Pendekar Penyebar Maut Jilid 05

Cerita silat Mandarin serial Darah Pendekar seri Pendekar Penyebar Maut Jilid 05 karya Sriwidjono
Sonny Ogawa

Pendekar Penyebar Maut Jilid 05 karya Sriwidjono - Mereka berdua kemudian keluar bersama-sama dari kamar itu, sebuah kamar yang selama sebulan menjadi tempat pemondokan bagi Yang Kun. Di luar Yang Kun seakan-akan telah disongsong pula dengan meriah oleh taburan sinar cemerlang dari bulan purnama, yang saat itu dengan gencarnya sedang menerangi seluruh alam di sekitar mereka. Hati dan perasaan Yang Kun pun seakan-akan menjadi lapang pula, sehingga ingin rasanya dia menghirup udara sepuas-puasnya.

Novel Silat Mandarin Karya Sriwidjono

“Ooh….. toako, begitu indah rasanya dunia ini setelah aku keluar dari kungkungan kamarmu yang pengap itu!” serunya lega.

“Kun-te, kau benar….! Coba kau lihatlah daun-daun yang bergoyang-goyang disentuh angin itu, kau lihat juga dahan dahan dan ranting-rantingnya yang mencuat ke sana ke mari di tempat yang tinggi itu, lalu kau pandanglah juga atap-atap bangunan yang menjulang ke langit itu….! Semuanya seakan-akan berlapiskan perak yang putih mengkilap ditimpa sinar purnama, bukan? Indah sekali…..! Inipun belum seberapa indahnya. Kau akan lebih terpesona lagi apabila kau nanti melihat jurang yang tergenang air di taman sebelah belakang istana ini.”

Mereka berjalan dengan perlahan-lahan mengitari halaman istana yang luas itu. Mereka melihat gedung perpustakaan, gedung tempat senjata, gedung tempat menjamu tamu, gedung tempat para puteri istana, gedung tempat kesenian dipertunjukkan dan gedung-gedung yang lain, yang semuanya adalah bangunan yang berukir-ukir sangat indah sekali.

Dan agaknya perwira Liu sahabatnya tersebut memang orang yang sangat dihormati di istana itu, buktinya pemuda itu selalu melihat para penjaga, pengawal dan para dayang yang berpapasan dengan mereka tentu berdiri membungkuk dengan hormat sekali.

“Toako, kau benar-benar sangat dihormati di istana ini. Agaknya kau benar-benar orang yang penting seperti yang dikatakan oleh sinshe itu.” Yang Kun tersenyum.

Kaisar Han tentu saja ikut tersenyum pula. “Apakah dengan demikian kau lalu tidak mau mengenalku lagi?” baginda bertanya sambil merangkul pundak Yang Kun.

“Ah, tentu saja tidak! Apapun kedudukan Liu toako di sini tidak akan merubah pandangan maupun penghargaanku kepadamu. Biar engkau hanya seorang tukang sapu ataupun seorang kaisar sekalipun, engkau tetap seorang yang pernah melepas budi kepadaku. Liu toako tetap seorang yang menyelamatkan aku dari elmaut!”

“Eh, Kun-te….. benarkah kata-katamu itu? Bagaimana kalau pada suatu saat nanti kakakmu benar-benar menjadi kaisar seperti kata-katamu tadi? Engkau juga masih tetap mau kenal denganku?” Kaisar Han bergurau, tetapi di dalam hati sebenarnya merasa berdebar-debar. Baginda merasa takut kalau kenyataan seperti itu akan merubah pandangan sahabat kecil yang telah disukainya seperti anak kandung sendiri itu.

“Ha-ha-ha…. Awas kau! Di sini bukan tempat bergurau seperti itu. Salah-salah engkau akan ditangkap dan dijebloskan ke penjara oleh kaki tangan Kaisar Han nanti!”

Yang Kun tertawa mendengar kelakar Kaisar Han yang menyamar sebagai perwira she Liu itu. Tetapi dengan roman muka bersungguh-sungguh Kaisar Han menatap wajah Yang Kun.

“Kun-te, aku tidak bergurau! Aku ingin mengetahui pendapatmu! Bagaimana seandainya seperti yang kukatakan itu benar-benar terjadi?”

“Ah, Liu toako….apakah engkau ingin memberontak kepada Kaisar Han?”

Yang Kun berbisik kaget. Lalu dengan dahi berkerut karena merasa heran atas tingkah laku sahabatnya itu, Yang Kun menjawab pertanyaan tersebut perlahan-lahan. Tetapi jawaban pemuda itu benar-benar bagai petir di siang hari bolong bagi telinga Kaisar Han.

“Liu toako, terus terang engkau tak cocok untuk menjadi kaisar. Seorang kaisar tulen haruslah seorang yang berhati keras dan kejam, selain kecakapan dan kebijaksanaan tentunya. Dan engkau adalah seorang yang berhati lemah lembut dan penuh kasih sayang, maka mana cocok kedudukan itu bagimu? Engkau takkan tega menghukum atau menyiksa lawan-lawanmu yang setiap saat tentu akan mengusik singgasana yang kau duduki! Tetapi meskipun demikian apabila engkau tetap juga ingin mengetahui pendapatku, jika pada suatu saat engkau benar-benar menjadi kaisar seperti yang kau katakan itu, aku hanya akan selalu berdoa agar engkau cepat-cepat jatuh dari tempat singgasanamu dan kembali menjadi rakyat biasa bersama aku untuk menggarap sawah serta ladang di desaku!”

“Kun-te….! Oh, cocok benar isi hatimu dengan apa yang kuinginkan selama ini! Hahaha… orang she Liu….orang she Liu! Kau benar-benar menemukan seorang sahabat yang sungguh-sungguh cocok dengan isi hatimu…. hahaha....! Kunte, aku sangat setuju pada apa yang baru saja kau katakan itu. Pada suatu saat apabila aku menjadi kaisar dan pada suatu hari tiba-tiba engkau datang mengajakku ke desamu untuk bertani dan menggarap sawah…hahaha…. Kedudukan sebagai kaisar itu kontan aku tinggalkan! Sungguh! hahaha….!”

Kaisar Han tertawa terbahak-bahak saking senangnya, sehingga Yang Kun yang tidak mengetahui apa-apa itu menjadi ketakutan apabila sampai terdengar oleh para pengawal Kaisar Han yang berada di sekitar tempat itu.

“Kun-te… jangan takut! Bukankah aku orang penting disini?” kata sahabatnya itu. “Aku akan selalu melindungimu dari siapapun juga, hahaha…. Marilah kini kita pergi ke taman istana yang berada di bagian belakang sana….!”

Ketika mereka lewat di samping gedung lian-bu-thia (ruangan untuk berlatih silat), Yang Kun mendengar suara denting senjata beradu. Otomatis mereka berhenti. Yang Kun menoleh ke arah pintu ruangan yang terbuka daun pintunya. Sekilas pandang ia melihat beberapa orang prajurit sedang berlatih silat dengan mempergunakan senjata.

“Ah, mereka cuma pengawal-pengawal tingkat pertengahan. Kepandaian silatnya belum dapat dibanggakan. Lain halnya dengan jagoan-jagoan istana yang tergabung dalam Sha-cap-mi-wi, mereka rata-rata punya kesaktian setinggi ketua sebuah cabang persilatan!” Kaisar Han menerangkan.

“Benarkah…..? Hebat betul kalau begitu!”

“Tentu saja aku mengatakan yang sebenarnya kepadamu. Coba pada waktu penggerebegan di rumah Si Ciangkun terhadap penjahat-penjahat yang berkepandaian tinggi itu kita langsung menurunkan jago-jago dari Sha-cap-mi-wi itu….. hehe, kukira tak seorangpun dari para penjahat tersebut yang mampu untuk meloloskan diri!”

“Kalau begitu kenapa kemarin malam tak seorangpun dari anggota Sha-cap-mi-wi itu yang keluar untuk membekuk penjahat yang lenyap menghilang itu?”

“Soalnya pada saat ini tak ada seorangpun dari pasukan itu yang sedang berada di istana. Mereka tengah melaksanakan sebuah tugas yang diperintahkan oleh Kaisar Han.”

“Liu toako, bolehkah aku melihat latihan mereka itu sebentar saja?”

“Kenapa tidak boleh? Marilah…..!”

Mereka berdua memasuki lian-bu-thia itu. Beberapa orang yang berada di tepat itu tampak terkejut, sehingga dua orang yang sedang berlatihpun terpaksa menghentikan latihan mereka. Tetapi sebelum mereka berbuat sesuatu yang lain, perwira she Liu itu cepat menghardik mereka dengan suara nyaring berwibawa.

“Jangan hiraukan aku! Teruskan latihan kalian, aku akan melihatnya!”

