Darah Pendekar Jilid 31 karya Kho Ping Hoo - "WAJAHNYA sukar dikenal lagi, ayah. Sudah rusak membusuk dan juga hancur, agaknya ketika terjatuh kepalanya yang mendahului badan menimpa batu. Aku tidak dapat memeriksa dengan seksama karena baunya, akan tetapi ada kulihat bekas luka di dada dan perut karena bajunya di bagian itu berlubang dan ada tanda-tanda bekas darah!"
"Hemm, pembunuhan? Dan mayatnya dilempar ke situ? Mana mungkin? Di sekitar sini tidak ada orang..."
"Orang itu berkulit kehitaman, tinggi besar dengan punggung agak bongkok. Kuketuk-ketuk kaki tangannya dan ternyata dia bukan orang sembarangan, ayah, melainkan seorang yang sudah terlatih kaki tangannya,"
"Engkau tidak menemukan tanda-tanda lain?"
Thian Hai menggeleng kepala, lalu mengerutkan alisnya. "Ayah, yang tinggal di sini hanyalah ayah, ibu, aku, sute dan Pouw Hong pelayan kita. Jelas bahwa ibu tidak tahu apa-apa, juga kita bertiga Ma-sute sibuk mencari mayat dan tidak tahu tentang peristiwa ini. Tinggal Pouw Hong yang belum kita tanyai."
Ayahnya mengangguk-angguk. "Mari kita pulang dan tanyai Pouw Hong, barangkali dia mengetahui sesuatu."
Mereka pulang dan segera memanggil pelayan mereka yang setia, yaitu Pouw Hong. Orang ini sejak muda sudah ikut Souw Koan Bu dan bentuk tubuhnya lucu. Tubuhnya pendek gendut dengan kepala kecil gundul sehingga biarpun usianya sudah tigapuluh tahun lebih, dia masih kelihatan seperti kanak-kanak. Wajahnya kekanak-kanakan. Ketika dia ditanya tentang mayat itu, dia menggeleng kepala dan kelihatan bingung.
"Mayat? Di dasar jurang? Saya tidak tahu."
"Apakah engkau tidak melihat orang asing berkeliaran di sini dalam beberapa hari yang lalu?" tanya Souw Koan Bu.
"Tidak, tidak ada orang asing...."
"Dan tidak ada peristiwa yang kau rasakan aneh selama beberapa hari ini?" tanya pula Thian Hai.
Si pendek gendut itu menggeleng kepala, akan tetapi tiba-tiba dia seperti ingat akan sesuatu. "Sebaiknya kongcu bertanya saja kepada Ma-kongcu!"
Ayah dan anak itu saling pandang. Memang keduanya sudah sering kali merasa curiga terhadap Ma Kim Liang yang biarpun pada lahirnya nampak ramah, sopan dan rajin, namun di balik itu semua seperti menyembunyikan suatu rahasia, juga kadang-kadang ada sinar aneh mencorong dari pandang matanya.
"Mengapa aku harus bertanya kepadanya? Ada apakah dengan dia?" tanya Thian Hai.
"Saya... saya melihat hal aneh-aneh dilakukan oleh Ma-kongcu."
"Hemm, Pouw Hong, sejak kecil engkau menjadi pembantuku dan engkau seperti keluarga kami sendiri. Kalau engkau melihat hal-hal aneh, kenapa engkau tidak melaporkan hal itu kepadaku? Kenapa?"
"Maaf, saya... saya tidak berani..."
"Mengapa tidak berani? Hayo cepat ceritakan segala keanehan yang kau lihat itu!" Souw Koan Bu berkata dengan nada suara agak marah sehingga pelayan itu menjadi ketakutan lalu menceritakan semua isi hatinya.
"Sudah lama sekali saya melihat sikap aneh dari Ma-kongcu. Sering kali dia mengintai kalau Souw-kongcu sedang berlatih silat seorang diri di dalam kamar kongcu dan sering pula dia bertanya-tanya tentang keadaan keluarga Souw, tentang pusaka-pusaka dan semua yang saya ketahui. Bahkan pernah saya melihat dia mencari-cari di kamar perpustakaan. Ketika tanpa sengaja saya masuk, dia mengancam agar saya tidak menceritakan kehadirannya itu kepada lo-ya, dan sinar matanya demikian penuh ancaman, mengerikan dan saya menjadi takut," Pouw Hong menoleh ke kanan kiri dengan sikap takut.
"Ceritakan terus, apa lagi yang kau lihat, terutama dalam beberapa hari ini?" desak Souw Koan Bu.
Dengan suara lirih pelayan itu berkata, "Kira-kira empat lima hari yang lalu saya bertemu dengan Ma-kongcu. Dia agaknya baru pulang dari ladang dan dia membawa sebuah buntalan hitam. Karena hari masih siang dan dia membawa buntalan, saya bertanya kepadanya. Akan tetapi dia menghardik, mengatakan bahwa saya tidak boleh mencampuri urusannya."
Ayah dan anak itu saling pandang. Memang tepat kalau empat lima hari yang lalu. Akan tetapi apa hubungannya Ma Kim Liang dengan kematian kakek di dasar jurang itu? Dan apa pula adanya buntalan hitam itu?
"Ayah, hatiku tidak enak. Mari kita cari dikamarnya dan bertanya kepadanya!"
Ayah dan anak itu lalu cepat memasuki kamar Ma Kim Liang, hanya untuk mendapatkan bahwa kamar itu telah kosong! Jangankan buntalan hitam seperti yang diceritakan Pouw Hong tadi, bahkan semua pakaiannya dan juga pedang yang dipinjam dari gurunya untuk berlatih silat, ikut pula lenyap!
"Ah, anak itu telah melarikan diri!" kata Souw Koan Bu terkejut dan penasaran, juga marah.
"Ayah.... tempat penyimpanan pusaka kita!"
Begitu Thian Hai berkata demikian, Souw Koan Bu mengeluarkan seruan aneh dan tubuhnya berkelebat lenyap. Thian Hai juga meloncat dan mengejar ayahnya. Mereka berlari cepat sekali ke air terjun yang berada agak jauh di sebelah belakang pondok mereka. Pusaka keluarga Souw memang oleh Souw Koan Bu disimpan di dalam guha rahasia di belakang air terjun itu. Hal ini dilakukan untuk mencegah pusaka keluarga yang amat penting itu terjatuh ke tangan orang jahat atau orang yang tidak berhak.
Keduanya cepat memeriksa dan tak lama kemudian mereka keluar lagi dari guha itu dengan muka pucat. Mereka saling pandang dan tanpa kata-katapun mereka tahu akan isi hati masing-masing. Semua pusaka di dalam peti, berisi kitab-kitab ilmu simpanan keluarga Souw, telah lenyap! Dan melihat kenyataan betapa Kim Liang juga lenyap, mudah saja diketahui bahwa tentu murid murtad itulah yang melarikan pusaka keluarga Souw.
"Ayah, biar kucari jahanam itu dan kurampas kembali pusaka kita, juga kuwakili ayah untuk menghukum murid murtad itu!" kata Thian Hai dengan marah sekali melihat betapa wajah ayahnya membayangkan penyesalan besar.
Ayahnya menarik napas panjang. "Jangan tergesa-gesa, A-hai. Semua ini terjadi karena kesalahanku sendiri yang kurang teliti menilai orang. Setelah dia membawa lari semua pusaka, maka dia dapat merupakan musuh yang amat berbahaya. Untuk menghadapinya sekarang, memang tingkat kepandaianmu masih lebih tinggi, akan tetapi dia amat cerdik dan kalau dia mempelajari semua ilmu itu, mungkin engkau akan menghadapi kesukaran.
"Baiknya, ada beberapa macam ilmu di dalam kumpulan pusaka itu yang tidak mungkin dilatih tanpa guru, tanpa bimbingan dan pengoperan tenaga sinkang. Engkau sempurnakan dulu dua ilmu itu, baru hatiku akan tenang kalau engkau menghadapinya. Pula, dia hanya bersalah melarikan pusaka kita, dan itu belum hebat asal dia tidak mempergunakan ilmu keluarga kita untuk kejahatan. Bagaimanapun juga, dia adalah murid yang sudah kuangkat, dan semua ini kesalahanku sendiri."
"Akan tetapi, mayat dalam jurang itu...?"
"Belum tentu dia yang melakukannya. Sudahlah, mari engkau tekun mempelajari dua ilmu simpanan itu, kemudian baru engkau berangkat mencarinya. Pula, kalau belum jelas dia melakukan kejahatan, mengapa tergesa-gesa?"
Diam-diam Thian Hai menarik napas panjang karena dia tahu bahwa ayahnya ini sebenarnya mencinta murid murtad itu. Hal inipun tidak mengherankan karena memang Kim Liang amat pandai mengambil hati orang.
Demikianlah, dengan tekun mulai hari itu Thian Hai digembleng oleh ayahnya memperdalam dua macam ilmu simpanan keluarga Souw. Yang pertama adalah Thai-kek Sin-ciang dan yang ke dua adalah Thai-lek Pek-kong-ciang, dua macam ilmu tangan kosong yang luar biasa ampuhnya.
Biarpun Thian Hai memperoleh bimbingan dari ayahnya sendiri, namun demikian sukarnya dua macam ilmu itu sehingga setelah lewat tiga tahun, barulah dia dapat menguasainya dengan sempurna dalam arti bahwa kedua ilmu itu seolah-olah sudah mendarah daging pada dirinya.
Sementara itu, di dunia persilatan muncullah seorang "duplikat" Raja Kelelawar! Dan Souw Koan Bu yang mendengar berita angin tentang munculnya orang yang mengaku sebagai Raja Kelelawar, cepat memanggil puteranya. "Sungguh gila! Raja Kelelawar sudah mati puluhan tahun yang lalu, bagaimana mungkin kini muncul lagi?" kata ayah itu.
"Akan tetapi, ayah, siapa tahu kalau yang muncul ini adalah keturunannya, baik keturunan keluarga maupun murid."
Ayahnya mengelus jenggot. "Hemm, engkau tahu bahwa Bit-bo-ong adalah seorang adik seperguruan kakek guruku yang sudah tidak diakui lagi. Semenjak dia tewas di tangan locianpwe Sin-kun Bu-tek, keturunan atau murid-muridnya tidak berani muncul secara berterang. Hal ini adalah karena sukong memesan kepada keturunannya untuk mengawasi gerak-gerik keturunan bekas sute itu. Bagaimanapun juga, sumber ilmu-ilmunya adalah ilmu keluarga kita, maka kita harus menjaga agar ilmu-ilmu itu jangan dipergunakan untuk kejahatan. Selama ini, tidak ada keturunan Raja Kelelawar yang berani main gila."
