Pendekar Penyebar Maut Jilid 02

Cerita silat Mandarin serial Darah Pendekar seri Pendekar Penyebar Maut Jilid 02 karya Sriwidjono
Sonny Ogawa

Pendekar Penyebar Maut Jilid 02 Karya Sriwidjono - "TUTUP mulutmu, anak setaaannn....!"

Novel Silat Mandarin Karya Sriwidjono

"Mo-suheng! Mo-Suheng! Awas, jangan sampai terlepas! Dia telah membantai seluruh keluarga pendekar Li. Ringkus saja bocah ingusan itu!” tiba-tiba dari jauh berkelebat datang dua orang saudara seperguruannya.

"Bocah ingusan nenekmu!! Huh!! Kalian betul-betul buta! Ayoh.... kita tangkap bocah ini bersama-sama!" teriak suhengnya di antara desah napasnya yang memburu.

Sejenak kedua orang yang baru tiba itu tampak bingung dan heran melihat keadaan suhengnya yang terdesak oleh serangan si anak ingusan tersebut! Tetapi serentak mereka melihat suheng mereka hampir saja terkelupas kulit kepalanya akibat sambaran golok lawannya, mereka segera menyadari apa yang telah terjadi. Mereka mencabut pedang cucut mereka masing-masing dan seperti yang diperintahkan oleh kakak seperguruan mereka segera menerjunkan diri mengeroyok Yang Kun.

Sekarang keadaan menjadi berbalik. Yang Kun yang semula berada di atas angin kini harus melawan tiga buah pedang cucut sekaligus. Apalagi mereka bertiga agaknya telah biasa bermain pedang secara berpasangan, sehingga pemuda itu terpaksa harus mengerahkan seluruh kepandaiannya.

Untunglah, ilmu silat keluarga Chin yang terdiri dari tiga puluh enam jurus itu benar-benar hebat dan sukar diduga perkembangannya. Kelihatannya sangat sederhana, tetapi ternyata mengandung berbagai macam variasi yang sulit ditebak oleh lawan. Sehingga biarpun pada permulaannya pemuda tersebut bisa didesak oleh ketiga lawannya, tetapi lambat laun akhirnya dapat juga mengimbangi permainan mereka.

Hal itu tentu saja membuat Tung-hai Sam-mo menjadi heran dan tak habis mengerti. Anak muda yang semula mereka anggap sebagai bocah ingusan yang belum hilang bau pupuknya itu, ternyata mampu mengimbangi Tung hai Sam mo, tokoh yang telah ternama dan ditakuti orang. Dan sedikitpun mereka tidak bisa menebak dari aliran manakah atau murid siapakah anak muda ini? Oleh karena itu setelah sekian lamanya mereka tidak dapat menundukkan pemuda itu, akhirnya orang she mo itu memberi isyarat kepada dua orang sutenya agar mundur.

"Sute, siapkan ang-cin lu-tin (barisan cucut merah)!” “Baik!” kedua orang sutenya menjawab berbareng.

Yang kun melihat ketiga lawannya tersebut berdiri berderet seperti anak kecil main sepur-sepuran, orang she mo sebagai saudara tertua berdiri di depan, lalu diikuti dua orang saudaranya yang lain. Masing-masing masih tetap memegang pedang cucutnya, cuma bedanya kini orang she lim yang berdiri di tengah tampak mengeluarkan lagi sebuah pedang, yang dipegang dengan tangan kirinya.

"Hah!" Orang tertua dari Tung-hai Sam-mo membentak sambil meloncat menyerang lawannya dan seperti lengket saja, kedua saudaranya mengikuti di belakangnya.

"Traang!" Yang Kun menangkis dengan goloknya dan sungguh heran kini goloknya terdorong mundur dengan kuatnya. Padahal ia tahu bahwa tenaga dalam dari orang pertama Tung-hai Sam mo tersebut masih di bawah dirinya! Dan kekagetan pemuda ini atas kejadian tersebut benar-benar dimanfaatkan oleh ketiga orang lawannya. Sebelum ia sempat memperbaiki kedudukan kakinya yang tergoyah, tiba-tiba orang ketiga dari Tung-hai Sam-mo yang berdiri di belakang kedua kakaknya tampak membalikkan tubuh serta menyerang dia dengan pedang cucutnya.

Dalam gugupnya Yang Kun mengangkat goloknya ke atas untuk menangkis ujung pedang lawan, tetapi lagi-lagi ia terkecoh! Serangan itu ternyata berhenti di tengah jalan dan sebagai gantinya pedang si orang she Mo kembali menebas ke depan, ke arah perutnya. Kelihatannya serangan ini sukar untuk dielakkan lagi.

Maka dari itu secara untung-untungan Yang Kun melempar tubuhnya ke belakang dalam posisi terlentang, sebuah gerakan yang sangat sulit dari jurus Jendral Yin Tu Terjatuh dari Punggung Hung-ma. Jurus ini amat sukar dipelajari dan Yang Kun hampir tak pernah mempergunakannya! Tubuh pemuda tersebut jatuh ke atas tanah dengan punggung lebih dahulu, lalu dengan cepat berguling ke kiri.

Gerakan itu dilakukan dengan manis dan cepat, tapi toh masih terasa sebuah goresan yang pedih pada kulit perutnya! Dan ketika ia meloncat berdiri serta memeriksa perutnya, tampak ditempat itu dua lapis bajunya telah menganga bagai diiris pisau tajam. Darah juga kelihatan menetes dari kulit perutnya yang turut tergores!

Mereka berdiri berhadapan kembali. Masing-masing tak berani memandang rendah lagi. Yang Kun tidak berani pula mengejek seperti tadi, apa lagi ia masih dikejutkan oleh kenyataan tentang menjadi berlipatgandanya kekuatan masing-masing orang itu setelah memainkan Ang-cio hi tin!

Pertempuran selanjutnya adalah pertempuran yang sangat berat bagi Yang Kun. Dia yang miskin akan pengalaman bertempur itu dibuat bingung dan tak berkutik oleh cara bertempur mereka yang aneh tapi ampuh tersebut! Secara perseorangan sebenarnya ia jauh lebih kuat dari pada kepandaian setiap orang dari mereka itu, tetapi setelah mereka memainkan ilmu silat berpasangan mereka, dia benar-benar repot dan mati kutu! Darah mulai mengalir dari luka-luka yang diakibatkan oleh pedang cucut mereka! Celakanya luka tersebut semakin lama semakin terasa gatal sehingga mengganggu gerakannya. Beberapa kali ia kepingin menggaruknya!

"Ha-ha-ha.... anak muda, agaknya engkau belum mengenal keistimewaan pedang kami ini. Ketahuilah, pedang kami ini memang sengaja kami olesi racun dan lendir ubur-ubur laut yang hidup di daerah kami. Racun itu memang bukan racun yang mematikan, tetapi akibatnya dapat kau rasakan nanti seumur hidupmu, ha-haa...." sekarang ganti mereka yang mengejek Yang Kun.

"Penjahat kejam!"

"Kejam? Ha-ha...... jangan asal omong. Siapa yang lebih kejam di antara kita? Engkau atau kami? Siapa yang membantai seluruh keluarga pendekar Li di sana itu?" orang ke dua dari Tung hai Sam-mo turut berbicara.

"Aku tidak membunuh mereka!" teriak pemuda itu sambil menghindari serangan lawan yang tertuju ke arah lututnya.

"Ho-ho, mana ada seorang pencuri mengakui perbuatannya...."

"Bangsat kurang ajar..... aduhhh!" tiba-tiba Yang Kun memekik kesakitan. Pedang bergerigi dari orang she Mo menancap dalam pada paha kirinya dan darah mengalir dengan deras dari luka yang semakin melebar akibat ulah pedang yang seperti gergaji itu. Rasanya juga gatal sekali!

Tentu saja keadaan itu membuat Yang Kun semakin lemah daya perlawanannya, sehingga akhirnya sebuah tusukan lagi pada kakinya yang lain membuat pemuda tersebut jatuh terduduk tak berdaya. Dan beberapa buah luka lagi pada tubuhnya membuat pemuda itu hanya bisa melotot marah kepada lawannya.

"Jangan dibunuh......!” seru orang she Mo kepada sutenya yang termuda, ketika yang terakhir ini mau mengayunkan pedangnya ke arah leher Yang Kun. "Kita bawa dia ke rumah pendekar Li kembali... Kita adili dia di sana!"

"Wah, bagaimana cara kita membawa dia? Aku tak mau kalau harus memanggulnya." kata sutenya bersungut-sungut.

"Hmm, kenapa repot-repot, seret saja habis perkara.....!”

Langit biru bersih, hampir tak ada segumpal awanpun yang tampak lewat, sehingga matahari yang telah mulai bergulir ke arah barat itu dengan hebat melemparkan panasnya yang terik ke tempat tersebut. Semuanya telah berangkat menuju ke rumah pendekar Li, di mana telah terjadi pembantaian yang mengerikan oleh orang orang yang belum diketahui oleh mereka.

Perjalanan ke tempat itu sebenarnya tidak begitu jauh, tetapi bagi Yang Kun yang diseret dalam keadaan terluka agak parah serta mengalami siksaan rasa gatal yang tak tertahankan tersebut, memang merupakan suatu penderitaan yang hebat sekali. Apalagi ketika beberapa kali tubuhnya membentur batu ataupun tongguk-tonggak pohon yang runcing, rasa-rasanya luka-luka itu semakin bertambah parah saja.

Dalam hati ia mengumpat-umpat ketiga orang yang berbuat kejam kepadanya itu. Tetapi sekilas ia teringat akan perbuatannya sendiri yang juga menyeret seseorang dari pinggir Sungai Huang-ho ke tempat tersebut pagi hari tadi.

Tidakkah perbuatannya itu juga sangat kejam? Tapi kenapa sedikitpun ia tidak merasakannya pada saat itu? Padahal orang yang diseretnya pagi tadi tubuhnya juga penuh luka akibat goresan-goresan goloknya! Tapi orang itu layak menerima perlakuan seperti itu, karena dia adalah salah satu dari para pembunuh ibunya, ia membela dirinya.

Itulah manusia. Jarang yang dapat melihat noda-noda pada dirinya sendiri, apalagi mengakuinya dengan sportip. Kalau toh kadangkala merasakannya juga, tentulah akan cepat-cepat mencari seribu satu macam alasan untuk menghapus atau menguranginya.

Mereka tiba di rumah bergenting merah tersebut tidak lama kemudian. Belasan ekor burung pemakan bangkai tampak terbang berputar-putar di atas genting, menanti saat yang tepat untuk berpesta pora di antara bangkai yang berserakan di bawahnya.

