Pedang Asmara Jilid 34 karya Kho Ping Hoo - ANG SIANG BWEE mengeluarkan suara ketawa merdu. "Aih, Enci Kui Lan yang genit dan Paman Pak Ong yang jujur, apakah kalian kira bahwa kalian berdua sudah terlalu cerdik sehingga tidak dapat diakali dan ditipu oleh seorang berwatak seperti srigala. Kalian ayah dan anak telah dipermainkan orang, ditipu dan disiasati, namun bukannya sadar malah membela si penipu mati-matian. Hi-hi-hik, Ini namanya lucu yang tidak lucu!"
"Siang Bwee, diam kau! Bukan urusanmu!" bentak ayahnya.
"Ang Lo-cianpwe, maafkan kami. Memang urusan ini ada pula sangkut pautnya dengan pendekar Kwee San Hong dan nona Ang Siang Bwee karena saya pernah mohon pertolongan mereka untuk mencari jahanam Bu Tiong Sin itu. Sekarang para Lo-cianpwe dengarlah. Orang yang bernama Bu Tiong Sin ini dahulunya adalah Yeliu Tiong Sin, anak angkatku yang kudidik sejak dia masih kecil sekali sampai dewasa, kusayang sebagai anak dan juga sebagai murid. Akan tetapi manusia durhaka ini akhirnya bahkan memusuhiku, mencuri Pedang Asmara dariku dan minggat!"
Mendengar ini, semua mata kini ditujukan kepada Bu Tiong Sin yang menjadi panik. "Dia bohong! Dia menipuku! Kalian, semua tahu bahwa Pedang Asmara itu hanya pedang palsu belaka!" Dia membela diri.
"Anak dan murid durhaka! Pedang pusaka itu kuterima dari Jenghis Khan sendiri, mana mungkin palsu!" bentak Panglima Yeliu Cutay marah.
"Aih, sudah pasti dia sendiri yang memalsukannya dan menyembunyikan yang aseli. Ayah, dia malah berani menipumu, memberimu pedang palsu!" siang Bwee berseru dan tentu saja Nam Tok memandang kepada Tiong Sin dengan mata melotot.
Pada saat itu terdengar bunyi genderang dan terompet dan para panglima Mongol itu cepat berloncatan turun dari kuda lalu memberi hormat ke arah utara, ke arah datangnya suara genderang dan suling. Kemudian Yeliu Cutay berkata dengan suara lantang.
"Yang Mulia Jenghis Khan berkenan datang dan sudah siap untuk menerima empat datuk besar bersama para murid dan puteranya!"
Empat orang datuk besar itu saling pandang. Para pendekar yang tadi merupakan pasukan yang diundang Pak Ong, kini sudah terkepung dan mereka pun tidak mungkin dapat melawan lagi. Maka, empat orang datuk besar itu bersama murid dan putera mereka, tidak mempunyai pilihan lain kecuali melangkah maju setelah dipersilakan oleh Panglima Yeliu Cutay dan dua orang panglima Mongol lainnya. Dengan sikap gagah, empat orang datuk besar itu, diikuti murid dan anak masing-masing, melangkah maju memasuki hutan dari mana terdengar terompet dan genderang itu.
Setelah tiba di tengah hutan, mereka kagum bukan main. Dalam waktu yang amat singkat, entah bagaimana membuatnya, di situ telah dibangun perkemahan yang besar dan megah. Dan penjagaan amat ketat dan rapi seolah hutan itu dikepung oleh ribuan orang perajurit yang semua dalam keadaan siap. Melihat semua ini, bahkan Nam Tok sendiri merasa dirinya kecil.
Dia boleh jadi menjadi seorang datuk besar yang ditakuti ratusan orang, bahkan dia akan mampu menggilas habis puluhan orang pengeroyok atau musuhnya. Akan tetapi apa artinya dibandingkan kebesaran seorang Jenghis Khan yang mampu mempersatukan seluruh suku bangsa Mongol yang merupakan bangsa yang keras dan kasar bahkan sebut biadab itu, menjadi kesatuan balatentara yang maha besar dan yang kini telah menundukkan Kerajaan Kim?
Tenda itu besar sekali dan luas. Nam Tok maju lebih dulu diikuti Kwee San Hong dan Ang Siang Bwee, sedangkan Hek I Siang-mo yang tahu diri itu tinggal di luar kemah bersama para pendekar yang tadi melawan pasukan Mongol. Setelah Nam Tok, masuk pula Pak Ong yang diikuti oleh Ji Kui Lan dan Bu Tiong Sin. Kemudian See Mo diikuti Kok Tay Ki yang sekali ini tidak berani berlagak sombong lagi. Koay-to Heng-te juga tidak diperbolehkan masuk, menanti di luar perkemahan.
Paling akhir Tung Kiam yang biasanya selalu bersikap tinggi hati itu, kini masih berusaha membusungkan dada, namun tetap saja langkahnya satu-satu dan jantungnya berdebar ketika dia melihat keangkeran yang terkandung di dalam perkemahan itu.
Empat orang datuk besar bersama murid dan anak mereka itu berdiri berjajar, menghadap Jenghis Khan yang duduk di atas kursi besar. Raja besar itu memang hebat sekali, memiliki pribadi yang kuat, dengan wibawa yang besar memancar keluar dari sepasang matanya yang seperti mata burung rajawali, dari mulutnya selalu dihias senyum aneh yang sukar diartikan, penuh rahasia.
Dengan matanya yang seperti mata rajawali itu. Jenghis Khan memandang kepada empat orang datuk itu. Dia belum pernah jumpa dengan mereka. Walaupun See Mo dan Tung Kiam telah menyatakan diri membantunya, namun belum pernah dia menerima mereka, hanya mewakilkannya kepada para panglima atau puteranya untuk mengadakan perundingan.
Akan tetapi, baik See Mo maupun Tung Kiam sungguh terlalu memandang rendah Jenghis Khan kalau mereka itu merasa akan mampu mempergunakan atau memanfaatkan seorang manusia besar macam Jenghis Khan. Tadinya dua orang datuk ini memang hanya berpura-pura saja membantu orang Mongol. Padahal, mereka adalah datuk-datuk yang tidak menginginkan kedudukan atau harta benda karena kedua hal itu akan dapat mereka peroleh dengan mudah.
Mereka mendekati orang Mongol untuk memanfaatkan pasukan itu guna kepentingan diri sendiri, yaitu untuk menjebak dan membinasakan dua orang musuh lama mereka yang menjadi saingan, yaitu Nam Tok dan Pak Ong. Siapa kira, para mata-mata Jenghis Khan sudah tahu akan hal ini.
Apalagi di situ sudah ada Panglima Yeliu Cutay yang lebih mengenal sifat empat orang datuk besar itu. Maka, pertempuran di puncak Kabut Putih itu dapat dihentikan oleh pasukan besar dan semua orang digiring menghadap Jenghis Khan untuk diadili!
