Darah Pendekar Jilid 29

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Darah Pendekar Jilid 29
Sonny Ogawa

Darah Pendekar Jilid 29 karya Kho Ping Hoo - BEBERAPA orang gubernur yang ketakutan membunuh diri, ada pula yang ikut melawan dan tewas. Akan tetapi ada pula yang menakluk dan mereka ini bersama keluarga mereka diterima oleh para pimpinan pemberontak.

Novel silat Darah Pendekar karya Kho Ping Hoo

Juga para perajurit yang menakluk diterima untuk dibentuk menjadi pasukan khusus yang masih berada di bawah pengawasan. Semua perajurit kini bertugas membersihkan benteng itu, menyingkirkan mayat-mayat dan merawat mereka yang terluka.

Para tawanan yang tadinya ditahan di penjara itu dibebaskan. Pada keesokan harinya, semua mayat dikuburkan dengan rapi dan sederhana, dan pada malam harinya, Liu Pang mengadakan pesta seder-hana, sekedar untuk menghibur hati para anggauta pasukan, merayakan kemenangan itu.

Pada waktu itu, Liu Pang dan barisannya telah menguasai hampir seluruh bagian negara. Bengcu atau pemimpin pemberontak itu kini tidak dianggap sebagai bengcu lagi, melainkan sebagai seorang raja baru! Hal ini tidak mengherankan. Perjuangannya berhasil dengan baiknya. Banyak kota jatuh ke tangannya dan pasukannya menjadi semakin besar dan kedudukannya menjadi semakin kuat.

Kini, kota raja sudah berada di depan mata. Liu Pang ingin membiarkan pasukannya memperoleh istirahat secukupnya untuk menyusun kekuatan sebaik-baiknya agar pasukan dalam keadaan segar ketika ia menggerakkannya untuk tujuan terakhir, yaitu menghantam kota raja, mendudukinya dan merampas singgasana kaisar.

Sambil makan minum berpesta sekedarnya untuk merayakan kemenangan, Liu Pang duduk di atas kursi kepemimpinan, dikelilingi para perwira dan pembantunya yang kini telah mulai mengenakan pakaian seragam sesuai dengan pangkat yang diberikan oleh pemimpin itu kepada mereka. Di antara para perwira ini terdapat pula Yap Kim yang tampan dan gagah. Sambil bercakap-cakap membicarakan semua pengalaman pertempuran mereka, semua orang nampak bergembira.

A-hai dan teman-temannya juga ikut berpesta, berkumpul dengan perwira-perwira muda. Karena A-hai, Seng Kun, Bwee Hong, Tiong Li, kakek Kam Song Ki dan suami isteri Kwa merupakan tamu-tamu kehormatan, mereka mendapatkan sebuah meja kehormatan yang ditempatkan tak jauh dari tempat duduk Liu Pang dan para perwiranya. Sejak tadi, A-hai celingukan memandang ke kanan kiri dan akhirnya dia berbisik kepada Bwee Hong yang duduk di sebelah kirinya.

"Sejak pagi tadi aku mencari-cari nona Ho Pek Lian, akan tetapi ia tidak kelihatan. Mengapa ia tidak menemui kita dan ke manakah perginya? Bukankah ia merupakan seorang tokoh penting dalam barisan ini, bahkan menjadi murid paling dipercaya dari Liu-bengcu?"

"Ah, engkau benar! Aku sampai lupa saking gembiraku melihat Kun-koko dalam keadaan selamat."

"Biar kutanyakan kepada Liu-bengcu" kata A-hai, akan tetapi seorang perwira muda yang duduk tidak berjauhan dengan mereka dan mendengar percakapan itu segera menoleh. Perwira muda ini dahulunya adalah seorang pendekar ternama di daerah pantai timur. Ketika dia menoleh dan melihat wajah Bwee Hong, dia seperti silau oleh kecantikan nona itu. Dengan sikap hormat diapun lalu berkata, ditujukan kepada A-hai karena dia kurang patut kalau bicara kepada seorang gadis yang belum dikenalnya.

"Agaknya ji-wi (anda berdua) adalah sahabat baik dari Ho-siocia. Memang saat ini ia tidak berada di dalam barisan ini. Ia mendapat tugas dari Liu-bengcu untuk melakukan penyelidikan ke kota raja, ditemani oleh Yap-taihiap. Kita harus mengetahui dengan baik keadaan di kota raja sebelum melakukan penyerbuan, dan karena itulah benteng ini kita kuasai secepatnya agar kita dapat beristirahat dan mengumpulkan kekuatan. Kalau tidak ada halangan, menurut perhitungan, hari ini juga Ho-siocia akan kembali dari kota raja."

"Terima kasih, ciangkun," kata A-hai girang. "Memang kami bersahabat baik dengan nona Ho. Kota raja sudah dekat, hanya tiga empat jam perjalanan dari sini. Tentu ia akan kembali nanti. Kami akan menanti sampai ia pulang."

Bwee Hong menarik napas panjang, hatinya terasa sedih. Bagaimanapun juga, sedikit banyak ada hubungan darah antara ia dan keluarga kaisar. "Aahh, agaknya kota raja sudah benar-benar akan runtuh!"

Perwira muda itu menggeleng kepala. Dia tidak perlu merahasiakan kepada tamu-tamu pemimpinnya ini, karena diapun sudah mendengar bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan kakek dan nenek yang bermuka seperti mayat itu sudah berjasa besar dalam penyerbuan ke benteng malam tadi.

"Saya kira tidaklah begitu mudah, nona. Selain di kota raja masih ada Beng-tai-ciangkun yang pandai, juga kami masih mempunyai musuh besar, yaitu barisan yang dipimpin oleh pemberontak Chu Siang Yu yang kabarnya juga sudah menguasai hampir seluruh daerah utara dan barat."

A-hai dan teman-temannya tidak melanjutkan percakapan mengenai perang karena sesungguhnya mereka tidak ingin terlibat. Kalau sampai selama ini mereka kadang-kadang terlibat adalah karena kebetulan saja dan bukan karena mereka memang ingin membantu suatu pihak tertentu. Seng Kun dan Bwee Hong memang pernah dekat dengan kaisar yang telah meninggal dunia.

Akan tetapi pendekatan itupun hanya karena mereka bertemu dengan ayah kandung mereka yang menjadi orang penting di istana saja, dan Seng Kun juga tidak terjun ke dalam pertempuran, melainkan hanya bertugas menyelidiki hilangnya mendiang Menteri Ho Ki Liong, ayah Pek Lian. Di dalam hatinya, pendekar inipun tidak suka akan peperangan, apa lagi perang antara bangsa sendiri yang merupakan perang saudara yang amat kejam.

Tak lama kemudian terdengar orang-orang bersorak di luar benteng. Seorang pengawal melaporkan kepada Liu Pang dengan suara nyaring dan gembira bahwa rombongan Ho-siocia telah tiba kembali. Nampaklah Ho Pek Lian menunggang kuda, diiringkan oleh seorang pemuda yang berpakaian putih-putih dan nampak gagah perkasa penuh wibawa.

Pemuda ini bukan lain adalah Yap Kiong Lee yang amat dihormati oleh para perajurit karena pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat dan walaupun Kiong Lee juga tidak mau terlibat secara resmi dalam barisan itu, namun dia terpaksa membantu karena sutenya menjadi orang penting di situ.

Di belakang kedua orang ini nampak perajurit-perajurit yang menyambut dan mengelu-elukan mereka dengan gembira. Kedua orang muda itu memang amat populer di kalangan mereka dan mereka amat menyayangi mereka berdua yang sudah banyak berjasa namun selalu bersikap ramah dan rendah hati.

Dapat dibayangkan betapa gembiranya hati Pek Lian bertemu dengan kawan-kawannya di tempat itu. Pertemuan yang tak disangka-sangkanya. Apa lagi mendengar bahwa Seng Kun telah dapat ditemukan dalam keadaan selamat. Ia merangkul dan mencium pipi Bwee Hong dan Siok Eng, memberi hormat kepada suami isteri Tai-bong-pai, bergembira menyambut penghormatan Seng Kun dan Tiong Li yang sudah dikenalnya sejak dahulu, dan disambutnya uluran tangan A-hai dengan hangat.

Bagaimanapun juga, pemuda ini masih meninggalkan guratan istimewa di dalam hati pendekar wanita muda ini. Kemudian, setelah meluapkan kegembiraannya di depan teman-teman lamanya, Pek Lian lalu melapor kepada pemimpin dan gurunya, dengan suara nyaring menceritakan hasil penyelidikannya sehingga dapat didengar oleh semua anggauta pimpinan pasukan yang berkumpul di situ.

"Saya dan Yap-taihiap sudah berhasil menyelundup ke kota raja. Wah, kami menemui keadaan yang kacau-balau di dalam kota raja. Penduduk kota sudah banyak yang lari mengungsi ke luar kota, akan tetapi mereka itu tidak dapat membawa secuilpun harta kekayaan mereka karena dihalangi oleh para penjaga. Bagaimana kota raja tidak akan menjadi kacau-balau?

"Penjahat-penjahat besar, pencoleng, perampok dan maling-maling berkumpul di sana. Datuk-datuk seperti San-hek-houw, Sin-go Mo Kai Ci, Pek-pi Siauw-kwi Si Maling Cantik, Jai-hwa Toat-beng-kwi Si Pen-jahat Cabul, dan orang-orang sebangsa itu yang jahat dan kejam, yang menjadi anak buah Raja Kelelawar, semua berkumpul di sana dan mereka malah diberi kedudukan!

"Orang-orang macam itu diberi kedudukan dan kekuasaan! Bagaimana tidak akan kacau? Seolah-olah harimau ganas diberi tambahan sayap saja. Dan yang paling gila lagi, kini kaisar baru mengangkat Raja Kelelawar menjadi Panglima Besar Kerajaan, menggantikan kedudukan Beng-goanswe!"

Semua orang terkejut, dan Liu Pang mengerutkan alisnya. "Ah, dia malah diangkat menjadi panglima besar? Lalu di mana adanya Jenderal Beng Tian?"

"Sisa pasukan kerajaan di bawah pimpinan Jenderal Beng Tian telah dipukul mundur dan porak peranda oleh pasukan Chu Siang Yu kemarin dulu. Jenderal Beng pulang ke kota untuk melapor ke istana. Akan tetapi dia malah ditangkap dan dianggap bersalah karena kekalahan itu, dan kabarnya besok dia akan dihukum mati!"

"Kaisar gila!!" Liu Pang bangkit berdiri dan mengepal tinju. Pemimpin ini mengenal betul orang macam apa adanya Jenderal Beng Tian. Seorang panglima besar, seorang perajurit sejati yang amat setia dan pandai. Kekalahan yang dideritanya itu bukan kesalahannya, melainkan karena kelemahannya kerajaan. Jenderal itu sudah berusaha mati-matian untuk menghalau semua musuh negara.

