Darah Pendekar Jilid 24

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Darah Pendekar Jilid 24
Sonny Ogawa

Darah Pendekar Jilid 24 karya Kho Ping Hoo - TUKANG warung itu menghentikan ceritanya karena terkejut melihat betapa tiga orang pendengarnya itu tersentak. A-hai terkejut sekali karena merasa ada sesuatu menyentuh perasaan hatinya ketika pemilik warung itu menyebut tentang seorang gadis kecil. Mungkinkah aku sudah mempunyai anak, pikirnya dengan keras.

Novel silat Darah Pendekar karya Kho Ping Hoo

Sementara itu, Bwee Hong merasa kaget dan seperti ada sesuatu yang hilang ketika mendengar bahwa yang disebut kongcu itu telah mempunyai seorang puteri. Dengan wajah agak berobah pucat ia memandang kepada A-hai yang nampak termangu-mangu dan seperti orang yang berusaha mengingat-ingat sesuatu dengan sia-sia. Seng Kun sendiri termangu-mangu dan penuh dugaan, akan tetapi jelas bahwa dia merasa sangat tertarik.

Tiba-tiba A-hai menggebrak meja dan menangis tersedu-sedu, menelungkupkan mukanya di atas meja. "A-hai.... engkau manusia gila! Siapakah sebenarnya diriku ini?"

Kakak beradik itu merasa terharu sekali dan dari kanan kiri mereka merangkul pundak A-hai. "Saudara A-hai, harap jangan khawatir. Kami akan membantumu menyelidiki segala sesuatu tentang dirimu. Tenanglah, siapa tahu kita akan dapat membuka tabir rahasiamu di tempat ini."

Setelah dibujuk oleh kakak beradik itu, A-hai berhenti menangis, mengusap air matanya dengan kedua kepalan tangannya dan diapun tersenyum masam, "Terima kasih, kalian sungguh amat baik kepadaku!"

Seng Kun lalu berkata kepada pemilik warung itu, suaranya membujuk, "Paman, kami bertiga sungguh tidak ingin menyusahkan paman dan kami tidak mempunyai niat buruk. Akan tetapi, terus terang saja kami merasa amat tertarik akan cerita paman tentang kongcu itu, dan juga tentang Gu-lojin. Kami tentu akan mtemberi imbalan jasa kepadamu kalau engkau suka menceritakan sejujurnya kepada kami tentang kongcu itu, dan tentang Gu-lojin. Ceritakanlah, paman, apakah kongcu itu sering membawa teman kalau dia sedang membeli makanan di sini?"

Pemilik warung itu menggeleng kepala. "Souw-kongcu tidak pernah membawa teman maupun pengawal. Dia sakti bukan main. Lihat, saya mempunyai pedang eh, golok besar peninggalan Souw-kongcu."

Pemilik warung itu berlari ke dalam dan tak lama kemudian dia sudah kem-bali lagi sambil membawa sebuah golok yang tebal dan besar, kelihatan berat sekali dan golok itu dibawanya dengan kedua tangannya. Seng Kun bertiga segera melihat dan memeriksa golok itu. Golok itu tebalnya hampir dua senti, dan di bagian tengah somplak seperti terkena pukulan benda keras.

Ketika Bwee Hong memeriksa lebih teliti, ia terkejut sekali. Gadis itu melihat betapa di tempat yang somplak dari golok itu terdapat tiga buah lubang dan susunan lubang itu persis seperti tiga buah tonjolan yang terdapat di pelipis kiri A-hai, yaitu berbentuk segi tiga!

"Tolong kau ceritakan tentang golok ini, paman." Seng Kun membujuk pemilik warung itu.

"Golok besar ini milik seorang bajak sungai yang mampir di dusun ini, dan kebetulan dia memasuki warung saya. Pada saat itu, kebetulan pula Souw-kongcu sedang berada di sini menikmati eh, ayam panggangnya." Dia melirik ke arah A-hai dengan takut-takut, dan pada saat itu A-hai juga sedang menghadapi pesanannya tadi, yaitu panggang ayam! "Bajak sungai membuat onar di sini. Souw-kongcu menjadi marah dan mereka berkelahi. Akan tetapi baru segebrakan saja, bajak itu tewas! Golok besarnya yang dipakai menangkis jari-jari tangan Souw-kongcu somplak dan jari-jari itu tetap mengenai pelipis bajak sungai sehingga roboh dan tewas seketika."

Tiga orang itu mendengarkan dengan penuh takjub. Bwee Hong saling berpandangan dengan kakaknya. "Jari tangan? Jadi ini bekas jari tangan?" Ia menunjuk ke arah lubang-lubang pada golok itu dan melirik ke arah pelipis A-hai.

Keduanya mulai mengerti sekarang. Mereka berdua melihat betapa susunan bekas jari tangan pada go-lok itu sama benar dengan susunan tiga tonjolan pada pelipis A-hai. Dan bekas-bekas jari itu tentu merupakan semacam ilmu menotok yang amat ampuh dan kuat. Entah ilmu totok apa dan dari perguruan mana mereka tidak mengenalnya dan tidak dapat menduganya. Akan tetapi mereka merasa yakin bahwa antara A-hai dan perguruan itu tentu ada hubungannya yang dekat, entah sebagai kawan ataukah sebagai lawan.

Seng Kun mengerutkan alisnya. Dia sejak tadi mengingat-ingat, perguruan mana yang memiliki ilmu menotok tiga jari yang bekasnya merupakan bentuk segi tiga seperti itu, akan tetapi dia tidak ingat, atau juga mungkin belum pernah mendengarnya. Tiba-tiba dia bangkit berdiri. Mereka sudah selesai makan karena tadi mereka bicara sambil makan. "Paman, tolong kau tunjukkan di mana rumah Gu-lojin itu."

"Benar, paman. Bantulah kami. Kalau tidak ada yang menjaga, tutup sebentar warungmu ini dan kami akan memberi kerugian kepadamu," sambung Bwee Hong dengan sikap manis.

Kakek pemilik warung itu mempunyai seorang pembantu, maka setelah memesan kepada pembantunya, diapun lalu mengantar tiga orang tamunya pergi ke hutan tak jauh dari dusun itu. "Biarlah saya mengantar sam-wi, bukan karena upahnya melainkan mengingat bahwa mendiang Gu-lojin adalah seorang yang amat baik, sedangkan Souw-kongcu amat ramah dan dermawan. Rumah mendiang Gu-lojin itu tidak jauh dari sini, beliau tinggal seorang diri dan kesukaannya adalah melukis. Marilah!"

Memang benar keterangan kakek itu. Hutan itu tidak jauh letaknya dari dusun dan di tengah hutan itu terdapat sebuah rumah yang sudah rusak karena tidak terawat. Gentengnya banyak yang pecah dan bocor. Pintunya sudah miring hampir roboh dan dinding rumah itupun banyak yang pecah karena diterjang akar-akar pohon yang menutupi rumah itu.

Seng Kun dan adiknya yang sejak tadi diam-diam memperhatikan A-hai, melihat sesuatu yang aneh pada diri orang muda ini. Begitu memasuki hutan, A-hai berjalan seperti dengan sendirinya menuju ke rumah itu dan setiba di situ, seperti orang gila A-hai lari ke sana-sini mengitari rumah, seperti orang yang sedang mencari-cari sesuatu. Seng Kun menyentuh lengan adiknya dan memberi isyarat agar membiarkan saja apapun yang akan dilakukan oleh A-hai.

A-hai memasuki rumah itu dan tak lama kemudian diapun keluar dari kamar belakang dan tangannya membawa sebuah boneka dari batu giok yang amat indah. Ukiran pada boneka itu amat halus dan ternyata boneka itu adalah patung seorang puteri bangsawan istana dengan rambut disanggul tinggi. Cantik bukan main boneka itu dan kakak beradik itu diam-diam amat mengaguminya karena boneka itu terbuat dari pada batu giok hijau yang jernih warnanya.

Tanpa berkata-kata, A-hai memberikan boneka itu kepada Bwee Hong yang menerimanya dan memeriksanya bersama Seng Kun. "Koko, boneka giok ini merupakan benda yang tak ternilai harganya. Eh ada tulisan di bawah alas kakinya. Coba lihat, ukiran tulisannya kecil-kecil namun jelas."

"Bagaimana bunyinya?" tanya Seng Kun.

"Hadiah ulang tahun untuk puteriku Lian Cu." Bwee Hong membaca.

Tiba-tiba A-hai kembali lari ke sana-sini mencari sesuatu. Dia berhenti di depan sebuah batu nisan yang hampir terpendam di bawah tanah. Melihat pemuda itu mengamati batu nisan seperti orang linglung, si pemilik warung mendekatinya.

"Ini adalah makam aduhhh!" Belum habis kata-katanya...

..... ADA YANG HILANG .....

.... A-hai melepaskan si pemilik warung dan diapun duduk di atas tanah, di depan tanah kuburan itu dan menutupi mukanya.

"Saudara Seng Kun, nona Hong, cepatlah kalian beri tahu padaku akan asal-usulku. Siapakah sebenarnya aku ini? Siapakah bocah perempuan kecil itu? Jangan-jangan ia benar-benar anakku. Lihat boneka itu, aku seperti telah mengenalnya dengan baik. Benarkah aku adalah Souw-kongcu itu, seperti yang dikatakan oleh pemilik warung ini? Aihh, kenapa Gu-lojin ini juga sudah mati sehingga kita tidak dapat bertanya kepadanya?" A-hai kelihatan amat berduka memandang ke arah batu nisan.

Melihat keadaan A-hai dan mendengar ratapannya, hati Bwee Hong tergerak dan tanpa disadarinya lagi iapun menghampiri orang muda itu, duduk di dekatnya dan membujuknya. Bwee Hong merasa iba hati melihat A-hai, biarpun ia merasa betapa di dalam hatinya terdapat suatu kegetiran. Hatinya tergores setelah ia menduga bahwa besar kemungkinan A-hai adalah Souw-kongcu yang telah mempunyai seorang puteri. Di luar kesadarannya sendiri, dara yang cantik jelita ini telah jatuh hati kepada A-hai!

"Saudara A-hai, janganlah terlalu berduka. Percayalah, aku akan membantumu untuk menyelidiki rahasia tentang dirimu, percayalah!" kata gadis itu dengan suara halus dan menggetar penuh perasaan.

A-hai yang sedang hanyut dalam kedukaan, begitu ada uluran tangan, tanpa sadar diapun menangkap tangan yang kecil mungil itu dan menggenggamnya dengan erat. Gerakan ini membuat Bwee Hong hampir tak dapat menahan air matanya dan sejenak ia membiarkan tangannya digenggam pemuda itu sebelum dengan halus ia menariknya dan iapun duduk berdekatan dengan A-hai.

Melihat keadaan mereka ini, diam-diam Seng Kun menjadi prihatin dan serba salah. "Apakah ini tanda bahwa adikku jatuh cinta kepadanya? Aih, kalau begitu, sungguh kasihan sekali Hong-moi."

