Darah Pendekar Jilid 20 karya Kho Ping Hoo - DIA masih sangsi apakah Gui-ciangkun mau menerimanya kalau dia datang berterang. Apa lagi dia menyamar sebagai seorang kakek petani dan tidak ada seorangpun yang mengenal wajah Liu-bengcu. Tiba-tiba, selagi Liu Pang mencari akal dan merenung, terdengarlah sorak-sorai dan derap kaki kuda yang banyak sekali mendatangi tempat itu.
Sepasukan tentara yang berjumlah ratusan, bahkan mungkin ada seribu orang, datang mengepung benteng itu. Dari seragam mereka yang agak kekuningan, Liu Pang dapat menduga bahwa mereka itu tentulah anak buah Bouw-ciangkun. Dugaannya memang tepat, bahkan yang memimpin pasukan itu adalah Bouw-ciangkun sendiri, seorang perwira yang bertubuh pendek gendut. Di sebelah pembesar ini nampak beberapa orang perwira pasukan asing.
Terdengar bunyi terompet dan pintu gerbang di seberang terbuka. Muncullah seorang perwira tinggi kurus. Perwira ini bukan lain adalah Gui ciangkun sendiri yang sengaja keluar menyambut kedatangan pasukan berkuda yang dipimpin oleh Bouw-ciangkun, rekannya. Kota Lok yang dijaga oleh empat pasukan besar, dan dua di antaranya dikepalai oleh Gui-ciangkun dan Bouw-ciangkun. Jembatan gantung tidak diturunkan dan kini dua orang komandan pasukan itu berdiri berhadapan, dipisahkan oleh parit yang lebar itu.
"Gui-ciangkun, menyerahlah engkau dan pasukanmu dengan baik-baik dari pada harus digempur dan dihancurkan!" teriak Bouw-ciangkun dengan sikap garang. Perutnya yang gendut sekali itu bergerak-gerak ketika dia bicara.
Gui-ciangkun mengerutkan alisnya. "Bouw-ciangkun, kita adalah rekan, sama-sama menjaga keselamatan kota ini sebagai komandan pasukan kita masing-masing. Engkau tidak berhak bicara seperti itu kepadaku, apa lagi untuk menangkapku dan minta pasukanku menyerah!"
"Hemm, engkau masih belum menginsyafi dosa-dosamu? Engkau membiarkan anak buahmu membunuhi anak buahku di depan kedai!" teriak Bouw-ciangkun.
"Perkelahian antara perajurit adalah soal biasa. Akan tetapi anak buahku yang delapan orang itu dibantai oleh belasan orang-orangmu yang dibantu oleh orang-orang liar. Kinipun aku melihat engkau bersanding dengan perwira-perwira bangsa liar, sungguh menjemukan sekali, dan engkau berani bicara tentang pasukanku harus menyerah?"
"Orang she Gui, engkau hendak memberontak?''
"Orang she Bouw, engkaulah yang hendak memberontak dengan bersekongkol bersama pasukan-pasukan asing yang liar!"
Bouw-ciangkun marah sekali. Dia mencabut pedangnya, mengangkat pedangnya ke atas sambil berteriak, "Pasukan panah, seraaanggggg!"
Pasukan berkuda itu segera bertebaran dan mulailah mereka menyerang dengan anak panah ke arah benteng. Bouw-ciangkun tentu saja segera bersembunyi dan berlindung karena dari bentengpun datang anak panah seperti hujan sebagai serangan balasan. Korban kedua pihak mulai berjatuhan. Kini seluruh pasukan Bouw-ciangkun dikerahkan dan jumlah mereka tidak berselisih banyak dengan pasukan Gui-ciangkun.
Perang anak panah itu amat gencar akan tetapi sampai tengah malam, belum juga Bouw-ciangkun yang dibantu oleh pasukan kecil bangsa asing itu mampu menyeberangi parit. Beberapa usaha mereka lakukan, akan tetapi mereka selalu menghadapi perlawanan gigih. Perahu-perahu yang mereka kerahkan tenggelam dan mereka terpaksa mundur kembali ketika pasukan dari benteng melempar-lemparkan batu-batu besar ke arah perahu-perahu itu dan menghujani perahu-perahu itu dengan anak panah.
"Bakar saja benteng itu!" teriak Bouw-ciangkun marah.
Melihat betapa anak buah Bouw-ciangkun kini mempersiapkan bahan-bahan bakar dan panah-panah berapi, hati Liu Pang menjadi gelisah juga. "Celaka," pikirnya. "Kalau digunakan api, tentu habislah benteng itu!" Dia tidak tahu bagaimana dia seorang diri akan mampu menolong benteng itu.
Akan tetapi, sebelum perintah menyerang dengan panah api dikeluarkan, tiba-tiba terdengar bunyi terompet tanda bahwa ada pembesar datang. Yang muncul adalah seorang pembesar gagah berkuda, diapit oleh dua orang perwira tinggi dan dikawal oleh pasukan pengawal yang berpakaian indah.
Kiranya dia adalah Jenderal Lai, yaitu panglima daerah timur dan sepanjang pantai, panglima yang menjadi pembantu Jenderal Beng Tian itu. Tentu saja para komandan di kota Lok-yang termasuk bawahannya dan melihat munculnya panglima ini, Bouw-ciangkun cepat memberi hormat dan menyambutnya sehingga penyerangan dengan panah api itu tertunda.
Dengan muka merah dan alis berkerut, Jenderal Lai menegur, "Bouw-ciangkun apa artinya pengepungan dan penyerangan terhadap benteng rekannya sendiri itu."
Bouw-ciangkun lalu melaporkan tentang apa yang telah terjadi, tentang bentrokan antara anak buahnya dan anak buah Gui-ciangkun. Tentu saja dalam laporan kepada atasannya ini dia menimpakan semua kesalahan kepada Gui-ciangkun yang dicapnya pemberontak.
"Saya mengundangnya baik-baik untuk saya bawa menghadap Lai-goanswe, akan tetapi dia tidak mau, bahkan menggunakan kata-kata kasar dan menantang. Saya sudah menegurnya dan mengancamnya agar dia menyerah tanpa perlawanan, akan tetapi Gui-ciangkun membangkang dan menentang," demikian perwira gendut itu menutup pelaporannya.
Jenderal yang terhitung masih muda, baru berusia empatpuluh lima tahun itu mengerutkan alisnya dan suaranya terdengar tegas, "Bouw-ciangkun! Seorang perajurit, apapun pangkatnya, harus mentaati peraturan dan berdisiplin. Engkau sendiripun telah melakukan pelanggaran dalam hal ini. Tanpa surat perintahku untuk membawanya menghadap, mana mungkin Gui-ciangkun mentaatimu? Kami tidak berpihak siapapun dalam keributan ini. Besok pagi akan kupanggil Gui-ciangkun. Aku ingin agar suasana menjadi jernih. Kekuatan kita tidak boleh dipecah-pecah seperti ini karena hal itu hanya akan mengeruhkan suasana dan melemahkan kedudukan kita sendiri. Nah, sekarang tariklah pasukanmu dan kembalilah ke bentengmu sendiri!"
Setelah pasukan Bouw-ciangkun ditarik kembali, tempat itu menjadi sunyi kembali. Hanya di dalam benteng itu saja yang masih terjadi kesibukan, yaitu para perajurit merawat teman-teman yang terluka. Gui-ciangkun memeriksa anak buahnya dan memerintahkan agar penjagaan dilanjutkan dengan ketat.
Liu Pang melihat semua itu dan pemimpin para pendekar ini merasa prihatin sekali. Keadaan di daerah sungguh kacau-balau. Pasukan saling hantam sendiri dan agaknya pemerintah tidak akan dapat mengatasi keadaan. Kalau dibiarkan berlarut-larut, di sernua tempat tentu akan muncul pemberontakan-pemberontakan dan kalau api itu sudah membakar negara, akan sukarlah untuk dipadamkan.
Kaisar dan para pembantunya di kota raja agaknya tidak tahu atau tidak memperdulikan keadaan negara yang terancam bahaya gawat ini. Mereka itu hanya pandai mengumbar nafsu, bersenang-senang di kota raja dan menganggap ringan pemberontakan-pemberontakan itu. Bahkan kaisar agaknya hanya tahu bahwa yang melakukan pemberontakan adalah Chu Siang Yu saja, di utara dan barat.
Padahal, keadaan di timur dan selatan tidak kalah gawatnya. Daerah yang dianggap aman ini sebenarnya sedang bergolak dan sewaktu-waktu akan meledak menjadi pemberontakan yang akan menghancurkan pemerintah. Pasukan asing berkeliaran di daerah ini dan banyak pembesar dan pasukan yang bersekongkol dengan mereka. Celakanya, pemerintah pusat bahkan percaya akan laporan para pembesar yang sebenarnya merupakan musuh dalam selimut itu.
Para pembesar yang bersekongkol dengan orang-orang asing, percaya akan laporan mereka bahwa Liu Pang dan para pendekarlah yang memberontak! Padahal, yang menjadi dasar pada gerakannya adalah untuk menyelamatkan negara dan pemerintah, untuk menghalau pasukan asing dan menghajar para pembesar yang bersekongkol dengan mereka.
"Pasukan pemerintah yang kuat kini hanya tinggal yang dipimpin oleh Jenderal Beng Tian, demikian dalam persembunyiannya Liu Pang berpikir. "Dan Beng-goanswe itu kini sibuk mengerahkan tenaga untuk membendung gerakan Chu Siang Yu. Dan pergolakan di timur dan selatan tidak akan ada yang dapat mencegah lagi. Siapa lagi yang dapat menyelamatkan negara dari tangan pasukan asing dan penjual-penjual negara itu?"
Dengan pikiran ini, bulatlah tekad di hati Liu Pang untuk menyelamatkan negara, apapun akibatnya. Dia akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menduduki daerah, membasmi pasukan asing, menghancurkan pula kekuatan-kekuatan yang bersekongkol dengan pasukan asing dan hendak memberontak. Mulai saat itu, berobahlah pendirian Liu Pang. Kalau tadinya dia masih merasa segan dan takut-takut untuk menentang kaisar karena di dasar hatinya terdapat kesetiaan terhadap pemerintah.
Kini perasaan itu semakin menipis, bahkan lenyap karena dia mulai menimpakan kesalahan kepada kaisar yang dianggapnya tidak cakap meng-atur pemerintahan sehingga negara terancam bahaya. Dia sudah mengambil keputusan untuk melanjutkan gerakannya, memperbesar pasukannya dan memperluas daerah kekuasaannya untuk menyaingi Chu Siang Yu. Mula-mula Liu Pang memang didorong oleh jiwa patriot, akan tetapi kini mulai bercampur dengan ambisi.
Kemenangan dan sukses adalah hal-hal yang amat berbahaya bagi kita manusia pada umumnya. Dalam keadaan berjuang, yang ada hubungannya dengan perjuangan berdasarkan kepatriotan, memang cita-citanya nampak bersih dan murni, yakni membebaskan tanah air dari bangsa dari keadaan yang buruk, membela rakyat tertindas dan segala slogan yang baik-baik lagi.