Akan tetapi dia bekerja sendiri, sama sekali tidak memperoleh dukungan dari pusat, bahkan tidak didukung rakyat yang sudah marah terhadap kelaliman kaisar dan para pengikutnya. Akhirnya Liu Pang teringat akan keadaannya dan dia duduk kembali, memandang muridnya dan berkata, "Lalu bagaimana?"

Pek Lian menarik napas panjang. "Pagi tadi pasukan Chu Siang Yu sudah mengepung kota raja. Kami melihat pasukannya yang amat besar dan kuat, bercampur dengan pasukan asing di luar tembok besar. Kami bergegas kembali ke sini sesuai dengan rencana sehingga kami tidak tahu apa yang terjadi sekarang di kota raja."

Liu Pang mengerutkan alisnya. "Benarkah semua keterangan itu, Yap-taihiap?" tanyanya kepada Kiong Lee.

Kiong Lee mengangguk. "Benar semua, dan saya kira saat ini tentu sedang terjadi pertempuran di benteng kota raja."

Liu Pang menundukkan kepalanya. "Ahh, kita telah didahului oleh Chu Siang Yu. Tak kusangka dia akan lebih dulu sampai di kota raja dari pada kita. Hemm, kita harus bergerak, tidak boleh membiarkan dia mendahului kita."

Selagi Liu Pang dan para pembantunya berbincang-bincang dengan sikap dan suara serius, diam-diam A-hai meninggalkan ruangan itu. Munculnya Pek Lian mendatangkan perasaan tidak karuan di dalam hatinya. Teringat dia akan masa lalunya ketika dia masih berada dalam keadaan hilang ingatan.

Mula-mula nona Ho Pek Lian itulah yang menggugah perasaannya. Harus diakuinya bahwa dalam keadaan hilang ingatan, dia pernah bergantung secara batiniah kepada Ho Pek Lian dan dalam pertemuan tadi, dia masih dapat menangkap sinar mata nona Ho itu kepadanya. Sinar mata yang mengandung rasa kasih sayang!

Tak salah lagi, Pek Lian pernah jatuh cinta kepadanya. Setelah Pek Lian, lalu muncul Bwee Hong dalam hidupnya. Diapun dalam keadaan hilang ingatan pernah bergantung secara batiniah kepada Bwee Hong, apa lagi karena wajah Bwee Hong serupa benar dengan wajah isterinya! Kini, setelah dia mulai memperoleh kembali ingatannya, tentu saja dia harus menjauhkan perasaannya terhadap dua orang dara itu.

Dia sudah mempunyai isteri, bahkan sudah mempunyai seorang anak. Kenyataan ini membuat A-hai merasa berdosa, walaupun tidak sengaja dia menggoda hati dua orang dara perkasa yang cantik jelita dan berbudi mulia itu. Betapa baiknya kedua orang dara itu terhadap dirinya! Dan dia hanya dapat membalas mereka dengan melukai hati mereka, pikirnya. Hal inilah yang membuat A-hai tidak betah tinggal lebih lama di dalam ruangan itu dan diapun keluar berjalan-jalan.

Malam itu amat cerah. Bulan sepotong naik tinggi dan A-hai sengaja mencari tempat yang sepi di sudut benteng itu. Yang menjaga benteng hanyalah para petugas jaga di atas benteng dan semua perajurit lainnya menikmati istirahat setelah merayakan kemenangan mereka. Selagi A-hai berdiri termenung di bawah pohon yang membentuk bayangan gelap, tiba-tiba dia melihat berkelebatnya dua bayangan orang.

Dua orang itu berhenti tidak jauh dari pohon itu dan heranlah dia ketika melihat bahwa mereka itu berpakaian tosu. Teringat dia bahwa memang ada dua orang tosu yang membantu perjuangan barisan Liu Pang dan kabarnya dua orang tosu itu lihai ilmu kepandaiannya. Agaknya dua orang tosu inilah orangnya, pikir A-hai.

Akan tetapi, dari dalam gelap bermunculan beberapa orang berpakaian perajurit dan mereka bercakap-cakap dengan dua orang tosu itu dengan bahasa daerah utara! A-hai mendengarkan dan ternyata dia mampu menangkap dan mengerti bahasa itu! Dia sendiri merasa heran dan tidak ingat bahwa dia mengerti bahasa daerah utara, maka dengan gembira dia lalu mengintai dan mendengarkan.

"Sudah tiba saatnya bagi kita untuk bergerak," terdengar seorang di antara dua tosu itu berkata. Tosu ini membawa sebatang tongkat, rambutnya digelung ke atas dan memakai jubah kotak-kotak, sikapnya berwibawa, "Nanti tengah malam, kalian kumpulkan semua teman di tempat ini dan kami berdua akan keluar dari benteng dan langsung melapor akan keadaan barisan Liu Pang kepada Chu-taijin."

Ucapan ini saja cukup bagi A-hai. Kiranya mereka adalah mata-mata musuh, anak buah pemberontak Chu Siang Yu, karena yang disebut Chu-taijin tadi tentulah Chu Siang Yu. Dan pemberontak Chu Siang Yu merupakan musuh dan saingan Liu Pang. Kiranya mereka itu memang sengaja menyelundup ke dalam barisan ini untuk mengamati gerak-geriknya dan kemudian memberi pelaporan kepada Chu Siang Yu sehingga tentu akan memudahkan fihak musuh untuk mengatur perangkap!

Dengan hati-hati, menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi, A-hai menyelinap pergi dan langsung dia memasuki ruangan di mana Liu Pang masih berbincang-bincang dengan para pembantunya.

Seperti tidak disengaja, A-hai yang merupakan seorang di antara para tamu terhormat, mengambil tempat duduk agak dekat di belakang Liu Pang. Kemudian, setelah dia mengingat kembali ilmunya, bibirnya bergerak-gerak perlahan dan terkejutlah Liu Pang ketika dengan jelas sekali dia mendengar suara A-hai di samping telinganya!

"Dua orang tosu pembantu ternyata adalah dua orang mata-mata anak buah Chu Siang Yu yang menyelundup. Tengah malam ini mereka akan mengadakan gerakan, harap Liu-bengcu waspada dan siap siaga."

Tentu saja Liu Pang terkejut bukan main mendengar suara A-hai ini. Dia maklum bahwa A-hai yang aneh itu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, dan tidak mengherankan kalau A-hai pandai mengirim suara dari jauh seperti itu. Yang mengejutkan hatinya adalah berita itu sendiri. Maka dia lalu mengusap mukanya yang sama sekali tidak memperlihatkan kekejutan hatinya dan mengatakan kepada semua pembantunya bahwa dia merasa lelah dan ingin beristirahat dulu.

"Kita harus beristirahat dan besok pagi-pagi aku akan mengadakan rapat lagi," katanya.

Rapat itu bubaran dan Liu Pang berkata kepada A-hai, "Saudara A-hai, aku ingin sekali mendengar ceritamu!"

Ketika mendengar penuturan A-hai tentang dua orang tosu yang ternyata mata-mata musuh yang menyelundup itu. "Biarlah saya menangkap dan menghajar mereka!" katanya.

Liu Pang tersenyum. "Aku sendiri ingin menghadapi mereka. Engkau siapkan saja pasukanmu untuk menangkap anak buah mereka." Pemimpin besar ini lalu mengatur siasat bersama Yap Kim dan A-hai untuk menghadapi dua orang mata-mata dan anak buah mereka yang akan beraksi menjelang tengah malam nanti.

Menjelang tengah malam itu keadaan semakin sunyi di dalam benteng. Para perajurit yang tidak sedang tugas jaga sudah tidur mendengkur melepaskan lelah setelah pertempuran. Juga para perwira yang memperoleh kesempatan tidur itu memuaskan badan yang sudah kelelahan. Suasana amat sunyi. Tidak ada seorangpun yang tahu betapa dalam keadaan yang amat sunyi itu, pemimpin besar mereka sendiri sedang sibuk mengatur para pembantunya mengepung tempat yang akan dijadikan pertempuran para mata-mata itu!

Untuk memudahkan gerakannya, Liu Pang menanggalkan pakaian kebesarannya dan hanya memakai pakaian biasa, pakaian petani seperti ketika dia masih memimpin barisannya melintasi gunung-gunung selama ini. Hanya sebatang pedang tergantung di pinggang sehingga dia lebih mirip seorang pendekar dari pada seorang pemimpin dan calon kaisar!

Tiba-tiba terdengar suara suitan-suitan lirih dan mulailah bermunculan beberapa orang. Ada dua orang berpakaian perwira, belasan orang berpakaian perajurit dan dua orang tosu itu. Hanya kini para perajurit itu mengenakan topi khas, topi ciri bahwa mereka itu adalah perajurit-perajurit asing dari utara! Kiranya mereka adalah pasukan istimewa dari barisan asing yang bersekutu dengan Chu Siang Yu dan yang dikirim untuk menyelundup ke dalam barisan Liu Pang dan selain memata-matai juga mengatur siasat.

Liu Pang sendiri, diikuti Yap Kim, menggunakan kepandaiannya untuk menyusup dekat sehingga mereka berdua selain mampu melihat gerak-gerik mereka, juga dapat mendengarkan percakapan mereka dengan jelas. Sedangkan anak buah Yap Kim tetap berjaga di tempat pengepungan, siap menanti komando.

"Petugas pembakaran!" tiba-tiba seorang di antara dua tosu itu berkata lirih namun tegas.

"Siap!" Tujuh orang perajurit maju.

"Kalian sudah tahu benar akan tugas kalian?" tanya si tosu yang menjadi pimpinan.

"Kami akan berpencar, mempergunakan minyak yang sudah tersedia membakar gudang-gudang makanan dan perlengkapan," jawab seorang di antara mereka.

"Bagus! Petugas racun!"

"Siap!" Dua orang perajurit maju.

"Bagaimana tugas kalian?"

"Kami sudah mempersiapkan empat guci air beracun untuk dituang ke dalam sumber dan simpanan air minum, juga ke dalam guci-guci arak, akan dilakukan pada saat pembakaran terjadi."

"Baik sekali. Kini regu panah!"

"Siap!" Lima orang perajurit yang membawa busur maju. "Selagi terjadi kebakaran dan keributan, kami akan berbaris pendam menanti orang she Liu keluar untuk kami serang dengan anak panah dari tempat gelap. Mudah-mudahan usaha kami berhasil!"

"Ya, mudah-mudahan semua kita berhasil. Ingat, kalau semua rencana ini berhasil baik, kalian akan menerima hadiah yang amat besar dan pangkat yang tinggi. Sesudah melaksanakan tugas masing-masing, kalian sudah tahu harus berkumpul di mana di luar benteng, kami akan mendahului kalian untuk memberi pelaporan tentang kedudukan musuh kepada induk barisan yang berada dekat kota raja."

