Pendekar Penyebar Maut Jilid 04 karya Sriwidjono - PADA suatu hari Chu Bwe Hong pergi berbelanja ke kota yang terdekat seperti yang dia lakukan selama ini, sedangkan Chu Seng Kun berada di rumah melayani tamu-tamu yang datang berobat kepada mereka. Tetapi hingga larut malam hari Chu Bwe Hong belum juga pulang. Tentu saja Chu Seng Kun menjadi gelisah main!
Maka itu begitu orang-orang yang datang berobat kepadanya habis, malam itu juga Chu Seng Kun menyusul adiknya ke kota. Semua toko dan warung telah menutup pintu mereka. Waktu telah menunjukkan jam 10 malam. Jalan telah menjadi sepi, hanya sebuah warung minum saja yang masih kelihatan terbuka pintunya. Belasan orang tamu tampak memenuhi tempat itu. Suara mereka terdengar sampai ke jalan, memecahkan kesunyian malam.
Chu Seng Kun lebih dahulu menanyakan ke toko langganan mereka, tetapi pemilik toko yang telah menutup pintu itu mengatakan bahwa nona Chu Bwe Hong telah pulang sejak siang tadi. Tentu saja keterangan itu membuat Chu Seng Kun semakin merasa khawatir dalam hatinya. Khawatir terhadap keselamatan adiknya, biarpun dia tahu bahwa adiknya bukanlah seorang gadis yang lemah. Sebagai ahli waris dari salah seorang Datuk Besar Persilatan yang berkepandaian sangat tinggi. Tetapi Chu Seng Kun juga menyadari betapa banyaknya orang sakti di dunia ini.
Chu Bwe Hong adalah seorang gadis yang cantik. Luar biasa cantik malah! Hal itulah yang membuat kakaknya semakin mengkhawatirkan keselamatan adiknya tersebut. Chu Seng Kun tahu betapa banyaknya hidung belang di dunia ini. Padahal biarpun telah berusia 23 tahun. Chu Bwe Hong masih merupakan seorang gadis yang hijau dalam pengalaman, terutama dalam hubungan laki-laki dan wanita. Apalagi menghadapi kelicikan manusia!
Chu Seng Kun berusaha menanyakan kepada setiap kenalan mereka di kota itu. Tapi setiap kali ia mengetuk pintu, jawaban mereka selalu sama. Mereka tidak tahu. Malam semakin larut. Akhirnya Chu Seng Kun pergi ke warung yang masih terbuka pintunya tadi. Ia ingin sekedar mengurangi ketegangan dan beban pikirannya dengan sedikit minum arak di tempat itu. Tak seorangpun dari sekian banyaknya orang yang sedang duduk-duduk di dalam warung itu memperhatikan kedatangannya, selain pemilik warung yang telah dikenal baik oleh pemuda itu.
“Oh, Chu siauw-sinshe! Mari! Mari! Wah, tumben malam-malam begini pergi ke kota. Ada keperluan yang penting agaknya…..!” dengan tersenyum lebar pemilik warung itu mempersilahkan Seng Kun masuk.
Chu Seng Kun tersenyum pula sambil mengangguk. Diambilnya kursi yang terletak di dekat pintu yang kebetulan sedang kosong. Dari tempat itu ia dapat mengawasi seluruh ruangan tanpa terlihat oleh siapapun. Lalu ia mengamit pemilik warung itu agak mendekat. “Paman Ciu, engkau kebanjiran langganan rupanya. Alamat banyak untung, nih!” Chu Seng Kun membuka pembicaraan.
“Iya…. Siauw-sinshe (tabib muda). Dari pagi belum beristirahat, hampir patah rasanya tulang-tulangku yang tua ini… Minum apakah Chu siauw-sinshe?”
“Arakmu saja bawa ke sini! Aku mau minum sebanyak-banyaknya malam ini!”
“Hei? Sungguh? Tumben benar! Baru kali ini Chu siauwsinshe kulihat minum arak!” pemilik warung itu terbelalak keheranan. “Sedang resah hati agaknya!”
“Benar, paman Ciu. Aku sedang kehilangan adikku. Sejak pagi tadi ke kota ini dan sekarang belum pulang!”
“Ah, siang tadi nona Chu juga lewat di depan warungku ini. Setiap orang saya kira mengetahuinya juga.”
“Ya… tapi sampai sekarang dia belum pulang juga,” Chu Seng Kun mengeluh.
“Ahh.. Chu siau-sinshe jangan putus asa dahulu. Siapa tahu nona Chu mengambil jalan memutar dan kini sudah ada di rumah malah. Atau… mungkin nona Chu telah berjumpa dengan kawan lama dan… hei! Tadi siang nona Chu memang berjalan dengan seorang teman…”
“Hah? Benarkah? Ke mana perginya? Macam apakah temannya itu?” Seng Kun lupa diri sehingga pundak pemilik warung itu ia cengkram serta diguncang-guncang dengan keras. “Ohh.. paman Chu, maafkan aku!” katanya meminta maaf begitu menyadari tindakannya yang kasar itu.
“Aduh… Chu Siauw-sinshe hampir saja meremukkan tulang pundakku…” pemilik warung itu meringis kesakitan. Tapi orang itu lantas menyadari isi hati pemuda yang berdiri di hadapannya, sehingga dengan cepat iapun tersenyum kembali. Lalu dibimbingnya Chu Seng Kun ke tempat duduknya lagi.
“Tenanglah, Chu siauw-sinshe! Memang siapa yang takkan bingung kalau salah seorang keluarganya sampai hilang tak tentu rimbanya. Apalagi dia seorang gadis yang telah dewasa. Nah, Chu sauw-sinshe… kulihat tadi siang nona Chu berjalan bersama-sama dengan seorang laki-laki muda berperawakan tinggi kurus, berpakaian secara orang terpelajar. Mereka berdua berjalan ke arah utara. Orang itu…“
“Terima kasih, paman Ciu!” Seng kun berbisik dan sekejap kemudian tubuhnya berkelebat lenyap dari depan pemilik warung itu.
“Bukan main…!” orang she Ciu itu menggeleng-gelengkan kepala saking kagumnya.
“Siapa dia? Diakah yang digelari orang Keh-sim Siauw-hiap (Pendekar Patah Hati)?” Tiba-tiba pemilik warung itu merasa tangannya dipelintir orang dari belakang. Sakitnya bukan main!
“Bu... bukan…! Dia bukan…, bukan…, eh siapa yang kau sebut tadi?” pemilik warung itu menjawab dengan gagap dan lucu.
“Dia bukan Keh-sim Siauw-hiap maksudmu?” orang yang memelintir tangan pemilik warung itu menggertak lagi. “Jangan membohong! Kupatahkan lenganmu nanti!”
“Jangan! Jangan kau patahkan lenganku! aku tidak membohong…, Pemuda itu bukanlah Keh-sim Siauw-hiap! Pemuda itu bernama Chu Seng Kun…. dia... dia adalah seorang tabib ter... aduuh!”
Orang itu kembali ke tempat duduknya setelah mendorong tubuh pemilik warung tersebut hingga membentur tembok.
“Heh… lama benar kau keluar? Apakah twa-suheng sudah datang?” Enam orang kawannya yang duduk di meja itu bertanya. Tak seorangpun dari mereka yang mengetahui peristiwa di depan pintu warung itu.
“Huh, twa-suheng belum kelihatan datang. Sebenarnya aku tak sabar lagi. Kenapa untuk menghadapi satu orang saja, suhu memerintahkan kita semua berangkat? Kenapa tidak salah seorang saja dari kita yang disuruh berangkat menghadapi bangsat itu?” orang yang baru datang itu bersungut-sungut.
“Jit-te (adik seperguruan ketujuh)! Tahan kata-katamu! Kita tidak boleh terlalu memandang rendah Keh-sim Siauw-hiap!” Salah seorang dari mereka membentak orang yang baru datang itu.
Tiba-tiba dari meja yang berada di dekat mereka berdiri seorang laki-laki berbadan kekar memberi hormat ke arah mereka. “Ah, agaknya cuwi sekalian juga berurusan dengan Keh-sim Siauw-hiap seperti kami…”
Orang yang membentak adik seperguruannya tadi cepat pula berdiri membalas penghormatan itu untuk mewakili adik-adik seperguruannya. “Benar! Kami memang mempunyai sebuah urusan yang harus kami selesaikan bersama. Antara kami dan Keh-sim Siauw-hiap! Maaf, apakah cu-wi mengenal dia pula?” jawabnya berhati-hati.
“Ahaa, kalau begitu kita mempunyai tujuan yang sama. Kami juga mempunyai sebuah urusan yang harus kami selesaikan dengan dia! Ah, maaf kami belum memperkenalkan diri. Kami empat orang ini adalah pembantu-pembantu Song-tie-koan (pembesar Song) dari kota Tie-an. Orang memanggil kami berempat dengan Tiat-I Su-jin (Empat Orang Berbaju Besi). Sekarang bolehkah kami mengenal nama besar dari cu-wi sekalian?” kata orang berbadan kekar itu sambil memperkenalkan diri mereka.
Tiga orang yang duduk satu meja dengan orang itu segera berdiri pula untuk memberi hormat kepada ketujuh orang itu dengan penghormatan pula. Mereka tidak ingin berbuat sembrono dihadapan petugas-petugas Negara, meskipun di dalam hati mereka tidak begitu menyukainya. Soalnya setiap mereka melakukan tugas pekerjaan mereka, mereka harus selalu berhubungan dengan para petugas Negara.
“Oh, kami bertujuh benar-benar tidak mengira dapat berjumpa dengan Tiat-i Su-jin di tempat ini. Kami semua adalah pengawal Kim-liong Piauw-kiok (Perusahaan Pengangkutan Naga Mas) yang berkedudukan di kota Sin-yang.”
“Kim-liong Piaw-kiok? Wah, kalau begitu kita masih merupakan sahabat lama sebenarnya. Kami telah sering bertemu dengan saudara Thio Lung, pemimpin Kim-liong Piaw-kiok. Saudara Thio Lung sering berkunjung ke tempat tinggal Song-tie-koan. Haha… kalau begitu mari kita duduk dalam satu meja saja. Kita rayakan pertemuan malam ini dengan arak!” ajak orang bertubuh kekar tersebut dengan sangat gembira. Mereka lalu makan minum sepuas-puasnya.
“Thio Lung adalah twa-suheng kami (kakak seperguruan yang tertua). Karena sedang mengurus sesuatu urusan maka twa-suheng kami itu akan datang kesini agak terlambat… Tapi sebentar lagi tentu akan tiba,” kata orang yang membentak adik seperguruannya tadi.