Yang Kun diseret masuk melalui pintu halaman yang terbuka, lalu dilemparkan begitu saja di dekat pintu. Tubuhnya membentur patung singa-singaan dan jatuh tertelungkup di atas kaki salah sebuah mayat yang berada di sana. Karena masih dalam keadaan tertotok maka ia tidak bisa berkutik sama sekali. Jangankan untuk bergeser dari mayat yang dihadapannya, sedang untuk menggaruk siksaan rasa gatal pada tubuhnya saja ia tidak mampu. Maka dengan sangat terpaksa ia menahan rasa mual pada perutnya akibat bau mayat yang sudah mulai membusuk tersebut. Sementara itu sebelum melemparkan Yang Kun di dekat pintu, Tung-hai Sam-mo bergegas menaiki tangga pendapa dengan hati-hati.

"Apakah engkau tadi telah masuk dan menyelidiki keadaan di dalam sana?” tanya orang she Mo kepada adik seperguruannya yang ke dua.

"Sudah. Tapi aku tidak menyelidikinya dengan teliti di semua tempat. Aku khawatir suheng menungguku terlalu lama."

"Baiklah, mari kita sekarang menyelidikinya bersama-sama! Tapi apakah semua mayat íni adalah keluarga pendekar Li semuanya? Kudengar keluarganya cuma terdiri dari sepuluh orang saja, kenapa sedemikian banyaknya mayat yang bergelimpangan di sini?"

"Mungkin beberapa di antaranya adalah mayat pihak lawan yáng mati terbunuh disini,” adik seperguruannya menjawab lagi.

"Atau orang yang mati ini sebenarnya dipersiapkan oleh pendekar Li untuk menghadapi pertemuannya dengan kita?” sutenya yang termuda ikut berbicara.

“..... dan mereka ternyata telah dibantai oleh pihak ke tiga sebelum kita keburu datang, begitukah maksudmu?" Suhengnya meneruskan.

"Benar! Dan pihak ke tiga itu mungkin telah merampas peta wasiat yang selama ini dibawa oleh pendekar Li."

"Kau benar! Kalau begitu mari kita geledah anak itu terlebih dahulu!" bergegas suhengnya turun kembali ke halaman diikuti kedua orang sutenya menuju ke tempat di mana Yang Kun tergeletak. Tetapi....

“Hah??? Di mana anak itu?” orang itu berteriak hampir berbareng.

Tempat itu telah kosong. Pemuda itu telah lenyap. Bagai kilat ketiga orang itu meloncat menerobos pintu keluar lalu berpencar mencari di sekitar tempat itu. Tetapi sampai bosan mereka berputar-putar, pemuda itu tetap tidak mereka ketemukan. Sambil menyumpah-nyumpah ketiga orang itu kembali memasuki halaman rumah.

"Bangsat! Anak setan! Kenapa kita sampai terkecoh olehnya? Seharusnya kita tidak boleh terlalu meremehkan dia!"

Mereka menaiki tangga pendapa kembali. "Apa yang mesti kita kerjakan sekarang suheng? Kita kehilangan jejak tentang separuh dari peta itu lagi." Orang termuda dari ketiga bersaudara seperguruan itu mengeluh.

“Jangan cepat berputus asa. Bagaimanapun juga separuh peta itu telah ada pada kita, maka siapapun yang telah merampas separuh peta yang lainnya tentu akan mencari kita pula akhirnya," kata suhengnya sambil menepuk-nepuk buntalan yang sedari tadi selalu dibawanya.

"Lalu apa yang harus kita kerjakan sekarang? Tetap menunggu di sini ataukah kita cari lagi bocah setan itu?" tanya adiknya lagi.

"Kita jangan sembrono lagi sekarang. Kita harus teliti dalam segala hal agar tidak mengalami peristiwa-peristiwa yang membuat kita menyesal seperti tadi. Sekarang kita geledah seluruh rumah ini, siapa tahu peta yang separuh itu masih tersembunyi di sini! Cari mayat pendekar Li dan para anggauta keluarganya! Geledah tubuhnya, siapa tahu bocah itu juga belum mendapatkannya."

"Baik, suheng!"

Mulailah ketiga iblis dari laut timur itu mengobrak-abrik tempat tersebut untuk mencari separuh dari peta wasiat yang semula berada di tangan orang yang mereka sebut sebagai pendekar Li. Semua mayat yang berada di tempat itu mereka bolak-balik dan mereka geledah seluruh tubuhnya. Mereka bekerja sampai matahari mau terbenam tanpa mengenal Ielah, tetapi benda yang mereka cari tetap tidak ketemu.

"Hei, kenapa kita tidak menemukan mayat dari pendekar Li! Adakah ia masih hidup dan lolos dari tempat ini?" orang pertama dari tiga sekawan itu keheranan. “Wah, repot juga kalau benar demikian." tambahnya lagi.

“Memang repot juga," adik seperguruannya yang ke dua menyambung, “....paling tidak kita harus mencari pula orang itu disamping tugas kita mencari bocah setan itu."

“Twa suheng! Ji-suheng! Di halaman belakang ada beberapa buah gunduk tanah bekas galian baru! Agaknya baru saja untuk menanam sesuatu?" tiba-tiba dari tanah belakang rumah terdengar seruan dari saudara mereka yang termuda.

"Tunggu!” Bergegas kedua orang itu berlari ke belakang menghampiri saudara mereka yang berjongkok di antara beberapa buah gundukan tanah di bawah rumpun pohon bambu.

“'Hemm, seperti sebuah kuburan baru."

"Aku juga berpikir demikian. Suheng, apakah kita perlu......."

"Tentu. Kita tidak boleh teledor. Kalau kita pergi dari sini, itu berarti bahwa kita sudah yakin benda tersebut memang sudah dibawa pergi dari tempat ini. Nah, bongkar saja kuburan ini!" Dengan harapan untuk memperoleh barang yang mereka cari selama ini, mereka menggali gundukan tanah tersebut dengan cepat.

"Heh! Benar-benar sebuah kuburan!" mereka berdesah begitu pacul mereka mengenai tubuh mayat yang masih baru.

"Keluarkan mayat-mayat itu!” orang pertama dari Tung-hai sam-mo memberi perintah kepada adik seperguruannya.

“Hai...., suheng! Benar! Mayat pendekar Li ada disini! Tapi tak ada apa-apa di tubuhnya! Eh.... kenapa wajahnya menjadi hancur begini?”

“Uh, ususnya telah keluar pula dari perutnya!" tiba tiba iblis yang termuda berseru sehingga kedua kakaknya buru buru menghampiri.

"He..... pendekar Li? Benarkah? Ah.... bukan! Benarkah mayat itu mayat dari pendekar Li? Badan serta potongan tubuhnya memang seperti pendekar Li, tapi... bukankah kepala dari pendekar Li telah dipenuhi uban? Kenapa rambut ini masih hitam?"

"Ah..... suheng, bukankah kabarnya pendekar Li sudah kawin lagi dengan seorang gadis yang masih muda? Siapa tahu rambutnya sudah dicat lagi menjadi hitam agar supaya kelihatan lebih muda? haahaa...."

Kakak seperguruannya tersenyum. "Engkau ini ada-ada saja. Kenapa dia mesti repot-repot bersolek kalau cuma ingin mempersunting seorang gadis saja? Tapi bukan itu yang aku maksudkan. Maksudku, jikalau mayat ini benar mayat dari pendekar Li, lalu siapakah yang menguburkannya disini?

Kenapa dia dikubur sendirian di sini sementara anggauta keluarganya yang lain tetap dibiarkan bergelimpangan di sana? Dan ketiga mayat lainnya ini mayat siapa? Kenapa justru mayat-mayat yang bukan keluarganya ini yang turut dikuburkan di sini? Bukankah hal ini sangat aneh?"

Kedua saudara seperguruannya mengangguk-angguk membenarkan. Baru terbuka pikiran mereka sekarang, betapa aneh sebenarnya keadaan tersebut bagi mereka!

"Benar! Memang sungguh aneh! Kenapa hanya empat buah mayat saja di antara belasan mayat itu yang dikuburkan di s ini? Siapakah sebenarnya orang yang menguburkannya?” iblis yang termuda berkata perlahan.

"Mungkinkah anak muda itu yang menguburkannya? Dia tentu datang ke tempat ini bersama-sama dengan teman-temannya untuk merampas peta wasiat itu dari tangan pendekar Li. Kebetulan justru pendekar Li sedang bersiap-siap pula menghadapi kita. Nah, kedua kekuatan itu tentu bertempur dengan sengit, di mana akhirnya pihak pendekar Li kalah dan terbunuh semua, termasuk para wanita dan anak-anak. Sementara di pihak anak muda itu hanya tinggal dia sendiri yang hidup. Jadi kuburan itu adalah kuburan teman-temannya!" orang ke dua dari ketiga iblis itu mengutarakan pendapatnya.

“Tapi kenapa anak muda tersebut bersusah-susah mengubur pendekar Li pula apabila mereka baru saja saling membunuh?" kakaknya keberatan.

“Oh....,, iya! Lalu siapakah menurut pendapat suheng?”

"Entahlah, akupun menjadi bingung pula. Bila keduaduanya bukan yang mengubur mereka, lalu siapa lagi? Apakah ada orang luar yang lewat dan tidak tega melihat mayat bergelimpangan di sini? Tapi kenapa hanya empat sosok mayat saja yang dikuburkannya? Kenapa tidak semuanya?"

Ketiga orang itu berusaha memeras otaknya, tetapi mereka tetap tidak dapat menebak apa yang telah terjadi di tempat itu beberapa saat yang lalu. Mereka hanya dapat menduga bahwa di tempat itu telah terjadi bentrokan hebat antara dua buah kekuatan besar yang sama kuat sehingga kedua-duanya mengalami kehancuran.

Hanya mereka bertiga tidak bisa menduga kekuatan dari manakah yang datang menyerang ke tempat pendekar Li ini. Satu-satunya orang yang mereka duga sebagai salah seorang anggauta dari pihak penyerang tersebut kini telah lepas dan tangan mereka.

Ketiga iblis dari laut timur itu berdiri dengan lesu. Jerih payah mereka selama bertahun-tahun untuk mendapatkan separuh bagian dari peta wasiat itu kini menjadi musnah kembali. Sejak merampas sebuah peta wasiat dari seorang kepala perampok, mereka mengembara dari barat sampai ke timur, naik turun gunung, mencari separuh bagian lainnya dari peta wasiat hasil rampasannya tersebut.

Akhirnya jerih payah mereka itu berbuah juga. Beberapa hari yang lalu mereka memperoleh kabar bahwa separuh dari peta wasiat itu kini telah jatuh ke tangan seorang pendekar dari Gunung Bu-tong yang telah mengasingkan diri di dekat kota Tie-kwan!

Maka dengan gembira mereka menghubungi pendekar itu dengan diam-diam serta mengajaknya untuk bekerjasama dalam mengambil isi dari peta wasiat itu. Hari ini adalah hari yang mereka tentukan bagi mereka untuk saling bertemu dan berunding. Tapi ternyata keadaan telah berubah. Ada lagi pihak ke tiga yang agaknya telah turut campur dengan merampas peta yang berada di tangan Pendekar Li.

Celakanya, siapa yang telah datang dan merampas benda tersebut dari tangan pendekar Li, mereka bertiga tidak dapat menduganya, sehingga otomatis urusan tentang peta wasiat tersebut menjadi gelap bagi mereka. Sebuah perjalanan yang panjang dan lama kembali terbayang di depan mata mereka.

