beratus-ratus perajurit pemerintah yang dibantu oleh perajurit-perajurit asing, namun para perajurit itu benar-benar merasa kecelik karena ternyata bahwa empatbelas orang ini lihai bukan main dan dalam waktu singkat saja sudah ada puluhan orang perajurit yang roboh!
Melihat ini, para pimpinan pasukan cepat merobah siasat dan tak lama kemudian, yang maju mengeroyok hanyalah perajurit-perajurit yang pandai ilmu silat dibantu oleh perwira-perwira yang lihai. Juga mereka ini mempergunakan senjata panjang seperti tombak dan toya agar tidak usah terlalu berdekatan dengan para pendekar yang lihai itu.
Setelah diadakan siasat seperti ini, ditambah pula dengan bantuan para perajurit yang luar biasa banyaknya, mulailah para pendekar itu terdesak dan terhimpit! Pek Lian melihat keadaan yang tidak menguntungkan. Memang, mereka telah berhasil merobohkan banyak lawan, akan tetapi pihaknya mulai terdesak dan ada dua orang pendekar yang sudah menderita luka cukup parah sehingga mereka itu mulai lemah.
Tugas pasukan kecil ini memang hanya untuk memancing dan mengalihkan perhatian, agar musuh memusatkan kekuatan di lembah ini sementara Liu Pang dan pasukannya menyerbu kota. Akan tetapi untuk menyuruh teman-temannya mundur, Pek Lian khawatir kalau-kalau hal itu akan menggagalkan usaha gurunya. Ia harus dapat bertahan selama mungkin dan baru setelah melihat tanda rahasia gurunya, yaitu sorak-sorai dan panah api ke udara ia boleh meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi, keadaan pasukannya yang kecil mulai terhimpit dan hanya ia sendiri, Siok Eng, Seng Kun dan Bwee Hong sajalah yang masih kelihatan segar. Namun, berapa lama mereka akan dapat bertahan menghadapi lawan yang begini banyaknya?
Tiba-tiba Pek Lian teringat kepada A-hai. Pemuda ini masih berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat menyaksikan pertempuran. Ia tahu bahwa pemuda itu amat membenci perkelahian dan merasa ngeri kalau melihat darah. Darah! Itulah yang akan membuat A-hai kumat dan kalau pemuda itu kumat dan ia dapat mempergunakan kedahsyatan kepandaian A-hai, tentu ia dan kawan-kawannya akan dapat tertolong dan pertahanan itu dapat dilakukan cukup lama sehingga gurunya mendapatkan kesempatan cukup banyak untuk melakukan penyerbuan ke kota Yen-tai.
Pada saat itu, sebatang tombak menyambar dan menusuk ke arah lambungnya dari kanan. Pek Lian membiarkan saja tombak itu lewat, hanya miringkan sedikit tubuhnya dan begitu nampak bayangan tombak lewat, cepat ia menangkap batang tombak dengan tangan kirinya, lalu membetot dengan pengerahan sinkang dan berbareng tubuhnya membalik ke kanan, pedangnya menyambar dan terdengarlah pekik mengerikan ketika lawan yang memegang tombak itu roboh dan darah muncrat dari dadanya. Pek Lian melangkah maju dan sengaja membiarkan tangan kirinya terkena percikan darah yang cukup banyak. Setelah itu, sekali loncat ia telah mendekati A-hai yang memandang dengan mata terbelalak.
"A-hai bantulah aku!" kata Pek Lian sambil menangkap lengan kanan pemuda itu dengan tangan kirinya yang bernoda darah.
"Ah, aku.... aku tidak berani, Pek Lian... aku tidak suka berkelahi" jawab A-hai menggelengkan kepalanya.
"Lihat, lenganmu berlepotan darah, A-hai!" Tiba-tiba Pek Lian menepuk lengan itu dengan keras dan begitu A-hai melihat ke arah lengannya, seketika wajahnya menjadi pucat, matanya terbelalak, dan tubuhnya gemetaran.
"Darah....! Darah...! Ahhh, ibuuuu... darah... darah...!!" Makin keras tubuh itu gemetar dan kini dengan hati ngeri Pek Lian mendengar suara berkerotokan di seluruh tubuh pemuda itu!
Pada saat itu, dua orang musuh sudah menerjang Pek Lian dari kanan kiri, menggunakan golok mereka. Kedua orang ini adalah perwira-perwira musuh yang cukup lihai. Pek Lian yang sudah melihat betapa terjadi perobahan pada diri A-hai, cepat mengelak sambil menarik lengan A-hai ke arah dua orang penyerang itu dan berkata, "A-hai, tolonglah aku!"
"Bresss....!" Tubuh A-hai bertemu dengan terjangan kedua orang itu dan sebatang golok menghantam pundaknya, akan tetapi golok itu mental dengan keras seperti bertemu baja.
"Aku menolongmu, Pek Lian, aku menolongmu!" A-hai berkata di antara tangisnya dan sekali kedua tangannya merenggut, dia sudah menjambak rambut dua orang perwira itu dan mengadu kepala mereka.
"Prakkk...!" Pecahlah dua kepala perwira itu dan A-hai melontarkannya ke depan, lalu diapun mengamuk! Siapa saja yang dekat dengan dia, tentu terkena sambaran angin pukulannya yang cukup membuat orang terlempar, terbanting dan semaput! Semua senjata yang mengenai dirinya, mental seperti mengenai baja sehingga tentu saja keadaan menjadi geger!
Akan tetapi celakanya, A-hai tidak memandang bulu. Ketika dia kebetulan dekat dengan Seng Kun, diapun menghantam dan Seng Kun yang sudah tahu akan kehebatan pemuda ini, cepat menggulingkan tubuhnya karena untuk mengelak sudah tidak keburu lagi. Diapun terguling-guling dan meloncat bangun dengan muka pucat, maklum betapa berbahayanya pukulan A-hai tadi. Pek Lian cepat mendekati Bwee Hong.
"Enci, mari kita bujuk dia agar membantu kita dan jangan menjauh dari kita!"
Wajah Bwee Hong berobah merah dan mengangguk, lalu menerobos di antara hujan senjata itu mendekati A-hai. "A-hai, bantulah aku!" Pek Lian berseru.
"Pek Lian, aku membantumu!" A-hai berkata seperti orang mimpi dan diapun menubruk ke arah seorang Mongol tinggi besar yang mengeroyok Pek Lian.
Orang Mongol itu bertubuh raksasa dan nampak kuat sekali, maka melihat A-hai menubruknya, dia menyeringai lebar dan kedua lengannya yang panjang dan besar itu segera diulur dan menangkap. Tangan kanan dengan jari-jari panjang besar itu mencengkeram pundak dan tangan kiri mencengkeram bahu, kemudian raksasa Mongol yang menjadi ahli gulat itu mengerahkan tenaga hendak mengangkat tubuh lawannya yang jauh lebih kecil darinya itu untuk kemudian dibanting.
Akan tetapi, tubuh kecil itu tidak bergoyang sedikitpun juga, jangankan terangkat! Si Mongol mendengus-dengus mengerahkan kekuatannya, dari mulutnya terdengar suara ah-ah-uh-uh dan mukanya menjadi merah, otot-ototnya menggembung seperti orang sakit perut tak dapat buang air besar dengan lancar.
Tadinya A-hai yang sedang kumat itu agaknya bingung dan heran mengapa orang ini memeluk-meluknya, seperti tidak mengajak berkelahi, kemudian agaknya dia merasa bosan dan sekali kedua tangannya menangkap pinggang yang besar itu dan membentak, tubuh raksasa itu terangkat ke atas, kemudian dibanting.
"Brukkk...!!" Tubuh besar itu terbanting keras dan berkelojotan, mengeluarkan suara tidak karuan dan orang itupun sekarat karena tulang punggungnya patah ketika terbanting tadi.
"A-hai, bantulah aku...!" Bwee Hong mencoba untuk berteriak setelah dianjurkan oleh Pek Lian. Dara inipun sedang menandingi pengeroyokan empat orang lawan.
