Darah Pendekar Jilid 25 karya Kho Ping Hoo - "MANA hasil buruan kalian? Apakah sudah habis terjual semua? Aih, agaknya kalian lupa untuk menyisihkan daging kijang untukku " katanya ramah.
Seorang di antara mereka yang pipinya codet bekas terluka kuku harimau, mengeluh dan men-jawab, "Ah, A-kiu, engkau tidak tahu betapa si-alnya kami! Sebetulnya kami telah memperoleh hasil buruan yang lumayan juga. Akan tetapi kemarin sore kami bertemu dengan pasukan tentara yang banyak sekali dan mereka itu dikawal orang-orang yang memiliki ilmu seperti iblis. Hasil buruan kami dirampas semua, bahkan nyaris kami dibunuh kalau kami tidak cepat-cepat melarikan diri."
"Tapi... tapi kalian adalah orang-orang gagah!" Pemilik warung itu merasa penasaran.
"Hemm, apa daya kami melawan pasukan besar? Apa lagi mereka dikawal oleh orang-orang kang-ouw yang menyeramkan. Bayangkan saja, seorang di antara mereka yang seperti raksasa makan seekor anak harimau hidup-hidup!"
"Hidup-hidup?" Mata pemilik warung terbelalak.
"Ya, induk harimau kami robohkan dan tewas, anaknya masih hidup kami tangkap. Ketika dirampas oleh mereka raksasa itu langsung menerkam anak harimau dan tanpa membunuhnya lebih dulu, tanpa memanggang dagingnya, begitu saja leher anak harimau itu digigit dan darahnya dihisap."
"Hiiihhh!" Pemilik kedai itu bergidik dan nampak ketakutan, lalu mengundurkan diri untuk mempersiapkan hidangan bagi empat orang langganannya. Tentu saja Liu Pang dan Pek Lian yang mendengarkan semua itu merasa tertarik dan juga girang. Besar kemungkinan yang diceritakan mereka itu adalah pasukan musuh yang mereka sedang kejar dan cari.
"Ah, keamanan terancam oleh perang!" Liu Pang mendekati mereka dan berkata. "Kami orang-orang dusun sungguh merasa bingung harus mengungsi ke mana. Kalau boleh saya bertanya, di manakah saudara sekalian bertemu dengan pasukan itu?"
Dengan gaya bahasa dusun, Liu Pang dapat mengelabuhi empat orang pemburu itu yang agaknya masih merasa tegang sehingga mereka suka sekali menceritakan pengalaman hebat yang baru saja mereka temui itu. Dengan pancingan-pancingan yang tidak kentara, akhirnya Liu Pang dapat mengumpulkan keterangan bahwa pasukan itu adalah pasukan besar yang mengawal iring-iringan kereta para pembesar beserta keluarganya.
Dan bahwa di antara para pemimpinnya terdapat orang-orang kang-ouw yang menyeramkan. Dari keterangan mereka, Liu Pang dapat mengetahui bahwa semua tokoh Ban-kwi-to telah lengkap bersama pasukan musuh itu. Dengan aksi seolah-olah ketakutan dan hendak cepat pulang untuk mempersiapkan keluarganya mengungsi, Liu Pang mengajak Pek Lian meninggalkan kedai dan kota kecil itu.
"Wah, sungguh berbahaya! Semua tokoh Ban-kwi-to agaknya sudah lengkap berkumpul dan membantu pasukan musuh. Belum lagi tokoh-to-koh sesat yang lain dan belum kita ketahui. Mari kita cepat menyusul dan menyelidiki keadaan mereka."
Akan tetapi, ketika mereka tiba di tepi kota, mereka melihat dua orang laki-laki tua berjubah coklat sedang berjalan dengan cepat. Melihat me-reka, Liu Pang berbisik kepada muridnya, "Lihat, orang-orang Liong-i-pang itu lagi! Mau apa mereka? Dan di mana Lai-goanswe yang mereka culik?"
Guru dan murid ini cepat membayangi mereka yang berjalan cepat keluar kota. Baiknya mereka mengambil jalan di sepanjang jalan umum yang cukup ramai sehingga perbuatan guru dan murid itu tidak menarik perhatian. Pek Lian yang pernah bentrok dengan kedua orang kakek Liong-i-pang itu, membenamkan topinya lebih dalam untuk menyembunyikan mukanya.
Dua orang berjubah naga itu menuju ke sebuah kedai arak yang berdiri terpencil sendirian di sebuah tikungan jalan. Di sinilah para pedagang, perantau, dan mereka yang kebetulan lewat di jalan raya ini, melepaskan lelah dan makan minum. Melihat warung arak ini, Pek Lian terkejut.
"Suhu, teecu pernah melihat tempat ini." Ia lalu menceritakan betapa ia pernah bersama Seng Kun dan Bwee Hong dalam perjalanan mencari ayahnya dahulu itu, sampai di warung ini. Di sinilah ia berjumpa dengan A-hai yang menjadi tukang pengantar arak dan kusir gerobak arak. Di tempat ini pula muncul tokoh-tokoh sesat anak buah Raja Kelelawar, yaitu San-hek-houw dan Si Buaya Sakti yang kemudian menawan Seng Kun dan A-hai.
Liu Pang berbisik kepada muridnya agar berhati-hati. Setelah dia meneliti penyamaran muridnya dan merasa yakin bahwa penyamaran itu cukup sempurna, mereka berdua lalu memasuki warung itu pula, memilih tempat di sudut sebelah dalam. Matahari mulai condong ke barat dan wajah mereka tertutup bayangan dinding, akan tetapi dari tempat itu mereka dapat melihat dua orang Liong-i-pang itu dengan jelas.
Dua orang Liong-i-pang itu duduk di kursi agak luar dan tak lama kemudian, selagi mereka berdua minum, datanglah seorang pemuda yang memakai jubah hijau. Pemuda itu disambut oleh kedua orang Liong-i-pang, duduk semeja dan mengeluarkan sehelai surat untuk diserahkan kepada dua orang itu.
Tiba-tiba nampak, bayangan orang berkelebat cepat dan tahu-tahu seorang wanita cantik telah menerjang ke arah kakek jubah coklat yang tinggi besar dan yang sedang membaca surat. Penyerangan itu dibarengi bantuan dua orang lain yang juga menyerang si pemegang surat sedangkan wanita cantik itu memukul tangan yang memegang surat untuk merampas surat itu. Hebat dan cepat sekali gerakan wanita cantik itu bersama dua orang kawannya, akan tetapi kakek jubah naga itu lebih hebat lagi.
Dia memang terkejut diserang tiba-tiba, akan tetapi sambil membentak keras, kedua tangannya bergerak dan tubuhnya bangkit berdiri. Sekaligus dia menangkis dan akibatnya, wanita cantik itu bersama dua orang kawannya terdorong sampai terjengkang dan terhuyung! Akan tetapi, surat yang dipegang oleh kakek jubah naga itu terlepas dan terdorong oleh angin pukulan mereka yang berkelahi, surat itu terbang ke dekat meja di mana Liu Pang dan Pek Lian duduk.
Dua orang kakek Liong-i-pang itu memang lihai bukan main. Padahal, dengan kaget sekali Pek Lian mengenal bahwa wanita cantik itu adalah Pek-pi Siauw-kwi Si Maling Cantik, tokoh sesat yang amat lihai itu! Dan empat orang temannya juga kesemuanya memiliki gerakan yang lihai tanda bahwa mereka bukan orang-orang sembarangan. Namun, mereka berlima itu kewalahan menghadapi dua orang kakek Liong-i-pang.
Bahkan, kakek Liong-i-pang yang tinggi besar, yang dikenal oleh Pek Lian sebagai Bhong Kim Cu yang pernah menyerbu ke rumah keluarga Bu Kek Siang, dengan tendangannya membuat Maling Cantik kembali terhuyung. Ketika itu, Maling Cantik hendak menubruk surat yang terlepas tadi, akan tetapi ia terhuyung oleh tendangan dan kakek Bhong Kim Cu kini telah menyambar kembali surat yang tadi terlepas dan memasukkannya ke dalam saku jubahnya.
Melihat betapa ia dan kawan-kawannya kewalahan, Si Maling Cantik lalu mengeluarkan suara tinggi melengking, lalu bersama empat orang kawannya iapun meloncat keluar warung melarikan diri. Dua orang kakek jubah coklat tidak mengejar, melainkan cepat membayar harga minuman dan meninggalkan tempat itu pula.
Tinggal Liu Pang dan Pek Lian yang masih duduk di situ. Warung itu sudah sepi karena perkelahian tadi membuat semua tamu lari cerai-berai ketakutan. "Tadi aku sempat membaca beberapa huruf di surat itu. Sayang aku tidak dapat merampasnya. Aku membaca beberapa huruf yang penting, yaitu kata-kata "kaisar", "pemberontakan", dan "Pesanggrahan Hutan Cemara". Huruf-huruf itu dapat memberi petunjuk. Tentu ada hubungannya dengan kaisar, juga dengan pemberontakan."
"Dan apa artinya Pesanggrahan Hutan Cemara itu, suhu?" Pek Lian bertanya.
"Aku sedang memikirkan itu, ah, sekarang aku ingat. Tak jauh dari sini, di puncak bukit terdapat sebuah hutan cemara dan memang di situ terdapat sebuah pesanggrahan milik kaisar yang diergunakan untuk beristirahat di waktu berburu di hutan-hutan liar di balik bukit. Tentu ada apa-apa di sana. Mari kita ke sana!"
Mereka lalu membayar harga minuman dan meninggalkan pemilik kedai yang mengomel panjang pendek karena perkelahian itu amat merugikannya. Banyak tamu yang lari tanpa lebih dulu membayar harga makanan dan minuman, juga ada beberapa buah bangku dan meja yang rusak, belum lagi perabot-perabot makan yang pecah-pecah.
Hutan cemara itu memang merupakan tempat indah dan tidak mengherankan apa bila kaisar memerintahkan pembangunan sebuah pesanggrahan di tempat ini. Hutan itu cukup luas dan di tengah-tengah hutan, dikurung pohon-pohon cemara, terdapat sebuah danau. Pesanggrahan yang merupakan bangunan indah itu berdiri di tepi danau, agak ke tengah sehingga sebagian besar bangunan itu dikelilingi danau. Air danau yang jernih memantulkan bayangan pesanggrahan, mendatangkan pemandangan yang amat indah.
Liu Pang dan Pek Lian tiba di hutan itu menjelang tengah malam. Dengan hati-hati sekali mereka memasuki hutan. Ketika mereka menyelinap di antara pohon-pohon cemara memasuki hutan hendak menuju ke bangunan pesanggrahan di tepi danau, tiba-tiba mereka mendengar suara orang berkelahi dan dengan berindap-indap me-rekapun menuju ke arah suara itu.
Setelah mereka dapat mendekati tempat perkelahian itu, di bawah sinar bulan mereka dapat mengenal tiga orang yang sedang berkelahi itu. Kiranya pemuda Tai-bong-pai, yaitu Song-bun-kwi Kwa Sun Tek, putera ketua Tai-bong-pai yang lihai dan yang bersekongkol dengan orang-orang asing dan para pembesar yang mengkhianati pemerintah, kini sedang bertanding dikeroyok dua oleh orang-orang berjubah biru dan rambutnya riap-riapan. Di situ berdiri pula empat orang berjubah hijau menonton perkelahian.
