Darah Pendekar Jilid 32

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Darah Pendekar Jilid 32
Sonny Ogawa

Darah Pendekar Jilid 32 karya Kho Ping Hoo - PEMBESAR itu sendiri mengerutkan alisnya, akan tetapi sikapnya masih ramah karena dia melihat bahwa gadis itu benar-benar cantik jelita seperti yang dilaporkan oleh penjaga tadi.

Novel silat Darah Pendekar karya Kho Ping Hoo

"Nona, memang akulah kepala daerah di sini. Siapakah engkau dan apa keperluanmu malam-malam datang ke sini?"

"Siapa aku tidak penting. Aku mewakili semua muda-mudi yang menderita gangguanmu. Benarkah engkau yang menyuruh gerombolan penjahat menculiki pemuda-pemuda dan gadis-gadis, juga yang sore tadi hendak menculik sepasang pengantin di kota Tung-cou?"

"Eh... ohh.... aku... aku tidak..." Pembesar itu menjawab tergagap.

"Heii, ia ini yang tadi menyamar pria dan menggagalkan pekerjaan kita!" Tiba-tiba seorang pengawal berteriak ketika dia mengenal Pek Lian. Mendengar ini, belasan orang perajurit segera mengepung dara itu.

Dan si perwira yang mendengar teriakan anak buahnya lalu berseru, "Tangkap gadis ini!!"

Akan tetapi, gadis itu telah mencabut pedangnya dan mengamuk. Seperti ketika ia dikeroyok di hutan tadi, kinipun para perajurit bukanlah tandingannya. Ilmu pedang yang dimainkan Pek Lian sungguh hebat dan sebentar saja beberapa orang perajurit telah roboh terluka dan ada pula yang kehilangan senjatanya. Hanya tinggal perwira berjenggot pendek itu yang masih melawan dengan pedangnya dibantu sisa para pengawal pribadinya.

"Tahan senjata!" tiba-tiba terdengar bentakan halus dan muncullah dua orang wanita kembar yang sikapnya genit, pesolek dan cukup cantik bi-arpun muka mereka tebal oleh riasan. Melihat mereka, terkejutlah Pek Lian. Ia mengenal mereka karena sepasang wanita kembar itu bukan lain adalah Jeng-bin Siang-kwi (Iblis Kembar Seribu Muka), yaitu dua orang wanita kembar yang merupakan tokoh ke tiga dan ke empat dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to!

"Aihh! Kiranya puteri Menteri Ho yang muncul! Hi-hik, bagus sekali, mari kita tangkap gadis ini dan biar taijin menikmatinya." Dua orang wanita itu sudah menubruk ke depan untuk menangkap Pek Lian.

Dara ini maklum akan kelihaian lawan, maka iapun memutar pedangnya menangkis dan balas menyerang. Akan tetapi, gerakan kedua orang wanita itu sungguh cepat dan karena mereka berdua maju bersama, biarpun keduanya bertangan kosong, Pek Lian menjadi terdesak dan beberapa kali hampir saja ia kena dipukul atau ditangkap. Dara ini maklum bahwa ia tidak boleh melanjutkan amukannya.

Tiba-tiba ia mengeluarkan bentakan halus ketika tangan kirinya bergerak dan ia sudah melemparkan dua batang piauw berturut-turut ke arah dua orang lawan itu. Ketika dua orang lawannya mengelak dengan gesit, Pek Lian melompat jauh ke belakang dan keluar dari dalam bangunan. Para penjaga tidak berani mencoba untuk menghalanginya karena mereka sudah tahu betapa lihainya dara ini, dan kedua orang wanita kembar itupun hanya mengejar sampai di pintu.

Dan membiarkan gadis itu melarikan diri dan lenyap di dalam kegelapan malam. Agaknya dua orang wanita kembar itu merasa gentar kalau-kalau Pek Lian datang membawa teman dan merekapun sudah maklum siapa adanya dara perkasa ini, dan bahwa dara perkasa ini mempunyai banyak sekali kawan-kawan pendekar yang tinggi ilmunya.

Pek Lian juga maklum bahwa dengan adanya iblis betina kembar itu di rumah si kepala daerah ia tidak dapat berbuat banyak. Ia tahu sampai di mana kelihaian sepasang iblis itu, belum lagi diingat kemungkinan hadirnya pula iblis-iblis Ban-kwi-to yang lain. Kiranya para penghuni Ban-kwi-to, setelah kegagalan mereka bersekongkol dengan para pembesar pengkhianat, melarikan diri bersembunyi di tempat yang tak tersangka-sangka, yaitu di rumah para pembesar yang dapat mereka kuasai.

Kini tahulah ia siapa yang berdiri di balik kejahatan penculikan-penculikan itu. Tentu sepasang iblis betina ini yang membutuhkan pemuda-pemuda yang diculik, sedangkan gadis-gadis yang diculik tentu diberikan kepada si pembesar, atau mungkin juga kawan-kawan para iblis itu. Ia tidak dapat berbuat apa-apa pada saat itu.

Akan tetapi sudah dicatatnya di dalam hati agar kelak kalau ia sudah kembali ke kota raja, ia dapat melapor kepada kaisar dan pasukan yang kuat akan dikirim untuk menghancurkan penjahat-penjahat itu. Juga daerah harus dibersihkan dari pada pembesar-pembesar yang pada hakekatnya hanyalah penjahat-penjahat berkedok kedudukan mereka.

Karena maklum bahwa besar kemungkinan ia akan dikejar oleh pihak lawan, maka Pek Lian terus melarikan diri dengan cepat sampai lewat tengah malam ia terpaksa berhenti karena terhalang oleh sebuah sungai yang cukup besar dan lebar. Ia mencari-cari perahu untuk menyeberang dan karena akhirnya ia hanya dapat melihat sebuah perahu besar yang berhenti di tepi sungai itu, iapun menghampiri perahu itu. Sunyi di perahu itu, agaknya semua penghuninya sudah tidur.

Dua orang laki-laki yang agaknya menjadi penjaga malam di ujung perahu, ketika melihat seorang gadis longak-longok sendirian di situ, lalu menghampiri dan bertanya, "Siapakah nona dan hendak mencari siapa?"

Tanpa menyangka buruk, Pek Lian yang sudah lelah itu menjawab, "Saya seorang pelancong yang kemalaman di sini dan hendak mencari perahu untuk menyeberang."

"Aihh, kebetulan sekali, nona. Kamipun hendak menyeberang. Kalau nona mau, mari ikut kami menyeberang dengan perahu ini."

Tentu saja tawaran itu disambut gembira oleh Pek Lian. "Terima kasih, saudara baik sekali. Jangan khawatir, nanti akan saya bayar berapapun biaya penyeberangannya."

Dua orang itu tidak menjawab melainkan mempersilahkan Pek Lian naik perahu. Perahu itu memang besar sekali, sebuah perahu yang akan cukup memuat puluhan orang dan begitu naik ke perahu, Pek Lian melihat bahwa memang penghuninya banyak sekali, sebagian besar laki-laki yang tidur malang-melintang di atas geladak perahu.

Melihat betapa beberapa orang di antara mereka itu yang belum tidur menyeringai kepadanya dan rata-rata sikap mereka kasar, juga mereka membawa-bawa senjata, hati Pek Lian mulai terasa tidak enak. Akan tetapi ia butuh diseberangkan, maka iapun diam saja ketika dua orang tadi mengajaknya pergi ke sebuah ruangan besar di dalam bilik perahu.

Ruangan itu terang sekali dan nampak duduk beberapa orang mengelilingi sebuah meja panjang. Ada pula anak buah yang berdiri di sudut dan dari tempat itu nampak sekelompok pendayung perahu yang agaknya sudah siap untuk menggerakkan dayung mereka.

"Ha-ha-ha, selamat memasuki perahu kami, nona Ho Pek Lian!"

Pek Lian mengangkat muka memandang dan bukan main kaget rasa hatinya ketika mengenal bahwa yang menegurnya itu bukan lain adalah datuk sesat gendut pendek yang suaranya tinggi seperti wanita itu, ialah Sin-go Mo Kai Ci Si Buaya Sakti! Dan di dekatnya duduk pula seorang raksasa tinggi besar yang menyeramkan dan orang inipun bukan tokoh sembarangan melainkan orang ke dua dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to, ialah Tiat-siang-kwi, raksasa yang suka makan daging manusia itu!

"Celaka..." pikirnya dan ia sudah siap untuk membalikkan tubuh melarikan diri dari tempat berbahaya itu. Akan tetapi, pada saat itu perahu sudah meluncur ke tengah sungai!

"Ha-ha-ha, engkau sudah masuk ke sini, seperti seekor anak kijang memasuki guha naga dan harimau, mana mungkin engkau akan melarikan diri, nona? Silahkan duduk, engkau menjadi tamu kami. Jangan khawatir, kami takkan mengganggumu. Siapa orangnya mau mengganggu murid sri baginda kaisar? Bukankah begitu, saudara Tiat-siang-kwi?" kata pula si gendut pendek sambil tertawa-tawa girang sekali.

Memang hatinya girang bukan main ketika anak buahnya memberi tahu akan munculnya Ho Pek Lian yang dikenalnya sebagai murid dan pembantu setia Liu-Pang yang kini telah menjadi kaisar. Kalau dara ini menjadi tawanannya, berarti dia akan untung besar. Dia akan dapat menjadikan gadis itu sebagai sandera dan dia akan minta uang tebusan yang besar dari kaisar baru!

Tiat-siang-kwi mengangguk-angguk. "Kau benar, Sin-go, nona ini akan membikin kita kaya raya."

Mendengar percakapan itu mengertilah Pek Lian apa yang mereka maksudkan. Dari kata-kata itu ia dapat menangkap maksud orang-orang jahat itu. Ia diculik dan mereka akan mengancam kaisar untuk memberi uang tebusan yang besar atas dirinya!