Ketika kakak beradik itu mengajak A-hai kembali ke dusun karena matahari telah condong ke barat, A-hai menolak keras. "Tidak, aku akan tinggal di sini dan bermalam di sini. Biarpun aku sendiri tidak ingat dan tidak tahu, akan tetapi aku merasa bahwa aku dekat sekali dengan tempat ini. Kalian berdua pulanglah ke dusun dan biarkan aku sendiri malam ini tidur di sini," katanya berkeras.

Akan tetapi kakak beradik itu, terutama sekali Bwee Hong, tidak tega membiarkan A-hai tinggal di situ seorang diri. Mereka khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu menimpa diri pemuda yang masih kehilangan ingatannya itu. Maka mereka lalu menyuruh si pemilik warung pulang ke dusun terlebih dahulu dan mereka hendak menemani A-hai bermalam di rumah tua itu.

Seng Kun dan Bwee Hong membiarkan A-hai yang masih duduk termenung di depan batu nisan kuburan. Mereka lalu memasuki rumah, membersihkan ruangan yang tidak bocor untuk dipakai beristirahat malam nanti.

"Bagaimana pendapatmu tentang A-hai, Hong-moi?" tanya Seng Kun ketika mereka sedang sibuk bekerja membersihkan ruangan itu.

"Koko, agaknya kita telah sampai pada ujung dari tabir rahasia kehidupan masa lalunya. Aku yakin bahwa tidak lama lagi kita akan dapat memberi tahu kepadanya siapa sebenarnya dia. Penyelidikan itu dapat kita mulai dari tempat ini, yang kita temukan secara kebetulan sekali."

"Maksudmu?" Seng Kun menegas.

"Engkau tentu ingat betapa secara tidak sengaja dia menemukan terowongan di bawah sungai itu, kemudian ketika dia memesan ayam panggang dan ketika dia menemukan boneka giok tadi? Pada saat-saat itu dia hanya dibimbing oleh nalurinya saja. Dia tidak mempergunakan akal dan pikiran, tidak mempergunakan otak. Mungkin kalau pada saat dia hendak menyeberangi sungai dia tidak membayangkan ayam panggang, dia akan kebingungan dan tidak tahu bagaimana harus menyeberang. Karena dia melamunkan ayam panggang, maka nalurinya yang menuntunnya pergi ke tempat terowongan itu. Seperti halnya kalau kita pulang ke rumah sendiri, kita tidak usah harus berpikir lagi ke mana kita akan berbelok. Gerakan kaki kita seperti terjadi dengan sendirinya."

"Engkau benar," Seng Kun mengangguk. "Dan itu berarti bahwa tempat-tempat ini sudah sangat dikenalnya dahulu. Tempat dan suasana itulah yang membuat dia tiba-tiba menginginkan ayam panggang pada saat perutnya terasa lapar, secara otomatis dia menginginkan ayam panggang yang dipesannya di warung itu, dan otomatis pula merabawa kakinya menuju ke terowongan. Dan karena dia mengenal baik tempat ini pula maka nalurinya menuntunnya menemukan boneka dan batu nisan."

"Koko, itu berarti bahwa A-hai adalah Souw-kongcu itu, bukan? Souw-kongcu yang sudah punya isteri dan anak?" Dalam pertanyaan ini terkandung suara yang getir.

Seng Kun dapat merasakan hal ini, akan tetapi diapun terpaksa mengangguk membenarkan. "Kurasa demikian. Kini kita tinggal melanjutkan penyelidikan kita. Siapakah Souw-kongcu itu? Tokoh dari mana?"

"Hemm, menurut penuturan pemilik warung, tentu dia itu seorang pendekar yang lihai sekali dan bekas tangannya masih nampak pada golok itu."

"Akan tetapi kalau benar dia itu Souw-kongcu yang lihai itu, kenapa justeru pelipisnya sendiri terluka oleh totokan tiga jari yang hebat itu? Adikku, kita harus menyelidiki lebih teliti sebelum mengambil kesimpulan. Belum tentu dia itu Souw-kongcu yang pandai menotok tiga jari dalam bentuk segi tiga. Mungkin A-hai ini kakak atau adiknya, atau sanak keluarganya yang mempunyai wajah mirip sehingga penjaga warung itu mengenalnya."

Mendengar ucapan ini, tentu saja timbul lagi harapan di dalam hati Bwee Hong dan wajahnya nampak berseri. Hal ini tidak terlepas dari pengamatan Seng Kun dan kakak ini menarik napas panjang. Benar-benar ia sudah jatuh cinta, pikirnya.

Pada saat itu A-hai melangkah masuk dan membantu mereka membersihkan ruangan itu. Setelah selesai, mereka duduk di atas lantai yang sudah bersih. "Saudara A-hai, tempat ini sepi dan tenang. Bagaimana kalau kami mulai memeriksa penyakirmu?" kata Seng Kun.

A-hai mengangguk. "Silahkan."

Seng Kun, dibantu oleh adiknya, lalu mulai melakukan pemeriksaan. Mula-mula dia memeriksa mata, lalu lidah dan tenggorokan, dan dengan amat teliti dia memeriksa denyut nadi kedua pergelangan tangan A-hai. Di dalam pengobatan tradisionil Tiongkok, pemeriksaan lewat denyut nadi merupakan bagian yang terpenting.

Seorang yang sudah ahli benar, dapat merasakan gejala-gejala macam penyakit lewat denyut urat nadi itu. Setelah melakukan pemeriksaan dengan teliti, makin yakinlah hati kakak dan adik itu bahwa sumber penyakit yang menghilangkan ingatan A-hai terletak pada kekacauan jalan darah di kepala! Maka Seng Kun lalu langsung memeriksa pelipis kiri.

Seng Kun meraba-raba pelipis itu, kemudian menggunakan jarum perak menoreh kulit di sekitar benjolan-benjolan itu. Darah menetes dan dia memperhatikan tetesan darah yang keluar, kemudian menyuruh Bwee Hong memeriksa darah itu dengan seksama. Akhirnya, setelah memeriksa dengan teliti, Seng Kun menarik napas panjang.

"Saudara A-hai, benjolan-benjolan di pelipismu ini adalah akibat terkena ilmu totok urat yang amat hebat. Melihat bekas dan akibat totokan ini, aku mempunyai dugaan bahwa ilmu itu adalah semacam Sam-ci Tiam-hwe-louw (Ilmu Totok Tiga Jari) yang luar biasa ampuhnya dan yang memang khusus untuk menotok urat-urat kematian.

"Akan tetapi entah karena ilmu kepandaian si penotok itu yang belum sempurna ataukah karena ilmu kepandaianmu yang lebih unggul dari padanya, akibat dari totokan itu tidak sampai menewaskanmu, melainkan hanya mengakibatkan memar di urat jalan darah yang tertotok. Memar itu menyebabkan darah matang menyumbat hiat-to (jalan darah) yang menuju ke otak tidak mendapatkan aliran darah yang wajar seperti biasanya. Tentu saja hal ini membuat otak tidak dapat bekerja dengan baik.

"Masih untung bahwa totokan itu hanya mengakibatkan tersumbatnya jalan darah menuju ke bagian otak yang depan saja sehingga engkau masih mampu berpikir walaupun sebagian lagi telah tidak bekerja sehingga engkau tidak ingat akan masa lalumu. Kalau totokan itu mengakibatkan tersumbatnya jalan darah ke semua bagian dari otak, engkau akan hidup seperti seorang bayi yang tidak pernah mengetahui apa-apa!"

Mendengar keterangan terperinci ini, Bwee Hong merasa bulu tengkuknya meremang. "Akan tetapi, koko. Kenapa pada waktu kumat, dia memperoleh kembali ingatan-ingatannya walaupun hanya sebagian saja?"

Kakaknya mengangguk-angguk. "Mudah diperkirakan, Hong-moi. Engkau pernah mengatakan bahwa manusia mempunyai naluri. Nah, aku yakin bahwa ada suatu peristiwa yang sangat berpengaruh atas naluri saudara A-hai pernah terjadi di masa lalunya. Kita tidak tahu persis apa adanya peristiwa itu, akan tetapi mudah diperkirakan bahwa peristiwa itu ada hubungannya dengan darah manusia. Maka apa bila dia melihat genangan darah, otomatis terjadilah guncangan hebat pada batinnya.

"Nah, akibat guncangan batin yang hebat inilah maka jantungnya bekerja beberapa kali lebih keras dari biasanya. Dan karena jantung bekerja keras, tentu saja tekanan aliran darah menjadi sedemikian kuatnya sehingga darah dapat juga sedikit menembus sumbatan itu dan dapat mengalir ke otak yang kering itu, biarpun hanya dengan sukar sekali.

"Dengan demikian, untuk saat-saat itu otak yang membeku dapat bekerja kembali wa-laupun belum sempurna benar. Dan setelah pe-ngaruh guncangan itu habis, maka berhenti pula aliran darah itu. Engkau tadi melihat, ketika aku menusukkan jarum di bagian atas dan bawah benjolkan, aliran darahnya berbeda-beda, ada yang tetesannya cukup deras ada pula yang sama sekali tidak keluar?"

Bwee Hong mengangguk-angguk kagum sedangkan A-hai hanya mendengarkan dengan bengong saja. "Kun-ko, engkau sungguh hebat. Keteranganmu dapat menjelaskan persoalannya. Lalu mengapa apa bila saudara A-hai sedang kumat dia melupakan semua orang? Termasuk juga kita?"

Seng Kun tersenyum. "Aku sudah memperhatikan hal itu. Lihatlah satu tonjolan ini tidak berada di dalam urat, akan tetapi mengenai bagian di luar urat. Inilah yang menyelamatkan saudara A-hai, selamat dari kelumpuhan total dari otaknya. Akan tetapi tonjolan ini justeru terletak dalam kumpulan otot-otot pelipis dan rahang. Dengan demikian, apa bila otot-otot itu mengejang karena saudara A-hai sedang marah, tonjolan itu malah mendesak dan menghimpit urat di dekatnya dengan otomatis. Dengan demikian, maka bagian yang normal dari otak itulah yang justeru tidak kebagian darah karena himpitan itu. Mengertikah engkau?"

Bwee Hong mengangguk. "Akan tetapi, lalu bagaimanakah agar supaya aliran darah ke otak itu dapat terbuka kembali semuanya sehingga otak dapat bekerja kembali dengan wajar?"

"Inilah yang harus kita kerjakan, yaitu berusaha menghilangkan sumbatan-sumbatan itu. Akan tetapi hal ini tidaklah mudah. Darah yang mengental itu sudah sedemikian kerasnya sehingga aku khawatir kekuatan obat saja tidak akan mampu mencairkannya kembali. Padahal kalau kita menghilangkannya dengan pembedahan, berarti kita akan merusak pembuluh darah dan ini berbahaya sekali. Satu-satunya cara ialah membuat lubang darurat di bagian darah yang mengental itu.

