Darah Pendekar Jilid 23

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Darah Pendekar Jilid 23
Sonny Ogawa

Darah Pendekar Jilid 23 karya Kho Ping Hoo - TIBA-TIBA Liu Pang memegang tangan muridnya dan menyuruhnya jangan bergerak. Bulan sepotong telah terlepas dari cengkeraman awan dan di dalam cuaca yang suram-muram itu nampak bayangan yang berkelebat halus namun cepat sekali. Tahu-tahu, seperti setan saja di tempat itu, tak jauh dari tempat persembunyian mereka, nampak dua orang kakek berjenggot putih panjang.

Novel silat Darah Pendekar karya Kho Ping Hoo

Mereka adalah dua orang kakek yang mengenakan jubah panjang berwarna coklat dan di bagian dada jubah itu nampak jelas lukisan naga terbuat dari pada benang kuning emas. Liu Pang dan Pek Lian tidak berani bergerak. Dari gerak-gerik kedua orang kakek itu, guru dan murid ini dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang yang memiliki kesaktian dan sedikit saja mereka mengeluarkan suara tentu akan terdengar oleh dua orang kakek itu.

Seorang di antara mereka, yang lebih muda, menuding ke arah bekas api unggun dan terdengar suaranya lirih, "Lihat, suheng. Iblis-iblis itu tentu baru saja berkumpul di sini. Sungguh mengherankan, mereka itu biasanya bergerak sendiri-sendiri, kalau sampai mereka dapat berkumpul, tentu telah terjadi hal yang amat luar biasa."

"Benar, memang telah terjadi hal yang luar biasa," kata temannya. "Munculnya seorang pelindung seperti Raja Kelelawar memberi kesempatan kepada mereka untuk tumbuh, keadaan mereka seperti harimau tumbuh sayap. Mereka merajalela mengganggu rakyat yang sudah cukup menderita sengsara akibat peperangan-peperangan itu. Mereka itu menjadi semakin berani dan ganas karena mereka tahu bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, tidak ada kekuatan yang berani menghalangi mereka. Pasukan pemerintah sedang sibuk menanggulangi para pemberontak. Musuh bebuyutan mereka, yaitu para pendekar, bahkan kini sibuk melawan pemerintah."

"Para iblis itu mengganas di kota raja sekalipun, takkan ada yang menghalangi. Bukankah ini sudah keterlaluan sekali? Bagaimana jadinya dengan negara ini nanti?"

"Sayang, kita sedang melaksanakan tugas yang diberikan oleh suhu. Kalau tidak, sudah kuhancurkan orang-orang itu tadi!" Orang yang lebih muda mengepal tinju dengan sikap marah.

"Sabarlah, sute. Nanti kalau tugas kita selesai kita cari orang-orang itu. Hayo kita pergi, benteng itu tidak jauh lagi dari sini."

Mereka berkelebat dan lenyap dari tempat itu. Gerakan para iblis sesat tadi memang sudah hebat dan menunjukkan betapa mereka itu rata-rata berkepandaian tinggi. Akan tetapi, tingkat kepandaian dua orang ini bahkan melebihi mereka itu dan melihat betapa mereka berkelebat lenyap, Liu Pang menghela napas panjang.

"Kedua orang itu lihai bukan main. Gerakan mereka sedikitpun tidak meninggalkan suara. Entah dari golongan manakah mereka itu? Agaknya mereka tidak menyukai golongan Chu Siang Yu maupun golongan kita. Dan mereka amat membenci anak buah Raja Kelelawar. Mereka juga tidak suka kepada golongan yang mengkhianati pemerintah. Hemm, sungguh aneh, mereka itu dari golongan mana dan berpihak kepada siapakah?"

"Suhu, aku mengenal jubah mereka. Mereka itu masih seperguruan dengan kakak beradik Chu Seng Kun dan Chu Bwee Hong. Kalau tidak salah, orang-orang tadi masih terhitung susiok kakak beradik itu. Guru orang-orang tadi adalah murid ke dua dari mendiang Tabib Sakti Tanpa Bayangan. Aku bahkan pernah berjumpa dengan guru mereka itu, yaitu di tempat kediaman murid keturunan Sin-kun Bu-tek, yaitu ketua Thian-kiam-pang. Agaknya di antara kedua orang tua itu terdapat persahabatan yang erat. Kalau mengingat bahwa isteri ketua Thian-kiam-pang adalah keluarga kaisar, maka kurasa kedua orang itupun tentu termasuk pengikut kaisar."

Liu Pang mengangguk-angguk. "Dan mereka hendak pergi ke benteng, apa sebenarnya tugas yang mereka terima dari guru mereka itu?"

Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati sekali dan setelah lewat tengah malam, tibalah mereka di suatu padang rumput Kini bintang bertaburan di langit bersih sehingga cahaya cukup me-nerangi keadaan sekeliling.

"Suhu, lihat di sana itu! Apakah itu?" Pek Lian menunjuk jauh ke depan. Guru dan murid itu memandang dan jauh di depan nampak pemandangan yang amat menarik. Seolah-olah ribuan bintang di langit itu bergerak turun dan berbaris di atas bumi, merupakan barisan panjang berkelap-kelip.

"Hemm, itu sudah pasti sebuah barisan pasukan yang cukup besar, begitu panjang. Sedikitnya tentu ada limaribu orang, dan ada iring-iringan kereta lagi, hemim entah pasukan mana yang bergerak pada malam hari ini?"

Mereka lalu cepat menyelinap di antara pohon-pohon dan mendekati, kemudian bersembunyi di balik pohon-pohon besar dan lebat. Kini bunyi derap kaki dan ringkik kuda, juga bunyi roda kereta sudah terdengar oleh mereka, diseling berkerincingnya senjata para anak buah pasukan.

Dugaan Liu-bengcu yang berpengalaman itu memang tepat. Yang sedang bergerak itu adalah sepasukan besar yang bersenjata lengkap. Mereka berdua tidak berani terlalu mendekatkan diri, dan hanya mengintai dari balik batang-batang pohon besar yang berada di lereng bukit itu. Pada saat itu terdengar derap kaki kuda mendekat dan nampaklah beberapa orang perajurit pengawal mengiringkan dua orang raksasa.

Pek Lian terkejut sekali mengenal bahwa raksasa pertama adalah Malisang, kepala suku Bangsa Mongol yang bersekongkol dengan pasukan daerah itu. Kiranya orang Mongol ini sudah sembuh kembali setelah terluka oleh pukulan mujijat ketua Tai-bong-pai dan kini sudah berada di sini, agaknya memimpin pasukan besar yang melakukan gerakan di waktu malam itu. Akan tetapi, gadis ini lebih kaget lagi ketika mengenal raksasa ke dua yang lebih besar lagi tubuhnya dari pada si tokoh Mongol.

Dan iapun menjadi gentar ketika mengenal bahwa raksasa ini ternyata adalah Tiat-siang-kwi (Setan Gajah Besi), tokoh ke dua dari para iblis Ban-kwi-to itu! Tentu saja guru dan murid itu tak berani banyak berkutik ketika melihat betapa dua orang raksasa bersama pengawalnya itu kini berhenti di dekat pohon-pohon tempat mereka bersembunyi!

"Ha-ha!" Raksasa Ban-kwi-to itu tertawa bergelak ketika mereka itu memandang ke arah pasukan yang lewat di bawah. "Kalau kota raja sedang kalut, dengan barisanmu yang kuat ini, langsung menyerang kota raja terus menduduki istananya, apakah sukarnya?"

"Ho-ho, saudara Tiat-siang-kwi mudah saja bicara! Keadaan istana dan kota raja memang kalut, akan tetapi bukan itulah yang selama ini memusingkan kami, melainkan si petani Liu Pang itulah! Kalau pasukannya sudah kami hancurkan, barulah kita berkesempatan menyerbu kota raja."

"Hemm, aku tidak tahu tentang siasat perang. Akan tetapi engkau tahu bahwa kami mau membantu karena pasukanmu hendak menyerbu istana di kota raja," kata pula si raksasa dengan suaranya yang lantang.

"Tentu saja, tentu saja. Jangan khawatir, kalau kita sudah menyerbu istana, tentu kami akan memberi kesempatan seluasnya kepada engkau dan saudara-saudaramu untuk berpesta-pora sepuas-nya di istana. Ha-ha-ha!"

"Huhh!" Tiba-tiba raksasa dari Ban-kwi-to itu mendengus dan berdesah seperti seekor kerbau. Dia celingukan ke kanan kiri, ke belakang dan hidungnya terdengar mendengus-dengus. "Aku mencium bau daging wanita muda! Ada wanita muda di sekitar tempat ini!"

Tentu saja Pek Lian terkejut setengah mati mendengar ini. Raksasa pemakan daging manusia ini benar-benar memiliki penciuman yang tajam seperti srigala saja. Akan tetapi Malisang tertawa.

"Saudara Tiat-siang-kwi benar-benar memiliki penciuman yang hebat. Memang ada wanita-wanita di dalam barisan itu. Di dalam kereta itu terdapat para wanita keluarga gubernur yang ikut mengungsi dan kita kawal!"

"Bukan, bukan mereka! Wanita ini berada di sini, di sekitar tempat ini!" kata raksasa itu dan dengan langkah lebar dia lalu menghampiri pohon besar di mana Liu Pang dan muridnya bersembunyi.

Ketika itu, guru dan murid ini bersembunyi di atas pohon besar itu, di antara dahan-dahan dan daun-daun pohon yang lebat. Tentu saja melihat raksasa itu menghampiri pohon, Pek Lian bergidik dan jantungnya seperti akan pecah rasanya karena berdegup kencang penuh ketegangan. Liu Pang sendiri sudah bersiap-siap untuk meloncat turun dan kalau perlu mengadu nyawa melindungi muridnya.

Akan tetapi, ketika tiba di bawah pohon besar itu, Tiat-siang-kwi bukan menengok ke atas, melainkan membungkuk ke bawah dan tangannya menyambar ke arah sehelai ikat pinggang yang berkembang merah. "Inilah wanita itu !" katanya sambil memandang ikat pinggang itu yang ternyata sebagian tertanam dalam tanah. Malisang menghampiri dan memandang heran.

"Eh, ini tanah galian baru!" katanya dan diapun membantu raksasa itu menarik ikat pinggang yang sebagian besar tertanam itu. Tanah terbuka dan keluarlah sesosok tubuh wanita yang sudah menjadi mayat! Dari atas, Liu Pang dan Pek Lian memandang dengan hati ngeri dan mengenal bahwa itulah gadis yang mereka lihat bersama Jai-hwa Toat-beng-kwi itu ! Kiranya gadis korban penjahat cabul itu telah dibunuh dan mayatnya dikubur secara sembarangan di bawah pohon itu.

"Heii! Mayat siapakah itu?" Terdengar seruan orang dan seorang pria muda yang rambutnya riap-riapan tahu-tahu muncul di situ. Dia adalah Kwa Sun Tek, tokoh muda Tai-bong-pai itu.

"Entahlah, kami temukan ia terkubur di sini," jawab Malisang.

Kwa Sun Tek berjongkok memeriksa. "Hemm, bukan mayat orang yang kami cari," katanya sambil bangkit berdiri lagi.