Kini nampak betapa Kwa Sun Tek Si Setan Berkabung itu mengeluarkan ilmu silatnya yang aneh, yaitu Ilmu Silat Pukulan Mayat Hidup dan seorang di antara kedua pengeroyoknya yang menangkis pukulan itu, terjengkang! Seperti lengan mayat yang kaku, Kwa Sun Tek mencengkeram ke depan, ke arah orang ke dua yang mengeroyoknya sambil membalikkan tubuh. Orang inipun menangkis dengan tangan kirinya.
"Plakk!" Dan tubuh orang inipun terpelanting. Akan tetapi, kedua orang jubah biru itupun lihai sekali. Mereka sudah mampu berloncatan bangun kembali dan dibantu oleh empat orang kawan mereka yang berjubah hijau, mereka maju lagi. Kwa Sun Tek dikeroyok enam orang yang lihai.
Namun, pemuda tampan berwajah dingin menyeramkan seperti wajah mayat ini tidak gentar dan gerakan-gerakannya yang aneh membuat enam orang pengeroyoknya bahkan kewalahan. Akan tetapi, seorang di antara dua kakek berjubah biru kini mengeluarkan suitan-suitan nyaring, agaknya untuk memanggil teman-temannya.
Melihat ini, Kwa Sun Tek terkejut sekali. Tadinya dia sedang melakukan penyelidikan ke daerah yang akan dilewati barisannya. Tak disangkanya di situ bertemu dengan orang-orang Liong-i-pang yang lihai dan agaknya banyak anggauta Liong-i-pang berada di situ. Untung dia hanya bertemu yang berjubah hijau dan biru saja, yang tingkatnya masih belum tinggi. Kalau berjumpa dengan yang tingkatnya lebih tinggi, tentu dia celaka. Berpikir demikian, Kwu Sun Tek berkelebat pergi melarikan diri dari tempat itu.
Liu Pang yang mengintai merasa bimbang. Ingin dia membayangi pemuda Tai-bong-pai itu, akan tetapi diapun ingin sekali menyelidiki apa yang dilakukan oleh perkumpulan Liong-i-pang maka mereka berkumpul di tempat ini. Dia mengambil keputusan untuk menyelidiki tempat itu. Apa lagi, pemuda Tai-bong-pai itu lihai sekali. Kalau dia bersama muridnya melakukan pengejaran dan membayanginya, hal itu amatlah berbahaya. Dia harus menyelidiki barisan itu dengan cara yang lebih aman dan bersembunyi.
Setelah Kwa Sun Tek pergi, seorang di antara dua kakek berjubah biru itu berkata kepada te-man-temannya, "Orang itu lihai sekali. Seorang yang berkepandaian tinggi telah menemukan tempat ini. Mungkin dia tadi seorang di antara kaki tangan Perdana Menteri Li Su dan sekutunya. Siapa tahu kalau orang tadi diutus untuk mencari Tong-taihiap. Kita harus cepat memberi laporan ke dalam. Hayo!"
Enam orang itu lalu memasuki hutan. Liu Pang memberi tanda kepada muridnya dan merekapun cepat membayangi. Bulan kadang-kadang tertutup awan sehingga memudahkan guru dan murid ini melakukan pengintaian tanpa diketahui enam orang itu. Akan tetapi, ketika enam orang itu memasuki bangunan pesanggrahan, Liu Pang tidak berani mengambil jalan dari pintu depan. Dia mengajak muridnya untuk mengambil jalan dari belakang, melalui air danau dan mereka berenang di antara pohon-pohon teratai yang rimbun.
Karena permukaan air itu cukup gelap, dengan agak menjauh dari gurunya, Pek Lian berani berenang dengan telanjang bulat, membawa pakaiannya di atas kepala. Juga Liu Pang yang berenang lebih dahulu, melepaskan pakaiannya. Setelah tiba di bagian belakang bangunan, barulah mereka mengenakan pakaian mereka. Mereka bergantung pada tiang-tiang bangunan dan menanti dengan hati-hati sekali. Dalam keadaan seperti ini, Pek Lian termenung.
Banyak sudah yang aneh-aneh dialaminya semenjak ayahnya ditawan, semenjak di istana terjadi kekacauan. Kini hidupnya sebatangkara dan setelah kini berdekatan dengan gurunya, baru terasa olehnya bahwa di dalam diri gurunya ini dia menemukan pengganti segala-galanya. Pengganti orang tua, juga pengganti guru-gurunya yang kebanyakan telah gugur dalam perjuangan, pengganti sahabat-sahabatnya yang kini berpisah darinya.
Kalau dia teringat kepada A-hai, jantungnya masih berdebar keras. Entah bagaimana, di dalam hatinya terdapat suatu perasaan yang aneh terhadap pemuda yang aneh itu. Akan tetapi, iapun harus mengakui bahwa gurunya ini juga mendapatkan tempat yang istimewa dalam hatinya! Liu Pang yang usianya belum ada empatpuluh tahun ini juga hidup sendirian. Isterinya gugur dalam perjuangan pula dan belum mempunyai anak.
Dan iapun dapat merasakan sesuatu yang aneh dalam pandangan Liu Pang terhadap dirinya, walaupun ia tidak berani memastikan apakah gurunya itu jatuh cinta kepadanya, seperti juga ia sendiri tidak tahu apakah ia mencinta A-hai, ataukah mencinta Liu Pang, bahkan ia tidak tahu pasti apakah ada orang yang dicintanya!
Tiba-tiba gurunya memberi isyarat. Mereka tadi duduk di tiang melintang di permukaan air. Ada suara di sebelah kiri dan suhunya kini sudah memanjat tiang bangunan yang terendam air. Ia pun mengikuti jejak gurunya, memanjat tiang ke dua. Setelah tiba di atas, kini mereka dapat mengintai ke dalam, juga suara mereka yang sedang bercakap-cakap di dalam itu terdengar cukup jelas.
Mereka berdua mengenal suara Tong Ciak yang berjuluk Pek-lui-kong itu. Si pendek cebol yang amat lihai dan menjadi jagoan istana itu. Liu Pang dan Pek lian mengintai dan Pek Lian merasa jantungnya seperti hendak copot saking kagetnya. Pek-lui-kong Tong Ciak yang lihai itu ternyata sedang bercakap-cakap dengan seorang kakek berambut putih yang amat dikenalnya dan kakek ini bahkan lebih sakti dibandingkan dengan Tong Ciak.
Kakek itu berpakaian serba putih sederhana dan dia bukan lain adalah Yap Cu Kiat atau Yap-lojin, ketua Thian-kiam-pang, ayah kandung Yap Kim dan ayah angkat Yap Kiong Lee! Untunglah bahwa air danau itu mengeluarkan bunyi. Riak air itulah yang menyelamatkan guru dan murid itu sehingga kemunculan mereka tidak didengar oleh dua orang sakti yang berada di dalam pesanggrahan.
Si Malaikat Halilintar Tong Ciak tidak memakai pakaian seragam, melainkan memakai pakaian biasa dan sebuah topi caping lebar. Kiranya dia sedang menyamar. Sikapnya amat menghormat terhadap Yap-lojin dan suaranya seperti orang melapor kepada atasannya ketika dia berkata,
"Locianpwe, ternyata bahwa kaisar telah benar-benar dibunuh oleh mereka. Persekutuan pengkhianat itu telah menyewa orang-orang dari golongan hitam untuk menjatuhkan sri baginda kaisar. Kaisar telah dibunuh oleh mereka di pantai timur. Rencana ini sebenarnya telah diketahui Sang Puteri Siang Houw Nio-nio, dan beliau telah mengutus saya ke tempat itu. Namun, kedatangan saya terlambat. Kaisar telah mereka bunuh dan saya hanya mampu merebut dan melarikan jenazah sri baginda saja."
Yap-lojin mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. "Kelemahan sri baginda sendirilah yang menciptakan munculnya pengkhianat-pengkhianat." Sementara itu, Liu Pang merasakan tubuhnya menggigil. Kaisar telah dibunuh oleh para pengkhianat itu. Betapapun juga, dia masih mempunyai perasaan setia kepada kaisar dan mendengar nasib kaisar itu, tanpa disadarinya, kedua matanya menjadi basah. Kaisar dibunuh orang dan jenazahnya sampai dibuat rebutan!
"Saya berhasil menyembunyikan jenazah itu dan membawanya sampai ke sini, locianpwe. Sungguh bukan sebuah pekerjaan yang mudah! Pengkhianat-pengkhianat itu mengerahkan tokoh-tokoh sesat untuk merebut kembali jenazah kaisar. San-hek-houw dan Si Buaya Sakti yang lihai itu selalu membayangi saya. Mereka ingin merebut jenazah karena mereka membutuhkannya untuk menjadi bukti kematian sri baginda. Tanpa adanya bukti jenazah tak mungkin mereka dapat mengang-kat kaisar baru menurut pilihan mereka. Demikian sukarnya saya melarikan jenazah sri baginda se hingga terpaksa saya sembunyikan ke dalam pedati ikan asin."
Yap-lojin mengangguk-angguk. "Sungguh buruk sekali nasib sri baginda. Akan tetapi engkau bertindak benar, demi tugasmu. Perdana Menteri Li Su dan kawan-kawannya memang berusaha mati-matian untuk merebut kekuasaan. Mereka telah berhasil menyingkirkan pangeran mahkota. Bahkan Jenderal Beng Tian juga mereka singkirkan bersama sang pangeran, juga para pembesar yang jujur. Mereka sudah mencalonkan pula pangeran pilihan mereka sendiri untuk diangkat menjadi kaisar, tentu saja pangeran yang dapat menjadi boneka mereka. Mereka ingin menggantikan kaisar secepat mungkin sebelum pangeran mahkota dan Jenderal Beng Tian kembali dari perang di perbatasan."
Liu Pang termangu-mangu mendengarkan itu semua. Kaisar telah dibunuh. Keadaan di istana dalam kemelut. Pangeran mahkota disingkirkan. Mereka saling memperebutkan kekuasaan, tanpa mengetahui banwa kini pasukan-pasukan pemberontak dari daerah bersama pasukan asing sudah mendekati kota raja dan siap menyerbu dan menguasai kota raja!
Kemudian terdengar suara kakek itu, halus penuh keharuan, "Tong-ciangkun, setelah sri baginda kaisar wafat, perlukah beliau disiksa lagi dengan membiarkan jenazahnya membusuk? Apakah tidak lebih baik kalau kita membakar saja jenazah itu?"
"Saya sudah memikirkan hal itu, akan tetapi sungguh sayang bahwa hal itu tidak mungkin dapat kita lakukan, locianpwe. Para sesepuh dan yang berwenang di istana tidak akan dapat mengangkat kaisar baru kalau kaisar lama belum wafat dan sebagai buktinya tentu harus ada jenazah beliau. Kalau kita bakar jenazah itu, nanti apa bila putera mahkota pulang, tentu akan terdapat kesukaran dalam mengangkatnya sebagai kaisar baru. Bukti berupa abu tentu kurang meyakinkan, apa lagi kalau diingat bahwa terdapat banyak pihak yang menghendaki diangkatnya pangeran yang jahat itu!"
