Pendekar Penyebar Maut Jilid 01

Cerita silat Mandarin karya Sriwidjono. Pendekar Penyebar Maut Jilid 01
Sonny Ogawa

Pendekar Penyebar Maut Jilid 01 Karya Sriwidjono - MALAM telah sangat larut, bulan yang pucat dan tinggal sepotong itu sudah jauh pula condong kearah barat. Titik-titik embun sudah bertebaran pula turun ke bumi. Menebar seperti gumpalan awan yang melayang-layang dari langit, mengendap perlahan-lahan ke bawah, menjadi kabut yang menyelimuti segala makhluk serta benda yang berada di atas bumi, sehingga segalanya menjadi kabur dan kelihatan samar-samar.

Novel Silat Mandarin Karya Sriwidjono

Dinginnya bukan alang-kepalang! Dingin dan sunyi. Apalagi jika sekali datang angin berhembus. Biar sangat lemah sekali pun, ternyata sudah cukup untuk menggerakkan beberapa pucuk daun cemara yang paling tinggi. Sehingga beberapa di antaranya terpaksa melepaskan butiran-butiran air embun yang telah terkumpul pada setiap ujungnya. Berjatuhan ke bawah, menimpa pucuk pucuk daun yang lain, menyebabkan pucuk-pucuk yang lain itu tak kuasa pula menahan muatan mereka sendiri.

Dan untuk beberapa saat bagaikan runtuhnya gunung mutiara yang digoyang gempa, ribuan butir embun itu jatuh bertaburan ke bawah. Dingin gemerlapan. Memercik, kesana-kemari. Sebagian membasahi rumput, sebagian lagi langsung berjatuhan ke bumi dan lenyap terhisap oleh tanah yang basah.

Suasana malam itu memang benar-benar dingin dan sunyi. Terlebih-lebih suasana di dalam hutan lebat yang tumbuh di sebelah utara kota Tie-kwan itu. Tak sebuah makhlukpun yang tampak hidup di tempat itu. Biar seekor binatang malam yang paling kecil sekalipun.

Hutan itu tumbuh dengan lebat di lereng lereng Bukit Ular. Yaitu sebuah rangkaian dari beberapa buah bukit yang letaknya membujur sepanjang sepuluh lie di tepi Sungai Huang-ho, persis di sebelah utara kota Tie-kwan, di Propinsi Shan-tung. Selain lebat hutan tersebut tumbuh di atas tanah yang terjal serta berbukit-bukit, sehingga tempat tersebut sangat licin dan berbahaya sekali.

Maka dari itu biarpun letaknya berada di tepi arus lalu lintas sungai serta berada tidak jauh dari perkampungan penduduk, tidak seorangpun selama ini yang pernah menginjakkan kakinya di tempat tersebut. Apalagi dalam suasana malam yang dingin seperti itu.

Tetapi... Tetapi ternyata suasana malam itu agak lain dari biasanya. Dalam pekatnya kabut yang dingin mencekam itu, samar-samar terlihat beberapa sosok tubuh yang berdiri tegak tak bergerak di antara gelapnya bayang-bayang pohon. Semuanya diam tak bergerak. Sehingga sekilas pandang bagaikan sekumpulan hantu yang sedang bangkit dari kuburnya. Senyap dan mengerikan!

Mereka berjumlah empat belas orang, berdiri berkumpul ditempat yang sedikit lapang dan rata. Berdiri mengelilingi empat buah tandu yang berisi wanita dan anak-anak. Dan dilihat dari gerak-gerik mereka dengan mudah dapat diduga bahwa mereka terdiri dari satu rombongan.

Delapan orang di antaranya, yang agaknya juga bertugas merangkap sebagai pemikul tandu, tampak berdiri tegak di sekitar barang bawaan mereka itu. Dua orang yang lain, yang bertampang lebih garang, berdiri agak terpisah dari kedelapan orang itu.

Di bawah pohon siong itu yang tumbuh tidak jauh dari tempat tersebut berdiri seorang laki-laki separuh baya. Usianya sekitar empat puluh lima tahun. Berpakaian bersih dan rapi. Jenggot serta kumisnya yang lebat itu juga terawat rapi. Matanya bersinar tajam dan selalu waspada melirik ke kanan dan ke kiri, seperti mata harimau betina yang sedang menjaga anak-anaknya.

Tangannya yang tertutup oleh lengan baju yang longgar itu tampak selalu siap di atas gagang golok besar yang tergantung di pinggangnya. Dan dilihat dari sikapnya yang berwibawa, bisa diduga bahwa dialah yang memimpin rombongan kecil tersebut.

Di belakang orang itu, tampak seorang yang berwajah sangat mirip dengan dia, berdiri bersandar pada pohon siong tersebut. Umurnya sekitar lima tahun lebih muda. Mukanya dicukur bersih, sehingga tampak lebih tampan. Sebuah golok besar juga tergantung diatas pinggangnya.

Beberapa langkah dari pohon tersebut, yaitu di atas pohon pek yang telah tumbang, terlihat dua orang lagi dari anggauta rombongan itu. Seorang pemuda yang bertubuh tinggi kurus, berusia delapanbelas tahun dan seorang kakek tua yang kelihatan sedang menderita sakit.

Hawa malam yang kelewat dingin itu agaknya membuat kakek tersebut semakin menderita. Berkali-kali tangannya mengurut dada dan tenggorokannya yang terasa gatal dan nyeri. Kadang-kadang tampak dengan susah payah ia menahan diri agar mulutnya tidak mengeluarkan batuk. Ia kelihatan takut apabila suara batuknya akan menggangggu suasana tegang yang kini sedang berlangsung di tempat itu.

"Twako, embun pagi telah menyelimuti kita semua. Kenapa utusan yang kita kirim itu belum juga kembali? Hampir semalam penuh kita menunggu dia."

Orang berjenggot lebat itu menggeram mendengar perkataan adiknya, yaitu laki-laki yang berwajah mirip dia itu. la tak menjawab sepatahpun! Tampak tangannya mengepal-ngepal dengan tegang.

Sementara itu pemuda tinggi kurus yang sedari tadi selalu memperhatikan kakek tua yang sedang sakit itu, merasa kasihan dan khawatir sekali. "Apakah engkau merasa kedinginan, kek?" pemuda itu berbisik pelan sekali.

Orang tua yang tampak semakin sukar menahan rasa nyeri dan gatal pada tenggorokannya dan menggeleng dengan cepat. Tetapi tiba-tiba batuknya tak bisa ditahan lagi. Suaranya melengking memecahkan kesunyian malam. Membuat kaget orang orang yang berada di tempat itu. Dan sekali telah terbatuk, batuk itu tidak bisa dibendung lagi. Suaranya sambung-menyambung tak habis-habisnya.

“Diam! Hentikan suara itu!" Laki-laki berjenggot lebat itu menghardik dengan suara berat.

Kakek tua itu dengan ketakutan cepat membungkam mulutnya erat-erat, sehingga suara batuk itu berhenti dengan mendadak. Tetapi akibatnya, muka yang semula pucat itu kini menjadi merah membara. Matanya melotot kemerahan menahan sakit. Pundaknya berguncang dengan keras karena menahan batuk. Peluhnya bercucuran membasahi dahi dan lehernya.

Pemuda yang berada di sampingnya itu cepat mencengkeram pundaknya. "Kek, apakah engkau sakit? Apakah penyakit dadamu kambuh lagi?”

Tetapi kakek itu tak bisa menjawab. Ia masih sibuk mendekap mulutnya dengan ketakutan. Oleh karena itu si pemuda tidak bertanya lebih lanjut. Cepat ia merogoh kantong orang tua itu dan mengeluarkan sebuah pipa tembakau beserta bumbu-bumbunya. Dengan cekatan pemuda itu meracik beberapa macam serbuk obat lalu memasukkannya ke dalam pipa bersama tembakaunya. Agaknya ia telah terbiasa dan hafal betul, apa yang harus diperbuat untuk mengobati orang tua itu apabila penyakitnya kambuh. Tetapi begitu pemuda tersebut menyalakan api,

"Yang ji! Padamkan api itu!”

Pemuda yang dipanggil dengan nama "Yang" itu menoleh ke arah laki-laki berjenggot yang berada dibawah pohon s iong itu. Alisnya berkerut, mulutnya terkatup rapat. Matanya menatap dengan bingung dan penasaran. "Ayah? Aku... Kenapa aku tidak boleh mengobatinya? Kenapa engkau melarang aku merawatnya? Bukankah selama ini aku selalu dirawat olehnya? Kenapa...?”

"Jangan banyak bicara! Sekali kukatakan tidak boleh menyalakan api, ya tidak boleh! Apakah engkau ingin memberitahukan tempat kita ini kepada para musuh kita? Apakah engkau ingin agar mereka datang ke sini untuk menumpas keluarga kita?"

"Tapi siapakah musuh kita itu? Ayah tak pernah mengatakannya kepadaku! Kenapa kita yang selama ini selalu hidup tenteram mengasingkan diri mesti dimusuhi? Kalau toh kita akan ditumpas, kenapa tidak kita hadapi saja secara jantan? Kenapa kita mesti melarikan diri sampai sedemikian jauhnya seperti sekawanan orang pengecut?"

"Apa katamu? Kau berani membantah? Apakah kau mau melawan ayahmu?" Orang tua itu berdiri tegak dengan marahnya.

Tetapi pemuda itu juga tak mau mengalah. Agaknya ia benar-benar merasa penasaran atas sikap ayahnya kali ini. Dengan sinar mata penuh rasa penasaran pemuda itu juga berdiri tegak menghadapi ayahnya. Tentu saja sikapnya itu semakin membuat ayahnya bertambah marah. Untunglah laki-laki yang sedari tadi berdiri di belakang sang ayah cepat menengahi mereka.

"Sabarlah, twa-ko! Puteramu masih sangat muda. Dia belum menyadari sepenuhnya apa yang terjadi. Biarlah aku yang menasehati dia!"

"Tuan muda, oh… tuan muda! Apakah yang telah terjadi? Kenapa tuan muda berani bersikap demikian terhadap ayahandamu?” tiba-tiba kakek tua yang sakit itupun berseru sambil menarik lengan si pemuda. Agaknya penyakit yang dideritanya telah sedikit mereda.

Pemuda itu cepat menoleh. Tangannya meraih lengan orang tua itu. Begitu melihat kakek tersebut tidak kurang suatu apa, hatinya tampak lega bukan main. Biarpun di dalam hati ia masih juga merasa penasaran atas sikap ayahnya, tetapi ia tidak ingin berbantah lebih lanjut.