Dalam keadaan berjuang, biasanya lubuk hati masih murni dan perjuangan dilakukan dengan setia dan jujur, bersih dari pada mementingkan diri sendiri, penuh kesetiakawanan dan pengorbanan diri dengan rela. Akan tetapi, setelah perjuangan selesai dan kemenangan dicapai, setelah memperoleh kemuliaan yang berupa bergelimangnya harta kekayaan dan menjulangnya nama kehormatan, maka akan terjadilah pembahan dalam batin kita pada umumnya.
Di dalam perjuangan, yang dituju adalah kepentingan bangsa dan kepentingan pribadi sudah tenggelam ke dalam kepentingan bangsa sehingga kejujuran dan kesetiaan terhadap kawan amat terasa. Akan tetapi, setelah memperoleh kemuliaan, yang dipentingkan tentu saja adalah kemuliaannya sendiri dan setiap orang yang berani menggoyahkan kedudukannya, dengan dalih apapun, dengan dalih kepentingan bangsa sekalipun, akan ditentang mati-matian.
Hal ini sudah terjadi berulang kali, tercatat dalam sejarah semua bangsa di dunia. Di kala melakukan perjuangan mengejar kemenangan, semua orang tentu bersatu padu, akan tetapi setelah perjuangan berhasil dan kemenangan dicapai, semua orang saling berebut, memperebutkan hasil dari pada kemenangan itu. Yang berhasil memperoleh kemuliaan akan mempertahankannya mati-matian.
Sebaliknya yang tidak kebagian akan berusaha untuk mengganggu dan memperebutkan kedudukan. Tentu saja kita menutupi segala keinginan itu dengan berbagai macam dalih yang muluk-muluk, dan biasanya selalu nama rakyat dipergunakan untuk menutupi keinginan pribadi yang bersumber kepada pementingan diri sendiri. Nama rakyat hanya dicatut saja, diperalat untuk mencapai apa yang dikejarnya dan kalau yang dicapai sudah dapat, rakyatpun dilupakan.
Setelah berpikir sejepak, Liu Pang cepat meninggalkan tempat itu dan cepat mengejar pasukan Bouw-ciangkun yang kembali ke benteng mereka sendiri. Dia telah mempunyai rencana yang dianggapnya tepat untuk melancarkan penyerbuan pasukannya besok pagi.
Gui-ciangkun mengadakan rapat darurat dengan para perwira pembantunya malam itu juga. Dia juga sudah mendengar akan kemunculan Jenderal Lai dan tahulah dia bahwa Bouw-ciangkun tentu mengadukannya kepada Jenderal Lai. Mengingat bahwa tiga orang perwira tinggi lainnya, di kota Lok-yang telah menjadi antek kepala daerah yang bersekongkol dengan pasukan asing, maka dia tentu akan kalah suara dan Jenderal Lai tentu akan lebih percaya keterangan mereka. Besok pagi dia tentu akan ditangkap dan pasukannya dianggap pemberontak.
"Tidak sudi aku menyerah!" Demikian dia mengambil keputusan di depan para pembantunya sambil menggebrak meja.
"Akan tetapi, ciangkun," seorang pembantunya menyatakan kebingungan hatinya, "apakah dengan demikian berarti bahwa kita akan melakukan pemberontakan terhadap pemerintah secara terbuka?"
"Tidak, kita tidak memberontak melawan pemerintah, melainkan memberontak terhadap penguasa di Lok-yang yang sudah bersekutu dengan orang asing! Kita tidak sudi terseret menjadi manusia pengkhianat penjual negara kepada kekuasaan asing!"
Tiba-tiba terdengar suara gaduh dan daun pintu ruangan itu terbuka dari luar. Muncul seorang laki-laki gagah perkasa berpakaian sederhana, berusia tigapuluh enam tahun yang bertubuh jangkung dan mukanya kurus akan tetapi sepasang matanya seperti mata harimau, mencorong penuh wibawa.
Dari luar berlompatan para pengawal yang nampak terkejut dan gelisah. Kepala pengawal berkata, "Maaf, ciangkun. Dia menyelinap masuk dengan cepat sehingga kami terlambat.
Akan tetapi Gui-ciangkun mengangkat tangan memberi isyarat agar para pengawal jangan sembarangari bergerak. Dia sudah melihat bahwa orang yang datang secara aneh ini mengempit tubuh yang gendut, tubuh Bouw-ciangkun yang kelihatan lemas tertotok!
Liu Pang memandang kepada Gui-ciangkun dengan sinar mata penuh selidik. "Gui-ciangkun, benarkah kata-katamu tadi bahwa engkau tidak akan menyerah kepada para pengkhianat itu? Baguslah kalau begitu! Ketahuilah bahwa aku Liu Pang!"
Mendengar pengakuan ini, semua orang terkejut dan Gui-ciangkun sendiri memandang terbelalak "Liu bengcu?"
"Benar. Pasukanku telah mengepung kota ini. Bersiaplah Gui-ciangkun dengan semua pasukanmu dan temui aku pada besok pagi di luar benteng kota. Sebagai bukti bahwa aku ingin bekerja sama dengjan pasukanmu, ini kubawakan si pengkhianat Bouw kepadamu. Terserah mau kau apakan dia. Nah, selamat tinggal. Pikirkan baik-baik usulku, tidak banyak waktu lagi!"
Dan Liu Pang melemparkan tubuh gendut itu ke atas lantai, kemudian sekali berkelebat tubuhnya meloncat keluar ruangan itu dan sebentar saja lenyap dalam kegelapan malam. Sebelum kembali ke pasukannya, Liu Pang menggunakan kepandaiannya untuk melakukan penyelidikan dan mengelilingi semua penjuru kota, memeriksa keadaan benteng penjagaan kota itu untuk mengetahui bagian mana yang kuat dan mana yang agak lemah.
Pada waktu itu, fajar telah mulai menyingsing. Langit di timur nampak kemerahan tanda bahwa sang matahari sudah akan menampakkan kehadirannya di belahan bumi ini. Liu Pang sudah selesai dengan penyelidikannya ketika tiba-tiba terdengar sorak-sorai gemuruh di luar benteng kota. Gembiralah hati pendekar ini. Pasukan para pendekar telah tiba, tepat pada waktunya, sesuai dengan yang telah direncanakan.
Cepat dia melompat keluar tembok kota dan menggabungkan diri dengan pasukannya. Pasukan para pendekar itu bersorak gembira melihat sosok tubuh yang melayang turun itu, setelah mengenal bahwa itu adalah tubuh pimpinan mereka yang mereka cinta dan kagumi.
Setelah tiba kembali di antara pasukannya, Liu Pang lalu memimpin sendiri barisannya, dipecah-pecah dan dibagi-bagi tugas pengepungan kota Lok-yang. Dengan tombak panjang di tangan, pemimpin ini dengan gagahnya memimpin sendiri pasukan yang berada di depan pintu gerbang. Pek Lian, Hek-coa Ouw Kui Lam dan para pembantu yang lain masing-masing mendapat bagian tugas memimpin pasukan-pasukan yang mengepung kota itu.
Tentu saja di dalam kota Lok-yang terjadi kegemparan dan kepanikan. Apalagi setelah mendengar bahwa pintu gerbang telah ditutup semua dan bahwa kota itu telah dikepung oleh barisan "pemberontak" Liu Pang! Para penduduk yang tidak sempat lari mengungsi itu kini bersembunyi di dalam rumah masing-masing, bergerombol dan saling berpelukan.
Suami-suami menghibur isterinya, ibu-ibu merangkul anak-anaknya dan berusaha agar si kecil tidak sampai menangis membuat gaduh. Pria-pria muda dengan lagak gagah tapi hati takut berjaga di depan pintu kamar keluarga masing-masing.
Jenderal Lai cepat memanggil empat orang perwira yang menjadi komandan-komandan pasukan penjaga kota Lok-yang. Akan tetapi, keadaan menjadi geger ketika Bouw-ciangkun tak dapat ditemukan di dalam bentengnya, sedangkan Gui-ciangkun tidak mau menghadap! Seperti telah kita ketahui, dengan kepandaiannya yang tinggi, malam tadi Liu Pang berhasil menyelundup ke benteng Bouw-ciangkun, menculik perwira gendut ini dan membawanya ke benteng Gui-ciangkun.
Terpaksa Jenderal Lai menunjuk seorang perwira lain untuk menggantikan kedudukan Bouw-ciangkun dan memimpin pasukan. Akan tetapi, dia tidak dapat berbuat apapun terhadap Gui-ciangkun. Benteng Gui-ciangkun masih dijaga ketat dan jembatan gantung masih juga belum diturunkan. Jelaslah bahwa Gui-ciangkun dan pasukannya hendak memberontak. Akan tetapi, untuk menggempur dan menghukumnya tidak ada waktu. Yang penting kini ialah menghadapi pemberontak Liu Pang yang sudah mengepung kota.
Terdengar bunyi terompet dan tambur di luar pintu gerbang, dan Liu Pang menantang perang dengan suara lantang karena teriakannya disertai tenaga khikang yang kuat. Selagi Jenderal Lai sibuk mengatur pasukan untuk melakukan penjagaan mempertahankan benteng kota, tiba-tiba nampak bayangan orang meloncat turun dari tembok benteng.
Segera terdengar bentakan dan teriakan dari atas benteng dan beberapa batang anak panah meluncur ke arah orang itu. Akan tetapi orang itu yang berpakaian perwira, berlari dengan cepat dan beberapa batang anak panah yang mengenai baju perangnya meleset dan tidak melukainya.
"Cepat sambut orang itu dengan baik!" Liu Pang berseru dan beberapa orang lalu menyambut perwira itu dan membawanya menghadap Liu Pang. Perwira itu melepas topinya dan memberi hormat sambil berlutut di depan Liu Pang.
"Saya membawa salam hormat dari Gui-ciangkun untuk disampaikan kepada Liu-bengcu!" kata perwira itu agak terengah-engah karena tadi dia harus mengerahkan tenaganya. "Gui-ciangkun memberitahukan bahwa dia telah mengambil keputusan untuk bergabung dengan pasukan Liu-bengcu, dan sekarang sudah siap untuk menghadapi gempuran Jenderal Lai yang menganggapnya sebagai pemberontak."
"Bagus! Kalau begitu, kita akan menyerang sekarang! Jangan beri kesempatan kepada Jenderal Lai untuk menyerbu benteng Gui-ciangkun!"
Liu Pang lalu memberi isyarat kepada semua pembantunya dan pasukannya mulai bergerak. Dari dalam benteng itu, keluarlah tiga orang perwira menunggang kuda. Munculnya musuh ini segera disambut oleh Pek Lian, Hek-coa Ouw Kui Lam, dan seorang rekan lagi. Seperti biasa yang dilakukan orang pada jaman itu, setiap peperangan selalu dimulai dengan pertempuran antara jagoan-jagoan mereka. Kedua pihak bertanding dengan jujur dan gagah sedangkan pasukan masing-masing hanya memberi semangat dengan sorakan-sorakan dan teriakan-teriakan.