"Akan tetapi cara seperti itu bukan merupakan pengobatan yang sekaligus dapat menyembuhkan. Setiap setahun sekali, harus dibuat lagi lubang baru karena lubang yang lama itu lambat laun akan tertutup lagi oleh darah. Dan itu berarti saudara A-hai ini akan selalu tergantung kepada kita yang harus membuatkan lubang darurat baru setiap tahun. Nah, sekarang terserah kepada saudara A-hai sendiri."

"Saudara Seng Kun dan nona Hong! Lakukanlah sesuka hati kalian terhadap diriku. Aku menyerah sepenuhnya kepada kalian. Pokoknya aku bisa tahu siapa sebenarnya aku ini!"

Seng Kun mengangguk girang. Sebagai seorang ahli pengpbatan, tentu saja menghadapi seorang dengan gangguan penyakit seperti A-hai ini dia merasa ditantang dan dia akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menanggulangi dan mengalah-kan penyakit itu. Dan kalau A-hai bersikap pasrah, maka hal itu sudah merupakan bantuan yang amat besar artinya bagi pengobatannya.

"Baiklah kalau begitu. Akan tetapi sebelum membuat lubang pada bagian darah kental yang menyumbat jalan darah itu, lebih dahulu aku akan membedah dan mengambil gumpalan darah yang berada di luar jalan darah, yang menghalang di kumpulan otot pelipis itu. Hal ini untuk mencegah agar otak yang normal tidak tertutup lagi jalan darahnya sewaktu engkau marah atau dalam keadaan kumat. Nah, Hong-moi, siapkan alatnya dan mari kita bekerja!"

A-hai disuruh rebah miring ke kanan sehingga pelipis kirinya berada di atas. Dengan dibantu adiknya, Seng Kun duduk bersila di dekatnya, dengan teliti mengamati ketika Bwee Hong mempergunakan jarum-jarumnya untuk menusuk beberapa jalan darah di tengkuk dan pundak. Tusukan-tusukan ini untuk menghilangkan rasa perih dan nyeri ketika pembedahan dilakukan. Kemudian mulailah Seng Kun mengerjakan pisaunya yang tajam.

Karena pembedahan itu hanya kecil dan sederhana saja, hanya harus dilakukan dengan amat teliti dan hati-hati agar jangan sampai merusak jaringan darah, tak lama kemudian gumpalan darah kental itu dapat dikeluarkan. A-hai tidak merasa sakit, dan baru setelah luka itu dijahit dan diobati, kemudian jarum-jarum yang menusuk beberapa bagian badan itu diambil, dia merasa betapa pelipisnya agak perih.

"Nah, saudara A-hai, mulai saat ini, biarpun engkau sedang kumat, engkau akan tetap mengenal siapa saja yang pernah kau kenal, termasuk kami," kata Seng Kun.

"Terima kasih, sungguh kalian selain pandai, juga amat berbudi," A-hai berkata dengan terharu.

Sementara itu, malampun tiba. Ruangan itu mulai gelap. Bwee Hong menyalakan lilin membuat penerangan. Kemudian mereka bertiga makan roti kering yang dibawa sebagai bekal oleh gadis itu. Ketika Bwee Hong melihat betapa A-hai mengunyah roti itu dengan kaku, iapun tertawa.

"Saudara A-hai, untuk beberapa hari jahitan di pelipismu itu akan sedikit mengganggu apa bila engkau sedang makan."

"Ah, tidak apa. Yang penting kini sebagian penyakit lupaku sudah hilang. Saudara Seng Kun, kapankah lubang di pembuluh darah itu akan dibuat? Aku sudah tidak sabar lagi menanti."

"Hemm, saudara A-hai, jangan tergesa-gesa. Pembuatan lubang itu tidak boleh sembarangan. Harus dilakukan sedikit demi sedikit, setiap kali mau tidur malam. Kalau dibuat secara mendadak, besar bahayanya darah yang mengalir ke dalam otak terlalu banyak dan tiba-tiba itu akan mendatangkan guncangan. Jalan darah yang tersumbat itu seakan-akan air dibendung. Kalau bendungan itu dibuka secara tiba-tiba dan sekaligus, tentu akan terjadi banjir yang akan merusak saluran. Demikian pula dengan jalan darah itu, yang semula tersumbat sampai sekian lama, kalau dibuka seka-ligus, ada bahayanya darah yang membanjir itu selain merusak jalan darah, juga dapat menimbulkan guncangan pada otak. Kesembuhan itu harus terjadi setahap demi setahap dan memerlukan kesabaran."

"Wah, kalau begitu, berapa kalikah aku harus mengalami tusukan jarummu untuk membuat lubang itu?"

"Tidak terlalu banyak, kukira tidak lebih dari sepuluh kali tusukan atau sepuluh hari saja. Tidak terlalu lama, bukan?"

"Kalau begitu, kuharap engkau suka mulai sekarang juga, lebih cepat lebih baik bagiku."

"Akan tetapi baru saja engkau mengalami pembedahan" Bwee Hong mencela.

"Tidak mengapa! Aku sudah tidak merasakan nyeri lagi, nona."

"Baiklah kalau begitu, saudara A-hai. Nah, engkau rebahlah lagi seperti tadi. Akan tetapi sekali ini, sehabis penusukan pertama, engkau harus tidur dan banyak istirahat, tidak boleh banyak bergerak."

A-hai mengangguk dan dengmi penuh sema-ngat diapun merebahkan diri. Seng Kun menotok jalan darah di kedua pundak dan punggung sedangkan Bwee Hong lalu menusukkan jarum-jarumnya di sekitar pelipis. A-hai segera tertidur pulas oleh totokan-totokan dan tusukan jarum-jarum itu. Dengan hati-hati Seng Kun lalu mempersiapkan jarumnya. Lebih dulu dia duduk melakukan siulian dan mengheningkan pikiran, kemudian mengumpulkan hawa murni disalurkan di kedua lengannya. Barulah dia berani melakukan penusukan itu.

Kedua tangannya bergerak mantap, jari-jari tangannya tidak gemetar dan sepasang matanya memandang tajam, setiap gerakan dilakukan dengan tepat. Dia tahu betapa berbahayanya pekerjaan yang dilakukannya itu. Sedikit saja meleset atau salah, ada bahaya nyawa A-hai akan melayang! Dia harus dapat menancapkan jarumnya mengenai sasaran, yaitu gumpalan darah itu, jangan sampai merusak pembuluh darah dan jangan sampai mengenai jalan darah lain walaupun yang kecil sekali.

Beberapa kali tusukannya masih belum menghasilkan apa-apa. Darah masih belum menetes keluar. Dia mulai berkeringat, bahkan Bwee Hong yang melayaninya juga mengeluarkan peluh dingin karena dara inipun tahu akan besarnya bahaya yang mengancam nyawa A-hai. Akhirnya, pada tusukan yang kesekian kalinya ketika jarum dicabut, nampak darah hitam sedikit mengalir keluar. Kakak beradik itu merasa sangat puas. Seng Kun menyudahi pekerjaannya.

"Untuk yang pertama kali cukuplah, biar dia tidur nyenyak. Mari kita keluar mencari hawa segar," kata Seng Kun sambil menyeka keringat yang memenuhi dahi dan lehernya.

"Baiklah, koko. Engkau keluarlah lebih dulu. Aku akan membersihkan alat-alat pengobatan kita dan menyimpannya. Nanti aku akan menyusulmu keluar."

Seng Kun mengangguk dan melangkah keluar. Dia tahu bahwa adiknya itu masih belum tega meninggalkan A-hai seorang diri setelah menjalani pengobatan sangat berbahaya itu. Di luar hawanya sangat sejuk. Bulan sepotong yang melayang di antara awan-awan nampak indah sekali. Tanpa disadarinya, Seng Kun melangkah perlahan-lahan menuju ke makam Gu-lojin yang berada tidak jauh dari rumah tua itu.

Akan tetapi ketika dia sudah tiba di dekat makam, mendadak dia menahan langkah kakinya dan matanya terbelalak. Di batu nisan itu nampak seorang laki-laki duduk bersandar, matanya melotot dan lidahnya terjulur keluar. Jelaslah bahwa orang itu sudah mati! Cepat Seng Kun mendekati dan memeriksanya. Kiranya orang itu adalah kakek penjaga warung, dan baru saja mati. Badannya masih hangat dan ketika Seng Kun memeriksa lehernya, dia mengumpat,

"Sungguh kejam pembunuh itu! Seperti iblis! Orang ini mati karena diinjak lehernya. Bekas sepatu kaki penginjak itu masih nampak nyata."

Tiba-tiba Seng Kun meloncat bangkit berdiri dan siap siaga ketika dia mendengar suara ketawa parau dan lantang di dekatnya. Dia cepat menoleh, akan tetapi tidak nampak bayangan orang. Dia mengerutkan alisnya. Tidak mungkin ada iblis tertawa. Tentu suara orang dan dia hampir yakin bahwa suara ketawa itu adalah suara si pembunuh kejam yang mentertawakannya. Dia merasa pena-saran dan marah. Orang sekejam itu pasti bukan orang baik-baik dan harus dilawannya. Maka diapun mencari ke arah suara ketawa yang kini terdengar lagi dari arah sungai.

Akhirnya, di tepi sungai itu, nampak seorang laki-laki pendek gemuk duduk di atas batu, kakinya direndam di air dan mukanya menengadah memandang bulan. Laki-laki ini usianya hampir limapuluh tahun, tubuhnya pendek gemuk dengan perut yang gendut, tangan kirinya memegang sebatang tongkat besar berbentuk alu, yaitu alat penumbuk padi, berwarna putih. Itulah senjata yang berat dan keras, terbuat dari pada baja putih.

Melihat orang ini, hati Seng Kun terkejut. Dia mengenal senjata itu dan dia tahu bahwa dia berhadapan dengan orang ke dua dari Sam-ok, kawan dari San-hek-houw. Inilah Sin-go Mo Kai Ci, Si Buaya Sakti yang menjadi raja di antara bajak-bajak sungai, seorang di antara pembantu-pembantu Raja Kelelawar.

Selagi Seng Kun merasa ragu karena dia belum tahu benar apakah datuk sesat ini yang membunuh kakek pemilik warung, tiba-tiba si gendut pendek itu menoleh kepadanya dan bertanya, "Engkau mencari pembunuh tukang wjarung?"

Tentu saja Seng Kun kaget dan mengangguk karena pertanyaan itu langsung mengenai perasaan hatinya yang sedang bertanya-tanya. Si gendut pendek itu tertawa. Di bawah sinar bulan, perut gendutnya bergerak-gerak naik turun dan karena kini dia sudah bangkit berdiri, dia kelihatan sekali pendeknya.

"Ha-ha-ha-ha, dan engkau akan menemaninya di sana!" Tiba-tiba saja tubuh yang gendut pendek itu meloncat. Demikian cepat gerakannya, sama sekali tidak pantas melihat tubuhnya yang gendut itu dan didahului oleh gulungan sinar putih dari senjatanya, datuk sesat ini telah menyerang Seng Kun. Hebat sekali serangannya itu, mengandung tenaga yang kuat sehingga terdengar suara angin bersiutan menyambar-nyambar.