"Aku tidak sudi!" teriaknya dan sambil mencabut pedangnya iapun hendak lari keluar dari ruangan itu. Akan tetapi, tujuh orang pengawal yang sudah siap siaga itu kini menghadangnya sambil menyeringai dan mereka menodongkan senjata golok dan tombak, menghadang gadis itu keluar dari ruangan.

Pek Lian maklum bahwa jalan satu-satunya hanyalah melawan. Iapun mengerti bahwa ia menghadapi lawan yang amat kuat. Baru dua orang iblis itu saja masing-masing memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi darinya. Akan tetapi, ia tidak sudi menyerah begitu saja untuk menjadi sandera, maka dengan pedangnya iapun menerjang tujuh orang penghalang itu.

Terjadilah pertempuran kecil di ruangan itu dan karena ilmu pedang Pek Lian juga lihai sekali, maka para pengeroyok itu menjadi repot menghadapi sambaran sinar pedang dara perkasa itu. Dalam belasan jurus saja, tiga orang pengeroyok telah dapat dirobohkannya. Akan tetapi, pada saat Pek Lian memutar pedangnya dan menangkis serangan sisa para pengeroyoknya, terdengar gerengan keras dan ternyata Tiat-siang-kwi (Iblis Gajah Besi) telah meloncat ke depan.

"Plak! Tranggg...!" Tepukan pada pundak kanan Pek Lian itu sedemikian kuatnya sehingga pedang yang dipegangnya terlempar dan jatuh ke atas lantai ruangan perahu itu. Dan sebelum Pek Lian dapat mengelak, dua buah tangan besar berkuku panjang telah mencengkeram lengan dan pundaknya dari belakang. Ia berusaha meronta, akan tetapi dalam cengkeraman Tiat-siang-kwi, ia tidak mampu bergerak lagi.

"Engkau masih belum mau menyerah?" bentak Tiat-siang-kwi.

Pek Lian bukanlah seorang wanita bodoh. Ia tidak mau mencari penyakit. Tahu bahwa melawanpun tidak ada gunanya, hanya akan menyakiti badan, ia tidak meronta lagi. Ia tahu bahwa selama ia dijadikan sandera dengan maksud menukarnya dengan uang tebusan, mereka ini tidak akan mengganggunya.

Selain itu, setelah kini gurunya menjadi kaisar, bagaimanapun juga, para datuk sesat ini tentu tidak begitu tolol untuk mengganggu murid kaisar karena hal itu akan membuat mereka menjadi buronan pemerintah selama hidup. Melihat dara itu tidak meronta lagi, Tiat-siang-kwi lalu melepaskan cengkeramannya.

"Ha-ha-ha, nona Ho sungguh amat lihai dan gagah. Kami merasa kagum sekali. Marilah, nona, mari duduk sebagai tamu kami dan menikmati hidangan sekedarnya!" Si Buaya Sakti yang agaknya menjadi pimpinan di perahu itu berkata dengan suara halus.

Pek Lian tidak berlaku sungkan lagi. Ia tahu bahwa ia telah menjadi tawanan dan mereka akan memperlakukan dengan hormat selama ia tidak melawan. Ia melihat bahwa selain dua orang datuk yang kini setelah sama-sama menderita kekalahan dalam perang agaknya dapat bersatu itu, terdapat pula beberapa orang yang dari sikapnya dapat diketahui bahwa mereka adalah kaum sesat.

Akan tetapi yang amat mengherankan hatinya adalah ketika ia melihat seorang anak perempuan berusia kurang lebih duabelas tahun, berwajah cantik manis sekali, akan tetapi lengan kirinya buntung, duduk pula di meja itu di sebelah Si Buaya Sakti. Apakah iblis ini mempunyai seorang anak perempuan yang demikian manisnya? Bagaimanapun juga, ia segera merasa tertarik kepada anak manis ini, dan merasa kasihan melihat sebelah lengan itu buntung. Maka, ketika dipersilahkan duduk dan melihat ada kursi kosong di dekat anak perempuan itu, iapun duduklah.

Anak perempuan itu memandang kepadanya dengan sepasang matanya yang bening, kemudian tersenyum dan hati Pek Lian semakin tertarik. Anak ini sungguh manis sekali dan tiba-tiba ia mengerutkan alisnya, teringat betapa jahat dan kejamnya para datuk sesat ini. Jangan-jangan anak inipun menjadi korban mereka! Maka, ia hendak menggunakan kepentingan dirinya sebagai sandera untuk menentang Si Buaya Sakti.

"Aku tidak akan melawan dengan kekerasan selama kalian di sini tidak melakukan kejahatan di depan mataku. Kalau kalian melanggar, sampai matipun aku tidak akan menyerah, dan biarlah kalian membunuhku. Guruku, sri baginda kaisar tentu akan mengirim pasukan mengejar dan mencari dan memberi hukuman seberat-beratnya kepada kalian!"

Mendengar ucapan ini, diam-diam semua penjahat menjadi gentar juga. Menghadapi pembalasan orang seperti Liu Pang itu sungguh mengerikan. Sebelum menjadi kaisar saja pemimpin itu sudah dibantu oleh semua pendekar gagah, apa lagi sekarang setelah menjadi kaisar. Siapa berani melawannya?

Sin-go Mo Kai Ci menyembunyikan kegentaran hatinya di balik senyum lebar dan suaranya meninggi ketika dia menjawab, "Nona Ho, siapa yang akan berani melakukan hal-hal yang tidak, menyenangkan hatimu? Engkau adalah tamu kehormatan, tentu saja kami tidak akan melanggar laranganmu."

"Hemm, kalau begitu, siapakah anak ini? Apakah iapun menjadi korban penculikan?"

Si Buaya Sakti tertawa. "Ha-ha, jangan salah sangka, nona. Anak ini adalah anak seorang pembantu kami, dan kami semua suka kepadanya karena ia manis dan lucu, juga amat cerdik. Biarpun sebelah lengannya buntung, ia cekatan dan pandai melayani kami."

Anak itu lalu bangkit dan dengan sebelah tangan kanannya anak itu cepat mengisi arak dalam cawan bersih, memberikannya kepada Pek Lian dengan sikap hormat. "Enci yang baik, aku di sini senang sekali dan semua paman ini baik kepadaku. Silahkan cici minum, biar kuambilkan mangkok bersih dan sumpit." Dengan cekatan anak itu lalu melayani Pek Lian, dan melihat sikap anak ini yang gembira dan tidak nampak seperti korban yang tersiksa, hatinya merasa lega.

Akan tetapi, keterangan yang diberikan oleh Si Buaya Sakti itu membuat si raksasa Tiat-siang-kwi mengerutkan alisnya. Dua hari yang lalu, ketika mereka saling bertemu dan berjanji untuk bekerja sama di bawah pimpinan Raja Kelelawar yang menaklukkan pula tujuh iblis Ban-kwi-to, Sin-go Mo Kai Ci sudah berjanji kepadanya untuk memberikan anak perempuan mungil itu kepadanya! "Tunggu sampai kita tidak membutuhkan lagi bantuan ayahnya, baru kuserahkan anak itu kepadamu dan boleh kau miliki sesuka hatimu."

Akan tetapi, kini Si Buaya Sakti berjanji kepada murid kaisar itu bahwa mereka tidak akan mengganggu anak perempuan itu. Tentu saja dia merasa kecewa sekali dan beberapa kali dia memandang dengan mata membayangkan kedongkolan hatinya dan beberapa kali dia mengerling ke arah anak perempuan itu dengan sinar mata penuh gairah. Dia harus mendahuluinya, pikir raksasa ini dan untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, diapun minum arak sebanyak dan sepuasnya.

Setelah makan minum, Pek Lian dipersilahkan dengan ramah oleh Buaya Sakti untuk melepaskan lelah dan tidur di dalam bilik perahu. Gerombolan kaum sesat itu melanjutkan makan minum dan Pek Lian tidak lagi memperdulikan mereka karena ia sendiri merasa lelah dan perlu untuk mengaso dan mengumpulkan tenaga. Selama perahu ini masih berlayar, ia tidak berdaya. Andaikata ia dapat melarikan diri, akan pergi ke manakah? Meloncat dari perahu ke air?

Ia akan mati tenggelam karena ia tidak begitu pandai renang. Pula, melawan dengan kekerasan akan sia-sia belaka mengingat betapa di situ terdapat Si Buaya Sakti dan Tiat-siang-kwi yang amat lihai. Ia harus menanti kesempatan baik, sesudah mendarat baru ia mencari akal untuk meloloskan dirinya. Sementara ini, ia harus banyak istirahat dan mengumpulkan tenaga.

Dengan pikiran ini, sebentar saja Pek Lian tidur pulas. Akan tetapi, belum lama ia tertidur dalam pakaian lengkap karena ia tidak mau bersikap lengah, ia terkejut mendengar suara jeritan nyaring. Cepat ia meloncat dan menyambar pedangnya yang sudah dikembalikan kepadanya, lalu melompat keluar bilik. Dilihatnya bayangan raksasa Tiat-siang-kwi sedang memegang lengan kanan anak perempuan buntung itu sambil menarik-narik dan anak itupun meronta-ronta.

"Lepaskan aku! Lepaskan.....!" Anak itu meronta dan berteriak.

"Heh-heh, anak manis, jangan cerewet atau kucengkeram hancur kepalamu." Raksasa itu menghardik. Akan tetapi, dengan heran sekali Pek Lian melihat betapa anak perempuan itu membuat gerakan aneh dengan kakinya dan tahu-tahu kaki kiri yang kecil itu telah melayang dengan kecepatan luar biasa, ujung sepatunya menotok siku lengan kakek yang memegangi tangannya.

"Tukk!" Kakek itu terkejut dan melepaskan cengkeramannya karena sikunya yang tertotok ujung sepatu itu untuk beberapa detik lamanya menjadi lumpuh! Kesempatan ini dipergunakan oleh anak perempuan itu untuk meloncat ke belakang dan kembali Pek Lian melihat gaya lompatan yang amat indah dan cekatan! Itu bukanlah tendangan dan lompatan seorang anak biasa saja, pikirnya heran. Akan tetapi melihat anak itu terancam dan kini si raksasa agaknya sudah marah dan hendak menubruk lagi, ia meloncat ke depan dan pedangnya melakukan gerakan menyerang.