Terjadilah pertempuran antara tiga orang jagoan dari Lok-yang melawan Pek Lian, Ouw Kui Lam, dan seorang pendekar lain. Tentu saja dalam perkelahian perorangan seperti ini, ilmu silat jauh lebih penting dan berguna dari pada ilmu perang. Belum sampai dua puluh jurus saja, tiga orang perwira jagoan dari Lok-yang itupun roboh dan tewas, disambut sorak-sorai dari para anak buah pasukan Liu Pang.
Dan karena Liu Pang tidak ingin membiarkan pasukan Gui-ciangkun mengalami kehancuran di dalam benteng, dia tidak menanti sampai ada jagoan lain keluar dari benteng musuh, terus saja dia memberi aba-aba dan pasukannya bergerak maju sambil menghujankan anak panah ke arah benteng. Dari benteng musuh datang pula anak panah berhamburan menyambut pasukan yang maju.
Terjadilah pertempuran yang dahsyat. Biarpun pasukan penjaga kota Lok-yang cukup banyak dan kuat, bahkan diam-diam dibantu pula oleh pasukan asing tanpa diketahui oleh Jenderal Lai sendiri, namun karena kini pasukan yang dipimpin oleh Gui-ciangkun juga membantu melakukan pengacauan dari dalam, akhirnya, menjelang tengah hari, pintu gerbang besar dapat dibobolkan dan Liu Pang memimpin pasukannya menyerbu ke dalam kota.
Gegerlah kini keadaan dalam kota. Pertempuran terjadi di mana-mana di seluruh kota. Rakyat menjadi panik dan berlari-larian menyelamatkan diri. Kebakaran-kebakaran terjadi di sana-sini membuat keadaan menjadi semakin kacau dan membuat orang-orang menjadi semakin panik.
Suara gaduh dan hiruk-pikuk memenuhi udara, kadang-kadang terdengar pekik kesakitan dan raungan orang menghadapi maut. Pertempuran yang kacau-balau dan tidak teratur sama sekalipun ter-jadilah di mana-mana. Pertempuran antar kelompok dan antar perorangan terjadi di jalan-jalan, di lorong-lorong, di halaman rumah orang. Kebakaran makin menjalar luas.
Liu Pang sendiri bersama limapuluh orang pengawal yang selalu membantu dan melindunginya, menerjang ke arah gedung gubernuran untuk menduduki gedung yang menjadi pusat pemerintahan di daerah itu. Akan tetapi usahanya ini tidaklah mudah karena selalu dirintangi oleh pasukan musuh yang agaknya hendak mempertahankan gedung, itu dengan mati-matian. Apa lagi, jalan besar menuju ke gedung kepala daerah itu penuh dengan rakyat tua muda yang berlarian mengungsi dan menyelamatkan diri, sehingga mereka ini menghambat majunya Liu Pang yang selalu melarang anak buahnya mengganggu rakyat.
Dengan menunggang seekor kuda putih yang besar, Liu Pang terus menghajar musuh dengan gagahnya. Dia sudah berhati-hati sekali agar jangan sampai salah tangan melukai rakyat yang berlari-larian mengungsi, akan tetapi karena suasana begitu kacau, tanpa disengaja kudanya melanggar tubuh seorang laki-laki berpakaian pelayan yang setengah tua. Pelayan tua itu diiringkan oleh beberapa orang pelayan lain dan dia jatuh tunggang langgang ketika terlanggar oleh kuda putih besar itu.
Liu Pang terkejut sekali dan sesuai dengan wataknya yang gagah dan selalu memperhatikan orang kecil, diapun cepat melompat turun dari atas kudanya dan membantu orang tua itu untuk bangun. Dengan ramah Liu Pang minta maaf dan sekalian bertanya kepada kakek itu di mana letaknya gedung sang gubernur.
"Tak jauh lagi, di sana..." kakek itu menunjuk ke arah barat. Kemudian, tertatih-tatih orang itu melanjutkan perjalanannya mengungsi dipapah para pelayan pengikut yang lain.
Liu Pang tidak memperhatikan lagi rombongan pelayan itu dan melanjutkan penyerbuannya ke arah gedung kepala daerah seperti yang ditunjukkan oleh pelayan tua tadi. Dan sekarang terjadi hal yang mengherankan. Perlawanan pasukan musuh tidaklah seketat tadi, bahkan kini mereka dapat maju sampai ke gedung gubernuran tanpa banyak halangan!
Cepat Liu Pang memimpin pasukannya menyerbu ke dalam gedung, dan ternyata gedung itu sudah kosong. Semua penghuninya agaknya telah kabur. Bahkan para pelayan dan pengawalnya juga tidak ada lagi, gardu-gardu penjaga kosong.
Para perwira pasukan asing yang katanya mondok di gedung itupun tidak nampak bayangannya. Sungguh aneh, bagaimana mereka mampu meloloskan diri dari gedung di kota yang sudah dikepung dan diserbu itu? Apakah mereka mungkin melarikan diri dengan menyamar, lalu menjadi satu dengan rakyat yang berlari-larian dan mengungsi berbondong-bondong itu?
Tiba-tiba dia teringat akan rombongan pelayan yang tadi ditabrak kudanya. Ah, kini dia teringat. Muka pelayan tua itu. Tidak pantas sebagai pelayan, mukanya terlalu putih dan gerakannya terlalu halus. Dan pelayan tua itu diiringkan banyak sekali pelayan yang membawa banyak buntalan pula. Ah, betapa bodohnya!
"Tolol sekali aku! Orang itu tentu gubernur dan para pengawalnya!" Cepat Liu Pang keluar dari gedung dan melarikan kudanya, pergi menyusul. Akan tetapi, kemanapun dia mencarinya, dia tidak berhasil menemukan rombongan gubernur yang mengungsi itu. Pintu gerbang terbuka lebar dan padat oleh para penghuni yang mengungsi keluar kota.
Menjelang senja, pertempuran berakhir. Sisa pasukan penjaga kota melarikan diri dan kota Lok-yang diduduki oleh Liu Pang. Tentu saja pasukan Liu Pang menjadi gembira dan besar hati oleh kemenangan gemilang ini. Jenderal Lai juga melarikan diri, dan banyak perwira yang tewas. Gui-ciangkun diterima sebagai pembantu Liu Pang dan pasukannya bergabung dengan induk pasukan besar dari pendekar itu yang kini menjadi semakin besar.
Pesta kemenangan dirayakan! Dalam keadaan seperti itu, para perajurit makan minum sampai mabok dan mereka itu sama sekali lupa akan teman-temannya yang gugur dalam pertempuran itu. Yang teringat hanyalah bahwa mereka masih hidup dan menang!
Di dalam pesta ini, Liu Pang lalu mulai mengatur pasukannya. Dia berpikir bahwa kalau pasukannya yang semakin besar itu dibiarkan kacau tanpa peraturan, akhirnya dia sendiri yang tidak akan mampu mengendalikan. Kini sudah tiba saatnya pasukannya harus merupakan bala tentara yang teratur, dengan pembantu-pembantunya dijadikan perwira-perwira sesuai dengan kepandaian, jasa dan kedudukan masing-masing seperti dalam ketentaraan.
Untuk menyusun peraturan-peraturan ini, tenaga Gui-ciangkun sangat berguna dan bersama Gui-ciangkun, Liu Pang mulai menyusun pasukannya dan pembantunya. Di dalam benteng itu mereka telah menyita banyak sekali pakaian dan kini para pembantu dibagi-bagi pakaian sesuai dengan kedudukan dan pangkat mereka yang ditentukan oleh Liu Pang. Suasana pesta menjadi gembira sekali.
Karena mereka itu sebagian besar, yaitu para pembantu utama, terdiri dari pendekar-pendekar yang ahli ilmu silat, maka pesta ini tak dapat dihindarkan lagi lalu diramaikan dengan pertunjukan ilmu silat yang sekaligus menjadi arena pibu (mengadu kepandaian silat) secara persahabatan. Pibu diadakan karena Liu Pang ingin mengenal kepandaian para pembantu baru dan ingin memilih pembantu-pembantu baru yang pandai.
Ho Pek Lian mewakili gurunya untuk bertindak sebagai penguji. Beberapa orang pimpinan pasukan maju, akan tetapi tidak ada seorangpun yang dapat mengalahkan Pek Lian. Bahkan bekas guru pertamanya sendiri, Ouw Kui Lam seorang di antara Huang-ho Su-hiap, tidak mampu menandinginya. Ilmu kepandaian Pek Lian memang sudah cukup tinggi.
Bukan saja dara ini telah mewarisi ilmu-ilmu dari empat pendekar Huang-ho Su-hiap dan kemudian dilatih ilmu pedang oleh Liu Pang sendiri, akan tetapi juga gadis ini selama ini telah digembleng oleh pengalaman-pengalaman yang hebat, bertemu orang-orang pandai dan menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh keturunan orang-orang sakti.
Setelah melihat bahwa tidak ada lagi yang berani maju melawannya, Pek Lian hendak mundur dan mengaso. Akan tetapi tiba-tiba muncullah seorang pemuda yang berwajah tampan sekali, seorang pemuda yang keluar dari kelompok perajurit rendahan. Pakaiannya amat sederhana, dari bahan yang murah, akan tetapi nampaknya rapi dan bersih. Pemuda ini agaknya tidak mau mempergunakan kesempatan dalam kemenangan itu untuk melucuti pakaian lawan dan memakainya, melainkan tetap mengenakan pakaian biasa seorang petani.
"Harap nona sudi memberi petunjuk kepadaku," katanya sederhana.
Pek Lian mengerutkan alisnya dan memandang heran. Di antara para pengikut pibu tadi, semua terdiri dari para pimpinan pasukan, tidak ada seorangpun perajurit biasa yang berani maju. Pemuda ini jelas hanya seorang perajurit biasa saja. Hal ini sudah mengherankan, pula, ia merasa seperti pernah melihat wajah tampan ini, akan tetapi ia lupa lagi kapan dan di mana. Bagaimanapun juga, pibu itu diadakan secara terbuka dan tanpa batas, maka siapapun juga yang maju haruslah dilayani.
Maka iapun tersenyum ramah dan melangkah kembali ke depan, ke tenglah ruangan indah itu, karena pertemuan pesta itu dilakukan di ruangan luas dari gedung gubernur yang lantainya marmar licin dan bersih. "Baiklah, silahkan maju," katanya sambil memasang kuda-kuda.
"Maafkan!" Pemuda itu lalu membuka serangan. Gerakannya biasa saja, seenaknya dan seperti tidak bertenaga.
Akan tetapi, ketika Pek Lian mengelak dan mulai membalas, diam-diam dara itu terkejut. Serangannya dapat dipatahkan dengan amat mudahnya oleh pemuda perajurit rendahan ini! Tentu saja ia merasa penasaran dan mulailah ia memberi "isi" kepada serangan berikutnya. Akan tetapi sama saja, berturut-turut ia menyerang dan semua serangannya kandas tanpa hasil! Bahkan pemuda itupun membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah cepatnya.
Ramai sekali perkelahian pibu itu sampai semua orang meman-dang dengan mata terbelalak. Terdengar pujian-pujian di sana-sini dan semua orang merasa kecelik. Tak ada seorangpun mengira bahwa pemuda sederhana itu ternyata memiliki ilmu silat yang cukup lihai sehingga mampu menandingi Pek Lian sampai belasan jurus. Makin lama, makin kagum dan heranlah mereka karena yang belasan jurus itu akhirnya menjadi sampai puluhan jurus dan mendekati seratus jurus akan tetapi pemuda itu belum juga terdesak, apa lagi kalah!
