Pendekar Penyebar Maut Jilid 03 karya Sriwidjono - KINI ganti para pembantunya yang menjadi terkejut! "Kaisar berada di sini?" mereka berseru hampir berbareng.
"Benar! Inilah soal penting yang akan saya rundingkan dengan saudara-saudara pada saat ini. Bukankah tadi telah saya katakan bahwa saya mempunyai sebuah persoalan yang lebih penting untuk kita rundingkan? Tapi... baiklah, sebelum persoalan ini kita rundingkan, saya ingin mendengarkan laporan saudara-saudara terlebih dahulu sehingga selesai. Nah, Kwa-heng, bagaimana akhir dan pertempuran saudara dengan kelompok pertama tersebut?”
"Begini, Ong-ya. Setelah kami pikirkan lebih lanjut, akhirnya kami merasa bahwa pertempuran itu sungguh tidak bermanfaat sebenarnya bagi kami. Oleh karena kekuatan kita seimbang, maka biar semalaman kita berkelahi keadaan tentu tidak akan berubah. Tidak akan ada yang menang ataupun kalah. Salah-salah kita justru akan kehilangan jejak buruan kita malah.
"Maka akhirnya kami mengalah dan pergi dari tempat itu. Kami berusaha mengejar Cong-ya-kang melalui tanda-tanda yang telah ditinggalkannya. Tetap ketika kami sampai di suatu tempat yang agak lapang, kami hanya mendapatkan puing-puing bekas tandu mereka serta sebuah kuburan besar dan bekas-bekas racun kelabang hijau milik ngosute!"
Tee-tok-ci menambahkan. "Tetapi di sana tidak ada seorangpun yang tinggal. Maka dengan perasaan khawatir kami membongkar kuburan itu. Jangan-jangan ngo-sute menjadi tidak sabaran dan menyerang mereka seorang diri, sehingga akhirnya kedua belah pihak sama-sama hancur. Tetapi hati kami menjadi lega ketika kuburan tersebut hanya berisi wanita, anak-anak dan para pemikul tandu saja.”
“Kemudian kami berputar-putar di hutan yang lebat dan sukar ditempuh tersebut untuk mencari ngo-sute dan sisa-sisa keluarga Chin yang masih hidup!" Jong-bin Siang kwi ikut pula menambahkan. “Tetapi kami tidak dapat menemukan mereka, sehingga kami terpaksa kembali menuju ke kota ini sesuai dengan perintah Ong-ya....."
"Tetapi kami benar-benar tidak menyangka sama sekali kalau di tengah perjalanan itu kami justru dapat menemukan buron kita yang hilang." Laki-laki berbaju putih itu melanjutkan kisahnya. "Mula mula Tee-tok ci Lo-cianpwe melihat sebuah rumah bergenting merah di tengah-tengah padang ilalang. Kami menjadi curiga melihatnya, sehingga kami bersepakat untuk pergi menengoknya. Astaga! Begitu kami memasuki pintu halaman kami menyaksikan tumpukan mayat yang masih baru, bergelimpangan di mana mana. Dan beberapa di antaranya adalah mayat dari keluarga Chin, buronan kita yang hilang itu. Kami segera memeriksanya dengan teliti tapi cap kerajaan itu tidak ada pada tubuhnya.....”
“........ dan kami menjadi bingung sekali pada saat itu." Tee-tok ci menyambung kisah itu. "Selain kami tidak bertemu dengan ngo-sute yang kami tugaskan memata-matai mereka, kami juga tidak bisa menduga apa yang sebenarnya terjadi di tempat tersebut beberapa saat yang lalu.”
"Dengan perasaan lesu kami meninggalkan tempat itu. Tugas yang dibebankan di atas pundak kami ternyata telah gagal sama sekali. Keluarga Chin telah musnah seluruhnya dan kami belum bisa mendapatkan benda yang disimpannya itu. Maka kami bermaksud menghadap Ong-ya untuk menerima hukuman...." laki laki berbaju putih itu berkata lemah.
"Benar! Kami bermaksud menghadap Ong-ya ketika tiba tiba muncul ngo-sute di hadapan kami.” Jeng bin Siang-kwi mengiyakan kata-kata yang diucapkan temannya tersebut.
"Ngo-sute lancang menceritakan semua pengalamannya setelah pergi meninggalkan kami. Dia berpendapat bahwa untuk memperoleh cap kerajaan itu kita harus bertindak lebih cepat, sebab sekarang terbukti bahwa tidak hanya kita saja yang menginginkan benda tersebut. Maka tanpa menanti persetujuan dari kami dia telah bertindak lebih lanjut dengan membuat surat ancaman kepada keluarga Chin. Dan untuk lebih mengokohkan serta lebih menguatkan bahwa surat ancaman itu tidak main-main ngo-sute telah membunuh semua wanita dan anak-anak dengan racun kelabangnya. Nah, pada saat dia menantikan hasil dari surat ancamannya itulah dia melihat Yap Tai-Ciangkun bersama dua orang rekannya melewati hutan tersebut...."
"Haha..... melihat bekas teman akrabnya lewat, ngo-sute kontan mengikutinya," Tee-tok ci meneruskan sambil tertawa.
"Benar teman akrabnya?" Ong-ya itu menegaskan.
"Benar, Ong-ya! Dahulu, ketika masih berpetualang di dalam dunia persilatan Yap Tai-ciangkun memang pernah bersahabat dan merantau bersama-sama dengan ngo-sute kami. Tapi persahabatan itu akhirnya putus akibat ulah ngo-sute yang suka membunuh orang!"
"Ah...... lalu apa yang terjadi setelah Ceng-ya kang Loheng mengikuti Yap Tai-ciangkun.....?” orang berkerudung itu menjadi tidak sabar. Laki-laki berbaju putih itu cepat-cepat menyelesaikan laporannya.
"Akhirnya Ceng-ya-kang Lo heng kehilangan jejak mereka. Begitu pula ketika ia kembali ke tempat semula, keluarga Chin telah pergi dari tempat itu! Ceng-ya-kang Lo-heng bergegas pergi menuju ke tepi Sungai Huang-ho, sesuai dengan isi dan surat ancaman yang telah dibuatnya sendiri. Tapi sampai di tempat tujuan Ceng-ya-kang Lo-heng menjadi terkejut sekali. Ternyata dugaannya salah. Ternyata Ceng-ya-kang Lo-heng tidak menjumpai keluarga Chin yang datang ke tempat itu untuk memenuhi surat ancamannya, tapi Ceng-ya-kang Loheng justru bertemu dengan Hong-gi hiap Souw Thian Hai (Pendekar Gila) yang berada di sana!"
"Hong gi-Hiap Souw Thian Hai juga berkeliaran di daerah itu?" Ong-ya itu bertanya dengan suara tinggi.
Orang-orang yang berkumpul di dalam ruangan itu semuanya memandang ke arah pimpinan mereka dengan perasaan ragu-ragu. Ragu-ragu akan kemampuan pemimpin mereka itu apabila akan berhadapan dengan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai. Soalnya nama itu memang sangat terkenal, ia menjulang tinggi di dunia persilatan. Apalagi sejak pendekar itu dapat membunuh Bit-Bo-Ong (Raja Kelelawar) pada lima tahun yang lalu. Padahal Bit-Bo-Ong tersebut adalah seorang raja di raja dari kaum sesat! Kesaktiannya tak terlawan oleh pendekar manapun, termasuk pula pendekar-pendekar angkatan tua yang biasanya sangat disegani orang.
"Menurut penuturan Ceng-ya-kang Lo-heng memang benar demikian...." laki-laki berbaju putih itu menjawab pertanyaan pemimpinnya.
"Lalu bagaimana kelanjutan dan perjumpaan mereka yang tak disangka sangka itu? Apakah mereka berdua lalu bertempur?"
"Ah, tidak Ong-ya!" Jeng-bin Siang-kwi cepat menyela, “Ngo-sute adalah orang yang sangat cerdik. Biarpun ia tidak takut. Tapi ia juga merasa bahwa dirinya bukanlah tandingan pendekar besar tersebut. Oleh karena itu ngo-sute lalu segera menghindar dari tempat tersebut dan mencari buronannya di tempat lain. Hampir seharian penuh ngo-sute berputar-putar di hutan yang lebat itu, tapi tak seorangpun dapat dijumpainya. Akhirnya menjadi putus asa dan kembali ke kota ini seperti kami. Sehingga bertemu dengan kami di tengah jalan."
“ .....dan surat tadi.... saudara-saudara sekalian, telah menerima surat pemberitahuan dari seseorang yang tak mau dikenal wajahnya, bukan? Isi surat tersebut mengatakan bahwa Chin Yang Kun, satu-satunya ahli waris dari keluarga Chin yang masih hidup, saat itu sedang menuju ke kota bersama-sama dengan salah seorang pengawalnya yang bernama Hek-mou-sai. Dalam surat itu juga dikatakan bahwa Chin Yang Kun dalam keadaan terluka parah dan Saudara-saudara dipersilakan untuk mempersiapkan sebuah jebakan guna menangkapnya. Bukankah begitu?” orang berkerudung itu melanjutkan sendiri kisah yang diceritakan oleh anak buahnya tersebut.
"Hei?” semuanya saling berpandangan.
"Ong-ya sudah tahu? Oh, surat itu tentu Ong-ya sendiri yang mengirimkan," Tee-tok ci berseru gembira. "Jadi orang yang tak mau dikenal tersebut adalah Ong-ya sendiri!”
“Bukan! Tee-tok ci Lo-heng salah menduga kali ini. Bukan aku tapi dia adalah salah seorang anggauta kita yang baru. Baru dalam arti jika dipertemukan dengan saudara semua tetapi sebenarnya dia justru merupakan anggauta perkumpulan kita yang paling lama....!"
"Eh! Siapakah dia, Ong-ya?” orang berbaju putih yang merasa paling lama menjadi pembantu Ong-ya tersebut mengerutkan dahinya.
“Kwa-heng harap bersabar dulu! Pada saatnya nanti, yaitu setelah tugas rahasia yang dilakukannya telah selesai, dia tentu akan datang dengan sendirinya di hadapan saudara-saudara untuk memperkenalkan dirinya. Nah, sekarang marilah kita membicarakan persoalan kita yang lain.....”
“Ong-ya, maafkan kami. Ternyata, kami semua benar-benar orang yang tidak berguna, sehingga selalu membuat kekecewaan di hati Ong-ya. Tugas yang demikian ringannya ternyata tidak dapat kami selesaikan dengan baik," orang berbaju putih itu menyatakan penyesalannya.
“Benar, Ong-ya! Seperti niat kami semula, kami siap untuk diberi hukuman," Jeng-bin Siang-kwi ikut pula menyatakan perasaan menyesalnya.
“Dan kami juga minta maaf atas kelakuan ngo-sute kami yang teledor dan...." Tee-tok ci menundukkan kepalanya.