"Benar pula apa yang kau katakan, Tong-ciang-kun."
''Selain itu, sri baginda kaisar sendiri selama hidupnya sangat mendambakan agar hidupnya langgeng. Beliau pergi ke mana-mana, kadang-kadang sendirian saja, hanya karena ingin mencari ilmu hidup abadi. Beliau pernah berkata kepada saya bahwa beliau tidak menginginkan badannya rusak sampai akhir jaman."
Yap-lojin mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. "Akupun sudah mendengar akan hal itu. Beliau terlalu dipengaruhi oleh pelajaran Agama To, akan tetapi secara keliru sehingga beliau menghendaki hal yang aneh-aneh. Itulah sebabnya beliau suka mengembara seorang diri, ke tempat-tempat sepi, ke gunung-gunung tanpa pengawal sehingga kesukaan beliau itu kini dimanfaatkan oleh pengkhianat Li Su untuk menghadang dan membunuhnya."
"Masih untung saya berhasil mengamankan jenazahnya sehingga niat busuk mereka itu gagal."
Pada saat itu terdengar bunyi langkah orang dan muncullah enam orang murid Liong-i-pang di ambang pintu. Ketika dua orang berjubah coklat itu memandang ke dalam ruangan dan melihat Yap-lojin, mereka terkejut sekali dan seperti orang bingung.
"Ahhh maaf kami... kami tidak tahu bahwa Yap-locianpwe berada di sini." kata Bhong Kim Cu dengan gugup sambil memberi hormat, diturut oleh para sutenya pula yang kesemuanya memandang dengan alis berkerut tanda bahwa hati mereka tidak senang.
"Hemm, Bhong Kim Cu, apa artinya kemunculanmu yang tiba-tiba ini bersama saudara-saudaramu, dan apa artinya sikapmu yang gugup ini?" Yap-lojin yang mengenal baik murid-murid sahabatnya itu menegur.
Bhong Kim Cu menjawab dengan hati-hati, "Yap-locianpwe, kami berenam menerima tugas dari suhu agar turut melindungi jenazah sri baginda kaisar. Suhu mendengar desas-desus bahwa Raja Kelelawar sendiri akan keluar membantu anak buahnya mencari dan merampas jenazah itu."
"Hemm, begitukah? Dan di mana adanya suhumu sekarang?"
"Suhu juga sedang berkeliling untuk mencari Raja Kelelawar dan menghadapinya!"
"Bhong Kim Cu, apa lagi yang hendak kau sampaikan kepadaku? Bicaralah!" tanya pula Yap-lojin melihat betapa pandang mata tokoh Liong-i-pang itu masih membayangkan keraguan dan kebingungan.
Bhong Kim Cu cepat menjura dengan hormat. "Saya sendiri merasa bingung dan hanya karena perintah suhu maka saya berani menyampaikan hal ini kepada locianpwe. Saya dan sute ini menerima tugas untuk menyelamatkan Jenderal Lai dari tawanan kaum pemberontak Liu Pang dan ketika kami melaksanakan tugas itu, kami melihat hal yang amat mengejutkan hati, yaitu bahwa kedua putera locianpwe, saudara Yap Kiong Lee dan Yap Kim, berada bersama para pemberontak itu, bahkan mereka telah membantu pasukan pemberontak Liu Pang."
"Hemm!" Wajah kakek itu berobah merah dan juga berduka.
Sedangkan si cebol Tong Ciak tidak berani mengangkat mata memandang, maklum betapa terpukulnya hati ketua Thian-kiam-pang itu ketika mendengar berita ini. Dia sendiri tidak merasa heran karena mendengar betapa para pendekar banyak yang membantu gerakan Liu Pang. Dan para murid Thian-kiam-pang memang sejak dahulu menganggap diri mereka sebagai pendekar. Sejenak suasana menjadi sunyi, seolah-olah mereka semua tenggelam dalam lamunan masing-masing.
Kembali terdengar langkah-langkah kaki dan kini muncul dua orang gadis cantik yang segera menjatuhkan diri berlutut di depan Yap-lojin. Melihat dua orang gadis ini, hampir saja Pek Lian berseru memanggil. Mereka adalah Pek In dan Ang In, dua orang murid dan juga pengawal pribadi Siang Houw Nio-nio yang sudah dikenalnya dengan baik itu. Akan tetapi teringat bahwa ia sedang mengintai bersama gurunya, Liu Pang, yang merupakan pemimpin pergerakan para pendekar, tentu saja ia menahan diri dan sama sekali tidak berani mengeluarkan suara.
"Suhu, teecu berdua diutus oleh subo untuk menjemput suhu. Ini surat dari subo yang harus teecu haturkan kepada suhu." Pek In mengeluarkan sepucuk surat yang diberikannya kepada Yap-lojin.
Dengan sikap tenang, walaupun hatinya masih terpukul oleh berita tentang kedua orang puteranya tadi, Yap-lojin menerima dan membuka surat dari isterinya yang lalu dibacanya itu. Isi surat itu menyatakan bahwa pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Beng Tian dan putera mahkota, mengalami gempuran-gempuran musuh dari luar dan kini mengundurkan diri sudah mendekati kota raja. Juga barisan pemberontak Chu Siang Yu yang makin kuat itu makin mendekati kota raja. Karena itu Yap-lojin diminta datang oleh bekas isterinya itu untuk berunding dan membantunya ikut memikirkan keadaan kota raja yang semakin gawat.
Sejenak Yap-lojin termangu-mangu, lalu menarik napas panjang, terdengar dia mengeluh duka. "Ahhh, agaknya Thian telah menentukan semuanya, agaknya saat-saat terakhir dari Dinasti Cin Si Hongte sudah berada di ambang pintu."
Kalau orang lain yang berani mengeluarkan ucapan seperti ini tentu akan dianggap pemberontak dan mungkin ditangkap, akan tetapi karena yang mengucapkan adalah Yap-lojin dan semua orang tahu bahwa kakek ini benar-benar berduka, maka mereka semua kelihatan prihatin dan suasana menjadi sunyi.
Hati siapa yang tidak akan menjadi prihatin memikirkan keadaan kerajaan di saat itu? Kaisar telah tewas dalam keadaan amat menyedihkan. Semua pejabat yang setia, seperti Jenderal Beng Tian, putera mahkota, Siang Houw Nio-nio, Tong Ciak, dan juga mereka yang berpihak kerajaan menentang para pemberontak se-perti Yap-lojin dan Liong-i-pang, agaknya kini tidak akan dapat berbuat apapun untuk menyelamatkan istana dan kerajaan.
Mereka harus menghadapi dua pemberontakan yang kuat, yaitu pemberontakan barisan Chu Siang Yu dan juga barisan Liu Pang. Padahal di dalam tubuh pemerintah sendiri muncul sekelompok musuh dalam selimut di bawjah pimpinan Perdana Menteri Li Su, pangeran ke dua, dan kepala thaikam Chao Kao. Pengkhianat-pengkhianat ini bahkan tidak segan-segan untuk menarik golongan hitam untuk membantu mereka.
"Yap-locianpwe," kata Bhong Kim Cu si jubah coklat, "pada saat ini, barisan besar Liu Pang juga sudah tiba di daerah kota raja. Negara kita benar-benar terjepit, sedangkan para pejabat di istana yang gila kekuasaan hanya saling memperebutkan kekuasaan."
Yap-lojin menghela napas dan si pendek Tong Ciak mengerutkan alisnya sambil mengepal tinju! Yap-lojin lalu bangkit dan berkata kepada jagoan cebol itu, "Sayang aku tidak dapat ikut menjaga jenazah sri baginda. Aku harus kembali ke kota raja sekarang juga." Yap-lojin lalu pergi dikawal oleh dua orang gadis cantik. Mereka pergi dengan cepat.
Bhong Kim Cu lalu berkata kepada Tong Ciak, "Tong-ciangkun, tadi dua orang sute berjubah biru dan empat orang sute berjubah hijau telah memergoki seorang mata-mata yang sangat lihai. Sayang bahwa mereka tidak berhasil membekuknya. Aku khawatir bahwa tempat ini sudah diketahui pihak musuh."
Tiba-tiba dia menghentikan bicaranya karena Tong Ciak sudah meloncat keluar, diikuti oleh para murid Liong-i-pang. Sementara itu, Liu Pang yang tadinya mendengar semua percakapan yang amat penting, tiba-tiba dikejutkan oleh suara air bergelombang. Dia bersama Pek Lian cepat merosot dan bersembunyi di bawah bangunan yang gelap. Kiranya yang muncul adalah Si Buaya Sakti, Sin-go Mo Kai Ci bersama belasan orang anak buahnya yang semua mengambil jalan air.
Mereka tadi mendekati bangunan itu dengan jalan menyelam dan barisan katak ini sekarang bermunculan lalu berloncatan ke atas bangunan dengan sigapnya. Tak lama kemudian, bangunan itu dibakar dan terjadilah pertempuran antara para penyerbu dan Tong Ciak yang dibantu oleh murid-murid Liong-i-pang.
Terdengar auman-auman harimau dan muncullah San-hek-houw bersama anak buahnya, juga Si Maling Cantik, si jai-hwa-cat Jai-hwa Toat-beng-kwi, dan yang lain-lain. Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Diantara berkobarnya api yang membakar pesanggrahan, mereka berkelahi.
"Tahan mereka!"
Pek-lui-kong Tong Ciak berbisik kepada Bhong Kim Cu. "Aku akan menyelamatkan!"
Dia tidak berani melanjutkan, akan tetapi murid Liong-i-pang itu sudah mengerti. Tentu si cebol itu akan menyelamatkan jenazah sri baginda. Maka, kini Bhong Kim Cu dan sutenya yang juga berjubah coklat, dibantu oleh dua orang berjubah biru dan empat orang berjubah hijau, mengamuk dan menahan serbuan para pengeroyok yang jumlahnya banyak itu.
Tong Ciak sendiri cepat menyelinap dan menyusup ke hutan lebat di sebelah utara danau. Di sanalah dia menyembunyikan pedatinya dan peti mati kaisar berada di dalam pedati, dicampur dengan keranjang-keranjang ikan asin. Bulan bersinar cukup terang dan dari jauh dia melihat pedatinya masih berdiri dengan selamat. Dengan hati girang Tong Ciak lalu berlari cepat, akan tetapi ketika dia tiba di dekat pedati, tiba-tiba terdengar suara ketawa mendengus.
Dia terkejut dan cepat menoleh. Ternyata di situ telah berdiri seorang laki-laki tinggi kurus memakai pakaian dan jubah serba hitam, mukanya seperti mayat akan tetapi matanya mencorong mengerikan. Jantung di dalam dada jagoan istana cebol itu berdebar tegang.
"Raja Kelelawar!" bentaknya.
"Ha-ha-ha, cebol sombong engkau mengantarkan nyawa!"