Seng Kun maklum akan kelihaian lawan, maka diapun melawan sambil mengerahkan tenaganya dan karena dia bertangan kosong, maka dia mengandalkan ginkangnya yang hebat untuk menghindarkan diri dari ancaman senjata alu baja yang berat itu. Biarpun gerakannya amat cepat, namun ternyata Si Buaya Sakti itu lihai bukan main, bahkan dibandingkan dengan San-hek-houw, dia tidak kalah lihai. Serangannya juga bersifat liar dan bahkan dia lebih ulet. Karena bertangan kosong, terpaksa Seng Kun beberapa kali menerima hantaman alu dengan tangkisan lengannya yang membuat dia beberapa kali terpelanting. Lewat tigapuluh jurus lebih, Seng Kun terdesak.

Tiba-tiba terdengar jeritan suara wanita dari dalam rumah tua. Tentu saja hati Seng Kun terkejut dan penuh kekhawatiran. Adiknya berada di dalam rumah tua itu dan yang mengeluarkan jeritan itu tentulah adiknya. Saking kaget dan khawatirnya, dia menoleh dan kesempatan ini di-pergunakan oleh Sin-go Mo Kai Ci untuk mencengkeram pundak Seng Kun dan pemuda itu seke-tika merasa tubuhnya lumpuh tidak mampu bergerak lagi.

"Ha-ha-ha, engkau mendengar jeritan gadis itu? Heh-heh, San-hek-houw tentu sedang memperkosanya. Heh-heh-heh!"

Seng Kun terbelalak dan roboh pingsan mendengar kata-kata keji itu. Si Buaya Sakti tidak perduli, bahkan kelihatan gembira sekali. Dia menyeret tubuh Seng Kun ke arah rumah tua sambil berteriak-teriak.

"Heii, bangsat tua! Sudah selesaikah engkau? Nih, bocah itu telah kuhajar setengah mampus. Kurang ajar engkau! Katamu, ilmu kepandaiannya bukan main hebatnya. Tidak tahunya cuma sebegitu saja!"

Akan tetapi, tidak ada jawaban dari dalam rumah. Si Buaya Sakti melemparkan tubuh Seng Kun ke dekat mayat pemilik warung, lalu dia duduk di atas batu nisan, mulutnya memaki-maki dan menyumpah-nyumpah dengan suaranya yang tinggi melengking seperti suara wanita.

"Hayo, cepatlah! Bandot tua yang tidak tahu diri! Sudah mau masuk lobang kubur masih gemar main perempuan!" Akan tetapi tidak ada suara sedikitpun dari dalam rumah itu, tidak ada sedikitpun jawaban terhadap kata-kata dan ma-kiannya. Hal ini membuat Si Buaya Sakti menjadi semakin uring-uringan dan akhirnya dia merasa penasaran. Bagaimanapun juga, rekannya itu tidak akan berani menghinanya dengan membiarkan dia berteriak-teriak sendirian saja sejak tadi, seperti orang gila.

Dia lalu bangkit berdiri, meludah ke tanah, kemudian menyeringai dan berjalanlah dia menuju ke rumah tua itu. Sambil tersenyum-senyum nakal dia menghampirri jendela dan dengan lagak seorang bocah nakal diapun lalu mengintai ke dalam sambil cengar-cengir. Akan tetapi, matanya terbelalak dan liar mencari-cari. Kamar itu kosong! Tidak nampak ada gerakan orang di situ.

Tubuh yang gendut itu dengan ringannya melayang masuk ruangan itu melalui jendela. Di atas lantai nampak seorang pemuda terlentang dalam keadaan tidur pulas. Di sudut ruangan itu terdapat pakaian si gadis berserakan. Akan tetapi gadis itu sendiri tidak berada di situ. Juga San-hek-houw tidak nampak bayangannya. Ke manakah mereka pergi? Si Buaya Sakti mengepal tinju, mengamang-amangkan tinjunya ke atas lalu mem-banting-banting kakinya yang besar dan pendek itu ke atas lantai sampai rumah itu tergetar.

"Bedebah! Keparat! Bangsat hina! Benar-benar kurang ajar! Teman disuruh berkelahi, sedangkan dia sendiri enak-enak pergi dengan pe-rempuan, bersenang-senang tanpa memperdulikan teman. Tanpa pamit lagi. Keparat, kuhajar engkau nanti!"

Si Buaya Sakti menjadi marah bukan main, tubuhnya meloncat keluar lagi dan dengan beberapa kali loncatan saja dia sudah tiba di depan nisan. Karena dia sedang marah, dia lalu menghampiri tubuh Seng Kun yang terkapar di atas tanah ketika dia melemparkannya tadi dan dengan buas dia lalu menginjak sambil mengerahkan tenaganya ke arah dadanya.

"Krekk! Krekkk!!"

Si Buaya Sakti terkejut bukan main. Korban yang diinjaknya itu lalu disepaknya dan diapun meludahinya. Daun-daun dan ranting-ranting berhamburan dari "tubuh" yang diinjaknya tadi. "Gila! Anjing babi keparat jahanam laknat! Siapa berani mempermainkan Si Buaya Sakti? Siapa yang bosan hidup di dunia ini dan berani main-main dengan aku? Akan kulumatkan ke-palamu, kuhancurkan dadamu!"

Alu baja itu di-amang-amangkannya dan matanya melotot, mencari-cari ke segenap penjuru. Kiranya yang diinjak dadanya tadi hanyalah pakaian yang diisi dengan daun-daun dan ranting-ranting kecil.

"Aku berada di sini!" Suara itu halus dan terdengar perlahan dari atas sebatang pohon tua yang tinggi.

Si Buaya Sakti terkejut dan memandang ke atas. Kiranya di atas sebuah dahan panjang yang tinggi, duduklah seorang kakek bersama dua orang pemuda, seorang di antara dua pemuda itu adalah Seng Kun, pemuda yang tadi dirobohkannya. Kini tiga orang itu melayang turun dengan gerakan yang amat ringan seperti daun-daun kering yang rontok dari dahannya.

Setelah dapat memandang jelas wajah kakek itu, Si Buaya Sakti semakin kaget. Dia mengenal wajah kakek sederhana yang memegang tongkat ini. Beberapa tahun yang lalu, kakek tua renta yang sederhana dan kelihatan lemah ini pernah bertanding ginkang dengan Raja Kelelawar dan bahkan mengalahkan rajanya itu! Tentu saja dia terkejut dan gentar. Dia tahu bahwa kakek ini lihai bukan main. Apa lagi di situ masih ada pula dua orang pemuda yang juga bukan merupakan lawan yang lunak.

Akan tetapi, dia adalah Si Buaya Sakti, pembantu utama dari Raja Kelelawar, dia seorang datuk kaum sesat yang terkenal seba-gai rajanya kaum bajak sungai. Orang seperti dia tentu saja pantang untuk memperlihatkan takut. Sambil mengeluarkan suara gerengan keras diapun memutar alu bajanya dan menyerang ke depan.

"Tranggg!" Bunga api berpijar ketika sebatang pedang menangkis alu baja itu. Kiranya yang menangkis dengan pedang adalah pemuda ke dua yang datang bersama kakek itu. Dia adalah Kwee Tiong Li, pemuda yang pernah menjadi murid pemberontak Chu Siang Yu, dan pernah menjadi ketua Lembah Yangj-ce.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, pemuda ini bertemu dengan kakek Kam Song Ki yang menjadi murid ke tiga dari mendiang Bu-eng Sin-yok-ong. Setelah diselamatkan oleh kakek itu. Kwee Tiong Li yang berjodoh untuk menjadi murid kakek itu lalu ikut bersama kakek itu mempelajari ilmu silat, sehingga dia yang memang tadinya sudah lihai memperoleh kemaiuan yang pesat sekali.

Pemuda yang mukanya agak kemerahan ini mempergunakan pedangnya. Dan setelah mereka berdua saling serang selama limapuluh jurus, harus diakui oleh Si Buaya Sakti bahwa ilmu pedang pemuda ini hebat bukan main, dan kalau dilanjutkan, tentu dia akan celaka.

Apa lagi kalau Seng Kun dan kakek lihai itu maju. Maka, tanpa malu-malu lagi, dia lalu meloncat ke belakang untuk melarikan diri. Kwee Tiong Li tidak mengejarnya, akan tetapi ujung pedangnya sempat menyerempet bahu kiri Si Buaya Sakti sehingga bajunya robek dan berdarah.

Sementara itu, ketika Kwee Tiong Li sedang bertanding melawan Si Buaya Sakti, Seng Kun menengok ke arah rumah tua. Dia maklum bahwa dengan adanya si kakek sakti, tidak perlu dikhawatirkan pemuda itu akan kalah melawan Si Buaya Sakti. Maka diapun meninggalkan tempat itu dan mencari adiknya ke rumah tua. Dengan hati berdebar tegang, Seng Kun memasuki rumah itu, langsung menuju ke dalam ruangan di mana tadi dia meninggalkan A-hai dalam keadaan tidur pulas dan dijaga oleh Bwee Hong.

Akan tetapi, dia hanya melihat A-hai yang masih rebah dan tertidur pulas, sedangkan adiknya sudah tidak nampak lagi. Yang ada hanyalah pakaian adiknya yang berserakan di sudut ruangan. Tentu saja hatinya menjadi pilu dan gelisah. Ke manakah perginya Bwee Hong? Apa yang telah terjadi dengan adiknya?

Ketika dia keluar lagi dari rumah itu, perkelahian antara Kwee Tiong Li dan Si Buaya Sakti sudah berakhir dan penjahat itu sudah kabur entah ke mana. Seng Kun lalu menghampiri kedua orang yang tadi telah menolongnya. Tadi ketika dia dilempar dalam keadaan pingsan oleh Si Buaya Sakti di dekat mayat pemilik warung, dia telah ditolong dan dibawa naik ke atas pohon oleh seorang kakek.

Kemudian seorang pemuda yang datang bersama kakek itu mempergunakan daun dan ranting yang dibungkus pakaian untuk menggantikan tubuhnya. Dengan beberapa kali totokan, diapun sadar dan bebas dari totokan Si Buaya Sakti, dan dengan isyarat, kakek dan pemuda itu menyuruh dia berdiam diri dan mereka menanti sampai Si Buaya Sakti muncul dengan marah-marah dari dalam rumah tua.

"Ji-wi telah menyelamatkan nyawa saya, untuk itu saya menghaturkan banyak terima kasih. Akan tetapi saya telah kehilangan adik perempuan saya yang saya tinggalkan di dalam rumah tua itu. Saya khawatir kalau adik saya menjadi korban kejahatan kaum sesat itu. Mohon bantuan ji-wi untuk menyelamatkan adik saya."

Kakek Kam Song Ki merangkapkan kedua tangan di depan dada lalu menancapkan tongkatnya ke atas tanah. "Siancai, negara sedang dalam kekacauan dan semua penjahat merajalela, seolah-olah semua iblis telah keluar dari neraka untuk mendatangkan onar di permukaan bumi. Kami baru datang dan kebetulan saja dapat menyelamatkanmu, orang muda. Kami tidak tahu ke mana perginya adikmu itu."

