Darah Pendekar Jilid 27

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Darah Pendekar Jilid 27
Sonny Ogawa

Darah Pendekar Jilid 27 karya Kho Ping Hoo - TIDAK ada jalan lagi untuk menghindarkan tabrakan atau benturan itu dan satu-satunya jalan hanya menyambut hantaman pemuda itu karena kalau dia melempar tubuh ke samping, dia akan terancam oleh gadis Tai-bong-pai itu dan hal ini akan lebih berbahaya lagi.

Novel silat Darah Pendekar karya Kho Ping Hoo

Terpaksa dia lalu mengerahkan tenaga sakti Pai-hud-ciang (Tangan Menyembah Buddha) dan kedua tangannya didorongkan ke depan dengan gerakan seperti menyembah, menyambut dua telapak tangan A-hai. Akan tetapi, kembali kakek itu terkejut ketika dalam sekejap mata melihat dua warna kabut merah dan putih membungkus badan pemuda itu, yang kanan merah dan yang kiri putih. Benturan dua pasang tangan itu tak terelakkan lagi.

"Blarrrrr!" Ouwyang Kwan Ek, kakek tua renta berusia tujuh puluh tahun itu adalah murid ke dua dari datuk sakti Bu-eng Sin-yok-ong (Raja Tabib Sakti Tanpa Bayangan), dan dia adalah ketua dari Liong-i-pang yang terkenal. Akan tetapi, pertemuan tenaga melalui telapak tangan melawan pemuda itu mebuat dia terhuyung ke samping sampai beberapa langkah dan apa bila tangannya tidak cepat memegang ujung sebuah batu besar yang berdiri di situ, agaknya dia tentu akan terjatuh!

Sebaliknya, tubuh pemuda itu terpental ke atas, akan tetapi tubuh itu dapat berpoksai (bersalto) sampai tiga kali dengan indahnya di udara, kemudian tubuh itu meluncur ke bawah, hinggap di atas sebuah batu dengan ringannya. Kabut yang menyelimuti tubuhnya tidak nampak lagi, matanya men-corong dan tidak ada tanda-tanda bahwa dia terguncang oleh pertemuan tenaga tadi.

Tentu saja hal ini membuat Ouwyang Kwan Ek terkejut setengah mati. Dia tadi sudah amat khawatir akan akibat pertemuan tenaga itu. Dia sendiri merasakan akibatnya, membuat dia hampir terbanting jatuh dan dia khawatir kalau-kalau pemuda itu tidak akan mampu bertahan dan akan tewas atau setidaknya menderita luka dalam yang parah. Akan tetapi ternyata pemuda itu sama se kali tidak terpengaruh.

"Gila" pikirnya penuh takjub. "Anak ini benar-benar mempunyai kekuatan seperti iblis. Siapakah orang ini dan dari perguruan mana?"

A-hai sudah siap untuk mengadu kekuatan melawan kakek jubah hitam, sedangkan Siok Eng yang menyaksikan adu tenaga yang amat hebat tadipun berdiri termangu-mangu, semakin takjub melihat keadaan A-hai. Dara ini maklum bahwa kakek jubah hitam itu lihai bukan main, jauh lebih tinggi ilmu kepandaiannya dibandingkan dengan ia sendiri. Akan tetapi, bentrokan tenaga sinkang antara kakek itu dan A-hai nampaknya membuktikan bahwa pemuda aneh itu ternyata lebih unggul!

Pada saat suasana sudah menegangkan karena semua menduga bahwa tentu akan terjadi perkelahian yang lebih hebat lagi antara kakek berjubah hitam itu dengan A-hai, tiba-tiba laki-laki muda yang menjadi teman kakek jubah hitam yang tadi selalu dilindunginya, kini melangkah maju dan berseru nyaring,

"Tahan! Siapakah kalian? Kenapa setelah tadi menolong kami, sekarang berbalik kalian menyerang kami? Apakah maksud kalian? Inilah aku, putera mahkota! Apa bila kalian mencari putera mahkota, inilah aku. Apakah kalian orang-orang yang ingin mencari hadiah bagi kepalaku?"

Semua orang terdiam dan terkejut. Kakek jubah hitam cepat memperingatkan, "Pangeran, harap paduka berhati-hati!" Dianggapnya pangeran yang membuka rahasianya itu amat sembrono karena pihak istana sudah menyebar orang-orangnya untuk mencarinya, tentu bukan dengan maksud baik karena pangeran mahkota ini tentu saja akan menjadi penghalang bagi mereka yang sudah mengangkat kaisar baru setelah mereka berusaha menyingkirkan pangeran mahkota ini ke garis depan.

Bwee Hong yang masih rebah dalam keadaan tertotok, tak mampu bergerak atau bicara, hanya memandang dengan hati tegang dan cemas, memandang ke arah A-hai yang ia tahu berada dalam keadaan kumat kembali. Kini A-hai yang biarpun dalam keadaan kumat itu masih sadar, ketika mendengar bahwa dia berhadapan dengan pangeran mahkota, agaknya mampu bersikap waras dan tidak menuruti dorongan ilmu yang seperti akan membuatnya meledak-ledak itu.

Dengan sikap tenang dan penuh wibawa, A-hai melangkah maju menghadapi kakek jubah hitam yang kini sudah berdiri berdampingan dengan sang pangeran mahkota. Sikapnya hormat dan lemah lembut, suaranya dalam dan serius, sungguh berbeda dengan sikap dan suaranya yang biasa setiap hari.

"Kami adalah perantau-perantau yang kesasar sampai di tempat ini. Namaku adalah Thian Hai. Dua orang nona ini adalah sahabat-sahabat baikku. Kenapa locianpwe menyerang dan menjatuhkan sahabatku itu?"

Ouwyang Kwan Ek adalah seorang datuk besar, ketua Liong-i-pang pula. Tentu saja diapun bersikap agak tinggi, tidak mau mengaku salah, apa lagi karena dia memang tidak merasa bersalah. "Hemm, orang muda yang lihai. Nona itulah yang menyerangku, dan aku hanya mempertahankan diri saja."

A-hai mengerutkan alisnya, agaknya tidak puas dengan jawaban itu. Akan tetapi sang pangeran yang melihat betapa suasana dapat menjadi gawat lagi, lalu melerai. "Sudahlah, tidak perlu diributkan siapa yang bersalah dalam hal ini. Agaknya telah terjadi kesalahfahaman di antara kita. Locianpwe, harap suka membebaskan nona itu lebih dulu."

Ouwyang Kwan Ek menghampiri Bwee Hong dan sekali menotok ke arah pundak nona itu, Bwee Hong sudah pulih kembali. Siok Eng memandang kagum. Tadi ia sudah berusaha membebaskan totokan itu, akan tetapi tanpa hasil. Tahulah ia bahwa totokan kakek itu merupakan ilmu istimewa yang hanya dimiliki oleh perguruan kakek itu, demikian pula cara membebaskannya.

Setelah membebaskan totokannya, Ouw yang Kwan Ek lalu memandang kepada Bwee Hong dan berkata, "Jadi engkaukah seorang di antara dua anak angkat, juga murid mendiang Bu Kek Siang? Ketahuilah bahwa mendiang Bu Kek Siang adalah murid keponakanku sendiri. Dia murid suheng ku!"

"Aku sudah tahu!" jawab Bwee Hong dengan suara keras dan sedikitpun ia tidak menaruh hormat walaupun ia tahu bahwa ia berhadapan dengan susiok-couwnya. Kakek di depannya ini ada lah adik seperguruan dari kakek gurunya! "Dan aku tahu pula bahwa kakekku, juga guruku atau ayah angkatku, tewas di tangan murid-muridmu, tewas bersama isterinya. Padahal dia adalah murid keponakanmu sendiri!"

"Dan ketika itu aku sedang diobati oleh keluarga Bu, dan aku menjadi saksinya bahwa kedua locianpwe yang menjadi penolongku itu tewas oleh tangan-tangan jahat orang-orang Liong-i-pang!" kata Siok Eng.

Ouwyang Kwan Ek menarik napas panjang. "Aaah, dunia menjadi kacau-balau, kesemuanya oleh ulah manusia yang didorong oleh keserakahan, oleh keinginan untuk senang sendiri yang menimbulkan permusuhan, dendam-mendendam, balas-membalas, bunuh-membunuh! Ahhh, anak yang baik, agaknya engkau hanya tahu ujungnya akan tetapi tidak tahu pangkalnya. Tahu akibatnya tidak tahu sebab-sebabnya. Pertikaian di antara sesama perguruan kita agaknya sudah demikian berlarut-larut dan sudah terjadi sejak lama sekali sebelum kau lahir. Engkau begitu membenci aku dan murid-muridku, karena engkau belum mengetahui persoalan yang sebenarnya. Aku juga merasa heran mengapa kakekmu yang juga menjadi ayah angkat dan gurumu itu tidak menjelaskan persoalan yang sebenarnya kepadamu dan kepada kakakmu. Kalau tidak salah, engkau berdua dengan seorang kakakmu, bukan?"

Bwee Hong diam saja, tidak menjawab, hanya mendengarkan sambil menatap wajah kakek jubah hitam itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, seolah-olah hendak meneliti kebenaran omongan kakek itu. Iapun tadi sudah melirik ke arah A-hai dan melihat betapa pemuda yang bernama Thian Hai ini sekarang telah kembali ke dunia keduanya, membuat dia agak ketololan dan pemuda itupun ikut mendengarkan.

Demikian pula Siok Eng yang maklum bahwa urusan ini adalah urusan antara keluarga seperguruan, tidak berani banyak mencampuri dan hanya mendengarkan. Juga sang pangeran yang menghendaki agar mereka itu tidak lagi saling serang, ikut pula mendengarkan.

Dengan sabar Ouwyang Kwan Ek lalu bercerita, suaranya tegas dan disingkat, terbuka dan jelas. Bwee Hong diam mendengarkan, akan tetapi hatinya masih panas oleh dendam. "Dahulu, limapuluh tahun lebih yang lalu, mendiang suhu Bu-eng Sin-yok-ong memberi pelajaran kepada kami bertiga sebagai murid-muridnya. Suhu memberikan ilmu-ilmunya kepada kami, sesuai dengan bakat kami yang berbeda-beda pula. Mendiang suhengku suka bertapa dan mengasingkan diri, dan sesuai dengan bakatnya, suheng menerima pelajaran khusus tentang lweekang yang kemudian diturunkan kepada puteranya, yaitu Bu Kek Siang. Sayang suheng Bu Cian telah meninggal."

Sejenak kakek itu terhenti dan nampak berduka sekali. Akan tetapi dia mengheia napas panjang menenteramkan batinya lalu melanjutkan, "Aku sebagai murid ke dua suka belajar ilmu silat, maka akupun diberi pelajaran khusus dalam ilmu silat. Sedangkan suteku yang bernama Kam Song Ki yang bertubuh kecil dan gesit menerima warisan ilmu ginkang yang khas. Dengan demikian, kami bertiga menerima ilmu-ilmu keistimewaan masing-masing, suheng mahir dalam sinkang, aku sendiri mahir dalam ilmu silat, dan sute mahir dalam ginkang,"

"Akupun sudah mendengar akan hal itu," kata Bwee Hong penasaran. "Akan tetapi kenapa engkau masih juga tidak mau menerima dengan hati rela? Mendiang sucouw sudah membagi-bagi semua ilmunya dengan adil, akan tetapi kenapa engkau masih hendak merebut hak orang lain?"

