Darah Pendekar Jilid 21 karya Kho Ping Hoo - "TENTU dia ditawan," kata Seng Kun.
"Benar, mari kita kejar pasukan itu, koko. Kita harus dapat menolong dan membebaskan A-hai," kata Bwee Hong. Kakaknya mengangguk dan mereka berdua segera berpamit dari pasukan para pendekar itu untuk pergi menyusul pasukan dan menyelamatkan A-hai.
"Kami merasa menyesal sekali bahwa demi untuk menyelamatkan kami, sahabatmu terpaksa ha-rus menjadi korban dan ditawan," kata Kwan Hok. "Bagi kami, saudara A-hai adalah seorang pahlawan dan sungguh kecewa sekali hati kami bahwa ji-wi tidak dapat terus menemani kami untuk berjuang bersama."
"Kami mempunyai urusan sendiri, saudara Kwa. Dan ke mana sekarang pasukanmu ini akan pergi?"
"Kami hendak menggabungkan diri dengan pasukan Liu-bengcu yang kabarnya telah berhasil menduduki Lok-yang."
Merekapun berpisah. Seng Kun dan Bwee Hong menggunakan ilmu berlari cepat, mengejar pasukan yang jejaknya mudah diikuti. Menjelang senja, mereka dapat menyusul pasukan itu dan legalah hati mereka ketika mereka melihat A-hai dalam keadaan selamat dan sehat. Benar saja menjadi tawanan pasukan itu. Pasukan memasuki pintu gerbang kota dan dibawa masuk ke dalam benteng tanpa kakak beradik ini mampu berbuat sesuatu.
Mereka tidak berani nekat menyerbu karena hal itu selain membahayakan diri mereka, juga membahayakan keselamatan A-hai sendiri. Mereka hendak me-nyusup ke dalam kota, melakukan penyelidikan dan berusaha merampas kembali A-hai dari benteng.
Ketika mereka tiba di pintu gerbang, muncul sepasukan perajurit berkuda yang mengiringkan seorang perwira tinggi yang pakaiannya gemerlapan mewah. Itulah Lai-goanswe, jenderal pembantu Jenderal Beng Tian. Seperti diketahui, jenderal ini bertugas di daerah timur dan sudah beberapa kali dia mengalami kegagalan dalam menghadapi ge-rakan Liu Pang dan pasukannya.
"Itulah orang yang kita cari!" Seng Kun berbisik kepada adiknya. "Mari kita menemuinya!"
Seng Kun dan Bwee Hong lalu meloncat ke depan, menghadang pasukan itu dan Seng Kun mengangkat tangannya ke atas sambil berseni, "Kami mohon bicara dengan Lai-goanswe!"
Pada waktu itu, negara sedang kacau-balau, pertempuran terjadi di mana-mana, maka tentu saja perbuatan Seng Kun ini menimbulkan kecurigaan. Juga Lai-goanswe yang maklum akan banyaknya mata-mata pihak pemberontak, mengerutkan alisnya dan memerintahkan para pengawalnya untuk menangkap pemuda dan dara yang berani menghadang perjalanannya itu.
Belasan orang pengawal lalu mengepung dan hendak menangkap Seng Kun dan Bwee Hong dengan kekerasan. Akan tetapi, dua orang kakak beradik ini tentu saja tidak sudi membiarkan diri ditangkap. Kaki tangan mereka bergerak dan belasan orang pengawal itu terpelanting ke kanan kiri. Diam-diam Jenderal Lai terkejut dan makin yakinlah dia bahwa tentu dua orang ini merupakan pendekar-pendekar yang memberontak pula.
"Siapkan pasukan panah!" perintahnya dan sepasukan yang memegang busur telah datang dan siap untuk menyerang dua orang kakak beradik itu.
Melihat ini, Seng Kun merasa khawatir kalau-kalau perkelahian menjadi semakin berlarut. Dia tidak takut, akan tetapi dia tahu bahwa bukan inilah caranya untuk mendekati jenderal itu. "Tahan dulu!" bentaknya sambil mengerahkan khikangnya sehingga suaranya terdengar amat lantang berwibawa. "Harap Lai-goanswe tidak salah menilai orang! Ketahuilah bahwa saya adalah utusan pribadi dari sri baginda kaisar. Inilah buktinya!"
Dan Seng Kun cepat mengeluarkan sehelai bendera yang ada tanda kebesaran kaisar. Itulah sebuah leng-ki (bendera utusan kaisar) yang dikenal baik oleh Jenderal Lai. Dia menjadi ragu-ragu, akan tetapi cepat memerintahkan pasukan panah mundur dan memberi perintah kepada para pengawalnya untuk menggiring dua orang muda itu ke markas yang berada di dalam kota.
Legalah hati Seng Kun dan dia bersama adiknya berjalan di antara pasukan itu, kembali ke dalam kota karena Jenderal Lai agaknya akan memeriksa dan bicara dengan mereka. Lai-goanswe sendiri tetap naik kuda dan alisnya berkerut. Selama beberapa bulan ini, Jenderal Lai mengalami kegagalan-kegagalan yang membuatnya merasa amat penasaran, juga malu.
Ketika rombongan ini tiba di pintu gerbang benteng yang terjaga ketat, muncullah seorang perwira muda yang gagah. Dia ini Kwa Sun Tek yang telah berganti pakaian sebagai perwira, karena memang putera ketua Tai-bong-pai yang banyak berjasa ini bersama hampir limapuluh orang anak buahnya telah diangkat menjadi perwira dan pasukan istimewa oleh gubernur dan diperbantukan dalam benteng itu.
Hal ini adalah siasat sang gubernur agar pemerintah pusat tidak tahu akan persekong-kolannya dengan berbagai pihak untuk memperkuat kedudukan. Ketika Kwa Sun Tek melihat Seng Kun dan Bwee Hong, dia terkejut sekali, mengenal mereka berdua dan membentak,
"Pemberontak-pemberontak mereka ini!" Dan langsung saja dia menyerang dengan pukulan dahsyat ke arah Seng Kun. Tentu saja pemuda inipun tidak tinggal diam dan cepat menangkis, dan karena dia sudah maklum akan kelihaian kakak dari Kwa Siok Eng ini, maka diapun menangkis sambil mengerahkan tenaga sinkangnya.
"Dessss!" Pertemuan dua tenaga sinkang yang amat dahsyat itu membuat keduanya tergetar mundur, akan tetapi ternyata Kwa Sun Tek terdorong sampai tiga langkah lebih jauh, dibandingkan dengan Seng Kun. Hal ini membuat dia penasaran dan dia sudah siap melakukan serangan dengan pukulan yang lebih ampuh.
Akan tetapi, Jenderal Lai yang kembali karena mendengar suara ribut-ribut, membentaknya. "Hentikan perkelahian itu!"
Tentu saja Kwa Sun Tek tidak berani membantah, hanya berkata, "Harap paduka ketahui bahwa mereka ini adalah anggauta-anggauta pasukan pemberontak!"
"Kami bukan pemberontak dan hal ini tentu telah goanswe ketahui dari leng-ki yang kami perlihatkan tadi," kata Seng Kun.
Hati jenderal itu menjadi bimbang, dan akhirnya dia memerintahkan Seng Kun dan Bwee Hong dibawa ke dalam kantornya, juga dia memerintahkan perwira muda itu ikut pula. Setelah dihadapkan kepada Jenderal Lai di dalam kantornya yang terjaga ketat oleh para pengawal, Seng Kun lalu menceritakan segala persoalan yang diketahuinya. Bahkan dia menceritakan pula pengalamannya ketika dia berada bersama pasukan Liu Pang.
"Kami diutus oleh sri baginda kaisar untuk menyelidiki dan mencari Menteri Ho yang diculik orang. Akan tetapi kami terlambat dan Menteri Ho telah terbunuh. Pasukan Liu-bengcu juga gagal menyelamatkannya. Hal ini membuat para pendekar penasaran. Hendaknya goanswe ketahui bahwa para pendekar itu sama sekali tidak bermaksud memberontak terhadap pemerintah, melainkan terhadap penguasa-penguasa daerah yang bersekongkol dengan orang-orang asing. Agaknya, para penguasa daerah itu berhasil mengadu domba antara pasukan para pendekar dan pasukan pemerintah.
"Kami sengaja hendak menemui goanswe sebagai perwira tinggi yang memegang komando atas semua pasukan pemerintah di daerah timur dan selatan, untuk menjelaskan duduknya persoalan. Kalau goanswe mau melakukan pendekatan dengan Liu-bengcu, kami yakin semua pertempuran ini dapat dihentikan dan bersama-sama Liu-bengcu, goanswe dapat membersihkan negara dari para pemberontak aseli yang bersekongkol dengan pasukan asing."
"Semua itu bohong belaka, Lai-goanswe!" Tiba-tiba Kwa Sun Tek mencela dengan suara lantang. "Hamba sendiri yang melihat betapa dua orang ini ikut pula memberontak dan membantu pasukan Liu Pang menentang pasukan pemerintah. Banyak saksinya akan kenyataan ini dan harap paduka tidak sampai terkena bujukannya yang beracun. Liu Pang sudah jelas merupakan pemberontak, bahkan kini telah merampas dan menduduki Lok-yang, bagaimana mungkin paduka diminta untuk bersekutu dengan pemberontak itu?"
Jenderal Lai menjadi bimbang. Keterangan Seng Kun tadi berkesan di hatinya karena diapun menaruh kecurigaan kepada para penguasa daerah yang suka berhubungan dengan pasukan asing. Akan tetapi bantahan perwira muda itupun amat meyakinkan.
"Bagaimana keteranganmu tentang dirampas dan didudukinya Lok-yang oleh Liu Pang?" tanyanya kepada Seng Kun.
Tentu saja pemuda ini menjadi bingung. Dia sendiri tidak tahu, hanya mendengar saja bahwa Liu-bengcu telah menduduki Lok-yang. "Tentu ada hal-hal yang memaksanya melakukan itu, goanswe. Mungkin penguasa di Lok-yang juga bersekutu dengan pasukan asing!"
Jenderal Lai menggebrak meja. "Tahan ucapanmu! Aku sendiri yang ikut mempertahankan kota itu dari serbuan pemberontak Liu, dan kau berani bilang aku bersekutu dengan orang asing?"
"Bukan Lai-goanswe, akan tetapi para penguasa setempat."
"Harap paduka jangan percaya, semua omongannya itu beracun!" Kwa Sun Tek berkata lagi.
Bwee Hong yang sejak tadi diam saja menjadi marah. "Engkaulah yang beracun! Siapa tidak tahu akan hal itu? Kami adalah utusan sri baginda kaisar dan untuk ini kakakku mempunyai bendera tanda utusan kaisar. Pula, ayah kami adalah seorang yang berkedudukan tinggi di istana, mana mungkin kami yang berada di luar lalu membantu pemberontak?"
Seng Kun memandang adiknya, akan tetapi ucapan itu telah dikeluarkan dan hal ini amat menarik perhatian Jenderal Lai. "Siapakah ayahmu yang berada di istana, nona?"