"Singg..... plakk!" Kakek raksasa itu masih dapat menangkis pedang dengan tangannya yang dilindungi kekebalan, lalu matanya yang lebar itu melotot memandang Pek Lian dengan marah.

"Kau... kau berani mencampuri?" Bentaknya dan dari suara dan sikapnya, juga bau mulutnya, mudah diketahui bahwa kakek raksasa ini dalam keadaan mabok.

"Sudah kukatakan, semua bentuk kejahatan di sini akan kutentang sampai mati!" Pek Lian berkata dan iapun sudah menyerang dengan pedangnya.

Akan tetapi, dengan sigapnya kakek raksasa itu mengelak. Sekali ini, Pek Lian berlaku hati-hati dan ia tidak mau pedangnya sampai terpukul oleh kakek yang bertenaga gajah ini. Ia mengandalkan kegesitannya dan pedangnya berkelebatan mencari sasaran lemah, tidak memberi kesempatan kepada kakek itu untuk mengadu kekuatan.

Menghadapi dara yang menggunakan kegesitannya ini, Tiat-siang-kwi yang agak mabok itu kewalahan juga dan tiba-tiba dia mencabut senjatanya yang menggiriskan, yaitu sebatang golok besar sekali yang punggungnya seperti gigi gergaji.

Begitu golok ini menyambar, terdengar angin bersiutan dan Pek Lian terpaksa berloncatan mundur karena golok lawan itu menyambar-nyambar ganas dengan kekuatan yang tidak mungkin ditangkisnya. Kalau ia berani menangkis, tentu pedangnya akan terpental dan mungkin terlepas dari pegangannya. Sebentar saja Pek Lian sudah terdesak hebat oleh raksasa itu.

Tiba-tiba anak perempuan itu berteriak dengan suara melengking, "Ayaaaahhh...! Tolonglah.... kami!!"

Pada waktu itu, para anak buah perahu sudah banyak yang berdatangan dan menonton perkelahian itu. Tidak ada yang berani melerai atau mencegah si raksasa karena di dalam perahu itu, hanyalah Si Buaya Sakti seoranglah yang berani menentang si raksasa yang telah menjadi rekan dan sekutunya.

Teriakan anak perempuan itu ternyata memperoleh sambutan. Tiba-tiba papan lantai perahu tergetar hebat dan di situ telah berdiri seorang laki-laki muda yang gagah perkasa, berpakaian biasa saja seperti para tukang dayung, akan tetapi kini wajahnya penuh wibawa dan nampak menyeramkan, sepasang matanya mencorong seperti mata naga ketika dia memandang kepada Tiat-siang-kwi yang berhenti sejenak melihat munculnya orang ini.

Pek Lian yang tadinya sudah terdesak hebat itu memperoleh kesempatan memperbaiki posisinya dan iapun menengok dan memandang. "A-hai...!!" Tiba-tiba Pek Lian berseru girang dan kaget sehingga dara ini lupa bahwa orang yang biasanya disebut A-hai itu telah memperkenalkan diri sebagai Souw Thian Hai, seorang pendekar yang sakti.

"Ayah, bantulah enci ini!" Anak perempuan buntung itu kini mendekati ayahnya dan kembali Pek Lian tertegun.

Kiranya anak perempuan buntung inilah puteri pendekar ini! Karena anak itu belum pernah diperkenalkan kepadanya, maka ia tidak tahu, dan siapa mengira bahwa anak A-hai berada di perahu penjahat ini? Tidak tahunya malah pendekar itu sendiripun berada di sini, agaknya menyamar sebagai tukang dayung.

Sementara itu, si raksasa berdiri dengan mata terbelalak lebar. Dia kini juga mengenal pria gagah ini dan teringatlah akan kehebatan pemuda ini ketika mengamuk. Dia sendiri pernah dikalahkan dengan mudah! Pada saat itu, karena terganggu oleh keributan, Si Buaya Sakti juga sudah datang ke tempat itu dan seperti juga Tiat-siang-kwi, si gendut pendek ini terbelalak memandang kepada Thian Hai.

Melihat betapa di tempat itu terdapat banyak kawannya, si raksasa timbul kembali keberaniannya dan sambil mengereng diapun menubruk ke depan dengan goloknya yang besar dan berat itu. Akan tetapi, dengan tenang Thian Hai menggerakkan tangan kirinya mendorong ke depan. Tiba-tiba saja gerakan raksasa itu tertahan oleh dinding tenaga yang tidak nampak namun yang kuat sekali membuat dia tertegun dan gerakan serangannyapun terhenti.

Pada saat itu, tangan kanan Thian Hai membuat gerakan menampar seperti orang mengusir lalat dan dari mulutnya terdengar bentakan, "Pergilah engkau iblis busuk!"

Sungguh aneh sekali. Tubuh tinggi besar itu terpelanting jauh, bergulingan di atas lantai perahu dan ketika tiba di tepi perahu, si raksasa itu agaknya sudah kehilangan nyalinya maka diapun melanjutkan tubuhnya terguling ke luar perahu.

"Byuurrr....!" Tokoh ke dua dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to itu begitu ketakutan sehingga dia memilih terjun ke sungai dari pada harus berhadapan lagi dengan pendekar yang memiliki kesaktian luar biasa itu.

Si Buaya Sakti memandang dengan muka pucat. Dia maklum akan kehebatan lawan ini, akan tetapi sebagai pimpinan di perahu itu, tentu saja dia merasa malu kalau harus melarikan diri seperti Tiat-siang-kwi. Walaupun hatinya sudah lebih dahulu melarikan diri. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia menerjang dengan senjata alu-nya.

Thian Hai tidak melangkah pergi, tidak mengelak, melainkan diam saja dan ketika alu itu sudah mendekati kepalanya yang dijadikan sasaran, tiba-tiba saja kedua tangannya bergerak, cepat bukan main dan tahu-tahu tangan yang memegang alu itu lumpuh tertotok sikunya dan alu itupun berpindah tangan. Lalu senjata itu menyambar punggung pemiliknya sendiri.

"Bukk !!" Tubuh Si Buaya Sakti memang kebal, akan tetapi pukulan itu sedemikian kuatnya sehingga walaupun tulang-tulang punggungnya tidak remuk, akan tetapi tubuhnya terlempar sampai keluar perahu.

"Byuuurrr!" Untuk kedua kalinya, air muncrat tinggi ketika tubuh ke dua itu menimpa air. Melihat ini, para penjahat anak buah Buaya Sakti menjadi panik ketakutan dan tanpa menanti komando lagi mereka mengikuti contoh pimpinan mereka, berloncatan ke sungai sehingga sebentar saja perahu itu telah kosong, kecuali tukang-tukang dayung yang sebagian besar merupakan orang-orang paksaan atau bayaran, bukan ang-gauta-anggauta bajak yang sudah lebih dulu berloncatan ke air.

Souw Thian Hai berdiri termangu-mangu memandang ke air, seperti orang merasa menyesal. Melihat ini, Souw Lian Cu, yaitu puterinya yang buntung lengannya, menghampiri dan merangkul pinggang ayahnya. Souw Thian Hai sadar kembali dan merangkul puterinya, lalu menoleh dan menghadapi Pek Lian sambil tersenyum.

"Nona Ho Pek Lian, tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini," katanya.

Melihat sikap dan mendengar suara orang ini, seketika wajah Pek Lian menjadi merah. Ini bukan A-hai yang dulu lagi, bukan pemuda ketololan yang menimbulkan rasa iba di hatinya. Ini adalah seorang pendekar sakti yang sikapnya tenang ber-wibawa, maka iapun menjura.

"Souw-taihiap, terima kasih atas pertolongan mu."

"Ah, nona Ho, perlukah engkau menyebutku taihiap segala? Aku adalah A-hai."

"Taihiap, mana berani aku menyebutmu seperti dahulu? Kalau engkau berkeberatan disebut taihiap, biarlah aku menyebutmu Souw-toako."

"Itu lebih baik, Lian-moi (adik Lian). Inilah puteriku itu yang bernama Souw Lian Cu. Lian Cu, inilah bibi Ho Pek Lian yang sering kali kuceritakan padamu, ia seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan berbudi."

"Bibi !" Lian Cu memberi hormat dan Pek Lian cepat merangkulnya. Kini hatinya merasa terharu dan kasihan. Anak semanis ini, masih kecil sudah harus kehilangan lengan kirinya.

"Aku sungguh bingung, bagaimana aku mendapatkan engkau di sini sebagai tukang dayung dan puterimu ini melayani mereka itu."

"Nanti kuceritakan, sekarang kita perlu mengemudikan perahu ini." Thian Hai lalu minta kepada teman-temannya atau bekas teman-temannya tukang dayung untuk melanjutkan pekerjaan mereka, mendayung dan membantunya mengemudikan perahu. Setelah perahu berjalan lancar dan tenang kembali, Thian Hai mengajak Pek Lian dan puterinya duduk di ruangan, lalu menceritakan pengalamannya.

Seperti telah kita ketahui dari bagian depan, Thian Hai dan puterinya melakukan perjalanan mencari jejak musuh besarnya, yaitu Ma Kim Liang yang menyamar atau berobah menjadi Raja Kelelawar. Dia melakukan perjalanan jauh, mendatangi tempat-tempat yang menjadi sarang gerombolan-gerombolan jahat karena dia menduga bahwa di tempat-tempat seperti itulah dia mempunyai harapan untuk menemukan jejak Raja Kelelawar, mengingat bahwa iblis itu telah menjadi datuk besar atau raja dari dunia sesat.

Kemudian dia menyaksikan perebutan harta karun milik keluarga bekas Menteri Li Su, dan akhirnya dia melihat Buaya Sakti yang berhasil merampas barang-barang harta benda itu. Melihat datuk ini, dia lalu cepat melakukan penyamaran. Dia menanggalkan baju atasnya dan pura-pura kelelahan mengaso sambil tiduran ketika Buaya Sakti berhasil membasmi pasukan yang merampok harta benda keluarga Li Su.