"Baik!"

Akan tetapi, sebelum mereka sempat bergerak, Liu Pang sudah melompat ke depan dengan pedang terhunus, lalu menudingkan telunjuknya kepada tosu pemimpin mata-mata itu. "'Bagus, kalian berdua telah membuat dua macam dosa tak berampun. Pertama, kalian memalsukan pendeta-pendeta dan ke dua, kalian menjadi pengkhianat-pengkhianat dan mata-mata busuk!"

"Serbu!" Tosu itu yang menjadi terkejut sekali berteriak. Anak buahnya bergerak, akan tetapi pada saat itu, Yap Kim dan kawan-kawannya bermunculan! Liu Pang sendiri segera menerjang tosu pemimpin dengan pedangnya setelah merobohkan seorang perajurit mata-mata yang membawa sebuah bendera asing, agaknya untuk memberi semangat kawan-kawannya.

"Tranggg !" Tosu itu menangkis dengan tongkat di tangan kirinya, dan dengan dahsyat tangan kanannya menghantam dengan jari-jari terbuka dan dimiringkan.

"Dukkk!" Liu Pang menangkis dengan tangan kiri, dan pedangnya membabat lagi dengan gerakan yang amat cepat. Segera terjadi perkelahian yang amat seru di antara mereka berdua.

Sementara itu, anak buah mata-mata yang hendak mengamuk, ternyata menghadapi kepungan pasukan yang jauh lebih besar jumlahnya. Apa lagi di situ terdapat Yap Kim yang dibantu oleh perwira-perwira yang lihai ilmu silatnya sehingga sebentar saja, semua mata-mata roboh dan tewas kecuali dua orang tosu yang dihadapi oleh Liu Pang dan Yap Kim sendiri!

Dua orang tosu itu terdesak hebat dan sudah luka-luka. Akan tetapi agaknya mereka tidak mau menyerah karena maklum bahwa bagaimanapun juga, mereka tidak mungkin dapat diampuni. Dari pada tertawan dalam keadaan hidup dan disiksa untuk mengaku, lebih baik melawan sampai mati, demikian pikir mereka. Dan memang Liu Pang dan Yap Kim tidak ingin membunuh mereka, hendak menangkap hidup-hidup agar dapat mengorek keterangan dari mulut mereka.

Maka, Liu Pang dan Yap Kim berusaha sedapat mungkin untuk merobohkan lawan tanpa membunuh mereka. Akhirnya, pedang Liu Pang berhasil membacok kaki kanan lawannya sehingga orang itu terpelanting roboh dan pada saat yang hampir berbareng, Yap Kim juga sudah merobohkan lawannya dengan tendangan.

Akan tetapi, begitu roboh, dua orang tosu itu menggerakkan tongkat mereka sendiri. Liu Pang dan pembantunya hendak mencegah namun terlambat karena dua orang tosu itu telah tewas dengan kepala pecah oleh hantaman tongkat sendiri. Mereka membunuh diri agar jangan tertawan musuh!

Liu Pang memandang mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan menarik napas panjang. "Pantas Chu Siang Yu mampu mendahului kita ke kota raja. Kiranya dia dibantu oleh orang-orang pandai dan gagah seperti mereka ini!!"

Karena penundaan rapat tadipun hanya dilakukan untuk menghadapi mata-mata ini, maka Liu Pang lalu memerintahkan agar semua pembantunya dipanggil, yang tidur digugah, untuk melanjutkan rapat mereka! Rapat dilanjutkan lewat tengah malam dengan penuh kesungguhan hati, karena semangat mereka bangkit oleh adanya peristiwa tadi.

"Bagaimana kalau kita terus saja menyerbu kota raja pada besok pagi-pagi?" Yap Kim mengajukan usulnya. Setelah membantu perjuangan Liu Pang, kini Yap Kim mencurahkan seluruh perhatiannya terhadap perjuangan itu dan dia merupakan orang terpenting di dalam barisan Liu Pang.

"Saya kira tidak tepat waktunya," kata seorang perwira yang berpengalaman karena dia merupakan bekas perwira kerajaan yang sudah menakluk. "Pada saat ini, terdapat dua kekuatan besar, yaitu barisan kerajaan yang sedang bertempur melawan barisan Chu Siang Yu. Kalau saat ini kita menyerbu, bukan tidak mungkin mereka berdua itu berhenti perang dan keduanya malah menggencet kita. Kalau sudah demikian, alangkah berbahayanya."

"Akan tetapi, kalau kita diamkan saja, barisan Chu itu akan mendahului kita merebut kota raja.... dan kita ketinggalan." Yap Kim membantah.

Ucapan Yap Kim itu membuat semua orang mengerutkan alis dan hati mereka menjadi gelisah. Kalau kedahuluan musuh, berarti akan sia-sia gerakan mereka selama ini yang sudah mengorbankan banyak tenaga dan nyawa.

"Pasukan kita selama tiga hari tidak pernah beristirahat. Kalau sekarang diharuskan bertempur lagi, hal itu sungguh berbahaya dan terlalu memeras tenaga, apa lagi kalau diingat betapa kuatnya fihak musuh" kata seorang pembantu lain.

Banyaklah di antara mereka yang mengemukakan pendapatnya dan selama itu Liu Pang hanya mendengarkan tanpa membantah. Dia mendengarkan dan mempertimbangkan semua usul dan pendapat. Setelah semua orang mengajukan usulnya dan agaknya menemui jalan buntu, akhirnya Liu Pang bangkit berdiri.

"Saudara sekalian. Sesungguhnya, memang saat inilah yang paling tepat untuk menyerbu kota raja, selagi dua kekuatan itu saling bertempur. Akan tetapi mengingat keadaan kita yang sudah lelah, besar bahayanya kalau kita menyerbu sekarang. Oleh karena itu, sebaiknya kita membiarkan mereka saling gempur sehingga kedudukan mereka kedua pihak itu menjadi semakin lemah. Sementara itu, kita menyusun kekuatan dan beristirahat. Nah, setelah satu di antara mereka kalah, kita menyerbu dengan keadaan segar bugar!"

"Akan tetapi, bagaimana kalau barisan Chu Siang Yu sudah lebih dahulu merebut kota raja sehingga keadaan mereka lebih baik, memiliki perlengkapan yang lebih kuat, dan posisi mereka menjadi semakin baik? Kita akan ketinggalan dan lebih sukar menyerang mereka yang sudah bertahan di benteng kota raja."

"Saya kira hal itu tidak perlu dikhawatirkan," tiba-tiba Yap Kiong Lee ikut bicara. "Bagaimanapun juga, kalau mereka sudah berhasil memasuki kota raja, tentu korban di antara mereka amat besar dan jumlah mereka menjadi kecil dan lemah. Selain itu, merekapun tentu dalam keadaan lemah, semangat tempur mereka menurun, apa lagi mereka tentu masih mabok kemenangan."

"Bagus sekali! Pendapat Yap-taihiap tepat!" kata Liu Pang.

Lalu diambil keputusan untuk membiarkan pasukan mereka beristirahat, akan tetapi mereka harus dapat mengikuti perkembangan dan terutama sekali dapat mengetahui besarnya kekuatan musuh. Untuk itu, mereka lalu mencari orang-orang yang dapat ditunjuk sebagai penyelidik. Memang banyak terdapat orang-orang lihai di antara mereka, akan tetapi tidak mudah untuk menunjuk siapa orangnya yang patut melakukan tugas berbahaya itu.

Liu Pang sendiri dalam waktu itu tidak mungkin meninggalkan pasukannya. Kehadirannya amat diperlukan karena segala macam keputusan yang diambil pada saat itu dapat menjadi kunci sukses atau gagalnya gerakan mereka. Yap Kim harus membantunya, dan Ho Pek Lian bersama Yap Kiong Lee baru saja pulang. Ketua Tai-bong-pai dan anak isterinya tak mungkin mau menjadi penyelidik karena mereka adalah orang-orang "bebas" yang tidak mau melibatkan diri dengan perang.

Demikian pula kakek Kam Song Ki dan muridnya, Kwee Tiong Li, walaupun pemuda ini sebelum menjadi murid kakek Kam juga seorang ketua lembah pemimpin para pemberontak yang menjadi anak buah Chu Siang Yu akan tetapi semenjak menjadi murid kakek sakti itu juga men-jadi orang "bebas". Masih ada orang-orang lihai lainnya seperti Seng Kun, Bwee Hong dan juga A-hai yang kadang-kadang masih meragukan kese-hatan ingatannya.

Akhirnya, tidak ada orang lain lagi yang lebih tepat, kakak beradik Seng Kun dan Bwee Hong dipilih! Usulnya datang dari Pek Lian yang langsung disetujui oleh Liu Pang dan semua orang yang sudah mengenal baik kakak beradik ini, mengenai kelihaian mereka dan juga mengenal watak mereka sebagai orang-orang gagah perkasa.

Hanya satu hal yang meragukan, yaitu bahwa Seng Kun dan Bwee Hong juga tidak mau telibat dalam perang. Apa lagi mereka itu masih merupakan keluarga kaisar, walaupun agak jauh, dan Seng Kun bahkan pernah menjadi utusan kaisar tua yang sudah meninggal.

Melihat semua orang memilih dia dan adiknya, Seng Kun menarik napas panjang. "Seperti saudara sekalian telah mengetahui, aku dan adikku tidak suka terlibat dalam perang, oleh karena itu sesungguhnya tidak tepatlah kalau anda sekalian memilih kami. Akan tetapi, kami telah lama mengenal barisan para pendekar ini dan tahu bahwa cita-cita kalian mulia. Selain itu, kami berduapun mempunyai kepentingan di kota raja. Kami ingin mencari ayah kandung kami, maka biarlah dengan senang hati kami menerima tugas untuk melakukan penyelidikan itu."

Semua orang bersorak mendengar ucapan Seng Kun itu dan setelah sorakan itu mereda, terdengar A-hai berkata, "Akupun akan menemani kalian berdua!"

Seng Kun dan Bwee Hong saling pandang, dan khawatir kalau-kalau kakak beradik itu menolak, A-hai berkata cepat, "Tanpa kalian berdua, bagaimana aku akan dapat sembuh?"

Sesungguhnyalah, pemuda sinting ini memang masih amat memerlukan pengobatan mereka dan kesembuhannya belum sempurna. Maka, keduanyapun tidak dapat menolak. Selain itu, dengan ilmu kepandaiannya yang amat luar biasa, A-hai dapat menjadi seorang pelindung yang amat baik dan boleh diandalkan.

Persiapan diadakan dan malam itu A-hai mendapat perawatan tusukan jarum dari Seng Kun dan Bwee Hong. Pada keesokan harinya, sebelum fajar menyingsing, tiga orang muda itupun berangkatlah meninggalkan perkemahan mereka. Mereka memotong jalan, melalui sawah ladang dan kebun-kebun para penduduk dusun. Di mana-mana mereka bertemu dengan orang-orang yang pergi mengungsi menjauhi tempat pertempuran.