“Ji-sute…! Ini aku sudah datang!” Tiba-tiba terdengar suara di luar pintu. Dan sebelum gema suara itu lenyap, orangnya telah berada di antara mereka. Pertemuan itu menjadi semakin meriah. Orang yang bernama Thio Lung itu benar-benar seorang yang ramah dan pandai bicara. Sesuai benar dengan jabatannya sebagai pemimpin perusahaan pengangkutan yang selalu berhubungan dengan para langganan. Itulah agaknya menjadi sebab mengapa suhunya mempercayakan perusahaan Kim-liong Piaw-kiok itu kepadanya.
“Saudara Thio…! Lama sungguh kita tidak pernah berjumpa….!” Mendadak pula terdengar sebuah suara dari pojok ruangan. Seorang laki-laki berusia sekitar empatpuluh tahun dengan kumis dan jenggot lebat tampak berdiri menghadap ke arah mereka.
“Hei…. Li-taihiap rupanya (pendekar Li)!” Thio Lung tersentak keheranan. “Angin apakah kiranya yang meniup Li-taihiap, sehingga jauh-jauh dari kota Tie-kwan di lembah Sungai Huang-ho, sampai di kota kecil ini?”
“ha ha…. Agaknya sama juga persoalannya dengan cuwi semua. Aku juga ada sedikit urusan dengan Keh-sim Siauwhiap,” kata orang yang disebut dengan nama Pendekar Li itu sambil mengambil tempat duduk di antara mereka pula. Thio Lung memperkenalkan pendekar itu kepada teman-temannya yang lain.
“Inilah Li-taihiap yang ternama itu. Beliau menjadi sangat ternama tidak hanya disebabkan oleh Jit-seng Kiam-hoat (Ilmu Pedang Tujuh Bintang) beliau yang hebat, tetapi juga disebabkan karena harta benda beliau yang berlimpah-limpah.
Beliaulah ahli waris satu-satunya dari mendiang Perdana Menteri Li Su.…” katanya. (Li Su adalah perdana menteri dari Kaisar Chin yang lama).
“Ah, saudara Thio ini…. Kenapa mesti mengungkit-ungkit nama seseorang yang telah tiada…” sahut Pendekar Li kurang senang.
“Maafkan siauw-te kalau begitu. Sebenarnya siauw-te hanya ingin meyakinkan kepada semua orang bahwa Li-taihiap bukanlah seorang pendekar sembarangan seperti kami semua ini.”
“Ya… tapi justru karena khabar seperti itulah yang menyebabkan Keh-sim Siauw-hiap mengirim orang-orangnya untuk merampok semua isi rumahku. Sehingga aku terpaksa pergi ke tempat ini untuk mengambil kembali barang-barangku itu,” kata Pendekar Li dengan geram.
“Oh… jadi hal itukah yang menyebabkan Li-taihiap jauhjauh datang ke s ini? Kalau begitu memang hampir sama juga persoalannya dengan urusan kami orang-orang Kim-liong Piauw-kiok. Hanya bedanya barang-barang yang mereka rampok dari kami itu bukan barang-barang kami sendiri tapi barang-barang yang dititipkan orang kepada kami,” kata Thio Lung dengan menggeram pula.
“Wah, agaknya Keh-sim Siauw-hiap itu memang seorang manusia yang serakah dan suka mengganggu orang lain.”
Tiat-I Su-jin ikut berbicara. “Beberapa orang tahanan yang berada di bawah pengawasan kami juga mereka ambil danmereka lepaskan begitu saja. Maka kami terpaksa mencari pula orang itu untuk mempertanggungjawakan perbuatan yang dilakukan oleh para anak buahnya tersebut.”
Sementara itu selagi orang-orang tersebut memperbincangkan urusan mereka masing-masing. Chu Seng Kun tampak mendatangi tempat itu kembali. Wajahnya kelihatan kusut dan lelah. Ia telah jauh berlari-lari ke arah utara untuk mencari adiknya tanpa hasil. Ia malah bertemu dengan rombongan gadis-gadis cantik yang sangat mencurigakan. Gadis-gadis itu menanyakan letak warung minum milik orang she Ciu itu, sehingga hampir saja Chu Seng Kun yang sedang berhati kusut itu bentrok dengan mereka.
Dan ternyata di dalam warung itupun Chu Seng Kun hampir bentrok pula dengan orang-orang tersebut. Roman mukanya yang muram, lesu dan tak bergairah hidup itu membuat orang-orang yang sedang mencari Keh-sim Siauw-hiap tersebut menjadi salah duga terhadap dirinya. Wajahnya yang tampan, usia yang masih muda dan roman mukanya yang seperti orang patah hati itu membuat orang-orang tersebut menyangka dirinya Keh-sim Siauw-hiap!
Pemilik warung yang sekali lagi memberi keterangan tentang siapa sebenarnya pemuda itu ternyata juga tidak dipercaya oleh mereka. Apalagi kedatangan Chu Seng Kun saat itu tepat tengah malam seperti saat yang dijanjikan oleh Keh-sim Siauw-hiap kepada mereka. Baru setelah rombongan gadis yang pernah dijumpai Chu Seng Kun di luar kota itu memasuki warung tersebut, kesalahpahaman itu menjadi jelas.
Orang-orang itu baru menyadari akan kesalahan mereka. Ternyata gadis-gadis tersebut adalah anak buah Keh-sim Siauw-hiap yang diperintahkan untuk menjemput mereka semua. Akhirnya orang-orang itu meninggalkan warung tersebut bersama-sama dengan gadis-gadis cantik itu. Chu Seng Kun dengan lesu duduk kembali di atas kursi ditemani pemilik warung itu.
“Chu siauw-sinshe, bagaimanakah…? Kenapa tadi terus berlari begitu saja? Tidak bertemu dengan nona Chu, bukan? Tentu saja tidak! Bukankah nona Chu telah berangkat siang tadi? Sekarang sudah tengah malam. Paling tidak nona Chu telah menempuh jarak 100 lie lebih…. Eh, Chu Siauw-sinshe! Kata-kataku tadi sebenarnya belum habis. Aku menyimpan sebuah barang kepunyaan orang yang pergi bersama-sama dengan nona Chu tapi…”
“Heh? Benar? Benda apakah itu?” Chu Seng Kun terlompat dari tempat duduknya. “Cepat perlihatkan kepadaku, paman! Apa…. Apakah orang itu menginap di sini?”
Pemilik warung itu mengangguk lalu bergegas masuk ke dalam diikuti oleh Chu Seng Kun. Dari dalam almari penyimpanan arak orang itu mengambil sebuah topi lebar dengan kain sutera tipis sebagai penutup pinggirannya. Benda itu diperlihatkan kepada Chu Seng Kun yang lalu mengamat-amati benda tersebut dengan teliti.
“Sudah pernah mengenal topi ini, Chu siauw-sinshe?”
“Belum pernah!” Chu Seng Kun menjawab lemah.
“Nah, siauw-sinshe. Sekarang beristirahatlah!”
“Tidak! Aku mau pulang malam ini juga. Siapa tahu Chu Bwe Hong telah berada di rumah…”
Tapi rumahnya tetap sepi. Ia menanti lagi sampai pagi, siang, sore… adiknya tetap tidak kembali. Beberapa hari ia menanti, kadang-kadang ia pergi ke kota untuk menanyakan tentang Chu Bwe Hong, tetapi adiknya tetap juga belum kembali. Akhirnya ia meninggalkan rumahnya untuk mencari Chu Bwe Hong! Satu bulan telah berlalu, berita tentang Chu Bwe Hong belum juga terdengar. Dua bulan tiga bulan telah berlalu pula. Chu Seng Kun pergi pula ke tempat calon mertuanya dan mengajak tunangannya untuk turut mencari adiknya.
Sehingga kini enam bulan telah terlewatkan pula tanpa hasil. Akhirnya pada hari ulang tahun penobatan Kaisar Han ini mereka teringat untuk mengunjungi baginda. Untunglah dari salah seorang perwira yang mengiringkan baginda ke kota ini mereka diberi tahu tentang kunjungan baginda di sini, sehingga sekarang mereka bisa berhadapan dengan junjungannya itu.
Demikianlah pemuda itu mengakhiri kisahnya, sementara hari ternyata juga telah menjelang pagi. Terdengar suara kokok ayam di sekitar pondok itu. Para prajurit penjaga telah mulai sibuk dengan tugasnya masing-masing.
“Ooh…. Jadi sampai sekarang enci Bwe Hong belum juga terdengar kabar beritanya? Ah, enci Bwe Hong... Enci Bwe Hong!” Nona Ho mengeluh sedih. Teringatlah gadis itu akan pengalamannya bersama-sama Chu Bwe Hong beberapa tahun yang lalu tatkala mereka berkelana bersama, berpetualang bersama, mengalami pahit getir bersama. Terbayang pula di depan mukanya saat mereka berdua diombang-ambingkan gelombang laut yang sangat luas.
“Enci… enci!” keluhnya lagi. Hatinya seakan-akan juga mengetahui apa sebenarnya yang menjadi beban pikiran gadis ayu itu.
Kaisar Han yang biasanya berhati keras itupun tampak menghela napas berulang-ulang. Baginda telah mengenal baik gadis itu sebelum baginda menduduki singgasana, karena kedua kakak beradik tersebut juga turut berjuang bersamanya dalam menumbangkan kekuasaan Kaisar Chin yang kejam itu.
“Sudahlah…! Kita tidak boleh hanya merenung dan menyesalinya saja. Kita harus berusaha untuk menemukan nona Chu kembali secepatnya! Nah, aku juga akan membantu saudara Chu dalam hal ini.” Kaisar Han berkata dengan penuh semangat.
“Penjaga! Panggillah Yap Tai-ciangkun. "ke sini sekarang juga! Bawa kim-pai (tanda perintah) ini! Lekas!” Kaisar Han memanggil penjaga pintu dan menyuruhnya memanggil Yap Tai-ciangkun yang sedang berada di gedung kepala daerah.
“Baik hong-siang!” penjaga itu berdatang sembah. Lalu dengan gemetar diterimanya „kim-pai‟ itu di atas kepalanya.
“Hong-siang… maaf, apakah yang akan hong-siang lakukan dengan memanggil Yap Tai-ciangkun kemari?” Chu Seng Kun bertanya dengan perasaan tidak enak.
“Saudara Chu, kau tenang-tenang sajalah di sini! Aku akan berusaha menolong pula untuk mencari nona Chu… Soalnya… hei, lihat! Anak muda ini telah membuka matanya!” mendadak Kaisar Han menunding ke arah di mana Chin Yang Kun dibaringkan.