Kakek itu mengangguk-angguk. "Aku mengerti mengapa engkau penasaran. Dan itulah yang membuat aku terheran-heran. Kenapa kakekmu, Bu Kek Siang itu, tidak mau menceritakan hal yang sebenarnya sehingga terjadi kesalah'fahaman ini? Apakah dia ingin agar kita saling bermusuhan dan berbunuh-bunuhan terus?"

"Berbunuh-bunuhan? Apa maksudmu?" Bwee Hong bertanya sambil mengerutkan alisnya dan memandang tajam.

"Apakah kakekmu atau ayah angkatmu itu tidak pernah bercerita bagaimana dia memperoleh kitab wasiat ilmu pengobatan itu?"

"Tentu saja kitab itu diwarisinya dari sucouw!" jawab Bwee Hong cepat karena ia tak mungkin dapat berpikir lain.

"Memang, akan tetapi kitab itu bukan hanya diwariskan kepada seorang murid saja! Mendiang suhu dahulu merupakan datuk nomor satu di dunia. Keahliannya dalam ilmu sinkang telah diwariskan kepada suheng, keahliannya dalam ilmu silat diwariskan kepadaku dan keahliannya dalam ginkang kepada sute. Di samping semua ilmu itu, suhu yang berjuluk Tabib Sakti Tanpa Bayangan itu juga memiliki keahlian dalam ilmu pengobatan. Suhu adalah seorang yang bijaksana dan adil.

"Maka kelebihan satu ilmu ini, yang dianggap amat berguna bagi semua muridnya, akan diberikan kepada tiga muridnya. Semua muridnya diberi kesempatan untuk belajar. Sebelum meninggal dunia, suhu meninggalkan sebuah kitab ilmu pengobatan dan beliau memesan agar semua muridnya mempelajari kitab itu secara bergilir. Dengan keras beliau melarang murid yang hendak mempertahankan ilmu itu untuk diri sendiri.

"Maka, kitab itu diserahkan kepada suheng dengan pesan sesudah sepuluh tahun dipelajari, harus diserahkan kepadaku untuk kupelajari selama sepuluh tahun, baru kemudian kuserahkan kepada sute. Akan tetapi ternyata suheng yang pendiam itu menjadi serakah! Setelah sepuluh tahun, buku itu tidak diserahkan kepadaku. Aku memperingatkannya dan mencelanya, namun dia tetap tidak mau memberikan.

"Kami bercekcok dan akhirnya berkelahi. Akan tetapi aku tidak mampu menandingi tenaga saktinya yang hebat itu. Demikianlah, aku selalu belajar dengan tekun dan sekali-kali aku datang untuk minta kitab itu yang berakhir dengan perkelahian dan aku selalu berada di pihak yang kalah. Melihat kami berdua selalu cekcok dan berkelahi, sute menjadi tidak senang dan diapun pergi menjauhkan diri sampai sekarang tidak pernah kembali. Sudah empatpuluh tahun dia pergi"

Kerut di antara alis Bwee Hong makin mendalam. Benarkah cerita kakek ini? Benarkah kakek gurunya yang bernama Bu Cian, ayah Bu Kek Siang, demikian serakah? Akan tetapi ia tidak menyela lagi, melainkan memandang kakek itu dan sinar matanya menuntut dilanjutkannya cerita itu.

"Karena bertahun-tahun usahaku minta kitab itu gagal dan aku selalu dikalahkan oleh suheng, aku patah semangat, mengasingkan diri dan memperdalam ilmu silat, juga menerima murid-murid dan mendidik putera tunggalku, mendirikan perkumpulan Liong-i-pang dan tidak mau lagi mengganggu suheng dengan urusan kitab itu. Akan tetapi setelah puteraku dewasa, pada suatu hari dia pergi tanpa pamit.

"Agaknya dia yang tahu akan peristiwa kekeluargaan perguruan itu telah pergi seorang diri mendatangi suheng dan mohon keadilan, meminta kitab itu. Agaknya, menghadapi keponakannya, suheng yang biasanya keras hati itu menjadi lunak, hatinya terharu dan kitab ilmu pengobatan itu diserahkan oleh suheng kepada puteraku. Puteraku girang bukan main dan pergi membawa kitab itu. Akan tetapi..."

Kakek itu berhenti lagi dan kini wajahnya diliputi kedukaan hebat, mukanya diangkat menengadah memandang langit dan matanya menjadi basah! Tentu saja Bwee Hong terkejut sekali melihat ini dan iapun mulai percaya akan cerita kakek yang sebenarnya masih susiok-couwnya sendiri ini.

"Lalu... lalu bagaimana?" tanyanya, suaranya juga lunak.

"Suheng juga mempunyai putera, yaitu Bu Kek Siang. Di waktu mudanya, Bu Kek Siang berwatak keras berangasan. Agaknya dia tidak rela bahwa kitab pusaka ilmu pengobatan itu, yang sudah puluhan tahun dianggap sebagai pusaka perguruan ayahnya, jatuh ke tangan orang lain. Dia menghadang perjalanan anakku, dan kitab itu dimintanya. Tentu saja puteraku tidak mau memberikannya dan terjadilah perebutan dan perkelahian. Keduanya terluka, akan tetapi karena Bu Kek Siang mewarisi ilmu sinkang, tenaga dalamnya lebih kuat dan luka dalam yang diderita anakku amat parah. Ketika bertemu denganku, keadaannya tak tertolong lagi..."

Bwee Hong menahan napas. Tak pernah disangkanya bahwa riwayat perguruannya demikian hebat, terdapat perebutan dan permusuhan yang memalukan di antara saudara-saudara seperguruan sendiri. "Dia... dia mati?" tanyanya, suaranya berbisik.

Kakek itu memandang kepadanya, tersenyum pahit dan mengangguk. "Dia mati dan tentu saja aku marah sekali. Urusan kitab, sudah kupendam dan aku tidak berniat merampasnya dari tangan suheng lagi. Akan tetapi sekali ini adalah urusan matinya putera tunggalku! Aku datang kepadanya dan minta pertanggungan jawabnya atas perbuatan puteranya, yaitu Bu Kek Siang. Suheng amat sedih.

"Dia merasa menyesal sekali dengan terjadinya peristiwa itu dan sadar bahwa semua itu timbul karena keserakahannya sendiri. Akan tetapi dia amat menyayangi putera tunggalnya itu dan tidak tega untuk menghukumnya. Kemudian, melihat puteraku yang sudah hampir mati itu kubawa di depannya dan kini puteraku menghembuskan napas terakhir di depan hidungnya, suheng lalu membunuh diri untuk menebus kesalahan puteranya!

"Dan dia berpesan sebelum menghembuskan napas terakhir, minta kepadaku agar permusuhan dan dendam-mendendam itu dihabiskan sampai di situ saja. Pada saat itu aku amat berduka atas kematian puteraku, juga tersentuh oleh pengorbanan suhengku, maka akupun mengangguk dan menuruti pesannya. Aku tidak memperdulikan lagi urusan kitab, dan membawa pergi jenazah puteraku."

Bwee Hong merasa betapa bulu tengkuknya meremang mendengar cerita ini. Kalau saja kakaknya ikut mendengarkan! Pandangannya terhadap kakek jubah hitam yang sudah banyak menderita tekanan batin itu kini berobah. Ia percaya akan kebenaran cerita ini, karena apa perlunya kakek ini membohong dan bercerita begitu panjang lebar kepadanya?

Kakek itu menarik napas panjang. "Sayang sungguh sayang agaknya Thian tidak menghendaki urusan itu berhenti sampai di situ saja....! Kalau aku sudah dapat menerima keadaan, tidak demikian dengan murid-muridku. Mereka itu mendendam atas kematian suheng mereka dan diam-diam mereka berusaha menuntut balas, atau setidaknya berusaha untuk merampas kitab ilmu pengobatan itu. Beberapa kali usaha mereka gagal dan aku memberi hukuman kepada mereka.

"Akan tetapi mereka itu nekat terus sampai akhirnya Bu Kek Siang menjauhi pembalasan mereka dan menyembunyikan diri. Hingga belasan tahun kemudian murid-muridku itu menemukan tempat persembunyiannya dan terjadilah peristiwa yang kau alami itu." Kakek itu menghentikan ceritanya dan memandang kepada Bwee Hong dengan mata sedih sekali.

"Demikianlah ceritaku selengkapnya, nona. Dendam dendam balas-membalas! Apakah sekarang engkau dan kakakmu hendak melanjutkan lingkaran dendam itu? Engkau dan kakakmu membunuh aku atau muridku, kemudian kelak anak mereka akan mencarimu untuk membalas dendam lagi, disambung oleh keturunanmu yang kembali membalas dendam kepada keturunan mereka. Begitukah yang kau kehendaki? Ah, betapa menyedihkan!!"

Kakek itu menundukkan mukanya Bwee Hong tak dapat bicara. Hatinya tersentuh. Tak mungkin dunia ini terdapat kedamaian dan ketenteraman selama hati selalu diracuni dendam dan kebencian. Mula-mula sekali kakek guru Bu Cian yang memulainya, dengan keserakahannya tidak mau membagi-bagi ilmu pengobatan seperti pesan mendiang Bu-eng Sin-yok-ong. Kemudian, ayah angkatnya, Bu Kek Siang yang membunuh putera kesayangan kakek ini. Akibatnya, murid-murid kakek ini datang membalas dendam. Kalau menurut cerita ini, pihak kakeknyalah yang menjadi biang keladi permusuhan. Akan tetapi benarkah cerita yang baru didengarnya dari kakek jubah hitam itu?

Agaknya Ouwyang Kwan Ek dapat menduga keraguan hati Bwee Hong. "Kalau engkau tidak percaya akan kebenaran ceritaku, engkau boleh bertanya kepada tokoh-tokoh tua dunia persilatan yang kini masih hidup dan yang mengetahui peristiwa keributan dalam perguruan kita itu. Di antara mereka adalah Yap-lojin ketua Thian-kiam-pang dan Siang Houw Nio-nio pengawal kaisar."

"Kata-katanya itu benar belaka" tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dari balik batu besar. Semua orang menengok dan nampak seorang kakek dan seorang nenek keluar dari balik batu. Mereka adalah Yap-lojin ketua Thian-kiam-pang bersama isterinya, yaitu Siang Houw Nio-nio! Melihat Siang Houw Nio-nio, Bwee Hong cepat memberi hormat.

"Dia tidak membohong dan memang semua itu telah terjadi pada keturunan Bu-eng Sin-yok-ong, sungguh patut disesalkan sekali," kata pula nenek Siang Houw Nio-nio kepada Bwee Hong.

"Akupun menjadi saksi akan kebenaran cerita susiok-couwmu itu, nona Chu. Karena itu, semua permusuhan antara keluarga perguruan sendiri yang tiada gunanya itu seyogianya dihadapi dengan kesadaran dan kebesaran hati sehingga dapat berakhir." Yap-lojin juga berkata.

"Kalau memang demikian riwayatnya, sayapun tidak akan melanjutkan dendam yang tiada gunanya ini, locianpwe," kata Bwee Hong menunduk.

Yap-lojin dan isterinya lalu memberi hormat sambil bermuka sedih kepada pangeran mahkota. Siang Houw Nio-nio menjatuhkan dirinya berlutut dan berkata, "Pangeran, hal-hal yang hebat terjadi tanpa saya mampu menolong, dosa saya besar sekali."