"Tadi adik perempuan saya berada di dalam rumah tua. Di tempat ini hanya terdapat sebuah dusun. Kalau ada yang menculiknya, tentu ke dusun itulah dibawanya. Saya akan mencari ke sana!" kata Seng Kun.

"Biarlah kami ikut bersamamu dan sedapat mungkin membantumu," kata pemuda itu. Mereka tidak sempat berkenalan karena Seng Kun sedang berada dalam keadaan gelisah sekali memikirkan keselamatan adiknya. Kalau benar adiknya diserang oleh San-hek-houw, tentu adiknya kalah dan kalau sampai adiknya diculik oleh datuk itu, celakalah!

Merekapun mulai mencari-cari jejak. Karena malam itu hanya diterangi bulan sepotong, maka sukarlah mencari jejak orang dan akhirnya mereka menuju ke dusun dengan mengambil jalan setapak. Dengan teliti Seng Kun berjalan di depan dan di tengah perjalanan ini dia membungkuk dan mengambil sepotong sepatu wanita yang dikenalnya sebagai sepatu Bwee Hong. Tentu saja hatinya menjadi semakin gelisah dan dia mempercepat langkah. Hatinya tegang karena jejak itu telah ditemukan berupa sepatu adiknya. Tentu adiknya telah dilarikan penjahat menuju ke dusun itu.

Dusun itu sepi sekali. Semua rumah telah menutup pintunya rapat-rapat dan di depan rumah-rumah itu tidak dipasangi lampu. Seng Kun men-jadi tidak sabar dan mulailah dia memanggil-manggil nama adiknya. Suaranya bergema di dusun itu, namun tidak terdengar jawaban. Kemudian dia mulai memanggil nama San-hek-houw dengan nada suara marah.

"San-hek-houw, iblis busuk! Keluarlah kalau jantan dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita tewas! Jangan menjadi pengecut hina yang melarikan seorang wanita!"

Namun teriakan-teriakannya inipun tidak ada jawaban. Seng Kun mulai gelisah sekali dan keringat dingin membasahi bajunya. Dia tidak dapat menduga di rumah yang mana iblis itu bersembunyi. Memeriksa ru-mah itu satu demi satu akan memakan waktu dan dia harus cepat-cepat menyelamatkan adiknya. Saking jengkelnya dia mengancam.

"Kubakar semua rumah di sini apa bila engkau tetap sembunyi!!"

Kakek Kam Song Ki menyentuh pundaknya. "Tenanglah, tidak perlu membakar rumah penduduk yang tidak bersalah. Kemarahan hanya akan menyeret kita kepada tindakan yang sesat." Setelah berkata demikian, kakek itu lalu mengerahkan khikangnya ke arah rumah para penduduk dan berteriak, suaranya gemuruh menggetarkan daun-daun pintu dan jendela rumah-rumah itu.

"Saudara-saudara penghuni dusun ini semua. Kami tahu jumlah kalian tidak banyak. Keluarlah kalian semua. Semuanya, tidak boleh ada yang tinggal di dalam! Yang tidak mau keluar, rumahnya akan kami bakar. Cepat!!"

Mendengar seruan yang menggelegar ini, para penghuni ramah dusun itu terkejut dan ketakutan. Satu demi satu merekapun keluarlah dari ramah mereka, menggendong anak-anak yang masih kecil dan menuntun kakek-kakek dan nenek-nenek yang sudah hampir tidak kuat berjalan. Kepala dusun itu sendiri, setelah hilang kagetnya dan meli-hat bahwa tiga orang yang minta mereka semua keluar itu hanyalah seorang kakek dan dua orang pemuda yang nampaknya bukan orang jahat, lalu menghampiri mereka.

"Ada urusan apakah maka sam-wi minta kami semua keluar?" tanya kepala dusun.

"Kami mencari seorang kakek iblis yang melarikan seorang wanita. Mungkin dia bersembunyi di sebuah di antara rumah-rumah dusun ini," kata Seng Kun tak sabar.

Kepala dusun lalu menanyai semua orang akan tetapi mereka semua menjawab bahwa tidak ada kakek iblis bersembunyi di rumah mereka. "Sam-wi mendengar sendiri. Warga dusun kami tidak tahu tentang kakek itu, harap sam-wi mencari saja ke lain tempat," kata kepala dusun dengan bangga karena semua anak buahnya ternyata tidak ada yang melakukan kesalahan.

"Akan tetapi kenapa kalian semua tidak mau membuka pintu seperti ketakutan ketika melihat kedatangan kami?" Seng Kun bertanya penasaran.

"Soalnya sore tadi terjadi kerusuhan di warung makan itu. Dua orang penjahat memaksa pemilik warung untuk menunjukkan di mana rumah Gu-lojin."

Pada saat itu terdengar rintihan orang. Kakek Kam dan dua orang pendekar muda itu cepat meloncat dan mendekat. Ternyata seorang nelayan muda tergolek berlumuran darah di tepi sungai. Tubuh bawahnya masih terbenam ke air, nampaknya dengan susah payah dia baru saja berenang ke tempat itu.

Kepala dusun yang sudah mengejar ke situ segera mengenai nelayan muda ini dan menegur, menanyainya. Akan tetapi nelayan itu hanya mengeluh dan tidak mampu bicara, napasnya memburu. Melihat ini, kakek Kam Song Ki lalu menghampiri dan menggunakan dua buah jari tangannya untuk mengobati nelayan muda itu. Melihat betapa kakek itu menekuk telunjuk dan jari tengah, lalu menggunakan dua jari yang ditekuk itu untuk menjepit urat di bagian tengkuk dan pundak, Seng Kun memandang heran. Itulah ilmu pengobatan dari perguruannya, yaitu cubitan pada otot yang disebut "ning"!

Sebentar saja nelayan itu sadar dan dapat bi cara. "Jahat-jahat perahuku dirampas aku dipukul ahhh..." Dan nelayan itu meringis seperti orang menangis.

Setelah dibujuk, akhirnya nelayan muda itu menceritakan betapa tadi, ketika dia mendayung perahunya hendak pulang, dengan membawa muatan ikan hasil tangkapan yang cukup banyak, dengan hati gembira, dia dipanggil oleh dua orang yang berdiri di tepi sungai. Karena mengira bahwa dua orang itu hendak menumpang perahunya dan hatinya sedang bergembira, diapun minggir. Sungguh ti-dak disangkanya bahwa dua orang itu jahat sekali. Keranjang ikannya yang penuh itu mereka tendang keluar sehingga tumpah ke dalam air, kemudian nelayan itu yang hendak melawan, dipukul sampai tercebur ke dalam sungai dan perahunya dirampas!

"Sungguh mereka jahat..." dia menangis. "Ikan-ikanku dibuang, perahuku dirampas dan aku dipukuli..."

"Bagaimana macamnya kedua orang itu?" Seng Kun bertanya.

"Yang seorang pendek gendut membawa tongkat besar putih, seorang lagi tinggi besar!"

"Tak salah lagi. Merekalah itu!" Seng Kun berseru marah. "Tahukah engkau ke mana mereka pergi?"

Nelayan muda itu menggeleng kepala, akan tetapi karena agaknya dia mengharapkan orang akan mencari dan menghajar kedua penjahat itu dan mendapatkan perahunya, dia berkata, "Ketika aku minggir, mula-mula mereka bertanya kepadaku di mana letaknya dusun Kim-le mungkin mereka ke sana!"

"Mari kita susul ke sana!" kata Seng Kun tak sabar lagi. Dibantu oleh dua orang penolongnya, tak lama kemudian Seng Kun menyewa sebuah perahu dan melakukan pengejaran ke arah dusun Kim-le. Seng Kun sendiri bersama Tiong Li membantu si nelayan mendayung dan biarpun perahu sudah meluncur cepat, tetap saja Seng Kun menganggapnya terlalu lambat dan dia kelihatan gelisah bukan main. Melihat itu, kakek itu menghibur.

"Orang muda, sabarlah. Serahkan saja kesemuanya kepada Thian. Di samping usaha menyelamatkan adikmu, berdoalah saja agar adikmu itu selamat. Dengan membiarkan hati gelisah, hal itu akan mengeruhkan pikiran dan hanya akan membuat tindakanmu menjadi kacau tanpa perhitungan lagi. Jangan membiarkan pikiranmu membayangkan hal-hal buruk menimpa diri adikmu, hal itu hanya akan mengundang datangnya kegelisahan yang tiada gunanya."

Seng Kun tersadar dan dia menjadi lebih tenang. Baru sekarang dia teringat betapa tidak pantasnya sikapnya selama ini. Dua orang ini telah menyelamatkannya dari tangan Si Buaya Sakti, juga kini bahkan membantunya mencari adiknya. Akan tetapi dia sama sekali belum tahu siapa adanya mereka dan tidak pernah menanyakannya!

"Harap ji-wi sudi memaafkan saya yang bersikap tak mengenal budi. Karena gelisah memikirkan adik saya, maka saya belum sempat memperkenalkan diri. Harap ji-wi ketahui bahwa saya bernama Seng Kun, she Bu, dan adik saya itu adalah Bu Bwee Hong. Mohon tanya, siapakah nama locianpwe yang mulia dan juga saudara yang gagah perkasa ini?"

Kakek itu terbelalak memandang wajah Seng Kun, "Engkau she Bu? Dan ginkangmu tadi ketika berlari hemm, orang muda, nama keturunanmu itu mengingatkan aku akan seorang yang bernama Bu Cian..."

Kini Seng Kun yang menjadi terkejut mendengar disebutnya nama itu karena nama itu adalah nama ayah dari ayah angkatnya atau juga paman kakeknya. Bu Kek Siang! "Apakah yang locianpwe maksudkan itu adalah mendiang kakek Bu Cian, si datuk utara?"

"Ha-ha-ha, benar, dia menjadi datuk ahli sinkang dan ahli obat di utara!"

"Locianpwe, beliau itu adalah kakek buyut saya, juga kakek guru!"

"Ehh? Engkau anak siapakah?" Kakek Kam Song Ki terbelalak lagi. "Apakah engkau mengenal Bu Kek Siang?"

"Mendiang Bu Kek Siang adalah ayah angkat saya juga guru saya, juga paman kakek saya."

"Ayah angkat, juga guru, juga paman kakek? Bagaimana ini? Dan sudah mendiang?" kakek itu bertanya secara bertubi-tubi.

"Benar, locianpwe. Ayah angkat saya Bu Kek Siang dan isterinya, telah meninggal dunia. Sejak kecil kami berdua, saya dan adik Bwee Hong, dirawat dan dididik oleh beliau, diaku anak sendiri. Di waktu beliau hendak meninggal dunia, barulah beliau memberi tahu bahwa kami berdua sebenar-nya she Chu dan terhitung cucu keponakan beliau karena mendiang ibu kami adalah keponakan beliau."