Karena adiknya sudah terlanjur bicara, Seng Kun lalu berkata, "Saya bernama Chu Seng Kun dan adik saya ini Chu Bwee Hong. Ayah kami adalah kepala kuil istana Thian-to-tang."
"Ahhh! Bu Hong Sengjin?" Jenderal itu bertanya dan hatinya kecut. Bu Hong Sengjin, biarpun hanya seorang pendeta yang mengurus kuil istana Thian-to-tang, adalah paman dari kaisar dan tentu saja mempunyai pengaruh dan kekuasaan besar. Kalau kedua orang ini adalah benar putera-puterinya, tentu saja dia tidak boleh sembarangan mencelakakan mereka, apa lagi mereka ini masih utusan kaisar yang membawa leng-ki!
"Sudahlah, untuk sementara ini kalian terpaksa kami tahan di sini. Aku akan mencari keterangan tentang kalian ke istana, untuk menyatakan apakah benar-benar kalian adalah utusan sri baginda kaisar."
"Akan tetapi, kami mempunyai tugas penting dan kami harus cepat-cepat kembali ke istana untuk melapor kepada sri baginda!" Seng Kun membantah.
"Jangan membantah! Di kota raja dan istana sendiri sekarang ini sedang kalut" Tiba-tiba sang jenderal menghentikan kata-katanya dan merasa kelepasan bicara.
"Apa apakah yang terjadi di istana?" Seng Kun cepat bertanya.
Akan tetapi, jenderal itu bangkit dan meninggalkan ruangan dan berkata kepada Kwa Sun Tek, "Tahan mereka itu, jangan sampai terlepas. Akan tetapi kalau aku membutuhkan, mereka itu harus ada di tempat!"
Seng Kun dan Bwee Hong tidak dapat berbuat sesuatu dan tentu saja mereka tidak berani melawan ketika digiring memasuki kamar tahanan di markas itu. Diam-diam. Kwa Sun Tek menjadi girang sekali. Musuh-musuhnya ini yang telah banyak mengganggu dan menggagalkan rencananya sekarang terjatuh ke dalam tangannya. Dia berpikir-pikir, apa yang akan dilakukan terhadap dua orang itu, terutama sekali terhadap Bwee Hong yang cantik jelita. Dengan wajah berseri dan sepasang mata mengerling tajam ke arah Bwee Hong, Kwa Sun Tek sendiri memimpin para pengawal yang menggiring dua orang kakak beradik itu menuju ke kamar tahanan.
Diam-diam Seng Kun dan Bwee Hong merasa khawatir. Mereka berdua yakin akan ketegasan Lai-goanswe sebagai panglima perang, akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat percaya kepada putera Tai-bong-pai yang berhati curang dan palsu ini.
Selagi rombongan pengawal itu mengantar Seng Kun dan Bwee Hong ke kamar tahanan mereka, tiba-tiba muncul seorang perwira yang segera menemui Kwa Sun Tek dan berkata dengan suara serius, "Taihiap.... eh, ciangkun! Engkau dipanggil menghadap oleh Jenderal Lai, sekarang juga. Ada urusan penting sekali!"
Kwa Sun Tek ragu-ragu dan kecewa, akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah. "Bawa mereka ini ke penjara bawah tanah bersama si gila itu. Awas, jangan ganggu mereka dan jangan sampai mereka lolos. Kalian bertanggung jawab!"
Setelah berkata demikian, pergilah pemuda Tai-bong-pai itu bersama perwira yang diutus oleh Lai-goanswe. Sementara itu, Chu Seng Kun merasa curiga sekali melihat bahwa perwira yang memanggil pemuda Tai-bong-pai itu dikenalnya sebagai seorang di antara perwira-perwira yang berada di Ban-kwi-to, yaitu perwira yang bersekongkol dengan pasukan asing, jelaslah bahwa persekutuan itu telah menjalar sampai ke kota besar.
Bahkan di tempat ini, di dekat kota raja, seolah-olah di depan hidung kaisar sendiri, persekongkolan itu berjalan lancar. Sungguh keadaan sudah teramat gawat. Akan tetapi dia tidak berdaya sebelum Lai-goanwse memperoleh keterangan dari kaisar sendiri tentang kedudukannya sebagai utusan kaisar.
Kamar tahanan di bawah tanah itu melalui lorong bawah tanah yang diterangi oleh lampu-lampu, biarpun waktu itu siang hari. Dan di dalam sebuah kamar tahanan yang kokoh kuat, mereka didorong masuk. Di dalamnya mereka melihat A-hai! Pemuda ini duduk bersila dan kelihatan teainenung. Akan tetapi begitu melihat mereka berdua, A-hai mlenjadi girang sekali.
"Ah, aku sudah khawatir sekali akan keadaan kalian!" teriaknya. "Syukurlah kita dapat bertemu kembali dalam keadaan sehat!"
"Ya, akan tetapi bertemu dalam kamar tahanan yang kokoh kuat!" Seng Kun menambahkan.
"Tidak apa!" A-hai berkata gembira. "Yang penting adalah selamat dan sehat. Apa artinya bertemu di istana yang indah kalau dalam keadaan tidak sehat dan tidak selamat? Betul tidak, nona Hong?"
Bwee Hong terpaksa tersenyum. Biarpun ucapan itu terdengar kekanak-kanakan, namun harus diakui bahwa memang tepat dan tak dapat dibantah. Ia mengangguk membenarkan sehingga A-hai menjadi semakin gembira.
Akan tetapi Seng Kun tidak banyak melayani pemuda sinting itu dan dia sudah mulai memeriksa keadaan kamar tahanan itu. Sebuah kamar tahanan yang kokoh kuat memang. Dindingnya dari batu yang sebelah dalamnya dilapisi baja. Juga pintu itu amat kuatnya sehingga ketika Seng Kun mencoba untuk mendorongnya, sedikitpun tidak bergoyang. Bwee Hong juga memeriksa seluruh dinding, mencari jalan keluar.
Mereka maklum bahwa selama mereka masih dalam kamar tahanan, bahaya selalu mengancam karena mereka tahu bahwa mereka terjatuh ke dalam tangan komplotan itu, dan Lai-goanswe sendiri tidak tahu adanya komplotan itu. Karena Seng Kun sudah membongkar rahasia, tentu komplotan itu, di bawah pimpinan pemuda Tai-bong-pai, tidak akan membiarkan mereka lolos dengan selamat. Maka, mereka harus dapat keluar dari tempat ini, sebelum terlambat.
Kalau kakak beradik itu sibuk memeriksa seluruh dinding dan mencari kemungkinan lolos, A-hai masih enak-enak duduk saja di atas lantai dan kini tangannya mengetuk-ngetuk lantai. Agaknya dia juga merasa kesal didiamkan saja oleh dua orang kawannya itu.
"Tuk-tuk-tuk-tuk!" Tangannya, yang di luar kesadarannya sendiri memiliki tenaga mujijat itu, mengetuk-ngetuk lantai menggunakan sepotong batu kecil yang ditemukannya di tempat tahanan itu. Kini dia memindahkan batu itu dari tangan kanan ke tangan kiri dan mengetuk-ngetuknya kembali ke atas lantai di sebelah kirinya.
"Tuk-tuk-tung-tung-tung-tunggg!"
Tiba-tiba Seng Kun meloncat, mendekat. "Saudara A-hai, coba kau pukul lagi lantai sebelah kananmu."
A-hai memandang heran dan menurut. "Tuk-tuk-tukk!" "Sekarang sebelah kirimu." Kembali A-hai menurut. "Tung-tung-tunggg!" Jelas sekali terdengar perbedaan bunyi.
Seng Kun berjongkok dan menggunakan jari tangannya mengetuk-ngetuk bagian kiri A-hai itu, di atas lantai batu. "Tung-tung-tunggg...!"
Melihat ini, Bwee Hong juga ikut berjongkok dan mengetuk-ngetuk lantai di sana-sini dan ternyata yang terdengar bunyi "tung-tung" hanya di sekitar sebelah kiri A-hai.
"Ah, ada lubang di bawah sini!" bisik Bwee Hong.
Kakaknya mengangguk dan mengerutkan alisnya. "Agaknya ini merupakan satu-satunya harapan kita. Saudara A-hai dan kau juga Bwee Hong, berdirilah di depan terali pintu dan beri isyarat kalau ada penjaga datang. Aku akan berusaha membongkar lantai ini."
Tanpa berkata sesuatu, Bwee Hong dan A-hai lalu berdiri di pintu, di mana terdapat jeruji baja yang kuat. Tidak nampak adanya penjaga di depan pintu itu. Para penjaga berkumpul agak jauh dari situ walaupun mereka tidak pernah lengah dan selalu memandang ke arah kamar tahanan. Melihat ini, Bwee Hong lalu memberi isyarat dengan tangannya.
Seng Kun lalu mengerahkan seluruh tenaganya, disalurkan kepada kedua lengannya dan setelah merasa cukup kuat, dia lalu menggunakan kedua tangannya menghantam lantai itu. "Brakkkkk!" Lantai itu pecah dan ambrol dan ternyata di bawahnya memang berlubang.
Bagaimanapun juga suara itu menarik perhatian para penjaga. Mereka berlarian mendatangi tempat itu. Melihat ini, Bwee Hong cepat menarik tangan A-hai dan bersama Seng Kun mereka lalu menutupi lubang itu dengan tubuh mereka yang sengaja direbahkan miring di atas lantai. Seng Kun dan Bwee Hong pura-pura memijiti tubuh A-hai yang setengah dipaksa untuk rebah menelungkup di atas lubang.
"Kenapa? Apa yang terjadi?" tanya komandan penjaga melihat mereka yang berada di dalam kamar tahanan itu.
"Teman karni ini pening dan terjatuh. Tapi tidak apa-apa, sebentar lagi tentu dia sembuh. Memang dia mempunyai penyakit ayan yang ka-dang-kadang kumat!" kata Seng Kun.
Diam-diam A-hai mengomel dikatakan bahwa dia mem-punyai penyakit ayan. Para penjaga tertawa lalu pergi lagi setelah melihat bahwa memang tidak terjadi apa-apa di kamar itu, tidak terdapat tanda-tanda bahwa tiga orang tawanan itu akan melarikan diri.
"Kita tunggu sampai gelap," bisik Seng Kun.
Mereka tetap rebah-rebahan menutupi lubang dan setelah kamar itu menjadi gelap karena memang tidak diberi penerangan, barulah Seng Kun memeriksa lubang. Lubang itu cukup besar untuk dapat dimasuki dan ketika dia memasuki lubang, ternyata di sebelah bawah terdapat sebuah lorong seperti yang pernah mereka lihat, lorong-lorong di bawah tanah dari Kepulauan Ban-kwi-to. Maka mereka bertigapun cepat maju ke depan dengan hati-hati karena keadaan di dalamnya gelap sama sekali. Setelah berjalan beberapa lamanya, mereka tiba di jalan buntu. Di depan mereka menghadang dinding batu yang keras.