Pangeran mahkota cepat-cepat mengangkat bangun wanita itu yang masih terhitung nenek sendiri karena mendiang ayahnya adalah keponak-an nenek ini. "Harap jangan bersikap demikian, Nio-nio. Bukan salahmu, bukan salahku, bukan salah kita semua. Segala hal yang terjadi adalah kehendak Thian."

Ketika Ouwyang Kwan Ek yang merasa amat takjub kepada A-hai mencari pemuda itu untuk diajak bicara dan berkenalan lebih dekat, ternyata pemuda itu kini telah bersikap biasa, bahkan nampak bodoh. A-hai telah duduk mendekati Cui Hiang yang buntung lengan kirinya itu. Cui Hiang menangis, bukan menangis karena nyeri melainkan karena kematian keluarganya.

Memang luka di pundaknya yang kehilangan lengan kiri itu terasa nyeri, akan tetapi berkat pengobatan Bwee Hong, tidaklah begitu hebat dibandingkan dengan rasa nyeri di hatinya. A-hai merangkulnya dan menghiburnya dengan terharu.

"Adik kecil, kita sama-sama yatim piatu, seorang diri saja di dunia ini, tiada sanak saudara lagi. Maukah engkau bersama-sama dengan aku?"

Dengan terharu Cui Hiang mengangguk. Air matanya bercucuran, sebentar menoleh ke arah jenazah keluarganya, kemudian menoleh ke arah lengan yang menggeletak di atas tanah, Ia merasa seolah-olah lengannya yang buntung itu, yang kini merupakan sepotong lengan yang menggeletak tak bergerak dan pucat di atas tanah, seperti sebuah mayat pula.

Kemudian, tanpa berkata apa-apa, ia menghampiri potongan lengannya sendiri itu, diambilnya dengan tangan kanan, lalu dibungkusnya ke dalam baju luarnya, semua ini dilakukan dengan agak sukar karena hanya menggunakan satu tangan saja, lalu bungkusan lengan kiri itu dipeluknya dengan lengan kanan.

Semua orang memandang dengan terharu dan merasa bergidik, akan tetapi tidak ada yang bertanya karena merasa kasihan dan tidak mau menyinggung hati anak perempuan itu. Bagaimanakah pangeran mahkota muncul di tempat itu dan bersama dengan Ouwyang Kwan Ek, ketua Liong-i-pang?

Seperti pernah diceritakan di bagian depan, pangeran mahkota telah disingkirkan oleh komplotan Perdana Menteri Li Sn dan kepala thaikam Chao Kao, dikirim ke garis depan untuk membantu Jenderal Beng Tian memimpin pasukan menghadapi para pemberontak. Pada mulanya, pasukan pemerintah ini bertugas di sepanjang Tembok Besar melawan bangsa nomad Hun (Siung Nu), akan tetapi kemudian pindah ke barat untuk menghadapi pemberontakan yang dipimpin oleh Chu Siang Yu.

Karena pasukan itu tidak mendapat bantuan lagi dari pusat, seolah-olah dibiarkan saja, maka pasukan pemerintah ini terus terdesak mundur oleh kaum pemberontak. Pangeran mahkota yang bukan seorang ahli perang dan hanya maju memimpin pasukan atas desakan istana, menjadi putus asa dan dia menyerahkan sisa pasukannya kepada Jenderal Beng Tian.

Dia sendiri lalu melakukan perjalanan pulang ke selatan. Akan tetapi, di tengah perjalanan dia mendengar tentang kematian kaisar dan tentang penggantian yang dilakukan pada waktu dia tidak ada dan yang diangkat menjadi kaisar adalah adiknya, putera kaisar yang ke dua.

Tahulah pangeran mahkota bahwa terjadi pengkhianatan dan kecurangan, akan tetapi setelah lama berada di luar istana, ikut bertempur bersama Jenderal Beng Tian, pangeran ini telah terbuka matanya. Dia melihat kebobrokan pemerintahan ayahnya, melihat betapa rusaknya pemerintah akibat kelaliman para pejabat tinggi yang mempengaruhi ayahnya.

Setelah matanya terbuka, dia merasa malu dan jijik, bahkan tidak mempunyai minat untuk menjadi kaisar, seperti orang yang jijik melihat sesuatu yang penuh kekotoran diserahkan kepadanya untuk diurus. Ngeri dia kalau harus bekerja dibantu oleh orang-orang yang demikian jahat, licin dan curangnya. Maka, mendengar bahwa adiknya yang naik tahta, diapun tidak menjadi penasaran.

Akan tetapi, para pendekar yang tahu bahwa sang pangeran hendak kembali ke kota raja, memperingatkannya bahwa kaisar baru, dikuasai oleh pejabat-pejabat lalim, telah mengirim jagoan-jagoan untuk mencari putera mahkota ini, setelah kaisar baru mengirim utusan ke garis depan untuk menangkapnya mendengar bahwa pangeran itu telah pergi meninggalkan pasukan. Kini pangeran dicari oleh jagoan-jagoan istana, maka sang pangeran lalu menyembunyikan diri. Untung dia bertemu dengan kakek Ouwyang Kwan Ek yang kemudian melindunginya.

Sementara itu, Siang Houw Nio-nio merupakan tokoh yang paling tidak setuju akan adanya penggantian kaisar oleh pangeran ke dua itu. Ia pun dapat menduga bahwa surat wasiat kaisar lama telah dipalsukan. Akan tetapi apa dayanya seorang wanita yang pangkatnya hanya pengawal pribadi kaisar yang sudah mati, walaupun ia masih terhitung bibi dari kaisar itu sendiri? Karena merasa tidak suka akan tetapi juga tidak berdaya, ia hanya memprotes yang akhirnya hanya membuat ia ditahan dan dijebloskan ke dalam penjara.

Seperti diceritakan di bagian depan, Pek In dan Ang In, dua orang murid Siang Houw Nio-nio, berhasil lolos dan melaporkan hal itu kepada Yap-lojin. Kakek ini segera terbang ke kota raja dan hanya dengan susah payah dan mengandalkan kepandaiannya dan bantuan para pendekar di kota raja sajalah akhirnya Yap-lojin berhasil membebaskan isterinya. Akan tetapi mereka menjadi buruan pemerintah, dan mereka harus cepat-cepat pergi karena kini istana memiliki jagoan-jagoan dari kaum sesat yang dipimpin oleh Panglima Kelelawar Hitam!

Setelah mendengar para pendekar itu saling menceritakan pengalamannya, putera mahkota menarik napas panjang. "Aih, betapa bobroknya keadaan di istana, baru sekarang aku menyadari. Kiranya sejak lahir aku sudah berada di dalam dunia yang mewah dan mulia namun penuh dengan kebobrokan!"

Dia makin tidak bernafsu lagi untuk kembali ke istana, apa lagi untuk memperebutkan kedudukan kaisar. Dia akan membantu gerakan para pejuang dan semua itu dilakukan bukan untuk memperebutkan kedudukan, melainkan untuk membantu melenyapkan kekuasaan sewenang-wenang dan jahat yang menguasai negara dan rakyat.

Tiba giliran Bwee Hong untuk menceritakan pengalamannya di depan Ouwyang Kwan Ek. Yap-tajin, Siang Houw Nio-nio, dan sang pangeran itu. Ia menceritakan tentang tugas dari kaisar yang dipikul kakaknya, tugas mencari Menteri Ho yang ternyata gagal karena Menteri Ho yang setia itu keburu dibunuh oleh para penjahat kaki tangan menteri lalim. Kemudian, kakaknya hendak ke kota raja untuk melaporkan hasil tugasnya itu. A-kan tetapi dia malah ditawan oleh kaki tangan kaisar baru yang dipimpin oleh Kelelawar Hitam atau Raja Kelelawar.

"Padahal, Kun koko yang sudah melihat sendiri keadaan pasukan para pendekar yang dipimpin oleh Liu-bengcu, ingin pula melaporkan ke kota raja tentang kesalahpahaman antara pemerintah dan pasukan itu. Liu-bengcu bermaksud membersihkan negara dari para pengkhianat dan penjual bangsa, akan tetapi oleh pemerintah malah dimusuhi dan dicap sebagai pemberontak," katanya.

"Tentu saja!" kata Siang Houw Nio-nio. "Pemerintah sudah dikuasai oleh para pengkhianat itu sendiri, tentu saja Liu-bengcu dimusuhi!"

Yap-lojin menarik napas panjang. "Kaisar boneka diangkat, kekuasaan berada di tangan pembesar-pembesar lalim dan korup, malah kaum sesat yang dipimpin raja iblis seperti Raja Kelelawar diangkat sebagai panglima dan perwira-perwira. Aih, adakah yang lebih gila dari pada ini?"

"Menteri-menteri dan pejabat-pejabat yang jujur dipenjarakan atau dibunuh," Siang Houw Nio-nio berkata lagi. "Setan-setan dan iblis-iblis berkeliaran di istana, menguasai negara, jenderal Beng Tian seorang diri dibiarkan mati-matian menahan majunya para pemberontak yang melanda negara seperti air bah, sedangkan mereka yang di istana hanya bersenang-senang belaka. Padahal, pasukan Liu-bengcu sudah mendesak dari selatan dan timur, sedangkan pasukan Chu Siang Yu mendesak dari barat."

"Kami berdua tidak berdaya. Kami sendiri menjadi buronan, terpaksa meninggalkan kota raja," sambung Yap-lojin. "Di tengah jalan kami sudah berpapasan dengan sebagian pasukan Jenderal Beng Tian yang kalah berperang. Mereka mundur untuk mempertahankan benteng terakhir, yaitu kota raja sendiri. Kota raja sudah terhimpit dari empat jurusan, tak tertolong lagi!"

"Ah, apa akan jadinya dengan negara kita? Apakah akan terjatuh ke tangan pemberontak dan terobek-robek dipakai berebutan?" Sang pangeran ikut bicara, suaranya sedih.

Semua orang terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tak seorangpun nampak gembira, walaupun kesedihan yang membayang di wajah A-hai dan Cui Hiang berbeda dengan kesedihan orang-orang lain itu. Bagaimanapun juga, orang-orang yang masih setia kepada negara ini masih mempunyai sisa keinginan untuk dapat menyelamatkan negara dari pada bencana, kalau mungkin.

Akan tetapi sampai lama mereka tidak dapat melihat jalan yang baik. Kekuatan pasukan yang dapat diharapkan hanyalah tinggal satu-satunya pasukan Jenderal Beng Tian yang sudah mengalami pukulan berkali-kali dan semakin menipis, baik jumlah maupun semangatnya itu. Pasukan-pasukan para kepala daerah sudah jatuh ke tangan para pemberontak dan banyak pula pasukan-pasukan kecil yang bertugas di luar kota raja, kalau tidak dihancurkan oleh para pemberontak, juga menyeberang dan bergabung dengan para pemberontak. Menteri-menteri dan para pejabat yang jujur sudah dihalau dari kedudukan mereka. Apa lagi yang dapat dilakukan?

Ouwyang Kwan Ek menarik napas panjang. "Pangeran, agaknya tidak terdapat jalan yang baik untuk menolong negara pada waktu seperti sekarang ini. Andaikata kita mampu menghalau para pemberontak, tetap saja kita harus menghadapi para pengkhianat yang sudah bercokol dan mencengkeram istana. Dan melawan kekuasaan mereka, selain membutuhkan kekuatan besar, juga berarti menentang kekuasaan yang ada, sama dengan memberontak pula.