Tampak pemuda yang hampir saja mati terkena racun itu berusaha membuka pelupuk matanya yang terpejam. Dan beberapa saat kemudian tampak mata yang telah terbuka termangu-mangu seakan tidak mempercayai kalau dirinya masih tetap hidup. Tetapi begitu mata itu memandang berkeliling dan melihat wajah-wajah keempat orang yang mengerumuni dirinya, kontan mata itu menjadi beringas.
Agaknya ia telah teringat kembali akan dirinya yang berada di penjara bawah tanah. Tiba-tiba pemuda itu melompat dari tempat tidurnya. Tetapi karena luka-lukanya yang parah pada kedua belah pahanya serta habisnya lwee-kang yang ia pelajari selama ini, maka tubuh itu jatuh terduduk di atas lantai dan terguling pingsan kembali. Chu Seng Kun dan Kaisar Han bergegas mengangkatnya kembali ke atas pembaringan.
“Kelihatannya anak muda ini telah mengetahui tadi bahwa tenaga dalamnya telah musnah…” Kaisar Han berguman pelan.
“Tetapi hamba kira hal itu justru kebetulan sekali, terutama demi keselamatan umum dan kaum persilatan…” Chu Seng Kun bergumam pula.
“Apa maksud saudara Chu?” Kaisar Han bertanya kaget.
“Hong-siang, di dalam darah anak muda ini telah mengalir sebuah campuran racun yang kekuatannya telah berlipat ganda. Racun itu telah bersenyawa menjadi satu dengan cairan darah sehingga tidak mungkin terpisahkan lagi. Padahal sifat racun itu adalah hidup, artinya mereka akan berkembang biak menjadi berlipat ganda banyaknya, sejalan dengan bertambahnya cairan darah di dalam tubuh manusia. Nah… tanpa kepandaian apa-apapun anak muda ini sudah menjadi orang yang sangat berbahaya bagi lingkungannya. Apalagi kalau sampai dia memiliki tenaga dalam yang mampu mengantar keistimewaan tubuhnya yang mengandung racun itu untuk melukai atau menyerang orang…. Wah, dunia persilatan tentu akan menjadi geger!” Chu Seng Kun menerangkan.
“Tetapi bukankah sudah banyak tokoh-tokoh persilatan yang mempunyai pukulan-pukulan beracun?” nona Ho membantah.
“Benar, tetapi lain sifatnya. Orang yang mempelajari ilmu pukulan beracun biasanya merendam lengannya di dalam cairan racun, sehingga sedikit demi sedikit cairan racun itu akan melekat pada kulit lengannya tanpa membahayakan jiwanya. Jadi selain mempelajari ilmu silat, orang itu juga melatih daya tahan tubuhnya terhadap racun itu. Maka seseorang yang berlatih ilmu pukulan racun hanya bagian kulit lengan saja yang mengandung racun. Cairan darahnya tetap bersih! Lain halnya dengan anak muda ini. Darahnya benar-benar beracun sehingga boleh dikata ia menjadi seorang manusia beracun, tidak ada bedanya dengan binatang ubur-ubur atau tikus laut itu sendiri!”
Chu Seng Kun menghentikan kata-katanya sebentar, kemudian melanjutkannya lagi. “Maka dari itu semakin tinggi anak muda ini berlatih lwee-kang semakin berbahaya pula dia bagi orang-orang yang berada di selilingnya. Sebab, berbeda dengan seseorang yang berlatih ilmu pukulan beracun, di mana letak kemanjuran dari racunnya baru terbukti apabila lengan itu sudah berhasil menyentuh tubuh lawannya, maka bagi manusia beracun seperti anak muda ini sentuhan terhadap tubuh lawan itu sudah tidak diperlukan lagi! Karena setiap anak muda ini mengerahkan lwee-kangnya maka otomatis tenaga dalam itu telah mengandung racun yang telah mengalir di dalam darahnya.”
“Hong-siang, hamba Yap Kim telah datang menghadap!” tiba-tiba di luar pintu terdengar suara orang mengetuk pintu.
“Yap Tai-ciangkun, silahkan masuk! lihat teman-teman lamamu berada di sini!”
Seorang laki-laki yang masih sangat muda tetapi memakai seragam panglima perang yang paling tinggi di dalam kalangan keperajuritan, tampak memasuki ruangan itu. Untuk beberapa saat Chu Seng Kun hampir tidak mengenali wajah itu. Wajah seorang pemuda yang tegas, gagah dan berwibawa. Padahal dahulu wajah itu sempat membuat ayah ibunya dan kakaknya menjadi kalang-kabut karena ulahnya yang badung serta nakal.
“Hong-siang… ada keperluan apakah pagi-pagi begini telah mengirim seorang utusan untuk memanggil hamba?” panglima itu berlutut di depan Kaisar Han.
“Yap Tai-ciangkun, coba lihat orang-orang yang kini sedang duduk bersamaku ini! Kau mengenal mereka tidak?”
“Oh… Saudara Chu! Nona Kwa…!” panglima muda itu terkejut. Kemudian dengan tersenyum ramah panglima itu menyalami mereka. “Aha, akhirnya kita dapat berjumpa pula. Tadi malam Hong-siang memang telah mengatakannya kepadaku…”
“Yap Tai-ciangkun, bagaimana dengan orang-orangmu yang tergabung dalam barisan Sha-cap-mi-wi (30 Orang Pengawal Rahasia Kaisar)?” baginda memanggil panglima muda itu.
“Mereka selalu bersiap diri siang malam untuk menjadi pagar bernyawa bagi keselamatan hong-siang!” panglima itu menjawab tegas.
“Bagus! Sekarang aku ingin meminta pertolongan mereka untuk mencari nona Chu yang hilang!”
“Hong-siang….!” Chu Seng Kung berseru untuk mencegah maksud baginda itu. Bagaimanapun juga pemuda itu menjadi tak enak hati kalau dalam mencari adiknya ini harus melibatkan pasukan yang hebat itu. Ia telah mendengar khabar angin bahwa untuk dapat menjadi anggota pasukan pengawal ini harus melalui pendadaran yang sangat berat lebih dahulu. Sehingga setiap anggota pasukan itu tentulah merupakan seorang jago silat berkepandaian tinggi dan telah lulus dari perguruan mereka masing-masing.
Yap Tai-ciangkun memandang Kaisar Han dengan sinar mata kaget. Sedikitpun ia tidak mengetahui maksud baginda itu. Barulah ia menjadi maklum akan maksud junjungannya itu setelah baginda sendiri yang menerangkan apa yang telah terjadi. Meskipun demikian, sebetulnya ia tidak begitu cocok dengan maksud dan keinginan baginda itu. Bagaimanapun pentingnya masalah tersebut, tak perlu sebenarnya harus mempergunakan pasukan yang hebat itu, sehingga baginda sampai melupakan kepentingannya sendiri pula. Tapi tentu saja keputusan baginda tersebut sudah tidak bisa diganggu gugat lagi.
“Yap Tai-ciangkun, sebarlah seluruh anggota Sha-cap-mi-wi ke seluruh negeri! Suruh mereka berangkat besok pagi setelah kau beri keterangan yang lengkap tentang keadaan nona Chu. Beri juga batas waktunya, yaitu ketemu atau tidak ketemu harap sudah tiba kembali di istana pada tanggal 10 bulan depan. Nah, Yap Tai-ciangkun, silahkanlah kau kembali mempersiapkannya sekarang juga!”
“Akan hamba kerjakan, hong-siang!” Yap Tai-ciangkun minta diri.
Kaisar Han berjalan ke jendela dan membukanya lebar-lebar. Sang sinar matahari pagi masuk menerangi ruangan itu. Burung-burung kecil tampak beterbangan di antara pohon-pohon bunga dan cemara yang ditanam di halaman. Anginpun meniup perlahan menyegarkan suasana.
“Besok pagi aku juga akan kembali ke kota raja. Anak muda yang terluka parah ini biarlah kubawa serta pula. Saudara Chu... Kalian berdua lebih baik juga pergi bersamaku. Kalian dapat menanti khabar dari orang-orangku itu di sana sekalian beristirahat….” Baginda berkata perlahan.
“Hong-siang… Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila kami terpaksa menolak ajakan hong-siang ini. Selain kami memang ingin berusaha dengan sekuat tenaga kami. Kami merasa tak enak pula di dalam hati apabila hanya berpangku tangan saja di rumah, sementara Hong-siang telah bersusah payah mengerahkan Sha-cap-mi-wi ke seluruh pelosok negeri. Maka dari itu besok pagi kami juga ingin mohon diri untuk meneruskan perjalanan kami…. Sedangkan pada tanggal bulan depan kami juga akan menghadap Hong-siang untuk mengetahui hasil dari perjalanan para anggota Sha-cap-mi-wi ini….” Nona Kwa berkata dengan halus mewakili calon suaminya.
“…..dan hamba menghaturkan banyak terima kasih atas perhatian Hong-siang pada masalah yang hamba derita ini.” Chu Seng Kun menambahkan.
“Baiklah! Aku tahu perasaan kalian. Sekarang kalian beristirahatlah, nanti sore aku ingin bertukar pikiran dengan kalian lagi!”
“Terima kasih, Hong-siang!”
Sepeninggal sepasang merpati itu dari ruangan tersebut nona Ho segera mendekati Kaisar Han. “Suhu, aku ingin sekali mengikuti mereka untuk mencari enci Bwe Hong. Selain itu aku juga ingin menemui teman-teman lama yang sudah bertahun-tahun tak kujumpai. Boleh… ya, suhu? Bosan juga disuruh menjadi puteri pingitan di istana terus-menerus.” Rengeknya.
Kaisar Han menatap wajah muridnya yang disayanginya. “Baiklah, kau boleh ikut mereka apabila mereka memperbolehkan… Haha, biar aku larangpun engkau tentu akan tetap pergi juga!” Kaisar Han tersenyum.
“Terima kasih, suhu!” teriak nona Ho sambil berlari keluar. Hatinya tampak senang bukan main. Gadis itu segera berlari menemui kedua temannya itu serta mengatakan maksudnya untuk ikut dengan mereka mencari Chu Bwe Hong. Tentu saja Kwa Siok Eng juga merasa senang sekali mendapat teman seperjalanan seperti Ho Pek Lian.
Sementara itu Kaisar Han kembali berdiri di samping pembaringan Chin Yang Kun. Baginda memandang wajah yang agak kurus tapi tampan sampai lama sekali. Entah kenapa baginda sendiri tidak tahu. Sejak baginda melihat untuk pertama kalinya di dalam penjara bawah tanah itu, di mana anak muda itu terkapar terluka parah badannya, baginda seperti tersentuh perasaan simpatinya. Baginda secara tidak sadar sampai memanggul sendiri tubuh anak muda ini.