"Akan tetapi, kalau sekarang ada orang berani mengaku sebagai Raja Kelelawar, setidaknya dia tentu mempunyai hubungan dengan datuk sesat itu."
"Mungkin engkau benar. Nah, sekarang engkau berangkatlah A-hai. Pertama untuk mencari murid murtad Ma Kim Liang itu dan merampas semua kitab pusaka kita, dan ke dua untuk menyelidiki apakah benar ada penjahat yang mengaku bernama Raja Kelelawar merajalela di dunia persilatan."
Maka berangkatlah Souw Thian Hai seorang diri untuk mencari bekas sutenya dan penjahat yang mengaku sebagai Raja Kelelawar itu. Setelah berputar-putar selama setahun lebih, akhirnya dia menemukan jejak Raja Kelelawar, bukan jejak adik seperguruannya! Dan pada malam hari yang hebat itu, dia melihat penjahat berjubah hitam itu sedang menyerbu rumah kepala kampung Go Tek untuk menculik puterinya yang amat cantik!
Puteri kepala kampung ini yang bernama Go Yan Kim memang cantik jelita dan agung se-perti seorang puteri saja biarpun ayahnya hanya-lah seorang kepala dusun. Memang sesungguhnya, yang mengalir di bawah kulitnya yang putih mulus itu adalah darah bangsawian tertinggi, darah kaisar! Di waktu mudanya, ketika kaisar melakukan perjalanan berburu dan singgah di dusun itu, dia disambut dan dilayani oleh Go Tek yang ketika itu hanya merupakan seorang petani dan pemburu biasa saja.
Kaisar tergila-gila kepada isteri Go Tek, seorang wanita dusun sederhana dan agaknya justeru kesederhanaannya inilah yang membuat kaisar tergila-gila. Sebagai seorang kaisar, setiap hari dia dihadap oleh wanita-wanita cantik akan tetapi kecantikan mereka itu dibantu oleh riasan-riasan muka dan pakaian-pakaian indah. Tidak demikian dengan isteri Go Tek yang sederhana itu.
Kecantikannya adalah kecantikan alam dan kaisar yang tergila-gila lalu mengajak wanita itu bersamanya ketika dia pulang ke istana. Go Tek yang masih pengantin baru itu tidak berani berbuat sesuatu, apa lagi dia lalu diangkat menjadi kepala dusun itu karena dianggap "berjasa" kepada kaisar!
Akan tetapi setelah wanita itu mengandung, agaknya kaisar menjadi bosan dan mengirim kembali wanita itu kepada suaminya! Memang tak dapat disangkal pula bahwa hubungan antara pria dan wanita, kalau hal itu terjadi hanya karena daya tarik kecantikan, kedudukan, harta dan sebagainya, maka hubungan yang mereka anggap cinta itu akan gagal dan akhirnya akan mendatangkan kebosanan dan kekecewaan!
Daya tarik seperti itu hanyalah nafsu, dan segala macam bentuk nafsu hanyalah sementara saja, tidak mungkin abadi. Inilah sebabnya mengapa pria dan wanita yang tadinya bersumpah setinggi langit saling mencinta, kalau sudah saling memiliki lalu cintanya menguap dan bahkan ada kalanya berobah menjadi kebosanan dan kebencian. Akhirnya, sepasang manusia yang tadinya bersumpah sehidup semati itu, dalam waktu beberapa bulan atau beberapa tahun saja bercerai!
Akan tetapi tidak demikian dengan cinta kasih! Cinta kasih adalah kekal abadi. Cinta kasih bukan lahiriah, bukan karena nafsu, melainkan terpendam jauh di dalam perasaan hati. Cinta kasih menjelma setelah unsur pemisah dan pemecah-belah antar manusia lenyap, dan unsur pemecah belah itu adalah si AKU.
Go Tek menerima kembali isterinya dan tentu saja dia tidak berani menolak. Memang dia masih mencinta isterinya dan setelah seorang anak perempuan terlahir, dia menganggapnya sebagai anak keturunannya sendiri, tentu saja dia merasa bangga mempunyai anak seperti Go Yan Kim itu. Seorang anak yang mungil dan setelah dewasa menjadi seorang dara yang amat cantik.
Pada malam hari itu, terang bulan membuat malam teramat indah. Langit cerah dan sinar bulan purnama sepenuhnya menerangi bumi. Sesosok bayangan hitam yang amat cepat gerakannya nampak seperti beterbangan dari atas genteng sebuah rumah ke rumah lain di dusun tempat tinggal keluarga Go Tek. Bayangan itu adalah seorang laki-laki jangkung kurus yang memakai pakaian serba hitam dengan jubah hitam pula.
Ketika dia berlompatan seperti terbang cepatnya itu, jubah hitamnya berkembang dan berkibar membuat dia nampak seolah-olah memang sedang beterbangan seperti seekor kelelawar raksasa! Ketika tiba di atas rumah keluarga Go Tek, bayangan itu berhenti, kemudian melayang turun dan lenyap. Tak lama kemudian, bayangan itu sudah melayang naik lagi ke atas genteng dan kini dia memanggul seorang gadis yang lemas tak mampu bergerak.
Kiranya bayangan hitam itu telah menculik Go Yan Kim tanpa mengeluarkan suara gaduh sedikitpun sehingga dara itu tidak sempat berteriak dan tidak ada seorangpun anggauta keluarga itu yang terbangun dari tidurnya. Dengan cepat sekali bayangan hitam itu membawa pergi korbannya, meninggalkan dusun.
Dia berhenti di sebuah lereng bukit yang datar di mana terdapat batu-batu besar dan diturunkannya dara culikannya itu dari atas pundaknya. Kemudian, sambil menyeringai girang, bayangan itu melepaskan jubah hitamnya. Pada saat itu, wajahnya tertimpa sinar bulan purnama, wajah yang memiliki sepasang mata mencorong seperti mata iblis.
"Keparat Ma Kim Liang, kiranya engkaukah Raja Kelelawar palsu itu?" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan muncullah Thian Hai yang sejak tadi membayanginya tanpa diketahui oleh iblis itu.
Bukan main kagetnya hati Ma Kim Liang yang sudah menyamar sebagai Raja Kelelawar. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa di tempat ini dia akan berhadapan muka dengan bekas suhengnya. Rahasianya telah terbuka. Selama bertahun-tahun, setelah mencuri pusaka gurunya, dia bersembunyi di tempat rahasia, dengan tekun mempelajari semua ilmu yang terdapat di dalam kitab-kitab pusaka gurunya, juga mempelajari ilmu-ilmu sesat dari kitab-kitab peninggalan Raja Kelelawar!
Setelah merasa dirinya lihai, walaupun ada beberapa macam ilmu silat keluarga Souw yang tidak dapat dikuasainya, dan ilmu-ilmu peninggalan Raja Kelelawar juga belum dikuasainya secara sempurna, diapun mulai memperlihatkan diri dengan menyamar sebagai Raja Kelelawar. Dan kini timbullah watak aselinya dan dia tidak segan-segan untuk memuaskan nafsunya dengan jalan menculik dan memperkosa lalu membunuh wanita-wanita cantik yang menimbulkan seleranya!
Biarpun dia merasa terkejut, akan tetapi mengingat bahwa selama beberapa tahun ini dia telah menambah ilmu kepandaiannya, dia menjadi tenang kembali dan sambil tersenyum mengejek dia menyambar kembali jubahnya yang tadi dibuka dan dilemparkannya ke atas tanah dekat tubuh dara itu yang menggeletak terlentang tak dapat bergerak karena tubuhnya tertotok lemas dan dara itu hanya dapat memandang dengan mata basah air mata.
Dikenakannya kembali jubahnya. Jubah ini amat penting baginya, karena jubah ini adalah jubah pusaka peninggalan Raja Kelelawar, jubah yang membuatnya kebal terhadap serangan senjata apapun. Karena maklum bahwa dia menghadapi seorang lawan yang amat lihai, Ma Kim Liang mengeluarkan sepasang pisau belatinya, senjata istimewa peninggalan Kelelawar Hitam.
"Suheng, akhirnya engkau datang juga. Akan tetapi jangan mengira aku takut kepadamu, karena aku sudah mempelajari semua ilmu keluarga Souw dan engkau hendak menangkapku, berarti engkau sudah bosan hidup. Ha-ha-ha!"
"Ma Kim Liang, engkau seorang manusia tak kenal budi. Ayahku telah mengangkatmu sebagai murid dan engkau diperlakukan baik, akan tetapi sebagai balasannya engkau malah mencuri pusaka keluarga kami! Dan engkau malah menyamar menjadi Raja Kelelawar yang sejak dahulu dimusuhi oleh keluarga kami karena dia telah mencemarkan nama keluarga perguruan kami."
"Souw Thian Hai, jangan sombong engkau! Siapa bilang bahwa ayahmu memperlakukan aku dengan baik? Aku dipekerjakan seperti budak pelayan, dan hanya diberi pelajaran ilmu-ilmu silat kelas rendah saja. Ilmu-ilmu yang menjadi simpanan hanya diajarkan kepadamu seorang! Tidak sudah sewajarnyakah kalau aku melarikan semua pusaka untuk kupelajari sendiri? Dan tentang Raja Kelelawar, memang akulah keturunan nya, akulah ahli waris satu-satunya dari semua ilmu dan pusakanya. Lihat pakaian dan jubah ini, lihat sepasang pisau ini dan lihatlah ilmu-ilmu yang sudah kumiliki, ha-ha-ha!"
"Ma Kim Liang, engkau menguasai pusaka Raja Kelelawar tentu ada hubungannya dengan mayat yang berada di dasar jurang itu!"
"Ha-ha-ha, engkau dan ayahmu yang tolol itu baru tahu sekarang? Dia itu murid dari cucu murid Raja Kelelawar, seorang manusia berotak miring yang hendak menyerahkan semua pusaka kepada ayahmu. Orang gila itu kubunuh dan pusakanya kurampas, kusatukan dengan pusaka keluarga Souw dan kupelajari !"
"Jahanam busuk engkau!" Souw Thian Hai lalu menyerang bekas sutenya itu.
Akan tetapi, sutenya tertawa, meloncat dengan amat cekatan ke samping lalu menggunakan sepasang pisau belatinya untuk balas menyerang. Melihat gerakan bekas sutenya, Thian Hai terkejut. Dia maklum bahwa sutenya menguasai pula semua ilmu silat keluarganya, maka kalau tidak mempergunakan ilmu simpanan yang tidak mungkin dipelajari sutenya, dia akan terancam bahaya besar.
Maka, cepat dia mulai bergerak mempergunakan kaki tangannya mainkan ilmu Thai-kek Sin-ciang. Begitu tangan kirinya bergerak, angin dahsyat menyambar dan dari jauh pukulan itu sudah merupakan serangan maut yang menerjang ke arah Ma Kim Liang.