Ternyata permainan silat mereka nampak seimbang. Bahkan diam-diam Liu Pang yang memandang dengan penuh perhatian juga dapat menduga bahwa pemuda itu tentu memiliki tenaga sinkang yang kuat dan bahwa pemuda itu sengaja mengalah terhadap Pek Lian dan tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, pikirnya kagum.
Sementara itu, si pemuda tampan agaknya merasa sudah cukup menguji kepandaian dan dia sengaja memperlambat elakannya ketika tamparan tangan kiri Pek Lian menyambar ke arah kepalanya sehingga biarpun kepalanya tidak sampai terkena pukulan, akan tetapi bahu kanannya tertampar dan diapun terhuyung ke belakang. Cepat dia menjura kepada Pek Lian.
"Banyak terima kasih atas petunjuk nona!" Lalu diapun kembali ke tempat duduknya disambut sorak-sorai para perajurit yang merasa kagum kepada rekan mereka yang muda namun lihai ini. Akan tetapi sebelum pemuda itu tiba di tempat duduknya, nampak bayangan berkelebat dan ternyata Liu Pang telah berdiri di depannya dan pemimpin ini tersenyum.
"Aku merasa sangat kagum atas kepandaianmu, saudara muda. Tidak kusangka bahwa di antara rekan-rekan yang membantuku, terdapat seorang pendekar muda yang amat lihai. Nah, terimalah rasa kagumku dengan secawan arak!" Liu Pang yang sudah membawa secawan arak itu lalu memberikan cawan penuh arak itu kepada si pemuda.
Melihat betapa pemimpin besar ini menghormatinya dengan secawan arak, wajah si pemuda menjadi merah seketika karena girang, bangga dan juga terharu dan malu. Dan kenyataan bahwa Liu Pang dapat berkelebat cepat membawa secawan penuh arak tanpa tumpah, membuktikan betapa lihainya pemimpin ini.
"Terima kasih, sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagi saya," pemuda itu menjawab dan menerima cawan arak itu. Akan tetapi, begitu tangannya menyentuh cawan, dia terkejut bukan main karena terasa hawa panas dan tenaga kuat mendorongnya dari tangan Liu Pang! Tahulah dia bahwa pemimpin ini memang sengaja hendak mengujinya dengan tenaga sinkang. Pemuda itu tersenyum dan diapun melanjutkan gerakannya menerima cawan arak.
Terjadi pertemuan dua tenaga sinkang dan akibatnya, cawan arak itu pindah ke tangan si pemuda akan tetapi keduanya tergetar dan mundur! Liu Pang mundur sampai tiga langkah sedangkan si pemuda mundur sampai empat langkah, akan tetapi arak itu sedikitpun tidak tumpah dari cawannya.
Liu Pang memandang kaget dan juga kagum. Tahulah dia bahwa pemuda ini benar-benar lihai bukan main, jauh lebih lihai dibandingkan dengan Pek Lian, bahkan dalam hal tenaga sinkang juga hampir dapat mengimbanginya!
"Maaf, siapakah guru saudara? Bolehkah saya mengenal namanya yang mulia?" tanya Liu Pang, sikapnya bukan sebagai pemimpin terhadap bawahan, melainkan sebagai seorang pendekar yang bertemu kawan baru yang sama lihainya.
"Harap Liu-bengcu sudi memaafkan saya. Sesungguhnya, saya terseret oleh kegembiraan pesta kemenangan ini sehingga lupa diri dan tadi lancang memasuki pibu. Bukan lain hanya untuk ikut bergembira. Akan tetapi saya hanyalah seorang perajurit pejuang, dan tentang asal-usul saya, harap bengcu sudi memberi kelonggaran dan kebebasan kepada saya untuk sementara ini tidak menceritakannya."
Ucapan itu dikeluarkan dengan nada sedih dan juga dengan sikap sopan, maka biarpun hatinya merasa penasaran sekali, Liu Pang tidak menjadi marah. Sementara itu, Pek Lian memandang tajam, mengingat-ingat di mana kiranya ia pernah bertemu dengan pemuda ini, namun ia tetap tidak mampu mengingatnya.
Liu Pang merasa sangat terkesan hatinya oleh pemuda tampan itu. Maka pemuda itu langsung saja diangkat menjadi pembantu dekatnya, sebagai pengawal pribadi karena selain suka, diapun ingin benar mengetahui asal-usul pemuda aneh yang amat lihai ini. Dia menghadiahkan pakaian perwira karena pemuda itu diangkatnya sebagai komandan pengawal, dan diberi hadiah sebatang pedang rampasan yang amat baik.
Karena gembira dan didorong oleh kawan-kawannya, pemuda itu mengenakan pakaian perwira itu dan dia kelihatan semakin tampan dan gagah. Kini dia mendapat kehormatan untuk duduk di kursi para pembantu dekat Liu Pang dan pesta dilanjutkan dengan penuh kegembiraan sampai pagi.
Kita tinggalkan dulu mereka yang sedang merayakan pesta kemenangan di dalam kota Lok-yang yang baru mereka duduki itu dan mari kita meng-ikuti perjalanan Chu Seng Kun, Chu Bwee Hong, Kwa Siok Eng, dan A-hai.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, empat orang muda ini meninggalkan Pek Lian dan pasukan Liu Pang yang sedang menyusun kekuatan itu dan mereka berangkat menuju ke kota raja. Mereka berempat itu tidak tahu bahwa gerak-gerik mereka semenjak meninggalkan pasukan Liu Pang telah diperhatikan orang.
Mereka baru tahu akan bahaya setelah pada hari ke dua, ketika me-reka memasuki sebuah hutan yang sunyi, tiba-tiba terdengar suara nyaring dan muncullah tidak kurang dari tigapuluh orang dari balik pohon dan semak-semak, dan mereka berempat sudah dike-pung! Para pengepung itu rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi, dan biarpun mereka itu berpakaian preman, namun gerakan mereka yang teratur itu membayangkan bahwa mereka adalah anggauta-anggauta pasukan yang terpimpin rapi.
Dan memang tidak keliru karena mereka adalah pasukan pemerintah yang pilihan dan menyamar sebagai orang biasa. Pasukan seperti ini bertugas menggempur para pemberontak secara diam-diam dan kini mereka telah mengepung empat orang yang mereka tahu adalah anggauta-angauta pemberontak yang baru saja meninggalkan pasukan Liu Pang dan agaknya akan bertugas sebagai mata-mata.
"Pemberontak-pemberontak hina, menyerahlah sebelum kami menggunakan kekerasan!" bentak seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus. Mereka ini adalah pasukan khusus di bawah kekuasaan Jenderal Lai, merupakan pasukan pilihan.
'Siapa pemberontak?" A-hai balas membentak. "Jangan menuduh orang sembarangan dan hina itu, kiranya kalianlah yang hina karena menuduh orang dengan fitnah keji!"
Akan tetapi jawaban A-hai itu tidak diperdulikan dan tigapuluh orang itu sudah menyerbu untuk menangkap mereka. Agaknya, melihat bahwa di antara empat orang itu terdapat dua orang dara yang begitu cantik-cantik dan manis-manis, mereka itu berlumba untuk menangkap Bwee Hong dan Siok Eng sehingga Seng Kun dan A-hai tidak ada yang menyerang!
Bagaikan serombongan srigala menyerang dua ekor domba mereka menubruk ke arah Bwee Hong dan Siok Eng, dengan tangan terulur panjang, jari-jari tangan terbuka hendak mencengkeram daging lunak kulit mulus itu. Akan tetapi, segera terdengar teriakan-teriakan mereka ketika dua orang gadis itu menyambut serangan mereka dengan tamparan dan tendangan yang membuat sedikitnya ada lima orang terjungkal!
Tentu saja teman-temannya terkejut sekali dan pemimpin mereka yang tinggi kurus itu lalu me-ngeluarkan aba-aba, "Serang dan bunuh mereka! Hati-hati, mereka ini lihai, gunakan senjata!"
Dan kini mereka menyerbu dengan senjata pedang atau golok! Mengamuklah Seng Kun, Bwee Hong, dan Siok Eng, sedangkan A-hai hanya berdiri bengong saja sambil berkali-kali mencoba untuk melerai dengan kata-kata dan nasihat-nasihat! Masih untung bagi A-hai bahwa Seng Kun selalu menjaganya sehingga tidak ada seorangpun pengeroyok dapat mendekatinya.
Dan tiga orang yang mengamuk itu adalah orang-orang muda keturunan orang-orang sakti yang telah memiliki ilmu kepandaian hebat, maka biarpun kepungan itu ketat, sampai puluhan jurus lewat, tiga orang muda itu masih belum dapat mereka lukai, apa lagi mereka merobohkan. Bagaimanapun juga, Seng Kun maklum bahwa mereka terancam bahaya. Kalau tidak ada A-hai di situ, mereka bertiga tentu dapat melarikan diri.
Tiba-tiba tercium bau asap hio yang keras dan lima orang pengeroyok roboh dengan mata mendelik dan dari lubang pori-pori di tubuh mereka nampak bintik-bintik darah! Itulah pukulan sakti dari Tai-bong-pai dan melihat ini, Seng Kun berseru, "Nona Kwa, jangan bunuh orang!!"
Dia merasa ngeri membayangkan betapa dara yang amat cantik dan sikapnya juga halus ini dapat membunuh orang secara demikian kejinya, walau pun dia tahu bahwa memang gadis itu adalah puteri ketua Tai-bong-pai yang tentu saja mewarisi ilmu-ilmu yang sakti dan keji dari Tai-bong-pai.
"Tidak, taihiap, bukan aku...!"
Bau asap hio semakin keras dan kembali ada lima orang pengeroyok yang roboh dan mati mendelik seperti lima orang pertama. Melihat ini, para pengeroyok terkejut sekali dan pemimpin mereka agaknya sudah mendengar akan ilmu kesaktian ini. Dia berteriak ketakutan,
"Iblis-iblis Tai-bong-pai datang! Lari!" Dan larilah mereka tunggang-langgang, meninggalkan mayat sepuluh orang kawan mereka itu. Terdengar suara ketawa halus dan muncullah seorang nenek berusia limapuluh tahun lebih yang cantik, berpakaian serba putih sederhana.
"Ibu!" Kwa Siok Eng cepat merangkul wanita itu yang ternyata adalah Kwa-hujin (nyonya Kwa) isteri ketua Tai-bong-pai.
"Anak nakal, baru sekarang engkau pulang? Ah, kiranya engkau bersama dengan kedua orang penolong kita dan penyelamat nyawamu? Bu-kongcu, Bu-siocia, selamat bertemu!" Nyonya itu menyapa halus kepada Seng Kun dan Bwee Hong.
Dua orang muda yang kini shenya sudah berganti menjadi Chu itu tidak membantah dan cepat maju memberi hormat kepada nyonya yang lihai itu. "Bibi datang menyelamatkan kami, terima kasih," kata Seng Kun dan Bwee Hong juga memberi hormat.