Padahal di sana terdapat beberapa orang hamba sahayanya. Baginda sampai lupa juga akan kedudukannya ketika baginda memanggul anak muda itu ke pondok ini, sehingga para pengawal dan para prajurit yang telah mengenal penyamaran baginda menjadi sangat heran dibuatnya.
Para prajurit itu seakan-akan melihat junjungan mereka memanggul salah seorang putera baginda sendiri saja. Padahal mereka semua tahu bahwa biarpun telah berusia 40 tahun lebih, junjungan mereka itu masih tetap belum berkeluarga, apalagi mempunyai seorang putera.
Ketika tubuh itu mulai bergerak baginda segera memegang lengannya, dan sebelum pemuda itu sempat berpikir yang bukan-bukan baginda cepat pula menerangkan duduk perkaranya, mengapa anak muda itu sampai di tempat tersebut, sehingga akhirnya pemuda itu menjadi tenang kembali.
“Tenanglah, anak muda! Kini engkau telah terbebas dari mereka, engkau telah berada di tempatku yang aman. Aku adalah seorang perwira kerajaan yang membebaskan engkau dari tangan penjahat-penjahat itu. Biarlah setelah engkau dapat berjalan kembali seperti sedia kala, terserah kepadamu untuk pergi ke mana saja. Nah, aku akan beristirahat dahulu. Kalau membutuhkan sesuatu, kau panggil sajalah penjaga yang berada di luar pintu itu!” baginda berkata sedikit berbohong agar tidak mengagetkan anak muda itu, kemudian baginda keluar dari ruangan tersebut setelah lebih dahulu membisiki para penjaga agar berusaha membantu penyamaran baginda itu.
Sampai lama Yang kun masih tetap berdiam diri saja di tempatnya. Pikirannya melayang jauh mengenangkan semua peristiwa yang baru saja dia alami. Bermula dari keberangkatan keluarganya yang masih utuh sampai musnahnya mereka satu persatu di dalam perjalanan. Sehingga pada akhirnya tinggal dia sendirilah yang masih hidup. Itu pun kalau tidak ditolong oleh perwira itu tadi niscaya nyawanya akan melayang seperti yang lainnya.
Sebenarnya Yang Kun tak menyangka sama sekali bahwa dirinya masih dapat diselamatkan dari kematian oleh para penolongnya itu. Maka secara diam-diam tumbuh di dalam hatinya suatu perasaan terima kasih yang tak terhingga terhadap mereka itu. Hanya ada sedikit rasa kecewa di hatinya ketika pemuda itu menyadari betapa himpunan tenaga dalam yang telah dikumpulkannya selama ini telah hilang lenyap dari tubuhnya.
Pada sore hari ketika perwira yang menolongnya itu datang kembali bersama-sama dengan kawan-kawannya, Yang Kun menyambutnya dengan senyuman terima kasih. Perwira itu memperkenalkan kawan-kawannya itu kepada Yang Kun.
“Hian-te (saudara kecil), mari kuperkenalkan engkau dengan kawan-kawanku ini. Mereka semua ini yang bersama-sama dengan aku menyelamatkan engkau dari penjara bawah tanah itu. Pertama-tama kenalkanlah pemuda jangkung ini. Dia bernama Chu Seng Kun, seorang ahli pengobatan yang menyelamatkan dirimu dari kematian.”
Yang Kun dengan susah payah berusaha untuk duduk di atas pembaringannya. “Terima kasih, in-kong!” katanya perlahan.
Kemudian Kaisar Han itu memperkenalkan Yap Taiciangkun juga, meskipun panglima itu hanya diperkenalkan sebagai salah seorang bawahannya saja. Begitu juga ketika baginda itu memperkenalkan nona Ho dan nona Kwa, kedua gadis itu hanya diperkenalkan sebagai kawan dari Chu Seng Kun saja. Pokoknya baginda tidak ingin dia berserta para pengawalnya dikenal orang sebagai seorang kaisar dan prajurit-prajuritnya.
“Nah… kau beristirahatlah sebanyak mungkin agar supaya cepat sembuh! Kami akan berbincang-bincang sebentar di ruangan lain.” Kaisar Han minta diri.
“Terima kasih, tuan!” Yang Kun mengangguk dalam-dalam.
“Oh, iya…” Tiba-tiba kaisar Han membalikkan tubuh ketika mereka telah berada di ambang pintu. “Bolehkan kami mengetahui namamu, hian-te? Siapa tahu kita akan sering bertemu di jalan nanti?”
Chin Yang Kun tampak gelagapan. Tak ingin sebenarnya ia dikenal orang, tapi tak enak pula hatinya kalau harus membohong terhadap orang yang telah menyelamatkan nyawanya. “Siauw-te bernama….. Yang Kun!”
“Bagus! Yang hian-te, gurumu telah dibebaskan oleh Liok Cianbu pagi-pagi tadi. Mungkin dia telah berangkat lebih dahulu ke kampungmu, sehingga kau tak usah mencarinya lagi.”
Sekali lagi pemuda itu gelagapan hatinya. Dia tak mengerti dan tidak tahu apa yang dimaksud oleh perwira itu. Tapi ketika berkelebat bayangan Hek-mou-sai di otaknya, segera ia menangkap siapa yang dimaksud oleh perwira itu. Agaknya Hek-mou-sai telah membohongi mereka dengan mengatakan bahwa mereka berdua adalah dua orang guru dan murid. “Terima kasih, tuan!”
Kelima orang itu pergi meninggalkan Chin Yang Kun seorang diri lagi. Mereka turun ke halaman dan berjalan menuju sebuah bangunan kecil yang berada di tengah-tengah kolam ikan. Ternyata di sana telah menunggu para pembesar kepala daerah, para perwira dan para penasehat kaisar yang telah dibawa oleh baginda dari kota raja. Chu Seng Kun dan nona Kwa menjadi terkejut di dalam hati. Tak mereka sangka baginda mengajak mereka ke sebuah pertemuan di antara para pembesar Negara. Mereka menjadi canggung dan tak tahu apa yang mesti mereka perbuat.
“Hong-siang, lebih baik hamba menanti saja di tempat saudara Yang Kun tadi. Hamba tidak berani menganggu apabila hong-siang sedang berkenan untuk mengadakan pertemuan di sini.” pemuda itu berkata kepada Kaisar Han.
“Hah? Tak apa-apa…… ayolah! Aku memang bermaksud mengajak kalian dalam pertemuan kali ini. Ada sesuatu yang ingin kukatakan juga kepada kalian sebelum kalian berangkat besok pagi.” Baginda menyahut.
Semuanya menjatuhkan diri berlutut ketika Kaisar Han memasuki bangunan kecil itu dan baru bangun kembali ketika baginda telah duduk di kursinya. Mereka juga mengambil tempat duduk mereka masing-masing.
“Yap Tai-ciangkun!” langsung saja baginda memulai pertemuan itu tanpa melalui basa-basi. “Siapakah yang kau tunjuk sebagai pengganti dari Si Ciangkun di sini?”
“Belum ada, Hong-siang. Sementara waktu kedudukan itu hamba berikan kepada Liok Cianbu. Tetapi hamba bermaksud menarik separuh dari prajurit hamba yang berada di sini untuk hamba tempatkan di kota lain.”
“Bagus…. begitupun juga baik. Dan lebih baik lagi kalau prajurit-prajurit yang kautarik itu kau tempatkan saja di kota-kota kecil di pantai timur sana agar dapat menghadapi para perampok yang sering menganggu kota-kota itu.”
“Akan hamba kerjakan, Hong-siang!”
“Baik! Kini tinggal kepala daerah yang harus membersihkan sisa-sisanya dan memperbaiki daerahnya!” baginda meneruskan.
“Akan hamba kerjakan semua titah hong-siang!” Kepala daerah itu menyanggupi.
“Sementara itu aku juga tidak akan berhenti sampai disini saja. Akan kukirimkan beberapa orang petugas khusus untuk menyelidiki hal ini sampai tuntas!”
“Ampunkan hamba, hong-siang! Hamba juga telah berusaha melacak jejak-jejak orang luar yang ikut tersangkut dalam usaha pengkhianatan terhadap negara ini,” panglima yang masih muda itu memberi laporan.
“Orang luar? Benarkah ada pihak lain yang turut campur dalam peristiwa ini?”
“Benar…. hong-siang! Agaknya Si Ciangkun telah mempergunakan orang-orang kang-ouw sebagai tulang punggung kekuatannya. Hal ini terbukti ketika tadi malam hamba menggerebeg rumahnya, pasukan hamba telah dikagetkan dengan munculnya belasan tokoh kang-ouw yang mempunyai kepandaian sangat tinggi, sehingga maksud hamba untuk mengepung rumah itu menjadi berantakan malah. Salah seorang di antara orang-orang itu sudah berhadapan pula dengan hamba,” Dengan agak ragu-ragu Yap Tai-ciangkun memberi keterangan kepada Kaisar Han.
Keraguan ini disebabkan oleh karena laporan tersebut sebenarnya tidak perlu lagi disampaikan kepada baginda dalam pertemuan ini, sebab dengan menyamar sebagai Liu suhu baginda telah melihat sendiri pertempuran tadi malam. Justru baginda sendiri juga telah bertempur dengan salah seorang di antaranya.
“Lalu apakah yang telah kau lakukan untuk melacak orang-orang kang-ouw yang ikut terlibat itu!” Kaisar Han bertanya.
“Kakak hamba sendiri telah menyanggupkan diri untuk melacak mereka….”
“Aha…. Hong-lui-kun Yap Kiong Lee sendiri yang berangkat? Ha-ha-ha… inilah baru dapat dikatakan sebuah langkah yang benar. Kukira selain orang seperti Hong-lui-kun (Si Tinju Petir dan Badai) Yap Kiong Lee sendiri yang berangkat takkan ada lagi orang-orang kita yang mampu menghadapi mereka.”
Kaisar Han berkata dengan lega dan gembira. Telah sejak lama Kaisar Han berusaha membujuk kakak Yap Tai-ciangkun itu agar mau menjadi pembantunya, tetapi pendekar sakti itu dengan halus selalu menolaknya. Pemuda itu hanya mempunyai suatu keinginan di dalam hidupnya, yaitu membalas budi gurunya yang telah mendidik dan merawat dia sejak kecil. Dan salah satu jalan untuk berbuat seperti itu ialah dengan mengawasi dan melindungi Yap Kim (Yap Taiciangkun), putera satu-satunya dari gurunya itu.
“Terima kasih atas kepercayaan hong-siang terhadap kakak hamba.”