"Celaka, terowongan ini merupakan jalan buntu!" kata Seng Kun, mengeluh karena kalau mereka ketahuan dan para penjaga mengejar, tentu mereka akan tertawan kembali. Di terowongan yang sempit itu tidak mungkin mereka melakukan perlawanan.
"Lihat, bagian ini tanahnya lunak dan bercampur pasir. Bagaimana kalau kita membuat jalan dari sini?" Bwee Hong berseru.
Seng Kun setuju dan mereka bertiga lalu mulai menggali. Dan memang benar, tanah itu mudah digali, apa lagi oleh sepasang tangan kakak beradik yang kuat itu. Tak lama kemudian mereka melihat batu landasan atau fondamen bangunan rumah.
"Wah, kita sampai di bawah rumah orang!"
Dengan jari tangannya yang kuat, Seng Kun lalu membuat lubang di lantai rumah yang berada di atas mereka. Segera terdengar suara orang-orang bercakap-cakap melalui lubang kecil itu dan mereka terkejut. Seng Kun dan adiknya segera mengenal suara pemuda Tai-bong-pai yang menawan mereka! Mereka bertiga mendengarkan dengan jantung berdebar tegang. Kiranya di atas mereka merupakan sebuah ruangan di mana Kwa Sun Tek sedang mengadakan rapat dengan beberapa orang sekutunya, di antaranya terdapat kepala daerah Lok-yang, juga Malisang, kepala Suku Mongol yang bersekutu dengan para pemberontak.
"Boleh jadi pasukan pemerintah sudah tidak begitu kuat karena mereka harus menentang gerakan Chu Siang Yu dari barat, akan tetapi kita harus memperhitungkan kekuatan Liu Pang," demikian kepala daerah Lok-yang bicara. "Daerahku telah dikuasainya. Untung aku masih dapat lolos dengan menyamar sebagai pelayan. Padahal, pasukan penjaga kota dan dibantu oleh pasukan koksu sudah cukup kuat, namun kami kalah, dan kehilangan banyak perajurit."
"Kami juga kehilangan banyak anak buah," kata orang Mongol itu dengan suara kaku. "Kami tidak mengira bahwa Liu Pang dapat bergerak sedemikian cepatnya, dan terutama sekali yang membikin kami gagal adalah kenyataan bahwa dalam pasukan tuan terdapat pengkhianatnya, yaitu Gui-ciangkun dan pasukannya." Koksu atau kepala Suku Mongol itu terdengar kecewa dan penasaran. "Akan tetapi sekarang, hal itu tidak perlu terulang kembali. Pasukan-pasukan kami telah berdatangan di sepanjang pantai. Tak lama lagi mereka akan dapat berkumpul untuk membantu kita semua."
Mendengar percakapan ini, diam-diam Seng Kun mengerutkan alisnya dan hatinya khawatir sekali. "Celaka," pikirnya. "Keselamatan, negara sungguh terancam. Pasukan asing dalam jumlah banyak telah mendarat. Sedangkan bangsa sendiri malah saling bermusuhan karena saling memperebutkan kedudukan. Pasukan Chu Siang Yu yang kuat itu memberontak. Para gubernur juga memberontak dengan diam-diam. Pemerintah pusat menghadapi begitu banyak ancaman pemberon-takan. Agaknya negara sudah berada di ambang kehancuran."
Tak lama kemudian, rapat di atas itupun bubar dan keadaan menjadi sepi. Seng Kun mengintai dari lubang kecil yang dibuat jarinya tadi. Memang ruangan itu sudah kosong sama sekali. Mereka lalu membongkar lantai dan keluar dari lorong bawah tanah itu. Ternyata mereka berada di dalam ruangan yang menjadi bagian dari gedung gubernuran. Hari masih larut malam dan merekapun cepat menyelinap keluar ruangan itu, bersembunyi di dalam gelap. Seng Kun menjadi pemimpin dan dua orang kawannya mengikuti dari belakang. Mereka hendak mencari jalan untuk keluar dari gedung itu.
Akan tetapi, baru saja mereka tiba di samping gedung, mereka mendengar suara ribut-ribut dan melihat banyak sekali perajurit membawa obor. Di antara mereka terdapat Kwa Sun Tek yang berteriak-teriak marah, "Mereka takkan dapat pergi jauh! Sudah pasti masih berada di dalam gedung. Hayo kepung gedung dan jangan sampai membiarkan seorangpun lolos!"
"Celaka, kita telah ketahuan!" bisik Seng Kun dan diapun mengajak Bwee Hong dan A-hai untuk mundur kembali memasuki gedung! Seng Kun berpikir cepat dan. tak lama kemudian dia sudah terus masuk ke dalam gedung menyuruh A-hai dan Bwee Hong bersembunyi dan segera menangkap seorang pelayan yang agaknya terkejut mendengar ribut-ribut di luar gedung.
"Cepat bawa kami ke dalam kamar gubernur!" Seng Kun mengancam sambil mencengkeram tengkuk pelayan itu.
Cengkeramannya membuat pelayan itu merasa kesakitan dan tanpa banyak cakap lagi diapun, mengangguk-angguk dan pergilah mereka bertiga mengikuti pelayan ke kamar sang gubernur. Dengan kepandaiannya, Seng Kun mendorong pintu terbuka setelah Bwee Hong melumpuhkan dua orang pengawal jaga di luar pintu, kemudian, sebelum sang gubernur yang baru saja bangun karena kaget itu sempat berteriak Seng Kun telah menangkapnya dan mengancam.
"Kalau sayang nyawa, jangan banyak bergerak dan jangan mengeluarkan suara!"
"Ampun jangan bunuh!"
"Keluarkan kereta, selundupkan kami keluar dari kota ini. Kalau kami selamat, engkaupun hidup!" hardik Seng Kun dengan suara lirih akan tetapi penuh ancaman.
"Baik... baik!"
Di bawah ancaman Seng Kun dan Bwee Hong, akhirnya pembesar itu mengenakan pakaian kebesaran lalu membawa mereka ke tempat kereta, membangunkan kusir kereta dan tak lama kemudian, keretapun bergerak keluar dari halaman samping gedung. Beberapa orang perajurit melihat dengan heran, bahkan ada seorang perwira yang berseru kepada kusir kereta, bertanya.
Gubernur, di bawah ancaman Seng Kun, menyingkap tirai jendela kereta dan berkata bahwa dia ingin memeriksa dan melihat sendiri keluar gedung, mencari tahu tentang kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di kota. Beberapa pasukan pengawal siap hendak mengiringkan kereta, akan tetapi gubernur itu menolak dan memerintahkan mereka menjaga gedung baik-baik.
Setelah berhasil keluar dari pintu gerbang gedung itu, Seng Kun lalu menotok kusir kereta dan dia sendiri lalu duduk menggantikan tempat kusir. "Saudara A-hai, engkau duduklah di sampingku sebagai pembantu," katanya.
Si gubernur gendut duduk berdua saja dengan Bwee Hong dan hal ini agaknya melegakan hatinya. Disangkanya bahwa dara secantik itu tentu tidak kejam dan tidak begitu kuat, maka dia sudah mulai melihat ke kanan kiri untuk mencari kesempatan menyelamatkan diri. Melihat ini, Bwee Hong berkata,
"Kalau engkau melakukan yang bukan-bukan, aku akan menghancurkan kepalamu seperti ini!" Dan Bwee Hong menggunakan tangannya meremas lengan kursi dalam kereta yang terbuat dari kayu keras. Lengan kursi itu hancur ketika dicengkeramnya.
Melihat ini seketika muka si gubernur menjadi pucat dan diapun tidak lagi berani berkutik, maklum bahwa gadis cantik jelita inipun lihai bukan main dan agaknya tidak kalah kejam dibandingkan dengan orang yang kini menggantikan kusirnya. Maka diapun pasrah saja dengan muka pucat, hati berdebar dan tubuh menggigil.
Kereta berhasil melalui pintu gerbang kota dengan selamat. Para perwira dan pasukan penjaga, biarpun terheran-heran, tidak berani mengganggu melihat sang gubernur duduk di dalam kereta dengan santai bersama seorang wanita muda yang cantik. Mereka mengira bahwa sang gubernur sedang mencari angin bersama seorang selirnya yang terkasih dan tidak ingin diganggu, maka tidak ada pasukan pengawalnya dan hanya ditemani oleh kusir dan pembantunya.
Akan tetapi, tidak semua pasukan setolol itu. Ada beberapa orang perwira yang merasa curiga sekali. Tidak seperti biasa seorang gubernur melakukan perjalanan malam seperti itu, tanpa kawalan dan keluar dari kota. Mereka lalu mempersiapkan pa-sukan dan diam-diam membayangi kereta itu dari jauh.
Ketika kereta melalui pintu, tiba-tiba saja perwira-perwira dan pasukannya itu menghadang di depan kereta. "Tahan dulu!" bentak seorang di antara para perwira. "Harap taijin maafkan kelancangan kami, akan tetapi dalam keadaan yang gawat ini kami harus bertindak hati-hati dan kami ingin merasa yakin bahwa taijin dalam keadaan selamat."
Bwee Hong mencengkeram tengkuk pembesar itu yang menjadi semakin ketakutan. "Hayo katakan bahwa engkau selamat dan suruh mereka semua minggir!" desis dara itu kepada sang gubernur.
Akan tetapi, gubernur itu menjadi demikian takutnya sehingga sukar baginya untuk mengeluarkan suara. "Selamat aku selamat sebaiknya kalian pergilah!"
Melihat sikap gugup ketakutan dan mendengar suara yarig menggigil dan tersendat-sendat itu, tentu saja para perwira menjadi semakin curiga. "Kepung! Tangkap penjahat!"
"Heh, mereka adalah tawanan-tawanan yang meloloskan diri itu!"
Tentu saja keadaan menjadi geger dan para perajurit lari mendatangi dan kereta itu dikepung. Seng Kun dan Bwee Hong sudah melompat turun dan mereka berdua mengamuk. Biarpun dikepung dan dikeroyok banyak perajurit, kalau mereka menghendaki, dua orang kakak beradik ini agaknya akan mudah untuk melarikan diri. Akan tetapi mereka teringat akan A-hai yang masih saja duduk di tempat kusir dan memandang perkelahian itu dengan bingung. Banyak perajurit sudah roboh terkena tamparan dan tendangan kakak ber-adik yang tangguh itu.
"Saudara Seng Kun! Nona Hong, kalian larilah saja dan jangan hiraukan aku!" Berkali-kali A-hai minta mereka melarikan diri. Dia tahu bahwa kakak beradik itu tidak mau lari karena hendak melindungi dia. Hal ini membuat hatinya terasa amat tidak enak. Dia sendiri tidak mampu melawan. Apa lagi melawan, bahkan melihat mereka berdua dikeroyok saja hatinya sudah menjadi gelisah sekali.
Bwee Hong mengerutkan alisnya. Harus ada akal untuk menyelamatkan A-hai, dan satu-satunya akal hanyalah membuat pemuda itu mengamuk! Kalau ia dan kakaknya harus membawa A-hai dari situ sambil melawan pengeroyokan, sungguh tidak mungkin. Selain A-hai tidak akan mau, juga kalau muncul lawan berat seperti putera Tai-bong-pai, akan berbahaya sekali. Akan tetapi bagaimana ia harus berbuat untuk dapat mem-buat A-hai kumat dan timbul kelihaiannya?
