Darah Pendekar Jilid 26

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Darah Pendekar Jilid 26
Sonny Ogawa

Darah Pendekar Jilid 26 karya Kho Ping Hoo - EMPAT orang yang berada di perahu sebelah kiri, kini serentak meloncat dan menyerang dengan tombaknya ke arah A-hai. A-hai membuat gerakan otomatis dengan tubuhnya dan ketika tangannya bergerak ke kiri, ada hawa atau angin pukulan yang dahsyat menyambar keluar.

Novel silat Darah Pendekar karya Kho Ping Hoo

"Wuuuttt prakkkk!" Empat batang tombak itu patah-patah dan empat orang pemegangnya terjengkang kembali ke dalam perahu mereka!

Si Penjahat Cabul dan Si Maling Cantik saling pandang dengan mata terbelalak. Mereka tidak tahu siapa pemuda ini yang tak dapat mereka lihat jelas mukanya karena bulan tertutup awan. Akan tetapi harus mereka akui bahwa pemuda ini memiliki ilmu yang amat dahsyat. Angin pukulan ketika pemuda itu menangkis tadi, sampai terasa oleh mereka berdua, membuat mereka berdua bergidik ngeri.

Akan tetapi kini mereka melihat hal yang aneh. Tadi, gerakan tangan pemuda itu selain dahsyat, juga gerakannya indah dan gagah. Akan tetapi, begitu menangkis, pemuda itu agaknya menjadi bingung, menggerakkan tangan ke kanan, agaknya untuk menghantam ke arah perahu di kanan.

"Wutt!" Tidak ada apa-apanya dalam pukulan ini dan si pemuda sendiri agaknya menjadi bingung dan kaget, bahkan lalu terpelanting jatuh ke dalam perahunya sendiri! Memang A-hai merasa bingung bukan main. Tadi, secara otomatis tangannya bergerak menyambut empat batang tombak dan dia ingat benar akan gerakan ini dan merasakan betapa tangannya yang menangkis dipenuhi tenaga yang amat kuat dan hangat.

Akan tetapi setelah tangkisannya berhasil membuat orang-orang yang menyerangnya terjengkang dan tombak-tombak mereka patah-patah, dia menjadi bingung, tidak tahu harus melanjutkan bagaimana. Dia tidak ingat lagi, maka diapun membuat gerakan ngawur saja dengan menghantamkan tangannya ke arah perahu ke dua di sebelah kanan.

Akan tetapi dia semakin bingung karena kini tangannya itu kosong melompong tidak ada hawa saktinya, dan pukulannya ini bahkan membuat tubuhnya terpelanting ke dalam perahunya sendiri. Cepat dia merangkak bangun. Tepat pada waktunya karena pada saat dia terpelanting tadi, Si Maling Cantik dan Si Penjahat Cabul sudah melayang ke atas perahunya dan menyerangnya.

Kini, dalam keadaan terjepit, kembali A-hai ingat akan gerakannya. "Plak! Plak!" Dua orang lawannya berteriak kaget dan meloncat mundur karena tangkisan A-hai itu membuat mereka merasa betapa kedua lengan mereka tergetar hebat dan nyeri. A-hai membalas dengan serangannya.

Dua orang lawan yang lihai itu tidak berani menyambut dan melangkah mundur, sedangkan dua orang anak buahnya yang lancang menyambut dengan golok, berteriak kaget dan terlempar ke dalam air karena dorongan tenaga dahsyat yang keluar dari tangan A-hai.

Kini A-hai dikeroyok dan terjadilah perkelahian yang seru, lucu dan aneh. Kadang-kadang gerakan A-hai demikian indah dan dahsyat sehingga dua orang lihai macam Si Penjahat Cabul dan Si Maling Cantik sekalipun tidak kuat menahan. A-kan tetapi, kadang-kadang gerakan A-hai demi-kian kacaunya dan dari kedua tangannya sama sekali tidak keluar tenaga sakti sehingga bukan hanya lawan yang menjadi bingung, bahkan A-hai sendiripun bingung.

Kini tiga perahu itu sudah menempel semua dan perahu A-hai dikurung. Para pengeroyok kini tinggal tigabelas orang, akan tetapi yang berani menyerang dekat hanyalah dua orang tokoh sesat itu sedangkan anak buah mereka hanya me-nyerang dari jauh dengan tombak panjang.

Memang hebat sekali kalau pemuda itu sedang "ingat" akan ilmunya. Bukan hanya gerakannya yang hebat dan tenaganya yang dahsyat, bahkan tubuhnya juga dialiri tenaga sinkang amat kuat yang membuat tubuhnya kebal dan mata-mata tombak yang berhasil menusuknya, membalik, bahkan ada pula yang patah!

Kini Jai-hwa Toat-beng-kwi yang mulai mengerti bahwa pemuda yang lihai itu ternyata masih "mentah" ilmunya, mendesak maju. Mula-mula dia melakukan tendangan kilat, dibarengi oleh hantaman tangan Pek-pi Siauw-kwi dari samping, ke arah tengkuk A-hai. A-hai bergerak otomatis, merendahkan tubuhnya dan membiarkan pukulan dan tendangan lewat, lalu tangannya menyambar dan dia berhasil menangkap pergelangan kaki Jai-hwa Toat-beng-kwi yang menendang tadi.

Tentu saja penjahat cabul itu terkejut dan ketakutan. Tubuhnya sudah diangkat, akan tetapi, tiba-tiba saja A-hai kehilangan ingatannya lagi, menjadi bingung harus bergerak bagaimana dan otomatis tenaga saktinya lenyap, seperti sebuah balon yang tadinya ditiup mengembung, mendadak menjadi gembos kehilangan anginnya. Dan sekali menggerakkan kaki yang ke dua, menendang ke arah dada A-hai, jai-hwa-cat itu berhasil melepaskan kakinya dari cengkeraman.

Beberapa kali A-hai berhasil mendesak lawan, akan tetapi karena tidak ingat lagi akan kelanjutan gerakan silatnya, dan tidak dapat menahan tenaga saktinya agar tetap di dalam kedua lengannya, semua gerakannya mandeg di tengah jalan dan dari keadaan mendesak, berbalik dia malah menerima beberapa kali hantaman, tendangan dan gebukan yang membuatnya jatuh bangun di perahunya.

Biarpun tubuhnya secara otomatis dilindungi sin-kang yang kuat sehingga tidak terluka, akan tetapi hantaman bertubi-tubi itu membuatnya babak bundas dan benjut-benjut juga! Masih untung baginya bahwa yang menghajarnya hanyalah dua orang itu, kalau saja yang muncul orang-orang macam San-hek-houw atau Si Buaya Sakti, tentu dia akan celaka, tewas atau setidaknya terluka parah.

Karena kini mengetahui rahasia A-hai, kedua orang sesat itu bersikap cerdik. Mereka tidak terlalu mendesak dan kalau melihat pemuda itu bergerak hebat, mereka malah menjauh dan mundur. Akan tetapi begitu melihat gerakan pemuda itu terhenti tiba-tiba dan pemuda itu nampak bingung, mereka menyerbu dan menghajarnya. A-khirnya, A-hai tidak dapat tahan juga dan sebuah tendangan membuatnya terjungkal keluar dari perahunya.

"Byurrr!" A-hai yang merasakan seluruh tubuhnya memar dan perih-perih, membiarkan dirinya hanyut terbawa arus air. Untung bahwa permukaan air itu cukup gelap, tidak memungkinkan musuh-musuhnya untuk menemukannya dan sebentar saja A-hai sudah hanyut jauh. Sial baginya, air semakin dalam dan semakin kuat arusnya sehingga ketika dia berusaha berenang ke tepinya.

Dia terseret terus semakin jauh dan kadang-kadang tubuhnya dihantamkan pada batu-batu besar. Tadi dia dihajar oleh pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan, kini dihajar oleh batu-batu yang menghadang, sungguh sial dan dia merasa tubuhnya semakin lemas, bahkan beberapa kali dia terpaksa menenggak air!

Tiba-tiba A-hai yang sudah merasa betapa tubuhnya lemas itu, terkejut dan girang. Tadinya dia mengira bahwa yang menyambar dan mengangkat tubuhnya ke atas perahu itu musuh dan dia sudah siap untuk melawan lagi mati-matian. A-kan tetapi ketika dia melihat bahwa yang berada di perahu itu adalah Bwee Hong dan seorang gadis lain, dia merasa gembira bukan main sehingga ingin rasanya dia bersorak dan menari-nari!

"Ha-ha-ha, sungguh beruntung aku!" A-hai bangkit duduk dan tersenyum lebar, wajahnya yang basah kuyup itu berseri-seri.

Melihat kegirangan meluap-luap pada diri pemuda itu, Bwee Hong dan Kwa Siok Eng, gadis yang menemani Bwee Hong di perahu itu, memandang dengan alis berkerut. Terutama sekali Bwee Hong. Jangan-jangan pengobatan yang diberikan kakaknya dan ia sendiri kepada A-hai mendatangkan akibat sampingan dan membuat pemuda ini benar-benar menjadi miring otaknya, pikirnya dengan gelisah.

Pemuda ini baru saja terbebas dari maut, tubuhnya memar-memar dan babak bundas, hampir saja tenggelam dan kelihatan begitu kehabisan tenaga, akan tetapi dapat tertawa-tawa gembira seperti itu.

"A-hai, apa saja yang kau lakukan di sini? Bagaimana engkau tahu-tahu hanyut di sungai ini?" Bwee Hong bertanya.

Akan tetapi pada saat itu A-hai memandang kepada Siok Eng dan hidungnya kembang kempis. "Aih, nona yang berbau dupa harum! Kita berjumpa lagi di sini, sungguh senang hatiku. Bukankah nona bernama eh, nona Kwa Siok Eng?"

"Benar sekali. Aih, ingatanmu sudah mulai baik, A-hai," kata Bwee Hong girang karena ternyata kini A-hai memperlihatkan kekuatan ingatannya, tanda bahwa pengobatan itu memperlihatkan hasilnya.

Juga Kwa Siok Eng yang sudah banyak tahu tentang keadaan A-hai yang aneh itu, tersenyum mengangguk. "Saudara A-hai, bagaimana engkau dapat berada dalam keadaan seperti ini?"

A-hai lalu bercerita sambil memeras ujung baju dan celananya, juga rambutnya yang basah kuyup. "Ketika engkau hilang dan kemudian kakakmu juga pergi, agaknya mencarimu, aku bingung sekali, nona Hong. Aku tidak tahu harus mencari atau mengejar ke mana. Maka aku lalu mengumpulkan ingatanku tentang boneka itu. Dan aku mulai dapat membayangkan adanya sebuah rumah indah di tepi sungai, dekat air terjun. Di tempat itu aku pernah bermain-main dengan seorang anak perempuan bernama Lian Cu."

"Ah, nama yang terukir pada boneka itu." kata Bwee Hong.

"Benar. Aku belum ingat betul apa hubunganku dengan Lian Cu, akan tetapi aku ingat bermain-main dengannya. Lalu aku mengambil keputusan untuk mencari tempat itu, mencari rumah indah mungil dekat air terjun di tepi sungai. Aku hendak menyusuri seluruh sungai sampai dapat kutemukan tempat itu. Dan aku dihadang orang-orang jahat aku dikeroyok, untung aku masih teringat akan beberapa jurus ilmu silat, sayang hanya sepotong-sepotong; dan akhirnya aku terlempar keluar perahu dan hanyut sampai ke sini."