Tukang-tukang pemikul tandu sudah pada melarikan diri atau ikut terbunuh, hanya tinggal dua orang saja lagi yang dipaksa oleh anak buah Buaya Sakti untuk memikul tandu yang berat itu. Anak buah bajak itu sudah melucuti pakaian para anggauta pasukan yang terbunuh dan sambil tertawa-tawa mereka mengenakan pakaian seragam tentara itu, mematut-matut diri seperti monyet-monyet diberi pakaian.

Kemudian, beberapa orang di antara mereka melihat Thian Hai yang sedang tidur terlentang di atas tanah, berbantalkan kedua tangan itu. Mereka menghampiri dan seorang di antara mereka menghardik, "Heh, malas! Orang-orang lain sibuk mengangkut tandu, engkau enak-enak tidur! Hayo bangun!" Dan seorang di antara mereka menendang pahanya.

Thian Hai pura-pura terkejut dan kesakitan menggosok-gosok pahanya. "Aduh, aduh baru saja istirahat sudah dibangunkan." Kemudian dia pura-pura heran melihat beberapa orang yang berpakaian tentara itu. "Eh, apa? Mau berangkat lagi? Apa pertempuran sudah selesai?"

Beberapa orang bajak itu terbahak-bahak, mengira bahwa pemikul tandu ini salah lihat dan menyangka mereka anak buah pasukan yang sudah terbasmi habis. "Tolol, hayo bantu kami mengangkut tandu itu ke perahu."

Thian Hai bangkit, menyambar bungkusan pakaiannya dan longak-longok. "Mana anakku? Lian Cu, di mana kau?"

Seorang anak perempuan yang buntung sebelah lengannya datang berlari-lari, baru saja keluar dari tempat sembunyinya. Anak ini bertindak sesuai dengan rencana ayahnya yang hendak menyelundup menjadi anak buah Si Buaya Sakti agar dia dapat mencari jejak musuh besarnya. "Ayah, apakah kita akan berangkat lagi?"

"Ya, mari, kita harus angkut tandu itu," katanya bangkit berdiri.

"Hei, anak ini tidak boleh ikut!" kata seorang di antara mereka.

"Hemm, biar lengannya buntung sebelah, ia manis juga. Mari kita hadapkan kepada pimpinan."

Mereka memegang tangan Lian Cu. Anak ini ketakutan, akan tetapi ketika melihat ayahnya berkedip dan mengangguk kepadanya, iapun menurut saja dibawa pergi. Ketika Si Buaya Sakti melihat Lian Cu, hatinyapun merasa suka kepada anak perempuan yang biarpun buntung sebelah lengannya, akan tetapi berwajah manis dan bersikap berani dan cekatan itu. Siapa tahu, anak perempuan ini ada gunanya kelak, pikirnya.

Demikianlah, Thian Hai berhasil menyelundup menjadi tukang pikul tandu berisi harta benda itu, kemudian setelah tiba di perahu besar, tugasnya berobah menjadi tukang dayung di antara belasan tukang dayung bayaran atau paksaan. Sementara itu, dengan cerdiknya Lian Cu dapat menyenangkan hati Si Buaya Sakti dengan pelayanannya yang cekatan, baik di dapur maupun di ruangan makan.

Beberapa hari kemudian, Si Buaya Sakti bertemu dengan Tiat-siang-kwi. Keduanya dahulu menjadi lawan dalam perang, akan tetapi karena kedua pihak sudah kalah dan karena kini Tujuh Iblis Ban-kwi-to sudah ditaklukkan pula oleh Raja Kelelawar, si raksasa itupun mau dipersilahkan naik ke perahu untuk bersama-sama mengunjungi tempat persembunyian Raja Kelelawar.

Dalam pertemuan itu, secara iseng ketika melihat si raksasa tertarik kepada Lian Cu, Sin-go Mo Kai Ci menjanjikan kelak akan menyerahkan gadis cilik itu kepada si raksasa! Karena itulah maka terjadi keributan di malam itu dan terpaksa Thian Hai turun tangan untuk melindungi puterinya dan Pek Lian.

"Demikianlah, Lian-moi, terpaksa aku turun tangan dan sekarang buyarlah harapanku untuk dapat menemukan jejak musuh besarku. Tadinya aku merasa yakin bahwa mereka itu akan membawaku kepada musuhku. Lian Cu dapat mendengarkan percakapan mereka di meja makan dan ternyata kedua orang datuk sesat itu telah menjadi anak buah Raja Kelelawar dan mereka hendak melayarkan perahu ke tempat sembunyinya." Thian Hai menutup ceritanya sambil menarik napas pan-jang penuh rasa kecewa.

"Ah, kalau aku tidak muncul tentu rencanamu tidak akan gagal, Souw-toako." Pek Lian berkata menyesal pula.

"Sudahlah, yang lalu tidak perlu disesalkan. Sekarang aku hendak mencari sendiri tempat itu, kurasa tidak jauh dari sini walaupun aku belum tahu di mana sesungguhnya tempat persembunyian musuh besarku itu."

Selagi mereka hercakap-cakap, tiba-tiba mereka merasa badan perahu itu terguncang dan terdengar teriakan-teriakan ketakutan para pendayung perahu. Mereka bertiga cepat keluar dari dalam ruangan itu dan betapa kaget hati mereka melihat bahwa perahu besar itu telah dikepung oleh beberapa buah perahu kecil yang penuh penumpang.

Dan para penumpang itu membawa obor sehingga keadaan menjadi terang seperti siang. Perahu-perahu itu adalah perahu bajak sungai dan ketika mereka bertiga melihat wajah Si Buaya Sakti di antara para bajak itu, tahulah mereka bahwa mereka telah berada di tangan musuh!

Si Buaya Sakti itu menyeringai dan dengan suaranya yang kecil tinggi dia berseru, "Kalau melawan perahu kalian akan kami bakar!"

Menghadapi ancaman ini, Thian Hai tidak berdaya, bahkan melihat sikap Pek Lian, dia berbisik, "Lian-moi, di sini kita tidak boleh melawan."

Pek Lian maklum bahwa memang percuma saja melakukan perlawanan selagi mereka berada di atas perahu. Betapapun lihainya Thian Hai, tak mungkin dia dapat menyelamatkan Pek Lian dan Lian Cu kalau mereka masih berada di tengah sungai. Maka Pek Lian pun diam saja membiarkan perahu mereka dikait dan ditarik oleh perahu-perahu musuh.

Hari telah pagi ketika perahu-perahu bajak itu menarik perahu rampasan itu ke pantai dan nampaklah oleh Pek Lian betapa selain perahu mereka, ada pula sebuah perahu lain terampas oleh bajak. Di atas perahu yang juga besar dan mewah itu terdapat belasan orang yang berpakaian seperti saudagar-saudagar kaya, akan tetapi di antara mereka itu nampak pula seorang kakek tua berpakaian sederhana memegang tongkat butut dan seorang pemuda sederhana bermuka merah yang bertubuh tegap dan berwajah gagah.

Tentu saja Pek Lian merasa girang di samping keheranannya mengenal dua orang itu sebagai kakek sakti Kam Song Ki dan muridnya, bekas pemimpin lembah Kwee Tiong Li! Kiranya guru dan murid itu yang meninggalkan kota raja, agaknya menumpang sebuah perahu saudagar dan ikut pula menjadi tawanan ketika perahu itu dirampas oleh para bajak anak buah Si Buaya Sungai. Dalam semalam itu, kawanan bajak telah membajak dua buah perahu.

Tentu saja Kwee Tiong Li dan gurunya juga terkejut, heran dan girang melihat Pek Lian dan juga Thian Hai. Akan tetapi mereka diam saja dan pura-pura tidak mengenal mereka. Dua buah perahu itu ditarik terus sampai ke pantai di mana telah menunggu sekelompok pasukan yang dipimpin oleh seorang laki-laki berusia limapuluh tahunan yang berpakaan mewah seperti seorang bangsawan kaya. Orang ini berkepala bundar, tubuhnya juga bulat serba gendut dan mukanya penuh senyum ramah.

Melihat orang gendut mewah ini, Pek Lian terkejut bukan main. Ia mengenal orang itu walaupun si gendut itu belum sempat mengenalnya. Pria itu adalah Lam Siauw-ong (Raja Muda Selatan), seorang di antara tiga tokoh besar lautan yang menjadi kepala bajak. Dahulu, pernah Lam Siauw-ong menawan Chu Bwee Hong dan dengan sembunyi-sembunyi ia berhasil menolong Bwee Hong dan meloloskan diri dari cengkeraman kepala bajak laut ini.

Siapa kira hari ini ia yang menjadi ta-wanannya. Dan diam-diam ia merasa semakin heran bagaimana Si Buaya Sakti dapat menjadi sekutu Lam Siauw-ong? Bukankah dahulu terdapat suatu permusuhan atau persaingan antara golongan mereka?

Akan tetapi, Pek Lian tidak mau banyak cakap lagi. Ia maklum bahwa sekali ini, ia harus melakukan perlawanan. Sebelum ia dan Thian Hai ditawan dan dibuat tidak berdaya, ia harus melakukan perlawanan. Inilah satu-satunya kesempatan untuk melawan, setelah perahu mendarat. Ia dapat melihat kekuatan lawan yang cukup banyak.

Dan melihat beta0a anak buah bajak itu banyak yang memakai pakaian seragam bekas pakaian tentara. Akan tetapi, iapun sudah siap siaga. Sebelum mendarat, ia telah mempersiapkan diri, mengenakan pakaian ringkas dan menemukan pedang di dalam ruangan bilik perahu.

Begitu perahu menempel di darat, tanpa membuang waktu lagi Pek Lian mengeluarkan pekik melengking dan iapun meloncat ke darat, langsung menyerbu ke arah Lam Siauw-ong yang berdiri sambil tersenyum-senyum. Akan tetapi, si gendut ini memang lihai sekali. Diserang seperti itu, dengan mudah dia meloncat ke belakang dan para pengawalnya yang sebagian ada yang mengenakan pakaian seragam pasukan itu segera maju mengepung Pek Lian.