"She Chu ?" Tiba-tiba Kwee Tiong Li bertanya. "Saudara Seng Kun, kalau boleh aku bertanya, siapakah nama ayah kandungmu yang she Chu itu?" Tentu saja Tiong Li bertanya demikian karena pada waktu itu, she Chu hanya dimiliki oleh keluarga dekat dari kaisar saja, seperti juga gurunya yang pertama, yaitu pemberontak Chu Siang Yu yang masih keturunan Jenderal Chu yang terkenal berdarah keluarga kaisar pula.

Sebenarnya Seng Kun tidak suka memperkenalkan ayah kandungnya karena dia tidak ingin diketahui bahwa dia masih berdarah bangsawan istana. Akan tetapi mengingat bahwa dua orang itu adalah penolongnya, maka terpaksa dia meng-aku juga, "Ayah kandungku bernama Chu Sin, akan tetapi sekarang telah berganti nama menjadi Bu Hong Tojin."

"Aihhh! Sungguh luar biasa! Pangeran Chu Sin yang kini menjadi kepala kuil di istana? Kiranya engkau masih sanak keluarga atau sedarah dengan bengcu (pemimpin) Chu Siang Yu!" teriak Tiong Li gembira.

"Siancai! Dan akupun sudah mendengar akan kehebatan Pangeran Chu Sin yang menentang istana. Ah, anak baik, tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Bu Kek Siang itu adalah muridku, murid keponakan. Ayahnya, mendiang Bu Cian adalah twa-suhengku."

Seng Kun memandang terbelalak, kemudian menjatuhkan diri berlutut. "Teecu sudah merasa heran ketika susiok-couw tadi menyadarkan nelayan dengan cubitan "ning" dari perguruan teecu. Kiranya susiok-couw adalah kalau teecu tidak salah, kakek Kam Song Ki yang mulia!"

"Ha-ha-ha, kiranya orang sendiri malah. Dan engkau tahu, dia ini, Kwee Tiong Li, adalah muridku dan tadinya menjadi murid dan pembantu utama dari pemberontak Chu Siang Yu yang masih sanakmu juga. Ha-ha, dunia ini sungguh tidak berapa luas!"

Tentu saja Seng Kun merasa girang dan kakek itupun kini makin bersemangat untuk mencari dan menolong Bwee Hong yang ternyata adalah cucu muridnya sendiri. Perahu didayung lebih cepat lagi untuk menuju ke dusun Kini-le, di mana me-reka harapkan akan dapat menyusul dua orang iblis yang melarikan Bwee Hong itu.


Setelah menguburkan mayat wanita yang telah menyelamatkan mereka, Liu Pang dan Pek Lian lalu melanjutkan perjalanan mereka dengan hati-hati. Mereka tidak ingin bertemu dengan musuh yang kini dibantu oleh para datuk sesat. Agar dapat melakukan perjalanan yang aman dan tersembunyi, mereka menyeberangi padang rumput. yang luas dan setelah fajar menyingsing tiba-lah mereka di sebuah lembah bukit.

Tiba-tiba, di pagi hari itu, mereka mendengar suara terompet bersahut-sahutan. Tentu ada perkemahan tentara, pikir Liu Pang yang tidak asing dengan suara terompet seperti itu. Mereka berdua lalu mendaki puncak bukit dan meneliti ke bawah. Si nar matahari pagi memandikan bagian bawah bukit menjadi keemasan dan indah sekali.

Akan tetapi sinar mata kedua orang itu sama sekali tidak dapat merasakan keindahannya karena pandang mata mereka sibuk mencari-cari dan akhirnya mereka menemukan apa yang dicari oleh pandang mata mereka. Ratusan buah, bahkan ribuan kemah bertebaran di balik bukit. Liu Pang memincingkan mata dan berseru gembira, "Ah, itu adalah pasukan kita!"

Tentu saja Pek Lian juga merasa gembira sekali. Dari bendera yang berkibar di puncak tenda iapun dapat mengenal tanda-tanda dari pasukan mereka sendiri. Mereka lalu cepat menuruni bukit dan berlari-lari menuju ke perkemahan itu. Ketika mereka tiba di luar hutan kecil yang seolah-olah menjadi pintu gerbang perkemahan itu, tiba-tiba puluhan batang anak panah menyambar seperti hujan ke arah mereka. Guru dan murid ini cepat mengelak dan mencabut pedang untuk melindungi tubuh dari sambaran anak panah.

Lalu bermunculan belasan orang bersenjata yang segera mengeroyok guru dan murid itu. Liu Pang dari Pek Lian tidak sempat menerangkan siapa keadaan mereka, dan mereka berduapun tahu bahwa para pengeroyok yang terdiri dari pasukan peronda ini adalah perajurit-perajurit baru yang menggabung selagi mereka berdua pergi sehingga tidak mengenal mereka.

"Berhenti!" Tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek dan muncullah seorang perwira muda yang berwajah tampan dan gagah. Para pengeroyok terkejut, membuka jalan dan memberi hormat kepada pemuda itu. Di belakang pemuda tampan ini berjalan seorang pemuda lain yang berpakaian serba putih sederhana.

"Liu-bengcu! Nona Ho!" Pemuda tampan itu berseru. Dia Yap Kim, putera Yap-lojin, pemuda yang bengal itu. Kemudian dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, harap bengcu maafkan, mereka ini adalah bekas pasukan pemerintah yang dibawa oleh Gui-ciangkun yang bergabung dengan kita."

Liu Pang mengangguk-angguk dan tersenyum. "Pantas, mereka sangat tangkas!"

Para perajurit terkejut setengah mati ketika mendengar bahwa dua orang yang mereka keroyok tadi bukan lain adalah Liu-bengcu, pemimpin besar mereka, dan nona Ho yang namanya sudah amat terkenal di antara para anggauta pejuang pendekar itu! Mereka segera minta maaf, dan dengan besar hati Liu Pang berkata,

"Mengapa minta maaf? Tindakan kalian tadi sungguh mengagumkan dan memang demikianlah seharusnya sikap pasukan peronda. Kalau kalian tidak menyerang kami, mungkin aku malah akan menegur kalian!"

Pasukan itu tentu saja merasa girang karena setelah menyerang pemimpin besar itu, mereka tidak mendapat marah, malah menerima pujian. Kedatangan Liu Pang dan Pek Lian disambut dengan amat gembira oleh para pimpinan pasukan. Mereka sudah merasa khawatir sekali akan lenyapnya pemimpin besar itu. Dan kini tahu-tahu muncul bersama Pek Lian yang dalam keadaan selamat pula. Mereka semua berkumpul dan memberi laporan kepada pemimpin besar mereka.

Ternyata gerakan mereka seperti yang sudah mereka rencanakan ketika menghadapi pasukan besar Lai-goanswe itu berhasil dengan baik sesuai dengan siasat mereka. Kota kecil berhasil diduduki dan pasukan besar Jenderal Lai dihadang oleh pasukan inti dari Liu Pang yang dipimpin oleh para pendekar Thian-kiam-pang. Pasukan Lai-goanswe dapat dipukul kocar-kacir, sebagian melarikan diri, dan sebagian malah menakluk dan kini menggabung dengan para pemberontak.

"Bagus!" Liu Pang merasa girang sekali. Biarpun dia sendiri nyaris menjadi korban akan tetapi ternyata gerakan pasukannya berhasil dan hal inilah yang terpenting baginya. Sekarang di manakah adanya Lai-goanswe?" tanyanya dengan girang.

Yap Kim menghela napas panjang. "Itulah, twako!" keluhnya. Semua pimpinan pasukan para pendekar itu kadang-kadang menyebut twako kepada Liu Pang. "Itulah sebabnya mengapa para peronda tadi langsung menyerang twako dan nona Ho tanpa bertanya lagi. Malam tadi muncul dua orang sakti yang membebaskan Lai-goanswe. Aku dan kakakku Kiong Lee melakukan pengejaran, akan tetapi terpaksa kami melepaskan mereka. Aku sendiri tidak dapat melawan mereka dan kakak ku sungkan untuk melawan mereka!"

"Maafkan saya, Liu-bengcu. Mereka adalah sahabat-sahabat kami sendiri. Antara perguruan kami dan perguruan mereka terjalin persahabatan yang erat. Guru saya dan ketua mereka adalah sahabat lama." Kiong Lee menyambung penuturan adiknya dan sikapnya menjadi sungkan sekali.

"Heran, siapakah mereka?" Liu Pang bertanya.

"Mereka adalah dua orang berjubah coklat dari Liong-i-pang."

Mendengar bahwa dua orang penculik tawanan itu adalah orang-orang Perkumpulan Jubah Naga, Liu Pang dan Pek Lian saling pandang. "Ah, mereka!"

Liu Pang dan muridnya telah melihat kedua orang itu ketika mereka mengintai pertemuan para tokoh kaum sesat dan mendengar bahwa kedua orang itu hendak pergi ke benteng. Kiranya mereka itu pergi ke perkemahan ini dan menculik tawanan yang cukup penting! Lai-goanswe adalah tangan kanan Jenderal Beng Tian. Jadi, membebaskan Panglima Lai itukah tugas yang mereka dapat dari guru mereka seperti yang telah didengarnya bersama Pek Lian ketika dua orang berjubah naga itu saling bercakap-cakap? Ataukah suatu tugas yang lain lagi?

Akan tetapi urusan itu segera dikesampingkan dan Liu Pang lalu mengajak para pembantunya berunding. Para pimpinan itu berniat untuk menggempur kota di sebelah depan, akan tetapi Liu Pang menentang keinginan mereka. "Jangan kerahkan semua tenaga ke sana. Biarlah sepasukan kecil saja mengacau di situ. Kita perlu menggerakkan seluruh kekuatan kita menuju ke kota raja. Jangan sampai kita kedahuluan oleh pasukan pemberontak Chu Siang Yu."

Liu Pang lalu menceritakan pengalamannya ketika dia melihat para tokoh sesat yang kini dipergunakan pula oleh para pemberontak. Maka diaturlah siasat mereka dan pembagian kerja. Hek-coa Ouw Kui Lam, satu-satunya di antara Huang-ho Su-hiap yang masih hidup, juga pernah menjadi guru Pek Lian, menerima tugas memimpin seribu orang pasukan untuk menggempur dan mengacau kota di sebelah depan.

Hal ini juga amat penting untuk menutupi gerakan mereka yang sebenarnya, yaitu gerakan ke utara, menuju kota raja. Pasukan mereka amat besar kini, setelah banyak petani dan pasukan-pasukan pemerintah yang kalah datang menggabungkan diri. Sampai laksaan orang. Pasukan besar ini terpaksa harus dibagi-bagi menjadi beberapa kelompok. Kelompok terkuat berada di depan dan dipimpin oleh Liu Pang sendiri, dibantu oleh para pendekar Thian-kiam-pang.

Ho Pek Lian memimpin pasukan perbekalan, dibantu oleh para pendekar yang lain dan di belakang sekali terdapat sebuah pasukan lain yang menjadi penjaga bagian belakang agar jangan sampai terjadi pembokongan dari pihak musuh. Yap Kiong Lee, pendekar yang dianggap paling lihai di antara mereka semua, bertugas sebagai penghubung antar pasukan-pasukan itu.