"Aih, untung kami menemukanmu," kata Bwee Hong menarik napas panjang, merasa kagum dan heran akan keadaan dan nasib pemuda itu yang aneh.

"Dan engkau sendiri, kenapa pergi meninggalkan aku setengah jalan dalam pengobatan itu, nona?" A-hai bertanya, alisnya berkerut sedikit tanda bahwa kenyataan itu tidak menyenangkan hatinya.

"Aku diculik orang, A-hai."

Tiba-tiba A-hai meloncat berdiri, lupa bahwa dia berada di perahu sehingga perahu itu menjadi miring dan Siok Eng berteriak mengingatkan. "Heiii, hati-hati.... kita bisa terguling dan engkau hanyut lagi!"

"Wah, maaf!" A-hai duduk kembali dan memandang Bwee Hong. "Siapa yang berani menculikmu, nona Hong?"

"Tenanglah." Bwee Hong tersenyum dan pipinya berobah merah. Pemuda ini begitu marah mendengar ia diculik orang dan sikap ini membuat jantungnya berdebar karena pemuda aneh ini memperlihatkan saja perasaan hatinya yang demi-kian jelas menaruh perhatian besar terhadap diri-nya. "Baik kuceritakan saja apa yang telah kualami sejak kita terpaksa saling berpisah dari dalam pondok mendiang Gu-lojin itu."

Bwee Hong lalu bercerita, didengarkan oleh A-hai penuh perhatian. Juga Siok Eng mendengarkan sambil mendayung perahunya dengan hati-hati agar jangan sampai menabrak batu-batu yang menonjok di sungai itu.

Mari kita ikuti pengalaman Bwee Hong sebelum ia lenyap dari rumah mendiang Gu-lojin. Seperti kita ketahui, setelah melakukan pengobatan atas diri A-hai yang kemudian tidur nyenyak, Seng Kun keluar dari dalam rumah, meninggalkan Bwee Hong yang masih berjaga-jaga di dalam membenahi perabot-perabot pengobatan.

Tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat memasuki ruangan itu. Bwee Hong oepat meloncat dan membalikkan tubuhnya. Wajahnya berubah pucat ketika dia melihat seorang kakek bertubuh tinggi besar dan sikapnya kasar dan kokoh kuat, mengenakan jubah kulit harimau dan pada pinggangnya nampak sehelai rantai baja yang ujungnya dipasangi tombak jangkar.

Kakek itu bukan lain adalah San-hek-houw, Si Harimau Gunung! Bwee Hong maklum bahwa dia berhadapan dengan datuk sesat yang kejam, maka tanpa banyak cakap lagi iapun menyerang dengan tangan kosong. Pedangnya tidak ada pada tubuhnya, maka ia tidak sempat mengambil pedang yang disimpan di sudut ruangan. Karena maklum bahwa lawannya ini tangguh, Bwee Hong mengerahkan tenaga sinkang ketika melakukan pukulan ke arah leher lawan.

Akan tetapi, kakek tinggi besar itu tertawa dan sama sekali tidak mengelak, me-lainkan menggerakkan tangan menyambar ke depan untuk menangkap pergelangan tangan gadis itu. Bwee Hong terkejut, menarik kembali tangannya dan menyusulkan tendangan kilat dari samping mengarah lambung.

"Bukkk!!" Tendangan itu tepat mengenai lambung, akan tetapi Bwee Hong menjerit karena tahu-tahu pundaknya sudah dirangkul dan di lain saat ia sudah dipondong dan ditekan pundaknya sehingga tidak mampu bergerak lagi. Kiranya, ia tadi gugup sehingga tergesa-gesa. Kegugupannya dimanfaatkan lawan yang lebih tangguh itu.

Tendangannya diterima begitu saja sambil melindungi tubuh dengan pengerahan sinkang dan sebaliknya, sambil menerima tendangan, Si Harimau Gunung sudah menangkap dan mencengkeram pundak Bwee Hong seperti seekor harimau mencengkeram anak domba saja.

Sebetulnya, biarpun ia kalah lihai, akan tetapi kalau Bwee Hong tidak gugup atau terlalu bernapsu menyerang, melainkan lebih mencurahkan kepandaian untuk berjaga diri, mengandalkan ginkangnya yang membuat tubuhnya jauh lebih cepat dan ringan dari pada lawan, belum tentu Si Harimau Gunung akan mampu menangkapnya dengan cepat.

"Ha-ha-ha-ha!" Harimau Gunung tertawa bergelak dengan girang sekali. Dia sudah menotok jalan darah di tubuh Bwee Hong, membuat gadis itu tidak mampu melawan lagi, dan sambil tertawa-tawa dia lalu melucuti pakaian Bwee Hong, dengan gerakan kasar sekali!

Bwee Hong hendak melawan, hendak meronta, namun ia tidak mampu membebaskan diri dari totokan dan melihat betapa dirinya terancam malapetaka, agaknya akan diperkosa oleh iblis itu di depan A-hai yang masih tidur atau pingsan itu, ia mengeluarkan keluhan dari rongga dadanya kemudian lemas terkulai dan jatuh pingsan!

Melihat gadis itu terkulai lemas dan pingsan, San-hek-houw mendengus tak senang. Watak manusia ini memang sudah mendekati harimau, mendekati binatang buas. Seperti juga harimau yang menerkam domba, dia tidak akan merasa puas kalau tidak melihat korbannya menggelepar-gelepar di dalam gigitannya. Dia ingin korbannya meronta melawan, ingin melihat darah segar yang panas.

Maka begitu gadis itu terkulai pingsan, dia lalu menggeram, dan tubuh Bwee Hong lalu dipanggulnya dan sekali meloncat dia sudah keluar dari dalam rumah dan membawa lari gadis itu dengan maksud akan diperkosa kalau gadis itu sudah siuman dari pingsannya, di tempat lain.

Akan tetapi, tiba-tiba Bwee Hong menjerit. Si Harimau Gunung terkejut. Tak disangkanya gadis itu akan siuman sedemikian cepatnya. Dia lalu menekan leher Bwee Hong untuk membuat gadis itu tidak mampu berteriak lagi, dan melemparkan gadis itu ke atas rumput. Dia sudah lari agak jauh dari rumah dan kini melihat Bwee Hong sudah siuman, hatinya girang dan diapun hendak memperkosa gadis itu di tepi jalan, di lereng gunung itu!

Jeritan melengking yang hanya satu kali keluar dari mulut Bwee Hong itu telah didengar oleh Seng Kun, akan tetapi karena pada saat itu Seng Kun sendiri sedang berkelahi melawan Sin-go Mo Kai Ci Si Buaya Sakti, maka kakak ini tidak dapat menolong adiknya. Akan tetapi, bukan hanya Seng Kun yang mendengarnya. Seorang gadis lain juga mendengar jeritan ini dan cepat gadis itu berlari mendekat.

Gadis itu adalah Kwa Siok Eng! Da-pat dibayangkan betapa kaget hati gadis ini ketika melihat Bwee Hong yang sudah tidak mengenakan pakaian luar itu rebah terlentang pingsan di atas rumput dan kakek raksasa Harimau Gunung agaknya sedang bermaksud untuk memperkosanya. Kwa Siok Eng, gadis itu, maklum akan kelihaian Harimau Gunung dan mungkin saja datuk sesat itu masih mempunyai kawan-kawan lain seperti biasanya.

Untuk melawan kakek itu ia tidak takut, akan tetapi bagaimana mungkin melawan kakek yang amat tangguh berbareng harus menyelamatkan Bwee Hong? Ia lalu mempergunakan akal. Siok Eng bersembunyi di tempat gelap, kemudian mengerahkan tenaga sakti Asap Hio sehingga terciumlah bau dupa harum yang amat menyolok keluar dari tubuhnya, lalu ia menirukan suara ayahnya menggumam,

"Hemrn, siapa berani menghina orang Tai-bong-pai dengan melakukan kecabulan di depan mataku?"

Ketika hidungnya mencium bau dupa harum yang menyengat hidung itu, dan mendengar suara ini, terkejutlah Si Harimau Gunung. Dia sendiri belum pernah bertemu dengan Kwa Eng Ki, ketua Tai-bong-pai akan tetapi dia sudah banyak mendengar tentang tokoh aneh itu. Tai-bong-pai adalah perkumpulan aneh, tidak condong kepada para pendekar akan tetapi juga tidak pernah mau merendahkan diri memasuki golongan kaum penjahat.

Dan kabarnya Tai-bong-pai memiliki kekejaman yang tiada taranya di samping kelihaiannya yang mengerikan. Tak disangkanya bahwa di tempat ini dia akan bertemu dengan ketua Tai-bong-pai, dan dia mengerti bahwa perbuatannya hendak memperkosa gadis cantik itu tentu dianggap penghinaan karena tanpa disengajanya hal itu hendak dilakukan di depan si ketua Tai-bong-pai yang dia tidak tahu entah berada di mana.

Lebih baik mencari rekannya, Si Buaya Sakti, baru dia akan menghadapi orang Tai-bong-pai itu dan melanjutkan pemuasan nafsunya terhadap si gadis cantik, pikirnya. Maka tanpa banyak cakap Harimau Gunung membatalkan maksudnya dan meninggalkan Bwee Hong, pergi dari situ untuk mencari Buaya Sakti yang dia yakin tidak berada jauh dari tempat itu. Tak lama kemudian terdengarlah aumannya memanggil rekannya.

Begitu melihat kakek raksasa itu pergi, Siok Eng cepat meloncat keluar dan memondong Bwee Hong, dibawa lari ke belakang semak-semak. Di sini ia membebaskan totokannya. Bwee Hong sadar dan terkejut, juga girang melihat Siok Eng. Akan tetapi, gadis Tai-bong-pai ini menutupi mulutnya, berbisik.

"Enci Hong, lekas kau pakai pakaianku ini, dan kita harus cepat pergi dari sini," katanya.

Bwee Hong yang melihat bahwa tubuhnya hampir telanjang bulat, menjadi merah mukanya dan iapun cepat mengenakan pakaian cadangan dari Siok Eng yang diberikan kepadanya. Ia bersyukur sekali bahwa dirinya belum ternoda oleh Si Harimau Gunung dan kalau membayangkan apa yang akan terjadi andaikata tidak muncul Siok Eng yang menyelamatkannya, ia bergidik ngeri.

"Mari kita pergi!"

"Akan tetapi, A-hai dan kakakku mereka di rumah mendiang Gu-lojin!"

'"Kita pergi dulu, baru nanti mencari jalan!" kata Siok Eng yang sudah menarik tangannya diajak lari. Pada saat itu terdengar bentakan keras dari Harimau Gunung yang agaknya kembali ke tempat tadi dan tidak lagi menemukan tubuh gadis yang hendak diperkosanya.

"Ketua dari Tai-bong-pai, harap keluar untuk bicara!" terdengar bentakan suara Harimau Gunung.

Mendengar ini, Siok Eng lalu menarik tangan Bwee Hong dan merekapun melarikan diri. Agaknya berkelebatnya bayangan mereka nampak oleh San-hek-houw yang cepat melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak. Dua orang gadis itu bergegas lari menyusup-nyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak sehingga sukarlah bagi San-hek-houw untuk dapat mencari mereka. Raksasa ini marah sekali.

Dia tahu bahwa dia tadi telah dipermainkan orang. Tidak mungkin ketua Tai-bong-pai lari terbirit-birit seperti itu. Tadi, ketika dia meninggalkan korbannya, dia merasa menyesal dan sambil menanti datangnya rekannya yang sudah dipanggilnya melalui aumannya, dia hendak menemui dulu ketua Tai-bong-pai untuk diajak berdamai. Akan tetapi, ternyata gadis itu telah lenyap dan dia melihat berkelebatnya dua bayangan gadis yang bertubuh ramping maka segera dikejarnya.