Maka dari itu ketika terdengar suara langkah kaki orang yang menghampiri tempatnya, ia segera menundukkan mukanya. Ia tahu pamannya yang sedari tadi berada di belakang ayahnya, kini telah berada didepannya. Ia juga tahu bahwa semua orang tentu sedang mengawasi dirinya. Termasuk juga Siang-hui-houw (Sepasang Harimau Terbang) kepercayaan ayahnya, yang hadir berdampingan di dekat para pemikul tandu itu.

"Yang Kun! Kau tidak boleh bersikap demikian kepada ayahmu. Kau belum memahami benar masalah besar yang kini sedang dihadapi oleh ayahmu dan oleh seluruh keluarga kita. Ayahmu sebagai saudara tertua sudah tentu harus bertanggung jawab atas keselamatan kita semua. Beliau tentu sudah berpikir dengan matang tentang apa-apa yang dirasakan baik buat kita.

"Soalnya masalah besar yang kita hadapi ini tidak boleh kita hadapi dengan hati panas dan pikiran pendek, apalagi dengan membabi buta tanpa pemikiran yang matang. Kita harus memperhitungkan untung ruginya. Kita harus memperhitungkan segala sesuatunya dengan cermat sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya, agar hal yang kita anggap kecil itu tidak sampai merugikan rencana kita nantinya."

"Tapi.... aku tidak mengerti, paman. Masalah berarti apakah sebenarnya yang kini sedang kita hadapi? Masalah apakah itu sehingga ayah sampai membawa kita semua melarikan diri meninggalkan rumah, harta benda serta milik kita? Sehingga aku sangat kecewa karenanya? Lalu apa gunanya kita berlatih silat setiap hari, jikalau setiap ada musuh datang kita lari menyembunyikan diri. Bukankah ayah dan paman selalu mengatakan kepadaku bagaimana menjadi seorang ksatria dan pendekar?"

Pemuda itu diam sejenak setelah memuntahkan rasa penasaran serta kekecewaan hatinya di hadapan sang paman. Ia menatap dengan penuh harap, agar pamannya tersebut memberi keterangan yang jelas, sehingga hatinya menjadi lega.

Orang tua yang telah banyak makan asam garam kehidupan itu mengelus pundak keponakannya. Wajahnya tampak berseri-seri. "Yang Kun, maafkan pamanmu. Aku kini belum bisa membeberkan masalah besar itu kepadamu. Pada saatnya, kau tentu akan mengetahuinya sendiri nanti. Adapun tentang musuh yang kita hadapi saat ini, pamanmu juga belum dapat menyebutkannya. Selain musuh keluarga kita itu sangat banyak, kita juga belum tahu dengan pasti siapakah yang kini datang memusuhi kita....”

“.... tetapi kami benar-benar sangat gembira melihat semangatmu yang besar. Engkau memang menjadi tumpuan harapan kita di masa mendatang, apabila ternyata kami orang-orang tua ini tidak bisa melanjutkan cita-cita kita. Itulah sebabnya dengan tidak mengenal lelah kami menggembleng dirimu siang dan malam. Dan kukira jerih payah kami itu tidaklah sia-sia.

"Engkau telah dapat menguasai dengan baik semua ilmu silat keluarga kita. Tetapi meskipun begitu, engkau tidak boleh terlalu membanggakan dirimu. Apalagi menjadi sombong. Seperti yang telah kita ketahui bersama, ternyata musuh yang datang juga bukan orang sembarangan pula. Terbukti dengan terbunuhnya pamanmu yang bungsu, orang terlihai di antara keluarga kita."

"Tetapi musuh paman bungsu itu tentu tidak hanya seorang. Mereka tentu secara beramai-ramai mengeroyok paman bungsu. Tak seorangpun di dunia ini yang mampu melawan beban sendirian saja." Yang Kun membela mendiang pamannya. Orang yang paling banyak memberi pelajaran silat kepadanya!

Orang tua itu tersenyum penuh arti. Dengan menggeleng-gelengkan kepalanya ia memandang ke arah Siang-hui-houw yang berdiri diam tak bergerak sejak tadi.

"Tuan muda Yang Kun ini memang sangat membanggakan paman bungsunya," kata salah seorang di antara mereka.

Sang paman itu mengangguk, ia sendiri juga sangat bangga terhadap mendiang adik bungsunya itu. Sayang umurnya terlalu pendek. Untunglah keponakannya ini agaknya telah mewarisi bakat serta kepandaian adiknya tersebut.

"Yang Kun sudahlah! Mungkin juga pamanmu itu memang dikeroyok oleh banyak orang seperti dugaanmu, tetapi mungkin juga tidak. Soalnya tak seorangpun yang menyaksikan ketika dia melawan musuhnya. Dan pada saat tubuhnya yang terluka itu kita temukan, dia hanya sempat mengeluarkan dua buah perkataan saja. Yaitu perkataan “larilah” dan perkataan “benda itu!"

"Lalu.... apakah maksud perkataan beliau itu?” Yang Kun mendesak.

Orang tua itu menatap keponakannya dengan tajam. "Itulah! Biarpun hanya dua buah perkataan saja tetapi kamu bisa menduga apa yang dimaksudkannya! Yaitu yang berhubungan dengan masalah besar yang sedang kita hadapi! Itulah sebabnya, biarpun kita kehilangan seorang keluarga yang kita cintai, kita harus tetap berpikiran dingin. Kita tidak boleh menurutkan hati dan perasaan. Kita harus mengingat kepentingan keluarga kita yang lebih besar."

Lagi-lagi masalah besar dan kepentingan keluarga, Yang Kun menggerutu di dalam hati. Ia sungguh merasa sangat penasaran sekali. "Lalu.... kenapa kita mesti berlari-lari serta bersembunyi?"

Orang tua itu menghela napas panjang. "Hmmm..... sudah kukatakan sejak tadi bahwa pada saatnya nanti engkau akan mengerti dan memaklumi sendiri masalah ini. Yang terang, apabila seorang pendekar besar seperti paman bungsumu saja menganjurkan kita lari, persoalannya tentulah tidak main-main."

Sekali lagi orang tua itu mengawasi dengan tajam. Sepintas lalu dapat ia rasakan betapa keponakannya tersebut belum merasa puas hatinya. Tetapi agar persoalan itu tidak menjadi berkepanjangan, ia segera memotong saja pembicaraannya.

"Sudahlah, nak! Kau rawatlah dahulu kakek pengasuhmu itu. Jangan terlalu kau risaukan masalah ini, biarlah kami orang-orang tua saja yang menyelesaikannya.” Kemudian setelah sekali lagi menepuk pundak keponakannya, orang tua itu melangkah kembali ke tempat semula, di samping kakaknya.

“Twa-ko! Sungguh aneh, kenapa Hek-mou-sai (Singa Berbulu Hitam) hingga sekarang belum juga kembali? Dia sendiri yang memberi batas waktu sampai tengah malam. Padahal kini sudah fajar....”

"Entahlah! Aku juga hampir gila memikirkan dia."

"Aku khawatir kalau-kalau dia mendapatkan kesukaran di jalan. Seperti ada firasat yang tidak baik...."

"Aku juga mempunyai firasat demikian. Lalu apa sebaiknya yang akan kita lakukan?"

“Terserah twa-ko saja! Aku selalu menurut perintahmu!”

“Baiklah! Karena Hek-mou-sai sendiri yang berkata bahwa dia akan kembali sebelum tengah malam, maka kita bebas untuk berlalu sekarang juga."

"Tetapi bagaimana kalau dia nanti kembali kesini?”

“Biarlah Siang hui-houw memberi suatu tanda di tempat ini, yang menyatakan bahwa kita telah berangkat.” Kata kakaknya sambil memberi tanda ke arah Siang-hui-houw agar mendekat.

"Tuan memanggil kami berdua?” kedua harimau itu bertanya.

"Kita akan berangkat sekarang. Berilah tanda di ditempat ini, agar Hek-mou-sai mengetahui kalau kita telah berangkat. Kemudian ajaklah para pemikul tandu untuk membawa para wanita itu turun dari bukit ini. Kita menuju ke pinggir Sungai Huang-ho!”

"Baik, tuan." Kedua jagoan pengawal itu mengangguk hormat, lalu kembali ke tempat semula. Mereka menyiapkan tanda yang akan mereka tinggalkan untuk teman seperjalanan mereka yang bertugas sebagai penyelidik, yang sampai saat itu belum kembali. Hek-mou-sai bertugas menyelidiki jalan-jalan yang akan dilalui oleh rombongan kecil tersebut.

“Apakah kita akan berangkat sekarang?” salah seorang pemikul tandu bertanya kepada mereka.

“Benar! Ajaklah teman-teman kita yang lain untuk bersiap-siap! Tuan Chin memberi perintah agar berangkat sekarang.”

Kabut dingin makin tebal menyelimuti mereka. Dinginnya sampai mengigit tulang. Membuat para pemikul tandu tersebut sebenarnya sangat enggan untuk bergerak dan tempatnya. Tapi apa boleh buat, tuan Chin, majikan mereka, memerintahkan mereka untuk berangkat sekarang juga. Terpaksa dengan perasaan enggan mereka mengangkat tangkai tandu masing-masing.

Sementara itu melihat ayah dan pamannya telah berkemas-kemas pula untuk berangkat, Yang Kun membuka baju luarnya yang lebar dan memberikan kepada kakek pengasuhnya. "Kita akan berjalan lagi, kek. Kau pakailah bajuku ini biar tubuhmu merasa lebih hangat."

"Terima kasih, Tuan muda. Tuan muda baik sekali.... aku....”

Belum juga kakek itu selesai berbicara, tiba-tiba mereka dikagetkan oleh suara teriakan seorang pemikul tandu yang diikuti oleh pemikul tandu yang lain.

“Hah?!?”

“Ohh?!?”

“Ehh!?!”

Semua orang cepat menoleh ke arah para pemikul tandu dan.... untuk beberapa saat lamanya mereka berdiri mematung! Dihadapan mereka, didepan para pemikul tandu, tampak beberapa sosok tubuh wanita dan anak-anak, tersungkur mencium tanah yang becek berlumut. Agaknya mereka tadi terjatuh, ketika para pemikul tandu tersebut mulai mengangkat tangkai tandu yang mereka tumpangi.

Dan sekejap kemudian, seperti mendapatkan suatu komando saja, ketiga orang ayah, paman dan anak itu meloncat bagai terbang cepatnya kearah keluarga mereka tersebut. Ketiga-tiganya sampai di tempat dalam waktu yang hampir bersamaan. Dengan gaya dan jurus yang bersamaan pula, yaitu jurus burung walet Terbang ke Sarang!

Ayah Yang Kun, yang terdahulu sampai di tempat itu segera mengulurkan tangan ke arah ibu Yang Kun, wanita cantik yang tergolek dengan separuh badan masih berada di dalam tandu.

"Twa-ko!! Jangan sentuh dia!" adiknya berteriak memperingatkan.