"Ilmu bibi sungguh sadis sekali! Membunuh orang begitu mudah dan mengerikan! Aih, sungguh merupakan ilmu siluman!" A-hai berkata sambil bergidik ngeri.
Nyonya Kwa mengerutkan alisnya dan perlahan-lahan menoleh ke arah A-hai, kedua tangannya menegang. Ada orang berani mencela seperti itu, berarti harus mati! Kwa Siok Eng dapat melihat sikap ibunya ini, maka ia mempererat rangkulannya dan berbisik, bisikan halus yang hanya terdengar oleh ibunya saja, "Ibu, dia seorang sahabat baik, hanya otaknya agak miring. Harap ibu maafkan!"
Nyonya itu terbelalak lalu menarik napas panjang. Heran ia mengapa puterinya dan dua orang penolong itu mau saja bersahabat dengan seorang gila! Akan tetapi iapun tidak mau lagi memperdulikan pemuda itu dan ia segera menegur puteri-nya, "Sampai begitu lama engkau tidak pulang, juga kakakmu pergi tanpa memberi tahu. Engkau hendak pergi ke manakah bersama kedua orang penolong ini?"
"In-kong hendak ke kota raja dan aku ikut kesana, kemudian dia hendak mengantar aku pulang, ibu," jawab Siok Eng.
"Hemm, negara sedang kalut, suasana sedang kacau dan berbahaya begini, lebih baik engkau ikut bersamaku lekas pulang. Ayahmu sudah marah-marah terus."
"Tapi, ibu..."
Seng Kun merasa tidak enak. "Nona Kwa, sebaiknya kalau nona ikut ibu nona pulang lebih dulu."
"Tapi... tapi bukankah in-kong mau singgah di tempat kami?" Nada suara gadis itu kecewa bukan main.
"Baiklah, setelah urusanku selesai, aku akan menyediakan waktu untuk berkunjung."
Wajah yang manis itu berseri. "Harap in-kong jangan melanggar janji. Aku sudah menjelaskan jalan menuju ke Tai-bong-pai. Aku akan menanti-nanti siang malam, inkong, jangan lupa!"
"Baiklah."
Mereka lalu berpisah. Gadis Tai-bong-pai itu dan ibunya lalu berangkat, diantar oleh belasan orang Tai-bong-pai yang muncul seperti setan saja, tanpa suara, tanpa mengatakan sesuatu dan gerakan mereka mengerikan dan penuh rahasia.
A-hai bergidik. "Ihh! Tak sangka bahwa nona Kwa punya ibu seperti iblis! Dan para pengikutnya itu. Baunya dupa lagi. Ih, seperti sekumpulan arwah-arwah saja."
Seng Kun tersenyum. "Sudahlah, saudara A-hai, mari kita lanjutkan perjalanan kita."
"Nanti dulu! Apakah sepuluh mayat itu dibiarkan begitu saja? Kita harus mengubur mereka lebih dulu!"
Diam-diam Seng Kun dan Bwee Hong saling pandang dengan kagum. Biarpun gila, sinting atau tolol, pemuda ini sungguh masih memiliki budi yang luhur. "Jangan sentuh mereka itu, saudara A-hai. Tubuh mereka telah keracunan dan menyentuh mereka saja dapat membuat kita kehilangan nyawa. Nanti tentu teman-temannya akan datang dan mengurus mayat mereka ini. Mari kita pergi sebelum teman-teman mereka ini datang dan mengganggu kita lagi."
A-hai terpaksa ikut pergi sambil menggeleng-geleng kepala. "Ilmu setan, dunia kejam dan gila, semua manusia kejam dan gila!" Dia mengomel terus seolah-olah dia lupa bahwa dia juga manusia dan berada di dunia yang sama.
Kini mengertilah Seng Kun bahwa perjalanan menuju ke kota raja itu bukan merupakan perjalanan yang aman. Banyak halangan di sepanjang jalan, terutama sekali mereka harus dapat menghindari pertemuan dengan pasukan kepala daerah yang bersekongkol dengan pasukan asing, dan jangan sampai diketahui oleh mata-mata mereka yang agaknya telah disebar di mana-mana.
Ketika mereka melanjutkan perjalanan, nampak jelas pengaruh dan akibat dari perang. Dusun-dusun sepi ditinggalkan penghuninya yang pergi mengungsi jauh ke selatan. Bahkan kota-kota kecil yang tadinya ramai kini nampak sunyi karena para pedagang tidak berani berdagang. Sawah ladang tidak terpelihara, ditinggalkan begitu saja oleh para petani yang pergi mengungsi.
Semenjak jaman da-hulu sebelum sejarah sampai jaman kapanpun, selama manusia belum sadar, perang masih akan selalu timbul. Perang merupakan puncak kebudayaan merusak dari manusia. Perang adalah keji dan kejam, apapun yang menjadi dalih dan alasannya bagi yang membela dan mempertahankannya.
Perang merupakan puncak adanya konflik lahir yang timbul dari kebencian, dan sebab adanya konflik lahir sesungguhnya didasari oleh adanya konflik batin dalam diri sendiri, diri setiap orang manusia. Karena itu, selama konflik batin dalam diri kita masing-masing belum musnah, jangan harap konflik lahir akan berhenti dan jangan mengharap pula karenanya perang akan lenyap dari permukaan bumi.
Karena tidak ingin bertemu dengan pasukan kepada kaisar, kalau ada, ataupun pasukan para penguasa setempat yang bersekongkol dengan pasukan asing, maka Seng Kun mengajak adik dan temannya itu untuk mengambil jalan liar, masuk keluar hutan, kadang-kadang melewati lorong-lorong kecil bahkan jalan-jalan setapak.
Seng Kun ingin sekali segera sampai di kota raja di mana dia akan cepat menghadap kaisar dan menceritakan segala-galanya agar jangan sampai kesalahpahaman antara beberapa kekuatan itu terpecah-belah dan mengakibatkan perang saudara yang menghancurkan. Karena diapun maklum bahwa apa bila pasukan yang mendukung Liu Pang itu bentrok dengan pasukan penguasa daerah dibantu oleh pasukan pemerintah pusat, hal itu tentu akan berarti kehancuran.
Di daerah barat dan utara saja pasukan pemerintah sudah sibuk menghadapi pemberontakan Chu Siang Yu yang semakin kuat. Kalau Liu Pang dan pasukannya dapat berbaik kembali dengan pemerintah pusat dan dipercaya untuk menumpas pasukan asing dan mereka yang bersekongkol, mungkin pemerintah dapat diselamatkan.
Pada suatu siang ketika mereka keluar dari sebuah hutan besar, dari jauh nampak berbondong-bondong pengungsi berlari-lari hendak menyelamatkan diri ke dalam hutan besar. Melihat ini, Seng Kun segera menghampiri mereka dan mencari keterangan apa yang telah dan sedang terjadi.
"Pasukan setempat bersama pasukan dari kota raja sedang mengadakan pembersihan besar-besaran. Para pendekar dan siapa saja yang bisa silat ditangkapi. Orang yang menyimpan senjatapun, senjata pusaka keturunan nenek moyang, juga ditangkap dan mereka semua dituduh sebagai anak buah Liu-bengcu!" demikian seorang di antara para pengungsi memberi keterangan.
Seng Kun mengerutkan alisnya. Apa yang dikhawatirkannya telah terbukti. Agaknya pemerintah pusat telah terkena hasutan para penguasa setempat dan memusuhi Liu Pang. "Siapakah panglima yang memimpin pasukan dari kota raja itu, lopek?" tanyanya.
"Orang-orang menyebutnya Lai-goanswe."
Mendengar ini, Seng Kun cepat mengajak Bwee Hong dan A-hai menyingkir. "Lai-goanswe adalah tangan kanan Jenderal Beng Tian. Celaka, kita benar terlambat. Kelihatannya pemerintah pusat sudah termakan hasutan para penguasa daerah yang memutarbalikkan fakta sehingga kini pasukan Liu-bengcu benar-benar dianggap sebagai pemberontak. Kaisar kini malah membantu para penguasa yang sesungguhnya hendak berkhianat dan bersekongkol dengan pasukan asing untuk menentang Liu-bengcu!"
"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya adiknya.
"Aku harus cepat dapat menemui Lai-goanswe sendirian. Akan kuperingatkan dia tentang persekongkolan antara para penguasa setempat dengan para pasukan asing itu," kata Seng Kim dengan tegas. Kemudian dia menoleh kepada A-hai yang sejak tadi hanya mendengarkan dengan sikap orang yang tidak mengerti.
"Saudara A-hai, sungguh aku merasa menyesal sekali mengingat akan kepentinganmu. Karena keadaan yang serba kacau ini, maka maksud kami berdua untuk berusaha mengobati penyakitmu yang sering bingung itu menjadi terlantar. Padahal, sekarang ini kami harus sering kali terjun ke dalam tempat-tempat berbahaya dan keselamatan kami sendiri terancam dalam usaha kami menjernihkan suasana. Apakah tidak lebih baik kalau saudara mencari tempat yang aman dulu untuk bersembunyi, dan besok kalau sudah aman, kalau urusan kami sudah selesai, kami pasti akan mencarimu!"
"Ehhh??" A-hai kelihatan terkejut dan tiba-tiba saja, sepasang mata yang tadinya nampak ketololan itu kini berkilat tajam, lalu meredup kembali ketika matanya bentrok dengan pandang mata Bwee Hong. Seng Kun menjadi gelisah juga. Jangan-jangan si sinting ini kambuh. Bisa berabe kalau begitu.
"Tidak! Kalau kalian berdua memperbolehkan, aku akan tetap mengikuti kalian, ke manapun kalian pergi. Bersama kalian, aku merasa kuat dan mempunyai harapan. Selama ini aku hidup dalam kegelapan. Aku tidak tahu harus berbuat apa dan akan ke mana. Siapa adanya aku ini sebenarnya, akupun tidak tahu!" Suara pemuda itu mengandung duka, pandang matanya menatap wajah Bwee Hong dengan penuh permohonan.
Bwee Hong merasa kasihan sekali dan iapun menarik napas panjang. "Koko, biarlah dia ikut bersama kita," katanya lirih.
Seng Kun juga menghela napas panjang dan sesungguhnya, tanpa diminta adiknyapun dia merasa tidak tega untuk meninggalkan A-hai begitu saja, terutama sekali karena memang hatinya sudah amat tertarik untuk berusaha menyembuhkan pemuda yang luar biasa ini. "Baiklah kalau begitu, baik buruk dan suka dukanya kita hadapi bertiga."
A-hai girang bukan main, wajahnya yang tampan gagah itu berseri dan matanya berkilat. Sejenak lenyaplah sinar ketololan dari pandang matanya. "Terima kasih, terima kasih, hatiku girang sekali, kalian baik sekali!"
Karena khawatir kalau-kalau pemuda itu akan menari-nari sehingga menarik perhatian banyak orang, Seng Kun lalu mengajak Bwee Hong dan A-hai melanjutkan perjalanan. Para pengungsi memandang heran dan juga khawatir melihat tiga orang muda itu menuju ke arah yang baru saja mereka tinggalkan. Sungguh bodoh bepergian ke tempat yang tidak aman itu, pikir mereka, apa lagi kalau mengajak seorang gadis yang demikian can-tiknya. Mencari penyakit saja!