“Sudahlah! Sekarang aku mempunyai sebuah persoalan lain yang kita akan bicarakan.” Kaisar Han mengalihkan pembicaraannya. Dengan tersenyum baginda menoleh ke arah tempat duduk Chu Seng Kun dan nona Kwa. “….dan khusus dalam persoalan ini nanti, aku mengharapkan pertolongan sepasang tamu kita ini.”
Kedua muda-mudi itu segera berdiri menghormat kepada Kaisar Han. “Silahkan hong-siang mengatakannya, hamba berdua akan selalu siap untuk melaksanakannya,” mereka berkata.
“Terima kasih! Begini cu-wi semua….”
Kemudian Kaisar Han bercerita tentang sebuah benda kuno yang sejak jaman purbakala selalu menjadi rebutan para raja-raja. Benda itu berwujud sebagai “cap” terbuat dari batu giok berwarna kuning dan berbentuk persegi empat. Di bagian bawah terukir sebuah huruf „TIONG‟ yang memenuhi seluruh permukaannya. (Tiong berarti : Tengah).
Konon khabarnya benda itu dibuat oleh dewa yang turun ke tengah bumi untuk mendidik manusia agar lebih mengenal peradaban. Dewa itu mengumpulkan orang-orang yang masih hidup di dalam goa-goa untuk diberi pelajaran hidup bermasyarakat serta mendirikan sebuah dusun dan kota. Oleh manusia-manusia purba tersebut sang dewa itu lalu diangkat sebagai raja mereka.
Begitulah, setelah dewa itu mempunyai seorang putera yang nantinya dapat menggantikan dirinya sebagai raja, maka dewa tersebut lalu kembali lagi ke kahyangan. Tetapi sebelum kembali dewa itu membuatkan sebuah mainan dari batu giok untuk anaknya yang ia beri nama TIONG itu. Benda mainan itu oleh sang dewa diberi tuah agar menjadi pelindung bagi keselamatan anaknya yang masih kecil itu.
Tenyata benda mainan yang sederhana itu benar-benar sangat bertuah sekali. Begitu anak kecil tersebut memegang benda mainan itu maka seakan-akan ia mempunyai perbawa dan pengaruh yang menakutkan, seakan-akan sedang berhadapan dengan sang dewa itu sendiri, sehingga segala binatang buaspun tunduk kepadanya.
Demikianlah, benda itu akhirnya menjadi sebuah benda pusaka yang diberikan turun-temurun kepada raja-raja pengantinya, sehingga akhirnya beberapa ribu tahun kemudian benda pusaka yang sangat bertuah itu menjadi rebutan bagi raja-raja lain yang menginginkan keselamatan, seperti halnya si anak dewa tersebut. Sampai sekarangpun benda itu masih tetap diperebutkan oleh orang yang menginginkan dirinya agar dapat menjadi raja di Negara TIONG yaitu negara yang dikuasai oleh anak dewa itu. (Tiongkok sekarang).
“Menurut catatan yang tertulis di dalam perbendaharaan buku istana, benda pusaka itu hilang dari istana kira-kira 90 tahun yang lalu, yaitu pada masa permulaan pemerintahan Raja Chin Lu. Raja ini masih berusia belasan tahun ketika menggantikan ayahnya, Raja Chin Bun, yang wafat karena musibah gempa bumi. Benda itu dicuri oleh Bit-bo-ong asli yang hidup pada jaman itu…!”
Semua orang yang berada di tempat itu menjadi termangu-mangu ketika mendengarkan dongeng baginda tersebut. Sebagian dari mereka memang sudah pernah mendengar cerita itu dari nenek moyang mereka masing-masing.
“Ternyata lima tahun yang lalu benda pusaka itu telah muncul lagi di istana, biarpun hanya untuk beberapa hari saja. Benda pusaka itu telah dibawa masuk lagi ke istana oleh mendiang „duplikat Bit-bo-ong‟ yang sempat menikmati singgasana kerajaan selama 40 hari! Tetapi dengan runtuhnya dia dari istana maka benda itu ternyata juga lenyap kembali hingga sekarang.” Kaisar Han meneruskan dongengnya.
Chu Seng Kun saling berpandang dengan nona Kwa. Meskipun tidak saling mengutarakan pendapatnya tapi keduanya telah menduga apa yang akan dimaksudkan oleh baginda tentang permintaan tolong kepada mereka itu.
“Selama 5 tahun ini aku telah memerintahkan Yap Tai-ciangkun untuk menyelidikinya, di mana sebenarnya benda pusaka itu disimpan oleh duplikat Bit-bo-ong almarhum. Akhirnya sebulan yang lalu Yap Tai-ciangkun mencium jejak dari keluarga duplikat Bit-bo-ong itu. Mereka tenyata bersembunyi di suatu tempat yang terpencil. Keluarga itu terdiri dari tiga orang kakak beradik berserta keluarga masing-masing yaitu Chin Yang, Chin Kong dan Chin Bu! Tetapi ketika aku memerintahkan Yap Tai-ciangkun untuk menggerebeg tempat tersebut ternyata telah terlambat. Tempat itu telah menjadi puing-puing berserakan, sehingga kami kehilangan jejak dari pada benda pusaka itu lagi.” Kaisar Han menghentikan ceritanya lagi.
“Kemudian Yap Tai-ciangkun menyebar lagi orang-orangnya guna mendapatkan tempat persembunyian mereka itu, tapi belum lagi ketemu dengan mereka, Yap Tai-ciangkun justru menemukan bukti-bukti bahwa salah seorang perwira tingginya yang berada di kota Tie-kwan telah berhianat! Itulah sebabnya hari ini aku dan Yap Tai-Ciangkun berada di sini….”
Kaisar Han turun dari kursi lalu berjalan perlahan ke tengah ruangan. Ujung pedangnya yang panjang terseret di atas lantai. Dengan penuh kewibawaan baginda menyilangkan tangannya di depan dadanya.
“Menurut penyelidikan yang terakhir, keluarga Chin itu menuju ke arah pantai timur. Oleh karena itu aku minta laporan pertolongan cuwi sekalian apabila melaporkan kepada kami apabila melihat atau mendengar tentang mereka. Cuwi sekalian saya kumpulkan di tempat ini karena cuwi adalah penguasa-penguasa di daerah ini. Siapa tahu mereka lewat di daerah cuwi….” Kaisar Han menutup keterangannya.
Kemudian Kaisar Han berjalan mendekati Chu Seng Kun dan nona Kwa. “Chu-hian-te…. aku juga minta pertolongan kalian dalam persoalan ini. Aku menginginkan agar benda pusaka ini berada kembali di dalam perbendaharaan istana. Kalian tentu mengerti maksudku yang sebenarnya dalam hal ini. Aku tidak ingin benda itu menjadi penyebab dari arena pertempuran berdarah di antara rakyat karena masing-masing orang ingin memilikinya. Kalian tentu tidak akan menuduhku sebagai seorang yang serakah yang ingin berkuasa sebagai dewa dan menginginkan ditakuti oleh binatang-binatang buas….. Karena seperti yang pernah kukatakan kepada kalian, kalau toh aku diperbolehkan memilih di antara dua pilihan, raja atau petani…. aku akan memilih sebagai petani saja!”
“Hong-siang hamba berdua akan berusaha untuk membantu hong-siang dalam hal ini.” Chu Seng Kun menjawab.
Kaisar Han mengucapkan rasa terima kasihnya berulang-ulang. Kemudian perlahan-lahan baginda mendekati tempat duduk Yap Tai-ciangkun. “Yap Tai-ciangkun! Perintahkan kepada seluruh anggota Sha-cap-mi-wi yang akan berangkat besok pagi agar melacak juga tempat persembunyian dari keluarga Chin!”
“Akan hamba kerjakan, hong-siang!”
“Nah, kukira apa yang ingin kubicarakan di dalam pertemuan ini telah aku keluarkan semua. Maka siapa yang mempunyai suatu pendapat atau persoalan yang lain silahkan berbicara…!” Kaisar Han menutup ucapannya.
Karena tak seorangpun yang mau berbicara maka Kaisar Han menutup pertemuan itu. Dengan diantar Yap Tai-ciangkun baginda kembali ke kamarnya. Keesokan harinya, di tempat itu terjadi kesibukan yang luar biasa. Belum juga matahari pagi menampakkan sinarnya, berbondong-bondong beberapa kelompok orang meninggalkan tempat itu. Mereka tersebar ke segala arah. Kelompok yang paling sedikit adalah rombongan Chu Seng Kun dan kedua gadis itu. Mereka menuju arah timur, ke arah kota-kota yang berada di pinggir pantai.
Rombongan yang terakhir adalah rombongan Kaisar Han sendiri yang akan pulang kembali ke kota raja. Rombongan itu terdiri dari 4 kereta dan 1 pasukan prajurit terlatih. Dengan diantar oleh Kepala Daerah Tie-kwan sampai di perbatasan rombongan ini berangkat tanpa menimbulkan kecurigaan penduduk. Penduduk tetap menyangka bahwa prajurit-prajurit itu adalah pasukan yang diperbantukan untuk menjaga keamanan selama berlangsungnya pesta perayaan itu. Sedikitpun mereka tidak menyangka kalau kaisar junjungan mereka hari itu berada di antara mereka.
Hampir sebulan lamanya. Yang Kun terbaring saja di atas pembaringannya. Tabib yang setiap hari datang menjenguknya ternyata bukan Chu Seng Kun yang menolong dirinya itu. Tabib yang kini selalu mengobati luka-lukanya adalah seorang tabib tua yang suka berkelakar dan sangat sabar. Yang kun tidak diperbolehkan pergi ke mana-mana, takut kaki yang terluka parah itu akan menjadi lumpuh.
Tabib itu berkata bahwa luka itu sebenarnya tidaklah begitu membahayakan, tetapi pengaruh racun yang terlanjur bercampur dengan darahnya itulah yang justru sangat berbahaya bagi tubuhnya. Kalau kaki yang terluka itu dipaksa untuk berjalan juga sebelum sembuh, maka kemungkinan untuk menjadi lumpuh semakin besar pula. Oleh karena itu Yang Kun menjadi sangat patuh sekali, tak sekejappun selama sebulan itu dia turun dari tempat pembaringannya.
Ternyata setelah lolos dari kematian yang hampir saja merenggut nyawanya itu, semangatnya untuk hidup dan sembuh kembali seperti sedia kala menjadi sangat berkobar-kobar. Maka biarpun di dalam minggu terakhir ini kakinya telah terasa normal kembali, pemuda itu masih tetap tidak berani mendahului perintah tabibnya.