Setelah memandang keempat orang datuk besar itu tanpa banyak memperhatikan orang-orang muda yang mengikuti mereka. Jenghis Khan tersenyum lebar melihat mereka itu tidak berlutut, melainkan berdiri tegak dengan sikap yang agung seperti empat orang raja berhadapan dengan seorang raja lain! Dia tidak menjadi marah. Jenghis Khan memang pandai sekali menghadapi orang-orang gagah dan dia suka melihat sikap gagah, sebaliknya amat membenci sikap penjilat dan pengecut.
"Ha-ha-ha, sungguh tidak kosong nama besar Empat Datuk Besar yang disebut Nam Tok, Pak Ong, See Mo, dan Tung Kiam. Sayang baru sekarang kami saling bertemu dengan kalian dan sempat mengagumi kegagahan kalian dan sayang pula bahwa kami tidak tahu mana yang Nam Tok mana yang Pak Ong." Disebutnya dua nama ini agaknya sudah menunjukkan bahwa Jenghis Khan lebih tertarik kepada dua orang datuk besar yang kabarnya sama sekali tidak sudi tunduk kepadanya itu.
Nam Tok segera mengangkat kedua tangan di depan dada untuk memberi hormat, mengamati tajam wajah raja besar itu lalu berkata, "Saya adalah Nam-san Tok-ong Ang Leng Ki dan sudah puluhan tahun saya dikenal dengan sebutan Nam Tok. Akan tetapi, hari ini saya berhadapan dengan Paduka, sungguh terus terang saja saya merasa betapa nama saya itu terlalu berlebihan dan betapa tidak ada artinya dibandingkan dengan kebesaran Yang Mulia Jenghis Khan!"
"Ha-ha-ha, kami mendengar bahwa Nam Tok seorang besar yang tidak suka merendah kepada siapapun juga! Apa alasannya sekarang memuji-muji kami?" tanya Jenghis Khan, bukan dengan suara mengejek, melainkan dengan sungguh sungguh.
"Sribaginda, terus terang saja saya bukan seorang penjilat yang suka memuji orang. Akan tetapi, melihat betapa Paduka, dari suku bangsa yang kecil di utara, miskin dan papa, hidup berkeliaran tak tentu tempat tinggalnya, lemah dan selalu ditekan oleh para suku lain, kini Paduka mampu mempersatukan semua suku bangsa liar di utara, membentuk pasukan besar yang telah mengalahkan Kerajaan Kim yang tidak becus. Sungguh itu merupakan suatu pekerjaan yang saya Nam Tok tidak sanggup mengerjakannya. Terlalu besar untuk saya! Menjadi datuk persilatan hanya bermodalkan ilmu silat yang mudah dipelajari. Akan tetapi untuk menjadi pemimpin besar, agaknya memang harus dilahirkan secara khusus dan dipilih oleh Bumi dan Langit!" kata Nam Tok.
Kembali Jenghis Khan tertawa bergelak. "Ucapan Nam Tok terlalu mengangkat tinggi. Apa sih sukarnya menjadi pemimpin yang menang perang? Menangkan peperangan itu hanya pandai saja, setiap orang pun mampu kalau memang bersemangat. Akan tetapi menaklukkan hati rakyat agar mencinta rajanya, itulah baru bijaksana namanya dan aku hanya mengharapkan bantuan para penasihatku agar dapat memperoleh kebijaksanaan itu."
"Khan Yang Besar!" Tiba-tiba See Mo berkata. "Hamba See-thian Mo-ong Kok Bong Ek sejak permulaan sudah siap membantu Mongol dan hari ini dengan bantuan pasukan Mongol dan rekan hamba Tung Kiam, hamba telah menyerang para pemberontak Han ini. Akan tetapi mengapa Paduka menghentikan penyerangan hamba?"
Jenghis Khan mengerutkan alisnya memandang kepada See Mo. "Hemmm, jadi engkau yang bernama See-thian Mo-ong Kok Bong Ek? Dan mana yang bernama Tung-hai Kiam-ong Cu Sek Lam?"
"Hambalah orangnya!" kata Tung Kiam cepat.
"Kalau begitu, tentu engkau yang berjuluk Pak Ong!" kata Jenghis Khan kepada Pak Ong.
Pak Ong memberi hormat seperti yang dilakukan Nam Tok tadi, dengan sikap angkuh. "Saya Pak Ong Ji Hiat, seorang Han yang biarpun tidak ikut berperang, namun tidak akan membantu pasukan Mongol untuk menyerang ke selatan. Terserah penilaian Sribaginda!"
Kembali Jenghis Khan tersenyum dan tidak marah. "Kalian memang mengagumkan sekali. Belum pernah selama hidupku aku bertemu dengan orang-orang tua gagah seperti kalian. Mari silakan duduk" Dia memberi isyarat kepada para pengawalnya untuk menyediakan kursi bagi semua tamu.
Nam Tok duduk diapit San Hong dan Siang Bwee, Pak Ong duduk diapit Kui Lan dan Tiong Sin, See Mo duduk bersama Kok Tay Ki dan Tung Kiam bersama Cu See Han. Di depan mereka terdapat meja kecil panjang dan Jenghis Khan lalu memberi perintah kepada para pelayan untuk menghidangkan arak. Setelah semua orang disuguhi arak dan dipersilakan minum, Jenghis Khan lalu bertanya kepada mereka semua.
"Tentu kalian berempat sudah mendengar dari Panglima Yeliu mengapa kalian kami undang menghadap?"
"Kami sudah mendengar dari Panglima Yeliu Cutay," kata Nam Tok yang tidak ingin urusan yang dihadapinya diwakil bicara olen datuk lain. "Yang pertama, saya menghaturkan terima kasih atas undangan ini dan saya pun merasa terhormat dapat bertemu dan berkenalan dengan Paduka. Yang ke dua, maafkan saya. Saya tidak dapat membantu Paduka karena saya tidak tertarik akan kedudukan. Apalagi kalau untuk itu saya harus menjadi seorang pengkhianat dan saya menolak kalau ditawari kerja sama dengan pasukan Paduka. Dan ke tiga urusan Pedang Asmara, saya masih belum mengerti duduknya perkara dan terserah kepada Panglima Yeliu Cutay!"
Jenghis Khan mengangguk-angguk. Banyak di antara para panglima Mongol yang mengerutkan alisnya dan memandang marah karena tentu saja jawaban itu saja sudah membuat Nam Tok nampak sebagai musuh dalam pandangan mata mereka. Agaknya Jenghis Khan tahu akan hal ini.
"Para panglima dan pembantuku. Hari ini kalian buka telinga dan mata baik-baik dan akan menerima banyak contoh dan pelajaran dari sikap manusia-manusia yang unggul dan benar-benar pantas disebut orang-orang gagah. Bagaimana dengan engkau, Pak Ong? Bagaimana jawabmu tentang tiga hal yang sudah kami kemukakan itu?"