Namun gadis ini tidak menjadi gentar. Ia meloncat ke atas, kaki tangannya bergerak dan ia mengamuk seperti seekor garuda, membagi-bagi tamparan dan tendangan di antara para pengeroyoknya. Melihat kehebatan dara muda ini, Lam Siauw-ong kagum sekali. Dia belum sempat mendengar dari rekan-rekannya seperti Si Buaya Sakti dan Tiat-siang-kwi siapa adanya gadis cantik gagah itu, karena kedua orang rekannya itupun agaknya sedang berkelahi tak jauh dari situ.

Melihat kehebatan Pek Lian, dia pun berseru keras menyuruh anak buah-nya mundur dan tubuhnya yang bulat itu dengan ringan sekali telah melayang ke depan Pek Lian. "Heh-heh, nona cantik manis. Engkau patut menjadi permaisuriku, maka marilah kita berdamai saja. Untuk apa kita saling..."

"Lam Siauw-ong manusia cabul, lihat pedang!" Pek Lian membentak sambil mencabut pedang dan menyerang dengan dahsyat.

"Eh, oh engkau sudah mengenalku? Lebih baik lagi!" kata raja muda bajak gendut itu.

Akan tetapi Pek Lian tidak memberinya kesempatan untuk banyak cerewet karena dara itu telah menyerang semakin ganas, membuat lawannya terpaksa mencabut pula sebatang pedangnya. Begitu pedangnya bergerak, Pek Lian terkejut karena hampir saja pergelangan tangannya kena digurat. Itulah Hun-kin-kiam (Pedang Pemutus Urat) dan raja muda bajak ini ternyata mahir sekali bermain pedang.

Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat. "Nona Ho, minggirlah dan biarkan aku menghadapi babi ini!"

Orang itu adalah Kwee Tiong Li yang juga sudah mempergunakan pedangnya. Melihat majunya kawan ini, hati Pek Lian menjadi girang dan iapun mengamuk di antara para anak buah bajak. Terjadi perkelahian antara Tiong Li dan Lam Siauw-ong dan ternyata kepandaian mereka seimbang sehingga perkelahian itu menjadi seru dan hebat. Gerakan Tiong Li sekarang jauh berbeda dengan dahulu. Kini dia telah mewarisi ilmu dari kakek Kam, maka ginkangnya luar biasa sekali, gerakannya cepat laksana burung walet beterbangan menyambar-nyambar.

Menghadapi pengeroyokan banyak sekali orang, tentu Pek Lian akan kewalahan kalau saja ia tidak mendapat bantuan kakek Kian Song Ki! Ia sudah terpincang karena betisnya kena disambar ujung tombak lawan sehingga kulit betisnya terobek dan terluka. Namun, dengan gigih dan gagah ia melawan terus, merobohkan banyak orang dengan pedangnya.

Dalam keadaan gawat itulah muncul kakek Kam Song Ki yang mengamuk dengan tongkatnya. Tentu saja sepak terjang kakek ini amat hebat. Tongkatnya mendatangkan angin pukulan dahsyat sehingga para pengeroyok sudah bergelimpangan walaupun belum tercium ujung tongkat.

Sementara itu, di bagian lain, Thian Hai dikeroyok dua oleh Si Buaya Sakti dan Tiat-siang-kwi. Pemuda perkasa ini sungguh hebat luar biasa. Dua orang pengeroyoknya itu bukan sembarang orang, Sin-go Mo Kai Ci, Si Buaya Sakti, adalah seorang di antara tiga Sam-ok (Tiga Jahat), merupakan raja di antara para bajak sungai dan jaranglah ada orang dapat menandinginya. Adapun orang ke dua, dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to. Dapat dibayangkan betapa hebat kepandaian raksasa pemakan daging manusia ini.

Namun, sekali ini menghadapi Thian Hai, keturunan langsung dari keluarga sakti Souw yang selalu menyembunyikan diri, mereka berdua tidak mampu berbuat banyak. Golok besar punggung gergaji dan senjata penggada berbentuk alu dari kedua orang datuk ini tidak ada gunanya sama sekali ketika dipergunakan untuk menyerang Thian Hai.

Senjata-senjata itu seolah-olah merupakan benda lunak saja, ditangkis begitu saja oleh kedua lengan Thian Hai dan setiap kali terjadi pertemuan antara lengan dan senjata, si pemegang senjata tentu mengeluh dan merasa betapa telapak tangan mereka seperti terbakar dan terkupas.

Thian Hai maklum bahwa dia telah menemukan jejak musuh besarnya. Tidak salah lagi, di sinilah agaknya tempat persembunyian musuhnya itu, maka diapun tidak ingin membiarkan dua orang pembantu musuhnya ini lolos. Dua orang ini terlalu jahat dan lihai untuk dibiarkan lolos, dan juga kedudukan musuhnya akan terlalu kuat kalau dua orang ini dibiarkan terlepas dari tangannya.

Maka pemuda perkasa inipun. mengerahkan tenaganya, terdengar dia mengeluarkan suara menggeram dan ketika tubuhnya menyerang ke depan dengan kedua tangan terbuka, kedua orang lawannya itu tidak mampu bertahan lagi. Pukulan Thai-kek Sin-ciang yang dilontarkan dari jarak dekat itu terlalu hebat bagi dua orang iblis itu.

Mereka berusaha menahan dengan sinkang, akan tetapi akibatnya mereka terbanting ke belakang, terjengkang dan tidak mampu bangkit kembali karena isi dada mereka yang terlanda hawa pukulan sakti itu telah remuk-rendam, membuat mereka tewas seketika dengan semua lubang di tubuh mereka mengucurkan darah segar!

Sejenak Thian Hai termangu menyaksikan akibat pukulannya, akan tetapi dia segera mendengar teriakan puterinya. Cepat dia menoleh dan meloncat, menendang dua orang perajurit atau anggauta bajak yang berhasil menangkap Lian Cu ketika anak perempuan ini ikut pula mengamuk. Dua orang itu terlempar dan Thian Hai mengamuk, membiarkan puterinya yang sudah lumayan ilmu silatnya itupun ikut pula mengamuk.

Sementara itu, perkelahian antara Tiong Li melawan Siauw-ong amat hebatnya. Keduanya sudah berkeringat, akan tetapi belum juga ada yang kalah. Melihat betapa pihaknya menderita kekalahan, Lain Siauw-ong menjadi gentar dan begitu memperoleh kesempatan, dia meloncat ke belakang dan hendak melarikan diri. Akan tetapi, sebatang tongkat menotok punggungnya dan diapun roboh terpelanting.

Kiranya yang menotoknya adalah seorang kakek tua, akan tetapi totokannya itu hanya membuat dia roboh saja dan tidak melukainya, juga tidak menghentikan jalan darah. Hal ini makin menunjukkan betapa lihainya kakek itu, maka Lam Siauw-ong menjadi semakin jerih. Akan tetapi, begitu dia bangkit berdiri, pemuda yang menjadi lawannya itu sudah menerjangnya lagi dan kembali mereka berkelahi.

Sekali ini semangat perlawanan Lam Siauw-ong mengendur. Hatinya sudah gentar maka permainan pedangnya tidaklah sekuat tadi, bahkan agak kalut sehingga pada suatu ketika Kwee Tiong Li berhasil memasukkan pedangnya menusuk dan mengenai pundaknya. Lam Siauw-ong terkejut dan terhuyung, dan kesempatan ini dipergunakan oleh Tiong Li untuk menyusulkan tusukan maut yang menembus dada lawan. Robohlah Raja Muda Selatan itu dengan badan berlumuran darah dan tewas tak lama kemudian.

Anak buah gerombolan bajak itu menjadi panik melihat betapa tiga orang pemimpin mereka tewas dan banyak sekali teman-teman mereka roboh, tewas atau terluka. Akan tetapi selagi mereka panik dan hendak melarikan diri, tiba-tiba muncul pasukan yang berpakaian hitam sebanyak belasan orang dan terdengarlah suara melengking nyaring dari tengah daratan, di mana nampak genteng dan tembok sebuah bangunan besar.

"Tahan semua senjata! Para tawanan harus menyerah, kalau tidak akan kami bunuh semua!!"

Semua orang, termasuk kakek Kam Song Ki, terkejut bukan main. Itulah suara yang mengandung khikang amat kuatnya, menunjukkan bahwa orang yang mengirim suara itu memiliki kepandaian yang hebat. Akan tetapi, kalau semua orang terkejut dan gentar, sebaliknya Thian Hai merasa girang bukan main dan jantungnya berdebar tegang.

Itulah pekik yang mengandung tenaga Pek-houw-ho-kang, yaitu auman Harimau Putih, ilmu khikang dari keluarga Souw dan dia dapat menduga siapa yang mengeluarkan pekik seperti itu. Musuh besar berada di depan mata!

Maka, diapun lalu memberi isyarat kepada Pek Lian, kakek Kam dan Kwee Tiong Li agar menghentikan amukan. Ketika pasukan berpakaian hitam itu mengumpulkan para saudagar sebagai tawanan, merekapun termasuk di dalamnya dan dengan mudah mereka digiring meninggalkan pantai sungai itu menuju ke sebuah bangunan besar yang megah.

Begitu memasuki ruangan depan di mana nampak beberapa orang penjaga yang memegang golok dan perisai, pimpinan pasukan berpakaian hitam itu berkata, "Berhenti! Nona ini harus memisahkan diri dan mari ikut bersama dia!"

Pemimpin itu menudingkan telunjuknya kepada seorang anak buahnya yang berkumis tebal tanpa jenggot. Laki-laki tinggi besar ini tersenyum dan menghampiri Pek Lian. "Marilah,, nona, kuantar ke tempat peristirahatan nona!"