Dengan hati mengkal San-hek-houw berputar-putar di dalam hutan itu, mencari-cari korbannya. Akhirnya, dengan kesal dia lalu mening-galkan hutan, hendak kembali ke dusun mencari Buaya Sakti yang belum juga datang membantunya. Ketika dia berlari sampai di luar dusun, tiba-tiba dia melihat bayangan dua orang dari jauh. Timbul lagi harapannya, dan dia mempercepat larinya mengejar.

Akan tetapi setelah dekat, hatinya menjadi semakin kesal karena dua orang itu bukanlah dua orang gadis yang tadi dikejarnya, melainkan seorang laki-laki dan seorang perempuan setengah tua, keduanya mengenakan pakaian putih sederhana.

"Heh, petani-petani busuk!" bentaknya dengan sikap kasar sekali. "Hayo katakan apakah kalian melihat dua orang gadis cantik lewat di sini. Kalau tidak bicara dengan baik kalian akan kuhajar dan kupatah-patahkan tulang punggungmu!"

Memang sengaja Harimau Gunung yang sudah marah ini mencari gara-gara agar ada tempat untuk melampiaskan kemarahannya. Dia mengha-rapkan dua orang itu marah-marah agar dia da-pat membunuh mereka seperti ancamannya tadi! Siapapun orangnya tentu akan marah kalau mendengar ucapan seperti itu. Dan dua orang setengah tua itupun marah, walaupun kakek pakaian putih itu tidak berkata apa-apa. Si neneklah yang marah dan melangkah maju.

"Harimau iblis, agaknya engkau sudah ingin disembahyangi!" katanya dan tiba-tiba saja nenek itu menerjang ke depan dan mendorongkan telapak tangannya ke arah Si Harimau Gunung. Hawa pukulan yang kuat menyambar dan tercium bau dupa harum yang amat keras. San-hek-houw terkejut dan cepat dia menangkis.

"Desss!" Dia terhuyung ke dekat kakek itu dan tubuhnya terasa panas seperti dibakar.

"Huhh!" Kakek itupun mendengus dan tangannya menampar. Tercium bau hio yang lebih keras lagi. Melihat tangan yang menyambar ke arah kepalanya, Si Harimau Gunung cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya walaupun kepalanya masih pening dan tubuhnya terasa panas.

"Blarrrr!" Harimau Gunung mengeluh dan tubuhnya terpelanting. Seluruh tubuhnya kini terasa dingin sekali. Dia bergidik dan cepat menggulingkan tubuhnya, meloncat bangun dengan mata terbelalak memandang kepada kakek dan nenek itu.

"Kiranya kau kau?" dan diapun meloncat kebelakang sambil bergidik, menyusut sedikit darah dari ujung mulutnya dan lari secepatnya. Sialan, pikirnya, kiranya dia benar-benar bertemu dengan ketua Tai-bong-pai! Siapa lagi kalau bukan ketua Tai-bong-pai, mungkin dengan isterinya, yang memiliki kepandaian sehebat itu? Kembali dia bergidik.

Masih untung bahwa mereka tidak berniat membunuhnya! Kini dia maklum bahwa biar dibantu Si Buaya Sakti sekalipun, dia tidak akan kuat menandingi kakek dan nenek pakaian putih itu. Kecuali kalau Raja Kelelawar sendiri yang datang membantunya.

Kakek dan nenek berpakaian putih itu memang suami isteri Kwa Eng Ki, ketua Tai-bong-pai. Mereka berdua sedang mencari puteri dan putera mereka. Hati mereka kesal, maka mereka menghajar Si Harimau Gunung, walaupun mereka tidak bermaksud bermusuh dengan kaum sesat. Oleh karena itulah mereka tidak mengejar datuk itu dan melanjutkan perjalanan mereka menyelidiki dan mencari anak-anak mereka.

Sementara itu, Siok Eng dan Bwee Hong sudah keluar pula dari dalam hutan. Dari jauh saja, Siok Eng telah dapat mencium bau hio keras itu ketika suami isteri Kwa Eng Ki menghajar Si Harimau Gunung. Gadis ini nampak terkejut dan cepat ia menarik tangan Bwee Hong, diajaknya gadis itu masuk ke dalam hutan.

"Wah, enci Hong, itu ayah dan ibu telah datang pula ke sini! Aku pergi dari rumah tanpa persetujuan mereka dan sudah beberapa bulan aku tidak pulang. Mereka tentu sedang mencariku dan aku belum mau pulang sekarang. Kita bersembunyi dulu di sini sampai mereka pergi."

Bwee Hong mengangguk. Ia dapat mengerti keadaan Siok Eng. Sahabatnya ini adalah puteri dari ketua Tai-bong-pai dan iapun mendengar bahwa keluarga Tai-bong-pai adalah orang-orang yang dianggap iblis oleh dunia kang-ouw. Tidak heran kalau cara hidup merekapun aneh sekali sehingga seorang anak perempuan pergi tanpa pamit dan takut ditemukan ayah bundanya, takut dipaksa dan diajak pulang. Sungguh aneh!

Akan tetapi ia tidak mau menyinggung hati sahabatnya dengan menyatakan keheranannya, dan iapun ikut bersembunyi. Pengalamannya ketika terculik oleh Harimau Gunung tadi saja sudah amat mengerikan, dan ia takut kalau-kalau bertemu lagi dengan iblis itu. Tentang keadaan A-hai, ia tidak khawatir karena bukankah di sana terdapat kakaknya?

Malam itu mereka berdua bersembunyi di dalam hutan, tidak berani banyak bersuara, bahkan tidak berani membuat api unggun. Mereka hanya mengandalkan tenaga sinkang untuk melawan dinginnya sang malam.

Pada keesokan harinya, barulah kedua orang gadis itu berani keluar dari dalam hutan. Dengan hati-hati mereka menuju ke rumah mendiang Gu-lojin. Akan tetapi, ternyata rumah itu kosong. A-hai maupun Seng Kun tidak nampak berada di da-lam rumah. Bwee Hong lalu mengajak Siok Eng pergi ke dusun nelayan untuk mencari mereka. Namun di dusun ini juga mereka tidak menemukan dua orang pemuda itu. Dan dari para nelayan inilah mereka mendengar akan apa yang terjadi malam tadi.

Mereka mendengar akan munculnya dua orang kakek iblis yang mereka dapat menduganya tentulah Si Harimau Gunung dan Si Buaya Sakti. Kemudian datangnya seorang kakek dan seorang pemuda bersama Seng Kun yang mencari dua orang kakek iblis itu, kemudian betapa tiga orang ini melakukan pengejaran menggunakan perahu ketika mendengar betapa dua orang kakek iblis itu merampas perahu seorang nelayan. Kemudian mereka mendengar akan munculnya A-hai yang juga membeli sebuah perahu dan mendayung perahu itu seorang diri.

"Demikianlah, kami berdua lalu menggunakan perahu melakukan pengejaran karena menurut para penghuni dusun, engkau pergi belum lama," kata Bwee Hong menutup ceritanya kepada A-hai.

"Dan akhirnya kami dapat menemukanmu dalam keadaan hanyut dan hampir tenggelam."

"Wah, wah, engkau selalu menjadi bintang penolongku, nona Hong." A-hai berkata dengan terharu. Dia teringat betapa baiknya gadis ini dan kakaknya, yang bahkan berjasa pula dalam mengobati dirinya dan berusaha memulihkan ingatannya.

"Aih, jangan berkata demikian, A-hai. Bukankah engkau sebaliknya yang sudah berkali-kali menyelamatkan diriku dari bencana?"

Melihat betapa dua orang ini saling merendah dan saling memuji, Siok Eng terbatuk-batuk. Karena batuknya ini batuk buatan, Bwee Hong menoleh dan menegur dengan pipi merah, "Ih, apa artinya engkau batuk-batuk itu, adik Eng?"

Siok Eng menutupi mulut dan tersenyum. "Kalian saling berebutan merendahkan diri dan saling memuji. Sudahlah, anggap saja kalian saling hutang budi dan saling berkewajiban untuk membalas budi hi-hik!"

Bwee Hong mengerutkan alisnya. "Maksudmu?"

"Maksudku adalah seperti yang kau maksudkan di dalam lubuk hatimu, enci."

Kedua pipi itu menjadi semakin merah. "Adik Eng, jangan main-main kau. Dan jangan bicara seperti main teka-teki. Apa yang kau maksudkan?"

Siok Eng hanya tertawa dan sikap inilah yang membuat Bwee Hong tiba-tiba mengerti apa yang dimaksudkan sahabatnya itu, maka di dalam, gelap ia mencubit lengan Siok Eng dengan keras, akan tetapi tidak berkata apa-apa karena takut kalau A-hai akan tahu apa yang dimaksudkan oleh Siok Eng dengan godaannya itu. Siok Eng telah menyindir dan menggoda mereka, menjodohkan mereka!

Memang sesungguhnya A-hai tidak mengerti akan kelakar dua orang gadis itu dan diapun bertanya, "Kita ke mana sekarang?" Pertanyaannya diajukan kepada Siok Eng yang mengemudikan perahu.

"Sebaiknya kita pergi ke tempat A-hai dikeroyok orang. Tentu ada sesuatu di tempat itu dan siapa tahu kalau-kalau kakakku juga berada di sana."

"Baik, kita ke sana sekarang juga!" Tiba-tiba Siok Eng berkata dengan tegas sambil mendayung perahunya. Melihat ini, Bwee Hong tersenyum dan mendekati Siok Eng, berkata lirih di dekat telinga gadis itu.

"Engkau tentu sudah ingin sekali segera berjumpa dengan kakakku, bukan?"

Akan tetapi, sejak kecil Siok Eng mempunyai lingkungan hidup yang berbeda dengan Bwee Hong. Sebagai puteri ketua Tai-bong-pai, ia sudah biasa bergaul dengan orang-orang aneh yang hidupnya tidak begitu terbelenggu oleh segala macam sopan santun dan kepura-puraan yang munafik. Apa yang berada dalam hatinya tidak ditutup-tutupinya dengan malu-malu lagi, maka iapun mengangguk dan menjawab dengan suara serius,

"Benar, enci Hong. Aku harus cepat bertemu dengan dia dan melihat dia dalam keadaan selamat, barulah hatiku akan merasa tenteram."

Jawaban ini sudah jelas sekali bagi Bwee Hong, akan tetapi A-hai hanya termangu-mangu di ujung perahu, masih berusaha mengeringkan bajunya yang basah. Dia mendengar ucapan itu dalam arti kata-kata biasa saja, sama sekali tidak melihat bahwa ucapan itu mengandung perasaan hati gadis Tai-bong-pai itu terhadap Seng Kun.

Perahu didayung oleh A-hai menurut petunjuk Siok Eng dan menjelang sore hari tibalah mereka di tempat pengeroyokan itu. Akan tetapi tempat itu sunyi saja dan nampak perahu A-hai di tepi sungai.

"Itu perahuku!" kata A-hai yang mendayung ke pinggir. Dengan girang dia mengambil buntalan pakaiannya. "Aku mau berganti pakaian kering!" katanya sambil lari ke belakang semak-semak. Tak lama kemudian diapun keluar dan sudah memakai pakaian kering dan sikapnya gembira sekali. Memang hatinya gembira setelah dia dapat berkumpul kembali dengan Bwee Hong.