Seorang pengeroyok menyerang Bwee Hong dari samping dengan tusukan tombaknya. Bwee Hong menangkap tombak itu dan tiba-tiba menjerit, lalu roboh bersama penusuknya, mandi darah! Melihat ini, Seng Kun terkejut bukan main. Hampir dia tidak percaya bahwa adiknya akan roboh sedemikian mudahnya, diserang oleh seorang perajurit biasa dengan tombak. Tubuhnya meloncat dan meluncur bagaikan halilintar menyambar dan para pengeroyok adiknya terpelanting ke kanan kiri. Dengan muka pucat dia melihat adiknya menggeletak berlumuran darah.
"Hong-moi" teriaknya. Akan tetapi pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda dan sepasukan perajurit datang dipimpin oleh Kwa Sun Tek yang lihai. Bahkan kepala Suku Mongol yang tinggi besar itupun datang bersama pemuda Tai-bong-pai itu!
Celaka, pikir Seng Kun. Matilah mereka sekarang. Adiknya yang merupakan pembantu amat lihainya, telah menggeletak dan agaknya terluka cukup parah. Dia seorang diri mana mampu bertahan? Apa lagi kalau harus melindungi adiknya yang terluka dan A-hai yang masih duduk di atas kereta.
Melihat datangnya pasukan bantuan yang kuat, kini para perajurit sudah mulai maju lagi mengeroyok Seng Kun yang terpaksa harus melindungi tubuh adiknya. Pada saat itu, tiba-tiba saja terdengar teriakan yang amat dahsyat dan memekakkan telinga, lengkingan yang seperti bukan keluar dari mulut manusia, disusul berkelebatnya sesosok tubuh manusia yang melayang turun dari atas kereta.
Tubuh itu melayang ke arah Bwee Hong yang masih rebah miring mandi darah, lalu dengan mata beringas dia menggunakan tangan kiri menyambar tubuh Bwee Hong dan memanggul di atas pundaknya. Orang ini bukan lain adalah A-hai yang telah "kumat" gilanya ketika melihat Bwee Hong roboh mandi darah. Kini, dengan tubuh Bwee Hong dipanggul di atas pundaknya, dia memandang ke depan dengan sikap beringas mengerikan, sepasang matanya mencorong dan mengan-dung penuh nafsu membunuh.
Melihat ini, tentu saja beberapa orang perajurit mengepung dan menyerangnya. Akan tetapi, sambil mengeluarkan suara mendengus pendek, A-hai menggerakkan tangan kanannya dengan cepat dan terdengarlah jerit-jerit mengerikan dan lima orang perajurit telah roboh dengan tubuh kaku dan mata mendelik, mati! Tidak ada setetespun darah keluar, tidak ada sedikitpun luka nampak di tubuh mereka.
Tentu saja hal ini menimbulkan kegemparan dan para perajurit menjadi ngeri ketakutan. Bahkan Seng Kun sendiripun yang melihat jelas akibat gerakan tangan A-hai itu, diam-diam merasa serem dan ngeri. Ilmu apakah yang dipergunakan A-hai sehingga akibatnya sedemikian hebatnya?
Melihat kelihaian dua orang pemuda yang mengamuk itu, majulah Kwa Sun Tek yang dibantu oleh Malisang, raksasa Mongol kepala suku yang menjadi sekutu pemberontak itu. Dia menubruk ke arah A-hai yang memanggul gadis pingsan itu, menggunakan kedua lengannya yang panjang dan besar itu untuk mencengkeram ke depan seperti gerakan seekor biruang menerkam. Akan tetapi, A-hai kembali mendengus pendek dan tangan kanannya menyambut dengan dorongan.
"Bresss..." Pertemuan dua tenaga besar seolah-olah menggetarkan udara dan akibatnya, raksasa Mongol itu terjengkang dan terbanting jatuh, lalu bergulingan dan meloncat bangun kembali. Matanya terbelalak saking kagetnya dan hampir dia tidak dapat percaya bahwa ada seorang pemuda yang menggunakan sebelah tangan saja untuk menyambut tubrukannya yang mengandung tenaga amat besar itu.
A-hai sendiri tergetar karena besarnya tenaga lawan, akan tetapi dia hanya melangkah mundur sebanyak empat langkah saja. Melihat kehebatan pemuda ini, Malisang maju lagi dan kini dia dibantu oleh beberapa orang perwira pengawalnya yang sudah mencabut pedang.
Namun, A-hai menyambut pengeroyokan tujuh orang itu dengan sebelah tangan kanan saja dan hebatnya, pemuda yang biasanya lemah dan bodoh itu kini tiba-tiba saja berobah menjadi seorang yang selain gagah perkasa, juga cerdik dan lengan kanannya itu kebal senjata, bahkan jari-jari tangannya dapat dipergunakan untuk menangkis senjata tajam lawan tanpa terluka sedikitpun! Sepak terjangnya menggiriskan sehingga Malisang minta bantuan lebih banyak temannya lagi.
Sementara itu, Seng Kun juga sudah bertanding melawan Kwa Sun Tek, tokoh muda Tai-bong-pai. Mula-mula mereka berdua berkelahi dengan tangan kosong, akan tetapi melihat betapa pemuda jangkung tampan itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, terlalu kuat baginya, Kwa Sun Tek lalu mempergunakan senjatanya yang aneh, yaitu sebatang cangkul penggali kuburan.
Terjadilah perkelahian yang amat seru, akan tetapi karena Kwa Sun Tek juga dibantu oleh banyak orang, Seng Kun mulai terdesak pula. Juga A-hai terdesak karena pemuda ini selalu harus melindungi sambaran senjata yang mengancam tubuh Bwee Hong yang dipanggulnya.
Seng Kun menggeser kedudukannya agar mendekati A-hai dan dia berseru, "Saudara A-hai, mari kita melarikan diri!"
Berkali-kali dia mendesak, akan tetapi A-hai sama sekali tidak memperdulikannya, bahkan ketika Seng Kun terlalu mendekatinya, pemuda sinting ini menggunakan tangannya untuk menyampok sehingga Seng Kun terhuyung! Kiranya setelah kumat, A-hai sama sekali tidak mengenalnya lagi! Maka terpaksa Seng Kun menjauh lagi dan melanjutkan amukannya. Diam-diam dia mengeluh. Tidak mungkin bagi mereka berdua, betapapun lihainya A-hai, akan dapat bertahan menghadapi pengeroyokan sedemikian banyaknya anak buah pasukan.
Tentu saja semua ini dilihat jelas oleh Bwee Hong yang dipondong oleh A-hai. Dara ini tadi memang hanya pura-pura saja membiarkan dirinya seolah-olah terkena serangan senjata lawan. Padahal, darah yang menodai pakaiannya itu bukanlah darahnya sendiri, melainkan darah lawannya. Ia berhasil mengelabuhi A-hai dan berhasil pula membikin pemuda itu kumat sintingnya.
Akan tetapi sungguh celaka, kini A-hai mengamuk dan tidak mau melarikan diri seperti yang dianjurkan berkali-kali oleh kakaknya. Iapun tahu bahwa betapapun lihainya A-hai, tidak mungkin dapat bertahan kalau terus-menerus menghadapi pengeroyokan ratusan, bahkan ribuan orang perajurit. Maka, diangkatnya kepalanya mendekati telinga pemuda sinting itu dan iapun berbisik, "A-hai, lihatlah, kakakku sudah terdesak. Mari kita pergi dari sini!"
"Hemmm? Pergi?" A-hai menunduk dan memandang wajah dara itu. Matanya yang buas itu membuat Bwee Hong sendiri menjadi ngeri.
"Koko, mari kita lari! A-hai, hayo loncati tembok di sana itu!" Bwee Hong berseru sambil menekan-nekan pundak A-hai.
Seng Kun girang sekali melihat bahwa adiknya ternyata selamat dan kini kakak ini baru mengerti bahwa robohnya Bwee Hong tadi ternyata hanyalah siasat untuk "membangkitkan" A-hai.
"Baik, mari kita pergi!" katanya sambil merobohkan dua orang perajurit dan pemuda inipun mempergunakan ginkangnya yang amat hebat untuk melayang ke arah tembok bagaikan seekor burung terbang saja.
"Hayo kita pergi, A-hai!" kata pula Bwee Hong.
"Pergi? Baik, ibu!" Dan A-hai lalu meloncat dengan kecepatan yang membuat Bwee Hong terkejut dan ngeri. Akan tetapi, lebih terkejut dan heran lagi hatinya ketika tadi ia mendengar A-hai menyebutnya "ibu"!
"Kejar!"
"Tangkap!"
"Bunuh !!"
Teriakan-teriakan itu menggerakkan para perajurit untuk mengejar, akan tetapi begitu A-hai menggerakkan tangan ke belakang dan empat orang roboh terpelanting dan tewas, mereka menjadi jerih dan akhirnya mereka bertiga dapat lolos dari pengejaran para perajurit. Tentu saja Kwa Sun Tek menjadi marah dan khawatir. Tawanan-tawanan itu diserahkan kepadanya dan menjadi tanggung jawabnya, maka tentu saja sama sekali tidak boleh lolos! Dia mengerahkan pasukannya, dibantu oleh Malisang, melakukan pengejaran secepatnya.
Ketika pasukan itu tiba di pintu gerbang, baru saja pintu gerbang dibuka, terdengar derap kaki kuda dan muncullah Jenderal Lai diikuti oleh pasukan pengawalnya. Melihat jenderal ini, tentu saja Kwa Sun Tek terkejut dan cepat memberi hormat bersama para pembantunya.
Jenderal Lai mengerutkan alisnya dan memandang tajam. "Ada kejadian apa lagi ini? Kenapa sampai terdengar dipukulnya tanda bahaya segala?"
Tentu saja Kwa Sun Tek merasa canggung dan gugup. Akan tetapi dia tidak mungkin dapat menyembunyikan kenyataan, maka dengan hati-hati dia lalu bercerita bahwa tiga orang tawanan itu memberontak dan melarikan diri dengan jalan kekerasan. "Kami sedang berusaha mengejar mereka, Lai-ciangkun."
Jenderal Lai terkejut sekali mendengar ini. Dia marah. "Hemm, mengapa engkau begini ceroboh dan membiarkan tawanan penting lolos?"
"Kami tentu akan dapat menangkap mereka kembali!" kata Malisang melihat kemarahan jenderal itu.
Jenderal Lai menengok dan melihat raksasa rambut putih itu dia membentak, "Siapa pula orang ini?"
Kwa Sun Tek sudah terkejut sekali mendengar Malisang ikut bicara tadi, dan kini dengan gugup dia menjawab. "Dia adalah seorang pengawal pribadi saya, goanswe!"
"Hayo kejar dan tangkap mereka kembali!" Akhirnya sang jenderal memberi perintah sambil memutar kudanya memasuki kota kembali. Kwa Sun Tek bersama Malisang lalu mengerahkan pasukan dan melakukan pengejaran keluar kota.