"Kwa-sicu, apa maksudmu?" tanya Malisang yang merasa heran melihat sikap pemuda ini seperti orang marah-marah dan mencari-cari sesuatu.

"Sungguh kurang ajar sekali!" Kwa Sun Tek mengomel. "Para penjahat itu sungguh tidak memandang sebelah mata kepada kita! Berani mengganggu barisan kita yang besar. Seorang dayang gubernur telah diculik, berikut beberapa buah perhiasan yang dibawa oleh keluarga gubernur. Bukankah itu perbuatan yang lancang dan menantang sekali? Seorang di antara mereka, kalau tidak salah yang berjuluk Pek-pi Siauw-kwi, terkena pukulanku, akan tetapi ia gesit sekali dan dapat melarikan diri. Malam amat gelap dan mereka lari ke dalam hutan, bagaimana aku dapat mengejar mereka?"

"Aih, sudahlah, mengapa urusan kecil begitu harus dibesarkan. Urusan besar kita bisa kapiran. Hayo kita berangkat, perjalanan malam ini harus mencapai tempat tujuan sebelum matahari terbit." Merekapun lalu pergi meninggalkan bawah pohon besar itu.

Dari atas pohon, Liu Pang dan Pek Lian menyaksikan iring-iringan yang besar dan ternyata bahwa pasukan itu terdiri dari pasukan pejabat daerah bersama pasukan asing. Mereka agaknya meninggalkan benteng karena takut akan serbuan pasukan Liu Pang. Pada akhir barisan itu nampak kereta-kereta, di antaranya gerobak suami isteri Ban-kwi-to yang sudah amat dikenal oleh Pek Lian itu.

Melihat ini, Liu Pang berpikir. "Wah, sungguh gawat. Ternyata para gubernur daerah itu bukan hanya bersekongkol dengan orang-orang asing, akan tetapi juga dibantu oleh kaum sesat."

Setelah barisan itu lewat dan suasana di situ menjadi sunyi lagi, Liu Pang dan muridnya turun dari batang pohon besar itu. Sejenak keduanya berdiri memandang kepada mayat gadis yang masih menggeletak di bawah pohon. Liu Pang menarik napas panjag "Gadis yang malang!"

"Dan biarpun sudah menjadi mayat, ia masih berjasa dan menyelamatkan kita, suhu," kata Pek Lian. Mereka lalu menggali lubang dan mengubur mayat gadis itu.

Setelah itu, keduanya lalu dengan hati-hati melanjutkan perjalanan. Semua pengalaman yang dialami oleh Liu Pang bersama muridnya dalam perjalanan ini, sungguh amat berharga baginya. Tanpa disengaja dia telah memperoleh banyak keterangan mengenai keadaan musuh-musuhnya sehingga dari semua pengalaman ini dapat dipergunakannya untuk menyusun siasatnya kelak ketika dia memimpin pasukannya sampai berhasil.


Sudah terlalu lama kita meninggalkan Seng Kun dan Bwee Hong, kakak beradik yang melakukan perjalanan ke kota raja dan diikuti oleh A-hai itu. Makin mendekati kota raja, kakak beradik ini melihat betapa keadaan semakin kacau dan kekalutan amat terasa. Memang arus para pengungsi berkurang akan tetapi ketegangan terasa di mana-mana. Kota-kota menjadi sunyi, dusun-dusun diliputi ketegangan dan ketakutan.

Para penjahat berpes-ta-pora, melakukan aksi di mana saja, terutama sekali di sekitar kota raja. Para penjahat ini tahu bahwa para perajurit sedang sibuk bertempur menghadapi pemberontak. Kekuatan petugas keamanan hanya lemah dan sedikit saja, bahkan para petugas keamanan sendiri ikut-ikutan bersikap sewenang-wenang karena tidak diawasi oleh atasan mereka yang sibuk sendiri.

Para penjahat yang memiliki kepandaian seperti menjadi raja-raja kecil atau penguasa-penguasa yang menguasai kota-kota besar. Biasanya, selain para petugas keamanan, juga para pendekar menentang mereka ini. Akan tetapi kini para pendekar banyak yang meninggalkan rumah dan bergabung dengan pasukan pendekar menentang pemerintah dan menentang para pengacau. Keadaan sungguh kalut dan hukum rimbapun berlakulah. Siapa kuat dia menang.

Para hartawan dan para pejabat, orang-orang terkemuka dan mampu, menggaji barisan tukang pukul untuk menjaga keselamatan keluarga mereka, atau setidaknya mereka ini mendekati para penjahat, menyogok sana-sini agar keluarga mereka tidak diganggu. Segala macam perbuatan kejipun terjadilah di malam hari. Penindasan, perampokan, perkosaan dan kerusuhan karena persainganpun terjadi hampir setiap hari. Keadaannya amat menyedihkan.

Seng Kun dan Bwee Hong melihat semua ini. A-hai juga melihatnya, akan tetapi pemuda yang linglung ini seperti tidak mengacuhkannya atau tidak menyadari keadaan. Sebaliknya, kakak beradik yang berjiwa pendekar itu merasa berduka sekali. Mereka prihatin menyaksikan keadaan ini, melihat bahwa bagaimanapun juga, akhirnya yang paling menderita adalah rakyat jelata yang miskin dan lemah.

Rakyat yang tidak mempunyai pelindung dan tidak kuasa melindungi diri sendiri inilah yang ditindas, diinjak-injak, disiksa, dibunuh, diperkosa hak-haknya, sedikitpun tidak ada kemam-puan untuk membalas dan biasanya hanya menangis saja.

Pada suatu pagi yang cerah, tiga orang muda ini memasuki sebuah kota kecil yang terletak di sebelah tenggara kota raja. Sebuah jalan raya yang cukup besar terbentang di depan, memasuki pintu gerbang utara untuk menuju ke arah kota raja. Kota kecil ini biasanya cukup ramai akan tetapi sekarang di balik keramaian itu terasa adanya ketegangan dan rasa takut membayang dalam pan-dang mata setiap orang yang masih melanjutkan usahanya berdagang.

Baru sampai di pintu gerbang saja, tiga orang muda itu sudah melihat hal yang amat mengherankan. Mereka melihat betapa setiap orang yang lewat di situ menghampiri sebuah sudut di pintu gerbang. Di situ berdiri sebuah guci besar, tingginya ada satu meter dan mulut guci itu lebar, lalu menyempit di bagian leher. Setiap orang yang menghampiri guci itu lalu memasukkan uang ke dalam mulut guci. Di belakang guci itu duduk bersila seorang laki-laki yang bertubuh kekar dan berjenggot lebat.

Di sekitar tempat itu terdapat enam orang laki-laki yang rata-rata berwajah serem dan bersikap galak. Mereka inilah yang mengamati setiap ada orang memasukkan uang ke dalam guci, dan orang-orang yang memasukkan uang itupun dengan sengaja memperlihatkan jumlah uang yang dimasukkannya, seolah-olah hendak memperlihatkan bahwa mereka telah memasukkan jumlah uang yang secukupnya. Dari sikap mereka yang menghampiri guci, dapat terlihat bayangan rasa gentar dan takut terhadap orang-orang yang menjaga guci itu.

Tentu saja tiga orang muda itu merasa heran bukan main. Mula-mula mereka tidak tahu apa artinya guci yang dimasuki uang oleh mereka yang lewat di pintu gerbang itu. Maka Seng Kun dan Bwee Hong juga meragu dan berdiri memandang ketika ada seorang nenek datang menghampiri guci itu dengan mulut kemak-kemik dan muka pucat, mata terbelalak membayangkan rasa takut. Nenek itu berusia hampir enampuluh tahun, memikul keranjang sayuran yang kosong.

Melihat pakaiannya, tentu ia seorang nenek dusun yang baru saja pulang dari kota menjual hasil ladangnya berapa sayur-sayuran. Dengan tangan gemetar, nenek itu mengambil sepotong uang logam dan hendak memasukkannya ke dalam mulut guci. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras dan nenek itu terkejut, tangannya menggigil dan mukanya pucat memandang kepada laki-laki tinggi besar yang membentaknya tadi.

"Nenek mau mampus! Berani engkau menghina kami dengan memberi uang kecil yang tiada harganya itu?" Seorang di antara enam laki-laki galak itu membentak dan menghampiri dengan sikap mengancam.

"Ampun saya saya tidak punya uang!" nenek itu berkata dengan suara gemetar dan merangkapkan kedua tangan, memberi soja berkali-kali.

"Nenek pelit! Siapa tidak tahu bahwa engkau pagi tadi lewat membawa sayuran sepikul? Hayo cepat beri lima kali itu!"

"Akan tetapi ah cucu saya sakit panas.... uang penjualan sayur nanti untuk membeli obat!"

"Alasan! Biar cucumu mampus! Cepat berikan uang itu!"

"Tidak... tidak.... nanti bagaimana cucuku?"

"Plak!" Laki-laki kasar itu menggerakkan tangan menampar dan nenek itu terkena tamparan pada pipinya, membuatnya terpelanting.

"Nenek pelit bosan hidup!" Laki-laki kasar yartg marah itu melangkah lebar dan hendak melanjutkan serangannya dengan sebuah tendangan.

"Manusia berhati kejam seperti binatang!" Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan Bwee Hong sudah berada di situ, menyambar tubuh nenek itu sehingga terluput dari tendangan. Dengan sikap halus Bwee Hong mengajak nenek itu berdiri di tepi jalan, membersihkan baju nenek itu dan menyerahkan beberapa mata uang perak sambil berkata, "Nenek, pakailah uang ini untuk membeli obat cucumu dan cepatlah pergi meninggalkan tempat ini."

Nenek itu menerima uang perak dengan mata basah. Ia mengenal mata uang itu dan cepat pergi terbongkok-bongkok. Sementara itu, laki-laki tinggi besar tadi memandang kepada Bwee Hong dengan muka merah. Dia hendak marah, akan tetapi begitu melihat wajah yang cantik jelita itu, kemarahannya lenyap seperti awan tipis ditiup angin. Sebaliknya, dia malah tersenyum lebar dan matanya terbelalak menatap wajah yang luar biasa manisnya itu.

"Ah, kiranya ada bidadari dari kahyangan yang datang membagi berkah! Nona manis, kalau nona yang mintakan, tukang-tukang pukul yang pandai ilmu silat."

Melihat nona cantik itu menggerakkan tangan menamparnya, si tinggi besar itu tertawa dan menggerakkan tangan untuk meraih dan hendak menangkap tangan kiri Bwee Hong yang menampar. Akan tetapi, tiba tiba ada bayangan menyambar dari bawah dan tahu-tahu kaki kanan Bwee Hong sudah mendahului tangan kirinya, menendang tinggi ke atas dan menyambar ke arah muka pria itu dengan kecepatan kilat.

"Plakkk!" Laki-laki itu mengaduh, terpelanting dan meraba pipinya yang tiba tiba saja membengkak, dan darah segar mengalir dari bibirnya karena beberapa buah giginya telah rontok terkena tendangan kaki Bwee Hong. Kiranya nona ini telak sudi menyentuh muka orang dengan tangan dan tangan kirinya tadi hanya merupakan gerakan memancing belaka sedangkan yang sungguh-sungguh menyerang adalah kakinya.