"Bwee Hong, aku membantumu!" teriak A-hai dan sekali meloncat, diapun sudah menggerakkan kedua tangan mendorong dan dua orang pengeroyok Bwee Hong terjengkang dan muntah darah, tewas tanpa tersentuh tangan pemuda itu sedikitpun juga!
Ternyata A-hai dalam keadaan kumat itu masih teringat kepada Pek Lian dan Bwee Hong. Pek Lian berteriak kepada Siok Eng dan Seng Kun untuk mencoba pula. Akan tetapi ketika dua orang ini minta bantuan A-hai, pemuda sinting itu sama sekali tidak menjawab, bahkan dengan bingung dia menyerang Siok Eng dengan dorongan tangan kirinya. Angin pukulan dahsyat menyambar ke arah gadis itu.
"Ilihhhh...!" Siok Eng berseru kaget dan karena melihat tidak ada kesempatan menghindar lagi, puteri ketua Tai-bong-pai inipun lalu menggunakan kedua tangannya menolak dan biarpun belum sempurna, tenaga sakti Asap Hio melindunginya dan dari kedua tangannya meluncur uap putih. Bagaimanapun juga, tetap saja ketika dua tenaga sakti bertemu, tubuh dara ini terguling dan untung ia cepat menggulingkan tubuhnya ke kiri dan meloncat bangun dengan muka pucat.
Karena maklum bahwa A-hai hanya mengenal ia dan Bwee Hong, Pek Lian lalu mengeluarkan saputangan kuning dan merobek-robeknya, membagi-bagikan robekan kain kuning itu kepada semua anggauta rombongannya yang masih sibuk menghadapi pengeroyokan banyak musuh dan menyuruh mereka memasang kain kuning itu pada rambut masing-masing.
"A-hai, jangan menyerang teman yang memakai kain kuning di rambutnya!" Demikian Pek Lian dan Bwee Hong berseru kepada A-hai.
"Baik...!!" jawab A-hai dan kini pemuda itu mengangguk sambil melihat ke arah rambut setiap orang yang digempurnya.
Gegerlah keadaan di tempat itu dan terpaksa para pimpinan dua pasukan itu mengerahkan orang-orangnya yang terpandai karena para pendekar itu, terutama pemuda tinggi tegap yang mengamuk secara menggiriskan itu, merupakan lawan yang amat lihai dan tangguh. Setelah A-hai mengamuk, rombongan itu tidak begitu terdesak lagi. Bahkan pasukan itu kocar-kacir dan sebagian besar dari mereka menjadi gentar sekali dan menjauhkan diri.
Sementara itu, di kota Yen-tai juga terjadi hal yang amat hebat. Liu Pang dengan pasukannya yang terdiri dari para pendekar dan berjumlah sekitar tigaratus orang menyerbu gedung kepala daerah. Serangan ini terjadi amat tiba-tiba karena para pendekar itu telah menyelundup dengan diam-diam ke dalam kota. Tentu saja kota menjadi geger.
Pasukan pengawal dan penjaga melakukan perlawanan, dipimpin sendiri oleh pembesar yang menjadi kepala daerah Yen-tai. Namun, para pendekar yang dipimpin oleh Liu Pang itu ternyata jauh lebih kuat dan kepala daerah itu terpaksa melarikan diri dikawal oleh pasukan pengawalnya, menuju ke kota gubemuran.
Liu Pang membebaskan para tawanan sehingga kini jumlah mereka mendekati limaratus orang dan mereka segera menduduki kota, melakukan penjagaan di pintu-pintu gerbang dan rakyat menyambut mereka dengan gembira. Mereka ini memperoleh simpati dari rakyat oleh karena sikap para anak buah pasukan Liu Pang ini memang gagah perkasa dan sopan.
Mereka adalah pendekar-pendekar dan terdiri dari rakyat jelata pula, maka tentu saja mereka tidak mau mengganggu rakyat. Liu-Pang lalu memerintahkan anak buahnya untuk melepas panah-panah berapi sebagai tanda keberhasilan mereka kepada Pek Lian dan kawan-kawannya yang bertugas di lembah.
Melihat panah-panah berapi itu meluncur di udara arah kota Yen-tai, dibarengi sorak-sorai para pendekar dan rakyat, Pek Lian gembira bukan main. "Suhu berhasil! Mereka telah menduduki kota Yen-tai!!"
Sebaliknya, pasukan yang mengeroyok mereka terkejut sekali. Para pimpinan mereka lalu memerintahkan mereka untuk meninggalkan lembah. Apa lagi, para pendekar yang berada di lembah itu hanya limabelas orang saja, tidak cukup berharga untuk dibasmi, kalaupun mereka mampu melakukannya karena para pendekar itu benar-benar lihai bukan main. Amukan mereka itu telah merobohkan puluhan orang perajurit.
A-hai tetap mengamuk biarpun para perajurit telah mengundurkan diri. Para pendekar melihat dengan penuh takjub. Bahkan Seng Kun sendiri memandang dengan mata terbelalak. Pemuda itu memang hebat bukan main. Kini pemuda itu bersilat secara aneh, gerakannya mantap, kedua kakinya bergeser-geser ke depan, bukan melangkah dan kedua tangannya memukul-mukul ke depan dengan telapak tangan terbuka.
"Set-set-settt!" kedua kaki itu bergeser ke depan dan ketika kedua tangan itu memukul-mukul dengan dorongan kuat, nampak hawa yang seperti sinar putih keluar dari kedua telapak tangan dan tiap kali kedua telapak tangan itu bergesekan, terdengar suara meledak dan nampak seperti ada bunga api berpijar! Tangan kanan itu meluncur ke kanan, ke arah bayangan hitam yang mungkin dianggap musuh oleh A-hai.
"Braaaakkkk !" Dan robohlah sebatang pohon besar. A-hai memukul ke kiri sambil membalikkan tubuh, menghantam ke arah bayangan hitam, lain. "Blaarrrr!" Sebongkah batu karang besar pecah berantakan dan terguling!
"Bukan main! Itu agaknya Thai-lek Pek-kong-ciang!" kata Seng Kun dengan takjub. Dia pernah mendengar cerita dari Bu Kek Siang tentang ilmu pukulan mujijat itu akan tetapi belum pernah menyaksikannya. Dan kalau sekarang pemuda sinting itu mampu melakukan ilmu pukulan mujijat itu sedemikian baiknya, maka asal-usul pemuda itu sungguh menjadi semakin menarik dan penuh rahasia.
Pek Lian yang maklum bahwa kalau dibiarkan berlarut-larut, keadaan A-hai bisa berbahaya, lalu menggandeng tangan Bwee Hong dan mendekati pemuda itu. Keduanya membujuk, "A-hai, lihatlah kami... jangan mengamuk lagi, jangan berkelahi lagi, sudah tidak ada musuh yang harus dilawan!"
A-hai menghentikan permainan silatnya, memandang kosong kepada dua orang dara itu dan nampak bingung. "Jangan berkelahi..... jangan membunuh..... ahhh.. Pek Lian..... Bwee Hong, jangan berkelahi..." Dan diapun menjatuhkan diri berlutut dan tubuhnya menjadi lemas.
Mereka lalu kembali ke kota Yen-tai dan disambut oleh Liu Pang sendiri yang memuji mereka sebagai orang-orang yang telah berhasil menunaikan tugas penting. "Kita harus terus melakukan pengejaran dan menyerbu kota Yen-kin, menangkap gubernur yang bersekutu dengan pasukan asing itu," katanya dan merekapun bersiap-siap.
Kemenangan Liu Pang dan pasukannya ini disambut gembira oleh rakyat dan banyaklah rakyat di sekitar daerah itu yang berdatangan dan masuk menjadi anggauta suka rela! Bahkan banyak pula bekas-bekas perajurit pasukan pemerintah yang menyeberang dan membantu gerakan Liu Pang yang hendak melakukan pembersihan terhadap para pengkhianat dan pasukan asing.
Pada kesokan harinya, Liu Pang memimpin pasukannya yang menjadi semakin besar jumlahnya itu menuju ke Yen-kin. Chu Seng Kun dan Chu Bwee Hong ikut membantu karena kakak beradik ini maklum bahwa gerakan Liu Pang itu adalah untuk membantu pemerintah menghancurkan para pengkhianat yang hendak memberontak dan yang bersekutu dengan pasukan asing.