"Ong-ya, maafkan siauw-te terlambat datang!" Tiba-tiba terdengar suara Ceng-ya-kang dari balik pintu. “Tee-tok-ci suheng, biarlah aku sendiri yang menerima hukuman itu!"
Pintu terbuka dan muncullah seorang laki-laki gemuk gundul memasuki ruangan itu. la memakai pakaian berwarna hijau tua, sehingga sangat sesuai dengan warna kulitnya yang putih pucat kehijau-hijauan itu. Dia mengangguk ke arah laki-laki berbaju putih sebentar lalu maju ke depan untuk menghadap orang berkerudung tersebut.
"Ong-ya. siauwte datang terlambat sebab.....”
"Sudahlah. Ceng-ya-kang Lo-heng. Lo-heng tak perlu meminta maaf kepadaku. Jika Lo heng sampai terlambat datang, itu tentu disebabkan oleh sesuatu hal yang sangat penting. Nah, silakan Lo-heng mengatakannya kepadaku!” Ong-ya itu cepat memotong perkataan Ceng-ya-Kang.
“Terima kasih, Ong-ya. Sebenarnyalah bahwa keterlambatan siauw-te ini memang disebabkan oleh sesuatu hal yang amat penting bagi kita semua.” Orang gundul itu menerangkan. "Begini, Ong-ya, Ketika sore tadi siauw-te keluar dari penginapan dan bermaksud datang ke sini, secara kebetulan siauw-te melihat Yap Tai-ciangkun lagi di antara kerumunan orang yang sedang bergembira di jalan” sambungnya sambil melihat ke arah Jeng-bin Siang-kwi.
"Kami telah melaporkan semua keterangan yang telah kau ceritakan kepada kami itu di hadapan Ong-ya." kedua wanita kembar itu memberi keterangan.
“Biarpun dia menyamar sebagai perajurit peronda siauw-te tetap mengenalnya. Seperti juga ketika siauw-te melihat dia di hutan itu, kali ini s iauw-te juga mengikutinya dari belakang. Di setiap tempat dia menemui orang-orangnya yang menyamar di antara penduduk. Berkali-kali ia berbuat demikian sehingga akhirnya siauw-te merasa kuatir terhadap keselamatan saudara-saudara kita.
"Orang-orangnya Yap Tai-ciangkun sangat banyak dan dipasang di mana-mana, seakan-akan kota ini sudah diawasinya dengan ketat. Ong-ya, ketika Yap Tai-ciangkun menyelinap melalui sebuah gang kecil dan masuk ke gedung kepala daerah dari pintu belakang, siauw-te tidak berani terlalu mendekatinya. Setelah beberapa saat kemudian, siauw-te baru berani mendekat dan rnengintip gedung itu.
"Siauwte melihat di halaman belakang berkumpul kira-kira tigapuluh orang perajurit berpakaian biasa seperti kita, tetapi dilihat sepintas lalu bisa diduga bahwa mereka rata-rata adalah seorang jago silat kelas satu! Ong-ya, siauw-te menjadi sangat khawatir sekali!
"Jangan-jangan Kaisar Han telah mencium jejak kita dan kini kaisar mengirim Yap Tai-ciangkun bersama perajurit-perajurit pilihannya ke sini untuk menangkap kita. Oleh karena itu siauw-te lekas-lekas kembali ke sini untuk melaporkan hal itu. " Ceng-Ya-kang menutup laporannya.
Suasana ruangan itu menjadi berisik. Semuanya terpengaruh oleh kekhawatiran itu. Masing-masing menyatakan pendapatnya. Orang berkerudung itu akhirnya mengangkat lengannya ke atas dan menenangkan mereka.
“Saudara-saudara sekalian, harap jangan tergesa-gesa mengambil keputusan dahulu! Kita bicarakan dan kita rundingkan laporan Ceng-Ya-kang Lo-Heng itu secara matang terlebih dahulu, baru kita menentukan apa yang sebaiknya kita lakukan nanti. Kemungkinan apa yang dikhawatirkan oleh Ceng-ya-Kang Lo-Heng tersebut benar juga tetapi mungkin juga tidak benar! Seperti yang saya katakan sejak tadi, bahwa Kaisar Han saat ini berada di kota ini tanpa diketahui siapapun juga.
"Artinya, kaisar itu telah datang ke kota Tie-Kwan ini secara rahasia. Dan apabila hal itu memang benar, maka kita tak usah heran kalau penjagaan di kota ini menjadi diperketat. Tapi untuk mendapatkan keterangan yang lebih jelas, marilah kita tunggu kembalinya Si Ciangkun dari rumah kepala daerah...!”
Belum juga kata-kata yang diucapkan oleh Ong-ya itu selesai, tiba-tiba terdengar ramai suara langkah kaki di luar.
"Ong-ya! Ong-ya!" dari luar pintu menerobos seorang perwira muda dengan terburu-buru, sehingga semua orang yang berada di dalam ruangan itu menjadi kaget sekali. Apalagi ketika mereka tahu bahwa perwira muda tersebut adalah pengawal kepercayaan dari Si-Ciangkun!
"Liok Cian-bu (kapten Liok), ada apa?” Orang berbaju putih itu cepat menahannya.
“Kwa-Sicu... ah Ong-Ya! Anu... anu.... semuanya lekaslah pergi dari sini! Si... Si Ciangkun telah ditangkap oleh Yap Tai-Ciangkun atas perintah dari Kaisar!” teriaknya. Suasana di dalam ruangan itu menjadi ribut seketika!
“Saudara-saudara sekalian, dengarlah....!” orang berkerudung itu membentak. Tidak begitu keras tetapi semuanya menjadi terdiam pula seketika. Rasa-rasanya seperti ada halilintar yang meletus di dalam gendang telinga mereka! Semuanya berdiri diam termangu-mangu, heran, kagum, takut dan juga sedikit harapan melihat kemampuan Ong-ya mereka yang hebat itu.
"Saudara semua harap tenang! Jangan terburu nafsu untuk lekas-lekas pergi dari tempat ini karena dengan terburu nafsu dan tanpa mampergunakan otak, lawan dengan mudah akan membunuhi atau menangkap kita! marilah kita atur dulu cara-cara kita untuk meloloskan diri!”
Benarlah, melihat ketenangan pemimpin mereka itu, semuanya menjadi terpengaruh pula. Mereka lalu bersiap-siap membenahi pakaian serta senjata masing-masing.
"Pertama-tama, silakan saudara menutup wajah masing-masing dengan saputangan! Setelah itu kita membagi diri kita menjadi empat kelompok. Tiap kelompok masing-masing akan dipimpin oleh Kwa-heng Tee-tok ci, Jeng-bin Siang-kwi dan Ceng-ya-kang. Masing-masing kelompok nanti harus berlari menuju ke arah yang berlainan, yaitu utara, selatan, timur dan barat! Jangan berpencar dari kelompok masing-masing dan jangan bertempur sendiri-sendiri! Usahakanlah mendobrak setiap penghalang secara bersama-sama dalam kelompok!
Musuh tentu tidak akan mengira dan dengan mudah kepungan akan bobol! Kemudian berusahalah berlari ke arah kerumunan penduduk yang sedang berpesta ria di jalanan, lalu berbaurlah bersama mereka! Berbuatlah agar penduduk itu menjadi panik dan ketakutan, sehingga suasana akan menjadi kacau-balau!” Ong-ya itu mengambil napas sejenak.
“Kulihat di muka dan dibelakang gedung ini adalah jalan besar. Disana tentu banyak penduduk yang bersuka-ria, sehingga dengan cepat kita akan dapat membaurkan diri dengan mereka. Tetapi pintu depan dan pintu belakang tentu akan dijaga dengan lebih kuat pula sedangkan di kanan kiri gedung ini merupakan perumahan penduduk. Selain medannya sukar, juga banyak waktu untuk mencapai jalan raya.
Maka kelompok yang berjalan ke arah ini harus mempunyai ginkang dengan baik. Masing-masing pemimpin kelompok harus bertanggungjawab terhadap anggauta kelompoknya. Dia harus membantu sekuat tenaga agar semua anggauta kelompoknya dapat meloloskan diri semuanya! Nah, sekarang silakan memecah diri menjadi empat kelompok!
Cepat! Ingat, yang merasa mempunyai ginkang lebih baik silakan berkumpul di belakang Tee tok ci dan Jeng-Bin Siang-Kwi untuk berlari ke arah perumahan penduduk!” kembali Ong-ya itu menghela sebentar. Lalu seperti layaknya seorang Jenderal perang yang berpengalaman ia kembali mengatur anak buahnya.
“Liok Cian-bu! Saudara masih sangat diperlukan bagi kita semua, terutama setelah Si Ciangkun yang menjadi andalan kita disini telah ditangkap kaisar. Oleh karena itu untuk mengelabui mereka, biarlah saudara saya lukai sedikit dan kami masukkan di ruang penjara belakang!”
Untuk beberapa saat orang-orang yang berada di dalam ruangan itu menjadi kagum atas siasat yang telah diberikan oleh Ong-ya mereka. Semula mereka memang hanya mengagumi ketokohan dan kepemimpinannya, sehingga orang-orang aneh seperti Tee-tok-ci dan adik-adik seperguruannya dan Ban kwi-to itu menjadi tunduk serta mau diajak bekerjasama. Kini melihat pemimpin mereka itu juga mahir ilmu Siasat perang pula, otomatis mereka semakin menjadi kagum dan takluk lahir batin! Maka dengan hati yang semakin santai mereka melaksanakan semua perintah tersebut.
Dan mulailah mereka satu-persatu keluar dari ruangan itu. Mereka mengendap-endap melalui lorong-lorong kamar, yang berbelit-belit menuju ke arah masing-masing. Sementara itu Ong-ya tersebut membawa Liok Cian-bu ke penjara belakang setelah pundaknya ia tusuk dengan jari-jarinya yang ampuh! Benarlah! Seperti yang telah diduga oleh orang berkerudung tadi, gedung itu telah dikepung oleh pasukan Yap Tai-ciangkun. Mereka telah berjejer-jejer dengan garangnya di sekeliling rumah tersebut.
Agaknya Yap-Tai ciangkun juga telah mempersiapkan pasukannya agar pertempuran itu tidak merembet ke tempat lain. Beberapa orang prajurit tampak memegang obor besar untuk menerangkan halaman yang amat luas. Yap Taiciangkun berdiri tampak berada di halaman depan, duduk dengan gagah diatas punggung kudanya. Di bawahnya berdiri seorang prajurit yang berdiri tenang dengan pedang telanjang di tangannya.
Orang she Kwa yang kebetulan membawa kelompoknya ke arah depan tampak mempersiapkan diri untuk menerjang ke halaman. Kelompok mereka hanya memerlukan jarak lima puluh meter untuk mencapai jalan raya. Sebuah jarak yang tidak begitu jauh tetapi harus mereka lalui dengan taruhan nyawa.