Tiga orang muda itu melanjutkan perjalanan. Ketika mereka tiba di luar sebuah dusun di kaki bukit, tak nampak seorangpun. Agaknya semua orang telah pergi mengungsi. Akan tetapi ketika mereka mendekati pintu dusun, terdengar suara hiruk-pikuk orang-orang berkelahi. Cepat mereka menghampiri dan ternyata ada belasan orang laki-laki yang pakaiannya seperti para ahli silat sedang dikepung dan dikeroyok oleh hampir lima-puluh orang perajurit.
Para pendekar terdesak hebat dan melihat keadaan ini, tanpa ragu-ragu lagi Seng Kun dan Bwee Hong lalu turun tangan membantu para pendekar. A-hai hanya menonton saja dari jauh. Masuknya kakak beradik yang amat lihai ini segera merobah keadaan. Pengeroyokan para perajurit kacau-balau dan para pendekar itu dapat melawan dengan baik.
"Kita lari! Kembali ke atas!" teriak seorang di antara mereka. Dengan bantuan yang amat kuat dari Seng Kun dan Bwee Hong, belasan orang itu akhirnya dapat lolos dari kepungan dan melarikan diri ke arah bukit.
Seng Kun sudah menarik tangan A-hai dan bersama adiknya, diapun terpaksa melarikan diri bersama belasan orang itu karena me-reka menjadi buruan para perajurit. Akan tetapi, melihat kelihaian Seng Kun dan Bwee Hong, para perajurit itu tidak berani mengejar terlalu dekat, hanya membayangi dari jauh saja.
Ketika belasan orang pendekar itu bersama Seng Kun, Bwee Hong, dan A-hai tiba di puncak bukit, ternyata di situ terdapat puluhan orang pendekar. Jumlah mereka seluruhnya ada limapuluh orang dan mereka ini adalah pendekar-pendekar daerah itu yang bergabung menjadi suatu kelompok untuk menentang pasukan pemerintah yang mereka tahu diselewengkan oleh pemimpin mereka untuk melawan pemerintah dan bersekongkol dengan orang-orang Mongol.
Para pendekar ini dipimpin oleh seorang muda yang gagah perkasa, seorang pemuda yang pakaiannya serba putih dan di punggungnya nampak sepasang pedang. Usia pemuda ini kurang lebih tigapuluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan sikapnya jujur terbuka. Pemuda ini sebenarnya bukan pendekar daerah itu, melainkan seorang pendekar pendatang yang kebetulan merantau di tempat itu dan karena dia memiliki kepandaian tinggi.
Maka oleh para pendekar diapun diangkat menjadi pimpinan. Dia bernama Kwan Hok dan tentu saja dia lihai karena pemuda ini adalah seo-rang di antara murid-murid Yap-lojin ketua Thian kiam-pang! Kwan Hok ini masih adik kandung dari mendiang Kwan Tek, murid ke dua dari ketua Thian-kiam-pang yang telah tewas di tangan kaki tangan Raja Kelelawar.
Sebagai pimpinan kelompok pendekar itu, setelah menerima laporan dari teman-temannya, Kwan Hok menyambut Seng Kun, Bwee Hong, dan A-hai dengan hormat dan ramah. "Terima kasih atas bantuan sam-wi yang gagah," katanya. "Sehingga teman-teman kami dapat lolos dari kepungan pasukan."
A-hai cepat mengangkat tangannya dan menggoyangnya berkali-kali di atas. "Tidak, aku tidak masuk hitungan, karena aku hanya nonton saja!"
Kwan Hok memandang heran, akan tetapi karena pemuda tampan yang menyangkal bantuannya itu datang sebagai kawan dari Seng Kun dan Bwee Hong, dia tetap saja bersikap ramah dan hormat. Mereka lalu berkenalan dan Seng Kun bersama adiknya dan A-hai menerima jamuan para pendekar itu dengan gembira.
Setelah selesai makan minum, Seng Kun lalu minta diri. "Kami bertiga hanya kebetulan saja lewat disini. Kami tidak dapat berdiam terlalu lama disini dan kami akan melanjutkan perjalanan sekarang juga."
Kwan Hok dan teman-temannya nampak kecewa. Bantuan dua orang yang demikian lihai itu amat menguntungkan bagi perjuangan mereka. "Ah, mengapa sam-wi tergesa-gesa? Sam-wi adalah tiga orang gagah, kalau tidak pada saat seperti sekarang ini menyumbangkan tenaga demi nusa dan bangsa, lalu kapan lagi? Marilah sam-wi ikut bersama kami, bersama berjuang demi nusa bangsa!"
"Saudara yang gagah, kalian ini agaknya hanya bersenang-senang saja, tidak manguasai keadaan di daerah-daerah. Para penguasa daerah berkhianat dan bersekutu dengan orang-orang asing, mempersiapkan pemberontakan atau ingin berdiri sendiri di daerah masing-masing. Rakyat terancam perang saudara yang besar, dan dalam kemelut ini, muncul seorang bengcu yang memimpin para pendekar di seluruh negeri untuk mengatasi keadaan. Maka kamipun berniat untuk menggabungkan diri dengan pasukan besar pemimpin rakyat itu," jawab Kwan Hok.
"Kau maksudkan Liu-bengcu?" tanya A-hai. Pemuda ini dapat mengingat orang-orang yang baru dikenalnya dalam keadaan waras, walaupun dia lupa sama sekali akan masa lalunya.
"Ah, jadi sam-wi sudah mengenal Liu-bengcu?" tanya Kwan Hok girang dan semua pendekar memandang lebih hormat lagi kepada tiga orang tamu mereka itu.
"Tentu saja kami mengenal baik karena kami pun baru saja berpisah dari pasukan Liu-bengcu," kata Seng Kun sejujurnya.
Pada saat itu terdengar bunyi terompet dan seorang pendekar tergopoh masuk melaporkan bahwa bukit itu telah dikepung oleh pasukan yang besar jumlahnya. Sedikitnya ada limaratus orang pasukan mengepung bukit itu!
Mendengar laporan ini, Kwan Hok segera melakukan pemeriksaan, diikuti pula oleh tiga orang tamunya. Bukit itu merupakan tempat pertahanan yang amat baik. Tidak ada jalan naik ke puncak kecuali melalui lorong yang sempit dan terjal. Puncak bukit itu dikelilingi jurang yang tidak mungkin dapat dicapai kecuali melalui lorong itu. Sebuah lorong terjal sempit yang kanan kirinya diapit tebing.
Hanya seekor kuda atau paling banyak tiga orang dapat melalui lorong ini secara bersama. Dan tentu saja mudah bagi para pendekar untuk meng-halang serbuan dari luar, yaitu dengan jalan men-jaga lorong ini dari atas kedua tebing. Dengan anak panah atau bahkan dengan melemparkan batu-batu saja, tak mungkin musuh dapat menyerbu masuk.
Sebelum melewati lorong yang panjangnya ada limapuluh meter itu mereka tentu sudah tertimbun batu dari atas. Dari atas tebing itu, Kwan Hok dan teman-temannya dapat melihat pasukan yang mengepung bukit. Dia lalu mengatur penjagaan. Batu-batu dan anak panah dipersiapkan dan para pendekar siap untuk menghujankan anak panah atau batu-batuan ke bawah apabila ada perajurit berani mencoba untuk melalui lorong.
Setelah mengatur penjagaan dan memerintahkan teman-teman untuk berjaga secara bergilir, Kwan Hok mengajak tiga orang tamunya turun ke bawah tebing dan dia lalu mengumpulkan sisa teman-temannya yang tidak sedang tugas berjaga untuk mengadakan rapat. Rapat diadakan di tempat terbuka, di lapangan puncak itu, di depan pondok-pondok kecil mereka.
Seng Kun, Bwee Hong, dan A-hai yang otomatis telah diterima sebagai segolongan atau bahkan kawan seperjuangan, juga ikut menghadiri rapat itu. Bahkan dengan jujur Kwan Hok minta nasihat mereka karena menganggap bahwa mereka yang sudah mengenal Liu-bengcu ini tentu sedikit banyak dapat membantunya mengatur siasat.
"Kita berkekuatan limapuluh tiga orang," Kwan Hok berkata, lebih banyak ditujukan kepada tiga orang tamunya dari pada kawan-kawannya walaupun mereka semua berkumpul dan mendengarkan. "Sedangkan menurut taksiranku, jumlah pasukan yang mengepung bukit ini ada enamratus orang. Kita harus mencari siasat yang baik untuk dapat meloloskan diri dari kepungan yang berbahaya ini."
"Kulihat tempat ini amat baik untuk bertahan. Betapapun kuatnya dan besarnya jumlah pasukan musuh, kalau jalan masuk hanya melalui satu lorong sempit itu, sampai bagaimanapun mereka tidak mungkin dapat menyerbu naik ke puncak. Akan tetapi, kalau mereka terus mengepung, kitapun tidak dapat keluar dan kita dapat menjadi kehausan atau kelaparan!" kata Bwee Hong.
"Pendapat nona memang benar sekali. Karena baiknya tempat pertahanan ini, maka kami sengaja memilihnya sebagai markas kami. Tentang minuman, tidak perlu kita khawatir karena di belakang puncak terdapat sumber air. Akan tetapi mengenai makanan, kami hanya mempunyai persediaan untuk dua tiga hari saja."
"Bagaimana kalau kita mengajak damai saja? Aku sudah bosan dengan perang dan bunuh-membunuh ini!" Tiba-tiba A-hai berkata dan semua orang memandang dengan mata terbelalak.
Akan tetapi agaknya Kwan Hok sudah dapat menduga bahwa tamu yang satu ini memang aneh sekali wataknya. Dan sebagai murid Yap-lojin ketua Thian-kiam-pang, tentu saja diapun tidak merasa heran karena di dunia kang-ouw, di antara orang-orang sakti, banyak memang yang berwatak aneh-aneh.
"Yang memulai dengan kekerasan adalah mereka, mengajak mereka berdamai sama dengan mengajak srigala-srigala kelaparan untuk berdamai," kata Kwan Hok.
"Bagaimana kalau kita serbu saja keluar malam ini? Biar kita akan jatuh banyak korban, akan tetapi kitapun dapat membunuh mereka sebanyaknya dan tentu ada sebagian dari kita yang dapat lolos!" kata seorang pendekar penuh semangat.
"Musuh terlalu kuat, perbandingannya satu lawan sepuluh. Itu hanya akan menjadi bunuh diri yang sia-sia belaka," kata Kwan Hok tidak setuju. Kemudian dia teringat sesuatu dan menarik napas panjang penuh penyesalan. "Sayang, kalau suteku berada di sini, tentu dia akan dapat mencari akal. Dia cerdik sekali dan selalu mempunyai akal yang baik."
"Siapakah sutemu itu?" tanya Seng Kun.
"Dia putera guruku sendiri."
"Dan siapakah gurumu?"
"Guruku adalah ketua Thian-kiam-pang!"