"Satu-satunya kemungkinan untuk mendapatkan peta yang hilang itu adalah bila kita dapat menangkap kembali bocah setan itu. Aku yakin anak muda itu tentu tahu di mana adanya peta tersebut,” orang tertua dari ketiga iblis itu berkata pelan.

"Tapi untuk mencari bocah itu kembali kurasa juga bukan hal yang mudah...."

Langit sudah semakin menjadi gelap. Satu dua buah bintang sudah mulai kelihatan di atas langit. Ketiga orang itu telah pergi meninggalkan tempat yang mengerikan tersebut. Mereka biarkan begitu saja mayat-mayat yang telah mereka gali tadi, sehingga suasana di tempat itu benar-benar amat mengerikan!


Kemanakah Yang Kun sebenarnya? Benarkah ia dapat meloloskan diri dari tempat itu? Lalu di mana ia sekarang? Sesungguhnyalah, pemuda itu memang mempunyai bakat serta tulang yang baik untuk belajar ilmu silat. Maka tidaklah mengherankan kalau di antara keturunan keluarga Chin selama ini, hanya dialah satu-satunya orang yang mampu mempelajari ilmu silat keluarga mereka dengan sempurna dalam usia yang masih sangat muda.

Padahal rata-rata para kakek dan neneknya, termasuk pula ayah serta para pamannya, baru dapat memahami ilmu silat tersebut dalam usia pertengahan. Mungkin hanya dalam hal tenaga dalam saja pemuda itu harus banyak berlatih, sebab untuk mencapai tingkat kesempurnaan dalam ilmu itu harus secara bertahap.

Mengenai soal bertulang baik dan berbakat di dalam ilmu silat, pemuda itu pernah diberi tahu oleh paman bungsunya, bahwa selama keluarga Chin berkuasa, dari dahulu hingga sekarang, telah ada dua orang yang mempunyai bakat serta bertulang baik seperti dia. Yang pertama adalah Chin Hoa, hidup pada zaman Raja Chin Bun, lebih kurang seratus tahun yang lalu.

Orang ini dapat mempelajari ilmu silat keluarganya secara sempurna dalam usia limabelas tahun. Sayang ketika terjadi malapetaka gempa bumi yang melanda di seluruh negeri, orang itu tewas terkubur di ruang semadhinya. Yang ke dua ternyata masih terhitung keluarga dekat dengan Yang Kun sendiri, karena orang itu adalah kakak kandung dari ayah serta paman bungsunya. Orang inilah yang disebut-sebut sebagai kaisar terakhir dari Dinasti Chin oleh mendiang ayah Yang Kun.

Orang itu menjabat sebagai kaisar hanya dalam waktu sampai empat puluh hari saja, karena pemberontak yang dipimpin oleh Liu Pang (kaisar sekarang) keburu masuk ke kota raja dan memaksanya untuk meninggalkan singgasana kerajaan. Orang ini pulalah yang memberi pesan wasiat kepada ayah Yang Kun agar menyimpan benda yang diperebutkan itu secara baik-baik.

Tetapi, apabila benar apa yang dikatakan oleh paman Yang Kun bahwa pada usianya yang baru delapan belas tahun tersebut Yang Kun telah mampu meyakinkan ilmu silat keluarganya dengan sempurna, mengapa anak muda itu harus mengalami kekalahan ketika melawan Tung hai Sam-mo? Apakah yang menyebabkannya? Apakah karena mutu ilmu silat keluarga Chin tersebut masih di bawah mutu ilmu silat keluarga ketiga iblis itu? Sehingga biarpun sudah mempelajarinya secara sempurna toh tetap masih kalah kuat?

Sebenarnya tidaklah demikian halnya. Bagaimanapun juga ilmu silat keluarga Chin tersebut adalah ciptaan dari Raja Chin yang pertama, yang hidup pada zaman purba dahulu. Yaitu sebuah zaman, di mana hanya seorang yang benar-benar kuat dan sakti sajalah yang mampu bertahta di singgasana kerajaan untuk memimpin negara dan rakyat yang berjuta juta banyaknya!

Oleh sebab itu, apabila dalam penampilannya yang pertama itu Yang Kun mengalami kekalahan, hal tersebut bukannya disebabkan karena mutu ilmu silat keluarganya yang terlalu rendah, akan tetapi karena disebabkan oleh kosongnya pengalaman pemuda itu sendiri di dalam hal menghadapi keanehan dari ilmu silat golongan lain.

Coba kalau pemuda itu mendapat kesempatan sedikit saja untuk berpikir tentang keanehan dari ilmu silat lawan yang diberi nama Ang-cio hi-tin itu, tidak mustahil kalau ia bisa menguasai lawan-lawannya pula. Hal itu sebenarnya telah terbukti ketika pemuda tersebut ditotok dan diseret ke rumah pendekar Li oleh lawan-lawannya itu.

Kekerasan hatinya membuat ia seperti tidak merasakan rasa sakit dan penderitaannya ketika diseret oleh lawannya tetapi pikirannya justru disibukkan oleh rasa penasaran di hatinya karena dikalahkan oleh ketiga orang itu. Padahal ia merasa dengan pasti bahwa ilmu silatnya jauh lebih unggul dari pada ilmu silat mereka.

Sebentar saja otaknya yang encer dan cerdas itu segera dapat meraba rahasia ilmu silat berpasangan mereka tersebut. Ketiga orang yang berdiri berderet seperti orang main sepur-sepuran itu tentu bermaksud membentuk diri mereka sebagai seekor ikan cucut besar. Di mana orang she Mo sebagai saudara tertua berada di depan sendiri dan bertindak sebagai kepala ikan. Pedang bergerigi yang dibawanya merupakan ujung tombak dari ikan cucut tersebut.

Sedang orang she Lim, adik seperguruannya yang ke dua, yang berdiri di tengah, bertindak sebagai tubuh ikan itu. Kedua bilah pedang yang dipegangnya, ia mainkan sebagai sirip dari ikan cucut tersebut. Sementara adik seperguruan mereka yang termuda, berdiri paling belakang sebagai ekor ikan cucut. Pedang yang dibawanya ia mainkan sebagai sirip dari ikan tersebut yang terkenal tajam dan berbahaya!

Seperti halnya ikan cucut asli, di mana moncong dan sirip ekornya adalah bagian yang sangat berbahaya bagi lawan, begitu pula Ang-cio-hi-tin tersebut! Orang pertama serta orang ketigalah yang bertugas sebagai pihak penyerang, sementara orang ke dua hanya bertindak sebagai benteng pertahanan saja bagi keselamatan dari ikan cucut itu.

Dan karena mereka itu bergabung sehingga seolah-olah menjadi satu ekor ikan besar, maka otomatis tenaga merekapun selalu bergabung menjadi satu kekuatan pula! Itulah sebabnya kenapa tenaga mereka seolah-olah menjadi bertambah besar.

Dan seperti menghadapi ikan cucut yang hidup bebas di lautan, maka sangatlah berbahaya pula menghadapi Ang ciohi-tin tersebut dari arah depan ataupun belakang. Tempat satu-satunya yang paling aman adalah di samping tubuh ikan, persis di dekat siripnya. Maka asal pihak lawan selalu bisa berusaha berdiri di tempat itu bagaimanapun ikan tersebut menggerakkan tubuhnya, lalu menyerangnya dan tempat itu pula, niscaya ilmu silat tersebut akan mati kutu. Biarpun takkan mudah pula untuk berbuat seperti itu.

Betapa gembiranya Yang Kun bisa memecahkan rahasia ilmu silat lawan itu. Semangatnya menjadi meluap-luap, ingin rasanya ia melepaskan diri dari ikatan yang membelit tubuhnya dan menantang mereka kembali untuk bertanding silat. Tapi karena tubuhnya tertotok maka niat itu belum dapat ia laksanakan.

Maka ketika tubuhnya dibanting di atas mayat orang setelah mereka tiba di rumah pendekar Li, pemuda itu mulai berusaha memunahkan pengaruh totokan lawan terlebih dahulu. Apalagi ketika ketiga iblis itu pergi meninggalkan dia di halaman, kesempatan yang diperolehnya menjadi bertambah besar.

Cepat pemuda itu memusatkan pikirannya untuk berkonsentrasi, lalu disedotnya udara sebanyak-banyaknya melalui hidung. Semuanya ia kumpulkan di pusarnya (tan tian). Baru setelah itu ia pecah menjadi dua bagian. Setelah berputar-putar sejenak, bagian pertama dia dorong ke bawah melalui wa pu hiat terus ke si kang-hiat dan menerobos lu-poh tung-hiat di bawah lutut.

Setelah berputar-putar sebentar di ujung jempol (Ibu jari) kaki, hawa murni itu didorong kembali ke atas melalui tung-to hiat, go-lo hiat dan Khong ho-hiat, terus kembali ke tan tian. Semuanya berjalan lancar, tak sebuahpun jalan darah dilaluinya mengalami hambatan sehingga sebentar kemudian kedua buah kakinya dapat ia gerakkan kembali.

Sementara itu hawa-murni yang sebagian lagi ia tekan ke atas melalui thia-wu-hiat di atas pusar, lalu berhenti sebentar di thinu su-hiat, terus meluncur ke atas melalui sam-le-hiat di atas dada. Tetapi ketika akan menerobos pang-wa-hiat yang berada di bawah leher, hawa murni tersebut mengalami kesukaran. Seperti ada sebuah tonjolan yang menekan jalan darah tersebut dari luar. Betapapun Yang Kun mengerahkan tenaganya, jalan darah itu tetap tak tertembus.

"Kurang ajar! Benda apa yang berada di balik baju mayat ini? Kenapa persis benar menekan pada jalan darah di dadaku?” pemuda itu mengumpat.

Oleh karena tubuh atasnya masih belum dapat digerakkan, Yang Kun berusaha untuk beringsut dari posisinya dengan jalan menjejakkan kakinya. Dan usahanya berhasil, sehingga penyaluran tenaga murninya dapat ia lanjutkan lagi tanpa hambatan.

Begitu terbebas dari pengaruh totokan lawan, pemuda itu tidak langsung berdiri, tetapi dengan penasaran ia merogoh saku mayat yang berisì barang menonjol tadi. Dengan heran pemuda itu mengeluarkan sebuah potongan emas yang berkilauan dari balik baju tersebut. Emas itu berbentuk bulat panjang, sebesar ibu jari kaki, dengan panjang kira-kira satu dim.

Hampir saja Yang Kun mengembalikan benda itu ke tempatnya semula, sebab ia tak ingin mencuri apalagi mengambil kepunyaan orang yang telah mati. Tetapi ketika matanya melihat goresan-goresan yang menyerupai sebuah peta pada emas tersebut, cepat keinginan itu ia batalkan. Siapa tahu benda tersebut akan berguna baginya kelak?

Perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang aneh dan rahasia pada benda itu. Maka dengan hati-hati potongan emas tersebut ia masukkan ke dalam saku bajunya sendiri. Pemuda itu bermaksud bangkit dari tempat itu ketika tiba-tiba lukanya terasa gatal dan sakit bukan main.

"Kurang ajar! Luka ini benar-benar sangat mengganggu. Aku tidak boleh tergesa-gesa melawan mereka. Luka-luka ini harus kuobati dahulu sehingga sembuh, baru aku mencari pembunuh ayah ibuku dan mengadakan perhitungan dengan mereka."

Sedikit demi sedikit Yang Kun beringsut ke arah pintu halaman. Kedua belah pahanya yang terluka itu sungguh sangat mengganggu jalannya. Sampai di luar pintu rasa sakit itu semakin menghebat sehingga kaki tersebut rasa-rasanya sukar untuk dipakai berjalan lagi.

"Kurang ajar! Kemana aku harus menyembunyikan diri untuk sementara waktu? Hah, bangsat benar senjata Iblis itu! Awas, sekali waktu akan kubuat mereka menderita dengan senjata mereka sendiri!"

Berdesir dada Yang Kun ketika tiba-tiba dilihatnya sebuah bayangan berlari dengan cepat mendatangi tempat itu. Betapa ringan dan cepat langkah kakinya sehingga sekejap kemudian orang itu telah berada di depan mukanya.

"Ohh..... tuan muda!" tiba-tiba orang itu berseru. Matanya memancarkan sinar aneh, kaget dan seperti tidak percaya pada apa yang telah dilihatnya.

Sebaliknya pemuda itu juga tidak kalah pula rasa terkejutnya. Tak terpikir sedikitpun di dalam benaknya bahwa ia akan menjumpai orang itu di tempat ini. Tersembul sedikit harapan di dalam hatinya untuk bisa lolos dari tempat tersebut. "Paman Hek-mou-Sai...!”

"Tuan muda kau? Kau masih.... eh, kenapa tuan muda berada di sini? Di mana yang lainnya?”

"Paman, lukaku sangat parah. Bawalah dulu aku pergi dari sini secepatnya, nanti akan kuceritakan semuanya! Di di dalam ada Tung-hai-Sam-mo!" pemuda itu berbisik.

"Hah? Tung-hai Sam-mo berada di sini?" Hek-mou sai terkejut pula.

"Benar, paman!”

"Baik, mari kita pergi! Ketiga Iblis itu memang sangat berbahaya, apalagi gurunya. Teman-temannyapun sangat banyak!”

Maka ketika beberapa saat kemudian Tung-hai Sam-mo mencarinya, Yang Kun telah tiada lagi di tempat semula. Dia telah dibawa pergi oleh Hek-Mou-Sai, salah seorang pengawal kepercayaan mendiang ayahnya.


“Demikianlah paman, semuanya terjadi dengan cepat serta di luar dugaan begitu paman meninggalkan kami di tengah-tengah hutan itu. Hampir-hampir aku tidak mempercayainya bahwa semua itu telah terjadi pada keluargaku.” pemuda itu menutup kisahnya.

"Sudahlah, tuan muda. Betapapun kita masih harus berterima kasih kepada Tuhan bahwasanya Dia masih melindungi jiwa tuan muda, sehingga tuan muda dapat meneruskan semua cita-cita tuan Chin yang belum terlaksana. Tuan muda, tidakkah ayahmu memberi sesuatu wasiat atau petanya kepadamu?" Hek-mou-sai menghibur.

Hampir saja pemuda itu mengatakan semua pesan ayahnya pada saat mau menghembuskan nafasnya yang terakhir itu, tetapi tiba-tiba diurungkannya, biarlah rahasia keluarganya itu ia simpan sendiri di dalam hati, orang luar tak perlu mengetahuinya. Semua urusan tersebut akan ia selesaikan sendiri! Hek-mou-sai merasakan keragu-raguan pemuda putera majikannya itu, tetapi iapun tak enak pula untuk terlalu mendesaknya, biarpun hatinya menjadi sangat kecewa sebenarnya.

"Maafkan aku, paman. Bukannya aku tak mempercayai engkau yang telah banyak berjasa kepada keluarga kami itu, tetapi sebenarnyalah bahwa pesan ayahku itu hanya diperuntukkan bagiku saja. Pesan seorang ayah kepada anaknya." Yang Kun berusaha menerangkan.

"Permisi, tuan...!" tiba-tiba terdengar sebuah suara di luar pintu memutus pembicaraan mereka.

“Siapakah yang datang, paman?" Yang Kun mengerutkan keningnya dengan curiga, Hatinya yang telah dipenuhi perasaan dendam permusuhan itu kini ternyata tidak pernah merasa tenang.

Hek-mou-sai tersenyum. "Tenanglah tuan muda. Aku telah memanggil seorang tabib untuk mengobati luka-Iakamu itu, terutama untuk menghilangkan perasaan gatal yang kadang-kadang datang! Kurasa tabib yang kupanggil itulah yang datang,” katanya seraya membuka pintu.

"Maaf tuan, Aku terlambat datang. Jalan sudah penuh dengan orang, sehingga saya harus berputar-putar melalui jalan kecil.”

"Ah, tak apalah. Kami juga tak tergesa-gesa sekali. Marilah masuk, sinshe (tabib)!” Hek-mou-sai mempersilakan orang itu untuk memasuki kamar mereka.

"Terima kasih!” Yang Kun memandang orang yang baru datang itu dengan hati yang semakin tidak enak. Nalurinya mengatakan bahwa tabib tua yang berperawakan kecil dengan bola mata kemerah-merahan itu tentulah bukan orang baik-baik. Apalagi ketika orang itu memandang ke arah dirinya dengan senyum yang aneh, ia merasa seperti menghadapi seorang iblis yang siap untuk mencekik lehernya. Tetapi ketika ia berusaha untuk beranjak dari tempat ia berbaring, Hek-mou-Sai menahannya.

"Sudahlah, tuan muda. Engkau jangan terlalu banyak bergerak. Biarlah Ang-sinshe mengobatimu. Dia adalah seorang tabib yang paling tersohor di daerah Shan-tung ini. Percayalah!"

Terpaksa dangan hati berat Yang Kun menuruti anjuran Hek-mou-sai tersebut. Ia percayakan sepenuhnya nasib dirinya kepada pengawal kepercayaan ayahnya itu. Oleh karena itu ia tetap berdiam diri ketika tabib itu memeriksa luka-lukanya.

"Wah, berat...! Racun yang masuk di dalam luka-luka itu sungguh sangat keji sekali. Sebenarnya racun itu sendiri memang bukan semacam racun yang mematikan, tetapi akibat yang ditimbulkan akan justru lebih kejam malah...! Sebab apabila rasa gatal itu semakin sering datang dan semakin terasa menghebat, alamat kelumpuhan akan segera tiba. Dan penyakit seperti ini kurasa belum ada obatnya di dunia ini!” Tabib itu memandang Hek-mou-sai sambil mengeleng-gelengkan kepalanya.

“Tidaaaak....!! Mesti ada obatnya! Oh, aku tidak boleh lumpuh! Aku tidak boleh lumpuuuuh!" Yang Kun berteriak seperti orang gila. "Aku harus sembuh kembali! Masih banyak yang harus akan kukerjakan! Aku masih harus membalaskan seluruh dendam kesumat keluargaku!"

“Tuan muda, tenanglah! Jangan berteriak begitu, nanti semua penghuni penginapan ini akan keluar dan menuju kemari.” Hek-mou-sai cepat memegang lengan Yang Kun dan menenangkannya.

Benarlah, tampak beberapa orang mendatangi kamar mereka dengan curiga, tapi Hek-mou-sai cepat keluar menemui mereka. "Maafkan kami! Mungkin suara anakku yang sedang sakit itu mengagetkan tuan semua. Dia baru saja terjatuh dari punggung kuda dan sekarang sedang diobati oleh tabib. Anakku memang seorang yang tak biasa menahan sakit."

Orang-orang itu kembali ke kamar mereka masing-masing dengan menggerutu. Tapi dua orang wanita yang wajahnya sangat mirip satu sama lain tampak tersenyum ketika melihat tabib tua itu. "Aha... tapi tuan tidak usah merasa khawatir! Di mana disitu ada Ang-sinshe, di situ pula semua penyakit akan hilang! Di dunia ini tak ada seorangpun tabib yang mampu melebihi dia," kata salah seorang di antaranya. Lalu setelah mengangguk ke arah Hek-mou-sai kedua orang itu berlalu pula dari tempat itu.

"Tapi.... aku tidak mau menjadi lumpuh, paman!" Yang Kun berkata lagi setelah suasana telah menjadi sepi kembali.

"Harap tuan muda jangan khawatir lebih dahulu. Angsinshe tentu tidak akan kekurangan akal, bukankah begitu, Ang-sinshe?"

"Entahlah, tuan. Akan kupelajari dahulu daya serang dari racun itu di rumah, setelah itu baru akan kuusahakan untuk mendapatkan obat pemunahnya. Sementara ini akan kuberikan obat untuk menghentikan daya kerja dari racun itu." jawab orang tua itu sambil mengeluarkan bubuk putih dari kantong obatnya.

Rasa perih dan panas yang tak terkatakan hebatnya menyerang tubuh pemuda itu ketika obat bubuk berwarna putih tersebut ditaburkan di atas luka-lukanya. Begitu hebatnya rasa sakit tersebut mencekam tubuhnya sehingga Yang Kun tak kuat lagi menahannya. Pembaringan yang semula tersusun rapi itu kini menjadi berantakan ke sana kemari karena desakan kaki tangannya yang menggeliat-geliat menahan sakit.

Bayangan Hek-mou-sai dan tabib tua itu seperti saling berkelebatan di depan matanya bercampur dengan benda-benda di dalam kamarnya yang melayang-layang pula ke sana ke mari. Akhirnya sebelum ia jatuh pingsan, lapat-lapat ia seperti mendengar suara nyanyian dan gelak ketawa tabib serta Hek-mou-sai yang keras.

Entah berapa lama ia dalam keadaan pingsan, hanya ketika pemuda itu telah menjadi siuman kembali, ia mendapatkan dirinya seperti berada di dalam ruangan sempit yang selalu bergoyang-goyang. Agaknya sebuah kereta atau gerobak yang sedang berjalan di jalan umum. Terdengar suara orang berlalu lalang di sekitar ruangan sempit dan gelap tersebut.

Betapa terkejutnya pemuda itu ketika tangannya seperti menyentuh tubuh seseorang yang berbaring di sampingnya. Tubuh yang gemuk besar serta banyak ditumbuhi bulu yang lebat. Tubuh Hek mou-sai!

"Ah! Uh!" Gila, Yang Kun mengumpat di dalam hati. Urat gagunya ternyata telah ditotok orang. Begitu juga kaki dan tangannya! Sedikitpun tak bisa digerakkan, sehingga maksudnya untuk menyapa atau membangunkan orang yang berbaring di sebelahnya tersebut menjadi gagal. Yang Kun berusaha memunahkan totokan itu, tetapi gagal pula!