"Ah, Thai-kek Sin-ciang!" Ma Kim Liang berseru. Dia mengenal ilmu ini karena dia sudah memiliki kitabnya, akan tetapi sampai pusing dia mencoba untuk mempelajarinya, hasilnya nihil. Dan kini lawannya mempergunakan ilmu itu untuk menyerangnya. Diapun berhati-hati sekali, cepat menggerakkan pundak sehingga jubah hitam itu melindungi tubuhnya, dan diapun menerjang dengan sepasang belatinya.
Akan tetapi, angin dahsyat itu menggempurnya dan tahu-tahu telapak tangan Thian Hai menyambar ke arah lehernya. Kim Liang menyambut dengan pisau belati yang menggurat ke arah pergelangan tangan itu. Tahu-tahu tangan itu meluncur ke bawah dan menampar dadanya.
"Dukk!" Dada Kim Liang kena ditampar, akan tetapi tubuhnya terdorong ke belakang tanpa menderita luka karena dada itu terlindung oleh jubah hitam yang amat kuat. Sebaliknya, Thian Hai terkejut sekali ketika merasa betapa tangannya bertemu dengan benda lunak yang amat kuat! Dan bagaikan kilat menyambar, tahu-tahu dua batang pisau belati di tangan Kim Liang yang telah berubah menjadi dua gulung sinar itu menyambar dengan serangan mautnya!
Thian Hai cepat meloncat ke belakang dan menggerakkan tangan mendorong, kembali mengerahkan tenaga Thai-kek Sin-ciang sehingga angin besar menahan gerakan Kim Liang, membuat serangannya gagal. Mereka serang menyerang dengan hebatnya, Thian Hai mengandalkan ilmu yang belum dikuasai oleh lawan, sedangkan Kim Liang yang kalah unggul ilmunya itu mengandalkan kekebalan jubah hitam dan keampuhan sepasang belatinya.
Sampai tigapuluh jurus lebih mereka saling serang dengan serunya, namun masih sukar bagi Thian Hai untuk mengalahkan lawan, apa lagi menangkapnya. Pemuda ini lalu merobah gerakan tangannya dan begitu tangan kirinya menyambar, nampak uap putih yang amat panas menerjang ke depan.
"Thai-lek Pek-kong-ciang!" kata pula Ma Kim Liang dengan gentar. Dia mencoba untuk mengelak, akan tetapi tetap saja tubuhnya terguling ketika telapak tangan Thian Hai sempat menyerempetnya. Karena maklum bahwa agaknya tidak mungkin baginya dapat menandingi bekas suheng-nya yang amat lihai itu, Kim Liang terus bergulingan sampai jauh, lalu meloncat dan menghilang di dalam kegelapan malam.
"Jahanam, hendak lari ke mana engkau...?" Thian Hai hendak mengejar, akan tetapi pada saat itu dia mendengar suara rintihan lemah dan teringatlah dia akan gadis yang terculik tadi. Ah, mengapa dia begitu sembrono? Kalau dia mengejar, mungkin saja Kim Liang mengambil jalan memutar untuk membawa lari lagi gadis itu. Melakukan pengejaran terhadap seorang yang ginkangnya setingkat dengan dia, apa lagi di waktu malam di tempat yang tidak dikenalnya benar, tentu akan berbahaya sekali.
Dia tidak jadi mengejar dan melihat ke sekeliling. Hebat memang perkelahian antara dia dan sutenya tadi. Ada pohon tumbang bekas pukulan atau tendangan kaki Kim Liang, bahkan ada batu besar yang ditinggali tanda bekas jari tangan sutenya. Dia bergidik. Sutenya itu kini lihai sekali dan kalau dia tidak mahir dua macam ilmu simpanan keluarganya tadi, kiranya belum tentu dia akan menang.
Dengan hati-hati dia lalu menghampiri dara itu, membebaskan totokannya dari begitu dapat bergerak dara itu lalu berlutut di depan kaki Thian Hai sambil menangis. Thian Hai menjadi gugup dan disentuhnya pundak itu dan disuruhnya gadis itu bangkit berdiri.
"In-kong (tuan penolong) telah menyelamatkan saya dari malapetaka hebat, sampai mati saya tidak akan melupakan budi in-kong yang amat besar itu." kata si dara dengan suara bercampur sedu sedan.
"Ah, sudahlah, nona. Penjahat itu memang pantas dihajar. Siapakah nona dan di mana rumahmu? Apakah di rumah dalam dusun dari mana engkau diculik tadi?"
"In-kong sudah mengetahuinya?"
"Sejak tadi aku membayangi penjahat itu yang memang menjadi incaranku sejak tadi."
"In-kong, nama saya adalah Go Yan Kim, ayahku adalah kepala dusun itu bernama Go Tek. Bolehkah saya mengetahui nama in-kong yang mulia?"
"Namaku Souw Thian Hai. Mari kuantar engkau pulang, nona."
Keduanya lalu berjalan menuju ke dusun itu tanpa berkata-kata lagi. Akan tetapi keduanya kadang-kadang saling lirik dan diam-diam Thian Hai merasa heran sendiri mengapa hatinya begitu tertarik kepada wajah yang cantik jelita ini! Begitu bertemu dan bicara, dia telah jatuh cinta ke-pada wanita ini!
Tentu saja ketika mereka mengetuk pintu dan disambut oleh Go Tek dan isterinya, kedua orang tua itu terkejut bukan main melihat puteri mereka tahu-tahu mengetuk pintu dari luar ditemani seorang pemuda asing yang berpakaian sasterawan! Lebih kaget lagi hati mereka ketika mendengar penuturan puteri mereka bahwa ia diculik penjahat dan diselamatkan oleh pemuda itu yang selanjutnya mereka kenal sebagai Souw Kong-cu.
Peristiwa itu ternyata menjadi awal perjodohan antara Thian Hai dan Yan Kim. Keduanya saling mencinta dan ketika orang tua Thian Hai mengajukan pinangan, tentu saja diterima dengan gembira oleh keluarga kepala dusun itu. Tanpa ada halangan apapun, berlangsunglah pernikahan antara Souw Thian Hai dan Go Yan Kim.
Thian Hai mengajak isterinya tinggal di rumah keluarganya yang terpencil, dan kadang-kadang mereka mengunjungi keluarga Go Tek di dusun itu. Sampai mereka mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Souw Lian Cu, kebiasaan mengunjungi dusun itu masih sering dilakukan. Kadang-kadang Souw Thian Hai hanya pergi berdua dengan puterinya yang amat dicintanya, dan kadang-kadang juga bersama isterinya.
Akan tetapi karena keluarga Souw hidup dalam keadaan menjauhkan diri dari dunia ramai, maka keluarga Go tidak pernah diperkenankan mengunjungi lembah itu. Ketika dirayakan pesta pernikahanpun, keluarga Souw yang datang berkunjung dan pesta diadakan di rumah keluarga Go.
Souw Thian Hai hidup rukun dengan isterinya, saling mencinta dan dalam suasana yang bahagia. Mereka semua sudah hampir melupakan Ma Kim Liang karena tidak ada kabar ceritanya lagi tentang murid murtad itu. Juga di dunia kang-ouw tidak ada lagi terdengar munculnya orang yang mengaku sebagai Raja Kelelawar.
Akan tetapi, sesungguhnya Ma Kim Liang tidak tinggal diam begitu saja. Hatinya sakit bukan main karena kekalahannya terhadap bekas suhengnya. Apa lagi ketika dia mendengar bahwa gadis dusun yang membuatnya tergila-gila itu kabarnya menjadi isteri suhengnya dan hidup berbahagia di lembah, hatinya dipenuhi oleh iri dan dendam.
Dia menggembleng dirinya dengan tekun sekali, terutama dia mempelajari ilmu-ilmu aneh dari Raja Kelelawar di samping memperdalam ilmu-ilmu yang didapatnya dari keluarga Souw. Juga dia mempelajari ilmu yang jahat tentang racun-racun karena dia harus mempersiapkan diri menghadapi dua ilmu simpanan keluarga Souw yang sukar dikalahkan itu.
Selama tiga tahun dia menyiksa diri dengan tekun berlatih siang malam tak mengenal lelah sehingga setelah tiga tahun dia keluar dari dalam guha persembunyiannya, tubuhnya menjadi kurus dan wajahnya menjadi jauh lebih tua dari pada usia yang sesungguhnya. Setelah merasa dirinya benar-benar memperoleh kemajuan yang amat pesat, diapun berangkat untuk membalas dendam atas kekalahannya dan melampiaskan iri hatinya terhadap Thian Hai!
Malam itu gelap gulita dan hujan turun dengan derasnya di lembah tempat tinggal keluarga Souw. Sungai kecil yang biasanya berair bening dan tidak begitu besar, kini meluap dengan air bercampur lumpur, dan anak sungai yang biasanya mengeluarkan bunyi berdendang merdu, kini mengeluarkan bunyi gemuruh yang menyeramkan. Karena hawa menjadi dingin oleh hujan, sore-sore keluarga Souw sudah tidur di kamar masing-masing.
Isteri Souw Koan Bu menemani menantunya, bercakap-cakap dalam kamar mantunya karena malam itu, Go Yan Kim hanya sendirian saja di kamarnya. Suaminya, Souw Thian Hai dan puterinya, Souw Lian Cu yang baru berusia dua tahun, pergi keluar rumah sejak sebelum hujan. Mereka semua tahu bahwa malam itu Souw Thian Hai berlatih ilmu silat di dekat air terjun, dan biasanya kalau sedang berlatih, hujan atau panas tidak menjadi penghalang, bahkan menambah gemblengan dengan kerasnya hawa udara.
Dan sore tadi Thian Hai mengajak anak perempuan yang amat dicintanya itu, dengan maksud untuk mulai melatih tubuh anak itu dengan perobahan hawa udara. Dia mengajak pula Pouw Hong, pelayan setia itu untuk menjaga Lian Cu selagi dia berlatih di bawah air terjun, berlatih sinkang.
Malam yang gelap menyeramkan itu bertambah seram dengan munculnya bayangan hitam yang mengintai di rumah terpencil itu. Dengan gerakan yang amat hati-hati dan sama sekali tidak dapat terdengar oleh seorang sakti seperti Souw Koan Bu sekalipun karena suara itu tertutup oleh suara air hujan, bayangan hitam itu menyelinap dan meng-intai ke dalam kamar belakang. Bayangan ini bukan lain adalah Ma Kim Liang yang sudah mengenakan pakaian Raja Kelelawar!
Dia harus berhati-hati. Berbahayalah menghadapi Souw Koan Bu dan Souw Thian Hai begitu saja dan dia sudah mengatur muslihat dan siasat yang baik untuk melumpuhkan mereka. Kebetulan sekali hujan menolongnya. Kalau tidak ada hujan lebat yang menimbul-kan suara berisik ketika menimpa genteng, dia tentu akan ragu-ragu untuk melepaskan siasatnya, maklum betapa lihainya keluarga itu.