"Ibuuuu,......!" Yang Kun yang berada dibelakang kedua orang tua itu bergegas mau menubruk tubuh ibunya tetapi pamannya cepat menahan lengannya dengan erat. "Lepaskan! Lepaskan, paman! Aku akan melihat ibuku!"

Yang Kun berteriak sambil berusaha melepaskan pegangan tangan pamannya. Tetapi sedikitpun tak mau sang paman itu mengendorkan pegangannya. Beberapa kali pemuda itu berusaha membebaskan lengannya dengan berbagai macam cara, tetapi karena tenaga dalamnya masih berada dibawah tenaga dalam pamannya, maka usahanya selalu sia-sia.

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara teriakan ayahnya yang mengerikan. Otomatis keduanya menghentikan pergulatan mereka. Dengan mata melotot Yang Kun melihat ayahnya mundur terhuyung-huyung menjauhi tubuh ibunya. Darah segar tampak menyembur-nyembur dari lengan kanannya yang buntung. Buntung sebatas siku!

"Ayahhhh....?!"

"Twa-ko...? Kau.... kau kenapa?'' Paman Yang Kun bergegas menyambut tubuh kakaknya yang terhuyung-huyung. Kemudian dengan cekatan ia menotok beberapa kali di sekitar bahu dan pundak, sehingga darah yang mengucur keluar itu berhenti dengan segera.

Salah seorang dari Siang-hui houw cepat membentangkan selembar kain untuk membaringkannya di tanah.

“Kalian semua jangan terlalu dekat dengan..."

“Aduuuhh....”

Belum juga paman Yang Kun selesai berteriak untuk memperingatkan mereka, salah seorang pemikul tandu telah mengaduh dan terjerembab di samping tandunya.

"Awas racun ganas! Wanita dan anak-anak itu telah mati! Aku terlambat menyadari peringatanmu tadi. Untung aku cepat memotong lenganku ka.... kalau tidak, nyawaku tentu sudah melayang mengikuti mereka." ayah Yang Kun yang berada di dalam pelukan adiknya itu merintih lemah karena banyak kehilangan darah.

"Jauhilah tandu itu! Cepat!" paman Yang Kun sekali lagi berteriak.

Tetapi terlambat sudah! Para pemikul tandu yang lainpun satu persatu jatuh ke tanah, terkulai mati tanpa mereka menyadari apa yang telah terjadi. Kejadian yang mengerikan itu berlangsung secara berturut-turut di depan Yang Kun dengan cepatnya.

Sejak tergulingnya para wanita dan anak-anak dari tandu mereka sampai terbuntungnya lengan ayahnya lalu yang terakhir adalah meninggalnya para pemikul tandu, semua terjadi dalam sekejap mata. Dia terpaku bagaikan sebuah patung batu. Dia hampir tak percaya atas apa yang terjadi di depan matanya tersebut. Tetapi begitu terpandang sekali lagi mayat ibunya, ia berteriak kaget bagai terbangun dari sebuah mimpi buruk.

"Ibuuuu....!" Yang Kun menghambur ke arah tubuh ibunya yang tergolek di depan tandunya. Untunglah sang paman selalu waspada.

Melihat keponakannya lari mendekati mayat ibunya, la cepat meloncat menyambar lengan si pemuda dan menariknya kembali. Pemuda itu meronta dengan hebat tetapi pamannya juga tidak mau melepaskan pegangannya.

"Yang Kun, sadarlah! Apakah engkau ingin bunuh diri? Lihatlah! Semua mati terkena racun hanya karena mereka menyentuh tandu saja. Apakah engkau ingin menyusul mereka? Cobalah engkau berpikir dengan baik, jangan kau turutkan perasaanmu yang sedang kacau itu!"

Yang Kun tertegun mendengar perkataan pamannya tersebut. Sama sekali ia memang tidak menduga bahwa orang-orang itu, ibunya, bibi serta adik-adiknya telah mati, apalagi mati karena terkena racun! Tadi sore ibunya masih mengajak bicara dengan dia. Malahan ketika dia makan malam bersama yang lain, ibunyalah yang mengambilkan nasi buat dia. Sedangkan adik-adik sepupunya seakan juga baru saja bergurau dengan dia sebelum berangkat tidur tadi.

Perlahan-lahan Yang Kun melepaskan diri dari pegangan sang paman dan menoleh ke arah tubuh ibunya yang terbaring diam itu. Wajah yang biarpun sudah mulai berkerut tetapi masih kelihatan cantik itu seperti tersenyum kepadanya. Di dalam keremangan sinar bulan yang pucat tak terlihat sedikitpun bahwa tubuh itu telah menjadi mayat. Dengan susah payah Yang Kung menahan sedu-sedan yang menyesakkan isi dadanya.

"Paman, bagaimana dengan ibuku? Siapakah orang yang telah berbuat begitu kejam?" ujarnya lemah setelah bisa sedikit menguasai perasaannya.

"Entahlah, nak. Aku juga belum dapat menduganya. Marilah kita periksa bersama-sama."

Orang tua itu menjadi lega melihat Yang Kun sudah dapat menguasai hatinya kembali. Sebenarnyalah bahwa dia sendiripun tidak kalah sedihnya. lsteri serta kedua puteranya yang masih kecil-kecil, turut pula menjadi korban di antara mereka! Hanya karena usianya yang telah tua dan jiwanya yang telah matanglah dia bisa menguasainya. Tetapi begitu suasana telah dapat diatasi, iapun teringat kembali kepada keluarganya sendiri. Bagaimanapun ia adalah seorang ayah yang sangat mencintai anak-anaknya!

"Siang-hui houw! Berilah bubuk obat luka pada lengan tuan Chin, lalu balutlah agar darahnya lekas mengering," orang tua itu berusaha mengalihkan kedukaan hatinya. Lalu ia menggandeng lengan keponakannya.

"Marilah kita periksa korban-korban itu, tetapi jangan mengurangi kewaspadaan! Racun apakah yang mempunyai sifat begitu ganas?"

Mereka menyulut obor agar bisa melihat pada korban lebih jelas lagi. Mereka tidak peduli apabila musuh menemukan tempat tersebut. Toh korban telah berjatuhan! Siapa tahu pihak musuh justeru telah berada di sekeliling mereka? Maka lebih baik menghadapi musuh di tempat terang daripada harus bertempur dengan banyak lawan di tempat gelap. Dengan sebuah ranting kayu paman Yang Kun membalikkan tubuh kakak iparnya serta yang lain-lainnya.

Semuanya telah mati! Mati dalam keadaan yang aneh! Wajah dari pada para korban itu berwarna kehijau-hijauan dan semuanya dalam keadaan tersenyum simpul sehingga dilihat sepintas lalu mayat-mayat itu seperti masih bernyawa. Tentu saja hal itu membuat Yang Kun serta pamannya tadi tertegun keheranan. Untuk sekejap Yang Kun seperti hampir tidak bisa mengendalikan perasaannya kembali, tetapi sebuah tepukan halus sang paman di pundaknya memperkuat hatinya lagi.

"Racun apakah itu, paman? Kenapa mempunyai pengaruh sedemikian anehnya? Dan siapakah menurut pendapat paman yang melakukannya?”

Orang tua itu tidak segera menjawab. Dengan tajam matanya menebar ke sekeliling tempat itu kemudian menunduk lagi ke arah mayat-mayat itu dengan ragu-ragu. Ada sedikit tersimpul perasaan kuatir dan ngeri pada mukanya.

"Paman menemukan sesuatu?" Yang Kun bertanya.

Pamannya tidak menjawab, tetapi orang tua itu justru berdiri tegak dengan kepala tengadah Tangannya siap di atas gagang golok yang tergantung pada pinggangnya. “Jika saudara masih berada di sini, silahkan keluar untuk menemui kami," orang tua itu pun berkata perlahan. Tetapi karena didorong oleh khi-kang yang tinggi, suaranya berkumandang jelas. Menembus rimbunnya daun-daun di sekitar tempat tersebut.

Beberapa saat telah berlalu, tetapi tak seorang yang muncul atau menjawab perkataannya. Yang Kun menjadi tegang melihat sikap pamannya, Agaknya sang paman itu mengira bahwa musuh masih berada di sekitar tempat itu.

Beberapa kali orang tua itu mengulangi tantangannya, tapi suasana tetap sepi, sehingga Siang-hui-houw yang berdiri tegang di samping ayah Yang Kun yang terluka menjadi tidak sabar pula. Tetapi sebelum keduanya turut ambil suara, pamannya, Yang Kun sudah duduk kembali.

"Agaknya mereka telah meninggalkan tempat ini,” katanya.

"Siapakah mereka paman? Kenapa mereka tidak menampakkan diri jika mereka memang sedang mencari kita?" Yang Kun bertanya.

“Adik Kong, apakah ada orang di sekitar kita ini?" ayah Yang Kun yang masih terbaring itu juga bertanya lemah.

“Tidak Twa-ko, adikmu hanya menduga-duga saja. Mungkin orang yang meracuni para wanita dan anak-anak itu masih berada di sekitar tempat ini. Ternyata tidak. Melihat keadaan para korban itu, agaknya mereka telah meninggal pada waktu sore sebelum kita sampai di sini kemarin. Hanya karena keteledoran kitalah sampai hal tersebut tidak kita ketahui sejak semula. Mungkin pihak lawan bergerak tanpa kita ketahui pada saat para wanita dan anak-anak itu berangkat tidur.”

“Ya.... benar! Seharusnya aku sudah curiga pada keadaan kakak iparmu ketika dia diam saja melihat aku berbantah dengan Yang Kun tadi. Dia selalu menegur atau menyabarkan aku apabila aku sedang marah."

"Lalu siapakah menurut pendapat paman musuh yang berbuat sekeji ini? Kenapa mereka cuma membunuh keluarga kita saja? Kenapa tidak kita para laki-laki ini sekalian, jikalau mereka itu memang ingin membunuhi kita semua?" Yang Kun menyela dengan tidak sabar.

“Hal ini.....”

“Hai! Nyonya besar ini seperti menggenggam sesuatu!” kakek tua pengasuh Yang Kun yang turut meneliti sejak tadi tiba-tiba berseru kaget.

Yang Kun beserta pamannya cepat mengikuti arah telunjuk kakek tua itu. Tampak oleh mereka telapak tangan kanan ibu pemuda itu menggenggam secarik kertas kecil. Dengan hati-hati paman Yang Kun menotok pergelangan tangan mayat itu agak keras, sehingga untuk sesaat jari-jari itu mengembang. Tapi yang sesaat itu sudah cukup bagi orang tua itu untuk menggerakkan ranting yang ia pakai untuk menotok tadi secara kilat mengambil kertas tersebut.