Biarpun sudah mendengar akan kelihaian iblis ini namun Tong Ciak tidak gentar. Jagoan istana ini adalah seorang ahli waris Soa-hu-pai (Partai Persilatan Danau Pasir), mewarisi ilmu keturunan dari Kim-mo Sai-ong. Dia sudah mematangkan ilmu-ilmu kesaktian dari perguruan itu dan dia berhak mengaku sebagai ahli waris tunggal atau yang paling lihai dari Soa-hu-pai.
Ketika dia mendengar munculnya Raja Kelelawar, bahkan hatinya merasa penasaran dan dia ingin sekali bertemu dengan raja iblis itu untuk mengadu ilmu. Maka kini, begitu melihat Raja Kelelawar berada di situ, diapun menjadi marah sekali. Jelaslah bahwa Raja Kelelawar hendak merampas jenazah sri baginda.
"Engkaulah yang datang mengantar nyawa!" bentaknya dan si cebol ini langsung saja menyerang dengan ganasnya. Begitu menyerang, dia sudah mainkan ilmu inti dari perguruannya, yaitu Ilmu Silat Teratai atau Soa-hu-lian. Begitu dia mainkan ilmu ini, kedua lengannya bergerak sedemikian cepatnya sehingga dilihat oleh mata biasa kedua lengannya berobah menjadi puluhan, bahkan ratusan banyaknya! Dan setiap pukulannya mendatangkan angin halus yang bersiutan!
Tentu saja Raja Kelelawar tidak berani memandang rendah karena diapun sudah tahu akan kelihaian lawan ini. Maka, begitu melihat lawan langsung mengeluarkan ilmu simpanannya, diapun tidak segan-segan untuk mainkan ilmu simpanannya pula, yaitu Pat hong Sin-ciang (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin).
Karena dua macam ilmu silat itu sama-sama mengandalkan kecepatan, maka tubuh kedua orang sakti itupun lenyap dan yang nampak hanya bayangan mereka berkelebatan dan bayangan banyak sekali lengan dan kaki sehingga kalau ada yang menonton, dia tentu akan bingung mengenal mana Pek-lui-kong dan mana Bit-bo-ong.
Si cebol yang segera merasa betapa hebatnya lawan, cepat mengeluarkan tenaga sakti yang ampuh, yaitu Pukulan Pusaran Pasir Maut yang mendatangkan angin puyuh dan hawa dingin itu. Namun, lawannya mendengus dan Raja Kelelawar pun mainkan Kim-liong Sin-kun yang tidak kalah hebatnya.
Terjadilah perkelahian yang amat hebat, kadang-kadang mereka mengandalkan kecepatan sehingga tubuh mereka lenyap, ada kalanya mereka bahkan tidak bergerak atau hanya bergerak sedikit sekali karena mereka saling dorong dan saling serang dengan menggunakan kekuatan sin-kang!
Diam-diam Raja Kelelawar terkejut juga menyaksikan kehebatan si cebol ini. Sejak tadi dia mempelajari gerakan lawan dan tahulah dia bahwa ilmu-ilmu yang dikeluarkan oleh si cebol ini memang hebat, setingkat dengan ilmu perguruannya sendiri. Hanya dalam kecepatanlah dia unggul. Oleh karena itu, setelah perkelahian berlangsung seratus jurus lebih, Raja Kelelawar mengeluarkan bentakan nyaring.
Dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat sedemikian cepatnya sehingga Pek-lui-kong Tong Ciak mengeluarkan seruan kaget karena sukarlah baginya untuk mengikuti gerakan lawan yang sedemikian cepatnya seperti pandai menghilang itu. Kecepatan luar biasa inilah yang membuat Tong Ciak akhirnya terkena tamparan pada tengkuknya dan diapun roboh terguling.
Pada saat itu terdengar suitan nyaring dan dari jauh nampak berkelebatan tiga bayangan orang. Melihat ini, Raja Kelelawar maklum bahwa yang datang adalah orang-orang yang tinggi ilmunya. Dia tidak merasa gentar untuk menandingi siapapun juga, akan tetapi urusan yang lebih penting harus diselesaikannya dahulu.
Maka diapun mengeluarkan suara mencicit seperti kelelawar sebagai tanda kepada anak buahnya untuk mundur, sedangkan dia sendiri membuka pintu pedati, tanpa memperdulikan bau busuk yang menyambut hidungnya, dia lalu menyambar peti jenazah sri baginda dan membawanya pergi dengan kecepatan luar biasa.
Pakaian dan jubahnya yang serba hitam itu membuat dia seperti menghilang saja ditelan kegelapan malain. Anak buahnya yang dipimpin oleh San-hek-houw dan Si Buaya Sakti, mendengar isyarat pimpinan mereka itupun lalu berloncatan pergi diikuti oleh anak buah mereka.
Ketika terjadi perkelahian, Liu Pang dan Pek Lian sudah keluar dari tempat persembunyian mereka di bawah bangunan pesanggrahan yang terbakar itu. Mereka lalu bersembunyi di balik semak-semak belukar dan dapat menyaksikan semua hal yang terjadi di situ, yakni penyerbuan para kaum sesat yang dilawan oleh para tokoh Liong-i-pang. Mereka tidak dapat mengikuti Tong Ciak dan tidak tahu bahwa si cebol yang lihai itu sudah terluka oleh Raja Kelelawar dan bahwa jenazah sri baginda telah terampas oleh raja iblis itu.
Tiga bayangan yang datang dengan cepat sekali itu ternyata adalah kakek Kam Song Ki, bersama Kwee Tiong Li yang menjadi muridnya, dan Seng Kun. Seperti telah diceritakan di bagian depan, mereka bertiga ini sedang mencari jejak San-hek-houw dan Si Buaya Sakti yang menculik Bwee Hong. Akhirnya mereka terbawa oleh jejak kedua orang tokoh jahat itu ke tempat itu dan kedatangan mereka menyelamatkan nyawa Tong Ciak yang sudah roboh. Kalau mereka tidak datang, tentu Raja Kelelawar akan memberi pukulan terakhir kepadanya.
Tiga orang itu datang terlambat juga karena peti mati berisi jenazah kaisar telah dilarikan Raja Kelelawar. Akan tetapi, Seng Kun segera berlutut memeriksa keadaan Tong Ciak yang menggeletak pingsan. Ternyata si cebol menderita luka hebat sekali oleh pukulan tangan ampuh Raja Kelelawar dan kalau saja dia sendiri bukan orang yang memiliki kesaktian, pukulan itu telah merampas nyawanya.
"Kita lihat dulu apa yang telah terjadi di pesanggrahan yang terbakar itu," kata kakek Kam Song Ki. Seng Kun memondong tubuh Tong Ciak dan merekapun pergi menghampiri para murid Liong-i-pang yang sedang sibuk berusaha memadamkan api yang tadi dipergunakan oleh para anak buah penjahat untuk membakar pesanggrahan.
Melihat betapa mereka sibuk memadamkan api yang membakar dan menjalar ke ruangan tengah, kakek Kam Song Ki lalu meloncat dan sekali bergerak saja tubuhnya sudah melewati para murid Liong-i-pang, kemudian dia melakukan gerakan seperti mendorong dengan kedua tangan dirangkapkan ke depan dada. Angin kuat menyambar ke arah api yang segera padam!
Melihat gerakan ini, Bhong Kim Cu dan para sutenya terkejut sekali karena mereka mengenal ilmu pukulan paling hebat dari perguruan mereka, yaitu Ilmu Pai-hud-ciang, akan tetapi dilakukan dengan tingkat yang amat tinggi! Bhong Kim Cu cepat memandang dan begitu melihat tanda-tanda pada kakek itu, diapun cepat menjatuhkan diri berlutut, diturut oleh para sutenya.
"Ah, kiranya Kam-susiok yang datang. Harap maafkan bahwa teecu sekalian tidak tahu akan kedatangan susiok!"
Kam Song Ki tersenyum dan menggoyangkan tangannya. "Sudahlah, tidak perlu banyak sungkan, kedatanganku inipun kebetulan saja. Jadi kalian adalah murid-murid Ouwyang-suheng yang menjadi ketua Liong-i-pang? Ini adalah Kwee Tiong Li muridku dan pemuda itu adalah..."
"Adalah orang yang hendak membalas kematian kakek Bu Kek Siang dan isterinya!" Seng Kun berseru. Dia sudah menurunkan tubuh Tong Ciak dan kini dengan muka merah saking marahnya dia mencabut pedang dan siap untuk menyerang Bhong Kim Cu dan para sutenya yang menyebabkan tewasnya kakeknya dan neneknya.
"Hemm, kiranya engkau!" Bhong Kim Cu berseru kaget dan siap melayaninya.
Melihat ini, kakek Kam Song Ki terkejut dan cepat melangkah maju untuk melerai. "Hemm, apa-apaan ini? Kita semua masih satu keturunan perguruan, kenapa harus bentrok sendiri? Aku sudah mendengar tentang kematian Bu Kek Siang, dan murid-murid Liong-i-pang ini hanya mentaati perintah guru mereka. Di mana guru kalian, Ouwyang-suheng? Akupun hendak minta pertanggungan jawabnya atas perbuatannya terhadap Bu Kek Siang."
Melihat sikap paman gurunya ini, Bhong Kim Cu menundukkan muka. "Teecu tidak tahu di mana suhu sekarang, tadinya suhu pergi untuk mencari dan menandingi Raja Kelelawar dan kami diperintahkan untuk membantu melindungi jenazah sri baginda!"
"Jenazah sri baginda? Di mana?" tanya kakek Kam Song Ki.
"Di sana!" Bhong Kini Cu tertegun memandang kepada Tong Ciak yang masih menggeletak pingsan. Baru dia teringat akan jenazah itu dan tanpa mengeluarkan kata-kata lagi tubuhnya melesat ke depan, lari memasuki hutan. Sebagai cucu murid Raja Tabib Sakti Tanpa Bayangan tentu saja ginkangnya hebat. Tak lama kemudian dia kembali dengan mata terbelalak dan muka pucat.
"Celaka jenazah itu telah dicuri orang...!"
Dengan singkat dia lalu menceritakan tentang jenazah kaisar itu, didengarkan oleh mereka bertiga dengan kaget. "Kalau begini, teecu sekalian harus cepat pergi mencari suhu untuk melaporkan peristiwa ini, susiok."
"Baiklah, akan. tetapi, apakah kalian melihat penjahat-penjahat San-hek-houw dan teman-temannya? Mereka telah menculik Bwee Hong...." tanya kakek itu.
"Baru saja kami berkelahi melawan mereka! Merekalah yang tadi menyerbu dan membakar pesanggrahan. Kini mereka telah melarikan diri, tentu setelah jenazah itu berhasil mereka curi!" kata Bhong Kim Cu penuh geram. Setelah memberi hormat kepada susiok mereka, para murid Liong-i-pang itu segera pergi dari situ. Mereka merasa tidak enak untuk berlama-lama berada di suatu tempat bersama Seng Kun.
Setelah dapat menyabarkan hatinya karena bujukan susioknya, Seng Kun lalu mengobati Pek-lui-kong Tong Ciak. Sementara itu, Pek Lian membuat gerakan hendak keluar dari tempat persembunyiannya. Melihat ini, gurunya cepat menyentuh lengannya dan memberi isyarat kepada muridnya untuk mengikutinya meninggalkan tempat itu.