"Sebaiknya kita bergabung saja dengan sisa pasukan Jenderal Beng Tian. Kita bawa sisa pasukan menghindardan menyusun kekuatan baru. Biarlah para pengkhianat itu menghadapi pasukan pemberontak dan biarlah para pemberontak yang menggulingkan mereka. Kelak apa bila kekuatan kita sudah cukup, kita gempur kembali pasukan pemberontak itu. Kiranya hanya inilah satu-satunya jalan."

Sang pangeran dan semua orang mengangguk membenarkan. Kemudian mereka bubaran. Tiga orang locianpwe itu akan mengawal sang pangeran bergabung kepada pasukan Jenderal Beng Tian yang sudah mundur ke benteng kota raja. Sedangkan Bwee Hong, Siok Eng, dan A-hai yang mengajak Cui Hiang yang masih perlu perawatan Bwee Hong dan yang sejak saat itu tidak mau berpisah dari A-hai, hendak melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja untuk mencari Seng Kun.

Sebelum berpisah, mereka beramai-ramai mengubur semua jenazah dan Cui Hiang diberi kesempatan untuk menyembahyangi makam keluarganya. Anak kecil ini meratap dan menangis, membuat terharu semua orang karena selain kehilangan ayah bunda dan adiknya, juga anak perempuan ini kehilangan lengan kirinya.

Sebelum meninggalkan orang orang muda itu, nenek Siang Houw Nio-nio berkata kepada Bwee Hong, "Nona Chu, kalau engkau mencari kakakmu, janganlah mencari di kota raja, akan tetapi carilah di benteng kuno di luar pintu gerbang kota raja sebelah selatan. Semua tawanan pemerintah dikumpulkan di sana."

Bwee Hong mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Keterangan ini amat penting karena mencari seorang tawanan di kota raja memang ti-dak mudah, apa lagi kota raja kini dikuasai oleh kekuatan kaum sesat yang lihai. Malam itu mereka bermalam di bekas reruntuhan rumah keluarga Cui Hiang yang telah dibakar para penjahat. Cui Hiang duduk termenung mengawasi bekas rumah dan tempat di mana ia biasa bermain-main dengan adiknya. Wajahnya pucat akan tetapi ia tidak menangis lagi.

Anak ini maklum bahwa ia telah ditolong oleh orang-orang gagah dan ia merasa malu kalau selalu memperli-hatkan tangisnya. Keluarganya sendiri hanyalah keluarga sederhana yang hanya memiliki ilmu silat biasa saja, akan tetapi dari ayahnya ia sudah banyak mendengar tentang kegagahan para pen-dekar di dunia kang-ouw. Ia tidak ingin mengecewakan hati orang-orang gagah, para pendekar yang telah menolongnya itu.

Melihat anak perempuan itu tidak tidur melainkan duduk termenung dengan sedih. A-hai yang merasa kasihan dan suka sekali kepada Cui Hiang, mendekati dan mereka duduk di atas batu di luar bekas rumah itu.

"Cui Hiang, kenapa engkau tidak mengaso dan tidur? Kita besok akan melanjutkan perjalanan yang amat jauh dan melelahkan," kata A-hai dengan suara lembut.

Anak itu menggeleng kepala. "Aku belum mengantuk dan biarlah malam ini kulewatkan untuk melihat-lihat tempat di mana aku dipelihara sampai besar dan yang akan kutinggalkan untuk selamanya."

"Anak yang baik, mari kutemani kau. Kita bicara. Siapakah nama marga keluargamu? Aku hanya tahu namamu Cui Hiang, akan tetapi tidak tahu siapa she-mu."

"Keluarga yang terbasmi penjahat itu she Gan, akan tetapi aku sendiri she Pouw."

"Eh? Kenapa begitu? Bukankah engkau anak mereka?"

Gadis cilik itu menggeleng kepalanya dan wa-jahnya menjadi muram. "Aku hanya anak angkat mereka, akan tetapi mereka begitu baik kepadaku sehingga kuanggap mereka sebagai ayah dan ibu kandung sendiri. Aku mereka pelihara sejak bayi."

A-hai mengangkat alisnya dan merasa tertarik sekali. "Ah, sungguh tak kusangka. Maukah engkau menceritakan riwayatmu kepadaku, Cui Hiang?"

Anak itu menoleh dan memandang wajah A-hai yang hanya nampak remang-remang di bawah sinar bintang-bintang di langit dan iapun memegang tangan orang muda itu. "Tentu saja, in-kong (tuan penolong), aku suka menceritakan riwayatku kepadamu. Sekarang aku hanya mempunyai engkau seorang yang mau menolongku di dunia ini" Suaranya terhenti karena haru.

A-hai memecahkan keharuan itu dengan senyum dan merangkul pundaknya. "Ihh. kenapa menyebut in-kong? Tidak enak sekali sebutan itu."

"Habis aku harus menyebut apa? Kongcu? Atau taihiap?"

"Wah, wah bisa ditertawakan semut kalau engkau menyebutku kongcu. Masa ada kongcu (tuan muda) macam aku ini. Dan taihiap (pendekar besar)? Wah, kepalaku bisa mengembung dan hidungku bisa mekar nanti. Sebut saja eh, bagaimana kalau aku menjadi kakakmu?"

"Baik, aku menyebutmu twako. Aku mendengar namamu disebut A-hai, biarlah kusebut kau Hai-twako!"

Melihat gadis cilik itu sudah pulih lagi kegembiraannya dan percakapan itu mengusir kedukaannya, A-hai lalu berkata, "Nah, sekarang ceritakanlah riwayatmu, adikku yang manis."

"Ketika itu aku masih kecil, baru berusia tiga atau empat tahun," Cui Hiang mulai menceritakan riwayatnya. "Kalau ayah angkatku tidak menceritakan riwayat itu kepadaku, tentu aku akan lupa dan tidak mengetahui keadaanku yang sebenarnya. Menurut cerita ayah angkatku, aku datang dibawa oleh ayahku yang terluka parah kepada mereka, keluarga Gan suami isteri yang belum mempunyai anak. Mereka sudah saling mengenal sejak lama. Oleh ayahku, aku diserahkan kepada suami isteri Gan yang sudah belasan tahun menikah tapi belum mempunyai anak. Karena lukanya yang parah akhirnya ayahku itu meninggal dunia, dan sebelum mati dia menyerahkan aku kepada suami isteri itu dengan pesan agar suami isteri itu membawaku bersembunyi karena ayahku dan juga aku sebagai anaknya sedang dicari-cari musuh besar yang telah melukainya."

A-hai mendengarkan dengan tertarik. Tak disangkanya bahwa anak ini membawa rahasia yang demikian menarik. "Lalu bagaimana?" tanyanya ketika anak itu kelihatan mengingat-ingat.

"Ayah dan ibu Gan amat suka kepadaku, maka aku lalu diambil anak. Dua tahun kemudian merekapun dikurniai seorang anak yang menjadi adikku. Dan mentaati pesan ayahku, keluarga kami hidup di dekat rawa sebagai penangkap ikan, karena memang keluarga Gan adalah keluarga sederhana yang miskin. Kehidupan kami sederhana namun cukup berbahagia dan ayah angkatku melatih ilmu silat sedikit-sedikit kepadaku. Akan tetapi, siapa kira akan datang malapetaka yang menewas kan mereka sekeluarga, kecuali aku" Gadis cilik itu menahan kesedihannya dan memandang ke arah pundak kirinya yang tak berlengan lagi itu.

A-hai merangkulnya. "Sudahlah, sebagai gantinya kan ada aku yang menjadi kakakmu! Biarlah aku menggantikan mereka, menggantikan ayahmu, ibumu, saudaramu!"

Cui Hiang memandang wajah yang tampan itu, "Hai-twako, mungkin engkau bisa menggantikan ayah angkatku, akan tetapi mana mungkin engkau menggantikan tempat ibu angkatku dan adikku laki-laki yang masih kecil?" katanya sambil tersenyum.

"Siapa bilang tidak bisa?" A-hai lalu bangkit berdiri dan bergaya sebagai seorang wanita, berlenggak-lenggok dan mukanya dimanis-maniskan lalu bicara dengan suara dikecilkan, "Cui Hiang, anakku yang baik, apakah engkau sudah makan?"

Melihat gaya itu, Cui Hiang tertawa geli dan lupa akan kedukaannya. A-hai menghentikan gayanya dan tertawa pu-la. "Nah, apakah tidak pantas aku menjadi ibu-mu? Sekarang menjadi adikmu." Dan diapun bergaya lagi, dengan sikap kekanak-kanakan sehingga nampak lucu seperti monyet menari. Suaranya dibikin pelo seperti suara anak kecil, "Enci Hiang sekalang aku minta endong, minta endong hu-huh." Dan dia pura-pura mau menangis seperti anak kecil yang manja.

Melihat ini, tawa Cui Hiang makin geli. Giranglah hati A-hai dan diapun bernyanyi, seperti nyanyian anak-anak akan tetapi kata-katanya sungguh bukan kata-kata yang pantas dinyanyikan anak kecil.

"Apa yang terjadipun terjadilah dewa dan iblis tak dapat mencegahnya tawa dan tangis tak dapat merobohnya! Akan tetapi sama-sama menggerakkan mulut mengapa menangis dan tidak tertawa saja? Tangis mengeruhkan hati dan pikiran tawa menjernihkannya! Tangis mengundang kesedihan tawa mendatangkan kegembiraan! Tangis memperburuk muka tawa mempercantiknya! Hentikan tangis, hayo tertawa!!"

Dan keduanya lalu tertawa-tawa dengan bebas, merasa betapa rongga dada menjadi longgar dan langit penuh bintang nampak indah berseri. Akan tetapi, tawa juga mendatangkan lelah.

"Aku lapar!" Cui Hiang berkata.

"Sama!" kata pula A-hai dan merekapun tertawa lagi.

"Di kebun belakang ada tanaman ubi, biar kuambilkan dan kita bakar," kata pula Cui Hiang dan anak inipun berlari menuju ke ladang di belakang reruntuhan rumah. Ia melupakan kesedihannya, bahkan melupakan hilangnya lengan kiri ketika dengan tangan kanannya ia mencari dan mendapatkan beberapa batang ubi yang segera dibawanya kepada A-hai sambil berlari-lari.

Mereka lalu membuat api unggun dan membakar ubi itu lalu sama-sama makan ubi. Lezat rasanya makan ubi bakar sewaktu perut lapar dan hati masih diliputi kegembiraan yang timbul karena percakapan tadi. Kalau pada saat itu Bwee Hong melihat keadaan A-hai, tentu ia akan merasa terheran-heran. Belum pernah A-hai memperlihatkan sikap seperti itu, pandai bermain-main dengan anak kecil, pandai menghibur dan pandai pula melucu!

"Eh, Cui Hiang, siapakah ayah kandungmu itu? Engkau belum memberitahukan namanya kepadaku," tiba-tiba A-hai teringat dan bertanya. Mereka duduk menghadapi api unggun, merasa hangat dan nyaman sehabis makan ubi dan minum air.

"Menurut ayah angkatku, namanya adalah Pouw Hong!"

"Pouw.... Pouw Hong? Pouw Hong, hemm, aku seperti pernah mengenal nama itu." A-hai mengerutkan alisnya dan mengerah-kan ingatannya.

Wajah Cui Hiang berseri. "Twako, engkau mengenal mendiang ayah kandungku itu?"

"Entahlah, akan tetapi aku benar-benar merasa seperti pernah mendengar nama itu, tidak asing bagiku!"