Chu Seng Kun diam-diam merasa kagum bukan main kepada A-hai. Biarpun pemuda sinting yang sedang kumat itu memanggul tubuh Bwee Hong, akan tetapi dia dapat berlari dengan kecepatan yang luar biasa. Seng Kun sendiri adalah keturunan dari Tabib Sakti Tanpa Bayangan yang sudah terkenal memiliki ginkang nomor satu di dunia persilatan. Akan tetapi sekali ini dia harus mengakui bahwa ginkang atau ilmu meringankan tubuh dari pemuda sinting itu tidak kalah olehnya. Bahkan dia harus mengerahkan semua tenaganya untuk dapat mengimbangi kecepatan lari A-hai.
Mereka keluar masuk hutan dan naik turun bukit-bukit. Setelah mereka tiba di tepi sebuah sungai yang jernih airnya, Bwee Hong berbisik kepada A-hai, "A-hai, berhenti! Turunkan aku di sini!"
Memang aneh sekali. Dalam keadaan kumat, pemuda ini tidak mau perduli, bahkan tidak mengenal semua orang. Akan tetapi seperti ketika berhadapan dengan Pek Lian, kini dia amat patuh kepada Bwee Hong. Biarpun tadinya beringas dan buas, mendengar suara Bwee Hong, dia menjadi lemah dan penurut sekali. Dan suasana yang tenang di tempat itu agaknya cepat memulihkannya kembali dari kambuhnya.
Dia menurunkan Bwee Hong, lalu dia duduk di atas sebongkah batu besar, termenung sejenak, memandang ke kanan kiri seperti orang terheran-heran atau seperti baru saja bangun dari mimpi buruk, kemudian dia menutupi mukanya dengan kedua telapak tangannya sambil mengeluh panjang pendek, "Aduh, kepalaku! Kepalaku!"
Dengan perasaan iba Bwee Hong mendekatinya, lalu memegang pundaknya dengan sikap halus. "Kepalamu kenapa, A-hai? Bagaimana rasanya?"
"Aduhh pening, pusing sekali. Ahhhh" Dan tiba-tiba saja A-hai terkulai dan tentu jatuh terguling dari atas batu kalau tidak cepat-cepat dipegang oleh Bwee Hong. Pemuda itu sudah roboh pingsan!
"A-hai! A-hai! Engkau kena pakah, A-hai?" Bwee Hong yang merangkulnya itu mengguncang-guncangnya, hatinya penuh dengan perasaan iba. Wajah A-hai yang tadinya kemerahan dengan mata beringas itu kini perlahan-lahan berobah menjadi pucat.
"Tenanglah, Hong-moi, biarkan dia terlentang di atas rumput. Dia sedang mengalami perobahan seperti biasa, setelah tadi mengalami guncangan batin yang hebat dan yang membuatnya kumat. Bagaimanapun juga, siasatmu itu bagus sekali dan telah menyelamatkan kita."
"Ah, itu merupakan jalan satu-satunya, yaitu membuat dia kumat. Sebetulnya, kalau tidak terpaksa, aku tidak tega melihat dia kumat seperti itu, dan engkau tahu, koko, ketika kumat tadi, dia menyebut aku ibu!"
Seng Kun memandang wajah pemuda yang kini rebah terlentang dengan muka pucat itu dan meraba-raba dagunya yang masih halus belum ditumbuhi jenggot. "Hemm, tentu ada rahasia di balik itu semua, rahasia yang menyangkut ibunya. Agaknya dahulu terjadi peristiwa hebat sekali yang membuat batinnya terguncang secara luar biasa."
"Kita sudah melihat dia beberapa kali kumat dan agaknya dia kumat karena guncangan batin, terutama sekali apa bila dia melihat darah. Adik Pek Lian juga menceritakan demikian. Aku hampir merasa pasti bahwa masa lalunya yang telah dilupakannya itu apa bila dia dalam keadaan biasa, tentulah sangat serem dan mengerikan. Tentu masa lalunya itu penuh dengan peristiwa yang berlepotan darah dan pembunuhan. Dan peristiwa itu sangat melukai hatinya sehingga sampai sekarangpun mempengaruhi batinnya. Kurasa, apa bila dia sedang kumat, dia justeru sedang hidup kembali dalam masa lalu yang terlupakan itu, dia menjadi buas dan penuh dengan hawa nafsu membunuh! Bagaimana pendapatmu, koko?"
Seng Kun mengangguk-angguk. "Cocok dengan pendapatku. Pemuda ini sekarang mempunyai dua dunia, yaitu dunia yang terlupakan itu dan yang dimasukinya sewajarnya? Koko, untuk masa ini, ilmu pengobatanmu mungkin yang nomor satu di dunia setelah ayah eh, kakek kita meninggal dunia Coba berilah keterangan mengenai penyakit yang diderita A-hai, aku ingin sekali mendengarnya."
Seng Kun menarik napas panjang dan menatap wajah A-hai yang masih pingsan seperti orang tidur nyenyak itu. "Hemm, terus terang saja, adikku. Aku sendiri belum dapat memastikan penyakit apa yang dideritanya, hanya dapat meraba raba dan mengira-ngira saja. Akan tetapi setelah melihat keadaannya dan mendengar cerita mengenai dirinya, aku merasa yakin bahwa dia mengalami gangguan pada jalinan syaraf otaknya. Ada gangguan yang membuat otaknya terganggu sehingga terjadi kelainan.
"Telah terjadi sesuatu yang mengguncangkan dan mendatangkan luka pada susunan otaknya sehingga merusak daya kerjanya, membuat dia kehilangan ingatannya saat dia kecil sampai beberapa saat yang lalu. Di dalam buku kakek, aku pernah membaca tentang gangguan yang dapat mengakibatkan kerusakan daya kerja otak. Benturan kepala yang keras dapat mengakibatkan kerusakan.
"Keracunan racun-racun tertentu dapat juga merusak syaraf otak dan mengakibatkan ketidaknormalan. Juga peristiwa-peristiwa yang amat hebat dapat mengguncangkan batin sedemikian hebatnya sehingga mengakibatkan pula kelainan pada susunan otak dan mendatangkan kegilaan. Ada pula penyakit yang merupakan penyakit keturunan, penyakit gila keturunan yang kadang-kadang muncul kadang-kadang tidak, seperti keadaan A-hai ini.
"Akan tetapi aku melihat gejala-gejala berbeda dari pada diri A-hai dengan penyakit gila keturunan, karena A-hai hanya kambuh kalau batinnya terguncang oleh kengerian saja. Sayang kita tidak mengenal asal-usul dan masa lalunya. Kalau kita mengetahuinya, tentu akan lebih mudah untuk mengenal jenis penyakitnya dan tentu saja lebih mudah pula untuk mencoba memberi pengobatannya."
"Habis, bagaimana baiknya, koko? Aku ingin sekali melihat dia sembuh. Dia sudah berbuat banyak terhadap kita, dia sudah melepas budi besar walaupun tidak disengajanya."
"Itulah, kita harus menyelidiki dengan cermat. Belum tentu yang menimpa dirinya itu merupakan suatu penyakit. Mungkin akibat guncangan batin yang hebat. Atau dapat juga jalinan syaraf rusak karena peredaran darah yang kacau. Keracunan darah melalui luka dapat saja merusak syaraf otak. Kita harus menyelidiki."
"Lalu bagaimana caranya? Bagaimana kita bisa membuka rahasia penyakitnya?"
Seng Kun mengerutkan alisnya dan menggunakan pikirannya. Sebelum adiknya mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu mengenai diri A-hai, hal ini sudah sering kali direnungkannya. Tidak, dia ingin mengobati A-hai bukan karena merasa berhutang budi. Andaikata A-hai tidak pernah melepas budi sekalipun, tetap saja dia ingin mengobatinya. Yang mendorongnya adalah wataknya sebagai ahli pengobatan.
Setiap orang ahli pengobatan yang benar-benar mencintai keahliannya, tentu akan merasa ditantang apa bila menghadapi seorang yang menderita penyakit berat dan aneh. Makin berat dan makin aneh penyakitnya, makin besarlah gairahnya untuk memeranginya, untuk melawan dan menundukkan penyakit itu. Dia merasa ditantang oleh seorang lawan yang menarik!
"Satu-satunya jalan ialah mengetahui sebabnya mengenai dunia masa lalunya itu. Siapakah dia sebenarnya, bagaimana asal-usulnya dan apa yang terjadi dengan dia pada saat-saat terakhir masa lalunya itu? Dan siapa keluarganya, dari mana asalnya? Kalau kita mengetahui asal-usulnya, kita dapat mengajaknya ke tempat itu. Tempat-tempat yang sudah sangat dikenalnya, kampung halaman di mana dia tumbuh di waktu masa kanak-kanak, akan membantu dia untuk cepat menemukan dirinya kembali. Akan tetapi dalam keadaan sekarang, tak mungkin hal itu terjadi. Dia sendiripun sudah lupa akan asal-usulnya, bagaimana kita akan dapat menyelidikinya? Hanya ada satu jalan, akan tetapi....." Seng Kun tidak melanjutkan.
"Tetapi bagaimana, koko?" tanya adiknya tak sabar.
"Engkau tahu, untuk dapat memperoleh keterangan yang paling mudah mengenai masa lalunya, tentu saja pada saat-saat dia kumat. Karena dalam keadaan normal dia lupa sama sekali mengenai dirinya. Dan pada saat dia kumat tentu dia tahu akan keadaan dirinya di masa lalu, hanya dia berbahaya sekali. Ilmu kepandaian silat kita sama sekali bukan apa-apa dibandingkan dengan dia. Dan perasaannya amat halus. Sekali dia tersinggung, kita akan dengan amat mudah saja tewas di tangannya."
Bwee Hong mengangguk-angguk. Iapun sudah mengenal kehebatan A-hai kalau sedang kumat. "Lalu bagaimana baiknya? Apakah kita akan diam saja melihat penderitaannya yang hebat itu?" tanyanya sedih dan matanya menjadi basah ketika ia memandang ke wajah pemuda yang masih pingsan itu.
Melihat kesedihan adiknya, Seng Kun menjadi kasihan dan dia menyentuh tangan adiknya. "Hong-moi, sebenarnya aku telah memikirkan suatu jalan, akan tetapi aku tidak berani mengatakannya karena aku amat mengkhawatirkan resikonya."
"Katakanlah, jalan apa itu? Kalau perlu, kita harus berani menempuh resikonya."
"Begini, adikku. Sebuas-buasnya binatang, pada dasarnya masih memiliki kasih sayang, apa lagi manusia. Seluruh mahluk di permukaan bumi ini, dari binatang yang paling buas dan tak berakal budi, sampai kepada manusia, semua tunduk oleh rasa kasih sayang ini. Aku melihat betapa A-hai, dalam keadaannya yang paling buas selagi kumat, masih juga mempunyai kelemahan dan tunduk terhadap perasaan suci itu.