Lima orang temannya terkejut dan juga mulai marah melihat kawan mereka mengalami penghinaan seperti itu. Mengertilah mereka bahwa nona cantik ini ternyata pandai ilmu silat. Bagaimanapun juga, mereka masih memandang rendah. Boleh jadi nona ini pandai dan berhasil menendang muka kawan mereka, akan tetapi menghadapi mereka semua, tentu nona ini, tidak akan mampu berbuat banyak. Kemarahan mereka membuat mereka mengambil keputusan untuk menangkap dan membalas dendam dengan menghina dara ini.

"Perempuan tak tahu diuntung! Kita tangkap dan kita permainkan ia sepuas kita!" kata seorang di antara mereka yang berkumis tebal dan bertubuh gendut pendek. Lima orang itu dengan kedua tangan mencengkeram seperti lima ekor harimau hendak memperebutkan seekor domba, lalu menubruk ke depan dari semua jurusan.

Akan tetapi, lima orang itu yang kini dibantu oleh orang pertama yang giginya rontok tadi, sekali ini benar-benar kecelik. Telah berbulan-bulan lamanya mereka ini, dikepalai oleh orang tinggi besar yang masih duduk bersila, bersikap sewenang-wenang di kota kecil itu, merajalela seperti raja-raja kecil memeras rakyat dan melakukan apa saja seenak perut mereka sendiri, tanpa ada yang dapat menentang mereka.

Kini, mereka kecelik dan benar-benar bertemu batunya. Mereka hanya melihat tubuh nona yang langsing itu lenyap lalu nampak bayangan berkelebatan dan bagaikan terbang saja Bwee Hong berloncatan ke sana-sini, membagi-bagi tendangan dengan kedua kakinya, susul-menyusul dan ganti-berganti. Terdengar suara kaki bertemu dengan dagu, dengan dada, dengan perut, disusul teriakan kesakitan dan enam orang itu sama sekali tidak mampu menghindarkan diri dari kaki Bwee Hong dan merekapun terpelanting jatuh bangun dan mengaduh-aduh.

Ada yang perutnya mendadak menjadi mulas, ada yang dadanya sesak sukar bernapas, ada yang patah tulang dan ada pula yang mulutnya berdarah giginya rontok! Hebat memang sepak terjang Bwee Hong dengan kecepatannya yang membuat semua lawannya roboh tanpa mereka ketahui apa yang sebenarnya menyambar dirinya dan membuat mereka roboh tadi.

Tiba-tiba terdengar suara geraman hebat seperti seekor srigala marah dan tahu-tahu laki-laki tinggi besar yang tadi duduk bersila di belakang guci uang, melompat ke atas dan dengan kedua lengan bersilang membentuk cakar harimau, orang itu sudah menubruk ke arah Bwee Hong. Jelaslah bahwa dari gerakannya, orang ini jauh lebih lihai dari pada enam orang temannya tadi dan memang sesungguhnya dia adalah kepala dari gerombolan penjahat itu yang tentu saja memiliki ilmu silat yang lebih lihai.

Ilmu silatnya adalah ilmu silat harimau dan dengan loncatan itu, dia sudah me-nerkam ke arah Bwee Hong, mencengkeram ke arah kepala dan dada gadis itu. Akan tetapi Bwee Hong sudah siap sedia menghadapi serangan ini maka begitu terkaman itu tiba, ia sudah dapat mengelak dengan amat cepatnya dan membalas dengan tendangan ke arah perut orang tinggi besar itu.

"Dukk!" Orang itu menangkis dengan lengannya dan dari tangkisan ini tahulah Bwee Hong bahwa lawannya hanya memiliki tenaga kasar saja. Sebaliknya orang itu, begitu menangkis, tangannya sudah mencengkeram hendak menangkap kaki yang menendang. Akan tetapi, tangan Bwee Hong sudah menyambar ke depan dan tangan kirinya yang membentuk paruh burung sudah menyambar ke arah mata lawan.

Kagetlah laki-laki itu karena gerakan gadis itu sedemikian cepatnya sehingga hampir saja dia tidak mampu menghindarkan dirinya lagi. Hanya dengan membuang dirinya ke belakang dia dapat mengelak, akan tetapi Bwee Hong telah menyusulkan tendangan berantainya yang amat lihai itu. Lawannya berusaha mengelak dan menangkis, hanya empat kali berhasil dan tendangan susulan yang ke lima kalinya tanpa dapat dicegah lagi telah mengenai lambungnya.

"Dukk augghhh!" Tubuh yang tinggi besar itupun terpelanting dan si tinggi besar itu tak mampu bangun lagi karena roboh pingsan. Menyaksikan betapa kepala mereka yang amat mereka andalkan itu ternyata roboh pula oleh gadis cantik itu, enam orang kasar tadi menjadi terbelalak dan muka mereka berobah pucat sekali.

Sementara itu, A-hai sejak tadi nonton saja dan diapun tahu apa artinya guci uang itu. Agaknya, pemuda inipun menjadi penasaran sekali? "Memaksa orang memberikan uangnya, sama saja dengan perampokan di siang hari, di tempat ramai pula. Sungguh keterlaluan!"

Sambil berkata demikian, A-hai lalu mengangkat guci uang itu, menuangkan isinya sehingga banyak uang berhamburan keluar dari guci. Tumpukan uang itu lalu ditendang dan disebar-sebarkannya. Tentu saja menjadi rebutan orang-orang yang banyak lalu-lalang, di tempat itu. Enam orang kasar itu tidak berani banyak bergerak, bahkan diam-diam mereka lalu menggotong pimpinan mereka dan mengambil langkah seribu melarikan diri dari tempat itu.

Mereka merasa takut sekali. Baru gadis itu saja sudah membuat mereka tidak mampu melawan, apa lagi kalau dua orang pemuda yang datang bersama dara itu juga turun tangan. Bisa celaka mereka, mungkin akan mati semua mereka. Maka merekapun segera menghmbil langkah aman dan melarikan diri.

Tiga orang muda itu lalu memasuki kota kecil dan melihat-lihat keadaan. Berita tentang dihajarnya para pencoleng oleh gadis cantik yang datang bersama dua orang muda itu segera tersiar dan ramai dibicarakan orang. Banyak orang diam-diam bersyukur bahwa dalam keadaan kalut seperti itu masih ada pendekar yang suka turun tangan membasmi kejahatan. Peristiwa itu mendatangkan secercah sinar harapan dalam hati mereka yang tadinya sudah menjadi muram dan tak acuh karena kekalutan yang melanda kehidupan mereka selama ini.

Tiga orang muda itu melihat bahwa biarpun di dalam kota kecil itu masih terdapat orang-orang berpakaian seragam, yaitu para penjaga keamanan kota, namun sikap mereka itu tak acuh walaupun masih jelas nampak keangkuhan dan ketinggian hati mereka.

Sore hari itu, setelah memperoleh kamar penginapan, Bwee Hong, Seng Kun dan A-hai keluar dan memasuki sebuah restoran. Ternyata, biar dalam keadaan kalut, restoran itu menyediakan makanan yang cukup lengjkap sehingga Bwee Hong merasa gembira ketika memesan masakan kesayangannya. Seperti juga para pengusaha lainnya, restoran yang cukup besar itupun memelihara be-lasan orang tukang pukul yang berjaga di dalam ruangan dan juga di depan pintu.

Tiga orang muda itu sedang enak-enaknya makan masakan yang mereka pesan ketika terdengar suara ribut-ribut di luar pintu. Karena mereka itu kebetulan memperoleh tempat duduk di dekat pintu, maka mereka dapat melihat bahwa yang ribut-ribut itu adalah percekcokan antara seorang pengemis tua dengan para tukang pukul penjaga atau pelindung keamanan restoran itu.

Percekcokan mulut yang kemudian diteruskan menjadi perkelahian. Dan ternyata pengemis tua itu lihai bukan main. Pengemis jembel yang mengempit tongkat hitam itu hanya menggunakan sebelah tangan kirinya saja, akan tetapi belasan orang tukang pukul yang mengeroyoknya terpelanting ke kanan kiri, jatuh bangun dan dihajar kalang-kabut.

Akhirnya, semua tukang pukul sudah roboh terguling dan tidak berani melawan lagi. Pengemis tua yang bertubuh pendek kecil akan tetapi perutnya buncit itu lalu mengeluarkan sebuah kantong butut, dilemparkannya kantong itu ke arah meja kasir yang berada di dekat pintu.

"Penuhi kantongku itu!" bentaknya dan matanya yang kemerahan itu melotot.

Melihat ini Bwee Hong memandang kepada kakaknya, sinar matanya minta pertimbangan. Seng Kun berbisik. "Jangan ikut campur. Lihat di sudut itu. Di sana ada empat orang petugas keamanan kota, pakaiannya seperti perwira, akan tetapi mereka itu pura-pura tidak melihat keributan ini. Mengapa kita harus campur tangan?"

Majikan restoran itu yang duduk di meja keuangan, terpaksa memenuhi kantong butut itu dengan uang, kemudian menyerahkannya kepada si pengemis dengan sikap takut-takut. Pengemis itu menerima kantong, isi kantongnya lalu dituangkan ke dalam kantong besar yang diikat di punggungnya. Kemudian, kantong butut kosong itu dilemparkannya ke atas meja yang dihadapi Bwee Hong, Seng Kun dan A-hai.

"Nona tadi telah mengabaikan biaya yang menjadi kewajiban semua orang yang lewat di pintu gerbang, sekarang harus nona penuhi kantong itu dengan uang, baru aku mau menghabiskan perkara itu!"

A-hai memandang dengan mata terbelalak ketakutan. Dia sudah melihat betapa lihainya pengemis tua itu. Akan tetapi, Bwee Hong sudah menjadi marah dan iapun meloncat bangun dari kursinya, bertolak pinggang di luar pintu restoran menghadapi pengemis itu sambil tersenyum mengejek.

"Huh, kukira engkau adalah jembel tua yang hanya mencari derma, kiranya engkau jembel busuk yang menjadi sekutu para pencoleng itu. Memuakkan sekali!"

Pengemis tua itu membelalakkan matanya yang merah dan diapun memutar tongkat yang tadi ke-tika dia dikeroyok selalu dikempitnya saja tanpa pernah dipergunakan itu. Baru dengan sebelah tangan kosong saja dia sudah mampu merobohkan belasan orang tukang pukul. Dapat dibayangkan betapa lihainya kalau mempergunakan tongkatnya itu sebagai senjata.

Akan tetapi, pengemis yang sudah tua itu agaknya tahu malu dan merasa sungkan kalau dia sebagai seorang tokoh besar harus menandingi seorang gadis cantik yang begitu muda. Maka matanya yang merah mengerling ke arah A-hai dan Seng Kun, lalu mulutnya mengomel.

"Tak tahu malu ada dua orang, lelaki membiarkan teman wanitanya yang maju. Kalau kalian bukan pengecut, majulah dan jangan berlindung di belakang wanita!"

