Darah Pendekar Jilid 22 karya Kho Ping Hoo - "LIU-TWAKO, cepat lari!" Tiba-tiba dia berteriak. Bagi para anggauta pasukan Liu Pang, pemimpin ini hanya memiliki dua sebutan, yaitu bengcu (ketua/pemimpin) atau twako (kakak). Setelah berteriak demikian, biarpun dia terluka dalam, Bu Beng Han mengumpulkan seluruh tenaganya dan dia meloncat menghantam tiang rumah itu.
"Braakkkkkk!" Tiang patah dan atap rumah itu runtuh, menimbulkan suara hiruk-pikuk. Namun, perbuatan Bu Beng Han yang nekat itu ternyata berhasil. Karena takut tertimpa atap yang ambruk, tentu saja Kwa Sun Tek dan Mali-sang berloncatan pergi menyelamatkan diri dan kesempatan ini dipergunakan oleh Liu Pang dan Bu Beng Han untuk melarikan diri ke dalam kegelapan malam.
Tentu saja Kwa Sun Tek dan Malisang tidak mau tinggal diam dan mereka melakukan pengejaran sambil mengerahkan anak buahnya. Akan tetapi dua orang pendekar itu sudah menghilang ke dalam sebuah hutan yang gelap di luar dusun itu. Melakukan pengejaran terhadap orang-orang yang memiliki ilmu silat selihai Liu-bengcu dan pemuda tampan itu berarti mengundang bahaya maut kalau hal itu dilakukan di dalam hutan yang amat gelap, maka terpaksa Kwa Sun Tek hanya melakukan pencarian dengan hati-hati nekali, tidak tergesa-gesa sehingga dia dan kawan-kawannya tertinggal jauh dan kehilangan jejak buruannya.
Pada keesokan harinya, Liu Pang sudah keluar dari dalam hutan itu, menggandeng lengan Bu Beng Han yang menderita luka cukup parah akibat pukulan yang dilontarkan oleh tokoh Tai-bong-pai itu.
"Gila, dia memiliki pukulan-pukulan iblis!" Bu Beng Han mengomel.
"Tentu saja, dia adalah seorang tokoh Tai-bong-pai. Untung engkau masih dapat bertahan terhadap pukulan mautnya, Bu Beng."
"Liu-twako, di manakah nona Ho?" Bu Beng Han bertanya dengan khawatir.
"Entahlah. Malam tadi ia pergi mencari air. Akan tetapi ia cukup cerdik dan berpengalaman, tentu ia dapat menjauhkan diri dari pasukan musuh itu. Nanti saja kita mencarinya. Sekarang yang terpenting kita harus dapat menyelamatkan diri karena engkau terluka. Ssstt, ada pasukan datang!" Liu Pang menarik lengan pemuda itu dan mereka menyusup ke dalam semak-semak di balik pohon besar, bersembunji sambil mengintai.
Baru lega dan giranglah hati kedua orang ini ketika melihat bahwa yang datang bukanlah pasukan musuh, melainkan sepasukan orang gagah yang dipimpin oleh seorang pria gagah perkasa yang bersenjatakan sepasang pedang. Liu Pang masih berhati-hati karena belum mengenal mereka.
Akan tetapi begitu melihat pria bersenjata sepasang pedang itu, Bu Beng Han segera keluar dari tempat persembunyiannya dengan wajah berseri. "Ngo-suheng!" serunya girang.
Pria berpedang sepasang itu menoleh dan terkejut, akan tetapi wajahnya berseri dan diapun meloncat mendekati. "Kim-sute! Kau di sini?" Alisnya berkerut ketika dia melihat wajah sutenya. "Eh, Kim-sute, engkau kenapakah? Terluka?"
Bu Beng Han yang ternyata adalah Yap Kim putera Yap-lojin ketua Thian-kiam-pang itu mengangguk lemah. "Aku terluka oleh pukulan iblis dari seorang tokoh Tai-bong-pai."
Sementara itu, Liu Pang juga keluar dari tempat sembunyinya. Yap Kim segera memperkenalkan ngo-suhengnya kepada pemimpin itu. "Liu-twako, ini adalah suheng saya yang kelima bernama Kwan Hok. Ngo-suheng, inilah Liu-twako, pemimpin para pendekar yang terkenal itu."
Tentu saja Kwan Hok girang bukan main, juga bangga dapat bertemu dan berkenalan dengan orang yang selama ini amat dikaguminya sebagai seorang gagak perkasa yang berjiwa pahlawan itu,
"Hemm, apakah sekarang engkau masih saja hendak menyembunyikan keadaanmu dariku?" tanya Liu Pang kepada Yap Kim setelah dia membalas penghormatan Kwan Hok dan kawan-kawannya.
Yap Kim menghela napas panjang. Kini melihat betapa ngo-suhengnya malah menjadi pemimpin sepasukan pendekar, dia merasa tidak perlu lagi menyembunyikan keadaan dirinya. "Terus terang saja, Liu-twako, ayahku adalah ketua Thian-kiam-pang."
"Ah, kiranya putera Yap-lojin yang lihai itu!" Liu Pang berseru girang sekali. Kini orang-orang Thian-kiam-pang membantu perjuangannya, sungguh membesarkan hati sekali.
Apa lagi ketika mendengar pengakuan Kwan Hok bahwa para pendekar yang dipimpin murid Thian-kiam-pang ini memang sedang mencarinya untuk menggabungkan diri, hati Liu-bengcu menjadi girang sekali. Akan tetapi, pada waktu itu, Yap Kim terluka cukup parah, maka terpaksa mereka lalu pergi ke tebing-tebing Sungai Huang-ho yang terjal untuk menyembunyikan diri.
Sampai malam tiba, fihak musuh yang melakukan pengejaran belum nampak dan mereka mengaso di te-bing sungai. Yap Kim mengobati dirinya dengan bersamadhi, menghimpun hawa murni dan suhengnya bercakap-cakap dengan Liu Pang. Ternyata banyak hal penting dapat diceritakan oleh Kwan Hok kepada pemimpin ini, mengenai kedudukan pasukan musuh.
"Di dalam kota Sian-cung itu terdapat pasukan pilihan dari kota raja yang dipimpin oleh Jenderal Lai. Akan tetapi, antara pasukan Jenderal Lai dari kota raja dan pasukan-pasukan kepala daerah terdapat rasa tidak akur dan saling mencurigai. Dan hendaknya Liu-bengcu ketahui bahwa di dalam pasukan kepala daerah itu terdapat dua orang perwiranya yang memiliki kepandaian seperti iblis." Demikian antara lain Kwan Hok bercerita.
"Tidak salah! Kami malah sudah bertemu dan bentrok dengan dua orang itu. Yang melukai sutemu justeru adalah seorang di antara mereka, yaitu tokoh Tai-bong-pai, sedangkan yang seorang lagi bertubuh raksasa. Aku merasa curiga dan menduga bahwa dia itu tentulah orang asing yang bersekongkol dengan pasukan daerah. Dua orang itulah bersama pasukannya yang mengejar-ngejar kami berdua, padahal muridku sendiri masih belum ketahuan ke mana perginya!"
Tiba-tiba terdengar sorak sorai dan muncullah Kwa Sun Tek dan Malisang, diikuti oleh pasukannya yang terdiri dari duapuluh orang pilihan yang menjadi anak buah Malisang. Ternyata mereka ini telah mengurung tempat itu dan kini melakukan penyerbuan serentak. Tentu saja Kwan Hok dan kawan-kawannya segera melakukan perlawanan. Liu Pang dan Kwan Hok segera bergerak maju mengeroyok Malisang yang lihai itu.
Bahkan Yap Kim biarpun sudah terluka, masih membantu suhengnya untuk mengeroyok kakek raksasa itu. Biarpun dikeroyok oleh tiga orang, Malisang mengamuk dan sepak terjangnya memang menggiriskan. Pukulan-pukulannya seperti halilintar menyambar, dan lebih berbahaya lagi adalah cengkeraman kedua tangannya yang besar dengan lengan yang panjang itu. Sekali terkena cengkeraman itu, jangan harap dapat terlepas!
Sementara itu, Kwa Sun Tek mengamuk dan kasihanlah para pendekar yang mengeroyoknya, menjadi korban dari pukulan iblisnya. Banyak pendekar terkapar dengan kulit tubuh berbintik-bintik darahnya sendiri, dan bau hio menyengat hidung. Bau ini keluar dari keringat Kwa Sun Tek dan dalam keadaan seperti itu, tokoh Tai-bong-pai ini berada dalam puncak keganasannya.
Agaknya, para pendekar itu tentu akan tewas semua di tangan Kwa Sun Tek kalau saja pada saat itu tidak muncul sesosok bayangan yang meluncur dengan cepat. Begitu tiba, dua orang anak buah Kwa Sun Tek terjungkal dan kini bayangan itu menerjang Kwa Sun Tek, sedangkan bayangan kedua yang bertubuh ramping juga sudah menerjang, Malisang, membantu Liu Pang dan kawan-kawannya.
"Ngo-sute! Siauw-sute!" Bayangan pertama berseru girang ketika mengenal dua orang adik seperguruan itu.
Kiranya dia adalah Yap Kiong Lee yang gagah perkasa, murid utama dari ketua Thian-kiam-pang dan merupakan tokoh muda yang paling lihai dari perguruan itu. Adapun orang ke dua yang datang adalah Ho Pek Lian yang dengan bantuannya membuat Malisang agak repot juga karena dikeroyok empat. Sementara itu, anak buah Kwa Sun Tek digempur oleh para pendekar sehingga terjadilah pertempuran yang amat seru di lembah sungai yang bertebing tinggi itu.
Yang paling seru dan hebat adalah perkelahian antara Song-bun-kwi (Iblis Berkabung) Kwa Sun Tek melawan Yap Kiong Lee. Keduanya adalah keturunan datuk-datuk persilatan yang amat hebat kepandaiannya. Kwa Sun Tek sebagai putera ketua Tai-bong-pai tellah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian peninggalan dari datuk Cui-beng Kui-ong pendiri Tai-bong-pai dan dia telah menguasai ilmu-ilmu Pukulan Sakti Penghisap Darah, Ilmu Pukulan Mayat Hidup dan memiliki pula tenaga sakti Asap Hio yang membuat keringatnya berbau dupa harum.
Akan tetapi lawannya, Yap Kiong Lee, merupakan ahli waris dari datuk Sin-kun Bu-tek datuk pendekar dari utara itu. Selain telah mewarisi ilmu kesaktian Thian-hui Khong-ciang (Tangan Kosong Api Langit) dan Hong-i Sin-kun (Silat Sakti Angin Puyuh), juga pemuda ini adalah ahli ilmu pedang pasangan dari Thian-kiam-pang!
Kini, karena bertemu lawan tangguh, keduanya mengeluarkan ilmu-ilmu simpanan mereka dan terjadilah perkelahian dahsyat dan mengerikan. Beberapa orang pendekar yang mencoba memasuki gelanggang perkelahian mereka, cepat mundur dan ada yang terjengkang dengan darah berbintik-bintik merembes keluar melalui pori-pori kulit lengan mereka! Juga fihak anak buah Kwa Sun Tek yang berani mendekat, tersambar hawa pukulan Api Langit dan merekapun terkapar dengan muka gosong terbakar!
Hawa pukulan yang keluar dari kedua tangan Yap Kiong Lee memang hebat. Mengeluarkan hawa panas dan seperti meledak-ledak, menggetarkan keadaan sekelilingnya. Setiap kali lengannya bertemu dengan lengan Kwa Sun Tek, keduanya tergetar hebat dan keduanya terpental. Ternyata tenaga mereka seimbang dan mereka saling serang, saling desak dengan mati-matian.