Dengan hati tegang tapi tanpa mengurangi kewaspadaan, paman Yang Kun membentangkan gulungan kertas tersebut dengan ranting yang dibawanya diatas tanah. Semua orang yang tinggal yaitu paman Yang Kun, Yang Kun dan kakek pengasuhnya serta Siang-hui-houw yang menggandeng tuan Chin, berkumpul mengelilingi. Ternyata kertas itu hanya berisi beberapa huruf saja. Tanpa alamat maupun nama si pengirim dan isinya merupakan sebuah peringatan:

“Turunlah kalian dari bukit ini kearah sungai, kemudian, berbeloklah ke arah kanan melalui jalan setapak di tepi sungai itu sejauh satu lie! Di sana akan kalian dapati sebuah gubuk kecil beratapkan daun ilalang dan...... tinggalkan BENDA itu disana! Jika kalian membangkang seperti keluarga kalian, inilah akibatnya!”

Tulisan tersebut ditulis dengan huruf yang pencang-penceng, menandakan bahwa penulisnya adalah seorang yang tidak begitu mahir di dalam hal kesusasteraan.

“Kurang ajar! Pengecut yang hanya dapat membokong orang dengan racun!” Yang Kun memaki dengan marah. “Keluarlah dan hadapi kami secara jantan!”

Pemuda itu bertolak pinggang sambil memandang dengan mata melotot ke segala penjuru. Hatinya yang pepat dan sedih karena kematian ibunya yang sangat ia cintai itu membuat dia ingin mengamuk serta menghadapi semua musuh keluarganya. Tetapi seperti yang terjadi pada beberapa saat yang lalu, tak seorangpun yang menjawab tantangannya, apalagi keluar menemui dia.

“Yang Kun, sudahlah! Tak ada gunanya engkau marah-marah dengan seseorang yang sudah pergi. Marilah urus jenazah ibu serta bibimu. Siang-hui-houw, lekaslah kalian membuat liang untuk mengubur mereka!”

Tanpa mengeluarkan perkataan sepatahpun Yang Kun ikut mengubur ibu serta keluarganya yang lain. Ia sudah tidak menangis lagi, tetapi ada terjadi sesuatu perubahan pada raut wajah serta sinar matanya apabila dibandingkan dengan beberapa saat yang lalu. Tampangnya yang semula kelihatan bersinar, mencerminkan hati yang keras, namun tenang itu kini berubah menjadi pucat dingin menakutkan! Sinar matanya yang semula bening penuh rasa belas kasih itu kini berubah menjadi ganas dan mengandung sinar dendam yang tiada tara!

“Paman,” katanya kaku setelah semua upacara penguburan itu selesai, “Siapakah sebenarnya musuh kita? Siapakah orang yang meracuni keluarga kita ini? Siapakah yang mengeroyok dan membunuh paman bungsu? Kenapa kita tidak menghadapinya saja secara jantan? Benda apakah yang mereka kehendaki itu? Kenapa aku agaknya tidak boleh mengetahui? Aku kini benar-benar sangat penasaran paman? Kalau selama ini aku selalu menurut serta mengikuti kehendak ayah dan paman di dalam perjalanan ini hanyalah disebabkan oleh rasa segan dan hormatku kepada ibu. Sekarang ibu sudah tidak ada lagi, maka aku juga tidak mengikuti perjalanan ini. Aku akan pergi mencari orang-orang yang mengeroyok paman bungsu dan yang meracuni ibuku!”

Pemuda itu diam sebentar menanti reaksi ayah dan pamannya, tetapi ketika kedua orang tua itu juga diam saja, tidak berusaha untuk menanggapi perkataannya, pemuda itu segera beranjak untuk pergi meninggalkan tempat tersebut. “Baiklah! Agaknya aku memang harus mencari langsung kepada para pembunuh itu!” katanya tegas.

Tentu saja ayah serta pamannya menjadi kelabakan. Keluarga Chin tinggal mereka bertiga saja, itupun salah seorang di antaranya telah cacat, sehingga hanya pada si pemuda itulah tumpuan harapan mereka.

"Yang Kun, tunggu!" ayahnya berseru, tetapi agaknya pemuda itu sudah tidak bisa ditahan lagi, sudah bulat maksudnya untuk mencari musuh-musuhnya.

“Siang-hui houw! Tahan anak itu!” akhirnya orang tua itu memberi perintah kepada pengawal kepercayaannya.

Bagai terbang cepatnya kedua harimau itu meluncur ke hadapan si pemuda. Gesit bukan main. Tak heran, kalau mereka mendapat julukan seperti itu! "Tuan muda, harap berhenti dahulu! Ayahmu ingin berbicara sebentar!" mereka berseru sambil menjura di depan Yang Kun. Kedua orang itu berdiri berjajar berdampingan, menutupi jalan yang akan dilalui oleh pemuda itu.

Tetapi Yang Kun sudah tidak mau lagi untuk berhenti, apalagi kembali kehadapan ayahnya. Dengan mengerahkan tenaga ia terus menerjang ke depan, mendorong kedua harimau itu ke samping. la mengerahkan lebih dari separuh kekuatannya karena ia maklum bahwa kedua orang kepercayaan ayahnya itu mempunyai kepandaian yang tidak lebih rendah daripada dirinya, apalagi ilmu silat gabungan mereka.

Melihat tuan muda mereka tidak mau berhenti tapi malahan menyerang mereka berdua, kedua orang itu juga tidak mau menyingkir untuk memberi jalan. Setelah saling memberi isyarat, keduanya mengulurkan kedua belah lengan mereka untuk memapak ke depan, sehingga ketiga pasang lengan itu bertemu di udara, menimbulkan suara berdentam yang hebat.

Yang Kun terdorong ke belakang beberapa langkah sementara kedua harimau itupun tergempur kuda-kuda mereka. Agaknya kedua orang pengawal kepercayaan ayahnya tersebut juga tidak mau mengeluarkan seluruh tenaga mereka.

“Yang Kun! Jangan pergi!" sekali lagi ayahnya berteriak.

Tapi pemuda itu sudah tidak peduli lagi. Sudah bulat benar tekadnya untuk mencari para pembunuh keluarganya. Dikerahkan seluruh tenaga dalamnya dan bersiap-siap untuk menerjang kembali. Kali ini dengan seluruh kekuatannya! "Harap paman berdua menyingkir dan jangan halangi aku! Atau aku akan terpaksa mengadu nyawa dengan paman berdua!" geram pemuda yang sedang diliputi dendam itu kepada Siang hui-houw. Buku buku tangannya gemeretak dengan keras saking kuatnya ia mengepalkan jari-jari tangan yang telah disaluri oleh tenaga dalamnya yang hebat.

"Yang Kun... kau.... kau kembalilah!" ayahnya tertatih-tatih menghampiri sambil mendekap sebelah lengannya yang buntung.

"Yang Kun!!” paman pemuda itupun akhirnya ikut campur pula. Tubuhnya yang kokoh kuat itu melesat ke hadapan Yang Kun, seperti burung walet menukik ke atas batu karang. "Kau tidak boleh gegabah menurutkan isi hatimu tanpa mempergunakan akal pikiran yang sehat! Kau mengira mereka hanyalah para penjahat kecil yang mudah ditundukkan dengan satu dua pukulan? Begitukah?”

Yang Kun mundur selangkah, tetapi bukan mau mengurungkan maksudnya untuk pergi dari tempat itu! Dengan tangkas tangannya mencabut golok pusaka, tapi bukan untuk menghadapi sang paman yang terkejut melihat perbuatannya tersebut, tetapi justru ditempelkan pada lehernya sendiri.

"Maaf. Paman! Kali ini keponakanmu terpaksa tidak mau menuruti nasehatmu! Sudah bulat kemauanku untuk pergi mencari mereka, apapun yang akan terjadi. Lebih baik aku mati sekarang juga apabila paman tetap memaksa aku untuk mengurungkannya! Aku.... Berhenti!!"

Tiba tiba pemuda itu berteriak keras ketika dilihatnya sang paman mau melangkah ke depan. Mata golok yang menempel di lehernya sedikit ia tekan sehingga tiba-tiba darah merembes keluar membasahi golok yang putih mengkilap itu!

"Kong-te (adik Kong)! Jangan...." ayah Yang Kun berteriak ke arah adiknya. Bagaimanapun juga ayah Yang Kun tak ingin putera satu-satunya tersebut mati membunuh diri karena dipaksa untuk mengurungkan niatnya! “Biarlah ia pergi!"

"Tapi itu juga sama dengan membunuh diri."

“Biarlah! Biarlah nasib yang akan menentukannya! Kalau toh ia akan mati di tangan musuh, itupun lebih baik dari pada ia mati membunuh diri di sini.”

Yang Kun mengangguk kaku ke arah ayahnya, pelan pelan ia bergeser surut serta melepaskan mata golok dari lehernya. Tampak luka yang memanjang dan agak lebar, melintang pada lehernya! Darah segar makin deras merembes keluar sehingga membasahi baju yang menempel di dadanya. Lalu sekali ia menghentakkan kakinya ke atas tanah, tubuhnya melesat turun dari bukit itu dengan cepat sekali!

“Tuan Mudaaaaaa...,” kakek pengasuhnya yang tua itu berseru, tapi si pemuda telah lenyap masuk hutan.


Fajar telah menyingsing. Di ufuk timur matahari memancarkan sinarnya yang hangat dan berwarna kemerah-merahan. Sinarnya menerobos rimbunnya daun dan ranting yang berselimutkan kabut tebal, seakan ingin menjenguk setiap lorong yang gelap dan tersembunyi di dalam hutan itu. Sehingga terciptalah pemandangan yang sangat indah mempesonakan!

Sinar hangat yang menerobos di sela-sela daun tersebut terlihat seperti berpuluh puluh sinar lampu yang menyorot di tempat gelap, menciptakan garis-garis lurus yang menerjang pekatnya kabut serta tetesan-tetesan air embun yang berjatuhan dari atas. Cahaya gemerlapan di antara kepulan asap tipis yang berwarna-warni itu membuat isi hutan itu bagaikan sebuah taman dewata!

Tetapi suasana pagi yang indah segar itu ternyata tidak menarik sama sekali bagi Yang Kun, pada saat itu ia lebih suka merenung sambil berjalan di jalan setapak yang membujur di sepanjang sungai besar itu. Setiap kali matanya dengan liar mengawasi keadaan di sekitarnya, seakan mencari sesuatu di antara bongkahan batu dan daun ilalang yang memadati tepian sungai itu.

"Dalam surat itu dikatakan bahwa aku harus melalui jalan setapak ini untuk mencapai gubug yang mereka maksudkan,” pemuda itu bergumam di antara langkahnya. “...dan pembunuh-pembunuh itu tentu telah menanti di sana. Tapi aku tidak takut!"

Pemuda itu menjadi tegang begitu terlihat sebuah gubug kecil di kelokan sungai. Gubug yang dibangun di pinggir sungai dengan atap daun ilalang serta dinding dari papan. Dari jauh tempak sepi dan tak terawat. Beberapa bagian dari atapnya telah hilang, begitu pula dindingnya.