"Di sini sunyi tidak ada seorangpun manusia," kata Siok Eng.

"Tapi ini banyak bekas kaki orang," kata Bwee Hong.

Mereka lalu melalui jalan setapak, mengikuti jejak kaki banyak orang yang menuju ke bukit-bukit di depan. Ketika melihat sebuah pondok bambu yang kosong, mereka masuk. Banyak terdapat bekas kaki di situ, juga di atas meja kasar terlihat corat-coret gambar semacam peta dan ada tulisan Pesanggrahan Hutan Cemara.

"Wah, aku mengenal tempat itu!" Tiba-tiba A-hai berkata. "Telah beberapa kali aku ke sana mengantarkan arak!"

Hari telah malam, akan tetapi karena mengenal jalan, A-hai dapat membawa kedua orang temannya menuju ke pesanggrahan yang dimaksudkan itu. Mereka melewati kedai arak yang pernah menjadi langganan A-hai. Kedai itu tertutup rapat, dan nampak bekas keributan dan perkelahian yang membuat beberapa bagian dari kedai itu jebol dan rusak. Agaknya keributan besar terjadi di situ.

Sama sekali tidak mereka ketahui betapa di dalam kedai itu telah terjadi keributan dan perkelahian antara rombongan para penjahat melawan para anggauta Liong-i-pang dan di kedai itupun hadir pula Liu Pang dan Ho Pek Lian seperti yang telah diceritakan di bagian depan.

Tiga orang itu melanjutkan perjalanan, dengan A-hai sebagai penunjuk jalan, menuju ke Pesanggrahan Hutan Cemara, yaitu pesanggrahan, kaisar yang hanya dipergunakan di waktu kaisar mengadakan perburuan.

Malam sudah larut, sudah lewat tengah malam ketika mereka bertiga tiba di pesanggrahan itu. Dan di sinipun mereka melihat bekas-bekas pertempuran hebat yang membuat bangunan pesanggrahan yang mungil itu porak-poranda. Melihat akibat yang demikian parah, dapat diduga bahwa pertempuran yang terjadi di tempat itu amatlah hebatnya. Sebagian bangunan nampak bekas terbakar dan darah masih nampak berceceran di sana-sini, berwarna kehitaman dan sudah mengering.

"Ssttt, ada orang!" kata Siok Eng berbisik dan mereka bertiga lalu menyelinap ke belakang semak-semak.

Muncullah seorang laki-laki bertubuh pendek dari dalam bangunan yang bekas terbakar dan sinar bulan membuat wajah laki-laki pendek itu nampak pucat sekali. Melihat wajah itu, Bwee Hong segera mengenalnya. Orang itu bukan lain adalah Pek-lui-kong Tong Ciak, jagoan istana yang setia itu. Tentu orang itu tahu akan semua hal yang terjadi, mungkin tahu pula di mana adanya kakaknya.

Maka Bwee Hong lalu keluar dari tempat sembunyinya, diikuti oleh Siok Eng dan A-hai. Dua orang inipun telah mengenal muka cebol yang lihai itu dan mereka merasa agak khawatir. Tadinya Tong Ciak nampak terkejut, akan tetapi ketika dia mengenal Bwee Hong, diapun merasa lega dan menghampiri mereka.

"Ah, kiranya nona Chu yang datang," katanya.

"Tong-ciangkun, kenapa ciangkun berada di sini dan apakah yang telah terjadi di tempat ini? Kulihat ada bekas-bekas pertempuran."

Si pendek itu menarik napas panjang dan nampak berduka. Dia mengepal tinju yang diamangkan ke arah bulan, menahan diri yang agaknya ingin menyumpah-nyumpah, lalu berkata, "Sudahlah, apa artinya dipertahankan lagi? Nona Chu, kalau nona bertemu dengan ayahmu, tolong sampaikan bahwa aku Tong Ciak mengirim hormat dari jauh dan bahwa aku tidak akan kembali lagi ke istana."

Bwee Hong mengerutkan alisnya. Ia tahu bahwa panglima ini menghormati ayahnya, yaitu Bu Hong Tojin dan ia tidak perduli apa yang akan dikerjakan oleh orang ini. Akan tetapi ia ingin tahu apa yang sebenarnya telah terjadi maka panglima cebol yang lihai ini kelihatan murung, berduka dan putus harapan, maka iapun menjawab, "Baik, ciangkun, akan kusampaikan. Akan tetapi apakah yang terjadi dan ciangkun hendak pergi ke manakah?"

"Aku akan kembali ke Rawa Pasir. Tidak ada gunanya lagi mengabdi di istana setelah kaisar terbunuh. Yang berada di istana sekarang adalah kaum pencoleng dan penjahat, begundal-begundal Perdana Menteri Li Su yang lalim dan Chao thaikam yang korup." Si cebol menarik napas panjang. "Mereka, dipimpin oleh Raja Kelelawar, telah berhasil merampas jenazah sri baginda. Kakakmu dibantu oleh dua orang temannya melakukan pengejaran karena mereka mengira bahwa para penjahat itu membawamu, nona. Akan tetapi sungguh perbuatan mereka itu amat berbahaya. Raja Kelelawar sungguh amat lihai sekali dan dia masih dibantu oleh pentolan-pentolan kaum sesat yang berilmu tinggi."

"Kalau begitu, aku harus menyusul Kun-koko," kata Bwee Hong.

"Akupun akan pergi sekarang juga, harap engkau suka berhati-hati, nona. Kaum sesat itu selain kejam dan jahat, juga amat lihai. Aku sendiri sudah terluka, dan perlu beristirahat untuk memulihkan tenaga dan kesehatan."

Mereka lalu berpisah dan Bwee Hong, Siok Eng dan A-hai malam itu juga meninggalkan tempat itu. Mereka lebih suka melewatkan malam di tempat lain dari pada di bekas pesanggrahan yang terbakar itu. Mereka bermalam di tepi hutan dan pada keesokan harinya barulah mereka melanjutkan perjalanan ke kota raja, untuk menyusul Seng Kun.

Tiga orang itu melakukan perjalanan cepat, akan tetapi kadang-kadang mereka terpaksa mengurangi kecepatan karena kalau dua orang gadis itu mengerahkan ilmu lari cepat mereka, tentu A-hai akan tertinggal. Selain itu, juga sering kali secara tiba-tiba A-hai berhenti dan termenung, memeras otaknya untuk mengingat-ingat ilmu silat yang pernah dipelajarinya.

"Perlu apa melelahkan pikiran dengan mengingat-ingat ilmu silat yang pernah kau pelajari dalam keadaan seperti sekarang ini, A-hai?" Pertanyaan Bwee Hong ini dimaksudkan bahwa mereka bertiga sedang tergesa-gesa mencari dan mengejar Seng Kun, maka bukanlah waktunya yang tepat untuk sering kali berhenti dan mengingat-ingat ilmu silat.

Akari tetapi A-hai salah mengerti dan menjawab dengan sungguh-sungguh, "Justeru dalam keadaan seperti sekarang ini maka perlu aku mengingat semua ilmu yang pernah kupelajari, nona Hong. Di mana-mana terjadi kekalutan dan aku melihat betapa ilmu silat amat diperlukan pada waktu sekarang ini. Orang-orang jahat berkeliaran, kalau tidak memiliki kepandaian silat, tentu celaka karena tidak mampu melindungi diri sendiri. Maka perlu sekali aku mengingat-ingatnya, dan agaknya samar-samar aku mulai teringat akan gerakan ilmu silat yang pernah kupelajari."

Sambil berkata demikian, kaki tangannya bergerak-gerak secara aneh dan mulutnya bicara kepada diri sendiri, "setelah kaki digeser ke kiri, tangan harus mencengkeram ke arah ubun-ubun lawan. Begini! Ah, benar" Dia melakukan gerakan kaki menggeser ke kiri itu dan tagannya mencuat dengan cengkeraman aneh ke atas.

Sebagai ahli-ahli silat kelas tinggi Bwee Hong dan Siok Eng dapat mengenal ilmu silat yang amat aneh dan hebat. Sayang hanya sepotong-sepotong, akan tetapi gerakan yang kelihatan sederhana itu memiliki dasar kecepatan yang mengerikan, bahkan setiap kali tangan digerakkan, terdengar suara mengaung atau berdesing seperti sebatang pedang yang baik disentil atau diayunkan. Tenaga sinkang yang hebat tersembunyi di dalam gerakan itu tanpa disadari oleh A-hai sendiri!

Siok Eng yang bahkan memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari Bwee Hong, juga memandang kagum lalu mengajukan usulnya, "Alangkah baiknya kalau engkau merangkai gerakan-gerakan itu, dari awal mula. Tentu saja yang engkau ingat, saudara A-hai. Tanpa dirangkai, gerakan-gerakan itu menjadi kacau tidak karuan ujung pangkalnya."

A-hai yang mendengar usul ini termenung, mengangguk-angguk, lalu kedua alisnya yang tebal itu berkerut, tanda bahwa dia mulai mengerahkan ingatannya. "Baiklah, akan kucoba. Akan tetapi harap nona berdua tidak mentertawakan."

Siok Eng dan Bwee Hong lalu duduk di bawah pohon dengan hati gembira. Mereka ingin sekali melihat A-hai, dalam keadaan sadar, dapat mengingat dan menguasai ilmu-ilmunya yang mujijat. Setelah memandang kepada dua orang gadis itu dengan malu-malu, A-hai lalu agak menjauh dan mulailah dia memasang kuda-kuda.

Mula-mula A-hai berdiri tegak, menghadap ke arah dua orang nona yang menjadi penonton itu, lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai tanda penghormatan. Kemudian dia menurunkan kedua tangannya, terus kedua lengan dibuka dan dipentang ke kanan kiri dengan jari-jari terbuka membuat gerakan seperti burung terbang dan kedua lengan itu seperti menjadi sepasang sayapnya, perlahan-lahan kaki kanan diangkat dan diturunkan lagi ke depan dalam keadaan berjungkit.

Tiba-tiba saja terdengar suara berkerotokan dari tulang-tulang di tubuh pemuda itu dan sepasang matanya mencorong menakutkan, sedangkan dari ubun-ubun kepalanya nampak uap tipis mengepul. Bwee Hong terbelalak dan tak terasa lagi ia memegang lengan kawannya erat-erat saking tegang hatinya dan khawatir kalau-kalau A-hai kumat lagi!

Tenaga dahsyat yang seolah-olah bangkit dalam diri A-hai itu, makin lama nampak semakin hebat sehingga mempengaruhi keadaan sekeliling. Bahkan dua orang nona itu merasakan getaran yang aneh walaupun A-hai belum menggerakkan kaki tangannya dan baru mulai dengan pemasangan kuda-kuda saja.

Sepasang mata yang sudah mencorong hebat itu kini perlahan-lahan menjadi redup kembali, uap di atas kepalanyapun lenyap dan sikap A-hai nampak kebingungan dan ketolol-tololan lagi. Diapun menurunkan kedua tangannya dan nampak lesu.

"Wah, sudahlah, aku lupa lagi bagaimana untuk melanjutkan!" katanya dengan nada suara kesal.

Tentu saja Siok Eng dan Bwee Hong yang tadinya sudah merasa tegang sekali dan juga gembira, menjadi kecewa dan ikut lemas seperti balon kembung kini dikempiskan.

"A-hai, jangan putus harapan. Cobalah lagi. Engkau sudah hampir berhasil tadi!" Bwee Hong membujuk.