Pada saat itu, Bwee Hong keluar dari dalam rumah yang sebagian besar sudah terbakar. Melihat A-hai dan Cui Hiang duduk bercakap-cakap dekat api unggun, Bwee Hong menghampiri. "A-hai, malam ini kalau kita sudah berkumpul kembali dengan Kun-koko."

A-hai tidak membantah lagi dan merekapun memasuki bekas rumah keluarga Gan yang sudah porak-poranda itu. A-hai rebah di atas lantai yang sudah dibersihkan. Di bawah penerangan api yang dijaga oleh Siok Eng dan Cui Hiang. Bwee Hong mulai dengan pengobatan itu, dengan penusukan jarum-jarum di beberapa tempat, di pelipis, tengkuk dan pundak. Mendapatkan pengobatan itu, A-hai merasa tubuhnya enak dan nyaman, maka diapun segera tertidur dengan nyenyaknya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali begitu bangun tidur, A-hai sudah cepat-cepat mencari Cui Hiang. Bwee Hong dan Siok Eng sedang mandi di pancuran, dan Cui Hiang sedang duduk melamun seorang diri di tepi rawa, memandang ke tengah rawa yang menjadi sumber nafkah keluarga Gan selama ini.

"Hei, baru apa engkau? Melamun di sini!" tegurnya dan begitu melihat A-hai, wajah gadis cilik itupun berseri dan wajah yang tadinya muram menjadi terang seperti segumpal awan tipis tertiup angin.

A-hai lalu duduk di atas rumput di sebelah Cui Hiang. "Malam tadi aku bermimpi dan aku bertemu dengan ayah kandungmu!"

Cui Hiang tersenyum dan menyangka bah-wa A-hai menggodanya. "Ah, mana mungkin bertemu dengan orang yang belum kau kenal dalam mimpi, Hai-twako?"

"Benar! Aku teringat sekarang. Dia selalu bersama denganku. Tidak salah lagi, agaknya kami pernah bersahabat karib, bahkan dia juga tinggal di rumahku. Rumah pesanggrahan kecil mungil di dekat sungai, di mana terdapat air terjun yang indah itu!"

Cui Hiang tetap kurang percaya dan tersenyum seperti mentertawakan orang yang menggoda dan membohonginya ini. Melihat ini, A-hai berkata, "Engkau masih tidak percaya kepadaku? Nah, bukankah ayahmu itu tubuhnya pendek bulat dan kepalanya kecil? Dan kakinya agak timpang dan bengkok? Maaf..."

Cui Hiang terbelalak memandang wajah A-hai. "Eh be... benar!" katanya. "Aku masih ingat bahwa ayahku itu memang bertubuh pendek bulat... akan tetapi aku tidak ingat lagi wajahnya. Ketika itu aku baru berusia tiga empat tahun..."

"Ha-ha, itulah!" kata A-hai dengan gembira, "Jelas bahwa aku bersahabat karib dengan ayah kandungmu itu. Nah, kalau begitu engkau sebut saja paman kepadaku, anggap saja aku adik ayah kandungmu!"

Cui Hiang juga menjadi gembira dan meangguk taat. "Baiklah, paman."

"Nah, mari kita mandi."

"Di pancuran belakang rumah..."

"Aku sudah tahu. Dua orang nona itupun tadi mandi di sana."

Mereka lalu berlari-lari kecil menuju ke pancuran. Bwee Hong dan Siok Eng sudah selesai mandi. Seperti biasa, sebelum mandi pagi, Cui Hiang berlatih silat. "Ayah angkatku selalu mengharuskan aku berlatih silat sebelum mandi pagi," katanya. "Dan aku ingin mencoba apakah dengan satu tangan saja aku masih bisa berlatih silat."

Akan tetapi saat itu di dalam suara Cui Hiang tidak terkandung kesedihan dan iapun segera bersilat dengan sebelah tangan. Tentu saja kaku gerakannya, karena di bagian gerakan tangan kiri, ia harus berhenti sebentar dan hanya membayangkan saja tangannya itu bergerak, memukul, menangkis atau mencengkeram. A-hai diam-diam mengamati gerakan anak itu dan hatinya terharu.

Tanpa disadarinya, kini dia dapat meneliti ilmu silat dengan baiknya seolah-olah dia seorang ahli silat yang pandai! Di luar kesadarannya bahwa telah terjadi perobahan lagi pada ingatannya, A-hai berdiri dan mendekati Cui Hiang yang sedang berlatih itu.

"Cui Hiang, langkahmu itu lemah dan gerakan tangan kananmu itupun salah. Wah, ilmu silatmu itu hanya baik untuk pamer saja, hanya kelihatannya saja bagus akan tetapi tidak ada gunanya untuk menghadapi lawan. Mari sini, kuajari engkau ilmu silat yang lebih berguna bagimu."

Karena menduga bahwa penolongnya ini seorang ahli, seorang pendekar yang berilmu tinggi seperti juga dua orang gadis pendekar tu, Cui Hiang menjadi girang sekali. Memang tadi ia berlatih silat dengan suatu niat di hatinya, yaitu untuk memancing perhatian A-hai karena ia sudah berniat minta diajari ilmu silat. Ia harus pandai ilmu silat agar kelak ia dapat membalas kepada orang yang membuntungi lengan kirinya. Ia sudah tahu dari Siok Eng siapa orang itu. San-hek-houw Si Harimau Gunung! "Terima kasih, paman. Aku suka sekali belajar ilmu silat darimu!"

"Nah, ikuti gerakanku. Mula-mula kedua kaki dibentangkan selebar ini, tenaga tubuh berada di tengah-tengah, seimbang, perhatian ke depan dan sikapmu kokoh seperti benteng, seimbang seperti orang menunggang kuda. Nah, begitu, lalu kaki digeser ke depan, mula-mula yang kanan, jatuhkan perlahan saja, disusul yang kiri dan tanganmu itu begini!"

Dengan patuh Cui Hiang mengikuti gerakan A-hai. Hebatnya, A-hai dapat saja mengajarkan ilmu silat yang cocok untuk seorang yang hanya berlengan tunggal! Juga dia memberi petunjuk tentang gerak napas sewaktu bersilat. Akan tetapi, baru beberapa gerakan saja, gadis cilik itu sudah menjadi pening sekali dan terhuyung, hampir pingsan. A-hai cepat menangkap dan merangkulnya, melihat wajah yang pucat itu. Biasanya, menghadapi peristiwa begini, A-hai yang ketolol-tololan itu tentu akan menjadi bingung. Akan tetapi sekali ini ternyata tidak. Dia bersikap tenang saja.

"Ah, aku lupa. Tenaga dalammu belum kuat untuk mempelajari ilmu silat ini. Mari duduklah, akan kuajarkan ilmu menghimpun tenaga dalam dan akan kubantu engkau dengan penyaluran tenaga dalam tubuhku."

A-hai lalu tanpa ragu-ragu lagi seolah-olah memang sudah pekerjaannya sehari-hari melatih silat, duduk bersila dan diapun menyuruh Cui Hiang duduk bersila di atas pangkuannya! Dengan meletakkan kedua telapak tangannya, yang kiri di punggung anak itu, yang kanan di tengkuknya, dia lalu berbisik-bisik memberi petunjuk agar anak itu dapat menerima penyaluran sinkang dari tubuhnya lewat kedua telapak tangannya, dan menyalurkan seperti yang dibisikkannya.

Cui Hiang yang menaruh kepercayaan sepenuhnya itu mentaati semua petunjuk orang yang menjadi gurunya. Hawa yang panas memancar dan memasuki tubuhnya. Tiba-tiba darah mengucur keluar dari luka di pundaknya yang dibalut oleh Bwee Hong, Melihat ini, A-hai sama sekali tidak menjadi gugup. Tangannya yang tadi menempel di tengkuk kini bergerak, sebuah jari telunjuknya menekan pundak dan darah itupun berhenti mengucur!

Secara tiba-tiba saja A-hai menjadi seorang ahli yang bukan main lihainya. Mereka berdua tenggelam dalam latihan itu sehingga mereka tidak tahu bahwa Bwee Hong dan Siok Eng muncul dan memandang ke arah mereka dengan mata terbelalak penuh rasa heran dan kagum.

"Apakah kesadarannya telah pulih kembali?" tanya Siok Eng, berbisik penuh harap.

"Entahlah, aku belum yakin benar. Agaknya eh, lihatlah!"

Kedua orang dara pendekar yang lihai itu terkejut ketika nampak uap mengepul dari kepala A-hai dan Cui Hiang. Uap itu makin tebal dan berwarna putih dan merah. Kemudian muka dan tubuh A-hai dan Cui Hiang juga perlahan-lahan berobah, separuh merah dan separuh putih, persis keadaan A-hai ketika kumat tempo hari.

"Hebat!" Bwee Hong berbisik. "Cui Hiang telah diberi pelajaran ilmu sinkang yang amat hebat!"

"Lebih hebat lagi, kenapa sekecil itu Cui Hiang sudah mampu menerimanya?" bisik Siok Eng yang juga merasa kagum.

Mereka tetap menonton tanpa mengeluarkan suara berisik. Lambat-laun uap di atas kepala mereka itu makin menipis, lalu lenyap. Dan A-hai menyudahi latihannya, menyuruh Cui Hiang turun dari atas pangkuan. Keduanya lalu bangkit berdiri. A-hai menoleh kepada dua orang dara itu dan mereka berdua segera melihat perobahan itu. Sikap ketololan seperti biasa lenyap dari wajah tampan itu. Sikap A-hai kini tenang dan pandang matanya penuh wibawa dan kekuatan dahsyat. Seketika timbul rasa hormat dan segan di hati kedua orang dara itu!

"Nona berdua sudah selesai berkemas? Aku sedang berlatih dengan Cui Hiang," katanya sopan dan lembut.

"Saudara A-hai kelihatannya sudah ingat kembali akan masa lalumu?" tanya Siok Eng sedangkan Bwee Hong hanya memandang seperti orang kesima.

Mendengar pertanyaan itu, A-hai mengangguk-angguk. "Agaknya begitulah. Akan tetapi masih belum semua dapat kuingat. Berkat pengobatan nona Bwee Hong yang bijaksana, aku dapat mengingat lebih banyak tentang masa laluku. Sayang, aku masih belum dapat teringat siapa keluargaku dan dari mana aku berasal. Aku hanya bisa mengingat lebih banyak tentang ilmu silat. Ya, sekarang aku ingat bahwa memang dahulu aku dapat bermain silat."

"Saudara Thian Hai, apakah engkau sudah teringat akan nama margamu?" Bwee Hong bertanya dan tiba-tiba saja dara ini menyebut saudara Thian Hai, bukan lagi A-hai seperti biasanya.

Dan agaknya pemuda itupun tidak menjadi kikuk dengan sebutan itu. Dia memandang Wajah Bwee Hong dengan pandang yang masih sama, penuh dengan rasa kagum, hormat dan sayang, akan tetapi sikapnya sungguh jauh berbeda dengan A-hai yang biasa. A-hai yang biasa itu agak ketololan, bahkan kemanjaan. Yang sekarang ini benar-benar seorang laki-laki jantan yang dewasa dan matang!

"Sayang, nona. Aku masih belum mampu mengingat nama margaku. Aku hanya lebih banyak teringat akan ilmu silat yang pernah kupelajari. Aku memang bisa silat."

"Bisa silat?" Bwee Hong tersenyum. "Bukan hanya bisa, engkau malah seorang datuk ilmu silat, seorang ahli yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali dalam ilmu silat."