Ketika dia mengintai ke dalam kamar Souw Thian Hai yang amat dibencinya, dia melihat seorang wanita muda cantik sedang bercakap-cakap dengan subonya. Jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas. Itulah gadis yang pernah digilainya dan yang kemudian menjadi isteri Souw Thian Hai! Cepat dia mengeluarkan sesuatu dari bungkusannya, lalu membuat api dan membakar sesuatu yang mengeluarkan asap tebal. Dilubanginya jendela kamar dan ditiupnya asap tebal itu memasuki kamar.
Semua ini dapat dilakukannya dengan aman, karena selain gemuruh air hujan menyembunyikan semua suara yang ditimbulkannya, juga dua orang wanita di dalam itu tidak memiliki ilmu silat tinggi. Dan dengan girang dia melihat betapa kedua orang wanita itu berkali-kali menutupkan tangan ke depan mulut, menguap dan akhirnya keduanya tidur pulas di atas kursi dengan berbantal tangan di atas meja!
Sayang Souw Thian Hai tidak berada dikamarnya, pikirnya. Dia tidak berani bertindak sembrono dan tubuhnya bergerak menyusup ke bangunan yang sudah amat dikenalnya itu dan tak lama kemudian dia sudah mengintai ke kamar bekas gurunya. Dan girangnya bukan main melihat suhunya rebah miring dan agaknya sudah hampir tidur karena pernapasannya sudah panjang dan halus, nampak dari kembang kempisnya dada yang berselimut itu. Bagus, pikirnya, suasananya ternyata amat menguntungkan dan memudahkan segalanya.
Dia mengeluarkan sebatang bambu sumpit dan tiga batang jarum halus berwarna merah. Dimasukkannya jarum-jarum itu ke dalam sumpit dan disusupkan sumpit itu melalui lubang jendela. Setelah membidik dengan hati-hati, dia mengerahkan khi-kangnya dan sekali tiup, tiga batang jarum itu meluncur seperti kilat cepatnya menuju ke arah sasarannya.
Betapapun lihainya Souw Koan Bu, dibokong seperti itu tentu saja dia tidak berdaya. Andaikata tidak sedang turun hujan, mungkin saja dia dapat menangkap suara desir angin tiga batang jarum itu. Akan tetapi kalaupun ada suara itu, kalah jauh oleh suara rintik hujan di atas atap rumah, maka tahu-tahu pendekar sakti ini merasa nyeri pada punggungnya. Sebagai seorang ahli silat yang sakti, dia segera meloncat sambil mengebutkan selimutnya.
Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dia merasa betapa punggungnya nyeri sekali, gatal, panas dan ada rasa kesemutan menjalar dari punggungnya, mengancam kelumpuhan tubuh! Dia sadar akan adanya malapetaka dan segera dia teringat akan isteri dan mantunya. Cepat dia menubruk ke arah pintu yang tertutup.
"Brakkkkk!" Daun pintu kamarnya ambrol dan dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah memasuki kamar mantunya. Asap harum keras menyambutnya dan kakek ini menggunakan kedua tangan memukulkan angin ke depan. Asap itu segera membuyar dan terdesak keluar.
Setelah asap membuyar, Souw Koan Bu melihat betapa isteri dan mantunya sudah tertidur pulas di atas tempat duduk mereka. Ini tidak wajar, pikirnya dan dia menghampiri. Tahulah dia bahwa mereka berdua itu telah keracunan asap tadi. Dia hendak menolong, membungkuk, akan tetapi tiba-tiba rasa nyeri yang hebat menyerang punggungnya dan dia terhuyung.
"Ha-ha-ha-ha! Souw Koan Bu, akhirnya engkau roboh juga di tanganku!"
Souw Koan Bu cepat membalikkan tubuhnya dan terkejutlah dia melihat orang berpakaian hitam berjubah hitam itu. "Raja... Raja Kelelawar!" katanya seperti mimpi, akan tetapi segera dia mengenal wajah itu, wajah muridnya sendiri. "Engkau?!"
Dia hendak menerjang, akan tetapi kembali begitu mengerahkan sinkang, punggungnya terasa nyeri. Racun yang terkandung dalam tiga batang jarum itu sungguh hebat bukan main, dan jarum-jarum itu sudah masuk ke dalam tubuhnya.
"Uhhh!" Dia mengeluh dan bekas muridnya itu tertawa bergelak, campur dengan suara air hujan dan angin sehingga terdengar mengerikan, seperti suara iblis dalam dongeng.
"Ma Kim Liang, mengapa engkau memusuhiku?" bentaknya karena dia merasa penasaran sekali. Kalau murid murtad itu mencuri pusaka karena tamak, hal itu masih dapat dimengertinya. Akan tetapi sesungguhnya bekas murid ini tidak ada alasan untuk memusuhinya!
"Ha-ha-ha, engkau tidak tahu? Aku adalah keturunan Raja Kelelawar, ha-ha-ha. Aku harus membasmi orang-orang yang pernah memusuhi nenek moyangku itu, dan aku akan membangun kembali kerajaan dunia sesat di mana aku akan menjadi rajanya, ha-ha-ha!"
Souw Koan Bu sudah mendengar dari puteranya tentang pusaka peninggalan Raja Kelelawar yang dirampas oleh Kim Liang dengan membunuh cucu murid raja iblis itu. Kim Liang sama sekali bukan keturunan raja iblis itu, juga bukan murid yang diangkat secara sah. Maka sikapnya itu membuat dia merasa serem. "Engkau telah gila!" bentaknya.
"Ha-ha-ha, dan engkau akan mampus!" Ma Kim Liang yang merasa yakin akan kemenangannya menubruk maju. Dia sudah memperdalam ilmu-ilmunya sehingga kini menghadapi bekas gurunyapun, dia belum mencabut pisaunya dan hanya menggunakan pukulan sakti Kim-liong Sin-kun untuk menyerang bekas gurunya itu.
"Huh, Kim-liong Sin-kun inipun berasal dari keluarga kami!" kata Souw Koan Bu dan dengan mudahnya dia mengelak ke sana-sini karena dia hafal akan ilmu silat ini. Akan tetapi ketika dia menangkis dan bertemu tenaga dengan bekas muridnya, dia mengeluh dan terhuyung, hampir terjatuh. Ternyata sebagian tubuhnya lumpuh oleh racun jarum-jarum itu.
"Ha-ha-ha!" Kim Liang tertawa lagi dan menyerang terus. Akan tetapi, ternyata kakek yang sudah terluka parah dan keracunan itu masih hebat bukan main. Biarpun sebagian tubuhnya lumpuh, namun ilmu silatnya yang amat tinggi membuat dia masih dapat melawan dengan hebatnya. Apa lagi ketika dia mengeluarkan dua ilmu Thai-kek Sin-ciang dan Thai-lek Pek-kong-ciang, biarpun tenaga sinkangnya sudah berkurang namun kedua ilmu ini masih hebat dan membuat Kim Liang yang belum dapat menguasai kedua ilmu itu menjadi sukar untuk merobohkannya.
"Keparat!!" bentaknya marah dan kini dia mencabut sepasang belatinya! Dan pemuda ini lalu mengamuk.
Kasihan sekali Souw Koan Bu yang sudah mulai lemah itu. Gerakannya kurang cepat, tenaganya kurang kuat dan tubuhnya penuh dengan luka-luka pisau yang menyambar ganas. Akan tetapi, kakek itu masih melawan terus dengan hebatnya. Bahkan tiba-tiba dia mengeluarkan pekik melengking yang tinggi sekali, pekik yang dimaksudkan untuk melumpuhkan lawan dan memanggil puteranya. Akan tetapi begitu mengerahkan khikang sekuatnya, napasnya hampir putus dan dia terjengkang. Kim Liang yang sudah marah itu menubruk dan sebuah tendangan mengenai perutnya.
"Bukk!" Kim Liang terjengkang akan tetapi tidak terluka karena jubahnya melindunginya. Dia marah sekali dan dua batang pisaunya disambitkan dari jarak dekat.
"Crott! Crottt!!" Souw Koan Bu hanya sempat mengeluarkan gerengan sekali karena dua batang pisau itu telah menembus jantung dan paru-parunya. Dia tewas dalam keadaan menyedihkan sekali.
Biarpun tendangan tadi tidak melukainya, akan tetapi membuat isi perutnya terguncang dan kemarahan Ma Kim Liang memuncak. Dia mencabut kedua pisaunya lalu mengamuk, menusuki tubuh Souw Koan Bu sampai ludas. Darah berhamburan ke mana-mana dari tubuh yang sudah tidak mampu berkutik itu. Sebentar saja, tubuh pendekar itu sudah hancur dan hanya tinggal kepalanya saja yang utuh.
Ma Kim Liang seperti gila. Dia tertawa-tawa, lalu menghampiri nyonya Souw Koan Bu. Dengan kejam, sambil menyeringai sadis, kedua pisaunya digerakkan dan leher nyonya itu terpenggal! Darah menyembur-nyembur dan kini tubuh nyonya itupun menjadi korban keganasan iblis ini.
Yang terakhir kali, Ma Kim Liang menghampiri tubuh Yan Kim yang masih pulas di atas tempat duduknya. Sekali tendang, tubuh itu terpelanting dan roboh ke atas lantai yang penuh darah, terlentang. Pisau-pisau itu bekerja dan dalam waktu sekejap saja semua pakaian wanita cantik itu terlepas, membuatnya rebah terlentang dengan telanjang bulat dalam keadaan masih pulas.
"Ha-ha-ha, engkau tidak mau menjadi kekasihku dan menjadi isteri Souw Thian Hai? Haha-ha, perempuan tolol, sekarangpun aku tidak sudi kepadamu!" Dan kedua batang pisau itupun menyambar-nyambar ganas. Kembali darah muncrat-muncrat ketika menyayat-nyayat dada dan perut. Wanita itu tewas tanpa sempat bergerak atau mengeluh lagi karena masih terbius oleh racun asap.
Sementara itu, tanpa menduga sedikitpun akan malapetaka hebat yang menimpa keluarganya, Souw Thian Hai sedang melatih sinkang di bawah air terjun. Puterinya, Souw Lian Cu, sudah tidur pulas di dalam guha di belakang air terjun, dijaga dan ditunggui oleh Pouw Hong, pelayan keluarga Souw yang setia itu. Tiba-tiba Thian Hai mendengar suara melengking tinggi memecah keheningan malam. Dia terkejut dan mengenal suara khikang ayahnya. Sungguh aneh sekali kalau ayahnya mengeluarkan suara melengking itu di malam buta!