Tentu saja Pek Lian tidak mau dipisahkan dari kawan-kawannya. Ia menggeleng kepalanya dan berkata tegas, "Tidak, aku tidak mau memisahkan diri!"

Si kumis tebal melotot dengan sikap mengancam. Dia menghampiri Pek Lian dan tangannya diulur untuk menangkap lengan dara itu. "Di sini orang tidak boleh membantah!" katanya, Tentu saja Pek Lian tidak membiarkan tangannya ditangkap dan ia menarik tangannya mengelak.

"Eh, engkau malah melawan?" bentak si kumis tebal dan sekali ini dia menggerakkan tangan kanan mencengkeram ke arah pundak Pek Lian dengan gerakan cepat dan bertenaga kuat.

Marahlah Pek Lian. Ia cepat menggeser kakinya yang terpincang karena terluka itu ke samping sehingga tubuhnya miring dan ketika tangan kanan lawan yang luput mencengkeram itu lewat, secepat kilat ia menangkap pergelangan tangan kanan orang itu dan sambil mengeluarkan bentakan nyaring ia menarik tangan itu ke belakang dengan gerak membanting keras. Laki-laki berkumis tebal itu terkejut bukan main, tak dapat menghindarkan dirinya terangkat dan terbanting keras ke lantai ruangan.

"Brukk!" dan laki-laki itu mengeluh karena tulang lengannya yang bersambung di pundak terlepas, membuat lengan kanan itu lumpuh.

Melihat ini, pemimpin pasukan berpakaian hitam marah sekali. Tak disangkanya bahwa orang-orang yang tadinya menyerah tanpa melawan sedikitpun itu kini setelah tiba di dalam bangunan malah memperlihatkan sikap menentang dan melawan. Dia memberi aba-aba dan pasukannya bergerak, dibantu pasukan penjaga, mengurung para tawanan. Para saudagar yang ikut tertawan menjadi ketakutan dan mereka menjatuhkan diri berlutut dengan tubuh gemetar.

Akan tetapi, melihat Pek Lian kini mulai diserang oleh banyak orang bersenjata, Tiong Li segera melompat, menggerakkan pedangnya dan bersama nona itu dia mengamuk. Kakek Kam Song Ki juga tidak tinggal diam, meloncat ke depan dan membantu muridnya dan Pek Lian. Diamuk oleh tiga orang ini, pasukan berpakaian hitam itu mawut dan barisan mereka menjadi kacau.

Sementara itu, Thian Hai menyuruh puterinya berlindung di antara para saudagar yang tidak melawan dan dia tahu tidak akan diserang oleh pasukan itu. Dia sendiri lalu meloncat lenyap dari tempat itu, berusaha mencari musuh besarnya ke sebelah dalam bangunan.

Souw Lian Cu adalah seorang anak yang cerdik sekali. Ia mengerti maksud ayahnya yang hendak mencari musuh besar mereka dan ia merasa aman berada di antara para saudagar yang berlutut sambil menonton perkelahian. Diam-diam anak ini memperhatikan dengan kagum betapa tiga orang teman ayahnya itu, terutama sekali kakek Kam Song Ki, memiliki kepandaian hebat dan biarpun dikeroyok banyak orang, mereka bertiga dapat menguasai keadaan dan banyak sudah pihak pengeroyok berjatuhan

. Ketika ia melihat sebatang golok yang terlempar dari pegangan seorang pengeroyok terjatuh tidak jauh dari tempat ia berlutut di antara para saudagar, ia lalu mengambilnya dan menggenggam gagang golok itu erat-erat. Lumayan, pikirnya. Golok ini dapat kupakai untuk membela diri kalau perlu.

Tiga orang gagah itu memang dapat membuat para pengeroyok mereka menjadi kacau-balau. Terutama sekali amukan Tiong Li dan gurunya, sungguh membuat mereka tak berdaya, apa lagi ketika pemimpin pasukan itu roboh oleh tongkat di tangan kakek Kam dan tidak dapat bangkit kembali. Hal ini membuat para sisa anak buah pasukan pakaian hitam itu menjadi panik.

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara auman harimau yang menggetarkan dan muncullah seorang kakek tinggi besar yang berjubah kulit harimau dan tangannya memegang senjata rantai yang ujungnya berbentuk tombak jangkar dan di belakangnya ikut pula dua ekor harimau kumbang yang ganas dan mengaumaum menggiriskan. Melihat ini, para saudagar menjadi ketakutan dan menyembunyikan muka di balik kedua tangan, seolah-olah merasa khawatir kalau-kalau muka mereka akan dicakar dan diganyang harimau-harimau itu.

Pek Lian dan kedua temannya terkejut dan mengenal raksasa itu yang bukan lain adalah San-hek-houw, Si Harimau Gunung yang amat lihai dan kejam. Di antara para saudagar itu, Lian Cu memandang kepada pendatang baru ini dan tiba-tiba saja sepasang mata anak ini mengeluarkan sinar mencorong penuh kemarahan. Itulah orangnya yang telah membuat lengannya buntung!

Melihat munculnya tokoh ini, sisa pasukan dan para penjaga bangkit kembali semangat mereka dan memperketat pengeroyokan. Sedangkan San-hek-houw ketika melihat siapa yang muncul, menjadi marah. Dia mengenal Pek Lian dan Tiong Li, dan biarpun dia belum tahu siapa adanya kakek bertongkat itu, namun dia memandang rendah dan sambil menggereng, diapun maju diikuti oleh dua ekor harimau kumbang!

Melihat ini, kakek Kam Song Ki berseru kepada muridnya, "Tiong Li, kau hadapi dua ekor anjing itu!" Dan dia sendiri lalu menggerakkan tongkatnya menyambut terjangan Si Harimau Gunung.

"Trangg" Barulah San-hek-houw kaget setengah mati ketika senjatanya yang panjang dan berat itu, begitu bertemu dengan tongkat butut, melayang dan terpental kembali kepadanya! Kiranya kakek ini lihai sekali, pikirnya. Diapun cepat memutar rantainya dan menerjang dengan buas, tiada ubahnya seekor harimau besar mengamuk.

Akan tetapi, dia menjadi semakin kaget ketika tiba-tiba saja tubuh kakek di depannya itu lenyap dan tahu-tahu ada ujung tongkat menyambar tengkuknya! Nyaris tertotok dan Si Harimau Gunung memperhebat gerakannya. Dia maklum bahwa lawannya ini adalah seorang ahli ginkang yang amat hebat, dan tiba-tiba dia merasa tengkuknya dingin dan bulu tengkuknya meremang.

Dia teringat sekarang! Kakek ini adalah kakek yang pernah mengajak Raja Kelelawar bertanding dan dalam pertandingan adu ginkang kakek ini bahkan mampu mengatasi kepandaian raja iblis itu! Tentu saja San-hek-houw menjadi gentar juga. Akan tetapi dia sudah muncul dan sudah bertanding, tidak ada jalan lain kecuali melawan mati-matian.

Tiong Li menggunakan pedangnya menghadapi dua ekor harimau ganas itu, dan dengan gerakan-gerakan yang amat gesit dia mengatasi kecepatan dua ekor binatang itu sehingga tak lama kemudian, dia berhasil merobohkan dua ekor harimau itu yang roboh berkelojotan dan mandi darah, hanya auman-auman mereka saja yang menggetarkan tempat itu akan tetapi keduanya sudah tidak berbahaya lagi. Sedangkan Pek Lian masih mengamuk dikeroyok para penjaga dan kini Tiong Li segera membantunya setelah merobohkan dua ekor harimau.

Melihat betapa dua ekor harimau peliharaannya roboh, hati San-hek-houw semakin gentar. Karena gentar, permainan rantai di tangannya menjadi kacau dan kesempatan itu dipergunakan oleh kakek Kam untuk menggerakkan tongkatnya. Tongkat butut meluncur dan menotok dadanya. San-hek-houw mengeluarkan gerengan keras, tubuhnya terhuyung ke belakang dan rantai itu terlepas. Sejenak totokan ampuh itu menembus kekebalan tubuhnya, dan dia merasa seperti kehilangan tenaga.

Tiba-tiba saja sebatang golok menghunjam lambungnya dari samping. Si Harimau Gunung terkejut, namun dalam keadaan tertotok itu kekebalannya lenyap dan tanpa dapat dicegahnya lagi, golok itu menancap di lambungnya sampai dalam sekali. Dia membuat gerakan membalik dan melihat bahwa yang menusuknya itu adalah seorang anak perempuan yang buntung lengan kirinya!

Dia terbelalak, memandang anak itu dan sayup-sayup dia teringat kepada anak itu dan mulutnya menyeringai, "Kau, kau!" Dia hendak menubruk, akan tetapi sebatang tongkat meluncur dan menotok lututnya, membuat dia jatuh berlutut, lalu tergelimpang mandi darah yang bercucuran dari lambungnya.

Sementara itu, Lian Cu merasa ngeri sendiri menyaksikan akibat dari perbuatannya. Ia melemparkan golok berdarah itu, mundur-mundur dan dengan mata terbelalak memandang korbannya, mulutnya beberapa kali berkata lirih seperti membela diri, "Dia membuntungi lenganku, dia membuntungi lenganku!" Anak inipun menjatuhkan diri kembali berlutut dan menangis.

Robohnya San-hek-houw ini membuat semua semangat perlawanan para anak buah gerombolan itu lenyap sama sekali. Mereka menjadi ketakutan dan sisa gerombolan lalu melarikan diri keluar dari dalam bangunan itu. Pek Lian lalu menghampiri Lian Cu yang sedang menangis, merangkulnya dan memandang tubuh San-hek-houw yang sudah tak bergerak lagi dan sudah tewas. "Sudahlah, Lian Cu, engkau hanya membasmi kejahatan yang membahayakan semua orang di dunia ini."

Pada saat itu, dari dalam terdengar suara aneh, suara angin menyambar-nyambar dan bentakan-bentakan yang menggetarkan jantung. Pek Lian segera bangkit berdiri dan bersama Lian Cu yang digandengnya, Tiong Li dan kakek Kam ia lalu berlari ke dalam. Setibanya di ruangan paling belakang, mereka berhenti dan terbelalak menyaksikan suatu pertandingan yang amat hebat dan yang selamanya belum pernah mereka saksikan!