Dengan agak takut mereka meneruskan latihan mereka kembali, sehingga Yang Kun benar-benar menjadi heran sekali, sahabatnya ini sungguh mempunyai wibawa yang hebat di dalam istana ini. Dua orang yang tadi berlatih berpasangan mempergunakan senjata pedang kini tampak saling berhadapan kembali. Keduanya saling serang menyerang dengan ilmu silat yang mereka peroleh dari perguruan mereka masing-masing sebelum mereka masuk menjadi pengawal istana.

Yang bertubuh agak gemuk tampak bersilat dengan gaya Hok-kian, sementara lawannya yang bertubuh jangkung agaknya datang dari daerah Se-hek di Sin-kiang. Keduanya mempunyai gaya silat yang sangat berlainan sekali. Agaknya mereka memang bermaksud untuk saling bertukar pikiran tentang ilmu silat masing-masing. Biarpun bertubuh agak gemuk ternyata orang yang datang dari Hok-kian tersebut bersilat dengan gerakan yang sangat cepat dan tangkas, ginkangnyapun sangat lumayan.

Dia berputar-putar pergi datang mengelilingi lawannya yang selalu berusaha mendekatinya. Memang, seperti kebiasaan ilmu silat dari daerah barat yang dipengaruhi oleh gaya gulat, ilmu pedang dari orang Se-hek itupun dititikberatkan pada pertempuran dalam jarak dekat. Itulah sebabnya mengapa pedang yang dipegangnya juga tidak sepanjang pedang lawannya yang datang dari Hok-kian tersebut.

“Kun-te, bagaimana menurut penilaianmu tentang ilmu silat kedua orang ini?” baginda bertanya kepada Yang Kun. Kaisar Han ingin menjajaki ilmu kepandaian sahabat mudanya yang ia dengar hanya seorang murid dari guru silat desa saja itu.

Baginya juga ingin mengetahui keadaan yang sesungguhnya, benarkah seorang pemuda yang mampu mengalahkan dirinya dalam hal ketajaman panca-indera itu, benar-benar hanya seorang murid dari guru silat desa saja?

“Ah, Liu-toako…. bukankah engkau sendiri yang mengatakan kepadaku bahwa akibat dari kedua buah racun yang menyerang diriku itu, aku kini sudah tidak berguna lagi? Iwee-kangku sudah lenyap sama sekali, mana ada muka lagi bagiku untuk berbicara tentang ilmu silat?"

“Benar,… tetapi bukankah hanya lweekangmu saja yang hilang? Bukankah ilmu silatmu masih engkau kuasai dengan baik? Engkau masih dapat bersilat dengan tangkas seperti semula, biarpun hanya berdasarkan pada tenaga gwa-kang saja. Jadi asal tidak menghadapi seorang ahli lweekeh saja engkau masih bisa mendapatkan kemenangan!” Kaisar Han menerangkan.

Yang Kun termenung mengawasi pertempuran kedua orang prajurit pengawal itu. Memang, meskipun ia tidak punya lweekang lagi, tapi ia masih dapat melihat dengan jelas mutu ilmu silat kedua orang tersebut. Dan iapun tahu setelah sekian lama ia melihatnya bahwa meskipun orang Hok-kian itu kelihatan lebih gesit dan tangkas dari pada lawannya tetapi pertahannya ternyata tidak begitu kuat.

Berbeda dengan Se-hek tersebut, biarpun kelihatan lamban dan pasif tapi ilmunya benar-benar ulet dan tangguh. Sehingga di dalam pertempuran yang bersungguh-sungguh orang Hok-kian itu tentu akan kalah. Ketika Yang Kun dengan perlahan-lahan mengutarakan pendapatnya tentang kedua macam ilmu silat mereka itu, Kaisar Han cepat menepuk-nepuk pundak si pemuda dengan gembira sekali.

“Bagus! Bagus! Kau ternyata bermata awas sekali. Akupun berpendapat begitu. Kun-te ternyata kau benar-benar lihai sekali!” kata baginda keras-keras. Lalu tangannya cepat menghentikan pertempuran mereka. ”Pengawal! Mumpung Yang hian-te sahabatku, ada di tempat ini, ayoh…. Kalian mintalah pelajaran kepadanya!”

Yang Kun menjadi kaget setengah mati. Tapi sebelum ia mampu berkata-kata para prajurit pengawal tersebut telah menjura kepadanya. “Yang siauw-ya, perkenankanlah kami belajar satu-dua jurus gerakan dari tuan.”

Yang Kun memandang sahabatnya dengan bengong, tapi baginda sendiri seakan-akan tidak mengetahui. Baginda justru melangkah ke tepi untuk memberi tempat kepada mereka. “Kun-te, kasihanilah mereka! Berilah sedikit pelajaran agar mereka mereka puas di dalam hatinya!”

Terpaksa pemuda itu menghadapi kedua orang pengawal itu. Hatinya menjadi ragu-ragu, bagaimana ia harus melayani mereka itu? Dapatkah ia hanya mengandalkan jurus-jurus ilmu silatnya saja, tanpa dilandasi dengan lweekang sama sekali? Masakan ia mampu mengelak saja terus-terusan tanpa sekali-sekali mengadu kepalan atau lengan, yang berarti ia harus mengadu tenaga?

Tetapi Yang Kun tidak mempunyai waktu lagi untuk melamun. Kedua orang itu telah meletakkan senjata mereka dan kini telah bersiap-siap di hadapannya. Maka agar jangan mengecewakan mereka, Yang Kun cepat memasang kuda-kuda. Dengan berteriak keras kedua orang itu menyerang dari kanan dan kiri. Semuanya mengarah ke pinggang Yang Kun.

Dalam keadaan masih mempunyai lweekang, Yang Kun tentu memilih untuk menangkis serangan itu, sehingga ia akan lebih mudah untuk menyerang mereka kembali. Tapi karena ia tak berani beradu tenaga, terpaksa pemuda itu meloncat kebelakang. Dan dari tempat itu baru dia menyerang balik kedua lawannya dengan tendangan berantainya.

Sekarang ganti kedua orang pengawal itulah yang meloncat mundur. Tetapi mereka meloncat ke belakang sambil memisahkan diri ke kiri dan ke kanan, sehingga akhirnya Yang Kun menjadi terkepung di antara mereka berdua. Untuk sesaat mereka bertiga hanya berdiri diam saling mengukur kekuatan lawan. Tetapi beberapa saat kemudian mereka telah terlihat lagi di dalam tertempuran yang seru.

Yang Kun yang telah kehilangan seluruh kekuatan lweekangnya ternyata masih mampu juga bergerak dengan tangkas melayani kedua orang lawannya, biarpun setiap kali ia harus menghindari adu tenaga dengan mereka. Yang kun dengan gesit menyerang pada bagian-bagian yang berbahaya dari kedua orang lawannya, karena hanya dengan berbuat begitu ia akan mampu merobohkan lawannya. Maka dengan sangat hati-hati Yang Kun memainkan Hok-te Ciang-hoat (Ilmu Pukulan Menaklukkan Bumi), yaitu ilmu silat tangan kosong andalan keluarga Chin di samping Hok-te To-Hoat (Ilmu Golok Menaklukkan Bumi).

Hok-te Ciang-hoat diciptakan oleh cikal bakal raja-raja Chin dan terdiri dari 36 jurus. Setiap jurusnya terdiri pula dari beberapa gerakan rahasia yang sukar diduga oleh lawan. Seperti juga pada Ilmu Golok Hok-te To-Hoat, llmu Pukulan Hok-Te Ciang-Hoat ini berdasarkan pada kegesitan kaki dan kekuatan lengan. Semua jurus serangan yang ada di dalam Hok-te Ciang-hoat ini selalu mengarah ke bagian-bagian tubuh lawan yang berbahaya.

Pengawal yang berasal dari Hok-kian itu bergerak semakin gesit tetapi ternyata gerakan kaki Yang Kun masih tetap lebih cepat dari padanya, sehingga setiap usahanya untuk mencecar dan merangsak Yang Kun selalu gagal karena pemuda itu tentu melejit dengan cepat menghindarkan diri. Akhirnya justru dia sendirilah yang mengalami kesukaran ketika Yang Kun ganti membalas serangannya.

Yang Kun yang mengetahui titik kelemahan lawan dalam pertahanannya, selalu mempergunakan setiap kesempatan yang diperolehnya. Untunglah prajurit pengawal yang ke dua, yang berasal dari Se-hek, selalu menolong temannya yang kerepotan itu. Tetapi dengan berbuat demikian lambat-laun kedua orang itu akhirnya jatuh di bawah angin.