Pasti ada sesuatu, pikirnya. Akan tetapi dia tidak merasa khawatir, tidak menyangka buruk karena dia percaya penuh kepada ayahnya yang sakti. Siapa yang akan berani mengganggu kelu-arganya? Biarpun demikian, dia lalu memesan kepada Pouw Hong untuk menanti di situ sambil menjaga Lian Cu karena dia hendak pulang sebentar untuk melihat apa yang terjadi.
Dengan mempergunakan ilmu berlari cepat, sebentar saja dia sudah tiba di rumah keluarganya. Lampu penerangan masih bernyala dan diapun cepat menuju ke kamarnya dan terkejutlah hatinya melihat dari luar betapa pintu kamarnya telah jebol. Dengan jantung berdebar dia lalu meloncat ke dalam kamar. Lilin masih bernyala di dalam kamar itu, bahkan tidak seperti biasanya, ada lima batang lilin bernyala di atas meja sehingga kamar itu menjadi terang sekali.
"Aaiiihhhh!" Tak terasa Thian Hai menjerit ketika matanya terbelalak memandang ke dalam kamar. Mukanya seketika menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak liar seperti tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Pemandangan di dalam kamar itu akan dapat meremas hati orang yang bagaimana tabah pun juga. Tubuh Souw Koan Bu hancur seperti cacahan daging, hanya kepalanya saja yang dibiarkan utuh sehingga dapat dikenal bahwa mayat yang dicincang itu adalah mayat pendekar sakti ini.
Dan tak jauh dari situ menggeletak tubuh ibunya yang berada di genangan darah yang masih mengucur di lantai, keluar dari lehernya yang putus! Kemudian, matanya menatap tubuh isterinya. Telanjang bulat dan bagian depan tubuh itu disayat-sayat!
"Houkkk!" Thian Hai hampir muntah dan diapun menubruk ke depan, berlutut dan bengong seperti patung. Terlalu hebat pemandangan itu, membuat dia hampir pingsan dan kehilangan kesadaran. Terlalu hebat pukulan dan guncangan batin yang diterima pendekar ini sehingga dia tak tahu harus berbuat apa. Tidak ada suara lagi keluar dari kerongkongannya, dan dia diam saja tak bergerak seperti telah kehilangan semangatnya. Kedukaan itu terlampau besar, kekagetan itu terlampau tiba-tiba.
Dalam keadaan setengah pingsan dan kehilangan kesadaran itu tentu saja Thian Hai menjadi lengah, tidak tahu bahwa ada sesosok tubuh menyelinap masuk dengan gerakan yang amat ringan. Bayangan ini bukan lain adalah Ma Kim Liang. Pemuda yang menaruh dendam ini memang sengaja memasang banyak lilin agar kamar itu menjadi terang dan dia menyelinap bersembunyi mengintai ketika Thian Hai memasuki kamar.
Ketika dia melihat musuh besarnya itu berlutut di dekat mayat-mayat itu dan tak bergerak seperti kehilangan semangat, diapun secepat kilat menyerang dengan Ilmu Sam-ci Tiam-hwe-louw, yaitu totokan menggunakan tiga jari tangan yang amat kuat, satu di antara ilmu-ilmu simpanan keluarga Souw!
Dengan tiga jari tangannya, Kim Liang menotok ke arah ubun-ubun kepala Thian Hai yang sedang berlutut. Serangan ini hebat sekali dan kalau mengenai sasaran di ubun-ubun tentu akan mendatangkan maut, betapapun lihainya orang yang terkena serangan ini.
Thian Hai adalah satu-satunya keturunan keluarga Souw yang telah mewarisi semua ilmu keluarga ini. Ilmu silatnya yang amat tinggi sudah mendarah daging di dalam tubuhnya, sehingga dia seperti memperkuat atau mempertajam indera ke enam yang tidak digerakkan lagi oleh pikiran, melainkan bergerak secara otomatis setiap kali tubuhnya diancam bahaya. Demikian pula, pada saat itu, secara tiba-tiba indera ke enam itu bekerja dan tubuh Thian Hai secara otomatis pun mengelak.
Akan tetapi, sekali ini yang menyerangnya adalah seorang lawan yang amat lihai sehingga elakannya itu tidak berhasil sepenuhnya. Totokan Sam-ci Tiam-hwe-louw yang menggunakan tiga jari tangan itu, yang tadinya menyambar ke arah ubun-ubun, ketika dielakkan masih saja mengenai pelipis Thian Hai.
"Tukk!!" Tubuh Thian Hai terjengkang dan dari mata, mulut, telinga dan hidungnya mengalir darah segar! Melihat ini, Kim Liang tertawa bergelak, merasa yakin akan keberhasilan serangannya walaupun hanya mengenai pelipis dan bukan ubun-ubun yang dijadikan sasaran. Akan tetapi, tiba-tiba dia harus menghentikan tawanya karena Thian Hai sudah melompat dan menerjangnya dengan dahsyat bukan main!
Kim Liang hampir tidak percaya. Totokan tiga jari tangannya tadi tepat mengenai pelipis! Orang lain tentu akan tewas seketika dan biarpun karena kekebalan dan kelihaiannya bekas suhengnya ini tidak sampai tewas, tentu menderita luka yang hebat. Akan tetapi bagaimana mungkin Thian Hai bahkan masih dapat menyerangnya sedemikian dahsyat?
Dia tidak memperoleh banyak waktu untuk memikirkan teka-teki ini karena bekas suhengnya itu menyerang dengan hebat sekali. Terpaksa Kim Liang mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya untuk melawan.
Thian Hai mengamuk. Agaknya totokan itu telah mempengaruhinya, membuatnya kehilangan kesadaran dan kerongkongannya mengeluarkan suara menggereng-gereng seperti binatang buas dan sepak terjangnya amat hebat. Beberapa kali Kim Liang terkena hantaman dan tendangannya dan kalau bukan Kim Liang, tentu telah roboh. Kim Liang merasa gentar bukan main.
Biarpun bekas suhengnya ini sudah terluka hebat, akan tetapi dapat mengamuk sedemikian dahsyatnya. Ngeri dia memikirkan kalau harus melawan bekas suhengnya ini dalam keadaan sehat. Akhirnya, dia temaksa melarikan diri membawa beberapa luka pukulan setelah mencoba untuk melawan selama seratus jurus lebih. Bekas suhengnya itu masih terlampau kuat baginya!
Souw Thian Hai menderita hebat akibat totokan Sam-ci Tiam-hwe-louw itu. Dia kehilangan kesadarannya, kehilangan ingatannya dan seperti berobah menjadi gila. Biarpun lawannya sudah melarikan diri, dia tetap mengamuk seperti orang gila. Rumah itu dihancurkan, dirobohkan lalu dibakar! Tentu saja jenazah ayah bundanya dan isterinya habis terbakar pula, menjadi satu dengan puing rumah yang dibakarnya.
Sambil membakar rumah, Thian Hai berloncatan ke sana-sini sambil kadang-kadang tertawa kadang-kadang menangis. Kemudian diapun meloncat jauh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Dia berlari terus siang malam tiada hentinya sampai akhirnya beberapa hari kemudian dia roboh pingsan di sebuah padang rumput, di mana terdapat banyak domba.
Dia ditolong oleh para penggembala domba dan setelah siuman diapun jatuh sakit hebat. Akan tetapi, jasmaninya yang terlatih baik itu dapat mengatasi derita karena luka pukulan dan tubuhnya sembuh. Akan tetapi ingatannya lenyap dan dia sudah lupa segala-galanya tentang dirinya.
Dia tidak tahu lagi siapa dirinya dan siapa atau di mana keluarganya. Sementara itu, Pouw Hong yang menjaga Souw Lian Cu, akhirnya mengetahui akan malapetaka yang menimpa keluarga majikannya. Diapun melarikan Lian Cu dan karena dia ketakutan kalau-kalau para musuh keluarga itu akan mencarinya, dia lalu membawa Lian Cu kepada adik perempuannya yang sudah menikah dengan seorang she Gan yang hidup di tepi rawa itu. Dan anak perempuan itupun lalu berganti nama menjadi Gan Cui Hiang!
Demikianlah riwayat Souw Thian Hai yang kemudian hanya mengingat namanya sebagai A-hai, yaitu nama kecil yang biasa dipakai ayah bundanya untuk memanggilnya. Seng Kun dan Bwee Hong mendengarkan cerita A-hai atau Souw Thian Hai itu dengan hati tertarik, dan keharuan besar menyelinap di dalam hati Bwee Hong mendengar betapa buruk nasib keluarga pria yang dicintanya itu. Diam-diam iapun berjanji dalam hatinya bahwa kalau sudah tiba saatnya, ia akan memenuhi sisa hidup pria itu dengan cintanya agar Thian Hai mengalami kebahagiaan.
Demikianlah, setelah Thian Hai menuturkan riwayatnya, dia lalu pergi menjemput puterinya di rumah kepala dusun Go Tek. Pertemuan itu amat mengharukan. Begitu bertemu dengan Go Tek yang menggandeng tangan Cui Hiang, Thian Hai menubruk dan merangkul anak perempuan itu, menciuminya dan berkata, "Anakku..., anakku..., engkau anakku! Lian Cu, engkau Lian Cu...!"
Tentu saja Cui Hiang, anak perempuan yang buntung sebelah lengannya itu, menjadi kaget, bingung dan juga ketakutan. "Paman.... paman, ada apakah ini....?" katanya heran.
Juga kepala dusun Go Tek terkejut mendengar bahwa anak perempuan yang memang memiliki ciri-ciri khas keluarga di ubun-ubun dan punggungnya itu ternyata adalah cucunya yang hilang! Setelah Cui Hiang atau Lian Cu itu mendengar cerita tentang keluarga ayahnya, ia pun menangis dalam rangkulan ayahnya dan malam itu keluarga Go Tek berada dalam suasana penuh keharuan dan juga kegembiraan karena keluarga itu dapat bersatu kembali.
Pada keesokan harinya, Thian Hai kembali ke kota raja. Dia menemui Seng Kun, Bwee Hong, Pek Lian dan semua orang yang pernah dikenalnya untuk minta diri, kemudian diapun mengajak Lian Cu pergi meninggalkan kota raja untuk melakukan pengejaran terhadap Raja Kelelawar yang berhasil meloloskan diri, karena dia bersumpah di dalam hatinya untuk mencari dan membunuh bekas sutenya itu!
Thian Hai dan Lian Cu melakukan perjalanan ke arah selatan. Di sepanjang perjalanan, ayah dan anak ini saling melepas rindu hati mereka. Mereka berdua itu kini merasa benar bahwa mereka hanya saling memiliki di dunia ini, tidak ada orang lain. Setidaknya, demikianlah yang terasa oleh Lian Cu karena di sudut hati Thian Hai terdapat bayangan wajah Bwee Hong!