Biarpun dia sendiri tidak sadar bahwa dia memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi A-hai sama sekali bukan seorang pengecut. Dia bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke arah muka pengemis itu. "Eh, kakek pengemis jangan engkau bicara seenaknya saja, ya! Aku bukan tukang berkelahi seperti engkau, akan tetapi jangan bilang kalau aku pengecut!"

Bwee Hong cepat berkata, "A-hai, sudahlah, jangan ikut campur. Yang menghajar para pencoleng di pintu gerbang adalah aku, maka kini akulah yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan itu terhadap datuknya pencoleng ini!" Ia lalu melangkah maju dan mengejek, "Jembel busuk, kalau engkau takut melawan aku, pergilah dengan cepat dan jangan banyak cerewet lagi!"

"Perempuan rendah!" Pengemis itu marah dan tongkatnya meluncur bagaikan kilat menusuk ke arah leher Bwee Hong. Akan tetapi terkejutlah dia ketika melihat tubuh gadis di depannya itu tiba-tiba lenyap dan tahu-tahu dari samping gadis itu telah membalas serangannya dengan sebuah tendangan kilat yang nyaris mengenai lambungnya. Kakek itu cepat meloncat ke depan sambil mengelebatkan tongkatnya menangkis, akan tetapi Bwee Hong sudah menarik kembali kakinya.

Terjadilah perkelahian yang seru dan cepat sekali. Gerakan pengemis itu ternyata amat gesit, akan tetapi menghadapi Bwee Hong dia masih kalah jauh dalam hal kecepatan. Perkelahian dalam tempo yang amat cepat ini membuat mereka yang melihatnya menjadi silau dan kabur pandangannya. Seng Kun memandang sejenak penuh perhatian lalu diapun melanjutkan makan minum dengan sikap tenang. A-hai yang juga nonton dengan gelisah, melihat betapa Seng Kun tidak mengacuhkan adiknya yang sedang berkelahi itu, menegur,

"Engkau ini bagaimana sih? Adikmu berkelahi melawan pengemis yang demikian lihainya dan engkau enak-enak makan minum saja!"

Seng Kun mengangkat muka memandang wajah yang tampan gagah itu sambil tersenyum. "Habis harus bagaimana aku?"

"Bantulah, atau hentikanlah perkelahian itu!"

"Tidak apa, ia tidak akan kalah."

"Bagaimana engkau tahu?" A-hai menengok lagi dan dia terbelalak melihat betapa tahu-tahu pengemis tua itu telah terpelanting jauh, entah terkena pukulan atau tendangan Bwee Hong yang berdiri bertolak pinggang dengan sikap menantang.

"Bawa kantong busukmu dan enyahlah!" kata Bwee Hong sambil melemparkan kantong kosong yang tadi oleh si pengemis dilemparkan ke atas meja.

Pengemis itu memungut kantong itu, lalu bangkit berdiri dan memandang ke arah Bwee Hong, Seng Kun dan A-hai. Matanya yang sudah merah itu menjadi lebih merah lagi ketika dia berkata, "Kalian mempunyai perhitungan dengan kami, orang-orang rimba hijau dan sungai telaga. Hati-hatilah kalian!"

Setelah jembel tua itu pergi, Bwee Hong dan dua orang pemuda itu melanjutkan makan minum, tidak memperdulikan pandang mata orang-orang yang ditujukan ke arah mereka dengan kagum. Setelah kenyang dan membayar harga makanan, merekapun kembali ke kamar hotel mereka. Malam itu, Seng Kun dan Bwee Hong bersikap waspada, tidak seperti A-hai yang sudah tidur sore-sore.

Kakak beradik ini maklum bahwa pe-ristiwa sore dan pagi hari tadi tentu masih akan berkelanjutan. Mereka maklum bahwa para penjahat yang agaknya menguasai kota kecil itu, setelah mendapat hajaran, tentu akan berusaha membalas dendam dan mendatangkan jagoan-jago-an mereka yang lebih lihai. Oleh karena itu, Seng Kun meninggalkan kamarnya di mana dia tinggal bersama A-hai dan bercakap-cakap sambil berjaga dengan adiknya di ruangan depan adiknya.

Dan apa yang mereka khawatirkan dan nanti-nantikan itu memang sungguh terjadi. Menjelang tengah malam, ketika mereka sudah bosan menanti dan hendak tidur, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara harimau mengaum. Keduanya masih duduk dengan tenang akan tetapi dengan jantung berdebar dan urat syaraf menegang ketika daun pintu terbuka dengan mudahnya dari luar, seolah-olah didobrak oleh tenaga raksasa dan muncullah seorang kakek tinggi besar yang mengenakan jubah kulit harimau.

Kakek itu usianya tentu sudah limapuluh tahun lebih, akan tetapi tubuhnya ma-sih nampak tegap dan membayangkan tenaga besar, rambutnya yang dibungkus kain hitam itu masih nampak hitam lebat, dengan cambang bauk mem-buat wajahnya nampak menyeramkan. Jubahnya dari kulit harimau tutul dan sepasang matanya bersinar-sinar galak. Berturut-turut muncul pula enam orang laki-laki yang kesemuanya bersikap kasar dan bertubuh tegap.

Seng Kun bangkit berdiri dan menghadapi mereka. Bwee Hong juga sudah bangkit dan mendampingi kakaknya. Sejenak mereka saling beradu pandang dan tiba-tiba kakek tinggi besar itu tertawa. Suara ketawanya menyeramkan karena di-seling gerengan-gerengan seperti auman harimau. Dia adalah seorang tokoh besar di dunia penjahat, seorang di antara Sam-ok (Si Tiga Jahat) dan dialah yang kini menjadi seorang di antara, pembantu-pembantu dan kepercayaan Raja Kelelawar.

Orang ini adalah San-hek-houw Si Harimau Gunung. Para pencoleng yang siang tadi dihajar oleh Bwee Hong, juga si pengemis lihai, adalah anak buahnya. Ketika mendengar pelaporan betapa anak buahnya, juga si pengemis lihai yang diserahi tugas mengamati dan memimpin para anak buah yang beroperasi di kota kecil itu, dihajar oleh seorang gadis cantik, tentu saja San-hek-houw menjadi marah dan penasaran sekali.

Maka, malam itu, dengan diiringkan oleh beberapa orang pembantunya, dia mendatangi rumah penginapan di mana gadis dan dua orang muda itu berada. Pemilik rumah penginapan dan para penjaganya sudah sejak tadi menyembunyikan diri begitu mendengar suara auman harimau itu, yang mereka kenal sebagai tanda kemunculan "raja" penjahat yang menguasai kota itu.

Ketika datang sendiri dan melihat bahwa yang dianggapnya musuh berbahaya itu hanyalah seorang gadis muda yang cantik bersama seorang pemuda tampan yang kelihatannya lemah, San-hek-houw tak dapat menahan ketawanya. Tentu saja dia memandang rendah kepada anak-anak ini.

"Ha-ha-ha, benarkah bahwa kalian bocah-bocah ini yang siang dan sore tadi mengacau di kota ini?" tanyanya, suaranya menggetar dan parau menyeramkan.

Seng Kun yang dapat menduga bahwa orang ini tentu merupakan tokoh besar penjahat dan merupakan lawan tangguh, sudah mendahului adiknya, melangkah maju dan berkata dengan sua-ra halus, "Sobat, sesungguhnya bukan kami yang mengacau, melainkan teman-temanmu itu, dan kami hanya membela orang yang tertindas saja."

"Ha-ha-ha, orang muda, aku mendengar bahwa yang memukul anak buahku adalah seorang gadis cantik. Ia itukah orangnya?" San-hek-houw menudingkan telunjuknya ke arah Bwee Hong.

Bwee Hong sudah sejak tadi menjadi marah. Ia tidak sesabar kakaknya dan kini mendengar pertanyaan itu, iapun menjawab lantang, "Benar! Akulah yang menghajar pencoleng-pencoleng busuk itu. Habis, engkau mau apa?"

"Bagus! Engkau harus menyerahkan diri un-tuk kutangkap dan menerima hukuman!" kata San-hek-houw.

"Hem, andaikata aku mau iuga, pedangku ini yang tidak membolehkan aku menyerah kepada segala macam penjahat kejam!" kata Bwee Hong sambil menghunus pedangnya.

"Ha-ha-ha, engkau kuda betina liar yang cantik, memang patut untuk ditundukkan dulu sebelum dijinakkan! Ha-ha-ha!" Kakek tinggi besar itu menggerakkan tangannya dan ada angin menyambar dahsyat ketika lengannya yang panjang mencuat dan mencengkeram ke arah dada Bwee Hong.

"Dukkk!" Seng Kun menangkis dari samping. Harimau Gunung terkejut ketika merasa betapa tangkisan pemuda itu membuat lengannya tergetar. Tahulah dia bahwa pemuda ini ternyata berisi juga, maka diapun mengeluarkan suara auman yang menggetarkan seluruh bangunan rumah penginapan itu, kemudian diapun menyerang Seng Kun dengan kalang-kabut.

Sepak terjangnya memang kasar sekali, dan mengandung kebuasan, apa lagi serangannya itu disertai gerengan-gerengan seperti harimau. Dan meruanglah, tokoh hitam ini mempunyai pembawaan seperti harimau. Biasanya, kemunculannya selalu ditemani oleh sepasang harimau kumbang, akan tetapi sekali ini, dalam tugasnya mengacau dan menuju ke kota raja, dia terpaksa meninggalkan sepasang binatang peliharaan itu di dalam kandang.

Dan ilmu silatnya juga merupakan ilmu silat yang gerakan-gerakannya didasari gerakan binatang harimau yang bu-as. Kedua tangannya membentuk cakar harimau, yang disebut Houw-jiauw-kang dan dengan ca-karnya ini dia mampu merobek-robek tubuh orang, bahkan cengkeramannya dapat menghancurkan batu karang saking kuatnya.

Seng Kun terkejut bukan main menyaksikan kehebatan lawan ini. Beberapa kali dia terhuyung ketika mengadu tenaga dan beberapa kali nyaris kulit dagingnya terkena cengkeraman dan menjadi korban Ilmu Houw-jiauw-kang. Terpaksa Seng Kun lalu menghunus pedangnya dan melindungi dirinya dengan putaran pedangnya.

Melihat ini, San-hek-houw tertawa bergelak dan meloloskan sebatang rantai yang ujungnya bertongak jangkar terbuat dari pada baja yang selain kuat juga berat sekali! Terjadilah perkelahian yang lebih seru lagi di dalam ruangan yang cukup luas itu. Enam orang laki-laki pengikut San-hek-houw hanya menonton sambil mengepung ruangan itu dengan sikap mereka yang congkak.

Diam-diam Seng Kun mengeluh. Ternyata lawannya ini benar-benar amat tangguh, bukan sembarang tokoh sesat, melainkan seorang datuk yang lihai bukan main. Pedangnya selalu terpental ketika bertemu dengan senjata lawan yang berat dan segera dia terdesak oleh gerakan senjata lawan yang berat dan panjang itu. Melihat keadaan kakaknya, Bwee Hong meloncat maju dan membantu.

Enam orang teman San-hek-houw hendak bergerak mencegah, akan tetapi San-hek-houw tertawa. "Ha-ha-ha, biarlah ia maju untuk menghangatkan suasana, ha-ha!"

