Darah Pendekar Jilid 30 karya Kho Ping Hoo - "BERHENTI!" Tiba-tiba orang berpakaian hitam itu membentak sambil memandang ke muka Kim I Ciangkun dan sungguh aneh, tiba-tiba saja Kim I Ciangkun berhenti di tengah-tengah serangannya, seolah-olah dia telah berobah menjadi patung, mukanya membayangkan kebingungan dan matanya terbelalak.
"Keluar kamu!" Kembali si jubah hitam membentak dan semua orang terkejut dan heran sekali melihat betapa seperti orang yang amat patuh, Kim I Ciangkun membalikkan tubuhnya dan tertatih-tatih melangkah keluar kemah itu. Takutkah panglima pengawal yang lihai ini?
Akan tetapi Chu Siang Yu dan mereka yang memiliki kepandaian tinggi di dalam kemah itu dapat menduga apa yang telah terjadi. Si Raja Kelelawar, orang yang berpakaian dan berjubah hitam itu, tentu telah mempergunakan ilmu sihirnya untuk menguasai dan menaklukkan Kim I Ciangkun, maka Chu Siang Yu lalu mengeluarkan suara melengking nyaring yang mengandung getaran khi-kang kuat sekali.
Lengkingan ini ternyata mampu memecahkan daya pengaruh sihir yang dikerahkan oleh Si Raja Kelelawar kepada Kim I Ciangkun karena panglima pengawal itu tiba-tiba berhenti di ambang pintu tenda lalu membalik memandang kepada orang berjubah hitam itu.
Akan tetapi, orang aneh itu mengulur tangan kiri dan telapak tangan kirinya dihadapkan ke arah Kim I Ciangkun dan tiba-tiba saja panglima pengawal ini merasa betapa ada kekuatan dahsyat menghimpitnya dari semua penjuru, membuat dia tidak dapat berkutik, seolah-olah tenaganya habis tersedot.
Perlahan-lahan, sambil menyeringai sadis, Raja Kelelawar mengangkat tangan kanannya ke atas, siap melakukan pukulan maut ke arah lawan. Barulah semua orang sadar akan bahaya yang mengancam keselamatan Kim I Ciangkun. Belasan orang perajurit pengawal yang berada di luar pintu lalu menyerbu masuk dan dengan tombak di tangan mereka itu menyerang.
Bagaikan hujan senjata-senjata itu menyambar dan mengenai tubuh Raja Kelelawar! Akan tetapi, terdengar suara keras dan semua senjata itu terpental seperti mengenai tubuh yang terbuat dari baja yang amat kuat saja! Tentu saja para perajurit itu merasa ngeri dan otomatis mereka melangkah mundur dengan mata terbelalak dan wajah pucat.
Tangan kanan Raja Kelelawar yang tadinya sudah siap menghantam Kim I Ciangkun, kini digerakkan, bukan memukul Kim I Ciangkun melainkan dialihkan, menyapu ke samping, ke arah para perajurit yang menyerang tadi. Hembusan angin dingin melanda mereka ini dan seperti daun-daun kering tertiup angin, belasan orang perajurit itu berpelantingan dan terdengar mereka mengeluh dan merintih. Beberapa orang di antara mereka bahkan tidak sempat mengeluh lagi karena langsung tewas seketika!
"Tahan!!" Chu Siang Yu melompat kedepan menghadapi orang berjubah hitam itu yang memandang kepadanya dengan senyum mengejek. "Kalau tidak keliru, engkau adalah panglima kerajaan yang baru diangkat oleh kaisar muda. Engkau adalah Si Raja Kelelawar itu, bukan?"
"Pemberontak she Chu! Dosamu bertumpuk dan aku sendiri yang akan menghukummu!" Raja Kelelawar berseru dan begitu tangannya bergerak, angin dahsyat menyambar ke arah pemimpin itu.
Akan tetapi, ternyata Chu Siang Yu juga bukan orang sembarangan. Dia memiliki ilmu silat yang cukup tinggi dan serangan Raja Kelelawar yang dahsyat itu dapat dielakkannya dengan baik, bahkan diapun membalas dengan serangan pedangnya. Demikian cepatnya Chu Siang Yu telah mencabut pedang dari pinggangnya dan menyerang sehingga Raja Kelelawar juga terkejut dan cepat mengelak sambil bersikap hati-hati, tidak berani memandang rendah pemimpin pemberontak ini yang ternyata adalah seorang ahli pedang yang berbahaya juga.
Terjadilah perkelahian hebat dan para pembantu Chu Siang Yu tentu saja tidak mau membiarkan pemimpin mereka terancam bahaya di tangan raja iblis itu. Mereka serentak maju mengepung dan mengeroyok. Akan tetapi, kepandaian raja iblis itu memang hebat sekali sehingga dalam waktu singkat saja, tiga orang pengeroyok telah dapat dirobohkannya dan Chu Siang Yu sendiri terdesak hebat.
Pemimpin pemberontak itu lalu bersuit nyaring dan muncullah tujuh orang berseragam putih-putih mengkilap yang memegang sebatang pedang di tangan kanan dan sebuah perisai di tangan kiri. Sambil bergulingan, tujuh orang itu maju dan membuat gerakan mengepung Raja Kelelawar. Chu Siang Yu dan para pembantunya mundur karena mereka bahkan akan mengacaukan gerakan Jit-seng-tin (Barisan Tujuh Bintang) ini kalau mereka membantu.
Raja Kelelawar berdiri tegak memandang tujuh orang lawan yang kini mengepungnya dan tujuh orang itu semua bertindak mengitarinya. Sungguh merupakan pemandangan yang amat menegangkan dan juga mempesonakan. Karena pakaian para pengepung ini putih-putih mengkilap, maka pakaian Raja Kelelawar yang serba hitam itu menjadi menyolok sekali.
Tiba-tiba seorang di antara tujuh anggauta Jit-seng-tin itu mengeluarkan bentakan sebagai aba-aba dan mulailah bergerak menyerang secara teratur sekali. Raja Kelelawar menghadapi mereka dengan tenang dan biarpun tujuh orang itu dapat bergerak saling bantu dan tentu saja gerakan mereka amat cepat karena susul-menyusul, namun Raja Kelelawar dengan gin-kang yang luar biasa dapat mengimbangi mereka, bahkan dapat mematahkan semua serangan mereka yang membentuk bintang-bintang.
Belum lewat tiga jurus Raja Kelelawar sudah mengenal inti gerakan mereka dan kini dialah yang memimpin dan menyerang sehingga bentuk barisan itu membuyar dan menjadi kacau. Ketika memperoleh kesempatan baik, Raja Kelelawar itu membentak keras dan tangannya yang bergerak itu dapat bertemu dengan dada dan punggung dua orang pengeroyok.
"Takk! Takkk!"
Raja iblis itu berseru kaget dan meloncat kebelakang ketika merasa betapa tangannya bertemu benda keras yang amat kuat. Tahulah dia bahwa di balik baju putih mengkilap itu tersembunyi perisai baja yang kuat. Maka, pukulannya tadi hanya membuat mereka terdorong mundur akan tetapi tidak terluka parah. Kini Raja Kelelawar terdesak oleh tujuh orang lawannya.
Marahlah dia. Sekali tangannya bergerak, kedua tangannya itu telah memegang sepasang belati yang mengeluarkan sinar kebiruan. Dan diapun bergerak cepat. Mantelnya yang lebar itu membungkus tubuhnya, menjadi perisai yang amat kuat karena mantel itu tahan serangan senjata. Tubuhnya berputar-putar dan terbungkus jubah.
Setiap senjata yang sempat menyentuh tubuhnya, mental dan membalik ke arah penyerangnya sendiri dan tubuhnya yang bergulingan. Akan tetapi robeknya perisai membuktikan betapa ampuh dan tajamnya sepasang belati di tangan raja iblis itu. Gentarlah mereka.
"Awas! Jangan terlalu dekat dengan dia!" Chu Siang Yu berseru dan diapun bertepuk tangan beberapa kali. Kini muncul pula lima pasang orang yang berpakaian hitam-hitam. Mereka membawa senjata aneh, yaitu jaring seperti jaring untuk menjala ikan. Setiap pasang, yaitu dua orang, membawa sehelai jaring. Lima pasang orang ini segera mengepung dan berada di sebelah luar tujuh orang Jit-seng-tin.
Melihat ini, diam-diam Raja Kelelawar merasa terkejut sekali. Kiranya Chu Siang Yu telah benar-benar bersiap siaga untuk menyambutnya, pikir raja iblis ini. Betapapun lihainya dan betapapun ampuh sepasang belatinya kalau sampai dia tertangkap jaring, dia akan celaka. Kalau dipikirkan secara mendalam, memang tidak mungkin dia dan empat orang kawannya saja menyerbu perkemahan yang dihuni oleh puluhan ribu orang perajurit!
Tiba-tiba Raja Kelelawar mengeluarkan pekik melengking dan selagi semua orang terkejut dan seperti pecah rasa anak telinga mereka, raja iblis itu sudah melenting tinggi di udara, menerobos atap kemah yang tinggi itu dan lenyap. Suara lengkingannya amat hebat, bergema dan seperti bergulung-gulung bagaikan kilat bergemuruh, menderu-deru dari segala penjuru. Semua orang terpukau dan seperti kesima, tak dapat bergerak dari tempatnya. Ketika semua orang sadar kembali dan hendak melakukan pengejaran, iblis itu telah lenyap.
Semenjak Raja Kelelawar mengeluarkan pekik melengking tadi, tiba-tiba A-hai yang sejak tadi menonton perkelahian dengan wajah tetap bingung mengingat-ingat siapa adanya orang berpakaian hitam itu, kini bangkit berdiri dan terjadi perubahan hebat pada wajahnya. Matanya mencorong ganas, lalu mendelik menakutkan. Urat-urat darah di pelipis dan dahinya menggembung seperti mau pecah. Uap tipis membungkus kepalanya dan matanya yang melotot itu seperti hendak meloncat keluar. Peluhnya menetes-netes dan tubuhnya gemetar hebat seperti erang kedinginan.
Melihat keadaan A-hai ini, Bwee Hong tak dapat lagi menguasai rasa gelisah dan ngerinya, "Koko! Kun-ko, dia dia kenapa?"
Seng Kun cepat menghampiri adiknya dan menarik tangan adiknya menyingkir menjauhi A-hai, kemudian berteriak kepada semua orang yang berada di situ, "Awas, kawanku ini sedang kumat sakitnya. Harap semua orang menjauhkan diri, karena dalam keadaan begini dia berbahaya sekali. Kepandaiannya amat luar biasa!"
Kata-kata ini tentu saja disambut dengan senyum oleh mereka yang berada di situ. Betapapun lihainya pemuda ini, siapa yang akan takut? Di situ penuh dengan orang-orang lihai sehingga Raja Kelelawar sendiripun sampai melarikan diri Sementara itu, Chu Siang Yu sibuk memberi perintah kepada anak buahnya untuk melakukan pengejaran dan juga penjagaan agar diperketat.