Setelah mereka pergi jauh dari situ, dia menegur, "Nona Ho, apa yang hendak kau lakukan tadi?" Di dalam percakapan resmi atau serius, Liu Pang selalu menyebut muridnya ini nona Ho. Hanya kadang-kadang saja dia menyebut nama muridnya seperti tak disadarinya.
"Suhu, teecu mengenal baik mereka itu. Mereka bukan musuh, dan teecu mendengar betapa enci Bwee Hong diculik oleh San-hek-houw. Teecu ingin membantu mereka mencari enci Hong!"
Gurunya tersenyum dan menggeleng kepala. "Ingat, pada saat ini kita bukanlah bertugas sebagai pendekar, melainkan memiliki tugas perjuangan yang lebih penting lagi sehingga urusan-urusan pribadi harus disingkirkan atau dikesampingkan lebih dulu. Kalau engkau keluar dan terlihat oleh Tong Ciak atau orang-orang Liong-i-pang, tentu engkau akan ditangkap. Lupakah engkau bahwa kita ini telah dianggap pemberontak?"
Pek Lian termangu-mangu dan terpaksa membenarkan ucapan gurunya. Ia menarik napas panjang. "Kasihan enci Bwee Hong!"
"Kita harus berhati-hati. Kurasa yang menggerakkan orang-orang jahat tadi adalah Raja Kelelawar sendiri. Siapa lagi yang akan mampu merobohkan Tong Ciak kalau bukan raja iblis itu? Jangan sampai kita bertemu dengan dia. Mari kita mencari jejak pemuda Tai-bong-pai itu untuk menyelidiki keadaan pasukan asing yang bersekongkol dengan para pengkhianat."
Guru dan murid itu melepaskan lelah sambil menanti datangnya fajar. Liu Pang segera dapat tertidur dan Pek Lian duduk termenung. Ia sendiri tidak dapat tidur, memikirkan keadaan Bwee Hong, sahabat yang disayangnya itu. Kalau Bwee Hong diculik San-hek-houw, di mana nona itu ditawannya? Tadi San-hek-houw menyerbu pesanggrahan bersama teman-temannya tanpa membawa Bwee Hong sebagai tawanan.
Jangan-jangan sudah dibunuhnya! Ia bergidik dan mengepal tinju. Kalau saja tidak ada tugas perjuangan yang mengikatnya tentu ia akan membantu Seng Kun mencari Bwee Hong dan membalaskan dendam kepada para penjahat itu kalau benar Bwee Hong sudah terbunuh.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka telah melanjutkan perjalanan, menuju ke arah larinya Kwa Sun Tek, pemuda Tai-bong-pai semalam. Menjelang senja, setelah melalui beberapa buah bukit dan banyak hutan liar, di dalam sebuah hutan mereka mendengar derap kaki kuda. Mereka menyelinap bersembunyi dan dengan gi-rang mereka melihat belasan orang penunggang kuda yang dipimpin oleh Kwa Sun Tek sendiri, menuju ke depan.
Segera mereka membayangi dari jauh dan setelah matahari mulai tenggelam ke barat, akhirnya mereka menemukan barisan yang mereka cari-cari. Di sebuah lembah barisan itu berkemah. Menurut taksiran Liu Pang yang sudah berpengalaman, jumlah pasukan asing yang dibantu oleh orang-orang lihai dari golongan sesat itu berjumlah paling sedikit seribu orang. Dan di dalam pasukan itu terdapat banyak orang lihai dan berbahaya seperti pemuda Tai-bong-pai dan para iblis Ban-kwi-to itu.
Setelah membuat perhitungan dan penggambaran dalam benaknya, Liu Pang mengajak muridnya untuk pulang ke benteng mereka. Akan tetapi mereka telah pergi jauh dan untuk pulang ke benteng mereka, tentu mereka harus melakukan perjalanan kurang lebih dua hari dua malam!
Malam itu mereka bermalam di hutan yang Se-pi. Ketika mereka sedang mencari tempat yang enak untuk beristirahat, tiba-tiba terdengar suara halus memanggil, "Hei, sobat tukang kayu. Ke sinilah apa bila kalian hendak beristirahat."
Liu Pang dan Pek Lian terkejut, akan tetapi mereka datang juga menghampiri sebuah gua. Dan di situ terdapat dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu sedang duduk bersila menghadapi api unggun. Gua itu cukup luas dan memang merupakan tempat yang cukup enak untuk melewatkan malam. Maka Liu Pang lalu menurunkan pikulan kayunya, lalu masuk ke dalam gua dan bersama muridnya duduk bersandar dinding guha sambil memandang kepada dua orang tosu itu.
"Terima kasih, ji-wi totiang," katanya. "Kami ayah dan anak memang kemalaman dan sedang mencari tempat untuk berteduh dan melewatkan malam."
Dua orang pendeta itu ramah sekali. Mereka bahkan membagi roti kering kepada Liu Pang dan Pek Lian. Guru dan murid ini menerima dan memakannya, tidak berani mengeluarkan perbekalan mereka berupa roti dan daging kering yang tidak sesuai dengan keadaan mereka sebagai orang-orang miskin.
Sekali ini, Pek Lian dapat mengaso dan tertidur pulas di sudut guha, membelakangi mereka yang sedang bercakap-cakap. Liu Pang berlagak bodoh seperti penghuni dusun pencari kayu. Dia mengatakan bahwa dia dan puterinya terpaksa lari mengungsi karena ancaman perang, dan kini hidup dari mencari dan menjual kayu kering.
"Siancai!" kata tosu yang matanya sipit sekali. "Dunia memang sedang kacau oleh ulah orang-orang jahat. Kami sendiri terpaksa turun gunung untuk membantu gerakan para pendekar yang dipimpin oleh Liu-bengcu. Kabarnya pasukan Liu Pang bengcu berada di dekat tempat ini."
Tentu saja Liu Pang tidak berani memperkenalkan diri karena dia tidak boleh percaya begitu saja kepada dua orang tosu ini. Siapa tahu mereka ini malah mata-mata pihak musuh? Maka diapun lebih banyak mendengarkan dari pada bicara. Dari percakapan itu Liu Pang mendapat kenyataan bahwa dua orang tosu itu amat membenci pasukan asing dan para tokoh sesat yang membantu para pengkhianat.
Pada keesokan harinya, dua orang tosu itupun berangkat pergi, dan Liu Pang bersama muridnya juga meninggalkan tempat itu, melanjutkan perjalanan mereka kembali ke induk pasukan mereka. Malam berikutnya mereka tiba di sebuah padang rumput yang sebenarnya sudah tidak jauh dari lembah di mana pasukan mereka berkumpul. Akan tetapi melanjutkan perjalanan di malam hari amatlah berbahaya.
Bukan saja jalan pendakian ke bukit di depan itu cukup licin dan banyak terdapat jurang-jurang berbahaya, akan tetapi juga padang rumput itu sendiri dihuni banyak ular sehingga berjalan melalui tempat itu di malam hari juga berbahaya dan mengerikan. Mereka tahu bahwa di dekat padang rumput sebelah barat terdapat sebuah kuil tua yang sudah kosong maka ke sanalah mereka menuju untuk melewatkan malam agar besok pagi-pagi dapat langsung kembali ke lembah tempat pasukan mereka berada.
Ketika mereka mendekati kuil, tiba-tiba Liu Pang memberi isyarat. Mereka berhenti karena hidung mereka mencium bau yang membuat mulut mereka berair, bau sedap daging dipanggang! Selama beberapa hari ini mereka melakukan perjalanan sukar dan mereka tidak memperoleh kesempatan untuk makan enak! Dan kini, sudah dekat dengan tempat sendiri, dalam keadaan letih dan lapar, mereka mencium bau yang demikian sedap. Siapa orangnya tidak mengilar!
Seperti ditarik oleh tenaga sembrani, guru dan murid ini mendekati kuil. Akan tetapi, agaknya kedatangan mereka sudah diketahui orang dalam kuil. Buktinya, tidak ada api bernyala di dalam kuil dan keadaannya sunyi saja. Bagaimanapun juga, bau sedap daging panggang tadi tidak mung-kin mereka hilangkan dan masih mengambang di udara, dengan mudah dapat dicium.
"Hati-hati," bisik Liu Pang. "Siapa tahu mereka adalah pihak musuh..."
Karena jelas bahwa orang yang berada di dalam kuil bersembunyi. Liu Pang dan Pek Lian tidak berani sembarangan memasuki kuil. Mereka bahkan mengambil keputusan untuk bermalam di tempat lain saja. Akan tetapi, pada saat mereka hendak membalikkan tubuh pergi dari situ, tiba-tiba nampak dua sosok bayangan berkelebat keluar. Mereka adalah dua orang gadis cantik.
"Lian-moi, kiranya engkau!." teriak gadis yang berbaju merah sedangkan gadis baju putih memandang Liu Pang dengan sinar mata penuh selidik.
"Ah, Pek-cici dan Ang-cici!" Pek Lian berseru girang ketika mengenal dua orang gadis itu ternyata adalah Pek In dan Ang In yang beberapa hari yang lalu telah dilihatnya menghadap Yap-lojin di dalam pesanggrahan. "Perkenalkan, ini adalah paman Kiang, seorang sahabat yang boleh dipercaya. Paman, mereka ini adalah enci Pek In dan enci Ang In, dua orang murid Siang Houw Nio-nio yang lihai. Eh, enci, kenapa kalian berada di sini? Hendak ke manakah?"
Pek In memandang ke kanan kiri, kemudian menggandeng tangan Pek Lian. "Mari kita bicara di dalam saja."
Mereka berempat masuk ke dalam kuil kosong itu. Api unggun dinyalakan lagi dan sebelum bicara, Pek Lian dan gurunya mendapat bagian daging panggang yang sedap tadi. Mereka berempat makan tanpa berkata-kata. Setelah kenyang, Pek In melirik ke arah Liu Pang dan berkata kepada Pek Lian,
"Adik Lian, aku mau bicara penting denganmu, akan tetapi jangan sampai terdengar orang di luar kuil. Maukah pamanmu ini berjaga di luar agar diketahuinya kalau ada orang datang?"
Liu Pang maklum bahwa gadis baju putih ini masih belum percaya kepadanya, maka diapun bangkit dan berkata, "Biarlah aku berjaga di luar."
Diapun melangkah keluar, duduk di depan kuil yang gelap dan sunyi, akan tetapi tentu saja dia memasang telinga karena biarpun nanti muridnya bisa bercerita kepadanya, namun hatinya sudah tidak sabar, ingin mendengar apa yang akan diceritakan oleh gadis yang baru keluar dari istana ini. Tentu terdapat berita yang amat penting sehubungan dengan lenyapnya jenazah kaisar yang diduganya tentu dicuri oleh Raja Kelelawar atau anak buahnya, kaum sesat yang membantu para pengkhianat.
Setelah Liu Pang keluar, Pek In berkata, "Maafkan kami, adik Lian. Yang akan kami ceritaka ini penting sekali dan terus terang saja, hatiku tidak enak kalau terdengar orang lain. Kepadamu kami sudah percaya penuh, akan tetapi temanmu itu, kami belum tahu benar siapa dia!"