Padahal semuanya itu hanya merupakan sebuah taktik dari Kaisar Han agar pemuda yang dibawanya ke dalam istana itu tidak berkeliaran keluar dari kamarnya, sehingga akan mengetahui bahwa dia sedang berada di dalam istana. Baginda tetap menginginkan agar anak muda yang bernama Yang Kun ini masih beranggapan bahwa dirinya sedang berada di rumah seorang “perwira”, yang tentu saja mempunyai rumah besar dan indah serta dijaga oleh para pengawal pula.
Setiap dua tiga hari sekali Kaisar Han dengan pakaian sederhana menjenguk pemuda itu di dalam kamarnya, sehingga hal itu membuat semua orang yang tinggal di istana menjadi terheran-heran dibuatnya. Sungguhpun sebagai seorang jago silat yang berkepandaian tinggi, kaisar junjungan mereka itu memang seringkali berbuat yang aneh-aneh. Dan selama sebulan itu memang terjadi suatu persahabatan yang tulus antara dua orang manusia yang berwatak aneh, yaitu persahabatan antara seorang “perwira” dan seorang anak kepala desa yang baru saja lulus dari belajar silat!
“Yang Hian-te, beberapa hari lagi mungkin engkau sudah diperbolehkan turun dari tempat tidurmu ini. Engkau bisa berjalan-jalan dan berlari-lari kembali tanpa merasa khawatir kakimu akan menjadi lumpuh….” Perwira itu menghibur hati Yang Kun.
“Hmm…. tapi selama sebulan ini engkau tentu sangat menderita bukan?”
“Memang! Apalagi kalau malam telah tiba, di mana aku sudah ditinggalkan seorang diri di kamar yang luas ini…. Wah, rasa-rasanya aku justru lebih tersiksa dengan rasa sepi itu dari pada dengan rasa sakitku ini. Selama sebulan berbaring saja di atas pembaringan ini membuat diriku seolah-olah akan menjadi sinting. Setiap malam di mana kegelapan telah menyelubungi kamar ini, maka otakku mulai berkhayal yang bukan-bukan. Aku merasa seperti tidak lagi berada seorang diri di kamar ini. Apabila malam telah larut, seakan-akan ada suara seruling yang ditiup perlahan… sekali di samping telinga saya. Sesekali apabila malam benar-benar sunyi malah terdengar pula suara nyanyian wanita di pojok sana itu…” kata pemuda itu sambil menunjuk ke arah sudut kamarnya.
“Hahaha….. Yang hian-te, jangan katakan kepadaku bahwa engkau adalah seorang yang takut hantu, hahaa….”
“Hehe… tidak, Liu toako! Aku bukan seorang penakut! Jika aku takut, aku tentu tidak akan tetap tinggal di atas pembaringan ini, aku tentu telah lari keluar biar kakiku akan menjadi lumpuh sekalipun….! Liu toako, aku justru malah mendengarkan dengan seksama, sehingga lama-kelamaan aku bisa menangkap seluruh isi lagunya.”
“Benarkah? Hahaha…. hebat benar hantu itu, dapat memberi pelajaran menyanyi kepada seorang manusia, haha… Wah, macam apa pula, ya… lagunya? Tentunya tidak seperti nada-nada lagu pada musik buatan manusia macam kita ini, yaa…?” Perwira itu tertawa terpingkal-pingkal. Mereka berdua benar-benar sudah sangat akrab sekali sehingga biar baru satu bulan mereka bergaul, mereka berbicara seperti seorang kakak beradik saja, tanpa khawatir merasa tersinggung satu sama lainnya.
“Toako, kau tentu tidak mempercayainya, bukan? Kau tentu menganggap bahwa aku telah menjadi gila karena racun-racun itu, bukan?”
“Benar, haha… Kun-te, kakakmu ini selama hidup belum pernah melihat hantu maka sedikitpun juga tidak percaya kalau didunia ini ada hantu. Apalagi hantu yang mengajari manusia menyanyi…. Kalau menurut pendapatku, apa yang telah terjadi kepadamu itu hanya disebabkan oleh daya khayalmu saja, saking lamanya engkau berbaring di sini. Padahal suara itu cuma suara angin bertiup atau suara binatang malam…”
“Tetapi, toako…”
“Haha, Kun-te, sudahlah….! Aku dulu juga pernah mengalami peristiwa seperti yang kau alami ini. Tapi percayalah semua itu tidak benar, hanya khayalan kita sendiri saja!”
“He? Liu toako juga pernah mendengar hantu bernyanyi?” “Ah…. Tidak hanya bernyanyi… tapi seolah-olah juga berdiri di hadapan saya…. Hei, kenapa kita hanya berbicara soal hantu saja? Ayoh, kita berbincang mengenai soal yang lainnya….!”
“Tunggu dulu….! Toako, kau berceritalah dahulu tentang hantu yang mengganggu dirimu itu, baru kita berbicara tentang soal-soal yang lain!”
“Wah, engkau ini ada-ada saja. Aku sudah hampir melupakannya. Peristiwa itu terjadi ketika aku masih muda sekali, ah… kenapa kau tanyakan juga hal ini?”
“Alaaa…. Toako kenapa pelit amat? Ayolah ceritakan dulu, aku senang dengan cerita-cerita tentang hantu!”
“Hmm, baiklah! Begini…. 20 tahun yang lalu, aku adalah seorang anak petani di dusunku. Biarpun tidak kaya tetapi aku sekeluarga juga tidak kekurangan. Kami mempunyai kepala desa yang sangat kaya raya. Dia mempunyai seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Aku… aku dan gadis itu bersumpah untuk menjadi suami istri, apapun akibatnya. Tapi kepala desa itu ternyata tidak menyukai aku. Puterinya ditunangkan dengan seorang bangsawan dari kota raja. Sebelum perkawinan mereka dilangsungkan, kekasihku itu aku larikan dari rumahnya. Tentu saja calon suaminya mengejar bersama-sama dengan pasukan yang dibawanya. Kami tertangkap setelah melarikan diri selama 2 hari di tanah perbukitan. Aku disiksa sampai hampir mati… Kun-te, lihatlah! Luka-luka itu masih membekas hingga sekarang! Wajahku yang semula tampan juga menjadi codat-cedet di sana-sini, sehingga aku terpaksa memelihara kumis dan jenggot lebat untuk menutupinya.”
“Ah, Liu toako… lambat benar, mana hantunya?” Yang kun memotong. Tak sabar hatinya mendengarkan penuturan sahabatnya yang berbelit-belit tak kunjung sampai di tujuan itu.
“Katanya mau mendengar ceritaku…., bagaimana ini? Jadi tidak?” perwira itu tersenyum.
“Iya…! Tapi mana hantunya? Masa dari tadi tidak muncul-muncul juga?"
“Wah…. Ya belum sampai di situ ceritanya! Nanti kalau sudah sampai di situ, hantu itu tentu akan muncul juga.”
“Yaa... tapi kenapa berputar-putar begitu. Sampai tua aku mendengarkan tak muncul-muncul juga nantinya….”
“Habis, bagaimana aku harus menceritakan kisah hantu ini kepadamu?”
“Langsung ke sasarannya, dong! Tanpa embel-embel ini itu, terus bercerita tentang kedatangan hantu itu.”
“Wah, baiklah! Sekarang aku langsung saja bercerita tentang hantu itu. Dengarkanlah baik-baik! Tiba-tiba hantu tersebut menyanyi di depan pembaringanku…”
“Lhoh! Kenapa terus begitu? Haha… repot… repot! Masa menuturkan suatu kisah demikian caranya, mana orang lain dapat mengerti maksudnya?”
“Habis pendengarnya juga merepotkan benar! Begini salah begitu salah, Lalu harus bagaimana? Orang bercerita kan harus dari permulaan, tidak dipenggal-penggal. Kalau dipenggal-penggal, mana bisa dimengerti orang? Aneh benar kau ini!”
“Baiklah… baiklah! Maafkan aku, aku memang tidak sabaran….. hehe… tapi jangan marah, lho!”
Kaisar Han menjadi heran pula hatinya. Kenapa hari ini ia begitu gembira seperti anak kecil saja? Kenapa senang benar bersahabat dengan anak muda ini? Ah, dunia ini memang sangat aneh! Dan baginda tidak tahu apa yang menyebabkan hal itu semua. “Kun-te, bagaimana ini? Jadi bercerita tidak aku ini?”
Yang Kun tertawa. “Haha… tak usahlah! Liu toako, aku kasihan melihatmu! Hahaha….!”
Kaisar Han juga tertawa terbahak-bahak, sehingga para pengawal yang berdiri di luar semakin merasa heran. Tidak biasanya baginda itu tertawa demikian kerasnya. Tiba-tiba Yang Kun mengerutkan dahinya. “Liu toako. Tapi aku tidak main-main dengan suara seruling yang aku ceritakan tadi. Sungguh! Aku benar-benar mendengarnya. Kau dapat membuktikannya nanti malam….” katanya bersungguh-sungguh, sehingga Kaisar Han tidak mau berkelakar lagi.
“Baiklah, aku nanti malam akan membuktikannya…” Malam harinya. Sejak matahari terbenam Yang Kun telah menjadi gelisah di dalam kamarnya. Ia ingin membuktikan bahwa ceritanya adalah benar, tapi ia takut jangan-jangan malam ini hantu itu tak mau meniup serulingnya lagi, apalagi mau bernyanyi seperti biasanya.
Sahabatnya baru datang ketika menjelang tengah malam. Langsung saja sahabatnya berkemas-kemas membenahi tempat tidur yang satunya, lalu berbaring di atasnya. “Kun-te, kau bangunkan aku nanti kalau hantu yang kau katakan itu muncul di kamar ini! Sekarang aku mau tidur saja.”
Yang Kun hanya mengangguk, pikirannya tetap tegang menanti datangnya suara seruling itu. Akan dia tunjukkan kepada sahabatnya itu bahwa suara yang didengarnya itu benar-benar suara seruling, bukan suara angin malam yang bertiup seperti yang dikatakannya itu.
Malam semakin larut. Suara yang dinanti-nantikan itu belum juga terdengar. Suasana benar-benar telah menjadi sangat sunyi, sehingga suara angin malam yang bertiup menerpa genting di atas kamar itu terdengar sangat nyata sekali. Ruangan kamar itu menjadi agak gelap karena lampu besar yang semula dipasang di atas meja telah diambil oleh penjaga, sehingga kini tinggal sebuah lampu teng kecil yang diletakkan di atas lantai di depan pintu masuk. Nyala apinya yang bergoyang-goyang gelap di dalam ruangan tersebut juga ikut berayun-ayun.