Di sepanjang perjalanan menuju ke Yen-kin, berbondong-bondong rakyat dan perajurit kerajaan yang menyeberang menyambut dan masuk pula menjadi sukarelawan untuk mengusir pasukan asing dan menghajar pasukan pemerintah yang hendak memberontak dan berkhianat. Apa lagi karena semua orang mendengar bahwa Liu Pang adalah seorang pemimpin rakyat yang sejati, yang datang dari kalangan rakyat petani. Demikian banyaknya rakyat mendukung sehingga jumlah pasukan itu setelah tiba di Yen-kin sudah mencapai hampir sepuluh ribu orang!
Ternyata Gubernur Ci yang berkuasa di propinsi bagian timur (sekarang Shan-tung) itu telah menerima pelaporan kepala daerah Yen-tai dan sudah bersiap-siap dengan pasukannya, dibantu pula oleh pasukan asing yang dipimpin oleh Malisang, raksasa peranakan Mongol itu. Juga ada pula pasukan yang menjadi anak buah pemberontak Chu Siang Yu, yang dibantu oleh Kwa Sun Tek tokoh Tai-bong-pai bersama anak buahnya, yaitu anggauta-anggauta Tai-bong-pai yang dibawa menyeleweng oleh Kwa Sun Tek, bersekutu dengan para pemberontak untuk mencari kedudukan.
Gubernur Ci merasa yakin akan dapat menghancurkan pasukan pimpinan Liu Pang yang dianggap sebagai penghalang cita-citanya itu karena dia menerima laporan bahwa pasukan yang menyerbu Yen-tai itu hanya berjumlah tigaratus orang lebih. Padahal, pasukan keamanan di daerahnya yang dikumpulkan itu berjumlah limaribu orang, belum lagi ratusan orang pasukan asing dan pasukan pemberontak Chu Siang Yu.
Jumlah pasukannya tidak kurang dari enamribu orang. Mana mungkin musuh yang hanya tigaratus orang lebih itu akan mampu menandingi enamribu orang? Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa dalam waktu singkat, rakyat dan para perajurit yang menyeberang berbondong-bondong menjadi sukarelawan dan kini pasukan Liu Pang berjumlah selaksa orang!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya Gubernur Ci dan para sekutunya ketika mendengar bahwa Liu Pang datang dengan pasukan yang mendekati selaksa orang jumlahnya! Terjadilah perang yang dahsyat di luar kota Yen-kin. Perang yang memakan waktu setengah hari lebih. Akan tetapi karena Liu Pang dibantu oleh orang-orang gagah, walaupun sekali ini A-hai tidak ikut berperang, dan juga karena jumlah pasukan Liu Pang jauh lebih banyak, akhirnya pasukan gubernur itu lari cerai-berai dan banyak yang tewas. Gubernur dan sekutunya terpaksa melarikan diri ke utara dan kota Yen-kin diduduki oleh Liu Pang.
Karena maklum bahwa di depan terdapat bala tentara kerajaan yang kuat dan pula dia harus membiarkan pasukannya beristirahat, Liu Pang tidak melakukan pengejaran dan mengatur kota Yen-kin yang didudukinya itu, mengatur penjagaan dan menyebar para penyelidik untuk menyelidiki keadaan musuh yang melarikan diri ke arah kota Cin-an.
Gubernur Ci adalah seorang yang cerdik, apalagi dia adalah sekutu pemberontak Chu Siang Yu yang telah memberi rencana siasat kepadanya. Begitu melarikan diri dari Yen-kiri, gubernur ini bersama pasukan pengawalnya dan pasukan-pasukan lain yang melarikan diri, langsung menuju ke Cin-an dan mendatangi Lai-goanswe yang menjadi panglima yang berkuasa atas benteng dan bala tentara kerajaan di daerah timur.
Gubernur itu lalu memberi laporan dan tentu saja dia memutar-balikkan kenyataan. Dia melaporkan bahwa pemberontak Liu Pang melakukan gerakan tiba-tiba di timur, menduduki kota Yen-tai dan Yen-kin, dan kini mengumpulkan barisan pemberontak yang jumlahnya selaksa orang dan hendak bergerak ke barat.
Mendengar laporan ini, Lai-goanswe (Jenderal Lai), terkejut sekali. Tentu saja dia sudah mendengar nama besar Liu Pang sebagai pemimpin rakyat, sebagai bengcu yang mengepalai para pendekar dan yang ikut memprotes tindakan-tindakan kaisar terhadap ditangkapnya para menteri. Dan dia juga maklum bahwa Liu Pang adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi, seorang pendekar dan jagoan pedang yang disuka oleh para pendekar kang-ouw.
Baru pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh Chu Siang Yu dan yang bergerak di daerah barat saja sudah amat memu-singkan, apalagi kalau Liu Pang kini memberontak pula. Lai-goanswe adalah seorang jenderal berusia empatpuluh lima tahun yang pandai dan juga gagah perkasa, merupakan pembantu utama dari Jenderal Beng Tian dan seorang perajurit sejati yang tidak melibatkan diri dengan politik, dan hatinya bulat menjunjung tugasnya, yaitu membela negara dan mentaati perintah atasan.
Begitu mendengar tentang pemberontakan Liu Pang, Lai-goanswe cepat mempersiapkan pasukannya yang selaksa orang jumlahnya. Dan diapun mempergunakan sisa pasukan dari Gubernur Ci untuk memperkuat pasukannya. Akan tetapi tentu saja ketika menghadap Jenderal Lai, Gubernur Ci sama sekali tidak bercerita tentang persekutuannya dengan Chu Siang Yu, apa lagi dengan bantuan pasukan asing! Dan jenderal itupun tidak tahu sama sekali bahwa dia telah ditipu dan diadu domba dengan Liu Pang oleh Gubernur Ci.
Tentu saja Liu Pang terkejut bukan main melihat pasukan besar Jenderal Lai datang dan menyambutnya dengan serangan. Dia sama sekali tidak bermaksud melawan pasukan pemerintah. Semua yang dilakukan hanyalah membasmi pasukan asing dan menentang para pejabat yang bersekutu dengan orang-orang asing. Akan tetapi, sudah tidak ada waktu lagi. baginya untuk menjernihkan kesalahpahaman ini. Pasukan Jenderal Lai sudah datang menyerbu.
Bahkan diam-diam Liu Pang menjadi penasaran sekali dan mengira bahwa memang kaisar berhati palsu dan bercabang, di satu pihak pura-pura membetulkan kesalahannya dan hendak mengangkat kembali para menteri jujur, di lain pihak menggunakan tangan besi menentang para pendekar patriot Maka Liu Pang lalu mela-wan dan mengerahkan pasukannya.
Pertempuran yang amat dahsyat dan seru terjadilah di luar kota Cin-an. Setelah kedua pihak kehilangan banyak perajurit, pasukan kerajaan terdesak sehingga terpaksa mundur dan melakukan pertahanan di dalam kota yang dikepung oleh pasukan Liu Pang. Di luar kehendaknya sendiri, Liu Pang mulai hari itu secara resmi dianggap sebagai pemberontak oleh kerajaan.
Bentrokan langsung dengan pasukan pemerintah ini membuat Chu Seng Kun dan Chu Bwee Hong merasa kikuk dan bingung. Tidak mungkin mereka dapat membantu Liu Pang dan pasukannya untuk menentang pemerintah sendiri! Ayah mereka, Pangeran Chu Sin yang kini telah menjadi kepala kuil istana yang berjuluk Bu Hong Sengjin, adalah seorang anggauta keluarga istana yang penting.
Seng Kun sendiri menerima tugas dari kaisar untuk mencari Menteri Ho, berarti diapun seorang utusan dan petugas kaisar bagaimana mungkin dia berada di dalam pasukan para pendekar yang kini telah digempur pasukan pemerintah sebagai pemberontak? Seng Kun tidak dapat menyalahkan Liu Pang dan dia dapat memaklumi bahwa sesungguhnya bukanlah kehendak Liu Pang dan pasukannya untuk memberontak.