"Ahh!!" seru Bwee Hong dan Seng Kun hampir berbareng dan dara itu melanjutkan, "Kiranya saudara adalah murid dari Yap-pangcu? Sungguh pertemuan yang menggembirakan sekali."
"Nona mengenal suhu?"
"Bukan hanya mengenal lagi, akan tetapi beliau pernah menyelamatkan aku di lautan, bahkan kami pernah bersama-sama mengalami hal-hal yang mengerikan di Ban-kwi-to!" jawab Bwee Hong.
Tentu saja Kwan Hok merasa semakin girang dan semakin dekat dengan tiga orang tamunya setelah dia mendengar bahwa tiga orang tamunya ini bersahabat baik dengan gurunya.
"Sebaiknya kita mencari siasat. Mari kita tinjau keadaan puncak, siapa tahu ada jalan baik bagi kita untuk lolos," kata Seng Kun.
"Baiklah, akupun ingin memeriksa lagi persediaan pangan kita," jawab Kwan Hok. Lalu bersama tiga orang tamunya, Kwan Hok pergi ke belakang puncak, menyuruh kawan-kawannya tetap melakukan penjagaan secara bergilir dan jangan sembarangan bergerak sebelum menerima petunjuknya, kecuali para penjaga lorong di atas kedua tebing yang sudah mendapat perintah untuk turun tangan mencegah apa bila ada pihak musuh yang berani mencoba untuk memasuki lorong.
Mereka berempat lalu menuju ke belakang puncak. Setelah melakukan pemeriksaan sendiri, Seng Kun dan Bwee Hong terpaksa membenarkan pendapat Kwan Hok bahwa tidak ada jalan lain bagi para pendekar untuk meloloskan diri. Hanya ada dua pilihan, yaitu menyerbu keluar lewat lorong dan melawan mati-matian, atau bertahan di situ sampai mereka tidak kuat lagi karena kelaparan!
"Hemm, agaknya sekarang banyaknya persediaan pangan menjadi soal terpenting!" kata Seng Kun.
"Demikian pula perhitunganku," jawab Kwan Hok. "Mari kita memeriksa persediaan pangan itu. Kami sembunyikan di dalam sebuah gua di bawah tanah agar aman dan tidak sampai terbakar apa bila musuh menggunakan panah api untuk membakar markas kami."
Di belakang puncak itu terdapat sebuah gua yang tertutup oleh batu besar sekali. Dibutuhkan tenaga sepuluh orang untuk memindahkan batu itu. Akan tetapi, mereka bertiga, dibantu oleh A-hai yang tanpa disadarinya sendiri memiliki tenaga melebihi sepuluh orang, berhasil mendorong batu itu ke pinggir. Hal ini amat mengagumkan hati Kwan Hok dan dia makin merasa yakin bahwa tiga orang tamunya itu, termasuk pemuda ketolol-tololan, adalah orang-orang muda yang berilmu tinggi.
Setelah batu besar itu tergeser, nampaklah sebuah mulut gua yang besarnya hanya cukup di-masuki dua orang. Akan tetapi ketika mereka sudah masuk, nampak jalan menurun dan ternyata gua itu menembus ke bawah tanah, di mana terdapat sebuah ruangan yang luas juga, dapat memuat seratus orang lebih! Yang amat menyenangkan, di sudut kiri gua itu terdapat lubang-lubang besar dari mana hawa dapat keluar masuk.
Dan lubang-lubang ini berada di lambung tebing sehingga tidak dapat dicapai oleh orang luar, juga tidak nampak dari puncak karena terhalang tebing. Hanya burung-burung sajalah kiranya yang dapat memasuki gua bawah tanah itu dari lubang-lubang yang merupakan jendela-jendela buatan alam itu. Bersama hawa, masuk pula sinar matahari yang membuat gua itu cukup terang.
Tepat seperti yang diperhitungkan oleh Kwan Hok, persediaan gandum dan sayur kering hanya cukup untuk dua tiga hari saja, atau paling lama lima hari kalau dihemat sekali. Akan tetapi Seng Kun tidak memperhatikan persediaan itu, melainkan termenung dan termangu-mangu sehingga Bwee Hong menegurnya.
"Koko, ada apakah?"
"Aku ada akal!" Tiba-tiba Seng Kun berkata dan wajahnya berseri.
"Ah, bagus sekali. Akal yang bagaimana?" tanya Kwan Hok.
"Gua ini cukup luas untuk menjadi tempat persembunyian kita semua, dan hawa udaranyapun cukup. Kita biarkan musuh mengira kita kelaparan dan kita masuk ke dalam guha ini, lalu menutupnya dengan batu. Di depan batu dan di atasnya kita tumpuki kayu-kayu bakar yang banyak sekali, kemudian kita bakar dan kita meninggalkan pakaian atas kita di antara kayu-kayu bakar itu sehingga menimbulkan dugaan bahwa para pendekar, karena kelaparan dan tidak mampu melawan lagi, telah membunuh diri. Bukankah hal itu patut dilakukan oleh para pendekar yang tidak sudi ditawan dan lebih baik mati membakar diri beramal-ramai setelah tiada tenaga lagi untuk melawan?"
Kwan Hok terbelalak. Akal yang aneh sekali, akan tetapi setelah dipikir-pikir, merupakan siasat yang baik juga. Memang andaikata mereka semua kelaparan dan tiada tenaga untuk melawan, apakah mereka akan membiarkan menjadi orang-orang tawanan? Masuk di akal pula siasat membunuh diri beramai-ramai dengan membakar diri itu.
"Akan tetapi untuk melakukan pembakaran kayu-kayu itu harus ada seorang yang tinggal di luar gua!" kata Bwee Hong.
"Benar!" sambung Kwan Hok. "Bagaimana hal itu dapat dilakukan dan siapa yang akan tinggal di luar?"
"Memang kenyataannya begitu. Harus ada seorang yang berani berkorban demi keselamatan kawan-kawannya, dan tinggal di luar untuk membakar kayu-kayu itu dan untuk memberi keterangan kepada musuh kabur dia ditawan bahwa para pendekar telah membunuh diri semua," jawab Seng Kun.
"Kurasa ini jauh lebih baik dari pada bertahan sampai kelaparan atau membunuh diri dengan jalan menyerbu dengan nekat melalui lorong. Hanya ada dua kemungkinan, yaitu kalau musuh percaya, tentu mereka meninggalkan tempat ini dan kita selamat. Andaikata musuh tidak percaya dan berhasil menemukan guha itu, masih belum terlambat bagi kita untuk menyerbu keluar dan melawan mati-matian, membuka jalan darah berusaha lolos."
"Bagus sekali!" Kwan Hok kini memandang dengan wajah berseri gembira. "Tentang orang yang mau mengorbankan diri dan tinggal di luar, kurasa banyak yang mau melakukannya, bahkan aku sendiripun, tidak ragu-ragu untuk melakukannya. Mari kita jumpai kawan-kawan dan merundingkan akal baik ini!"
Dari fihak pasukan pemerintah daerah, bukan tidak ada usaha untuk menyerbu naik ke puncak bukit. Akan tetapi karena jalan naik hanya melalui lorong, setelah beberapa kali mereka mencoba untuk menyerbu dan selalu disambut hujan anak panah dan batu yang menewaskan beberapa orang perajurit, mereka tidak lagi berani mencoba.
"Biarkan mereka mampus sendiri kelaparan di sana!" kata pemimpin mereka dengan marah.
Pemimpin mereka itu adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun, berwajah tampan namun dingin dan matanya menyeramkan, berpakaian serba putih dan rambutnya riap-riapan, tangannya memegang senjatanya yang luar biasa, yaitu sebuah cangkul panjang melengkung, seperti cangkul para penggali kuburan. Dia ini bukan lain adalah Kwa Sun Tek yang berjuluk Song-bun-kwi (Setan Berkabung), putera dari ketua Tai-bong-pai itu.
Seperti telah kita ketahui, Kwa Sun Tek ini telah mengabdikan dirinya kepada pemberontak Chu Siang Yu untuk mengadakan persekutuan dengan para penguasa di daerah timur dan selatan, untuk mengacau pemerintah dan membagi-bagi kekuatan pemerintah sehingga pergerakan Chu Siang Yu dari barat dapat dilakukan lebih lancar lagi. Dan seperti kita ketahui, usaha Kwa Sun Tek itu berhasil baik.
Dia dapat bersekongkol dengan para penguasa daerah dan para pasukan asing, lalu menggunakan siasat mengadu domba antara pasukan pemerintah yang setia kepada kaisar dengan pasukan-pasukan Liu Pang, tentu saja dengan tujuan agar kekuatan pemerintah berkurang dan juga untuk menghantam Liu Pang yang dianggap sebagai saingan.
Melihat betapa pasukan pemerintah daerah tidak mampu menyergap ke puncak bukit, bahkan ada belasan orang luka-luka atau tewas tertimpa batu dan terkena anak panah, Kwa Sun Tek menjadi marah sekali. Dia menasihatkan komandan pasukan untuk memperketat kepungan dan tidak membiarkan para pendekar di puncak itu lolos. Setiap hari dia sendiri mencoba penjagaan musuh dengan memasuki lorong dan setiap kali ada batu-batu dan anak panah turun, dia dengan mudah dapat menyelamatkan diri.
Akan tetapi pada hari ke tiga, ketika Kwa Sun Tek berjalan memasuki lorong, hanya ada beberapa buah batu kecil dan anak panah yang luncurannya lemah menyerangnya. Melihat ini, giranglah hatinya.
"Mereka telah lemah kelaparan! Mari kita menyerbu ke atas!" teriaknya dan benar saja, ketika mereka menyerbu dan memasuki lorong sempit itu, tidak ada serangan terlalu hebat, bahkan tidak ada serangan sama sekali dari kedua tebing. Akan tetapi, lorong itu terlalu sempit sehingga membutuhkan banyak waktu bagi semua perajurit untuk dapat lewat.
Sementara itu, para pendekar telah berkumpul di depan gua yang batunya telah digeser dan di mana telah tersedia tumpukan kayu yang banyak sekali. Mereka kini berebut, memperebutkan tugas untuk tinggal sendirian di luar gua!
Melihat ini, Kwan Hok lalu melangkah maju. "Kalian semua masuklah ke gua dan aku sendiri yang akan tinggal di sini!"
Ketika semua orang mengajukan keberatan, pendekar muda ini membentak, "Ini sebuah perintah! Aku yang akan berjaga di sini membakar kayu ini dan kalian harus cepat masuk. Tanggalkan baju atas kalian!"
Para pendekar itu menanggalkan baju atas mereka dan memandang kepada Kwan Hok dengan muka pucat, bahkan ada yang matanya basah karena melihat betapa pemimpin mereka hendak mengorbankan diri demi keselamatan mereka.
Seng Kun dan Bwee Hong memandang dengan terharu. Betapa gagahnya murid Yap-lojin ini! Begitu beraninya mengorbankan diri demi teman-temannya, demi perjuangan membela nusa bangsa! Terlepas dari baik buruknya alasan perjuangan, namun sikap ini saja, yang sudah melenyapkan kepentingan diri pribadi, sungguh amat mengagumkan, gagah perkasa dan patriotik!