Yang Kun telah memusatkan seluruh perasaan hatinya kepada suasana di sekelilingnya, seperti yang selalu ia lakukan setiap hari apabila ia mendengarkan suara seruling itu. Karena hanya perasaan hatinyalah yang dulu pertama-tama dapat membedakan suara seruling itu dari suara-suara lembut yang lain. Baru setelah dalam beberapa hari ia telah terbiasa dengan suara itu, ia berusaha mendengarkannya dengan seksama seluruh irama dan pantunnya. Dan ternyata ia telah berhasil menangkap keseluruhan dari lagu itu.
Ternyata sama sekali tidak disadari oleh Yang Kun bahwa dia telah mempelajari sebuah ilmu silat tingkat tertinggi yang biasanya hanya didapatkan pada orang-orang yang telah mencapai tingkat kesempurnaan saja, yaitu ilmu yang biasa disebut orang dengan nama Lin-cui Sui-hoat (Ilmu Tidur di Atas Permukaan Air). Sebuah ilmu yang didasarkan pada ketajaman perasaan dan kesempurnaan panca-indera manusia, sehingga apabila hal itu telah dipelajari dengan sempurna akan mengakibatkan seseorang bisa mengetahui apa yang akan terjadi pada dirinya.
Yang Kun semakin tenggelam di dalam pemusatan pikiran dan perasaannya, sehingga tubuhnya yang terbaring lurus dengan mata tertutup itu tampak seperti mayat saja. Tetapi apa yang terjadi pada diri Yang Kun pada saat itu benar-benar suatu yang sangat mentakjubkan, apalagi untuk orang yang seumur dia! Ternyata dengan apa yang kini sedang dilakukan olehnya, Yang Kun sudah mampu membedakan sebuah suara, betapapun lembutnya, di antara riuhnya suara-suara lembut yang lain.
Yang Kun sudah dapat membedakan antara suara desir angin lembut yang menghembus di atas genting dan suara desir angin yang menerobos celah-celah lubang angin di atas pembaringannya. Yang Kun juga sudah mampu membedakan suara masing-masing nyamuk yang pada malam itu banyak beterbangan mengerumuni dirinya.
Malah pada akhirnya pemuda itu sudah mampu membedakan suara nyamuk jantan dan suara nyamuk betina. Lebih hebat lagi ketika pemuda itu dengan ketajaman perasaannya mampu melihat tanpa membuka kelopak matanya, bahwa perwira sahabatnya itu sedang memperhatikan dirinya dari tempat pembaringannya.
Tiba-tiba Yang Kun merasa ada sebuah desiran suara yang lembut, yang sangat dikenalnya, diantara desiran lembut angin lalu. Suara itu mengalun tinggi rendah membentuk sebuah sebuah irama lagu yang amat dikenalnya pula. Tak terasa bibirnya bergumam mengikuti lagu tersebut dengan pantun yang telah dihapalnya pula di luar kepala.
Sinar Bulan di antara bintang,
Membasahi padang di antara ilalang,
Hamparan perak luas membentang,
Alas tidur menentang awan.
“Kun-te… kau… kau berkata apa?” perwira itu terbangun dari pembaringannya.
Yang Kun cepat menempelkan jari telunjuk pada bibirnya. “Toa-ko….. dengarlah! Suara seruling itu sudah terdengar. Coba kau dengar dengan seksama, bukanlah suara itu ada di dalam kamar ini?”
Kaisar Han yang kini mengaku sebagai perwira itu berusaha mendengarkan pula, tapi meski sampai lelah ia menyaring-nyaring semua suara yang terdengar oleh telinganya, toh suara seruling yang dikatakan sahabatnya itu tak kunjung kedengaran juga. Kedua belah telinganya hanya mampu mendengar suara denging nyamuk-nyamuk yang beterbangan di dalam kamar itu.
“Ha-ha… Kun-te, aku benar-benar tidak dapat mendengar apa-apa,” akhirnya Kaisar Han menyerah. Seakan-akan menyerah padahal dalam hati kaisar itu semakin tidak mempercayai omongan Yang Kun. Tetapi karena ia tidak ingin menyakiti hati sahabat yang disukainya itu maka ia tidak mau memperpanjang persoalan itu.
“Ah…. Toako ini bagaimana. Nah sekarang suara itu berhenti. Biasanya tak lama lagi suara nyanyiannya akan terdengar de… ha, dia sudah mulai menyanyi…! Sinar bulan diantara bintang… Membasahi padang di antara ilalang…” pemuda itu bergumam mengikuti nyanyian itu.
Kaisar Han memandang dengan sinar mata penuh rasa kasihan kepada sahabat mudanya itu. Agaknya pengaruh racun yang memasuki tubuh sahabatnya itu masih belum hilang juga. “Sudahlah, Kun-te, tak ada gunanya juga engkau menerangkan apa yang kau dengar itu karena aku tetap tidak dapat mendengarnya sendiri….”
“Suara itu mulai hilang…. Liu-toako tolong kau lihat pojok kamar itu! Suara itu lari ke sana…!” Yang kun asyik dengan pikirannya sendiri, sehingga ia tak memperdulikan ucapan Kaisar Han yang baru saja.
Dengan agak berat Kaisar Han meloncat turun dari atas pembaringannya dan melangkah ke sudut. Tangannya mengambil lampu minyak yang berada di atas almari dan menyalakannya sekalian. “Kun-te, lihatlah, tidak ada apa-apa, bukan?” kata baginda sambil menerangi tempat itu dengan lampu yang dibawanya. “Cuma ada sebuah tembok yang kosong dan lantai batu yang sedikit merekah saking tuanya…., haha…. Jangan kau katakan bahwa hantu itu masuk ke dalam tanah melalui celah ini….!” Kaisar Han bergurau.
“Celah… celah apakah itu? Hei, kenapa rumahmu yang bagus ini sudah mulai retak?”
Kaisar Han menjawab dengan hati-hati, karena setiap pertanyaan yang menyinggung persoalan pribadi, baginda harus mengingat penyamarannya. “Kun-te, rumah ini bukan rumahku. Oleh karena aku belum berkeluarga, maka baginda kaisar belum berkenan memberi aku sebuah rumah. Aku hanya diperkenankan menempati salah sebuah ruangan di kompleks istana ini. Itupun hanya khusus untuk diriku saja, karena aku adalah perwira pengawal kepercayaan kaisar. Jadi ruangan ini adalah sebagian dari bangunan istana yang sudah berumur hampir seratus tahun, sehingga seperti yang kau lihat, lantai ini telah merekah saking tuanya. Selain itu, konon menurut para ahli, tepat di bawah bangunan istana ini mengalir sebuah sungai di bawah tanah, sehingga hal ini pula yang menyebabkan bangunan di dalam istana ini mudah retak.”
“Hei?!?... Jadi bangunan ini adalah bangunan istana kaisar di kota raja itu?” pemuda itu kaget sekali. “Kenapa aku dulu tidak melihat pintu gerbangnya ketika kita memasuki halaman istana ini?”
“Kita lewat pintu samping pada saat itu. Tapi meskipun lewat pintu gerbang depan, kau juga tidak mengetahuinya, karena kau selalu berbaring saja di dalam kereta. Lagi pula lewat pintu samping lebih dekat dari pada lewat pintu gerbang depan atau belakang.”
“Pintu gerbang belakang? Adakah pintu gerbang belakang itu?”
“Dahulu memang tidak ada. Di tempat itu hanya ada sebuah pintu kecil untuk lewat para pengawal seperti halnya dua buah pintu kecil yang dibangun pada kedua belah tembok sampingnya. Tapi sejak dibangun kembali dari keruntuhan akibat adanya gempa bumi besar pada kira-kira seratus tahun yang lalu, pintu belakang tersebut dibuat menjadi besar dan megah seperti yang terdapat di bagian depan. Pembaharuan seperti yang terdapat dibagian depan. Pembaharuan ini dimaksudkan agar supaya baginda lebih mudah menemui tamunya apabila kebetulan baginda sedang berada di istana bagian belakang. Sebab dengan terjadinya gempa itu mengakibatkan suatu tanah retak yang membelah istana bagian tengah dan istana bagian belakang. Tanah retak yang memisahkan kedua buah bagian istana itu sedemikian lebar dan dalamnya sehingga tidak bisa dibangun sebuah jembatan di atasnya…”
“Lalu bagaimana harus menyeberanginya?” Yang Kun bertanya. Pemuda ini memang seorang keturunan bangsawan, justru keturunan Kaisar Chin sendiri malah. Tetapi karena mendiang ayahnya cuma seorang keturunan dari selir, maka beliau hampir tak pernah berada di dalam lingkungan istana. Apalagi pemuda itu sendiri, sejak kecil selalu berada bersama ibunya di desa.
“Memakai perahu!” Kaisar Han menjawab. “Celah yang lebar dan dalam itu digenangi air dibawahnya. Sehingga… wah, Kun-te… lebih baik kuantar saja engkau melihatnya besok. Percayalah, suasananya malah menjadi lebih indah bukan main!”
“Terima kasih, Liu toako! Aku memang ingin sekali melihatnya.”
“Nah, marilah kita tidur sekarang! Lupakan saja hantumu itu!” Kaisar Han berkata.
“Liu toako, Tunggu….! Engkau tentu masih menganggap aku berbohong dan berkhayal tentang suara nyanyian itu. Benar, bukan? Tapi percayalah „toako‟ aku tidak berbohong, aku bersungguh-sungguh! Nah, sekarang dengarlah! Aku mendengar seseorang berlari melintasi halaman. Gin-kangnya sangat tinggi dan gerakannya sangat gesit sehingga tidak seorangpun penjaga yang melihatnya….”
“Kun-te, apa katamu? Ada orang berlari melintasi halaman? Kenapa aku tidak mendengarnya?” Kaisar Han beranjak dari pembaringannya, lalu berusaha mendekati Yang Kun. Dengan bersungguh-sungguh baginda berusaha mendengarkan suara tersebut, tapi ternyata sedikitpun beliau tidak mendengarkan sama sekali. Wah, dia tentu kumat lagi, pikir Kaisar Han.
“Liu toako, cepatlah kau keluar! Orang itu kini bersembunyi di balik rumpun bambu kuning di depan istana ini!” Yang Kun berbisik dengan tegang.
Kaisar Han terpaksa keluar pula dengan hati-hati, agar tidak terlalu menyakiti hati sahabatnya. Sambil lalu dia melemparkan sepatunya ke arah rumpun bambu itu. Tapi betapa terkejutnya baginda ketika sepatu itu tiba-tiba membalik ke arahnya kembali dengan kecepatan yang bukan main hebatnya. Otomatis baginda mengelak ke samping sehingga tubuh baginda menabrak daun pintu. Sepatu tersebut meluncur lewat hanya satu dim dari pipi baginda dan menghantam tembok hingga melesak ke dalam.