"Liu-bengcu, harap maafkan kami berdua. Dalam kedudukan saya sebagai utusan kaisar yang berarti bahwa saya adalah seorang petugas kerajaan, keadaan sekarang ini tentu tidak memungkinkan saya untuk terus berkumpul dengan pasukan bengcu lebih lama lagi. Kami berdua akan kembali ke kota raja dan membuat laporan tentang apa yang terjadi atas diri Menteri Ho."
Liu Pang menarik napas panjang dan nampaknya menyesal sekali. "Sungguh kami sendiri tidak pernah mengira bahwa akibatnya akan menjadi begini. Akan tetapi, sungguh kebetulan sekali kalau ji-wi hendak menghadap sri baginda kaisar. Selama beberapa hari ini, semenjak terjadi pertempuran secara terbuka dengan pasukan pemerintah, saya memikirkan dan mencari jalan bagaimana caranya agar kesalahpahaman antara kami dengan kaisar tidak sampai berlarut-larut. Ji-wi telah beberapa lama mengikuti gerakan kami dari dekat, bahkan membantu kami menghadapi pasukan asing. Maka kami percaya bahwa ji-wi tentu akan dapat melaporkan secara sejujurnya kepada sri baginda kaisar apa yang sebenarnya telah terjadi dan bagaimana sesungguhnya kedudukan kami."
"Tentu saja, Liu-bengcu. Kami berdua kakak beradik tentu akan berusaha menjernihkan suasana yang tidak enak ini!" kata Chu Seng Kun dengan suara pasti.
Melihat kedua orang kakak beradik itu berpamit, tiba-tiba A-hai yang sejak tadi memandang kepada Bwee Hong lalu berkata, "Akupun akan pergi. Kalau kalian boleh, aku akan ikut pergi. Aku sungguh tidak betah berada di sini. Aku membenci pertempuran, membenci bunuh-membunuh yang kejam itu!"
Chu Seng Kun dan Chu Bwee Hong tentu saja tidak dapat menolak permintaan pemuda sinting itu. Apa lagi karena pemuda itu dengan mati-matian telah menyelamatkan Bwee Hong ketika dara itu berada dalam tangan Tiat-siang-kwi, tokoh ke dua dari Ban-kwi-to. Di samping itu, kakak beradik yang menjadi ahli waris Bu-eng Sin-yok ong ini memang merasa tertarik akan keadaan A-hai dan kalau mungkin mereka ingin mencoba kepandaian mereka dalam hal pengobatan untuk memeriksa dan menyembuhkan pemuda aneh itu.
"Tentu saja engkau boleh ikut bersama kami, saudara A-hai," jawab Seng Kun dengan ramah.
"Kebetulan sekali sayapun mempunyai keinginan yang sama, Liu-bengcu," tiba-tiba Kwa Siok Eng berkata. "Saya harus segera pulang dan melaporkan semua pengalaman saya kepada ayah dan ibu, terutama sekali, tentang penyelewengan kakakku dan juga tentang hasil perjalanan saya. Karena itu, sayapun berpamit untuk mengundurkan diri."
Liu Pang menarik napas panjang. Kemudian dia menengadah dan seolah-olah berkata kepada diri sendiri, "Betapa gembira berusia muda bebas dari segala ikatan, bebas lepas seperti burung di udara, ke manapun hendak pergi tidak ada yang melarang, tidak ada ikatan yang membelenggu kaki tangan. Akan tetapi, ahhh setelah terbelenggu oleh ikatan yang demikian kuat ini, yang telah menjadi tugas yang mendarah daging, mana mungkin aku mengikuti jejak orang-orang muda yang bebas lepas?"
Biarpun tidak secara berterang, namun pemimpin para pendekar itu mengeluhi nasib sendiri dan agaknya iri hati melihat orang-orang, muda itu. Seng Kun melihat bahwa sebenarnya keadaan dirinya tidaklah jauh bedanya dengan pemimpin ini karena bukanlah dia sendiri juga terikat oleh tugas yang diberikan oleh kaisar kepadanya?
Mendengar keluhan gurunya itu, Pek Lian yang wataknya polos dan tidak suka menyembunyikan perasaannya itu berkata, "Akan tetapi, suhu. Apa artinya hidup ini kalau tidak ada tugas-tugas yang mengikat kita? Bukankah kegembiraan terasa apa bila kita berhasil melaksanakan tugas kita? Hidup akan kosong tanpa ikatan, dan untuk ikatan itu kita berjuang dalam hidup!"
Gurunya tersenyum dan menggeleng kepala. "Nona Ho, engkau masih terlalu muda untuk dapat mengerti tentang ikatan-ikatan dalam kehidupan."
"Maaf, suhu. Akan tetapi saya kira suhupun masih muda, atau belum terlalu tua untuk menganggap saya masih terlalu muda!" bantah nona itu.
Liu Pang tersenyum lebar dan wajahnya berseri. Begitu dia tersenyum lebar, nampaklah bahwa tokoh ini memang belum tua benar. Usianya memang baru tigapuluh enam tahun, akan tetapi perjuangan dengan segala kepahitannya menggemblengnya lahir batin sehingga dia nampak jauh lebih tua dari pada usianya.
"Muridku, tua muda atau matang mentahnya seseorang tidak selalu ditentukan oleh usianya. Akan tetapi memang apa yang kau katakan tadi ada benarnya. Di dalam setiap ikatan memang terdapat kesenangan, kalau tidak begitu, tidak nanti ia mengikat! Akan tetapi yang kita lupakan adalah bahwa setiap kesenangan selalu dibayangi oleh saudara kembarnya, yakni kesusahan. Dan celakanya, antara dua saudara kembar ini, Duka lebih banyak muncul dalam batin manusia dibandingkan dengan Suka!"
"Maaf, Liu-bengcu. Saya pernah mendengar wejangan ayah bahwa Suka-Duka itu sesungguhnya tidak ada. Dalam setiap benda, setiap peristiwa, tidak terdapat suka atau duka itu. Mereka ini baru muncul apa bila pikiran kita membuat bandingan-bandingan dan penilaian."
Liu-bengcu mengangguk-angguk. "Ayah ji-wi adalah Bu Hong Sengjin dan saya pernah mendengar bahwa ayah ji-wi itu selain memiliki kepandaian silat yang tinggi, juga amat bijaksana. Tidak keliru sama sekali wejangan beliau itu. Memang suka atau duka timbul karena pikiran kita sendiri yang menilai berdasarkan untung rugi bagi diri pribadi. Yang menguntungkan menimbulkan suka dan yang merugikan menimbulkan duka. Kita semua terseret oleh dualitas ini."
"Akan tetapi, locianpwe," kata Siok Eng yang juga tertarik mendengar percakapan itu. "Bukankah itu sudah menjadi watak manusia pada umumnya? Kita semua menghendaki untung dan senang, siapakah manusianya menghendaki rugi dan susah?"
Liu Pang mengangguk-angguk. "Pernyataan yang amat jujur dan aku memang mendengar bahwa Tai-bong-pai mengutamakan kejujuran dan kepolosan walaupun kadang-kadang diikuti oleh tindakan yang nampaknya sadis dan kejam. Memang, umum menganggapnya demikian. Akan tetapi, apakah umum harus selalu benar? Umum condong untuk ikut-ikutan, untuk mengekor dan agaknya tidak memperdulikan lagi tentang benar atau salah. Kita melihat bahwa kita terbelenggu, namun kita tidak berani membebaskan diri dari pada belenggu ini. Aihh, betapa lemahnya kita manusia ini!" Kembali pemimpin ini menarik napas panjang.
Hening sejenak dan percakapan yang menyimpang ke soal kehidupan yang ruwet itupun macet. Menggunakan kesempatan ini, Siok Eng berkata, "Saya pamit sekarang, locianpwe dan banyak terima kasih atas kebaikan semua kawan kepadaku sewaktu kita berkumpul." Dara itu bangkit dan pada saat itu. Seng Kun juga ikut bangkit dan menjura.