Di bagian belakang, kelompok Ceng ya kang telah dicegat lawan di taman bunga. Mereka harus melawan kira-kira tigapuluh orang perajurit yang dipimpin oleh seorang perwira bergolok besar. Ceng-Ya-kang membawa teman-temannya bertempur sembari berlari-lari mengelilingi taman. Mereka menerobos rumpun bunga, berputar-putar di pinggir kolam dan bersembunyi di dalam gardu-gardu yang banyak terdapat di sana, sehingga perajurit-prajurit itu menjadi kalang kabut.
Apalagi lampu minyak yang ada di di tempat tersebut terasa kurang sekali daya sinarnya. Maka dalam waktu yang tidak terlalu lama mereka segera dapat mencapai pintu belakang. Tinggal selangkah lagi mereka akan dapat lolos dari tempat itu. Di Luar Tembok telah terdengar sorak-sorak penduduk yang merayakan hari besar tersebut.
Tee tok ci yang memimpin teman-temannya menuju ke arah barat tampak membuat ulah yang aneh-aneh untuk menolong anggota kelompok. Sekali lagi ia mendorongkan pasukan tikusnya sehingga di dalam keremangan cahaya obor pihak lawan dibuat kalang kabut oleh teman-teman yang merayap ke dalam baju-baju perang mereka. Tentu saja kesempatan itu segera dipergunakan oleh teman-teman Teetok-ci untuk meloloskan diri. Mereka meloncati tembok halaman yang tidak begitu tinggi dan menyusup di antara perumahan penduduk yang padat.
Pertempuran di halaman sebelah Timur tampak lebih seru dan sadis, lebih kurang tigapuluh orang perajurit yang berjaga di sana tampak memperlengkapi diri mereka dengan busur dan anak panah. Begitu Jeng-bin Siang-kwi memimpin teman-temannya turun ke halaman, mereka disambut dengan hujan anak panah. Terpaksa kedua orang kembar itu memerintahkan teman-temannya untuk berlindung kembali kedalam gedung.
"Gila! Harus melayani anak-anak panah mereka kita bisa ketinggalan oleh teman-teman kita yang lain...“ Jeng-Bin Sam-nio berkata pada adiknya Jeng-bin Su-nio. “Lalu apa akal kita?"
“Cici, kita terpaksa mempergunakan bedak-bedak beracun kita. Kalian tidak, kita akan terlalu banyak kehilangan waktu.”
“Baiklah, apa boleh buat. Nah, Saudara semua kumpulkan anak panah yang berada di luar itu dan berikan kepada kami!”
Perintah Jeng-Bin-Sam-nio kepada yang lain. “Cici akan mengikatkan sebuah kembang api pada setiap kepala anak panah ini, bukan?” tanya Jeng Bin Su-nio setelah mereka dapat mengumpulkan puluhan anak panah.
“Benar! Nah, kau bantulah aku untuk memegangnya!” Sepasang saudara kembar itu kemudian sibuk mengeluarkan seikat kembang api serta memasangnya sekalian.
“Kita pancing sekali lagi agar mereka melepaskan anak panah. Dan sementara mereka belum sempat memasang anak panah yang lain, kita harus cepat-cepat melemparkan anak panah itu ke tempat mereka. Mengerti?” Jeng bin Su-nio memberitahu teman-temannya. Lalu dengan cekatan ia membagi anak panah tersebut dengan adil.
Mereka meloncat ke halaman bersama-sama begitu hujan anak panah berhamburan di udara mereka segera berlindung kembali. Tetapi begitu semua anak panah itu mengenai tembok gedung, mereka serentak keluar untuk melemparkan anak panah yang mereka bawa. Biarpun tanpa memakai busur, tetapi oleh karena mereka itu rata-rata adalah seorang ahli silat berkepandaian tinggi.
Maka daya luncur daripada anak panah tersebut justru lebih pesat daripada bidikan para prajurit itu. Suaranya berdesing memenuhi udara, sehingga mengagetkan para prajurit itu sendiri. Di antara berkelipnya bintang di langit mereka melihat berpuluh puluh batang anak panah melesat ke arah mereka. Para perajurit itu menjadi panik.
"Mundur! Cepat....!” komandan mereka berteriak.
Terlambat. Mereka tidak menyangka sejak semula bahwa mereka akan dibalas dengan batang anak panah mereka sendiri, sehingga keadaan malah membuat mereka tercenung tak tahu apa yang harus mereka perbuat. Maka bersamaan dengan jeritan beberapa orang perajurit yang tertembus panah, Jeng-bin Siang Kwi meloncat ke depan bersama teman-temannya untuk melewati penjagaan yang kacau balau itu.
Prajurit-prajurit yang lain yang terhindar dari ujung anak panah bergegas membidikkan panahnya ke arah lawan yang berlari mendatangi. Tetapi belum juga busur itu terpentang lebar, mereka dikagetkan sekali lagi dengan suara letusan beruntun di sekitar mereka berdiri, lalu tampak sinar gemerlapan memancar ke sana kemari di sela-sela tubuh mereka. Bau belerang bercampur dengan wangi yang sangat lembut menyelimuti udara dimana mereka berdiri. Dan belasan perajurit tampak roboh pula ke tanah, menimpa teman-teman mereka yang terkena anak panah.
“Awas! Gas beracun! Jangan bernapas dulu!" komandan perajurit itu berteriak memperingatkan teman-temannya.
Tetapi sekali lagi mereka telah terlambat. Lebih dari separuh perajurit itu sudah terlanjur menghisapnya, sehingga tak lama kemudian merekapun ikut roboh ke tanah. Suasana benar-benar menjadi kacau balau! Beberapa orang perajurit yang masih dapat bertahan terhadap gas beracun itupun ternyata tidak dapat menyelamatkan diri pula.
Lawan yang telah sampai di tempat itu segera membantai mereka dengan senjata yang dibawanya. Keributan yang terjadi di halaman timur tersebut terdengar pula oleh orang berbaju putih dan rombongannya. Teriakan kemenangan dari kawan-kawan mereka itu ternyata menggugah semangat mereka. "Kwa-sicu, kenapa ragu-ragu? Marilah kita menerobos kepungan itu, jangan sampai kita menjadi orang terakhir yang meninggalkan gedung ini,” salah seorang kawannya berkata dengan tak sabar.
"Baiklah! Tapi saudara-saudara harap berhati-hati! Usahakan jangan sampai bentrok dengan prajurit yang berdiri di samping kuda Yap Tai-Ciangkun itu!” pesan orang she Kwa kepada teman-temannya.
Dan ketika semuanya memandang kepadanya dengan pandang mata bertanya-tanya, Orang berbaju putih itu segera menerangkan. "Saya curiga kepada perajurit itu. Serasa pernah aku melihatnya, tapi sayang aku lupa mengingatnya. Tapi yang terang dia tentu bukan orang sembarangan! Dialah sebetulnya yang lebih berbahaya dari pada Yap Tai-ciangkun sendiri. Hehh, marilah kita keluar sekarang!”
Mereka menghambur keluar pintu. Dengan senjata yang teracung ke depan mereka berlari melintasi halaman, ke arah lawan yang berlari menyongsong mereka pula. Para perajurit tersebut langsung mengepung ketujuh orang yang bermaksud melarikan diri itu. Denting suara senjata mereka yang beradu sama lain terdengar berkumandang memenuhi halaman yang luas itu.
Walaupun mereka itu adalah perajurit-prajurit yang sangat terlatih serta pandai silat pula, tetapi menghadapi ketujuh orang kang-ouw yang rata-rata berkepandaian tinggi itu akhirnya menjadi kocar-kacir juga. Kepungan itu makin lama semakin melebar.
“'Kepung dengan tombak!” tiba-tiba Yap Tai-ciangkun berteriak dari luar kepungan. “Desak mereka kembali!"
Duapuluh orang perajurit bertombak berlari ke depan, menggantikan teman-teman mereka. Dengan mata tombak yang teracung ke depan mereka mendesak ketujuh orang itu kembali ke tempat semula. Orang berbaju putih dan teman-temannya berusaha menggempur bersama-sama, tetapi mereka menghadapi puluhan ujung tombak yang menahannya. Sehingga akhirnya mereka sendirilah yang kini terombang-ambing di ujung tombak lawan.
Orang berbaju putih itu menggeram, dia bersama rombongannya kini berada dalam bahaya. Beberapa kali ia harus menyelamatkan teman-temannya yang tergencet oleh kepungan lawan beberapa kali pula ia harus mengeluarkan jurus simpanan dari perguruannya.
"Ilmu silat yang hebat!”' Lagi-lagi terdengar suara dari luar kepungan.
Ketika mendadak salah seorang kawannya jatuh tertusuk tombak lawan, orang berbaju putih tak bisa mengendalikan diri lagi. Apalagi kawan yang roboh itu justru kawan yang bersemangat tadi. Maka dari itu, sambil berteriak keras orang itu meloncat tinggi-tinggi ke udara. Lalu entah dari mana ia mengambilnya tapi tahu-tahu pada dua belah telapak tangannya telah tergenggam sebongkok hio (dupa) yang telah menyala di setiap ujungnya.
Dan ketika kedua belah tangan itu terayun ke bawah, maka seperti juga derasnya tetes hujan yang menimpa bumi, batang-batang hio itupun tampak berhamburan ke bawah menimpa kepala para pengepungnya. Terdengar jeritan-jeritan kesakitan ketika belasan orang yang tertembus batang hio itu roboh berkelojotan di tanah. Otomatis kepungan itu menjadi berantakan dengan sendirinya. Dan kesempatan ini langsung di pergunakan oleh orang berbaju putih bersama teman-temannya untuk meloloskan diri.
"Berhenti!" Terdengar suara geram di belakangnya ketika orang berbaju putih itu menunggu temannya yang terakhir melompati pagar tembok. Belum sempat pula orang berbaju putih itu menoleh ke arah musuhnya, serangkum angin pukulan yang sangat kuat telah menerjang punggungnya. Tak ada kesempatan untuk mengelak lagi. Maka sambil membalikkan badan, orang berbaju putih itu mengerahkan tenaga dalamnya ke arah lengan untuk membentur kekuatan lawan.
Dukkkk! Dua buah tenaga dalam yang berlainan sifatnya telah saling membentur dengan hebatnya. Orang berbaju putih itu jatuh terduduk di tanah, sementara penyerangnya yang ternyata adalah Yap Tai-ciangkun sendiri itu terlempar jauh menimpa anak buahnya. Keduanya cepat berdiri kembali dan masing-masing mengusap darah yang menetes dan sudut bibirnya.
Ternyata dalam benturan keduanya sama-sama terluka, biarpun agaknya luka yang di derita oleh Yap Tai-ciangkun sedikit lebih parah daripada luka lawannya. Hal itu dapat menjadi bukti bahwa Iwee-kang orang berbaju putih tersebut sedikit lebih kuat daripada tenaga dalam Yap Tai-ciangkun.