"Tidak mengapa, enci. Padahal, pamanku itu amat boleh dipercaya. Sudahlah, ada baiknya dia berjaga di luar. Nah, ceritakan, mengapa kalian di sini dan apa yang telah terjadi?"
Pek In lalu bercerita yang membuat Pek Lian dan Liu Pang yang ikut mendengarkan di luar, menjadi terkejut bukan main. Hal-hal yang amat hebat telah terjadi di istana! Pek In menceritakan dari awal, dimulai dengan kepergian kaisar yang melakukan perjalanan sendirian untuk mencari ilmu hidup abadi!
Semua pembesar yang bersih, bahkan mereka yang telah diangkat kembali oleh kaisar, dipecat oleh komplotan Perdana Menteri Li Su dan kepala thaikam Chao Kao. Kemudian, dengan dalih berbakti kepada negara, mendapat dukungan para pembesar yang menjadi antek mereka, putera mahkota diperintahkan menyusul Jenderal Beng Tian ke garis depan.
Dalam keadaan istana kosong inilah, karena kaisar tidak diketahui, ke mana perginya, Li Su dan Chao Kao berkuasa di dalam istana! Kemudian terjadi kegegeran ketika Li Su menyatakan kaisar telah tewas dan dapat membuktikannya dengan jenazah kaisar yang telah mulai membusuk!
Gegerlah seluruh pejabat istana. Mereka berkumpul dan bersidang. Di dalam persidangan ini, Perdana Menteri Li Su mengusulkan agar dilakukan pengangkatan kaisar baru agar kedudukan jangan berlarut-larut kosong. Nenek Siang Houw Nio-nio mengusulkan agar ditunggu kembalinya pangeran mahkota. Akan tetapi usul ini ditentang oleh Li Su yang mengatakan bahwa adanya pangeran mahkota di garis depan amat perlu untuk membangkitkan semangat barisan.
Dan kini pi-hak pemberontak telah mulai mendekati kota raja, maka perlu segera diangkat kaisar baru. Karena Li Su memang menang suara dan memperoleh dukungan terbanyak, akhirnya pangeran muda yang pandainya hanya bersenang-senang itupun diangkat menjadi kaisar dengan julukan Cin Si Hongte Ke Dua!
Tindakan pertama yang dilakukan oleh kaisar muda ini dapat diduga. Dia mengangkat Li Su menjadi wakil penuh kaisar, dan Chao Kao diangkat menjadi kepala istana! Para pejabat yang berani memprotes, ditangkap dan dipecat. Yang lebih hebat lagi, para datuk sesat diberi pangkat dan kedudukan! Raja Kelelawar diangkat menjadi panglima! Dan orang-orang macam San-hek-houw diangkat menjadi perwira yang berkuasa.
"Adik Lian, pendeknya gegerlah istana yang berobah seperti neraka. Tentu saja subo memprotes keras dan akibatnya beliau kini ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara!"
"Ahhh!" Pek,Lian berseru kaget. Nenek itu adalah pengawal kaisar nomor satu dan masih bibi dari kaisar lama, jadi nenek kaisar baru, akan tetapi toh ditangkap.
"Kami berhasil melarikan diri dan melapor kepada suhu. Kini kami diutus suhu untuk memberi kabar kepada Yap-suheng dan ji-suheng tentang hal itu sedangkan suhu sendiri berusaha untuk membebaskan subo," kata Pek In dengan suara duka. "Akan tetapi kami mendengar bahwa kedua suheng kami itu telah bergabung dengan pasukan para pendekar di bawah Liu-bengcu!"
"Kebetulan sekali! Kami juga mau pulang!" Tiba-tiba terdengar suara dan Liu Pang melangkah masuk, wajahnya masih tegang mendengarkan penuturan tadi akan tetapi matanya memandang dua orang gadis itu dengan ramah. Pek Lian juga tahu bahwa kini tidak perlu lagi merahasiakan keadaan gurunya.
"Pek-cici dan Ang-cici, kalian maafkanlah aku yang tadi berbohong. Beliau ini adalah Liu-bengcu, juga guruku!"
Dua orang gadis itu terkejut bukan main. Cepat mereka bangkit berdiri dan memandang dengan tajam. Sudah lama mereka mendengar nama Liu Pang atau Liu-bengcu. Tak disangkanya mereka akan dapat bertemu dengan pemimpin besar itu di sini dan melihat pemimpin besar itu mengenakan pakaian sederhana seperti seorang petani biasa! Mereka lalu memberi hormat dan dibalas oleh Liu Pang.
"Ji-wi lihiap, mari kita duduk dan bicara," ajaknya dan mereka kembali duduk mengelilingi api unggun. "Aku tadi sudah ikut mendengarkan dari luar, maafkan kelancanganku itu dan keadaan di istana itu sungguh mengenaskan dan menggemaskan. Dua orang pengkhianat Li Su dan Chao Kao itu harus dibasmi. Akan tetapi ke mana perginya Pek-lui-kong Tong Ciak? Dan juga Jenderal Beng Tian yang kabarnya sudah meninggalkan posnya di barat? Mereka berdua adalah jagoan-jagoan Kaisar Cin Si Hongte yang setia dan lihai!"
"Entahlah, Liu-bengcu, karena keadaan amat kacau pada waktu itu dan mereka berdua itu tidak ada kabarnya lagi," jawab Pek In, yang kemudian menyambung cepat, "Benarkah pemberitahuan suhu kepada kami bahwa kedua orang suheng kami telah menggabungkan diri dengan pasukan bengcu?"
Liu Pang tersenyum dan mengangguk. "Bukan hanya menggabungkan diri, bahkan kini selagi kami pergi, yang menjadi wakil kami memimpin pasukan adalah saudara Yap Kim dibantu oleh suhengnya, saudara Yap Kiong Lee."
Tentu saja dua orang gadis itu tercengang, akan tetapi juga merasa girang. Ketika untuk pertama kalinya mereka mendengar dari suhu mereka bahwa kedua orang suheng itu membantu pasukan pemberontak Liu Pang, mereka hampir tidak mau percaya. Subo mereka adalah kepercayaan kaisar, bahkan suhu mereka akhir-akhir ini juga membantu kaisar.
Bagaimana mungkin dua orang suheng itu menjadi pembantu-pembantu para pemberontak? Akan tetapi, setelah melihat suasana di istana, kini mereka malah menjadi gembira mendengar bahwa dua orang suheng mereka itu malah menjadi pembantu-pembantu pemimpin besar, Liu Pang!
Sikap kedua orang gadis ini sama sekali tidak perlu diherankan. Kalau kita mau membuka mata, memandang dengan waspada segala hal yang terjadi baik di dalam maupun di luar diri kita sendiri, maka akan nampaklah dengan jelas betapa sikap dan perasaan kita, seperti dua orang gadis itu, selalu dikendalikan oleh pementingan diri pribadi atau ke-AKU-an. Kita selalu amat mudah memaafkan kesalahan sendiri, siap membela diri sendiri untuk menutupi kesalahan yang kita perbuat.
Kita selalu menentang segala sesuatu yang merugikan diri kita, dan membantu sesuatu yang menguntungkan diri kita, karena yang menguntungkan itu, lahir maupun batin, adalah menyenangkan dan sebaliknya yang merugikan itu selalu tidak menyenangkan. Aku yang paling benar, aku yang paling baik, aku yang harus menang. Si-AKU ini bisa meluas menjadi anakku, keluargaku, sahabatku, kelompokku, bangsaku dan seterusnya.
Seorang yang berada di suatu kelompok, selama memperoleh keuntungan dan merasa disenangkan dalam kelompok itu, pasti akan membelanya mati-matian. Bukan karena setianya kepada si kelompok, melainkan karena setianya kepada diri sendiri, karena di situ terdapat kesenangan. Akan tetapi, begitu dia disisihkan dari kelompok, begitu dia tidak lagi memperoleh keuntungan, apa lagi begitu dia dirugikan dan tidak disenangkan.
Maka seketika dia akan berobah dan akan menentang kelompok itu dan memilih kelompok lain yang menentang kelompok lama! Pengejaran kesenangan dapat menyeret ma-musia menjadi munafik, palsu, pengkhianat, kejam dan curang, dan segala macam, kejahatan lain.
"Kalau begitu kami berdua akan mengikuti bengcu ke tempat kedua orang suheng kami!" kata Ang In dengan, wajah cerah, lalu ia menoleh kepada Pek Lian. "Apakah apakah Kim-suheng baik-baik saja?"
Pek Lian tersenyum. "Dia dalam keadaan sehat dan semakin gagah!" katanya sambil tersenyum, penuh arti dan wajah Ang In yang manis itu berobah kemerahan.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berempat meninggalkan kuil itu dan berangkat menuju ke perkemahan para perajurit pendekar di balik bukit. Dari puncak bukit itu tidak nampak apa-apa dan memang inilah yang dikehendaki oleh para pimpinan pasukan itu dan baru setelah mereka menuruni bukit, mereka memasuki daerah perondaan pasukan dan bertemulah mereka dengan dua orang peronda. Liu Pang dan Pek Lian segera mengenal dua orang pendeta atau tosu yang mereka jumpai di dalam guha, maka mereka segera menegur. Akan tetapi dua orang tosu itu mengambil sikap keras.
"Kalian telah melanggar wilayah kami, harus menyerahkan diri untuk kami tangkap dan kami bawa ke benteng!"
"Ehh? Liu Pang berseru heran.
"Apakah ji-wi kini sudah menjadi anggauta pasukan Liu-bengcu?" Pek Lian bertanya.
"Benar, karena itu, dalam tugas pertama kami, kalian harus kami tangkap sebagai orang-orang yang melanggar wilayah kami tanpa ijin."
Sebelum Pek Lian menjawab, Liu Pang mendahuluinya bertanya, "Kalau aku tidak mau ditangkap?" Suaranya mengandung tantangan, akan tetapi sinar matanya dan wajahnya berseri.
"Kami akan menggunakan kekerasan!" jawab tosu yang bermata sipit.
"Totiang, aku sangsi apakah engkau akan mampu menangkap aku!" kata Liu Pang sambil melangkah maju.
Tosu sipit itu memandang tajam, kemudian diapun melangkah maju. "Boleh kita coba!" Dan diapun sudah menubruk maju mencengkeram ke arah pundak Liu Pang.
Pemimpin besar ini cepat mengelak dan balas menyerang karena dia memang ingin sekali mencoba kepandaian dua orang tosu yang baru sa-ja masuk menggabungkan diri dengan pasukannya itu. Dan hatinyapun puas dan kagum. Tosu sipit ini lihai sekali sehingga kalau Liu Pang benar-benar menghendaki, belum tentu dia akan mampu mengalahkan tosu ini dalam waktu seratus jurus! Gerakannya cepat dan tangkas, tenaganyapun kuat. Perkelahian itu amat seru dan semakin ramai.
Tiba-tiba terdengar bentakan, "Berhenti...." dan muncullah Yap Kim.
Dua orang pertapa itu menghadap Yap Kim dan memprotes. "Mereka adalah pelanggar-pelanggar wilayah tanpa ijin!"