Koksu atau pemimpin suku liar Mongol itu, si raksasa Malisang, kini harus memeras keringat menghadapi pengeroyokan empat orang setelah Pek Lian maju. Melihat betapa Yap Kim yang terluka parah maju, tadi Liu Pang diam saja karena memang lawannya amat tangguh. Akan tetapi melihat ada Pek Lian yang datang membantu, Liu Pang berseru agar Yap Kim mundur karena perkelahian amat membahayakan dirinya.
Akan tetapi, pemuda ini amat pemberani dan berhati baja, maka biarpun diteriaki agar mundur, tetap saja dia melanjutkan pengeroyokannya. Repotlah Malisang oleh pengeroyokan empat orang ini. Terutama sekali pedang dari Kwan Hok dan Liu Pang amat merepotkan dirinya. Kwan Hok telah membagi pedangnya, menyerahkan sebatang dari sepasang pedangnya kepada pemimpin ini.
Sementara itu, pertempuran yang terjadi antara para pendekar melawan pasukan pengawal Kwa Sun Tek juga makin memuncak. Ramai dan seru. Akan tetapi, makin lama makin nampak bahwa para pendekar dapat mendesak musuh. Banyak anak buah pasukan musuh roboh dan terbunuh. Perkelahian antara Yap Kiong Lee dan Kwa Sun Tek juga sudah mencapai puncaknya dan sedikit demi sedikit Kiong Lee mulai dapat mendesak lawannya. Kwa Sun Tek melawan dengan gigih dan keduanya sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu simpanan mereka.
"Hiaaaatttt!" Suara lengkingan nyaring keluar dari tenggorokan Kiong Lee ketika pemuda ini menangkis pukulan lawan sambil membarengi melontarkan sebuah tendangan kilat dengan kaki kirinya.
"Desss!" Kaki itu tepat menghantam pinggang dan tubuh Kwa Sun Tek terlempar ke belakang, menghantam sebatang pohon dengan amat kerasnya. Pohon itu tumbang seketika! Akan tetapi, dengan cekatan Kwa Sun Tek dapat meloncat bangun, tubuhnya bergoyang-goyang dan dari hidung serta mulutnya keluarlah darah segar. Dia telah terluka cukup parah oleh tendangan kilat tadi.
Akan tetapi Kiong Lee merasa betapa kaki kirinya nyeri sekali. Cepat dia mengeluarkan sebutir pel yang segera ditelannya, kemudian memeriksa kakinya. Ternyata sepatunya ada tanda-tanda darah dan ketika dia membukanya, nampaklah darah merembes keluar dari pori-pori kakinya sampai sebatas mata kaki kirinya. Kiong Lee merasa ngeri juga. Lawannya benar-benar memiliki ilmu yang menyeramkan.
Pada saat itu, terdengar sorak-sorai dari kejauhan. Seorang pendekar datang berlari-lari dan berkata kepada Liu Pang yang masih mendesak si raksasa Malisang, "Liu-bengcu, pasukan, pemerintah di bawah pimpinan Jenderal Lai datang!"
Tentu saja para pendekar terkejut dan kecewa mendengar ini. Mereka sudah hampir berhasil menguasai keadaan dan mengalahkan musuh, akan tetapi sekarang datang barisan yang dipimpin oleh Jenderal Lai. Tentu saja mereka tidak berani menghadapi ancaman pasukan besar itu. Liu Pang lalu menganjurkan para pendekar untuk melarikan diri.
Malisang dan Kwa Sun Tek tidak berani mengejar, karena selain anak buah mereka banyak yang sudah tewas, juga keadaan Kwa Sun Tek yang sudah terluka parah itu tidak memungkinkan pemuda ini untuk bertanding lagi.
Liu Pang lalu mengajak semua orang untuk melarikan diri kembali ke perkemahan pasukannya, di lembah Huang-ho. Mereka disambut oleh pasukan pendekar dan Liu Pang lalu memperkenalkan Yap Kiong Lee dan Kwan Hok, dua orang murid Thian-kiam-pang itu, kepada para pembantunya. Semua orang menjadi kagum terhadap Kiong Lee ketika mendengar betapa pemuda perkasa ini mampu menandingi bahkan mengalahkan tokoh Tai-bong-pai yang memiliki ilmu penghisap darah yang mengerikan itu.
Kiong Lee segera mengobati Yap Kim, ditunggui oleh Kwan Hok. Dia menegur Yap Kim dengan halus. Seperti biasa, Yap Kim diam saja dan hama menunduk, merasa bahwa dia memang bersalah. Akan tetapi ketika kakak angkat yang juga menjadi kakak seperguruan yang membimbingnya dalam ilmu silat itu mengajaknya pulang, dia menolak keras.
"Tidak, twako. Aku tidak mau pulang ke rumah yang sunyi membosankan itu. Aku tidak mau bertemu dengan ayah yang selalu mengasingkan diri di tempat samadhinya. Aku tidak mau bertemu dengan ibu yang selalu berdiam di istana membantu kaisar lalim itu. Ibu selalu bersahabat dengan pembesar-pembesar lalim penindas rakyat. Aku ingin bersama kawan-kawan berjuang di antara rakyat. Kalau twako memaksa aku pulang, lebih baik engkau bunuh sajalah aku!"
Mendengar ucapan sutenya ini, Kiong Lee termangu-mangu. Di dalam hatinya dia harus mengakui bahwa apa yang diucapkan oleh adiknya itu memang benar. Gurunya seperti sudah mengasingkan diri dari dunia ramai, kerjanya hanya bersamadhi saja di dalam kamarnya. Sedangkan subonya bahkan telah memisahkan diri dari suhunya, subonya begitu ambisius untuk menjadi tokoh istana.
Dia dapat mengerti bagaimana perasaan Yap Kim sebagai putera tunggal dari ayah dan ibu yang saling berpisah dan saling bertolak belakang itu. Dia sendiripun, yang hanya menjadi murid utama dan putera angkat, kadang-kadang juga merasakan kepahitan kenyataan ini.
Sementara itu, di bagian belakang perkemahan pusat, Liu Pang juga bercakap-cakap dengan muridnya. Dia ingin sekali tahu apa yang telah terjadi dengan muridnya yang tiba-tiba menghilang kemudian secara mendadak muncul pula bersama Yap Kiong Lee.
"Suhu, kita semua harus berterima kasih kepada Yap-twako. Tanpa ada dia yang turun tangan, agaknya kita semua sukar untuk menyelamatkan diri. Aku sendiripun tentu akan celaka kalau tidak ada dia yang menolong."
Dara itu lalu menceritakan pengalamannya malam itu. Seperti kita ketahui, ia disuruh oleh Liu Pang untuk mencari air dan membuat minuman teh. Ketika ia pergi ke belakang rumah, ke sebuah sumur yang agak jauh terpencil di tempat sunyi dan selagi ia hendak menimba air tiba-tiba ia dikejutkan oleh bayangan orang berkelebat.
Ia mengangkat muka dan kiranya di situ telah muncul seorang laki-laki bertubuh kecil pendek, berpakaian mewah dan tangannya memegang sebatang cambuk. Biarpun cuaca hanya diterangi oleh bulan sepotong, namun Pek Lian segera mengenal orang itu. Dia mengenal laki-laki bertubuh pendek kecil bermata sipit yang duduk di pagar sumur itu. Si cebol itupun memandang tajam lalu tersenyum menyeringai.
"Hi-hi-hik, kita bertemu lagi, nona manis! Ternyata dunia ini tidak begitu luas lagi, hi-hi-hik! Di manakah kawan-kawanmu yang cantik-cantik itu?" Suaranya juga kecil mencicit seperti suara tikus.
Pek Lian bergidik dan teringat akan barisan tikus di lorong-lorong bawah tanah. Bagaimanakah iblis ini bisa sampai di tempat ini? Iblis ini adalah putera Te-tok-ci Si Tikus Beracun, iblis muda yang berjuluk Siauw-thian-ci. Apakah orang-orang Ban-kwi-to telah keluar dari sarang mereka semua?
Tentu saja Pek Lian tidak sudi menyerah begitu saja dan tanpa menjawab sedikitpun, ia sudah menyerang dengan pedangnya. Siauw-thian-ci tertawa dan menghadapi gadis itu dengan menggunakan cambuknya. Terjadilah perkelahian yang sengit. Sebenarnya, ilmu silat dari si katai ini tidaklah berapa tinggi. Orang-orang Ban-kwi-to memang tidak memiliki ilmu kepandaian yang terlalu hebat. Mereka hanya mengandalkan penggunaan racun saja.
Maka Siauw-thian-ci, biarpun menjadi putera dari orang pertama Ban-kwi-to, juga hanya memiliki ilmu silat yang seimbang saja dibandingkan dengan Pek Lian. Biarpun gerakan cambuknya aneh dan buas, namun menghadapi pedang dara itu, dia tidak mampu mendesaknya. Setelah perkelahian itu berlangsung puluhan jurus dan belum juga dia mampu menundukkan Pek Lian, Siauw-thian-ci menjadi penasaran dan marah sekali.
"Bocah bandel, engkau belum juga mau menyerah?" bentaknya dan tiba-tiba cambuknya meledak ketika dia menyerang.
Pek Lian mengelak dan balas menusuk, akan tetapi dia terkejut sekali melihat sinar hitam meluncur keluar dari dalam cambuk itu! Ternyata musuh mempergunakan senjata rahasia yang agaknya dipasang di dalam cambuk dan kini ada beberapa batang jarum hitam menyambar ke arah leher dan dadanya. Terpaksa ia menarik kembali pedangnya dan memutar senjata itu, menyampok runtuh semua jarum yang menyambar ke arahnya.
Pada saat itu, tangan kiri Siauw-thian-ci mengebutkan sehelai saputangan lebar berwarna hitam dan ada debu hijau me-nyambar ke depan. Pek Lian terkejut dan meloncat ke belakang, akan tetapi hidungnya sudah mencium bau yang amis memuakkan. Tak tertahankan lagi ia muntah-muntah karena perutnya mual dan pada saat ia muntah-muntah itu, ujung cambuk Siauw-thian-ci mematuk pergelangan tangannya.
Seketika Pek Lian merasakan lengannya lumpuh dan pedangnya terlepas, dan di lain saat, cambuk panjang itu seperti seekor ular telah membelit tubuhnya. Ia sudah terbelenggu dan tidak mampu bergerak ketika Siauw-thian-ci menotoknya sambil tertawa-tawa.
Pek Lian tak mampu bergerak lagi ketika ia dipondong dan dilarikan dari sumur itu. Kiranya tak jauh dari situ terdapat seekor kuda dan tubuhnya lalu ditelungkupkan di atas punggung kuda. Si cebol sudah meloncat ke atas punggung kuda dan melarikan binatang itu.
Pek Lian tidak tahu dibawa ke mana ia, akan tetapi akhirnya ia melihat bahwa ia dibawa masuk ke dalam pintu gerbang sebuah kota. Agaknya para perajurit yang berjaga di situ sudah mengenal Siauw-thian-ci karena pintu gerbang dibuka dan para perajurit tertawa-tawa fnelihat si cebol ini datang membawa tangkapan seorang dara cantik. Sambil tertelungkup melintang di atas punggung kuda, Pek Lian mendengar suara para penjaga itu. "Hemm, dia sudah mendapatkan seorang gadis cantik lagi. Hampir setiap malam dia selalu mencari pengganti baru!"