"Kun-ko tolonglah dia. Jangan biarkan dia mati, jangan biarkan dia mati...! Lihat urat-urat di kepalanya ah, seperti mau pecah...!" Bwee Hong berteriak sambil meremas-remas tangan kakaknya.
Seng Kun mengelus pundak adiknya. "Jangan khawatir, Hong-moi. Kita sekarang tidak bisa mendekatinya. Lihat matanya, siapa mendekat mungkin dibunuhnya. Kita hanya mengharap mudah-mudahan pengobatan yang kita berikan selama ini mampu menghilangkan hambatan-hambatan yang mengganggu jalan darahnya. Lihat, tonjolan di pelipisnya sudah tidak nampak lagi."
"Tidak, tidak, biar dia akan membunuhku, aku akan menolongnya, aku akan menusukkan jarumku di jalan darah tengkuknya. Aihh... koko, lepaskanlah aku, lepaskan aku biar aku menolongnya!" Bwee Hong meronta-ronta dari pelukan kakaknya.
"Jangan...!!" Seng Kun terpaksa membentak adiknya karena dia maklum betul betapa besar bahayanya mendekati A-hai di saat seperti itu.
Sementara itu, wajah A-hai nampak semakin mengerikan dan tiba-tiba dia mengepal tinju tangannya, dan sekali menggerakkan tangan itu ke kanan, ada angin bersiutan menyambar dan beberapa orang yang berada dua meter jauhnya dari tempat itu terpelanting!
"Aku... aku mengenal... suara melengking itu...! Jahanam...! Engkaulah kiranya orang itu! Engkau...! Engkau!!" A-hai menjerit dan tiba-tiba tubuhnya meluncur keatas, menerobos lubang atap kemah dari mana Raja Kelelawar tadi melarikan diri. Cepat sekali gerakannya, seperti terbang, seperti anak panah terlepas dari busurnya dan sebentar saja lenyap, hanya terdengar suara lengkingan aneh yang tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan lengkingan yang dikeluarkan oleh Raja Kelelawar tadi.
Semua orang kembali kesima dan terpesona, seperti dalam mimpi saja. Baru beberapa saat kemudian, setelah gema suara melengking itu lenyap, berbondong-bondong orang yang berada di dalam kemah itu keluar.
Sementara itu, empat orang kawan Raja Kelelawar, ketika mendengar pekik lengkingan pemimpin mereka, berusaha meloloskan diri. Mereka dikepung ketat dan sukar untuk lolos. Akan tetapi, dasar penjahat-penjahat yang sudah berpengalaman, mereka menemukan akal dan mereka membakari kemah-kemah sehingga keadaan menjadi kalut. Di dalam kekalutan itulah, biarpun mereka menderita luka-luka, empat orang iblis itu dapat melarikan diri.
Setelah semua penjahat lari dan Chu Siang Yu bersama para pembantunya sibuk memadamkan kebakaran dan mengatur penjagaan menenteramkan para perajurit yang tadi dilanda kekalutan, diam-diam Seng Kun dan Bwee Hong yang ditinggal pergi A-hai itu meninggalkan perkemahan, mengambil jalan yang tadi dilalui Chu Siang Yu.
Para penjaga yang mengenal mereka sebagai sahabat dan tamu pemimpin mereka, tidak menghalangi. Mereka berdua pergi dengan cepat, dengan maksud hendak kembali ke perkemahan pasukan Liu Pang yang tidak begitu jauh dari tempat itu. Di sepanjang perjalanan ini, wajah Bwee Hong nampak berduka sekali. Ia teringat kepada A-hai yang pergi meninggalkan mereka dalam keadaan kumat dan berbahaya, apa lagi kalau diingat bahwa agaknya A-hai lari melakukan pengejaran terhadap Raja Kelelawar yang demikian sakti dan ganasnya.
"Koko, bagaimana kalau A-hai nanti dibunuh oleh Raja Kelelawar? Biarpun dia juga lihai kalau sedang kumat, akan tetapi mana mungkin dia akan mampu menandingi Raja Kelelawar yang sakti itu?"
Seng Kun diam saja. Matanya menatap wajah adiknya. "Hong-moi, serahkan saja kepada Thian. Pada hakekatnya, A-hai adalah seorang yang amat baik budinya dan aku yakin bahwa orang yang baik budinya pada akhirnya akan selamat lahir batinnya dan akan bahagia hidupnya. Pada saat ini kita tidak mampu berbuat sesuatu, karena kita tidak akan mampu mencari kedua orang yang memiliki kepandaian amat tinggi itu."
"Ah, koko, aku khawatir, aku gelisah!" Bwee Hong menahan isaknya.
Seng Kun merangkulnya dengan hati terharu. "Adikku engkau mencintanya?"
Bwee Hong tidak mampu menjawab, akan tetapi pertanyaan kakaknya itu membuat ia menangis tersedu-sedu di atas dada kakaknya yang merangkul dan mengelus rambutnya.
Cinta kasih adalah sesuatu yang hanya dapat dirasakan. Bukan sesuatu yang dapat dipikirkan. Cinta kasih tidak terpengaruh oleh pikiran, karenanya tidak pernah membuat perhitungan untung rugi. Segala perbuatan kita manusia sekarang ini penuh dengan perhitungan untung rugi, oleh karena itu, pamrih memperoleh keuntungan menjauhi kerugian ini membuat setiap perbuatan kita palsu dan pura-pura, menyembunyikan pamrih.
Hanya cinta kasih sajalah satu-satunya yang masih memberi harapan. Perbuatan yang didasari cinta kasih adalah perbuatan yang bebas dari pada pamrih mencari keuntungan atau kesenangan. Hidup tanpa adanya cinta kasih sama dengan mati, karena hidup menjadi hampa, membuat manusia tiada bedanya dengan sebuah robot. Dan cinta kasih ini baru nampak, baru muncul, sinarnya baru terang memenuhi hati yang tidak lagi dipenuhi keinginan-keinginan.
Malam itu terang bulan, sunyi akan tetapi menyejukkan hati, sama dengan sejuknya suasana dan udara yang penuh dengan sinar bulan kuning kehijauan. Di tepi sebuah hutan, tak jauh dari perkemahan barisan pendekar yang dipimpin oleh Liu Pang, nampak dua orang duduk di atas rumput. Seorang pemuda dan seorang gadis. Tidak ada pemandangan yang lebih mesra, lebih menyenangkan dilihat dari pada sepasang muda-mudi bercengkerama di bawah sinar bulan, di tempat yang sunyi dan sejuk aman, pada saat yang amat romantis penuh damai.
Akan tetapi, asmara tidak selamanya mendatangkan kebahagiaan! Asmara antara pria dan wanita membutuhkan sambutan dari kedua pihak! Kalau hanya sepihak yang mencinta sedangkan pihak lain tidak, maka asmara mendatangkan sengsara, kekecewaan, patah hati!
Bahkan sambutan kedua pihak sajapun belum cukup. Banyak terjadi dua orang muda yang saling mencinta, yang bersumpah disaksikan Langit dan Bumi bahwa mereka akan saling mencinta sampai selamanya, kemudian bercerai kasih, bahkan cinta mereka berobah menjadi benci!
Cinta asmara seperti itu mengenal pula cemburu, mengenal kebosanan, karena cinta asmara seperti itu mengandung nafsu dan nafsu selalu didampingi oleh kebosanan. Demikian pula, kalau kita mengikuti percakapan antara pemuda dan gadis di tepi hutan itu di bawah sinar bulan, akan ternyata bahwa mereka tidaklah semesra seperti nampaknya.
"Nona Ho, betapa sempit dunia ini kalau kita bayangkan betapa sudah bertahun-tahun kita pernah bertemu secara kebetulan saja. Kemudian kita saling berpisah, bertahun-tahun lamanya, menempuh jalan hidup masing-masing, akan tetapi akhirnya kita saling berjumpa pula di sini, Aneh, bukan?"
Ho Pek Lian, dara itu, tersenyum mengangguk, "Kwee-taihiap...."
"Aih, jangan menyebutku taihiap (pendekar besar), nona."
"Hemm, aku tidak pernah dapat melupakan bahwa engkau dahulu adalah ketua lembah yang memimpin banyak orang gagah!"
"Lupakan saja hal itu, nona. Engkau sendiripun seorang pemimpin para pendekar yang berjuang, dan aku, selama menjadi murid suhu, tidak lagi mau mencampuri urusan perang. Aku adalah Kwee Tiong Li biasa, bukan pendekar besar bukan pula pejuang!"
"Baiklah, Kwee-toako. Akan tetapi apa sih anehnya pertemuan antara kita? Bagaimanapun juga, masih terdapat kesamaan antara kita, yang jelas, kita sama-sama menentang segala macam bentuk kejahatan. Tentu saja besar kemungkinan kita saling jumpa."
"Nona eh, sebaiknya kusebut adik padamu karena engkau menyebutku toako. Lian-moi, masih ingatkan engkau akan pertemuan kita yang pertama kali?"
Pek Lian tertawa. 'Tentu saja. Di sebuah rumah yang gelap, engkau membunuh beberapa orang perwira dan wah, engkau pernah membuat aku ketakutan."
"Akan tetapi, ada suatu hal yang takkan pernah kau ketahui atau kau duga."
"Apa itu, toako?"
"Bahwa pertemuan itu takkan pernah kulupakan selama hidupku, karena pada saat pertemuan itulah aku....aku jatuh cinta padamu, Lian-moi."
Ucapan yang membelok ke arah pernyataan cinta ini sungguh tak pernah disangka oleh Pek Lian. Ia terkejut sekali dan mengangkat muka memandang wajah pemuda yang duduk di sampingnya itu dengan mata terbelalak. Seorang pemuda yang tampan, bertubuh tegap, bermuka merah, berwibawa, pendiam dan pakaiannya sederhana.
Seorang pendekar tulen! Jatuh cinta padanya sejak pertemuan pertama itu? Seperti dalam dongeng saja, atau dalam mimpi. Akan tetapi, di dalam hatinya, Pek Lian menggeleng kepala dengan sedih. Sesungguhnya, seorang gadis seperti ia seharusnya berbahagia dicinta oleh seorang pendekar muda seperti Kwee Tiong Li dan betapa mudahnya membalas cinta seorang pemuda seperti ini.
Akan tetapi baginya tidak mungkin. Tidak mungkin ia membalas cinta pemuda ini karena karena memang tidak merasakan adanya cinta di dalam hatinya terhadap pemuda ini, melainkan hanya perasaan suka dan kagum sebagai sahabat belaka. Cinta hatinya sudah direnggut oleh oleh siapa? Ia sendiri masih bingung dan hal ini sering kali membuat ia gelisah dan tak dapat tidur.
Melihat gadis itu memandang kepadanya dengan pandang mata kaget lalu nampak termenung diam, Tiong Li menatap wajah itu penuh harapan. Betapa rindunya kepada Pek Lian. Rasa cinta dan rindunya dipendam selama bertahun-tahun dan dia merasa bahwa kini tiba saatnya untuk berterus terang. Hatinya diliputi kekhawatiran dan harapan.