Yang Kun melangkah mendekat dengan hati-hati. la tahu bahwa pembunuh-pembunuh itu bukan orang sembarangan, maka ia benar-benar mengerahkan seluruh kepandaian yang ia miliki agar tidak terjatuh di tangan mereka. Beberapa langkah dari bangunan tersebut ia berhenti lalu meloloskan golok pusaka pemberian paman bungsunya.

"Aku datang mewakili seluruh keluarga Chin. Nah, cepatlah kalian keluar menemui aku!'' katanya lantang. Suaranya nyaring menggetarkan udara pagi karena ditunjang oleh tenaga dalam yang kuat, sehingga mengejutkan beberapa ekor burung yang pada saat itu sedang sibuk mencari makan di tempat itu.

Karena beberapa kali pemuda itu berseru tidak seorangpun menjawab, maka dengan nekad ia masuk ke dalam bangunan rusak tersebut, la tidak memperdulikan lagi apakah musuh memasang jebakan atau tidak di dalamnya. Dengan golok yang selalu siap di depan dada ia menendang daun pintu sehingga ambruk. Matanya nanar mencari ke segala sudut, di manakah gerangan musuhnya itu berada. Yang Kun melihat sebuah bayangan berkelebat di kamar sebelah.

"Berhenti!" Sambil berteriak pemuda itu mengayunkan tanganya. Tiga buah peluru dari baja berbentuk bulat meluncur menghantam ke arah bayangan itu. Satu menuju ke arah kepala, sedangkan yang dua lagi menyerang ke arah pinggang. Tampak olehnya bayangan itu meliukkan tubuh dengan amat manis untuk menghindari serangannya, tetapi oleh karena tidak disokong dengan tenaga yang kuat ternyata gerakan menghindar dari bayangan itu tidak secepat peluru-peluru yang datang!

Terdengar suara mengeluh pelahan ketika dua di antara ketiga peluru tersebut menyerempet pinggang orang itu. Bayangan itu jatuh menggelepar di atas lantai dan sebelum ia tegak kembali, Yang Kun telah memburunya dengan golok terhunus! Pemuda itu tidak mau kehilangan waktu atau kesempatan karena ia tahu bahwa musuhnya sangat banyak serta berkepandaian tinggi pula. Sebelum ia sendiri jatuh ia harus telah membunuh lawan sebanyak-banyaknya!

Golaknya berkelebat ke bawah dalam jurus Menatap Lantai Menyembah Raja, jurus ke sebelas dari ilmu silat keluarga Chin yang hebat! Dalam keadaan terbanting tentu saja sangat sukar bagi orang itu untuk mengelakkannya. Tetapi sekali lagi Yang Kun dibuat kagum oleh gerakan Iawan yang tampak olehnya kaki orang itu bergantian menjejak lantai seperti layaknya kaki seekor angsa berenang dan tubuh yang sedang terlentang itu bergeser ke samping dengan manisnya.

Lalu bersamaan dengan jatuhnya golok yang menghantam lantai, orang itu telah meloncat berdiri kembali. Tetapi Yang Kun menjadi heran ketika orang itu seperti tidak bisa menguasai gerakan tubuhnya dengan baik. Orang itu seperti seorang yang menguasai ilmu silat tinggi tetapi tidak mempunyai tenaga yang cukup untuk mengatur gerakannya! Loncatan orang itu seperti kekurangan tenaga, sehingga biarpun bisa berdiri kembali tetapi tubuhnya tampak bergoyang-goyang mau jatuh.

"Hmm, mungkin ia sudah terluka peluru bajaku tadi." Pikir Yang Kun "...aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini!"

Maka pemuda itu cepat membalik dan menyerang kembali dengan lebih ganas. Jurus-jurus sakti dari ilmu silat keluarganya yang jarang terlihat di dunia dunia persilatan ia keluarkan dengan sangat bernafsu. Goloknya berkelebat seperti sinar perak yang menyambar di sekeliling lawannya. Tapi lagi-lagi pemuda itu dikejutkan oleh gaya dan gerak-gerik lawan yang aneh dan membingungkan!

Orang itu tampak kerepotan serta kalang kabut melayani gempuran Yang Kun yang hebat. Apalagi kelihatannya orang itu tidak berani menangkisnya ataupun adu tenaga dengan si pemuda. Kalau toh sesekali tangan mereka saling bersentuhan, tampak orang itu seperti terpelanting menahan sakit.

Tapi oleh karena orang itu mempunyai ilmu silat yang yang aneh serta menakjubkan, maka biarpun telah berapa kali ujung golok Yang Kun melukai kulitnya, orang itu masih selalu bisa menyelamatkan diri, sehingga tentu saja membuat si pemuda makin penasaran!

Belasan jurus telah berlalu dan Yang Kun semakin terheran-heran dalam menghadapi lawannya. Ternyata perkelahian antara mereka itu benar-benar suatu pertempuran yang sangat aneh! Jika dibuat perbandingan, sebenarnya orang itu mempunyai ilmu silat yang hebat serta lebih tinggi dari daripada ilmu silatnya. Tetapi anehnya, ilmu silat yang hebat itu ternyata tidak disertai atau ditunjang oleh Iweekang yang hebat pula, sehingga seperti seekor singa ompong saja, perbawanya sangat menakutkan tapi ternyata tidak berbahaya sama sekali!

Beberapa kali orang itu berada diatas angin, tetapi karena keadaannya itu tentu saja kemenangan tersebut tidak ada gunanya! Beberapa kali pukulannya mengenai Yang Kun, tetapi tidak ada pengaruhnya sama sekali. Justeru dia sendiri yang terpelanting karena pengaruh tenaga dalam si pemuda. Malahan orang sendirilah yang akhirnya menjadi repot dan kewalahan menahan serangan Yang Kun!

Pakaian yang dikenakannya telah hancur compang camping, tubuhnya telah arang keranjang penuh luka pula. Untunglah luka tersebut cuma luka diatas kulit saja, karena dengan ilmu silatnya yang tinggi, pukulan maupun goresan golok Yang Kun tidak pernah dengan telak mengenai tubuhnya.

Tetapi hal itu tentu saja tidak akan bertahan lama, lama kelamaan akhirnya dia akan lengah juga. Dan keadaan ini tampaknya disadari oleh Yang Kun, maka pemuda itu semakin bernafsu untuk segera menyelesaikan pertempuran tersebut, sebelum yang lainnya datang.

Yang kun menyerang semakin hebat, ia sudah tidak memperdulikan pertahanan dirinya lagi, toh pukulan lawan tak membahayakan tubuhnya. Tentu saja orang itu semakin repot dan terpojok. Ketika untuk kesekian kalinya si pemuda mengayunkan goloknya mendatar dalam jurus panglima yi po mengatur barisan, yaitu jurus tujuh belas dari ilmu silat keluarganya.

Lawannya sudah tidak mungkin bisa mengelak lagi! Sabetan mendatar kearah kaki selagi lawan meloncat turun itu benar-benar sangat sukar untuk dielakkan, jalan satu-satunya yang terbaik hanyalah menangkis atau mengadu tenaga! Padahal itu terang tidak mungkin sebab selain orang itu tidak bersenjata tenaga dalamnya pun sangat lemah sekali. Maka untuk kali ini orang tersebut tentu akan termakan oleh jurus yang kun yang hebat itu.

Tetapi yang kun menjadi melongo ketika goloknya yang hampir menebas kaki lawannya itu tiba-tiba menemui tempat kosong! Ternyata di dalam keadaan terpepet, yang bagi orang lain tentu sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain mengadu jiwa itu ternyata tidak berlaku buat orang aneh seperti lawan si pemuda tersebut. Orang itu menekuk kakinya keatas, lalu menggeliatkan badannya sehingga sepintas lalu seperti orang yang terlentang di udara.

Dengan gerakannya tersebut berarti untuk waktu sedetik orang itu seperti menunda daya luncur tubuhnya! Tetapi waktu yang cuma satu detik itu ternyata telah menyelamatkan nyawanya dari tebasan golok si pemuda! Maka sekali lagi orang itu membuktikan betapa hebat sebenarnya ilmu silatnya.

Hanya sekejap saja Yang Kun dibuat terpana oleh gerakan lawan yang manis itu, tetapi ketika tubuh lawannya berdentum jatuh kesampingnya ia tersadar kembali. Dan ia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu! Tetapi karena tak sempat lagi untuk mempergunakan goloknya, Yang Kun menghantamkan siku tangan kanannya yang memegang golok ke bawah ke arah ulu hati! Orang itu berusaha menghindar tetapi sudah tidak keburu lagi, ia cuma bisa menggeser sedikit arah serangan si pemuda.

Dukkk!! Siku tangan Yang Kun tidak jadi mengenai ulu hati tetapi justru tepat mengenai jalan darah ang lu-hiat di dekat pundak, akibatnya separuh badan orang itu menjadi lumpuh! Dengan gembira Yang Kun menyusuli serangannya dengan sabetan golok ke arah leher lawan yang sudah tidak berdaya lagi.

Tetapi sekali lagi mata si pemuda menjadi melotot! Goloknya menghantam lantai dan orang itu telah berdiri dengan kaki sebelah didepannya. Kaki serta tangan kanannya yang lumpuh itu tampak bergantung disamping tubuhnya. Anehnya, orang itu berdiri dalam sikap tempur dan sikap kuda-kuda yang sangat aneh! Hati Yang Kun mulai tergetar! Agaknya ia bertempur dengan hantu, bukan dengan manusia biasa!

Ketika orang itu meloncat ke belakang, Yang Kun memburu lagi dengan goloknya sehingga pertempuran yang aneh itu berlangsung lagi dengan serunya! Dan sebuah ilmu silat yang aneh dan belum pernah dilihat oleh Yang Kun kembali diperagakan oleh orang itu di depannya. Separuh dari anggota badannya yang lumpuh itu ternyata sedikitpun tidak menghalang-halangi gerakannya. Gerakan tubuhnya masih tetap aneh dan luwes! Kaki dan tangannya yang lumpuh tampak bergelantungan ke sana ke mari apabila sedang bergerak, tetapi sedikitpun tidak tampak jelek atau kaku.

Justru sepintas lalu bagaikan sebuah alat untuk keseimbangan gerak dari anggota tubuhnya yang normal. Dan yang membuat Yang Kun penasaran adalah bahwa ternyata kelumpuhan orang itu menjadi berkurang! Orang tersebut masih tetap sangat sukar ditundukkan!