Semua orang yang sedang bergegas mengungsikan keluarga dan harta milik mereka itu memandang dengan terheran-heran kepada tiga orang muda ini. Semua orang berbondong-bondong dan tergesa-gesa pergi menjauhi kota raja, akan tetapi tiga orang muda ini malah menuju ke sana!

Karena para pengungsi itu rata-rata tergesa-gesa ketakutan, tidak mudah bagi Seng Kun bertiga untuk mencari keterangan tentang keadaan di kota raja. Baru setelah mereka bertemu dengan serombongan pedagang yang juga melarikan diri dan mereka mengaso di luar hutan saking lelahnya, Seng Kun memperoleh kesempatan bercakap-cakap dengan seorang di antara mereka, seorang laki-laki setengah tua yang nampak gelisah.

"Kalian bertiga hendak mencari keluarga di kota raja? Aih, orang-orang muda, kalau boleh kunasihati kalian, jangan mendekati kota raja. Tempat itu telah menjadi seperti neraka!" kata seorang di antara mereka.

"Seperti neraka? Apa maksudmu?" Seng Kun bertanya. "Memang ada perang, akan tetapi yang perang adalah pasukan dan kita tidak ikut-ikut dengan mereka!"

"Ahhh, enak saja engkau bicara karena belum melihat sendiri. Di sekitar kota raja terjadi pertempuran yang amat hebat dan mengerikan. Ribuan, bahkan laksaan tentara bertempur di sana dan pasukan pemberontak amat banyak dan pasukan kerajaan... hiiihh, amat mengerikan."

"Kenapa?"

"Mereka itu kejam sekali, seperti bukan manusia lagi, seperti iblis! Mereka itu lebih patut menjadi penjahat-penjahat keji, mereka suka makan daging dan minum darah! Apa lagi para komandan mereka, seperti bukan manusia lagi, seperti binatang... tidak, bahkan lebih pantas seperti iblis mereka itu. Mereka membunuh tidak memandang bulu, bukan hanya pihak perajurit musuh saja yang mereka bunuh, akan tetapi juga rakyat jelata yang mengungsi, kalau bertemu mereka tentu dibunuh dan dirampas barang-barangnya. Huh, sungguh menakutkan sekali sepak terjang mereka itu."

Tiga orang muda itu sesungguhnya tidak terlalu heran mendengar berita ini. Mereka sudah mendengar bahwa istana kini dibantu oleh para tokoh kaum sesat, bahkan dipimpin oleh datuk sesat Raja Kelelawar yang sakti itu. Akan tetapi Bwee Hong pura-pura bertanya kepada pedagang itu.

"Sungguh aneh dan sukar dipercaya! Kenapa orang-orang jahat seperti iblis diangkat menjadi perajurit pemerintah, bahkan menjadi komandan?"

Mendengar pertanyaan ini, rombongan pedagang itu makin percaya bahwa tiga orang muda ini tidak tahu apa-apa maka berani hendak pergi menuju ke kota raja. "Ah, mana kami mengerti? Sejak kaisar baru naik tahta, bermunculan banyak perwira dan perajurit kejam seperti itu, berkeliaran di kota raja. Maka, sebaiknya kalau kalian bertiga cepat-cepat pergi dari sini dan jangan mendekati kota raja."

"Apakah pertempuran masih berlangsung di sana?" A-hai bertanya sambil menunjuk ke depan.

"Tentu saja masih! Makin hebat tentunya. Pertempuran dimulai malam tadi dan tentu kini masih berlangsung dengan hebatnya. Untung kami dapat segera melarikan diri, akan tetapi banyak teman kami yang terkurung di kota raja dan tidak sempat lagi melarikan diri. Entah bagaimana nasib mereka itu. Kalau mereka tidak kehilangan nyawa saja masih untung akan tetapi tidak mungkin dapat diharapkan mereka akan dapat mempertahankan barang dagangannya dan semua harta milik mereka."

Setelah secara omong-omong sambil lalu, tiga orang muda itu berhasil memperoleh gambaran sekedarnya tentang keadaan di kota raja, mereka lalu meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja dengan cepat. Makin dekat dengan kota raja, mulailah terdengar sayup sampai terbawa angin suara gemuruh dan riuh-rendah, tanda bahwa jauh di depan terjadi pertempuran hebat. Dan makin tinggi lagi, mulai nampaklah debu mengepul tinggi.

Mereka bertiga cepat mendaki bukit yang berada di luar benteng kota raja. Kini nampak debu tebal dan asap api bertebaran, menghalangi pandangan mereka sehingga pertempuran itu tidak kelihatan jelas. Dari tempat sejauh itu, orang-orang yang bertempur hanya kelihatan kecil seperti semut yang bergerak dan berlarian ke sana-sini.

Nampak panji-panji, bendera-bendera bercampur baur dengan kereta perang, kuda dan manusia. Suara bising memenuhi udara. Teriakan manusia diseling bunyi terompet komando dan tambur. Dari atas bukit itu, sukar dikenal mana pasukan pemerintah dan mana pemberontak. Juga belum nampak tanda-tanda siapa yang berada di pihak unggul.

Tiba-tiba A-hai berseru, "Lihat di luar pintu gerbang sebelah barat itu! Pertempuran di sana sungguh luar biasa!" Pemuda ini menunjuk ke depan.

Dua orang temannya cepat menengok dan memandang ke arah yang ditunjuk. Dan nampaklah apa yang dimaksudkan oleh A-hai. Ada seorang penunggang kuda yang dari situ, hanya kelihatan sebesar lengan, membawa panji besar dan penunggang kuda ini dikepung oleh banyak sekali pasukan lawan, mungkin ada ratusan orang banyaknya. Para pengeroyok itu mengepungnya dan bahkan ada pasukan anak panah menghujaninya dengan serangan anak panah.

Akan tetapi, jelas nampak oleh tiga orang muda di atas bukit itu betapa dengan benderanya yang besar, penunggang kuda itu mengebut runtuh semua anak panah yang menyambar ke arah dirinya. Dan anehnya, pengepung yang jumlahnya demikian banyak itu tidak ada yang berani mendekatinya karena siapa berani agak terlalu dekat pasti roboh. Orang lihai ini tentu merupakan seorang tokoh besar yang amat lihai dari kota raja, mungkin seorang panglima.

"Heii! Itu di sana juga ada dua orang dikepung ratusan orang perajurit!" tiba-tiba Bwee Hong berseru sambil menuding ke arah kiri. Yang dimaksudkan itu adalah dua orang yang berdiri membelakangi, dikepung dan dikeroyok oleh ratusan orang perajurit seperti keadaan penunggang kuda itu.

"Dan itu di sana! Dia sendirian ah, ada dua ekor harimau, wah siapa lagi kalau bukan San-hek-houw? Hemm, kiranya datuk-datuk sesat mereka itu dan kini mereka sedang menghadapi pengeroyokan pasukan anak buah Chu Siang Yu!" kata Seng Kun.

"Ah, benar!" kata Bwee Hong. "Para datuk sesat telah turun tangan menghadapi pasukan yang mengepung kota raja. Akan tetapi di mana pemimpin mereka yang kabarnya diangkat menjadi panglima kerajaan itu? Di mana dia Raja Kelelawar?"

Kini tiga orang muda itu mencari-cari dengan pandang mata mereka, mencari iblis itu di antara orang-orang yang sedang bertempur. Akan tetapi mereka tidak dapat menemukan raja iblis itu.

"'Ha-ha, mana ada kelelawar muncul di siang hari? Kalau kalian ingin melihatnya, datang saja kembali ke sini malam nanti. Ha-ha, lihat betapa pasukan kerajaan mulai terdesak. Paling lama sore nanti mereka tentu akan dapat didesak mundur sampai ke dalam benteng kota raja. Kalau sudah begitu, tentu Iblis Kelelawar itu akan muncul, tunggu saja malam nanti!"

Tiga orang muda itu terkejut dan memandang ke sana-sini mencari siapa orangnya yang tiba-tiba bicara kepada mereka itu. Suara itu seperti terdengar dari atas, akan tetapi mereka tidak dapat menemukan pembicara itu. Akhirnya mereka tidak perduli lagi karena keadaan jauh di bawah sana itu amat menarik hati mereka. Mereka bertugas melakukan penyelidikan dan kini mereka memperoleh tempat yang amat baik untuk dapat melihat jalannya pertempuran antara para pemberontak anak buah Chu Siang Yu melawan pasukan pemerintah.

Kini, setelah melihat jalannya pertempuran, mulailah mereka dapat membedakan mana pasukan pemerintah dan mana pasukan pemberontak. Dan memang tepat seperti yang dikatakan orang yang tak dapat mereka temukan tadi, kini pihak pemerintah terdesak hebat.

Pada saat matahari terbenam, pihak pasukan pemerintah sudah terdesak semakin hebat dan akhirnya mereka itu meninggalkan teman-teman yang tewas, lari memasuki pintu gerbang yang segera mereka tutup dan pasukan anak panah menghujankan anak panah dari atas tembok benteng.

Tentu saja pertempuran otomatis berhenti dan pihak pemberontak juga menarik pasukannya agar mengepung tembok benteng akan tetapi tidak terlalu dekat agar jangan menjadi korban anak panah yang turun bagaikan hujan. Pasukan pemberontak yang berhasil mendesak pasukan pemerintah itu kini memperkuat kedudukan dan membuat perkemahan di kaki bukit, mengepung tembok benteng kota raja.

Karena pertempuran berhenti, Seng Kun bertiga lalu turun dari puncak untuk beristirahat pula dan mengisi perut. Mereka mengambil keputusan untuk kembali lagi malam nanti, sesuai dengan anjuran suara tanpa rupa tadi.

Malam itu sunyi, akan tetapi bulan muncul di langit yang bersih. A-hai mencari sepotong kayu cabang pohon untuk membantunya mendaki bukit sampai ke puncak. Walaupun pendakian ke puncak itu merupakan jalan liar yang harus dicari sendiri, namun mereka bertiga dapat mendakinya dengan mudah, apa lagi ada sinar bulan menerangi permukaan puncak.

Seng Kun dan Bwee Hong berjalan di depan, sedangkan A-hai yang memegang tongkat kasar dengan tangan kirinya, mengikuti dari belakang. Agaknya pasukan kedua pihak malam itu tidak melanjutkan pertempuran. Agaknya masing-masing pihak hendak menyimpan tenaga sambil mengatur siasat malam itu.

Ketika tiga orang muda itu tiba di puncak, mereka berhenti dan memandang ke bawah pohon di mana berdiri seorang laiki-laki yang amat gagah! Pria itu berdiri dengan tegak, kedua tangan bersedekap dan tidak bergerak seperti sebuah arca. Jubahnya panjang berwarna putih terbuat dari sutera halus. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang.