"Dia mempunyai tanggapan tersendiri kepadamu. Ingatkah engkau sewaktu dia berlutut di depanmu ketika dia kumat di pulau terlarang itu? Dan tadi? Dia begitu buas dan mengerikan, akan tetapi terhadap engkau dia seperti seorang anak kecil yang lemah dan taat. Maka, menurut dugaanku, hanya engkaulah seorang di dunia ini yang dapat mendekati hatinya sewaktu dia kumat.
"Dengan senjata kasih sayang yang ada pada dirinya itu, engkau akan dapat menundukkannya di waktu dia kumat dan menjadi buas. Akan tetapi bagaimanapun juga, engkau adalah adikku. Aku tidak berani mengambil resiko yang terlalu besar. Sekali saja salah jalan, nyawamu bisa melayang. Sewaktu dia kumat, akupun tidak mampu melindungi dirimu lagi. Dan lebih sukar lagi, saat kumatnya itu demikian singkat sehingga tidak banyak waktu lagi untuk melakukan penyelidikan!"
Pada saat itu terdengar suara keluhan dan A-hai nampak menggeliat bangun.
"Koko, dia telah siumam!"
A-hai bangkit duduk dan memandang ke ka-nan kiri dengan bingung. Melihat Bwee Hong dan Seng Kun berada di situ, diapun bertanya heran, "Eh, apa yang telah terjadi? Di mana pengeroyok-pengeroyok itu, di mana pula kereta kita? Kita berada di manakah?"
"Engkau pingsan dan kita bawa ke sini," kata Seng Kun membohong agar pemuda itu tidak banyak berpikir dan menjadi bingung.
A-hai masih bengong dan nampak termenung. Seolah-olah dia hendak mengingat sesuatu dan dia merasa seperti mimpi, mimpi aneh. Mereka lalu melanjutkan perjalanan dan bermalam di sebuah pondok tua yang tiada penghuninya lagi, di luar sebuah dusun kecil. Mereka membuat api unggun dan Bwee Hong menangkap tiga ekor ayam hutan kemudian mereka makan daging ayam hutan panggang. Setelah itu, mereka membuat api unggun dan sambil duduk mengelilingi api unggun mereka bercakap-cakap.
"A-hai, sebenarnya, dimanakah tempat tinggalmu, maksudku kampung halamanmu?" Bwee Hong bertanya, memancing dan mencoba kalau-kalau pemuda itu dapat mengingatnya.
A-hai menundukkan mukanya. "Entahlah, aku tidak ingat sama sekali. Nona tentu sudah tahu bahwa aku sudah lupa sama sekali tentang diriku, lupa siapa aku ini, siapa orang tuaku. Bagaimana aku tahu di mana kampung halamanku?"
"Akan tetapi engkau tentu masih ingat akan tempat-tempat yang kau kunjungi untuk yang pertama kali dan yang terakhir kali, bukan?"
"Tentu saja," jawab A-hai sambil tersenyum sedih. "Tempat yang terakhir adalah di sini, bukan?" Dia menepuk tanah di mana dia duduk dekat api unggun.
"Dan yang pertama kali kau kunjungi? Yang masih kau ingat pada pertama kalinya sesudah waktu yang terlupakan olehmu itu, di manakah itu?"
A-hai mengerutkan alisnya, seperti hendak menggali dalam benaknya ingatan-ingatan lama. Sampai berkeringat wajahnya. Seng Kun memper-hatikan dan diam saja. Dia menyerahkan hal itu kepada adiknya saja, akan tetapi dengan cermat dia memperhatikan wajah A-hai. Wajah itu kini berkeringat, seolah-olah pekerjaan mengingat-ingat merupakan pekerjaan yang amat berat dan melelahkan baginya.
"Sapi, kuda, kerbau, domba... ah, pendeknya banyak ternak dan aku menggembalanya, di padang rumput, benar, di padang rumput yang segar dan hijau."
"Padang rumput? Menggembala ternak?" Bwee Hong bertanya sambil saling pandang dengan kakaknya.
"Benar, tempat itulah yang bisa kuingat, sampai kini. Lebih lama dari waktu itu aku tidak ingat lagi."
"Jadi saat engkau menjadi penggembala itulah saat terakhir yang dapat kau ingat dan sebelum saat itu engkau lupa?"
"Benar. Menjadi penggembala di padang rumput itulah bagiku menjadi permulaan dari hidupku sampai sekarang. Aneh, bukan?" A-hai tersenyum getir.
Tiba-tiba Seng Kun meloncat bangun, diikuti oleh Bwee Hong, sedangkan A-hai tetap duduk saja, tidak tahu bahwa kakak beradik itu telah mendengar suara orang datang ke tempat itu. Barulah A-hai memandang dengan kaget ketika melihat munculnya dua orang yang bukan lain, adalah Kwa Sun Tek dan Malisang, diikuti oleh para perwira anak buah mereka. Kiranya setelah mendapat teguran keras dari Jenderal Lai.
Pemuda Tai-bong-pai ini mati-matian mencari jejak buronan mereka dan akhirnya dapat menemukan tiga orang muda itu di situ. Biarpun Kwa Sun Tek sendiri merasa gentar melihat A-hai yang masih enak-enak duduk di dekat api unggun, namun dia mengandalkan pasukannya dan bertekad untuk menangkap kembali tiga orang itu.
Seng Kun dan Bwee Hong maklum bahwa menghadapi mereka ini tidak ada gunanya untuk banyak cakap lagi, maka kakak beradik ini segera menerjang ke depan. Seng Kun menyerang Kwa Sun Tek sedangkan Bwee Hong menandingi Mali-sang. Akan tetapi, beberapa belas orang perwira pengawal ikut mengeroyok sehingga keadaan kedua orang kakak beradik ini sebentar saja terdesak hebat. Celakanya, A-hai berada dalam keadaan normal sehingga seperti biasa, pemuda ini hanya memandang dengan bingung saja.
Selagi dua orang kakak beradik itu terdesak hebat, tiba-tiba terdengar suara orang melengking nyaring dan panjang dan nampak pula dua gulung sinar putih berkelebatan menyilaukan mata, disusul patahnya senjata-senjata para pengeroyok dan robohnya beberapa orang di antara mereka. Muncullah seorang pemuda gagah tampan berpakaian putih-putih yang mengamuk dengan sepasang pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat.
"Yap-twako...!" Bwee Hong berseru girang sekali ketika mengenal pemuda ini.
Kiranya yang datang adalah Yap Kiong Lee, pemuda lihai dari Thian-kiam-pang itu. Permainan pedangnya hebat bukan main dan ketika pemuda itu akhirnya terjun ke dalam perkelahian membantu Seng Kun dan Bwee Hong, pemuda Tai-bong-pai dan pembantunya si raksasa Mongol itupun merasa kewalahan. Tiga orang pendekar ini mengamuk dan akhirnya para pengeroyok itu terpaksa mundur.
Kiong Lee lalu mengajak mereka melarikan diri. Seng Kun cepat menyambar lengan A-hai dan diajaknya pemuda itu lari. Mereka menghilang di dalam kegelapan malam dan karena Kwa Sun Tek merasa jerih terhadap pemuda yang memegang sepasang pedang, pengejaran yang dilakukannya amat terlambat dan hanya seperti orang membayangi dari jauh saja.
Empat orang muda itu berlari terus dan setelah malam terganti pagi, baru mereka berhenti di tepi jalan gunung. A-hai terengah-engah dan mengomel panjang pendek. "Orang-orang tak berperikemanusiaan itu! Mengejar-ngejar dan hendak membunuh, membikin orang menjadi hidup tak aman saja!" Dia menyusuti keringatnya dengan ujung lengan bajunya.
Seng Kun dan Bwee Hong menjura kepada Yap Kiong Lee. "Kami menghaturkan terima kasih atas pertolongan Yap-twako sehingga kami dapat lolos dengan selamat."
"Ah, di antara kita, masih perlukah bersikap sungkan?" jawab Yap Kiong Lee dengan sederhana.
"Sungguh kemunculan Yap-twako selalu seperti seorang dewa penyelamat saja," kata Bwee Hong. "Ketika aku terancam gelombang lautan, engkau muncul dan menyelamatkan aku, dan sekarang, selagi kami dikurung dan didesak, engkau muncul pula menolong kami. Yap-twako, bagaimana engkau bisa muncul di tempat ini?"
Pendekar berpakaian putih itu menarik napas panjang. "Orang yang benar selalu dilindungi Thian. Tentu kalian adalah orang-orang yang benar maka setiap kali terancam bahaya, ada saja yang kebetulan datang membantu. Aku diutus oleh suhu lagi. Urusan apa lagi kalau bukan urusan siauw-sute yang nakal itu? Dia telah kabur lagi dan sekali ini dia mengajak Ngo-sute Kwan Hok."
"Kwan Hok?" Seng Kun berseru. "Ah, adikmu yang ke lima itu sekarang menjadi pemimpin para pendekar yang melawan pemerintah daerah yang memberontak. Kami bersama dia kemarin dulu dan kalau tidak salah dia dan kawan-kawannya akan menggabungkan diri dengan pasukan Liu-bengcu."
"Apakah kalian tidak melihat siauw-sute Yap. Kim?" tanya Yap Kiong Lee yang menjadi kaget dan juga gembira mendengar keterangan itu.
"Tidak, kami tidak melihatnya."
"Aih, di mana lagi si bengal itu?" Kiong Lee termenung kesal. Ngo-sutenya telah diketahui kabarnya, akan tetapi ternyata Ngo-sutenya itu berpisah dari Yap Kim. Gurunya memesan kepadanya agar menemukan sutenya itu. Negara sedang dalam keadaan ricuh, di mana-mana terjadi pertempuran. Kepandaian Yap Kim memang sudah cukup tinggi, akan tetapi wataknya yang aneh itu bisa mencelakakan dirinya sendiri. Seperti peristiwa beberapa waktu yang lalu, sutenya itu gulung-gulung dengan seorang dari Ban-kwi-to, yaitu Si Kelabang Hijau. Padahal semua orang di dunia kang-ouw tahu belaka betapa jahatnya iblis-iblis Kepulauan Ban-kwi-to itu.
"Ngo-sutemu itupun tidak tahu ke mana perginya siauw-sutemu," kata Bwee Hong.
"Biarlah, aku akan menemui Ngo-sute dulu, baru kami akan mencarinya. Kalian bertiga hendak pergi ke manakah?" tanya Kiong Lee.
"Kami hendak ke kota raja, menghadap sri baginda kaisar," kata Seng Kun singkat. Karena dia percaya penuh kepada tokoh Thian-kiam-pang ini, maka diapun menceritakan bahwa dia diutus kaisar untuk mencari Menteri Ho dan kini dia hendak melaporkan hasil penyelidikannya. "Bahkan aku akan bentangkan semua peristiwa yang aneh-aneh di daerah, tentang bersihnya perjuangan Liu-bengcu dan palsunya para pejabat daerah yang bersekongkol dengan orang-orang asing dan mereka inilah yang sebenarnya hendak memberontak."
"Ah, kalian terlambat!" kata Yap Kiong Lee.