Pak Ong mengerutkan alisnya. Sebetulnya, dialah yang paling membenci orang Mongol karena dia merupakan orang pertama yang melihat akibat gerakan pasukan Mongol dari utara. Akan tetapi dia harus mengakui bahwa diam-diam dia pun merasa kagum kepada pemimpin besar bangsa Mongol ini. Bukti betapa ibu kota Yen-pin dari Kerajaan Kim sudah roboh saja sudah menunjukkan bahwa pemimpin besar ini memang hebat sekali!
Dan melihat keadaan Kerajaan Sung di selatan yang kabarnya juga brengsek, para pembesar hanya mementingkan kepadatan kantung sendiri, kemakmuran keluarga sendiri tanpa mempedulikan rakyat, maka bukan hal yang tidak mungkin kalau kelak pemimpin Mongol yang hebat ini akan mampu pula meruntuhkan Kerajaan! Sung.
"Saya sependapat dengan Nam Tok rnengenai hal pertama dan ke dua. Saya merasa terhormat dapat bertemu dan berkenalan dengan Paduka, dan saya pun tidak mungkin dapat membantu Paduka, tidak mungkin mengkhianati bangsa saya sendiri dengan menjadi pembesar. Adapun hal ke tiga mengenai Pedang Asmara setahu saya, murid saya Bu Tiong Sin adalah seorang pendekar yang berjuang melawan bangsa Kim dia tidak mau tunduk kepada bangsa Kim karena dia pendekar berdarah Han, dan mengenai Pedang Asmara saya tidak tahu jelas mengapa kini tiba-tiba menjadi palsu dan patah..."
Jenghis Khan mengangguk-angguk dan ketika dia melihat Bu Tiong Sin hendak bicara, dia mengangkat tangan mencegah, lalu menoleh pada See Mo. "Sekarang, setelah mendengarkan pendapat yang jujur dari Nam Tok dan Pak Ong kami ingin mendengar pendapat See-thian Mo ong Kok Bong Ek."
See Mo bangkit berdiri dan memberi hormat kepada raja besar itu. Dia tidak merasa canggung atau malu, karena memang di dalam hatinya dia berpihak kepada Jenghis Khan. Dia sendiri mempunyai darah campuran dari suku Uigur/Mongol dan Han.
"Khan Yang Mulia, perlukah Paduka bertanya lagi kepada hamba. Sejak semula hamba memang siap membantu Mongol untuk menghancurkan Kim dan juga Sung. Hamba ingin menyumbangkan tenaga dan kemampuan hamba, kalau perlu melatih semua jagoan dan panglima Paduka! Adapun mengenai Pedang Asmara, hamba sendiri tidak tahu dan terserah kepada Paduka." Dia pun duduk kembali setelah memberi hormat.
Jenghis Khan mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada Tung Kiam. "Dan bagaimana dengan orang gagah dari timur?"
Tung Kiam juga bangkit dan memberi hormat. "Hamba telah dihubungi See Mo dan hamba juga siap membantu Paduka dengan kepandaian hamba. Ketika See Mo dan hamba mengadakan pertandingan di puncak Kabut Putih, mempergunakan pasukan Mongol, semua itu untuk menghancurkan orang-orang Han yang tidak tunduk."
Jenghis Khan tertawa sambil mengelus jenggotnya, sepasang matanya yang mencorong tajam itu berkilat-kilat. Dia melihat keuntungan besar berjumpa dengan empat orang datuk besar yang amat lihai itu. Yang dua orang, biarpun tidak mau membantunya, namun juga menghormatinya dan kejujuran mereka mengagumkan hatinya.
Adapun yang dua orang lagi, di depan semua orang, telah menyatakan hendak membantunya. Dengan pembantu pembantu selihai See Mo, dan Tung Kiam tentu akan memperkuat kedudukannya terutama sekali memperkuat pasukan penyelidik yang disebarnya ke selatan.
"Baiklah, dengan resmi kami menerima See Mo dan Tung Kiam bersama anak-anak dan murid-murid mereka, untuk bekerja membantu kami. Nah, kalian boleh pergi dulu mengikuti Panglima Hassou yang akan menjelaskan tugas apa yang harus kalian lakukan," kata Jenghis Khan dengan nada memerintah kepada See Mo dan Tung Kiam.
Panglima Hassou adalah seorang di antara panglima yang tadinya berasal dari pasukan Tai-jut yang memusuhi Jenghis Khan, akan tetapi kemudian menakluk, bahkan menjadi bawahan yang amat setia. Hassou ini diangkat menjadi kepala dari pasukan penyelidik dan dia memang sudah mendapat perintah untuk memberi tugas kepada See Mo dan Tung Kiam. Panglima Hassou melangkah maju, memberi hormat kepada Jenghis Khan, lalu menghampiri See Mo dan Tung Kiam.
Akan tetapi pada saat itu, Siang Bwee sudah memberi hormat kepada Jenghis Khan dan berkata, "Mohon maaf, Sribaginda Khan yang besar? Sebelum See Mo dan Tung Kiam pergi, saya ingin bicara kepada Paduka mengenai hal yang penting, yang melibatkan semua pihak."
Nam Tok sendiri sampai terkejut melihat keberanian puterinya itu. Akan tetapi karena Siang Bwee sudah bicara, dia pun hanya memandang dan hatinya merasa lega ketika dia melihat Jenghis Khan tertawa setelah memandang kepada Siang Bwee.
"Nona ini masih muda namun sudah amat cantik dan gagah. Apakah engkau puteri Nam Tok?" tanya Jenghis Khan melihat betapa gadis itu tadi duduk di sebelah Nam Tok dan kini gadis itu berdiri tegak dengan sikap gagah dan tabah. Belum pernah Jenghis Khan melihat seorang gadis muda bersikap sedemikian beraninya di depannya! Bahkan pria yang gagah pun akan surut dan gemetar kalau berhadapan dengan dia. Akan tetapi gadis ini demikian berani!
"Benar, Sribaginda. Saya bernama Ang Siang Bwee, puteri dari ayah saya Nam-san Tok-ong Ang Leng Ki. Bolehkah saya bicara?"
Sambil tersenyum lebar Jenghis Khar mengangguk. "Bicaralah, anak yang pemberani!"
"Terima kasih, Sribaginda. Sudah lama saya mendengar akan kebesaran Paduka dan setelah berhadapan, saya tahu bahwa Paduka memang seorang pemimpin besar yang bijaksana. Dan bijaksana juga berarti adil, bukankah begitu? Paduka adalah seorang pemimpin yang adil dan bijaksana, bukan?"
"Ha-ha-ha, Nona Muda. Tidak usah memuji-muji, katakan saja apa kehendakmu," kata pula Jenghis Khan.
"Saya hendak bicara dengan Paduka tentang Pedang Asmara. Kalau boleh saya mengetahui, dari manakah asal pedang pusaka itu? Siapa yang menemukan untuk pertama kalinya?" Tentu saja Siang Bwee sudah mendengar dari Yeliu Cutay tentang asal usul pedang pusaka itu maka ia berani menyatakan hal itu kepada Jenghis Khan.
"Ah, Pedang Baja Dewa Hijau atau Pedang Asmara? Akulah orang yang menemukan baja itu dan membuat pedang itu. Kenapa, nona Ang Siang Bwee?"