Ruangan itu mewah, akan tetapi pada saat itu, prabot-prabot ruangan telah porak-poranda, bahkan dinding-dinding yang dicat indah itu banyak yang retak-retak. Ketika Pek Lian dan kawan-kawannya tiba di ambang pintu ruangan itu, mereka merasakan getaran-getaran aneh yang amat kuat, yang membuat mereka terpaksa melangkah mundur lagi dan tidak berani menonton terlalu dekat!

Di situ, bagaikan dua ekor naga, nampak Souw Thian Hai berkelahi mati-matian melawan seorang yang berpakaian serba hitam, siapa lagi kalau bukan Raja Kelelawar! Dan agaknya mereka keduanya sudah kelihatan kelelahan. Memang mereka telah bertanding cukup lama. Tadi ketika Thian Hai mencari musuhnya di dalam bangunan, akhirnya dia menemukan musuh itu berkemas di ruangan paling belakang.

Thian Hai tersenyum mengejek melihat musuhnya itu sedang menutupkan sebuah peti. Dia dapat menduga bahwa tentu pusaka peninggalan keluarga Souw berada di dalam peti itu, juga mungkin pusaka peninggalan Raja Kelelawar aseli. Dan dugaannya memang benar.

Raja Kelelawar sedang berkemas ketika melihat munculnya lawan-lawan tangguh, mengandalkan para pembantunya yang cukup lihai untuk menahan para lawan sehingga dia masih mempunyai waktu untuk berkemas dan melarikan diri. Semenjak kalah dalam peperangan di kota raja, iblis ini menaklukkan datuk-datuk dan memaksa para datuk seperti Tujuh Iblis Ban-kwi-to bahkan Raja Muda Selatan untuk menjadi pembantunya dan melindunginya bersembunyi.

"Ma Kim Liang, engkau tidak akan dapat lari lagi dariku!" kata Souw Thian Hai yang tadi mempergunakan kepandaiannya sehingga masuknya tidak diketahui lawan.

Raja Kelelawar menoleh dan diapun terkejut bukan main melihat bekas suhengnya di dalam ruangan itu. Tahulah dia bahwa dia harus melawan mati-matian. Dengan tenang diapun bangkit, percaya akan kemampuan sendiri. Dia bahkan tersenyum menyeringai. "Souw Thian Hai, kebetulan sekali. Aku akan menyempurnakan perbuatanku yang lalu, dan sekali ini engkau tentu akan mati di tanganku."

"Hemm, kalau bukan aku, tentu engkau yang akan tewas agar arwahmu dapat menerima perhitungan dan hukuman atas dosa-dosamu!"

Tanpa banyak cakap lagi, mereka lalu saling serang dengan dahsyatnya. Karena masing-masing sudah tahu betapa lihainya lawan, maka begitu bergebrak keduanya sudah mengeluarkan simpanan masing-masing dan mengerahkan seluruh tenaga. Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Prabot-prabot ruangan itu dilanda pukulan dan tendangan mereka, menjadi porak-poranda dan pukulan yang mengenai dinding membuat dinding itu retak-retak atau ambrol.

Angin pukulan bersiuran, bahkan terdengar dan terasa oleh mereka yang berada di luar ruangan itu dan bentakan-bentakan yang keluar dari dada mereka mendatangkan getaran aneh dan amat kuat. Diam-diam Souw Thian Hai harus mengakui bahwa bekas sutenya ini tidak boleh dibandingkan dengan ketika dihadapinya terakhir kali. Kini sutenya itu telah memperoleh kemajuan pesat dan terutama sekali alat yang tersembunyi di dalam sepatunya membuat gerakannya cepat dan tak terduga-duga.

Bagaimanapun juga, Thian Hai memiliki andalan dua macam ilmu rahasia keluarga Souw, yaitu Thai-kek Sin-ciang dan Thai-lek Pek-kong-ciang, yang bagaimanapun juga, belum dapat dikuasai dengan baik oleh Ma Kim Liang. Akan tetapi sebagai penggantinya, dia telah memiliki dan menguasai ilmu-ilmu peninggalan Kelelawar Hitam yang hebat seperti Ilmu Pat-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Delapan Penjuru Angin), Kim-liong Sin-kun (Silat Sakti Naga Emas) dan terutama sekali sepasang pisau belatinya yang amat tajam.

Akan tetapi, maklum betapa lihainya sepasang tangan lawan, Raja Kelelawlar tidak mau menggunakan sepasang pisau belatinya, karena penggunaan sepasang pisau ini bahkan mengganggu kelihaian sepasang lengannya dan tangannya. Maka diapun melawan dengan tangan kosong dan mengandalkan jubahnya untuk menerima pukulan lawan. Lebih dari seratus jurus mereka bertanding dan Raja Kelelawar sudah menerima beberapa kali pukulan karena dia tidak hati-hati. Sedangkan dia sendiri mengerahkan sinkang untuk menahannya.

Sambil mengeluarkan pekik dahsyat itu, Raja Kelelawar melompat ke depan, seperti seekor kelelawar raksasa tubuhnya melayang, jubahnya menjadi semacam sayap dan dia telah menubruk ke arah kepala Thian Hai dengan masing-masing tangan membentuk segi tiga dengan tiga jari tangannya. Dengan dahsyat dia telah mempergunakan Ilmu Totok Sam-ci Tiam-hwe-louw untuk menyerang ubun-ubun kepala dan tengkuk lawan dari atas!

Sam-ci Tiam-hwe-louw adalah ilmu totok yang amat hebat dan ganas dari keluarga Souw dan Thian Hai dahulupun dilukai sampai menjadi gila oleh Ma Kim Liang mempergunakan ilmu ini. Murid murtad ini, di antara ilmu-ilmu keluarga Souw yang lain, memang telah mempelajari ilmu ini secara mendalam dan mahir. Dan dia menggabungkan ilmu ini dengan ilmu meloncat dari Raja Kelelawar, maka hebatnya serangan itu bukan main!

Akan tetapi Thian Hai sudah mengenal baik ilmu keluarganya ini dan sudah tahu akan kelihaian lawan. Agaknya lawannya sudah putus asa untuk mencapai kemenangan, maka mengeluarkan lagi ilmunya yang pernah membuatnya roboh dahulu. Agaknya bekas sutenya ini hendak mengadu nyawa karena serangan ini memang hebat bukan main dan banyak sekali kemungkinannya untuk melanjutkan dengan serangan-serangan maut lainnya.

Mengelak tidak mungkin dan untuk menangkis, amat berbahaya karena sekali tangkisan luput, dia akan terancam bahaya maut yang tak mungkin terelakkan lagi. Kalau sampai ubun-ubun atau bagian kepala lain yang berbahaya terkena totokan itu, yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang sepenuhnya, dia tentu akan tewas seketika! Tenaga totokan Ma Kim Liang sekarang ini jauh lebih kuat dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, ketika merobohkannya dengan totokan yang sama pada pelipisnya.

"Haiiiiittt...!" Thian Hai juga mengeluarkan pekik melengking yang membuat Pek Liari kembali menutupi telinga Lian Cu, akan tetapi ia sendiri tiba-tiba merasa lemas dan jatuh berlutut, tidak dapat menahan getaran yang melumpuhkan kakinya.

Thian Hai mengangkat kedua tangannya melindungi kepala dan ketika kedua tangan lawan menotok turun, ia menyambut dengan telapak tangan terbuka. Tangan kanannya berhasil menyambut tangan kiri lawan, akan tetapi tangan lawan ketika bertemu dengan telapak tangan kirinya, tiba-tiba meleset dan terus menyerang ke bawah ke arah pelipisnya! Nyaris terulang kembali peristiwa beberapa tahun yang lalu.

Akan tetapi Thian Hai cepat miringkan kepalanya sehingga totokan tiga jari itu meluncur terus mengenai pundak kirinya. Pada saat itu, Thian Hai juga sudah menggerakkan tangan kirinya yang luput menyambut tangan kanan lawan tadi ke depan, mengerahkan tenaga dan memukul dengan Thai-lek Pek-kong-ciang.

"Tukk! Desss!!" Totokan pada pundak Thian Hai dan hantaman dengan tangan terbuka pada dada Raja Kelelawar itu terjadi dalam waktu bersamaan dan akibatnya, tubuh Thian Hai berlutut sedangkan tubuh Raja Kelelawar terdorong dan terpental ke belakang lalu diapun terbanting roboh!

Muka raja iblis itu menjadi pucat seperti mayat dan tangan kirinya menekan dadanya, mukanya memperlihatkan rasa nyeri yang ditahan-tahan. Sebaliknya, Thian Hai merasa betapa lengan kirinya lumpuh dan diapun merasa pundak kirinya nyeri. Dicobanya dengan tangan kanan mengurut pundak kirinya yang tertotok itu. Biarpun mereka sudah sama-sama terluka, akan tetapi mereka saling pandang dengan sinar mata mencorong penuh kemarahan dan kebencian.

"Souw-toako!" Melihat Thian Hai juga roboh berlutut, Pek Lian tak dapat menahan kekhawatiran hatinya dan iapun sudah meloncat dan menghampiri pendekar itu. "Toako, engkau engkau terluka?" tanyanya khawatir sambil menyentuh punggung pendekar itu.

Pada saat itu terdengar suara ketawa Raja Kelelawar. "Ha-ha-ha, suheng, inikah pengganti isterimu? Inikah calon isterimu? Bukankah ia puteri mendiang Menteri Ho? Ha-ha, Ho-siocia, ke sinilah engkau!" Suara terakhir yang mengundang Pek Lian ini terdengar aneh, menggetarkan dan mengandung wibawa yang demikian kuatnya sehingga seperti dalam mimpi, Pek Lian meninggalkan Thian Hai dan menghampiri raja iblis itu!