Sambil bertempur Yang Kun berpikir dengan keras, jalan apakah yang harus ia kerjakan agar supaya lawan cepat bisa ia tundukkan. Tiba-tiba ia teringat peluru bajanya! Pada serangannya yang pertama tadi ternyata mampu melukai lawannya, kenapa sekarang tidak ia coba lagi? Maka tangan kirinya merogoh kantong dan mempersiapkan tiga buah peluru.

Begitu orang tersebut meloncat ke kiri untuk menghindari sabetan goloknya, Yang Kun memapakinya dengan taburan peluru bajanya. Orang itu berusaha mengelak tetapi karena kurang gesit sebuah di antaranya tetap masih mengenai tengkuknya! Tubuh lawan yang tinggi besar itu jatuh berdebam ke lantai dalam keadaan pingsan. Agaknya peluru si pemuda tepat mengenai jalan darah terpenting di sekitar tulang punggungnya.

Yang Kun sekali lagi mengayunkan goloknya untuk menabas leher lawannya. Tetapi belum ada separuh gerakan tiba-tiba ia berubah pikiran! Sekian lama mereka berdua bertempur, kenapa yang lain tidak juga keluar? Mungkinkah lawan yang datang kali ini cuma seorang ini saja? Mungkinkah pihak lawan sudah percaya sepenuhnya bahwa orang ini tentu akan dapat membereskan segalanya? Apabila demikian halnya orang ini tentu merupakan orang penting di dalam kelompok penjahat-penjahat yang memusuhi keluarganya!

Maka goloknya yang hampir menebas leher itu ia hentikan dengan mendadak, hanya satu dim saja dari sasarannya! Ia tidak ingin membunuh orang itu sekarang, lebih baik ia membawa orang ini kehadapan ayah dan pamannya untuk mengorek keterangan dari mulutnya mengenai kawan-kawannya yang lain.

Dengan kakinya Yang Kun membalikkan tubuh lawan yang tertelungkup di atas lantai dan di pandanginya dengan seksama wajah yang tampan gagah itu untuk beberapa lama. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa lawannya begini gagah dan tampan, biarpun dilihat dari garis-garis wajahnya umurnya tentu telah lebih dari pada tiga puluh tahun. Walaupun belum setua mendiang paman bungsunya yang berusia tigapuluh tahun itu.

Sambil mengeluarkan gulungan tali Yang Kun mengkerotokan giginya kuat-kuat. Bagaimana pun juga orang ini adalah salah satu dari para pembunuh keluarganya, ia tidak sudi memberi ampun apalagi memanggul atau menggendong orang itu ke hadapan ayahnya. Maka setelah menotok di beberapa tempat, dengan kasar ia mengikat tubuh orang itu serta menyeretnya begitu saja di atas tanah! Kembali ke arah huma, melalui jalan setapak yang dilaluinya tadi.

Jalan yang berbatu-batu dan banyak akar-akar yang menonjol itu membuat orang itu siuman dari pingsannya, tetapi oleh karena badannya terikat dengan kuat, apalagi jalan darahnya telah ditotok di beberapa tempat, maka sedikitpun ia tidak bisa berkutik. Pakaian yang dikenakannya semakin menjadi compang-camping tersangkut akar-akar pohon. Tempat dimana keluarganya berkemah semalam kini telah kosong. Ayah dan pamannya telah meninggalkan tempat itu.

Disana tinggal bekas-bekasnya saja, yaitu tandu-tandu beracun serta gundukan tanah dimana ibu dan bibinya dikuburkan. Melihat kuburan itu hati Yang Kun seperti menyala kembali. Disentakkannya tali yang mengikat tawanannya dengan keras sehingga orang itu terlempar menabrak pohon. Hampir saja pemuda itu membunuhnya, untunglah ia teringat bahwa orang tersebut sangat berguna bagi penyelidikannya.

Matahari sudah naik semakin tinggi. Sinarnya yang panas telah mulai menyengat punggung. Yang Kun menyeret kembali tawanannya turun ke arah lereng yang lain. Ia teringat bahwa ayah beserta pamannya bermaksud menuju ke Kota Tie-Kwan untuk menghindari kejaran para musuhnya.

Semakin mendekati kaki bukit pohon-pohon pun semakin jarang. Dan begitu keduanya keluar dari hutan, ternyata tanah datar yang ditumbuhi perdu serta ilalang telah membentang di hadapan mereka. Yang kun menyeret tawanannya ke tanah yang agak tinggi untuk melepaskan lelah sejenak. Ia tidak peduli atas penderitaan tawanannya yang ia seret di sepanjang jalan tadi.

Kira-kira satu Lie dari tempat mereka beristirahat, Yang Kun melihat sepetak rumah dengan genting merah, terpencil sendirian di tengah-tengah padang yang luas tersebut. Agaknya dihuni oleh seorang pencari kayu hutan atau seorang pemburu yang senang menyendiri di tempat sepi.

"Ayoh berangkat!" Yang Kun untuk pertama kali sejak mereka berkelahi mengajak bicara dengan lawannya, biarpun sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai bentakan dari pada ajakan untuk bicara. Dendam yang berkobar-kobar di dalam dadanya agaknya membuat dia tak sudi berbicara sedikitpun dengan musuhnya.

Sebaliknya musuhnya itu ternyata juga seorang yang tidak banyak bicara. Hal ini terbukti bahwa sejak mereka bertempur sehingga ia diseret dan ditawan oleh si pemuda, sedikitpun ia tidak mengeluh maupun berbicara, apa lagi mengeluarkan perkataan yang panjang lebar.

Pintu depan rumah itu tertutup rapat. Yang Kun mengetuknya beberapa kali, lalu berdiri menanti. Matanya mengawasi halaman rumah bersih dan terawat rapi itu. Pemilik rumah itu tentu seorang yang rajin dan suka akan kebersihan, pikirnya. Dia akan menanyakan apakah rombongan ayahnya tadi lewat di tempat ini atau tidak. Ataukah mereka justru masih berada di tempat ini?

Tetapi pintu itu tidak juga dibuka orang. Di dalam rumah tetap sepi, sedikitpun tidak terdengar gerakan manusia. Pemuda itu menjadi berdebar-debar. Hatinya merasakan adanya sesuatu yang aneh dan tidak wajar. Maka dengan waspada dan hati-hati ia mendorong pintu itu pelan-pelan sehingga terbuka. Tiba tiba matanya terbelalak, mulutnya ternganga.

Di halaman depan ia melihat beberapa buah mayat menggeletak dengan darah yang membeku berceceran dimana-mana. Berbagai macam senjata pedang, golok, tombak, tampak berserakan pula diantara mereka. Agaknya telah terjadi pertempuran sengit di tempat ini beberapa saat yang lalu. Tetapi semua itu sebenarnya belum begitu mengagetkan Yang Kun!

Yang membikin mata pemuda itu terbelalak diatas tangga pendapa rumah, karena mayat itu adalah mayat Siang-hui-houw! Dada serta punggung mereka tampak hangus, sedangkan pakaian mereka tampak seperti habis dimakan api. Yang Kun berlari meninggalkan tawanannya. Matanya nanar mencari ayah dan pamannya diantara mayat-mayat itu. Hatinya sedikit lega ketika tubuh mereka tidak terdapat diantara gelimpangan mayat tersebut.

Tetapi hatinya belum lega. Mungkin mereka berada di dalam rumah! Bagaikan dikejar setan pemuda itu berlari meloncati tangga dan masuk ke dalam rumah. Disana ada beberapa sosok mayat lagi. Mayat wanita dan anak-anak! Agaknya mereka korban kebiadaban dari orang-orang yang saling bertempur ini.

Pemuda itu berlari ke ruangan samping. Di mana dari sana terdapat lorong menuju ke belakang. Jantungnya yang bergemuruh seperti berhenti berdetak secara tiba-tiba ketika dilihatnya mayat pamannya yang ia hormati itu tertelungkup di atas lantai lorong tersebut. Darah kental mengalir membasahi lantai di sekitarnya.

Sekejap Yang Kun hanya berjongkok saja di samping mayat pamannya, tak tahu apa yang harus ia kerjakan. Lalu dengan beralaskan selembar saputangan ia membalik tubuh sang paman hingga telentang. Tapi untuk yang kedua kalinya ia menjadi terkejut sekali ketika melihat wajah pamannya tersebut telah remuk dan tidak dapat dikenali lagi. Ususnya telah terburai keluar! Betapa mengerikan!

Mungkin kalau pada saat itu ada musuh yang menyerangnya, sedikitpun pemuda itu tentu tidak dapat mengerakkan kaki tangannya untuk membela diri lagi. Otot dan urat-urat di tubuhnya seperti lumpuh dan tak berdaya sama sekali. Peristiwa itu seperti menggoncang dan merontokkan segala kekuatannya.

Baru setelah ingat akan ayahnya, pemuda itu seperti tersadar dari keadaannya. Bagai terbang ia meninggalkan tempat itu untuk mencari sang ayah. Ia menerobos halaman tengah, menuju ke arah kamar-kamar yang berderet-deret di samping. Hatinya semakin rusuh ketika ia melihat ceceran darah menuju ke halaman belakang.

Sambil lewat Yang Kun menjenguk setiap kamar dengan hati penuh was-was. Pintu yang menghubungkan ruangan tengah dan ruangan belakang ia tendang sehingga jebol dan sesuatu yang sangat dikhawatirkannya sejak semula ternyata kini benar-benar terjadi. Ayahnya tampak terkulai berlumuran darah, bersandar di tiang pendapa belakang. Beberapa buah luka tampak menganga pada tubuhnya!

“Ayahhhhhhh...!” Yang Kun berteriak memilukan. Betapapun tidak sukanya dia kepada orang tua itu tetapi toh ia tetap ayahnya, yang mengasuh dan membesarkan dia selama ini. Pemuda itu menubruk mayat ayahnya tanpa menghiraukan apakah tubuh ayahnya beracun atau tidak. Dipeluknya dada yang bidang tapi penuh berlumuran darah itu dengan erat, sehingga muka serta bajunya yang semula telah kotor oleh darahnya sendiri ketika ia akan membunuh diri itu kini semakin kotor oleh lepotan darah sang ayah.

Tiba tiba telinga Yang Kun yang menempel di dada sang ayah itu seperti mendengar suatu gerakan yang lemah pada tubuh yang dipeluknya itu. Sepercik harapan tumbuh di dada Yang Kun. maka diguncangnya tubuh itu dengan bersemangat.

"Ayah! Ayah! Lihatlah anakmu telah datang! Lihatlah!”

Tetapi tubuh itu tetap diam tak bergerak, sehingga pemuda itu semakin penasaran dan mengguncangnya terlebih keras. Baru setelah pemuda itu berhenti karena telah putus harapan, mayat itu tampak dengan susah payah membuka matanya. Girang bukan main hati Yang Kun malihat hal itu.

"Ayah! Ayah, inilah aku! Anakmu Yang Kun yang datang!" katanya penuh semangat.

