Darah Pendekar Jilid 28

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Darah Pendekar Jilid 28
Sonny Ogawa

Darah Pendekar Jilid 28 karya Kho Ping Hoo - KETIKA mereka memasuki ruangan di mana tergantung sebuah lukisan besar seorang wanita yang berpakaian puteri istana, A-hai berlari menghampiri dan berdiri memandang gambar itu dengan muka pucat dan mata terbelalak.

Novel silat Darah Pendekar karya Kho Ping Hoo

Cui Hiang juga berdiri mendekat dan gadis cilik ini terkejut sekali melihat betapa gambar wanita itu wajahnya persis wajah Bwee Hong. Gambar wanita ini nampak lebih agung dan anggun, mungkin karena pakaiannya seperti puteri istana. Akan tetapi wajahnya sungguh mirip sekali wajah Bwee Hong.

A-hai berdiri memandang dengan peluh bercucuran. Jelas dia nampak amat terpengaruh oleh gambar itu, dan keharuan membayang di wajahnya. "Lopek siapa.... siapakah wanita dalam gambar ini? Aku seperti sudah sangat mengenalnya, aku merasa sangat dekat dengan wanita ini, akan tetapi.... aku lupa lagi siapakah ia?"

"Wanita ini adalah puteri angkatku sendiri, isteri dari Souw-kongcu."

"Hahhh....? Isteri..... Souw-kongcu? Dan kalau aku Souw-kongcu, ia isteriku?"

"Benar, itulah gambar puteri angkatku!"

"Akan tetapi kalau ia puteri kakek, kenapa ia mengenakan pakaian seorang puteri istana?" tiba-tiba Cui Hiang bertanya. Gadis cilik ini sudah "pernah" melihat gambar puteri istana, maka ia menyatakan keheranannya.

Kakek itu tertegun sebentar dan mukanya menjadi kemerahan. Mendengar pertanyaan yang diajukan Cui Hiang, A-hai juga memandang kakek itu. "Memang aneh sekali kalau engkau mempunyai anak berpakaian seperti itu, lopek, dan aku.... mana mungkin aku mempunyai isteri puteri istana?"

A-hai juga bertanya, mendesak. Siapa tahu penjelasan kakek ini akan merupakan kunci pembuka rahasia masa lalunya yang dilupakannya. Kakek itu menarik napas panjang, setelah termenung sejenak lalu berkata,

"Mendiang isteriku adalah bekas selir kaisar. Belum lama menjadi isteriku, ketika pada suatu hari kaisar dalam perantauannya lewat di dusun kami, beliau tertarik kepada isteriku dan direbutnya kekasihku dari tanganku, dan dibawa ke istana. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah kekasihku itu mempunyai anak, ia dan anaknya dikembalikan kepadaku dan anak itu dibesarkan di istana. Jadi sebenarnya, puteri angkatku itu adalah anak isteriku dan kaisar."

"Ahh maafkan aku, kek!" Cui Hiang berkata menyesal telah mengajukan pertanyaan tadi.

"Tidak apa. Peristiwa itu sudah lama berlalu, isteriku telah meninggal dunia. Mari kuperlihatkan sebuah gambar lagi."

Cui Hiang menahan teriakan heran ketika melihat gambar besar itu. Jelas bahwa pria gagah yang berpakaian sasterawan dan memegang kendali kuda putih mulus itu adalah A-hai! Dan di atas pelana kuda duduk seorang anak perempuan yang tersenyum manis sambil memeluk sebuah boneka indah berupa seorang puteri istana, terbuat dari pada batu giok.

A-hai sendiri memandang lukisan itu seperti berobah menjadi patung, kemudian dia melangkah maju mendekati gambar, tangannya terjulur ke depan, gemetar. "Bukankah... bukankah ini gambarku?" teriaknya. "Dan ini boneka ini...."

Suaranya gemetar dan tangannya merogoh ke dalam buntalannya. Dikeluarkannya sebuah boneka batu giok yang ternyata persis dengan boneka yang dibawa anak perempuan dalam lukisan itu.

Kini kakek itu yang memandang kaget. "Ah, boneka itu, boneka itu adalah hadiah dari Souw-kongcu untuk cucuku itu, pada hari ulang tahunnya. Kenapa sekarang kau bawa? Di manakah cucuku itu?"

"Lopek, sudah kukatakan bahwa aku lupa akan masa laluku. Boneka ini kutemukan di rumah Gu-lojin, sebuah rumah tua di luar dusun yang sunyi. Di sana pula untuk pertama kalinya aku mendengar tentang Souw-kongcu itu. Ketika pertama kali melihat patung ini, aku terkesan dan dan nama yang terukir pada boneka ini!"

"Lian Cu? Itulah nama cucuku dan Gu-lojin yang kongcu sebut itu, bukankah dia seorang pelukis yang hidup menyendiri?"

"Benar!"

"Dia adalah kakakku sendiri, kongcu." Kakek itu nampak terharu sekali. "Kakakku bernama Gu Toan dan aku sendiri bernama Gu Tek. Anak angkatku itu, yang sebenarnya puteri kaisar dari isteriku, bernama Gu Yan Kim dan cucuku bernama Lian Cu, Souw Lian Cu."

A-hai mendengarkan semua ini seperti dalam mimpi. Kemudian dia menarik napas panjang. "Agaknya aku memang benar-benar Souw-kongcu seperti dugaan paman itu. Aku juga mahir ilmu silat tinggi, biarpun entah karena apa aku telah lupa sebagian dari ilmu itu, dan lupa akan masa laluku sama sekali, lupa akan keluargaku."

Tiba-tiba kepala kampung itu memandang dengan wajah berseri. "Aku ingat akan adanya suatu tanda untuk meyakinkan apakah kongcu benar-benar Souw-kongcu atau bukan."

"Benarkah itu? Bagaimanakah maksudnya?" teriak A-hai sambil mencengkeram tangan kakek itu sehingga kakek itu meringis kesakitan. A-hai cepat melepaskan cengkeramannya dan kakek itu tersenyum.

"Karena aku beruntung mempunyai mantu seorang keturunan keluarga Souw, maka aku tahu akan rahasia keluarga itu. Sejak turun-temurun, keluarga Souw adalah keluarga pendekar yang memiliki ilmu silat maha hebat! Dan sebagai tanda pengenal, semua anak keturunan mereka diberi tanda merupakan bekas luka jahitan yang memanjang dari ubun-ubun sampai ke belakang kepala dekat tengkuk.

"Selain luka jahitan memanjang ini, juga luka akibat totokan dari ciri perguruan keluarga sakti itu pada sebelah tulang punggung di kanan kiri, tepat di bawah pinggang. Setiap bayi keturunan mereka, setelah berusia satu tahun, tentu mendapat tanda itu. Aku sebagai kakek Lian Cu diberi tahu dan ternyata tanda itu bukanlah sekedar tanda belaka, melainkan ada hubungannya dengan ilmu mereka.

"Semua itu dimaksudkan untuk membuka jalan darah penting di tubuh anak itu agar setelah besar nanti sudah siap untuk menerima pelajaran ilmu keturunan mereka yang hebat. Tanpa dilakukan pembedahan pada kepala dan totokan di pinggang itu sewaktu masih bayi, tidak mungkin mereka dapat melatih ilmu mujijat keturunan keluarga itu. Bagaimana jelasnya tentang ilmu itu, tentu saja aku tidak mengerti."

A-hai mendengarkan dengan terheran-heran. "Luka bekas jahitan dan bekas totokan? Apakah itu?"

"Aku pernah melihatnya sendiri ketika cucuku Lian Cu menjalani upacara keluarga itu setelah berusia setahun. Mula-mula di pinggangnya, sebelah kanan dan kiri tulang punggung, ditotok dan daging di bagian itu menjadi hangus melepuh seperti dibakar. Setelah sembuh, bekas totokan itu meninggalkan bekas dengan nyata. Kemudian, kulit kepala bayi itu diiris dengan ujung pedang, membujur dari ubun-ubun sampai ke tengkuk. Entah apa yang mereka lakukan setelah kulit kepala dibuka karena aku sendiri tidak tega untuk menonton terus.

"Kemudian kulit itu dijahit kembali dan setelah sembuh meninggalkan bekas luka memanjang. Nah, demikianlah. Maka untuk menentukan apakah kongcu keturunan keluarga Souw atau bukan, amatlah mudah. Selain tanda-tanda di badan yang tidak nampak dari luar itu, juga semua keturunan keluarga Souw memakai sebuah cincin batu giok yang ada huruf Souw diukir di situ."

A-hai mendengarkan dengan bengong. Otomatis, matanya mengerling ke arah jari-jari tangannya dan dia merasa kecewa tidak melihat sebuah cincinpun di jari tangannya. Apa lagi cincin batu giok yang diukir huruf Souw, bahkan cincin kuningan pun tak pernah dia memakainya. Kemudian, lengannya bergerak dan tangannya merayap menuju ke pinggangnya di belakang, meraba-raba dan mencari-cari tanda di kanan kiri tulang punggung seperti yang diceritakan oleh kakek itu.

Akan tetapi, alisnya berkerut dan kembali dia merasa kecewa karena tangannya tidak merasakan adanya bekas luka-luka akibat totokan yang membakar itu. Dengan penasaran dia lalu meraba-raba kepalanya, jari-jari tangannya menyusup ke bawah rambutnya yang tebal, mencari-cari luka bekas jahitan yang menjadi ciri khas keturunan keluarga Souw.

Kakek Gu Tek menanti dengan wajah tegang, sedangkan Cui Hiang juga ikut-ikutan meraba-raba kepalanya sendiri di bawah rambut karena ia merasa amat tertarik oleh cerita aneh kakek kepala kampung itu. Selagi A-hai sibuk mencari-cari di bawah rambutnya, Cui Hiang berteriak membuat keduanya terkejut.

"Haiii! Kepalaku! Di kepalaku juga ada bekas luka memanjang dari depan ke belakang! Lihatlah ini, kek!" Gadis cilik itu berseru gembira sambil menyodorkan kepalanya yang kecil itu ke arah kakek kepala kampung.

Tentu saja kakek yang tadinya bersikap tegang itu kini tersenyum geli. Ada-ada saja ulah gadis cilik yang buntung lengan kirinya ini, pikirnya. "Aih, nona, jangan main-main. Nona mengejutkan saja. Sungguh lucu kau ini, dan ada-ada saja. Mana bisa nona mempunyai ciri tanda itu? Apa hubunganmu dengan keluarga Souw? Ha-ha, kalau toh ada bekas luka di kepalamu, kiranya itu tentu hanya akibat pukulan dengan sendok nasi atau sumpit oleh ibumu karena kenakalanmu." Kakek itu tertawa geli sampai terguncang perutnya, bukan untuk menghina atau mentertawakan, melainkan karena benar-benar merasa lucu setelah dicekam ketegangan tadi.

Akan tetapi Cui Hiang tidak ikut ketawa, malah matanya melotot. "Kek, tapi di kepalaku benar-benar ada bekas luka yang memanjang! Coba saja kau raba sendiri, panjang bersambung dari muka ke belakang!" Suaranya mengandung rasa penasaran sehingga menarik perhatian kakek itu.