"Kiranya Paduka yang menemukannya. Memang tepat sekali kalau Paduka yang menemukannya karena Paduka memang pantas memiliki pedang pusaka itu. Akan tetapi, pedang itu kemudian berada di tangan Paman Yeliu Cutay, kenapa demikian, Sribaginda?"
"Kami memang telah memberikan pedang pusaka itu kepada Yeliu Cutay, sudah lama sekali ketika kami masih muda."
"Kalau begitu, Paman Yeliu Cutay yang berhak memiliki pedang pusaka itu. Akan tetapi, Paman Yeliu Cutay, kenapa pedang itu terlepas dari tanganmu dan berada di tangan si dia itu?" Ia menuding ke arah Bu Tiong Sin yang nampak gelisah dan mencoba untuk memalingkan mukanya dan bersembunyi di sebelah gurunya.
Yeliu Cutay yang ditanya, memberi hormat dulu kepada Jenghis Khan sebelum menjawab. Jenghis Khan mengangguk tanda memberi ijin dia bicara, maka Yeliu Cutay lalu berkata, "Pemuda itu sejak kecil kudidik sebagai anak sendiri bahkan kuberikan nama margaku kepadanya, juga kuberikan semua ilmuku kepadanya. Akan tetapi, Yeliu Tiong Sin ini telah dewasa murtad membawa minggat Pedang Asmara, bahkan hendak membunuhku."
Kini Siang Bwee menghadapi ayahnya. "Nah, Ayah mendengar sendiri semua keterangan dari Sribaginda Khan yang besar dan dari Paman Yeliu Cutay. Bagaimana seorang tokoh besar seperti Ayah sampai mau saja ditipu mentah-mentah oleh seorang pemuda ingusan dan palsu macam Bu Tiong Sin itu? Ayah diberi pedang curian, itu pun untuk menghargai diriku. Aku anak tunggal Ayah, hanya dihargai dengan sebatang pedang curian! Adakah yang lebih menghina daripada itu?"
Tiba-tiba Jenghis Khan berseru nyaring sekali, mengejutkan semua orang yang berada di situ. "Ada yang lebih jahat lagi! Orang ini, bukan saja telah melakukan semua itu, akan tetapi dia telah berkhianat kepada kami! Dia pernah diselamatkan orang-orangku ketika dikeroyok orang-orang Hek-eng-pang, kemudian dia membantu kami. Akan tetapi dalam suatu tugas penting ke Liao-tung, dia telah berkhianat, merusak hubungan kami dengan Liao-tung karena dia memperkosa puteri kepala suku Liao-tung! Dan menurut laporan anak kami Yuci, dia dapat menyelamatkan diri karena di tolong oleh Pak Ong dan puterinya."
Wajah Pak Ong menjadi merah sekali. Dia dan Kui Lan memang menyelamatkan Tiong Sin dari pengeroyokan pasukan Mongol, akan tetapi pemuda itu mengaku bahwa dia memusuhi orang Mongol. Siapa tahu dia malah kaki tangan Mongol yang berkhianat!
"Biar kubunuh saja manusia keparat yang hina ini!" bentak Nam Tok.
Akan tetapi Pak Ong menatap wajahnya. "Nam Tok, dia itu muridku, ingatkah kau? Kalau ada yang membunuhnya, berarti tidak memandang mata kepadaku. Aku sendiri masih dapat menghukum muridku. Apakah engkau hendak menantangku?" Pak Ong marah sekali karena kecewa terhadap muridnya itu.
"Sudahlah, harap kalian tidak ribut di sini! Kalian adalah tamu-tamu kami, harus mentaati peraturan kami," kata Jenghis Khan yang merasa tidak senang melihat dua orang datuk itu yang hendak melampiaskan kemarahan mereka masing-masing di depannya.
Wajah Nam Tok berubah kemerahan dan dia memandang ke arah Bu Tiong Sin dengan mata melotot. "Hemmm, kalau tidak melihat muka Pak Ong dan kalau tidak dilerai Sribaginda, tentu sudah kuhancurkan kepala bocah itu!" katanya.
"Sudahlah, Ayah. Di sini ada Sribaginda Jenghis Khan yang besar, dan beliau tidak menghendaki keributan di antara kita. Aku bisa menemukan di mana adanya Pedang Asmara yang aseli, Ayah, sehingga penemuan itu akan dapat mencuci nama besar Ayah, dengan mengembalikan pedang itu kepada yang berhak. Jadi, Ayah tidak akan dituduh bekerja sama dengan pencuri, atau menjadi tukang tadah barang curian. Bayangkan saja, Nam-san Tok-ong yang gagah perkasa kini pekerjaannya tukang tadah barang curian! Betapa akan memalukan!"
"Hayo katakan, di mana pedang yang aseli agar aku dapat menebus dan membersihkan namaku!" kata Nam Tok dengan wajah berseri. Dia telah mendapat malu di depan Jenghis Khan, dan akan legalah hatinya kalau dia dapat membersihkan namanya dengan mengembalikan pedang itu kepada yang berhak.
"Nanti dulu, Ayah. Sekarang aku minta Ayah agar secara resmi membikin putus ikatan perjodohan antara aku den si curang Bu Tiong Sin itu, dan juga antara suheng Kwee San Hong dan si kuda betina Ji Kui Lan.''
Nam Tok bukan seorang yang suka melanggar janji, akan tetapi karena dia telah mendapat malu karena perbuatan Tiong Sin, maka tanpa sangsi lagi dia pun berkata lantang, "Mulai detik ini, hubunganku dengan Pak Ong putus, dan dengan sendirinya semua ikatan perjodohan antara anak dan muridku dengan anak dan muridnya juga putus!"
"Bagus, Nam Tok. Memang sejak dahulu di antara kita hanya ada satu macam hubungan saja, yaitu hubungan persaingan mengadu kepandaian. Mulai detik ini, di antara kita tidak ada apa-apa, kita mengambil jalan masing-masing! Mari, Kui Lan dan Tiong Sin, kita pergi dari sini!"
Pak Ong memberi hormat kepada Jenghis Khan, diturut oleh puteri dan muridnya, dan Jenghis Khan mengangkat tangan memberi ijin. Mereka bertiga cepat meninggalkan tempat yang berbahaya bagi mereka itu.
Kini Siang Bwee mengeluarkan pedang pusaka itu dan menyerahkan pedang itu kepada Yeliu Cutay sambil berkata, ”Inilah Pedang Asmara itu, Paman Yeliu Cutay. Kukembalikan kepadamu karena engkaulah pemilik pedang ini sebelum dicuri oleh muridmu yang murtad."
Yeliu Cutay menerima pedang itu, mencabut dan memeriksanya, lalu mengangguk-angguk. "Inilah Pedang Asmara yang aseli." Dia menyarungkannya kembali dan menyerahkan pedang itu kepada Kwee San Hong. "Kwee Taihiap, seperti pernah kujanjikan, pedang pusaka ini sudah kuberikan kepadamu dan kepada Ang Li-hiap."