Sepatunya mengkilap dan kuat, rambutnya digelung ke atas, dihias dengan semacam hiasan berbentuk mahkota kecil. Wajahnya tampan dan sikapnya agung, menunjukkan bahwa pria ini adalah seorang bangsawan yang memiliki wibawa kuat. Dari tempat itu, Seng Kun bertiga dapat melihat perkemahan para pemberontak, dan lebih jauh lagi nampak benteng kota raja.

"Selamat malam!" Orang berjubah putih itu menyambut mereka dengan sikap angkuh, tanpa menoleh dan melanjutkan pandang matanya yang sejak tadi memeriksa keadaan di bawah sana penuh perhatian.

Seng Kun bertiga terkejut mendengar suara ini, suara yang segera mereka kenal baik sebagai suara orang yang tidak mau memperlihatkan dirinya siang tadi. Karena keadaan orang itu menimbulkan rasa hormat, merekapun membalas salam orang itu dan menghampirinya, lalu berdiri di dekatnya sambil ikut pula memandang penuh perhatian ke bawah puncak. Setelah dekat, nampaklah bahwa laki-laki ini berusia hampir empatpuluh tahun dan wajahnya gagah dan tampan.

"Kalian lihatlah!" Orang itu berkata seolah-olah mereka adalah kenalan lama. "Perkemahan itu demikian luas, tidak kurang dari seribu buah banyaknya, dan setiap kemah kecil itu menampung duapuluh lima orang perajurit, belum kemah yang besar. Kekuatan pemberontak Chu ini sungguh tidak kecil, bukan?"

Seng Kun mengangguk-angguk membenarkan. "Kami juga menduga bahwa kekuatan pasukan pemerintah tidak akan dapat bertahan terlalu lama."

"Bertahan terlalu lama? Ha-ha, kau lihat saja, besok, sebelum matahari terbenam, benteng itu akan jatuh dan dapat dikuasai, kota raja akan dapat diduduki oleh pasukan-pasukan Chu yang hebat!"

Tiga orang muda itu tertegun dan saling pandang. Diam-diam mereka menduga-duga. Siapakah gerangan orang ini? Dari golongan mana dan bagaimana orang ini dapat meramal dengan suara demikian penuh keyakinan?

'"Eh locianpwe siapakah?" A-hai yang sejak tadi sudah ingin tahu sekali tidak dapat menahan pertanyaannya.

Pertanyaan itu membuat si jubah putih membalik dan menatap mereka dengan langsung. Tiga orang muda itu kembali terkejut. Kini nampak jelas wajah yang gagah penuh wibawa itu, dan sepasang matanya tajam bersinar tanda bahwa dia memiliki kepandaian yang tinggi.

"Kelak kalian akan tahu sendiri siapa aku. Tidak layak aku memperkenalkan diri kepada orang-orang yang aku sendiri tidak mengenalnya dengan betul. Siapa tahu aku berhadapan dengan pihak musuh? Suasana begini kacau dan kita harus bersikap curiga dan hati-hati."

A-hai mengerutkan alisnya. Orang ini bicara begini terus terang tanpa menjaga perasaan orang lain sehingga kata-katanya terdengar kasar dan tidak enak, walaupun suaranya tetap halus dan sopan. Diapun sudah siap untuk membalas ucapan tidak enak itu, akan tetapi sebelum dia sempat membuka mulut, orang itu sudah mengangkat tangan mencegah mereka membuat berisik.

"Sstt, harap perhatikan. Inilah saatnya Raja Kelelawar keluar dari sarangnya!"

Tentu saja ucapan itu membuat mereka bertiga terkejut dan juga merasa serem sehingga tanpa dapat mereka cegah, mereka merasa betapa tengkuk mereka menjadi dingin. Mereka semua kini memandang penuh perhatian ke bawah, ke segenap penjuru, terutama ke arah benteng kota raja yang nampak sunyi itu.

Tiba-tiba A-hai menyentuh lengan Seng Kun, "Lihat di atas tembok sebelah barat itu, di dekat menara penjaga. Ada orang berlompatan di sana... hemm, ada lima orang banyaknya!"

Seng Kun dan Bwee Hong mengerahkan kekuatan pandang mata mereka ke arah yang ditunjuk A-hai itu. Tentu saja keduanya menjadi terkejut dan heran. Dari puncak bukit itu, benteng kota raja hanya kelihatan kecil, seperti tembok rumah biasa saja, dan bangunan-bangunan di bagian dalamnya hanya sebesar kotak-kotak kertas. Bagaimanakah A-hai dapat melihat orang-orang yang tentu saja amat kecil, di waktu malam lagi, hanya dengan penerangan bulan saja?

Kalau waktu siang dan mereka mengerahkan sinkang, mungkin mereka masih akan mampu melihat orang-orang yang dimaksudkan oleh A-hai. Seng Kun dan Bwee Hong menoleh dan memandang kepada A-hai dan mereka berdua terkejut bukan main. Sepasang mata A-hai mencorong seperti mata harimau di dalam kegelapan.

Bukan hanya kakak beradik itu yang menjadi kagum, juga orang berjubah putih itu diam-diam terkejut bukan main. Pemuda ini memiliki ketajaman mata yang luar biasa, pikirnya sehingga dia sendiripun kalah kuat!

"Pemuda ini bukan orang sembarangan dan memiliki tenaga sinkang yang sukar diukur kehebatannya," demikian dia berkata di dalam hatinya dan sikapnya menjadi semakin waspada.

Di dalam keheranan dan kekaguman mereka, kakak beradik itu diam-diam merasa girang bukan main. Mereka tahu bahwa keadaan A-hai semakin membaik dan ternyatalah bahwa A-hai benar-benar seorang pemuda yang amat lihai. Sikap A-hai saja menunjukkan bahwa pemuda itu sudah mulai pulih kembali ingatannya, tidak lagi kelihatan ketololan.

Hanya ada hal-hal yang belum diingatnya dan mungkin hal-hal yang teramat pentinglah yang dilupakannya itu, dan siapa tahu, hal-hal penting ini yang menjadi penyebab dia kehilangan ingatan. Kalau peristiwa penting ini teringat, bukan tidak boleh jadi kalau dia akan menjadi waras kembali.

Seng Kun meraba tangan adiknya dan diajaknya minggir agak menjauhkan diri. "Hong-moi, aku tiba-tiba mendapat pikiran bahwa jalan satu-satunya untuk membuat dia sembuh sama sekali adalah memberinya guncangan batin hebat dengan jalan mempertemukannya dengan tempat dan orang yang membuat dia kehilangan ingatannya. Ingat, totokan tiga jari di pelipisnya itu. Kalau saja dia dapat berhadapan dengan orang yang menotoknya, aku berani bertaruh bahwa guncangan batin akan mampu menembus semua penghalang dan dia akan pulih kembali sama sekali."

"Akan tetapi," Bwee Hong juga berbisik, "bagaimana hal itu dapat dilaksanakan? Kita tidak tahu siapa yang melakukan perbuatan keji terhadapnya, bahkan diapun tidak ingat di mana tempat tinggalnya dahulu."

Seng Kun menarik napas panjang. "Engkau benar. Kita hanya boleh mengharapkan terjadinya suatu keajaiban, yaitu musuhnya itulah yang datang mencarinya!"

"Harapan itu bukan kosong belaka, koko. Kalau musuhnya melihat bahwa dia masih hidup, tentu musuhnya itu akan datang untuk mencoba membunuhnya."

"Betapa mengerikan! A-hai yang demikian saktinya saja sampai kalah dan dibuat tidak berdaya. Kalau musuh yang sedemikian saktinya muncul dan menyerangnya, bagaimana kita akan mampu menolongnya?"

Pada saat itu, terdengar suara orang berjubah putih, "Nah, tepat dugaanku! Si Raja iblis Kelelawar itu keluar dari sarangnya. Dia menyeberangi parit yang mengelilingi tembok benteng!"

Setelah berkata demikian, dia bertepuk tangan dan terkejutlah tiga orang muda itu ketika melihat munculnya beberapa orang dari tempat gelap dan melihat kecepatan gerakan mereka, mudah diketahui bahwa mereka terdiri dari orang-orang yang berilmu tinggi! Yang membuat Seng Kun dan Bwee Hong memandang dengan kaget adalah ketika mereka mengenal dua orang di antara orang itu bukan lain adalah Kim I Ciangkun dan Gin I Ciangkun, dua orang panglima yang menjadi komandan pasukan pengawal istana dan mereka adalah tangan kanan dari Pek-lui-kong Tong Ciak, jagoan di istana kepercayaan kaisar lama!

Beberapa orang itu menghadap si jubah putih dan memberi hormat. "Si iblis sudah muncul, tepat seperti yang kita perhitungkan. Dia membawa empat orang teman yang berkepandaian tinggi. Beri tahu teman-teman dan jalankan siasat yang telah kita rencanakan!"

"Akan hamba laksanakan perintah Ong-ya!" jawab seorang di antara mereka.

"Ji-wi Tai-ciangkun, bagaimanakah ji-wi dapat berada di sini selagi kota raja terancam oleh pasukan musuh? Mengapa dua orang ini malah berada di sini dan agaknya menjadi pembantu orang asing ini?"

Mendengar teguran si gadis, orang yang berjubah putih itu nampak terkejut. Tadinya dia memang sudah curiga dan menduga-duga siapa adanya tiga orang muda yang amat lihai itu dan ternyata gadis itu malah sudah mengenal dua orang pembantunya yang dipercaya!

"Kalian mengenal mereka ini?" tanyanya kepada Kim I Ciangkun dan Gin I Ciangkun.

"Maaf, Ong-ya. Mereka berdua itu adalah keluarga kaisar lama, masih keponakan kaisar lama. Mereka adalah putera Bu Hong Seng-jin, ketua kuil istana Thian-to-tang yang kini telah dipenjara oleh kaisar baru itu."

"Ayah dipenjara?" Kakak beradik itu bertanya, hampir berbareng. Memang, hubungan antara mereka dan ayah kandung mereka tidaklah demikian erat karena sejak kecil mereka telah berpisah dari ayah kandung mereka, namun tentu saja mereka menjadi terkejut dan penasaran sekali mendengar betapa ayah kandung mereka yang tidak berdosa itu, yang hanya menjadi ketua kuil di istana, kini ditangkap dan dijebloskan pula ke dalam penjara.

"Tai-ciangkun, di mana ayah ditahan dan mengapa?" Seng Kun mendesak.