Karena pemimpin mereka membolehkan, maka enam orang itupun tidak berani bergerak dan membiarkan gadis itu mengeroyok San-hek-houw yang ternyata memang tangguh itu. Bagaimanapun juga, setelah Bwee Hong maju dan kakak beradik itu mengandalkan ginkang mereka yang luar biasa, San-hek-houw mulai kewalahan dan terpaksa selalu memutar senjatanya melindungi diri.

Dia tidak mampu mengimbangi kecepatan gerakan kakak beradik itu, walaupun dia menang kuat dan juga senjatanya lebih menguntungkan, lebih panjang, berat dan juga mudah digerakkan karena merupakan rantai yang lemas.

Melihat ini, tanpa diperintah lagi, enam orang itupun menghunus senjata mereka, ada yang menggunakan golok, ada yang menggunakan tombak atau pedang, menyerbu dan membantu San-hek-houw. Tentu saja kini kakak beradik itu yang berbalik terkepung dan terdesak hebat! Melihat ini, Bwee Hong menjadi khawatir sekali. Ia tahu bahwa kalau ia dan kakaknya kalah, tentu kakaknya akan dibunuh dan ia sendiri ah, ngeri ia memikirkan nasibnya kalau sampai terjatuh ke tangan orang-orang kejam, ini.

Pada saat itu, ia melihat A-hai muncul dari pintu dengan wajah masih memperlihatkan bekas tidur dan kini A-hai berdiri terbelalak dan nampak khawatir sekali. Berkali-kali A-hai mengangkat tangan ke atas seperti hendak mencegah atau melerai perkelahian itu.

Melihat munculnya A-'hai, Bwee Hong tahu bahwa hanya pemuda sinting itulah yang akan mampu menyelamatkan ia dan kakaknya. Dan satu-satunya jalan hanyalah merangsangnya, mengguncang batinnya agar dia kumat, seperti yang pernah dilakukannya. Itulah satu-satunya jalan dan jalan lain tidak ada lagi. Ia maklum bahwa para penjahat ini tidak akan membiarkan ia dan Seng Kun lolos dengan selamat.

Andaikata mereka berdua mempergunakan ginkang untuk melarikan diri sekalipun, lalu bagaimana dengan A-hai? Tentu pemuda itu akan dibantai oleh para penjahat dan tak mungkin ia membiarkan hal ini terjadi. Dan untuk akal seperti ini memang ia sudah membuat persiapan sebelumnya. Ketika ia melakukan perjalanan bersama A-hai, ia maklum bahwa ada dua hal terdapat pada diri pemuda sinting ini, yang satu amat merugikan akan tetapi yang lain amat menguntungkan.

Yang merugikan adalah bahwa pemuda ini dalam keadaan sadar merupakan seorang pemuda yang bodoh dan lemah, tidak tahu apa-apa. Akan tetapi yang menguntungkan adalah bahwa pemuda ini dapat "dibikin" menjadi lihai. Maka iapun sudah mempersiapkan diri untuk sewaktu-waktu, dalam keadaan darurat seperti sekarang ini, mempergunakan akal dan siasat untuk membangunkan pemuda itu, untuk membuatnya menjadi kumat gilanya dan juga lihainya!

Pada saat itu, Seng Kun sudah kewalahan benar-benar dan tiba-tiba, sapuan senjata rantai yang berat itu menyerempet kakinya dan tubuh Seng Kun terjungkal! Kinilah saatnya, pikir Bwee Hong, sebelum terlambat. Maka iapun melolos sebatang pisau belati, lalu menjerit dan menghadap kepada A-hai, pisau belatinya bergerak seolah-olah menikam perut sendiri, tangannya mencengkeram ke perutnya dan iapun roboh, dari perutnya bercucuran darah merah membasahi lantai dan pakaiannya.

Sepasang mata A-hai terbelalak, mukanya seketika menjadi pucat. Kemudian dia mendelik, dari mulutnya keluar teriakan parau, "Ibuuu!!"

Dan tubuhnya mencelat ke depan. Diapun berlutut dan menubruk tubuh Bwee Hong, dirangkulnya dan diciumnya gadis itu. Tentu saja Bwee Hong merasa tubuhnya panas dingin ketika ia merasa betapa wajahnya diciumi oleh pemuda itu, ciuman seorang anak yang menangisi ibunya dengan air mata bercucuran. Kaki tangannnya menjadi dingin dan tubuhnya menggigil. Hal ini membuat A-hai menjadi semakin khawatir. Wajah pemuda yang biasanya membayangkan ketololan dan tadi nampak ketakutan itu kini berubah sama sekali.

Kini wajah itu membayangkan kedukaan, kemarahan dan menyeramkan, penuh nafsu membunuh. Matanya berkilat liar dan Bwee Hong yang terbelalak kengerian itu ketika memandang penuh perhatian, tiba-tiba melihat sebuah tonjolan berwarna biru sebanyak tiga buah di pelipis kiri A-hai. Tonjolan yang tiga bintik itu letaknya berbentuk segi tiga dan setiap tonjolan sebesar ujung sumpit. Padahal biasanya, seingat Bwee Hong, tidak pernah terdapat tonjolan seperti itu di pelipis A-hai.

Kini A-hai yang melihat bahwa nona yang disebut ibunya itu masih hidup, merebahkan Bwee Hong dengan lembut ke atas tanah, kemudian sekali menggerakkan tubuh, dia sudah meloncat dan membalik, menghadapi San-hek-houw. Harimau Gunung Hitam ini memandang kepada A-hai, juga terheran akan tetapi tentu saja dia tidak memandang sebelah mata kepada pemuda yang tidak waras ini. Melihat A-hai berdiri tegak menghadapinya dengan sinar mata yang buas mengerikan, hati tokoh hitam ini merasa tidak senang.

"Mampuslah!" bentaknya dan diapun menubruk dengan kedua tangannya setelah tadi menyimpan kembali senjata rantainya yang dianggapnya tidak perlu dipergunakannya lagi. Dia merasa yakin bahwa sekali hantam dia akan mampu merobohkan dan menewaskan pemuda ini, baru kemudian dia akan melanjutkan serangannya terhadap kakak beradik itu.

"Dukkk!!" San-hek-houw terpelanting dan terbanting ke atas lantai. Dia mengeluarkan suara gerengan sambil bergulingan. Selain kesakitan, dia juga kaget setengah mati. Tak disangkanya bahwa pemuda yang seperti gila itu memiliki tenaga sedemikian dahsyatnya. Dia tadi merasa seperti membentur gunung baja! Melihat ini, enam orang teman San-hek-houw menjadi marah dan merekapun menyerang maju dengan serentak.

Dari mulut A-hai keluar lengkingan yang mengerikan dan tubuh pemuda ini menerjang bagaikan badai, menyambut enam orang itu. Segera terdengar pekik-pekik kesakitan dan enam orang itu sudah dicengkeramnya, ada yang dibanting, ada yang dilontarkan, seperti orang mencabuti dan membuang rumput saja. Dalam waktu beberapa gebrakan saja, enam orang itu sudah malang melintang, roboh tak mampu bangkit kembali!

San-hek-houw marah bukan main. Kembali gerengannya menggetarkan ruangan itu dan diapun meloncat keluar dari ruangan. Dianggapnya tempat itu kurang luas, apa lagi setelah ada enam tubuh teman-temannya malang melintang. Dia keluar dari rumah penginapan dan menanti di kebun samping. A-hai mengejar dan setelah tiba di situ, dia disambut serangan yang buas oleh San-hek-houw yang kini sudah melolos rantainya.

A-hai menyambutnya dan terjadilah perkelahian yang amat seru dan hebat, juga liar dan buas. Mereka sama buasnya, akan tetapi Seng Kun dan Bwee Hong yang mengikuti pula jalannya perkelahian, melihat betapa San-hek-houw terdesak hebat oleh gerakan silat A-hai yang aneh. Rantai yang menyambar-nyambar itu selalu dapat dielakkan atau ditangkis oleh A-hai, seolah-olah gerakannya otomatis mengikuti gerakan lawan dan balasan serangan A-hai yang kelihatannya kacau-balau itu sesungguhnya pada dasarnya mengandung gerakan ilmu silat yang aneh dan tinggi.

"Wuuuuttt… plakk!" Tiba-tiba ujung rantai yang dipasangi jangkar baja itu dapat ditangkap oleh A-hai. San-hek-houw menggerakkan tangannya yang memegang gagang rantai dan rantai itu seperti hidup melingkari kepala dan menjerat leher pemuda itu. Tentu saja Seng Kun dan Bwee Hong terkejut bukan main dan siap menolong karena melihat A-hai terancam bahaya tercekik lehernya.

Akan tetapi, rantai yang menjerat leher A-hai itu tidak mampu mencekik leher yang nampak berotot dan kuat itu. bahkan kini A-hai secara tiba-tiba mengangkat kakinya menendang, suatu gerakan yang tidak disangka-sangka oleh San-hek-houw yang menduga bahwa pemuda itu tentu menjadi panik dan berusaha melepaskan rantai yang menjirat leher.

"Desss!" Tendangan yang amat keras itu membuat tubuh San-hek-houw yang tinggi besar terlempar dan rantainya terlepas, tertinggal ke tangan A-hai dan sebagian masih melingkari leher pemuda itu.

"Huhh!" A-hai membuang rantai itu dan dengan langkah lebar menghampiri San-hek-houw yang kini sudah bangkit berdiri. Akan tetapi, baru saja dia berdiri, A-hai sudah menyerangnya dengan tamparan-tamparan dan pukulan-pukulan bertubi-tubi, kelihatannya semua serangan itu kacau, akan tetapi justeru cara yang kacau itulah yang membuat lawan bingung dan tanpa dapat dicegah lagi, San-hek-houw yang masih merasa pening karena terbanting tadi, terkena sebuah pukulan tangan kiri, tepat pada dadanya.

"Desss!" Terdengar datuk kaum sesat itu mengeluh dan kembali tubuhnya terjengkang dan sekali ini bahkan terguling-guling, baru berhenti ketika tubuhnya tertabrak pohon. Dia kembali mengeluh, menggoyang-goyangkan kepalanya karena dia melihat bintang-bintang bertaburan dan menari-nari, dari mulutnya mengalir darah segar.

A-hai masih melangkah lebar mengejarnya. Melihat betapa pada wajah A-hai nampak sinar beringas dan penuh nafsu membunuh, Seng Kun yang tidak ingin melihat A-hai menjadi pembunuh kejam terhadap lawan yang sudah kalah itu, lalu meloncat dekat dan tanpa dipikir lagi dia berteriak melarang. "Saudara A-hai, jangan bunuh orang!"

Akan tetapi, pada saat itu, A-hai sudah tidak ingat apa-apa lagi, yang ada hanya perasaan duka bercampur kemarahan yang membuat dia beringas dan ingin menghajar siapapun juga yang menghalanginya. Kini melihat Seng Kun berani menghadangnya, diapun menganggap pemuda ini musuhnya. Dia mengeluarkan suara gerengan hebat dan segera menerjang ke arah Seng Kun.