Kakek Gu Tek masih menahan ketawa dan tersenyum lebar ketika terpaksa meluluskan permintaan Cui Hiang. Jari-jari tangannya meraba sekenanya saja ke arah kepala anak itu, hanya untuk memberi kepuasan saja. Akan tetapi, tiba-tiba senyumnya sedikit demi sedikit menghilang dari paras mukanya, dan kini wajahnya dibayangi keheranan yang besar, matanya terbelalak.

Jari-jari tangannya kini meraba-raba dan jelas terasa oleh ujung jari-jarinya adanya bekas luka memanjang dari ubun-ubun sampai ke tengkuk. Cepat dia menyibakkan rambut yang hitam itu dan alangkah kagetnya ketika di situ dia benar-benar melihat tanda luka bekas jahitan!

"Kau... kau.... siapa?" Akhirnya kakek itu bertanya dengan suara gemetar, dan tangannya yang agak menggigil itu kini meraba pinggang. Cui Hiang mendiamkannya saja ketika bajunya disibakkan agar kakek itu dapat memeriksa punggungnya. Dan kakek Gu Tek semakin terbelalak ketika melihat betapa di kanan kiri pinggang gadis cilik itu benar-benar nampak adanya bekas totokan yang mirip jejak kaki kucing itu.

"Kau... engkau benar-benar keturunan keluarga Souw!" teriaknya dengan muka berubah agak pucat.

"Hemm..." Tiba-tiba A-hai berseru lirih. "Lopek, di kepalaku juga seperti ada bekas jahitan, akan tetapi hanya pendek saja, tidak sampai ke ubun-ubun dan tengkuk."

"Ah, mana mungkin, kongcu? Maaf, biarkan aku memeriksanya!" Dengan hati penasaran kakek itu lalu memeriksa kepala dan pinggang A-hai. Semakin penasaran hatinya ketika menemukan bahwa memang benar di kepala A-hai ada tanda jahitan itu, akan tetapi tidak begitu panjang seperti tanda pada kepala Cui Hiang, bahkan tanda pada pinggangnya juga tidak sedalam dan sejelas seperti yang terdapat pada pinggang anak perempuan itu.

Biarpun demikian, jelas bahwa tanda-tanda itu ada pada A-hai, maka kakek itu menjadi girang sekali. Dirangkulnya pemuda itu dengan hati terharu. "Engkau benar Souw-kongcu ah, Souw-kongcu betapa girang hatiku!"

A-hai bersikap tenang. Bagaimanapun juga, semua ini belum meyakinkan hatinya karena ingatannya belum pulih. "Lopek, harap maafkan aku. Sekarang aku baru dapat teringat sebagian-sebagian, dan aku sedang dalam pengobatan. Mudah-mudahan tak lama lagi aku akan dapat teringat semuanya. Aku sendiri juga mulai agak yakin bahwa aku sebenarnya adalah orang she Souw, mantumu. Akan tetapi harap jangan bertanya apa-apa tentang masa laluku. Aku belum ingat semua itu bahkan aku belum ingat tentang keluargaku. Tidak ada sedikitpun yang kuingat tentang isteri atau anakku. Bahkan setelah berhadapan dengan lopek sendiri yang agaknya tidak salah lagi tentulah ayah mertuaku, akan tetapi aku sama sekali tidak ingat dan tidak mengenal wajah lopek. Maafkanlah dan harap lopek bersabar sampai aku memperoleh kembali ingatanku."

Dengan wajah sedih kakek Gu Tek hanya mengangguk-angguk. Kini A-hai menoleh kepada Cui Hiang. Sama sekali tidak pernah disangkanya ada hal yang begini kebetulan. Dia merasa kasihan kepada Cui Hiang dan mengajaknya hidup bersama, bahkan telah menurunkan ilmu silatnya yang dia tidak tahu betul adalah ilmu simpanan keluarganya dan siapa kira, ternyata gadis ini mempunyai ciri-ciri keturunan keluarga Souw seperti yang dituturkan oleh kakek itu!

"Cui Hiang, jika dilihat dari adanya tanda-tanda di tubuhmu, ternyata di antara kita masih ada hubungan keluarga. Entah hubungan yang bagaimana aku belum dapat memastikannya. Mungkin antara paman dan keponakan atau antara saudari sepupu, atau bahkan antara kakak dan adik."

Cui Hiang mengangguk-angguk, menunduk dan beberapa butir air mata menitik turun ke atas sepasang pipinya yang agak pucat. Tentu saja dara kecil ini merasa gembira dan terharu sekali Pendekar yang amat dikaguminya dan disayangnya ini masih ada hubungan keluarga dengannya!

A-hai kini menjura kepada kakek Gu Tek ke-pala kampung itu. "Lopek, tolong beri tahu kepadaku, di manakah tempat tinggal keluarga Souw itu? Aku harus pergi ke sana karena aku yakin bahwa kalau aku pergi ke tempat keluarga itu, aku akan lebih mudah mengingat masa laluku."

Kakek itu mengembangkan kedua lengannya dan menggerakkan pundaknya, menarik napas panjang penuh sesal. "Wah, inilah celakanya. Aku sendiri belum tahu tempat tinggal keluarga pendekar itu. Keluarga Souw benar-benar merahasiakan tempat mereka, bahkan aku sendiri sebagai mertuanya tidak boleh tahu. Mereka tidak mau dikenal orang, tidak ingin diganggu dengan urusan kaum persilatan.

"Itulah sebabnya ketika tiba-tiba mantuku dan puteriku pergi selama sepuluh tahun dan tidak pernah datang berkunjung, aku sama sekali tidak tahu ke mana harus mencari mereka. Sampai-sampai isteriku, bekas selir kaisar itu, meninggal dunia karena duka. Hanya secara samar-samar aku pernah mendengar dari puteriku, bahwa tempat tinggal mereka itu terdapat di sebuah pulau penuh bunga yang indah..."

"Rumah mereka didirikan di tepi sungai kecil yang airnya jernih, yang mengalir di tengah pulau kecil itu dan di belakang rumah mereka... terdapat sebuah air terjun yang sangat indah!" A-hai melanjutkan, seperti dalam mimpi rasanya.

"Benar!" seru kakek itu gembira. "Ah, engkau benar-benar mantuku! Ya Tuhan, di manakah adanya isterimu dan cucuku yang mungil itu?" Kakek itu tidak dapat menahan runtuhnya beberapa butir air matanya.

A-hai tertegun dan seluruh tubuhnya terasa lemas, wajahnya membayangkan kesedihan mendalam. "Entahlah... entahlah, aku tidak ingat lagi." katanya kecewa sekali.

Pada saat itu terdengar teriakan beberapa orang perajurit di halaman samping rumah, "Hai, kepala kampung! Di mana engkau? Mana masakan ayam itu? Apakah sudah siap?"

Tergopoh-gopoh kakek Gu Tek menemui komandan pasukan dan menjura dengan sikap hormat. "Maaf, tai-ciangkun, saya harus mencarikan ayam dulu karena kami sendiri tidak mempunyainya, harap ciangkun bersabar."

Komandan itu menjadi marah dan membentak, "Hemm, jangan mempermainkan aku. Siapkan secepatnya, juga untuk sore nanti karena ada seorang panglima kerajaan yang akan datang berkunjung.''

"Baik, ciangkun." Dan kakek Gu Tek lalu mengatur orang-orangnya untuk mempersiapkan makanan yang dipesan oleh komandan itu.

Malam itu komandan pasukan menjamu seorang panglima yang datang bersama dua orang kakek berjubah coklat. Panglima ini adalah Lai-goanswe dan dua orang kakek berjubah coklat itu adalah dua orang tokoh Liong-i-pang, dikawal pula oleh belasan orang perajurit pengawal. Setelah makan hidangan yang disuguhkan, panglima itu bertanya dengan suara lantang kepada sang komandan.

"Ma-ciangkun, sekarang ceritakan kepadaku tentang keadaan di garis depan dan terangkan mengapa engkau membawa sisa pasukanmu meninggalkan Jenderal Beng dari daerah pertempuran?"

Komandan pasukan itu menarik napas panjang. "Lai-goanswe, keadaan semua pasukan kerajaan di garis depan sudah amat payah. Pasukan-pasukan pemberontak Chu Siang Yu yang dibantu pasukan-pasukan bangsa liar sungguh terlalu amat kuat. Jumlah mereka bertambah terus sedangkan jumlah pasukan kita semakin berkurang tanpa adanya bala bantuan dari kota raja. Saya membawa pasukan mundur sampai ke sini karena perintah langsung Beng-goanswe sendiri.

"Beliau kini bertahan di sepanjang Sungai Ular, sedangkan kami diutus untuk mempersiapkan jalan mundur pasukan induk. Juga kami diutus untuk mencari tambahan ransum karena persediaannya sudah menipis dan tidak pernah ada kiriman bantuan ransum dari kota raja. Kekuatan musuh hampir tiga kali lipat jumlahnya. Jenderal Beng Tian bermaksud untuk mengumpulkan sisa pasukan yang ada, bertahan di benteng terakhir sampai titik darah terakhir."

"Apakah Jenderal Beng sudah mendengar bahwa di daerah selatan dan timur juga muncul barisan pemberontak Liu Pang yang tidak kalah kuatnya?"

"Sudah, Beng-goanswe sudah mendengar berita itu. Hal itu pulalah yang membuat Beng-goanswe menjadi patah semangat. Beliau berpendapat bahwa kalau sampai pasukan yang paduka pimpin itu sampai kalah, itu berarti bahwa barisan pemberontak Liu Pang itu tentu kuat sekali. Mungkin lebih kuat dari pada pasukan pemberontak Chu Siang Yu. Kalau sudah muncul dua pasukan pemberontak yang masing-masing memiliki kekuatan melebihi kekuatan pemerintah, apa yang mesti diperbuat lagi? Paling-paling kita bertahan sampai kita gugur sebagai bunga bangsa!" kata komandan pasukan she Ma itu dengan sikap gagah.

Jenderal Lai menarik napas panjang. "Betapa menyedihkan melihat banyaknya orang yang menjadi perajurit setia seperti engkau ini telah tewas dengan sia-sia. Ma-ciangkun, maksudmu untuk gugur sebagai bunga bangsa memang menjadi watak seorang perajurit sejati. Akan tetapi ada suatu hal yang lebih penting lagi untuk dipikirkan. Kalau tekad itu dilakukan demi membela tanah air dan bangsa, memang tepat dan sudah menjadi kewajiban setiap orang warga negara. Akan tetapi lebih bijaksanalah kalau kita melihat dulu untuk siapa kita berjuang. Benarkah untuk negara dan bangsa, ataukah hanya untuk segelintir manusia di istana yang merupakan manusia-manusia lalim dan tidak patut kita bela?"

"Apa... apa maksud paduka?" Ma-ciangkun memandang heran. Dia adalah seorang perajurit tulen yang setia dan dia mengenal benar Jenderal Lai ini yang selama puluhan tahun pernah menjadi atasannya. Seorang jenderal yang setia! Akan tetapi mengapa kini mengeluarkan kata-kata yang membingungkan hatinya itu?

"Ma-ciangkun. Aku haru saja dari kota raja. Kaisar baru dan para pembantunya sungguh membuat kita prihatin. Mereka itu sama sekali tidak memperdulikan keadaan pasukan yang didesak musuh. Mereka bersenang-senang, berpesta-pora dan melakukan segala macam kemaksiatan yang menjijikkan.