"Husssh, jangan keras-keras bicara. Jangan-jangan engkau nanti hanya tinggal tulang-tulang saja digerogoti tikus-tikusnya yang mengerikan. Hiih, kemarin itu untung ada Kwa-taihiap yang mencegahnya, kalau tidak tentu akupun sudah habis dimakan tikus-tikusnya."
Mendengar percakapan itu, Pek Lian merasa ngeri. Kiranya manusia tikus ini telah bersekutu dengan tokoh Tai-bong-pai dan pasukan asing. Ia tidak mampu bergerak, akan tetapi matanya dapat mengerling dan ia melihat bahwa si cebol itu menghentikan kudanya di depan sebuah rumah penginapan. Malam sudah larut dan suasananya sunyi sekali. Penginapan itupun sudah tutup daun pintunya dan Pek Lian merasa ngeri ketika ia dipondong turun dari kuda, kemudian si katai itu mengetuk daun pintu.
Ketika daun pintu terbuka, ternyata di ruangan depan masih terang-benderang. Di sudut ruangan itu nampak sepasang laki-laki dan wanita setengah tua sedang asyik bermain catur. Tentu saja Pek Lian terkejut sekali ketika mengenal mereka itu. Suami isteri cabul dari Ban-kwi-to, Im-kan Siang-mo!
Bouw Mo-ko, kakek berusia enampuluh tahun lebih yang kecil kurus itu tanpa menoleh agaknya sudah tahu akan kedatangan Siauw-thian-ci, dan dia menegur, "Engkau baru datang? Mana paman-paman dan bibi-bibimu yang lain?"
Si Tikus Muda itu melihat paman dan bibi gurunya, menjadi gembira, "Ah, kiranya paman guru dan bibi guru sudah datang lebih dulu! Aku belum melihat yang lain-lain."
Diam-diam Pek Lian mengeluh. Ternyata fihak pemberontak agaknya memperoleh bantuan banyak golongan sesat termasuk tokoh-tokoh Ban-kwi-to ini. Sungguh merupakan lawan berat dan Liu-bengcu harus cepat diberi tahu akan hal ini. Akan tetapi bagaimana mungkin ia meloloskan diri dari tangan iblis-iblis ini?
Setelah dia menjalankan biji caturnya dan menanti isterinya mendapat giliran, Bouw Mo-ko menoleh, memandang kepada murid keponakan-nya. Pada saat itulah dia baru melihat gadis yang dipanggul oleh Siauw-thian-ci dan seketika dia bangkit berdiri.
"Heiii! Itu adalah gadis tawananku tempo hari yang lolos. Bagus engkau sudah dapat menangkapkannya untukku, ha-ha. Berikan kepadaku!" Diapun lalu melangkah maju dan mengulur tangan hendak mencengkeram Pek Lian yang tidak mampu bergerak karena tertotok itu dan merampasnya dari panggilan Siauw-thian-ci.
Akan tetapi si cebol itu meloncat ke belakang, mengelak dan memandang marah. "Susiok, ia ini milikku! Aku yang menangkapnya dan siapapun juga tidak boleh merampasnya!" Matanya mendelik dan tangan kanannya sudah siap dengan senjata cambuknya, sikapnya mengancam seperti seekor anjing hendak direbut tulang yang sudah berada di depan mulutnya.
"Apa? Kau berani melawan dan tidak mentaati susiokmu? Gadis ini milikku, dan engkau hanya membantuku menangkapnya kembali. Berikan!"
"Tidak!"
"Engkau sungguh tidak mau memberikannya kepadaku?"
"Tidak!"
"Bocah keparat, engkau pantas dihajar!" Bouw Mo-ko menubruk ke depan, tangan kiri meraih ke arah tubuh Pek Lian sedangkan tangan kanannya menghantam dengan tangan terbuka ke arah kepala murid keponakannya.
Siauw-thian-ci maklum akan kelihaian susioknya ini, akan tetapi dia tidak takut. Dia meloncat mundur, melempar tubuh Pek Lian yang tak mampu bergerak itu ke sudut ruangan dan cambuknya diputar cepat, meledak-ledak membalas serangan paman gurunya. Paman dan murid keponakan itu segera terlibat dalam perkelahian sengit mati-matian! Demikianlah watak orang-orang dari golongan sesat.
Untuk memperebutkan sesuatu, mereka tidak segan-segan untuk saling serang, kalau perlu saling bunuh. Dan anehnya, Hoan Mo-li, nenek gendut galak yang tadi bermain catur bersama suaminya, agaknya tidak perduli atau tidak tahu akan perkelahian itu dan masih enak-enak saja mengerutkan alis memutar otak untuk mengajukan langkah biji caturnya yang tadi terdesak.
Orang-orang golongan sesat memang selalu mendambakan kebebasan dalam kehidupan mereka. Akan tetapi, terdapat dua macam kebebasan dalam sikap. Kaum sesat ini bersikap bebas semau gue, bebas yang liar dan bebas yang didasari untuk senang dan menang sendiri.
Kebebasan macam ini bukanlah kebebasan namanya karena kebebasan seperti ini merupakan semacam ikatan atau belenggu yang kuat dari nafsu ingin senang sendiri. Yang dinamakan kebebasan hidup bukan sekedar bebas dari pengaruh pendapat orang lain. Kebebasan adalah kebebasan yang wajar, bebas dari si aku yang selalu ingin mengejar kesenangan dan mencapai kemenangan sendiri.
Sungguhpun bebas dan tidak terikat oleh apapun, namun tetap saja ada suatu tertib diri yang tidak kaku, yang bukan timbul dari ingin menyenangkan atau ingin disenangkan, ingin menghormat atau dihormat, tertib diri ini tidak mengandung pamrih, melainkan timbul dari hati yang disinari cinta kasih sehingga batin yang demikian itu tidak akan melakukan sesuatu yang merugikan atau menyusahkan orang lain!
Perkelahian antara dua orang tokoh Ban-kwi-to itu hebat bukan main. Ilmu silat mereka memang tidaklah amat tinggi, akan tetapi mereka itu mempergunakkan racun! Dan sekali orang Ban-kwi-to mempergunakan senjata racun, mereka tidak berlaku kepalang tanggung.
Rumah penginapan itu menjadi geger. Para tamu yang tadinya sudah mengaso dalam kamar, mendengar suara ribut-ribut itu ada yang keluar. Akan tetapi sungguh celaka bagi mereka yang kamarnya berdekatan dengan ruangan itu, karena di antara para tamu itu ada yang terkena jarum atau pasir beracun yang dikeluarkan oleh dua orang itu.
Mereka yang terkena senjata rahasia beracun ini, langsung roboh dan mendelik dengan nyawa putus! Apa lagi melihat bermacam binatang kecil seperti kelabang, kalajengking, bahkan beberapa ekor lebah beracun beterbangan, para tamu menjadi panik dan melarikan diri.
Setelah keadaan menjadi semakin ricuh, agaknya barulah Hoan Mo-li menaruh perhatian. Inipun karena ia sudah selesai melangkahkan biji caturnya. "Heii, suami tolol, kini giliranmu menggerakkan biji catur!" teriaknya dan ketika ia menoleh dan melihat suaminya berkelahi melawan Siauw-thian-ci, ia mengerutkan alisnya.
"Siauw-thian-ci, tikus kecil keparat. Hentikan ribut-ribut ini dan biarkan suamiku melanjutkan permainan caturnya denganku! Suami tolol, kalau engkau tidak cepat melanjutkan permainan, kupatahkan hidungmu!"
Akan tetapi, dua orang yang sedang "gembira" saling serang amat asyiknya itu, mana mau mendengarkan ucapan si nenek galak? Mereka masih terus saling serang dan mengobral senjata-senjata dan binatang-binatang berbisa mereka seolah-olah hendak memamerkan kehebatan masing-masing.
Hoan Mo-li menjadi kesal rupanya dan iapun menoleh ke arah Pek Lian yang masih rebah miring di sudut setelah tadi dilemparkan oleh Siauw-thian-ci. Maka bangkitlah Hoan Mo-li dari tempat duduknya, sekali loncat ia sudah mendekati Pek Lian.
"Hi-hik, si genit ini kiranya yang menjadi gara-gara sampai paman dan keponakan saling hantam sendiri. Dasar kaum laki-laki, mata keranjang dan tidak boleh melihat perempuan cantik. Dari pada sekeluarga berkelahi karena perempuan, lebih baik perempuan genit ini kubunuh saja!" Ia mengangkat tangan dan Pek Lian sudah menanti saat kematiannya di tangan wanita gendut itu. Akan tetapi Hoan Mo-li menahan tangannya, dan menatap wajah Pek Lian yang manis itu sambil tertawa ha ha-hi-hi.
"Wajah begini cantik, pipi begini halus, tentu saja laki-laki mata keranjang ingin mencium dan membelainya. Coba hendak kulihat apakah mereka masih akan memperebutkan dirimu kalau mukamu kubikin rusak dan menjadi buruk. Hi-hi-hik!"
Wanita itu terkekeh-kekeh seolah-olah ia memperoleh pikiran yang amat menyenangkah dan lucu. Dikeluarkannya sebuah botol kecil berisi cairan kuning. Pada saat itu, Pek Lian sudah berhasil membebaskan diri dari pengaruh totokan dan jalan darahnya sudah pulih kembali, membuat ia mampu bergerak.
Pada saat wanita gendut itu membuka tutup botol dan menuangkan cairan kuning ke arah wajahnya, Pek Lian cepat menggulingkan tubuhnya sehingga beberapa tetes cairan kuning yang tadinya dimaksudkan untuk mengenai mukanya kini menetes ke atas lantai. Terdengar bunyi desis dan nampak asap mengepul, dan permukaan lantai itu menjadi berlubang-lubang seperti terbakar!
Pek Lian bergidik ngeri. Kalau cairan kuning itu tadi mengenai mukanya, tentu kulit mukanya yang dimakan cairan itu dan mukanya akan berlubang-lubang dan menjadi muka setan yang amat menjijikkan!
Sementara itu, Hoan Ma-li terkekeh girang melihat gadis itu bergulingan dengan muka ngeri ketakutan. Dikejarnya gadis itu sambil mengacung-acungkan botol yang isinya masih setengahnya lebih. Melihat orang tersiksa merupakan kesenangan tersendiri bagi nenek ini. Melihat orang ketakutan karena ancaman siksaan amat menggembirakan hatinya. Agaknya seperti itulah setan-setan penjaga neraka kalau menyiksa orang berdosa, seperti digambarkan dalam dongeng-dongeng lama.
Tanpa kita sadari, sifat atau perasaan sadis seperti ini, yaitu merasa gembira melihat mahluk atau orang lain ketakutan atau tersiksa atau menderita, agaknya menjadi semacam penyakit yang menghinggapi diri kita masing-masing. Kalau kita mau mengamati dengan jujur, akan nampaklah penyakit itu melekat di batin kita. Kitapun selalu merasa senang atau gembira melihat mahluk atau orang lain tersiksa, terutama sekali kalau ada kebencian dalam hati kita terhadap mahluk atau orang lain itu, kebencian yang timbul dari perasaan dirugikan.
Kalau kita mau membuka mata melihat dengan jujur, bukankah ada rasa gembira dalam hati melihat mahluk-mahluk yang merugikan kita seperti nyamuk, kutu busuk dan sebagainya kita bunuh perlahan-lahan, kita siksa sebagai pelampiasan dari pada dendam karena kita diganggu? Bukankah ada rasa gembira atau girang dalam hati kita, di luar kesadaran kita, kalau kita mendengar bahwa orang yang kita benci, atau bangsa yang kebetulan sedang kita musuhi, menderita malapetaka?