Mata ayahnya yang redup itu tampak mengecil, seperti biasanya kalau dia selama ini berusaha mengingat-ingat sesuatu. Lalu mata itu tampak bersinar sekejap. “...Yang... Kun... Anakku. Ya, Tuhan... Engkau benar.... benar..... bermurah hati. Kau kirim.... anak.... ku kemari..... te... pat pada waktunya.....” bibir yang pucat dan berlepotan darah itu menggumam menyebut nama Tuhan.

Yang Kun menggenggam lengan ayahnya yang tinggal sebuah itu dengan erat, seakan mau membantu memberi kekuatan kepada ayahnya. "Kuatkanlah sedikit, ayah! Akan kubawa kekota untuk mencari tabib. Biarlah luka-luka ini mendapat pengobatan...."

Tetapi kepala itu menggeleng dengan keras. "Ti.... dak perlu, Nak! Sudah tak ada guna lagi.... Aku sudah merasa.... bahwa hari kematianku telah tiba.... Kau dekatkan telingamu kesini. Akan kuceritakan tentang masalah besar kepadamu..... Su..... dah tiba masanya engkau..... engkau mengetahuinya pula. Hanya engkaulah satu-satunya keturunan keluarga Chin yang...... yang masih hidup!" dengan tersendat-sendat orang tua itu berkata.

Bukan main pedihnya perasaan pemuda itu. Bagaimanapun bengis dan keras sang ayah itu padanya, tetapi menghadapi saat-saat terakhir orang yang selama ini selalu mengasuhnya, batinnya merasa pilu juga!

"Sudahlah, yah.....! Anakmu sudah tidak ingin mengganggumu lagi mengenai urusan itu. Maafkan aku kalau selama ini selalu membuatmu marah ....” Yang Kun memotong perkataan ayahnya dengan mata berkaca-kaca.

Tetapi tangan orang tua itu justru mencengkeram tangan anaknya dengan kuat, alisnya tampak berkerut. “Tidak... tidak! Yang Kun.... Kini justru engkau.... engkau harus.... mengetahuinya! Engkau tidak boleh lari dari masalah ini.....! Justru engkaulah.... orang satu-satunya yang.... yang harus meneruskan cita-cita ini. Nah.... oleh karena itu cepatlah.... tempelkan telingamu kesini... ayah akan bercerita sedapat-dapatnya, sebelum kekuatanku habis...”

Dan ketika dilihatnya anak itu masih mau membantah, orang tua itu segera menarik lengan puteranya. “Ce.... cepatlah kau, ja.... jangan membantah.....!”

Terpaksa dengan hati berat pemuda itu menuruti permintaan ayahnya. Telinga kanannya ia tempelkan pada bibir ayahnya yang pucat gemetar itu.

“Anakku mungkin aku hanya akan bercerita yang yang penting-penting sa.... saja.... ka... kalau kau ingin lebih jelaslagi, kau..... kau selidiki sendiri.... nanti!”

“Baiklah, Ayah! Sebenarnya......”

“Diamlah!Kau dengarkan saja kata-kataku! Kita keluarga Chin langsung dari.... kaisar lama, yaitu Kaisar Chin Si Hong-te! Sedangkan mendiang kaisar muda, yang digulingkan oleh kaisar Han yang bertahta sekarang ini yang dahulu cuma... Cuma bertahta selama empat puluh hari menggantikan mendiang ayah baginda kaisar.... kaisar Chin Si Hong-te, adalah... adalah kakakku!” orang tua itu berhenti sebentar untuk mengumpulkan kekuatannya kembali. Beberapa saat kemudian ia meneruskan kisahnya lagi.

"Kakakku itu terbunuh oleh sa.... salah seorang teman... teman dari kaisar Han yang bernama Souw Thian Hai! Sebelum terbunuh beliau meninggalkan pesan ke... kepadaku... bah... bahwa beliau mempunyai pusaka warisan yang harus dijaga dengan baik apabila beliau meninggal nanti! Pusaka dapat dipergunakan untuk meraih singgasana kembali! Dan benda inilah yang sedang diincar oleh pembunuh-pembunuh itu. Tapi nak, sebenarnyalah aku tidak tahu di mana benda itu disimpan. Kakakku hanya berpesan bahwa harus berdoa di dalam goa harimau tepat di waktu tengah malam pada saat bulan purnama berada di atas kepala... begitulah pesannya... apabila aku ingin menda..... patkan ben..... benda itu!”

Orang itu berhenti lagi, tetapi ketika sampai beberapa lama dia tidak berbicara lagi Yang Kun menjadi curiga. Ternyata ketika pemuda tersebut memeriksa lebih lanjut, orang tua itu sudah tidak bernyawa lagi!

Hampir saja Yang Kun menangis sejadi-jadinya. Tetapi peristiwa yang beberapa kali menimpa dirinya selama ini ternyata telah membuat pemuda itu lebih dewasa serta tidak mudah hanyut oleh perasaannya. Cepat ia mengurus mayat ayah dan pamannya dan menguburnya di halaman belakang dari rumah itu. Tanpa adanya air mata yang mengalir dari pelupuk matanya!

Baru sesudah semuanya telah selesai. Yang Kun menyesali keadaannya. Biarpun telah mendapat sedikit keterangan tentang masalah yang dihadapi keluarganya tetapi keterangan yang ia dapatkan itu belumlah memuaskan hatinya. Yang ia butuhkan sekarang sebenarnya hanyalah keterangan mengenai siapa sebenarnya yang menumpas seluruh keluarganya itu? Segalanya masih gelap baginya! Siapakah yang membunuh paman bungsunya? Siapakah yang meracuni ibu serta keluarganya yang lain-lain itu? Siapakah yang membantai ayah dan pamannya di tempat ini?

Tiba-tiba bagai disengat lebah Yang Kun melompat dari tempatnya. Cepat ia berlari ke depan! Baru teringat dia sekarang, bukankah salah seorang diantara pembunuh itu kini telah ia tangkap? Yang Kun berlari melewati ruang tengah pendapa lalu turun melangkahi mayat-mayat yang masih bergelimpangan di halaman depan, menerobos pintu depan yang masih terbuka lebar-lebar itu. Matanya nyalang ke arah di mana dia tadi meninggalkan tawanannya, tapi betapa kagetnya hatinya ketika tempat tersebut telah kosong. Orang itu telah lenyap! Tinggal tali bekas untuk mengikat orang itu yang tertinggal di sana.

"Bangsat!" Yang Kun berlari sambil mengumpat-umpat ke arah kota, untuk mencari tawanannya yang lolos. Orang itu tentu menuju ke Kota untuk mengobati luka-lukanya.

Sementara itu sepeninggal Yang Kun, tiba-tiba salah sebuah mayat yang bergelimpangan di halaman depan tadi tampak bergerak, lalu perlahan-lahan duduk. Baju lebar yang ia pakai untuk menyamar ia buka dan jadilah orang itu sebagai tawanan yang dicari oleh si pemuda tadi. Tertatih-tatih orang itu berdiri dan keluar dari tempat tersebut ke arah hutan untuk menghindari Yang Kun yang pergi ke arah kota.

“Hmmm, Souw Thian Hai.... Souw Thian hai. Engkau benar-benar sial dalam beberapa hari ini. Hampir saja engkau yang telah terkenal dan disegani orang ini mati secara mengecewakan di tangan seorang bocah ingusan yang baru lepas dari pelukan ibunya...!” orang itu bergumam kepada diri sendiri.

Tempat itu sepi kembali. Sepi yang mengerikan, karena tempat yang semula bersih dan rapih itu kini penuh dengan mayat yang berserakan!


Siapakah orang yang bernama Souw Thian hai itu? Yang oleh ayah si pemuda juga disebut pula sebagai pembunuh dari kaisar muda pengganti kaisar tua Chin Si Hong-te itu? Orang yang secara kebetulan tanpa disadari oleh Yang Kun sendiri telah ia ikat dan ia seret kesana kemari itu? Bagi Para pembaca yang telah mengikuti cerita Darah Pendekar karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo, tentu telah mengenalnya dengan baik.

Dia adalah seorang pendekar muda yang pernah menderita sakit ingatan, yang menyebabkan ia lupa akan dirinya sendiri. Padahal ia mempunyai kesaktian yang tidak terlawan oleh siapapun juga. Kesaktiannya itu pernah pula dimanfaatkan oleh Kaisar Han yang bertahta sekarang ini, semasa baginda memimpin barisan para pendekar dalam merobohkan kekuasaan Kaisar Chin.

Tetapi apabila lelaki gagah itu memang benar-benar Pendekar Souw Thian Hai yang maha Sakti, kenapa demikian mudahnya dikalahkan oleh pemuda yang belum berpengalaman seperti Chin Yang Kun? Apalagi sampai sedemikian tidak berdaya sehingga tubuhnya diikat, diseret dan dihina seperti itu? Benarkah dia Pendekar Souw Thian Hai yang asli, yang tidak terkalahkan yang mampu membunuh Kaisar Chin terakhir padahal kaisar tersebut ternyata adalah juga seorang jago silat maha sakti pula?

Baiklah, untuk sementara kita tinggalkan dahulu “misteri” tentang lelaki yang mengaku pendekar sakti Souw Thian Hai ini. Marilah kita mengikuti terlebih dahulu perjalanan Chin Yang Kun yang sedang menuju ke kota Tie-kwan untuk mencari tawanannya yang ia duga telah membunuh keluarganya!

Pemuda itu berlari bagai dikejar setan, melintasi padang ilalang, menuju ke arah kotaTie-kwan. Ia tak sempat memikirkan keadaan tubuhnya yang “aneh”. Pakaian kolor penuh bercak-bercak darah ayahnya, yang menempel ketika ia memeluk tubuh orang tua itu, wajah dan rambut yang kusut itu seperti seekor jago yang habis berlaga di arena sabung ayam! Maka tidaklah heran ketika berpapasan dengan tiga orang lelaki, mereka menjadi curiga dan menghentikan langkah pemuda itu. “Berhenti!"

Yang Kun terpaksa berhenti karena ketiga orang itu menghadang serta berdiri menghadang jalannya. Dengan penuh kewaspadaan pemuda memperhatikan para penghadang tersebut. Salah seorang di antaranya, yang berdiri di tengah, tampak membawa sebuah buntalan di tangannya. Sedangkan yang lain tampak menjaga di samping kiri dan kanannya. Mereka berusia antara tigapuluh lima sampai empatpuluh tahun, dengan wajah yang kasar dan kejam!

“Sute anak ini sangat mencurigakan! Dia datang dari arah rumah pendekar Lim yang kita cari. Tubuh serta pakaian anak ini kelihaian kusut dan penuh noda darah, agaknya ada sesuatu yang tidak beres di rumah itu. Coba kau tengok sebentar tempat itu, biar aku dan Pang-sute menahannya disini.” orang yang membawa buntalan itu menengok ke arah adik seperguruannya yang bercambang lebat sambil menunjuk ke rumah maut yang baru saja ditinggalkan oleh Yang Kun.