Akan tetapi orang yang berjubah putih dan disebut Ong-ya itu menggerakkan tangan menahan. "Hendaknya kalian berdua bersabar dan menunda pertanyaan kalian itu. Keadaan amat mendesak, Raja Kelelawar telah keluar dari sarangnya. Mari ikut kami, menyongsong Raja Kelelawar yang menjadi panglima dan mungkin pula penyebab ditangkapnya ayah kalian."

Seng Kun dan Bwee Hong tidak dapat membantah lagi dan mereka, tentu saja diikuti pula oleh A-hai, mengikuti orang itu pergi dari puncak bukit. Mereka semua pergi dengan jalan menyebar, dan tiga orang muda itu mengikuti si jubah putih.

Kiranya si jubah putih itu membawa mereka turun puncak menuju ke perkemahan barisan pemberontak yang mengepung benteng kota raja! Mereka tiba di tempat penyimpanan kuda dan ti-ba-tiba dari tempat gelap muncul seorang berkulit hitam berkepala gundul. Kemunculannya amat mengejutkan. Kulitnya yang hitam membuat dia sukar dapat dilihat di dalam kegelapan malam. Akan tetapi orang ini menghadap si jubah putih sambil memberi hormat.

"Ong-ya, semua kuda dalam keadaan baik dan terjaga kuat. Tidak akan ada musuh dapat lewat di sini tanpa sepengetahuan kami," orang itu melapor.

Si jubah putih mengangguk-angguk. "Bagus, akan tetapi hati-hatilah. Musuh yang akan menyusup ke sini adalah Raja Iblis Kelelawar dan teman-temannya. Mereka itu memiliki kepandaian tinggi seperti iblis-iblis saja. Pergilah dan bersiaplah baik-baik!"

Orang itu menjura dan sekali berkelebat diapun lenyap. A-hai yang kini sudah agak pulih ingatannya dan sudah menguasai sebagian besar kepandaiannya, memuji, "Wah, ginkang si hitam itu hebat juga."

Mereka tiba di gudang persediaan makanan dan tiga orang muda itu merasa kagum akan kerapian penjagaan di bagian ini. Juga seorang komandan maju memberi hormat dan melaporkan bahwa keadaan di situ aman dan bahwa mereka melakukan penjagaan dengan ketat. Setelah melewati bagian-bagian yang dijaga ketat, si jubah putih membawa tiga orang muda itu masuk ke kompleks perkemahan yang besar, terjaga kuat dan dihias dengan panji-panji dan bendera-bendera.

Di situ nampak para komandan, di antaranya Kim I Ciangkun dan Gin I Ciangkun, dan mereka semua menghormati si jubah putih seperti orang-orang menghormati raja mereka. Dan setelah tiga orang muda itu disuruh ikut masuk, barulah mereka sadar bahwa si jubah putih itu bukan lain adalah pemimpin besar barisan ini, dan dialah pemimpin barisan pemberontak, yaitu Chu Siung Yu yang terkenal sekali itu!

Setelah tiba di bagian dalam, beberapa orang dayang mengiringkan seorang wanita cantik berusia tigapuluh tahun lebih yang menyambut kedatangan Chu Siang Yu dengan meriah. Kiranya wanita cantik itu adalah isteri pemimpin pemberontak Chu Siang Yu itu, seorang isteri yang amat setia dan mencinta suaminya, mengalami segala macam suka duka selama suaminya memimpin pemberontakan dan sering kali hidup dalam keadaan amat sukar dan penuh dengan kekerasan dan bahaya.

Setelah sadar bahwa si jubah putih itu adalah Chu Siang Yu si pemimpin pemberontak yang amat terkenal dan lihai, yang menjadi saingan besar dari Liu Pang, tentu saja tiga orang muda itu menjadi terkejut sekali dan mereka saling pandang dengan hati berdebar. Celaka, pikir Seng Kun. Mereka telah masuk di tengah-tengah kekuatan musuh! Mereka menduga-duga apakah pemimpin pemberontak ini sudah tahu bahwa mereka, biarpun tanpa ikatan, kini menjadi mata-mata pihak Liu Pang, berarti musuh pemberontak ini!

Akan tetapi, agaknya Chu Siang Yu tidak memusuhi mereka dan agaknya belum tahu akan hubungan mereka dengan Liu Pang. "Isteriku, mari kuperkenalkan dengan tiga orang muda yang tentu akan sangat menarik hatimu. Mereka berdua ini adalah masih sanakku sendiri, karena mereka adalah putera-puteri dari paman Chu Sin, engkau tentu ingat, paman Pangeran Chu Sin yang kini menjadi Bu Hong Seng-jin, ketua kuil istana Thian-to-tang. Dan pemuda yang seorang ini, jangan main-main, dia ini memiliki ilmu kepandaian yang mungkin tidak ada tandingannya di antara kita semua!"

Mendengar ucapan ini, tiga orang muda itu terkejut bukan main. Tahulah kini mengapa Chu Siang Yu bersikap begitu baik. Kiranya masih ada pertalian keluarga antara pemimpin pemberontak ini dengan ayah mereka. Pantas nama keturunan mereka sama, yaitu she Chu! Juga A-hai terkejut sekali karena pemimpin pemberontak ini ternyata sudah dapat mengetahui akan ilmu kepandaiannya. Benar-benar seorang gagah perkasa yang cerdik dan tidak boleh dipandang ringan!

Karena diperkenalkan, terpaksa mereka memperkenalkan nama mereka. Ketika mendengar bahwa pemuda yang memiliki mata amat tajam itu hanya bernama A-hai tanpa she, Chu Siang Yu mengerutkan alisnya akan tetapi tidak memberi komentar. Sebagai seorang gagah diapun tahu bahwa orang-orang kang-ouw memang banyak yang memiiliki watak aneh dan dia mengira bahwa pemuda inipun tidak ingin memperkenalkan nama yang sebenarnya dan hanya memakai nama samaran saja.

Isteri Chu Siang Yu segera tertarik dan suka sekali kepada Bwee Hong yang memang amat cantik jelita. Ia menggandeng tangan gadis ayu itu dan diajak duduk di dekatnya. Sementara itu, para dayang lalu mengeluarkan hidangan dan pemimpin pemberontak itu, bersama isteri dan para komandan yang menjadi pembantu dekatnya, lalu mengadakan perjamuan makan minum dengan gembira. Kiranya mereka itu secara sederhana merayakan kemenangan pertempuran di hari tadi.

Tentu saja tiga orang muda itu menjadi semakin kagum. Bukankah Chu Siang Yu sudah mengetahui bahwa Raja Kelelawar bersama empat orang pembantunya yang lihai keluar dari dalam benteng dan agaknya hendak menyusup ke dalam perkemahan barisannya? Bahkan para komandan pembantunya juga sudah tahu? Akan tetapi mengapa mereka itu malah makan minum dan berpesta seperti tidak mengambil pusing sama sekali? Ini hanya menunjukkan bahwa Chu Siang Yu amat percaya kepada kekuatannya sendiri.

Diam-diam tiga orang muda itu memperhatikan para komandan pembantu Chu Siang Yu dan bagaimanapun juga, di dalam hati Seng Kun merasa tidak senang melihat kenyataan bahwa pemimpin pemberontak yang masih sanaknya ini ternyata telah mempergunakan tenaga-tenaga asing dalam pasukannya. Di situ duduk beberapa orang yang dari bentuk tubuh, muka dan pakaiannya, juga logat bicaranya, jelas menunjukkan bahwa mereka itu adalah orang-orang asing.

Di antaranya terda-pat seorang laki-laki raksasa Mongol yang kelihatan amat kuat. Tubuhnya tinggi besar, kokoh seperti bukit karang, dan dengan pakaian seorang panglima yang bersisik emas, sungguh dia nampak menakutkan. Kedua pergelangan tangannya dilindungi kulit berlapiskan perak, dan rambutnya yang pendek dibiarkan teriap ke belakang, diikat dengan pita, sedangkan mukanya penuh brewok yang sudah bercampur uban.

Sepasang matanya besar dan tajam, dan sikapnya agak kasar seperti sikap orang-orang yang tidak memperdulikan sopan-santun, juga dari gerak-geriknya masih terbayang keliarannya dan agaknya dia menganggap rendah orang-orang lain. Seorang lawan yang amat tangguh, pikir Seng Kun.

Setelah makan minum selesai, Chu Siang Yu lalu berkata sambil tersenyum lebar, "Kita malam ini menyambut tiga orang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, oleh karena itu, sudah sepatutnya kalau kita memberi pertunjukan ilmu silat. Nah, siapa mau memulai untuk menyambut para tamu kita yang gagah?"

Mereka semua sudah minum arak cukup banyak yang membuat kepala dan hati terasa ringan. Gin I Ciangkun sudah bangkit berdiri dan menjura ke arah pemimipinnya. "Biarlah saya yang bodoh menghormati putera dan puteri Bu Hong Seng-jin!" katanya dan setelah Chu Siang Yu mengang-guk setuju, kakek berusia empatpuluh tahun lebih ini menuju ke tengah ruangan itu dan mulailah dia bersilat.

Kakek ini bertubuh tinggi tegap dan bermuka brewok. Gerakan kaki tangannya mantap dan ketika dia bermain silat beberapa lamanya, orang-orang di situ mulai merasakan sambaran hawa dingin. Kiranya panglima baju perak ini memiliki ilmu sinkang yang disebut Swat-ciang (Tangan Salju) dan pukulan yang mengandung hawa dingin itu amat berbahaya bagi lawan. Setelah dia selesai bersilat dan memberi hormat kepada pemimpinnya, Chu Siang Yu bertepuk tangan memuji, diikuti oleh orang-orang yang hadir di situ.

Melihat rekannya sudah maju, Kim I Ciangkun tidak mau ketinggalan. Diapun memperlihatkan ketang-kasannya. Tubuhnya yang tinggi kurus bergerak cepat dan tak lama kemudian, gerakan kedua tangannya itu mengeluarkan hawa panas menyambar-nyambar. Itulah ilmu Hui-ciang (Tangan Api) yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan Swat-ciang milik rekannya tadi. Juga Kim I Ciangkun menerima sambutan pujian dan tepuk tangan.

Sejak tadi, raksasa Mongol yang duduknya berhadapan dengan isteri Chu Siang Yu sehingga dia dapat menatap wajah Bwee Hong dengan jelas, memperlihatkan sikap amat tertarik kepada dara ini. Dia bersikap kasar dan biarpun dia tidak berani secara terus terang mengeluarkan kata-kata yang menyinggung, namun kerling matanya yang lebar itu selalu menyambar ke arah Bwee Hong, membuat dara ini kadang-kadang mengerutkan alisnya dan membuang muka.

Kini, melihat betapa dua orang rekannya itu memperlihatkan ilmu kepandaian, si raksasa Mongol inipun bangkit berdiri dan mengajukan diri untuk menghibur para tamu. Tentu saja permintaannya dikabulkan dengan gembira oleh Chu Siang Yu. Dengan langkah gagah raksasa ini menuju ke tengah mangan. Raksasa ini adalah adik dari Malisang, kepala suku Mongol yang menjadi sekutu Chu Siang Yu dan bekerja sama dengan pasukan yang dipimpin oleh Kwa Sun Tek putera ketua Tai-bong-pai.