Karena pedang itu tadi telah dikembalikan oleh Siang Bwee kepada Yeliu Cutay, maka San Hong ragu-ragu untuk menerimanya dan dia menoleh kepada Siang Bwee.
"San-ko, Jangan terima pedang itu!" Lalu gadis itu menghadapi Yeliu Cutay sambil berkata, "Paman, kalau Paman sayang kepada kami, jangan berikan pedang itu kepada kami. Pedang itu amat berbahaya bagi kami orang-orang muda! Kalau San-ko memiliki pedang itu, hawanya yang jahat dapat mempengaruhinya dan aku tidak menghendaki hal itu terjadi!"
Yeliu Cutay tersenyum maklum. Dia sudah tahu akan kehebatan daya pengaruh pedang itu yang dapat membuat pria dan wanita mabuk kepayang dan tenggelam dalam gelombang asmara. Karena orang-orang yang sebetulnya berhak menerima pedang itu tidak mau, dia lalu berlutut di depan Jenghis Khan dan menyerahkan pedang itu dengan kedua tangan kepada junjungannya yang baru.
"Oleh karena dua orang muda gagah perkasa yang telah hamba janjikan untuk menjadi pemilik pedang pusaka ini tidak mau menerimanya, maka perkenankan hamba menghaturkan pusaka ini kepada Paduka, karena dahulu hamba menerimanya dari Paduka."
Jenghis Khan tertawa bergelak, hatinya gembira bukan main. Setelah kini dia menjadi seorang Khan yang besar dengan kekuasaan yang amat luas, apalagi telah berhasil menaklukkan Kerajaan Cin (Kim), maka pedang bertuah itu tidak mengkhawatirkannya lagi. Juga dia sudah mulai tua, tidak tertarik lagi akan hal-hal yang menyangkut asmara.
Pedang itu dapat menjadi satu di antara pusaka-pusaka kerajaan, menjadi lambang kebesaran kekuasaannya. Juga dia kagum melihat San Hong dan Siang Bwee. Dua orang muda itu bukan saja gagah perkasa dan berilmu tinggi, akan tetapi juga memiliki kejujuran dan hati yang bersih.
"Ha-ha-ha, agaknya Pedang Asmara ini mengenal tuannya yang pertama sehingga dia ingin kembali. Baik, kuterima pedang ini, Yeliu Cutay. Dan kalian, sepasang pemuda perkasa. Sesungguhnya, dari kalianlah kami menerima pedang ini karena tadinya Yeliu Cutay telah memberikan kepada kalian. Nah, sebagai penggantinya, kami akan memberikan dua buah benda yang tentu akan amat berguna bagi kalian pendekar-pendekar dunia persilatan."
Jenghis Khan memberi isyarat kepada pengawalnya yang segera menerima pedang, lalu membisikkan kepada pengawal lain yang segera mengambil sebuah peti kecil hitam dan menghaturkan benda itu kepada Jenghis Khan.
Raja besar itu menerima peti hitam, membukanya dan dari dalam peti yang terisi bermacam benda rampasan yang langka dan berharga itu, dia mengambil sebuah batu sebesar telur angsa yang berwarna hijau muda dan bersinar indah. Dia menyerahkan batu itu kepada Siang Bwee sambil berkata.
"Ini Mustika Naga Hijau yang ampuh sekali untuk melumpuhkan kekuatan racun ular yang bagaimana jahat pun. Terimalah, Nona."
Siang Bwee dan juga ayahnya sudah pernah mendengar tentang mustika itu maka tentu saja dengan gembira Siang Bwee menerimanya dengan kedua tangan mengucapkan terima kasih dan mengamati benda itu dengan wajah berseri.
Kini Jenghis Khan mengambil lima buah jamur kering dan menyerahkannya kepada San Hong. "Orang muda yang gagah, engkau terimalah jamur kering ini. Ini merupakan benda yang amat langka, karena Jamur seperti ini hanya tumbuh di kutub utara, itu pun amat jarang dan sukar didapat. Khasiat jamur ini amat hebat sebagai pembersih darah dan pengusir penyakit. Selebar kuku ibu jari kaki saja dikunyah dan ditelan, akan dapat membersihkan seluruh darah di tubuhmu dan mengusir penyakit-penyakit yang berbahaya."
San Hong tidak segembira Siang Bwee menerima hadiah itu, akan tetapi dengan sikap sopan dia menerima dan memberi hormat. Nam Tok diam-diam kagum kepada Jenghis Khan. Raja besar ini biarpun seorang Mongol, namun dia pandai menghargai orang gagah. Dia dan Pak Ong dengan terang-terangan menyatakan tidak mau membantu Mongol, bahkan memusuhi kalau Mongol menyerang Sung di selatan.
Akan tetapi Jenghis Khan tidak mengganggu mereka berdua, bahkan kini memberi hadiah benda yang langka kepada Siang Bwee dan San Hong. Padahal, kalau Jenghis Khan mau, biarpun empat orang datuk semua melakukan perlawanan dibantu anak-anak dan murid mereka, tetap saja raja itu akan mampu membunuh mereka semua walaupun akan mengorbankan nyawa banyak perajurit. Seorang pemimpin yang dapat menghargai orang pandai seperti Jenghis Khan ini sudah pasti akan berhasil.
Dia teringat akan keadaan para kaisar Kerajaan Kim yang sudah jatuh dan Kerajaan Sung di selatan, dan dia menghela napas panjang. Kaisar-kaisar itu adalah orang-orang lemah yang hanya mengejar kesenangan pribadi saja tanpa mempedulikan keadaan rakyat. Kalau ada orang pandai, mereka itu bahkan mencurigainya dan takut kalau orang pandai itu akan melakukan pemberontakan.
Kalau saja kaisar di selatan seorang yang kuat seperti Jenghis Khan, takkan ada musuh yang akan berani menyerang! Dia menengadah, lalu menghentak-hentakkan tongkat naganya ke atas tanah sehingga terdengar suara duk-duk berirama, dan dia pun membuka mulut dan bersajak dengan suara nyaring.
"Cakrawala selatan gelap gulita Naga tua rapuh dan ular-ularnya hanya mengenal pesta pora, rakyat pun hidup sengsara! Lihat...! Naga Utara terbang datang menyemburkan nyala api perang, panas membakar bernyala terang, mengusir gelap membasmi penguasa curang!"
Semua orang terdiam ketika Nam Tok bersajak tadi, dan setelah dia menutup sajaknya dengan tarikan napas panjang dan sedih, terdengar tepuk tangan. Kiranya yang bertepuk tangan adalah Jenghis Khan yang sudah bangkit berdiri dari kursinya dan memandang Nam Tok dengan wajah berseri.
"Bagus sekali, Saudara Ang Leng Ki!" katanya dengan gembira dan dengan menyebut Nam Tok sebagai saudara, hal itu menunjukkan penghormatan yang besar. "Kalau engkau suka menjadi penasihatku maka aku yakin bahwa perjuangan kami mengusir yang lalim akan dapat berhasil dengan cepat!"