Seng Kun terkejut, namun dia juga mengerti bahwa hal itu dilakukan oleh A-hai dalam keadaan tidak sadar. Cepat dia menangkis karena untuk mengelak amat berbahaya. Dia tadi sudah melihat perkelahian antara A-hai dan San-hek-houw dan melihat betapa setiap kali pukulannya dielakkan lawan, pukulan itu masih dilanjutkan dengan aneh dan terus mengejar lawan. Lebih aman menangkis dari pada mengelak.

"Dukkk!" Hebat bukan main tenaga yang mendorong pukulan A-hai itu sehingga begitu menangkis, seketika tubuh Seng Kun terdorong, terjengkang dan pantatnya terbanting keras di atas tanah! Akan tetapi A-hai menyusulkan pukulan yang mengandung hawa pukulan amat hebatnya ke arah Seng Kun yang rebah di atas tanah.

"Blaaarrr!" Debu dan tanah berhamburan. Pukulan itu tidak mengenai tubuh Seng Kun yang sudah bergulingan dan wajah pemuda ini mlenjadi pucat. Kalau pukulan yang mengandung tenaga sinkang amat kuat tadi mengenai tubuhnya, belum tentu dia akan sanggup bertahan.

"Jangan!!" Tiba-tiba Bwee Hong menjerit dan jeritan yang melengking tinggi ini mengejutkan A-hai. Sementara itu, San-hek-houw mempergunakan kesempatan ini untuk lari meninggalkan tempat berbahaya itu.

Mendengar jeritan itu, A-hai termangu-mangu, lalu menoleh dan meninggalkan Seng Kun, kini menghadapi Bwee Hong. Mukanya merah padam seperti dibakar, seluruh darah di tubuhnya seolah-olah berkumpul di kepalanya. Tiga bintik tonjolan biru itu makin jelas nampak di pelipisnya. Matanya mengeluarkan sinar berkilat-kilat, liar menakutkan, membuat Bwee Hong yang sebenarnya memiliki ketabahan besar dan bukan seorang penakut, kini berdiri bengong dengan kedua kaki gemetar, menggigil ketakutan!

Ngeri hatinya membayangkan bahwa pemuda yang dihadapinya ini adalah orang yang gila, bukan gila biasa, melainkan gila yang amat berbahaya karena memiliki ilmu yang amat mengerikan. Kini A-hai berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, dan kedua lengannya digerak-gerakkan secara aneh, ke depan, ke atas, ke samping, bukan seperti orang bersilat, akan tetapi hebatnya, gerakan kedua lengan itu mengeluarkan hawa yang kuat sehingga terdengar bunyi "wuuuuttt...wuuuttt... wuuuttt!"

Melihat ini, dari tempat dia rebah, Seng Kun cepat mengirim suara dari jauh, menggunakan Il-mu Coan-im-jip-bit sehingga bisikannya hanya dapat ditangkap oleh adiknya itu, "Hong-moi, tenanglah. Engkau senyumlah, cepat. Jangan panik karena diapun akan menjadi panik. Pasrah saja, jangan kelihatan takut, bujuk dia dengan kata-kata manis. Senyumlah dan dia akan menurut segala kata-katamu, percayalah!"

Tentu saja hal ini jauh lebih mudah dikatakan dari pada dilakukan. Dalam keadaan hatinya kecut, berdebar cemas dan takut, bagaimana orang disuruh senyum? Bagaimanapun juga, Bwee Hong segera mentaati perintah kakaknya dan diapun ter-senyum manis. Mula-mula senyumnya merupakan senyum kecut, senyum dipaksakan.

Akan tetapi, ketika ia melihat betapa sinar mata yang buas dari A-hai itu seketika agak melunak dan gerak-gerik kedua lengan itu lebih lambat dan ragu-ragu, kini Bwee Hong benar-benar tersenyum, senyum lega yang membuat senyumnya nampak benar-benar manis sekali, dengan lesung pipit di pipi kirinya.

"A-hai, tenanglah, A-hai, tidak ada apa-apa yang perlu dibuat gelisah atau marah lagi. Aku Bwee Hong ingatkah engkau? Aku Bwee Hong dan dia itu kakakku, Seng Kun koko!" Dengan suara yang halus merdu dan ramah, dengan pandang mata yang lunak dan halus, dengan senyum menghias bibir, Bwee Hong membujuk.

A-hai sejenak memandang wajah gadis itu de-ngan bingung, akan tetapi lambat-laun pandang matanya yang tadinya buas itu menjadi makin lembut, lalu dia tertegun dan berdiri seperti patung, kedua tangan kini tergantung di kanan kiri tubuhnya. Mukanya ditundukkan dan sepasang matanya dipejamkan.

Seng Kun melihat ini semua dengan penuh perhatian. Ketika dia melihat betapa wajah A-hai itu kini merah padam, tiba-tiba dia teringat akan soal pengobatan dan diapun seperti memperoleh petunjuk.

"Hong-moi, dia mengalami serangan darah yang membanjir ke kepala. Lihat, mukanya begitu merah sebaliknya kedua tangannya putih pucat seperti kehilangan darah. Tekanan darahnya kelihatan sangat kuat dan semua mengalir ke arah kepalanya. Ini sangat berbahaya bagi jiwanya. Kalau dia tidak lekas-lekas jatuh pingsan seperti biasanya, darah itu akan mengalir semakin kuat dan hal ini akan dapat memecahkan dinding-dinding pembuluh darahnya dan mengalir keluar melalui mata, hidung, telinga dan merusak otak-otaknya. Dia akan tewas dalam keadaan yang mengerikan!"

Wajah Bwee Hong seketika pucat mendengar ini dan diapun pernah membaca tentang ini dan sekarang ia teringat, maka kekhawatirannya memuncak. "Koko, apa yang harus kita lakukan?"

"Cepat, engkau harus bertindak. Dekati dia, tetap bujuk dengan halus. Lihat, urat-uratnya sudah mengembung, sebentar lagi dapat pecah! Siapkan sebatang jarum emas. Hati-hati, jangan sampai dia melihatnya. Berusahalah menusuknya di jalan darah balik tengkuk. Tapi ingat! Jangan sampai dia tahu dan curiga. Begitu diatahu, dia tentu akan mengira engkau menyerangnya dan kalau dia menyerangmu, aku sendiri belum tentu dapat menyelamatkanmu! Cepat, Hong-moi, tapi hati-hati..."

Biarpun Seng Kun bersikap setenang mungkin, tetap saja suaranya terdengar gugup dan agak gemetar. Hal ini tentu saja membuat Bwee Hong menjadi semakin gelisah dan ngeri. Amatlah menegangkan saat itu bagi Bwee Hong dan Seng Kun. A-hai berada di ambang kematian, kalau tidak tertolong, sebentar lagi akan tewas secara mengerikan sekali, akan tetapi hal ini sedikitpun tidak disadari sendiri olehnya.

Sedangkan kakak beradik ahli pengobatan itu ingin sekali menyelamatkan nyawanya, akan tetapi merekapun tahu bahwa sedikit saja mereka salah gerak atau diterima salah oleh A-hai dan menimbulkan kecurigaan pemuda yang dilanda penyakit hilang ingatan itu, mereka akan mati konyol karena mereka berdua tidak akan mampu menandingi kelihaiannya.

Yang paling tegang adalah perasaan Bwee Hong karena ialah yang harus bertindak. Di tangannyalah terletak keselamatan nyawa A-hai, juga keselamatan mereka berdua sendiri. Ia harus dapat bertindak cepat dan tepat tanpa keraguan. Maka iapun melangkah maju mendekati A-hai yang masih berdiri seperti patung itu. Tadi ketika ia hendak melangkah maju, melihat A-hai memejamkan kedua matanya, diam-diam ia telah mengeluarkan sebatang jarum emas yang kini digenggamnya.

Begitu ia melangkah maju, A-hai membuka kedua matanya dan kembali Bwee Hong merasa ngeri. Sepasang mata pemuda itu, walaupun tidak beringas dan liar seperti tadi, akan tetapi masih nampak merah penuh darah dan menakutkan sekali. "A-hai, ingatlah, aku Bwee Hong sahabat baikmu. Ingat? Aku bukan musuhmu, aku tidak akan mengganggumu..."

Ia melangkah maju sampai dekat sekali dan tiba-tiba A-hai memandang dengan matanya yang merah, bibirnya berbisik-bisik aneh, penuh keraguan. "Hong-moi... ah, Hong-moi!"

Suaranya seperti orang merintih atau hendak menangis dan tiba-tiba saja kedua lengannya merangkul Bwee Hong. Tentu saja dara ini menjadi kaget dan juga heran. Bagaimana A-hai yang berada dalam keadaan lupa ingatan ini sekarang menyebutnya Hong-moi, seolah-olah teringat akan namanya? Dan pelukan yang mesra itu membuat ia gelagapan dan bingung. Akan tetapi pada saat itu, terdengar bisikan kakaknya melalui Ilmu Coan-im-jip-bit.

"Hayo cepat, tusukkan jarum itu selagi dia lengah. Cepat, antara dua jari di belakang telinga kirinya. Cepat, jangan sampai terlambat dan pembuluhnya pecah" Suara Seng Kun terdengar penuh kekhawatiran.

Teringatlah Bwee Hong akan tugasnya lagi. Iapun pura-pura balas merangkul leher pemuda itu dan setelah meraba-raba, cepat ia menusukkan jarum emas itu di tempat yang tepat.

"Aduhhh!" A-hai mengaduh lirih dan rangkulannya mengendur. Bwee Hong yang takut kalau-kalau pemuda itu mengamuk, cepat melepaskan dirinya dengan hati was-was.

Akan tetapi ternyata A-hai tidak mengamuk dan masih berdiri seperti patung. Akan tetapi kini matanya yang tadinya merah dan liar itu meredup. Perlahan-lahan muka yang merah padam menjadi putih dan bagian-bagian tubuhnya yang lain kembali menjadi merah. Tiga buah tonjolan biru di pelipisnya itupun perlahan-lahan mengempis dan menghilang.

Kemarahan dan keadaan yang tadi membayang di wajahnyapun mulai surut dan perlahan-lahan hilang. Sejenak dia menunduk, kadang-kadang kedua matanya dipejamkan, dan kadang-kadang tubuhnya menggigil sedikit. Akhirnya, keadaannya menjadi tenang, agaknya perobahan yang amat hebat pada dirinya telah berlangsung dengan selamat dan baik.

Tak lama kemudian, A-hai mengangkat mukanya. Wajahnya sudah seperti biasa, wajah yang lembut dan jujur. "Aduh tubuhku dingin sekali!" dan diapun agak menggigil.

Bwee Hong menjadi gembira bukan main. Ingin rasanya ia bersorak kegirangan melihat pemuda itu telah dapat diselamatkan dan tidak terasa lagi kedua matanya menjadi basah saking terharu dan lega rasa hatinya. Ia melangkah dekat dan kini A-hai memandangnya dengan wajah membayangkan keheranan.

"Siapakah engkau, nona?"

Tentu saja Bwee Hong menjadi terkejut bukan main, langkahnya terhenti dan ia menatap wajah A-hai dengan bengong, tak tahu apa yang harus dikatakannya. Pada saat itu, kembali terdengar bisikan kakaknya.