"Lian-moi, maafkan aku. Sudah terlalu lama aku menyimpan rahasia hatiku ini, dan biarlah kini kubukakan kepadamu. Aku cinta padamu, Lian-moi, dan suhu juga menyetujui perasaanku terhadap dirimu. Kalau saja engkau sudi menerima cintaku."
"Cukup, toako, harap jangan dilanjutkan. Maafkan aku toako, akan tetapi aku tidak mungkin dapat menerima cintamu bukan aku tidak menghargainya, aku amat berterima kasih bahwa engkau suka memperhatikan diriku, akan tetapi...." Ia tidak dapat melanjutkan dan menundukkan mukanya, jantungnya berdebar gelisah menanti reaksi penolakannya itu dari Tiong Li.
Hening sejenak. Bukan keheningan yang menyejukkan hati lagi bagi keduanya. Bagi Pek Lian, keheningan itu menggelisahkan hati dan bagi Tiong Li keheningan itu merupakan suatu kesepian yang membuatnya terpencil menyedihkan hati. Ketika Pek Lian merasa hampir tidak dapat lebih lama lagi menahan himpitan kegelisahan dalam keheningan itu, terdengar suara Tiong Li, lirih dan agak gemetar,
"Lian-moi, apakah... apakah sudah ada orang lain?"
Pertanyaan yang sama inipun sering kali menghantui hati Pek Lian dan ia sendiripun belum dapat menjawab dengan tepat. Akan tetapi ia pikir lebih baik mengiyakan saja agar Tiong Li tidak perlu memperpanjang harapan hatinya. Maka iapun mengangguk, kemudian menyusulkan ucapan lirih, "....maafkan aku, toako."
Tiong Li tersenyum dan Pek Lian hanya berani memandang sekilas saja karena melihat betapa getirnya senyum itu. "Tidak apa, Lian-moi. Sudah dapat kuduga dan tidak mengherankan. Seorang dara seperti engkau ini tentu banyak pemuda yang jatuh cinta. Akan tetapi, seorang laki-laki harus memiliki keberanian untuk mencoba dan membuka isi hatinya, seperti halnya menghadapi seorang lawan tangguh, soalnya hanya kalah atau menang, dan aku.... aku telah kalah.... engkaulah yang harus memaafkan kelancanganku dan selamat tinggal, Lian-moi, mudah-mudahan kelak kita akan dapat bertemu lagi dalam keadaan yang lebih menggembirakan!" Pemuda itu bangkit berdiri dan ketika Pek Lian juga berdiri, dia menjura dengan hormat, lalu pergi.
"Toako, engkau hendak ke mana?"
Tiong Li menoleh dan tersenyum lagi. "Pergi bersama suhu. Sampai jumpa..." Dan diapun pergi meninggalkan Pek Lian yang termangu-mangu.
Pek Lian tentu akan lebih lama tenggelam dalam lamunannya dengan hati sedih kalau tidak muncul seorang perajurit yang melaporkan kepadanya bahwa Seng Kun dan Bwee Hong telah pulang dan kini gurunya, Liu Pang, memanggilnya. Mendengar ini, hati Pek Lian girang sekali dan ia cepat-cepat pergi ke perkemahan besar di mana ia melihat Seng Kun, Bwee Hong, dan Liu Pang bersama semua pembantunya telah berkumpul mendengarkan pelaporan kakak beradik itu.
Pek Lian segera merangkul Bwee Hong dan duduk di sebelah gadis itu, mendengarkan pula penuturan kakak beradik yang berhasil baik dengan tugas me-reka itu. Akan tetapi, ia mengerutkan alisnya ka-rena tidak melihat adanya A-hai bersama mereka!
"Di mana... di mana A-hai?" tanyanya kepada Bwee Hong sambil berbisik.
"Kau dengarkan saja, nanti koko tentu akan menceritakan tentang dia," bisik Bwee Hong kembali.
Seng Kun menceritakan semua pengalamannya, tentang keadaan kota raja yang dikepung oleh pasukan Chu Siang Yu, tentang pertemuan mereka dengan Chu Siang Yu yang kemudian mengajak mereka bertiga berkunjung, kemudian tentang kemunculan Raja Kelelawar dan anak buahnya untuk mengacau perkemahan Chu Siang Yu akan tetapi akibatnya hampir saja raja iblis dan anak buahnya itu celaka. Akhirnya dia menceritakan tentang A-hai yang begitu bertemu dengan Raja Kelelawar lalu kumat dan melakukan pengejaran seorang diri.
Mendengar penuturan yang hebat menegangkan itu, semua orang termangu-mangu. Terutama sekali Liu Pang dan juga Pek Lian, walaupun antara guru dan murid ini terdapat perbedaan sebab yang membuat mereka termangu. Liu Pang termangu membayangkan kekuatan musuh, sedangkan Pek Lian termenung karena mengkhawatirkan kepergian A-hai yang melakukan pengejaran terhadap Raja Kelelawar seorang diri saja!
Sementara itu, Yap Kiong Lee yang tentu saja paling tertarik mendengar kemunculan Raja Kelelawar, ketika mendengar tentang A-hai, menggeleng kepala. "Hebat, hebat! Saudara A-hai itu memang memiliki ilmu kepandaian simpanan yang amat dahsyat. Akan tetapi Raja Kelelawar pun merupakan seorang iblis yang sakti. Aku pernah menghadapi keduanya dan tingkat kepandaian mereka memang jauh di atas tingkatku. Sungguh, aku ingin sekali dapat menyaksikan pertarungan di antara keduanya, tentu akan hebat bukan main!"
Semua orang yang mendengar ucapan Yap Kiong Lee ini menarik napas panjang penuh kagum. Pemuda she Yap yang mereka banggakan dan mereka anggap paling lihai itupun masih mengaku kalah terhadap Raja Kelelawar!
"Hemm, baiknya raja iblis itu mengacau perkemahan Chu Siang Yu, bukan perkemahan kita!" kata seorang di antara mereka dengan ngeri.
Liu Pang yang sejak tadi menundukkan muka dengan alis dikerutkan, lalu berkata, "Kita harus berhati-hati. Kalau dibandingkan, di antara kekuatan pemerintah, kekuatan pemberontak Chu Siang Yu dan kekuatan kita, maka kekuatan kita adalah yang paling lemah. Kita harus mengatur siasat sebaik-baiknya agar sekali pukul merupakan pukulan terakhir yang berhasil baik."
Mereka bermusyawarah dan akhirnya diambil keputusan bahwa mereka akan membiarkan dua kekuatan itu saling hantam sampai seorang di antaranya kalah dan yang lain, biarpun menang, tetap saja berkurang kekuatannya. Saat itulah mereka akan menggempur pihak yang menang. Siasat ini mereka namakan MEMBIARKAN DUA EKOR ANJING MEMPEREBUTKAN TULANG, yang dimaksudkan bahwa dua ekor anjing itu adalah pihak kerajaan dan pihak Chu Siang Yu. Kalau dua ekor anjing itu sudah kelelahan dan yang seekor mati, mudah untuk membunuh yang ke dua.
Setelah pertemuan dibubarkan untuk memberi waktu istirahat kepada semua orang, Seng Kun dan Bwee Hong bercakap-cakap dengan Yap Kiong Lee yang masih merasa tertarik sekali mengenai diri A-hai dan Raja Kelelawar. Dalam kesempatan ini, Seng Kun menceritakan bahwa dia pernah bertemu dengan ayah angkat atau guru pendekar itu, ialah Yap Cu Kiat atau Yap-lojin ketika orang tua itu melindungi putera mahkota yang hendak dibunuh oleh kaisar muda.
"Yap-locianpwe itu pergi mencari sisa pasukan Jenderal Beng," demikian Seng Kun menutup ceritanya. "Akan tetapi eh, kenapa dalam pertemuan tadi aku tidak melihat Kwa locianpwe ketua Tai-bong-pai?"
"Benar! Akupun tadi sudah heran kenapa tidak melihat adik Siok Eng!" Bwee Hong bertanya. Adik ini tahu bahwa sang kakak sesungguhnya mencari dan kehilangan gadis manis puteri ketua Tai-bong-pai itu!
Yap Kiong Lee tersenyum. "Aih, hampir aku lupa. Beliau sekeluarga telah pergi dan menitipkan surat untukmu." Dia lalu mengeluarkan sesampul surat dari saku bajunya dan diserahkan kepada Seng Kun. Pemuda ini tidak segera membacanya. Entah bagaimana, biarpun surat itu datangnya dari ketua Tai-bong-pai, karena ketua itu ayah Siok Eng, dia merasa malu membukanya di depan orang lain! Dan untuk menutup rasa malunya, dia membelokkan percakapan dan bertanya.
"Dan akupun tidak melihat Kam lo-cianpwe dan Kwee Tiong Li!"
"Merekapun sudah berangkat pergi, baru saja sebelum kalian berdua datang," jawab yang ditanya.
Mereka berpisah dan pergi ke kemah masing-masing yang sudah disediakan untuk mereka. Setelah berduaan dengan adiknya, baru surat itu dibuka oleh Seng Kun dan isinya ternyata merupakan surat undangan! Dengan resmi, ketua Tai-bong-pai sekeluarga mengundang tuan penolong mereka, Seng Kun dan Bwee Hong, untuk berkunjung ke tempat mereka sesudah kakak beradik itu menyelesaikan semua urusan mereka.
Membaca surat undangan itu, Bwee Hong berkata, "Kun-ko, kita harus menemui ayah dahulu sebelum pergi mengunjungi mereka."
Mendengar nada suara adiknya, Seng Kun memandang. "Maksudmu?"
"Kita harus pergi bersama ayah ke sana untuk meminang adik Siok Eng!"
Seng Kun menarik napas panjang. "Matamu tajam sekali, adikku. Memang, aku tertarik kepadanya. Hanya sayang ayahnya ketua Tai-bong-pai."
"Hemm, apa hubungannya hal itu dengan kalian berdua kalau kalian saling mencinta?"
"Engkau melupakan ayah kita? Ayah adalah seorang bangsawan, seorang pendeta pula. Aku sangsi apakah beliau suka berbesan dengan ketua Tai-bong-pai."
Bwee Hong terdiam dan melihat wajah kakaknya yang muram, ia merangkul, "Koko, jangan khawatir, aku akan membantumu membujuk ayah kalau tiba saatnya."
"Engkau adikku yang baik. Mudah-mudahan engkaupun akan berbahagia kelak dengan... dia!"
Malam itu, Bwee Hong tidur bersama Pek Lian. Keduanya mempunyai rahasia hati, akan tetapi tidak mau saling menceritakan. Bahkan Pek Lian tidak berani bercerita tentang peristiwa yang di-alaminya bersama Tiong Li malam tadi.
Semua perhitungan yang dilakukan oleh Chu Siang Yu yang ahli dalam ilrnu perang itu ternyata berjalan seperti yang digambarkannya. Benteng kota raja diserbu. Pasukannya dibantu pasukan asing dari utara dan barat yang besar jumlahnya. Biarpun kota raja dilindungi oleh datuk-datuk kaum sesat, akan tetapi tidak mampu menahan gelombang pasukan yang amat besar itu dan akhirnya benteng itupun jatuh. Dan sesuai dengan watak para penjahat, begitu mereka tidak ada harapan lagi, para datuk itupun melarikan diri entah ke mana!