Karena dia dapat menduga bahwa bekas sutenya, Ma Kim Liang kini telah berobah menjadi Raja Kelelawar dan menjadi raja di antara penjahat, dia lalu mendatangi tempat-tempat yang terkenal menjadi sarang dunia hitam. Dia pikir tentu akan lebih mudah mencari jejak Raja Kelelawar melalui lembah hitam dunia kaum sesat.
Pada suatu hari, ketika memasuki sebuah hutan, dari jauh saja Thian Hai sudah dapat menangkap suara hiruk-pikuk orang-orang berkelahi. Cepat dia memberi isyarat kepada Lian Cu untuk berhati-hati. Pada waktu itu, Lian Cu sudah berusia kurang lebih dua belas tahun, dan anak ini telah memiliki dasar-dasar ilmu silat yang secara kilat diajarkan ayahnya kepadanya.
Bahkan selagi ayahnya masih menjadi "A-hai" ia sudah menerima gemblengan ilmu itu. Ia dapat menerimanya dengan amat mudah karena memang sejak bayi ia sudah "dioperasi" sesuai dengan aturan keluarga Souw yang sakti. Dan orang-orang akan merasa heran melihat betapa pria semuda Thian Hai dapat mempunyai seorang anak perempuan yang sudah berusia duabelas tahun.
Akan tetapi, yang mengenal sejak dahulu tidak akan merasa heran karena tahu bahwa Thian Hai kini telah berusia tigapuluh satu atau dua tahun! Kalau dia masih nampak muda, hal itu adalah karena racun totokan Sam-ci Tiam-hwe-louw itulah! Selain mendatangkan luka parah dan membuat ingatannya hilang, juga racun totokan itu membuat dia seperti tidak menjadi semakin tua!
Kini Thian Hai menyusup-nyusup di antara batang-batang pohon bersama puterinya. Lian Cu juga bersikap waspada dan hati-hati, dan jantungnya berdebar tegang. Inilah pengalaman pertama sejak ia melakukan perjalanan bersama ayah kandungnya. Setelah tiba di tempat pertempuran, mereka menyelinap dan bersembunyi sambil mengintai dari balik semak belukar.
Ternyata yang sedang berkelahi itu adalah dua kelompok penjahat kasar yang sedang memperebutkan harta! Melihat pakaian mereka dan cara mereka berkelahi, Thian Hai mengerti bahwa mereka itu adalah orang-orang kasar yang sudah biasa berkelahi keroyokan. Karena dia ingin sekali tahu mengapa mereka berkelahi dan siapakah mereka, dia mempergunakan kepandaiannya.
Dengan gerakan cepat dia meloncat dari tempat sembunyinya, mencengkeram leher baju seorang di antara mereka yang sudah terluka dan menyeretnya ke balik semak-semak. Tidak ada yang melihat perbuatan pendekar ini karena semua orang sedang sibuk berkelahi. Setelah dipaksa dengan ancaman, orang itupun mengaku dan dengan suara terputus-putus dia bercerita. Ternyata dua puluh orang lebih itu adalah bekas pasukan pengawal dari istana, anak buah Perdana Menteri Li Su.
Ketika kota raja terancam oleh barisan pemberontak, Perdana Menteri Li Su siang-siang sudah mempersiapkan pengungsian keluarga dan harta bendanya. Perdana Menteri Li Su adalah seorang pembesar yang korup. Harta bendanya banyak sekali dan untuk menyelamatkan harta benda dan keluarganya, dia menyuruh sepasukan pengawal mengantar keluarganya ke luar kota raja, kembali ke kampung halaman. Dia mengatakan agar pasukan itu berangkat dulu dan dia akan menyusul kemudian.
Akhirnya pasukan itu berhasil mengawal keluarga dan harta benda itu sampai di pantai timur, di mana direncanakan untuk menanti kedatangan perdana menteri itu. Akan tetapi, pembesar itu tak kunjung datang, bahkan para pengawal lalu mendengar bahwa pembesar itu telah terbunuh oleh barisan pemberontak. Mendengar berita ini, para pengawal menjadi gelisah.
Dan karena di situ terdapat banyak wanita cantik dan harta benda yang banyak, tak dapat dicegah lagi terjadilah pemberontak dan perebutan. Terjadilah perkelahian di antara para pengawal itu sendiri. Pihak pemenang lalu mencari harta karun. Akan tetapi, mereka tidak menemukan harta karun kecuali perhiasan-perhiasan yang dipakai oleh para wanita dan anak-anak. Marahlah mereka.
Semua perhiasan itu dirampas, para wanita yang cantik dan muda mereka permainkan dan perkosa, selebihnya, yang tua dan kanak-kanak dibunuh. Pembantaian besar-besaran ini terjadi di tepi laut dan akhirnya, mereka yang tadinya diperkosapun dibunuh semua. Mayat-mayat mereka, berikut tandu-tandu yang tadinya dipakai mengangkut mereka, dibuang ke lautan.
"Hemm, kalian sungguh orang-orang kejam!" Thian Hai memotong cerita orang itu.
Orang itu terengah-engah karena lukanya memang berat. "Kami melarikan perhiasan-perhiasan itu, akan tetapi sesampainya di hutan ini, kembali terjadi keretakan dan perebutan antara pemimpin-pemimpin kami sehingga terjadi perkelahian ini...." Orang itu tidak dapat melanjutkan ceritanya karena dia sudah roboh pingsan karena kehabisan darah yang bercucuran keluar dari lukanya.
Akhirnya perkelahian itupun berhenti setelah pihak yang kalah habis dibunuh. Pihak yang menang tinggal belasan orang lagi, dipimpin oleh seorang bekas perwira. Karena kelelahan, kepala penjahat ini lalu menduduki sebuah tandu, satu-satunya tandu yang masih ada karena yang lain semua dibuang ke laut, dan memerintahkan anak buahnya untuk memikulnya secara bergilir.
Thian Hai mengajak puterinya untuk membayangi mereka. Siapa tahu, para penjahat bekas pengawal istana ini akhirnya akan membawanya kepada musuh besarnya! Dan para penjahat yang masih berpakaian seperti pasukan itupun dapat melakukan perjalanan dengjan aman karena seperti biasa, rakyat sudah menyingkir ketakutan melihat pasukan serdadu ini.
Pada sore hari itu mereka tiba di tepi sungai dan tiba-tiba saja nampak belasan orang berloncatan keluar dari balik semak-semak dan pohon-pohon besar. Mereka itu jelas perampok-perampok dengan pakaian mereka yang tidak karuan dan senjata mereka yang bermacam-macam. Dan tanpa banyak cakap lagi, belasan orang perampok yang muncul itu lalu menyerang. Terjadilah perkelahian lagi.
Akan tetapi bekas pengawal itu rata-rata memiliki kepandaian berkelahi yang lumayan sehingga kelompok perampok kewalahan menghadapi mereka. Para pengawal ini mahir mempergunakan gendewa dan anak panah, juga pandai berkelahi dengan golok dan perisai. Thian Hai dan putrinya hanya mengintai, tidak mau mencampuri urusan orang-orang yang saling berebut harta itu. Diam-diam Thian Hai melihat betapa gilanya manusia. Memperebutkan harta benda seperti itu, sampai bunuh-bunuhan!
Akan tetapi, ketika para perampok itu mulai terdesak, tiba-tiba muncullah seorang gendut pendek yang membawa senjata ruyung atau alu pendek. Begitu muncul, orang ini menggunakan alunya untuk mengamuk dan para perajurit itu tidak ada yang mampu melawannya, seorang demi seorangpun roboh! Melihat orang gendut pendek ini, Thian Hai menahan seruannya. Dia mengenal orang itu. Sin-go Mo Kai Ci Si Buaya Sakti, kepala bajak sungai yang perkasa itu.
Dan hatinya merasa girang, harapannya muncul karena datuk sesat ini merupakan seorang di antara para pembantu Raja Kelelawar! Akan tetapi, dia tidak mungkin muncul begitu saja. Kalau melihat dia, tentu Buaya Sakti itu akan mengerahkan anak buahnya untuk mengeroyok dan akan sukarlah baginya untuk mengikuti jejak musuh besarnya. Dia harus mencari dan menggunakan akal yang cerdik, agar dia dapat mengikuti orang-orang ini ke sarang mereka tanpa mereka curigai.
Setelah Thian Hai meninggalkan kota raja, suasana di kota raja semakin tenang karena Liu Pang yang kini telah menjadi Kaisar Han Kao Cu mulai mengatur pemerintahan dengan bijaksana, dibantu oleh para pendekar yang kini memperoleh kedudukan tinggi sesuai dengan jasa dan kepandaian masing-masing.
Setelah suasana menjadi tenang, Chu Seng Kun berpamit kepada ayahnya yang kini telah memegang jabatannya kembali sebagai ketua kuil di lingkungan istana, untuk pergi mengunjungi keluarga Kwa, ketua Tai-bong-pai yang telah meninggalkan undangan kepadanya itu.
Bu Hong Seng-jin, ayah pemuda itu, sebetulnya merasa berat juga melepas kedua orang anaknya, karena Bwee Hong tidak mau ditinggalkan kakaknya, pergi mengunjungi keluarga yang dianggapnya sebagai orang-orang sesat itu. Akan tetapi diapun maklum bahwa selama dalam kekacauan, kedua orang anaknya itu telah menjalin tali persahabatan dengan banyak orang, dan sedikit banyak, keluarga Tai-bong-pai itu telah berjasa bagi pemerintah yang baru.
Selain itu, juga menurut cerita anak-anaknya, puteri ketua Tai-bong-pai sudah beberapa kali menolong dan menyelamatkan mereka. Maka, terpaksa kakek ini membiarkan kedua orang anaknya pergi.
Setelah kakak beradik yang menjadi sahabat paling dekat itu pergi, Ho Pek Lian merasa betapa hidupnya sunyi. Dia merasa kesepian sekali. Pertama-tama dara ini mengalami pukulan batin ketika mendapat kenyataan bahwa A-hai pemuda yang mula-mula ditemukannya itu ternyata adalah seorang pendekar bernama Souw Thian Hai yang selain sakti, juga sudah mempunyai keluarga, punya isteri dan anak. Lebih dari pada itu, iapun dapat merasakan dari sikap sahabatnya, Chu Bwee Hong, bahwa antara Bwee Hong dan Thian Hai terdapat perasaan saling mencinta.
Kemudian, lepasnya A-hai atau Thian Hai dari hatinya, ia condong kembali kepada gurunya yang kini telah menjadi kaisar. Akan tetapi, dengan hati duka ia harus dapat melihat kenyataan bahwa tidaklah mungkin ia berdekatan lagi dengan pria yang selama ini amat dikaguminya dan diam-diam juga mendapatkan tempat penting di dalam lubuk hatinya. Liu Pang telah menjadi kaisar. Selain kaisar, juga pria ini adalah gurunya. Mana mungkin baginya untuk mendekatinya terus?