Kaisar Han yang memperhatikan cara bersilat Yang Kun sejak permulaan tetap belum dapat menebak dari aliran mana sahabatnya itu berasal. Melihat gerakan kakinya yang cepat dan gesit seperti orang menari mengingatkan baginda pada gerakan seorang ahli silat pedang, tetapi bila melihat gerakan tangannya yang selalu bertumpu pada gerakan pinggang, mengingatkan baginda pada gerakan seorang ahli silat tombak yang biarpun agak lamban tetapi terlihat kokoh dan kuat itu.

Tetapi apabila dilihat dari gaya pukulan tangan dan jari-jarinya, baginda menjadi teringat kepada seorang ahli kin-najiu (ilmu menangkap dan membanting). Sehingga akhirnya baginda menjadi pusing dan bingung sendiri.

Sementara itu pertempuran di antara ketiga orang itu telah hampir berakhir. Pemuda itu berhasil mengurung kedua orang lawannya. Beberapa kali serangannya berhasil menembus pertahanan lawan. Hanya karena serangan tersebut tidak disertai Iweekang yang kuat maka kedua lawannya masih bisa bertahan. Coba Yang Kun masih memiliki tenaga dalam seperti semula, mungkin kedua pengawal itu hanya dapat bertahan dalam beberapa jurus saja.

“Tahan!” tiba-tiba Kaisar Han berseru.

Yang Kun yang pada saat itu berhasil memasukkan sebuah serangan lagi ke dalam benteng pertahanan lawan, sehingga kedua ujung jari kanannya dapat menjepit tenggorokan salah seorang di antaranya, terpaksa melepaskan tangannya. Kedua orang lawannya itu juga segera meloncat mundur, lalu menjura kepada Yang Kun dan mengaku kalah.

“Bagus! Bagus! Kun-te, engkau sungguh hebat sekali! Sekalipun tanpa lweekang ternyata engkau masih mampu mengalahkan kedua orang kepala pengawal Tu-shu-koan (Gedung Perpustakaan). Agaknya suhumu itu memang bukan orang sembarangan, sayang ketika bertemu dengan suhumu di ruang penjara bawah tanah itu aku tidak sekalian mengundangnya kemari.” Kaisar Han berkata.

Tiba-tiba seorang pengawal yang sedari tadi berada di pinggir arena tampak melangkah maju. Setelah berlutut di depan Kaisar Han, pengawal itu berdiri menjura ke arah Yang Kun. “Apabila diperkenankan siauw-te juga ingin sekali meminta satu dua jurus pelajaran ilmu silat guna menambah pengetahuan siauw-te di bidang permainan senjata.”

Yang Kun sekali lagi menjadi termangu-mangu. Kakinya baru saja sembuh dan dia tak ingin berkelahi sebenarnya. Tapi ketika ia menoleh ke arah sahabatnya, lagi-lagi sahabatnya itu seperti tak ambil peduli pada keadaan itu. Sahabatnya tersebut justru memberi peluang kepada mereka untuk melaksanakan niatnya itu.

“Hahaha…. Tio shao-ping rupanya (Pengawal Tio)! Bagus….. engkau agaknya juga ingin mencoba kepandaian Yang Siauw-ya dalam hal bermain senjata. Tapi Tio shao-ping harus berhati-hati! Sahabatku ini bukan tandinganmu, senjata… ehh Kun-te, apakah senjata yang biasa kau pakai?”

Yang Kun bertanya kepada Kaisar Han. “Liu toako, aku….. aku sebenarnya......”

“Ah, Kun-te…… kau tidak usah terlalu merendahkan dirimu. Kasihanilah mereka itu. Mereka ingin minta petunjuk dari sahabat pemimpinnya. Nah, apakah senjata yang biasa kau pakai?”

“Aku……Aku….. yah, baiklah! Tapi hanya satu kali ini saja lagi. Sebenarnya aku tidak ada nafsu untuk berkelahi pada saat ini. Liu toako, aku dapat mempergunakan segala macam senjata, tapi senjata yang biasa aku bawa adalah sebuah golok.”

“haha…. Kun-te, begitulah seharusnya engkau bersikap. Nah, pengawal… berilah Yang siauw-ya ini sebuah golok!” Kaisar Han berteriak ke arah para pengawal. “Nah, Kun-te…. kau pun harus mengetahui, siapakah sebenarnya Tio shaoping ini. Dia adalah kepala regu pengawal Wu-chi-koan (Gudang Senjata)! Kedudukannya lebih tinggi dari pada kedua pengawal tadi. Kepandaiannya bermain tombakpun juga lebih membahayakan pula.”

Salah seorang pengawal menyerahkan sebuah golok besar kepada Yang Kun, sementar Tio shao-ping telah bersiap-siap pula dengan tombak pendeknya. Kedua orang itu kemudian saling berhadapan. Tio shao-ping sekali lagi memberi hormat kepada Yang Kun sebagai tanda bahwa ia sudah akan memulai serangannya! Lalu dengan sigap kepala pengawal Wu-chi-koan itu mendongakkan ujung tombaknya ke arah dada Yang Kun.

“Hiyaaaat….!!” Bagaikan seekor ular berbisa, ujung tombak orang she Tio itu meluncur ke depan dengan cepat ke arah tenggorakan Yang Kun dalam jurus Sin-coa-chao-cu (Ular Sakti Mencari Mustika).

Yang Kun terkejut juga! Ujung tombak orang itu tampak bergetar dengan dashyat, sebagai tanda bahwa serangan itu dibantu dengan dorongan lweekang yang kuat pula. Maka Yang Kun tidak berani main-main. Dalam keadaan biasa mungkin ia tidak perlu takut akan tenaga dalam lawan itu, tapi dalam keadaannya seperti sekarang ia memang harus selalu berhati-hati.

Satu-satunya jalan untuk menghindari serangan itu tanpa resiko mengadu tenaga hanyalah dengan cara meloncat mundur, sebab untuk menghindari ujung tombak yang bergetar seperti itu sama berbahayanya dengan menghindari patukan seekor ular berbisa. Dengan cepat ujung tombak itu dapat berubah arah, ke kiri atau ke kanan! Oleh karena itu meskipun telah melangkah ke belakang, Yang Kun tetap mengibaskan goloknya ke depan dadanya dalam jurus Mengayun Tangkai Bendera Menghalau Lo Biauw.

Begitu serangannya gagal, orang she Tio itu menyusuli lagi dengan Shao-in-kan-goat (menyapu Awan Melihat Bulan) ke arah muka lawan. Dan belum lagi serangan itu tiba, Yang Kun telah merasakan kibasan angin yang menyertainya seperti sebuah angin taufan yang menampar-nampar wajahnya. Tapi pemuda itu tidak ingin melangkah mundur lagi. Dengan tubuh membungkuk Yang Kun melangkah ke depan malah, lalu diangkatnya goloknya tinggi ke arah tangan lawan yang memegang tangkai tombak, dalam jurus Mengangkat Obor Menerangi Langit.

Tentu saja pegawal itu tidak mau lengannya tergores ujung golok lawan, sehingga dengan tergesa-gesa pengawal tersebut menarik pula tombaknya ke belakang! Malah kini tampak olehnya Yang Kun mengayunkan goloknya secara mendatar ke arah lehernya dalam jurus Panglima Yi Po Mengatur Barisan. Orang she Tio itu terkejut juga melihat kegesitan lawan. Dengan perasaan berat terpaksa ia meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri sehingga keadaan telah menjadi seimbang kembali. Sama-sama telah mundur selangkah!

Yang Kun juga tidak berusaha untuk mengejar lawannya. Ia berdiri tegak kembali dengan golok di depan dadanya. Baru setelah lawan berdiri dengan tegak ia ganti menyerang dengan sabetan goloknya. Maka terjadilah suatu pertarungan seru di antara mereka. Tapi seperti pertempuran pertama, kali ini Yang Kun juga harus selalu menghindari pertemuan di antara kedua senjata mereka, karena dengan bertemunya kedua senjata mereka berarti harus mengadu tenaga pula.

Padahal lweekang lawannya kali ini justru lebih tinggi dari pada kedua lawannya yang pertama. Dan kelemahan ini tidak disia-siakan oleh orang she Tio itu. Orang itu dengan nekat dan berani menyerbu ke arah Yang Kun sambil mengobat-abitkan tangkai tombaknya dengan maksud agar sekali tempo dapat beradu dengan tenaga lawannya.

Baginda tersenyum melihat cara bertempur pengawalnya itu. Biarpun cara bertempur seperti itu dapat dikatakan licik tapi hal itu juga dapat menjadi tanda bahwa pengawal tersebut bertempur dengan memakai otak pula. Agaknya Yang Kun menyadari pula akan hal ini.