Ketika Chu Siang Yu dan para pembantu pilihannya menyerbu istana, mereka menemui perlawanan gigih. Kaisar yang jangkung itu dilindungi oleh datuk-datuk sesat seperti Pek-pi Siauw-kwi, Jai-hwa Toat-beng-kwi, Sin-go Mo Kai Ci, San-hek-houw dan masih banyak lagi tokoh-tokoh dunia sesat yang jumlahnya duapuluh orang lebih. Mereka ini mengadakan perlawanan gigih dan ketika keadaan mendesak, kaisar sendiri yang maju membela diri dan Chu Siang Yu bersama para pembantunya menghadapi suatu kejutan yang hebat.
Kiranya kaisar itu amat lihai, bahkan jauh lebih lihai dari pada para pengawalnya, lebih lihai dari pada penjahat besar seperti San-hek-houw sendiri! Banyak sekali perajurit yang roboh dan tewas di tangan kaisar dan para pengawalnya ini. Anehnya, Raja Kelelawar sendiri tidak pernah keluar dan agaknya raja iblis yang licik itu siang-siang sudah melarikan diri dari istana!
Akan tetapi ketika Chu Siang Yu dan beberapa orang bekas komandan pengawal termasuk Kim I Ciangkun dan Gin I Ciangkun ikut mengeroyok dan berhasil mendekati kaisar, barulah mereka tahu bahwa kaisar yang amat lihai ini ternyata bulanlah kaisar muda yang diangkat oleh para menteri durna sebagai pengganti kaisar tua yang telah meninggal!
Karena memakai pakaian kaisar, maka hampir sama. Akan tetapi orangnya sama sekali bukan! Ini adalah kaisar palsu! Keadaan menjadi geger ketika Kim I Ciangkun berteriak-teriak mengatakan bahwa kaisar adalah kaisar palsu!
"Bedebah engkau!" bentak kaisar itu dan tangannya menyambar ke depan. Kim I Ciangkun dibantu oleh Gin I Ciangkun menyambut, mengerahkan sinkang mereka dan keduanya mempergunakan Hui-ciang dan Swat-ciang yang menjadi andalan mereka.
"Dessss!" Hantaman kedua tangan kaisar itu disambut oleh dua orang komandan ini dan akibatnya, dua orang komandan itu terlempar dan terbanting roboh dengan mata mendelik dan napas putus! Hal ini tentu saja menggegerkan pihak penyerbu. Dua orang komandan itu amat lihai dan kuat, akan tetapi sekali pukul tewas oleh kaisar asing ini!
Chu Siang Yu memberi aba-aba dan masuklah ratusan orang perajurit pilihan menyerbu istana. Melihat ini, kaisar memberi isyarat dan bersama para pengawalnya, dia berhasil membuka jalan berdarah dan meloloskan diri melalui pintu belakang. Di antara puluhan orang pengawal dan anak buahnya hampir setengahnya roboh dan tewas, akan tetapi kaisar itu sendiri berhasil lolos menyelamatkan diri.
Perlawanan para pengikut kaisar akhirnya dapat dilumpuhkan dan Chu Siang Yu berhasil menguasai istana. Dua orang pembesar durna yang menjadi biang keladi semua kekeruhan pemerintah, yaitu kepala thaikam yang bernama Chao Kao bersama sekutunya, Perdana Menteri Li Su yang korup, ditangkap dan tidak sempat diadili karena mereka berdua dikeroyok, dipukuli, ditendangi dan diinjak-injak sehingga mereka tewas dalam keadaan yang mengerikan sekali. Mayat mereka menjadi dua onggok daging dan tulang-tulang remuk.
Karena merasa heran melihat betapa kaisar muda yang amat lihai dan berhasil melarikan diri itu ternyata bukan kaisar aseli, Chu Siang Yu mengadakan penyelidikan. Dari pengakuan para tawanan dia mendengar bahwa kaisar muda yang menggantikan kaisar lama diam-diam telah dibunuh dengan racun oleh Chao Kao dan kaki tangannya, kemudian bersama Li Su dan para pembesar pengkhianat lainnya, diam-diam mereka mengangkat seorang kaisar baru, yaitu kaisar yang amat lihai ilmu silatnya tadi.
Chu Siang Yu menggeleng-geleng kepala. Tak disangkanya sampai sejauh itu pengkhianatan yang dilakukan oleh para menteri korup. Yang amat mengherankan hatinya adalah tidak munculnya Ra]a Kelelawar dalam penyerbuan di istana itu. keadaan yang mengerikan sekali. Apa gerangan yang telah terjadi dengan raja iblis itu? Dia teringat betapa pemuda aneh yang kumat itu melakukan pengejaran terhadap Raja Kelelawar, apakah pemuda itu berhasil membunuhnya?
Banjir darah terjadi di kota raja, sejak dari pintu benteng sampai ke dalam istana. Tak terhitung banyaknya manusia yang tewas, menjadi korban perang yang amat ganas itu. Dan mereka yang menang perang berpesta-pora di atas tanah yang masih berlumur darah, baik darah musuh maupun darah rekan-rekan mereka sendiri. Selagi hawa kematian masih mengotori kota raja, Chu Siang Yu dan pasukan-pasukannya, bersama para sekutunya, yaitu pasukan-pasukan asing, merayakan pesta kemenangan dengan meriah sekali.
Akan tetapi, seperti biasa terjadi dalam perang, pesta kemenangan ini bukan tidak terjadi bersama peristiwa-peristiwa mengerikan dan menyedihkan bagi para penduduk. Para perajurit yang merasa menang perang mulai bertindak sewenang-wenang. Manusia, di bagian dunia yang manapun, selalu condong untuk menciptakan kekuasaan dalam kemenangan, dan mempergunakan kekuasaan itu untuk bertindak sewenang-wenang.
Para perajurit yang mabok-mabokan itu berkeliaran di antara rumah para penduduk, dan tidak ada harta benda dan wanita-wanita yang lolos dari gangguan mereka. Terjadilah perampokan, perkosaan dan pembunuhan terhadap mereka yang melawan. Terutama sekali para perajurit pasukan asing dari utara yang memang ganas dan liar itu segera memperebutkan para wanita penduduk kota raja, tidak perduli wanita itu cantik atau buruk, muda ataupun tua.
Bukan hanya wanita-wanita penduduk kota raja yang menjadi sasaran. Juga keluarga para pembesar, para dayang istana, para puteri yang cantik-cantik dijadikan rebutan. Banyak peristiwa perkosaan dan pembunuhan keji terjadi di depan mata perajurit pribumi sendiri, dan bagaimanapun juga, perasaan setia kawan sebangsa membuat para perajurit pribumi menjadi marah.
Mulailah terjadi bentrokan-bentrokan antara para perajurit pribumi melawan perajurit asing itu. Mula-mula memang bentrokan kecil saja antara perajurit, memperebutkan wanita atau harta benda, akan tetapi bentrokan pribadi disusul bentrokan kelompok dan golongan, kemudian bentrokan antara pasukan!
Para pimpinan pasukan tidak berhasil melerai, bahkan mereka terseret dan terjadilah pertempuran secara terbuka! Pesta kemenangan yang dirayakan selama dua tiga hari itupun kini berobah menjadi pesta pertempuran yang makin lama semakin hebat, seolah-olah berobah menjadi perang terbuka! Kembali kota raja dilanda pertempuran hebat yang mengorbankan lebih banyak lagi jiwa manusia.
Melihat ini, Chu Siang Yu mengerahkan pasukan-pasukannya dan dia tidak bertindak kepalang tanggung. Dia melihat betapa pasukan asing yang tadinya menjadi sekutunya itu amat tamak dan kalau dibiarkan kelak hanya akan menjadi pengganggu jalan pemerintahannya saja.
Ternyata orang-orang asing itu amat tamak dan menuntut terlalu banyak dari jasa bantuan mereka. Siapa tahu kelak malah akan merampas kedudukannya, maka sebelum hal-hal yang lebih buruk terjadi, lebih baik basmi saja mereka. Kesempatan baik terbuka dan alasannyapun cukup kuat, yaitu dengan adanya permusuhan-permusuhan antara pasukan mereka.
Terjadilah pertempuran hebat dan dalam waktu dua hari dua malam, pasukan asing itu dapat dibasmi habis karena memang tentu saja jumlah mereka jauh kalah banyak dibandingkan dengan pasukan Chu Siang Yu. Walaupun demikian, dalam gerakan pembasmian ini, Chu Siang Yu kehilangan banyak sekali perajurit sehingga tentu saja kekuatan barisannya menjadi jauh berkurang.
Apa lagi sisa pasukannya juga menjadi lelah kehabisan tenaga karena baru saja mengerahkan tenaga menyerbu kota raja, harus disusul pula dengan pertempuran hebat dan melelahkan melawan pasukan asing bekas sekutu mereka itu.
Semua peristiwa yang terjadi di kota raja itu tentu saja tidak pernah lepas dari pengintaian Liu Pang. Tentu saja hati Liu Pang gembira bukan main melihat perkembangan yang sama sekali tidak diduganya dan amat menguntungkan pihaknya itu. Maka diapun menahan diri dan membiarkan Chu Siang Yu berhantam sendiri dengan sekutunya sampai pasukan-pasukan asing itu terbasmi habis.
Selagi pasukan-pasukan Chu Siang Yu kelelahan, tiba-tiba saja Liu Pang menggerakkan barisannya yang sudah beristirahat selama lima hari dan berada dalam keadaan segar bugar, menyerbu pintu gerbang kota raja yang terjaga oleh pasukan-pasukan yang kelelahan. Kembali terjadi perang yang paling hebat di antara perang yang lalu. Kota raja yang porak-poranda itu menjadi semakin hancur.
Chu Siang Yu yang sedang mabok kemenangan itu tentu saja kaget setengah mati. Cepat dia mengumpulkan para pembantunya untuk mengatur pertahanan. Akan tetapi, mana mungkin pasukannya yang sudah banyak berkurang jumlahnya itu, yang sedang berada dalam kelelahan dan kehabisan tenaga, mampu menandingi kekuatan pasukan para pendekar yang jumlahnya besar dan keadaan jasmaninya segar bugar itu? Apa lagi karena penduduk segera menyambut pasukan Liu Pang ini sebagai pasukan pembebas, dan para penduduk mendukung dan membantunya.
Liu Pang melakukan penyerbuan di pagi buta. Tidak sukar bagi pasukannya untuk meruntuhkan pintu gerbang dan terjadilah pertempuran terbuka di seluruh kota raja. Pertempuran besar yang amat mengerikan dan terjadi selama sehari penuh. Ketika matahari sudah condong ke barat, pasukan Chu Siang Yu hampir seluruhnya tersapu bersih.
Mayat-mayat berserakan dan bergelimpangan di lorong-lorong, di jalan-jalan, di halaman-halaman rumah penduduk, bercampur baur dengan mayat-mayat pasukan asing yang kemarin mereka bantai dan belum sempat disingkirkan. Keadaan ini sungguh mendirikan bulu roma.