"Pembesar-pembesar penjilat dan korup dinaikkan pangkat, kaum sesat yang amat kejam dijadikan pengawal-pengawal dan panglima, sedangkan pejabat-pejabat yang setia dan jujur malah dipecat, dipenjarakan atau dibunuh. Istana seperti menjadi sarang penjahat yang paling keji.

"Ketika aku menghadap kaisar yang masih muda itu, sama sekali tidak ada penghargaan melihat betapa aku dan pasukanku telah membela kerajaan mati-matian, bahkan hampir saja aku dibunuh oleh begundal-begundal kaisar yang terdiri dari datuk-datuk sesat yang lihai itu. Apakah sekarang engkau masih mau gugur sebagai bunga bangsa demi sekumpulan manusia lalim dan sesat seperti mereka itu?"

Wajah perwira Ma menjadi pucat. "Be... benarkah itu?" Dia bertanya gagap.

Jenderal Lai menatap tajam. "Ma-ciangkun, engkau mengenal aku, bukan? Puluhan tahun aku menjadi atasanmu, pernahkah aku bicara sembarangan kepada bawahanku? Atau engkau ingin membuktikan sendiri kata-kataku dan pergi ke kota raja?"

"Maaf, goanswe. Mana saya berani? Akan tetapi, kalau begitu keadaannya lalu.... lalu apa yang harus saya kerjakan?"

"Begini. Engkau tidak perlu membawa pasukanmu ke kota raja. Kau tetap saja di dusun ini. Aku akan pergi menghadap Jenderal Beng Tian untuk merundingkan langkah-langkah selanjutnya. Engkau menanti perintah saja di sini."

"Baiklah, goanswe!" kata Ma-ciangkun dengan lega karena tugas itu ternyata ringan saja. Malam itu juga Jenderal Lai pergi bersama para pengawalnya dan pasukan itupun mengaso.

Setelah pertemuan penting itu bubaran, A-hai yang juga mendengar percakapan itu dari lain ruangan, lalu bertanya kepada kakek Gu Tek, "Lopek, aku mendengar tentang adanya sebuah benteng tua yang kini dipergunakan sebagai tempat tawanan. Di manakah letak benteng itu dan bagaimana keadaannya? Apakah terjaga kuat dan sukar dimasuki?"

"Ah, benteng itu? Sekarang menjadi tempat pembuangan para pejabat istana. Tempatnya kurang lebih sepuluh li dari sini, terletak di atas puncak sebuah bukit gundul yang terjal. Tempat itu sukar didekati, tak dapat dicapai lewat samping atau belakang. Jalan satu-satunya hanyalah dari depan, jalannya lebar dan baik. Akan tetapi kenapa kongcu menanyakan tempat itu?"

"Hemm, aku hendak ke sana, lopek."

"Ah, apakah ada seorang kerabat yang dibuang di sana?"

A-hai hanya mengangguk dan tahulah Gu Tek bahwa dia tidak boleh banyak bertanya. Maka diapun lalu memberi keterangan tentang jalan yang menuju ke benteng itu. A-hai merasa girang sekali.

"Lopek, karena tempat itu cukup berbahaya, maka aku ingin menitipkan Cui Hiang agar berdiam di sini lebih dulu. Aku akan menjemput dua orang wanita yang menjadi sahabatku dan yang kutinggalkan di hutan. Kalau sudah selesai urusan kami, aku akan datang ke sini untuk menjemput Cui Hiang."

Kakek itu girang sekali. Bagaimanapun juga, gadis berlengan buntung sebelah ini adalah keturunan keluarga Souw pula, maka termasuk sanaknya juga melalui puteri angkatnya. "Baik, jangan khawatir, kongcu. Kami akan menjaganya baik-baik."

"Kakek Gu. jangan kaget kalau kelak engkau melihat seorang di antara dua nona itu. Wajahnya mirip sekali dengan gambar puterimu itu," kata Cui Hiang dan kakek itu mengangguk-angguk, dalam hatinya terheran-heran mengapa begini banyak hal-hal yang "kebetulan".

A-hai lalu berangkat keluar dari dusun, meninggalkan Cui Hiang di rumah si kepala kampung karena dia merasa kurang leluasa kalau harus rttengajak anak itu, padahal dia dan teman-temannya akan menyerbu benteng menyelamatkan Seng Kun dan yang lainnya. Ketika A-hai berjalan keluar dari dusun, beberapa orang perajurit peronda menegurnya. "Hei, berhenti! Siapa itu?"

A-hai berhenti dan dua orang peronda itu menghampiri. "Ah, kiranya engkau!" kata mereka yang sudah mengenal A-hai yang pernah membantu mereka mencari air, pemuda yang berada di rumah kepala kampung dan menjadi keluarga kepala kampung itu. "Hendak ke mana engkau?"

"Aku disuruh oleh Gu-lopek untuk mencari ayam."

"Bagus! Cari yang banyak, kalau ada telurnya juga, ya? Sudah lama aku tidak makan telur ayam!"

A-hai melanjutkan perjalanan dengan cepat, menuju ke hutan di mana dia meninggalkan Bwee Hong dan Siok Eng. Ketika dia sudah jauh meninggalkan perajurit-perajurit itu, dia berpikir bahwa dia harus mempergunakan ilmu berlari cepat agar kedua orang gadis itu tidak menunggu terlalu lama. Akan tetapi ketika dia hendak mengerahkan tenaganya tiba-tiba saja dia lupa sama sekali bagaimana harus mengerahkan tenaga saktinya. Lupa sama sekali cara atau jalannya.

Dia berdiri tegak dan menggerak-gerakkan perut dan dadanya, namun hasilnya sia-sia karena memang belum ditemukan kembali jalannya. Dia menjadi uring-uringan dan menyumpahi diri sendiri. "Otak udang!"

Tanpa disadarinya, sikapnya kembali seperti A-hai yang ketolol-tololan. Hal ini adalah karena dia masih sedang dalam proses pengobatan. Kalau terlambat jalan darahnya diperlancar dengan bantuan jarum yang tepat, maka darahnya tidak lancar lagi dan ingatannyapun semakin buntu lagi. Dia belum sembuh, dan masih tergantung kepada bantuan Bwee Hong yang sewaktu-waktu harus mempergunakan jarum-jarumnya agar jalan darahnya lancar kembali.

Selagi dia berkutetan dan memarahi dirinya sendiri itu sehingga dia kelihatan lucu dan aneh, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa, suara ketawa yang ditahan-tahan akan tetapi tetap memberobot keluar sehingga terdengar agak cekikikan. Tentu saja A-hai menjadi terkejut dan juga marah. Dia memaki-maki dan memarahi diri sendiri, akan tetapi sekarang malah ada orang mentertawakannya! Itu penghinaan namanya.

Akan tetapi ketika dia membalikkan tubuh dan memandang, dia terbelalak dan bujlu tengkuknya meremang. Di depannya berdiri dua orang kakek dan nenek yang pakaiannya serba putih dan wajahnya juga putih seperti mayat! Bau harum semerbak tercium olehnya dan diapun bergidik. Sinar bintang-bintang di langit menyinari dua wajah yang pucat seperti mayat itu. Karena keduanya menahan tawa dan bergerak, mereka kelihatan seperti sepasang mayat hidup.

Akan tetapi, kakek itu lalu berkata, suaranya halus, "Saudara yang gagah perkasa. Tak dapat kami menahan tawa melihat tingkah lakumu yang aneh dan konyol itu. Agaknya engkau baru saja memperoleh pelajaran lweekang dari gurumu, akan tetapi kini engkau sudah lupa lagi sehingga gagal ketika mencobanya. Benarkah?"

Mendengar pertanyaan ini, tentu saja seketika wajah A-hai menjadi merah sekali, merah karena malu rahasianya dapat diterka sedemikian tepatnya dan marah karena orang ini sungguh telah mencemoohkannya dengan sikapnya yang dianggapnya sombong sekali. Karena malu dan marah, juga karena merasa tidak berdaya setelah sama sekali tidak mampu mengingat ilmunya, dia mendengus dan membalikkan tubuhmu, melangkah lebar meninggalkan dua orang aneh itu.

Akan tetapi tiba-tiba kakek aneh itu menahannya, "Saudara yang baik, jangan engkau pergi dulu!"

"Huh!" A-hai tidak perduli dan mempercepat langkahnya, bahkan mulai menggerakkan kakinya untuk lari. Akan tetapi mendadak dia merasa ada angin bertiup di dekat tubuhnya dan terpaksa dia berhenti karena tahu-tahu kakek itu sudah berada di depannya sambil menyeringai! Dengan mendongkol A-hai hendak membalikkan tubuhnya, akan tetapi ternyata nenek itupun sudah berada di belakangnya dengan tatapan mata yang dingin menyeramkan.

A-hai menjadi marah sekali dan tiba-tiba saja dia teringat akan semua ilmu silatnya. Agaknya, kemarahannya membuat jalan darah ke otak yang mulai menciut itu menjadi lancar kembali. Dia lalu mengerahkan tenaga saktinya dan seketika kedua orang suami isteri aneh itu terkejut sekali. Uap merah putih mengepul dari kepala pemuda yang mereka anggap lucu tadi.

"Awas, itu adalah Tenaga Sakti Merah Putih!" teriak kakek itu kepada isterinya. "Eh, orang muda, siapakah engkau?"

Akan tetapi A-hai tidak memperdulikan kekagetan mereka. Telapak tangannya sudah bergerak menyerang ke arah kakek itu, bukan maksudnya untuk menyerang sebenarnya, melainkan mendorong dengan tangannya.

Sementara bau dupa harum semakin menusuk hidung. Teringatlah dia kepada Siok Eng yang juga memiliki ilmu seperti itu. Ah, pikirnya, jangan-jangan kedua orang ini masih keluarga nona Siok Eng. Maka diapun lalu melangkah mundur lagi sambil berseru, "Berhenti!"

Kakek itupun sudah dapat menekan hatinya yang terguncang. Dia memandang tajam penuh selidik, dan tidak menyembunyikan keheranannya. "Orang muda, engkau sungguh hebat! Siapakah engkau?"

A-hai tidak menjawab pertanyaan ini, melainkan mengamati kedua orang itu bergantian, lalu bertanya, "Apakah ji-wi locianpwe ini dari Tai-bong-pai?"

"Orang muda, aneh kalau seorang dengan tingkat kepandaian sepertimu masih belum mengenal kami. Aku adalah ketua Tai-bong-pai dan ia ini adalah isteriku."

"Ah, kiranya ji-wi locianpwe adalah ayah dan ibu nona Kwa Siok Eng?" seru A-hai dengan girang.

"Hemm, engkau mengenalnya? Di manakah anak kami itu sekarang?" Nenek itu bertanya, sikapnya masih dingin.

"Kami bersahabat baik sekali! Ia kini sedang menantikanku di dalam hutan. Apakah ji-wi hendak mencarinya? Mari, ikut bersamaku."

Karena memang dua orang itu sudah amat mengkhawatirkan anak gadis mereka dan sudah lama mencarinya, tentu saja mereka girang sekali mendengar keterangan A-hai. Akan tetapi kegirangan hati mereka itu tidak nampak pada wajah mereka yang pucat dingin, dan kakek Kwa Eng Ki, ketua Tai-bong-pai itu berkata, "Mari antar kami bertemu dengannya!"