Bukankah hati kita bersorak gembira kalau kita melihat atau mendengar orang yang tidak kita sukai, penjahat-penjahat dalam film atau cerita misalnya, menerima hukuman dan siksaan yang amat sadis? Bukankah kadang-kadang datang keinginan atau harapan dalam batin kita melihat orang yang kita benci mengalami penderitaan seberat-beratnya?
Hoan Mo-li terus mengejar Pek Lian. Kalau ia mau, dari jauhpun dapat saja ia melemparkan botol itu agar isinya tumpah mengenai muka Pek Lian. Akan tetapi ia tidak akan puas kalau hanya demikian. Ia ingin melihat jelas ketika tetesan cairan kuning beracun itu mengenai muka yang cantik itu dan menggerogoti kulitnya, ingin melihat gadis itu menggeliat-geliat seperti cacing terkena panas, maka iapun terus mengejar.
Akhirnya, ia dapat menangkap Pek Lian. Dengan tangan kirinya ia menjambak rambut gadis itu, memaksa muka yang pucat dengan mata terbelalak ngeri itu terlentang dan ia sudah siap menuangkan isi botol sambil terkekeh-kekeh.
"Wuuuuutttt plakkk!" Botol kecil itu terlempar dan mengenai dinding, isinya tumpah semua, menyebabkan dinding dan lantai mengeluarkan asap dan berlubang-lubang. Kiranya pada saat yang amat berbahaya bagi Pek Lian itu, nampak sesosok bayangan putih berkelebat memasuki ruangan dan pemuda ini cepat menendang ke arah tangan Hoan Mo-li yang memegang botol sehingga botolnya terlempar.
Pek Lian cepat menggulingkan tubuhnya, akan tetapi karena ia tadi amat ketakutan, tubuhnya menjadi lemas dan ia hampir pingsan. Pemuda itu adalah Yap Kiong Lee. Kebetulan sekali pemuda yang sedang mencari-cari sutenya inipun bermalam di tempat penginapan itu, akan tetapi dia bersembunyi saja di kamarnya dan diam-diam melakukan penyelidikan ketika dia melihat betapa suami isteri cabul dari Ban-kwi-to itu berada di situ.
Ketika terjadi keributan, diapun keluar dan terkejutlah dia melihat Pek Lian terancam bahaya. Maka diselamatkannya Pek Lian dari ancaman mengerikan itu. Melihat Pek Lian masih terbelenggu kedua tangannya dan nampak lemas, Kiong Lee cepat menyambar tubuhnya dan dipanggulnya tubuh dara itu di pundak kirinya.
Sementara itu, Hoan Mo-li tadi terkejut sekali. Lengannya seperti patah rasanya dan racun di botol itu sudah terbuang sia-sia. Marahlah wanita ini dan iapun mengeluarkan teriakan seperti seekor serigala, dan iapun menyerbu dan menyerang Kiong Lee dengan ganas, dengan kedua ta-ngan membentuk cakar. Akan tetapi dengan tenang saja Kiong Lee mengelak dan ketika kaki kirinya menyambar, Hoan Mo-li nyaris terkena tendangan. Barulah wanita itu terkejut dan maklum bahwa ia menghadapi musuh berbahaya. Ia mempertahankan diri dari amukan tiga orang itu.
Sebetulnya, tingkat kepandaian Kiong Lee sudah jauh lebih tinggi dari pada mereka dan biarpun pemuda perkasa ini memanggul tubuh Pek Lian, dia tidak akan kewalahan menghadapi pengeroyokan mereka bertiga. Akan tetapi, musuh-musuhnya adalah iblis-iblis yang licik dan mempergunakan senjata rahasia dan racun-racun berbahaya. Terpaksa Kiong Lee harus mengerahkan tenaga dan memainkan pedangnya untuk menangkis dan menolak semua racun.
Melihat orang-orang yang hendak menonton, Kiong Lee menyuruh mereka menyingkir dan menjauhi ruangan itu. Akan tetapi tetap saja ada beberapa orang yang terhuyung dan roboh karena ruangan itu kini penuh dengan asap dan hawa yang berbau memuakkan dan mengandung racun-racun ganas. Biarpun Kiong Lee amat lihai, bau memuakkan dan mengandung hawa beracun itu membuat dia repot dan kepalanya terasa pusing. Dia melihat bahwa Pek Lian juga sudah pingsan karena bau keras itu.
Maka diapun lalu memutar pedangnya membuat tiga orang lawan mundur dan dia meloncat keluar ruangan itu, terus melarikan diri. Tiga orang Ban-kwi-to yang merasa penasaran melakukan pengejaran, akan tetapi dalam hal ilmu meringankan tubuh dan berlari cepat, mereka bertiga itu masih belum mampu menandingi Kiong Lee sehingga belum juga dapat menyusul pemuda ini yang menyelinap di antara rumah-rumah orang.
Terjadi kejar-kejaran dan tiga orang tokoh Ban-kwi-to itu berteriak-teriak di sepanjang jalan bahwa ada mata-mata musuh, anak buah Liu Pang, memasuki kota. Teriakan-teriakan ini menimbulkan kegemparan dan banyak perajurit mulai berkeliaran ikut mencari di seluruh kota itu.
Di antara banyak perajurit yang berkeliaran dan ubek-ubekan mencari ke semua penjuru kota itu, terdapat dua orang berpakaian perwira yang ikut pula mencari-cari. Mereka ini bukan lain adalah Kiong Lee dan Pek Lian! Setelah Pek Lian siuman dari pingsannya, mereka berdua lalu menawan dua orang perwira, melucuti pakaian mereka dan menotok lalu membelenggu dan menyumpal mulut mereka, dan mengenakan pakaian seragam perwira itu. Dengan penyamaran ini, Kiong Lee dan Pek Lian bebas berkeliaran tanpa ada yang menaruh curiga.
Kiong Lee dan Pek Lian akhirnya tiba di pintu gerbang sebelah selatan. Dengan sikap gagah Kiong Lee menghampiri para penjaga pintu gerbang dan memerintahkan agar dia dan Pek Lian dibukakan pintu karena mereka berdua hendak keluar dari pintu gerbang itu.
"Ada mata-mata berkeliaran di dalam kota. Kami harus menutup pintu gerbang dan tidak membiarkan seorangpun keluar. Demikian perintah atasan!" bantah komandan jaga.
"Siapa yang tak tahu akan perintah itu?" bentak Kiong Lee. "Kamipun sudah mendengarnya. Akan tetapi, kami mempunyai dugaan keras bahwa para penjahat mata-mata itu sudah meninggalkan kota dan kami ingin melakukan pengejaran. Kalau kalian mencegah kami dan sampai mata-mata itu jauh meninggalkan kota, kami akan melaporkan hal ini kepada atasan!"
Mendengar ancaman Kiong Lee ini, para penjaga pintu gerbang menjadi bingung. Akhir-akhir ini memang banyak pasukan datang dan mereka tidak mengenal semua perwira yang baru tiba. Pintu gerbang lalu dibuka perlahan-lahan dan kedua orang pendekar itu segera cepat menyelinap keluar dan berlari cepat. Pada saat itu, serombongan pasukan juga mendatangi pintu gerbang. Jenderal Lai yang memimpin pasukan itu untuk ikut mencari, menjadi marah melihat pintu gerbang dibuka.
"Hei, siapa berani lancang membuka pintu gerbang? Bukankah sudah kami perintahkan agar semua pintu gerbang ditutup dan tak seorangpun boleh lolos keluar?" bentaknya.
Dengan muka pucat komandan jaga lalu menghadap dan memberi hormat kepada panglima itu. "Harap paduka maafkan. Kami membuka pintu hanya untuk membiarkan dua orang perwira keluar karena mereka hendak mengejar mata-mata yang melarikan diri,"
Panglima itu melotot dan marah sekali. "Tolol kamu! Merekalah mata-mata itu!" Dan diapun menyuruh pasukan melakukan pengejaran keluar kota. Akan tetapi sudah terlambat. Dua orang buronan itu sudah menghilang di dalam gelap dan mereka semua tidak tahu ke arah mana harus mengejar.
Yap Kiong Lee dan Ho Pek Lian merasa lega setelah dapat lolos dan mereka berdua segera membuang pakaian perwira yang dipakai di luar pakaian mereka sendiri itu. Pek Lian mengucap terima kasih atas pertolongan Kiong Lee.
"Berkali-kali Yap-twako menolongku, sungguh budimu besar sekali."
"Sudahlah, nona. Lebih baik kau ceritakan bagaimana engkau sampai tertawan oleh iblis dari Pulau Selaksa Setan itu."
Pek Lian lalu bercerita tentang semua pengalamannya. "Aku sedang melakukan penyelidikan tentang keadaan fihak musuh, bersama guruku, Liu-bengcu, dan bersama Bu Beng ah, sekarang aku ingat! Setelah bertemu dengan iblis-iblis Ban-kwi-to dan bertemu denganmu, baru aku ingat. Benar, dia adalah sutemu yang nakal itu, Yap Kim putera ketua Thian-kiam-pang!"
Pek Lian berseru gembira. Tadinya memang ia merasa sudah mengenal wajah Bu Beng Han, akan tetapi ia lupa lagi kapan dan di mana. Sekarang tiba-tiba saja ia teringat bahwa ia pernah bertemu dengan pemuda itu di Ban-kwi-to, ketika pemuda itu bersama-sama dengan Thian-te Tok-ong atau Ceng-yang-kang Si Kelabang Hijau, orang ke lima. dari iblis-iblis Ban-kwi-to, berada di kepulauan itu!
Tentu saja Kiong Lee gembira sekali mendengar bahwa sutenya yang dicari-carinya itu sudah berada bersama para pendekar, bahkan membantu Liu Pang! Dia mendengarkan penuturan gadis itu yang bukan hanya menceritakan kemunculan Yap Kim yang aneh dan yang kini hanya dikenal sebagai Bu Beng Han.
Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan ke dusun sunyi itu dan seperti telah kita ketahui, kedatangan Kiong Lee dan Pek Lian ini amat tepat saatnya karena Liu Pang dan Yap Kim sedang terancam bahaya maut dan akhirnya Kiong Lee dapat menyelamatkan mereka dan kembali ke markas pasukan para pendekar di Lembah Huang-ho.
"Demikianlah, suhu. Untung sekali aku bertemu dengan Yap-twako sehingga kita semua dapat terbebas dari pada bahaya maut." Pek Lian mengakhiri ceritanya.
Liu Pang mengerutkan alisnya. "Wah kalau benar pemuda Tai-bong-pai itu bersahabat dengan para iblis Ban-kwi-to hemm, berat juga bagi kita. Agaknya kini para pengkhianat itu selain bersekongkol dengan pasukan asing, juga tidak segan-segan memperalat orang-orang dunia hitam."
"Akan tetapi, tidak semua orang Tai-bong-pai jahat, suhu. Aku mengenal beberapa orang di antara mereka, bahkan adik perempuan dari Kwa Sun Tek itupun merupakan seorang gadis yang biarpun wataknya aneh, namun menghargai kegagahan dan sama sekali tidak jahat!"
Liu Pang menghela napas panjang. "Tidak aneh, di dalam keadaan negara sedang kacau-balau, tentu bermunculan kaum penjahat untuk mengeduk keuntungan sebesar-besarnya, dengan cara dan jalan apapun."