"Awas, dia belum sembuh sama sekali seperti yang kau kira. Dia masih tetap dalam keadaan kumat dan masih berpijak di masa lalunya yang hilang itu. Dia tidak mengenal siapa engkau akan tetapi dia tidak berbahaya lagi, meskipun ilmunya selalu siap untuk dipergunakan. Jarum yang kau tusukkan tadi hanya membuat darah yang berkumpul di kepalanya dapat menyebar lagi ke seluruh tubuh. Sebentar lagi kalau tekanan darahnya sudah normal, dia akan kembali menjadi kawan kita yang lemah dan ketololan itu. Nah, lihat, matanya kini menjadi sayu dan sebentar lagi dia akan mendusin, seperti orang baru bangkit dari tidur. Nah, sekarang inilah tiba saatnya seperti yang kita bicarakan dahulu. Saat-saat dia seperti inilah kita harus dapat mengetahui masa lalunya. Saat seperti inilah di mana dia berada dalam keadaan kumat akan tetapi mudah diajak bicara. Sekarang cobalah, tanyakan siapa dirinya. Cepat sebelum dia kembali lagi dalam keadaannya yang lupa ingatan."

Bwee Hong memberanikan diri dan dara inipun menjura ke arah A-hai seperti orang yang baru saling jumpa. Pemuda itupun berdiri memandangnya dengan terheran-heran. "Saudara, bolehkah aku mengenal namamu?" tanya Bwee Hong dengan suara lembut dan sikap menghormat.

"Apa? Nama? Namaku namaku Thian Hai!"

"Saudara dari perguruan manakah?" Bwee Hong bertanya lagi, jantungnya berdebar tegang karena ia mulai dapat menyingkap tabir rahasia yang menyelimuti diri pemuda aneh ini.

"Aku... aku dari ooohhh ..." Tiba-tiba A-hai terjerembab kedepan. Tentu saja Bwee Hong cepat menyambutnya dengan kedua lengan karena kalau tidak tentu pemuda itu akan terpelanting. A-hai nampak bingung, lalu mengangkat muka memandang. "Ahh..." Dan diapun cepat melepaskan dirinya. "Nona Hong, mana penjahat tadi? Sudah pergikah dia?" Suaranya kembali seperti suara A-hai yang tolol!

Seng Kun dan Bwee Hong saling pandang dan mereka merasa gemas dan mendongkol sekali. Penjahat berbahaya itu lari tunggang-langgang karena dihajar A-hai, dan kini pemuda itu bertanya di mana adanya penjahat itu. Bagaimanapun juga, mereka telah dapat sedikit lebih maju dalam mengungkap tabir rahasia pemuda itu, yalah bahwa nama pemuda yang mereka kenal sebagai A-hai itu adalah Thian Hai. Apa she-nya dan dari mana asalnya belum mereka ketahui.

Malam, itu juga Seng Kun mengajak A-hai dan Bwee Hong untuk meninggalkan rumah penginapan dan melanjutkan perjalanan karena dia khawatir kalau-kalau San-hek-houw datang lagi membawa teman-teman yang lebih banyak dan lebih kuat. Untung malam itu ada bulan menerangi perjalanan mereka. Di tengah perjalanan, Bwee Hong memuji kakaknya.

"Kun-koko, engkau benar-benar pantas menjadi ahli waris sucouw kita Bu-eng Sin-yok-ong. Semua keteranganmu tentang penyakit yang diderita oleh saudara Thian Hai ini cocok semua. Kini tinggal mencari dan melaksanakan cara-cara pengobatannya saja."

"Thian Hai? Siapa yang bernama Thian Hai? Akukah?" A-hai bertanya heran. "Kalau begitu, kalian telah menemukan rahasiaku dan tahu siapa sebenarnya aku?"

"Sabarlah, saudara A-hai. Kami sedang melakukan penyelidikan dan mudah-mudahan kami dapat membantumu untuk menemukan kembali dirimu."

"Kalian sahabat-sahabat baik, sahabat-sahabat baik!" kata A-hai dengan suara terharu dan juga kecewa karena mereka itu ternyata belum dapat menemukan rahasianya.

Mereka berhenti di puncak sebuah bukit dan A-hai menjauhkan diri, berdiri memandang ke depan, ke bawah di mana terhampar pemandangan yang remang-remang karena sinar bulan tidak mungkin dapat memberi penerangan yang jelas.

"Kun-ko, ketika dia tadi kumat, aku melihat ada tiga buah tonjolan biru di pelipis kirinya. Akan tetapi sekarang tidak tampak lagi. Apakah itu?" tanya Bwee Hong. Mereka duduk di atas batu-batu gunung untuk beristirahat.

Mendengar ini, Seng Kun nampak kaget. "Tiga tonjolan biru di pelipis? Benarkah itu? Coba kita periksa. Saudara A-hai, maukah engkau datang ke sini sebentar?"

A-hai yang sedang berdiri melamun itu, terkejut dan menoleh, lalu menghampiri mereka. "Di bawah sana ada dusun. Ah, perutku lapar benar. Kalau saja kita dapat segera ke sana, aku akan memesan ayam panggang!"

Bwee Hong tertawa juga mendengar ucapan ini. "Akupun sudah lapar. Nanti kita lanjutkan perjalanan, akan tetapi di dusun mana ada ayam panggang?"

"Saudara A-hai, aku hendak memeriksa pelipismu sebentar, bolehkah?"

"Pelipisku? Ada apa dengan pelipisku? Tapi, tentu saja boleh!"

Kakak beradik itu lalu memeriksa pelipis kiri A-hai. Kulit pelipis itu kini nampak bersih saja, tidak ada tanda apa-apa. Akan tetapi ketika Seng Kun meraba bagian itu, lapat-lapat dia merasa seperti ada tiga buah benda kecil bulat di bawah kulit.

"Hemmm!" ahli obat muda itu bergumam sambil meraba-raba. "Seperti gumpalan daging mengeras karena memar. Atau kalau tidak, tentu darah yang menggumpal karena terlanggar benda keras, atau eh, ini, satu di antara tiga tonjolan ini persis melintang di pembuluh darah otak depan."

"Mungkinkah benda itu yang menyebabkan penyakitnya?" tanya si adik serius.

"Entahlah, mungkin juga. Aku belum bisa memastikan, harus memeriksanya dengan teliti lebih dulu. Penyakit yang berdekatan dengan otak amatlah berbahaya kalau keliru pengobatannya." Kakak beradik itu lalu termenung, nampak murung.

Melihat ini A-hai menjadi tidak sabar. "Aih, kenapa susah-susah memikirkan penyakitku? Lihat, sinar matahari pagi sudah mulai nampak di sana. Lebih baik kita turun dan mencari dusun untuk sarapan!"

Kakak beradik itu tersenyum dan menyatakan setuju. "Perutku sudah lapar, biar aku jalan dulu, akan kucarikan warung nasi untuk kita!" Dan A-hai lalu berjalan cepat menuruni puncak bukit itu.

"Saudara A-hai, hati-hatilah, masih gelap dan jalannya licin!" Bwee Hong memperingatkan dan bersama kakaknya ia mengejar.

Akan tetapi, sungguh amat mengherankan hati dua orang muda ahli ginkang ini ketika mereka tidak melihat A-hai lagi, tidak mampu menyusul pemuda itu. Jalan menurun itu memang agak sukar dan licin, apa lagi karena mereka belum mengenal jalan itu, dan cuaca masih gelap sehingga mereka harus melangkah hati-hati agar jangan sampai terpeleset masuk jurang. Padahal, A-hai yang berada dalam keadaan biasa itu tidak mempunyai kepandaian apa-apa, jangankan berlari cepat.

Akan tetapi bagaimana kini A-hai dapat meninggalkan mereka? Satu-satunya kemungkinan adalah bahwa pemuda itu telah mengenal baik tempat dan jalan ini. Akan tetapi mana mungkin? Andaikata A-hai pernah mengenalnya pula, tentu sekarang dia telah melupakan jalan itu.

Matahari telah muncul ketika kakak beradik itu menuruni bukit dan mereka terpaksa berhenti karena ada sebuah sungai menghalang perjalanan mereka. Tidak nampak sebuahpun perahu di tempat sunyi itu, juga tidak ada jembatan penyeberang.

"Eh, ke mana dia?" Bwee Hong memandang ke kanan kiri.

"Saudara A-hai!" Seng Kun berteriak. "Di mana engkau?"

Tidak ada jawaban. Tiba-tiba Bwee Hong yang meloncat ke atas batu dan memandang ke seberang sungai berseru, "Heiiii, itu dia! Di seberang sungai!"

Seng Kun memandang dan benar saja. Mereka melihat tubuh A-hai di seberang sungai. Pemuda itu sedang melenggang dengan santainya, menuju ke sebuah dusun yang dapat dilihat dari seberang sini. Seng Kun lalu mengerahkan khikangnya dan berteriak memanggil, "Saudara A-hai!!! Tunggu dulu! Di mana kita harus menyeberang? Apakah memakai perahu? Di mana??"

"Jangan-jangan dia tadi berenang," Bwee Hong berkata dan ia merasa ogah kalau harus berenang menyeberangi sungai itu yang walaupun tidak berapa lebar, akan tetapi airnya berlumpur dan kelihatan dalam.

Teriakan yang menggema karena didorong tenaga khikang itu terdengar oleh A-hai di seberang sana. Dia menoleh, kemudian menggerakkan bahu dan dengan sikap ketololan diapun berjalan kembali ke tepi sungai lalu dia menghilang di balik semak-semak di tepi sungai seberang sana. Sampai lama dia tidak muncul-muncul.

"Eh, eh, ke mana dia? Kenapa malah bersembunyi? Dia menghilang di balik semak-semak. Apakah dia buang air besar?" Bwee Hong mengomel. "Atau ketiduran?"

"Ha-ha, jangan bergurau!" keduanya lalu mendekati tepi sungai dan melongak-longok ke seberang, mencari-cari bayangan A-hai yang belum juga nampak.

Tiba-tiba kakak beradik itu cepat mengggerakkan tubuh membalik ketika mendengar langkah kaki orang dan mereka memandang dengan mata terbelalak ketika melihat bahwa yang datang melangkah itu bukan lain adalah A-hai!

"Ehhh! Ohhh! Bagaimana engkau tadi menyeberang? Kami tidak melihatmu?"

"Hemm, engkau tentu lewat di sebuah terowongan, bukan?" Seng Kun yang cerdik menduga.

A-hai makin bingung, dan sikapnya semakin ketololan ketika dia melihat dua orang yang biasanya cerdik itu kini nampak kebingungan. "Benar.. aku memang lewat di bawah air sungai. Kenapa kalian heran? Memang itulah satu-satunya jalan untuk menyeberang!"

Akan tetapi ucapan itu membuat Seng Kun dan Bwee Hong saling pandang dan menjadi semakin terheran-heran. Apakah A-hai ini sudah benar-benar menjadi gila sekarang, pikir mereka. Tentu saja mereka tidak percaya begitu saja.

"Jangan main-main, saudara A-hai. Katakanlah bagaimana kita dapat menyeberangi sungai ini," kata Bwee Hong.