Sekilas orang berbaju putih itu menoleh ke arah pagar tembok yang berada di dekatnya. Tempat itu telah kosong. Orang terakhir dari anggauta kelompoknya telah berhasil meloncat keluar pula kini hanya tinggal dirinya sendiri saja yang harus berusaha untuk meloloskan diri dan tempat itu. Untuk sesaat tampak hatinya menjadi lega. Tetapi begitu melihat Yap Tai-ciangkun dan para perajuritnya telah mengepung dirinya kembali, ia menjadi marah dan mengumpat-umpat di dalam hati.
Apa boleh buat, orang itu mengeluh di dalam hatinya. Darah telah terlanjur tumpah membasahi tangan mereka, tak mungkin mereka akan berdamai kembali. Satu satunya kesempatan hanyalah bertempur mati-matian melawan mereka.
"Saudara, kami tahu bahwa saudara tak mungkin mau menyerah begitu saja kepada kami. Saudara tentu akan melawan sampai titik darah penghabisan sebagai seorang laki-laki sejati. Nah, marilah kita mulai!” Yap Tai ciangkun menantang.
Ternyata panglima yang bernama besar itu tidak sungkan-sungkan lagi. Pedangnya terjulur lurus kearah dada lawan dalam jurus Wan-Ong Kai-ko (Raja Kera mempersembahkan Buah). Jurus ini sebenarnya adalah sebuah jurus yang sederhana, tetapi dimainkan oleh Yap Tai-ciangkun ternyata menjadi sangat ampuh dan hebat! Ujung Pedang itu tampak bergetar menjadi beberapa buah banyaknya, sehingga sepintas lalu sangat sukar untuk menduga arah tujuannya.
Tapi orang berbaju putih itu juga bukan orang sembarangan pula. Hanya dengan bergeser sedikit ke samping ternyata serangan itu telah hilang keampuhannya. Setelah itu tangannya melolos ikat pinggang yang dikenakannya dan diayun ke depan dengan keras. Tapi ternyata panglima itu sangat cerdik, bukannya mundur tapi justru melingkar maju malah. Sehingga serangan orang berbaju putih itu menjadi sia-sia.
Mereka berdiri berhadapan kembali. Sebentar kemudian kedua orang itu telah terlihat dalam pertempuran yang sangat seru. Mereka sama-sama muda, sama-sama berkepandaian tinggi dan sama-sama bersemangat besar. Sepuluh jurus, duapuluh jurus telah berlalu tapi mereka masih tetap seimbang. Masing-masing masih menyimpan ilmu andalan mereka. Meskipun begitu, para prajurit yang berada di sekitar mereka telah dibuat kagum oleh kegesitan mereka.
Akhirnya orang berbaju putih itu menjadi tidak sabar lagi. Dia telah kehilangan banyak waktu dan hal ini tidak boleh berlarut-larut. Mungkin kawan-kawannya dari kelompok lain telah dapat meloloskan diri semuanya. Oleh karena itu dengan berseru keras ia mengubah cara bertempurnya.
Para prajurit yang mengepung tempat itu tiba-tiba merasakan sesuatu yang asing dan aneh. Hawa malam itu tiba-tiba saja seperti bertambah dingin dan semakin dingin, sehingga prajurit yang berdiri di deret paling depan tampak menggigil kedinginan. Langit yang semula tampak bersih bertaburkan bintang itu lama kelamaan seperti berubah menjadi kelam dan semakin kelam juga, sehingga akhirnya udara di sekitar merekapun rasa-rasanya berubah menjadi gelap pula.
Suara ribut dan ramai yang tadi terdengar oleh telinga mereka tiba-tiba saja juga lenyap, sehingga suasana di sekitar mereka kini seperti berubah pula menjadi sunyi sepi! Tapi suasana itu belum begitu menggetarkan perasaan mereka. Yang lebih menggetarkan hati mereka justru perubahan yang terjadi di arena pertempuran di depan mereka. Tampak oleh mereka semua, suatu pemandangan yang aneh tapi juga terasa mengerikan!
Orang berbaju putih itu tampak bersilat dengan cara yang sangat aneh dan mengerikan. Belum pernah selama hidup mereka menyaksikan sebuah ilmu silat sedemikian asing dan aneh seperti itu. Biasanya gerakan kaki dan tangan merupakan unsur yang terpenting serta amat dibutuhkan di dalam setiap ilmu silat.
Tak sebuah ilmu silatpun di dunia ini yang tak mempergunakan tangan serta kaki sebagai gerakan pokoknya. Tetapi sungguh lain halnya dengan ilmu silat yang kini sedang mereka saksikan! Orang berbaju putih itu bersilat dengan cara yang amat mustahil. Kaki dan tangannya hampir tak pernah dipergunakan. Tubuh berdiri tegak dengan kaki dan tulang punggung yang lurus kaku. Kedua belah lengannya selalu tampak bersilang di depan dadanya. Sehingga sepintas lalu sikapnya itu tak ubahnya dengan sikap sesosok mayat yang telah siap untuk dikebumikan.
Tidak hanya bentuk dan sikapnya yang aneh tapi ternyata gerakan yang dilakukannyapun sangat aneh pula. Badan yang lurus kaku seperti mayat itu selalu berdiri bergoyang-goyang pada ujung jari kakinya. Bergoyang-goyang ke kanan dan ke kiri, ke muka dan ke belakang, seperti sebatang tonggak yang mau roboh. Kadang-kadang berloncatan seperti sesosok mayat yang berjalan.
Anehnya tak sebuahpun serangan yang dilontarkan oleh Yap Tai ciangkun dapat mengenai sasarannya, biarpun panglima itu telah mengerahkan seluruh kekuatannya pula. Malah beberapa saat kemudian ketika mayat itu sudah mulai melakukan serangan balasan, tampak Yap Tai ciangkun mulai mengalami kerepotan. Beberapa kali panglima itu harus berloncatan kesana kemari untuk menghindari serangan lawannya. “Ilmu hitam… heh… ilmu apakah ini?” serunya.
“Inilah ilmu silat Mayat Mabuk yang baru saja selesai kupelajari. Beruntunglah engkau dapat melihatnya,” orang berbaju putih itu menjawab. “Sengaja ilmu ini kukeluarkan di hadapanmu karena dengan demikian tak seorangpun dapat mengenali diriku. Lain halnya jika aku harus mengeluarkan ilmu perguruanku yang lain…”
Para prajurit yang telah dicekam kengerian itu hampir saja menjerit ketika sekali lagi tampak oleh mereka serangan mayat itu hampir saja mengenai dada panglima mereka. Terlihat oleh mereka serpihan baju perang dan kain baju panglima mereka bertebaran tertiup angin. Ternyata kedua tangan mayat itu berhasil menerobos pertahanan Yap Tai-ciangkun dan hampir saja melukainya.
Sedang panglima itu seperti terkejut melihat kehebatan ilmu silat lawan. Begitu pula seluruh prajurit yang berada di sekitar mereka. Mereka seperti tertegun memandang ke arah panglima mereka yang nyaris terkena serangan lawannya. Dan waktu yang hanya sesaat itu ternyata tidak dilewatkan begitu saja oleh mayat tersebut! Dengan teriakan yang mendirikan bulu roma, mayat tersebut meluncur menerjang kepungan para prajurit.
Bagaikan sebuah bendungan yang dihantam oleh gelundungan batru besar, kepungan itu menjadi jebol dan roboh berantakan. Tapi sebelum mayat itu sempat mencapai tembok, tampak seorang prajurit meluncur pula dengan tangkas menghadangnya.
"Jangan tergesa-gesa melarikan diri! Tunggu dulu, pertempuran belum selesai! Yap Tai-ciangkun juga belum mengeluarkan ilmu simpanannya!" teriak perajurit itu sambil memukul ke depan. Terdengar suara gemuruh seperti badai ketika pukulan itu melanda ke arah mayat di depannya.
Sejak semula orang berbaju putih itu memang selalu berjaga-jaga terhadap perajurit yang dicurigainya itu. Dan kini ternyata dugaannya memang benar. Dari suaranya yang bergemuruh itu diduga bahwa pukulan tersebut tentu mengandung tenaga dalam yang telah sampai pada puncaknya. Ia bermaksud meloncat mundur untuk menghindari pukulan itu.
Tetapi bila diingat bahwa dengan berbuat begitu sama saja dengan menyerahkan dirinya kembali untuk dikepung para perajurit itu, ia menjadi berubah pikiran! Apa boleh buat, akhirnya ia toh harus mempergunakan salah satu dari ilmu simpanannya. Kalau tidak ia akan mati oleh pukulan lawan secara sia-sia.
Hanya beberapa detik saja orang berbaju putih telah mampu menghimpun tenaga sakti Hio-Yen Sin-kang (Tenaga Sakti Asap Hio) dari perguruannya! Lalu dengan disertai bentakan yang keras tangannya terulur ke depan untuk memapaki pukulan lawan yang menderu-deru itu. Bau asap hio tersebar dari tubuhnya.
Bhlaaaaar! Bagaikan layang-layang putus tubuh orang berbaju putih itu terpental balik dengan luka dalam yang cukup parah. Tapi sebelum tubuhnya menyentuh tanah, tiba-tiba terasa tubuhnya telah disanggah oleh sepasang lengan yang sangat kuat.
“Kwa-heng, jangan terlalu sembrono! Belum saatnya saudara menandingi pukulan Thian-Lui-gong-ciang (Pukulan Tangan Kosong Halilintar) orang itu. Marilah kau pegang tanganku, kita keluar dari tempat ini!” terdengar suara pemimpinnya dengan jelas.
“Terima kasih, Ong-ya!”
Dan suatu pemandangan yang menakjubkan kembali tampak di depan mata para prajurit itu. Orang yang datang seperti setan saking cepat gerakannya, yang kemudian menolong orang berbaju putih itu, kini melambung tinggi ke udara dengan tangan menggandeng temannya. Ginkang yang diperlihatkannya benar-benar hebat dan sempurna sehingga tubuh itu seperti melayang-layang tanpa menggerakkan kaki dan tangan sedikitpun.
“Bu-eng Hwe-teng (Loncat Terbang Tanpa bayangan)!” prajurit yang mempunyai pukulan Thian-lui-gong-ciang tadi berteriak tak terasa. Tubuhnya yang tegap itu tampak bersandar pada tembok. Ternyata iapun menderita luka dalam akibat mereka beradu pukulan tadi, biarpun tubuhnya tidak begitu parah seperti lawannya. Tetapi untuk mengerahkan tenaga lagi, rasa-rasanya harus membutuhkan waktu istirahat sejenak.
Maka ketika dilihatnya iblis berkerudung itu terbang ke atas tembok membawa orang berbaju putih, ia tak mampu berbuat apa-apa. Sebenarnya bisa saja ia nekad menyerang, tetapi melihat kemampuan lawan yang begitu hebat ia merasa bahwa hal itu tidak akan ada gunanya. Salah-salah apabila orang itu malah berbalik menyerang dirinya, mungkin ia yang masih belum bersiap diri itu justru akan mengalami kesukaran.
“Lempar dia dengan tombakkkkkk....!” tiba-tiba terdengar aba-aba dari Yap Tai-ciangkun mengatasi kepanikan itu.