Malam itu juga, Liu Pang mengadakan musyawarah dengan para pembantunya, yaitu para pim-pinan pasukan pendekar yang sudah menggabungkan diri dengan pasukan induk yang dipimpinnya. Di dalam musyawarah itu hadir pula Yap Kiong Lee. Akhirnya pendekar ini, murid utama dan juga putera angkat ketua Thian-kiam-pang ini terpaksa mengalah terhadap sute atau adik angkatnya yang amat disayangnya itu. Dia terpaksa ikut pula berunding dan membantu gerakan yang dipimpin oleh Liu Pang, yang telah menarik perhatian Yap Kim dan bahkan telah dibantu oleh pendekar muda ini yang merasa bersimpati.
Setelah menceritakan keadaan pasukan mereka yang mulai kuat karena datangnya banyak bantuan dari rakyat petani dan juga banyaknya perajurit kerajaan yang menyeberang dan membantu, Liu-beng-cu berkata lantang,
"Di hadapan kita terdapat dua kekuatan yang biarpun berdiri sendiri-sendiri, namun pada waktu ini mereka bergabung menjadi satu untuk menghadapi kita. Yang satu adalah pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Jenderal Lai, sedangkan kekuatan ke dua adalah pasukan pembesar daerah yang bersekongkol dengan pasukan asing. Kita harus mencari akal agar keduanya itu terpisah sehingga kedudukan mereka tidaklah begitu kuat dan memudahkan kita untuk maju terus."
Semua orang yang menghadiri rapat itu mengerutkan alis dan berpikir. Tiba-tiba seorang di antara mereka, yang berpakaian perwira tinggi bangkit berdiri. Dia ini adalah Siong-ciangkun, seorang bekas komandan tentara kerajaan yang sudah menyeberang membantu gerakan Liu Pang, seorang ahli perang yang usianya sudah hampir enampuluh tahun.
"Memang benar sekali pendapat Liu-twako bahwa kita harus mencari akal yang baik untuk menceraikan mereka. Akan tetapi sebelum kita mencari akal, sebaiknya kita mempelajari dahulu keadaan kekuatan seluruh bala tentara kerajaan pada saat ini. Setelah itu baru saya akan mengemukakan akal saya."
Liu Pang mengangguk-angguk. "Siong-ciangkun tentu lebih mengetahui keadaan bala tentara kerajaan pada umumnya, silahkan ciangkun menggambarkan agar kita semua mengetahuinya."
"Seperti kita ketahui, Jenderal Lai adalah pembantu utama Panglima Besar Beng Tian. Jenderal Lai ditugaskan untuk menghentikan gerakan pasukan kita agar tidak menjalar ke kota raja. Jenderal Beng Tian sendiri bersama induk pasukannya yang terbesar sedang dikerahkan ke barat, membendung gerakan pasukan Chu Siang Yu yang semakin kuat itu. Saya mendengar bahwa kaisar kini mengutus pangeran mahkota untuk memimpin tentara cadangan dari kota raja untuk membantunya."
Bekas perwira kerajaan itu berhenti sebentar dan dengan pandang matanya menyapu para hadirin yang duduk memperhatikannya. Yap Kiong Lee yang selalu dekat dengan istana di kota raja menarik napas panjang. Tentu saja dia tahu akan semua itu, bahkan tahu lebih mendalam keadaan di istana dari pada bekas perwira itu.
Melihat sikap ini, Siong-ciangkun bertanya kepadanya, "Bukankah demikian, Yap-taihiap?"
Yap Kiong Lee mengangguk. "Memang benar apa yang dikatakan oleh Siong-ciangkun. Akan tetapi sesungguhnya bukan kaisar yang mengutus pangeran mahkota membawa pasukan ke garis depan peperangan, melainkan Perdana Menteri Li Su. Harap saudara sekalian ketahui bahwa keadaan di istana kota raja sungguh berobah. Penuh rahahasia dan semua orang berada dalam ketegangan dan kebingungan. Kaisar tidak pernah kelihatan.
"Bahkan semua orang berani menduga bahwa kaisar tidak berada di istana, tidak berada di kota raja lagi. Entah di mana, tidak ada yang tahu atau dapat menduga. Bahkan subo sendiri yang menjadi pengawal pribadi kaisar, juga tidak tahu! Yang diketahui hanyalah bahwa kaisar telah melimpahkan kekuasaannya kepada Perdana Menteri Li Su untuk urusan kenegaraan dan kepada thaikam kepala, yaitu Chao Kao untuk urusan dalam istana, lalu kaisar menghilang!"
Semua orang terheran-heran mendengar ini, hampir tidak percaya. Akan tetapi karena pemuda itu baru saja datang dari kota raja dan mereka tahu bahwa subo dari pendekar itu adalah Siang Houw Nio-nio, bibi dan juga pengawal pribadi kaisar, maka mereka menaruh kepercayaan dan menanti pemuda itu melanjutkan ceritanya. Liu Pang juga merasa tertarik sekali. Dia menganggap betapa pentingnya berita itu, maka diapun mendesak, minta agar pemuda itu suka melanjutkan ceritanya.
Yap Kiong Lee menghela napas panjang. "Setelah Perdana Menteri Li Su berkuasa di kota raja, bergandeng tangan dengan Chao-thaikam, maka mulailah kemelut menggelapkan kota raja. Wakil Perdana Menteri Kang dan para menteri setia yang tadinya sudah diangkat kembali oleh kaisar, satu demi satu disingkirkan."
"Ahhh!" Para pendekar mengepal tinju mereka dengan muka merah dan semua merasa penasaran dan marah.
"Penyingkiran mereka dilakukan secara halus dan dirahasiakan, maka tidak sampai tersiar ke luar kota raja." Murid utama Thian-kiam-pang itu melanjutkan. "Semua orang yang masih setia menjatuhkan harapan mereka kepada putera mahkota, akan tetapi pada suatu hari, pangeran itu dikirim ke garis depan. Saya dapat mengerti bahwa semua ini tentulah akal muslihat Li Su dan Chao Kao itu, yang kini sebagai kedok, mengangkat putera kaisar ke dua yang berwatak jelek itu sebagai pengganti putera mahkota, dan menjadi boneka di tangan mereka.
"Kini yang berkuasa adalah panglima-panglima dan menteri-menteri yang menjadi kaki tangan kedua orang lalim itu. Hanya Jenderal Beng Tian, Jenderal Lai, putera mahkota sendiri dan orang-orang seperti mereka itulah yang benar-benar setia dan merupakan patriot-patriot yang mengabdi kepada kerajaan. Oleh karena itu saya sungguh mengharapkan kebijaksanaan Liu-bengcu clan saudara sekalian untuk kelak memikirkan nasib mereka itu, yang saya tahu adalah orang-orang yang menjunjung kegagahan dan kesetiaan."
Liu Pang mengangguk-angguk. "Terima kasih atas semua keterangan yang amat penting itu, Yap-sicu. Keadaan itu makin mendorong kita untuk segera turun tangan menghancurkan mereka yang jahat itu. Nah, Siong-ciangkun, harap suka menjelaskan bagaimana rencana siasatmu itu?"
"Untuk dapat memisahkan dua kekuatan yang bergabung itu, kita harus memecah barisan kita menjadi tiga bagian. Sebagian kecil melewati markas Jenderal Lai dan bersikap seolah-olah menghindarkan diri tidak menghendaki bentrokan, langsung saja ke depan dan menyerang atau menduduki kota kecil di depan. Ini untuk mengejutkan pasukan Jenderal Lai agar dia segera melakukan pengejaran."
"Maksudmu menggunakan siasat memancing harimau meninggalkan sarang?"
"Benar, Liu-twako. Kalau pasukan kerajaan itu sudah meninggalkan benteng melakukan pengejaran, kita menggunakan tiga perlima bagian pasukan untuk menghadangnya agar pasukan itu tidak dapat kembali ke markas, kita memotong jalan. Sementara itu, yang seperlima bagian lagi kita pergunakan untuk menggempur benteng dan menyerang pasukan pejabat daerah yang bersekongkol dengan orang-orang asing itu."
Mereka lalu ramai membicarakan dan mengatur siasat seperti yang diusulkan oleh Siong-ciangkun. Kekuatan pertama yang bertugas memancing harimau keluar dari sarang hanya merupakan seperlima bagian dari pasukan, dipimpin oleh Hek-coa Ouw Kui Lam dan para pendekar lain.
Bagian ke dua merupakan pasukan inti yang besarnya tiga perlima bagian, dipimpin oleh tiga orang murid Thian-kiam-pang sendiri, dikepalai oleh Yap Kim dan dibantu oleh Yap Kiong Lee dan Kwan Hok murid ke lima Thian-kiam-pang dan diperkuat oleh Siong-ciangkun sebagai penasihat.
Adapun bagian ke tiga, yaitu hanya seperlima bagian, dipimpin sendiri oleh Liu Pang dan dibantu oleh Pek Lian. Pasukan inilah yang bertugas untuk menduduki dan menyerbu benteng yang dikosongkan oleh Jenderal Lai nanti, untuk menghancurkan pasukan daerah yang dibantu oleh orang-orang asing itu, musuh utama dari pasukan para pendekar.
Setelah siasat diatur dan rencana sudah matang, pasukan dibagi-bagi. Sesuai dengan rencana, pasukan pertama berangkatlah, menghindarkan markas besar Jenderal Lai, lalu menuju ke kota kecil di depan. Sementara itu, diam-diam pasukan besar yang dipimpin oleh tiga saudara seperguruan Thian-kiam-pang juga meninggalkan sarang dan mencari posisi yang baik untuk nanti melakukan pemotongan atau penghadangan terhadap pasukan Jenderal Lai.
Liu Pang sendiri dibantu oleh Ho Pek Lian, bersama pasukannya menyelinap dan mendekati benteng musuh dengan hati-hati pada malam hari itu juga. Mereka bersembunyi di tepi sebuah sungai kecil yang airnya jernih, menanti saat baik sampai pasukan besar Jenderal Lai meninggalkan benteng. Mereka harus menanti dengan sabar, mungkin sehari, dua hari atau tiga hari sampai Jenderal Lai melakukan pengejaran dengan pasukannya terhadap pasukan para pendekar yang menyerang kota kecil di depan.
Pada keesokan harinya setelah matahari terbenam, barulah Liu Pang menerima kabar bahwa gerakan pertama dari pasukan pertama telah berhasil mengepung kota kecil di depan, dalam gerakan memancing harimau meninggalkan sarang. Kota kecil itu diserbu dan pasukan para pendekar sengaja membiarkan kepala daerah dan para pengawalnya lolos, agar mereka dapat mengabarkan kepada Jenderal Lai dan mengharapkan bantuan jenderal ini.
Seperti yang telah direncanakan, ternyata hasilnya memang tepat. Jenderal Lai yang mendengar bahwa pasukan para pendekar menduduki kota kecil di depan, menjadi geram. "Kurang ajar sekali Liu Pang itu! Dia dan pasukannya takut menghadapi pasukanku dan sengaja mengambil jalan memutar untuk bergerak ke arah kota raja. Hemm, hal ini tak boleh dibiarkan saja!"
Diapun lalu memerintahkan para perwiranya untuk mempersiapkan pasukan mereka. Berangkatlah pasukan kerajaan yang besar dengan megah, menuju ke kota kecil untuk merampas kembali kota itu, menghalangi pasukan Liu Pang menuju ke kota raja dan menghajar mereka.