Kakek Kwa Eng Ki dengan isterinya, sebagai ketua Tai-bong-pai, tidak pernah mencampuri urusan dunia. Mereka telah mewarisi ilmu-ilmu mujijat dari Tai-bong-pai dan mereka tidak ingin melihat Tai-bong-pai terseret ke dalam suatu kelompok atau golongan. Karena watak mereka yang aneh dan kadang-kadang dalam melakukan hukuman dan balas dendam mereka amatlah keras dan kejam, maka golongan pendekar menganggap mereka sebagai kaum sesat.

Sebaliknya, golongan sesatpun tidak bersahabat dengan mereka karena Tai-bong-pai tidak pernah mau bergaul dengan mereka. Jadi Tai-bong-pai merupakan perkum-pulan yang berdiri di tengah-tengah, tidak bersahabat dengan kedua golongan, juga tidak bermusuhan secara terbuka. Pendeknya, Tai-bong-pai ingin berdiri sendiri dan tidak mau tunduk, tidak mau dijajah.

Mereka terkenal sebagai orang-orang yang keras hati dan bersikap dingin seperti mayat, tidak perdulian. Kalau mereka tidak diganggu, merekapun tidak akan memperdulikan apapun yang terjadi asal bukan urusan mereka. Karena, itu. kini mereka menjadi pusing sekali karena kedua orang anak mereka, yaitu Kwa Sun Tek dan Kwa Siok Eng, lebih sering berkelana dan mencampuri urusan luar sehingga terbuka bahaya terlibatnya Tai-bong-pai.

Hal ini memusingkan mereka dan setelah gagal mengutus murid-muridnya untuk memanggil pulang kedua orang anak itu, kini mereka berdua berangkat sendiri untuk mencari dan memaksa kedua orang anak mereka pulang!

A-hai lari ke dalam hutan, diikuti oleh suami isteri itu. Setelah tiba di tempat dia meninggalkan Bwee Hong dan Siok Eng, A-hai berseru, "Nona Hong dan nona Eng, aku sudah datang! Keluar-lah dan temuilah dua orang tamu kita ini!"

Tentu saja Siok Eng sudah tahu akan kedatangan, ayah bundanya. Ia terkejut dan mendongkol kepada A-hai. Mengapa si tolol itu pulang mengajak ayah bundanya? Ia sudah selalu berusaha menghindarkan diri agar jangan bertemu ayah bundanya. Eh, kini tahu-tahu mereka malah diajak oleh A-hai ke tempat itu. Akan tetapi, iapun maklum bahwa kalau ia tidak mau menjumpai mereka, tentu A-hai yang akan dipersalahkan, maka dengan cemberut iapun keluar menyambut bersama Bwee Hong.

Melihat puterinya bersama Bwee Hong, nenek itu lalu menjura ke arah Bwee Hong. "Ah, kiranya nona penolong juga berada di sini bersama Siok Eng. Suamiku, inilah nona Bwee Hong dari keluarga Bu yang telah menyelamatkan puteri kita dengan berkorban nyawa itu!"

Kwa Eng Ki sudah banyak mendengar penuturan isterinya tentang keluarga Bu Kek Siang yang telah menyelamatkan puterinya dengan mengorbankan nyawa kakek Bu dan isterinya, bahkan membuat putera mereka yang bernama Bu Seng Kun terluka parah, maka diapun mengangguk ke arah Bwee Hong. "Nona, aku girang sekali dapat bertemu dengan penyelamat nyawa puteri kami."

Disebut nona penolong dan penyelamat nyawa, Bwee Hong merasa kikuk sekali. Ia cepat membalas dengan penghormatan kepada kakek dan nenek itu sambil berkata, "Harap ji-wi locianpwe tidak bersikap sungkan. Adik Eng adalah seorang sahabat baikku, di antara kita tidak ada lagi tolong-menolong, melainkan hanya merupakan kewajiban hidup yang lumrah saja."

Kini Kwa Eng Ki memandang kepada puterinya dan menghardik, "Eng-ji, kenapa engkau tiada hentinya membikin pusing orang tua, selalu pergi tanpa pamit? Apakah engkau tidak betah tinggal di rumah sendiri? Ke mana lagi engkau hendak pergi? Hayo ikut kami pulang!"

Kwa Siok Eng menggeleng kepalanya dan mulutnya cemberut, alisnya berkerut "Ayah, aku belum ingin pulang!"

"Siok Eng, jangan kaubantah ayahmu yang sudah pusing karena kepergianmu. Sudah lama kami mencarimu, setelah bertemu, tak mungkin engkau menolak ajakan kami untuk pulang."

"Tidak, ibu, aku belum mau pulang. Aku harus membalas budi orang. Aku tidak mau hidup sebagai orang yang tidak mengenal budi. Aku sudah diselamatkan nyawaku, bahkan dengan pengorbanan dua orang tua yang berbudi mulia seperti men-diang kakek Bu Kek Siang dan isterinya. Apakah sekarang aku harus berdiam diri saja melihat pu-tera angkat mereka, juga cucu keponakan atau mu-rid mereka, terancam bahaya?"

Ayah dan ibu yang biasanya tidak mau memperdulikan urusan orang lain itu, saling pandang dan kemudian menoleh lagi kepada puteri mereka. "Apa yang kau maksudkan? Siapa yang terancam dan hendak kautolong itu?"

"In-kong (tuan penolong) Chu Seng Kun, kakak kandung cnci Bwee Hong ini yang harus kuselamatkan. Baru aku mau pulang."

Ibunya yang sudah mengenal Seng Kun dengan baik terkejut. "Apa? Tuan penolong kita terancam bahaya? Apa yang terjadi dengan dia?"

Kini Bwee Hong yang memberi penjelasan, menceritakan bahwa kakaknya telah tertawan oleh Raja Kelelawar dan anak buahnya dan sekarang kemungkinan besar kakaknya itu ditawan di dalam benteng kuno yang kini menjadi semacam penjara.

"Kami bertiga malam ini juga akan pergi ke benteng itu untuk berusaha menolong saudara Chu Seng Kun keluar dari sana. Aku sudah menyelidiki dan tahu di mana adanya tempat itu," kata A-hai yang menceritakan kepada dua orang gadis itu bahwa dia menitipkan Cui Hiang kepada kepala kampung di dusun. Akan tetapi dia tidak menceritakan tentang keadaan dirinya dan pertemuannya dengan kakek Gu Tek yang membuka rahasia hubungannya dengan keluarga Souw.

"Kalau begitu, aku harus ikut dengan kalian dan membantu usaha membebaskan in-kong!" kata ibu Siok Eng penuh semangat.

Suaminya mengangguk. "Memang dia harus diselamatkan," kata ketua Tai-bong-pai. "Akan tetapi, Eng-ji apakah engkau tahu di mana adanya kakakmu? Kami pun mencarinya sampai hampir putus asa tanpa hasil."

Tiba-tiba Siok Eng cemberut dan kelihatan tak senang. "Ayah, perlu apa mencarinya? Orang macam dia tidak perlu dicari lagi!"

"Eh, Siok Eng, kau bicara apa itu?" Ibunya membentak marah.

"Ibu, puteramu itu telah melakukan penyelewengan besar dan hanya membikin malu keluarga kita saja. Dia telah menyeret nama Tai-bong-pai ke dalam lumpur!"

"Hemm, jelaskan ucapanmu itu!" Ayahnya juga membentak.

"Ayah, kakak Sun Tek telah bersekongkol dengan pasukan asing dan membantu pemberontak. Dia merendahkan diri menjadi kaki tangan penjual negara!" Dara itu lalu menceritakan tentang kakaknya seperti yang diketahuinya. Mendengar ini, ayah ibunya menjadi marah sekali.

"Hemm, anak itu perlu dihajar! Aku akan mencarinya sendiri. Akan tetapi sekarang mari kita berangkat untuk membebaskan dan menyelamatkan tuan penolongmu itu."

Berangkatlah mereka berlima menuju ke benteng tua dengan A-hai sebagai penunjuk jalan. Dia sudah memperoleh keterangan secara jelas sekali dari kepala kampung, maka tanpa ragu-ragu diapun memimpin teman-temannya memasuki hutan cemara. Setelah mereka keluar dari hutan itu, nampaklah benteng tua itu. Malam gelap gulita, hanya diterangi bintang-bintang di langit.

Benteng itu memang besar dan kokoh kuat, juga dijaga dengan ketat. Tidak ada jalan lain memasuki benteng, kecuali dari pintu gerbang di depan yang terjaga kuat itu. Sisi benteng yang lain merupakan dinding-dinding karang, jurang yang amat terjal dan tak mungkin dilalui manusia.

Dan satu-satunya jalan menuju ke pintu gerbang merupakan sebuah lorong anak tangga yang kadang-kadang terputus dan disambung jembatan-jembatan gantung besar. Sehingga dengan adanya lorong ini, maka setiap orang luar yang naik ke bukit menuju ke benteng yang berada di puncak, baru tiba di kaki bukit saja tentu sudah diketahui oleh para penjaga.

Melihat sulitnya jalan naik dan mereka tentu akan ketahuan dan diserang sebelum sempat memasuki benteng sehingga usaha mereka akan sia-sia, ketua Tai-bong-pai lalu mengajak mereka berunding di kaki bukit, duduk bersembunyi di balik semak-semak di bawah pohon-pohon cemara. Di sini terdapat tanah kuburan tua dan di tempat inilah mereka berlima duduk untuk mengadakan perundingan.

Anehnya, kalau Bwee Hong dan A-hai merasa seram dan ngeri berada di tanah, kuburan di waktu malam gelap seperti ;tu, adalah ayah ibu dan anak dari Tai-bong-pai itu merasa betah dan enak! Tidaklah mengherankan karena memang mereka berasal dari perkumpulan Makam Kuburan!

"Tempat itu sungguh terjaga ketat dan sukar dimasuki," kata Kwa Eng Ki. "Andaikata kita nekat mendaki dinding karang yang terjal itu dan berhasil mencapai tembok, tentu setibanya di atas tembok kita akan diketahui oleh para penjaga di sana. Kita belum tahu di mana para tawanan itu berada, maka kalau sampai kita ketahuan sebelum berhasil membebaskan tawanan, tentu mereka akan bersiap-siap dan penjagaan diperkuat sehingga makin sulit bagi kita untuk membebaskan tawanan!"

Selagi lima orang itu berunding dan belum me-nemukan jalan baik, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara hiruk-pikuk dan sorak-sorai di antara bunyi terompet. Jelas bahwa itu adalah suara pertempuran! Dan suara itu makin jelas terdengar, mendekati ke arah hutan cemara itu.

Kwa Eng Ki, ketua Tai-bong-pai itu berkata, "Sebaiknya kita berlindung dan bersembunyi ke atas pohon!" Berkata demikian, kakek ini lalu meloncat ke atas, diikuti oleh isterinya dan puterinya. Bagaikan burung saja mereka bertiga melayang ke atas dan hinggap di dahan pohon cemara.

Bwee Hong juga meloncat dengan ringannya, dan gerakannya amat indah. Akan tetapi baru saja ia tiba di atas dahan pohon dan melihat ke bawah, dara ini sudah berjungkir balik dan meloncat turun lagi. Dari atas ia melihat A-hai berdiri bengong dan ragu-ragu, maka iapun turun lagi dan menghampiri pemuda itu.

"Kau kau kenapakah?" tanyanya.

A-hai menghela napas panjang. "Ah, sungguh celaka, nona aku aku telah mulai lupa lagi, tidak ingat lagi bagaimana harus mengerahkan tenaga agar dapat meloncat ke atas."