"Nona Kwa aku ingin bicara sedikit "
Puteri Tai-bong-pai itu memandang dengan sinar mata berseri dan ia memandang wajah pemuda tampan dan gagah itu dengan lembut. "Silahkan, in-kong."
"Pada waktu ini, keadaan negara sedang dalam suasana kacau dan di mana-mana terjadi pertentangan sehingga tidak aman. Biarpun nona memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi sebagai seorang wanita muda, melakukan perjalanan sendirian saja tentu akan memancing datangnya banyak sekali halangan dan bahaya. Hatiku merasa tidak enak dan khawatir sekali membayangkan engkau melakukan perjalanan seorang diri."
Sejak pemuda itu bicara, sepasang mata Siok Eng yang indah tajam itu menatap tanpa pernah berkejap dan mata itu kini berseri, sepasang pipinya berobah agak kemerahan dan jantungnya berdegup kencang. Hatinya merasa senang sekali melihat kenyataan bahwa pemuda yang diam-diam dipujanya di dalam hati semenjak ia merasa berhutang nyawa dan budi itu begitu memperhatikan keselamatan dan keadaannya.
"Sungguh in-kong amat baik hati dan aku berterima kasih sekali atas perhatianmu. Akan tetapi, aku dapat menjaga diri dalam perjalanan, maka harap in-kong tidak merasa khawatir!"
"Aku mengerti, nona... tapi bolehkah aku mengajukan suatu permintaan kepadamu?"
Mendengar pertanyaan ini, hati Siok Eng merasa tergerak dan terharu. Sejak kecil ia hidup di antara lingkungan orang-orang sesat yang hampir tidak mempunyai kepekaan atau kehalusan perasaan lagi. Akan tetapi sejak ia diobati di rumah keluarga Bu, terjadilah perobahan di dalam batinnya.
"Aihh, in-kong, mengapa bertanya begitu? Harap in-kong tidak ragu-ragu untuk mengatakan apa yang menjadi keinginan hatimu. In-kong tentu mengerti betapa besar rasa terima kasih kami sekeluarga terhadap in-kong sekeluarga. Bu-locianpwe suami isteri telah tewas karena aku. Sekarang, mengapa in-kong masih sungkan kepadaku? Nah, katakan saja, apapun permintaanmu, akan kulaksanakan. Biar nyawaku sekalipun akan kuserahkan kalau in-kong minta!"
Semua orang yang mendengar ucapan yang dikeluarkan dengan suara bening, lembut dan penuh getaran perasaan itu, menjadi tertegun dan juga terharu. Mereka ini telah tahu bahwa gadis remaja itu adalah puteri ketua Tai-bong-pai, sebuah perkumpulan yang terkenal sebagai perkumpulan iblis yang dianggap sesat oleh dunia kang-ouw. Akan tetapi, gadis ini yang menjadi satu di antara tokoh-tokoh utama Tai-bong-pai ternyata dapat bersikap demikian lembut, mengenal budi dan amat perasa!
"Karena hatiku akan selalu merasa khawatir kalau engkau melakukan perjalanan seorang diri dalam suasana yang sedang kemelut ini, maka aku minta sukalah engkau melakukan perjalanan bersama kami lebih dulu ke kota raja. Kalau urusan kami sudah selesai di kota raja, aku akan mengantarkanmu pulang sampai ke tempat tinggalmu, nona. Tentu saja kalau engkau tidak menaruh keberatan."
Keberatan? Hampir saja Siok Eng bersorak dan menari saking girangnya. Kalau ada suatu hal yang amat diinginkan di dunia ini pada saat itu adalah berdekatan dengan Chu Seng Kun, melakukan perjalanan dengan pemuda ini dan kalau boleh jangan lagi sampai saling berpisah lagi.
"Terima kasih, in-kong. Tentu saja saya merasa terhormat dan suka sekali untuk dapat melakukan perjalanan bersama dengan in-kong dan teman-teman lainnya."
Maka berangkatlah empat orang muda itu, Seng Kun, Bwee Hong, A-hai dan Siok Eng, meninggalkan bala tentara yang dipimpin oleh Liu Pang dan yang sedang menghadapi ancaman penyerbuan pasukan pemerintah itu. Mereka menunggang empat ekor kuda pemberian Liu Pang dan membalapkan tunggangan mereka itu menuju ke kota raja. Yang merasa paling sedih oleh kepergian empat orang muda itu adalah Pek Lian.
Baru saja ia kematian ayahnya dan kini ia ditinggalkan kawan-kawan baiknya dengan siapa ia telah mengalami banyak hal-hal yang mengesankan. Bersama-sama lolos dari cengkeraman maut dan terutama sekali yang membuat hatinya terasa amat tidak enak adalah karena ia harus berpisah dari A-hai dalam keadaan seperti itu!
Ia melihat betapa pemuda sinting itu amat akrab dengan Bwee Hong dan kalau dahulu A-hai kelihatan amat jinak kepadanya, bahkan tidak pernah melupakan namanya, kini pemuda itu kelihatan begitu jinak dan dekat dengan Bwee Hong. Bahkan pemuda itu ikut pula bersama Bwee Hong dan kakaknya pergi ke kota raja.
Setelah empat orang muda itu berangkat, Pek Lian lari memasuki kamarnya dan iapun menjatuhkan diri di atas pembaringan kamarnya dan menahan tangisnya. Hanya air matanya yang membasahi pipi. Ia merasa begitu kesepian, merasa ditinggalkan dan nelangsa. Terutama sekali yang membuat hatinya amat menderita adalah bayangan A-hai yang kelihatan begitu mesra terhadap Bwee Hong.
Ia tahu bahwa sikap Bwee Hong yang manis dan baik terhadap A-hai adalah karena gadis itu berterima kasih dan terharu melihat betapa A-hai membela dan menyelamatkannya sehingga gadis itu merasa berhutang budi dan bersama kakaknya bermaksud untuk mencoba mengobati dan menyembuhkan A-hai. Akan tetapi, ia dapat menduga pula bahwa A-hai yang hanya mengandalkan perasaan dan nalurinya, agaknya jatuh cinta kepada gadis cantik jelita itu.
Mengapa aku harus merasa tidak senang karena mereka begitu akrab? Mengapa aku seperti gelisah kalau-kalau mereka saling mencinta? Mengapa begini? Pek Lian tidak mau, bahkan tidak berani mengaku dalam hatinya sendiri bahwa ia telah jatuh cinta kepada A-hai, pemuda sinting itu! Akan tetapi, perasaannya yang tidak enak ketika melihat A-hai pergi bersama Bwee Hong, adalah perasaan cemburu!
Sementara itu, pertempuran berhenti ketika bala tentara pemerintah yang dipimpin oleh Jenderal Lai itu menarik pasukannya mundur ke dalam kota Cin-an. Liu Pang mempergunakan kesempatan ini untuk menyusun kembali sisa pasukannya dan berunding dengan para pembantunya. Tentu saja Pek Lian hadir pula dalam perundingan ini dan Liu Pang lalu mengatur siasat, merencanakan gerakan mereka selanjutnya. Kebetulan sekali, pasukan kecil yang dipimpin oleh Hek-coa Ouw Kui Lam juga sudah tiba dan pasukan ini menggabungkan diri dengan pasukan induk.
Seperti kita ketahui, Hek-coa Ouw Kui Lam ini adalah seorang di antara empat Huang-ho Su-hiap, yaitu guru-guru dari Pek Lian. Di amtara Empat Pendekar Huang-ho itu, hanya tinggal dia sendiri yang masih hidup. Tiga lainnya, yaitu Kim-sui-poa Tan Sun, Pek-bin-houw Liem Tat dan Sin-kauw Song Tek Kwan telah gugur semua. Hek-coa Ouw Kui Lam juga ikut duduk dalam perundingan itu.