Mendengar pelaporan tentang gerakan Jenderal Lai ini yang telah masuk perangkap sesuai dengan siasatnya, Liu Pang merasa girang sekali. Cepat diapun mempersiapkan pasukannya untuk menyerbu ke benteng yang telah ditinggalkan pasukan kerajaan itu. Akan tetapi, tiba-tiba terjadilah hal yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka. Terjadilah kegemparan ketika sebagian besar dari para anak buah pasukan pendekar itu mengeluh, memegangi perut mereka yang terasa sakit sekali! Mereka semua telah keracunan! Hanya sebagian kecil saja yang tidak keracunan dan mereka ini tentu saja sibuk dan bingung menolong teman-teman yang mengaduh-aduh tak berdaya itu.
Liu Pang dan Pek Lian sendiri segera merasakan betapa perut mereka mulas dan nyeri. Terkejutlah mereka dan maklumlah Liu Pang bahwa mereka semua telah keracunan. Untunglah bahwa dia dan muridnya memiliki sinkang yang kuat dan daya tahan lebih tangguh, dan pula agaknya malah mereka tidak begitu banyak terkena racun seperti anak buah mereka.
Setelah mengadakan pemeriksaan dan melihat betapa terdapat banyak ikan yang mabok dan mati di dalam sungai kecil, tahulah Liu Pang bahwa air sungai itulah yang mengandung racun. Tahulah dia bahwa fihak musuh amatlah cerdiknya dan agaknya fihak musuh sudah tahu akan tempat persembunyian mereka itu dan men-campuri air sungai dengan racun.
"Ini tentu perbuatan iblis Tai-bong-pai itu!" Pek Lian teringat dan gurunya mengangguk.
Liu Pang dan para pembantunya segera membagi-bagi obat penawar. Untunglah bahwa racun yang telah larut dengan air sungai itu hanya terbatas kekuatannya, hanya membuat mabok dan sakit perut saja, tidak sampai mematikan walaupun cukup membuat mereka tak berdaya dan lemas badan. Selagi mereka sibuk mengobati diri, menjelang tengah malam itu terdengarlah sorak-sorai dan datanglah pasukan kepala daerah yang tinggal di benteng itu, dibantu oleh pasukan asing, menyerang para pendekar yang sedang dilanda sakit perut dan keracunan.
Pasukan ini dipimpin sendiri oleh Song-bun-kwi Kwa Sun Tek dan Malisang raksasa Mongol yang lihai itu dan terjadilah pem-bantaian terhadap pasukan para pendekar. Untung malam itu gelap sehingga para pendekar yang melawan mati-matian itu dapat melarikan diri cerai-berai memasuki hutan-hutan gelap mencari selamat sendiri-sendiri. Pasukan para pendekar ini, dalam keadan masih dilanda sakit perut, dapat dikatakan hancur total walaupun banyak juga di antara mereka yang berhasil selamat.
Liu Pang sendiri bersama muridnya, dengan pedang di tangan mengamuk. Namun, menghadapi Kwa Sun Tek dan Malisang, guru dan murid inipun tidak kuat bertahan dan akhirnya mereka berdua terpaksa menyelamatkan diri berlindung pada kegelapan malam dan kekacauan yang terjadi di tepi sungai kecil itu.
Dengan dilindungi oleh belasan orang pengawalnya yang terdiri dari pendekar-pendekar yang memiliki ilmu silat cukup tinggi, Liu Pang dan Pek Lian melarikan diri, dikejar oleh pemuda Tai-bong-pai dan raksasa Mongol.
"Ha-ha-ha, Kwa-taihiap, engkau pimpin saja pasukan kita hancurkan semua pemberontak ini, habiskan mereka. Berikan orang she Liu itu kepadaku kata Malisang dan dengan dua losin pengawal diapun melakukan pengejaran terhadap Liu Pang dan teman-temannya.
Pengejaran itu akhirnya berhasil dan Liu Pang bersama muridnya, dilindungi oleh sebelas orang pengawal, dikepung ketika mereka keluar dari dalam hutan. Perkelahian seru terjadi secara keroyokan. Maklum betapa lihainya Malisang, Liu Pang sendiri maju menghadapinya, sedangkan Pek Lian membantu para pengawal menandingi para pengawai musuh yang jumlahnya dua kali lipat lebih banyak itu.
Biarpun Liu Pang terkenal dengan ilmu pedangnya yang lihai, namun pada saat itu dia mengalami pukulan lahir batin. Batinnya tertekan menyaksikan betapa pasukannya dipukul cerai-berai oleh musuh, betapa siasatnya telah digagalkan fihak musuh bahkan dia kena ditipu sehingga pasukannya menderita kerugian besar. Lahirnya, diapun telah minum air beracun yang biarpun tidak membahayakan keselamatan nyawanya, namun cukup membuat tubuhnya lemas dan tenaganya berkurang.
Karena itu, kecepatannyapun banyak berkurang sehingga beberapa kali dia terkena hantaman tangan Milasang yang amat kuat itu. Melihat keadaan gurunya, Pek Lian cepat menerjang maju membantu mengeroyok Malisang yang tertawa-tawa girang karena raksasa ini sudah memastikan bahwa malam itu dia tentu akan berhasil membekuk pemberontak besar Liu Pang ini, baik dalam keadaan hidup maupun mati.
"Suhu, mari kita pergi!" Tiba-tiba Pek Lian menusukkan pedangnya ke arah dada Malisang. Ketika raksasa ini menggerakkan tangan untuk mencengkeram ke depan, kedua tangannya berani menghadapi senjata tajam karena kebal dan kuat, Pek Lian menarik kembali pedangnya, menggandeng tangan gurunya dan mengajak gurunya yang sudah terkena beberapa kali pukulan keras itu untuk bersama-sama meloncat ke dalam sungai.
"Byuurrr!" Keduanya ditelan air yang gelap dan dengan pengerahan seluruh tenaganya, sambil menggigit pedangnya, Pek Lian membantu gurunya untuk menyeberangi sungai, sedangkan para pengawalnya menahan Malisang dan kawan-kawannya yang hendak melakukan pengejaran. Dalam usaha ini, beberapa orang pendekar yang menolong dan melindungi guru dan murid itu ro-boh dan tewas, lainnya terpaksa melarikan diri karena kekuatan fihak musuh jauh lebih besar.
Pasukan yang dipimpin oleh Liu Pang itu benar-benar mengalami hantaman yang tidak kepalang tanggung. Ratusan orang pendekar tewas dalam penyerbuan ini dan lainnya kembali mengalami nasib seperti yang pernah berkali-kali mereka alami, yaitu cerai-berai melarikan diri mencari keselamatan masing-masing untuk kelak menyusun kembali kekuatan mereka. Bagaimanapun juga, mereka itu tidak pernah kehilangan semangat perlawanan, sesuai dengan watak mereka sebagai pendekar yang hanya memiliki satu tujuan, yaitu menentang kekuasaan lalim.
Sejarah berulang terus. Golongan yang menamakan dirinya penentang kejaliman, yang menganggap diri mereka sebagai pembela rakyat jelata, atau penegak keadilan yang berjuang dengan semangat bernyala-nyala, rela berkorban apa saja yang dimilikinya, bahkan rela berkorban nyawa, selalu bangkit menentang golongan yang pada saat itu berkuasa dan yang dianggap sebagai golongan yang lalim, golongan penindas dan golongan yang jahat.
Pihak penentang kekuasaan yang ada selalu menganggap diri mereka sebagai golongan yang baik menentang golongan yang jahat! Dan sebaliknya, fihak yang pada saat itu berkuasa, tentu saja menganggap fihak yang menentang itu sebagai perusuh-perusuh, pengacau-pengacau dan perusak-perusak ketenteraman, sebagai pemberontak-pemberontak yang hanya bergerak demi satu ambisi, yakni merebut kekuasaan.
Pihak yang berkuasa tentu saja menganggap golongan penentang itu sebagai yang jahat, yang hendak menyengsarakan kehidupan rakyat dengan adanya kekacauan dan pengrusakan. Jadi, kedua fihak itu selalu mendasarkan "perjuangan" mereka demi kebaikan rakyat, demi kebaikan dan demi menentang kejahatan dan kebusukan!
Hal ini berulang ribuan kali dalam sejarah, di dalam negeri manapun juga. Selalu nama rakyat dipergunakan untuk perjuangan mereka, juga rakyat ditarik sana-sini untuk dijadikan sekutu, untuk memperkuat landasan mereka. Dan bagaimana kalau sampai golongan yang menentang kekuasaan yang ada itu mencapai kemenangan, berhasil menggulingkan kekuasaan yang ada dan fihak penentang ini kemudian menggantikan kedudukan dan menjadi yang berkuasa?
Sejarahpun berulang kembali! Cepat atau lambat muncullah lagi golongan-golongan yang menentangnya, golongan yang sekali lagi mempergunakan nama rakyat dan kebenaran dan keadilan untuk menentang kekuasaan baru itu, untuk menumbangkannya, untuk merebut kekuasaan. Pengulangan sejarah pertentangan antara yang berkuasa dan yang menentang ini selalu mengakibatkan satu hal, yaitu kerusuhan, kekacauan, dan tentu saja rakyat jelata yang menanggung akibatnya!
Rakyat bagaikan pohon-pohon kecil dilanda badai peperangan, daun-daunnya rontok, kembang-kembangnya gugur, bahkan batang-batangnya tumbang dan mati. Rakyat mengalami ketakutan, penderitaan, korban kekerasan-kekerasan yang mengerikan. Padahal, semua gerakan yang dinamakan perjuangan itu selalu memakai nama demi rakyat! Memang sungguh menyedihkan, namun ini merupakan kenyataan yang dapat dilihat oleh kita semua di dunia ini.
Mengapa harus demikian? Kalau semua golongan itu benar-benar berjuang demi rakyat jelata seperti yang selalu didengang-dengungkan, bukankah tujuan mereka semua itu sama, yakni demi kesejahteraan, demi kemakmuran rakyat? Apakah kemakmuran rakyat dapat dicapai dengan perang, dengan bunuh-bunuhan, dengan kekacauan-kekacauan, dengan perebutan kekuasaan yang pada hakekatnya hanyalah menjadi pamrih dan ambisi beberapa orang yang gila kekuasaan belaka?
Mengapa semua golongan itu tidak mem-buang senjata saja, menggantikan dengan alat-alat pembangunan, memimpin rakyat, mendidik, meng-ajak rakyat untuk benar-benar membangun lahir batinnya menuju kepada kemakmuran dan kesejah-teraan hidup, yang penuh damai, penuh ketente-raman, jauh dari permusuhan atau kebencian, jauh dari kekacauan?
Sungguh menyedihkan! Yang jelas, rakyat hanya menjadi korban nafsu kemurkaan beberapa gelintir orang saja yang mabok akan kekuasaan. Orang-orang gila yang selalu mengejar kekuasaan, yang tidak segan-segan melakukan apapun juga demi mencapai ambisi, bahkan kalau perlu meng-gunakan nama rakyat, kalau perlu mengorbankan rakyat, asal tujuan nafsunya tercapai dan dia akhir-nya duduk di puncak kekuasaan bersama teman-temannya?
Dan mereka selalu menaburi cara mencapai tujuan yang amat busuk ini dengan bunga rampai, dengan slogan-slogan yang muluk-muluk, demi rakyat, demi keadilan dan kebenaran, bahkan mereka tidak segan-segan untuk sekali waktu mengatakan Demi Tuhan!
Ya ampun, semoga rakyat di seluruh dunia akan terbuka matanya dan tidak terbuai oleh taburan bunga rampai yang harum dan muluk-muluk itu, dan semoga rakyat dapat melihat bahwa di balik semua itu tersembunyi bangkai membusuk dari nafsu mengejar keku-asaan, kemuliaan dan kesenangan sehingga rakyat tidak sudi lagi dicekoki racun terbalut gula!