"Apa maksudmu?" tanya Seng Kun terkejut.
"Kaisar tidak berada di istana. Sudah sebulan lebih sri baginda tidak berada di istana." Pemuda perkasa itu nampak ragu-ragu, menoleh ke kanan kiri, kemudian berkata dengan suara berbisik,
"Sebaiknya jangan memasuki istana dalam saat-saat ini. Berbahaya sekali. Sri baginda kaisar tidak ada di istana, dan yang berkuasa adalah Perdana Menteri Li Su. Orang ini luar biasa palsu, kejam dan liciknya. Beberapa hari yang lalu dia mengirimkan putera mahkota ke utara, ke tempat Jenderal Beng Tian memimpin pasukan yang bertempur melawan pemberontak."
Chu Seng Kun terkejut dan merasa heran. "Putera mahkota dikirim ke medan pertempuran? Untuk apa?"
"Perdana Menteri Li Su mengirimkannya dengan dalih agar putera mahkota dapat menambah pengalaman dan membantu Panglima Beng Tian. Akan tetapi, semua orang juga tahu bahwa dia hanya ingin menyingkirkan putera mahkota sehingga dalam istana yang sedang kosong itu dia boleh berkuasa sebebasnya tanpa pengganggu atau saingan. Semua orang tidak berani menentang karena sebagai perdana menteri, kalau sri baginda tidak ada, dialah yang paling berkuasa."
"Ah, tidak kusangka keadaan di istana sekacau itu!" kata Seng Kun penasaran.
Yap Kiong Lee menarik napas panjang. "Mudah dilihat bahwa negeri kita ini terancam malapetaka, sebentar lagi tentu akan porak-poranda. Di luar istana keadaan begini kacau, penuh dengan pemberontakan dan pejabat-pejabat daerah ingin berkuasa sendiri, orang-orang jahat mempergunakan kesempatan untuk mencari keuntungan sebanyaknya, di mana-mana terjadi perebutan kekuasaan. Sedangkan di dalam istana sendiri sudah mulai nampak kericuhan. Semua orang yang tidak disukainya, disingkirkannya dengan kekuasaannya, diganti kedudukan mereka dengan antek-anteknya. Karena kekuasaan mutlak berada di tangannya, para menteri yang setia kepada kerajaan tidak ada yang berani menentangnya."
"Apakah di istana tidak ada keluarga kerajaan yang dapat mempengaruhinya?" tanya Bwee Hong.
"Tidak ada! Subo sendiri, yang masih sanak dekat, bibi dari sri baginda kaisar, sama sekali tidak pernah mencampuri pemerintahan. Putera mahkota yang tahu akan urusan pemerintahan dikirim ke garis depan pertempuran. Sedangkan putera-putera sri baginda yang lain masih kecil, sedangkan puteri-puterinya tentu tak banyak dapat berdaya. Memang sebenarnya ada seorang pangeran lagi yang sudah dewasa, yaitu adik tiri putera mahkota. Akan tetapi dia jarang berada di istana. Tabiatnya sangat jahat dan nakal. Sejak kecil sri baginda sendiri tidak menyukainya. Bahkan sri baginda selalu dengan halus mengusahakan agar putera yang satu ini jangan berada di dalam istana."
"Eh, aku belum mendengar tentang hal ini!" kata Seng Kun heran. "Bagaimanakah dia sebagai pangeran dianggap nakal dan tidak disukai oleh sri baginda yang menjadi ayahnya sendiri?"
"Entahlah, entah rahasia apa yang ada di balik kelahiran pangeran ini sebagai putera kaisar. Yang jelas, dia nakal sekali, sejak kecil tidak menurut dan selalu membawa kemauan sendiri. Kabarnya sejak kecil dia suka mempelajari ilmu silat, dan melakukan hal-hal yang memalukan. Setelah besar dia bergaul dengan orang-orang jahat, dan kalau di istana, kerjanya hanya mengganggu selir-selir ayahnya dan mencuri benda-benda berharga dan pusaka-pusaka istana."
"Ihhh !" Bwee Hong berseru tak senang.
"Sri baginda kaisar tahu akan keadaan puteranya yang lihai ilmu silatnya, maka sering diberi tugas membasmi penjahat atau memadamkan pemberontakan. Malah ketika terjadi pembantaian para sasterawan yang menentang pembakaran kitab-kitab, karena takut kalau kalau para sasterawan dilindungi oleh para pendekar, sri baginda juga mengutus puteranya ini untuk mengepalai pasukan dan melaksanakan pembantaian itu."
"Apakah dia lihai sekali?" tanya Seng Kun, tertarik.
"Aku sendiri belum pernah bertemu dengannya, apa lagi bertanding. Dia putera kaisar, siapa be-rani menentangnya? Akan tetapi kabar angin mengatakan bahwa dia memang lihai bukan main, mempelajari banyak macam ilmu silat, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam."
"Kalau dia begitu lihai, apa dia tidak dapat mempengaruhi perdana menteri?" tanya Seng Kun.
Yap Kiong Lee tersenyum pahit dan menarik napas panjang. "Perdana Menteri Li Su orangnya cerdik dan licik sekali. Pangeran itu kini memang berada di istana, akan tetapi dia dininabobokkan oleh Perdana Menteri Li Su, setiap hari berpesta pora, bahkan dengan bantuan perdana menteri, wanita manapun di istana, baik masih gadis maupun isteri pembesar lain, dapat saja diambilnya dan menjadi permainannya. Nah, bukankah keadaannya amat berbahaya di istana? Seolah-olah di sana berkumpul binatang-binatang buas yang sedang merajalela."
Seng Kun masih merasa penasaran. "Yap-twako, bukankah Menteri Kang dan para menteri lain yang jujur, yang tadinya dipecat, kini telah bekerja kembali, kecuali Menteri Ho? Bukankah mereka itu merupakan sekumpulan menteri yang takkan tinggal diam saja kalau Perdana Menteri Li Su bertindak sewenang-wenang di istana?"
Kiong Lee menghela napas. "Agaknya engkau belum tahu akan perkembangan selanjutnya setelah para menteri yang jujur ditarik kembali. Keadaan di istana sudah berkembang sedemikian buruknya sehingga setelah para menteri yang jujur itu kembali, kekuasaan pemerintahan menjadi terpecah-belah. Mereka selalu bermusuhan, akan tetapi karena fihak Perdana Menteri Li Su dan antek-anteknya masih jerih terhadap wibawa sri baginda kaisar yang didukung oleh Jenderal Beng Tian sehingga mereka tidak berani bersikap sewenang-wenang. Akan tetapi, kini Panglima Beng Tian sendiri repot mengurus pemadaman pemberontakan di utara dan barat, sedangkan sri baginda juga pergi, maka tentu saja keadaan menjadi berobah sama sekali."
"Ah, begitukah ?" Bwee Hong mengeluh. Ia tahu bahwa ayahnya sendiri, ayah kandungnya, biarpun masih terhitung paman dari sri baginda kaisar, namun kini ayahnya hanya menjadi seorang pendeta, kepala kuil yang tidak mempunyai keku-asaan, maka tentu saja tidak berani menentang perdana menteri. "Bagaimana baiknya sekarang, koko?"
"Kalau keadaannya seperti itu, kita harus berhati-hati. Kita tetap ke kota raja, akan tetapi kita harus masuk pada malam hari. Kita melihat-lihat dulu suasana di sana. Yap-twako, terima kasih atas semua keteranganmu yang amat berharga ini. Dan kalau engkau hendak mencari ngo-sutemu itu, sebaiknya kalau engkau pergi ke bukit di mana kami saling berpisah. Kalau tidak ada, berarti dia sudah pergi membawa kawan-kawannya bergabung dengan pasukan besar Liu-bengcu."
Yap Kiong Lee menggeleng kepala. "Suteku itu benar-benar gegabah sekali. Ini tentu akibat kebengalan siauw-sute. Ibu kandung siauw-sute adalah seorang wanita bangsawan istana, dia sendiri masih berdarah keluarga kerajaan, masih saudara misan dengan sri baginda kaisar, akan tetapi sekarang dia malah bergabung dengan musuh kerajaan. Bukankah itu luar biasa sekali?"
"Mengapa dunia begini kacau?" Tiba-tiba A-hai yang sejak tadi termenung saja mendengarkan, kini membuka mulut. "Orang-orang kaya saling memperebutkan harta, orang-orang berpangkat saling memperebutkan kedudukan, orang-orang berilmu saling bersaing mengadu kepintaran sehingga dunia menjadi tidak aman dan kacau! Alangkah bahagianya menjadi orang yang tidak memiliki apa-apa, tidak berpangkat apa-apa dan tidak punya ilmu apa-apa kalau begitu!"
Tiga orang pendekar itu termangu mendengar ucapan seorang yang dianggap sinting ini karena ucapan itu begitu tepat seperti ujung pedang menusuk jantung, membuat mereka tak mampu menjawab karena memang seperti itulah keadaannya!
Kita tinggalkan dulu mereka yang saling ber-pisah, yaitu Kiong Lee pergi mencari sute-sutenya dan Seng Kun bersama Bwee Hong dan A-hai pergi menuju ke kota raja. Mari kita melihat kea-daan Liu Pang dan muridnya, Ho Pek Lian.
Seperti telah kita ketahui, Liu Pang dengan pasukannya yang dibantu oleh banyak petani dan rakyat jelata, telah berhasil menduduki kota Lok-yang. Lia Pang tidak tinggal diam di kota itu, melainkan setelah memberi waktu cukup bagi pasukannya untuk beristirahat dan setiap hari mengadakan latihan-latihan untuk memperkuat barisannya, diapun menggerakkan pasukan itu ke utara. Pasukannya bergerak menyeberangi Sungai Huang-ho dan berkemah di lembah utara sungai besar itu, bermaksud untuk mulai menyerang memasuki Propinsi Shan-si.
Propinsi Shan-si merupakan propinsi yang luas dan jalan menuju ke kota raja yang berada di sebelah barat, yaitu di Propinsi Shen-si. Lok-yang merupakan ibu kota ke dua setelah kota raja Tiang-an. Sebenarnya, untuk menuju ke Tiang-an dari Lok-yang tidak perlu menyeberangi Sungai Huang-ho, akan tetapi ini merupakan siasat dari Liu Pang. Dia ingin menyerbu dari utara dengan jalan menggunakan Sungai Wei-ho yang menjadi cabang Sungai Huang-ho. Kebetulan Sungai Wei-ho mengalir di tepi kota Tiang-an. Sebagian pula dia kerahkan melalui darat sehingga kota raja akan dapat terkepung dari berbagai jurusan.
Untuk keperluan ini, dia sengaja memecah pasukannya yang jumlahnya mencapai belasan ribu itu menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok dipimpin orang-orang kepercayaannya, termasuk pula pemuda tampan yang baru saja menjadi pengawal pribadinya. Pemuda ini memimpin seribu orang perajurit pilihan yang kesemuanya diambil dari para pendekar silat. Tugas pasukan ini adalah mengawal dan membantu Liu Pang dalam gelanggang pertempuran. Di dalam pasukan ini terdapat pula Pek Lian.