Bwee Hong teringat bahwa sudah tiba waktunya pemuda itu harus menerima bantuan pengobatan. Maka iapun cepat mengeluarkan jarum-jarumnya dan dengan meraba-raba, ia menusukkan jarum-jarum itu pada pelipis, tengkuk dan pundak A-hai. Dan seperti biasa setelah mengalami pengobatan ini, A-hai tertidur pulas di bawah pohon! Bwee Hong duduk tersimpuh menjaganya.

"Ssttt, enci Hong, cepat naik " terdengar suara Siok Eng. Akan tetapi Bwee Hong tidak menjawab. Bagaimana ia dapat meninggalkan A-hai dalam keadaan tidur seperti itu? Akhirnya Siok Eng dan ayah bundanya turun kembali. "Ada apakah dia itu?" tanya ketua Tai-bong-pai dengan terheran-heran melihat pemuda yang pernah dirasakan kehebatannya itu kini enak-enak tidur pulas.

"Locianpwe, saudara A-hai selalu tertidur setiap kali habis diobati. Untuk membantu ingatannya yang selalu lupa, aku dan kakakku melakukan penusukan jarum, dan baru saja aku melakukan penusukan lagi dan akibatnya dia tertidur."

"Sampai berapa lama dia akan tidur?" tanya Kwa Eng Ki sambil mengerutkan alisnya. Suara pertempuran itu makin mendekat, agaknya ada pihak yang dikejar-kejar dan lari masuk ke dalam hutan sambil melakukan perlawanan.

"Biasanya agak lama, sedikitnya satu jam."

"Wah, kalau begitu biar kita bawa dia bersembunyi di atas pohon saja. Pertempuran itu sudah dekat dan tentu akan memasuki hutan ini!" kata ketua Tai-bong-pai dan dia lalu memanggul tubuh A-hai lalu didudukkan di atas dahan dan cabang, bersandar batang pohon.

Bwee Hong memegang pundak dan menjaganya. Karena pohon cemara itu bukan pohon yang terlalu kuat untuk ditempati terlalu banyak orang, maka ketua Tai-bong-pai, isterinya dan puterinya bersembunyi di pohon lain dan membiarkan Bwee Hong berdiam di pohon itu bersama A-hai yang dijaga agar tidak sampai terguling ke bawah.

Agaknya karena posisi yang tidak menyenangkan itulah yang membuat A-hai terbangun atau sadar lebih cepat dari pada biasanya. Ketika pertempuran itu mulai memasuki hutan, diapun terjaga. Dari atas pohon dapat dilihat pertempuran yang tidak seimbang dari dua pasukan yang sama-sama berpakaian seragam. Pasukan yang jumlahnya hanya duaratus lebih itu diserbu dan didesak oleh pasukan lain yang juga berpakaian seragam perajurit pemerintah daerah yang jumlahnya seribu orang lebih!

Dan kini jumlah pasukan yang dikejar-kejar itu sudah banyak berkurang, agaknya sudah banyak yang roboh dan tewas sejak mereka diserbu kemudian dikejar sampai ke hutan itu. Pasukan kecil ini mati-matian mempertahankan diri, akan tetapi karena mereka itu sudah nampak keleahan sekali dan satu orang dikeroyok oleh lebih dari lima orang, maka apa yang terjadi di hutan itu bukan lagi pertempuran, melainkan pembantaian.

Lima Orang yang berada di atas pohon, termasuk A-hai yang kini sudah sadar kembali, menonton pertempuran itu dengan penuh keheranan. Mengapa dua pasukan yang sama-sama pasukan pemerintah itu saling gempur sendiri?

"Ah, pasukan kecil itu adalah pasukan yang berada di dusun itu!" A-hai berbisik kepada Bwee Hong. "Dan lihat, komandan pasukan itu.... ah, bukankah dia itu kakak nona Eng? Dan di sana itu, mereka adalah pasukan asing yang pernah kita jumpai."

Bwee Hong mengangguk. Iapun mengenal Kwa Sun Tek yang berpakaian perwira, dan melihat pula adanya pasukan orang-orang asing bukan Bangsa Han yang berada di antara pasukan yang sedang melakukan pembantaian. Tahulah mereka bahwa yang dibantai itu adalah pasukan kecil anak buah pasukan induk dari Jenderal Beng Tian, yaitu pasukan yang setia kepada kerajaan, sedangkan pasukan besar itu adalah pasukan daerah yang bersekongkol dengan pasukan asing.

Akhirnya, pasukan kecil yang bertahan itu habis dibasmi dan mungkin hanya beberapa orang saja di antara mereka yang berhasil meloloskan diri di dalam kegelapan hutan. Setelah musuh tidak ada yang bergerak melawan lagi, pasukan asing itupun berhenti dan melepaskan lelah di hutan. Kebetulan sekali para pimpinan pasukan yang menang itu, terdiri dari beberapa orang pembesar kepala daerah dan beberapa perwira, beristirahat dan berkumpul di bawah pohon di mana lima orang itu bersembunyi.

Mereka membuat api unggun dan kini lima orang yang bersembunyi di atas pohon itu dapat melihat wajah mereka. Terheran-heranlah lima orang itu. Jelas bahwa pasukan ini menang perang, akan tetapi kenapa wajah para pemimpinnya nampak tidak bergembira, seperti orang berduka dan gelisah, bahkan dua orang di antara para pembesar sipil itu nampak menghapus air matanya?

A-hai membuat gerakan, mendekatkan mulutnya ke arah telinga Bwee Hong. Dia ingin mengatakan atau membisikkan sesuatu, akan tetapi begitu dia mendekatkan mulutnya dengan kepala dara itu, hidungnya mencium bau sedap khas wanita yang membuat dia merasa jantungnya berdebar keras dan diapun tidak mampu mengeluarkan kata-kata, dan mukanya menjadi merah sekali.

Melihat betapa A-hai mendekatkan mulutnya dekat telinga akan tetapi tidak jadi mengeluarkan kata-kata itu, Bwee Hong terheran-heran dan berbisik," Engkau kenapakah? Apa yang akan kau katakan?"

A-hai tergagap "Anu... eh, aku heran sekali kalau tidak salah ingat, pasukan asing dan komplotannya itu tadinya berjumlah banyak sekali. Kenapa kini tinggal sekian?"

Bwee Hong mengangguk-angguk dan memandang penuh perhatian. Tiba-tiba seorang di antara dua kepala daerah yang nampak menghapus air mata itu bangkit berdiri dan wajahnya merah padam, tangan kanannya dikepal dan dipukulkan ke telapak tangan kirinya sendiri penuh geram dan penyesalan.

"Sungguh kurang ajar! Tak kusangka Liu Pang dan pasukannya itu sedemikian cerdik dan kuatnya. Sebenarnya, pasukan gabungan kita itu lebih kuat dari pada mereka. Akan tetapi karena kelalaian kita, kita menjadi buruan seperti ini! Untung yang kita temui tadi hanya sebagian kecil saja pasukan pemerintah. Andaikata kita bertemu dengan pasukan besar Jenderal Beng Tian, kita akan hancur lebur. Aihhh... kita telah gagal, hancurlah semua rencana dan cita-cita kita!"

Seorang perwira menarik napas panjang. "Kita memang bernasib malang. Bukan hanya kehilangan pasukan, bahkan semua anak isteri dan keluarga dan harta benda kitapun musnah."

Apakah yang telah terjadi dengan pasukan gabungan yang tadinya amat kuat itu? Seperti telah kita ketahui, Liu-bengcu atau Liu Pang, berdua dengan muridnya, Ho Pek Lian, melakukan penyelidikan terhadap pasukan gabungan antara pasukan pemerintah daerah dan pasukan asing yang menjadi sekutunya. Pasukan itu amat kuat, bukan hanya terdiri dari pasukan para kepala daerah dan pasukan asing, akan tetapi mereka dibantu dan diperkuat pula oleh para iblis Ban-kwi-to dan anak buah mereka.

Akan tetapi, setelah Liu-bengcu mengetahui tempat mereka berkumpul, tempat itu dikepung dan dengan cara perang gerilya, sergap dan lari, kekuatan mereka itu dapat dicerai-beraikan dan akhirnya mereka mengalami kekalahan besar terhadap penyerbuan pasukan pendekar. Mereka dapat dibuat cerai-berai dan akhirnya mereka dikejar-kejar sampai ke tempat itu.

Selagi para pimpinan pejabat daerah yang berkhianat itu bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan muncullah seorang perajurit yang segera memberi laporan dengan napas terengah-engah, "Pasukan Liu Pang makin dekat, tinggal dua dusun lagi dari sini. Mereka beristirahat di sana dan menjelang fajar nanti akan berangkat melanjutkan pengejaran mereka."

"Keparat! Tiba-tiba Kwa Sun Tek bangkit berdiri dan mengepal tinju. "Biarkan mereka datang, kita akan hadapi mereka di sini!"

Seorang perwira yang berada di antara para pimpinan itu melangkah maju dan suaranya lantang terdengar oleh semua rekannya, "Cu-wi (tuan sekalian), bagaimanapun juga, agaknya kita tidak mempunyai jalan keluar, dan terpaksa kita harus menghadapi mereka. Kekuatan mereka jauh lebih besar dan melakukan pertempuran secara terbuka berarti menghancurkan diri sendiri bagi kita.

"Di depan terdapat sebuah benteng tua, di puncak bukit itu. Tempat itu sekarang dijadikan tempat tahanan dan tempat itu amatlah baik untuk dipergunakan sebagai benteng pertahanan. Mari kita kuasai tempat itu dan kita jadikan sebagai tempat pertahanan menghadapi pasukan-pasukan Liu Pang. Mereka tidak akan mampu mengalahkan kita dengan mudah kalau kita bertahan di sana."

"Akan tetapi kalau tempat itu sukar diserbu, bagaimana mungkin kita dapat merampasnya?" kata Kwa Sun Tek.

"Aku mengenal baik para komandan di sana karena aku pernah bertugas di sana selama beberapa tahun. Biarlah aku membawa pasukan dan mengatakan bahwa kita adalah pasukan pembantu dari ibu kota untuk memperkuat penjagaan di tempat tawanan ini. Mereka tentu akan percaya dan setelah berada di sana, kita kuasai benteng itu," kata si perwira. Semua orang menyetujui.

"Mari kita laksanakan rencana itu sebelum barisan Liu Pang tiba di sini," kata seorang pembesar sipil yang sudah merasa ketakutan.

Sementara itu, tiba-tiba A-hai dan Bwee Hong mendengar bisikan suara ketua Tai-bong-pai yang agaknya dikirim dengan kekuatan khikang sehingga biarpun kakek itu berada di pohon lain, suaranya dapat terdengar oleh mereka dengan jelas tanpa terdengar oleh mereka yang berada di bawah pohon.

"Kebetulan sekali bagi kita rencana mereka itu. Mari kita mencari pakaian perajurit dan menyamar sebagai anggauta pasukan mereka. Kita menyusup di bagian pedati-pedati perbekalan agar tidak mudah mereka ketahui. Jangan bertindak apa-apa, dan kita ikut menyelundup ke dalam benteng itu."