Dalam keadaan lelah lahir batin, Liu Pang akhirnya dapat membebaskan diri dari pengejaran musuh-musuhnya. Dia dan muridnya berhasil menyeberangi sungai dan melanjutkan pelarian mereka menjelang subuh itu, tertatih-tatih dan dalam keadaan lemas. Mereka terpaksa berhenti di sebuah kuburan yang sunyi di pagi hari itu, karena Liu Pang harus beristirahat dan merawat luka-lukanya.
"Suhu, tempat ini sunyi dan sebaiknya kita berhenti di sini untuk merawat luka suhu yang perlu beristirahat sebelum kita melanjutkan perjalanan," kata Pek Lian dan Liu Pang mengangguk lesu.
Karena pukulan-pukulan yang dideritanya dari raksasa Mongol itu cukup hebat, selama sehari itu Liu Pang bersila, menghimpun tenaga dan hawa murni sambil menelan beberapa macam obat. Pada senja harinya, barulah dia dapat memulihkan tenaganya dan luka-luka yang dideritanya menjadi sembuh atau setidaknya tidak mendatangkan rasa nyeri lagi. Sehari itu, Pek Lian merawat dan menjaga gurunya, memasakkan air dan mencari makan sekedarnya.
Malam itu bulan sepotong muncul di antara awan tipis. Guru dan murid yang merasa berduka atas kekalahan mereka itu duduk menghadapi ma-kan malam yang hanya terdiri dari daging ayam hutan panggang sambil bercakap-cakap.
"'Suhu, sungguh tidak kusangka bahwa fihak musuh sedemikian lihai dan cerdiknya. Juga banyak orang lihai di antara mereka."
Gurunya mengangguk-angguk dan menghela napas panjang. "Di sana ada tokoh Tai-bong-pai yang jahat sekali dan amat lihai, hampir saja racun-racunnya membunuh kita sepasukan! Dan raksasa Mongol itupun amat lihai, tenaganya kuat dan tubuhnya kebal. Sungguh tidak kusangka, rencana kita dapat gagal, padahal sudah kita susun baik-baik. Kita malah yang menjadi sasaran serangan mereka. Orang-orang yang bergabung dalam benteng itu kiranya bukan orang-orang sembarangan."
"Agaknya demikianlah, suhu. Di sana berkumpul pembesar-pembesar daerah dan perwira-perwira yang banyak pengalaman, bahkan dibantu oleh pasukan asing yang tentu saja dipimpin oleh orang-orang pandai di samping tokoh-tokoh kaum sesat yang lihai."
Tiba-tiba Liu Pang memberi isyarat kepada muridnya agar diam. Hidung mereka kembang-kempis dan jantung mereka berdebar tegang ketika tiba-tiba mereka mencium bau asap dupa wangi yang semerbak menusuk hidung! Di tempat seperti itu, di kuburan tua yang sepi tercium bau dupa. Sungguh menyeramkan!
Guru dan murid itu segera memandang ke kanan kiri dengan sikap yang waspada dan seluruh urat syaraf mereka menegang dalam kesiap-siagaan. Mereka memandang ke arah gundukan-gundukan tanah kuburan yang tersebar di tempat luas itu. Akan tetapi, tempat itu benar-benar sunyi, tak nampak ada seorangpun manusia, bahkan tidak ada sesuatupun yang nampak bergerak.
Kadang-kadang, selapis awan tipis menyembunyikan bulan yang si-narnya memang lemah itu, membuat suasana men-jadi semakin menyeramkan. Akan tetapi, hidung mereka masih menangkap bau dupa terbakar walaupun mereka tidak melihat adanya asap. Kadang-kadang bau itu sedemikian kerasnya seolah-olah dupa yang terbakar itu berada amat dekat dengan mereka. Pek Lian gemetar dan bulu tengkuknya berdiri. Ia sudah mengenal bau ini dan otomatis ketika ada bau keras datang dari arah belakangnya, ia menoleh cepat.
"Hiiihhh!" Ia menjerat tertahan dan tangannya menangkap lengan suhunya.
"Ada apa?" bisik gurunya kaget sambil menoleh tanpa melihat sesuatu yang mencurigakan.
"Di sana tadi... ah, ke mana perginya?"
"Sttt, tenanglah. Apa yang kau lihat?" gurunya berbisik dan bersikap waspada.
"Tadi tadi kulihat di sana, di belakang gundukan tanah itu, seorang laki-laki dan seorang wanita melihat ke sini. Pakaian dan wajah mereka putih pucat seperti mayat. Tapi sekarang menghilang!"
"Hemm, aku tidak melihat ada orang. Tenangkan hatimu, nona Ho," kata Liu Pang yang setiap kali teringat bahwa Pek Lian adalah puteri Men-teri Ho selalu menyebutnya nona walaupun gadis itu adalah muridnya.
Tiba-tiba mereka terkejut sekali ketika mendengar suara orang tertawa. "Ha-ha-ha-ha! Pemberontak Liu Pang, mana mungkin engkau lolos dari tanganku?" Tiba-tiba muncullah raksasa Mongol Malisang bersama belasan orang pembantunya yang telah mengepung tempat itu dengan senjata di tangan dan dengan sikap mengancam sekali!
Karena tidak melihat jalan lain untuk melarikan diri, Liu Pang dan Pek Lian segera menghunus pedang dan merekapun mengamuk. Liu Pang diserang oleh Malisang yang dibantu oleh dua orang perwira Mongol lainnya sedangkan anak buah lainnya mengeroyok Pek Lian. Terjadilah perkelahian seru dan mati-matian di tanah kuburan itu, perkelahian dalam cuaca remang-remang yang hanya diterangi oleh bulan kecil sepotong.
Tentu saja guru dan murid itu segera terdesak dan terhimpit, berada dalam keadaan gawat dan berbahaya sekali karena mereka berdua itu jauh kalah kuat. Terpaksa guru dan murid itu kini saling melindungi dengan berdiri beradu punggung dengan pedang melintang di depan dada. Malisang tertawa bergelak melihat keadaan kedua orang buruannya yang sudah tersudut ini.
"Ha-ha-ha, Liu Pang, engkau seperti seekor tikus yang sudah terjepit di pojok. Lebih baik menyerah saja untuk kubelenggu dari pada harus kuseret sebagai mayat."
Dengan muka merah dan mata terbelalak Liu Pang melintangkan pedangnya di depan dada. "Mati dalam pertempuran merupakan kehormatan bagi seorang pejuang. Kalau ada kemampuan, majulah dan tak perlu banyak cerewet lagi!"' bentaknya menantang.
Malisang mengeluarkan bentakan nyaring memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk mendesak dan menyerang guru dan murid yang sudah tersudut itu. "Trang-trang-tranggg!!" Tiba-tiba nampak sinar berkelebatan dan beberapa buah golok dan pedang yang dipergunakan anak buah pasukan Mongol untuk menyerang guru dan murid itu terlempar dan patah-patah, jatuh berhamburan sedangkan mereka sendiri terhuyung mundur sambil memegangi tangan mereka yang terasa panas.
Melihat ini, Malisang terkejut sekali dan cepat memandang. Kiranya di situ telah muncul dua orang, seorang laki-laki dan seorang wanita setengah tua yang bermuka pucat-pucat dan berpakaian putih-putih dengan gerakan dingin menyeramkan seperti mayat-mayat hidup! Melihat mereka, Pek Lian juga kaget sekali, mengenal bahwa itulah muka dua orang yang tadi dilihatnya muncul di balik gundukan tanah kuburan lalu menghilang seperti setan.
Nenek itu menghampiri Pek Lian lalu berkata, "Nona Ho, selamat bertemu kembali!"
Terkejut dan heranlah Pek Lian mendengar teguran ini. Ia memandang penuh perhatian dan di bawah sinar bulan yang suram, wajah nenek itu nampak masih membayangkan kecantikan akan tetapi wajah itu amat pucat sehingga mengerikan. Akan tetapi ia segera mengenal wajah itu, apa lagi setelah hidungnya mencium bau dupa wangi keluar dari tubuh nenek itu.
"Bibi Kwa!" Pek Lian berseru girang karena kini iapun ingat bahwa nenek ini adalah ibu dari Kwa Siok Eng, atau nyonya ketua Tai-bong-pai yang lihai itu! Sementara itu, Liu Pang juga sudah dapat menduga siapa adanya kakek dan nenek itu karena dia pernah mendengar cerita muridnya. Diapun memandang dengan mata terbelalak.
Sebagai seorang pendekar pedang, tentu saja dia pernah mendengar nama Tai-bong-pai, perkumpulan manusia iblis yang mengerikan, bahkan diapun sudah tahu bahwa pemuda lihai yang membantu para pengkhianat adalah tokoh muda Tai-bong-pai pula. Kalau yang muncul ini suami isteri ketua Tai-bong-pai, berarti mereka ini adalah ayah ibu pemuda Kwa Sun Tek, dan tentu dia akan celaka!
Akan tetapi, nenek itu kini menudingkan telunjuknya kepada muka Malisang dan dengan suara dingin nenek itu berkata, "Orang asing. Pergilah engkau dari sini, bawa anak buahmu dan jangan engkau berani mengganggu nona ini kalau engkau masih ingin hidup lebih lama lagi!"
Malisang adalah seorang kepala suku yang lihai dan bertubuh kuat, tidak pernah merasa takut terhadap lawan yang bagaimanapun juga. Kini melihat munculnya sepasang kakek dan nenek yang telah menentangnya itu, tentu saja dia menjadi marah sekali. Apa lagi ketika mendengar ucapan nenek itu yang amat memandang rendah kepadanya, dia segera mengeluarkan suara menggeleng seperti seekor biruang dan diapun menubruk ke depan dengan kedua lengannya yang panjang itu menyerang dari kanan kiri dan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka mencengkeram.
"Duk! Duk!"
Tubuh Malisang terdorong mundur oleh tangkisan yang dilakukan oleh kakek itu yang mewakili isterinya. Malisang terkejut sekali, akan tetapi kakek itu juga mengeluarkan seruan marah ketika merasa betapa kedua lengannya tergetar hebat bertemu dengan lengan raksasa Mongol yang bertenaga raksasa itu. Malisang segera menyerang lagi, mengerahkan kekuatan dan kekebalannya. Akan tetapi, kini yang dilawannya adalah ketua Tai-bong-pai, seorang tokoh yang memiliki ilmu mujijat.
Baru Kwa Sun Tek saja, tokoh muda Tai-bong-pai itu, sudah amat lihai. Apa lagi kakek ini adalah ayahnya, ketua Tai-bong-pai yang tentu saja telah menguasai ilmu-ilmu siluman dari Tai-bong-pai dengan sempurna. Baru belasan jurus saja, Malisang telah terdorong beberapa kali dan akhirnya roboh terguling dengan darah merembes keluar dari tubuhnya bercampur keringatnya. Dia telah terkena ilmu ampuh Tai-bong-pai, yaitu Pukulan Penghisap Darah! Semua anak buahnya memandang dengan mata terbelalak, bahkan Liu Pang sendiri sampai bergidik.
Sementara itu, Kwa Eng Ki, ketua Tai-bong-pai, bersikap sesuai dengan sikap seorang ketua yang berwibawa dan menghargai kedudukannya. Melihat lawannya roboh dan menjadi korban ilmunya, dia lalu mengeluarkan dua buah pel merah dan dilemparkannya dua butir pel itu ke arah Malisang sambil berkata, "Di antara kita tidak ada permusuhan, jangan sampai engkau mati oleh pukulanku. Minumlah dua butir pel penawar itu!"