"Ah, nona berolok-olok."

"Tidak, aku bersungguh-sungguh. Lihat saja adik kecil ini. Kalau kelak engkau melatihnya setahun saja, kami berdua ini sudah bukan tandingannya lagi!" kata pula Bwee Hong dengan suara serius.

"Engkau sudah begini hebat, entah bagaimana pula kelihaian orang yang menjadi gurumu, saudara Thian Hai," kata Siok Eng yang juga ikut-ikut mengganti nama A-hai menjadi Thian Hai.

Mendengar kedua orang dara itu menyebutnya Thian Hai, pemuda itu tersenyum. "Hendaknya nona berdua jangan bersikap sungkan. Aku masih tetap A-hai bagi kalian yang menjadi sahabat-sahabat baikku. Aku tidak mempunyai guru, yang mengajarkan silat kepadaku adalah ayahku sendiri."

"Ayahmu? Siapakah ayahmu dan di manakah beliau sekarang?" Bwee Hong yang tertarik itu cepat bertanya.

"Ayahku, ayah ibuku ah, entahlah, aku sudah lupa lagi," A-hai menutupi muka dengan kedua telapak tangannya.

Melihat ini, Bwee Hong merasa kasihan dan ia memberi isyarat kepada temannya agar jangan bertanya lagi. Sementara itu, melihat A-hai menutupi mukanya, Cui Hiang menghampiri dan menyentuh lengannya.

"Paman Hai, engkau kenapakah? Jangan berduka, paman!"

Mendengar ini, A-hai menurunkan kedua tangannya. Dia lalu memandang Cui Hiang dan tersenyum.

"Mengapa menangis dan tidak tertawa saja?" tiba-tiba Cui Hiang berkata, mengutip sebaris sajak yang pernah dinyanyikan A-hai.

A-hai tertawa dan memondong tubuh anak perempuan itu ke atas dan dia melempar-lemparkan tubuh itu seperti sebuah bal ke atas, lalu menerimanya lagi dan melemparkannya lagi. Melihat ini, Bwee Hong dan Siok Eng ikut gembira dan setelah menerima kembali tubuh Cui Hiang, A-hai berkata, "Lihat, aku sudah tertawa, bukan?"

Mereka berempat lalu melanjutkan perjalanan menuju ke arah kota raja atau ibu kota Sian-yang di Propinsi Shen-si. Di sepanjang perjalanan, A-hai selalu mengajak Cui Hiang bergurau dan menghiburnya, juga setiap kali ada kesempatan, ia melanjutkan melatih sinkang kepada gadis cilik itu.

Beberapa hari kemudian, tibalah mereka di sebuah dusun kecil di lereng bukit. Kota raja tidak begitu jauh lagi. Mereka berempat melepaskan lelah di tepi hutan kecil. Bwee Hong dan Siok Eng mengeluarkan buntalan yang terisi perbekalan yang mereka beli di perjalanan, yaitu roti dan daging kering, sedikit bumbu dan juga arak ringan. Akan tetapi, Cui Hiang tidak mau makan. Ia malah bangkit berdiri dan berjalan perlahan menuju ke puncak bukit.

Bwee Hong hendak memanggil dan menegurnya, akan tetapi A-hai memberi isyarat kepada dara itu, kemudian diapun bangkit dan mengikuti Cui Hiang yang berjalan seperti orang kehilangan akal menuju ke puncak bukit. Akhirnya Cui Hiang berhenti di tepi jurang dan berdiri termenung, memandang jauh ke bawah.

"Cui Hiang, kenapa engkau tidak mau makan roti? Apakah engkau tidak suka roti? Kalau engkau tidak suka, biar kucarikan binatang buruan."

Mendengar kata-kata yang begitu halus penuh kasih sayang, Cui Hiang menoleh dan memandang wajah A-hai dengan air mata berlinang-linang, kemudian ia menunduk. Begitu ia melihat lengan kirinya yang buntung, tangisnya meledak. Ia menubruk A-hai dan menangis mengguguk, "Paman!"

A-hai membiarkan anak itu menangis. Dia tahu bahwa selama ini Cui Hiang menahan-nahan tangisnya, mencoba menghibur kedukaannya. Dan kini, agaknya bendungan itu bobol dan sebaiknya kalau gadis cilik ini menangis sepuasnya agar semua ganjalan di hati itu dapat ikut terseret oleh arus air mata. Dia sendiri tersentuh oleh tangis Cui Hiang, Hatinya seperti diremas-remas dan matanya sendiripun menjadi basah.

Tiba-tiba saja kepalanya berdenyut-denyut. Mata yang tadinya berkaca-kaca itu kini tiba-tiba bersinar dan mencorong mengerikan. Darahnya yang mengalir keras itu seperti berkumpul di kepalanya sehingga wajahnya berobah menjadi kemerahan. Dia me-ngepal tinju kanan sampai terdengar suara berkerotokan.

"Jahanam yang membuntungi lenganmu itu tentu akan kubunuh apa bila bertemu denganku!" katanya penuh geram, suaranya juga berobah menjadi menggetar penuh kemarahan.

Tentu saja Cui Hiang menjadi terkejut bukan main dan ketakutan melihat perobahan pada wajah dan sikap A-hai. "Paman Hai ... engkau kenapakah, paman? Jangan memandangku seperti itu aku takut!"

A-hai terharu dan merangkulnya. Setelah dirangkul, Cui Hiang kembali merasa tenang. "Paman, aku ingin membunuh orang itu dengan tanganku sendiri. Akan tetapi bagaimana aku dapat melawan dia dengan tanganku yang hanya sebelah ini?"

"Jangan takut! Masih ada aku di sini!" kata A-hai geram. "Aku mempunyai ilmu silat yang amat hebat dan yang akan kuajarkan kepadamu. Ilmu itu disebut Thai-kek Sin-ciang. Aku percaya engkau akan mampu melawan dan mengalahkannya. Akan tetapi engkau harus lebih dahulu mematangkan tenaga sinkang yang kita latih itu. Hayo kita latihan lagi!"

Didorong semangat untuk segera dapat mengalahkan musuh yang telah membuntungi lengannya, kini dengan penuh semangat dan ketekunan, Cui Hiang mulai berlatih lagi. Mereka latihan sedemikian tekunnya sehingga ketika Bwee Hong dan Siok Eng tiba di situ, keduanya tidak tahu dan tetap tenggelam dalam latihan.

Melihat betapa A-hai melatih Cui Hiang dengan tekunnya, dua orang gadis itu menjadi terharu dan juga bersyukur bahwa anak kecil yang bernasib malang itu, yang kehilangan keluarganya dan juga lengannya, telah memperoleh seorang guru yang luar biasa.

"Enci Bwee Hong, agaknya saudara Thian Hai itu sudah hampir sembuh. Perawatanmu nampaknya berhasil."

"Mudah-mudahan begitulah. Mudah-mudahan dengan beberapa kali perawatan dengan tusuk jarum dia akan sembuh sama sekali, tapi ..."

Bwee Hong berhenti bicara, lehernya terasa seperti tercekik. Hatinya dipenuhi keraguan dan kekhawatiran. Ia merasa khawatir kalau yang sudah didengarnya tentang A-hai itu ternyata benar. Bagaimana kalau ternyata kemudian seperti yang didengarnya dari tukang warung yang terbunuh oleh para penjahat itu bahwa A-hai adalah seorang kongcu yang sudah beristeri, bahkan mempunyai seorang anak perempuan? Kalau A-hai sudah berkeluarga, tentu ia ia tidak ingin merusak rumah tangga orang lain. Akan tetapi kalau benar dia sudah beristeri, kenapa sampai sekarang isterinya itu tidak mencarinya?

Keraguan ini membuatnya termenung dan melihat perobahan pada air muka sahabatnya itu, Siok Eng memandang dengan heran. Sahabatnya itu hampir berhasil mengobati dan menyembuhkan A-hai, mengapa tidak nampak gembira malah se-perti orang gelisah?

"Enci Bwee Hong, engkau kenapakah?" Bwee Hong tergagap mendengar pertanyaan yang mengandung teguran itu. "Ah, tidak apa-apa, adik Eng aku aku merasa kasihan kepada anak perempuan itu!!"

Siok Eng mengangguk dan memandang kepada Cui Hiang yang sedang berlatih sinkang secara aneh bersama A-hai itu dan iapun menarik napas panjang. "Kalau dilihat, sukar mengatakan apakah harus merasa kasihan ataukah bersyukur. Enci, banyak kejadian di dunia ini membuktikan bahwa peristiwa yang nampaknya buruk sering kali malah mendatangkan berkah. Coba saja lihat Cui Hiang itu. Andaikata ia tidak kematian keluarganya kemudian buntung lengan kirinya, kukira belum tentu A-hai akan tergerak hatinya sehingga dia menurunkan ilmunya yang hebat kepada anak itu."

Bwee Hong mengangguk. "Kalau direnungkan, memang ada kenyataannya dalam kata-katamu itu, adik Eng."

Setelah selesai berlatih, A-hai yang melihat dua orang gadis itu segera menghampiri dan wa-jahnya berseri. "Nona Hong, agaknya kesehatanku sudah semakin baik. Aku makin banyak dapat mengingat ilmu silatku."

Mereka melanjutkan perjalanan dan tiba-tiba setelah mereka keluar dari hutan kecil itu, nampak debu mengepul di kejauhan dan terdengar bunyi terompet. Empat orang itu lalu bersembunyi, tidak ingin bertemu dengan pasukan yang lewat itu.

Tak lama kemudian, pasukan itupun lewat. Jumlah mereka antara dua sampai tigaratus orang dan mereka nampak kelelahan. Dari pakaian mereka, tahulah Bwee Hong bahwa mereka adalah pasukan pemerintah yang agaknya mengundurkan diri karena terdesak oleh pasukan pemberontak Chu Siang Yu. Wajah mereka muram, pakaian mereka kotor berdebu dan di antara mereka terdapat orang-orang yang luka, ada yang dibalut lengannya, ada yang dibalut kepalanya, ada yang pucat wajahnya dan ada yang jalannya terpincang-pincang. Pasukan itu lewat dan memasuki dusun kecil yang pernah dilewati Bwee Hong dan kawan-kawannya, agaknya pasukan itu hendak beristirahat di sana.

"Hemm, mereka itu pasukan pemerintah yang agaknya kalah perang. Entah apa yang telah terjadi di depan," kata Bwee Hong yang nampaknya ingui sekali mengetahui. "Aku akan menyelidikinya sebentar."

"Jangan, nona Hong. Biar aku saja yang melakukan penyelidikan. Mereka itu pasukan yang kalah perang, dapat melakukan apa saja untuk melampiaskan kekesalan hati mereka dan nona adalah seorang gadis ... eh, cantik"

Bwee Hong senang mendengar ini akan tetapi tentu saja. tidak dinyatakannya pada wajahnya. Bagaimanapun juga, karena pujian atau pernyataan bahwa ia cantik itu membuat jantungnya berdebar dan mukanya agak merah, ia cepat menutupinya dengan berkata, "Aku dapat menyamar sebagai seorang gadis dusun."

"Sebaiknya tidak, nona. Perajurit-perajurit itu lelah dan kesal hatinya, dalam keadaan seperti itu mereka bisa saja mengganggu setiap orang wanita. Biar aku saja yang pergi menyelidikinya. Akupun ingin tahu apa yang telah terjadi."