"Benar, saudara A-hai, engkau sudah berhasil dengan pasangan kuda-kuda itu," Siok Eng juga memuji.

"Cobalah lagi, A-hai dan karena kuda-kudamu sudah benar, jangan terlalu kerahkan pikiranmu untuk itu, melainkan untuk mengingat gerak lanjutannya," sambung Bwee Hong.

Didorong semangat oleh dua orang gadis itu, akhirnya A-hai meniadi gembira juga dan dicobanya lagi berkali-kali, kalau lupa dia mulai lagi dari permulaan. Akhirnya berhasil juga! Ketika dia melakukan gerakan pertama memasang kuda-kuda, agaknya kini gerakannya itu benar-benar sempurna. Uap yang mengepul di atas kepalanya semakin tebal dan tiba-tiba terjadilah keanehan yang membuat kedua orang dara itu terbelalak dan wajah mereka berobah.

Mata mereka memandang kepada A-hai seperti orang yang tidak percaya akan apa yang mereka saksikan. Uap yang mengepul di atas kepala A-hai itu kini terbagi menjadi dua warna. Yang sebelah kiri berwarna putih seperti uap tebal biasa, akan tetapi yang sebelah kanan berwarna kemerahan! Uap itu mengepul ke atas setinggi satu meter. Tentu saja dua orang dara yang selama hidupnya belum pernah melihat hal seperti itu.

Bahkan mendengar pun belum, menjadi melongo dan dapat menduga bahwa tenaga sinkang yang dimiliki oleh A-hai sungguh luar biasa anehnya dan amat hebat. Akan tetapi, mereka sengaja menahan mulut dan tidak mengeluarkan kata-kata agar A-hai tidak menjadi bingung atau kikuk. Mereka diam saja dan memperhatikan dengan kedua mata terbelalak, mengikuti setiap gerakan kaki dan tangan A-hai.

Kini gerakan A-hai mulai lancar, walaupun masih dilakukan dengan perlahan dan lambat. Biarpun begitu, dua orang dara itu memandang dengan melongo dan semakin takjub melihat keadaan yang benar-benar amat luar biasa dari pemuda itu. Kini perlahan-lahan anggauta tubuh A-hal juga mengalami perobahan warna.

Agaknya warna pada uap yang mengepul di atas kepala pemuda itu kini mempengaruhi tubuhnya sehingga separuh tubuhnya yang sebelah kiri menjadi keputih-putihan, sedangkan separuh tubuh sebelah kanan menjadi kemerah-merahan. Tentu saja wajah yang tampan itu nampak aneh dan mengerikan karena menjadi dua warna, merah dan putih seperti dicat saja dengan warna muda.

Dari perasaan takjub dan kagum, kini dua orang dara itu merasa khawatir juga. Bahkan Bwee Hong menjadi gelisah karena biarpun ia mengikuti kakaknya mengusahakan pengobatan terhadap A-hai, namun ia sama sekali tidak dapat mengetahui dengan pasti, apa yang sedang terjadi dan berobah di dalam tubuh pemuda itu dan iapun merasa tidak berdaya untuk menghentikannya. Kalau saja di situ terdapat kakaknya.

Kakaknya adalah seorang ahli pengobatan yang sudah mewarisi kepandaian mendiang kakek mereka, sedangkan ia sendiri hanya mengetahui cara pengobatan umum saja, tidak terlalu mendalam seperti kakaknya. Kalau kakaknya berada di sini dan menyaksikan keadaan A-hai, tentu akan tertarik sekali dan mungkin dapat menerangkannya.

Kini A-hai mengeluarkan suara mendengus beberapa kali dan gerakan tubuhnya sangat aneh. Dia hanya menggerakkan kaki dan tangan kirinya saja, bahkan yang bergerak hanya tubuh bagian kiri. Mata kirinya melirik-lirik akan tetapi mata kanannya bengong dan diam saja! Bagian tubuh kiri yang putih itulah yang bergerak, sedangkan bagian tubuh kanan yang merah hanya terseret, tidak ikut-ikut bergerak.

Tentu saja dua orang dara itu terbelalak dan bulu tengkuk mereka meremang menyaksikan keanehan yang menggiriskan dan menakutkan ini. Bwee Hong makin gelisah. Gerakan itu kini terasa mendatangkan hawa dingin yang luar biasa sekali, yang seperti terasa menyusup tulang oleh dua orang dara.

Uap berwarna putih di atas kepala A-hai itupim menghilang, tinggal yang berwarna merah saja yang mengepul. Akan tetapi, biarpun yang bergerak itu hanya anggauta tubuh kiri, hebatnya bukan kepalang. Setiap jari tangan kiri yang bergerak melakukan totok-an-totokan dan mengeluarkan bunyi mendesis-desis seperti bara api tersiram air hujan.

Agaknya, kelancaran gerakannya membuat A-hai menjadi semakin bersemangat. Kadang-kadang pemuda itu menghentikan gerakannya, mengingat-ingat sebentar lalu melanjutkan lagi. Akan tetapi, pada suatu gerakan yang nampak aneh dan indah, ketika dia menggeser kakinya ke kiri, dia termangu-mangu dan tidak mampu melanjutkan lagi, tubuhnya masih condong ke depan dan karena dia mengingat-ingat dan menghentikan gerakannya, dia menjadi seperti patung yang lucu. Akhirnya dia menyerah karena tidak mampu mengingat kelanjutan gerakan ini.

"Wah, sudahlah cuma sampai di sini saja ingatanku." Dan diapun menghentikan permainan silatnya dan duduk di atas rumput dengan hati kesal.

Pagi telah menjelang. Kabut pagi yang dingin membuat dua orang dara yang seperti baru sadar dari mimpi itu kedinginan. Mereka menarik napas panjang, seperti baru kembali dari alam khayal yang mentakjubkan. Mereka disuguhi tontonan ilmu silat yang langka dan yang hebat luar biasa.

"Ehh? Putih-putih di rambutmu itu apakah hujan salju?" tiba-tiba Siok Eng menunjuk ke arah rambut Bwee Hong. Dara ini mengangkat muka memandang dan iapun melihat betapa di rambut Siok Eng terdapat benda-benda putih seperti kapas, bahkan di puncak-puncak daun dan rumput di sekitar mereka terdapat salju.

"A-hai, apakah hujan salju? Pantas begini dingin!" kata Bwee Hong sambil menoleh kepada A-hai.

"Hujan salju? Entahlah, aku tidak tahu, nona," kata A-hai yang masih tenggelam ke dalam lamunan, mengingat-ingat ilmu silatnya.

"Hei, kenapa tidak ada salju di rambut A-hai?" Bwee Hong berseru sambil bangkit dan mendekati pemuda itu. Siok Eng juga memeriksa sekitar situ, yang kini tidak begitu gelap lagi karena fajar mulai menyingsing.

"Eh, di sinipun tidak ada salju, yang ada hanya kabut dan embun di puncak-puncak daun." Siok Eng juga berseru.

Mereka memeriksa keadaan yang aneh itu dan akhirnya mereka sadar dengan penuh takjub bahwa salju itu tercipta sebagai akibat dari pada pengaruh ilmu silat aneh dari A-hai! Kiranya, pukulan-pukulan yang dilakukan A-hai mengandung tenaga sinkang mujijat yang dingin, yang agaknya dapat membuat embun-embun tipis di sekitar tempat itu berobah menjadi salju. Luar biasa sekali!

Sambil menanti datangnya pagi, mereka duduk dan dua orang gadis itu memuji-muji ilmu silat yang baru saja diperlihatkan oleh A-hai. Akan tetapi A-hai menggeleng kepalanya. "Masih kacau balau, belum tersusun baik," katanya, bukan untuk merendah melainkan karena dia memang belum merasa puas dan tahu bahwa ilmu yang diingatnya itu tidak lengkap.

"Sungguh mati, selama hidupku belum pernah aku mendengar, apa lagi melihat, ilmu silat seperti yang kau mainkan tadi, saudara A-hai. Hanya sayang sekali, mengapa engkau bersilat hanya dengan sebelah kaki dan sebelah tangan? Kalau saja engkau menggunakan semua kaki tanganmu, tentu ilmu itu akan menjadi semakin hebat dan ampuh."

A-hai menunduk dari mukanya berobah merah, lalu dia mengangkat mukanya lagi, meman-dang kepada Siok Eng sambil tersenyum sedih. "Akan tetapi yang kuingat memang hanya digerakkan oleh satu tangan saja."

"A-hai, tadi engkau mengatakan sebelum engkau mulai bersilat, bahwa ketika kakimu bergeser ke kiri, seharusnya engkau mencengkeram ke arah ubun-ubun lawan. Apa yang kau maksudkan dengan itu?" Bwee Hong mengingatkan.

A-hai meloncat bangun, menepuk kepalanya. "Aih, benar! Seharusnya jurus terakhir tadi dilanjutkan, ketika kaki bergeser ke kiri, tangan kananku harus mencengkeram ke arah ubun-ubun lawan dengan jurus Pai-in-jut-sui (Mendorong Awan Keluar Puncak). Ya, begitulah!" katanya dengan girang seperti seorang anak kecil yang menemukan kembali mainannya yang hilang.

Dengan semangat baru yang meluap-luap A-hai kembali memainkan ilmu silatnya, melanjutkan dengan gerakan yang terlupa tadi setelah keadaannya kembali seperti tadi, yaitu tubuhnya berobah menjadi dua warna. Dengan suara menggeram dahsyat, ketika kakinya bergeser ke kiri, tiba-tiba tangannya mencuat ke depan dan mencengkeram ke atas. Terdengar suara mendesis dan pohon di depan A-hai tergetar keras, air embun yang tadinya menempel di ujung daun-daun berhamburan ke bawah dalam keadaan berobah menjadi salju yang melayang turun seperti kapas.

Sampai di sini, A-hai berhenti dan mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. Tiba-tiba, kaki kanannya yang sejak tadi seperti mati atau hanya mengikuti gerakan kaki kiri dalam keadaan terseret, kini ditekuk dan melangkah ke depan. Tangan kanannya dengan terbuka kini mencengkeram ke depan.

"Wuuuuttt!" Hawa panas menyambar keluar dari telapak tangan itu dan uap merah yang mengepul di atas kepalanya lenyap. Cengkeraman tangan kanan itu menyambar ke atas dan butiran-butiran salju yang terjadi oleh tenaga pukulan tangan kirinya tadi kini lenyap dan menguap menjadi seperti kabut. Lebih hebat lagi, daun-daun yang tergantung paling rendah di pohon itu menjadi layu seperti terlanda hawa panas yang hebat.

"Bukan main!" Siok Eng berbisik kagum. Ia adalah puteri ketua Tai-bong-pai dan sudah banyak melihat ilmu-ilmu aneh dan hebat dari orang-orang pandai. Akan tetapi apa yang disaksikannya ini sungguh membuat ia takjub. Bagaimana seorang bisa bersilat seperti itu? Kedua kaki dan kedua tangan itu membuat gerakan sendiri-sendiri, seperti dikemudikan oleh dua otak. Bahkan kedua mata pemuda itupun bekerja sendiri-sendiri, melirak-lirik mengikuti gerakan bagian masing-masing.

"Hebat sekali permainanmu, A-hai!" Bwee Hong juga memuji.

Pujian ini membuat ingatan A-hai menjadi buntu lagi dan betapapun dia mengingat-ingat, tetap saja dia tidak mampu melanjutkan. Akan tetapi dia tidak kecewa lagi karena hasil ingatannya sekali ini sudah baik sekali. Mereka lalu beristirahat sambil makan pagi yang dikeluarkan oleh Siok Eng dan A-hai, yaitu roti kering dan dendeng asin. A-hai masih mempunyai arak untuk menghangatkan perut melawan hawa dingin.