Laporan demi laporan tentang kekalahan yang diderita pasukannya membuat Chu Siang Yu merasa benar-benar terpukul hancur batinnya. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa perjuangannya yang bertahun-tahun lamanya, yang mengorbankan puluhan ribu nyawa pasukannya, yang diperjuangkannya dengan susah payah melalui air mata, peluh dan darah, kini setelah tiba di ambang keberhasilan yang gemilang, ternyata menghadapi kehancuran! Penguasaan kota raja dan istana hanya dapat dinikmatinya dalam waktu beberapa hari saja!
Seluruh pengawal dan pasukan di istana telah dikerahkan membantu keluar. Kini tinggallah Chu Siang Yu berdua dengan isterinya di istana, ditemani tujuh orang pengawalnya yang berpakaian putih mengkilap. Sore hari itu, setelah mendengar laporan terakhir bahwa pasukannya sudah hampir terbasmi habis, Chu Siang Yu mengenakan pakaian perang dan duduk menghadapi meja makan ditemani isterinya yang cantik. Mereka makan minum dan kelihatannya gembira, walaupun wajah isterinya yang cantik itu pucat sekali dan matanya basah.
"Isteriku, kenapa engkau menangis? Segala sesuatu di dunia ini hanya ada dua macam, baik atau buruk, terang atau gelap, menang atau kalah. Yang dua itu selalu datang bergantian, bergilir. Ada waktunya terang ada waktunya gelap, ada waktunya menang ada waktunya kalah, seperti juga ada waktunya hidup ada waktunya mati. Kita harus berani menghadapi kenyataan, baik maupun buruk. Mari kita makan minum sepuasnya, isteriku, siapa tahu untuk yang terakhir kali."
Mendengar ucapan terakhir itu, isterinya bangkit dan menubruknya sambil menangis. Chu Siang Yu merangkul dan menciumi isterinya yang tercinta, diam-diam merasa bersyukur bahwa mereka tidak mempunyai anak. Sungguh akan membingungkan sekali kalau mereka harus menghadapi kegagalan seperti ini bersama anak-anak mereka.
"Sudahlah, tenangkan hatimu. Ingat bahwa aku adalah keturunan keluarga panglima, bahwa aku seorang pemimpin yang harus berani menghadapi segala kegagalan. Aku akan keluar memimpin sendiri sisa pasukanku menghadapi musuh."
Wanita itu bangkit dan menyusut air matanya, lalu berkata dengan sikap gagah, "Aku ikut dan akan membantumu!"
"Ah, jangan, isteriku. Engkau tinggallah di sini. Liu Pang adalah seorang gagah, dia pasti akan melindungimu dan tidak akan membolehkan orang mengganggumu."
"Tidak! Mati hidup aku harus berada disampingmu!"
"Jangan, isteriku. Apakah engkau akan membuat suamimu ini menjadi buah tertawaan orang? Apa akan kata mereka? Lihat, Chu Siang Yu tidak berani maju perang tanpa diantar isterinya! Maukah engkau melihat aku menjadi bahan ejekan?"
Isterinya menangis dan merangkul suaminya, tidak mau melepaskah lagi. Beberapa orang dayang juga menangis sambil berlutut, sedangkan tujuh orang pengawalnya, yaitu barisan Jit-seng-tin yang lihai itu, memandang dengan termangu-mangu. Mereka merasa terharu, akan tetapi mereka adalah perajurit-perajurit yang keras hati dan tidak mau membiarkan diri diseret kelemahan perasaan.
Akhirnya, setelah beberapa kali mencium isterinya dengan penuh kemesraan dan kecintaan hatinya, Chu Siang Yu dengan halus merenggutkan dirinya terlepas dari rangkulan isterinya, memberi isyarat kepada Jit-seng-tin lalu meninggalkan ruangan istana itu tanpa menoleh lagi karena dia mendengar isterinya menangis sesenggukan bersama para dayang.
Pemimpin pemberontak ini melangkah lebar diikuti tujuh orang pengawalnya, kemudian menunggang kuda dan menyerbu keluar, mengamuk! Hebat bukan main sepak terjang Chu Siang Yu dan Jit-seng-tin dan akhirnya mereka bertemu dengan rombongan Liu Pang sendiri!
Terjadilah pertempuran yang amat seru, akan tetapi karena Liu Pang dibantu orang-orang pandai seperti dua saudara Yap, Pek Lian dan lain-lain, akhirnya seorang demi seorang dari Jit-seng-tin roboh dan tewas. Melihat, betapa para pengawalnya tewas dan pertempuran di sekitar tempat itu berhenti karena sisa anak buah pasukannya banyak yang menyerah, Chu Siang Yu menjadi semakin sedih.
"Jangan bunuh dia! Tangkap hidup-hidup karena aku mengagumi kegagahannya!" Liu Pang berseru kepada para pembantunya dan kini Chu Siang Yu dikepung. Pemimpin ini maklum bahwa melawan terus tidak mungkin. Dia tentu akan kewalahan dan akhirnya dapat ditangkap sebagai tawanan.
"Seorang perajurit sejati lebih baik mati dari pada hidup menjadi tawanan!" teriaknya dan pedangnya berkelebat.
Liu Pang dan para pembantunya terkejut akan tetapi mereka tidak sempat mencegah lagi. Tubuh Chu Siang Yu terguling dari atas kudanya dalam keadaan tak bernyawa karena pedangnya telah menggorok lehernya sendiri! Liu Pang berdiri memandang jenazah yang berlumuran darah itu dengan hati trenyuh lalu dia memesan pengawalnya untuk mengurus baik-baik jenazah pemimpin itu.
"Serahkan jenazah dalam peti yang baik kepada keluarganya yang mungkin masih berada di istana, agar dapat disembahyangi," katanya.
Akan tetapi, ketika dia dan para pembantunya menyerbu istana, tidak terdapat perlawanan sama sekali. Di sebuah ruangan depan, mereka menemukan isteri Chu Siang Yu dan duabelas orang dayang menggeletak tak hernyawa. Melihat pisau belati menancap di dada masing-masing tahulah Liu Pang bahwa mereka itu semua membunuh diri, mungkin setelah mendengar akan tewasnya Chu Siang Yu.
Liu Pang makin terharu melihat peristiwa ini dan diapun memesan agar jenazah isteri pemimpin pemberontak itu dirawat sebagaimana mestinya. Mereka semua terus memasuki istana. Kosong! Istana yang masih porak poranda bekas tangan-tangan panjang yang merampoki benda-benda berharga itu nampak sunyi dan kosong, walaupun semua lampu dipasang. Agaknya para pengawal dan petugas yang tadinya berjaga di istana, semua telah dikerahkan keluar untuk membantu pasukan menahan serangan musuh.
Liu Pang memimpin para pembantunya terus masuk sampai ke balairung, ruangan luas di mana terdapat singgasana kaisar dan di mana kaisar biasa bersidang bersama semua pembesar atasan. Ruangan yang luas itupun sunyi, akan tetapi tiba-tiba Bwee Hong menuding ke depan sambil menahan jeritnya. Semua orang memandang dan terbelalak keheranan. Di atas singgasana, kursi kebesaran kaisar itu, duduk seorang pria yang agaknya sedang termenung seorang diri. Dan pria itu bukan lain adalah A-hai!
Tentu saja semua orang merasa heran bukan main. Pek Lian sudah meloncat ke depan, memandang terbelalak kepada pemuda itu. "Engkau...... engkau di sini? Bagaimana bisa berada di sini?"
Juga Seng Kun dan Bwee Hong meloncat maju, girang melihat pemuda itu yang amat mereka khawatirkan ternyata, dalam keadaan selamat di dalam istana, malah enak-enak duduk di atas singgasana kaisar!
"Saudara A-hai, bagaimana engkau tahu-tahu berada di sini?"
A-hai tersenyum dan bangkit berdiri dan kakak beradik yang bermata tajam itu dapat melihat dengan jelas betapa terjadi perobahan besar pada diri pemuda itu. Sikapnya yang seperti orang tolol atau bingung itu lenyap sama sekali dan kini sikapnya tenang, bahkan agung dan berwibawa. Matanya bersinar tajam dan wajahnya berseri gembira melihat rombongan Liu Pang, apa lagi melihat Pek Lian, Bwee Hong dan Seng Kun.
"Nona Lian, panjang ceritanya bagaimana aku dapat berada di sini," jawabnya kepada Pek Lian, kemudian dia menjura kepada Seng Kun dan Bwee Hong sambil berkata, "Sahabat Kun dan nona Hong, berkat pengobatan kalian berdua yang amat berharga, kini aku dapat mengingat semua hal dan ingatanku pulih kembali. Banyak terima kasih atas segala budi kebaikan kalian berdua." Sebelum tiga orang muda itu sempat menjawab, dia sudah menjura kepada Liu Pang, "Liu-bengcu, saya menghaturkan selamat atas kemenangan bengcu dan para pendekar."
Liu Pang balas menjura dan biarpun wajahnya berseri, namun dia menarik napas panjang dan mengerutkan alisnya. "Ah, kemenangan yang berlumuran darah. Entah berapa laksa orang gagah yang harus mengorbankan nyawanya, negara ini baru dapat dibebaskan dari cengkeraman orang-orang jahat setelah dicuci oleh darah para pendekar."
Diam-diam Seng Kun, Bwee Hong, dan Pek Lian ingin sekali mendengar apa yang telah terjadi antara A-hai dan Raja Kelelawar, akan tetapi karena suasana yang demikian sibuknya, mereka belum sempat bertanya.
Kemenangan gemilang itu tentu saja disambut dengan pesta lagi oleh Liu Pang dan pasukannya. Akan tetapi, Liu Pang adalah seorang pemimpin yang baik. Dia tidak mau mengulang kesalahan yang diperbuat Chu Siang Yu. Dia mengeluarkan peraturan keras dan melarang perajurit-perajuritnya untuk berbuat sewenang-wenang. Para pendekar yang membantunya bertugas melakukan pengawasan. Juga dia tidak mabok kemenangan.
Dibentuknya pasukan-pasukan baru yang bertugas mengadakan pembersihan terhadap musuh-musuh yang masih berkeliaran, juga ada pasukan yang bertugas memperbaiki semua kerusakan dan penjagaan terhadap keamanan di kota raja juga diperkuat. Rakyat merasa aman terlindung sehingga mereka menyambut kemenangan Liu Pang dengan gembira, dianggap sebagai kemenangan mereka sendiri pula, kemenangan yang baik terhadap yang jahat.
Karena itu, yang bergembira dan berada dalam keadaan berpesta ria bukan hanya Liu Pang dan pasukannya, melainkan seluruh penghuni kota raja. Orang-orang bersuka ria, di jalan-jalan, di warung-warung, di rumah-rumah, dengan pemasangan kembang api dan petasan. Pada keesokan harinya, dengan meriah Liu Pang dinobatkan sebagai kaisar baru secara resmi.