Diam-diam Bwee Hong kagum. A-hai yang sekarang ini benar-benar amat berbeda dengan A-hai tempo hari. Kini A-hai bersikap jantan dan juga tenang dan cerdas, seperti sikap seorang, pendekar tulen. Dan di dalam suaranya terkandung ketegasan yang sukar untuk dibantah. Maka iapun mengangguk. "Baiklah kalau begitu."

Cui Hiang. minta kepada A-hai untuk diperbolehkan ikut. A-hai tidak merasa keberatan karena ikutnya anak itu malah mempermudah penyamarannya sebagai seorang perantau dan keponakannya. Bwee Hong dan Siok Eng berjanji akan menanti di dalam hutan itu sampai mereka kembali dari penyelidikan ke dusun.

A-hai bersama Cui Hiang lalu berangkat memasuki dusun. Nampak pasukan yang kepayahan itu tersebar di rumah-rumah penduduk dusun, di pelataran-pelataran, Mereka menggeletak di mana-mana melepaskan lelah. Mereka minta makanan dan minuman dari penduduk dusun itu. Penduduk dusun yang ketakutan itu tidak berani membantah dan sibuklah mereka hilir-mudik di jalan melayani para perajurit itu dengan makanan dan minuman seadanya.

Munculnya A-hai dan seorang anak perempuan kecil yang buntung lengannya tidak mencurigakan. Selain pasukan mengira bahwa mereka itupun anggauta penduduk dusun, juga melihat seorang anak perempuan buntung lengannya adalah pemandangan biasa di waktu perang seperti itu. Di mana-mana terlihat orang-orang terluka dan pengungsi-pengungsi kelaparan.

A-hai yang menggandeng tangan kanan Cui Hiang, memasuki dusun itu dan tiba-tiba saja sikapnya berobah. Dia kelihatan seperti orang termangu-mangu, memandang ke sekitarnya, bukan kepada para perajurit, melainkan kepada rumah-rumah dan pohon-pohon di dusun itu. Kadang-kadang dia berhenti dan termenung.

Melihat ini, tentu saja Cui Hiang merasa heran dan setelah mereka melewati sekelompok perajurit, di tempat yang sunyi, Cui Hiahg bertanya, "Paman Hai, engkau kenapakah?"

A-hai yang sedang melamun itu terkejut. "Ehh? Aku? Tidak apa-apa, hanya aku merasa heran sekali mengapa aku seperti pernah mengenal tempat ini. Padahal ketika kita mele-watinya aku sama sekali tidak memperhatikannya. Kenapa sekarang aku seperti merasa bahwa tempat ini sama sekali tidak asing bagiku? Kau lihat pohon siong besar di sana itu? Aku pernah memanjat di sana! Cuma pohon itu tidak sebesar sekarang ini. Dan aku pernah tinggal di tempat seseorang yang letaknya di dekat pohon itu. Akan tetapi, entah siapa aku tidak ingat lagi." kata A-hai dengan suara lirih dan matanya termenung meman-dang ke arah pohon itu.

Dari depan muncul beberapa orang perajurit dan seorang perwira. Agaknya mereka itu melakukan tugas meronda dan meneliti keadaan. Ketika perwira itu melihat A-hai, alisnya berkerut dan diapun menegur, "Hei, kenapa engkau enak-enakan saja di sini dan tidak membantu saudara-saudara lain untuk sekedar meringankan penderitaan pasukan kami? Apakah engkau pemberontak? Atau orang yang pro kepada pemberontak?" Perwira itu sudah meraba gagang goloknya. Jelaslah bahwa sekali saja A-hai mengeluarkan kata-kata atau memperlihatkan sikap menentang, golok itu akan dicabut dan dibacokkan!

"Harap tai-ciangkun tidak salah duga," A-hai berkata, suaranya tenang saja dan sikapnya sungguh berbeda dari biasanya. Kalau dia masih seperti A-hai biasanya, tentu dia akan marah dan memaki-maki, A-hai tempo hari hanya menurutkan perasaannya saja. Kinipun A-hai mendongkol, akan tetapi dia dapat mempergunakan kecerdikannya dan menjawab dengan tenang. "Aku bukan pemberontak, malah aku menjadi korban perang, terpaksa merantau kehilangan keluarga. Bahkan keponakanku ini kematian semua keluarganya dan lengannya juga terluka oleh penjahat."

Perwira itu memandang tajam penuh selidik, akan tetapi mengangguk-angguk percaya. "Kalau begitu, bantulah kami. Kami mencari sumber air yang berada di dusun ini, kami perlu air untuk mandi menyegarkan badan."

Seketika A-hai teringat di mana adanya sumber air itu. "Mari kutunjukkan di mana adanya sumber air itu, ciangkun."

Perwira itu lalu memanggil anak buahnya, disuruh mengambil bak-bak air dan merekapun mengikuti A-hai dan Cui Hiang mendaki bukit. Dengan cekatan A-hai menjadi penunjuk jalan dan dia sama sekali tidak mencari-cari, seolah-olah. dia sudah biasa pergi ke sumber air itu. Melihat ini, pasukan itu makin percaya bahwa A-hai tentulah seorang penduduk dusun itu pula. Jalan ke sumber air itu licin dan agak sulit. Dan perwira itu girang melihat betapa A-hai dengan cekatan dapat membantu para perajurit mengusung bak-bak air ke atas dan ternyata bahwa pemuda itu memiliki tenaga yang besar sekali.

"Nah, itulah sumber air yang mengalir ke dusun. Di bawah pohon itu, ciangkun." kata A-hai. Benar saja, di situ terdapat mata air yang deras airnya dan para perajurit dengan gembira lalu mandi, didahului oleh sang perwira. A-hai sendiri lalu berdiri menjauh, termangu-mangu.

"Paman, apakah engkau lelah sekali? Mengapa engkau termenung lagi?" Cui Hiang yang memperhatikan sekali setiap gerak-gerik A-hai, mendekat, menyentuh tangannya dan bertanya dengan suara penuh sayang.

A-hai menarik napas panjang dan duduk di atas batu gunung, diikuti oleh Cui Hiang yang duduk di sampingnya. Para perajurit tentu akan mengira pemuda ini mengaso karena lelah. "Tidak, Cui Hiang, aku. tidak lelah. Aku sedang berusaha mengumpulkan ingatanku. Aku sungguh telah mengenal daerah ini dengan baik. Rasanya aku pernah menolong seorang kawan wanita yang dilarikan orang ke tempat ini. Orang itu adalah adik seperguruanku sendiri yang murtad.

"Eh benar begitu, aku ingat sekarang. Benar! Aku mempunyai seorang saudara seperguruan yang kelakuannya jelek, suka menghina wanita. Tapi ilmu silatnya amat lihai. Untung ayahku siang-siang sudah melihat keburukan wataknya itu sehingga ilmu silat simpanan keluarga tidak diajarkan kepadanya. Agaknya suteku itu pun merasakan hal ini. Dia minggat meninggalkan ayah, tapi ayah diam saja.

"Bagaimanapun juga, ketika mendengar bahwa suteku itu melakukan kejahatan-kejahatan di luar, ayah menjadi marah. Akan tetapi ayahku telah bersumpah tidak akan keluar dari daerah pertapaannya, maka dia lalu lalu... wah, aku lupa lagi."

Cui Hiang yang mendengarkan dengan penuh perhatian itu, kini tersenyum. "Paman, tidak sukar melanjutkan ceritamu itu. Aku dapat menebaknya. Ayahmu tentu mengutus paman untuk pergi mencari adik seperguruan paman itu. Di jalan agaknya paman berkenalan dengan seorang wanita yang kemudian menjadi kawan. Lalu pada suatu hari kawanmu diculik oleh sutemu itu. Bukankah begitu? Lalu paman mengejarnya dan paman lalu menghajarnya habis-habisan di sini, di tempat ini! Benarkah begitu?"

Wajah A-hai berseri gembira dan dia menepuk pahanya sendiri. "Benar sekali! Engkau benar. Kami berkelahi dengan sengit, di di lereng sana itu!" A-hai menudingkan telunjuknya ke arah lereng di sebelah. "Adikku itu sungguh bertambah lihai bukan main setelah berkelana di dunia luar. Dan hebatnya, dia dapat pula memainkan beberapa ilmu silat simpanan keluarga kami. Agaknya dia telah mencuri lihat ketika aku berlatih. Mari, kita melihat tempat kami bertempur dahulu. Kalau tidak salah, di sana terdapat banyak bekas-bekas perkelahian kami."

Mereka berlari-lari ke arah lereng itu. Ternyata tempat itu adalah sebuah lereng datar di mana terdapat banyak batu-batu besar. Seperti orang yang sudah hafal akan tempat itu dan keadaannya, A-hai menghampiri sebuah batu besar dan berkata, "Lihat batu ini! Aku terjatuh ke sini ketika terkena pukulan pada pahaku. Ketika aku terlentang di batu ini, suteku melancarkan pukulan-pu-kulan maut yang dapat kuelakkan dan pukulannya itu mengenai batu ini. Lihat!"

Cui Hiang memandang dan mulutnya ternga-nga keheranan melihat bekas-bekas di atas permukaan batu itu. Bekas-bekas itu tidak menyerupai bentuk jari tangan, melainkan seperti tapak kaki anjing atau kucing, dan dalamnya ada lima senti! "Paman, kenapa pukulan tangan macamnya seperti ini?" Cui Hiang bertanya heran.

A-hai tersenyum. "Itu adalah bekas jari-jari tangan yang disatukan membentuk paruh burung. Itulah pukulan sakti pemutus urat dari ilmu keluargaku, disebut Thai-kek Sin-ciang. Apa lagi kalau dilontarkan dengan tenaga sinkang Merah Putih seperti yang kaupelajari, akibat pukulan itu hebat bukan main. Untung bagiku bahwa suteku itu tidak mempelajari sinkang itu."

"Bukan main hebatnya" Cui Hiang membelalakkan matanya dan memandang ngeri.

"Ini masih belum seberapa. Ada ilmu andalan keluargaku yang disebut Thai-lek Pek-kong-ciang, lebih hebat lagi!"

"Wah, Thai-kek Sin-ciang itu masih ada yang lebih hebat lagi?"

"Ya, Thai-lek Pek-kong-ciang adalah ilmu yang dilakukan dengan Khong-sin-kang, yaitu Tenaga Sakti Kosong!"

"Eh? Tenaga kosong? Bagaimana itu, paman?"

"Hanya keturunan langsung saja yang bertulang baik diwarisi ilmu mujijat ini. Tenaga Sakti Kosong adalah tenaga sakti yang benar-benar kosong sehingga tidak dapat dirasakan oleh panca indera. Tanpa mengandung hembusan angin sedikitpun sehingga apa bila dipukulkan kepada segumpal kapas yang ringan sekalipun, kapas itu tidak akan bergoyang. Padahal tenaga ini mempunyai daya yang amat hebat dan sukar dicari bandingnya di dunia ini. Yang nampak kosong itu sesungguhnya penuh, dan yang kosong itu lebih kuat dari pada yang isi. Ruangan di jagad raya inipun kosong dan yang isi hanya merupakan bagian saja dari pada kekosongan luas itu. Seperti juga suara hanya merupakan sebagian kecil dari pada keheningan yang maha luas."

"Wah, aku bingung, paman. Apa sih artinya semua itu?"