"Tidak! Tidak boleh ini dilakukan!" Tiba-tiba A-hai maju dan berkata lantang.
Seng Kun dan Bwee Hong memandang terbelalak. Mereka sudah tahu bahwa pemuda ini aneh, dan di balik kegilaannya tersembunyi suatu watak yang amat luar biasa dan mereka tidak dapat menduga lebih dahulu apa yang akan dikatakan atau dilakukan oleh pemuda ini.
"Apa maksudmu, saudara A-hai?" Seng Kun bertanya.
"Tidak pantas kalau seorang di antara kalian harus tinggal di luar dan mengorbankan diri! Tidak ada seorangpun di antara kalian yang pantas untuk mengorbankan diri dan tinggal di luar untuk membakar tumpukan kayu ini!"
"Eh?" Kwan Hok terbelalak heran. "Akan tetapi, siasat ini harus dilakukan dan sekarang pasukan pemerintah telah mulai menyerbu naik. Harus ada seorang yang melakukannya dan bagaimana saudara mengatakan bahwa tidak ada yang pantas melakukannya?"
"Satu-satunya orang yang patut melakukan tugas itu hanyalah aku!"
"A-hai!" Bwee Hong berseru.
"Saudara A-hai, engkau tidak boleh!" Seng Kun juga berkata setengah berteriak.
A-hai tersenyum, bukan senyum tolol lagi sekali ini. Dia mengangkat dadanya yang memang bidang dan kokoh itu. "Mengapa tidak boleh? Bahaya maut tidak hanya mengancam kelompok pejuang ini, melainkan kalian juga, terutama sekali nona Bwee Hong! Dan kalian semua masih belum tentu selamat, kalau gua itu ketahuan, kalian akan membutuhkan semua tenaga untuk melawan dan menyelamatkan diri. Tenaga setiap orang amatlah penting, kecuali tenagaku. Aku tidak bisa berkelahi dan bahkan hanya akan mengganggu kalian saja yang harus melindungiku. Nah, biarlah aku memanfaatkan tenaga tak berharga ini untuk membakar kayu dan memberi keterangan bahwa para pejuang telah membakar diri karena tidak mau tertawan. Dan barangkali siapa tahu, belum tentu mereka membunuh orang seperti aku!"
Seng Kun memandang terbelalak penuh kagum. Dia tahu bahwa di balik penyakit yang membuat A-hai kadang-kadang menjadi linglung dan beringas itu terdapat watak pendekar yang amat hebat, yang tidak berkejap mata sedikitpun dalam menghadapi maut untuk membela dan menyelamatkan orang lain!
"A-hai, jangan!" Bwee Hong berkata lagi.
Seng Kun merangkul A-hai dan menepuk-nepuk pundaknya. "Tapi dia benar! Dia benar sekali dan kita harus menurut sarannya itu!" katanya dengan terharu.
Seorang pendekar datang berlarian, mengabarkan bahwa kini hampir semua perajurit musuh sudah melalui lorong sempit.
"Masuklah kalian semua. Nona Bwee Hong, masuklah cepat!" kata A-hai dan sinar matanya tajam berseri ketika dia menatap wajah Bwee Hong.
Nona itu membalas pandang matanya dan tak terasa lagi matanya menjadi panas. Karena tahu bahwa air matanya hampir runtuh, Bwee Hong mengeluh lalu membalik dan melompat masuk ke dalam gua, diikuti oleh para pendekar yang sudah menanggalkan baju atas mereka dan menumpuk serta melemparkan baju-baju itu di atas tumpukan kayu. Barulah setelah semua orang masuk, batu besar itu digeser dari dalam dan dibantu dari luar oleh dorongan kedua tangan A-hai!
Tidak ada seorangpun yang berani menyangka bahwa tanpa bantuan orang lainpun, kalau A-hai dapat menggunakan sinkangnya, batu itu akan dapat digesernya sendirian dengan amat mudah. Kinipun, dalam keadaan "penuh semangat", sebagian tenaga sinkangnya timbul dan tanpa banyak kesukaran batu besar itu kini telah menutupi lubang gua yang dari luar hanya kecil saja itu.
A-hai lalu menggunakan api membakar kayu yang bertumpuk di depan dan di atas gua. Karena tumpukan kayu itu kering sekali, sebentar saja api berkobar besar dan A-hai terpaksa harus menjauhkan diri karena tidak tahan oleh panasnya api.
Pasukan yang menyerbu ke puncak bukit itu terkejut melihat api besar bernyala di puncak. Kwa Sun Tek cepat berlari ke depan dan ketika melewati pondok-pondok darurat, dia menendangi semua pintu hanya untuk melihat bahwa semua pondok itu kosong! Dia merasa penasaran dan bersama anak buah pasukan dia lari ke atas.
Di sana, di puncak itu, agak menurun sedikit di belakang puncak, mereka melihat kobaran api yang bernyala besar dan agak jauh dari situ nampak seorang laki-laki berdiri bengong memandang ke arah api seperti orang melamun. Tentu saja Kwa Sun Tek menjadi curiga dan cepat dia meloncat ke arah A-hai yang berdiri dengan bengong, tidak dibuat-buat karena dia seperti melihat hal-hal aneh di dalam api yang bernyala-nyala itu.
Nyala api seolah-olah membentuk wajah-wajah yang sekelebatan saja dan mengingatkan dia akan wajah seorang yang amat dekat dengan hatinya. Wajah Bwee Hong? Atau Pek Lian? Atau wajah ibunya, adiknya ataukah kakaknya? Dia tidak tahu dengan pasti, hanya merasa yakin bahwa yang diingatnya dan dilihatnya sekelebatan dalam api itu adalah wajah seorang wanita.
Ketika Kwa Sun Tek melakukan serangan dengan pukulan dahsyat ke arah A-hai, pemuda ini sama sekali tidak sadar, juga tidak mengelak ataupun menangkis. Melihat sikap orang yang diserangnya itu jelas tidak memiliki kepandaian silat, Kwa Sun Tek terkejut dan heran. Bukankah kabarnya yang berkumpul di puncak bukit ini adalah para pendekar?
Karena berita itulah maka dia diperbantukan untuk menghancurkan gerombolan pendekar itu. Dan orang ini sama sekali tidak pandai silat. Diapun merobah pukulannya, diganti dengan cengkeraman dan ketika tangannya mencengkeram lengan A-hai, juga tidak ada sedikitpun tenaga perlawanan maka Kwa Sun Tek mengendurkan cengkeramannya. Biarpun sudah dikendurkan, tetap saja A-hai berteriak.
"Aduhhh!" Lalu dia memandang kepada orang yang memegangi lengannya itu, juga melihat datangnya banyak perajurit. "Hei, apa salahku? Kenapa aku ditangkap?"
"Hayo katakan, siapa engkau?" Kwa Sun Tek membentak. "Jangan bohong atau kubunuh kau!" Dia merasa curiga sekali melihat sikap ketolol-tololan dari pemuda itu.
"Aku? Aku A-hai, tukang nyalakan api," jawab A-hai seenaknya, sedikitpun tidak bermaksud membohong.
"Jawab yang betul!" bentak seorang anggauta Tai-bong-pai sambil menampar.
"Plakk!" Pipi A-hai kena tampar keras sekali, sampai pemuda itu merasa pening dan pipinya merah membengkak.
"Hei, kenapa kau pukul-pukul anak orang tanpa dosa? Sudah kujawab benar bahwa aku tukang nyalakan api! Apakah kau tidak melihat aku sedang menyalakan api sekarang? Pegang saja sendiri dengan tanganmu, api atau bukan yang kunyalakan itu!"
"Tolol! Apa itu tukang nyalakan api? Tukang masak?" bentak Kwa Sun Tek yang mencegah anak buahnya untuk memukul lagi.
"Tukang masak? Ya, ya, aku tukang nyalakan api dan tukang masak, masak daging orang!" A-hai menjawab sambil tersenyum-senyum, lupa lagi akan tamparan tadi karena dia teringat bahwa dia harus mengatakan bahwa para pendekar telah membakar diri. Bukankah itu sama saja dengan memasak daging orang?
Tentu saja Kwa Sun Tek semakin heran dan juga marah. "Tolol, bicara yang betul! Tukang masak daging orang bagaimana yang kau maksudkan? Hayo katakan, di mana adanya para pendekar?"
A-hai menunjuk ke arah api yang berkobar kobar. "Mereka telah membakar diri, semua! Mereka tidak sudi menyerah dan mereka membunuh diri dengan membakar dirinya." Kata-kata ini sudah dihafalkan sejak tadi oleh A-hai.
Tentu saja Kwa Sun Tek tidak mau percaya. "Cari di seluruh puncak!" perintahnya dan dia sendiripun ikut mencari sambil terus memegangi lengan A-hai. Akan tetapi, dicari sampai kemanapun tidak nampak bayangan seorangpun pendekar. Tak mungkin mereka dapat lolos. Bukit itu telah dikepung. Benarkah cerita si tolol ini? Kwa Sun Tek lalu menyuruh pasukan membongkar api yang bernyala-nyala itu.
Tidak mudah melaksanakan ini karena api sedang berkobar amat besarnya memakan kayu yang bertumpuk tumpuk. Dan di antara timbunan abu dan kayu yang menjadi arang, mereka menemukan pakaian-pakaian yang terbakar. Maka mereka mulai percaya bahwa para pendekar telah membunuh diri, memilih bakar diri dari pada menyerah.
"Kita bakar juga orang ini!" kata seorang komandan sambil menyeret A-hai.
Akan tetapi Kwa Sun Tek melarangnya. Kwa Sun Tek bukan orang bodoh. Dia tidak menemukan bekas abu tulang manusia di antara puing itu. Hanya si tolol inilah satu-satunya orang yang tinggal, dan dia yakin bahwa si tolol ini tentu merupakan satu-satunya orang pula yang mengetahui ke mana perginya semua pendekar itu dan bagaimana caranya dapat lolos.
Akan tetapi, Kwa Sun Tek juga bukan orang bodoh dan dia dapat melihat benar-benar bahwa pemuda itu berada dalam keadaan tidak wajar, mengalami guncangan jiwa yang hebat dan ketololannya itu bukanlah pura-pura atau dibuat-buat. Maka, tidak ada lain jalan baginya kecuali membiarkan A-hai ditawan oleh pasukan dan dibawa ke kota di daerah itu di sebelah utara Sungai Kuning.
Setelah para pendekar mengetahui bahwa pasukan telah meninggalkan bukit itu, mereka keluar dengan hati-hati dan pertama-tama yang keluar adalah Seng Kun dan Bwee Hong. Kakak beradik ini keluar dengan jantung berdebar penuh kegelisahan dan kekhawatiran. Mereka membayangkan akan melihat mayat A-hai terkapar di situ, dibunuh oleh pasukan pemerintah.
Akan tetapi, tak seorangpun mayat mereka temukan di sekitar puing-puing bekas yang dibakar. Mereka terus mencari-cari akan tetapi tidak dapat menemukan jejak A-hai. Timbul harapan baru di dalam hati kakak beradik ini. Wajah mereka tidak sepucat tadi, bahkan Bwee Hong mulai berseri...