Yang mengepalai upacara resmi penobatan Liu Pang sebagai kaisar ini bukan lain adalah Bu Hong Seng-jin, kepala kuil istana Thian-to-tang yang sudah dibebaskan dari dalam penjara bersama banyak sekali pejabat tinggi lainnya. Para pejabat tinggi yang rata-rata pandai dan jujur ini oleh Liu Pang dibebaskan dan diberi kedudukan tinggi sesuai dengan kepandaian masing-masing.
Tentu saja Seng Kun dan Bwee Hong hadir pula dalam penobatan kaisar yang di-pimpin upacaranya oleh ayah kandung mereka itu. Juga A-hai, Pek Lian, Yap Kiong Lee, Yap Kim dan para pembantu lain hadir semua dengan wajah berseri gembira.
Dengan dinobatkannya Liu Pang menjadi Kaisar Han Kao Cu, maka berdirilah wangsa baru yang disebut Wangsa Han (tahun 202 Sebelum Masehi). Kaisar Han Kao Cu segera membagi-bagi hadiah kepada para pembantunya. Mereka diberi kedudukan dan tanah dengan pangkat yang tinggi sesuai dengan kepandaian dan jasa mereka. Penobatan kaisar dan pangkat para pembantunya itu tentu saja disusul dengan pesta yang meriah.
Yap Kim yang menjadi tangan kanan Liu Pang di waktu akhir-akhir ini, oleh kaisar Han Kao Cu diangkat menjadi panglima kerajaan, sedangkan Yap Kiong Lee yang tidak mau menerima pangkat itu diangkat sebagai penasihat tanpa kedudukan tetap, akan tetapi mempunyai tanda kekuasaan berupa pedang pusaka hadiah kaisar dan cap kebesaran sebagai penasihat!
Bu Hong Seng-jin masih tetap menjadi kepala kuil istana dan penasihat kaisar. Akan tetapi Seng Kun dan Bwee Hong dengan halus menolak pemberian pangkat, hanya menerima hadiah-hadiah dari kaisar berupa barang-barang berharga dan indah sebagai hasil sitaan dalam istana. Banyak sekali harta kekayaan yang disita dari istana, terutama sekali harta pusaka yang telah ditimbun oleh mendiang Perdana Menteri Li Su, sungguh luar biasa banyaknya sampai tak terhitung. Demikian pula harta kekayaan dari mendiang Thaikam Chao Kao amatlah besar.
Semua orang bergembira ria, agaknya sudah lupa bahwa kota raja yang sudah nampak bersih itu masih berbau darah, dan ribuan orang masih menderita karena luka-luka mereka di dalam pertempuran. Sewaktu semua orang bersuka ria di pagi hari esoknya, A-hai meninggalkan istana yang sedang dalam keadaan pesta itu secara diam-diam dan dia berjalan seorang diri menyusuri jalan-jalan yang juga amat ramai dengan penduduk yang ikut pula merayakan penobatan kaisar baru.
Dia melangkah perlahan-lahan seperti orang termenung, tidak menengok ke kanan kiri, bahkan tidak melihat semua keramaian itu. Karena itu, diapun tidak memperhatikan dan tidak tahu bahwa ada seorang wanita diam-diam membayanginya dari jauh. Wanita ini bukan lain adalah Chu Bwee Hong! Dara ini belum juga memperoleh kesempatan untuk bercakap-cakap dengan A-hai semenjak mereka bertemu di dalam istana.
Keadaan terlalu sibuk dan Bwee Hong sendiripun bersama kakaknya sibuk menangani pembebasan ayah kandungnya dan kemudian menghabiskan waktu mereka untuk bercakap-cakap dengan ayahnya. Kemudian disusul kesibukan ayahnya yang memimpin upacara pengangkatan kaisar baru, maka biarpun hatinya ingin sekali dapat bicara dan berduaan dengan A-hai, namun kesempatan belum terbuka.
Oleh karena itu, ketika Bwee Hong melihat A-hai keluar dari ruangan pesta dan berjalan sendirian, iapun diam-diam membayangi dari jauh, ingin sekali tahu ke mana pemuda itu hendak pergi dan mengapa pula agaknya hendak menyingkir dari orang banyak. Sejak pertemuan mereka di istana itu, Bwee Hong selalu memperhatikan A-hai ketika bertemu.
Dan ia melihat bahwa biarpun A-hai kini sudah berobah, bukan seorang yang nampak tolol lagi, akan tetapi pria perkasa itu seperti kehilangan kegembiraannya dan selalu wajahnya diliputi mendung, seolah-olah perasaannya sedang menderita suatu kesedihan yang tidak diketahuinya.
A-hai berjalan terus menuju ke pinggir kota yang sepi, di antara sawah ladang yang pada hari itu ditinggalkan semua orang yang sibuk bersuka ria. Akhirnya dia berhenti di sebuah ladang dan duduk di atas batu dekat selokan air sawah yang kecil, duduk termenung seperti patung. Angin bersilir menggerakkan rambut dan ujung pakaian-nya. Hanya itu yang bergerak, sedangkan tubuh pria itu sendirian sama sekali tidak bergerak.
Sampai beberapa lamanya Bwee Hong mengintai dan berdiri agak jauh di belakang batang pohon, memandang kepada A-hai. Akhirnya ia tidak tahan melihat pemuda itu diam seperti patung dan dengan hati-hati agar jangan mengejutkan pemuda itu, ia menghampiri.
Tiba-tiba A-hai menggerakkan tangannya dan Bwee Hong menahan langkah, lalu menyelinap lagi bersembunyi di antara batang-batang pohon yang malang melintang karena ada batang pohon yang tumbang. Ia mengintai, ingin tahu apa yang akan dilakukan pemuda itu.
Ternyata A-hai hanya menggerakkan tangan kanan mengambil sebuah boneka batu kemala dari saku jubahnya. Bwee Hong mengenal betul boneka itu dan iapun memandang penuh perhatian. Kini A-hai menarik napas panjang, memandangi boneka itu, lalu menciumnya satu kali dan menekankan boneka itu ke dadanya, kemudian dia memegang boneka itu dan menundukkan mukanya yang nampak sedih sekali.
Bwee Hong melihat semua ini dan iapun dapat menduga apa artinya semua itu. Ia dapat menduga bahwa boneka itu tentulah patung kecil dari seorang wanita yang amat dicinta oleh A-hai dan kini agaknya A-hai telah mengenal kembali siapa adanya wanita itu. Bwee Hong merasa betapa jantungnya seperti tertusuk, hatinya sedih tak te-rasa lagi beberapa tetes air mata membasahi pipinya dan tanpa disengaja kakinya membuat gerakan sehingga terdengar suara daun kering terinjak. Ia terkejut sendiri dan cepat menggunakan tangan menyusut air matanya.
Memang sedikit suara itu cukup bagi A-hai. Dia tahu bahwa ada orang di sebelah kirinya. Ketika dia mengerling dan melihat bahwa orang itu adalah Bwee Hong, dia terkejut sekali. "Nona Hong!" katanya dan diapun bangkit berdiri, cepat menghampiri dara itu dengan boneka masih dipegangnya.
Sejenak mereka berdiri saling berhadapan dan saling berpandangan. Pandang mata A-hai yang awas itu agaknya dapat melihat bekas air mata di bawah mata Bwee Hong, maka diapun bertanya dengan khawatir. "Engkau engkau menangis, nona?"
Mendengar pertanyaan ini, otomatis tangan Bwee Hong mengusap kedua matanya dan ia menggeleng tanpa menjawab.
"Akan tetapi aku melihat engkau seperti orang berduka, ada apakah, nona?"
"Aku tadi melihat engkau berjalan sendirian ke tempat ini dan aku diam-diam membayangimu. Kemudian aku melihat engkau duduk termenung, demikian sedih sehingga akupun ikut merasa sedih. Aku khawatir kalau-kalau penyakitmu kambuh kembali, saudara A…, eh, aku tidak berani lagi menyebutmu dengan nama sederhana itu."
Pria itu tersenyum pahit. "A-hai adalah nama kecilku, nona. Namaku adalah Souw Thian Hai!"
"Ah, jadi engkau benar Souw-kongcu itu? Dan boneka itu?"
"Ini patung isteriku. Ia sudah meninggalkan aku, sudah tewas dan anakku, anakku buntung pula lengannya." Pria itu mengerutkan alisnya dan wajahnya menjadi muram sekali.
Tentu saja Bwee Hong menjadi terkejut bukan main. Kiranya A-hai ini benar adalah Souw-kong cu yang sudah mempunyai anak isteri! Hampir saja air matanya runtuh kembali, akan tetapi kini ia menekan perasaannya dan memandang wajah pria itu dengan penuh rasa kasihan. Betapa banyak ia mengalami hal-hal yang hebat dengan pria ini.
Dan biarpun di lubuk hatinya ia merasa girang meihat A-hai telah sembuh dan kembali menjadi Souw Thian Hai, seorang pendekar yang gagah perkasa, namun pulihnya ingatan itu malah membenamkan pria ini ke dalam kedukaan. Dan pula, ia kehilangan sesuatu pada pandang mata pria ini. Dahulu, sebagai A-hai, pria ini memandangnya dengan sinar mata yang kadang-kadang amat mesra, penuh cinta!
"Engkau sungguh kasihan sekali, Souw-taihiap!" katanya dan tak terasa pula ia menjamah tangan kiri pria itu dengan hati terharu.
Jari-jari tangan kiri A-hai atau Souw Thian Hai menyambut dan sejenak digenggamnya tangan yang kecil itu dengan jari tangan mengandung getaran penuh perasaan, akan tetapi lalu dilepasnya kembali.
"Nona Hong, engkau sungguh seorang yang berhati mulia, bahkan engkau dan kakakmu telah menyembuhkan aku. Budimu terlampau besar, dan jangan sebut aku taihiap. Engkau penolongku, sahabatku yang kuhormati, dan..."
"Dan bagaimana? Mengapa tidak kau lanjutkan? Engkau tentu sudah tahu akan isi hatiku, perlukah kita menyembunyikan semuanya itu?" Ucapan Bwee Hong keluar dengan bibir gemetar dan kembali kedua matanya menjadi basah ketika ia memandang wajah pria yang dicintanya itu. Ya. ia telah jatuh cinta kepada A hai, dan biarpun kini ia tahu bahwa A-hai adalah pendekar Soiiw Thian Hai yang sudah duda dan mempunyai seorang anak perempuan, ia tidak mampu menyangkal perasaan hatinya sendiri.
Thian Hai menatap wajah dara itu, penuh kerinduan dan penuh kasih sayang kini, akan tetapi dia memalingkan muka, memandang patung di tangannya, lalu menggeleng kepalanya keras-keras. "Tidak! Tidak boleh! Engkau seorang dara mulia dan bangsawan tinggi, sedangkan aku aku.... seorang yang kesepian, kehilangan kebahagiaan, seorang duda yang sudah mempunyai seorang anak perempuan besar maafkan aku, nona Hong!"