Beberapa kali pemuda itu terpaksa harus meloncat ke sana ke mari untuk menghindari serbuan lawannya dan beberapa kali pula ia harus menangkis tombak lawannya. Hal itu terpaksa ia lakukan karena tiada jalan lagi selain menangkis, padahal setiap senjata mereka beradu setiap kali pula ia meringis kesakitan karena tenaga gwakangnya ternyata tidak mampu menahan tenaga dalam lawannya, sehingga lambat laun telapak tangannya terasa perih bagai terkelupas kulitnya.

Baginda mengerutkan keningnya. Ilmu golok sahabatnya itu hebat bukan main. Entah dari perguruan mana baginda juga tidak tahu, tetapi agaknya ilmu itu sedikit dipengaruhi ilmu toya dan ilmu pedang. Beberapa kali baginda melihat sahabatnya itu menusukkan ujung pedang. Kadang-kadang baginda melihat golok itu diayun oleh sahabatnya seperti orang mengayun toya, keras sekali, dan tidak memakai tenaga bahu tetapi dengan tenaga pinggangnya! Baginda percaya, bila sahabatnya tidak kehilangan lweekangnya, paling-paling Tio shao-ping itu hanya dapat bertahan selama 20 jurus saja.

Tapi karena keadaannya itu pula yang mengakibatkan sahabatnya itu kini menjadi terdesak malah. Yang Kun semakin repot menahan serbuan lawannya. Kedua buah telapak tangannya telah mulai mengalirkan darah, sehingga rasa-rasanya sudah tak dapat lagi untuk memegang tangkai golok. Tetapi untuk mundur dan mengaku kalah hatinya sungguh berat dan penasaran. Ia tahu dengan pasti bahwa ilmu tombak lawannya benar-benar bukan tandingan Hok-te To-hoatnya yang hebat, maka jika harus mengaku kalah terhadap ilmu tombak seperti itu ia sungguh merasa sangat penasaran sekali.

Tetapi keadaan Yang Kun memang sangat runyam. Melawan senjata lawan yang lebih panjang serta berkelahi seperti kerbau gila itu benar-benar membuat dia tidak bisa berkutik, sehingga ketika sekali lagi dia terpaksa harus menangkis pukulan gagang tombak lawannya, goloknya sudah tak bisa dipertahankan lagi. Dengan suara nyaring golok itu terpental lepas dari tangannya! Padahal ujung tombak lawan masih tetap meluncur ke arah pusarnya. Sedangkan Yang Kun sudah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menghindar!

Sementara itu saking bernafsunya, orang she Tio itupun sudah tidak keburu lagi untuk menahan daya luncur senjatanya. Semua mata terbelalak kaget! Kaisar Han juga terkejut setengah mati melihat perubahan suasana yang begitu cepatnya. Baginda juga tidak dapat berbuat apa-apa!

Yang Kun juga sudah tidak mempunyai harapan lagi. Dengan berteriak keras dia menampar ke arah muka lawan dengan jurus andalannya, Raja Chin Miu Mematahkan Kim-pai! Dengan harapan meskipun ia mati tertembus tombak, tapi pihak lawan juga tidak dapat menikmati kemenangan itu dengan tubuh segar bugar, paling tidak tentu rontok semua gigi-giginya.

“Dessss!” “Krakkk!”

Kedua-duanya terlempar ke belakang dengan keras. Semua orang yang berada di tempat itu serentak meloncat ke depan untuk menolong. Para pengawal itu merubung dan menolong Tio shao-ping sementara Kaisar Han cepat memeluk Yang Kun yang terkapar di atas lantai. Tampak kain baju yang menutup perut pemuda itu basah oleh darah!

“Kun-te…… Kun-te! Kau….?!?”

Baginda berdiri kembali, matanya menatap tubuh sahabatnya yang terkapar di samping kakinya. Terpancar suatu perasaan menyesal yang dalam pada pandang mata baginda, sehingga wajah yang tertutup kumis dan jenggot tebal itu tampak memucat. Dan lambat laun dari pucat wajah itu berubah menjadi merah membara, sejalan dengan terbakarnya hati baginda mengingat akan kecerobohan hamba pengawalnya yang kurang hati-hati sehingga membunuh sahabatnya. Tetapi sebelum baginda meledak dengan kemarahannya.

“Aduhhh…… wadouhhh….. gatal sekali! wadouhhh….. mukaku gatal sekali! Oh….. Oh……. ooooohhh…… panasnya!”

Tiba-tiba terdengar suara Tio shao-ping yang berteriak-teriak kesakitan. Dan ketika baginda menoleh, tampak tubuh pengawal itu meronta-ronta di dalam pegangan kawan-kawannya. Kulit mukanya yang semula berwarna kuning itu kini tampak membengkak kehitam-hitaman, sementara pada pipinya sebelah kanan ada bekas telapak tangan Yang Kun yang berwarna kemerah-merahan.

Sekali lagi baginda terkejut setengah mati. Terang kalau hambanya itu mengalami keracunan hebat. Segera terngiang-ngiang di dalam telinga baginda akan kata-kata Chu Seng Kun sebulan yang lalu, ketika tabib muda itu selesai mengobati tubuh Yang Kun, “Hong-siang, di dalam darah anak muda ini telah mengalir sebuah campuran racun yang kekuatannya telah berlipat ganda. Racun itu telah bersenyawa menjadi satu dengan cairan darah sehingga tidak mungkin terpisahkan lagi. Tanpa kepandaian apa-apapun anak muda ini sudah menjadi orang yang sangat berbahaya….”

Untuk beberapa saat baginda masih melihat hambanya itu berteriak-teriak dan meronta-ronta, tetapi ketika baginda melangkah untuk mendekati tiba-tiba kepala orang itu telah terkulai, napasnya berhenti, nyawanya telah meninggalkan tubuhnya.

Baginda berdiri termangu-mangu, begitu juga para pengawal yang lain, mereka hampir tak mempercayai segala kejadian yang baru saja berlalu itu. Baginda menghela napas berat. Akhirnya terbukti pula semua perkataan Chu Seng Kun itu.

“Liu-toako…”

Semuanya dengan serentak menoleh. Mereka hampir tidak percaya ketika tubuh pemuda yang tadi tertembus tombak itu kini tampak duduk memandang ke arah mereka. Baginda cepat berlari menghampiri, lalu dengan perasaan tak percaya baginda mengawasi muka sahabatnya.

“Kun-te…… kau masih hidup? Engkau tidak apa-apa? Bagaimana dengan luka di perutmu?” baginda bertanya sambil mengawasi perut sahabatnya itu. Tangannya yang terulur ditariknya kembali begitu teringat kata-kata Chu Seng Kun.

“Aku…… aku hanya tergores pada kulit perutku. Agaknya timang perak yang toako berikan kepadaku untuk hiasan ikat pinggang itu telah menyelamatkan jiwaku.” Yang Kun menjawab sambil menoleh ke arah pecahan perak yang berkeping-keping di dekatnya. ”...dan bagimana dengan Tio shao-ping itu? Kenapa dia juga terbaring di sana? Apakah tamparanku terlalu menyakitkan dia?”

Baginda terdiam untuk beberapa saat, kemudian memberi isyarat kepada para pengawal untuk menyingkirkan tubuh Tio shao-ping dari tempat itu. “Awas! Jangan sampai racun itu menular ke pada tubuh kalian!” baginda memperingatkan.

Tentu saja Yang Kun heran sekali mendengar kata peringatan sahabatnya itu. Apalagi ketika dilihatnya semua orang berwajah pucat. Tanpa bersuara mereka menggotong tubuh Tio shao-ping keluar dari ruangan itu. “Liu-toako! Apa yang terjadi? Kenapa Tio shao-ping itu?” pemuda itu berteriak.

“Kun-te… sudahlah! Lihat dahulu lukamu, baru kita pikirkan yang lain!”

“Lihat! Perutku benar-benar hanya tergores sedikit saja! Aku sungguh tidak apa-apa. Aku hanya merasa sedikit mual dan pusing akibat hentakan tombak Tio shao-ping yang menghantam perutku tadi.” Yang Kun berkata sambil memperlihatkan perutnya yang terluka.

“Sukurlah!” baginda merasa lega. “Ketahuilah, Kun-te, Tio shao-ping telah meninggal dunia terkena tamparan tanganmu tadi…!”

“Hah? Mati? Bagaimana mungkin? Bukankah tamparan itu hanya sebuah tamparan biasa saja tanpa dilandasi lweekang?”

“Benar, tapi ketahuilah bahwa telapak tanganmu telah lecet-lecet berdarah sebelum menampar Tio shao-ping tadi. Padahal seperti yang telah kuceritakan kepadamu dahulu bahwa darahmu telah mengandung racun dahsyat, yang dapat membunuh orang…”

“Oooohh…!”