Bwee Hong lalu memberi isyarat kepada A-hai dan keduanya lalu meloncat ke pohon lain. Mempergunakan kegelapan malam, mereka berloncatan dan setelah berada di tempat sepi, mereka dapat mencari pakaian dari perajurit-perajurit yang tewas dalam pertempuran tadi. Mereka melucuti pakaian mayat perajurit yang cocok besarnya untuk mereka, lalu menyamar sebagai perajurit.

Karena malam itu gelap dan semua perajurit sedang sibuk dan tegang mendengar betapa para penyerbu sudah semakin dekat, dengan mudah Bwee Hong dan A-hai menyusup di antara kereta-kereta perbekalan dan bersikap sebagai pengawal-pengawal. Mereka juga dapat melihat kakek dan nenek Tai-bong-pai bersama puteri mereka. Bahkan kakek itu kini memegang kendali kuda yang menarik kereta perbekalan. Entah apa yang telah mereka lakukan dengan kusirnya.

Berkat akal si perwira, dengan mudah pasukan yang berjumlah seribu orang lebih itu dapat memasuki pintu gerbang benteng dan begitu mereka berada di dalam, segera mereka menyergap dan melucuti para penjaga. Tentu saja para penjaga yang jumlahnya hanya seratus orang dan yang mengandalkan kekuatan benteng itu, tak berani melawan.

Dan akhirnya menyerahkan benteng untuk dikuasai para pendatang baru ini. Segera pasukan itu diatur untuk melakukan penjagaan sekuatnya di benteng yang amat kokoh itu. Hati mereka agak lega karena kini mereka memperoleh tempat perlindungan yang boleh diandalkan.

Sementara itu, lima orang perajurit palsu yang ikut menyelundup masuk, kini berpencar untuk menyelidiki keadaan benteng penjara itu. Bwee Hong pergi bersama A-hai, Siok Eng bersama ibunyanya sedangkan ketua Tai-bong-pai yang lihai itu pergi menyendiri. Mereka tentukan tempat untuk pertemuan mereka setelah penyelidikan masing-masing, yaitu di bagian belakang benteng, tak jauh dari sumber air yang berada di sebelah belakang di balik tembok belakang.

Bwee Hong dan A-hai menuju ke belakang bangunan benteng, ke bagian dapur. Karena yang bertugas di dapur adalah perajurit-perajurit lama dan mereka tidak dapat membedakan mana kawan dan lawan, apa lagi melihat betapa di antara pasukan baru yang mengambil alih benteng itu terdapat banyak pula orang-orang liar atau orang asing, maka kemunculan Bwee Hong dan A-hai yang menyamar sebagai perajurit-perajurit itu tidak menimbulkan kecurigaan.

"Sobat baik, tolonglah beri makanan kepada kami yang kelaparan ini," kata A-hai dan diam-diam Bwee Hong melihat betapa kawannya itu telah mendapatkan kembali kecerdikannya, bukan seperti A-hai yang biasanya ketololan itu.

Dua orang petugas dapur itu memandang kepada A-hai dan agak lama memandang wajah "perajurit" yang bertubuh kecil ramping itu. Seorang di antara mereka tersenyum dan tangannya diulur untuk menyentuh lengan Bwee Hong sambil berkata, "Anak masih begini kecil dan tampan sudah menjadi perajurit."

A-hai memegang tangan orang itu dan pura-pura marah. "Jangan goda adikku! Dia tidak bisa pisah dariku, maka terpaksa ikut menjadi perajurit. Dan jangan tertawakan dia, karena dia dia gagu."

"Gagu? Wah, sayang begini tampan gagu!"

"Sudahlah, kami lapar, tolong beri makanan."

"Sebentar lagi, belum matang roti yang kami masak," kata seorang di antara mereka. "Duduklah dulu dan ceritakan jalannya pertempuran melawan pemberontak."

A-hai lalu bercerita bahwa dia ikut pula bertempur melawan para pemberontak di daerah selatan. Akan tetapi karena selalu kalah, pasukannya ditarik kembali ke kota raja dan pagi tadi mendadak pasukannya menerima perintah untuk menduduki benteng itu dan mempertahankannya dari pemberontak Liu Pang yang menuju ke situ.

Tiba-tiba terdengar suara derap kaki dan Bwee Hong bersama A-hai sudah siap-siap menghadapi segala kemungkinan. Yang muncul adalah dua orang perajurit lagi yang berjalan sempoyongan, tanda bahwa mereka sedang mabok.

"Ha-ha-ha kepala jaga penjara itu selalu mempunyai arak dan kami diberi seguci arak yang amat baik. Tapi eh, mereka minta tukar dengan roti. A-khun, tolonglah beri roti kepadaku untuk kepala jaga."

"Tunggu sebentar, rotinya sedang dipanaskan," kata si tukang masak.

Dua orang perajurit itu duduk dan menghabiskan arak mereka. Ketika roti yang diminta akhirnya sudah siap, seorang di antara mereka sudah rebah tidur mengorok, yang seorang mencoba untuk membangunkannya namun sia-sia karena orang itu sudah tidur seperti bangkai.

Melihat ini, A-hai menghampiri. "Sobat, temanmu itu sudah tidur pulas, mana mungkin bisa disuruh bangun? Kalau ada tugas, biarlah aku dan adikku ini membantumu, menggantikan temanmu yang tidur." Melihat wajah yang mabok itu memandang ragu, A-hai cepat menyambung, "Dan engkau sendiripun perlu mengaso, kalau kami berdua dapat menggantikan, engkau kan dapat tidur pula di sana."

Mendengar bahwa ada orang mau menggantikannya berjaga sehingga dia dapat mengaso dan tidur, perajurit itu nampak girang. Dia mengangguk-angguk. "Baik, sungguh membosankan memang berjaga di penjara itu. Apanya sih yang dijaga?"

A-hai dan Bwee Hong lalu mengikuti penjaga itu sambil membawakan roti. Mereka berdua merasa betapa jantung mereka berdebar tegang ketika perajurit yang jalannya sempoyongan itu membawa mereka memasuki sebuah bangunan besar yang terjaga oleh pasukan yang nampak tak acuh. Mereka bertiga terus masuk ke lorong dalam penjara itu, melewati kamar-kamar tahanan. Di dalam sebuah ruangan tahanan yang besar dan agak gelap nampak tiga orang tahanan yang diborgol kaki tangannya.

Tiba-tiba Bwee Hong mencubit lengan A-hai. Pemuda ini memandang dan diapun mengenal Seng Kun bersama seorang kakek dan seorang pemuda lain. Melihat betapa keadaan tiga orang tawanan itu diborgol dengan ketat dan penjagaan di situ amat kuat, A-hai memberi isyarat kepada Bwee Hong agar tidak melakukan tindakan sesuatu.

Yang berada di dalam ruangan itu memang Seng Kun dan dua orang penolongnya, yaitu kakek Kam Song Ki dan muridnya, yaitu Kwee Tiong Li bekas pemberontak yang kini telah meninggalkan pasukannya dan menjadi murid kakek sakti itu.

Mereka bertiga melihat adanya dua orang perajurit penjaga yang datang bersama perajurit mabok, akan tetapi karena penyamaran kedua orang itu amat baik dan mereka hanya melihat dari jauh, mereka tidak mengenal dua orang itu. Apa lagi karena memang mereka bertiga tidak menaruh perhatian terhadap para perajurit penjaga.

Bwee Hong juga cerdik dan ia tidak memperlihatkan sikap yang mencurigakan, pura-pura tidak perduli dan tidak mengenal tiga orang tawanan itu walaupun ingin ia cepat turun tangan menolong kakaknya. Ia harus menahan kesabarannya. Biarpun saat itu amat berbahaya kalau ia dan A-hai mencoba untuk menolong tawanan, melihat penjagaan yang cukup kuat, namun setidaknya ia sudah tahu benar di mana tempat kakaknya ditahan.

Setelah perajurit mabok itu menyerahkan roti yang dimintanya dari dapur kepada kepala jaga dan dia sendiri lalu tertidur di tempat penjagaan dengan membiarkan A-hai dan Bwee Hong menggantikannya, A-hai lalu mengajak Bwee Hong diam-diam meninggalkan tempat itu dan menyelinap pergi untuk menemui teman-temannya.

Di tempat yang sudah ditentukan, tak lama kemudian merekapun sudah berkumpul kembali dengan Kwa Eng Ki ketua Tai-bong-pai, Siok Eng dan ibunya. Mereka bertiga tidak berhasil mencari di mana adanya tiga orang yang ditahan itu dan tentu saja mereka girang mendengar akan hasil penyelidikan A-hai.

"Mereka ditahan di dalam ruangan tahanan yang menembus ke dapur," kata A-hai. "Kami sudah tahu tempatnya dan kami sudah melihat mereka di ruangan itu, diborgol kaki tangan mereka."

"Akan tetapi penjagaan di situ amat kuat, agaknya amat sukar kalau kita menyerbu dengan kekerasan. Sebelum kita berhasil melepaskan mereka, terdapat bahaya kalau-kalau para perajurit penjaga menyerang mereka yang diborgol," sambung Bwee Hong.

"Tadipun kita beruntung karena dapat pergi bersama seorang perajurit penjaga mabok. Kalau bukan perajurit penjaga penjara itu, agaknya sukar untuk dapat masuk, dan kita tidak tahu pula siapa pemegang kunci-kunci pintu besi dan kunci-kunci borgol besi itu. Padahal, memasuki ruangan itu saja harus melalui lima pintu besi yang hanya dapat dibuka dengan kunci," A-hai menerangkan lebih lanjut.

Ketua Tai-bong-pai mengangguk-angguk. "Kita harus pergi ke sana dan membebaskan mereka sekarang juga."

"Tapi... tapi... itu membahayakan kakakku!" Bwee Hong membantah.

"Nona, harap jangan khawatir. Percayalah kepada suamiku. Dia tidak akan bertindak sembrono dan dia pasti akan berusaha sampai berhasil." Isteri ketua Tai-bong-pai menghibur Bwee Hong ketika melihat suaminya mengerutkan alisnya, tanda tidak senang hatinya karena dibantah.

Memang sudah menjadi watak ketua Tai-bong-pai ini yang akan merasa terhina kalau sampai tidak di percaya orang, apa lagi kalau sampai dibantah kehendaknya dia akan marah sekali. Andaikata bukan Bwee Hong yang membantahnya, yaitu nona keluarga penolong puterinya, tentu dia akan memberi hajaran!

Mendengar kata-kata nyonya itu, hati Bwee Hong menjadi lega. Bagaimanapun juga, ia sudah mengenal Siok Eng dan tahu betapa lihainya temannya itu, dan kini, ayah temannya itu yang akan turun tangan membantunya membebaskan kakaknya, tentu saja ia percaya akan kesaktian kakek ketua Tai-bong-pai itu.

Dipimpin oleh kakek Kwa Eng Ki, mereka dengan hati-hati lalu bergerak menuju ke bangunan depan, bersikap sebagai serombongan perajurit yang sedang meronda. Tiba-tiba mereka melihat adanya kesibukan. Beberapa orang perwira nampak bergegas memasaki sebuah ruangan. Kwa Eng Ki memberi isyarat dan mereka cepat menyelinap dan melakukan pengintaian ke dalam ruangan itu karena mereka dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang penting.

Dan ternyata di dalam mangan itu berkumpul para pimpinan pasukan yang menguasai benteng itu. Para gubernur pelarian beserta para perwiranya sudah berkumpul. Mereka mendengarkan pelaporan seorang perwira yang bertugas menyelidiki keadaan di luar dan wajah mereka berobah tegang ketika mendengar bahwa barisan pemberontak yang dipimpin oleh Liu Pang telah menuju ke benteng itu.