Sebelum Bwee Hong mampu membantah, Thian Hai berkelebat lenyap dari tempat itu. Bwee Hong merasa seluruh tubuhnya menjadi lemas dan iapun menjatuhkan diri berlutut di atas tanah sambil menutupi muka dengan kedua tangannya. Isaknya terdengar lirih tertahan. Hatinya terasa pilu dan perih seperti disayat-sayat. Ia merasa yakin akan perasaan cintanya kepada Thian Hai, dan iapun tahu bahwa pria itu mencintanya!
Tadi, dalam pandangan yang sekejap saja, iapun sudah tahu akan isi hati Thian Hai. Akan tetapi, pria yang halus budi itu merasa dirinya terlalu rendah dan rela menjauhkan diri karena merasa tidak sederajat, kalah kedudukan dan sudah duda mempunyai anak lagi!
"A-hai ohh, A-hai!" Ia mengeluh lirih.
Tiba-tiba tangan yang gemetar menyentuh pundaknya. Ia cepat mengangkat muka dan ternyata Thian Hai sudah berdiri di belakangnya. Pria itu kembali! Bwee Hong cepat bangkit berdiri dan mereka saling berpegang tangan tanpa kata-kata. Tidak perlu kata-kata kalau sudah begini. Getaran yang keluar dari jari-jari tangan sudah mewakili seribu satu kata. Akan tetapi, dengan halus Thian Hai melepaskan pegangannya.
"Nona Hong, maafkanlah kekasaranku tadi. Tentu saja aku tahu akan isi hatimu, dan engkaupun tentu sudah tahu akan isi hatiku. Tidak dapat disangkal, terutama oleh kita sendiri bahwa kita saling mencinta. Akan tetapi, aku sungguh merasa tidak patut menjadi sisihanmu!"
"Hai-ko, ucapan itu tidak pantas keluar dari mulut seorang gagah sepertimu!" Bwee Hong menegur. "Apakah engkau mulai menilai seseorang dari keturunan dan kedudukannya?"
Thian Hai memandang kagum dan menggeleng kepala. "Bukan itu saja. Akan tetapi aku baru saja memperoleh kembali ingatanku dan kenyataan keadaan diriku amat mengejutkan, dan engkau... engkau dalam pandanganku begitu mulia. Maukah engkau maafkan aku dan berjanji tidak akan membicarakan urusan cinta kita sebelum tiba saatnya?"
Bwee Hong mengerutkan alisnya. "Hemm, tiba saatnya? Dan kapankah saatnya itu, Hai-ko?"
"Aku masih mempunyai banyak urusan yang merupakan ganjalan hati. Pertama, aku harus dapat menemukan musuh besarku!"
"Si Raja Kelelawar? Jadi engkau belum membunuhnya?"
"Benar, dia! Bukan raja iblis atau raja kelelawar, melainkan dia pembunuh isteriku! Dan akupun harus mencari San-hek-houw untuk membalaskan buntungnya lengan anakku."
Bwee Hong mengangguk lemah. Pria ini minta waktu karena masih merasa terikat untuk membereskan urusan dendam keluarganya dan ia sama sekali tidak boleh dan tidak berhak untuk mencampuri, apa lagi melarang. Ia harus menanti dengan sabar, dan walaupun kenyataan ini amat pahit baginya, amat berat, namun demi cintanya, ia harus berani mengorbankan perasaannya.
"Baiklah, Hai-ko, aku akan menanti uluran tanganmu" katanya lemah.
Tiba-tiba Thian Hai membalikkan tubuhnya dan ternyata sesosok bayangan berkelebat dari jauh. Setelah dekat, bayangan tadi adalah Seng Kun.
"Ah, kucari kalian dengan hati khawatir, tidak tahunya berada di sini!" kata pemuda itu dengan gembira melihat keberduaan adiknya dan Thian Hai, akan tetapi juga agak cemas melihat betapa wajah keduanya tidak membayangkan kegembiraan. "Aku mencarimu ke mana-mana, saudara A-hai."
"Koko, namanya Souw Thian Hai, sebaiknya kita tidak memanggil A-hai lagi karena itu hanya panggilan nama kecilnya," kata Bwee Hong.
"Ah, ah jadi benar-benar engkau ini pendekar Souw Thian Hai yang oleh orang-orang yang mengenalmu disebut Souw-kongcu itu? Saudara Souw, apakah sekarang engkau sudah dapat mengingat seluruh riwayatmu?"
Thian Hai mengangguk. "Sudah, berkat bantuan dan pertolongan kalian berdua. Dan untuk itu, biarlah kalian berdua menjadi orang-orang pertama yang mendengarkan riwayatku. Mari kita duduk di bawah pohon yang teduh."
Ketiganya duduk di bawah pohon dan kakak beradik itu mendengarkan penuturan Thian Hai dengan penuh perhatian dan hati tertarik sekali. Agar jelas, mari kita ikuti keadaan pria yang luar biasa ini sebelum menjadi seorang A-hai yang ketolol-tololan.
Seperti pernah kita ketahui dari penuturan Yap-lojin dan Ouwyang Kwan Ek, di jamannya para datuk mereka, puluhan bahkan seabad yang lalu, di dunia persilatan ada empat datuk yang paling terkenal dan dianggap mewakili dunia persilatan. Yang pertama adalah Bu-eng Sin-yok-ong yang dianggap datuk dunia selatan, ke dua Sin-kun Bu-tek datuk dunia utara, ke tiga Cui-beng Kui-ong pendiri Tai-bong-pai, kemudian ke empat Kim-mo Sai-ong pendiri Soa-hu-ipai.
Empat orang datuk ini dianggap sebagai datuk-datuk besar yang tidak dapat dicari tandingannya. Ada pula Bit-bo-ong atau Si Raja Kelelawar akan tetapi dia dianggap sebagai orang luar dan juga masih belum dapat dibandingkan dengan keempat orang datuk itu.
Akan tetapi, pada suatu hari, empat orang datuk itu berturut-turut dikalahkan secara mudah oleh seorang kakek sasterawan pelukis yang sama sekali tidak dikenal namanya! Dan biarpun kemudian empat orang datuk itu mencari-carinya sampai bertahun-tahun, sampai mereka itu satu demi satu meninggal dunia, mereka tidak berhasil menemukan kakek sasterawan itu!
Siapakah kakek sasterawan pelukis itu? Dia adalah seorang sakti yang menyembunyikan diri, seorang yang pada waktu itu oleh orang-orang dusun dikenal sebagai kakek Souw saja. Kakek ini menurunkan ilmu-ilmunya yang mujijat kepada puteranya, yang kemudian mewariskannya pula kepada puteranya yang bernama Souw Koan Bu.
Akan tetapi, keluarga Souw ini oleh nenek moyangnya dilarang keras untuk memperkenalkan ilmu keluarga mereka, dan bahkan diharuskan untuk menyembunyikan diri saja karena mereka mempunyai keyakinan bahwa seorang ahli silat yang dikenal tentu akan mempunyai banyak musuh.
Demikianlah, Souw Koan Bu inipun membawa isteri dan seorang puteranya tinggal di sebuah tempat yang amat indah dan terpencil, di tepi sungai dengan lembah yang amat subur di mana terdapat air terjun yang besar. Souw Koan Bu hanya mempunyai seorang putera yang diberi mama Souw Thian Hai. Tentu saja sejak kecil, Souw Thian Hai diajar ilmu-ilmu keluarga yang amat lihai itu.
Pada suatu hari, Souw Koan Bu mendengar betapa kaum sasterawan dimusuhi oleh kaki tangan kaisar, kitab-kitab dibakar dan orang-orangnya dibunuh. Biasanya, Souw Koan Bu tidak mau ambil perduli terhadap urusan luar. Akan tetapi sekali ini, mendengar betapa kaum sasterawan dikejar-kejar, disiksa dan dibunuh, hati Souw Koan Bu menjadi prihatin dan berduka sekali, juga marah.
Sejak turun-temurun keluarga Souw adalah orang-orang yang menghargai sastera, bahkan mereka selalu berpakaian sasterawan dan mempelajari sastera sejak kecil. Thian Hai juga sejak kecil, di samping ilmu silat, diajar sastera oleh ayahnya. Maka, dengan hati panas Souw Koan Bu turun gunung, keluar dari lembah dan dengan menyamar sebagai seorang sasterawan miskin, dia membantu dan membela kaum sasterawan.
Ketika pasukan pemerintah yang jumlahnya seratus orang lebih menggerebeg sebuah kota untuk menangkapi para sasterawannya, Souw Koan Bu mengamuk. Tentu saja tidak ada anggauta pasukan yang mampu mendekatinya dan sebelum dekat mereka sudah roboh oleh dorongan tangan dari jauh. Tentu saja hal ini amat menggemparkan. Jagoan-jagoan dari kota raja didatangkan, akan tetapi tidak ada yang mampu menandingi Souw Koan Bu yang berhasil mengungsikan para sasterawan dan menyuruh mereka itu bersembunyi.
Pada suatu hari, Souw Koan Bu pulang ke lembah membawa seorang pemuda kurus tinggi. Tubuh pemuda yang berpakaian sasterawan ini penuh luka dan menurut penuturan Souw Koan Bu ketika ditanya oleh anak isterinya, dia menceritakan bahwa pemuda yang bernama Ma Kim Liang ini adalah seorang sasterawan yang akan dibunuh oleh pasukan pemerintah dan berhasil diselamatkan.
Karena kasihan, pemuda itu lalu dibawa pulang ke lembah dan diambil murid, tentu saja setelah menjalani upacara pengambilan sumpah dan juga upacara keluarga Souw seperti yang pernah kita ketahui, yaitu pembedahan dan jahitan pada ubun-ubun dan punggung.
Pemuda bernama Ma Kim Liang itu ternyata memiliki bakat yang baik sekali sehingga dia memperoleh kemajuan pesat, bahkan hampir mengejar tingkat Souw Thian Hai yang menjadi suhengnya dan yang juga memiliki bakat luar biasa. Akan tetapi, Souw Koan Bu mempunyai pandang mata yang cukup tajam. Ada gerak gerik Ma Kim Liang yang membuatnya belum percaya sepenuhnya dan dia belum mau menurunkan ilmu-lmu simpanan yang paling ampuh dari keluarganya, seperti yang diajarkannya semua kepada puteranya sendiri.
Hal ini ternyata diketahui oleh Ma Kim Liang. Diam-diam dia menjadi marah dan menaruh dendam, akan tetapi secara cerdik dia menyembunyikan perasaannya itu dan kelihatannya baik dan tekun, juga rajin sekali. Akan tetapi, diam-diam secara sembunyi-sembunyi dia suka mengintai apa bila Thian Hai berlatih ilmu-ilmu silat yang tidak diwariskan kepadanya. Dan diapun melakukan penyelidikan dengan diam-diam tentang rahasia-rahasia dan benda-benda pusaka milik keluarga sakti itu.
Setahun kemudian, ketika pada suatu pagi Kim Liang bekerja di ladang mengurus tanaman sayur keluarga Souw, dia melihat seorang kakek asing lewat di tempat itu. Dia menjadi curiga dan cepat dia meninggalkan ladang dan menghadang. "Siapakah engkau, lopek, dan ada keperluan apa datang ke lembah ini?" dia bertanya.