"Pemerintah agaknya telah benar-benar menganggap kita sebagai musuh," antara lain Liu Pang mengemukakan pendapatnya. "Karena itu, kitapun harus memperkuat diri, dan kurasa sebaiknya kalau kita menuju ke barat dan menyatukan diri dengan kawan-kawan yang berpencaran menjadi pasukan-pasukan yang berpisah-pisah. Sambil melakukan perjalanan mengumpulkan teman-teman dan memperkuat barisan, kita melakukan pembersihan di sepanjang jalan. Kita gempur pasukan-pasukan asing yang membantu penguasa-penguasa daerah yang memberontak, dan kita basmi pula para pembesar yang bersekongkol dengan pasukan-pasukan asing, pengkhianat-pengkhianat penjual negara dan bangsa itu!"
Demikianlah, Liu Pang memimpin pasukannya dan mulailah dia melakukan "long march" yang panjang dan bersejarah itu. Di sepanjang perjalanan, pasukannya makin bertambah karena rakyat jelata bersimpati dengan perjuangannya. Dan karena Liu Pang juga lahir dari keluarga petani dan sudah terbiasa hidup di antara petani, maka dia pandai bergaul dengan anak buahnya dan dikenal sebagai seorang pemimpin yang gagah perkasa juga menyenangkan hati semua anak buahnya.
Bukan hanya rakyat jelata, kaum tani yang bergabung dengan pasukannya, keluarga dari mereka yang tewas karena kerja paksa yang diperintahkan kaisar melalui kaki tangannya, akan tetapi juga banyak perajurit-perajurit yang lari menyeberang karena mereka tidak suka diharuskan bekerja sama dengan pasukan asing oleh para komandan mereka.
Liu Pang tidak pernah mengampuni pembesar-pembesar yang bersekongkol dengan pasukan asing. Setiap dusun dan kota di mana terdapat pasukan asingnya tentu digempur dan tempat-tempat itu diduduki, akan tetapi kota yang pembesamya masih setia kepada pemerintah, dilewati saja dan tidak diganggu.
Akhirnya pasukan itu berhenti di lembah Sungai Huang-ho, tak jauh dari kota besar Lok-yang yang merupakan kota ke dua besarnya setelah Tiang-an yang menjadi ibu kota atau kota raja di mana kaisar tinggal. Liu Pang membentuk benteng pertahanan di lembah ini dan mengajak kawan-kawannya untuk berunding lagi. Biarpun dia seorang pemimpin dengan kekuasaan penuh dan semua anggauta pasukan itu taat kepadanya.
Namun Liu Pang selalu mengajak para pimpinan atau pembantunya untuk bermusyawarah setiap kali menghadapi hal-hal penting, tidak mengambil keputusan sendiri begitu saja. Inilah merupakan satu di antara kebijaksanaan Liu Pang yang jarang dimiliki oleh para penguasa. Biasanya, kalau orang sudah duduk di kursi tertinggi, lalu menjadi lupa akan pendapat orang-orang lain dan menganggap bahwa penda-patnya sendirilah yang paling benar.
"Chu Siang Yu telah bergerak maju dan pasukannya telah merebut beberapa kota besar di daerah barat dan utara. Agaknya bala tentara pemerintah tidak berdaya menahan arus serangannya. Hal ini terjadi karena di dalam tubuh pemerintah sendiri terjadi kekacauan dan membuat kekuatan menjadi terpecah-belah. Suasana seperti ini membuat daerah-daerah menjadi tidak puas dan banyak daerah mengambil sikap memberontak dan ingin memisahkan diri dari pusat. Adalah menjadi tugas kita sebagai pendekar-pendekar dan patriot-patriot untuk berjuang agar keadaan seperti ini jangan sampai berlarut-larut dan kita harus menyelamatkan negara dan bangsa agar tinggal utuh dan kuat."
"Benar sekali ucapan itu!" Tiba-tiba Hek-coa Ouw Kui Lam yang tinggi besar dan bermuka hitam itu berseru dengan suara yang lantang. "Biarlah para pembesar istana menganggap kita pemberontak, biarlah kaisar salah kira dan mencap kita pemberontak, perduli amat! Keadaan negara dan bangsa terancam bahaya perpecahan, dan terancam penjajahan pasukan-pasukan asing. Kita harus bergerak, tak mungkin tinggal diam saja. Kita basmi pasukan-pasukan asing yang berkeliaran di sini. Kita hajar daerah-daerah yang memberontak dan kita persatukan lagi negara ini agar kuat seperti dahulu lagi!"
Mendengar kata-kata yang penuh semangat ini, yang lain-lain bertepuk tangan dan menyatakan persetujuan mereka. "Kami semua mentaati perintah Liu-bengcu!" demikianlah teriakan-teriakan mereka.
Liu Pang mengangguk-angguk dan mengangkat tangan menyuruh mereka tenang. "Tugas kita masih banyak dan bukan ringan. Kalian semua harus selalu ingat bahwa kita adalah pasukan rakyat, kita datang dari rakyat, oleh karena itu, aku melarang siapapun juga mengganggu rakyat di sepanjang perjalanan. Rakyat jelata, kaum tani, adalah sekutu kita. Tanpa dukungan mereka kita akan lemah dan jatuh. Maka, siapa berani mengganggu rakyat di sepanjang perjalanan, merampok, menyerang apa lagi membunuh atau melarikan wanita, akan dihukum mati dan mungkin tanganku sendiri yang akan melaksanakan hukuman itu!"
Suara pemimpin ini terdengar begitu penuh wibawa dan semua orang menjadi gentar. "Liu-bengcu, jangan khawatir. Kita sendiri juga datang dari rakyat, mana mungkin kita akan mengganggu mereka? Kalau ada yang berani melanggar pantangan itu, kami kira bengcu tidak perlu turun tangan karena teman-teman yang lain tentu akan turun tangan mencegah atau menghukumnya!" demikian seorang di antara mereka berkata.
"Kita sekarang berada di dekat Lok-yang. Kita tidak tahu bagaimana keadaan kota ini, bagaimana sikap para pembesar di Lok-yang. Kita tidak boleh bertindak sembrono dan nanti setelah kita mengenal benar keadaan kota itu, barulah kita berunding lagi untuk mengatur siasat bagaimana harus mengambil tindakan. Biarkan pasukan bertirahat dan menyusun kekuatan di sini. Aku sendiri bersama muridku, nona Ho Pek Lian, akan memasuki kota dan melakukan penyelidikan. Sebarkan beberapa orang kawan yang cukup tinggi ilmunya untuk menyusup ke kota melakukan penyelidikan pula. Akan tetapi ingat, mereka yang diselundupkan harus berani bertanggung jawab dan memilih mati dari pada membuka rahasia kita kepada musuh."
Setelah berunding dan mengatur siasat, Liu Pang bersama Pek Lian lalu berangkat untuk bertugas sebagai mata-mata di kota Lok-yang. Liu Pang menyamar sebagai seorang petani dan murid-nya juga. Rambut pemimpin yang hitam lebat itu kini berobah putih, juga mukanya berkeriputan walaupun badannya nampak sehat dan terbakar matahari, seperti seorang kakek petani yang biasa bekerja berat di tempat terbuka.
Pek Lian juga melumuri muka, leher dan bagian kulit tubuhnya yang nampak dengan ramuan yang membuat kulit yang putih mulus itu menjadi kehitaman. Alisnya yang indah bentuknya itu dibikin tebal, bibirnya yang kecil dan merah basah itu digosok ramuan yang membuat bibirnya menjadi kasar dan agak kebiruan. Ia berobah sebagai seorang gadis dusun yang lugu dan tidak mengenal cara berias. Rambutnya juga agak kasar dan kotor, digelung seder-hana seperti gelung gadis dusun.
Setelah menyamar dengan baik, keduanya berangkat pada senja hari itu memasuki kota Lok-yang. Kota ini ramai dan kelihatan sibuk sekali, kesibukan yang agaknya tidak wajar karena banyak nampak perajurit berkeliaran. Banyak pula peng-ungsi-pengungsi yang mengaso di emper-emper toko, yakni mereka yang datang dari luar kota karena takut akan berita perang yang terjadi.
Pasukan-pasukan penjaga berkeliling dan meronda dengan muka bengis dan mata tajam menyelidik. Akan tetapi, penyamaran Liu Pang dan Pek Lian amat sempurna sehingga tidak ada seorangpun yang tertarik kepada kakek dusun dan gadisnya ini.