Puluhan batang tombak meluncur dengan deras kearah punggung kedua orang itu. Tapi orang berkerudung itu sedikitpun tidak mengacuhkannya, ia malah merangkul kawannya yang terluka sehingga mantel hitamnya yang lebar itu menutup keduanya. Terdengar suara benda patah ketika puluhan tombak itu mengenai tubuh yang tertutup mantel tersebut. Orang yang melihatnya menjadi melongo tak habis mengerti. Kedua orang itu lenyap dibalik tembok tanpa menderita luka sedikitpun! para prajurit itu justru mendapatkan senjata tombaknya dalam keadaan patah-patah.
“Lagi-lagi sebuah ilmu iblis!” mereka bergumam dalam hati.
“Bukan ilmu iblis!” perajurit yang mahir pukulan Thian-lui-gong-ciang itu menjelaskan. "Itulah mantel pusaka yang tak mempan senjata, milik seorang iblis yang hidup pada kira-kira delapan puluh tahun yang lalu. Ahh, agaknya sejarah akan berulang kembali...."
"Suheng, apakah engkau terluka?" Yap Tai-Ciangkun menghampiri perajurit yang terluka itu.
"Jangan khawatir, aku hanya luka ringan saja. Perintahkan saja perajurit-perajuritmu untuk mengurus teman-temannya yang terluka! Kita pergi dulu untuk melihat bagian yang lain....!” jawab kakak seperguruan Yap Tai-ciangkun yang menyamar sebagai perajurit biasa itu.
Bukan main kagetnya mereka berdua ketika melihat keadaan para perajurit yang berjaga di sebelah barat dan timur gedung. Ternyata keadaan di situ lebih parah daripada di tempat mereka sendiri. Keduanya bergegas menuju ke bagian belakang, dimana penjagaan lebih diperkuat seperti mereka lakukan di bagian depan.
Perwira yang bertugas ditempat itu cepat menyongsong mereka dengan ketakutan. Wajahnya pucat pasi. Keadaan di bagian belakang ternyata tidak lebih baik dari pada di bagian lain tampak belasan perajurit terkapar berserakan di tanah. Seorang laki-laki brewok (berjanggut lebat) kelihatan sedang memeriksa seorang perajurit yang terluka dibantu oleh seorang gadis yang berparas cantik sekali.
Yap Tai Ciangkun menjura kepada orang berjanggut itu tapi orang tersebut cepat mencegahnya dengan menaruh jari telunjuk di bibirnya! Maka panglima itu segera berpaling kembali ke arah perwira yang ketakutan tersebut. "Apa yang telah terjadi di sini? Katakan!"
"Tai-ciangkun, penjahat itu tidak lebih dari pada tujuh delapan orang sebenarnya. Tapi mereka benar-benar berilmu tinggi dan berbahaya. Taman ini sungguh sangat gelap dan mereka itu pandai bermain kucing-kucingan, sehingga tanpa kami ketahui mereka telah berada di tembok belakang ini.
Untunglah datang nona Ho bersama gurunya menghadang mereka. Kami semua bertempur serta membantu nona Ho melawan penjahat itu. Dua orang di antara penjahat itu akhirnya dapat dibunuh oleh Ho-siocia! Tapi agaknya hal itu membuat kepala penjahat tersebut menjadi sangat marah.
Ketika orang itu mula-mula meludah kesana kemari, kami hanya beranggapan bahwa hal itu dilakukan oleh orang tersebut saking tak kuat menahan kemarahannya. Tak kami sangka akhirnya sungguh amat mengerikan! Siapapun yang telah terkena percikan ludah itu tidak berapa lama kemudian jatuh ke tanah dan tewas. Akhirnya Nona Ho menyuruh kami mundur, sehingga nona Ho bersama gurunya menghadapi mereka hanya berdua saja.....”
“Bodoh! Kenapa kau biarkan .... eh... nona Ho melawan mereka sendirian? Apakah engkau tidak tahu kalau nona Ho itu adalah murid kesayangan dari baginda kaisar? Apa jawabmu jikalau dia sampai terluka? Apakah engkau berani berhadapan dengan kaisar?"
"Hamba tidak berani.... hamba tidak berani!" sahut perwira itu gemetar.
"Yap Tai-ciangkun, maafkanlah kami. Kami harap paduka tidak memarahi perwira ini. Kalau dipikir kamilah sebenarnya yang bersalah. Coba kami tidak turut campur dengan menghadang penjahat-penjahat itu, kami kira takkan ada korban seperti ini. Padahal akhirnya kamipun terpaksa melepaskan juga....." nona cantik itu berusaha menolong si perwira.
"Tetapi bagaimana kami harus bertanggung jawab kepada baginda nanti?" Yap Tai-ciangkun berkata seraya menoleh ke arah laki-laki brewok yaag masih sibuk memeriksa perajuritnya.
"Yap Tai-ciangkun, kukira paduka tak usah merasa resah di dalam hati. Baginda tentu akan memaklumi pula keadaan ini. Tapi agaknya paduka telah salah menilai lawan sebelumnya, sehingga mengakibatkan banyak korban di antara perajurit-prajurit paduka serta para penduduk...." laki-laki brewok itu berkata hormat.
“Oh?! Ada korban di antara penduduk.....?” panglima itu tersentak kaget.
"Silakan paduka lihat di jalan itu...! Penjahat-penjahat itu banyak membunuh penduduk yang sedang bersuka-ria untuk mengacaukan suasana. Sehingga para penjaga yang secara diam diam paduka taruh di segala tempat juga tidak mampu menanggulanginya."
"Lo-heng benar! Agaknya aku memang tidak berbakat untuk menjadi panglima perajurit. Aku kurang mahir dalam ilmu siasat perang, aku hanya pandai berkelahi saja, Baiklah, aku lebih baik menghadap baginda kaisar untuk mengembalikan kedudukanku ini." panglima itu tampak menyesal bukan main.
"Ah! Kenapa Yap Tai-ciangkun berubah menjadi cengeng begini? Di manakah kegarangan paduka seperti yang selalu paduka tunjukkan di tengah medan pertempuran dahulu? Lupakan saja pengalaman pahit ini, lebih baik sekarang paduka memeriksa keadaan di dalam gedung Si Ciangkun ini!" guru nona Ho itu memberi saran.
"Kim Sute marilah....!" kakak seperguruan dari panglima itu juga berkata. "Kau tak perlu terlalu menyesalinya!"
Dengan diiringi suheng dan kedua orang itu, Yap Tai-ciangkun memasuki gedung tersebut. Mereka manemukan bukti-bukti bahwa Si Ciangkun memang telah berkhianat dan bersekutu dengan seseorang untuk membentuk sebuah pasukan pemberontak. Sayang mereka tidak menemukan daftar dari siapa saja yang telah menjadi anggauta pasukan pemberontak itu.
Bagaimana dengan keadaan Chin Yang Kun dan Hek-mousai yang pada saat itu berada di ruang penjara di bawah tanah? Apakah mereka dapat mengatasi kesulitan dan penderitaan mereka? Agaknya mereka berdua memang tinggal menunggu saja nasib yang akan mendatangi mereka! Keadaan tubuh kedua orang itu memang sudah sangat payah. Yang Kun selain telah terluka parah kedua kakinya, ia juga telah terkena racun yang cukup ganas.
Dua macam racun telah memasuki tubuhnya, yaitu racun dan lendir ubur-ubur laut dan racun tikus laut! Racun pertama masuk ke dalam badannya melalui pedang Tung hai Sam-mo dan racun yang ke dua masuk ke dalam badannya melalui bubuk putih yang diberikan oleh tabib palsu itu.
Sedangkan keadaan Hek-mou-sai juga sangat mengenaskan. Tubuhnya masih tetap terikat kencang, sementara kulit badannya hampir semuanya terkelupas bersama-sama dengan pakaian yang dikenakannya. Tetapi biarpun kelihatan lebih mengerikan, sebenarnya keadaan tubuh Hek-mou-sai tidak begitu membahayakan bagi jiwanya. Dia cuma menderita luka-luka luar yang biasa saja!
Saat itu selagi di luar gedung sedang terjadi pertempuran berdarah antara pasukan Yap Tai-ciangkun dengan para pemberontak, di dalam tubuh Chin Yang Kun sendiri juga sedang terjadi pergolakan antara mati dan hidup. Sebenarnya, seperti yang telah dikatakan oleh Tee-tok-ci bahwa racun bubuk putih yang terbuat dan hati tikus laut itu, akan mulai bekerja dan merenggut nyawanya selang enam jam kemudian. Tapi oleh karena keadaan tubuh pemuda itu sudah sangat jelek, maka baru berselang tiga jam, racun dari bubuk putih tersebut ternyata sudah mulai bekerja.
Mula-mula bekas luka pada kedua belah pahanya itu terasa amat gatal. Begitu gatalnya sehingga rasa-rasanya ia ingin memotong saja kaki itu. Sukurlah ia dalam keadaan tertotok lumpuh kaki tangannya. Coba tidak, mungkin ia sudah mengorek luka itu dan menggaruknya hingga hancur.
Lama kelamaan rasa gatal itu disertai rasa panas yang makin lama juga semakin menggila, sehingga rasa-rasanya pada lubang luka yang menembus dari atas ke bawah itu telah dijejal dengan sebungkah arang menyala. Begitu panas rasanya sehingga hampir-hampir tak kuasa lagi menahannya.
Apalagi ketika rasa panas itu menjalar ke seluruh badannya. Rasa panas itu merembet sedikit-demi sedikit bersama-sama dengan cairan darah yang terasa bagaikan telah mendidih ke seluruh tubuh dan seakan telah menghanguskan semua tulang serta daging yang dilewatinya. Inilah agaknya saat yang pernah dikatakan iblis itu, bahwa pada saat serangan kedua telah datang maka hidupnyapun tinggal sebentar lagi.
Samar-samar ia melihat Hek-mou-sai telah siuman. Lalu dengan amat sukar orang yang telah banyak jasanya itu berusaha mendekati dirinya. Tampak beberapa butir air matanya meleleh ke pipi, ketika orang itu melihat penderitaannya.
“Tuan Muda.... bagaimanakah keadaanmu?” sapanya lirih.
“Paman..... mungkin aku sudah tak kuat lagi... hehheh... seperti kata tabib palsu itu... aku tentu mati! Paman.... kalau aku mati nanti, tolong aku carikan benda pusaka itu! Lalu letakkan benda tersebut di makam ayahku, biar arwah beliau dapat tentram.... Mau.... maukah kau, paman...?”
“Tentu! Tentu! Aku tentu akan mentaati semua permintaanmu, tuan muda!”
“Nah, menurut ayah benda itu.... terletak di Goa Harimau! Dan mengambilnya harus te... tepat di tengah malam saat bulan sedang purnama!”
Hek-mou-sai terbelalak matanya. “Di manakah goa itu berada, Tuan muda?”