Untuk sekejap Kaisar melihat sesosok bayangan melayang meninggalkan rumpun bambu itu menuju ke gedung sebelahnya, gerakannya cepat sekali. Kaisar Han bersuit nyaring untuk memanggil para penjaga, lalu sambil mencabut pedang baginda mengejar bayangan mencurigakan tersebut.
Gedung itu adalah gedung perpustakaan tempat baginda biasa membaca dan menulis, maka tentu saja baginda sangat hapal seluruh keadaan di tempat itu. Dengan hati-hati baginda membuka pintu samping yang menembus ke ruangan belakang tempat menyimpan buku. Dari tempat itu baginda akan dapat mengawasi ke seluruh ruangan yang ada di dalam gedung tersebut melalui kisi-kisi yang terdapat di atas deretan almari buku.
Sementara itu para penjaga yang mendengar suitan baginda berbondong-bondong datang ke tempat itu. Mereka cepat mengepung gedung itu dengan ketat sehingga tak mungkin seorang dapat lolos dari tempat tersebut tanpa mereka ketahui. Kepala penjaga yang bertugas memimpin pengepungan itu mengajak beberapa orang penjaga untuk memasuki gedung tersebut melalui pintu depan.
Yang Kun yang belum berani meninggalkan tempat pembaringannya hanya dapat menunggu saja di kamarnya. Ia cuma dapat menerka-nerka saja apa yang terjadi di luar kamarnya sekarang. Agaknya ada seorang tokoh sakti datang ke tempat ini untuk berbuat jahat, buktinya orang itu datang dengan cara sembunyi-sembunyi serta pada waktu tengah malam pula.
Beberapa saat telah berlalu, tapi belum juga ada khabar tentang orang yang mencurigakan itu. Di luar masih terdengar ramai suara para penjaga yang mengepung tempat itu. Sinar obor mereka yang terang benderang tampak menerobos lubang angin dan lubang pintu yang jebol akibat senggolan perwira Liu tadi, sehingga kamar yang dihuni oleh pemuda itu ikut menjadi terang benderang pula.
Beberapa waktu lagi telah berlalu pula. Yang Kun menjadi tegang pula hatinya. Rasa-rasanya ia ingin meloncat keluar juga untuk menyaksikannya. Tapi bila diingat kaki itu sudah hampir sembuh, pemuda itu terpaksa mengurungkan pula niatnya. Akhirnya Yang Kun memusatkan seluruh perasaan dan pikirannya kembali. Biarpun tidak dapat melihat keadaan di luar secara langsung dengan kedua buah matanya, pemuda itu ingin pula mengetahuinya melalui ketajaman rasa dan panca indera yang lain, seperti yang biasa ia lakukan apabila ia mendengarkan suara “hantu” itu.
Mula-mula Yang Kun mendengar berpuluh-puluh suara langkah kaki dikamarnya. Menurut suara langkah kaki mereka yang meskipun hilir mudik tapi tidak pernah meninggalkan tempat itu, dapat diduga bahwa mereka sedang berjaga di tempat masing-masing. Dan apabila hal itu dihubungkan dengan peristiwa yang kini sedang terjadi, maka tidak salah lagi bahwa mereka kini sedang mengepung suatu tempat tertentu.
Kemudian terdengar langkah beberapa orang di antara mereka menuju ke arah kanan. Lalu terdengar suara pintu dibuka secara perlahan. Agaknya beberapa orang dari para pengepung itu telah membuka sebuah pintu ruangan yang diperkirakan berisi penjahat itu. Tetapi beberapa saat kemudian terdengar lagi langkah mereka itu keluar dari tempat tersebut. Kini terdengar langkah mereka telah bertambah dengan satu orang lagi, dan Yang Kun telah mengenal langkah orang tersebut dengan baik.
Orang yang telah dikenal langkahnya dengan baik oleh Yang Kun itu terus menuju ke kamarnya dan tak lama kemudian muncullah “perwira” sahabatnya itu di hadapannya. “Engkau tidak menemukan orang itu, Liu toako?” tanya Yang Kun kepada sahabatnya itu.
Kaisar Han menggelengkan kepalanya. “Heran! Tempat itu telah dikepung oleh seratus orang penjaga. Tidak mungkin rasanya apabila orang itu dapat meloloskan diri. Tapi orang itu benar-benar hilang lenyap tak ada bekasnya!”
“Apakah sudah diperiksa semua tempat dengan teliti? Siapa tahu ada tempat rahasia di sana?” pemuda itu bertanya lagi.
“Sudah! Sudah kuperintahkan untuk memeriksa di segala sudut-sudutnya, tapi orang itu tetap tidak dapat diketemukan. Dan rasa-rasanya juga tak ada jalan rahasia di tempat itu.”
“Benar-benar mengherankan kalau begitu. Masakan didunia ini ada manusia yang dapat menghilang dari pandangan mata?”
“Kun-te, kau tidurlah saja dahulu! Masih ada cukup waktu untuk meneruskan istirahatmu. Aku akan kembali ke tempatku untuk mengurus persoalan ini. Dan…” Kaisar Han menghentikan kata-katanya sebentar, lalu lanjutnya, ”...maafkan toakomu ini! Sekarang aku mulai percaya pada katakatamu tentang hantu itu. Agaknya memang telingaku yang tidak mampu mendengarkan suara-suara itu. Buktinya engkau dapat mendengar kedatangan penjahat itu, tapi aku yang telah kauberi tahu terlebih dulu juga tetap tidak dapat menangkap suara langkahnya.”
Tetapi hingga fajar mulai menyingsing Yang Kun tetap tidak dapat tidur. Banyak sekali persoalan yang memberati pikirannya. Baik mengenai persoalan tentang keluarganya serta tugas-tugas yang dibebankan oleh mendiang ayahnya maupun persoalan yang menimpa dirinya sendiri.
“Haha… Sudah bangun rupanya. Bagaimana keadaan kakimu, Yang hian-te!” tiba-tiba terdengar suara tabib yang setiap pagi menjenguknya. “Hei kenapa matamu merah sekali? Ahh…. Tentu tak bisa tidur akibat gangguan penjahat yang tadi malam tadi, bukan?”
Yang Kun terkejut. “Sinshe sudah mengetahui peristiwa yang terjadi di s ini tadi malam?”
“Haha…. tentu saja sudah, karena aku singgah di tempat Liu Ciangkun sebelum kemari tadi.”
“Benarkah? Lalu bagaimana akhirnya? siapakah penjahat yang datang itu? Dan apa pula maksud kedatangannya ke dalam istana ini?”
Tabib itu meletakkan tas tempat peralatannya di bawah pembaringan Yang Kun, lalu tangannya meraih kedua kaki pemuda itu untuk melihat luka-lukanya yang telah mengering. “Liu ciangkun tetap belum mengetahui, siapakah sebenarnya tamu malam itu. Yang terang ilmu kepandaiannya benar-benar sangat tinggi. Menurut Liu Ciangkun tiada seorangpun jagoan istana yang akan mampu menghadapi orang itu seandainya dia mau berkelahi dengan para penjaga. Liu Ciangkun juga berkata kepadaku bahwa orang itu bermaksud membunuh Kaisar Han. Dengan kepandaiannya yang sangat tinggi orang itu mampu meloloskan diri dari pengawasan penjaga istana, sehingga tanpa mendapatkan kesukaran orang itu dapat memasuki kamar tidur baginda. Untunglah malam ini baginda tidak tidur di kamarnya.”
“Orang itu bermaksud membunuh kaisar?” Yang Kun terkejut. Berani betul orang itu, pemuda itu membatin. Seorang diri memasuki gua macan! Padahal setiap orang mengetahui betul bahwa istana kaisar merupakan tempat berkumpulnya orang-orang sakti dari seluruh pelosok negara.
Tabib itu telah selesai memeriksa kedua kaki Yang Kun. “Besok pagi Yang hiante telah dapat pulang ke desa, karena luka-luka ini telah sembuh seperti sedia kala,” tabib itu memberi tahu.
“Hah? Benarkah….?” Yang Kun berteriak gembira. “Sinshe, aku…. aku…..”
“Sudahlah, aku tahu Yang hiante tentu akan mengucapkan rasa terima kasih kepadaku. Lupakanlah itu! Tapi Liu Ciangkun telah memberi pesan kepadaku tadi, bahwa nanti malam dia akan mengajakmu berjalan-jalan di istana ini. Dia ingin menunjukkan seluruh keindahan istana ini kepada sahabatnya yang akan meninggalkan dia untuk selamalamanya….!”
“Untuk selama-lamanya….? Ah, tidak demikian, sinshe! Aku bukan seorang yang mudah melupakan budi seseorang, apalagi orang tersebut adalah sahabatku…..! Aku tentu akan sering mengunjunginya setiap saat!”
“Nah, justru itulah yang sulit. Dalam keadaan biasa Yang hiante akan sangat sulit untuk menemui Liu Ciangkun, sebab selain Liu Ciangkun itu merupakan seorang yang sangat penting di sini, Liu Ciangkun itu juga jarang berada di istana. Dia sering mendapat tugas dari Kaisar Han untuk mengurus sesuatu di luar istana.”
“Benarkah….? Ah, kalau begitu pertemuanku nanti malam adalah pertemuanku dengan dia yang terakhir?” Yang Kun berdesah perlahan, tampak kedua buah matanya berkaca-kaca.
Pemuda itu merasa bahwa ia telah diselamatkan jiwanya oleh sahabatnya itu. Tanpa inisiatif Liu Ciangkun untuk membawa dirinya kepada Chu Seng Kun yang ahli pengobatan itu niscaya dirinya telah mati di dalam penjara di bawah tanah tersebut. Maka di dalam kegembiraan hatinya saat ini ternyata ada terselip juga rasa sedih karena harus berpisah dengan sahabatnya.
“Yang hiante, aku akan kembali dahulu. Mungkin aku tidak dapat mengantarkanmu besok pagi. Kali ini kau harus lebih hati-hati di dalam petualanganmu selanjutnya! Selamat jalan!” tabib itu tersenyum sambil menenteng tasnya.
“Terima kasih, sinshe!” Pemuda itu mengawasi punggung tabib tersebut sehingga lenyap di balik pintu, kemudian dengan menghela nafas panjang pemuda tersebut menatap ke arah langit-langit kamarnya kembali. Pikirannya melayang jauh meliwati atap kamarnya itu.
Hmm, ternyata banyak juga orang yang mempunyai budi baik di samping para pembunuh yang membantai keluarganya. Sampai matahari hampir terbenam Yang Kun telah berusaha melatih kedua buah kakinya untuk berjalan-jalan di dalam kamar itu...