"Ji-wi totiang, beliau ini adalah Liu-bengcu, pemimpin kita!" kata Yap Kim.
"Siancai... siancai! Dan dia sudah bercakap-cakap semalam suntuk dengan pinto!" kata tosu ke dua yang lebih tua. Mereka lalu memberi hormat yang dibalas oleh Liu Pang sambil tertawa dan memuji-muji kepandaian mereka.
Sementara itu, Yap Kim sudah saling bertemu dengan Pek In dan Ang In. Pertemuan yang menggembirakan, juga mengharukan sekali. Apa lagi Ang In yang tiada kedip-kedipnya menatap wajah pemuda itu sehingga Pek Lian merasa geli hatinya. Ketika Yap Kim mendengar bahwa ibu kandungnya ditawan di istana, dia mengepal tinju dan mukanya berobah pucat, kemudian merah karena marah.
"Mari kita bicara di sana!" kata Liu Pang dan mereka semuapun pergilah ke perkemahan pasukan. Pertemuan antara Yap Kiong Lee dan Pek In yang memang sejak dahulu sudah ada rasa saling sayang, amat menggembirakan. Segera diadakan pertemuan antara para pemimpin dan para pendekar, bukan hanya untuk menyambut kembalinya Liu Pang akan tetapi juga untuk mengatur siasat selanjutnya.
Situasi di kota raja sudah demikian berobah, maka harus diatur siasat yang sesuai dengan keadaan itu. Yap Kiong Lee tidak merasa ragu-ragu lagi untuk mencurahkan seluruh tenaganya membantu gerakan pasukan ini. Kini subonya ditawan. Kini kota raja dikendalikan oleh pengkhianat-pengkhianat yang menjadi musuhnya. Juga Pek In dan Ang In bertekad untuk membantu gerakan pasukan para pendekar di bawah pimpinan Liu Pang.
Kita kembali menjenguk keadaan A-hai yang kini berada seorang diri saja di dalam ruangan rumah tua mendiang Gu-lojin. Dia ditinggalkan oleh semua orang dalam keadaan masih pingsan atau tertidur karena pengaruh totokan Seng Kun ketika mengobatinya. Pengaruh totokan itu makin menghilang dan akhirnya A-hai sadar.
Begitu dia sadar dan dapat bergerak, dia segera bangkit duduk dan mencari kakak beradik yang tadi mengobatinya. Akan tetapi tidak ada orang lain di situ. Dia berteriak memanggil. "Saudara Kun....! Nona Hong...!"
Tidak ada jawaban. Dia melihat pakaian Bwee Hong bertumpuk di sudut ruangan itu. Apakah nona itu berganti pakaian? Kalau benar demikian, kenapa pakaian yang kotor dibiarkan saja bertumpuk di situ? Mencurigakan benar keadaan ini, pikirnya dan kembali dia memanggil-manggil.
Setelah yakin bahwa tidak ada suara jawaban, baik dari Seng Kun maupun dari nona itu, dia lalu bangkit berdiri dan mencari ke luar. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika dia melihat mayat si pemilik warung, dan di situ nampak bekas-bekas perkelahian. A-hai menjadi panik dan dia memanggil-manggil lagi sambil mencari ke sekeliling rumah itu. Namun, tidak ada yang menjawab.
Dengan hati penuh kekhawatiran dia lalu berlari mencari, menuju ke perkampungan nelayan dengan melewati jalan setapak dalam hutan. Tiba-tiba dia memperlambat larinya dan hidungnya kembang-kempis, mendengus-dengus karena dia mencium bau harum yang aneh. Dia semakin terheran-heran karena tidak ada apa-apa di situ, cuaca yang suram karena hanya mendapat penerangan bulan lemah itu mendatangkan suasana menyeramkan.
Setelah menoleh ke kanan kiri dan belakang, dia memandang ke depan lagi untuk melanjutkan perjalanan. Begitu dia membalik, hampir dia menjerit kaget karena tiba-tiba saja di depannya kini sudah berdiri dua orang yang mukanya pucat seperti mayat! Seorang kakek dan seorang nenek. Kalau saja mereka itu tidak bergerak, tentu A-hai mengira berhadapan dengan mayat yang mengingatkan dia akan mayat tukang warung yang menggeletak di luar rumah mendiang Gu-lojin itu.
Ketika laki-laki setengah tua itu bertanya, suaranya juga kosong dan mengambang seperti bukan suara manusia! "Sobat, apakah engkau melihat seorang gadis cantik di sekitar tempat ini? Seorang gadis cantik dengan kulit putih dan keringatnya berbau harum dupa?"
Pertanyaan itu saja sudah membuat A-hai serem. Gadis cantik putih pucat berbau dupa hanyalah siluman! "Tidak ada, aku tidak tahu" jawabnya dengan suara gemetar. Dia tidak tahu bahwa laki-laki dan wanita yang berdiri di depannya itu adalah Kwa Eng Ki dan isterinya. Kwa Eng Ki adalah ketua Tai-bong-pai yang jarang keluar pintu dan kini keluar bersama isterinya un-tuk mencari anak-anak mereka.
"Huhh!" Laki-laki setengah tua bermuka pucat itu mendengus dan berkata kepada isterinya, "Orang-orang dusun itu berkata bahwa anak kita menuju ke tempat ini. Mari kita cari di tempat lain dan bertanya kepada orang yang lebih cerdik!"
Mereka berkelebat dan lenyap. A-hai yang dianggap tidak cerdik itu tidak marah, bahkan merasa lega bahwa dua orang manusia yang seperti mayat hidup itu pergi meninggalkannya. Diapun melanjutkan perjalanan menuju ke dusun nelayan. Keadaan dusun itu masih ribut. Para penduduknya masih diliputi suasana tegang dengan peristiwa aneh yang terjadi berturut-turut itu.
Mereka dipaksa keluar dengan ancaman rumah dibakar, lalu ada pemilik perahu yang perahunya dirampas. Melihat para penduduk belum tidur dan berkelompok sambil bicara secara serius dan gelisah, A-hai lalu menghampiri mereka dan bertanya apa yang telah terjadi.
"Ada terjadi apakah? Dan apakah kalian melihat sahabat-sahabatku, pemuda tampan dan gadis cantik itu?"
Dari orang-orang ini A-hai mendengar bahwa Seng Kun pergi bersama seorang kakek dan seorang pemuda, katanya untuk mencari adik perempuannya yang diculik penjahat. Mendengar ini, A-hai terkejut. Ah, dia sendirian sekarang. Bwee Hong diculik orang dan Seng Kun melakukan pengejaran.
"Dan di sana kulihat pemilik warung sudah menjadi mayat, entah siapa yang membunuhnya," katanya.
Kini para penghuni dusun itulah yang terkejut dan merekapun lalu ikut dengan A-hai menuju ke rumah mendiang Gu-lojin. Benar saja, pemilik warung itu mereka temukan tewas dalam keadaan mengerikan. Beramai-ramai mereka lalu mengurus mayat itu.
A-hai duduk termenung sampai fajar menyingsing. Dia bingung sekali. Dia sekarang beristirahat seharian, dan kalau pengobatan itu tidak dilanjutkan, dia akan celaka. Mungkin ingatannya semakin mundur, atau mungkin dia akan mati. Ah, dia kini hidup sendiri lagi, harus mengembara ke sana ke mari bertahun-tahun sambil bekerja sedapatnya, dengan tujuan mustahil, yaitu mencari seseorang yang akan dapat mengenalnya dan menceritakan siapa sebenarnya dia? Di mana keluarganya?
A-hai menengadah. Kini dia duduk di luar rumah tua itu, memandang langit yang mulai merah terbakar sinar matahari pagi yang baru terbit. Agaknya tidak ada seorangpun mengenalnya, mengenal keluarganya. Agaknya dia sekeluarga dahulu hidup terasing dari pergaulan umum.
Tak terasa lagi kedua matanya basah. Dia mengusap air matanya dengan punggung tangan yang dikepal. Hatinya penasaran sekali. Masa ada orang tidak tahu siapa dirinya sendiri, siapa ayah bundanya? Ketika lengannya bergerak, tanpa disadarinya tangannya menyentuh boneka batu giok yang tadi dibawanya keluar. Boneka yang tadi ditemukannya melalui nalurinya di rumah mendiang Gu-lojin.
Kini sinar matahari memungkinkan dia memandang boneka itu dengan jelas. Ada sesuatu pada boneka itu yang seperti membuka ingatannya. Batu giok yang berkilauan terkena cahaya matahari pagi itu seperti menyihirnya dan secara samar-samar ia membayangkan pemilik boneka ini. Seorang anak perempuan kecil yang lincah, yang suka berlari-lari dengan penuh kebahagiaan, berlarian di alam terbuka. Suka mengejar kupu-kupu.
Anak perempuan kecil yang manja, berlari-larian di dekat sebuah rumah yang bersih indah, di tepi sungai yang airnya jernih. Banyak batu menonjol tersembul di sana-sini. Sungai itu mengalir mengeluarkan dendang dan terjun ke bawah, tak jauh di belakang rumah itu. Anak perempuan itu gemar sekali bermain ke tepi sungai, berlari-larian biarpun sudah sering dilarangnya.
Pada suatu hari, anak perempuan itu kembali berlari-lari dan kakinya tersandung, tubuhnya terguling dan jatuhlah anak perempuan itu ke dalam lubuk air terjun yang sangat dalam. Badannya yang mungil tenggelam, membuat pelayannya menjerit keras.
"Lian Cu!!" Tiba-tiba A-hai menjerit dan tubuhnya meloncat ke depan, tangannya menyambar ke depan secepat kilat dan ternyata tangannya itu telah menangkap seekor burung kecil yang kebetulan terbang lewat!
A-hai sadar. Dengan terheran-heran dia melepaskan burung kecil itu cepat-cepat. Burung itu terbang menggelepar sambil mencicit ketakutan. A-hai mengamati tangannya yang tiba-tiba saja menjadi amat cepat gerakannya itu. Lalu dia menarik napas panjang dan duduk kembali.
"Hemm, aku melamun. Tempat itu, rumah itu kenapa aku seperti mengenalnya? Dan... anak perempuan itu Lian Cu, ahhh!"
Dia membalik boneka yang masih berada di tangan kirinya, lalu membaca tulisan yang terdapat di belakangnya. "HADIAH ULANG TAHUN UNTUK PUTERIKU LIAN CU." Berkali-kali dibacanya tulisan itu.
"Lian Cu, Lian Cu? Benarkah anak itu ada?" A-hai merasa pusing. Ingatan yang serba suram tentang anak perempuan itu, rumah dekat sungai dan air terjun itu, memusingkan kepalanya. Akhirnya dia bangkit berdiri. "Aku harus mencari rumah itu! Rumah indah bersih di tepi sungai jernih yang ada air terjunnya. Aku akan menyelusuri setiap sungai di dunia ini sampai kutemukan rumah itu," tekadnya.
Pikiran ini membuat hatinya tenang. Dia lalu mengumpulkan sisa uangnya, juga buntalan pakaiannya dan buntalan pakaian Seng Kun dan Bwee Hong yang ditinggalkan. Sisa uangnya masih cukup untuk membeli sebuah perahu kecil sederhana dari para nelayan di dusun itu. Dengan semangat besar diapun meninggalkan rumah tua mendiang Gu-lojin dan pergi menuju kedusun.