“Entahlah, aku.... aku juga tidak tahu. Ayah hanya memberi pesan ke.... kepadaku....” pemuda itu meregang sebentar. “Paman aku meminta tolong.... juga kepadamu.... BUNUHLAH SEMUA MUSUHKU!"
Terasa berdiri seluruh bulu roma Hek mou-sai mendengar perkataan yang paling akhir itu. Seakan seluruh dendam kesumat pemuda itu telah tersirat di dalam kata-kata yang mengerikan tersebut. "Ba-baik, tuan muda!”
"Terima ka....." Dan mata itu telah tertutup!
Tiba-tiba terdengar, suara langkah kaki menuruni tangga. Dan di depan sel tersebut telah berdiri empat orang laki-laki dan seorang gadis. "Liok Cianbu, tawanan inikah yang kau maksudkan?" salah seorang yang berpakaian panglima bertanya kepada seorang perwira bawahannya, sementara yang lain berusaha untuk membuka pintu sel tersebut.
"Suhu, pemuda ini terkena racun yang ganas!” tiba-tiba gadis itu berteriak ke arah orang tua berjanggut lebat. "Agaknya sudah tak tertolong lagi.”
Orang tua itu cepat memeriksa urat nadi Yang Kun, lalu mengerutkan keningnya rapat-rapat. Terasa ada sesuatu yang aneh pada tubuh anak muda itu, tapi karena ia bukan seorang ahli pengobatan maka ia tak mengetahui dengan pasti, apakah yang telah terjadi di dalam tubuh anak muda itu. Yang terang pemuda itu menderita luka-luka di beberapa tempat dan agaknya luka-luka tersebut mengandung racun terutama luka yang terdapat di kedua pahanya!
Sementara itu Hek-mou-sai yang terbaring di dekatnya tampak menatap kelima orang yang baru datang itu dengan curiga. Meskipun badannya dalam keadaan terikat serta penuh luka tetapi pikirannya masih tetap jernih, sehingga dengan terang orang itu masih dapat berpikir dan mengurai semua peristiwa yang terjadi di depan matanya.
Sedikitpun Hek-mou-sai tidak mengenal kelima orang yang kini berada di depan hidungnya. Melihatpun juga belum pernah. Tapi meskipun begitu perasaannya dapat menebak dengan pasti bahwa kelima orang ini tentu tidak segolongan dengan orang-orang yang menawannya, biarpun orang-orang yang menawan mereka itu beberapa orang di antaranya juga mengenakan seragam perajurit ini. Sekilas Hek-mou-sai menatap ke salah seorang di antara ketiga pendatang itu, yaitu yang menggunakan seragam perwira, yang tadi telah dipanggil dengan nama Liok Cianbu oleh kawannya. Tiba-tiba Hek-mou-sai seperti melihat orang tersebut berkedip matanya. Sekali saja tapi bagi Hek-mou-sai hal itu sudah merupakan sebuah isyarat. Biarpun baginya sementara itu masih sangat meragukan karena diapun juga tidak mengenal orang itu.
“Yap Tai-Ciangkun, bolehkah siauw-te mengatakan sesuatu kepada paduka?” laki-laki brewok itu menghadap ke arah orang yang mengenakan pakaian seragam panglima.
Tergopoh-gopoh panglima itu menunduk dan hal ini tentu saja sangat mengherankan apalagi bagi Liok Cianbu dan Hekmou-sai! Seorang laki-laki biasa kenapa begitu dihormati oleh seorang panglima besar kerajaan?
"Oh, Liu-suhu, Tentu saja boleh! Silakan! Silahkan!" panglima itu menyahut dengan cepat.
“Begini Tai-ciangkun, menurut pendapat lo-hu (aku orang tua) dan mungkin juga pendapat orang umum yang tidak begitu paham tentang ilmu pengobatan, pemuda ini terang sudah meninggal dunia. Tak ada lagi detak jantungnya. Tak ada denyut nadinya. Lenyap juga semua hawa murni. Tetapi.... tetapi ada sesuatu yang membuat siauw-te merasa ngeri....! Ada getaran-getaran aneh sebelah dalam dari tubuh pemuda ini! Maka dari itu siauw-te ingin memohon kepada paduka satu hal saja, yaitu biarlah mayat pemuda ini aku bawa ke pondokku saja bersama nona Ho. Kebetulan rumah nona Ho ada tamu kenalan lama yang sangat mahir tentang pengobatan. Biarlah orang itu memeriksanya!"
"Ah, silakan Liu-Suhu! Silakan! Hanya kau mohon kalau ada keterangan apa apa pemuda ini, kamipun ingin pula mengetahui. Soalnya kami juga ingin mengetahui, kenapa orang ini sampai ditangkap oleh gerombolan itu.” Yap Tai-ciangkun meminta.
Orang tua itu menyatakan rasa terima kasihnya. Dan ia beringsut ke samping untuk memeriksa tubuh Hek-mou-sai. Nona Ho memalingkan mukanya, karena tubuh tersebut hampir tidak berpakaian sama sekali. Setelah melepaskan tali yang dipakai untuk mengikat tubuh itu, orang tua tersebut mengambil bubuk obat dan mengobati luka-luka itu.
“Terima kasih, tuan!” Hek mou sai mengangguk. Lalu mengambil baju yang ditinggalkan oleh para penawannya dan dikenakan pada tubuhnya yang telah diobati.
“Kalau kami boleh bertanya siapakah sebenarnya cu-wi (saudara) ini? Apakah yang menyebabkan sehingga cu-wi ditangkap dan disiksa seperti ini?” orang yang disebut dengan nama Liu-suhu bertanya kepada Hek-mou-sai.
Hek-mou-sai terdiam, tak tahu harus menjawab bagaimana. Dia tak ingin mengatakan kepada siapapun tentang diri mereka, tetapi oleh karena pertanyaan itu datangnya secara tiba-tiba maka dia belum mempersiapkan sebuah jawaban yang baik untuk tidak menimbulkan kecurigaan mereka. Tiba-tiba nampak olehnya perwira yang bernama Liok Cianbu memberi isyarat sekali lagi dengan sudut matanya.
"In-kong (tuan penolong), jelek-jelek siauw-te juga seorang guru silat, biarpun cuma seorang guru silat dari desa. Sedang pemuda ini adalah murid siauw-te, putera kepala desa kami sendiri. Kami berdua sedang merantau bersama-sama untuk memperoleh pengalaman, sebab pemuda ini telah tamat belajar dalam ilmu silat....” Hek mou-sai menjawab setelah beberapa saat memikirkan suatu jawaban yang bagus.
“Ah, kalau begitu tentu ada kesalah-pahaman....“ perwira she Liok tersebut cepat menyela. "Yap Tai-ciangkun jika diperbolehkan biarlah saudara ini Tai-ciangkun serahkan saja kepada kami untuk kami periksa. Mungkin sejak mulai berkhianat Si Ciangkun selalu tidak tenteram dan selalu mencurigai orang, sehingga akhirnya terjadi suatu kesalah-pahaman seperti ini. Saya memang memperoleh laporan bahwa Si Ciangkun kemarin telah menangkap dua orang mata-mata yang dicurigai karena telah memasuki halaman rumahnya.”
"Benar, tuan. Kami ditangkap ketika kami sedang melepaskan lelah di gardu penjaga yang terletak di halaman depan itu. Padahal kami hanya ingin beristirahat sebentar sebelum menonton perayaan besar ini. Kami berdua baru saja menempuh perjalanan jauh dan tak ada tempat lagi untuk menginap di kota ini. Jalan-jalan juga telah penuh manusia, sehingga iseng-iseng kami diam di gardu penjaga tersebut. Toh tidak ada salah apabila kami, salah seorang rakyat jelata, turut mengaso sebentar di halaman seorang pemimpin rakyat seperti juga yang sering kami lakukan di desa kami apabila ada tamu yang kemalaman di jalan...." Hek mou-sai kembali bersandiwara sebagai orang yang benar-benar tidak tahu menahu tentang keadaannya. Padahal orang ini sebenarnya mulai menangkap maksud dari perwira she Liok itu.
Yap Tai-ciangkun tampak berpikir sebentar, kemudian menoleh kearah suhu dan nona Ho. “Bagaimana pendapat Liu-suhu?”' panglima itu bertanya.
“Siauw-te kira memang lebih baik paduka serahkan saudara ini kepada Liok-Cianbu agar Paduka tinggal menerima laporannya saja nanti...“ Liu suhu itu memberikan sarannya. “Tetapi mayat pemuda itu biarlah tetap kami bawa.....”
“Terima kasih Liu-suhu....!" Liok-Cianbu itu menjadi sangat hormat pula kepada orang itu seperti yang dilakukan oleh atasannya.
Mereka semua kembali ke gedung kepala daerah setelah urusan di tempat itu telah selesai. Di jalan-jalan mereka melihat para penduduk telah bersukaria kembali, meskipun untuk sesaat mereka dihentikan oleh kekacauan itu. Tai-ciangkun sibuk memeriksa dan mengatur seluruh perajurit-prajuritnya yang berada di kota dibantu oleh suhengnya yang menyamar sebagai perajurit biasa tersebut.
Sementara itu mayat Chin Yang Kun telah dibawa pergi Liusuhu dan nona Ho ke pondok mereka. Sebuah pondok kecil dipinggir kota, yang biasa dipakai oleh kepala daerah untuk melukis dan membaca buku di kala senggang. Mereka memasuki pondok itu melalui empang-empang ikan yang penuh dengan tanaman bunga beraneka warna. Dan di setiap tempat terlihat beberapa orang perajurit sedang berjaga-jaga. Mereka mengangguk penuh hormat setiap nona Ho dan gurunya lewat di dekat mereka. Sepasang pemuda dan pemudi keluar menyongsong mereka. Pemudanya bertubuh jangkung serta tampan, sedang gadisnya berperawakan langsing kecil tetapi cantik sekali. Mereka nampak heran melihat Liu-suhu memanggul orang.
“Hong siang (baginda)! Nona Ho!” keduanya menyapa dengan hormat dan ramah.
"Nona Kwa..... saudara Chu! Kalian belum tidur malam-malam begini?" Kaisar Han yang menyamar sebagai Liu-Suhu itu menjawab (Baginda sebelum menjadi kaisar bernama Liu Pang, seorang pendekar pedang dari kalangan petani).
"Ah, bukankah belum lewat tengah malam. Hong-Siang juga belum berangkat ke peraduan pula. Tidak enak bagi kami untuk mendahuluinya...." pemuda she Chu itu berkata merendahkan diri.
“Heh, inilah sebenarnya yang tidak aku sukai. Segala peradatan yang rnembuat aku tidak enak makan dan enak tidur. Semua orang itu bersikap sungkan kepadaku, sehingga aku tidak merasa bebas dan bahagia seperti dahulu ketika aku masih menjadi seorang petani atau ketika aku masih suka berkelana di Kang-ouw bersama-sama kawan.“ Kaisar itu berkata menyesali diri. Tubuh pemuda yang dipanggulnya itu ia letakkan di atas pembaringan kamar depan, lalu memberi isyarat agar kedua orang tamunya itu mendekat.