Setelah membagi-bagi barisannya, Liu. Pang memberi mereka waktu untuk beristirahat dan menyusun kekuatan. Diapun ingin melakukan penyelidikan terlebih dahulu dan untuk tugas ini, dia sendiri yang pergi bersama Pek Lian dan pengawal pribadinya yang baru. Karena pengawal baru ini selalu merahasiakan riwayat dan asal-usulnya, maka Liu Pang memberi dia julukan Bu Beng Haan (Pahlawan Tanpa Nama) dan menyebutnya Bu Beng (Tanpa Nama) saja; Pemberian nama ini diterima dengan gembira oleh si pemuda tampan.
Berangkatlah mereka bertiga, Liu Pang, Pek Lian dan Bu Beng dengan penyamaran sebagai petani-petani biasa. Mereka segera melakukan perjalanan menuju ke kota Sian-cung yang letaknya di perbatasan antara Shan-si dan Shen-si, di lembah Sungai Huang-ho. Di sepanjang perjalanan, mereka melihat suasana yang menyedihkan. Kampung-kampung dan dusun-dusun sunyi dan rusak, ditinggalkan penghuninya karena perang.
Kalau toh ada penghuni-penghuni kampung karena mereka tidak ada tempat lain untuk mengungsi, keadaan mereka amat menyedihkan. Diganggu oleh perampok-perampok, hasil sawah ladang merekapun kadang-kadang dihabiskan pasukan atau perampok-perampok. Tubuh mereka kurus kering dan banyak yang menderita busung lapar!
Pasukan pemerintah daerah yang kalah perang dan mundur, melalui dusun-dusun ini dan mereka itu tiada ubahnya perampok-perampok liar, bahkan lebih ganas karena mereka itu agaknya hendak membalaskan kekalahan mereka kepada para petani dusun. Liu Pang adalah pemimpin para petani, pikir mereka, oleh karena itu, mereka melampiaskan dendam kepada para petani dusun.
Ketika malam tiba, mereka bertiga terpaksa bermalam di sebuah dusun yang hampir kosong-kosong. Rumah-rumah rusak ditinggalkan penghuninya, dan kalau ada beberapa orang yang masih tinggal di rumahnya, pintu-pintu rumah itu tak pernah dibuka. Liu Pang mengajak pengawal dan muridnya untuk mendiami sebuah ramah kosong. Mereka membawa perbekalan dan setelah memasang beberapa batang lilin, mereka makan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal. Untuk menghalau nyamuk dan dingin, mereka membuat api unggun.
Liu Pang dan Pek Lian sudah duduk untuk beristirahat. Mereka melihat Bu Beng Han berdiri termenung di ambang pintu. Pemuda itu memandang keluar, ke arah kegelapan dan nampak termangu-mangu. Liu Pang berbisik kepada muridnya.
"Nona Ho, kau carilah air di belakang dan buatlah minuman teh sekedar pengusir rasa haus. Aku ingin bercakap-cakap dengan Bu Beng. Nampaknya ada sesuatu yang dirisaukannya." Liu Pang lalu bangkit dan menghampiri Bu Beng Han. Pek Lian sendiri lalu keluar dari dalam pondok itu melalui pintu belakang untuk mencari air.
Dengan cerdik Liu Pang mengajaknya duduk di luar pondok, di atas akar-akar pohon yang menonjol di permukaan tanah. Mula-mula Liu Pang mengajaknya bicara tentang gerakan mereka, tentang dusun-dusun yang ditinggalkan para penghuninya, tentang para pembesar daerah yang bersekongkol dengan pasukan asing. Semua itu dilayani oleh Bu Beng dengan penuh semangat. Akan tetapi ketika Liu Pang membelokkan percakapan ke arah dirinya, pemuda itu terdiam.
"Bu Beng, aku melihat engkau sebagai seorang pendekar gagah perkasa, juga seorang patriot yang sejati. Di antara kita yang seperjuangan ini kiranya sudah tidak ada rahasia lagi. Akan tetapi mengapa engkau tetap merahasiakan dirimu? Bu-kan berarti aku tidak percaya kepadamu, akan tetapi kalau engkau berterus terang dan aku mengetahui asal-usulmu, betapa baiknya hal itu dan betapa leganya hatiku. Apa lagi kalau saja aku dapat membantumu mengatasi kerisauan yang mengganggu hatimu, aku akan senang sekali."
Pemuda itu menjura dan menarik napas panjang. "Maafkan saya, bengcu. Akan tetapi, belum saatnya bagi saya untuk menceritakan keadaan keluarga saya. Terus terang saja, saya datang dari keluarga yang tidak berbahagia sama sekali, biarpun ayah dan ibu saya sangat mencinta saya. Mereka mendidik ilmu silat secara amat keras kepada saya sehingga saya hampir-hampir tidak ada waktu untuk bermain-main dan beristirahat. Kadang-kadang saya merasa bosan sendiri dan ingin lari saja. Akan tetapi, kakak saya selalu menasihati saya dengan lemah-lembut dan penuh kasih sayang. Bagaimanapun juga, setelah dewasa, hati saya memberontak dan larilah saya meninggalkan mereka."
Liu-bengcu mengangguk-angguk. "Ah, begitukah? Akan tetapi, kepandaian silatmu demikian tinggi, tentu engkau datang dari keluarga yang luar biasa. Tingkat kepandaian kakak dan orang tuamu tentu tinggi bukan main!"
Bu Beng Han tersenyum pahit. "Bengcu sungguh terlalu memuji. Kepandaian kami sekeluarga tidak sedemikian hebat. Memang, apabila dibandingkan dengan kakak serta ayah, kepandaian saya mungkin hanya separohnya saja. Soalnya, sebagian besar ilmu silat yang saya pelajari, kakak sayalah yang melatih dan membimbingnya."
"Ahh?" Liu Pang berseru kagum. "Kalau begitu, tentu kakakmu itu lihai sekali!"
"Kakakku itu!" Tiba-tiba Bu Beng menghentikan kata-katanya dan berbisik," saya mendengar gerakan orang dari jauh, harap bengcu bersembunyi dan beri tahu nona Ho!"
Liu Pang juga sudah mendengarnya dan sekali bergerak dia sudah melompat ke dalam pondok dan memadamkan lilin. Akan tetapi Pek Lian tidak nampak, agaknya belum kembali mencari air. Ketika dia mendengar gerakan orang-orang di depan pondok, cepat dia mengintai dan terkejutlah pendekar ini melihat bahwa Bu Beng Han kini telah berdiri berhadapan dengan dua orang yang berpakaian perwira. Liu Pang mengenal mereka. Pemuda Tai-bong-pai yang amat lihai dan pemimpin pasukan asing yang bertubuh raksasa dan berambut putih itu. Dua orang lawan yang lihai bukan main.
"Engkau tentu mata-mata, lebih baik menyerah!" bentak pemuda Tai-bong-pai itu.
"Boleh kau coba menangkapku!" Bu Beng mengejek.
Kwa Sun Tek marah sekali dan diapun sudah menubruk dengan kecepatan kilat. "Wuuuttt!" Dengan langkah ringan Bu Beng Han mengelak dan tubrukan itu hanya mengenai angin kosong belaka. Marahlah Kwa Sun Tek. Dia merasa dipermainkan dan kini dia menyerang lagi, bukan untuk menangkap melainkan untuk memukul.
Padahal, pukulan pemuda Tai-bong-pai ini amat dahsyat dan jarang ada orang mampu bertahan kalau terkena pukulannya yang selain amat kuat juga mengandung hawa beracun itu. Melihat pukulan yang demikian ampuhnya, Bu Beng Han mengerahkan tenaganya menangkis.
"Desss!" Dua tenaga raksasa bertemu dan akibatnya Bu Beng Han terjengkang dan untung dia memiliki kegesitan sehingga dia mampu berjungkir balik sebelum tubuhnya terbanting. Akan tetapi Kwa Sun Tek juga terdorong mundur tiga langkah. Tahulah pemuda Tai-bong-pai itu bahwa orang yang disangkanya mata-mata ini ternyata memiliki kepandaian tinggi. Dia mengerti bahwa anak buah pasukan Liu Pang memang banyak yang lihai.
"Bagus, engkau jelas mata-mata!" bentaknya dan kini dia menyerang dengan sungguh-sungguh, menggunakan pukulan mujijat yaitu Ilmu Pukulan Penghisap Darah! Bu Beng Han melawan dengan pengerahan tenaga dan kepandaiannya, akan tetapi setelah lewat tigapuluh jurus, dia merasa lengannya sakit-sakit dan ternyata ada sedikit butiran-butiran darah keluar dari kulit kedua lengannya.
"Ih, ilmu setan!" teriaknya dan diapun cepat mempergunakan kegesitannya menghindarkan beradunya lengannya dengan lengan lawan. Kwa Sun Tek tertawa bergelak dan mendesak terus.
"Hemm. buang-buang waktu saja!" kata Malisang melihat betapa Kwa Sun Tek seperti hendak mempermainkan lawan dan memamerkan kepandaian, kemudian raksasa inipun menerjang maju membantu Kwa Sun Tek! Tentu saja Bu Beng Han menjadi semakin repot. Menghadapi pemuda Tai-bong-pai itu seorang diri saja dia sudah kewalahan, apa lagi kini dikeroyok.
Melihat ini Liu Pang meloncat keluar dan menyerang Malisang dengan pukulan-pukulan maut. Raksasa ini terkejut dan menangkis dan merekapun sudah berkelahi dengan mati-matian. Keadaan mereka payah. Bu Beng Han terdesak hebat dan Liu Pang ternyata tidak mampu mendesak lawannya yang bertenaga gajah itu. Dia tidak dapat mempergunakan pedangnya karena dalam penyamaran sebagai petani, dia harus meninggalkan pedang. Padahal, Liu Pang adalah seorang pendekar pedang yang kelihaiannya menurun separuh lebih tanpa pedang.
"Kita harus lari!" teriak Liu Pang kepada pembantunya.
Akan tetapi pada saat itu Malisang berseru, "Ha-ha, engkau adalah Liu Pang, si pemberontak! Ha-ha-ha, Kwa-taihiap, kita untung besar, dapat kakap tanpa pengawal di sini!"
Mendengar ini, Kwa Sun Tek memandang cermat dan diapun terkejut, juga girang ketika mengenal petani itu. "Benar, tahan dia Malisang, jangan sampai lolos!"
"Bu Beng, lari melalui pintu belakang!" teriak pula Liu Pang dan diapun sudah melompat ke belakang, memasuki rumah kosong itu.
Bu Beng mengelak dari sebuah pukulan maut, juga meloncat ke dalam rumah. Akan tetapi dua orang lawan mereka juga meloncat mengejar dan demikian cepatnya gerakan Kwa Sun Tek sehingga sebelum Bu Beng Han sempat mengelak, punggungnya telah kena tamparan tangan Kwa Sun Tek.
"Plakkk!!" Tubuh pemuda itu terkapar ke tengah ruangan, hampir menabrak tiang rumah itu....