Usianya sudah hampir limapuluh tahun dan dalam hal ilmu silat, ilmu gulat dan tenaga, dia tidak kalah oleh kakaknya. Sejak tadi dia terpesona oleh kecantikan Bwee Hong, maka kini dia maju untuk menjual tampang, untuk menarik perhatian dara yang membuatnya tergila-gila itu.

Mulailah raksasa Mongol ini bersilat dan begitu dia menggerakkan kedua kakinya, lantai bergoyang-goyang dan seluruh kemah itu tergetar. Juga kedua tangannya yang menyambar-nyambar mendatangkan hawa pukulan yang amat kuat. Akan tetapi, baru belasan jurus raksasa ini bersilat, dia menghentikan gerakannya. Sejak tadi dia bersilat sambil tersenyum dan mengerling ke arah Bwee Hong, akan tetapi nona ini malah memalingkan muka dan tidak mau nonton kelihaiannya.

Hal ini membuatnya merasa penasaran. Dia bersilat hanya untuk pamer kepada nona itu, akan tetapi yang dipameri malah membuang muka! Semua orang merasa heran melihat raksasa itu berhenti bersilat, bahkan Chu Siang Yu sendiri bertanya mengapa ilmu silat yang belum selesai dimainkan itu dihentikan tiba-tiba?

''Bermain silat sendirian kurang menggembirakan," kata si raksasa Mongol dengan logat asing. "Para tamu kita adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Kata orang persilatan, perkenalan tidaklah akrab tanpa melalui adu silat. Oleh karena itu, aku mempersilahkan seorang di antara tiga tamu kita yang gagah untuk maju dan bermain-main denganku beberapa jurus.

"Akan tetapi, orang bilang bahwa kepalan tidak mempunyai mata, maka aku takut kalau-kalau aku akan salah tangan dan lupa, melukai tamu terhormat. Oleh karena jitu, agar aman, kuharap nona tamu sudi memperlihatkan kepandaian. Kalau menghadapi lawan wanita, tentu aku tidak akan lupa dan tidak akan salah tangan, ha-ha-ha!"

Mendengar ucapan ini, para perwira yang wataknya kasar tertawa. Akan tetapi tiga orang muda itu tentu saja merasa mendongkol sekali. Dan Seng Kun merasa makin tidak suka kepada pemimpin pemberontak yang menjadi sanaknya. Di situah letak kelemahan Chu Siang Yu, pikirnya. Berbeda dengan Liu Pang yang pandai memilih sekutu dan anak buah, yang sebagian besar terdiri dari para pendekar dan rakyat jelata, sebaliknya Chu Siang Yu memilih orang-orang asal pandai ilmu silatnya saja, biarpun orang itu datang dari golongan yang sesat, bahkan tidak segan bersekutu dengan pihak asing!

Seng Kun berpikir bahwa tidaklah pantas membiarkan Bwee Hong menjadi buah tertawaan melawan raksasa yang tangguh ini. Dan kalau A-hai yang maju, dia khawatir kalau-kalau A-hai yang kadang-kadang masih kumat itu akan menurunkan ilmunya yang amat hebat dan raksasa ini akan terpukul tewas. Jalan terbaik adalah dia sendiri yang maju, mencoba mengalahkan raksasa ini tanpa membuat Chu Siang Yu marah. Maka diapun cepat mendahului adiknya dan A-hai yang sudah memandang marah kepada raksasa itu. Dengan tenang dan sabar dia memberi hormat kepada raksasa itu.

"Ciangkun, harap maafkan adikku kalau tidak dapat memenuhi undanganmu karena tentu saja adikku bukanlah tandinganmu. Biarlah aku mewakilinya menerima petunjuk-petunjuk dari ciangkun."

Raksasa itu memandang kepada Seng Kun dan tertawa, sikapnya memandang rendah sekali. "Ah, jadi engkau adalah kakak nona itu? Bagus, dengan mengingat bahwa engkau kakaknya, tentu akupun berlaku hati-hati agar tidak sampai melukaimu, orang muda. Dan jangan khawatir, andaikata engkau terluka olehku, akupun mempunyai obatnya untuk menyembuhkanmu."

Sungguh tekebur sekali sikap dan ucapan raksasa Mongol ini. Akan tetapi Seng Kun tetap tenang saja. "Ciangkun, lebih baik kita segera mulai dari pada membuang-buang waktu dengan obrolan kosong."

Melihat ada nada marah dalam ucapan Seng Kun, raksasa itu mendengus, akan tetapi mulutnya masih tersenyum-senyum. "Baik, kau jagalah pukulanku!"

"Wuuuuttt!" Pukulan itu memang cepat sekali datangnya, dan amat kuatnya karena sebelum kepalan tiba, angin pukulannya sudah terasa oleh Seng Kun dan membuat bajunya berkibar. Akan tetapi pemuda ini tentu saja dapat mengelak dengan sigapnya. Dia membiarkan si raksasa memukul sampai empat kali berturut-turut, selalu menghindarkan diri dengan jalan mengelak. Pada pukulan ke lima, yang dilakukan dengan keras sekali karena raksasa itu mulai merasa penasaran melihat semua pukulannya luput, Seng Kun menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

"Dukkk!!" Akibat dari adu tenaga ini membuat Seng Kun terlempar dan hampir terjengkang kalau saja dia tidak memiliki ginkang yang baik sekali sehingga dia mampu meloncat berjungkir balik dan tidak sampai terbanting. Dia terkejut, karena tidak disangkanya raksasa itu memiliki tenaga sehebat itu.

"Ha-ha-ha, aku membuatmu kaget? Maaf, dan hati-hatilah!" Raksasa itu tertawa girang dan nada suaranya mengejek sekali. Bagaimanapun juga, Seng Kun hanya seorang manusia biasa dan kesabaran ada batasnya. Dia mulai merasa penasaran dan mukanya menjadi merah. Ketika raksasa itu menyerang lagi, dia mengelak dan balas menyerang dengan tamparan ke arah dada lawan.

Akan tetapi, betapa kagetnya ketika melihat lawan tidak mengelak atau menangkis sama sekali, sebaliknya membiarkan dadanya dipukul akan tetapi membarengi dengan pukulan ke arah perut Seng Kun. Pukulan yang keras sekali!

"Bukkk!" Tamparan tangan Seng Kuaa tepat mengenai dada, akan tetapi pemuda itu menahan seruannya karena telapak tangannya terasa nyeri dan pedas. Kiranya baju perang itu terbuat dari pada logam tipis yang amat kuat dan di antara sisiknya itu terdapat bagian runcing sehingga akan dapat melukai pukulan tangan lawan! Hampir saja perut Seng Kun kena terpukul kalau saja dia tidak meloncat ke belakang dan pada saat itu Bwee Hong meloncat ke depan hendak membantu kakaknya.

"Hong-moi, mundur!" Seng Kun berseru kepada adiknya setelah dia terbebas dari pada pukulan ke arah perutnya tadi. Untung kepalan tangan lawan itu hanya menyerempet kulit perut dan bajunya, kalau mengenai perut dengan tepat, mungkin dia akan celaka mengingat besarnya tenaga lawan.

"Ha-ha-ha, kalau engkau hendak maju sekalian, silahkan, nona. Dikeroyok dua akan menjadi semakin meriah!"

"Lihat serangan!" Seng Kun membentak marah melihat kecongkakan raksasa itu dan kini diapun mulai menyerang. Dan si raksasa terkejut karena gerakan Seng Kun itu cepat bukan main, tubuhnya seperti terbang saja dan kedua tangannya seperti berobah menjadi banyak!

Raksasa itu menggunakan kedua tangan untuk menangkis, bahkan berusaha menangkap dengan ilmu gulat, namun Seng Kun terlalu cepat baginya dan tahu-tahu pemuda itu sudah berada di belakangnya dan sekali renggut, terlepaslah ikatan rambutnya! Pada saat tali rambutnya putus direnggut tangan Seng Kun, pemuda ini memberi sentilan dengan jari tangannya pada tengkuk lawan. Hal ini dilakukannya untuk memberi isyarat kepada lawan bahwa kalau dia berniat buruk, betapa mudah baginya untuk mengganti sentilan itu dengan totokkan atau pukulan maut!

Akan tetapi, raksasa Mongol itu adalah seorang kasar yang tidak mengenal segala macam isyarat dan sindiran halus seperti itu. Baginya, dalam perkelahian atau adu kepandaian hanya ada dua hal, kalah atau menang. Dan dia belum merasa kalah kalau hanya direnggutkan tali rambutnya sampai terlepas saja! Maka dengan gerengan keras, dia menyerang lagi. Seng Kun cepat menghindarkan diri dengan loncatan ke samping dan pada saat itu terdengar seruan Chu Siang Yu.

"Tahan pukulan! Cukup sudah, kita di antara kawan sendiri!" Dan tahu-tahu tubuh Chu Siang Yu yang tadinya masih duduk di atas kursi sudah melayang dan berdiri di antara dua orang itu.

Melihat gerakan ini, A-hai mengangguk-angguk dan kagum akan kelihaian pemimpin pemberontak itu. Sementara, itu, raksasa Mongol yang merasa belum kalah, menjadi penasaran dan sikapnya masih marah. Keadaan menjadi tegang, akan tetapi pada saat itu terdengar suara anak panah mengaung di udara, disusul suara ribut-ribut di kejauhan.

Peristiwa ini menyadarkan si raksasa dan diapun cepat menjura kepada sekutu dan pemimpinnya, lalu kembali ke tempat duduknya. Seng Kun juga duduk kembali dan anehnya, peristiwa itu agaknya tidak mempengaruhi sikap Chu Siang Yu yang masih saja melanjutkan makan minum. Tiba-tiba muncul dua orang berpakaian penjaga yang datang berlari-lari dan menjatuhkan diri berlutut, memberi laporan bahwa musuh gelap mulai menyerang.

"Bodoh! Tidak tahukah kalian bahwa Ong-ya sedang menyambut tamu? Hayo pergi, jangan diganggu!" Dua orang itu memberi hormat dan pergi. Tentu saja hal ini amat mengherankan hati Seng Kun dan teman-temannya.

Tak lama kemudian, kembali datang dua orang perwira yang nampak gugup. Dua orang ini segera membuat laporan, "Ada beberapa orang pengacau memasuki perkemahan kita. Mereka berkepandaian tinggi sekali dan beberapa orang perajurit terbunuh secara aneh dan mengerikan."