Setelah makan pagi, mereka bertiga melanjutkan perjalanan. Kini pandangan Siok Eng terhadap A-hai lain. Ia bersikap hormat dan di dalam hatinya ia memandang pemuda itu sebagai seorang yang lebih pandai dari padanya, sama sekali tidak memandang rendah sebagai seorang pemuda yang kehilangan ingatannya.

Ketika mereka tiba di dataran rendah, dari jauh nampak iring-iringan tandu dikawal oleh belasan orang perajurit yang gagah perkasa. Mereka cepat menyelinap bersembunyi dan memperhatikan ketika iring-iringan itu lewat di depan tempat persembunyian mereka. Diam-diam Bwee Hong ter-kejut. Tidak salah lagi. Tandu-tandu yang terisi wanita-wanita tua muda dan anak-anak itu tentu datang dari kota raja, agaknya menandakan keluarga bangsawan.

Timbul pertanyaan di hatinya. Mengapa mereka meninggalkan kota raja dan siapakah mereka? Akan tetapi ia tidak mau mencari perkara dengan banyak bertanya, khawatir kalau-kalau dicurigai dan malah bentrok dengan para pengawal itu. Mereka sedang meninggalkan kota raja dan nampak tergesa-gesa, tentu banyak kecurigaan mereka kalau ada orang bertanya-tanya di jalan.

Mereka bertiga melanjutkan perjalanan dan di sepanjang perjalanan Bwee Hong selalu mencari keterangan tentang Raja Kelelawar yang membawa jenazah, juga tentang kakaknya yang ditemani dua orang yang belum diketahuinya siapa. Menurut keterangan yang diperolehnya dari penghuni dusun nelayan, yang menemani kakaknya adalah seorang pemuda tampan dan seorang kakek tua memegang tongkat. Biarpun Bwjee Hong selalu bertanya kepada orang-orang di dalam perjalanan tentang mereka itu, tidak ada seorangpun yang dapat memberi keterangan, tidak ada yang melihat orang-orang yang ditanyakannya itu.

Pada suatu pagi perjalanan mereka terhalang oleh sebuah sungai. Mereka berhenti di dusun penyeberangan. Untuk menyeberang, orang harus naik perahu penyeberangan yang disediakan di dusun itu. Akan tetapi pada saat itu, tidak terdapat perahu di tepi sini karena semua perahu dikerahkan untuk menjemput orang-orang yang berjubel di seberang sana dan hendak menyeberang ke sini. Melihat keadaan ini, A-hai mendekati seorang anak laki-laki belasan tahun yang berada di situ. Anak inipun membantu para tukang perahu dan nampaknya cerdik.

"Adik kecil, kenapa banyak sekali orang-orang menyeberang dari sana, sedangkan aku tidak melihat seorangpun yang hendak menyeberang dari sini ke sana?"

"Mereka adalah para pengungsi," jawab anak itu.

"Pengungsi dari mana dan kenapa mengungsi?" tanya pula A-hai.

Anak itu memandang wajah A-hai seperti merasa heran mengapa ada orang yang tidak tahu akan keadaan geger pada waktu itu. "Kabarnya pasukan pemerintah telah mundur, dan pasukan pemberontak sudah mendekati kota raja. Pasukan yang mundur sudah sampai di seberang sana. Para pengungsi itu datang dari utara hendak ke selatan."

Mendengar jawaban ini, Bwee Hong dan Siok Eng saling pandang dengan A-hai. Kalau begitu, iring-iringan tandu yang mereka jumpai itu tentulah para pengungsi dari bangsawan atau pejabat kota raja yang hendak menyelamatkan diri karena kota raja sudah terancam oleh para pemberontak.

Sebuah perahu dari seberang yang padat peng-ungsi tiba di tepi. Rombongan ini tentu keluar-ga hartawan, pikir Bwee Hong dan dua anak muda ini malah hendak menuju ke sana? Ketika perahu menye-berangi sungai yang lebar itu, A-hai sempat meng-ajak tukang perahu bercakap-cakap.

"Kami sudah lama meninggalkan utara dan ki-ni hendak pulang ke keluarga kami," demikian A-hai bicara dan Bwee Hong melihat kenyataan bahwa setelah ingatannya agak dapat bekerja kem-bali, sikap A-hai sungguh amat berbeda dan kini nampaklah bahwa dia adalah seorang pemuda cer-dik, sama sekali tidak tolol. "Kami sama sekali ti-dak tahu bagaimanakah keadaan di sana. Apakah yang telah terjadi, lopek?"

Tukang perahu menarik napas panjang. "Membanjirnya para pengungsi sungguh membikin panik. Kalau kami tidak ingat akan tugas, juga karena kami orang-orang miskin yang tidak mungkin pergi membawa bekal, tentu kamipun akan ikut-ikut lari. Kabarnya pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Jenderal Beng Tian telah dipukul mundur oleh pemberontak. Dan kini setelah kaisar lenyap dan kabarnya ditemukan tapi sudah tidak ada, juga kabarnya kaisar baru diangkat, keadaan di kota raja menjadi kalut. Kabarnya kaum penjahat merajalela di kota raja, para petugas keamanan tidak berdaya, rakyat tidak terlindung sama sekali dan peraturan-peraturan dilanggar secara berani. Kabarnya kini para pejabat malah bertindak sewenang-wenang dan bersekongkol dengan para penjahat, bahkan banyak keluarga istana dan pejabat dihukum gantung dan dibunuh. Aku hanya mengumpulkan percakapan para pengungsi, aku sendiri tidak tahu apa-apa." Tukang perahu menutup ceritanya dan mengelak dari pertanggungan jawab.

"Lopek, aku mencari tiga orang. Yang seorang adalah pemuda yang usianya duapuluh tahun lebih, bertubuh jangkung, wajahnya tampan dan gagah!"

"Di dagunya sebelah kanan ada tahi lalatnya" Siok Eng menyambung, kemudian mukanya menjadi agak merah ketika Bwee Hong menoleh kepadanya sambil tersenyum.

"Ya, dan orangnya pendiam. Dia ditemani oleh seorang kakek yang bertongkat, juga seorang pemuda yang usianya agak lebih tua dari pada pemuda pertama, tubuhnya tegap sedang dan mukanya agak kemerahan!"

"Ah, jangan-jangan mereka yang nona maksudkan!" Tukang perahu berseru kaget. "Baru kemarin ada tiga orang seperti yang nona gambarkan tadi. Akan tetapi mereka itu menjadi tawanan. Tangan mereka dibelenggu kuat-kuat dan dijaga oleh beberapa orang yang bertampang bengis dan menakutkan, seperti tampang penjahat. Orang-orang bengis ini dipimpin oleh seorang kakek yang tinggi kurus dan pakaiannya serba hitam, juga mantelnya hitam dan mukanya hihhh, menyeramkan sekali, seperti topeng mayat. Mereka menumpang perahu ini dan aku tidak berani berkutik atau bicara sedikitpun, bahkan memandangpun tidak berani!"

Tukang perahu itu tidak tahu betapa berita yang diceritakannya ini membuat tiga orang penumpangnya terkejut setengah mati. Mereka tahu bahwa orang yang dicari-cari itu ternyata telah terjatuh ke tangan Si Raja Kelelawar dan anak buahnya. Mereka itu tidak dibunuh, melainkan ditawan dan diajak menyeberang, maka mudahlah diduga bahwa Seng Kun dan dua orang kawannya itu tentu dibawa ke kota raja.

Bwee Hong sudah mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja, dan ia harus dapat menolong kakaknya. Keputusan hati ini terjadi juga di dalam batin Siok Eng. Gadis puteri Tai-bong-pai ini telah jatuh cinta kepada Seng Kun, pemuda yang pernah menyelamatkan nyawanya. Kini, mendengar bahwa pemuda yang dicintanya itu terjatuh ke tangan Raja Kelelawar dan dibawa ke kota raja, iapun mengambil keputusan untuk mencari sampai ke kota raja dan berusaha menolongnya.

Hanya A-hai yang tidak berpikir apa-apa. Dia akan pergi ke mana saja Bwee Hong mengajaknya. Dia merasa seolah-olah dia menjadi bagian tak terpisahkan dari gadis itu, atau gadis itu merupakan bagian tak terpisahkan darinya. Kini perahu mereka sudah tiba di tengah-tengah sungai dan dari depan nampak beberapa buah perahu yang penuh dengan para pengungsi dari seberang.

Tiba-tiba A-hai menunjuk ke arah hilir sungai. "Lihat, di sana ada beberapa buah perahu besar juga sedang menyeberang!"

Dua orang gadis itu memandang dan benar saja, di sana nampak beberapa buah perahu besar sedang menyeberang. "Lopek, apakah di sana terdapat tempat penyeberangan lain?" tanya Bwee Hong.

"Tidak ada. Di bagian sana kedua tepinya hanya hutan belukar, tidak ada perkampungan. Entah perahu siapa itu," jawab si tukang perahu.

"Lopek, seberangkan kita di bagian sana juga." Tiba-tiba Siok Eng berkata.

Tukang perahu kelihatan tidak setuju. "Akan tetapi aku harus sampai ke seberang sana untuk mengangkuti orang-orang yang masih berjubel."

"Nih sebagai pengganti kerugianmu," kata pula Siok Eng sambil mengeluarkan beberapa keping uang perak.

Melihat ini, si tukang perahu tidak banyak cakap lagi dan mengerahkan perahunya ke hilir. Biarpun dia mengangkuti para penumpang hilir-mudik seharian, dia tidak akan bisa memperoleh hasil sebesar seperti yang diberikan nona ini kepadanya. Maka dia lalu menerima uang perak itu dan perahunya meluncur cepat. Bagaimanapun juga, tidak lebih cepat dari pada perahu-perahu besar yang sudah lebih dulu mendarat di seberang sana.

Ketika melihat bahwa para penumpang perahu besar itu berpakaian seragam, Bwee Hong berbisik kepada Siok Eng, "Adik Eng, mau apa kita ke sana?"

"Mereka mencurigakah, sebaiknya kita selidiki."

"Kalau begitu, kita menyeberang agak jauh dari perahu-perahu itu," kata Bwee Hong dan Siok Eng setuju.

Perahu itu lalu mereka suruh daratkan di seberang yang agak jauh. Mereka berloncatan ke darat yang ternyata merupakan bagian hulan belukar. Setelah mendaratkan tiga orang itu, si tukang perahu menggerakkan perahunya kembali dan dia hanya menggeleng kepala keheranan melihat kela-kuan tiga orang muda itu yang memilih pendaratan di tengah hutan! Akan tetapi hal itu bukan urusannya dan yang terpenting dia sudah menerima upah yang besar.

Tiga orang muda itu menyusup-nyusup di antara pohon-pohon menuju ke tempat di mana perahu-perahu besar itu mendarat. Akhirnya mereka melihat banyak orang di sebuah lapangan terbuka di tengah hutan. Mereka itu berpakaian se-agam perajurit dan bersenjata lengkap. Jumlah mereka tidak kurang dari limapuluh orang dan yang membuat tiga orang muda itu terkejut sekali adalah ketika mereka mengenal seorang kakek tinggi besar yang memakai pakaian perwira dan agaknya menjadi pemimpin pasukan itu karena perwira ini bukan lain adalah San-hek-houw Si Harimau Gunung!