“sudahlah, Kun-te, engkau tidak usah menyesalinya. Hal ini memang tidak kau sengaja. Hanya mulai saat ini kau harus hati-hati dengan darah yang keluar dari tubuhmu, sebab darah itu mengandung racun yang dapat membunuh orang selain dirimu sendiri. Marilah kita keluar…!”

“Baik, Liu toako…”

Hari semakin malam, udara juga semakin terasa dingin. Bulan purnama juga telah mendaki semakin tinggi pula. Kaisar Han mengajak Yang Kun ke halaman istana bagian tengah di mana bangunan-bangunan indah didirikan, yaitu beberapa bangunan besar yang dikelilingi tembok tinggi tempat kaisar dan seluruh anggota keluarganya bertempat tinggal. Di sana penjagaan lebih ketat dan keras dari pada bagian istana yang lain.

“Kita tidak usah masuk ke dalam. Soalnya harus ada ijin khusus selain keluarga kaisar yang ingin masuk ke tempat itu.” Kaisar Han berkata. “Kita lewat melalui jalan di luar temboknya saja.”

“Liu toako, apakah pengaruhmu tidak sampai di dalam tembok itu?”

“Haha… tentu saja kakakmu ini mempunyai juga pengaruh di sana. Tetapi punya pengaruh atau tidak punya pengaruh tetap sama saja kalau akan memasuki daerah terlarang itu. Tetap harus mempunyai ijin khusus dari kaisar!”

Akhirnya mereka sampai di halaman istana bagian tengah di mana terdapat sebuah bangunan yang besar dan megah. Didepan pintu masuknya yang besar dan indah tampak berderet-deret belasan buah patung manusia setinggi dua meter, terbuat dari batu pualam putih. Halamannya sangat luas dan ditanami pohon-pohon cemara sehingga terasa sejuk dan agung. Di sebelah belakang dari bangunan itu berdiri sebuah pagoda besar yang bertingkat tujuh menjulang ke angkasa. Beberapa orang pendeta tampak hilir mudik di dalamnya.

“Inilah kuil agung tempat para bangsawan istana bersembahyang.” baginda memberi keterangan kepada Yang Kun. “Kepala kuilnya adalah ayah saudara Chu yang mengobati engkau dahulu itu. Bangunan ini telah berdiri kirakira 200 tahun yang lalu….. dan satu-satunya bangunan didalam istana ini yang lolos dari gempa.”

“Bolehkah aku melihat ke dalam?”

“Tentu saja…”

Yang Kun kagum sekali pada gaya bangunan yang sangat megah itu. Semua kayu-kayunya diukir dengan indah sekali. Lantainya juga terbuat dari batu pualam putih. Ruangan depan yang luas itu dihiasi dengan beberapa patung dewa-dewi di bagian tepinya, sementara altar tempat bersembahyang yang terletak di tengah-tengah ruangan itu terbuat dari batu pualam bening seperti kaca setebal satu jengkal lengan manusia. Persis di atas altar tersebut, yaitu pada atap di gentingnya dibuat sebuah lubang seluas altar itu pula, sehingga sinar matahari maupun bulan dengan bebas dapat masuk menerangi altar kaca itu.

Beberapa orang pendeta menyambut kedatangan mereka, tetapi Kaisar Han cepat memberi keterangan bahwa mereka hanya ingin melihat-lihat saja keindahan dari kuil itu, sehingga pendeta-pendeta tersebut kembali lagi ke dalam setelah mempersilahkan mereka untuk melihat-lihat sepuas-puasnya.

“Liu toako, lihatlah! Altar itu sungguh menggetarkan hati! Altar bening yang tertimpa sinar bulan purnama itu seakan-akan mempunyai perbawa yang hebat pada diri orang yang melihatnya.” Yang Kun berbisik kepada sahabatnya.

“Benar. Aku juga merasakan sesuatu pengaruh yang membuat diriku merasa segan dan takut untuk berbuat sesuatu yang jelek di tempat ini…….”

“Toako…… aku tiba-tiba jadi kepingin sembahyang ditempat ini….” Yang Kun berbisik lagi.

Kaisar Han tercengang! Tapi serentak dilihatnya pemuda itu tampak bersungguh-sungguh dan tidak hanya sekedar bergurau dengan dia, baginda segera mempersilahkannya. “Silahkan, Kun-te! Aku akan menunggu di luar saja.”

Sebenarnyalah, memang secara tiba-tiba hati pemuda itu ingin sekali berdoa dan bersyukur di atas altar yang menyilaukan itu. Ia ingin bersyukur atas keselamatan dirinya dari kematian ataupun dari luka-lukanya yag berbahaya itu, Ia ingin mengucapkan terima kasihnya kepada Thian atas semua itu dan ia juga secara tiba-tiba ingin menyembahyangkan semua arwah keluarganya yang sampai saat ini belum pernah ia lakukan. Mumpung sekarang berada di tempat yang begini agung dan mengesankan hatinya, siapa tahu ia takkan sempat lagi melakukan di tempat lain?

Yang Kun mencopot sepatunya kemudian membersihkan kedua belah kakinya sebelum naik ke atas altar. Pertama-tama ia menyembahyangkan arwah ibu yang sangat dicintainya, baru setelah itu ia menyembahyangkan arwah ayah dan paman-paman yang lain. Sinar bulan purnama yang menyorot cemerlang tepat di atas kepalanya itu semakin menambah perbawa yang menakjubkan pada altar bening yang kini berada di bawah kakinya.

Bayangan langit, mega, bulan dan bintang seakan terpantul di sana, sehingga pemuda itu merasa berada di atas mega yang tinggi bersama-sama dengan mereka! Yang Kun merasa seakan bayangan bulan yang terpantul di bawah kakinya itu sedang tersenyum kepadanya. Tersenyum bangga, karena dialah yang menjadi ratu pada malam ini.

Tanpa kehadirannya, semuanya akan menjadi gelap dan tak berarti lagi. Tetapi tiba-tiba Yang Kun terkejut! Rasa-rasanya ia melihat dua buah bulan sedang tersenyum kepadanya di dalam altar itu. Yang ke dua justru lebih cemerlang dari pada bulan yang pertama, sehingga rasa-rasanya altar tersebut semakin terasa menyilaukan pandangannya.

Ketika pemuda itu memandang lebih teliti lagi, ternyata ia melihat lubang kecil sebesar kepalan tangannya di bawah altar itu. Dan jauh di dasar lubang tersebut Yang Kun melihat benda berwarna kuning mengkilat cemerlang terkena sinar bulan yang memasuki lubang kecil itu. Dari tempat itulah sinar bulan yang kedua datang.

Yang Kun cepat-cepat turun dari atas altar tersebut dengan maksud memberi tahu tentang penemuannya itu kepada sahabatnya. Tapi di luar kuil Yang Kun tidak melihat sahabatnya. Halaman depan kosong, begitu pula halaman samping. Pemuda itu berlari masuk kembali ke dalam kuil, tapi ia tetap tidak menemukan sahabatnya itu.

Seperti orang sinting Yang Kun berlari kembali ke atas altar. Tapi betapa kagetnya ketika lubang yang berisi benda kuning itu telah lenyap dan tiada lagi di sana, seakan hilang bersama gerakan bulan yang telah sedikit mendoyong ke arah barat.

“Liu toako…… Liu toako! Dimanakah engkau?” pemuda itu berseru.

Beberapa orang pendeta tampak keluar dari dalam kuil dan dengan tergesa-gesa menghampiri Yang Kun. “Siauw-sicu, kau mencari siapakah?” salah seorang pendeta yang berusia paling tua di antara mereka bertanya.

“Oh, siauw-te sedang mencari kawan siauw-te yang tadi datang ke sini bersama siauw-te….” pemuda itu menjawab.

“Apakah si-cu adalah teman…”

“Kun-te…!” tiba-tiba terdengar suara orang memanggil dari jauh.

Yang kun bergegas meloncat keluar pintu, diikuti oleh para pendeta itu. Tampak oleh mereka di atas pagoda dua orang sedang bertempur dengan seru. Salah seorang di antara mereka dikenal oleh Yang Kun sebagai Liu toako, sahabat yang sedang dicarinya itu. Mereka berlari-lari menghampiri tempat itu. Dari bawah terlihat dengan nyata, kedua orang yang sedang berkelahi di tingkat ke tiga itu adalah seorang laki-laki dan seorang wanita. Yang Kun mengenal bahwa yang laki-laki adalah Liu toako, sahabatnya, tapi yang lain pemuda itu tidak mengenalnya.