Kedukaan ini ditambah lagi melihat para pembesar jujur yang dahulu menjadi sahabat-sahabat dan teman seperjuangan ayahnya, kini memperoleh kedudukan layak kembali dan hidup bahagia dengan keluarga mereka. Hal ini membuat ia teringat akan keluarganya sendiri yang sudah berantakan. Dan iapun terdorong oleh hasrat yang amat kuat untuk pergi mengunjungi makam ayahnya.
Ketika ia hendak menghadap gurunya untuk bermohon diri, ia mendengar bahwa kaisar yang baru itu sedang sibuk memimpin sendiri pasukan istimewa untuk mengadakan pembersihan di daerah kota raja!
Memang tindakan kaisar baru ini bijaksana sekali. Dia tidak mau enak-enakan saja setelah menduduki singgasana, melainkan bekerja memberi contoh kepada para pembantunya, mengadakan pembersihan dan turun tangan sendiri agar suasana menjadi benar-benar aman dan rakyat dapat hidup tenang setelah menderita kekacauan selama bertahun-tahun karena perang saudara itu.
Terpaksa Pek Lian, lalu menyusul ke tempat pasukan gurunya itu beroperasi dan di luar kota raja, akhirnya dara ini dapat bertemu dengan gurunya atau Kaisar Han Kao Cu yang sedang beristirahat dan duduk di bawah pohon besar, berlindung dari terik panas matahari yang membuat tubuhnya amat gerah dalam pakaian perang kebesaran yang megah itu.
Pek Lian lalu menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya. Melihat dara ini, sang kaisar tersenyum. "Ah, kiranya engkau yang mohon menghadapku dalam saat dan di tempat seperti ini, nona Ho?"
Pek Lian merasa terharu dan semakin kagum. Biarpun sudah menjadi kaisar, ternyata gurunya ini masih bersikap biasa kepadanya, menyebutnya "nona Ho" dan bersikap sederhana seperti gurunya yang biasa. Akan tetapi ia sendiri tidak mungkin berani bersikap seperti terhadap Liu Pang ketika masih melakukan perjalanan bersamanya untuk melakukan penyelidikan. Pria gagah perkasa di depannya ini adalah kaisar. Maka iapun berlutut memberi hormat tanpa berani mengangkat mukanya.
"Sri baginda, harap paduka sudi memaafkan hamba yang berani datang mengganggu dan menghadap tanpa dipanggil. Hamba menghadap untuk mohon perkenan paduka untuk pergi mengunjungi makam ayah hamba."
Di dalam suara dara itu terkandung kedukaan hatinya dan hal ini agaknya terasa oleh kaisar. Dia memandang murid itu dengan kerut di antara keningnya dan diulurkannya tangan kanannya untuk menyentuh kepala dara perkasa itu. Sejenak dielusnya rambut kepala itu penuh keharuan dan kemesraan hatinya, akan tetapi perlahan-lahan ditariknya kembali tangannya.
"Nona Ho, setelah engkau mengerahkan segala-galanya, juga sudah berkorban keluarga, demi perjuangan, mengapa engkau tidak mau menikmati hasilnya? Engkau tidak mau menerima jabatan, dan bekas istana keluarga ayahmu telah kuberikan kepadamu. Akan tetapi engkau tidak mau beristirahat di rumah, melainkan hendak pergi lagi. Ingat, sehabis perang, keadaan di luar masih kacau dan orang-orangku belum sempat mengamankan seluruh daerah."
"Sri baginda, hamba merasa kesepian setelah semua sahabat pergi dan... dan hamba ingin bersembahyang di depan makam ayah!"
Kaisar itu menarik napas panjang dan memandang dengan terharu. "Nona, sejak berjuang, engkau selalu berada di sampingku, seperti murid atau anak sendiri, aku menyesal sekali bahwa sekarang, sebagai kaisar, tidak mungkin aku, kita, ah, menjadi orang besar sama seperti duduk di tempat paling tinggi, nampak dari manapun dan dijadikan sari tauladan, disorot oleh semua rakyat. Maka, terpaksa harus berhati-hati dan tidak mungkin dapat berbuat sekehendak hati sendiri. Baiklah, engkau berangkatlah, akan tetapi harus berhati-hati dan sebaiknya kalau menyamar sebagai seorang pria."
Hati Pek Lian terharu mendengar ucapan gurunya itu. Ia maklum apa yang dimaksudkan oleh kaisar, bahwa kaisar sebenarnya juga ingin selalu berdampingan dengannya, akan tetapi sebagai kaisar, akan menjadi celaan orang kalau berdekatan dengan seorang gadis yang dikenal sebagai muridnya. Terdapat jurang pemisah di antara mereka, jurang yang berupa kedudukan pemimpin itu.
Bagaimanapun juga, seorang murid sama dengan anak, kalau seorang guru menikah dengan muridnya, sama saja dengan seorang ayah menikahi anaknya. Hal ini masih tidak begitu menghebohkan kalau terjadi di antara rakyat biasa, akan tetapi kaisar? Tentu akan merupakan aib!
Setelah memberi hormat dan sejenak bertemu pandang yang menembus sampai ke jantung, Pek Lian lalu mengundurkan diri dan berkemas. Ia menyamar sebagai seorang pria muda yang tampan dan berangkatlah dara ini sendirian meninggalkan kota raja.
Di sepanjang perjalanan Pek Lian melihat bekas-bekas perang dan diam-diam ia mengeluh dan merasa bersedih atas nasib rakyat jelata. Ketika ia sendiri sedang berjuang, seluruh perhatiannya tertuju kepada perjuangan sehingga dia melihat semua penderitaan rakyat akibat perang itu sebagai korban perjuangan yang suci.
Pengorbanan yang diderita rakyat itu dianggap sebagai bahan bakar perjuangan, sebagai penambah semangat dan perjuangan itupim dilakukan oleh para pendekar demi kemakmuran rakyat jelata, demi membebas-kan rakyat dari tindasan si angkara murka.
Akan tetapi sekarang, setelah perang selesai dan para pejuang berhasil memperoleh kemenangan, gurunya menjadi kaisar dan para pembantu gurunya masing-masing memperoleh kedudukan, harta benda dan kemuliaan, baru ia melihat betapa rakyat jelata yang tadinya menjadi kocar-kacir hidupnya dilanda perang, kini masih juga belum terbebas dari pada kesengsaraan!
Bahkan sebaliknya, kemalangan lain menimpa rakyat jelata karena perang telah membuat daerah-daerah pedalaman menjadi daerah tak bertuan. Pergantian pemerintah menimbulkan perebutan kekuasaan di daerah-daerah, dan karena belum ada ketentuan siapa yang akan menjadi kepala di suatu daerah, maka daerah itu seolah-olah menjadi medan perang perebutan kekuasaan, menjadi daerah kosong sehingga kaum penjahat merajalela seenaknya tanpa ada pihak pemerintah yang ditakutinya.
Rakyat hidup dalam kegelisahan tanpa pelindung karena pemerintah yang baru belum sempat mengirimkan pembesar untuk daerah-daerah itu. Ada pembesar lama yang masih mempertahankan kedudukannya dan menjadi semacam raja kecil. Kalau tidak demikian, tentu kepala penjahat yang menggantikannya menjadi semacam pejabat sementara yang sewenang-wenang.
Sepanjang sejarah, di bagian manapun juga di dunia ini, perang merupakan semacam wabah yang paling keji dan terkutuk bagi manusia. Di dalam perang, manusia bukan saja terserang dan terancam jasmaninya, akan tetapi juga terancam rohaninya. Perang membuat manusia menjadi keras, kejam, mementingkan diri sendiri, haus akan keku-asaan. Perang adalah perebutan kekuasaan antara orang-orang golongan atas, perebutan yang dilakukan di atas tumpukan mayat rakyat jelata.
Bagaikan dalang atau suteradara, golongan atas ini bersembunyi di belakang layar, membiarkan rakyat yang berkiprah di dalam perang dengan pengorbanan harta dan nyawa. Kalau kemenangan tercapai, orang-orang golongan atas itulah yang akan membagi-bagi rejeki di antara mereka sendiri, lupa sudah akan segala pengorbanan yang dilakukan rakyat demi kemenangan perjuangan mereka.
Kalau kekalahan diderita, orang-orang golongan atas itulah yang akan bersicepat lari mengungsi sambil menyelamatkan keluarga dan harta mereka. Tentu ada kecualinya, ada orang-orang yang berjiwa pemimpin dan pahlawan sejati, akan tetapi yang begini ini hanya ada beberapa gelintir? Sebagian besar adalah dalang-dalang curang yang mementingkan diri sendiri dan hanya mempergunakan rakyat untuk mencapai cita-cita pribadinya.
Tidaklah mengherankan apa bila Pek Lian merasa berduka dan menyesal sekali ketika ia menyaksikan kesengsaraan rakyat di daerah-daerah dalam perjalanannya itu. Pek Lian adalah seorang pendekar sejati, seorang yang berjiwa patriot tanpa ambisi pribadi. Ia menuruni watak ayahnya, Menteri Ho yang terkenal sebagai seorang menteri yang jujur. Kejahatan merajalela dan penduduk hidup dalam keadaan yang tidak tenang, selalu diburu ketakutan.
Ketika Pek Lian memasuki kota itu, hari sudah hampir senja dan selagi ia berkeliling mencari sebuah rumah penginapan, tiba-tiba ia mendengar suara teriakan-teriakan. Lalu nampak belasan orang berlari-larian keluar dari sebuah rumah yang dirias, beberapa orang di antara mereka yang lari itu memikul sebuah tandu dan ada pula yang memondong seorang pemuda yang berpakaian pengantin.
"Tolong, toloonggg! Kedua pengantin, diculik!" Teriak seorang laki-laki tua yang berlari keluar dari rumah itu sambil melakukan pengejaran. Sebuah tendangan dari seorang yang bertubuh tinggi besar membuat orang tua itu terpelanting. Para tamu juga berlari keluar akan tetapi tidak ada seorangpun di antara mereka yang berani melakukan pengejaran.
Melihat ini, sejenak Pek Lian berdiri bengong. Ia tidak akan merasa heran mendengar seorang gadis atau seorang pengantin puteri diculik penjahat. Akan tetapi sepasang pengantin yang diculik? Sungguh luar biasa dan tentu ada apa-apanya di balik peristiwa aneh ini. Maka, iapun cepat mempergunakan kepandaiannya untuk melakukan pe-ngejaran. Setelah rombongan penculik itu tiba di luar kota, di tepi sebuah hutan, tiba-tiba mereka terkejut melihat munculnya seorang pemuda tampan yang berdiri bertolak pinggang menghadang jalan.