Arus tenaga dalam yang dikerahkannya selalu membalik begitu sampai di urat darah yang tertotok, sehingga hal tersebut justru mengakibatkan badannya sakit bukan main. Seluruh urat darahnya seperti ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum!

Sebuah tiam-hoat (ilmu totok jalan darah) dari golongan sesat, pemuda itu berpikir di dalam hati. Ilmu ini tentu ada rahasianya tersendiri dan tidak mungkin lain orang dapat memunahkannya. Maka dari itu tak ada gunanya membuang-buang tenaga secara percuma. Lebih baik berdiam diri dan menghimpun kekuatan, biarlah semuanya ia pasrahkan kepada nasib, pikir pemuda itu selanjutnya!

Yang Kun lama-kelamaan terbiasa oleh kegelapan yang melingkupi ruangan sempit tersebut, sehingga akhirnya dia bisa melihat tubuh Hek-mou-sai yang terbaring di sisinya dengan jelas. Tampak olehnya tubuh itu terikat dengan tali yang sangat kuat. Tak mungkin pula untuk membebaskan diri.

Ternyata firasatnya tentang tabib itu adalah benar. Orang itu memang benar bukan orang baik-baik. Dan mereka berdua telah tertipu dan terjebak! Mungkin orang tersebut justru ialah seorang dari kelompok para pembunuh keluarganya yang menyamar sebagai tabib.

Kurang ajar, Yang Kun menggeretakkan giginya. Dan orang seperti itu telah ia biarkan dengan sesuka hati untuk menyakiti dirinya. Menaburkan bubuk putih yang dikatakan sebagai obat penawar racun untuk menyiksa dirinya sehingga pingsan. Dan selama ia pingsan orang itu telah merampok semua miliknya pula!

"Binatang! Tabib keparat!” tiba-tiba Hek-mou-sai yang telah siuman dari pingsannya mengumpat dengan keras. Lalu nampak orang yang belum terbiasa dengan suasana gelap itu berusaha dengan keras memutuskan ikatannya. Berguling ke sana kemari sehingga akhirnya tubuhnya menimpa tubuh Yang Kun.

"Heh? Siapa kau?”

Dengan cepat tubuhnya berguling menjauhi tubuh Yang Kun. Kemudian matanya terbuka lebar-lebar berusaha menembus kegelapan yang menyelubungi ruangan itu. Akhirnya lapat-lapat ia mengenali wajah Yang Kun. "Oh tuan muda! Kau...! Hah, bangsat benar tabib itu! Aku kena ditipunya. Seseorang memperkenalkan dia kepadaku. Dia mengaku bahwa dialah yang disebut orang sebagai Ang-sinshe. Seorang tabib yang... eh, tuan muda! Kau?"

Hek-mou-sai berhenti bicara. Matanya yang kini telah terbiasa di tempat gelap itu dengan heran mengawasi Yang Kun. Agaknya baru maklum kalau pemuda di depannya tersebut ternyata dalam keadaan lemas tertotok jalan darahnya. Akhirnya iapun berbaring diam di tempatnya sambil menghela napas berkali-kali.

“Baiklah, kita memang tinggal menunggu nasib. Tuan muda sedang terluka parah dan kini tertotok pula. Sedangkan aku biarpun bisa bergerak tetapi ternyata tidak mampu melepaskan diri dari belenggu ini. Hemmm... agaknya kita memang ditakdirkan untuk musnah semuanya...."

Terasa oleh mereka kereta itu berbelok ke arah kiri. Jalannya halus dan nyaman, tidak berguncang seperti tadi. Cuma jalannya kini agak sedikit lambat. Terdengar pula olah telinga mereka suara gema percakapan orang banyak yang menyerupai kawanan lebah di sekitar kereta mereka. Sesekali diselingi suara ledakan petasan dan suara gembreng ditabuh. Agaknya kini mereka sedang melalui sebuah jalan besar di tengah-tengah kota, di antara keramaian orang yang baru berpesta pora!

"huh! Mereka tentu telah mulai dengan pesta perayaan itu," Hek-mou-sai bergumam lagi. "Sungguh menyebalkan!”

Dan ketika tampak olehnya wajah Yang Kun yang memandang ke arahnya dengan penuh tanda tanya, Hek-mou-sai cepat memberi keterangan. "Hari ini adalah hari peringatan bagi para perampok itu untuk merayakan keberhasilan mereka dalam menduduki singgasana kerajaan. Mereka merampok singgasana itu dari tangan nenek moyang tuan muda dan mendudukinya! Setiap tahun mereka memperingatinya secara besar-besaran di seluruh negeri. Dan hari ini merupakan peringatan yang kelima kalinya. Celakanya, perampok-perampok itu sangat pandai mengelabui mata rakyat, sehingga mereka memperoleh banyak dukungan dan pengikut!"

Yang Kun mendengarkan keterangan Hek-mou-sai yang panjang lebar itu dengan dahi berkerut. Memang selama ini ia tak pernah mengikuti perkembangan negaranya. Sejak jatuhnya Dinasti Chin lima tahun yang lalu dia beserta seluruh keluarganya buru-buru menyembunyikan diri mereka di suatu tempat yang terpencil dan tak diketahui orang.

Kereta itu semakin lama semakin terasa lambat jalannya dan suara ramai serta ribut di sekitarnya semakin terdengar dengan nyata pula. Agaknya kereta tersebut kini semakin mendekati tempat yang menjadi pusat keramaian. Beberapa saat kemudian terasa oleh Yang Kun kereta itu berbelok lagi ke arah kanan, lalu berhenti. Sinar obor menerobos masuk ke dalam kereta dan menyilaukan mata mereka ketika pintu kereta tersebut dibuka orang. Beberapa saat lamanya mereka berdua justru tidak dapat melihat apa-apa.

"Bawa kedua orang ini ke ruang belakang! Tutup mereka di dalam sebuah kamar dan jagalah dengan ketat! Jangan sampai terlepas! Aku akan menghadap Ong-ya (pangeran) lebih dahulu," terdengar sebuah suara kecil nyaring. Suara dari orang yang menyamar sebagai tabib itu!

Mereka masing-masing digotong oleh dua orang yang berpakaian ringkas, masuk ke dalam gedung besar yang sangat megah dari pintu samping. Mereka langsung dibawa ke ruangan belakang dan ditutup di sebuah kamar yang kokoh kuat. Beberapa orang yang rata rata mempunyai kepandaian cukup menjaga di sekitar mereka. Hek-mou sai selalu mengumpat-umpat dan menantang untuk berkelahi, tetapi tak seorangpun meladeninya. Mereka semua diam seperti boneka-boneka penjaga yang sangat seram!

Satu jam kemudian datang seorang penjaga lagi yang membawa perintah dari Ong-ya agar kedua tawanan itu dibawa menghadap ke ruang tengah. Yang Kun digotong kembali oleh orang-orang itu bersama-sama Hek-mou-sai melalui sebuah petamanan yang luas. Naik turun jembatan kayu berukir yang sangat indah, berkelok-kelok menyeberangi kolam luas yang penuh dengan bunga teratai dan menerobos lorong-lorong yang penuh bergantungan lampu-lampu minyak beraneka warna!

Kedua orang itu dibawa masuk ke sebuah ruangan yang lebar dan luas. Di sana telah berdiri dua - tigapuluh orang, berkelompok-kelompok di pinggir mengelilingi bagian tengah yang telah dikosongkan. Yang Kun dan Hek-mou-sai mereka diletakkan pada tempat yang kosong tersebut, di bawah pengawasan puluhan pasang mata yang mengelilinginya.

Ternyata Hek-mou-sai tidak rewel dan mengumpat-umpat lagi. Suasana serta pemandangan yang selalu besar dan megah, apalagi kini berada di tengah-tengah puluhan pasang seram dan aneh membuat hatinya menjadi kuncup dan kecil.

Beberapa lampu minyak yang ditaruh di sana tidak cukup untuk menerangi ruangan tersebut, sehingga suasana menjadi remang-remang. Remang dan sunyi! Tak sebuah suarapun terdengar. Mereka bagaikan sekelompok hantu yang berada di sebuah gedung tua yang angker.

"Ong-ya datang!” Tiba-tiba suasana yang lengang itu dikejutkan oleh suara penjaga yang nyaring. Orang-orang yang berada di ruangan itu tampak bergerak sekarang.

Mereka menghadap ke arah pintu masuk dengan khidmat. Menghormat kepada seorang laki laki jangkung yang baru saja memasuki ruangan bersama beberapa orang pengawalnya. Laki-laki itu mengenakan baju longgar dari kain sutera yang putih bersih berenda-renda, sehingga di tempat gelap benar-benar terasa menyolok dan mengesankan.

Dia mengangguk sedikit untuk membalas penghormatan orang, lalu berjalan menuju ke ujung ruangan di mana telah tersedia kursi kehormatan. Tetapi ternyata ia tidak langsung duduk di tempat yang telah disediakan itu. la hanya berdiri saja di bawahnya dan menyuruh semua orang untuk mengambil tempat duduk mereka di kursi masing-masing.

"Maaf, saudara-saudara, karena harus menyelesaikan sebuah urusan yang sangat penting maka kali ini Ong-ya akan terlambat datang menemui saudara! Tetapi beliau telah berkuasa mengirim aku kemari untuk mewakili beliau selama beliau belum datang."

Terdengar oleh Yang Kun orang-orang yang berada di sekitarnya berdesah pelahan sambil mengambil tempat duduk masing-masing. Sekelebatan terlihat olehnya orang yang menyamar sebagai tabib itu berada di sebelah kanan bersama-sama dengan dua orang wanita. Mereka duduk di tempat yang agak tinggi di dekat kursi kehormatan. Agaknya mereka termasuk orang-orang yang berkedudukan penting di dalam pertemuan tersebut.

Yang Kun mengedarkan pandangannya ke tempat yang lain. Biarpun tidak begitu jelas, tetapi ia ingin mengingat sedapat-dapatnya wajah-wajah mereka satu persatu. Siapa tahu dugaannya benar, bahwa mereka adalah komplotan yang telah membantai seluruh keluarganya.

"Saudara-saudara semua, sebelum Ong-ya datang nanti, beliau menugaskan aku yang rendah untuk mengurus sesuatu hal di sini. Beliau baru saja memperoleh laporan bahwa Teetok-ci locianpwe (Tikus Tanah Beracun) telah berhasil menangkap anak muda yang bernama Chin Yang Kun itu. Benarkah begitu locianpwe?"

Yang Kun terkejut mendengar kata-kata orang berbaju putih tersebut. Terkejut tetapi juga terselip perasaan gembira di dalam hatinya. Betapa tidak? Kesengsaraan dan penderitaan yang telah disandangnya sejak dia beserta keluarganya meninggalkan tempat persembunyian mereka, sekarang agaknya telah membawa hasil. Berhari-hari, berbulan-bulan. ia dan seluruh keluarganya harus berlari-lari menyembunyikan diri dari teror dan kejaran musuh yang tak mereka ketahui orangnya. Satu-persatu keluarganya terbunuh.