Kedua orang tersebut bertempur dengan seru. Masing-masing ternyata mempunyai kepandaian yang sangat tinggi, apalagi wanita itu. Pukulan mereka yang dilandasi oleh tenaga dalam tingkat tinggi terdengar bersiutan dari bawah, sehingga pagoda itu seperti bergetar dilanda angin pukulan mereka.

Kaisar Han yang sebelum menjadi kaisar adalah seorang pendekar besar yang sangat terkenal di dunia persilatan tentu saja mempunyai kesaktian yang bukan main hebatnya, sebab tanpa mempunyai kesaktian yang hebat tidak mungkin dia bisa memimpin barisan para pendekar yang rata-rata juga merupakan seorang pendekar yang sudah punya nama pula di dunia persilatan. Meskipun demikian dalam pertempuran seorang lawan seorang dengan wanita itu ternyata baginda berada di bawah angin.

Wanita yang sekarang sedang bertempur dengan baginda adalah seorang wanita yang telah berumur sekitar 60-an, tapi meskipun begitu ternyata gerakannya masih tetap gesit dan tangkas. Dengan langkah-langkah kaki yang cepat serta lweekang yang tinggi, ia mengurung Kaisar Han yang selalu terdesak mundur.

Beberapa kali wanita itu memaksa baginda untuk saling beradu kepalan atau lengan dan setiap kali pula baginda harus mengakui kehebatan tenaga dalam lawannya. Meskipun hanya seorang wanita apalagi sudah tua ternyata kekuatannya masih berada di atas kekuatan baginda.

Baginda semakin terpepet di pagar kayu yang berada di tingkat tiga tersebut. Anehnya sampai saat itu tak seorang pengawalpun yang datang ke tempat itu untuk menolong baginda. Agaknya para pengawal istana yang berada di sekitar tempat itu telah dilumpuhkan oleh wanita tersebut. Sedangkan para pendeta yang berada di dalam kuil itu tak seorang pun yang mengerti ilmu silat selain kepala kuilnya yang bernama Chu Sin, ayah Chu Seng Kun! Tapi sampai saat itu Chu Sin pun belum kelihatan di tempat tersebut.

Akhirnya Yang Kun tidak tega melihat keadaan sahabatnya. Tapi sebelum ia berlari menyusul ke atas, tiba-tiba terdengar suara berdentam yang keras disertai ambrolnya pagar kayu yang melingkari teras di tingkat ke tiga. Tampak oleh Yang Kun sahabatnya terlempar ke bawah akibat beradu tenaga dengan lawannya.

Yang Kun berusaha menyanggah tubuh sahabatnya. Tetapi oleh karena lweekangnya telah tiada, apalagi Kaisar Han ternyata juga telah terluka dalam akibat pukulan lawan, maka keduanya justru jatuh terguling-guling di atas rumput. Tapi hal itu juga sudah merupakan sebuah keuntungan pula bagi Kaisar Han. Tanpa disanggah oleh Yang Kun, meskipun baginda juga telah mengerahkan ginkangnya, jatuh dari tempat yang begitu tinggi niscaya akan berbahaya pula bagi tulang-tulang kakinya.

Yang Kun menolong sahabatnya untuk bangkit dari rumput. Tampak oleh pemuda itu darah segar mengalir dari mulut sahabatnya, menandakan bahwa sahabatnya itu mendapat luka dalam yang tidak ringan. Tapi sebelum mereka berdiri tegak, mereka dikejutkan oleh hembusan tenaga dalam yang dilontarkan dari atas kepala mereka. Ketika mereka mendongakkan kepala mereka, tampak bayangan wanita itu meluncur turun ke arah mereka, dengan kedua belah lengannya menghantam ke depan.

Kedua orang sahabat itu merasa seperti dihimpit oleh tenaga yang amat berat, sehingga untuk mengambil napas saja sukar sekali rasanya. Apalagi untuk dapat menghindar dari tempat itu. Terpaksa secara bahu-membahu kedua sahabat itu bersama-sama memapaki pukulan lawan yang saat itu sedang meluncur tiba.

“Buuummm…!” Debu tampak mengepul tinggi. Rumput-rumput bagai tercabut dari akar-akarnya. Kerikil dan pasir berhamburan ke mana-mana. Kedua sahabat itu seakan lenyap tertutup oleh semuanya itu. Sedangkan wanita yang terjun dari tingkat ke tiga itu kelihatan mendarat dengan ringan tak jauh dari sana.

Daya perlawanan kedua orang itu justru sangat menguntungkan bagi wanita tersebut, sebab dengan mendapatkan perlawanan itu membuat laju tubuhnya menjadi tertahan untuk sesaat. Bersama dengan makin menipisnya debu yang menutupi tempat itu terdengar pula suara-suara tanda bahaya yang dipukul memenuhi angkasa. Wanita itu tampak kaget, sekilas dilihatnya kedua orang korban pukulannya itu masih tergeletak pingsan di tempatnya.

Tapi sebelum ia beranjak pergi untuk meninggalkan tempat itu, telinganya yang sangat tajam mendengar derap kaki orang dari segala penjuru. Dan sebelum ia memutuskan apa yang mesti diperbuatnya untuk dapat meninggalkan tempat tersebut tampak puluhan bahkan ratusan prajurit pengawal tampak memenuhi halaman kuil itu!

Wanita itu terdengar menggeram dengan marah. Agaknya kedatangannya kali ini telah diperhitungkan oleh lawannya, buktinya ia melihat beberapa orang prajurit serta perwira pasukan kerajaan di antara para pengawal istana itu. Tetapi meskipun demikian kedatangannya kali ini untuk membunuh Kaisar Han ternyata justru memperoleh keberhasilan. Secara tak terduga wanita itu dapat bertemu dengan kaisar di tempat tersebut, padahal kemarin malam ia telah berputar-putar hampir di segala sudut istana tanpa membawa hasil.

Sekali lagi wanita itu menoleh ke arah Kaisar Han dan Chin Yang Kun yang masih pingsan dan tiba-tiba saja ia memperoleh jalan keluar untuk meloloskan diri dari kepungan para prajurit itu. Wanita itu meloncat dengan cepat dan di lain saat kedua tubuh Kaisar Han dan Yang Kun telah berada dalam genggaman tangannya. Dengan kedua sosok tubuh di tangannya wanita itu berusaha membobol kepungan tersebut.

Tubuh Yang Kun dan tubuh Kaisar Han diayun ke sana ke mari untuk menghantam ke arah mereka. Tentu saja para perwira yang memimpin pengepungan itu menjadi kalang kabut mengatur anak buahnya agar tidak salah tangan membunuh raja mereka sendiri. Pasukan anak panah yang datang juga ke tempat itu tidak dapat berkutik pula di menghadapi keadaan seperti itu. Sehingga akhirnya pasukan pengepung yang beratus-ratus jumlahnya itu hanya bisa mengikuti saja ke mana wanita itu membawa korbannya. Mereka berteriak-teriak dan memaki-maki wanita tersebut dari kejauhan.

Kaisar Han dan Yang Kun dibawa lari ke arah halaman istana bagian belakang. Di tengah-tengah taman istana wanita itu telah dihadang pula oleh sejumlah perwira yang berkepandaian tinggi. Mereka inilah yang akhirnya dapat sedikit menghambat langkah kaki orang yang akan menculik dan membawa pergi junjungannya.

Dengan kepandaian mereka yang tinggi mereka dapat memilih sasaran-sasaran yang mereka kehendaki, biarpun untuk berbuat begitu juga tidak mudah, karena orang yang mereka hadapi kali ini juga bukan orang sembarangan. Alhasil para perwira itu tetap tidak dapat menangkap musuh yang menawan kaisarnya, tetapi penculik yang berusaha membunuh kaisar itupun juga mengalami kesukaran untuk meloloskan diri dari istana itu.

Pertempuran itu makin lama makin bergeser ke arah belakang sehingga akhirnya mencapai celah lebar bekas gempa yang pernah diceritakan oleh Kaisar Han itu. Tempat itu kini malah menjadi tempat bercengkrama yang indah bagi keluarga kaisar, karena celah yang panjang dan lebar itu entah dari mana datangnya telah dipenuhi dengan air yang sangat bening, sehingga dasar celah yang terdiri dari lapisan batu kapur yang sangat keras dan terdiri dari bermacam-macam warna itu memantul ke atas bagaikan warna pelangi yang berkilau-kilau di atas permukaan air.

Lambat laun wanita itu mendekati daerah tepi tebing celah tersebut yang penuh ditumbuhi pohon-pohon cemara yang rimbun. Sambil berlari berputar-putar di antara pohon-pohon tersebut, wanita itu sesekali melongok ke bawah tebing, ke arah permukaan air telaga yang bening yang berada sejauh tiga empat meter dari permukaan tanah itu. Atau kadang-kadang matanya melirik ke arah permukaan air telaga yang bermandikan cahaya bulan itu. Agaknya wanita tersebut sedang berpikir keras untuk mencari jalan yang lebih aman baginya, yaitu menyeberangi telaga kecil itu ataukah menyusuri saja celah tersebut.