"Ah, barisan orang she Liu itu benar-benar datang!" kata seorang gubernur. "Mereka agaknya tidak berhenti malam ini dan terus melakukan pengejaran, langsung menuju ke sini. Kalau begitu, malam ini juga tentu mereka akan sampai di sini. Kita harus cepat mengatur penjagaan yang kuat. Untung bahwa benteng ini merupakan tempat bertahan yang amat baik."

Kwa Eng Ki memberi isyarat kepada teman-temannya dan mereka menyelinap pergi menjauhi ruangan itu. Di tempat sunyi mereka berkumpul dan membuat rencana.

"Wah, kita akan terlibat dalam pertempuran lagi malam ini. Dan mereka ini pasti akan mempertahankan diri mati-matian di benteng ini sedangkan pasukan-pasukan Liu-bengcu juga tentu akan mengerahkan kekuatan untuk menghancurkan musuh."

"Locianpwe, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Bwee Hong, hatinya tidak sabar dan penuh ketegangan. Ia mengkhawatirkan terjadinya perobahan kalau sampai pasukan Liu-bengcu menyerbu. Kalau terjadi pertempuran yang kacau-balau, tentu keselamatan kakaknya terancam. Kakaknya harus dapat dibebaskannya sebelum terjadi pertempuran, pikirnya.

"Kalian berempat tetaplah menanti di sini. Aku akan menyiapkan rencanaku. Nanti tepat tengah malam kalian harus menyerbu dan membersihkan sudut pojok tembok belakang bagian barat itu dari para penjaga. Aku telah menyelidiki bagian itu. Hanya ada belasan orang penjaga saja, tempatnya sunyi dan di belakang tembok itu tebingnya biarpun curam akan tetapi terdapat banyak tonjolannya sehingga kita akan dapat menuruninya. Di bawah tebing terdapat sebuah sungai yang dangkal sehingga mudah bagi kita untuk menyeberanginya dan menghilangkan jejak."

"Akan tetapi apa yang akan locianpwe lakukan? Agar kami dapat mengetahuinya sehingga hati kami menjadi tenang," kata A-hai.

Ketua Tai-bong-pai itu tersenyum dan wajahnya yang pucat seperti mayat itu nampak semakin menyeramkan. "Tentang cara-caraku untuk menyelamatkan kawan-kawan kita, kalian tidak perlu turut campur. Aku yakin pasti usahaku akan berhasil. Mungkin bagi orang-orang golongan bersih seperti kalian, cara-caraku itu akan kelihatan agak mengerikan. Bagaimanapun juga, aku merasa yakin akan dapat membebaskan tiga orang tawanan itu."

Beberapa orang perajurit muncul di tempat itu dan mereka berlima menghentikan percakapan mereka. Seorang di antara perajurit-perajurit itu, yang agaknya memiliki pangkat, melihat lima orang "perajurit" bergerombol itu, menegur, "Hei, apa yang kalian lakukan di sini? Kita semua sedang sibuk melakukan persiapan untuk menghadapi penyerbuan musuh, kalian malah enak-enakan di sini. Hayo, kembali ke induk pasukan kalian dan mempersiapkan diri!"

A-hai mendahului kawan-kawannya, mengambil sikap tegak dan menjawab, "Siapp!!" Lalu mereka berlima pergi meninggalkan tempat itu. Setelah memberi isyarat dengan tangannya, ketua Tai-bong-pai lalu menggerakkan tubuhnya dan lenyap di tempat gelap.

"Di mana kita harus menanti ayah? Kalau kita ikut berkumpul dan berbaris, ada bahayanya penyamaran kita akan ketahuan," kata Siok Eng.

"Kita ke dapur saja! Aku telah mereka kenal dan kita dapat membohong, mengatakan bahwa kita diberi tugas memperkuat penjagaan di dapur," kata A-hai dan mereka semua tidak mempunyai pilihan lain yang lebih baik, maka pergilah mereka ke dapur.

Menjelang tengah malam yang menyeramkan dan menegangkan. Para perajurit yang berjaga di benteng itu merasa betapa waktu merayap amat lambatnya, semakin lama semakin menegangkan hati. Sedikit suara saja sudah membuat mereka terperanjat dan jantung mereka berdebar-debar penuh rasa gelisah. Mereka secara bergilir melakukan penjagaan di atas tembok benteng, di sekitar pintu gerbang dan bagian-bagian yang sekiranya akan menjadi sasaran penyerbuan musuh.

Tiba-tiba, seorang perajurit yang berjaga di menara membunyikan terompet. Itulah tanda bahaya, tanda bahwa pihak musuh sudah nampak! Seperti berebutan, para komandan pasukan berlari-larian ke atas tembok benteng untuk menyaksikan sendiri dan mereka semua menahan napas ketika melihat cahaya terang dari kejauhan yang semakin lama semakin terang, seolah-olah matahari terbit di fajar menyingsing.

Padahal, saat itu masih menjelang tengah malam! Dan tak lama kemudian, terdengarlah derap kaki yang membuat benteng itu seperti tergetar dan nampaklah barisan obor yang memenuhi lembah dan kaki bukit yang luas itu. Tentu saja semua perajurit yang berjaga di benteng merasa ngeri. Kekuatan pihak musuh itu tentu puluhan kali lebih besar dari pada kekuatan mereka sendiri.

Kini ribuan obor yang berada di lereng itu perlahan-lahan terpencar dan tersebar mengepung benteng Itu. Bukan main banyaknya, kemudian terdengar bunyi terompet yang memecah keheningan angkasa malam. Begitu terompet terdengar, semua obor yang bergerak naik ke atas bukit itu padam! Keadaan menjadi gelap pekat dan tidak terdengar suara sedikitpun. Derap kaki musuhpun lenyap seolah-olah mereka itu barisan setan yang pandai menghilang.

Tentu saja keadaan ini membuat semua perajurit yang berjaga di atas tembok benteng menjadi tegang hatinya dan ketakutan. Mereka menjadi kebingungan, tidak tahu apa yang harus dilakukan karena pimpinan merekapun tidak memberi isyarat apa-apa, agaknya sama bingungnya dengan mereka menghadapi siasat musuh yang luar biasa ini.

Bagaimana kalau musuh itu tahu-tahu muncul di depan hidung mereka? Malam demikian gelapnya! Untuk memasang penerangan di atas tembok benteng, sama saja dengan membuat mereka menjadi sasaran anak panah pihak musuh. Sungguh celaka, belum apa-apa, sebelum bertempur, nyali para perajurit di benteng itu sudah hilang separuh.

Segerombolan perajurit yang berjaga di belakang pintu gerbang, berkelompok dan biarpun hawa malam itu tidak begitu dingin, mereka itu sering kali menggigil seperti orang kedinginan.

"Kawan-kawan," kata seorang di antara mereka setelah mereka turun lagi dari atas benteng untuk melihat keadaan di luar tembok benteng, "mereka itu seperti setan saja! Mereka menggunakan akal busuk, membikin kita tegang dan ketakutan terlebih dahulu dengan cara memadamkan obor-obor itu. Kita menjadi seperti menanti musuh yang seperti iblis bangkit dari kuburan, menanti munculnya mereka yang siap untuk mencekik leher kita, entah dari arah mana, huh, sungguh gila....!"

"Ahhh jangan bicara tentang iblis dan setan, aku juga takut. Siapa tahu tiba-tiba mereka muncul di sini dan hiiiihhh.... sssettt.... sseeetann!" Dan orang itupun jatuh terduduk dengan celana basah, mukanya pucat dan matanya terbelalak, telunjuknya menuding ke arah depan, yaitu di arah belakang teman-temannya.

Semua orang membalikkan tubuh dan merekapun terbelalak, ada yang menahan jerit, bahkan ada yang langsung roboh pingsan. Apakah yang mereka lihat? Sungguh penglihatan yang mendirikan bulu roma dan amat menakutkan, apa lagi terjadi di malam sunyi yang menegangkan itu, di mana mereka semua berada dalam keadaan dicekam ketakutan.

Siapa yang tidak akan merasa takut kalau di malam gelap itu mereka melihat seorang perajurit berdiri, hanya tiga meter jauhnya, dengan dadanya masih ditembusi tombak? Jelaslah bahwa orang itu tidak mungkin dapat berdiri, bahkan bergerakpun tak mungkin, karena orang yang dadanya tertembus tombak seperti itu tentu sudah mati. Pakaiannya berlepotan darah kering, dan mukanya putih pucat, mulutnya ternganga dan matanya mendelik, juga bau bangkai busuk menyerang hidung mereka.

Yang membuat mereka semua amat ketakutan adalah ketika mereka mengenal perajurit ini sebagai seorang teman mereka yang tewas dalam pertempuran di lereng bukit melawan sisa pasukan Jenderal Lai itu. Dan kini mayat hidup itu melangkahkan kaki, menghampiri mereka dengan gerakan meloncat-loncat kaku!

Ternyata bukan di tempat itu saja muncul mayat hidup. Juga di atas tembok benteng, bermunculan mayat-mayat hidup, mayat para perajurit yang tewas di dalam pertempuran, baik perajurit dari pasukan Jenderal Lai maupun perajurit teman-teman mereka yang berjaga di benteng itu. Mayat-mayat hidup berkeliaran, gentayangan dengan bau busuk dan tubuh masih berlepotan da-rah kering, Gegerlah tempat penjagaan. Siapa tidak akan merasa ngeri melihat mayat-mayat itu berjalan, ada yang lengannya buntung, bahkan ada yang tanpa kepala.

Para perajurit penjaga yang panik ketakutan itu ada yang berlaku nekat, menyerang mayat-mayat hidup itu dengan golok dan pedang, juga menusuk dengan tombak. Akan tetapi, mayat-mayat itu tidak mengenal sakit. Biarpun tubuh mereka ditembusi senjata tajam dan leher mereka putus ditebas golok, tetap saja mereka itu tertatih-tatih berjalan, ada yang meloncat-loncat dan bau busuk amat memuakkan perut. Banyak sekali mayat-mayat itu, seperti tiada habisnya bermunculan dari luar tembok benteng.

Tadinya para komandan jaga mengira bahwa ini tentu siasat musuh yang melakukan penyamaran, akan tetapi betapa ngeri rasa hati mereka ketika mereka merobohkan dan menangkap sebuah mayat hidup dan memeriksa, ternyata yang diperiksanya itu benar-benar mayat yang sudah hampir busuk! Benar-benar mayat hidup yang gentayangan dan berkeliaran menyerbu benteng itu! Bukan hanya puluhan, bahkan ratusan banyaknya. Mayat-mayat itu terus bergerak dengan kaku menuju ke penjara!

Dapat dibayangkan betapa panik dan takutnya para perajurit yang berjaga di penjara. Keadaan menjadi kacau-balau. Memang sebelumnya mereka sudah ketakutan mendengar bahwa benteng diserbu oleh ratusan mayat hidup dan kini tahu-tahu mayat-mayat itu bermunculan di tempat jaga mereka. Tanpa banyak cakap lagi merekapun melarikan diri ketakutan, ada yang terkencing-kencing.

Sebentar saja, penjara itupun kosong ditinggalkan para penjaga. Betapapun gagahnya, para penjaga yang hanya manusia-manusia biasa itu tentu saja tidak mempunyai nyali yang cukup besar untuk melawan pasukan mayat hidup!