Sejenak Nam Tok memandang kepada Khan yang agung itu dengan sinar mata tajam, kemudian dia pun berkata, "Bagaimana mungkin seorang putera mengkhianati ayahnya sendiri, betapapun lemah dan lalimnya ayah itu? Mari Siang Bwee, San Hong, kita pergi dari sini!" berkata demikian, Nam Tok membalikkan tubuhnya dan dengan angkuh meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi. Dia hendak menunjukkan bahwa dia tidak gentar kepada Jenghis Khan.
Siang Bwee tersenyum dan mengangguk kepada Jenghis Khan, San Hong menjura dengan hormat, lalu keduanya cepat mengikuti Nam Tok meninggalkan tempat itu.
Jenghis Khan menghela napas panjang, menggeleng-geleng kepala dan mengepal tinjunya. "Sungguh sayang! Dia bagaikan seekor naga yang perkasa! Mudah-mudahan dia dan aku tidak akan berhadapan sebagai musuh kelak!"
"Hayo katakan sekarang, sebelum kuhancurkan kepalamu. Apakah engkau sudah mengakui kesalahanmu?" Pak Ong membentak dan pemuda itu, Bu Tiong Sin, berlutut di depan kakek itu dengan tubuh gemetar dan muka pucat.
"Suhu, ampunkan teecu (murid). Teecu tidak merasa membuat kesalahan terhadap Suhu. Teecu selalu mentaati semua perintah Suhu....."
"Keparat! Engkau masih berpura-pura? Bukankah ketika pertama kali engkau bertemu dengan kami, engkau telah berbohong dan mengaku sebagai seorang gagah yang membenci orang Mongol? Ternyata engkau penipu! Engkau murid Yeliu Cutay yang murtad, melarikan diri dan mencuri pusaka gurumu. Dan engkau pun telah membikin malu kepadaku. Pedang pusakamu itu palsu! Engkau telah membuat Nam Tok marah dan memutuskan pertalian jodoh engkau dan Kui Lan. Bagaimana aku dapat mengampunimu?"
"Suhu, sungguh teecu berani bersumpah. Ketika teecu menyerahkan pedang pusaka itu kepada Nam Tok, pedang itu aseli, tidak palsu. Tentu orang tua itu yang telah mengganti pedang aseli dengan yang palsu!"
"Boleh jadi tidak mungkin bagi Nam Tok, Ayah. Akan tetapi siluman betina itu, anaknya itu, Siang Bwee. Perbuatan apa yang tidak mungkin ia lakukan? Ini tentu perbuatan Siang Bwee, dan untuk itu, kelak aku harus dapat mencekik lehernya!"
Pak Ong masih memandang muridnya dengan muka muram. "Kalau pun benar Siang Bwee yang menukar pedang itu engkau terlalu tolol sehingga tidak mengenal pedang sendiri ketika engkau menerimanya kembali dari Nam Tok. Engkau membikin aku malu saja. Dan bagaimana dengan kebohonganmu bahwa engkau pembenci orang Mongol?"
"Suhu, berani sumpah teecu tidak berbohong. Sampai sekarang pun, teecu benci orang Mongol dan teecu akan mempertaruhkan nyawa untuk membela Kerajaan Sung dan melawan pasukan Mongol!'
"Hemmm, orang macam engkau bisa apa? Menghadapi murid Nam Tok saja engkau kalah! Dari pada kelak merepotkan aku, lebih baik kubunuh saja sekarang. Engkau sudah pernah murtad terhadap gurumu yang pertama, bahkan yang telah merawatmu sejak kecil. Besar sekali kemungkinan engkau pun akan murtad dan berkhianat kepadaku!" Pak Ong sudah menggerakkan tangannya, siap untuk membunuh Tiong Sin. Pemuda itu menjadi pucat sekali, tidak berani melawan atau menghindar, hanya memohon ampun.
"Ayah, jangan bunuh dia!" Tiba-tiba Kui Lan meloncat ke depan ayahnya.
Pak Ong mengerutkan alisnya dan semakin marah. "Apa? Engkau hendak membela jahanam ini?"
"Ayah, ingat, dia muridmu dan dia.... dia suamiku!"
"Apa maksudmu?" bentak Pak Ong kepada puterinya.
"Ayah, sudah lama kami menjadi suami isteri dan semua yang kami lakukan membuktikan bahwa pedang yang dulu berada di tangan Suheng adalah Pedang Asmara yang aseli. Kami terpengaruh pedang pusaka itu. Kami hanya tinggal merayakan saja, Ayah. Akan tetapi, Suheng adalah suamiku."
Pak Ong tidak merasa heran mendengar pengakuan puterinya itu. Kalau puterinya tidak membela Tiong Sin, dia pun tidak peduli walau puterinya telah menyerahkan diri kepada muridnya itu, tetap akan dibunuhnya. Akan tetapi, melihat pembelaan Kui Lan, hal ini berarti bahwa puterinya mencinta Tiong Sin dan telah memilih pemuda itu menjadi suaminya. Hal ini membuat dia ragu-ragu.
"Hemmm.... engkau benar telah memilih dia?" suaranya terdengar agak kecewa.
"Ayah, harap pertimbangkan baik-baik. Semua yang telah dilakukan Suheng sehingga dia dapat mengelabui Ayah dan aku, hal itu hanya bukti bahwa Suheng amat cerdik dan pandai bersiasat. Suhenglah yang akan dapat membantu Ayah mengangkat nama besar Ayah sehingga tidak akan kalah oleh para datuk yang lain. Aku yang akan mengajaknya berlatih sebaik mungkin agar dia tidak mengecewakan, Ayah."
Pak Ong meraba-raba dagunya, alisnya berkerut. Memang tidak menguntungkan kalau dia membunuh Tiong Sin. Pertama, dia akan kehilangan seorang murid yang cukup berbakat, dan berarti kehilangan seorang pembantu. Ke dua, puterinya akan marah dan mungkin akan memusuhinya. Dia mengenal watak puterinya itu yang akan memusuhi siapa saja, ayah sendiri sekalipun kalau menyakiti hatinya.
"Hemmm, baiklah. Akan tetapi dia harus dapat membuktikan bahwa dia benar-benar memusuhi Mongol dan dapat memperlihatkan kegagahan membela Kerajaan Sung di selatan. Baru aku dapat mengampuninya. Kalau dia tidak mampu membuktikan, kelak sekali berjumpa dengan aku, jangan harap aku akan dapat mengampuninya lagi."
Tiong Sin yang tadinya sudah ketakutan dan putus asa, ketika mendengar ucapan gurunya itu, menjadi gembira bukan main. Dia seolah-olah hidup kembali, dan cepat menjatuhkan diri di depan kaki gurunya, memberi hormat berkali-kali sambil berlutut. "Terima kasih, Suhu. Teecu bersumpah akan mentaati perintah Suhu dan sekarang juga teecu akan pergi ke selatan untuk membantu pemerintah Sung dan menghalangi segala niat jahat orang-orang Mongol!"