Pagi-pagi sekali, pasukan-pasukan inipun bergerak setelah pasukan yang dipimpin Hek-coa Ouw Kui Lam mulai melakukan penyerangan kepada kota di depan. Sehari penuh pasukan-pasukan itu bergerak dan di waktu matahari terbenam tibalah mereka di suatu lembah yang dikelilingi bukit-bukit. Mereka lalu berkemah dan Liu Pang sendiri menempati sebuah bekas pesanggrahan yang terdapat di tempat itu.

Kota besar Pao-keng yang menjadi kota benteng penting untuk kota raja, terletak hanya belasan li di sebelah depan, di balik bukit. Setelah mereka berhasil menguasai kota Pao-keng, maka mereka akan berhadapan dengan benteng kota raja sendiri! Maka, Liu Pang lalu memilih tempat ini sebagai pusat atau benteng induk.

Malam itu amatlah sunyi. Pasukan yang sudah sehari penuh melakukan perialanan yang cukup melelahkan memanfaatkan waktu itu untuk beristirahat. Akan tetapi mereka tidak lepas dari kewas-padaan. Setiap kemah diiaga dengan ketat dan bergilir. Liu Pang sendiri bersama Yap Kiong Lee nampak meronda mengelilingi perkemahah. Hal ini membesarkan semangat para perajurit dan seti-ap peronda yang bertemu dengan pemimpin besar ini tentu memberi hormat dengan tegapnya.

Di perkemahan para pemimpin terjadi ketegangan sedikit ketika nampak seorang pejuang atau pendekar ditegur oleh peronda karena memasuki daerah penjagaan mereka. Orang itu bertubuh gendut agak pendek, kepalanya yang botak gundul ditutupi sebuah kopyah warna hitam. Sukar ditaksir usianya karena malam itu gelap, akan tetapi dari sinar api unggun di luar kemah dapat diketahui bahwa dia bukanlah muda lagi.

"Siapa engkau berani memasuki tempat ini tanpa ijin!" bentak peronda dan enam orang penjaga sudah menghampirinya.

"Hemm, apakah kalian tidak melihat bendera pengenalku ini?" Orang itu mengacungkan sebuah bendera kecil, tanda bahwa dia adalah seorang utusan dari pasukan perbekalan yang dipimpin oleh nona Ho Pek Lian. "Aku diutus untuk menghadap Panglima Yap Kim."

"Engkau juga anggauta barisan kita, tentu engkau sudah tahu akan peraturannya! Untuk menghadap Panglima Yap Kim, harus menanti dan kami akan membuat laporan dulu. Bukannya berindap-indap seperti maling begitu!" kepala jaga membentak marah.

Mendengar ini, sepasang mata itu melotot dan mukanya berobah gelap mengerikan. Kemudian orang pendek gendut itu tersenyum menyeringai, lalu menggerakkan kedua tangan ke de pan seperti orang menghormat. "Aku salah, aku salah maafkanlah!" Setelah berkata demikian, diapun membalikkan tubuhnya dan pergi.

Akan tetapi, pada saat itu, terjadilah kegemparan di antara para penjaga. Seorang demi seorang menjerit dan roboh, tubuh mereka kejang-kejang dan mata mereka mendelik, mulut berbuih dan kulit tubuh mereka, terutama di bagian muka nampak kehijauan. Tentu saja jeritan-jeritan mereka menarik perhatian.

Semua orang keluar dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat enam orang penjaga itu tewas tak lama kemudian, tewas dalam keadaan mengerikan karena muka mereka berobah hijau. Tentu saja suasana menjadi gempar dan orang-orang mulai mencari-cari orang pendek gendut tadi.

Sementara itu, si pendek gendut mempergunakan kesempatan selagi keadaan kacau untuk menyelinap mendekati perkemahan terbesar. Dengan gerakan yang amat gesit dia berhasil menyelinap masuk. Akan tetapi ketika dia tiba di sebuah ruangan, mendadak muncul Pek Lian yang juga sudah mendengar akan adanya keributan itu. Si gendut tidak sempat bersembunyi lagi dan perjumpaan itu tidak dapat dihindarkan.

"Kau! Si Kelabang Hijau! Awas! Siapppp, ada pengacau di sini!" Pek Lian berteriak-teriak setelah mengenal si pendek gendut itu yang bukan lain adalah Thian-te Tok-ong atau Ceng-ya-kang, Si Kelabang Hijau yang merupakan tokoh ke lima dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to! Pek Lian tahu bahwa dalam hal ilmu silat, memang tokoh ini tidak sangat lihai, akan tetapi Raja Racun ini sungguh amat berbahaya dengan racun-racunnya.

Ketika banyak penjaga menyerbu ke situ, Pek Lian cepat berseru, "Awias, dia membawa racun-racun berbahaya. Jangan dekati dia!"

Akan tetapi banyak di antara para penjaga yang marah-marah karena mendengar bahwa orang ini sudah membunuh enam orang penjaga, tidak perduli dan mereka sudah menerjang dengan senjata mereka. Akan tetapi, iblis gendut itu me-niupkan sesuatu ke arah mereka dan orang-orang itupun berjatuhan dan kejang-kejang keracunan!

"Iblis busuk!" Pek Lian membentak dan menyerang dengan pedangnya. Ia berhati-hati maka ketika si gendut meniupkan racun ke arahnya, Pek Lian dapat meloncat ke samping, mengelak sambil menggerakkan pedangnya menyerang dari samping.

Karena ilmu pedang nona Ho Pek Lian cukup berbahaya, tokoh ke tujuh Pulau Ban-kwi-to itupun tidak berani lengah dan cepat dia meng-elak mundur. Pek Lian merasa sukar untuk dapat menangkap atau merobohkan tokoh ini. Pertama, bagaimanapun juga, tingkat kepandaiannya sudah kalah, apa lagi ditambah dengan kehebatan kakek itu dalam menggunakan racun, membuat ia tidak berani terlalu mendekatinya. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan muncullah Yap Kim.

"Engkau!" bentak Yap Kim melihat bekas sahabatnya itu. "Keparat, apakah engkau mau membiusku lagi?"

Melihat pemuda tampan ini, wajah yang menyeramkan itu berseri, akan tetapi agaknya bentakan Yap Kim membuat alisnya berkerut dan ha-tinya tertusuk. "Aih, adikku yang baik, janganlah berkata kasar begitu. Telah lama aku mencarimu, mari engkau ikut pergi bersamaku." Suaranya halus dan penuh bujukan.

Pada saat itu, Liu Pang dan para pendekar lain sudah pula berada di situ dan Yap Kim yang sudah marah sekali, kini menubruk maju dan menyerang dengan pedangnya. Sepasang pedangnya berkelebatan menjadi dua gulung sinar dan pemuda itu telah mainkan sepasang pedangnya dengan Ilmu Pedang Langit yang amat ampuh dari perguruannya.

Menghadapi serangan Yap Kim, Si Kelabang Hijau terdesak. Dia merasa sayang kepada Yap Kim, maka masih merasa ragu-ragu untuk mencelakai pemuda itu. Melihat lawan terdesak, dengan kemunculan Yap Kim, hati Pek Lian menjadi besar dan dengan penuh semangat, gadis inipun maju membantu Yap Kim. Pemuda ini terkejut sekali dan cepat mencegah.

"Nona, jangan dekat..."

Akan tetapi terlambat sudah. Nampak asap mengepul dan Pek Lian mengeluh. Tahu-tahu tubuhnya sudah disambar oleh Si Kelabang Hijau. Dalam keadaan pingsan, nona itu berada dalam kekuasaan si gendut pendek yang mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala.

"Ha-ha, majulah kalian dan nona ini akan kubunuh lebih dulu!"

Melihat ini, Yap Kim menjadi pucat dan tidak berani bergerak. Suasana menjadi tegang. "Tahan, jangan menyerangnya!" Tiba-tiba Liu Pang membentak keras melarang para penjaga yang marah dan hendak menyerang orang itu.

"Ha-ha, itu baru baik. Nah, Kim-te, ayo engkau ikut bersamaku, kalau tidak, nona ini akan kubunuh di depanmu!"

Yap Kim ragu-ragu. Liu Pang juga menjadi tak berdaya dan serba salah. Tiba-tiba Yap Kim mendengar bisikan suara kakaknya, mengiang di dekat telinganya, "Kim-sute, turuti kemauannya dan bawalah dia lewat mayat-mayat di luar itu. Aku akan menolong."

Singkat saja pesan itu akan tetapi Yap Kim mengerti sudah. Sambil tersenyum pahit seperti orang yang tidak berdaya lagi diapun menyimpan sepasang pedangnya. "Tidak ada pilihan lain bagiku kecuali menuruti kehendakmu, Tok-ong. Akan tetapi, awas, kalau engkau mengganggu nona itu aku bersumpah untuk membunuhmu!" Dia sengaja bersikap keras agar lawan tidak curiga akan adanya siasat kakaknya, dan juga untuk memberi kesempatan kepada kakaknya melakukan siasat yang belum dia ketahui bagaimana itu.

"Heh-heh, baiklah, adikku yang ganteng. Mari, engkau membuka jalan, aku tidak mau kalau ada kecurangan."

Yap Kim lalu melangkah keluar, memperlihatkan sikap ragu-ragu dan bingung. Seperti tanpa disengaja, dia berjalan melalui mayat-mayat para penjaga yang tadi roboh dan tewas menjadi korban keganasan racun Si Kelabang Hijau. Ratusan perajurit berbaris di kanan kiri, siap dengan senjata mereka. Akan tetapi Liu Pang selalu menahan mereka agar jangan turun tangan.

Semua orang bergerak memberi jalan ketika Yap Kim dan Si Kelabang Hijau yang masih memondong tubuh Pek Lian yang pingsan itu lewat. Diam-diam tokoh ke lima Ban-kwi-to itu bergidik juga ketika melewati barisan perajurit yang semua memandang kepadanya penuh kebencian itu.

Yap Kim kini melalui depan pos penjagaan di mana terdapat mayat-mayat malang melintang, yaitu mayat para penjaga yang tadi dibunuh oleh Si Kelabang Hijau. Tokoh sesat ini, sambil memondong tubuh Pek Lian, mengikuti langkah-langkah Yap Kim, melangkahi mayat-mayat itu sambil menyeringai dan memandang ke arah para perajurit yang berdiri di kanan kiri.

"Heh-heh, kalian lihat mereka ini! Jangan memaksa aku membunuh lagi. Begitu ada yang bergerak melawanku, aku akan membuang racun-racun yang akan membunuh seluruh pasukan yang berada di sini. Yang tidak langsung mati akan tersiksa, tubuhnya akan ditumbuhi jamur-jamur menular yang tidak dapat diobati dan nyerinya bukan main, heh-heh-heh. Dan dia akan mati perlahan-lahan... aduhhh!!"