"Baik!" Adik seperguruannya mengangguk lalu badannya melesat ke depan meninggalkan tempat itu dengan cepat sekali, menuju ke rumah pendekar Lim yang masih kelihatan dari tempat tersebut.

Gin-kang orang itu sangat hebat! Tentu yang lainpun tidak boleh dipandang enteng, pikir Yang Kun di dalam hati. Aku tidak boleh lengah sedikitpun, siapa tahu mereka ini juga termasuk salah seorang dari pada para pembunuh yang menumpas keluarganya! Teringat kembali akan nasib keluarganya, pemuda itu menjadi beringas lagi, melotot ke arah lawannya.

“Siapakah kalian? Kenapa menghadang serta menghalang-halangi jalanku?" tanyanya kasar, ia pikir tak ada gunanya bermanis muka atau berlaku sopan terhadap orang-orang kasar seperti mereka.

Orang yang membawa buntalan itu mencibirkan mulutnya yang ditumbuhi kumis dan jenggot pendek kaku secara sangat menghina sekali. Agaknya dia tak memandang sebelah mata terhadap seorang bocah ingusan seperti Yang Kun itu.

“Huh! Kurang ajar benar! Pang-sute, lihatlah anak ini benar-benar tidak tahu bahaya sama sekali. Berani berlaku tak sopan dihadapan kita!”

"Haha... Mo suheng harap jangan marah dahulu. Lihatlah keadaannya! Siapa tahu dia kurang waras pikirannya sehingga dia tidak mengenal kita dan telah lari terbirit-birit sejak tadi. Di daarah pantai Timur siapa yang belum pernah mendengar nama Tung Hai Sam-mo? Kecuali kalau anak ini memang telah bosan hidup tentunya....” adik seperguruannya yang dipanggil dengan nama Pang-Sute itu menjawab dengan nada takabur.

"Manusia sombong! lekas minggir! Jangan salahkan aku kalau aku sampai membunuh orang!” teriak Yang Kun sambil memukul ke depan. Hatinya yang telah menjadi buram karena diliputi dendam itu tak dapat dikendalikan lagi melihat kesombongan mereka.

Kedua orang itu meloncat ke samping menghindarkan diri, sehingga angin pukulan Yang Kun yang kuat itu hanya menyerempet baju mereka. Suaranya tajam bersuitan! “Mo Suheng, bocah ini agaknya punya isi juga, biarlah aku memberi pelajaran kepadanya!”

“Baiklah, tetapi hati-hatilah! Engkau nanti jangan sampai salah tangan membunuhnya, siapa tahu anak ini memang gila? Beri saja beberapa pukulan pada mulutnya biar tahu sedikit sopan-santun, sementara kita menunggu kedatangan Lim sute!”

Yang Kun semakin tidak bisa mengendalikan dirinya. Kata-kata mereka amat menyakitkan hati dan terlalu memandang rendah dirinya. Maka ia tidak mau sungkan-sungkan lagi, ilmu silat keluarga Chin yang selama ini sangat dibanggakannya ia keluarkan dengan sepenuh tenaga! Suara angin yang mengikuti gerakan tangan dan kakinya terdengar bersuitan seperti suara topan yang bertiup diantara celah-celah perbukitan!

Kedua orang itu, terutama Pang-Sute yang kini sedang berhadapan langsung dengan pemuda tersebut, menjadi kaget setengah mati! Mereka tidak menyangka sama sekali bahwa bocah ingusan itu mempunyai ilmu demikian hebatnya. Mereka menjadi sibuk menduga-duga, siapakah sebenarnya anak muda yang kini sedang berada di hadapan mereka itu?

Kalau apa yang dikatakan oleh mendiang ayah Yang Kun beberapa saat sebelum meninggal itu adalah benar, yaitu bahwa keluarga mereka adalah keturunan langsung dari kaisar Chin, maka tidaklah mengherankan kalau ilmu silat pemuda itu begitu hebatnya. Dalam sejarah juga disebutkan bahwa raja-raja Chin yang bertakhta, turun-temurun dari awal sampai kaisar Chin yang terakhir (yang telah digulingkan oleh kaisar Han yang bertakhta saat ini), adalah merupakan jago-jago silat yang tangguh pula!

Secara turun-temurun pula mereka mempelajari ilmu silat keluarga Chin, yang diciptakan oleh Raja Chin yang pertama yaitu seorang raja yang sangat sakti dan dikenal sebagai manusia setengah dewa pada zamannya.

Sepuluh jurus telah berlalu dan kedua orang itu masih bertempur dengan sengitnya. Tetapi semakin lama makin kelihatan betapa orang she Pang itu mulai kerepotan. Setiap pertemuan tangan tampak ia tergetar mundur dan meringis kesakitan. Malahan ketika Yang Kun dengan telapak tangan mau miring menebas ke arah lehernya dalam jurus Panglima Yi Po mengatur barisan (jurus yang seharusnya dilakukan dengan memegang golok), dia tidak dapat mengelak lagi.

Terpaksa ia mengerahkan tenaga, menangkis serangan itu. Akibatnya kedua tangannya terasa lumpuh! Sehingga ketika sekali lagi pemuda itu menyerang di dalam jurus Raja Chin Miu mematahkan kimpai, yang tertuju ke arah mukanya, ia tak bisa mengelak maupun menangkis lagi. Dengan telak pukulan pemuda itu mengenai mulutnya sehingga dua buah giginya tanggal. Sakitnya bukan main!

“Nah, kalian lihat sekarang! Siapa yang otaknya miring, sehingga perlu mendapat sedikit pelajaran sopan-santun dengan beberapa buah pukulan pada mulutnya?” Yang Kun berteriak mengejek.

“Bangsat! Jahanam! Anjing?” orang she Pang itu menyumpah-nyumpah, ”.... kubunuh engkau!” Orang itu mengerahkan tenaga untuk menghilangkan rasa kaku pada lengannya, lalu mencabut sebilah pedang yang bergerigi pada kedua belah sisinya sehingga menyerupai moncong ikan cucut!

Dengan mata berapi-api ia mengayunkan pedangnya yang aneh ke arah leher si pemuda. Ia mengerahkan seluruh tenaganya agar bisa menebas leher itu sekali tebasan. Ia segera ingin menebus rasa malunya dengan cara menjatuhkan lawannya tersebut dan mencincangnya sampai lumat.

Tapi Yang Kun tak ingin kehilangan kesempatan pula. Tangannya menarik golok yang tergantung diatas pinggangnya dengan cepat dan melambaikannya beberapa kali di depan tubuhnya dalam jurus Mengayun Tangkai Bendera Menghadapi Panah Lo Biauw! Yaitu jurus yang diciptakan oleh salah seorang Raja Chin pada zaman dahulu ketika berperang menghadapi raja dari suku Biaw di daerah selatan.

Bunga api memercik ketika kedua buah senjata tersebut beradu di udara. Yang kun merasakan getaran yang kuat pada lengannya, sementara lawannya tampak terdorong mundur dua langkah ke belakang. Masing-masing memeriksa senjata yang dibawanya. Yang kun tersenyum puas melihat goloknya tak kurang suatu apa. Sebaliknya orang she pang itu nampak berubah air mukanya demi melihat pedang cucutnya mengalami kerusakan pada beberapa giginya.

Orang she mo, orang tertua dari tung hai sam-mo melangkah ke depan, memegang bahu adik seperguruannya yang telah bersiap-siap untuk menyerang lawannya. Buntalan kecil yang sejak tadi tidak pernah berpisah dari tubuhnya diserahkan kepada adik seperguruannya tersebut.

"Pang-sute, kau periksa sebentar. Apakah sute telah kelihatan datang? lama benar dia. Biarlah bocah ini kau serahkan dahulu kepadaku, nanti kukembalikan kepadamu!” katanya menolong muka adik seperguruannya yang kerepotan itu. Ia tidak menginginkan nama tung Hai sam-mo yang besar dan disegani di daerah pantai Timur selama ini jatuh di tangan seorang “bocah” yang tidak punya nama, hanya karena salah seorang di antara mereka telah dikalahkan oleh anak ini.

Biarpun dadanya hampir meledak karena kemarahannya yang meluap-luap, orang she pang ternyata tahu diri juga, oleh karena itu dalam hati ia sangat berterima kasih atas majunya sang kakak tersebut. Kali ini ternyata ia salah menilai orang. Ternyata dalam hal tenaga dan ilmu silat, pemuda itu mempunyai kemampuan yang lebih dari pada dia. Hanya dalam hal pengalaman mungkin ia masih menang. Tetapi tentu saja kemenangan di dalam hal pengalaman ini tidak berarti banyak apabila selisih kepandaian ternyata sangat banyak!

Sambil pura-pura bersungut-sungut orang she Pang itu mengiyakan perintah kakak seperguruannya, tangannya menyambar buntalan yang diberikan oleh sang kakak, lalu pergi meninggalkan tempat tersebut untuk menengok apakah kakak seperguruannya yang lain telah datang.

Sementara itu Yang Kun yang kini harus bertempur melayani orang tertua dari tung-hai sam-mo, ternyata kini harus lebih memeras tenaganya pula! sebagai saudara tertua dari tiga serangkai itu, ternyata ilmu silatnya juga lebih hebat dari saudara-saudaranya.

Sebaliknya orang she mo itu menjadi berdebar-debar pula hatinya, ia tidak menyangka bahwa anak muda ini mempunyai kemampuan yang jauh di luar dugaannya. Justru dialah yang setiap kali harus berhati-hati apabila mereka terpaksa beradu tenaga tenaga dalam. Bocah itu ternyata selapis lebih kuat dari pada tenaga dalamnya sendiri sehingga akhirnya secara perlahan lahan iapun menjadi terdesak seperti adik seperguruannya tadi.

“Gila! Setan mana yang masuk di dalam tubuhmu!" umpatnya sambil berusaha sekuat tenaga menahan desakan lawannya.

"Jangan mengumpat-umpat terus, tidak baik untuk kesehatanmu! Lebih baik engkau cepat-cepat mengeluarkan kemahiranmu untuk memberi sedikit pelajaran sopan-santun kepadaku, seperti yang tadi kau perintahkan kepada temanmu yang lari ke hutan itu!" yang kun yang merasa di atas angin selalu membakar hati musuhnya.

"Gilaaa! sungguh gilaa...!!"

"Haha.... Engkau memang sudah gila. Sekarang engkau baru mengakui sendiri bahwa engkau tidak waras, sehingga tidak mengenal bahaya yang berada di hadapanmu...!”

Selanjutnya,
PENDEKAR PENYEBAR MAUT JILID 02
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.