Kini Chu Siang Yu sendiri yang menjawab dengan sikap tak acuh. "Sudah, kalian kembalilah ke tempat penjagaanmu. Tak perlu gelisah. Iblis-iblis itu tidak dapat berbuat seenaknya sendiri. Mereka sudah dikepung dan semua akan dapat kita binasakan!"

Diam-diam Seng Kun bertiga menjadi semakin kagum. Orang ini benar-benar amat tabah, pandai dan berwibawa. Dan memang bukan bual kosong saja ketika Chu Siang Yu menghibur dua orang penjaga tadi. Ketika mereka berdua kembali ke tempat penjagaan, para penyelundup itu telah dikepung ketat oleh jagoan-jagoan yang sudah dipersiapkan oleh Chu Siang Yu dan para pembantunya. Seorang di antara para penyelundup itu, yang berusia kurang lebih empatpuluh tahun, berwajah ganteng pesolek dan bersenjata sebatang huncwe berlapis emas, dikeroyok oleh lima orang jagoan pilihan.

Tak jauh dari situ terdapat pula seorang wanita cantik berusia sekitar tigapuluh tahun yang mengamuk dengan senjata pedang pendek di tangan kiri dan sehelai sabuk di tangan kanan. Juga wanita ini dikepung oleh lima orang jagoan. Dua orang penyelundup ini adalah pembantu-pembantu Raja Kelalawar yang lihai, yaitu Jai-hwa Toat-beng-kwi si penjahat cabul dan Pek-pi Siauw-kwi, Si Maling Cantik.

Di depan gedung ransum terjadi pula pengeroyokan atas diri San-hek-houw yang mengamuk dengan senjatanya yang istimewa itu, ialah sebatang rantai baja dengan ujung tombak jangkar. Sedangkan di dekat kandang kuda terdapat pula perkelahian seru antara Sin-go Mo Kai Ci Si Buaya Sakti yang juga dikeroyok oleh banyak orang. Ternyata empat orang pembantu utama Raja Kelelawar itu masuk perangkap. Maka dibiarkan memasuki perkemahan, lalu dikepung ketat dan dikeroyok oleh jagoan jagoan yang memang sudah dipersiapkan terlebih dahulu oleh Chu Siang Yu dan para pembantunya.

Empat orang penjahat itu marah sekali. Mereka tidak mengira akan terperangkap oleh pihak musuh, maka mereka mengamuk dengan hebatnya. Sepak terjang mereka, terutama sekali Si Buaya Sakti dan Si Harimau Gunung, benar-benar amat menggiriskan. Perajurit-perajurit yang berani mencoba untuk ikut mengeroyok, banyak yang roboh dan tewas. Debu dan batu kerikil berhamburan, kemah-kemah di sekitar tempat mereka mengamuk itu roboh.

Dua orang iblis ini mengamuk sambil mengeluarkan caci-maki dan geraman-geraman seperti binatang buas. Betapapun juga, yang mengepung dan mengeroyok mereka adalah jagoan-jagoan dan juga banyak jumlahnya sehingga mereka berempat itu tidak melihat jalan, keluar untuk meloloskan diri, maka mereka mengamuk mati-matian.

Sementara itu, di atas puncak tiang kemah tak jauh dari situ, terdapat sesosok tubuh berdiri tegak seperti seekor burung hinggap di ujung tiang. Pakaian dan jubahnya berwarna hitam sehingga sukar dapat dilihat. Si jubah hitam ini memandang ke bawah, ke arah perkelahian itu dan dia mengepal tinju, bibirnya bergerak memaki-maki marah.

"Keparat! Gila! Tak kusangka bangsat Chu Siang Yu begini cerdik. Kiranya dia tidak boleh dipandang ringan, para pembantunya juga banyak yang lihai. Jahanam benar!"

Tubuh yang tinggi besar itu tiba-tiba bergerak melayang ke atas puncak tenda lain, kemudian meloncat lagi dari tenda ke tenda seperti seekor kelelawar saja gesit dan ringannya. Kemudian dia hinggap di puncak perkemahan pusat di mana Chu Siang Yu sedang makan minum dengan para tamunya.

Begitu berjumpa dengan tiga orang muda itu, Chu Siang Yu sudah tertarik sekali dan dia dapat menduga bahwa tiga orang muda ini adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan akan dapat menjadi tenaga-tenaga yang amat penting baginya. Oleh karena itu, sambil menjalankan siasatnya untuk menjebak pihak musuh yang berani menyelundup ke perkemahan, dia juga berusaha untuk menyenangkan hati tiga orang muda itu dan kalau mungkin dia akan menarik mereka menjadi pembantu-pembantunya.

"Sam-wi adalah orang-orang muda yang luar biasa," akhirnya sambil menyuguhkan arak dia berkata. "Sam-wi merupakan orang-orang muda yang memiliki harapan baik sekali untuk mencapai kedudukan tinggi dan mulia, dan pertemuan antara kita ini membuka kesempatan yang amat baik bagi kalian. Kota raja sudah berada di telapak tangan kita, tak lama kemudian kita akan dapat menguasainya. Dan aku akan merasa gembira sekali kalau dapat memperoleh bantuan sam-wi dalam membangun kerajaan baru."

Seng Kun terkejut mendengar ini. Baru dia tahu sekarang mengapa pemimpin pemberontak ini bersikap demikian baiknya terhadap dia bertiga. Kiranya mempunyai maksud untuk mempergunakan mereka sebagai pembantu. Diapun cepat mewakili teman dan adiknya itu, memberi hormat kepada pemimpin pemberontak itu.

"Kami kakak beradik menghaturkan terima kasih atas maksud baik taijin. Akan tetapi, pada saat ini kami sama sekali belum memikirkan tentang kedudukan atau pekerjaan..."

"Wah, saya sendiripun masih mempunyai banyak sekali urusan keluarga dan pribadi sehingga tidak sempat memikirkan tentang urusan kedudukan!" A-hai juga berkata.

"Kami masih amat mengkhawatirkan keadaan ayah kandung kami!" Bwee Hong juga membantu kakaknya. "Saya ingin sekali mengetahui bagaimana sebenarnya dengan keadaan ayah kandung kami itu?"

Chu Siang Yu menarik napas panjang menyembunyikan rasa kecewa hatinya. Dia maklum bahwa menghadapi orang-orang muda yang lihai ini tidak boleh tergesa-gesa, apa lagi mempergunakan tekanan.

"Menurut keterangan Kim I Ciangkun memang benar ayah kalian ditangkap dan dimasukkan penjara. Tentu saja hal itu terlihat oleh Kim I Ciangkun dan Gin I Ciangkun sebelum mereka berdua lari dari istana setelah melihat keadaan yang kacau di istana, di mana kaisar muda itu mempergunakan para datuk kaum sesat untuk menjadi pengawal-pengawal dan pembantu-pembantu. Banyak pejabat yang setia seperti kedua ciangkun itu tidak tahan melihat betapa pembesar-pembesar yang jujur dijebloskan penjara atau dibunuh, sedangkan penjahat-penjahat rendah diberi kedudukan tinggi.

Kim I Ciangkun menambahkan keterangan pemimpinnya. "Bu Hong Sengjin sebagai seorang penasihat istana, mencoba untuk mengingatkan sri baginda kaisar yang masih muda itu. Akan tetapi beliau malah kena marah dan ditangkap, dijebloskan ke dalam penjara."

"Akan tetapi kalian jangan khawatir. Kota raja sudah kita kepung dan sebentar lagi, kalau kita sudah dapat menguasai kota raja, kalian akan dapat menyelamatkan ayah kandung kalian. Oleh karena itu, marilah kalian bantu kami untuk menyerbu kota raja besok."

Seng Kun dan adiknya saling pandang, tidak dapat segera menjawab. Tentu saja mereka berdua yang bertugas menyelidiki keadaan musuh Liu Pang dan menyelidiki keadaan ayah mereka, tidak mungkin kalau kini malah bergabung dengan pemberontak Chu Siang Yu dan membantunya menyerbu kota raja. Dan A-hai sendiri kini kelihatannya tidak tertarik lagi, bahkan seperti tidak mengacuhkan percakapan itu dan perhatiannya seperti tertarik oleh hal lain.

Tiba-tiba api lilin-lilin yang berada di dalam ruangan itu bergoyang seperti tertiup angin dan mereka yang berada di situ tidak sadar bahwa di dalam ruangan itu telah bertambah seorang lagi kalau saja A-hai tidak menyapanya. "Silahkan masuk!"

Mendengar ucapan A-hai, Chu Siang Yu dan semua orang menoleh dan mereka semua terkejut bukan main melihat betapa di ambang pintu kemah itu telah berdiri seorang laki-laki tinggi yang mengenakan pakaian dan jubah hitam! Penjaga penjaga yang berdiri di luar pintu kemah itu agaknya tidak melihat masuknya orang ini dan hanya A-hai seorang yang melihatnya. Akan tetapi, kini terjadi keanehan.

Orang yang mereka semua duga tentu Si Raja Kelelawar itu yang tadinya melangkah dengan gerakan kaki seperti tidak menginjak tanah, tiba-tiba berhenti dan matanya terbelalak menatap wajah A-hai, kemudian tiba-tiba kakinya melangkah ke samping dan memasang kuda-kuda sambil menjaga jarak antara dia dan A-hai, agaknya siap untuk berkelahi! A-hai juga memandang dengan tajam penuh selidik, akan tetapi dia tidak mengenal orang ini dan hanya memandang dengan wajah heran.

"Kiranya engkau belum mampus juga!" Tiba-tiba orang itu berkata dengan mata mendelik.

Dan terjadilah perobahan pada wajah A-hai. Wajahnya yang tadinya nampak keheranan melihat tingkah laku orang berpakaian hitam itu, kini berkerut-kerut seolah-olah terjadi sesuatu di dalam ingatannya. Matanya terbuka lebar dan mencorong, seperti hendak menembus ke dalam dada orang berjubah hitam itu, memandang penuh selidik, mukanya menjadi merah sekali dan dahinya berdenyut-denyut.

"Siapa siapakah engkau? Aku.... aku seperti mengenal suaramu" Dia tergagap menudingkan telunjuknya kepada orang itu.

Orang berjubah hitam itu agaknya menemukan kembali ketenangannya. Mulutnya tersenyum mengejek dan dia tidak lagi mengacuhkan A-hai, melainkan memutar tubuhnya memandang ke sekeliling. Semua orang tadinya seperti terpesona oleh ketegangan yang terjadi ketika A-hai menegur orang itu, dan barulah kini mereka sadar akan siapa orangnya yang telah begitu berani memasuki kemah pusat ini.

Kim I Ciangkun segera mengenalnya dan tanpa banyak cakap lagi, bekas pengawal jagoan di kota raja ini sudah menerjang sambil mengerahkan Hui-ciang (Tangan Api), memukul ke arah orang berpakaian hitam itu. Angin keras menyambar berikut hawa yang amat panas...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.