Ketika sambil mengejek tadi Si Kelabang Hijau melangkahi sesosok mayat lainnya, tiba-tiba "mayat" itu menggerakkan tangan dan iblis itupun terjungkal dan tubuhnya lemas karena tertotok, sedangkan tubuh Pek Lian sudah pindah ke tangan "mayat" itu yang bukan lain adalah Yap Kiong Lee! Kiranya pendekar ini merebahkan diri di antara mayat-mayat itu dan ketika Yap Kim mengenal suhengnya yang rebah miring, segera dia tahu siasat apa yang dijalankan kakaknya itu, maka diapun lalu melangkahi tubuh kakaknya.

Melihat iblis itu terjungkal dan Pek Lian sudah diselamatkan, para perajurit bersorak dan mereka itu langsung saja menggerakkan senjata untuk melumatkan tubuh iblis itu. Tiba-tiba, membuat semua orang terkejut sekali, terdengar suara melengking tinggi disusul bentakan,

"Tahan! Jangan serang dia!!!"

Tentu saja semua orang, termasuk Yap Kim dan Liu Pang yang sudah mengejar ke situ, terkejut dan heran mendengar bahwa Yap Kiong Lee yang membentak melarang semua orang membunuh Si Kelabang Hijau.

"Suheng, iblis ini layak mampus!" Yap Kim sendiri sampai menegur suhengnya atau kakak angkatnya itu.

Akan tetapi Kiong Lee tidak menjawab, melainkan melangkah mendekati Si Kelabang Hijau sehingga timbul dugaan di hati semua orang bahwa pemuda ini hendak membunuh iblis itu dengan tangannya sendiri maka mencegah orang lain membunuhnya. Akan tetapi Kiong Lee hanya membentak, "Iblis keji, hayo serahkan obat penawar racunmu untuk nona Ho!"

Barulah semua orang tahu dan Liu Pang cepat memandang ke arah wajah Pek Lian yang berada di pondongan pemuda murid pertama dari Thian kiam-pang itu. Kiranya wajah itu pucat kehijauan seperti wajah mayat! Terkejutlah dia dan seperti juga Yap Kim, kini dia mengerti mengapa tadi Kiong Lee melarang iblis itu dibunuh. Tentu karena satu-satunya orang yang dapat menolong nyawa Pek Lian hanya iblis itu sendiri!

Dugaan Liu Pang dan Yap Kim memang tepat. Begitu merampas tubuh Pek Lian dari tangan Si Kelabang Hijau, Kiong Lee merasa sesuatu yang tidak wajar pada diri gadis itu. Cepat dia memeriksa dan tahulah dia bahwa iblis itu telah mera-cuni Pek Lian ! Sungguh licik dan keji sekali iblis itu, lebih dahulu menciptakan perisai atau sema-cam sandera agar dia tidak sampai dicelakai lawan. Maka Kiong Lee lalu melarang iblis itu diserang.

Si Kelabang Hijau tak mampu bergerak. Hebat sekali totokan jago muda Thian-kiam-pang itu. Akan tetapi dia masih mampu menggerakkan mata dan mulutnya untuk bicara. "Heh-heh-heh, satu nyawa ditukar satu nyawa, itu sudah adil namanya. Bunuhlah aku, dan aku akan pergi berdua bersama nona manis itu ke alam baka. Betapa menggembirakan! Mungkin dia akan menjadi pelayanku di sana, tidak ada yang melindunginya seperti di sini, heh-heh-heh!"

Tentu saja Kiong Lee dan semua orang marah sekali. Kalau mungkin, mereka tentu takkan segan untuk mencincang hancur tubuh ibhs itu. A-kan tetapi Kiong Lee menahan kemarahannya. "Keluarkanlah obat penawarnya dan kami akan membebaskanmu."

"Heh-heh, bagaimana aku dapat mempercayaimu?"

"Iblis busuk! Aku adalah seorang pendekar, bukan seorang penjahat macam engkau!" Kiong Lee membentak. Pemuda yang pendiam ini marah juga mendengar kata-kata yang menghina itu.

"Uhhh, siapa percaya ucapan pendekar?"

Kiong Lee sadar bahwa iblis ini sengaja membakar hatinya, maka diapun menjadi tenang kembali. Menghadapi iblis Ban-kwi-to harus tenang dan tidak boleh menuruti perasaan marah. "Lalu apa kehendakmu? Nona Ho terancam maut, akan tetapi engkaupun tak mungkin dapat terlepas dari ancaman maut."

"Hanya ada satu orang yang kupercaya janjinya, dia adalah Liu-bengcu. Biarkan dia yang berjanji bertukar nyawa, dan aku akan percaya."

Liu Pang melangkah maju. Menghadapi orang jahat seperti itu, yang amat keji, haruslah tegas. "Baiklah, aku berjanji akan membebaskanmu kalau engkau memberikan obat penawar racun untuk nona Ho Pek Lian."

"Bagus! Nah, bebaskan aku."

Terpaksa Kiong Lee membebaskan totokannya dan siap untuk menghantam kalau-kalau iblis itu melakukan kecurangan. Akan tetapi, setelah kini tidak ada sandera di tangannya, Si Kelabang Hijau juga tidak terlalu bodoh untuk menggunakan kekerasan. Sambil menyeringai dia mengeluarkan sebungkus obat seperti gajih, lalu mengoleskan obat itu pada leher Pek Lian di mana terdapat luka kecil berwarna hijau gelap bekas tusukan jarumnya. "Minumkan pel ini padanya," katanya menyerahkan tiga butir obat pel berwarna merah kepada Kiong Lee.

Dengan bantuan Yap Kim, Kiong Lee lalu memaksakan tiga butir pel itu memasuki perut Pek Lian. Tak lama kemudian, gadis itu mengeluh dan membuka matanya, warna hijau pada kulit mukanyapun meluntur dan akhirnya hilang. Begitu sadar dan melihat Si Kelabang Hijau, Pek Lian mencabut pedangnya yang tadi terlepas dan sudah disarungkan kembali oleh Yap Kim. Akan tetapi Liu Pang memegang lengannya, kemudian pemimpin ini memberi perintah kepada para pembantunya.

"Biarkan dia pergi!"

Semua orang mengepal tinju dan menggigit gigi saking gemasnya melihat betapa iblis itu dibiarkan pergi. Iblis itu telah membunuh banyak perajurit dan sekarang terpaksa dibiarkan pergi begitu saja! Sebaliknya, sambil menyeringai dan tertawa ha-ha-hi-hi Si Kelabang Hijau yang merasa kecewa sekali karena tidak berhasil membawa pergi Yap Kim, bahkan mengalami kekalahan, memandang kepada mereka semua dan berkata meng-ancam,

"Awas kalian semua! Beberapa hari lagi akan kuhancurkan kalian dengan pasukan kami yang tidak kalah banyaknya dengan pasukan kalian!" Diapun pergi tanpa diganggu karena tidak ada yang berani melanggar janji sang pemimpin.

Setelah iblis itu pergi, Liu Pang memerintahkan agar mayat para perajurit diurus baik-baik dan agar penjagaan dilakukan lebih ketat lagi. Kemudian dia mengajak semua pembantunya masuk kemah dan berunding. Liu Pang mengerutkan alisnya, nampak khawatir.

"Ancaman iblis tadi bukanlah gertak sambal belaka. Aku sudah melihat sendiri betapa para iblis Ban-kwi-to telah bersekutu dengan pemberontak dan pasukan asing. Hanya belum kita ketahui berapa besarnya kekuatan mereka dan di mana mereka bersarang. Untuk mengetahui keadaan mereka ini amatlah penting, maka biarlah besok aku akan pergi lagi bersama nona Ho untuk melakukan penyelidikan."

Para pembantunya menyatakan tidak setuju dan kekhawatiran mereka kalau kembali pemimpin mereka akan pergi sendiri melakukan penyelidikan. Akan tetapi pemimpin besar itu membantah. "Penyelidikan ini merupakan suatu tindakan perjuangan yang amat penting, maka harus aku sendiri yang pergi. Sementara itu, sebagai wakil yang menggantikan aku memimpin barisan kita, kuserahkan kepada saudara muda Yap Kim."

Semua pemimpin menyambut gemibira karena mereka sudah mengenal kegagahan pemuda ini. Akan tetapi Yap Kim sendiri menjadi gugup dan wajahnya berobah, tangannya digoyang-goyang menolak. "Aih, Liu-twako, mana saya berani menerima tugas yang demikian amat pentingnya? Saya... saya masih terlalu muda, saya tidak berani menerimanya."

"Saya kira, kedudukan wakil bengcu itu dapat diserahkan kepada saudara Yap Kiong Lee yang memiliki kepandaian paling tinggi di antara kita, dan dibantu oleh saudara Yap Kim!" kata Pek Lian.

"Aih, mana aku berani menerimanya?" Yap Kiong Lee juga menoleh Yap Kim yang menerimanya karena diapun telah menjadi seorang di antara para pejuang, bahkan sudah mengenakan pakaian seragam perwira. Biarlah saya membantu dari belakang saja, sebagai orang luar yang menaruh perasaan kagum terhadap perjuangan ini. Akan tetapi, kalau saya harus langsung memimpin pasukan melawan kaisar, sungguh sama artinya dengan saya menentang suhu dan subo yang melindungi kaisar."

Akhirnya Yap Kim menerima pula kedudukan wakil bengcu itu dan pada keesokan harinya pagi-pagi buta, Liu Pang dan Pek Lian berangkat melakukan perjalanan mereka untuk menyelidiki keadaan musuh. Liu Pang menyamar sebagai seorang dusun pencari kayu sedangkan Pek Lian juga mengenakan pakaian sederhana seorang gadis dusun dengan bertopi lebar dan kulit mukanya yang pu-tih mulus itu dilumuri warna kecoklatan sehingga kecantikannya tidak lagi menyolok. Sambil memikul kayu kering, berangkatlah Liu Pang bersama muridnya yang dalam penyamaran itu diaku sebagai anaknya.

"Suhu, kita menuju ke manakah?" tanya Pek Lilan setelah mereka keluar dari dalam hutan yang menjadi pintu masuk benteng mereka itu.

"Pasukan musuh itu hanya berselisih setengah malam saja dengan barisan kita, dan mereka juga menuju ke arah barat laut. Tentu mereka menuju ke kota raja. Kita harus berjalan menuju ke barat, tentu akan bertemu dengan barisan mereka."

Mereka melakukan perjalanan cepat menuju ke barat. Akan tetapi setelah lewat setengah hari dan matahari sudah naik tinggi di atas kepala mereka, belum juga mereka bertemu dengan barisan musuh. Mereka melihat suasana panik dan kacau sudah melanda kota-kota dan dusun-dusun yang mereka lalui.

Berita tentang kemungkinan pecahnya perang sudah sampai di daerah dekat kota raja dan banyak penduduk yang merasa resah dan siap-siap mengemasi barang agar memudahkan mereka kalau sewaktu-waktu harus lari mengungsi.

Karena merasa lapar dan perlu beristirahat, Liu Pang dan Pek Lian lalu memasuki sebuah kedai makan di sebuah kota kecil. Baru saja mereka makan, datang empat orang laki-laki berpakaian pemburu dan wajah serta tubuh mereka nampak lesu dan lelah. Pemilik kedai makanan menyambut mereka yang agaknya sudah menjadi langganan lama...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.