"Benar, Ayah," kata Kui Lan yang juga merasa girang. "Seperti Ayah tahu, See Mo dan Tung Kiam telah menjadi antek-antek Mongol. Tentu mereka itu akan mengacau di selatan. Aku dan Su-heng akan pergi ke selatan dan menentang semua usaha mereka, untuk membela Sung dan melawan Mongol."
Kui Lan sesungguhnya membohong kalau ia mengatakan cinta kepada suhengnya. Kalau ia menyerahkan diri kepada Tiong Sin, itu terjadi karena pengaruh Pedang Asmara, juga hanya karena dorongan nafsu belaka. Akan tetapi, ia tidak ingin melihat suhengnya dibunuh ayahnya, karena bagaimanapun juga, suhengnya dapat menjadi kawan yang dapat diandalkan.
Kalau dia dibiarkan mati, lalu siapa yang akan menemaninya menghadapi lawan-lawan yang tangguh? Dan ia sengaja menyelamatkan nyawa Tiong Sin sehingga suhengnya itu selanjutkan tentu akan taat sekali kepadanya, dan dapat disuruh melakukan apa pun. Ia akan memperoleh seorang pembantu yang setia dan patuh.
Pak Ong mengangguk-angguk, "Baiklah, kalian boleh pergi. Akan tetapi ingat, Tiong Sin. Engkau tidak akan terlepas dari pengamatanku!"
Tiong Sin memberi hormat dan seperti yang diperhitungkan Kui Lan, sejak saat itu Tiong Sin menjadi seorang pembantu atau pelayan yang taat sekali kepada Kui Lan. Bukan saja karena dia merasa berhutang nyawa kepada gadis itu, melainkan terutama sekali karena dia takut kepada Pak Ong!
Setelah puteri dan muridnya pergi, Pak Ong juga melanjutkan perjalanan menuju ke selatan. Setelah Kerajaan Kim runtuh, tidak ada gunanya lagi tinggal di daerah itu, sebaiknya pindah ke selatan ke daerah Kerajaan Sung.
"Kalian harus menikah dulu, baru boleh pergi!" kata Nam Tok kepada Siang Bwee dan San Hong.
Mereka telah berada jauh di bawah puncak Kabut Putih di Thai-san dan ucapan itu dikeluarkan Nam Tok setelah Siang Bwee dan San Hong berpamit hendak pergi ke selatan, tidak ikut kakek itu yang akan pulang ke tempat tinggalnya di lereng Nam-leng-san.
"Harap Suhu suka memaafkan teecu," kata San Hong sambil memberi hormat kepada kakek itu.
"Aihhh, San-koko. Kenapa engkau masih menyebut suhu kepada Ayah? Dia itu calon ayah mertuamu!" Gadis ini memang lincah dan sama sekali tidak pemalu seperti gadis-gadis lain. Akan tetapi karena sikap dan ucapannya itu wajar, maka sama sekali tidak mendatangkan kesan bahwa ia genit.
Mendengar ucapan gadis itu, wajah San Hong menjadi kemerahan dan dia pun mengulang sebutannya dengan gagap. "Eh..... Ayah Mertua.....!"
Akan tetapi Nam Tok mengerutkan alisnya, nampak tidak senang. Kakek ini yang sudah terbiasa dengan kehidupan para datuk yang tidak suka akan segala macam tata-cara dan kesopanan, lebih menyukai sikap yang terbuka dan polos tanpa pura-pura alim, pada hakekatnya tidak begitu suka akan sikap dan watak San Hong. Dia menganggap pemuda ini terlalu lamban dan bodoh, tidak cerdas sama sekali sehingga dia menganggap San Hong tidak cocok untuk menjadi jodoh puterinya yang demikian lincah dan cerdik luar biasa.
"Sudah, tidak perlu banyak sungkan. Katakan, kenapa engkau minta maaf? Tiada hujan tiada angin engkau minta maaf, apa pula maksudmu? Aku hanya minta engkau segera menikah dengan Siang Bwee sebelum kalian pergi, dan jawabanmu hanya minta maaf!" suaranya mengandung kekesalan.
"Teecu..... eh, saya minta maaf karena terpaksa saya tidak dapat mentaati perintah Ayah untuk sekarang ini....." jawab San Hong agak gugup melihat calon ayah mertuanya marah.
Makin mendalam kerut di antara alis yang tebal itu, matanya memandangi tajam penuh selidik. "Kwee San Hong. Apa maksudmu? Berani engkau menolak usulku? Ehhh....." Tiba-tiba dia menambahkan dan suaranya mengandung penuh harapan. ".....apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau tidak ingin menikah dengan Siang Bwee?"
Mendengar nada suara yang tiba-tiba seperti bergembira itu, tentu saja San Hong yang berwatak jujur itu merasa heran, akan tetapi Siang Bwee cemberut. Dari nada suaranya itu saja, Siang Bwee dapat mengerti bahwa diam-diam ayahnya masih tetap tidak suka kepada San Hong dan ayahnya akan merasa girang kalau ia tidak berjodoh dengan San Hong. Diam-diam ia merasa mendongkol sekali dan kasihan kepada pria yang dicintanya itu.
"Maaf, Ayah, bukan begitu maksud saya. Akan tetapi, untuk sementara ini saya belum dapat melaksanakan pernikahan..."
"Omong kosong! Siapa yang akan melarangmu? Orang tuamu sudah mati siapa lagi yang harus kau minta ijin?"
"Ayah.....!" Siang Bwee berseru.
"Diam kau!" Ayahnya membentak. "Biarkan dia menjawab sendiri. Dia harus bersikap laki-laki dan berani menjawab sendiri!"
Perlahan-lahan San Hong bangkit berdiri dan Siang Bwee memandang dengan gelisah. Ia sudah mengenal watak kekasihnya itu. Jujur, polos, tidak pernah berpura-pura, karenanya tidak pandai mengambil hati orang dan karenanya kelihatan bodoh, akan tetapi juga pemberani dan pantang mundur.
"Ayah, memang tidak ada orang yang dapat menghalangi saya, juga tidak ada yang saya mintai ijin. Akan tetapi ada dua hal yang harus saya kerjakan lebih dahulu sebelum saya menikah dengan Bwee-moi."
"Hemmm, masih adakah perkara yang kau anggap lebih penting daripada pernikahanmu dengan Siang Bwee? Katakan, apa dua hal itu!"
"Pertama, saya tidak akan menikah dulu karena Kerajaan Sung terancam oleh pasukan Mongol. Perjuangan untuk membela Kerajaan Sung berarti perjuangan untuk menyelamatkan rakyat dari ancaman penyerbuan Mongol, dan hal ini amat penting, Ayah, lebih penting daripada urusan pribadi. Oleh karena itu, saya harus lebih dulu berjuang memperingatkan Kerajaan Sung dari bahaya yang mengancam, sebelum bersenang-senang dalam pernikahan. Ke dua, saya harus memberitahukan tentang perjodohan saya ini kepada kelima orang suhu di Thian-san."