“Saudara Chu., nona Kwa, ingin sebenarnya aku kembali menjadi petani seperti dulu lagi dan melepaskan semua kedudukan ini yang sangat mengikat serta membosankan ini...." kaisar itu melanjutkan keluhannya.
“Tetapi orang seperti baginda ini masih sangat diperlukan oleh rakyat jelata. Semua orang telah mempercayakan nasib negara dan diri mereka kepada baginda. Mereka semua beranggapan bahwa hanya baginda seoranglah yang mampu memimpin perahu mengatur negeri kita ini. Apabila hal ini sebenarnya tidak menyenangkan hati baginda.... yah... anggap saja sebagai suatu pengorbanan baginda terhadap negara....” nona Kwa yang cantik itu berkata pula dengan lemah lembut.
Kaisar itu menghela napas berat. "Yah... tetapi aku telah berjanji pada diriku sendiri. Kalau pada suatu saat nanti telah ada penggantiku yang juga disukai oleh mereka, atau negeri ini telah kembali aman dan tenteram, aku akan pulang kembali ke kampungku untuk bercocok tanam lagi.....”
Beberapa saat mereka terdiam semua sehingga suasana menjadi sunyi sepi.
“Eh, aku menjadi terlupa akan sesuatu,” baginda tiba-tiba tersentak dari lamunannya. “Anu... Saudara Chu, aku membawa mayat seseorang yang rasa-rasanya sangat aneh keadaannya. Dikatakan sudah mati.... kok terasa ada getaran yang aneh di dalam tubuhnya, tapi kalau dikatakan masih hidup kenapa sudah hilang detak dan denyut nadinya. Coba kau periksa dia! Sebagai cucu murid dari Bu-eng Sin-yok-ong (Raja Tabib Sakti Tanpa bayangan) kukira tak ada lagi didunia ini yang menyamai kepandaian saudara Chu di dalam hal seperti ini.”
“Ah, Hong-siang ini bisa saja....” pemuda itu menjadi malu. Tubuh Chin Yang Kun sudah menjadi dingin pada saat itu. Dingin sekali, tapi belum menjadi kaku. Ketika jari-jari pemuda she Chu itu telah mulai menyelusuri setiap jalan darah di tubuh Yang Kun, semua orang menjadi tegang menanti. Mereka tahu bahwa pemuda she Chu tersebut sedang mengerahkan segala kepandaiannya untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya dari „mayat‟ itu.
Peluh telah mulai tampak pada dahi pemuda ahli pengobatan itu. Apalagi ketika pemuda tersebut sudah mulai pula mempergunakan jarum-jarum peraknya. Tapi beberapa saat kemudian ternyata semua peralatan itu ia letakkan kembali di atas meja. Sebatang jarum perak yang kini berwarna kebiru-biruan dibawanya ke dekat lampu dan diamat-amatinya dengan teliti.
“Tak mengherankan jikalau hong-siang merasakan sesuatu yang aneh pada pemuda ini,” katanya perlahan. “Hambapun baru sekali ini pula memergoki peristiwa yang aneh seperti ini. Dalam tumpukan buku pengobatan serta buku catatan mengenai peristiwa penting warisan leluhur hamba, hamba juga belum pernah menemukan atau membaca tentang peristiwa yang aneh seperti ini….”
“Ah, saudara Chu masih juga berteka-teki….! Ayolah lekas ceritakan apa yang telah terjadi di dalam tubuh pemuda ini! Kami telah terlalu lama menderita ketegangan hati menunggu hasil penyelidikan saudara….!” Nona Ho berseloroh.
“Baiklah! Baiklah! Tetapi sebelumnya siauw-te memohon maaf terlebih dahulu. Soalnya peristiwa seperti ini juga masih asing bagi siauw-te. Jadi siauw-te juga belum berani memastikan, apakah hasil penyelidikan yang akan siauw-te katakan ini sudah betul….”
“Ya! Ya! Ya! Lalu….?”
“Tunggu sebentar….!” Pemuda she Chu itu masih menahan keterangannya. “Hong-siang, sebelum hamba katakan apa yang hamba ketahui, bolehkah hamba mengetahui siapakah sebenarnya pemuda ini? Kenapa hong-siang begitu bersusah payah membawa dia kemari? Hong-siang, hamba mohon maaf jikalau pertanyaan hamba ini tidak berkenan di hati…..”
“Haha… tak apalah! Tak apalah! Saudara Chu ini memang pintar sekali membikin orang menjadi tak sabaran. Saudara Chu, terus terang aku tidak tahu dan tidak mengenal anak muda ini. Aku menemukan dia di ruang penjara Si Ciangkun. Aku juga tidak tahu kenapa aku menjadi sangat tertarik kepadanya. Semula aku hanya merasa penasaran melihat keadaan tubuh anak muda ini yang sangat aneh. Dan kebetulan pula aku menjadi teringat bahwa saudara Chu sedang berada di pondokku. Itu saja, lain tidak!”
“Nah, suhu telah mengatakannya. Cepatlah….!” Nona Ho menjadi tidak sabar.
“Baiklah! Tetapi….”
“Ah, brengsek amat! Aku bisa menjadi gila kalau terus-terusan menunggu….”
“Hihihi… kau ini memang suka mengganggu orang sih!” nona Kwa itu menegur kawannya sambil tertawa.
Ahli pengobatan yang masih sangat muda itu tertawa pula. Tapi suara tertawa itu tiba-tiba berhenti secara mendadak dan secara tiba-tiba pula wajah yang tampan itu berubah menjadi muram. “Benar! Aku memang sudah lama tidak mengganggu dan menggoda orang sejak adikku Bwe Hong pergi…..”
“Hei, ada apa lagi dengan enci Bwe Hong? Ini saja belum selesai sudah ada kabar yang menegangkan lagi… ayoh, saudara Chu! Lekas ceritakan semuanya! Ya…..tentang penyakit pemuda ini, ya... tentang enci Bwe Hong! Biarlah tidak tidur sampai pagi juga tidak apa!” nona Ho mencak-mencak.
Kaisar Han tersenyum melihat tingkah muridnya. Mereka semua memang merupakan teman akrab sejak dari dahulu, sehingga kunjungan kedua muda-mudi itu di pondok mereka membuat muridnya gembira bukan main.
“Kalau begitu aku juga akan ikut pula bergabung sampai pagi untuk mendengarkan cerita dari saudara Chu,” kaisar Han juga ikut terseret kegembiraan anak-anak muda itu. “Hei, pengawal! Bawa ke sini makanan dan arak wangi untuk tamu-tamuku!”
“Ah, baginda membuat kami merasa kikuk saja…..” nona Kwa tampak malu-malu.
“Wah, sudahlah! Anggap saja hal ini merupakan sebuah pesta kecil untuk merayakan pertemuan antara para sahabat lama…..” kaisar Han tersenyum.
“……..dan pesta kecil untuk merayakan hari penobatan hong-siang yang kelima!” nona Kwa melanjutkan.
“Hm, boleh juga…. Tapi aku sebenarnya tidak menyukai hal-hal seperti itu. Nah, saudara Chu.. aku juga telah siap untuk mendengarkan uraianmu.”
Maka pemuda itupun mulai dengan penuturannya. “Dugaan hong-siang tadi memang benar bahwa pemuda ini telah terkena racun. Dan racun yang masuk ke dalam tubuhnya ternyata tidak hanya sebuah saja tetapi dua buah racun. Kebetulan pula bahwa kedua buah racun tersebut sama-sama termasuk dalam satu golongan, yaitu golongan racun yang bersifat dingin. Artinya apabila salah satu dari racun tersebut menyerang manusia atau binatang, maka sebagai akibatnya manusia atau binatang itu akan menderita kedinginan dan menggigil badannya.”
“Lalu bagaimana dengan anak muda yang terkena dua buah racun sekaligus ini?” baginda bertanya.
“Hong-siang, di dalam hal pengetahuan tentang dunia racun, nenek moyang kita sejak dahulu telah mencatat beberapa keanehan dari sifat racun itu sendiri. Misalnya beberapa buah di antara keanehan-keanehan itu ialah apabila racun-racun tersebut satu sama lain saling bercampur. Dua buah racun yang mempunyai sifat dingin bila saling bercampur akan berubah sifat mereka menjadi panas, sehingga penderita keracunan itu akan merasa seperti terbakar tubuhnya. Begitu juga sebaliknya, dan sebuah racun yang mempunyai sifat panas apabila saling bercampur satu sama lain akan cepat berubah pula menjadi dingin….”
“Kalau dua buah racun yang bercampur satu sama lain tersebut terdiri dari dua buah racun yang berbeda sifatnya? Misalnya racun yang satu dari golongan racun yang bersifat panas sedang racun yang lain dari golongan racun yang bersifat dingin, bagaimana?” nona Ho bertanya.
“Aha, nona Ho agaknya mempunyai minat terhadap pengetahuan ini?” orang she Chu itu tertawa.
“Memang akan terdapat lagi sebuah keanehan apabila kedua buah racun yang berlainan sifatnya tersebut saling bercampur. Jikalau kedua buah racun tersebut saling bercampur satu sama lain maka kedua buah racun itu justru akan hilang lenyap sifat maupun pengaruhnya!”
“Menjadi tawar? Begitukah maksud saudara Chu?” kaisar Han menegaskan.
“Benar, hong-siang…”
“Wah, menarik juga ya….pengetahuan tentang racun itu? Lalu kalau dua buah racun yang saling bercampur tersebut terdiri dari golongan racun yang bersifat sama? Yaitu seperti yang kini sedang terjadi pada anak muda ini? Bagaimana?” baginda bertanya lagi.
“Wah, suhu ini bagaimana! Tentu saja karena mereka sejenis, maka mereka akan bergabung menjadi satu dan kekuatannya akan menjadi berlipat ganda, bukankah demikian saudara Chu?” nona Ho mencela gurunya, kaisar Han!
“Nona Ho benar sekali…!” pemuda itu mengacungkan jempolnya.
“Hah? Kalau begitu anak muda ini benar-benar sudah mati dan tak mungkin tertolong lagi?” baginda terkejut.
Pemuda she Chu itu memperbaiki letak duduknya. “Hong-siang, ternyata apa yang sekarang sedang terjadi di dalam tubuh anak muda ini juga merupakan salah satu dari pada keanehan-keanehan yang sering terjadi di dalam dunia racun seperti yang hamba ceritakan tadi. Hamba tadi telah memberikan keterangan secara panjang lebar bahwa di dunia racun kami mengenal dua macam racun, yaitu racun yang bersifat dingin dan racun yang bersifat panas. Biasanya racun yang bersifat dingin itu sebagian terbesar bisa didapatkan dari binatang atau tumbuh-tumbuhan yang hidup di dalam air. Sedangkan racun yang bersifat panas bisa didapatkan dari binatang atau tumbuh-tumbuhan yang hidup di tempat kering….”