A-hai mengerutkan alisnya dan menjadi penasaran. "Kalian tidak percaya? Marilah ikut aku!" katanya dan dengan lagak kasar karena penasaran dia menggandeng tangan kedua orang itu dan ditariknya menuju ke balik pohon-pohon lalu nampaklah bahwa di balik semak-semak belukar terdapat sebuah jalan terowongan yang melewati dasar sungai.

Agak gelap di situ sehingga Bwee Hong dan Seng Kun saling berpegangan tangan. Akan tetapi A-hai melangkah seenaknya saja sambil menggandeng tangan Seng Kun dan sebentar saja dia sudah membawa kakak beradik itu menyeberang dan mereka muncul di belakang semak-semak di tepi seberang sana.

Tentu saja Seng Kun dan Bwee Hong merasa heran sekali. Jelaslah bahwa jalan penyeberangan ini bukan jalan umum karena tempatnya tersembunyi dan di mulut terowongan ditumbuhi semak belukar yang liar sehingga menutupi jalan itu.

Seng Kun memandang wajah A-hai dengan penuh perhatian, juga gadis itu memandang kepa-danya penuh selidik. "Saudara A-hai, bagaimanakah engkau bisa mengetahui adanya jalan terowongan menyeberangi sungai ini?"

"Mengetahui?" A-hai menjawab dan tertegun bingung. "Aku... aku tidak mengetahui. Aku tadi berjalan sambil membayangkan panggang ayam yang kupesan nanti di warung dusun. Aku ingin makan sekenyangnya, uangku masih cukup. Aku tidak memikirkan jalan yang kulalui dan tahu-tahu aku masuk terowongan itu dan sampai di seberang. Kenapa sih? Bukankah terowongan itu memang jalan satu-satunya untuk menyeberang? Apakah aku telah salah jalan?"

Ditanya demikian, kakak beradik itu saling pandang dan menjadi bingung sendiri bagaimana harus menjawab. "Sudahlah," kata Seng Kun kepada adiknya. "Mari kita cepat pergi ke dusun di depan untuk mencari sarapan."

"Dusun itu berada di sana! Mari!" kata A-hai dan kembali kakak beradik itu saling pandang dengan heran, akan tetapi tidak berkata sesuatu melainkan mengikuti A-hai yang melangkah tegap menuju ke suatu arah tertentu.

Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah dusun dan biarpun tidak mengeluarkan sebuah katapun, namun ada perobahan terjadi pada wajah A-hai yang tampan. Wajah itu berseri gembira dan diapun membawa dua orang sahabatnya menuju ke sebuah warung.

Dusun itu tidak begitu besar. Rumah-rumahnya berjajar sampai di tepi sungai. Agaknya memang hanya sebuah dusun nelayan. Beberapa bu-ah perahu berjajar di tepi seberang ini dan ada ja-ring-jaring yang sedang dijemur. Beberapa orang nelayan wanita tampak sibuk bekerja. Ada yang menjahit jaring yang robek, ada yang sedang menjemur ikan-ikan hasil tangkapan mereka di halaman rumah masing-masing. Bau amis ikan merangsang hidung. Sebuah dusun nelayan sederhana.

Ketika mereka sedang berjalan, tiba-tiba di ujung jalan itu muncul seorang pendek bertopi lebar keluar dari sebuah kedai minuman. Dia bergegas menuju ke sebuah gerobak pembawa barang yang berdiri di depan sebuah gardu. Cepat Seng Kun menarik tangan adiknya dan A-hai untuk menyelinap ke belakang sebuah rumah.

Melihat ini, A-hai bertanya, "Ada apakah?"

"Ssttt!" Seng Kun memberi tanda dengan telunjuk ditempelkan di bibir, tanda bahwa dia minta kedua orang itu tidak banyak mengeluarkan suara. Kemudian dia mengajak mereka menyelinap dan mengambil jalan memutar mencapai warung yang dimaksudkan oleh A-hai untuk dikunjungi tadi. Di sini mereka duduk di tempat terlindung, akan tetapi dengan bebas mereka dapat melihat ke arah jalan raya di depan.

"Koko, ada apakah? Engkau melihat sesuatu yang mencurigakan?" Bwee Hong bertanya kepada kakaknya.

"Kalian melihat orang yang keluar dari kedai minuman di ujung jalan sana tadi?" dia balas bertanya.

"Ya, tapi kenapa?" Bwee Hong mendesak.

"Apakah engkau tidak mengenalnya? Biarpun dia menyamar seperti itu, aku masih ingat cara dia berjalan dan juga perawakannya. Akupun belum yakin benar, akan tetapi sebaiknya kita berhati-hati. Nah, dia akan lewat di depan sini, mari kita perhatikan."

Tak lama kemudian, lewatlah di depan warung itu sebuah gerobak kecil ditutup rapat dan dihela oleh seekor kuda yang dikusiri oleh seorang laki-laki bertubuh pendek tegap yang berpakaian sederhana, mukanya ditutup caping lebar sehingga yang nampak hanyalah dagunya. Ketika gerobak itu lewat, terciumlah bau yang amis agak busuk, amat memuakkan seperti bau bangkai atau bau ikan asin yang belum jadi.

Bwiee Hong menggeleng kepala ketika gerobak itu sudah lewat. "Siapa dia? Aku tidak mengenalnya. Bukankah dia hanya seorang pedagang ikan asin yang datang ke dusun ini untuk berbelanja ikan asin?"

A-hai juga menggeleng kepala. "Aku tidak mengenal dia!"

Seng Kun menghela napas panjang. "Aku teringat akan seorang yang perawakannya persis orang itu, seorang yang kepandaian silatnya amat tinggi. Gayanya ketika tadi berjalan sama seperti orang itu, ialah Pek-lui-kong Tong Ciak, jagoan Soa-hu-pai, komandan pengawal istana yang li-hai itu! Betapa lihai dia. Pernah aku berkenalan dengan pukulannya yang ampuh. Akan tetapi, aku juga belum yakin bahwa orang tadi adalah Tong-ciangkun yang sesungguhnya. Perlu apa dia menyamar seperti itu? Dan kenapa pula dia berada di sini? Padahal, keadaan di istana sendiri sedang dalam kemelut?"

Mereka menduga-duga akan tetapi tidak menemukan jawaban yang masuk akal sehingga akhirnya Seng Kun terpaksa membuang sangkaannya dan membenarkan pendapat Bwee Hong dan A-hai bahwa orang tadi hanyalah seorang pedagang ikan asin yang kebetulan memiliki bentuk tubuh yang serupa dengan Pek-lui-kong Tong Ciak. Membayangkan kemungkinan ini, Seng Kun mentertawakan kekhawatirannya sendiri.

Pada saat itu, pemilik warung kecil itu mendekati mereka dengan wajah berseri karena sepagi itu sudah ada tamu datang ke warungnya. Warungnya hanyalah sebuah kedai makan yang sederhana dan pagi itu hanya menyediakan bubur, nasi, sedikit sayur kemarin dan ikan asin. Ketika dia menanyakan pesanan mereka, tiba-tiba saja dengan cepat A-hai berkata, "Aku minta ayam panggang satu!"

Mendengar pesanan yang tak masuk akal melihat warung itu hanya sederhana sekali, Bwee Hong dan Seng Kun memandang kepada A-hai dan hendak menegurnya. Akan tetapi pada saat itu, pemilik warung memandang kepada A-hai dan kelihatan terkejut sekali.

"Kongcu!" Dia berseru. "Aih, saya benar-benar linglung, tidak mengenali kongcu. Habis, kongcu berpakaian seperti ini sih! Di mana nona kecil? Tentu sekarang sudah besar, ya? Sudah empat tahun lebih kongcu tidak singgah di sini. Ya, sejak Gu-lojin meninggal dunia."

Bwee Hong dan Seng Kun terkejut dan memandang heran, akan tetapi yang lebih heran dan bingung lagi adalah A-hai sendiri. Dia memandang dengan alis berkerut, akan tetapi sedikitpun dia tidak mengenal orang itu. Jantungnya berdebar keras dan dengan hati tegang dia bangkit berdiri, tangannya menyambar baju pemilik warung itu dan dengan gemetar dia berseru,

"Engkau engkau mengenal siapa aku? Ah, cepat katakan! Siapakah aku ini? Siapa pula nona kecil yang kauta-nyakan itu?"

Si pemilik warung menjadi pucat dan ketakutan. Apa lagi karena cengkeraman tangan A-hai pada bajunya demikian keras dan pemuda yang tegap itu kelihatan melotot dari memandang kepadanya dengan mata berapi-api. "Ahhh, kongcu eh, aku aku mungkin yang salah lihat! Mungkin..."

Beberapa orang yang duduk di dalam warung dan sedang makan bubur, menjadi terkejut melihat adegan itu dan wajah mereka membayangkan rasa hati yang tidak senang. Melihat ini, Seng Kun cepat melerai.

"Sabarlah, saudara A-hai, jangan membuat onar di sini. Kita adalah orang asing di tempat ini. Tenangkah dan mari bicara baik-baik."

A-hai terpaksa melepaskan cengkeramannya dan dengan wajah agak pucat diapun duduk kembali. Bwee Hong lalu memesan makanan nasi, sayur dan ikan asin.

"Tenanglah, saudara A-hai," Seng Kun berbisik. "Sabar saja, nanti setelah makanan dihidangkan, dengan halus kita menanyakan hal itu kepadanya."

Tiga orang tamu pertama telah meninggalkan warung dan kesempatan ini dipergunakan oleh Seng Kun. Ketika pemilik warung datang menghidangkan pesanan mereka, dengan suara halus Seng Kun bertanya, "Paman, tolong ceritakan bagaimana engkau sampai mengenal teman kami ini?"

Kakek pemilik warung itu nampak gugup. Dia menggeleng kepala, memandang kepada A-hai sejenak, lalu menggeleng kepala lagi. "Tidak, saya tidak mengenalnya. Maaf, saya tadi telah salah lihat, maaf..."

"Sungguh, paman, kami tidak apa-apa. Kami hanya ingin tahu siapa yang paman sebut kongcu tadi. Kami tidak bermaksud buruk, paman." Bwee Hong ikut membujuk dengan suara yang halus.

Melihat sikap gadis ini, hati si pemilik warung agak berani dan kalau tadi dia tidak berani bicara adalah karena sikap A-hai yang kasar. Maka diapun berceritalah. "Saya memang mengenal seorang kongcu yang wajahnya mirip sekali dengan tuan ini. Saya tidak tahu nama lengkapnya, kami hanya menyebut dia Souw-kongcu saja. Juga kami tidak mengenal nama lengkap dari Gu-lojin yang sering dikunjungi oleh Souw-kongcu.

"Dia selalu singgah di warung kami ini apabila mengunjungi Gu-lojin yang berdiam di tengah hutan itu. Dan Souw-kongcu itu kalau singgah ke sini tentu selalu memesan ayam panggang! Sebenarnya kami tidak menjualnya, akan tetapi khusus untuk dia, saya tentu menyembelihkan ayam kami sendiri. Dan dia ini eh, maksud saya beliau itu sering pula mengajak puterinya yang mungil ehh...!"

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.