Mulai dari paman bungsunya, lalu para wanita dan anak-anak, dan paling akhir adalah ayahnya sendiri. Semuanya mati dengan bermacam-macam cara tanpa mereka ketahui siapa pembunuhnya! Maka tidaklah mengherankan jikalau pemuda itu sangat gembira begitu mendengar perkataan orang berbaju putih tersebut. Menilik dari perkataan yang baru saja dikeluarkan tadi, dapat diduga bahwa Yang Kun memang telah lama dicari dan dibutuhkan oleh mereka, terutama oleh orang yang mereka sebut sebagai Ong-ya itu.

Padahal selama ini pemuda tersebut bersama keluarganya tidak pernah berhubungan dengan orang luar, apa lagi orang orang dari kalangan persilatan. Jadi apabila ada orang yang mencari dia atau keluarganya, tidak boleh tidak tentu berhubungan dengan "benda warisan keluarga" yang diperebutkan itu.

Dan apabila memang benar begitu keadaannya, jelaslah sudah, merekalah para pembunuh keluarganya itu! Maka tidaklah heran kalau Yang Kun sangat gembira di dalam hatinya, karena kegelapan yang selama ini menyelubungi dirinya agaknya telah mulai terbuka.

"Kwa-sicu, laporan yang telah ditampilkan kepada Ong-ya tersebut adalah benar. Lihatlah! Pemuda itu telah saya tangkap bersama seorang pengawalnya." Orang yang menyamar sebagai tabib itu menjawab pertanyaan laki-laki berbaju putih tadi.

"Terima kasih! Jasa locianpwe sungguh amat besar kali ini! Ong-ya akan bergembira sekali Apakah lo-cianpwe telah memeriksa dan menanyai pemuda itu?"

"Belum. Silahkan Kwa-sicu memeriksanya sendiri! Tetapi ketika lo-hu (aku orang tua) menggeledah badannya. lo-hu mendapatkan potongan emas ini." orang yang bergelar Teetok-ci itu menyerahkan benda tersebut kepada laki-laki berbaju putih itu.

Laki-laki itu menimang-nimang potongan emas itu di dalam tangannya. "Inikah benda yang dimaksudkan oleh Ong-ya itu? Kenapa seperti ini?" gumamnya dengan ragu-ragu. "Baiklah, akan kuperiksa sendiri. Pengawal bawa kemari pemuda itu!”

Pengawal-pengawal itu dengan tangkas menyeret tubuh Yang Kun dan Hek mou-sai ke hadapan laki-laki tersebut, lalu dengan gesit pula mereka kembali berdiri di belakang tuannya. Orang berbaju putih itu maju selangkah mendekati Yang Kun. Wajahnya yang putih pucat itu tersembunyi di balik gumpalan rambut yang sengaja dibiarkan terurai lepas, hingga sukar bagi orang lain untuk melihat jelas wajahnya. Selelah meneliti sebentar kedua tawanannya orang itu lalu memberi isyarat kepada Tee-tok Ci untuk memunahkan totokannya.

Dengan tertatih-tatih Yang Kun bangkit dari lantai tempat ia menggeletak. Luka-luka yang ia derita pada kedua buah pahanya masih terasa sakit sekali, sehingga serasa masih sukar untuk berdiri tegak. Meskipun demikian matanya dengan tajam menatap tak berkedip kepada laki-laki berbaju putih yang berdiri tak jauh di hadapannya. Jelas terpancar di dalamnya sebuah perasaan dendam yang tiada taranya. Tetapi laki-laki pucat berbaju putih itupun ternyata balas memandang dengan tidak kalah pula tajamnya. Justru kelihatan lebih seram malah!

"Apakah engkau yang bernama Chin Yang Kun?"

Pemuda itu mengangguk. Matanya tetap menyala memandang ke arah lawannya. Sukar untuk mengatakan apa yang tersirat di dalam hati kecilnya pada saat itu. Mungkin suatu perasaan sedih, gembira, marah, penasaran, yang semuanya bergolak menjadi satu di dalam dadanya. Bila dilihat dari sorot matanya, bisa diduga betapa inginnya pemuda itu mengamuk dan membunuh seluruh orang yang berada di tempat tersebut.

Tetapi bila dibaca dari sikapnya yang diam itu, bisa diduga pula bahwa pemuda tersebut telah dapat mempergunakan otaknya untuk mengekang perasaan hatinya. Apakah faedahnya melawan mereka yang sekian banyaknya itu dengan tubuh yang terluka parah seperti ini?

"Dimanakah benda itu disimpan oleh keluargamu?" laki laki berbaju putih itu bertanya lagi.

“Nah, apalah kataku.” Yang Kun membatin. Mereka semua inilah yang selama ini telah mengincar benda pusaka itu dan dia semakin yakin pula bahwa orang ini pulalah yang telah membantai keluarganya. "Benda apakah yang kaumaksudkan? Sedikitpun aku tidak memahami pertanyaanmu. Kalau yang kau maksudkan benda tersebut adalah potongan emas itu, kurasa kini kau telah memegangnya....." Yang Kun berusaha mengekang perasaannya.

“Hah! jangan berpura-pura! Tak ada gunanya berdusta di tempat seperti ini. Kaulihat di sekelilingmu, semua ini adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang biasa menyiksa orang! Tak terasakan hal itu olehmu? Mereka ini semuanya mempunyai seribu macam cara untuk dapat membuka mulutmu, tahu? Perlukah semua itu dicoba terlebih dahulu kepadamu?"

"Tetapi apa yang mesti kukatakan kalau aku memang benar-benar tak paham apa yang kau maksudkan? Kau siksa sampai sejuta kalipun aku tetap tidak tahu apa yang kau kehendaki itu. Paling hebat aku akan mati. Nah, coba katakan kepadaku! Benda apakah yang kau maksudkan itu?" dengan tenang Yang Kun menghadapi orang itu. Benar-benar dengan hati yang sangat tenang! Yang Kun sendiri sampai heran memikirkan sikapnya yang sangat tenang tersebut. Padahal kondisi tubuhnya demikian jelek, berada di mulut singa pula! Ah, inilah agaknya sikap jago silat sejati seperti yang selalu didengung-dengungkan serta selalu ditanamkan oleh paman bungsu kepadanya!

“Sebuah CAP KERAJAAN! Nah, di mana benda itu sekarang?" laki-laki itu berkata tandas. Tampak oleh semua orang betapa marah sebenarnya laki-laki tersebut.

"Cap kerajaan? Wah, apa pula itu? Baru kali ini aku mendengarnya. Sebenarnyalah kalau kukatakan bahwa aku benar-benar tidak mengetahuinya. Kurasa seluruh keluargaku juga belum pernah mendengar apalagi sampai memilikinya.....” Yang Kun mengerutkan dahinya.

Memang pemuda itu berkata yang sebenarnya. Sesungguhnyalah, sampai saat meninggalnya, ayah dan pamannya belum mengetahui, apa wujud dari benda pusaka yang diwariskan kepada keluarganya itu. Malah baru saat inilah ia mendengar tentang wujud dari benda pusaka tersebut, justru dari mulut orang lain!

"Anak bodoh! Masih berbelit-belit juga! Kau memang perlu mendapat sedikit siksaan. Tee-tok-cianpwe, tolong siksa dia agar mengaku!"

"Jangan! Jangan kalian siksa dia! Dia memang benar-benar tidak tahu-menahu tentang cap itu! Tak ada gunanya menyiksa dia, kalau kalian ingin menyiksa orang.... nah, siksalah saja aku!” tiba-tiba Hek mou-sai yang masih terikat erat itu berteriak.

Laki-laki itu mengibaskan ujung bajunya yang putih bersih tersebut ke samping, lalu dengan lagak yang angkuh ia mendongak ke arah langit langit rumah. "Siapakah dia?" katanya dingin.

Terdengar suara tertawa yang nyaring dari tempat di mana Tee-tok-ci duduk. Suara seorang wanita yang telah mencapai tingkat tertinggi dalam ilmu Iweekang. "Dia adalah Wanita, bergelar Hek-mou-sai! Dahulu merupakan salah seorang dari pengawal rahasia Kaisar Chin. Kepandaiannya memang tidak boleh dipandang rendah, terutama sepuluh jari-jari tangannya. Dia mampu membunuh lawan dari jarak sepuluh langkah!"

"Jeng bin Siang kwi (Sepasang Iblis Berwajah seribu) terima kasih!" Laki-laki berbaju putih itu menoleh, lalu ia menatap kearah wajah Yang Kun dengan tajam.

"Kau sungguh tidak kecewa mempunyai pembantu seperti dia," katanya "Tetapi aku tetap pada pendirianku. Nah, sekali lagi, katakan di mana cap itu disimpan oleh keluargamu?"

Yang Kun diam tak menjawab. "Kalian semua ini benar-benar keterlaluan sekali. Memaksa seseorang anak mengatakan apa yang tidak diketahuinya...." Hek-mou-sai berteriak kembali.

"Diam! Tee tok-ci locianpwe, silakan kau mulai!"

Orang tua yang bergelar Tee-tok-ci itu melangkah ke depan. Satu langkah saja! Tapi biarpun hanya melangkah saja, ternyata tubuhnya yang kecil itu telah berada di depan Yang Kun. Padahal jarak antara tempat duduknya dengan tempat di mana Yang Kun berdiri, lebih dari pada tujuh meter! Hal itu menunjukkan betapa hebat ilmu kepandaian orang bertubuh kecil itu sebenarnya.

“Heh-heh..... anak muda, kau sungguh sangat sial pada hari ini. Dua kali engkau jatuh ke tangan Tee-tok-ci. Pertemuan pertama engkau telah merasakan Ji-hoan Tat-beng-soa (Bubuk Pasir Pencabut Nyawa Dalam Dua Langkah) kepunyaanku. Khasiat dari bubuk beracun itu terbagi dalam dua tingkat. Tingkat pertama telah kau rasakan tapi sayang engkau keburu pingsan. Tingkat yang ke dua akan terjadi selang enam jam kemudian. Pada saat itu engkau akan merasakan kesakitan yang maha hebat, sehingga engkau tidak akan kuat menanggungnya dan... mati! Tetapi agaknya hal seperti itu tidak keburu terlaksana, karena saat ini aku akan menyiksa engkau dengan cara yang lain lagi. Dan penyiksaan yang akan kupersembahkan kepadamu kali ini akan berakhir dengan kematian! Hihihi.... lihatlah!"

Hampir saja Yang Kun mengerahkan tenaga untuk menghajar muka orang itu, apapun yang akan terjadi. Tetapi kembali otak sehatnya melarang, dia harus bersabar sampai saat yang terakhir. Siapa tahu ada jalan yang terlebih baik nanti, dari pada harus berjibaku seperti itu?

Orang itu mengeluarkan sebuah alat kecil terbuat dari kulit bambu. Alat seperti itu sering dibuat oleh para penggembala di kala senggang untuk bermain tiup-tiupan, sebab alat itu akan mengeluarkan bunyi melengking apabila ditiup. Benarlah, tak lama kemudian terdengarlah suara tinggi melengking seperti suara ribuan nyamuk yang terbang bersama-sama.