Ketika penduduk dusun mendengar bahwa A-hai hendak menyusul sahabat-sahabatnya mencari nona yang diculik penjahat, mereka memberikan sebuah perahu kecil sederhana dengan harga murah. A-hai girang sekali, berterima kasih lalu berangkat dengan perahu kecilnya menyusuri sungai itu. Biarpun perahunya mudik dan melawan arus, akan tetapi dia mendayung penuh semangat, menggerakkan perahunya di sepanjang pinggiran sungai di mana arusnya tidak sekuat di tengah.
Setiap kali dia kelelahan dan hendak beristirahat, dia membawa perahunya ke tepi dan menariknya ke darat, mengaso di tepi sungai. Biarpun ingatannya sudah tertutup rahasia gelap yang membuatnya tidak ingat apa-apa tentang masa lalunya, akan tetapi pada dasarnya dia memiliki kecerdikan. Kini dia mempunyai pegangan, yaitu bahwa dia harus mencari sebuah rumah indah mungil di tepi pantai sebuah sungai kecil yang jernih airnya dan yang terdapat air terjunnya di belakang rumah.
Dia merasa yakin bahwa sungai di dekat rumah itu tentu ada hubungannya dengan sungai yang ditelusurinya ini. Buktinya, bukankah rumah mendiang Gu-lojin juga dekat dengan sungai ini dan bahwa anak kecil yang namanya terukir di belakang boneka giok itupun menurut mendiang pemilik warung sering pula datang ke situ? Setidaknya, antara sungai kecil di dekat rumah mungil dengan sungai ini tentu ada hubungannya.
Karena perahunya mudik, maka perahu itu hanya dapat maju perlahan saja. Namun A-hai tidak pernah kehilangan kesabaran. Dia sudah mengambil keputusan untuk mencari terus di sepanjang sungai ini, kalau perlu sampai selama hidupnya! Tiga hari sudah dia mendayung sambil memperhatikan keadaan di kanan kiri sungai. Kalau ada tempat yang agak mirip-mirip saja dia tentu berhenti dan mendarat untuk melakukan penyelidikan.
Hari telah menjelang sore ketika perahunya memasuki bagian sungai yang lebar dan di sini airnya tenang sehingga dia dapat mendayung lebih cepat. Beberapa kali sejak pagi tadi dia berpapasan dengan perahu-perahu lain yang lebih besar. Tiba-tiba muncul tiga buah perahu besar yang bergerak mudik dengan dorongan layar, juga dibantu dengan dayung-dayung anak buah perahu-perahu itu. Sinar matahari senja membuat layar-layar itu berwarna kemerahan.
Dengan cepat tiga buah perahu itu mendahului perahu A-hai. Dia melihat beberapa orang dengan sikap yang keren dan wajah serem berdiri di atas geladak, memandang kepadanya dengan sinar mata tajam, A-hai tidak perduli, akan tetapi hatinya tertarik juga karena dapat menduga bahwa orang-orang yang berada diperahu-perahu itu tentulah bukan nelayan atau pedagang biasa.
Bulan menggantikan matahari dengan sinarnya yang cerah, membuat permukaan air nampak seperti perak. A-hai tidak mendarat. Malam terlalu indah dan terang, sedangkan air sungai tenang, enak untuk mendayung perahu. Malam sungguh indah. A-hai mendayung perahu sambil membuka matanya memandang ke sekeliling. Matanya bersinar-sinar, ada rasa bahagia yang aneh memenuhi hatinya. Ataukah sinar bulan itu, keheningan yang mendalam itu yang menerangi batinnya?
Keindahan terdapat di setiap tempat dan di setiap saat bagi mata yang waspada dengan batin yang kosong dari pada segala kesibukan pengejaran kesenangan. Keindahan menggetarkan jiwa yang bersih dari pada segala kesibukan senang susah, puas kecewa dan segala perasaan yang timbul karena pertentangan antara dua keadaan. Di setiap pucuk daun, di setiap sudut awan, di setiap batang rumput, di setiap tetes air, di dalam setiap helai rambut kita, di mana-mana terdapat keagungan, keindahan dan kemujijatan itu.
Namun sayang, mata kita telah menjadi buta, dibutakan oleh pikiran yang selalu mengejar-ngejar kesenangan sehingga bertemulah pikiran dengan kesusahan, kekecewaan, iri hati, kebencian, permusuhan, pemuasan nafsu dan sebagainya. Batin menjadi lelah dan lumpuh oleh hempasan-hempasan perasaan itu dan mata menjadi buta, tidak dapat lagi melihat keindahan, keagungan dan kemujijatan yang amat besar itu.
Selagi A-hai tenggelam ke dalam keindahan dan keheningan yang maha besar itu, tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh banyak benda yang mengapung di permukaan air. Dan terkejutlah hatinya ketika dia melihat bahwa benda-benda itu adalah pecahan-pecahan perahu yang hanyut dan lebih kaget lagi rasa hatinya ketika dia melihat betapa di antara pecahan-pecahan perahu itu terdapat pula beberapa mayat manusia mengambang.
A-hai bergidik ketika mengenal mayat itu seperti wajah orang yang tadi dilihatnya di atas tiga buah perahu yang mendahuluinya. Karena merasa ngeri, A-hai lalu mempercepat gerakan dayungnya dan perahunya meluncur cepat mendahului benda-benda mengerikan yang terbawa arus air itu.
Tak lama kemudian perahunya memasuki daerah yang berbukit-bukit dan kedua tepi sungai terdiri dari tebing-tebing yang terjal menjulang tinggi. Tempat ini memiliki keindahan yang lain lagi, yang megah dan jelas memperlihatkan keperkasaan alam. Akan tetapi, perhatian A-hai tertarik oleh tiga buah perahu yang berlabuh di sebuah lekukan bukit atau tebing karang.
A-hai merasa tertarik sekali, apa lagi ketika dia mendengar gemuruh suara air memantul diantara tebing-tebing terjal itu, membuat dia teringat akan gemuruhnya air terjun dalam lamunannya. Diapun segera mengarahkan perahunya ke pinggir mendekati ti-ga buah perahu yang disangkanya tentu perahu-perahu para nelayan.
Akan tetapi, begitu perahunya tiba di tepi dan berada di antara tiga buah perahu itu, tiba-tiba muncul belasan orang dari dalam perahu-perahu itu dan perahu-perahu mereka bergerak mengepung perahu A-hai. Sebatang tombak panjang yang dipegang oleh seorang di antara mereka yang berdiri di kepala perahu, meluncur ke arah dada A-hai yang masih duduk dengan kaget.
Melihat ini, secara otomatis, di luar kesadarannya, tangan A-hai bergerak cepat meraih ke depan. Gerakannya persis seperti ketika dia menangkap burung kecil yang sedang meluncur terbang di depannya tempo hari, di depan rumah tua mendiang Gu-lojin. Dengan amat tepatnya, tombak itu tertangkap ujungnya oleh tangan A-hai. Pemilik tombak terkejut dan tentu saja menahan tombaknya, lalu berusaha membetotnya kembali.
A-hai juga otomatis berusaha merampas tombak yang dapat berba-haya bagi dirinya itu. Dia mengerahkan tenaga dan menggerakkannya melanjutkan gerakan menangkap tadi. Tanpa disadarinya, tenaga sinkang mengalir dari pusarnya, otot lengannya menggembung dan ketika tangannya menyentak, terdengarlah jeritan ketakutan! Tubuh pemilik tombak itu terpental dan terlempar tinggi ke udara, seperti dilempar oleh tangan raksasa yang amat kuat saja.
Belasan orang yang berada di atas tiga perahu yang mengepung itu terbelalak kaget dan ngeri melihat betapa tubuh teman mereka itu terlempar begitu tingginya, kemudian terbanting jatuh ke atas batu-batu tebing, mengeluarkan bunyi mengerikan karena tulang-tulang pecah dan patah. Orang itu tak dapat bergerak lagi.
A-hai sendiri menjadi terkejut dan ngeri. Dia memandangi tangannya seperti orang tidak percaya. Memang terjadi keanehan pada dirinya. Tanpa disadarinya sendiri, pengobatan yang dilakukan oleh Seng Kun dan Bwee Hong telah memperlihatkan hasilnya. Sedikit demi sedikit A-hai mulai dapat mengingat masa lalunya, juga ilmu yang pernah dipelajarinya. Memang baru sedikit sekali yang diingatnya itu karena otaknyapun baru saja kealiran darah kembali, itupun belum lancar.
Kebetulan sekali yang mula-mula dirangsang dan dihidupkan kembali sehingga dapat bekerja, adalah otak di bagian dia menyimpan kenangan ketika berada di rumah indah di tepi sungai bersama seorang anak perempuan bernama Lian Cu. Dia mengajarkan ilmu silat kepada bocah itu sambil menangkap kupu-kupu dan burung-burung. Bagian inilah yang teringat sehingga bagian ini pula dari ilmu silat yang dapat diingatnya.
Kini muncullah dua orang dari dalam bilik perahu lawan. Perahu A-hai kini sudah menempel dengan perahu lawan, bahkan sudah dikait sehingga tidak dapat melepaskan diri lagi. Melihat munculnya dua orang itu, A-hai mengerutkan alisnya, tahu bahwa dia berada dalam bahaya. Dua orang itu bukan lain adalah Pek-pi Siauw-kwi, Si Maling Cantik berusia tigapuluhan yang selain cantik juga cabul dan sesat itu. Sedangkan orang ke dua adalah Jai-hwa Toat-beng-kwi, si penjahat cabul tukang pemerkosa yang amat keji.
A-hai kini mulai sadar bahwa seperti pernah didengarnya dari orang-orang lain, dia sebetulnya mempunyai ilmu kepandaian silat. Maka diapun mulai memeras otaknya untuk mengingat-ingat. Dan mulailah dia melihat bayangan-bayangan ingatan dalam otaknya, dan dia mengerahkan tenaga otaknya sekuatnya dan sedapatnya. Ya, dia tahu bagaimana harus melayani pengeroyokan.
Hemm, dia harus bersikap begini. Menurutkan jalan pikirannya, A-hai lalu bangkit berdiri. Tubuhnya yang tegap jangkung itu kelihatan gagah sekali ketika dia berdiri tegak dengan kedua kaki dipentang lebar, lutut agak ditekuk, tubuh tidak bergoyang dan kedua lengan ditekuk pula, yang kiri menyilang di depan dada dan yang kanan dengan jari terbuka menyentuh ujung hidung sendiri, matanya mengerling dari bawah ke arah lawan!
Biarpun Pek-pi Siauw-kwi dan Jai-hwa Toat-beng-kwi merupakan dua orang tokoh sesat yang amat lihai, namun mereka kini memandang kepada pemuda itu dengan sikap ragu-ragu dan agak gentar. Mereka tadi telah melihat sendiri betapa hanya dengan satu sentakan saia, seorang anak buah yang sebetulnya bukan orang lemah sampai terpental tinggi sekali dan terbanting tewas. Maka kini mereka berdiri di kepala perahu mereka dengan sikap hati-hati...