Dan agaknya maksud hatinya itu dapat dibaca juga oleh para pengepungnya, buktinya salah seorang dari para perwira itu cepat memerintahkan para prajuritnya untuk menyingkirkan perahu-perahu kecil yang berada di sana. Selain itu juga diperintahkan untuk memperketat pengepungan di kedua belah tepian telaga itu, sehingga akhirnya ruang gerak dari wanita itu menjadi sangat terbatas.

Tentu saja hal itu membuat wanita itu menjadi marah sekali. Tampak wanita itu mengerahkan seluruh kekuatannya dan menyerang para pengepungnya dengan lebih ganas. Ia tidak lagi memperdulikan apakah kedua korbannya yang saat itu berada di dalam cengkramannya akan mati atau tidak.

Ketika salah seorang perwira mendapat kesempatan untuk menyerang punggung wanita itu justru menjadi terkejut setengah mati ketika wanita itu memapaki serangannya dengan tubuh sri baginda sendiri. Dengan kalang kabut perwira itu berusaha menarik dan menghindarkan arah serangannya, tapi dengan berbuat begitu ia menjadi lengah akan pertahanan tubuh sendiri. Dan kesempatan ini memang tidak disia-siakan oleh wanita yang sakti itu. Dengan sedikit merendahkan tubuh, wanita itu menghantamkan ujung tumitnya ke arah tubuh lawan yang sudah kehilangan keseimbangan tersebut.

“Heeekkk……!!” Bagai sebuah layang-layang putus badan perwira itu terlempar tinggi ke udara dengan nyawa sudah meloncat pula dari tubuhnya. Tubuh tersebut jatuh ke atas tanah dalam keadaan hancur semua tulang dadanya. Darah segar mengalir dengan deras dari mulutnya yang ternganga!

Ketegangan telah menyelimuti udara di pinggir telaga itu. Darah telah mulai mengalir! Semua perwira dan prajurit yang saat itu berada di tempat tersebut seakan terpukau oleh kejadian yang baru saja terjadi. Dan lagi-lagi kesempatan itu tidak disia-siakan pula oleh wanita perkasa itu. Dengan berteriak nyaring wanita tua itu menggerakkan lehernya kuat-kuat, dan melesatlah tiga buah tusuk kundai kemala yang berada di atas sanggulnya, meluncur ke arah para perwira yang berdiri di sekitarnya.

Terdengar suara mengaduh yang hebat dan kembali tiga orang perwira telah jatuh terkapar dengan nyawa melayang. Darah merah mengucur dari dahi setiap perwira itu yang berlubang karena tertambus oleh tusuk kundai wanita itu.

“Adikku…. tahan! Kau jangan membunuh orang….!” tiba-tiba terdengar sebuah seruan nyaring dari puncak menara pemandangan yang berdiri di pinggir telaga.

Bersama dengan hilangnya suara teriakan itu, tampak oleh semua orang yang berada di tempat itu seorang pendeta tua melayang turun dari puncak menara bagaikan burung terbang saja. Kain lebar yang menutupi pundaknya yang telanjang tersebut berkibar-kibar tertiup angin, sepintas lalu seperti sepasang sayap yang menggelepar pada tubuh tua yang sedang terbang ke bawah itu.

Sebelum sampai tanah orang tua itu tampak berjumpalitan beberapa kali di udara, baru setelah itu mendarat dengan empuk di atas tanah. Benar-benar suatu pertunjukan ginkang yang telah mencapai tingkatan tinggi.

“Bu Hong Seng-jin!” Wanita itu berseru kaget. “adikmu ini telah beberapa hari mencarimu ke mana-mana tanpa membawa hasil, eh…. ternyata Sin-ko (nama kecil pendeta tua itu adalah Chu Sin) berada di tempat ini.”

“Benar Siang-moi….! Aku sebenarnya juga tahu bahwa engkau sedang mencari aku dalam beberapa hari ini. Tapi…. aku juga mengetahui bahwa engkau ingin mengajak aku untuk berbuat yang tidak baik di dalam istana ini. Maka oleh karena itulah aku menyembunyikan diriku di tempat ini…..” pendeta tua yang dipanggil dengan nama Bu Hong Seng-jin itu menjawab teguran wanita tersebut.

“Berbuat yang tidak baik? Eh….. Sin-ko, apakah perbuatanku dalam membela nama keluarga kita ini adalah jelek? Aku ingin membalaskan dendam keluarga Chin yang dihancurkan oleh Kaisar Han ini, apakah hal itu juga tidak baik?”

Hening sesaat. Pertempuran berhenti dengan mendadak. Semua orang mengawasi kedua orang itu dengan tegang. Para perwira dan prajurit yang kini mengepung tempat itu tahu belaka siapakah pendeta tua tersebut, karena selain menjabat sebagai kepala kuil di istana, orang tua itu juga merupakan salah seorang dari penasehat baginda kaisar yang sangat dihormati.

Tetapi beberapa orang dari para prajurit itu, yang dahulu pernah pula mengabdi kepada kaisar lama, juga tahu siapakah sebenarnya wanita tua yang sangat sakti itu. Karena pada zaman pemerintahan Kaisar Chin Si, wanita tua itu merupakan seorang pengawal pribadi kaisar yang sangat ditakuti lawannya. Sebab selain sangat sakti wanita itu masih terhitung sebagai seorang bibi dari kaisar sendiri.

Wanita tua itu tidak lain adalah Siang-houw Nio-nio, adik sepupu dari Bu Hong Seng-jin sendiri, yang kawin dengan salah seorang keturunan langsung dari Sin-kun Bu-tek si Datuk Besar dari utara itu. Pada waktu Kaisar Chin Si jatuh dan diganti oleh kaisar baru, wanita itu lari bersama suaminya dari istana untuk mencari putera mahkota yang pada saat itu sedang berperang di daerah perbatasan. Wanita itu bersama suaminya berharap agar Sang Putera Mahkota lekas-lekas mengambil kembali singgasana yang telah diduduki oleh seorang yang tidak berhak.

Tetapi ternyata mereka telah terlambat! Sebelum Putera Mahkota itu sempat membawa bala tentaranya ke kota raja, barisan para pendekar yang dipimpin oleh Liu Pang telah lebih dahulu menduduki istana dan mengangkat Liu Pang tersebut menjadi Kaisar Han seperti sekarang ini. Hingga kini segala usaha dari Putera Mahkota itu untuk kembali ke istana selalu gagal, maka tidak heran jikalau wanita tua itu sebagai pendampingnya merasa sangat masgul dan sakit hati. Apalagi ketika wanita tua itu mendengar kabar tentang kedua orang puteranya yang kata orang justru telah terbujuk oleh Kaisar Han untuk menjadi pembantunya.

Pendeta tua yang dipanggil dengan nama Bu Hong Seng-jin itu melangkah beberapa tindak ke depan, lalu dengan sabar dan tenang ia menjawab ucapan adik sepupunya itu. “Adikku…. kau lihatlah baik-baik! Kulit kita telah berkeriput…. rambut kitapun telah memutih seperti perak…! Itu tandanya bahwa kita ini sungguh telah lama sekali berada di dunia ini. Sungguh jauh sekali perjalanan yang telah kita lalui dan sungguh banyak benar pemandangan yang telah kita nikmati selama ini. Betapa banyak pula segala macam berita yang telah kita dengar….! Oleh karena itu seharusnyalah kalau kita ini sudah mengetahui dan memahami apakah sebenarnya arti dan makna dari pada kehidupan kita di dunia ini….”

“Huh! Sin-ko, hentikan khotbahmu itu! Engkau salah tempat mengucapkannya. Seharusnya hal itu kau ucapkan di depan para muridmu, bukan di depanku, apalagi di depan prajurit yang siap bertempur seperti sekarang ini.”

“Siang-moi, kau benar-benar tidak berubah. Tabiatmu di kala engkau masih muda masih kau bawa hingga sekarang. Tapi aku tetap ingin menasehatimu. Hentikanlah pertumpahan darah ini! Kau kembalikanlah Kaisar Han itu kepada mereka!”

“Mengembalikan orang yang telah menghancurkan keluarga Chin ini kepada mereka? Huhh… enaknya! Sin-ko, tak kusangka engkau telah menyeberang pula kepada musuh. Agaknya engkau pulalah yang membujuk kedua orang keponakanmu untuk mengabdi kepada perampok ini.”