Makin lama makin tinggi, sehingga akhirnya membuat telinga merasa riuh dan sakit. Beberapa orang tampak mulai tidak tahan dan menutup telinga mereka dengan tangannya. Suara itu mengalun panjang pendek, bergetar-getar, sehingga membentuk sebuah irama yang aneh. Seperti suara sepasang nyamuk yang sedang bercanda di malam sunyi.

Seram dan ngeri. Apalagi suara itu didorong dengan Iweekang yang amat kuat, sehingga selain terasa aneh, seram, ngeri, juga sangat berbahaya. Tampak beberapa orang penjaga terpaksa keluar dari ruangan itu, sebab biarpun telinga mereka telah ditutup dengan tangan, suara itu masih saja menyakitkan gendang telinga mereka.

Semula Yang Kun merasakan juga pengaruh suara ini di telinganya, tapi begitu ia mengerahkan Iwee-kang, tubuhnya menjadi nyaman dan pengaruh dari suara itu menjadi lenyap Malah sekarang ia bisa menikmati irama yang dihasilkan oleh alat tiup sederhana itu. Tiba-tiba suara itu berhenti dengan mendadak! "Nah, permainan ini benar-benar akan saya mulai. Lihat!”

Semua orang menjadi lega kembali, karena suara yang menyakitkan itu telah hilang. Tetapi mendengar suara Teetok-ci yang mengatakan bahwa permainan justru baru hendak dimulai mereka menjadi berdebar-debar kembali. Sama sekali mereka tidak mengira bahwa irama melengking tadi ternyata cuma dipakai sebagai pembukaan saja dari penyiksaan yang sebenarnya.

Mendadak... ya... mendadak saja semua orang mendengar suara mencicit sambung- menyambung dari segala penjuru. Makin lama makin riuh dan akhirnya mereka dikejutkan oleh datangnya berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus ekor tikus ke dalam ruangan itu. Beberapa orang menjadi terkejut sehingga mereka terpaksa memukul atau menginjaknya.

Tetapi tikus-tikus itu tetap datang dengan tertib dan berkumpul di sekeliling tubuh Teo-tok-ci. Mereka saling bertumpang tindih saking banyaknya yang datang dan juga saking kepinginnya mereka berada terlebih dekat dengan orang tua itu. Sehingga otomatis orang-orang yang berada di dekatnya, seperti Chin Yang Kun, Hek-mou-sai dan laki-laki berbaju putih itu, semuanya menjadi ikut terkepung di tengah-tengah kawanan tikus tersebut.

Tetapi binatang itu benar-benar sangat tertib. Biarpun saling berdesakan di sekitar kaki mereka, tetapi tak seekorpun yang mengganggu atau berusaha untuk menyerang mereka. Dan tentu saja ketiga orang itu juga tak mau dikatakan sebagai orang penakut, sehingga biarpun merasa risih mereka tetap berdiri di tempatnya masing-masing.

“Aha, ternyata banyak juga tikus-tikus di sekitar tempat ini.” orang tua itu berkata dengan gembira. “Nah, anak muda! Lihatlah! Tikus-tikus ini dapat menjadi buas dan bisa kuperintah untuk apa saja. Lihat contohnya!" katanya pula dengan bengis ke arah Yang Kun.

Orang tua itu kembali meniup alatnya tadi dan tiba-tiba kawanan tikus itu berubah menjadi buas dan sekonyong-konyong menyerang Hek-mou-sai! Terdengar suara jeritan yang disertai tenaga khikang, sehingga gedung itu seakan menjadi bergetar mau roboh, bahkan puluhan ekor tikus yang semula menempel di tubuh Hek-mou-sai tampak terpental pergi dalam keadaan hangus.

Tapi agaknya binatang itu telah menjadi gila karena tiupan kulit bambu tersebut. Begitu mati sepuluh, datang lagi duapuluh. Mati lagi seratus, datang lagi duaratus. Begitu seterusnya, sehingga akhirnya pada jeritan yang ke enam dan ke tujuh, tak seekor tikuspun yang terpental mati! Dan kini jeritan yang keluar dari mulut Hek-mou-sai bukanlah jeritan yang mengandung khikang tetapi benar-benar suatu jeritan ketakutan.

"Haha, Sai-Cu Ho-kangnya (Tenaga Sakti Singa Mengaum) sungguh hebat! Sayang kaki tangannya terikat, sehingga tak leluasa dia mengeluarkannya!” Tee tok ci tertawa sadis.

Beberapa saat lamanya Yang Kun seperti terpesona oleh kejadian tersebut, tapi begitu terdengar suara jeritan Hek-mou-sai berubah menjadi jeritan ketakutan, ia segera menjadi sadar kembali. Kemarahan yang sejak semula selalu ditahan-tahannya kini terlepas tak terkendalikan lagi. Tanpa menghiraukan kedua belah pahanya yang sakit, ia meloncat menyerbu ke arah tubuh pengawalnya yang telah lenyap dirubung oleh kawanan tikus gila itu.

Kerumunan tikus itu tersibak ke samping, bahkan beberapa di antaranya terlempar hancur dilanggar oleh arus tenaga yang tersalur dari kedua lengan pemuda itu. Dan sebelum semuanya menyadari apa yang telah diperbuat oleh anak muda itu, anak muda itu sendiri telah berhasil mencengkeram ikat pinggang temannya dan mengangkatnya di atas kepalanya.

Disertai dengan sebuah geraman yang dasyat tubuh itu diputar-putar bagaikan sebuah baling-baling. Dan suasana di dalam ruangan itu menjadi kalang kabut, ketika puluhan bahkan ratusan ekor tikus yang semula menempel pada tubuh Hek-mou-sai itu terlempar menyebar bagai hujan ke segala penjuru.

Keadaan itu membuat Tee-tok-ci menjadi marah sekali. Sekali tubuhnya berkelebat, ia telah berada di belakang tubuh Chin Yang Kun. Dan sebelum pemuda itu sempat mengelak, jalan darah poh-ki-hiat yang berada di bawah pinggang telah kena ditotoknya hingga lumpuh. Kontan saja pemuda itu roboh menimpa tikus-tikus yang berkerumun di bawah kakinya. Sedang tubuh Hek-mou-sai yang semula dipegangnya, terlempar jatuh mengenai meja dan kursi di pinggir ruangan. Dan tubuh yang gemuk itu benar-benar sangat mengerikan keadaannya.

Biarpun belum terlanjur habis dimakan tikus tetapi tubuh itu telah penuh berselimutkan cairan darah segar. Pakaian serta rambut yang semula menempel di badannya kini sudah habis tandas tercabik-cabik taring kawanan tikus yang sangat tajam. Malah beberapa buah jari kakinya tampak ikut lenyap pula dilahap binatang-binatang menjijikkan tersebut. Hanya yang sangat mengherankan adalah keadaan tali pengikat dari tubuh Hek Mou sai tersebut. Tali itu tetap utuh seperti semula, seakan tidak mempan oleh gigitan binatang yang bergigi tajam itu.

Melihat suasana demikian. Tee-tok-ci cepat meniup alatnya yang aneh tadi. Dan sungguh menakjubkan. Kawanan tikus yang semula telah menjadi gila itu mendadak berubah menjadi jinak kembali, dengan patuh mereka berkumpul kembali di sekitar orang tua itu dan seakan-akan menanti perintah selanjutnya.

"Nah, anak muda! Sekali lagi kuberi waktu untuk berterus terang. Jawab sejujurnya pertanyaan yang telah kuajukan kepadamu tadi! Lihatlah! Apakah engkau ingin dikeroyok tikus seperti temanmu itu? Apakah engkau ingin mati dengan cara dicabik-cabik hingga tinggal tulang-tulang saja?" laki laki berbaju putih itu kembali menggertak Yang Kun.

"Pembunuh-pembunuh kejam! Lakukanlah ancaman-ancamanmu itu segera, kenapa mesti ditunda-tunda juga? Sekali kukatakan tidak tahu tetap tidak tahu!" pemuda itu menjawab tegas.

"Anak tolol! Baiklah! Nah, silakan kau lanjutkan Tee-tok-ci locianpwe!"

"Hihihi..... baiklah!” orang tua itu mengangguk kesenangan.

Ketika alat tiup yang aneh itu telah ditempelkan pada mulutnya, tiba-tiba dari atas genting meluncur sesosok bayangan yang menerjang ke arah orang tua itu. Gerakannya cepat bukan main, sehingga hampir tak seorangpun yang mengetahuinya. "Tahan!"

Tee-tok-ci berusaha mengelak, tetapi karena sama sekali tidak mengira, apalagi gerakan orang itu memang cepat sekali, maka alat tiup yang telah berada di atas bibirnya itu dapat disambar oleh bayangan itu dengan mudah. Tentu saja Tee-tok-ci menjadi marah sekali. Begitu juga semua orang yang saat itu berkumpul di tempat tersebut. Mereka bersiap siaga menghadapi pendatang baru itu.

Setelah berhasil menyambar alat tiup itu, bayangan yang mempunyai gerakan seperti kilat tersebut melayang ke arah kursi kehormatan. Tentu saja laki-laki berbaju putih itu tidak tinggal begitu saja. Entah dari mana ia mengambilnya, tahu-tahu tangannya telah memegang sebatang hio (dupa) yang telah terbakar ujungnya. Tapi begitu ia bermaksud membidik bayangan yang datang ke arah kursi kehormatan itu tiba-tiba telinganya mendengar sebuah bisikan halus.

“Kwa-heng (saudara Kwa), akulah yang datang!"

“Ong-Ya!” teriak orang berbaju putih itu dengan kaget. Semuanya tertegun di tempat masing-masing. Apalagi ketika melihat bayangan itu duduk di kursi kehormatan. Wajahnya teraling oleh kain sutera tipis yang dipasang pada topinya yang lebar, membuat dia tampak asing dan aneh. Suasana menjadi sunyi. Barulah semua tersadar ketika orang berbaju putih itu berlutut.

"Ong ya!” semuanya ikut berlutut.

"Terima kasih! Silahkan cuwi duduk kembali! Tee-tok-Ci Loheng, maafkan kekasaranku tadi. Soalnya aku tak mempunyai jalan yang lain lagi untuk menahan agar benda itu tidak terlanjur Lo-heng bunyikan."

"Ah. Ong-ya jangan terlalu sungkan." Tee-tok-ci menjawab dengan tergesa-gesa. "Aku memang terlalu suka bermain-main."

"Sekali lagi terima kasih, Tee-tok-ci Lo-heng, inilah alat tiupan yang hebat itu, silahkan kau bubarkan saja tikus-tikus ini. Biarlah aku sendiri yang menyelesaikannya. Hai penjaga! Bersihkan lagi tempat ini!"