"Penculik-penculik hina! Hayo bebaskan sepasang pengantin itu kalau kalian ingin selamat!" Pek Lian membentak dengan marah. Kemarahan Pek Lian bukan hanya melihat orang-orang kasar ini melakukan kejahatan, akan tetapi juga karena tidak melihat adanya petugas-petugas keamanan yang mencegah kejahatan itu, bahkan tidak ada pula yang melakukan pengejaran.
Pemimpin gerombolan itu adalah seorang kakek berusia enampuluh tahun lebih yang memegang sebatang toya. Melihat seorang pemuda yang kelihatan begitu muda dan tampan berani menghadang dan menantang, dia menjadi marah, akan tetapi juga merasa geli hatinya. Pemuda ini seperti seekor harimau kecil yang baru mulai berani berlagak, pikirnya.
Akan tetapi pemuda itu masih amat muda dan amat tampan, jauh lebih tampan dari pada pengantin pria yang mereka culik. Kalau dia dapat menangkap pemuda ini dan menghadapkannya kepada pemimpinnya, tentu dia akan menerima ganjaran.
"Tangkap anak ayam ini!" perintahnya dan belasan orang itu maju mengepung Pek Lian sambil tertawa-tawa mengejek. Mereka semua mengira akan dengan amat mudahnya menangkap pemuda ini.
"Ha-ha-ha, bocah ingusan, engkau sudah berani berlagak!" kata seorang di antara mereka sambil menubruk ke depan. Akan tetapi, secepat kilat Pek Lian melompat ke kiri dan kaki kanannya bergerak menendang, cepat dan kuat.
"Dukk! Heppp!" Orang yang kena tendang itu terjengkang, memegangi ulu hati yang kena tendang dan megap-megap seperti ikan di darat karena pernapasannya menjadi sesak oleh tendangan itu.
Melihat ini, teman-temannya menjadi marah dan empat orang menubruk ke depan. Kembali mereka kecelik karena mereka hanya menubruk tempat kosong dan sebelum mereka sempat me-nyingkir, Pek Lian telah menghujankan pukulan dan tendangan yang membuat mereka terpelanting dan mengaduh-aduh.
Kini marahlah si kepala gerombolan, juga matanya terbuka melihat kenyataan bahwa pemuda ingusan itu sesungguhnya bukan orang sembarangan, bukan mangsa lunak melainkan lawan yang berbahaya! Maka diapun menggerakkan toyanya dan membentak, "Bunuh setan, ini!"
Teman-temannya juga sudah marah dan mereka mempergunakan segala macam senjata yang ada pada mereka untuk maju mengeroyok, dan melihat ini, Pek Lian cepat mencabut pedangnya yang disembunyikan di balik baju luarnya. Nampak sinar berkilat dan berturut-turut dua orang anggauta gerombolan menjerit kesakitan. Pek Lian yang juga sudah marah sekali itu mengamuk, pedangnya berkelebatan dan si kepala gerombolan yang kelihatan paling lihai di antara mereka itupun tidak terluput dari amukannya.
Pundak kiri orang itu terserempet pedang, membuat dia terpekik dan melompat ke belakang, kemudian terus melarikan diri! Teman-temannya merasa gentar, dan sambil menyeret tubuh teman-teman yang terluka, merekapun melarikan diri meninggalkan si pemuda ingusan!
Pek Lian memang tidak berniat membunuh orang. Akan tetapi, ia ingin tahu siapa yang menjadi pemimpin mereka. Maka iapun cepat mengambil sepotong batu dan menyambitkan batu itu ke arah seorang anggauta gerombolan yang larinya paling belakang. Batu kerikil menyambar, mencium tengkuk dan orang itupun terguling roboh. Teman-temannya hendak menolong, akan tetapi melihat pemuda ingusan itu sudah berloncatan datang, mereka ketakutan dan melarikan diri, tidak perduli lagi kepada teman mereka yang roboh tadi.
"Hayo katakan, siapa yang menjadi pemimpin kalian dan apa maksud kalian menculik sepasang pengantin itu?" bentak Pek Lian sambil menodongkan pedangnya di dada orang yang masih pening kepalanya terkena sambitan pada tengkuknya itu.
"Ampun... ampun... saya hanya... hanya anak buah saja."
"Katakan siapa pemimpinmu dan mengapa menculik sepasang pengantin!" Pek Lian menghardik dan ujung pedangnya menembus baju melukai kulit dada.
"Aduh...! Ampun..... kami adalah anak buah kepala daerah kota San-cou dan... dan beliau yang memerintahkan kami menculik sepasang pengantin."
"Untuk apa....?" Pek Lian bertanya heran.
"Entahlah, mana saya mengetahui? Mungkin... taijin dan teman-temannya suka ditemani orang-orang muda, laki ataupun wanita...."
Pek Lian menarik pedangnya dan menendang dagu Orang itu. "Pergilah!"
Orang itu pergi, Pek Lian menghampiri sepasang pengantin itu. Pengantin pria telah membuka tirai tandu dan kini dia sedang merangkul isterinya yang menangis ketakutan. Melihat adegan mesra ini, Pek Lian merasa jantungnya tertusuk dan iapun lalu berkata, "Sebaiknya kalau kalian cepat-cepat pergi dari sini dan sementara ini bersembunyi saja di tempat lain."
Pengantin pria itu lalu menarik keluar pengantin wanita, mengajaknya menjatuhkan diri berlutut di depan Pek Lian. "Kami berdua menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan taihiap..." kata pengantin pria sedangkan pengantin wanita sambil menangis hanya mengangguk-anggukkan kepala.
"Sudahlah, aku hanya ingin bertanya, di manakah kota San-cou itu?"
"Tidak jauh dari sini, taihiap. Di luar hutan ini akan ada jalan menuju ke San-cou."
"Terima kasih, aku akan pergi ke sana. Kalian pergilah sebelum gelap." kata Pek Lian sambil membalikkan tubuhnya hendak pergi dari tempat itu.
"Nanti dulu, taihiap!" tiba-tiba terdengar suara pengantin wanita yang sejak tadi tidak mengeluarkan kata-kata.
Pek Lian berhenti dan membalikkan tubuhnya, memandang pengantin wanita yang kini bersama suaminya sudah bangkit berdiri. "Ada apakah?" tanyanya heran mengapa pengantin wanita itu memanggilnya, suatu hal yang amat berani bagi seorang pengantin wanita yang biasanya malu-malu terhadap seorang pria asing.
Pengantin wanita itu memang nampak malu-malu, akan tetapi suaranya bersungguh-sungguh ketika ia berkata, "Maaf, taihiap. Pakaianmu memang sudah tepat, akan tetapi gerak-gerikmu dan kulit mukamu yang halus, bentuk alis dan anak rambutmu tidak menyembunyikan sifat kewanitaan. Penyamaran taihiap kurang berhasil dan mudah diketahui orang."
Mendengar ucapan itu, wajah Pek Lian menjadi merah dan iapun tertawa sambil membuka kain penutup kepalanya. "Aih, kalau engkau dapat mengenaliku, cici, tidak ada gunanya lagi aku bersusah payah menyamar. Akupun merasa tidak leluasa kalau harus merobah suara dan sikap."
Pengantin pria itu memandang bengong kepada gadis cantik jelita yang berada di depannya. Dia sendiri sama sekali tidak pernah mengira bahwa pendekar yang lihai dan yang telah menyelamatkan dia dan isterinya itu ternyata adalah seorang dara yang cantik!
Setelah mereka saling berpisah, Pek Lian langsung saja pergi ke San-cou, lalu mencari keterangan perihal kepala daerah dan didengarnya bahwa kepala daerah itu adalah seorang baru. Di dalam perebutan kekuasaan, kepala daerah baru ini berhasil menggulingkan kepala daerah yang lama. Anehnya, tidak ada orang yang mengenal benar siapa adanya kepala daerah ini dan, dari mana asalnya!
Menurut keterangan itu, baru satu bulan kepala daerah baru ini menguasai San-cou, dan semenjak itu, berbagai perbuatan kejam dan sewenang-wenang terjadilah. Satu di antara kejahatan-kejahatan itu adalah bagaimana si pembesar membiarkan anak buahnya menculik gadis-gadis cantik dan pemuda-pemuda tampan yang kabarnya dipaksa menjadi pelayan-pelayan di dalam gedung kepala daerah yang baru.
Begitu memperoleh keterangan jelas dan merasa yakin bahwa kepala daerah baru itu memang jahat dan sewenang-wenang, Pek Lian lalu langsung pergi mengunjungi gedung besar dan megah tempat tinggal kepala daerah baru itu. Tentu saja para penjaga di luar pintu gerbang merasa heran melihat munculnya seorang gadis cantik yang menyatakan ingin menghadap pembesar itu. Akan tetapi, Pek Lian melihat betapa para penjaga itu tertawa-tawa dan dengan sikap kurang ajar mereka mempersilahkan Pek Lian menanti.
"Tunggu dulu sebentar, nona. Kami yakin bahwa seorang cantik manis seperti engkau tentu akan diterima, oleh taijin, walaupun hari telah mulai gelap. Ha-ha, siapa yang tidak akan girang menerima kunjungan seorang tamu seperti nona?"
Pek Lian tidak mau melayani kekurang-ajaran mereka. Dara ini menanti dan tidak lama kemudian ia dipersilahkan masuk oleh penjaga yang tersenyum-senyum menyeringai memuakkan. Empat orang penjaga yang memegang tombak mengawalnya. Pek Lian diajak masuk ke sebuah ruangan luas dan dari jauh ia sudah melihat seorang berpakaian pembesar duduk di atas kursi kebesarannya yang terletak tinggi di puncak anak tangga.
Beberapa orang pengawal berdiri menjaganya dan didekatnya duduk seorang perwira yang berpakaian mewah dan bertubuh kokoh kuat. Pek Lian maklum bahwa ia telah memasuki. sarang harimau. Akan tetapi hatinya terlampau marah kepada pembesar yang suka menculik orang-orang muda itu dan begitu melihat pembesar itu ia lalu menudingkan telunjuknya.
"Engkaukah kepala daerah kota San-cou?"
Mendengar pertanyaan yang diucapkan dengan tegas ini, si perwira meloncat turun menghadapinya dan para pengawal yang tadi mengiringkannya lalu menodongkan tombaknya kepada Pek Lian. Akan tetapi dara ini bersikap tenang saja. Kini ia mengenal beberapa orang pengawal sebagai anggauta penculik yang sore tadi dihajarnya. Agaknya mereka tidak mengenalnya karena ia kini sudah berpakaian sebagai seorang perempuan...