Tentu saja tiga orang muda itu terkejut bercampur heran. Mereka tahu bahwa San-hek-houw adalah seorang datuk sesat, seorang di antara Sam-ok. Bagaimana kini tiba-tiba saja berpakaian perwira dan memimpin pasukan pemerintah?

"Kalau dia berada di sini, besar kemungkinan kakakku juga ditahan di tempat ini," bisik Bwee Hong kepada dua orang temannya. Akan tetapi karena mereka maklum akan kelihaian San-hek-houw yang ditemani anak buah puluhan orang ba-nyaknya, apa lagi kalau diingat kemungkinan ada-nya pula Si Raja Kelelawar di hutan itu, tiga orang muda itupun tidak berani terlalu mendekat.

"Mari kita mencoba untuk mencari sendiri di mana adanya sarang mereka di hutan ini dan menyelidiki kalau-kalau kakakku berada di hutan ini pula."

Dua orang kawannya mengangguk dan mereka lalu menyusup-nyusup ke dalam hutan, di antara pohon-pohon dan semak-semak. Mereka naik turun bukit kecil dan tiba di daerah yang banyak rawanya. Ketika mereka berdiri di puncak bukit kecil sambil meneliti ke sekitar tempat itu, mereka melihat seorang gadis kecil asyik menjala ikan di rawa yang tidak begitu dalam itu.

Menimbulkan perasaan aneh dan curiga melihat seorang gadis kecil menjala ikan seorang diri saja di tempat yang sunyi seperti itu. Gadis itu masih kecil, paling banyak duabelas tahun usianya. Wajahnya cantik manis dan rambutnya dikepang dua, di pinggangnya tergantung kempis yang terisi ikan-ikan yang didapatkannya dalam menjala. Dengan heran dan menduga-duga, mereka bertiga lalu menghampiri tepi rawa.

Pada saat itu, mereka melihat seekor ular yang meluncur di atas air rawa itu menghampiri dan menyerang gadis nelayan tadi yang berdiri di dalam air setinggi pinggang! Tentu saja tiga orang itu terkejut sekali. Untuk menolong agak sukar karena jarak antara mereka dan gadis cilik yang berada di dalam air itu cukup jauh.

Akan tetapi, ternyata gadis itupun sudah tahu akan bahaya yang mengancam dirinya. Ular itu menyerang dari kanan dan dengan sigapnya, gadis itu memutar tubuhnya dan tangan kanannya yang membawa jala itu bergerak menyabet ke arah ular.

"Plakkk!" Ular itu terpukul keras, terlempar jauh dan jatuh ke air, mengambang dan tidak bergerak lagi karena mati. Jatuhnya ular itu agak di tepi rawa, tidak jauh dari kaki A hai. Pemuda ini segera menghampiri, membungkuk dan ketika menyentuh bangkai ular, dia mendapat kenyataan bahwa ular itu mati dengan tulang-tulang remuk!

"Wah, adik kecil, engkau sungguh hebat! Bolehkah kami berkenalan denganmu? Namaku A-hai. Siapakah engkau, adik kecil?"

Gadis cilik itu menoleh dan memandang kepada mereka bertiga dengan alis berkerut tanda curiga. Ia tidak menjawab pertanyaan A-hai, akan tetapi ia menyudahi pekerjaannya menjala ikan dan berjalan menuju ke tepi. Celananya basah kuyup dan tentu saja paha dan kakinya nampak membayang ketat di balik celana yang basah. A-kan tetapi gadis cilik itu bersikap biasa saja, tidak kikuk.

Bwee Hong maklum bahwa gadis itu belum percaya kepada mereka dan merasa curiga, maka iapun melangkah maju menghampiri dan merangkul anak perempuan itu. "Siauw-moi, jangan curiga dan khawatir. Kami bertiga bukanlah orang-orang jahat dan kami hanya kebetulan saja lewat di sini dan melihatmu tadi. Kalau engkau tidak suka berkenalan dengan kami, kamipun tidak akan memaksa."

Agaknya wajah cantik dan sikap halus dari Bwee Hong menimbulkan kepercayaan pada anak perempuan itu. "Namaku Cui Hiang, tinggal bersama ayah ibuku dan adikku yang masih kecil. Kami hidup terpencil dan setiap hari mencari ikan di rawa. Kami hidup dengan tenteram. Akan tetapi beberapa hari ini kami didatangi orang-orang yang sikapnya kasar dan jahat. Mereka agaknya mencari seseorang yang mereka kira bersembunyi di daerah ini. Bahkan mereka mengira ayah menyembunyikan orang itu dan menanyai ayah. Ayahku melawan, akan tetapi para penjahat itu berkepandaian tinggi. Ayah dihajar babak belur dan menderita luka parah. Ibuku yang menolong ayah juga dihajar dan terluka parah. Ayah dan ibu ham-pir dibunuh, akan tetapi baiknya muncul seorang kakek berjubah hitam yang sakti dan menghajar semua penjahat itu. Kakek itu mengatakan bahwa orang yang dicari-cari berada dalam lindungannya dan dia malah menantang agar mereka menyuruh pemimpin mereka sendiri datang menghadapinya. Para penjahat itu lalu pergi membawa teman-teman mereka yang terluka."

Anak itu melanjutkan ceritanya. Setelah para penjahat pergi membawa teman-teman yang terluka, kakek itu lalu mengobati ayah ibunya. Dan karena ayah ibunya terluka parah, sedang diobati dan perlu beristirahat, maka mereka tidak dapat mencari ikan seperti biasa.

"Akulah yang menggantikan mereka mencari ikan." Ia menutup ceritanya.

Bwee Hong, Siok Eng dan A-hai merasa terharu dan kasihan sekali kepada gadis cilik ini. Bwee Hong berpikir keras dan menduga-duga. Siapakah orangnya yang dicari-cari oleh para pen-jahat itu? Siapa pula kakek jubah hitam yang lihai itu, yang selain mampu memukul mundur para penjahat, juga berani sekali menantang pemimpin kaum sesat?

A-hai lalu bertanya, "Adik kecil, apakah engkau melihat rombongan pasukan belum lama ini?"

Yang ditanya menggeleng dan kelihatan khawatir sekali, "jangan-jangan ada lagi orang jahat yang mengganggu ayah dan ibu yang belum sembuh," katanya dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu menggerakkan kedua kakinya yang kecil untuk berlari pulang.

Bwee Hong, Siok Eng dan A-hai mengikuti dari belakang. Ternyata bahwa larinya gadis cilik secara tiba-tiba untuk pulang itu digerakkan oleh suatu perasaan yang tidak enak. Ketika ia tiba di rumahnya, ternyata rumah itu telah menjadi abu! Masih ada arang-arang membara mengepulkan asap. Sedangkan ayahnya, ibunya dan adiknya yang masih kecil tidak nampak. Tentu saja Cui Hiang menangis tersedu-sedu dan memanggil-manggil ayah bundanya, dengan bingung lari ke kanan kiri seperti seekor anak ayam mencari-cari induknya sambil berkotek-kotek.

Melihat ini, tak terasa lagi kedua mata A-hai menjadi basah dan diapun menghampiri anak perempuan itu, lalu berlutut dan dirangkulnya anak itu. "Diamlah, nak, tenanglah, besarkan hatimu. Karena tidak nampak jenazah mereka, maka aku yakin ayah ibumu dan adikmu masih hidup. Sudahlah, jangan terlalu berduka."

Anak perempuan itu merangkul A-hai dan menangis terisak-isak di dada pemuda itu yang juga merangkul dan mengusap rambutnya.

"Mari kita ikuti jejak iblis-iblis itu," kata Siok Eng melihat jejak banyak kaki orang yang masih baru. Tentu ini jejak kaki para penjahat yang membakar rumah keluarga itu. A-hai menggandeng tangan Cui Hiang dan mereka berempat, dipimpin oleh Siok Eng, lalu mengikuti jejak para penjahat. Jejak itu nampak jelas dan mudah diikuti.

Dari jauh sudah dapat mereka dengar suara pertempuran itu. Siok Eng mempercepat langkahnya sehingga Bwee Hong juga berlari. A-hai memondong tubuh Cui Hiang dan dibawanya lari pula mengikuti. Mereka tiba di daerah yang lapang di mana terdapat batu-batu besar berserakan. Dan di atas batu-batu itu, sambil berloncatan, duabelas orang sedang dikeroyok oleh puluhan orang yang dipimpin oleh San-hek-houw.

Pasukan seragam itu mengeroyok sambil berteriak-teriak dan pertempuran itu sungguh tidak seimbang sama sekali. Apa lagi karena di antara dua-belas orang itu, hanya dua orang saja yang lihai ilmu silatnya sedangkan yang sepuluh orang memiliki ilmu kepandaian yang biasa saja. Maka seorang demi seorang, sepuluh orang itu pun roboh dan tewas. Kini tinggal dua orang itu saja, seorang pemuda gagah dan seorang kakek berjubah hitam, yang masih bertahan dan mengamuk.

Tiba-tiba Cui Hiang melepaskan diri dari gandengan A-hai dan berlari menghampiri ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan itu, kemudian ia menjatuhkan diri, menjerit dari satu ke lain mayat karena ia mengenal mayat keluarganya! Sejenak ia menangis mengguguk, kemudian matanya menjadi beringas ketika ia bangkit berdiri dan memandang ke arah pertempuran, di mana dua orang itu masih dikeroyok oleh Harimau Gunung dan anak buahnya.

"Mereka membunuh keluargaku!" teriaknya dan tiba-tiba anak perempuan itu dengan wajah beringas lari ke medan perkelahian.

Pada saat itu, San-hek-houw terhuyung mundur oleh desakan kakek berjubah hitam yang lihai. Anak perempuan itu sudah mengenal San-hek-houw sebagai pemimpin gerombolan penjahat yang pernah melukai ayah bundanya dan mengenal pula kakek jubah hitam yang pernah menolong orang tuanya, maka dengan kemarahan meluap karena kedukaan gadis cilik itu menyerang San-hek-houw dengan pukulannya. Melihat ini, Bwee Hong, Siok Eng dan A-hai terkejut, akan tetapi untuk mencegahnya sudah tidak keburu lagi.

Apa artinya serangan seorang gadis cilik seperti Cui Hiang? Tanpa menoleh ke belakang dia sudah tahu akan datangnya serangan lemah itu. Tiba-tiba rantai baja di tangannya berkelebat ke belakang dan tombak jangkar di ujung rantai itu membabat ke arah lengan Cui Hiang yang menyerangnya. Cui Hiang hendak mengelak dengan miringkan tubuhnya, akan tetapi tentu saja gerakannya kalah cepat.

"Crakkkk! Aduuuhhhh!" Tombak jangkar itu membabat lengan kiri Cui Hiang sebatas pundaknya dan lengan itu putus seketika! Tubuh Cui Hiang terguling pingsan. Potongan lengan kecil itu terlempar dan melayang, tepat mengenai muka A-hai!

Darah berceceran mengenai sebagian pakaian, leher dan dagunya. "Uhh uhhh!" A-hai terbelalak dan tiba-tiba dia merasa betapa darahnya bergo-ak. Matanya terbelalak memandang ke arah Cui Hiang yang menggeletak pingsan dan darah menyembur-nyembur dari luka menganga dipundaknya. Rasa haru, kasihan dan kemarahan membuat darah di tubuhnya mendidih, makin lama makin hebat sehingga dia merasa matanya menjadi kabur, kepalanya berdenyut-denyut dan pening, akan tetapi dia tetap menyadari dirinya.