Ketika mereka sedang berjalan di tepi jalan raya, mereka berpapasan dengan seregu perajurit yang terdiri dari belasan orang. Akan tetapi pasukan kecil ini tidak berjalan dalam bentuk barisan, melainkan berjalan dengan kacau dan di antara mereka bahkan ada yang jalannya terhuyung-hu-yung karena mabok. Tentu pasukan ini sedang bebas tugas dan menghibur diri di kota. Juga tidak nampak seorangpun dipengaruhi arak.
"Heh-heh, manis, mari ikut dengan kami. Tanggung engkau akan kenyang lahir batin, heh-heh-heh!" seorang di antara mereka berkata, dan tangannya menyambar ke arah buah dada Pek Lian.
Gadis ini miringkan tubuhnya, dengan gerakan biasa saja bukan gerakan ahli silat, seperti seorang gadis yang ketakutan. Ia membiarkan tangan itu mengenai lengannya, akan tetapi perajurit mabok itu begitu menyentuh lengan yang gempal dan lunak lalu mencubit.
"Aduhh!" Pek Lian menjerit tanpa mengerahkan tenaga dan cepat melangkah mundur.
"Ha-ha, kakek dusun. Berapa kau mau jual anak gadismu ini? Jual saja kepada kami untuk semalam ini. Kami sudah bosan dilayani pelacur-pelacur!"
"Benar, aku ingin tidur dengan gadis dusun yang sehat ini!"
Pek Lian sudah mengepal tinju dan akan mengamuk, akan tetapi lengannya dipegang oleh Liu Pang yang segera berkata sambil menarik muridnya, "Saudara-saudara harap jangan mengganggu kami. Gadisku ini sudah dipesan oleh Coa-ciangkun dan kalau kalian mengganggu, tentu akan kami laporkan!"
Tentu saja Liu Pang hanya ngawur menyebut Coa-ciangkun. Akan tetapi agaknya ngawurnya itu kebetulan karena para perajurit itu terkejut, saling pandang, lalu seorang di antara mereka yang tidak mabok berkata, "Paman, harap jangan marah. Kami tidak tahu bahwa nona ini adalah pesanan Coa-ciangkun. Nah, nona, kami ucapkan selamat, yang baik-baik saja melayani Coa-ciangkun yang perutnya gendut itu!"
Mereka lalu pergi sambil tertawa-tawa dan wajah Pek Lian masih merah sekali karena marah. Akan tetapi suhunya sudah mengajaknya melanjutkan perjalanan sambil menyumpah-nyumpah perlahan. Guru dan murid ini memasuki sebuah kedai makan yang sederhana akan tetapi cukup luas dan mempunyai meja kursi yang dapat menampung sedikitnya tigapuluh orang. Tempat itu ramai dan terdapat beberapa orang perajurit yang sedang bercakap-cakap.
Liu Pang mengajak muridnya duduk agak jauh dari para perajurit itu, dan Pek Lian sengaja duduk menghadap ke arah mereka dan agar mukanya yang di tengah jalan tadi sudah lebih diperjelek lagi nampak oleh mereka dan melenyapkan selera mereka untuk menggoda.
Setelah memesan bakmi dan beberapa masakan se-derhana lainnya berikut minuman teh, Liu Pang memperhatikan percakapan para perajurit itu. Mereka bercerita tentang jatuhnya beberapa kota dan dusun ke tangan pasukan Liu Pang yang kuat. Mereka bercerita pula tentang pasukan pemberontak Chu Siang Yu dari arah barat dan utara.
"Eh, Lo Ciang, kaupikir mana yang lebih kuat antara pasukan Liu Pang dan pasukan Chu Siang Yu itu?" seorang di antara mereka bertanya kepada rekannya yang berkumis panjang dan yang lebih tua, juga agaknya si kumis ini yang lebih mengerti keadaan karena dialah yang bercerita dengan bersemangat, terdorong oleh arak yang sudah banyak diminumnya.
Yang ditanya menggeleng-geleng kepala lalu mengerutkan alis seperti orang berpikir dalam-dalam, lalu berkata, "Sukar dikatakan siapa lebih kuat. Chu Siang Yu adalah keturunan jenderal, di samping ahli silat pandai, juga dia pandai sekali dalam hal ilmu perang. Pasukan-pasukannya amat kuat dan terlatih. Sedangkan Liu Pang yang disebut Liu-bengcu itu biar amat lihai ilmu silatnya akan tetapi dia bukan ahli mengatur barisan. Biarpun demikian, dia seorang pendekar gagah perkasa, dan pergerakannya memperoleh dukungan para pendekar dan juga rakyat jelata, maka diapun amat kuat dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan."
"Ah, ceritamu menakutkan, Lo Ciang. Lalu, apakah kaupikir pasukan-pasukan pemerintah tidak akan mampu membasmi mereka itu?"
Si kumis menghela napas panjang. "Sukar sekali! Kekuatan bala tentara kita hanya pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Beng Tian seorang dan hanya pasukan itu yang dapat diandalkan. Pasukan-pasukan daerah tak dapat diharapkan lagi karena banyak daerah yang merasa tidak puas dan ada gejala-gejala hendak memberontak sendiri. Lihat saja adanya pasukan-pasukan asing dan liar itu!"
"Sssttt..., Lo Ciang. Jangan sembarangan engkau bicara. Hati-hatilah. Kau lihat, kepala daerah kita sendiri menerima kedatangan pimpinan pasukan asing beberapa hari yang lalu. Siapa tahu di antara mereka ada yang berada di sini?"
"Takut apa? Komandan kita sendiri, Gui-ciang-kun, juga tidak suka dengan adanya pasukan asing itu. Kemarin hampir saja Gui-ciang-kun atasan kita itu bentrok dengan Bouw-ciangkun, karena urusan pasukan asing itu, ketika diadakan rapat para pimpinan kota. Kebetulan aku bertugas mengawal Gui-ciangkun ke pertemuan itu."
Pada saat itu, nampak empat orang perajurit memasuki kedai dan mereka langsung menuju ke meja di mana duduk empat orang perajurit rekan mereka tadi. Empat orang pendatang baru ini nampak loyo dan seorang di antara mereka terbalut lengannya. Mereka lalu duduk di atas bangku-bangku yang disediakan oleh para pelayan dan delapan orang perajurit itu duduk menghadapi meja.
"Eh, engkau kenapa?" tanya si kumis melihat betapa empat orang rekannya itu kelihatan lelah, bahkan ada pula yang mukanya benjol-benjol bekas pukulan.
"Kami baru saja bentrok dengan pasukan Bouw-ciangkun yang dibantu oleh beberapa orang pasukan asing itu. Pasukan asing itu ternyata pandai main banting sehingga kami mengalami banyak kerugian."
"Keparat! Orang-orang liar itu semakin berani saja, berani menyerang perajurit tuan rumah!" Seorang di antara mereka berseru marah.
"Kenapa kalian sampai bentrok dengan pasukan Bouw-ciangkun?" Si kumis bertanya dan agaknya dia merupakan anggauta pasukan yang tertua di antara mereka dan paling dihormati.
"Siapa tidak marah? Tadinya keributan terjadi hanya soal perebutan pelacur, hal yang biasa saja. Akan tetapi mereka berani mengatakan bahwa pasukan kita katanya akan dilucuti dan dipenjarakan karena Gui-ciangkun kita berani menentang kehendak kepala daerah dan tiga komandan lainnya. Bahkan katanya, Gui-ciangkun akan dihukum mati karena beliau berani menyarankan agar kita semua mendekati Liu-bengcu dengan jalan damai dan bersahabat. Huh, mereka sungguh menghina. Jumlah kita ada seribu orang, masa akan begitu mudah saja dilucuti dan dipenjarakan?"
"Mereka sombong dan membual!" kata yang lain-lain.