Kakek itu ternyata memiliki muka yang amat buruk, kulit mukanya habis dimakan cacar, hitam dan matanya besar sebelah. Muka yang buruk menakutkan dan usianya kurang lebih enam puluh lima tahun, tubuhnya tinggi besar agak bongkok dengan kedua lengan panjang seperti lengan orang hutan. Dengan matanya yang mengerikan itu dia menatap wajah Kim Liang, lalu dia berkata, "Aku mau mengunjungi Souw-supek."
Kim Liang mengerutkan alisnya. Orang macam ini menjadi murid keponakan gurunya? Usianyapun tua orang ini, pikirnya. Dan dia belum pernah mendengar bahwa gurunya mempunyai seorang sute (adik seperguruan), maka dari mana munculnya murid keponakan ini?
"Maksudmu yang kau cari adalah suhu Souw Koan Bu?" tanyanya.
"Benar, supek Souw Koan Bu gurumukah? Kalau begitu, kita masih saudara seperguruan."
"Nanti dulu, aku belum pernah mendengar suhu menyebutkan seorang sute, apa lagi murid keponakannya. Hayo ceritakan siapa engkau dan siapa pula gurumu itu untuk meyakinkan hatiku."
"Heh, aku hanya mau bicara dengan supek, bukan dengan bocah ingusan seperti kamu!' Tiba-tiba kakek itu memperlihatkan belangnya dan ternyata dia seorang yang kasar sekali, pantasnya seorang penjahat yang biasa bersikap kasar dan keras.
"Kalau begitu, engkau kuanggap palsu dan aku melarang engkau melanjutkan perjalanan memasuki lembah ini!"
Kakek itu menjadi marah. "Engkau ini saudara muda akan tetapi bersikap kurang ajar!" katanya sambil menampar.
"Wuuuuttt… plakkk!" Kim Liang menangkis dan akibatnya dia terpelanting! Dia terkejut sekali melihat kekuatan dahsyat lawannya, akan tetapi diapun melihat lawannya itu menyeringai kesakitan. Maka diapun membalas dengan hantaman sekuat tenaga yang juga ditangkis oleh kakek itu.
"Dukkk!" Dan kini Kim Liang terlempar, akan tetapi kakek itu mundur dua langkah, terbatuk dan ada darah keluar dari ujung bibirnya. Tahulah Kim Liang bahwa kakek ini sedang menderita suatu penyakit atau sudah terluka dalam ketika memasuki lembah itu. Maka diapun terus menyerang.
Mereka berkelahi dengan sengit dan diam-diam Kim Liang harus mengakui bahwa kakek ini memiliki tingkat yang lebih tinggi darinya, terutama sekali gerakan ginkangnya yang membuat tubuh kakek itu berkelebatan ke sana-sini. Akan tetapi ada suatu keuntungan baginya, yaitu kakek itu sedang sakit dan setiap kali mengadu tenaga, keadaannya semakin payah. Akhirnya, dengan sebuah tendangan, Kim Liang berhasil membuat kakek itu roboh tertelungkup dan diapun cepat menubruk dan menungganginya, menelikung kedua lengan-nya ke belakang.
"Engkau minta hidup atau mampus?" katanya mengancam.
"Auhhh, lepaskan aku ah, aku sedang terluka hebat, lepaskan aku..."
"Mengaku dulu siapa sebenarnya engkau dan siapa gurumu?"
"Aku tidak bohong. Guruku, atau mendiang guruku adalah cucu Bit-bo-ong Si Raja Kelelawar!"
"Apa? Raja Kelelawar datuk sesat yang menggemparkan dunia persilatan itu? Dan engkau berani mengaku bahwa guruku adalah supekmu?"
"Memang benar. Ada rahasianya tentang ini. Lepaskan aku dan aku akan bicara."
"Baik, akan tetapi kalau engkau membohong, kubunuh kau!"
Setelah dilepaskan, kakek itu tertawa. "Heh-heh, kiranya murid supek juga sama saja dengan kami. Akan tetapi kenapa supek tidak mau mendekati mendiang suhu?"
"Hayo ceritakan!" Kim Liang mendesak.
"Sebenarnya, hubungan seperguruan ini telah terjadi puluhan, bahkan seratus tahun yang lalu. Sucouw Bit-bo-ong adalah sute dari kakek supek Souw Koan Bu. Dengan demikian, berarti bahwa guruku masih terhitung sute dari gurumu walaupun tidak pernah berhubungan. Asal mulanya dari sucouw Bit-bo-ong. Karena beliau dianggap jahat, maka kakek supek Souw Koan Bu tidak mengakuinya lagi sebagai sute, bahkan keturunannya dipesan agar jangan berhubungan atau mengakui keturunan Bit-bo-ong."
"Hemm, sudah begitu, kenapa engkau berani muncul di sini?"
"Aku.. aku hanya mentaati pesan mendiang suhu. Sebelum meninggal, suhu menyerahkan pusaka-pusaka peninggalan sucouw Bit-bo-ong, juga jubahnya dan semua kitab pelajarannya, kepadaku dengan pesan agar diserahkan kepada supek Souw Koan Bu. Suhu tidak mau kalau kesesatan keturunan sucouw Bit-bo-ong diteruskan orang lain."
Kim Liang merasa tertarik sekali. Dia sudah pernah mendengar tentang datuk sesat Raja Kelelawar yang mengguncang dunia persilatan. Kini pusaka-pusakanya berada di tangan kakek ini! "Bagaimana aku bisa tahu bahwa engkau tidak membohong? Mana pusaka-pusaka itu?"
Kakek itu membuka buntalannya dan nampaklah beberapa buah kitab kuno dan jubah hitam, juga sepasang pisau belati yang bergagang indah berhiaskan mutiara. Berdebar jantung Kim Liang melihat semua ini. Gurunya telah menyia-nyiakan dirinya, tidak diberi pelajaran ilmu terampuh dari keluarga Souw. Dan ini ada kitab-kitab pusaka dan senjata-senjata pusaka ampuh dari Bit-bo-ong. Bodoh kalau dilewatkannya begitu saja.
"Kalau benar engkau keturunan Bit-bo-ong, coba ceritakan tentang semua pusaka ini," katanya.
Dengan panjang lebar kakek itu lalu menceritakan keistimewaan Bit-bo-ong, dan juga jubah kebal dan sepasang pisau belati yang amat tajam itu. "Kau bilang pisau-pisau ini tajam dan ampuh?" Kim Liang mengambil kedua batang pisau itu dan menimang-nimangnya. Kemudian, secepat kilat dia menggerakkan sepasang pisau itu dan menusuk ke arah lambung dan dada kakek itu.
Kakek buruk rupa itu kaget setengah mati karena tidak pernah menyangka pemuda itu akan berbuat demikian. Dia menggerakkan kedua tangan menangkis, akan tetapi, sepasang pisau itu ternyata ampuh dan tajam bukan main sehingga tangkisannya membuat kedua tangannya malah buntung sebatas pergelangan tangan dan dua batang pisau itu tetap saja meluncur dan masuk ke dalam dada dan perutnya! Kakek itu melotot dan roboh, berkelojotan sebentar saja dan tewas.
Kim Liang cepat membersihkan kedua pisau itu, menyimpannya di pinggang, menyambar buntalan terisi pusaka-pusaka peninggalan Bit-bo-ong, kemudian setelah memasukkan kedua tangan buntung ke dalam saku jubah kakek itu, dia menyeret mayat kakek itu dan membuangnya ke dalam jurang yang amat dalam. Jurang itu terlalu curam dan berbahaya untuk dapat didatangi manusia dan mayat itu lenyap, sama sekali tak dapat nampak dari atas.
Akan tetapi, pemuda ini lupa bahwa mayat yang membusuk itu akan mengeluarkan bau yang keras dan dapat tercium Kemudian ia berseru kaget. "Mana mungkin ada bau mayat di tempat ini?"
"Hemm, bagaimanapun juga, harus kita selidiki dan cari sampai dapat, dari mana datangnya bau bangkai ini," kata Souw Koan Bu.
"Malam tadipun teecu sudah mencium sesuatu yang mencurigakan, suhu, akan tetapi teecu menduga bahwa itu tentu bau tikus mati. Dan sekarang baunya begitu keras," kata Ma Kim Liang.
"Mari kita cari!" kata pula Souw Koan Bu dan tiga orang pria ini cepat keluar dari rumah untuk mencari sumber bau busuk itu. Tidaklah mudah mencari sumber bau busuk di tempat terbuka. Angin telah meniup dan menyebarkannya sehingga di mana-mana tercium bau itu, dan mereka bertiga lalu berpencar.
Setelah berputar-putar di sekitar tempat itu, akhirnya Thian Hai menemui ayahnya. "Ayah, kalau tidak salah, bau itu keluar dari dalam jurang di barat itu."
"Apa? Dari jurang yang curam itu? Ah, jangan-jangan ada binatang atau orang yang terjerumus ke sana. Mari kita lihat!" Mereka berlari ke tepi jurang itu dan setelah mempergunakan ketajamannya, Souw Koan Bu membenarkan pendapat puteranya bahwa sumber bau itu memang keluar dari dasar jurang.
"Biar aku yang turun dan memeriksanya, ayah," kata Thian Hai.
Jurang itu amat dalam dan curam, agaknya tak mungkin dapat dituruni manusia. Akan tetapi Souw Koan Bu percaya akan kepandaian puteranya, maka dia mengangguk. "Hati-hati dan pergunakan pedangmu untuk membantumu merayap turun."
Thian Hai mengangguk dan dengan cekatan pemuda yang amat lihai ini menuruni jurang yang curam itu. Memang bukan pekerjaan mudah. Tebing itu curam, lurus ke bawah dan permukaan dinding tebing itu licin dan kadang-kadang tidak ada tempat untuk berpijak atau berpegang. Namun, Thian Hai tidak perlu mempergunakan pedang untuk membantunya. Dengan kedua tangannya mencengkeram, dia dapat merayap turun seperti seekor kucing.
Jari-jari tangannya dapat mencengkeram permukaan batu tebing dan berpegang, dan dengan cara demikian akhirnya dia dapat mencapai dasar jurang. Dan dia terpaksa menahan napas ketika tiba di dasar jurang dan melihat sisa tubuh manusia yang sudah rusak dan mukanya sukar untuk dikenal lagi!
Dia memperhatikan mayat busuk itu, mencoba untuk mencari ciri-cirinya, kemudian diapun menggunakan kekuatan kedua tangannya untuk menggempur batu padas dan tanah untuk menimbuni mayat itu agar baunya jangan tersiar ke mana-mana. Selagi dia mengerjakan ini, terdengar suara ayahnya dari atas, bergema,
"A-hai! Apa yang terjadi? Kenapa lama benar engkau di bawah?"
"Aku sedang menimbuni mayat busuk ini, ayah!" jawabnya sambil mengerahkan khikang sehingga suaranya terdengar sampai ke atas jurang.
Setelah mayat itu tertimbun rapat, Thian Hai lalu merayap naik. Ayahnya sudah menantinya dengan hati tidak sabar. "Mayat siapakah itu? Bagaimana mungkin ada mayat di dalam jurang itu...?"