Tubuhnya menggigil menahan aliran darahnya yang seperti membanjir, seperti air bah melanda turun karena bendungannya jebol. A-hai masih tetap sadar, bahkan kini dia sadar bahwa dia akan kumat seperti yang sering diceritakan oleh kawan-kawannya kepadanya. Teringat akan ini, yaitu bahwa dia akan kumat, dia merasa ngeri dan bingung juga, maka dia menoleh kepada Bwee Hong sambil ber kata, "Nona Hong, ahhh... aku... badanku ini seperti akan terbang melayang rasanya!"

Sejak tadi Bwee Hong memang telah mengetahui akan keadaan A-hai. Dilihatnya tubuh pemuda itu menggetar hebat dan sepasang matanya mencorong seperti mata naga. Bwee Hong maklum bahwa A-hai mengalami guncangan hebat yang membuat saluran darahnya membobolkan semua perintang, yang akan membuatnya kumat. Akan tetapi berkat pertolongan Seng Kun, pemuda itu akan tetap sadar walaupun dalam keadaan kumat. Dan dara inipun ingat akan penjelasan kakaknya bahwa pada saat kumat seperti itulah terbuka kesempatan untuk menggali dan mengorek masa lalu A-hai, karena saat itu A-hai seperti berpijak kembali kepada alam aselinya.

Dan biasanya, waktu dalam keadaan seperti itu tidaklah lama. Apa bila gejolak darahnya sudah normal kembali, dia akan kembali dalam keadaan semula, yaitu sebagian besar masa lalunya terlupa sama sekali. Kesempatan yang baik sekali. Akan tetapi, gadis cilik itupun harus ditolong sekarang juga. Inilah yang paling perlu, dan juga pihak musuh harus dibasmi lebih dulu.

"A-hai, cepat bereskan pasukan jahat itu!" teriaknya dan iapun cepat meloncat ke depan, menyambar tubuh Cui Hiang yang pingsan dan membawanya ke tempat aman, lalu tanpa memperdulikan apa-apa lagi, dijaga oleh Siok Eng, Bwee Hong mulai mengobati Cui Hiang, menghentikan darah yang keluar lalu membubuh obat pencegah rasa nyeri dan membalut luka itu dengan kain bersih yang dirobeknya dari bajunya sendiri.

Sejenak A-hai ternanar dan membiarkan kepalanya yang pening itu menjadi ringan, barulah dia meloncat ke depan dan menghadapi San-hek-houw yang sudah berkelahi lagi melawan kakek jubah hitam. "Iblis keji!" dia memaki dengan suara menggeledek, "Siuuuuttt!" Tangannya bergerak menampar ke arah San-hek-houw yang sudah kewalahan menghadapi kakek jubah hitam, walaupun dia dibantu oleh para pembantunya yang juga lihai dan yang jumlah semua anak buahnya lebih dari limapuluh orang itu.

Melihat serangan ini, San-hek-houw cepat menangkis dengan rantai bajanya yang menyambar ganas ke arah lengan A-hai. Akan tetapi, A-hai tidak perduli, agaknya yakin akan kekuatan tangannya sendiri.

"Plakk!" Tangan A-hai bertemu dengan tombak jangkar di ujung rantai baja dan akibatnya, rantai itu terpental dan tombak jangkar hampir menghantam kepala pemiliknya!

"Uhh!" San-hek-houw berseru kaget dan meloncat mundur. Lima orang temannya menubruk ke depan untuk menolong pemimpin mereka ketika melihat A-hai hendak menyerang lagi. Mereka menggunakan tombak panjang menyerang A-hai sedangkan San-hek-houw memperbaiki posisinya yang tadi terhuyung karena terkejut. Terdengar suara lantang ketika A-hai menyambut pengeroyokan. Tombak dan pedang beterbangan dan dua orang pengeroyok kena ditangkapnya, lalu dibanting sehingga tewas seketika.

Sementara itu, Siok Eng juga sudah meloncat ke dalam gelanggang perkelahian dan sepak-terjangnya sungguh menggiriskan. Gadis ini berkelebatan, kedua tangannya menyebar maut dengan gerakan aneh dan juga luar biasa ganasnya. Dari tubuhnya keluar bau dupa harum yang menyeramkan.

Menjatuhkan kakek jubah hitam yang amat lihai dan yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi darinya itu saja sudah sukar sekali, kini muncul orang-orang muda yang lihai. Tentu saja San-hek-houw menjadi gentar. Apa lagi melihat betapa di antara limapuluh orang lebih anak buahnya, kini tinggal setengahnya lagi, dari mereka inipun sudah kelihatan gentar dan semangat mereka menurun. Kalau dilanjutkan semua anak buahnya akan terbasmi dan dia sendiripuri tidak mungkin dapat meloloskan diri dari tangan orang-orang lihai ini.

Maka, seperti biasa menjadi watak orang-orang yang licik, kejam dan pengecut, San-hek-houw lalu meloncat dan melarikan diri. Setelah dia memberi perintah agar anak buahnya mundur. Pasukan yang sudah kocar-kacir itu kini melarikan diri dengan kacau-balau.

Kakek berjubah hitam itu tidak mengejar. Dan pemuda yang tadi bertempur di sampingnya, yang sebenarnya tidak begitu tinggi kepandaiannya dan selalu dilindungi oleh kakek jubah hitam, kini juga berdiri mengamati tiga orang yang baru muncul.

A-hai makin lama semakin lemas, kehilangan tenaga karena dia kembali ke dalam keadaan semula sebelum kumat. Mukanya yang tadinya merah sekali itu perlahan-lahan menjadi pucat, peluhnya berleleran di lehernya. Setelah darah di tubuhnya berjalan normal, ingatannyapun kembali seperti semula dan dia berdiri agak termangu-mangu, merasa seperti orang baru sadar dari mimpi akan tetapi lupa lagi apa yang diimpikan itu.

Kakek jubah hitam itu mengamati mereka dengan sinar mata penuh takjub. Sungguh tak disangkanya dia bertemu dengan tiga orang muda yang begini aneh dan hebat. Gadis baju putih yang mukanya pucat itu tadi menyerang para pengeroyok dengan jurus pukulan ampuh dari Tai-bong-pai. Dia mengenal pukulan itu, dan mengenai pula bau dupa harum yang keluar dari tubuh Siok Eng.

Jelaslah bahwa dara yang masih muda ini telah menguasai ilmu dari Tai-bong-pai dengan amat baiknya. Dan gadis ke dua yang cantik jelita itupun dapat melakukan perawatan dan pengobatan yang amat baik terhadap anak perempuan yang buntung lengannya. Caranya menghentikan darah, caranya menotok, mengobati dan membalut, semua membuktikan bahwa gadis ini adalah seorang ahli ilmu pengobatan yang mengagumkan.

Kemudian pemuda tinggi tegap ini! Bukan main! Dia sendiri adalah seorang "golongan atas" akan tetapi harus diakui bahwa dia sama sekali tidak mengenal ilmu pukulan yang diperlihatkan oleh pemuda itu ketika mengamuk tadi. Akan tetapi, kakek berjubah hitam ini menjadi semakin heran dan terkejut ketika dia melihat gadis cantik jelita yang menyelesaikan pengobatannya terhadap anak perempuan itu kini bangkit berdiri, dan ketika memandang kepadanya, gadis itu terbelalak dan pandang matanya terhadap dirinya penuh kemarahan dan kebencian!

Apa lagi ketika Bwee Hong melangkah maju dan menudingkan telunjuknya kepadanya sambil berkata marah, "Kau... kau... pembunuh keluarga kakekku!"

"Eh eh nanti dulu!" Kakek berjubah hitam itu berseru kaget ketika tiba-tiba Bwee Hong menyerangnya kalang-kabut. Bwee Hong tidak perduli dan terus menyerang, meng-gunakan jurus-jurus simpanan dan setiap pukulan tangannya merupakan pukulan maut. Dan si kakek jubah hitam semakin tercengang mengenal jurus-jurus pukulan ini sebagai jurus-jurus pukulan perguruannya sendiri!

"Tahan! Tahan!" teriaknya sambil mengelak ke sana-sini.

Bwee Hong yang hatinya dipenuhi dendam dan kebencian itu, tentu saja tidak mau berhenti dan terus menyerang kakek berjubah hitam yang diketahuinya tentu seorang tokoh besar Liong-i-pang itu, melihat dari gambar naga yang samar-samar nampak di jubah hitamnya. Karena Bwee Hong mendesak terus, kakek itu yang ternyata adalah Ouwyang Kwan Ek ketua Liong-i-pang, terpaksa turun tangan, membalas serangan gadis yang masih terhitung cucu murid keponakan itu. Menghadapi serangan susiok-couwnya, tentu saja Bwee Hong tidak dapat bertahan dan ia segera terkena totokan dan terkulai lemas di atas tanah.

Tiba-tiba terdengar suara menggeram dahsyat. A-hai yang tadinya sudah "loyo" itu setelah melihat Bwee Hong dirobohkan orang, secara mendadak menjadi kumat kembali! Badannya tergetar hebat dan matanya mencorong mengawasi dara yang disayangi dan dihormati, yang kini terkulai lemas ke atas tanah dalam keadaan tertotok. Kemudian dia berteriak dengan lengking nyaring dan diapun menerjang kakek itu dengan pukulan dahsyat. Siok Eng juga menerjang maju, menyerang kakek jubah hitam.

"Eh, nanti dulu!" Kakek jubah hitam yang sudah mengenal kehebatan dua orang muda ini, cepat meloncat ke belakang dan menghindarkan serangan mereka yang amat berbahaya. Tubuhnya berkelebatan cepat bagaikan terbang dan Siok Eng sampai menjadi bingung karena tubuh kakek yang diserangnya itu tiba-tiba saja menghilang, tahu-tahu muncul di belakang dan setiap kali diserang dapat menghilang saking cepatnya kakek itu bergerak dan mengelak.

Akan tetapi, kakek jubah hitam yang seperti para ahli silat lain kalau sudah menghadapi pertandingan lalu kumat keinginan tahunya untuk mengukur dan menguji kepandaian lawan, menjadi terkejut. Dua orang lawannya itu, biarpun masih muda, ternyata memang telah memiliki kepandaian yang tinggi dan aneh. Dia bergembira memperoleh kesempatan menguji ilmu dari Tai-bong-pai dan berkesempatan pula untuk menyelidiki dan mengenal ilmu aneh dari pemuda itu.

"Hyeeeehhhh!" Suara yang dikeluarkan oleh A-hai itu demikian hebat getarannya sehingga mengguncangkan perasaan kakek Ouwyang Kwan Ek, dan gerakan pemuda itu membuat dia lebih kaget lagi. Dia menggunakah Pek-in Gin-kang atau Ginkang Awan Putih yang membuat tubuhnya ringan dan dapat bergerak cepat, dan dengan langkah ajaib Ilmu Silat Kim-hong-kun dari perguruan Tabib Sakti, dia menghindarkan diri dari pukulan-pukulan kedua orang muda itu.

Akan tetapi, sambil berteriak tadi, tahu-tahu tubuh A-hai melengkung dan dengan gerakan aneh sekali, tubuhnya sudah melingkar ke samping dan meluncur cepat memotong jalan! Seolah-olah dengan gerakan ini A-hai telah tahu ke mana arah dari langkah ajaibnya sehingga memotong jalan kakek itu sehingga tubuh mereka kini saling bertentangan dan hampir bertubrukan. Kakek itu terkejut sekali, apa lagi ketika melihat betapa pemuda itu mendorongkan kedua telapak tangannya dengan hantaman dahsyat....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.