A-hai tersenyum dan bergurau. "Jangankan engkau, aku sendiripun bingung kalau sudah bicara tentang filsafat kekosongan. Mungkin hanya omong kosong belaka! Kembali kepada ilmu itu, sesungguhnya amat hebat. Tergantung dari besar kecilnya tenaga lawan. Kalau lawan bertenaga besar, maka tenaga itu otomatis menjadi lebih besar lagi. Kalau lawan bertenaga kecil, tenaga Khong-sin-kang itupun menjadi kecil, hanya lebih besar sedikit sekedar untuk melebihi lawan. Kalau tidak menemui lawan, tenaga itupun tidak nampak sama sekali, tidak ada pengaruhnya sama sekali seperti udara hampa. Itulah sebabnya dina-makan Tenaga Sakti Kosong. Tenaga ini tidak dapat dipergunakan untuk melukai atau menyerang orang, melainkan menerima dan membalikkan serangan orang lain saja."

Cui Hiang terbelalak heran dan bingung. "Apakah apakah paman sudah menguasai ilmu aneh ini?"

"Tentu saja. Aku adalah keturunan tunggal yang terakhir dari keluargaku. Ayahku bilang bahwa aku memiliki bakat yang lebih baik dari ayah atau bahkan dari kakek-kakekku, jadi aku berhak mempelajarinya."

"Kalau begitu maukah paman memperlihatkan ilmu itu kepadaku? Aku ingin sekali menyaksikannya."

"Baiklah, agar engkau mengenal ilmu simpanan keluargaku. Nah, bersiaplah, aku memukulmu dengan Tenaga Sakti Kosong!" kata A-hai. Dia berdiri lurus dengan kedua kaki dirapatkan. Tidak terjadi keanehan apa-apa, tidak ada pembahan wajahnya, tidak ada suara, bahkan tidak ada sedikitpun angin menyambar ketika dia menekuk sedikit lututnya dan kedua tangannya mendorong ke depan, ke arah Cui Hiang.

Perlahan sekali, gerakan itu, seolah-olah dia hanya mengulurkan tangan kepada Cui Hiang. Tidak terasa apapun oleh Cui Hiang, bahkan rambut anak itupun tidak sampai bergerak. Tentu saja Cui Hiang menjadi terheran-heran. Tadinya ia bersiap menyambut serangan orang yang tanpa upacara telah menjadi gurunya itu akan tetapi karena ternyata pemuda itu sama sekali tidak menyerangnya, iapun termangu-mangu dengan heran. Disangkanya bahwa A-hai ragu-ragu untuk menyerangnya, takut kalau ia terluka.

"Mari, paman, cepat menyerang. Aku sudah siap menyambut. Kenapa paman tidak melanjutkan?"

"Anak bodoh, aku. sudah memukulmu sejak tadi. Inilah maka ilmu ini dinamakan Tenaga Sakti Kosong. Engkau memang tidak merasakan apa-apa, karena engkau tidak mengerahkan tenagamu. Coba engkau menangkis, tentu engkau akan melihat buktinya."

Tentu saja Cui Hiang menjadi penasaran. Tentu A-hai telah mempermainkannya. Mana mungkin serangan itu sudah dilakukan kalau ia tidak merasakan apa-apa? Kenapa yang begini dina-makan ilmu yang hebat? Dengan alis berkerut karena mengira dipermainkan ia menepiskan tangannya ke arah A-hai dan bermaksud untuk menjauhkan diri.

Akan tetapi, apa yang terjadi? Ketika ia menepiskan tangannya, tiba-tiba saja dirinya didorong oleh tenaga luar biasa yang membuatnya terjungkal ke belakang! Cui Hiang bangkit dan matanya terbelalak ketakutan. Tubuhnya terasa lemas seperti baru saja dilanda angin yang amat kuat.

"Paman, apa yang kau lakukan?"

A-hai tersenyum dan mengulurkan tangan, membantu gadis kecil itu bangun. "Nah, engkau sudah merasakan sekarang? Kalau tangkisanmu tadi lebih kuat, engkaupun akan lebih keras terbanting. Ilmu ini hebat karena tak dapat dirasakan, di situlah letak keampuhannya.

Dengan ilmu inilah maka di jaman dahulu terdapat dongeng-dongeng yang aneh, di mana seorang sakti sendirian saja mampu menghancurkan sebuah kerajaan yang mempunyai pasukan laksaan orang. Dan ini pula sebabnya mengapa di jaman dahulu terdapat dongeng akan kesaktian manusia yang seperti dewa."

"Hebat!" Cui Hiang kagum sekali. "Oya.... setelah paman berkelahi melawan sute paman itu lalu bagaimana?"

"Adikku benar-benar hebat kepandaiannya. Aku hampir terbunuh olehnya. Ilmu silatnya seperti iblis, kecepatannya seperti setan. Akan tetapi setelah aku mempergunakan ilmu simpanan keluargaku, barulah dia kewalahan. Dia jatuh ba-ngun melawan Khong-sin-kang yang kupergunakan untuk Ilmu Thai-lek Pek-kong-ciang. Tubuh-nya yang kebal itu akhirnya terluka dan dia dapat kuringkus dan kubawa menghadap ayahku."

"Wah, hebat sekali cerita itu, paman. Lalu bagaimana jadinya dengan wanita sahabatmu itu, paman?" tanya Cui Hiang tertarik.

"Tentu saja ia menjadi isteri Souw-kongcu. Masa hal itu perlu ditanyakan lagi?' tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah seorang laki-laki tua yang tergopoh-gopoh menghampiri mereka. Laki-laki tua yang kurus ini dengan wajah berseri-seri memandang kepada A-hai.

"Souw-kongcu! Telah sepuluh tahun kita tidak saling bertemu. Apakah kongcu baik-baik saja? Kenapa lama benar tidak berkunjung ke si-ni? Dan bagaimana dengan puterimu yang mungil itu? Tentu sudah besar sekarang," Berkata demikian, kakek itu melirik ke arah gadis kecil berlengan buntung sebelah dengan ragu-ragu.

A-hai bengong memandang kepada kakek itu. Lagi-lagi ada orang yang menyebutnya kongcu, seorang tuan muda she Souw! Benarkah dia seorang she Souw? Akan tetapi kenapa dia tidak mengenal kakek ini sama sekali? Secara tak terduga-duga, proses penyembuhannya berjalan dengan cepat, akan tetapi ternyata masih banyak hal-hal lalu yang sama sekali tidak diingatnya, agaknya termasuk orang tua ini. Siapakah kakek ini? Nampaknya orang ini selain sangat mengenalnya, juga sangat menghormatnya.

Telah dua orang bersama tukang warung itu yang mengenalnya sebagai seorang kongcu yang telah mempunyai isteri dan anak. Kalau benar demikian, di manakah adanya isterinya dan anaknya itu? Dan di mana pula rumahnya? Hatinya terguncang keras dan biarpun dia belum yakin benar bahwa dia memang Souw-kongcu, melihat ada orang yang mengenalnya, dia lalu menangkap tangan kakek itu.

"Lopek, katakanlah. Apakah wajahku benar-benar wajah Souw-kongcu seperti yang kaukenal itu? Benarkah? Lalu lalu di manakah tinggalnya Souw-kongcu?"

Kakek itu terbelalak kebingungan. "Eh, bagaimana ini? Souw-kongcu, apakah yang telah terjadi denganmu sehingga sikapmu seaneh ini?"

"Lopek, maafkanlah aku. Aku sendiri tidak tahu betul siapa sebenarnya aku ini, apakah Souw-kongcu ataukah orang lain. Ketahuilah, aku telah terserang penyakit sehingga aku lupa segala-galanya tentang masa laluku. Justeru sekarang ini aku sedang melakukan penyelidikan untuk dapat mengingat kembali masa laluku, Tempat ini kukenal baik akan tetapi maaf, aku lupa sama sekali kepadamu, tidak mengenal wajahmu."

Kakek itu mengangguk-angguk dan memandang dengan sinar mata menaruh kasihan. "Ah... kiranya begitu? Souw-kongcu, aku adalah kepala kampung di dusun ini. Tentu saja aku sangat mengenalmu karena engkau telah menikah dengan puteri angkatku sendiri. Aku adalah mertua angkatmu sendiri, kongcu. Marilah ikut aku ke rumahku dan aku akan menceritakan segalanya dan kongcu akan dapat melihat gambar-gambar lama. Mudah-mudahan kongcu akan dapat teringat lagi akan semua masa lalumu. Marilah..."

Pada saat itu nampak beberapa orang perajurit menghampiri tempat itu. "Nah. itu dia di sana! Hei, monyet. Kenapa kau pergi tanpa pamit? Mau lari, ya?' Hayo, bantu kami mengangkut bak air itu turun. Komandan kami perlu air untuk mandi..."

"'Wah, ini kepala kampung di sini pula!" tegur seorang lain di antara mereka. "Kenapa engkau di sini? Kenapa engkau meninggalkan komandan kami di rumahmu sendirian saja? Apakah engkau tidak suka kepada kami para perajurit kerajaan ya? Mau berontak, ya? Mau jadi kaki tangan pemberontak asing?"

Kakek kepala kampung; itu menjawab halus, "Saya tidak berniat buruk. Saya hanya ingin membuktikan laporan orang bahwa ada beberapa orang perajurit menawan rakyatku. Maka saya mengikuti kalian sampai ke sini. Dan ternyata orang-orangku ini hanya kalian mintai bantuan mencari sumber air."

"Wah, kaukira perajurit-perajurit kerajaan adalah perajurit brengsek yang suka mengganggu rakyat, ya? Gila kau. Hayo pulang ke rumahmu lagi. Komandan kami ingin sekali mandi secepatnya dan kita bisa didamprat kalau terlambat."

Kepala kampung memberi isyarat agar A-hai menurut saja. Mereka lalu turun dari tempat itu dan A-hai membantu mereka memikul bak air ke rumah si kepala kampung di mana sang komandan sudah menunggu, dengan baju atas terbuka. Nampaklah dadanya yang bidang berbulu dan menyeramkan.

"Kenapa lama benar kalian? Ingin dihukum cambuk, ya?" bentaknya marah. Tentu saja para anak buahnya menjadi ketakutan dan mereka cepat mempersiapkan segalanya untuk sang komandan yang kegerahan dan ingin mandi itu. Sebelum menuju ke tempat mandi, komandan itu berteriak ke arah kepala kampung, "Siapkan makanan enak untukku. Carikan ayam gemuk dan masak yang enak!"

Si kepala kampung hanya mengangguk lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mempersiapkan permintaan sang komandan. "Inilah akibatnya perang," katanya lirih kepada A-hai. "Kalah atau menang, tetap saja rakyat yang menderita akibatnya. Penindasan selalu terjadi dengan sewenang-wenang. Tentu saja, kadarnya yang berbeda. Di bawah telapak kaki musuh, tentu lebih hebat dan lebih celaka."

A-hai mengangguk. Teringat dia akan keadaan para penduduk dusun yang kelaparan dan terpak-sa lari mengungsi. Dan kini penduduk dusun itu dipaksa melayani para perajurit dan mengeluarkan seluruh miliknya untuk menyenangkan para perajurit agar mereka tidak mengamuk dan menghukum para penduduk yang dapat dituduh sebagai berpihak kepada musuh atau pemberontak.

Setelah selesai membantu para perajurit, A-hai dan Cui Hiang lalu diajak masuk oleh kepala kampung. Mereka memasuki rumah melalui pintu samping dan memasuki bangunan samping di mana tuan rumah biasa minum teh dan membaca kitab...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.