Binatang-binatang itu serentak pergi meninggalkan tempat itu, begitu Tee-tok-ci meniup alatnya sehingga dengan mudah para penjaga membersihkan dan mengatur kembali ruangan tersebut. Mereka menggotong tubuh Hek-mou-sai yang terluka parah itu ke tengah ruangan kembali dan menutupi tubuhnya yang berdarah dengan sebuah mantel lebar.

"Ong-ya, Tee-tok-ci lo-cianpwe telah menemukan sebuah barang aneh di saku baju Chin Yang Kun. Sebuah potongan emas yang mempunyai guratan-guratan menyerupai sebuah peta," orang berbaja putih itu melapor.

"Hah? Mana barang itu?"

"Inilah, Ong-ya."

Orang yang disebut Ong-ya itu menimang-nimang potongan emas tersebut untuk beberapa lamanya, kemudian tampak kepalanya yang tertutup topi berkain sutera tipis itu menggeleng-geleng.

"Apakah benda itu ada hubungannya dengan barang yang sedang kita cari selama ini?" pembantunya yang berbaju putih itu menegaskan.

"Entahlah. Kwa-heng. Aku juga tidak mengerti. Aku belum pernah mendengar atau melihatnya pula. Tapi baiklah kita simpan saja dia. Siapa tahu ada gunanya nanti! Bagaimana dengan pengakuan pemuda itu sendiri?"

"Itulah sebabnya saya menyuruh Tee-tok-ci locianpwe untuk menyiksanya. Pemuda itu selalu mengatakan bahwa dia tidak tahu menahu soal cap yang disimpan oleh keluarganya....”

"Sudahlah, bawa dia bersama pengawalnya itu ke ruang bawah tanah! Biarlah mereka berdua mati di sana.”

"Lalu bagaimana dengan keterangan yang kita butuhkan itu, Ong-ya? Bukankah Ong-ya pernah mengatakan kepada kita bahwa benda itu disimpan oleh keluarga Chin? Padahal keluarga Chin tinggal dia saja di dunia ini."

"Kwa-heng, sudahlah! Serahkan semua itu kepadaku! Aku sudah mendapatkan sebuah jalan yang lebih baik! Marilah kita merundingkan sesuatu yang lain, yang lebih penting dari pada urusan ini!"

Orang berbaju putih itu masih ragu-ragu, tapi akhirnya ia mengangguk. "Terserah Ong-ya kalau demikian."

Chin Yang Kun dan Hek-mou-sai digotong keluar oleh para penjaga. Kali ini langsung dibawa ke ruang bawah tanah, yaitu sebuah ruangan yang khusus dibuat untuk memenjarakan para penjahat berbahaya. Keduanya diletakkan begitu saja di atas lantai yang kotor dan berlumut. Padahal mereka tidak bisa bergerak sama sekali! Yang Kun masih lumpuh akibat totokan Tee-tok-ci tadi, sedangkan Hek-mou-sai kini lebih parah lagi keadaannya.

Sementara itu sepeninggal Yang Kun dan Hek-mou-sai, mereka melanjutkan perundingan mereka. Ong ya itu memanggil pembantunya, yaitu laki-laki berbaju putih, dan yang lain-lain untuk datang lebih dekat ke tempat duduknya. "Kwa-heng, di manakah Si-ciangkun sekarang?"

"Si-ciangkun berada di gedung kepala daerah saat ini. Dia mendapat undangan untuk menghadiri perayaan yang diadakan di sana. Apakah Ong-ya memerlukan dia sekarang? Biarlah Siauw-te pergi ke sana untuk memanggilnya."

"Tak usah! Biarlah dia tetap di sana. Itu justru lebih baik buat dia kalau kita bergerak nanti. Tak seorangpun yang akan mencurigainya! Sementara kita dapat mempergunakan rumahnya sebagai tempat perlindungan yang aman."

"Bergerak? Apakah kita akan bergerak sekarang, Ong-ya? Apakah kekuatan kita telah cukup?" salah seorang dari Jeng bin Siang-kwi ikut menyela pembicaraan itu.

"Oh, tidak. Kita belum akan memulainya sekarang. Kita harus mempunyai beberapa ribu orang perajurit, jadi belum saatnya kita memulai gerakan kita."

"Kalau begitu apa maksud Ong-ya dengan gerakan itu?" beberapa orang bertanya.

"Sabarlah! Nanti akan kujelaskan juga. Tetapi Iebih dulu saya íngin mengetahui perihal beberapa buah urusan yang pernah aku mintakan tolong kepada saudara-saudara untuk menyelesaikannya .... Eh. Kwa-heng! Kwa-heng tadi berkata bahwa keluarga Chin kini hanya tinggal Chin Yang Kun seorang, benarkah itu?"

''Begini, Ong-ya. Sejak Ong-ya memberikan tugas itu kepada siauw-te, siauw-te telah berusaha dengan sekuat tenaga bersama beberapa orang teman untuk mendapatkannya. Tetapi hingga saat ini benda itu tetap belum siauw-te peroleh. Padahal kami juga telah mengusahakannya dengan berbagai macam cara, termasuk pula pesan Ong-ya bahwa kami diperbolehkan menyiksa, membunuh, memusnahkan semua keluarga itu asal benda itu kita peroleh."

"Lalu.....?" Ong-ya itu mendesak.

"Ketika kami mendatangi tempat persembunyian keluarga Chín, ternyata kedatangan kami sudah terlambat. Seluruh keluarga itu telah pergi melarikan diri. Kami hanya menemukan mayat Chin Bu, orang termuda dari Chin bersaudara. Meskipun demikian kami tetap mengobrak-abrik tempat itu guna mendapatkan benda tersebut." Tee-tok-ci ikut memberi keterangan.

"Tentu saja benda itu takkan ditinggalkan oleh mereka....."

Ong-ya itu menyela lagi. "Benar. Kami tak dapat menemukannya. Oleh karena itu kami berusaha mengejar mereka. Setelah itu agar supaya kami dapat mengetahui dengan pasti di mana sebenarnya benda itu berada, siauw-te telah menangkap beberapa orang pengawal mereka serta menyiksanya. Tetapi tak seorangpun dari pengawal itu yang mengetahuinya. Cuma dari hasil penyiksaan tersebut kami dapat menarik kesimpulan bahwa benda itu tidak mereka bawa tetapi telah disimpan entah di mana," laki laki berbaju putih itu meneruskan keterangan temannya.

"Oleh sebab itu Kwa-heng bersama para saudara yang lain akhirnya berketetapan hati untuk berhadapan langsung dengan Chin bersaudara. Hidup atau mati. Dan begitu kedua bersaudara itu tetap tidak mau mengaku, Kwa-heng lalu membunuhnya. Begitukah.....?” Ong-ya itu mengutarakan dugaannya.

"Ah, tidak demikian.....” Tee-tok-ci cepat menyanggah dugaan itu.

Orang berbaju putih itu memberi isyarat kepada Tee-tok-ci agar sedikit bersabar. Lalu dengan tenang ia meneruskan keterangannya. "Maksud kami memang begitu. Kami akan membunuh mereka semuanya apabila mereka tetap tidak mau mengaku. Tetapi sebelum rencana itu kami jalankan, tiba-tiba muncul sebuah tembok penghalang di hadapan kami...."

"Hei, tembok penghalang? Apakah itu?"

"Benar. Ong-ya." Tee-tok-ci menyahut lagi. “Kemarin malam ketika kami mulai memasuki hutan di Bukit Ular. Tiba-tiba kami berhadapan dengan beberapa orang yang berjalan mengendap-endap pula seperti kami. Ternyata mereka juga sedang memata-matai buronan kita. Agaknya orang-orang itu juga menginginkan benda pusaka itu pula. Oleh karena saling berebut mangsa, akhirnya di dalam kegelapan bayang-bayang pohon kita saling bertempur dengan seru...."

"Tapi agar kami tidak kehilangan jejak dari keluarga Chin, maka saudara Kwa telah meminta adik kami yang ke lima, yaitu Ceng ya-kang (Si kelabang Hijau) untuk berangkat lebih dahulu," salah seorang dari Jeng-bin Siang-kwi menambahkan.

"Ternyata lawan kami bertempur itu benar-benar sangat tangguh. Mereka adalah jago-jago silat kelas satu. Buktinya biar hampir setengah malaman kita bertempur secara kucingkucingan, diantara lebatnya pohon dan rimbunnya daun di hutan itu, kami tidak dapat mengalahkan mereka. Sayang demi kerahasiaan tugas itu kami tidak diperbolehkan mengeluarkan ilmu racun kita secara sembarangan. Coba...." yang lain juga turut menceriterakan pengalamannya.

Suasana di dalam ruangan itu menjadi sunyi. Masing-masing sibuk dengan angan-angan mereka sendiri. Ong-ya itu juga kelihatan termangu-mangu. Tak disangkanya suasana telah berkembang begitu pesat. Kini ternyata mereka tidak sendiri lagi dalam usaha mencari cap kerajaan itu. Beberapa orang telah tampak turut pula memperebutkannya.

"Apakah saudara bisa menduga, dari golongan manakah orang-orang itu?" tanya orang berkerudung itu.

"Sukar, Ong-ya. Selain hutan tersebut sangat gelap dan lebat, merekapun agaknya selalu menjaga kerahasiaan diri mereka," laki-laki berbaju putih itu menerangkan.

"Kalau begitu .... kini semakin sukar pula maksud kita untuk memiliki cap itu. Sekarang ternyata ada satu orang lagi yang juga menginginkannya...." Ong-ya menghela napas panjang.

"Ah, tak hanya satu orang, Ong-ya!" Jeng-bin Siang-kwi cepat memotong perkataan itu. "Ngo-sute (adik kami yang ke lima) juga menjumpai kelompok yang lain ketika dia mendahului kami....."

"Kelompok yang lain lagi? Apakah bukan anggauta kelompok yang pertama itu pula? Mungkin mereka memang menyebar....." Ong-ya itu semakin kaget.

“Bukan, Ong-ya! Orang-orang yang terlihat oleh ngo-sute itu terang bukan berasal dari satu golongan dengan orang yang sedang bertempur melawan kami itu. Sebab kebetulan ngo-sute sudah mengenal pimpinan mereka."

"Siapa.....?”

"Yap Tai-ciangkun (Panglima Yap)! Seorang panglima besar kepercayaan Kaisar Han." Jeng-bin Siang-kwi menjawab dengan mantap. "Kata ngo-sute panglima itu hanya dikawal oleh dua orang jagoan istana, seorang laki-laki dan seorang wanita."

Orang berkerudung yang selalu disebut Ong-ya oleh anak buahnya itu berdiri dengan tegang. Mantel hitam yang lebar menutupi pundaknya itu ia sibakkan ke punggung, sehingga pakaiannya yang berwarna kuning emas itu kelihatan menyolok di dalam keremangan sinar lampu.

"Yap Tai-ciangkun? Gila! Jadi kaisar sendiri juga telah ikut memperebutkan benda keramat itu?" geramnya keras-keras. Membuat semua pembantunya terdiam dan tak berani bersuara. "Jadi itukah sebabnya kenapa Kaisar Han berada di kota ini sekarang...?"

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.