Akan tetapi si kumis mengerutkan alisnya. "Belum tentu kalau ancaman mereka itu hanya bual kosong saja. Dalam keadaan seperti sekarang ini, apapun dapat saja terjadi. Kita harus waspada dan siapa tahu komandan kita dalam bahaya. Bagai-manapun juga, jumlah mereka semua itu kalau digabung ada empat lima kali lipat dari pada ke-kuatan pasukan kita, dan masih ada pasukan liar yang membantu. Sebaiknya kita lekas kembali ke markas dan melaporkan kepada Gui-ciangkun!"
Setelah membayar harga makanan, delapan orang perajurit itu lalu meninggalkan kedai. Akan tetapi baru saja mereka tiba di luar kedai, mereka berpapasan dengan duabelas orang perajurit yang melihat seragam mereka agak kuning tentu bukan rekan-rekan dari delapan orang perajurit pertama. Dan mereka berhadapan di depan kedai dengan sikap tegang. Ternyata duabelas orang perajurit itu adalah anak buah pasukan Bouw-ciangkun! Karena, kedua rombongan yang sudah saling mendendam ini berpapasan tepat di depan pintu, maka bentrokan agaknya tak dapat dihindarkan lagi.
"Minggir kalian! Kami hendak masuk!" bentak seorang di antara duabelas orang perajurit seragam kuning itu.
"Kalian yang minggir dan biarkan kami keluar dulu!" bentak seorang di antara kelompok perajurit si kumis yang seragamnya agak biru.
"Nona Ho, engkau duduk saja di sini. Agaknya mereka akan berkelahi dan aku akan membantu anak buah Gui-ciangkun," bisik Liu Pang kepada muridnya dan Pek Lian mengangguk. Tentu saja gurunya ingin membantu anak buah Gui-ciangkun dan menentang pasukan-pasukan yang bersekongkol dengan pasukan asing itu.
Perang mulut segera disusul perkelahian. Duabelas orang itu mencabut senjata dan hal ini mengejutkan delapan orang perajurit anak buah Gui-ciangkun. Biasanya, perkelahian antara perajurit hanya menggunakan tangan kosong sehingga tidak sampai membunuh lawan. Akan tetapi agaknya duabelas orang anak buah Bouw-ciangkun ini sudah begitu nekat sehingga begitu menyerang mereka menggunakan senjata tajam. Tentu saja merekapun segera mencabut golok masing-masing dan ributlah di depan kedai itu.
Para tamu yang makan minum di dalam kedai menjadi seriba salah dan panik. Mau keluar, di depan justeru menjadi medan perkelahian. Maka mereka semua berbondong-bondong lari ke belakang, hendak melarikan diri dari pintu belakang dan karena pintu belakang itu kecil sekali, melalui lorong kecil, mereka berebutan, berhimpitan sehingga keadaan di dalam kedai itu tidak kalah kacaunya dengan keadaan di luar.
Delapan orang perajurit anak buah Gui-ciangkun itu pasti akan celaka karena mereka kalah banyak, kalau saja tidak ada uluran tangan secara diam-diam oleh Liu Pang. Dengan menggunakan segenggam kacang goreng, Liu Pang membantu mereka. Tanpa diketahui orang, berjejal di antara mereka yang berani nonton perkelahian di luar kedai, Liu Pang menggunakan jari-jari tangannya untuk menyentil kacang-kacang itu ke arah para anak buah Bouw-ciangkun.
Biarpun hanya sebutir kacang goreng, akan tetapi kalau meluncur dengan amat cepatnya dan menyambar mata, hidung, pipi atau mulut, sama nyerinya dengan kalau disambit dengan batu. Dalam keadaan kesakitan itu, mudah bagi anak buah Gui-ciangkun untuk membabat dan merobohkan mereka dengan golok. Akhirnya, duabelas orang itu roboh semua, terluka oleh bacokan-bacokan golok anak buah Gui-ciangkun, bahkan di antaranya ada yang tewas!
Melihat akibat perkelahian itu, si kumis menjadi khawatir sekali. "Hayo kita cepat kembali ke markas melapor kepada ciangkun!" katanya dan delapan orang itupun berlari-larian menuju ke markas mereka.
Liu Pang mengajak muridnya untuk pergi membayangi setelah membayar harga makanan kepada pengurus kedai yang sudah pucat dan menggigil ketakutan itu. Akan tetapi, dasar pedagang, biarpun di depan kedainya terjadi perkelahian dan kini ada duabelas orang mandi darah menggeletak di situ, dia tidak pernah salah meng-hitung harga makanan dan minuman, dan biarpun tangannya menggigil, sigap saja dia menerima pembayaran!
Akan tetapi, sebelum delapan orang itu tiba di markas mereka, di tengah jalan mereka disusul serombongan perajurit berkuda, anak buah pasukan Bouw-ciangkun yang sudah mendengar akan terjadinya perkelahian di depan kedai makanan itu. "Itu dia! Mereka pembunuh kawan-kawan kita di depan kedai itu. Tangkap mereka! Lucuti senjata mereka sekarang. Bunuh! Mereka agaknya hendak memberontak!"
Delapan orang itu melawan, akan tetapi belasan orang perajurit berkuda itu dibantu oleh tiga orang perajurit asing dan terjadilah perkelahian yang berat sebelah. Liu Pang tidak dapat membantu secara menggelap seperti tadi karena mereka berada di tempat terbuka. Pula, bagi pemimpin ini, ada hal-hal yang jauh lebih penting lagi untuk dilaksanakan dari pada hanya menyelamatkan nyawa delapan orang perajurit itu. Menolong mereka secara berterang berarti membuka penyamarannya dan hal ini amat merugikan bagi tugasnya.
"Nona, engkau cepat kembali ke pasukan kita. Katakan kepada gurumu Hek-coa Ouw Kui Lam itu dan para saudara lain bahwa aku memerintahkan agar mereka mengatur pasukan untuk mengurung kota ini. Besok pagi-pagi sebelum matahari terbit, pasukan kita harus sudah berada di luar benteng. Kita hancurkan pasukan asing dan pasukan pengkhianat di kota ini!"
"Suhu sendiri bagaimana?"
"Aku akan menemui Gui-ciangkun dan menyelamatkan sisa pasukannya, setidaknya sampai besok pagi. Kalau aku berhasil menggerakkan hati Gui-ciangkun, maka kita dapat menggempur kota dari luar dan dalam. Pasukan yang seribu orang kekuatannya bukan main-main, kalau pandai menggunakan dapat berguna sekali."
"Baiklah, suhu."
"Seperti biasa, aku akan melepas panah api hijau sebagai tanda penyerbuan!"
Pek Lian lalu menyelinap pergi dan cepat meninggalkan kota, kembali ke pasukannya. Semen-tara itu, Liu Pang membalik dan melihat betapa delapan orang perajurit anak buah Gui-ciangkun itu dibantai habis oleh pasukan berkuda yang dibantu oleh tiga orang asing tinggi besar yang kalau dia tidak salah duga tentulah orang-orang liar dari luar Tembok Besar, dari daerah Mongol.
Liu Pang segera meninggalkan tempat itu dan seorang diri dia mencari benteng pasukan yang dipimpin oleh Gui-ciangkun. Tidak sukar baginya untuk mencarinya karena setiap orang tahu belaka di mana adanya bentengi kecil itu. Sebuah barak pasukan yang dikelilingi oleh parit yang lebar dan dalam. Terdapat sebuah pintu gerbang besar dan yang menghubungkan pintu besar itu dengan seberang parit adalah sebuah jembatan gantung dari besi.
Liu Pang mempergunakan ilmunya untuk mendekati parit, menyelinap ke tempat gelap dan mempelajari keadaan benteng itu. Dari luar sudah nampak kesibukan di dalam benteng. Jembatan gantung terangkat ke atas dan agaknya di setiap penjuru terjaga ketat. Banyak pula yang mondar-mandir dengan sikap tegak.
Suasananya jelas menunjukkan kesiap-siagaan dan agaknya berita tentang perkelahian itu sudah sampai pula di dalam benteng. Liu Pang tetap bersembunyi, memikirkan rencana yang kiranya dapat dilakukan untuk menyelamatkan benteng ini dan menggandeng pasukan Gui-ciangkun sehingga dapat dimanfaatkan besok, membantu penyerbuan pasukannya dari luar benteng....