“Ooo… begitukah?” nona Ho mengangguk-angguk dengan mantap saking tertariknya pada uraian itu. “Lalu keanehan apakah yang sekarang sedang terjadi pada tubuh pemuda ini? Bukankah menurut keterangan saudara Chu tadi apabila dua macam racun yang sejenis bercampur satu sama lain, maka mereka akan bergabung menjadi satu dan menjadi berlipat ganda kekuatannya? Dan karena dua macam racun tersebut termasuk dalam golongan racun yang bersifat dingin, maka gabungan itu akan mengubah mereka menjadi panas? Itu saja, bukan? Apa lagi keanehannya?”
“Nona, keanehan-keanehan yang saya ceritakan tadi hanyalah merupakan sebagian kecil saja dari keanehan-keanehan yang sering terjadi di dalam dunia ilmu racun. Beberapa keanehan yang saya sebutkan itu hanyalah merupakan suatu keanehan yang terjadi apabila hanya dipandang dari sudut kalau beberapa racun bercampur menjadi satu, itu saja. Padahal masih banyak keanehan-keanehan yang lain, misalnya keanehan yang ditimbulkan oleh dua macam racun yang satu sama lain memang tidak bisa bercampur menjadi satu, biar dua macam racun itu ditempatkan di dalam satu wadah sekalipun. Dan masih banyak sekali keanehan yang tidak dapat kami sebutkan di sini satu persatu…” Pemuda she Chu itu menerangkan.
“Lalu keanehan apakah yang kini sedang terjadi di dalam tubuh pemuda ini?” nona Ho bertanya agak bingung.
“Keanehan yang terjadi di dalam tubuh pemuda ini adalah keanehan yang ditimbulkan oleh suatu unsur kebetulan yang tidak mungkin didapatkan oleh lain orang. Ada dua macam racun yang memasuki tubuh anak muda ini….” Pemuda itu menarik napas sebentar.
“Racun pertama yang memasuki tubuhnya adalah racun ubur-ubur yang hidup di pantai-pantai karang. Sedang racun yang kedua adalah racun tikus laut yang juga hidup di batu-batu karang pula. Kedua binatang itu selalu hidup berdampingan selama ini. Ubur-ubur itu hidup dari kotoran-kotoran yang dikeluarkan oleh tikus laut, sementara tikus laut itu selalu membuat sarangnya diantara kumpulan ubur-ubur laut. Kedua binatang tersebut sebenarnya adalah binatang yang sangat beracun, tapi karena selalu hidup berdampingan maka pengaruh dari racun mereka masing-masing sudah tidak berarti apa-apa lagi bagi yang lainnya.”
“Jadi maksud saudara Chu, oleh karena kedua macam racun yang masuk ke dalam tubuh anak muda ini sudah bersahabat sejak semula, maka biarpun kedua racun itu sangat berbahaya tapi tidak akan membahayakan lagi pada tubuh anak muda ini, begitukah?” baginda menegaskan lagi dugaannya.
“Benar! Karena sudah bersahabat, maka kedua buah racun itu sudah tidak lagi berbahaya bagi anak muda ini.” Pemuda she Chu itu mengangguk.
“Lalu… kalau racun-racun itu sudah tak membahayakan lagi, kenapa dia masih tetap meninggal dunia juga?”
“Secara umum anak muda ini memang telah dianggap mati, tetapi dipandang dari sudut ilmu ketabiban, keadaan seperti yang terjadi pada tubuh anak muda ini belumlah dianggap mati. Jantungnya belum berhenti sama sekali. Hanya karena denyut itu sudah sangat lemah sekali, maka orang sudah tidak merasakannya lagi. Padahal jantung itu masih bergetar dan getaran yang amat lemah inilah yang hong-siang rasakan sebagai getaran-getaran aneh itu.”
“Jadi menurut pendapat saudara Chu anak muda ini belum mati, bukan? Tetapi yang sangat kuherankan ialah apa yang menyebabkan hawa murninya menjadi hilang lenyap? Padahal yang aku ketahui hawa murni itu hanya dapat hilang apabila orang itu sudah mati!”
“Iya… ya. Bagaimana sih sebenarnya hal ini? Sudah mati dikatakan belum mati, dikatakan masih hidup hawa murninya khok sudah lenyap… jadi yang mana yang benar?” nona Ho tampak sangat penasaran.
“Hong-siang, hawa murni yang asli dari anak muda ini masih tetap ada di dalam tubuhnya, karena hawa murni tersebut merupakan dasar daripada kekuatan hidup manusia pada umumnya. Tapi apabila hawa murni yang hong-siang maksudkan itu adalah hawa murni yang diperoleh anak muda ini sejak ia berlatih silat, maka dugaan dari hong-siang bahwa hawa murninya telah lenyap adalah benar. Hawa murni atau tenaga murni yang diperoleh anak muda ini sejak ia mulai berlatih silat telah lenyap bersamaan dengan hilangnya denyut nadi serta berhentinya aliran darahnya.
"Hal itu disebabkan karena hawa murni yang didapatkan orang ketika berlatih ilmu silat disimpan di dalam aliran darahnya, supaya hawa murni tersebut dapat bergerak terus berputar-putar di seluruh tubuh. Maka ketika jantung dari anak muda ini sudah tidak mampu lagi mengalirkan darahnya, otomatis hawa murni yang terkandung di dalamnya merembes dan bergerak keluar hingga habis.”
“Wah, kalau begitu percuma juga, ya… buat dia! Walau dapat hidup kembali seperti semula, tetapi sudah hilang lenyap semua tenaga murninya. Percuma saja ia belajar silat selama ini,” nona Ho turut menyesal, apalagi bila teringat kembali pada penuturan guru dari anak muda ini. "Pemuda ini baru saja menamatkan pelajaran silatnya dan bermaksud merantau untuk menambah pengalaman sebanyak-banyaknya. Tidak tahunya malah mendapatkan kerugian bagi hidupnya!”
“Benar. Anak muda ini harus mulai berlatih serta menghimpun lagi tenaga murninya sejak dari awal kembali, jika ingin pulih kembali seperti sediakala. Dan hal itu membutuhkan waktu bertahun-tahun pula untuk dapat mencapai tingkatan seperti yang ia capai sekarang…..” pemuda she Chu itu menegaskan pendapat nona Ho.
“Lalu kapan anak muda ini menjadi sembuh dan hidup kembali?” nona Kwa yang sedari tadi hanya diam saja itu bertanya.
“Tunggu saja hingga besok pagi…..!” orang she Chu itu menjawab.
“Ha… kalau begitu sambil menanti dia hidup kembali, harap saudara Chu bercerita tentang enci Bwe Hong. Bagaimana khabarnya bidadari itu?” nona Ho menagih janji.
Pemuda she Chu itu menunduk sambil menghela napas berulang-ulang, sehingga teman gadisnya yang cantik itu menghibur dengan lemah lembut. “In-kong (tuan penolong), ceritakanlah semuanya! Bukankah kita sampai kemari juga ingin menanyakan kepada mereka, kalau-kalau mereka pernah melihat adik Bwe Hong?”
“Eh… ada apa sebenarnya dengan enci Bwe Hong? Apa… apakah dia telah…..ooh!” nona Ho menjadi khawatir juga melihat tingkah kedua kawan akrabnya itu.
“Hong-siang, maafkan hamba kalau kesedihan hamba ini membuat pesta kecil ini menjadi agak terganggu kegembiraannya….” Pemuda itu meminta maaf kepada Kaisar Han.
"Tenanglah, saudara Chu! Baiklah kauceritakan saja semuanya kepada kami! Siapa tahu aku dapat memberi bantuan kepada kalian," baginda bersabda.
"Terima kasih, Hong-siang.” Maka berceriteralah pemuda itu dengan jelas apa yang telah terjadi di dalam keluarga mereka selama beberapa tahun ini.
Setelah Kaisar Chin jatuh dan Kaisar Han naik takhta pada lima tahun yang lalu, mereka berdua, pemuda itu dan adik perempuannya yang bernama Chu Bwe Hong, kembali ke rumah mendiang orang tua angkat mereka, yang mengasuh mereka semenjak masih kecil. Sebenarnya mereka berdua masih mempunyai seorang ayah, yang kini menjabat sebagai pendeta agung, di kuil istana sejak Kaisar Chin masih berkuasa.
Tetapi mereka lebih suka menyendiri di tempat yang terpencil itu untuk merawat makam ayah ibu angkat mereka yang tercinta. Mereka berdua menolak dengan halus tawaran Kaisar Han yang kini berada di hadapan pemuda itu untuk menduduki sebuah jabatan di kalangan pemerintahan. Ibu dari kedua kakak beradik tersebut adalah keturunan langsung dari salah seorang datuk persilatan, yang hidup pada kira-kira delapan puluhan tahun yang lalu.
Kakek mereka tersebut bergelar Bu eng Sin-yok-Ong (Raja Tabib Sakti Tanpa Bayangan), yaitu salah seorang dari Empat Datuk Besar Persilatan yang hidup pada jaman itu! Maka dari itu biarpun mereka berdua kakak beradik berdiam di tempat yang terpencil, ternyata setiap harinya banyak orang berdatangan ke rumah mereka untuk berobat. Mereka berdua sudah terkenal sebagai ahli waris dari kakek mereka yang mahir ilmu pengobatan itu.
Bertahun-tahun kedua kakak beradik itu hidup berbahagia di tempat itu. Apa lagi ketika selang dua tahun kemudian sang kakak telah meresmikan peminangannya dengan Kwa Siok Eng, seorang gadis yang pernah ditolong oleh pemuda itu dari penyakit lumpuh yang menyerang seluruh anggota badannya.
Padahal gadis itu adalah putri dari seorang tokoh ilmu sesat yang sangat sakti, bernama Kwa Eng Ki, yang kini menjabat sebagai ketua Tai Hong-pai (Partai Silat Kuburan Besar). Sebuah partai silat yang didirikan oleh salah seorang dari Empat Datuk Besar Persilatan juga! Kwa Siok Eng sering datang dan menginap di rumah itu untuk beberapa hari sehingga mereka bertiga benar-benar kelihatan berbahagia.
Sang kakak juga tidak ingin lekas-lekas meresmikan perkawinannya, karena pemuda tersebut bermaksud untuk mengawinkan adik perempuannya terlebih dulu. Ternyata suasana berbahagia di rumah itu tidak dapat bertahan lama. Kwa Siok Eng yang sering datang ke tempat itu merasakan adanya suatu perubahan pada calon adik iparnya yang cantik bagai bidadari itu.
Terasa gadis ayu itu semakin kelihatan kurus dan menderita batinnya. Ketika hal itu disampaikan oleh Kwa Siok Eng kepada Chu Seng Kun calon suaminya, pemuda itu juga sangat heran sekali. Beberapa kali dia juga memergoki adik perempuannya tersebut yang melamun sendirian di tempat sepi. Akhirnya datanglah malapetaka itu...!