"Huh! Orang seperti engkau ini akan bisa berbuat apakah untuk membela daerah selatan yang terancam pasukan Mongol? Dan, mengapa harus memberi tahu Thian-san Ngo-sian?"
"Ayah tidak adil!" Tiba-tiba Siang Bwee berseru, tidak peduli akan pandang mata marah dari ayahnya. Gadis yang cerdik ini maklum benar bahwa ayahnya tidak mungkin dapat terlalu marah kepadanya, apalagi sampai turun tangan memukulnya.
"Apakah semangat Ayah sekarang sudah melempem? Sepantasnya Ayah bangga mempunyai seorang mantu seperti Hong-ko. Dia begitu perkasa, seorang pejuang sejati yang mengesampingkan kesenangan pribadi, mendahulukan kepentingan rakyat dan negara. Sepantasnya Ayah malah memberi semangat kepadanya untuk membela negara dan menentang Mongol.
"Ke mana kegagahan Ayah sebagai seorang pahlawan? Dan pula, sudah sepatutnya pula kalau Hong-koko memberi tahu tentang perjodohannya kepada guru-gurunya yang pertama. Dan bukankah Ayah juga tahu bahwa Thian-san Ngo-sian adalah tokoh-tokoh pendekar persilatan yang ternama? Sepatutnya Ayah bangga dengan Hong-koko!"
Diam-diam Nam Tok tersenyum di dalam hatinya. Puterinya ini memang sudah benar-benar jatuh cinta kepada pemuda bodoh ini, tergila-gila tidak tertolong lagi! Akan tetapi, dia pun senang dengan alasan San Hong untuk lebih dulu berjuang, baru memikirkan pernikahan.
"Hemmm, aku ingin kalian cepat menikah demi kepentinganmu, Siang Bwee! Kenapa engkau malah membela bocah tolol ini? Bagaimana aku dapat membiarkan kalian pergi berdua sebelum menikah? Engkau seorang gadis, tentu tidak akan pantas dilihat orang....."
"Aihhh! Sejak kapan Ayah begini beraturan dan bersopan-sopan? Ayah sendiri selalu mengatakan bahwa semua sikap bersopan-sopan itu adalah munafik! Yang penting, kita tahu bahwa apa yang kita lakukan benar. Apa peduliku dengan pendapat yang keluar dari mulut orang yang usil? Dan Ayah pun tahu bahwa selama ini, aku sudah melakukan perjalanan berdua dengan Hong-koko, makan di satu meja, bahkan tidur di satu ruangan.
"Akan tetapi, Hong-koko adalah seorang laki-laki sejati, Ayah. Belum pernah dia memperlihatkan sikap kurang ajar kepadaku, tidak pernah ada pikiran cabul sedikit pun dalam hatinya! Selain itu, sekarang usiaku baru delapan belas tahun lebih, Hong-koko juga baru dua puluh tahun lebih, masih terlalu muda untuk menikah. Aku setuju dengan alasan Hong-ko dan aku menunjangnya. Ayah!"
Nam Tok memandang kepada puterinya yang sudah berdiri di samping San Hong, dengan sikap menantang seperti seekor singa betina melindungi anaknya! Mau tidak mau Nam Tok tersenyum, lalu dia memandang San Hong dan berkata, "Kwee San Hong, aku menyetujui alasanmu. Terserah kepada kalian berdua, hanya aku pesan bahwa kalau sudah selesai, engkau harus kembali ke Nam leng-san dan merayakan pernikahan di sana. Dan ingat baik-baik engkau, San Hong. Kalau engkau sampai membikin susah hati anakku, biar engkau bersembunyi ke ujung dunia pun akan kucari dan kubunuh!" Setelah berkata demikian, Nam Tok meloncat dan sudah berlari jauh.
Siang Bwee dan San Hong saling berhadapan dan saling pandang. Keduanya tersenyum dan ketika Siang Bwee menghampiri, San Hong mengembangkan kedua lengannya, menerima gadis itu dalam rangkulannya. Sampai lama Siang Bwee menyandarkan mukanya di dada kekasihnya. Mereka tidak perlu bicara lagi dalam keadaan seperti itu. Detak jantung dan denyut darah mereka sudah bicara banyak dan mereka tenggelam ke dalam kedamaian yang membahagiakan.
Setelah lama sekali, terdengar suara Siang Bwee, "Koko, kalau kita ke selatan, apa yang harus kita lakukan?"
"Tentu saja membantu rakyat dan negara untuk menghadapi Mongol."
”Tapi, apa yang akan kita lakukan setelah tiba di sana? Pasukan Mongol belum tentu akan datang menyerang dengan cepat."
San Hong termenung. "Entahlah, Bwee-moi, aku sendiri pun tidak tahu apa yang akan kulakukan. Pokoknya membantu pemerintah Sung melawan Mongol, itu saja."
Gadis itu melepaskan dekapan Hong dan mereka kini berdiri berhadapan sambil saling berpegang kedua tangan. Siang Bwee, tertawa geli. "Aih, dan engkau tadi begitu berani mati bicara kepada Ayah, sedangkan engkau sendiri tidak tahu apa yang harus kaulakukan di selatan!"
"Bwee-moi yang manis, kauberikan petunjuk padaku."
"Hemmm, merayu, ya? Kau ingat betapa See Mo dan Tung Kiam telah diterima menjadi antek Jenghis Khan. Mereka dan murid-murid mereka tentu akan melakukan sesuatu di selatan. Kita ke sana dan kita hadapi mereka, kita menggagalkan semua pekerjaan mereka yang tentu akan mengacau di sana. Bagaimana pendapatmu?"
San Hong memeluk pinggang gadis itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi. "Ha-ha-ha, engkau benar, wah, engkau memang cerdik bukan main. Engkau isteriku yang hebat! Tanpa engkau, aku seperti perahu tanpa kemudi!"
"Ihhh! Lepaskan aku! Lepaskan aku....!" Siang Bwee tertawa-tawa dan meronta minta dilepaskan.
Akan tetapi saking girangnya, San Hong melemparkan tubuh gadis itu ke atas, ketika turun ditangkap lalu dilempar lagi sampai tiga kali, membuat Siang Bwee terkekeh-kekeh dan menjerit-jerit manja karena kalau ia menghendaki, tentu saja ia dapat melompat. Pada saat tubuh gadis itu meluncur turun lagi, San Hong menerimanya dalam pelukan.
Akan tetapi, Siang Bwee menggelitik pinggang San Hong sehingga pemuda itu terkekeh dan terpaksa melepaskan Siang Bwee. Gadis itu lari, dikejar San Hong. Mereka berkejaran, penuh kegembiraan dan kebahagiaan, menuju ke selatan.
Sampai di sini, selesailah kisah Pedang Asmara ini dan pengarang mengharap semoga karangan ini ada manfaatnya bagi para pembaca. Kisah gerakan bangsal Mongol yang dipimpin oleh Temucin atau Jenghis Khan ini, bersama kisah Empat Datuk Besar dengan murid-murid mereka, akan dilanjutkan dalam cerita lain. Sampai jumpa di lain karangan.