Melihat ini, Thian Hai terkejut sekali. "Lian-moi, minggir!" Dan tubuhnya yang sudah terluka itupun dipaksanya meloncat ke depan dan pada saat yang tepat, dengan tangan kanannya dia telah berhasil mendorong dara itu sehingga terpelanting, tepat pada saat Raja Kelelawar melemparkan pisau belatinya ke arah dada Pek Lian. Pisau itu meluncur lewat dan menancap sampai ke gagangnya, memasuki dinding sebagai pengganti dada Pek Lian yang tentu saja kaget setengah mati ketika tubuhnya terpelanting itu. Ia mengeluh karena ketika ia jatuh, kakinya terhimpit, membuat luka di betisnya menjadi semakin parah dan mengeluarkan darah.

"Souw Thian Hai keparat!" Terdengar Raja Kelelawar memaki dan tiba-tiba nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu sebatang pisau belati yang sama dengan pisau yang tadi menyambar Pek Lian, telah memasuki dadanya, menembus jantungnya. Ternyata raja iblis ini yang sudah terluka parah oleh pukulan Thai-lek Pek-kong-ciang, merasa bahwa dia tidak dapat hidup lagi, setelah gagal memberi pukulan terakhir kepada Thian Hai dengan jalan mencoba membunuh dara yang dianggapnya calon isteri bekas suhengnya itu, lalu membunuh diri.

Thian Hai bangkit berdiri menghampiri, memandang kepada bekas sutenya. Juga Pek Lian terpincang-pincang menghampiri, lalu Lian Cu lari menghampiri ayahnya. Kam Song Ki dan muridnya juga menghampiri. Semua orang memandang wajah Raja Kelelawar itu dan Pek Lian berseru, "Haiii! Bukankah dia ini kaisar yang lihai itu?"

Souw Thian Hai menarik napas panjang dan mengangguk. "Aku gagal mengejarnya karena tertipu pula. Ketika aku mengejar Raja Kelelawar, dia memasuki istana dan lenyap. Aku tidak mengira bahwa kaisar muda itu adalah dia! Kiranya, kaisar baru telah dibunuh oleh komplotan mereka dan Ma Kim Liang, bekas suteku ini diangkat menjadi kaisar. Bagaimanapun juga, aku kagum kepadanya. Dia benar-benar telah berhasil menjadi kaisar, walaupun hanya untuk beberapa hari! Dan ilmu kepandaiannya hebat!"

Thian Hai yang teluka pundaknya oleh totokan Sam-ci Tiam-hwe-louw ini lalu diperiksa oleh kakek Kam. Bagaimanapun juga, kakek ini adalah murid mendiang Bu-eng Sin-yok-ong Si Raja Obat. Setelah memeriksa dan memberi obat, dia menganjurkan agar pendekar itu beristirahat selama sehari untuk mengumpulkan hawa murni. Tubuh pendekar ini terlampau kuat untuk sampai celaka oleh totokan tadi.

Tiong Li sendiri lalu mencari tenaga bantuan untuk menguburkan semua jenazah, dan mengobati mereka yang luka tanpa pilih bulu. Semua orang berterima kasih dan baru mereka melihat betapa bedanya watak pendekar dan watak kaum sesat. Pendekar tidak mendendam dan selalu mengulurkan tangan membantu siapa saja yang membutuhkan bantuan, termasuk bekas-bekas lawan! Lian Cu menemani ayahnya yang duduk bersila di dalam sebuah kamar kosong di bekas tempat tinggal Raja Kelelawar. Peti terisi pusaka-pusaka peninggalan keluarga Souw dan Raja Kelelawar berada di dekatnya.

Setelah selesai mengubur semua jenazah dan membiarkan mereka yang terluka pergi, Tiong Li menghampiri Pek Lian. Dia memandang dengan sinar mata kagum dan penuh keharuan. "Nona, kakimu terluka, perlu dirawat dan diobati."

Dia memandang ke arah celana yang menyembunyikan betis kanan yang terluka itu. Masih nampak darah mengering pada celana itu. Nona yang gagah perkasa ini tadi seperti melupakan luka di kakinya dan membantu dengan penguburan jenazah, dan ketika kakinya hendak diobati oleh kakek Kam ditolaknya. "Ah, tidak apa-apa, hanya luka sedikit," kata Pek Lian.

"Nona, pekerjaan telah beres dan kalau kakimu tidak diobati, bisa keracunan. Bolehkah aku membantumu?"

Tidak enak juga hati Pek Lian melihat keramahan pemuda yang mencintanya dan pernah ditolak cintanya ini. Ia hanya mengangguk, lalu duduk di atas batu di bawah pohon, melonjorkan kaki kanannya. Dengan duduk di dekat gadis itu, Kwee Tiong Li menyingsingkan celana itu ke atas sambil minta maaf. Sikapnya amat sopan walaupun jari-jari tangannya tidak ragu-ragu sebagai seorang ahli, karena selain pengalaman dan kepandaiannya sendiri dalam merawat luka-luka, pemuda inipun memperoleh pelajaran ilmu pengobatan yang lebih mendalam dari gurunya.

Dan ternyata luka itu tidaklah seringan yang diakui Pek Lian. Kulitnya robek berikut dagingnya dan banyak darah keluar. Bahkan karena didiamkan saja, luka itu nampak agak merah dan bengkak. Terkejutlah Pek Lian ketika tiba-tiba saja Tiong Li membungkuk dan mengecup luka itu dengan mulutnya, mengeluarkan darah dan kotoran dari situ! Wajah dara ini menjadi merah sekali dan kedua matanya basah melihat perbuatan pe-muda itu. Sampai tiga kali Tiong Li mengecup, setelah luka itu bersih, dia menaruh obat, lalu membalut betis itu dengan sobekan sutera putih yang bersih.

"Aughhh!" Pek Lian merintih dan membuang muka. Ini dilakukan untuk menyembunyikan kenyataan bahwa ia menangis, menangis saking terharu melihat cinta kasih yang demikian nyata diperlihatkan Tiong Li terhadap dirinya.

"Nyeri sekalikah, nona?" Tiong Li bertanya sambil membereskan balutannya, kemudian menurunkan kembali celana menutupi betis dan sebagian paha yang berkulit putih halus itu.

Pek Lian menyusut air matanya, lalu memandang tersenyum melalui air matanya, menggeleng kepala. "Tidak berapa nyeri, dan..... dan engkau baik sekali, terima kasih!"

Sejenak mereka beradu pandang dan Tiong Li melihat suatu sinar yang aneh dan mesra dalam pandang mata gadis itu. Jantungnya berdebar penuh harapan, akan tetapi dia lalu teringat bahwa gadis ini pernah menolak cintanya, maka ketika Pek Lian menundukkan muka, diapun berpamit dan pergi.

Sementara itu, Lian Cu yang tadi berjalan-jalan keluar melihat ayahnya samadhi, kini memasuki kamar ayahnya. Melihat ayahnya sudah membuka matanya, ia menghampiri dan memperlihatkan sebatang kayu. "Ayah, lihat ini!"

Thian Hai melihat bahwa potongan kayu itu ternyata di dalamnya adalah batangan emas murni! "Eh, dari mana kau dapatkan ini?" tanyanya heran, membolak-balik potongan kayu itu.

"Ini adalah sebagian tandu yang rusak. Ingat tandu yang kau pikul itu, ayah? Ketika kita menyelundup menjadi anak buah bajak? Tandu itu kutemukan pecah berantakan dan tanpa sengaja aku melihat ini. Di dalam kayu yang dipakai membuat tandu itu terdapat emas semua!"

"Ahhh!" Thian Hai tahu sekarang bahwa harta karun mendiang Perdana Menteri Li Su telah dijadikan emas murni dan disembunyikan di dalam tandu-tandu itu, dilapisi kayu. Dan belasan buah tandu itu telah dibuang ke lautan, ke tepi lautan di antara batu-batu karang oleh para bajak. Jadi harta karun itu berada di sana, aman, tidak ada yang tahu kecuali dia karena semua bajak telah tewas!

Mereka tidak lama tinggal di tempat itu. Pek Lian melanjutkan perjalanannya mengunjungi makam ayahnya. Kemudian ia kembali ke kota raja, membantu gurunya yang menjadi kaisar untuk melakukan pembersihan terhadap para pengacau di daerah-daerah. Sedangkan Tiong Li yang patah hati itu mengikuti gurunya merantau.

Dan ke manakah perginya Souw Thian Hai? Pendekar ini mengajak puterinya kembali ke rumah keluarga Souw yang sudah porak-poranda untuk dibangun kembali, sambil membawa peti terisi pusaka keluarganya. Ada suatu ganjalan di hatinya kalau dia teringat Bwee Hong. Dia mencinta Bwee Hong, bukan hanya karena dara itu telah menyelamatkannya dengan pengobatan.

Bukan hanya karena dara itu mirip sekali dengan isterinya yang telah tewas, bukan hanya karena dara itu memang cantik jelita dan berbudi mulia, melainkan karena ada rasa cinta di dalam hatinya. Akan tetapi, kalau dia teringat kepada Lian Cu, timbul keraguan di dalam hatinya. Baikkah bagi Lian Cu kalau dia menikah lagi?

Souw Thian Hai masih ragu-ragu. Bagaimanapun juga, dia belum mengikat gadis itu dengan janji perjodohan. Dan dia berkewajiban untuk menggembleng puterinya yang sudah kehilangan sebelah lengannya.

Cerita ini berakhir sampai di sini karena untuk mengikuti perjalanan para tokohnya membutuhkan suatu kisah dengan judul tersendiri. Kalau para pembaca budiman ingin mengikuti kisah selanjutnya dari A-hai atau pendekar Souw Thian Hai dengan puterinya Souw Lian Cu, Ho Pek Lian, Kwee Tiong Li, Chu Seng Kun dengan Kwa Siok Eng, dan Chu Bwee Hong, silahkan baca kisah selanjutnya yang ditulis oleh pengarang dan pelukis muda Sriwidjono.

TAMAT

seri selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.