Mayat-mayat itu menyusup ke mana-mana. Bahkan dapurpun mereka masuki A-hai, Bwee Hong, Siok Eng dan ibunya yang ikut berjaga di dapur, melihat kawan-kawan mereka lari ketakutan dan merekapun bangkit dan keluar dari dalam dapur untuk menyaksikan apakah benar ada mayat-mayat mengamuk seperti yang diteriakkan orang-orang itu. Dan baru saja mereka keluat pintu dapur, mereka berhadapan dengan beberapa sosok mayat hidup yang berjalan dengan gerakan kaku dan ada yang berloncatan.

"Heiii itu be..benar mayat-mayat hidup...!" A-hai berseru, matanya terbelalak karena selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan keanehan seperti itu.

"Hiiihhhh, mengerikan!" Bwee Hong memandang pucat dan ketakutan.

Akan tetapi, Sok Eng dan ibunya nampak tenang-tenang saja, bahkan mereka berdua lalu meloncat ke depan menghadapi lima sosok mayat hidup itu dan mereka lalu merangkapkan kedua tangan di depan dada seperti orang-orang memberi hormat, mulut mereka berkemak-kemik dan mayat-mayat itupun lalu membalikkan tubuh dengan kaku, kemudian melangkah pergi meninggalkan tempat itu! Tentu saja A-hai dan Bwee Hong memandang dengan mata terbelalak heran.

"Jangan takut," kata isteri ketua Tai-bong-pai. "Semua itu adalah perbuatan suamiku. Dia menggunakan ilmunya untuk membangkitkan mayat-mayat perajurit yang tewas dalam pertempuran, mengerahkan mayat-mayat itu untuk mengacau musuh dan kesempatan ini harus kita pergunakan untuk membebaskan tawanan, sebelum pengaruh Ilmu 'Memanggil Roh' itu habis."

Mendengar ini, Bwee Hong dan A-hai merasa girang sekali dan mereka berempat lalu cepat-cepat memasuki penjara. Akan tetapi, baru saia mereka tiba di pintu penjara, mereka bertemu dengan Seng Kun, kakek Kam Song Ki dan Kwee Tiong Li. Belenggu mereka telah lepas dan di kanan kiri mereka berjalan belasan sosok mayat hidup yang membebaskan mereka.

Tiga orang itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, akan tetapi merekapun kagum dan juga merasa ngeri menyaksikan sepak terjang para mayat hidup itu. Akan tetapi, melihat munculnya Bwee Hong, Seng Kun terbelalak dan wajahnya memperlihatkan rasa girang dan haru, hampir tidak percaya dia bahwa dia akan dapat bertemu dengan adiknya di tempat berbahaya dan mengerikan itu.

"Hong-moi!"

"Koko!"

Keduanya berangkulan dan Bwee Hong yang masih memakai pakaian perajurit kedodoran itu menangis di dada kakaknya. A-hai memandang dengan hati terharu. Sementara itu, kakek Kam Song Ki yang sakti itu bengong memandang ke arah mayat-mayat yang berkeliaran di situ.

"Ya Tuhan! Hanya orang-orang dari Tai-bong-pai sajalah yang akan mampu bermain-main dengan mayat-mayat seperti ini! Demikian banyaknya mayat yang berkeliaran. Aku berani bertaruh bahwa yang bermain-main ini tentulah tokoh Tai-bong-pai yang berkedudukan tinggi!"

Mendengar ucapan itu, ibu Siok Eng menjura kepada kakek itu dan berkata, "Maafkan, locianpwe. Suamikulah yang membuat onar di sini karena kami ingin membebaskan locianpwe bertiga dari penjara ini."

Kam Song Ki cepat membalas penghormatan nyonya itu dan hidungnya kembang kempis. Dia dapat mencium bau harum dupa dari tubuh nyonya yang berwajah pucat ini, maka diapun tertawa gembira. "Ha-ha-ha, di tempat seperti ini dapat bertemu dengan isteri ketua Tai-bong-pai, sungguh menggembirakan sekali! Bukankah toa-nio ini nyonya Kwa Eng Ki ketua Tai-bong-pai dan dia yang mempunyai ulah begini?"

"Benar, locianpwe," jawab nenek itu. "Dan menurut penuturan puteri kami, locianpwe adalah Kam Song Ki, murid bungsu dari mendiang locianpwe Bu-eng Sin-yok-ong."

Kembali kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, hanya nama kosong belaka, mana mampu menandingi ilmu mujijat dari perguruanmu ini?"

"Sementara itu Siok Eng berkata, "Sebaiknya kita menyelamatkan diri dulu melalui tebing sebelah barat seperti telah dipesan oleh ayah."

Semua orang lalu berangkat menuju ke tembok benteng sebelah barat dan dengan kepandaian tinggi yang mereka miliki, tidak sukar bagi mereka untuk menuruni tebing curam itu hanya dengan bantuan obor yang mereka pegang. Akhirnya dengan selamat mereka tiba di dasar tebing di mana terdapat sebuah sungai dangkal dan merekapun menyeberangi sungai dan tiba di tepi sebelah seberang dengan selamat.

"Mari kita mencari suamiku. Dia tentu berada di bekas pertempuran itu, dimana dia mengerahkan mayat-mayat untuk menyerbu benteng," kata nyonya Kwa dan dengan petunjuknya, mereka semua lalu menuju ke tempat dari mana mayat-mayat hidup itu berasal.

Dan benar saja, di tempat itu, di sebuah lereng yang amat sunyi, seorang kakek sedang duduk bersila menghadapi sebongkok besar dupa wangi yang mengepulkan asap tebal ke udara. Kakek ini agaknya sedang mengerahkan tenaga batinnya, duduk bersila dalam samadhi. Seorang pria tinggi tegap nampak berdiri di belakangnya, seperti sedang menjaganya.

Dan memang orang itu sedang menjaga keselamatan kakek yang raganya seperti sedang kosong ini, dan orang itu bukan lain adalah Liu Pang atau Liu-bengcu, pemimpin besar barisan yang sedang bergerak menuju ke kota raja itu dan yang kini sedang mengepung dan hendak menyerbu benteng!

"Suamiku, bangunlah, usahamu telah berhasil," kata nenek itu dengan girang.

Kwa Eng Ki menarik napas panjang beberapa kali, dari mulutnya keluar suara bisikan membaca manteram dan membuka matanya, lalu bangkit berdiri. Kiranya ketika ketua Tai-bong-pai ini pergi ke tempat mayat-mayat bergelimpangan untuk memulai usahanya membangkitkan mayat-mayat itu untuk mengatur siasatnya mengacau benteng, dia bertemu dengan Liu Pang dan anak buahnya.

Mendengar rencana kakek itu, Liu Pang lalu memerintahkan anak buahnya untuk membiarkan mayat-mayat itu memasuki benteng, sedangkan dia sendiri menjaga tubuh kakek Kwa kalau-kalau ada yang akan mengganggunya selagi dia menjalankan ilmunya memanggil roh dan menghidupkan orang-orang mati.

Bwee Hong, A-hai dan Siok Eng memberi hormat kepada pemimpin pemberontak itu, dan Seng Kun bersama dua orang kawannya yang baru saja dibebaskan dari penjara itupun memberi hormat, lalu menghaturkan terima kasih kepada Kwa Eng Ki.

"Ha-ha-ha, tepat dugaanku bahwa tentu tokoh besar Tai-bong-pai yang bermain-main dengan mayat-mayat itu. Kiranya malah ketuanya yang maju sendiri menolong kami. Ha-ha, terima kasih, pai-cu!"

Beberapa lamanya Kwa Eng Ki menatap wajah kakek sederhana itu lalu menarik napas panjang. "Kalau ada orang-orang mampu menawan seorang murid mendiang Bu-eng Sin-yok-ong, dapat dibayangkan betapa lihainya orang-orang itu!"

Kakek Kam menarik napas panjang. "Tidak aneh kalau yang menjadi lawan itu iblis macam Raja Kelelawar dan anak buahnya yang terdiri dari datuk-datuk kaum sesat yang amat lihai."

"Ayah, inilah dia tuan penolongku yang bernama Chu Seng Kun atau Bu Seng Kun, berdua dengan enci Bwee Hong dan mendiang suami isteri Bu Kek Siang telah menyelamatkan selembar nyawaku yang tidak berharga, bahkan dengan pengorbanan nyawa suami isteri Bu Kek Siang."

Kakek yang berwajah mayat itu memandang kepada Seng Kun dengan sepasang mata tajam penuh selidik, kemudian diapun tidak segan-segan untuk menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat kepada Seng Kun! Tentu saja Seng Kun menjadi kaget dan cepat-cepat diapun membalas dengan menjatuhkan diri berlutut pula.

Tiba-tiba terdengar bunyi terompet yang ditiup oleh Liu Pang. Kiranya pemimpin besar ini sudah berdiri di tempat tinggi sambil meniup terompetnya yang menjadi tanda bagi barisannya untuk memulai dengan penyerbuan mereka! Dan terjadilah geger di benteng musuh. Sebelumnya memang pasukan yang berada di dalam benteng sudah kacau-balau ketakutan oleh sepak terjang para mayat hidup.

Baru saja mereka dikejutkan dan dibikin ngeri lagi ketika mayat-mayat hidup itu secara tiba-tiba saja, seperti kemunculan mereka tadi, berjatuhan dan mati kembali, seolah-olah tenaga penggerak mereka dicabut serentak dan mereka itu terpelanting semua tanpa nyawa lagi.

Bukan hanya para perajurit yang menjadi panik. Bahkan para pimpinannya termasuk Kwa Sun Tek yang amat diandalkan oleh para pembesar itu menjadi ketakutan. Tentu saja pemuda ini mengenal ilmu yang menggerakkan mayat-mayat itu dan tahulah dia bahwa ayah dan ibunya juga datang ke benteng itu dan menjadi musuh!

Tahulah dia bahwa dia tidak mempunyai harapan lagi untuk melaksanakan cita-citanya memperoleh kedudukan tinggi karena pihak yang dibelanya itu agaknya telah mendekati jurang kehancuran dan kegagalan. Maka diapun diam-diam berusaha meloloskan diri bersama anak buahnya.

Pada saat mereka diliputi kekhawatiran, tiba-tiba saja, dalam keadaan gelap gulita itu, pintu gerbang benteng didobrak dari depan. Terjadilah pertempuran hiruk-pikuk dan kacau-balau. Pasukan Liu Pang yang menyerbu mengenakan tanda ikat pinggang putih di pinggang mereka sehingga mereka dapat bergerak dengan leluasa, dapat membedakan mana kawan mana lawan.

Sebaliknya, pasukan yang mempertahankan benteng yang sudah dicekam ketakutan dan dalam keadaan gugup tidak dapat membedakan lawan dan kawan, dihantam dan didesak, sebentar saja banyak anggauta pasukan mereka yang roboh dan benteng itupun jatuh.

Semua perajurit pasukan asing dihancurkan dan terbunuh, karena semua perajurit Liu Pang menerima pesan khusus bahwa mereka harus membunuh semua perajurit asing dan boleh mengampuni dan menerima kalau ada perajurit para gubernur yang menakluk dan menyerahkan diri. Belum sampai pagi, pertempuran berhenti dan benteng itupun jatuh ke tangan pasukan pemberontak...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.