Malisang merasa malu sekali. Akan tetapi diapun maklum bahwa kalau tidak memperoleh obat penawar, nyawanya terancam bahaya maut, maka diapun melupakan kerendahan diri dan mengambil dua butir pel itu dan terus saja ditelannya. Seketika darah yang merembes keluar dari pori-pori kulit tubuhnya berhenti dan hatinyapun lega. Karena dia merasa malu dan tahu bahwa melawan tiada gunanya lagi, diapun lalu pergi dari tempat itu, diiringkan oleh anak buahnya, tanpa mengeluarkan kata-kata lagi.
Tentu saja Liu Pang dan Pek Lian merasa lega melihat raksasa Mongol itu dan anak buahnya telah dapat diusir pergi dari situ walaupun diam-diam Liu Pang masih meragukan apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh suami isteri iblis Tai-bong-pai yang menyeramkan itu.
"Nona Ho, apakah engkau melihat puteri kami yang nakal itu? Kami khawatir sekali, ia pergi tanpa pamit, padahal ia belum sembuh benar!"
Karena Pek Lian sendiri juga merasa ngeri menyaksikan sepasang suami isteri yang seperti ma-yat hidup itu dan tidak mengenal betul bagaimana sesungguhnya watak mereka, iapun tidak banyak bicara dan hanya menjawab, "Saya sendiri tidak tahu, bibi."
Pek Lian masih meragukan keadaan suami isteri ini. Keadaan mereka penuh rahasia. Memang harus diakuinya bahwa Kwa Siok Eng adalah seorang gadis yang baik sekali, akan tetapi bukankah kakak gadis itu kini bahkan bersekongkol dengan para pasukan asing dan juga menjadi kaki tangan pemberontak yang bersekutu dengan pejabat-pejabat daerah? Sukar diduga keadaan orang-orang Tai-bong-pai, maka ia merasa lebih aman kalau tidak mendekati dan bergaul dengan mereka.
"Sudahlah, mari kita mencari di tempat lain," kata nenek itu kepada suaminya dan sekali berkelebat, dua orang itu lenyap dari situ seperti menghilang saja. Hanya bau dupa harum yang lapat-lapat masih dapat tercium oleh Liu Pang dan muridnya.
Mereka berdua bergidik ngeri. Sungguh, banyak terdapat orang-orang lihai yang aneh di dunia ini dan agaknya, dalam keadaan negara dilanda kekacauan, tokoh-tokoh dari dunia hitam, yang amat lihai dan aneh-aneh pada bermunculan keluar dari sarang mereka.
Setelah suami isteri itu pergi, barulah Pek Lian teringat akan putera mereka yang kini bersekutu dengan pasukan asing dan ia merasa menyesal mengapa hal itu tidak dibicarakannya dengan mereka tadi. Setidaknya ia telah mengenal dan mendapatkan kesan baik dari ibu Siok Eng dan siapa tahu ketua Tai-bong-pai itu tidak mengetahui akan perbuatan kakak gadis itu dan akan menentangnya.
Karena maklum bahwa agaknya fihak musuh tidak akan melepaskan mereka begitu saja, Liu Pang lalu mengajak muridnya untuk melanjutkan perjalanan meninggalkan tempat itu, mengambil jalan memutar melalui tempat-tempat gelap untuk mencari dan menggabungkan diri dengan pasukan lain yang dipimpin oleh para tokoh Thian-kiam-pang. Mereka mengambil jalan di lembah bukit yang terjal dan sunyi, dengan hati-hati mereka melalui jurang-jurang dan tanah yang penuh dengan dinding-dinding karang dan gua-gua.
Setelah matahari menyingsing, mereka beristirahat sambil bersembunyi di dalam sebuah guha di mana mereka bersila untuk memulihkan tenaga. Setelah merasa yakin bahwa daerah itu sunyi dan tidak nampak gerakan manusia, mereka melanjutkan perjalanan. Menjelang malam, mereka tiba di tepi sebuah sungai.
"Hati-hati ada asap di depan itu, tentu ada orangnya di sana," kata Liu Pang. Mereka lalu menyelinap dan dengan bantuan kegelapan malam, guru dan murid ini mendekati tempat itu.
Kini mereka dapat melihat dengan jelas dari tempat sembunyi mereka. Di depan sebuah gua kecil nampak seorang laki-laki yang berpakaian indah pesolek, duduk menghadapi sebuah api unggun. Laki-laki ini memanggang daging kelinci yang sudah mulai matang dan mengeluarkan bau sedap, sedangkan di dekatnya duduk seorang gadis yang menundukkan mukanya dan gadis itu termenung menatap ke dalam api unggun seperti orang yang sedang bersedih. Di tempat persembunyian mereka yang aman dan cukup jauh dari tempat orang yang mereka intai.
Pek Lian menyentuh tangan gurunya dan berbisik, "Suhu, dia adalah si jahat Jai-hwa Toat-beng-kwi yang tersohor itu."
Liu Pang mengangguk dan memandang penuh perhatian. Laki-laki tampan pesolek itu kini menyodorkan sepotong daging kelinci kepada si gadis yang bermuka pucat dan sedih. "Nih, makanlah, agar engkau tidak nampak lesu begitu."
Gadis itu memandang dengan mata kosong dan agaknya takut untuk menolak. Diterimanya potongan daging panggang itu dan gadis itupun makan karena memang perutnya amat lapar. Jai-hwa Toat-beng-kwi tersenyum dan diapun makan potongan daging yang lain.
"Nah, begitu bagus. Kalau engkau mentaati semua perintahku, tentu engkau akan senang." Keduanya makan daging panggang dan minum dari sebuah guci besar yang agaknya terisi arak karena tercium bau arak ketika laki-laki itu meminumnya. Gadis itupun terpaksa minum arak walaupun ia kelihatan tersedak dan tidak biasa. Kini pria itu menyalakan ujung himcwe emasnya dan terciumlah bau asap tembakau.
"Aku sudah banyak mendengar tentang jahanam itu," bisik Liu Pang. "Gadis itu tentu seorang korbannya. Akan tetapi kita tidak usah mengusiknya. Penjahat seperti dia banyak muslihatnya. Jangan-jangan urusan kita malah menjadi berantakan. Kaum sesat seperti mereka itu kini bersatu di bawah Si Raja Kelelawar, sangat berbahaya kalau mencari perkara dengan mereka. Dia sendiri sih tidak perlu ditakuti, akan tetapi kalau kawan-kawannya muncul, berbahaya juga. Mari kita menghindar saja."
Akan tetapi sebelum guru dan murid itu sempat pergi, tiba-tiba terdengar siulan nyaring yang menuju ke tempat itu. Terpaksa mereka menyelinap dan bersembunyi lagi sambil mengintai.
Sesosok bayangan hitam berkelebat datang dan ternyata ia adalah seorang wanita yang berwajah cantik dan bertubuh ramping. Usianya kurang dari tigapuluh tahun dan gerakannya cepat sekali, dan kini setelah berdiri di dekat api unggun, matanya yang jeli mengerling ke arah si Jai-hwa Toat-beng-kwi, lalu kerling mata itu menyambar ke arah si gadis yang bermuka sedih dan wanita ini tersenyum mengejek, bibirnya yang merah berjebi.
"Pek-pi Siauw-kwi Si Maling Cantik!" Pek Lian berbisik dengan kaget ketika mengenal wanita ini. Akan tetapi, ternyata bukan wanita penjahat ini saja yang muncul karena berturut-turut muncul pula orang-orang yang di dunia kang-ouw sudah terkenal sebagai tokoh-tokoh kaum sesat. Ada sembilan orang banyaknya dan kini Jai-hwa Toat-beng-kwi bangkit berdiri dan mengomel.
"Wah, sampai penat-penat badanku menanti kalian. Nah, inilah surat dari Ong-ya! Siauw-kwi, bacalah keras-keras agar semua orang mendengarnya!" kata Jai-hwa Toat-beng-kwi sambil melemparkan segulung kertas ke arah Si Maling Cantik. Kertas gulungan itu menyambar cepat dan ditangkap oleh Pek-pi Siauw-kwi yang segera membuka gulungannya dan terdengarlah suaranya yang lembut namun nyaring itu.
"Sekalian rakyatku yang malang-melintang di rimba raya dan sungai telaga, dengarlah baik-baik! Saat ini negara sedang dalam keadaan kalut. Pemberontakan terjadi di mana-mana. Negara berada dalam bahaya keruntuhan. Dari arah barat dan timur para pemberontak sedikit demi sedikit menduduki daerah-daerah. Kini tinggal beberapa daerah saja di sekitar kota raja yang masih tersisa. Nah, sekaranglah saat kejayaan yang aku janjikan kepada kalian itu tiba. Berkumpullah kalian semua ke kota raja. Akan kuberikan tugas-tugas penting. Kita akan bersuka ria dan kejayaan berada di tangan kita!"
Mendengar bunyi surat yang dibacakan oleh Pek-pi Siauw-kwi, semua orang menyambut gembira. "Hidup Tuanku Raja Kelelawar! Hidup Ong-ya!"
Kalau saja mereka semua belum menyaksikan sendiri kehebatan orang yang kini menjadi pemimpin mereka itu, tentu para tokoh sesat ini tidak akan mudah begitu saja mempercayai janji yang dikeluarkan sedemikian mudahnya. Bergerak di kota raja! Sungguh merupakan perbuatan nekat dan biasanya hal ini akan dianggap seperti orang mencari mati saja. Akan tetapi kaum sesat itu kini sudah percaya sepenuhnya kepada Raja Kelelawar dan apapun yang diperintahkannya akan mereka taati tanpa banyak ragu lagi.
Sambil bersorak-sorak, para tokoh sesat itu meninggalkan tempat itu, dan Jai-hwa Toat beng-kwi sendiri lalu menarik tangan gadis korbannya, kemudian memondongnya dan penjahat cabul itu-pun berkelebat pergi.
Liu Pang dan Pek Lian masih bersembunyi. Biarpun para tokoh sesat itu sudah lama pergi, mereka masih saja bersembunyi di tempat tadi. Bulan sepotong tertutup awan, malam amat gelap dan kini api unggun itu telah padam. Di dalam kegelapan ini sukar diketahui apakah benar-benar tempat itu telah bersih dari orang-orang jahat itu. Hanya dengan ketajaman pendengaran saja Liu Pang meneliti keadaan di tempat itu dan mereka mengambil keputusan untuk menanti dulu sebelum meninggalkan tempat persembunyian mereka.
"Hemm, keadaan menjadi semakin gawat," bisik Liu Pang kepada muridnya. "Golongan sesat yang dipimpin Raja Kelelawar itu ternyata sudah terjun pula dalam pergolakan negara, bahkan mereka itu langsung bergerak ke kota raja. Ini benar-benar merupakan hal yang amat gawat. Jenderal Beng Tian dan putera mahkota sudah tidak berada di kota raja dan kini keadaan akan menjadi semakin kalut. Kiranya di istana yang dapat diandalkan kini hanyalah pasukan pengawal istana saja.
"Sedangkan barisan kita sendiri kini masih tertahan di daerah ini. Untuk mencapai kota raja masih melalui jalan yang panjang dan sukar. Bagaimanapun juga, kita harus cepat dapat mencapai kota raja, jangan sampai didahului oleh pasukan yang dipimpin oleh Chu Siang Yu. Apa lagi kalau istana sampai dikuasai oleh iblis-iblis pimpinan Raja Kelelawar, ahh... jangan sampai terjadi hal itu! Kita harus cepat mencari pasukan kita...."