“Engkau salah, adikku. Justru kedua orang puteramu itu yang lebih dahulu bersahabat dengan Kaisar Han itu dari pada aku. Nah, Siang-moi, lekaslah kau serahkan baginda itu kepada mereka, agar kau tidak menyukarkan puteramu sendiri!”

“Orang ini tidak akan aku serahkan kepada siapapun, ia akan kubawa menghadap Putera Mahkota untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya!” wanita itu berteriak. Kemudian mengerahkan ginkangnya, ia meloncat tinggi ke udara melewati kepala para pengepungnya. Kedua tubuh tawanannya sekali lagi ia putar-putar di sekeliling badannya, sehingga otomatis para pengepung buyar dengan sendirinya. Dengan mudah wanita itu berlari menyusuri tebing telaga yang menuju ke arah tembok samping istana.

“Tunggu!” Tiba-tiba terasa ada hembusan angin yang sangat kuat di sampingnya dan pendeta tua itu telah berada di depannya kembali, sehingga terpaksa wanita itu menghentikan langkahnya.

Meskipun begitu, sambil berhenti kaki kanannya dengan gesit meluncur ke arah pusar penghadangnya dalam jurus Ular Sakti Memperlihatkan Ekornya. Ujung sepatu dari wanita itu mematuk dengan cepat menuju ke arah pusar, tapi dengan gerakan tenang pendeta tua itu menarik pinggangnya ke kiri dalam jurus Busur Kemala Tong Pin (Tong Pin adalah ksatria ahli panah dalam cerita rakyat), sehingga serangan wanita itu menemui tempat kosong.

Dan sebelum wanita itu menarik kembali kakinya, tiba-tiba pendeta tersebut mengulurkan tangannya ke arah lutut lawannya. Karena tidak ingin mendapat malu apabila kakinya sampai terpegang oleh lawan, wanita tua itu cepat menyusuli dengan tendangan kakinya yang lain, kali ini ke arah lengan lawan yang terjulur ke depan itu. Tapi dengan berani pendeta tua itu memapakinya dengan lengannya.

“Dessss…….” Keduanya terdorong tiga langkah ke belakang. Meskipun demikian apabila diperbandingkan, agaknya tenaga dalam dari wanita itu sedikit lebih tinggi dari pada tenaga dalam pendeta tua tersebut. Hal itu dapat dilihat dari bekas tanah yang terinjak oleh kaki mereka tadi. Biarpun harus membawa dua buah beban ternyata tak sedikitpun kaki wanita itu meninggalkan jejak, lain halnya dengan kaki pendeta itu, selain meninggalkan jejak yang dalam, bekas dari jejak kaki itupun tidak dalam posisi yang teratur. Jejak itu mencang menceng ke kanan dan ke kiri tanda bahwa pendeta itu melangkah mundur dengan kuda-kuda yang goyah.

Tetapi dalam pertempuran selanjutnya selisih yang sedikit tersebut menjadi tidak begitu berarti lagi, justru kedua buah beban yang dibawa oleh wanita itulah yang akhirnya sangat menganggu sepak terjang wanita tua itu. Bagi seorang sakti seperti pendeta tua itu tidaklah sukar untuk menghindarkan serangannya dari tubuh Kaisar Han yang berada di dalam cengkeraman lawan. Dengan mudah pendeta itu mencari lowongan-lowongan di antara ayunan tubuh Kaisar Han yang diputar-putar oleh wanita itu, sehingga tidak lama kemudian wanita itu telah mulai terdesak.

Beberapa orang perwira yang ingin lekas-lekas membebaskan kaisar mereka tampak mulai bersiap-siap pula untuk terjun ke dalam pertempuran. Salah seorang di antaranya malah sudah mempersiapkan sebuah jaring besar dengan anak buahnya. Jaring itu mereka bentangkan di atas tanah dekat menara pemandangan tanpa setahu wanita tua itu.

“Siang-moi, lekas kau serahkan Kaisar Han itu kepada mereka sebelum terlambat! Lihat, mereka sudah tidak sabar lagi!” pendeta tua itu memperingatkan adik sepupunya.

“Hmm…… lihat serangan!” wanita itu berseru dengan keras. Tak ada sedikitpun niatnya untuk membebaskan Kaisar Han itu, apalagi sampai menyerahkan diri. Tubuh Yang Kun yang dia jinjing dengan tangan kiri ia hantamkan ke depan, ke arah kepala Bun Hong Seng-jin.

Pendeta tua itu cepat membungkukkan badannya, sehingga serangan tersebut lewat di atas kepalanya. Kemudian dengan tangkas ia melangkahkan kakinya ke depan malah dan dari samping itulah ia melepaskan totokan jarinya yang ampuh ke arah pinggang lawan. Akibatnya Siang-houw Nio-nio menjadi terkejut sekali! Terpaksa wanita tua itu mengangkat lutut kirinya ke atas untuk menahan ujung jari lawannya.

“Tukk!” Siang-houw Nio-nio tampak meringis menahan sakit. Untuk beberapa saat lamanya lutut kirinya terasa bebal terkena totokan lawan, tetapi setelah beberapa saat kemudian telah pulih kembali seperti sediakala. Sementara itu Bu Hong Sengjin terpaksa tidak dapat melanjutkan pula serangannya yang hampir membawa hasil tersebut karena ujung jari yang mengenai lutut lawan itu juga terasa sakit bukan main!

Tetapi beberapa orang perwira yang sedari tadi telah bersiap-siap di sekitar mereka, ternyata tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Selagi wanita itu terhuyung-huyung menahan rasa sakit pada lututnya, mereka langsung terjun ke arena untuk mengeroyoknya. Akibatnya memang terasa sangat berat bagi Siang-houw Nio-nio, setiap kali ia terhuyung-huyung ke belakang menahan serangan mereka, sehingga akhirnya tanpa terasa ia mundur ke arah bentangan jaring yang telah dipasang oleh para prajurit tadi.

Awal mendung yang tebal tampak menutup bulan di atas langit dan untuk beberapa saat udara pun menjadi gelap gulita. Suasana di dalam arena pertempuran itupun tampak gelap, hanya sinar-sinar kecil dari lampu-lampu tamanlah yang menerangi tempat tersebut. Keadaan itu tentu saja membuat pertempuran tersebut menjadi kacau balau.

Siang-houw Nio-nio juga tidak merasa sama sekali bahwa ia semakin mendekati bentangan jaring yang akan menjerat tubuhnya. Ketika pada suatu saat ia meloncat mundur untuk menghindari serangan Bu Hong Seng-jin, salah satu dari kakinya telah menginjak pinggiran jaring. Para perwira yang mengeroyoknya semakin meningkatkan desakan mereka, dengan maksud agar wanita itu segera memasuki jaring yang mereka pasang tersebut.

Dengan dilindungi oleh kawan-kawannya, salah seorang perwira tampak menyerang dengan nekad ke arah Siang-houw Nio-nio, sehingga akhirnya wanita itu terpaksa mundur juga. Kemudian terdengar suara aba-aba dan jaring itu digulung dengan cepat. Tapi terbuktilah di sini bahwa wanita tua tersebut memang bukan seorang tokoh sembarangan.

Perasaannya yang tajam segera mencium suatu yang tidak beres pada tanah tempat ia berpijak, sehingga dengan kesaktiannya yang menakjubkan dia lekas-lekas melenting tinggi ke udara bersama dengan aba-aba ditariknya jaring itu dari atas tanah.

Wanita tua itu meluncur tinggi ke arah puncak menara pemandangan dengan menjinjing ke dua orang tawanannya, sehingga maksud lawan untuk menjaring tubuhnya mengalami kegagalan, Dan jika mereka beberapa saat yang lalu mereka telah dibuat kagum oleh cara Bu Hong Seng-jin ketika turun dari atas menara, kini mereka justru lebih dikejutkan lagi oleh kehebatan wanita itu dalam menghindari tangkapan jaring mereka.

Beberapa meter dari atas puncak menara, daya luncur dari wanita itu telah habis. Tapi sebelum tubuh itu melayang kembali ke bawah, tampak tubuh Yang Kun ia lepaskan. Lalu dengan menjejakkan kakinya pada tubuh pemuda itu ia meluncur kembali ke arah puncak dengan manisnya.

Sebaliknya, tubuh Yang Kun yang dipakai sebagai batu loncatan tersebut melesat dua kali lebih cepat ke arah permukaan air telaga. Disertai dengan muncratnya air telaga, tubuh pemuda itu tenggelam ke dasar telaga dengan cepat sekali.

Sementara itu para perwira memerintahkan anak buahnya untuk mengepung kaki menara. Mereka tidak mungkin untuk naik ke atas menara dengan melalui tangga yang tersedia. Hal itu sangat berbahaya bagi keselamatan mereka, karena dengan melalui jalan tersebut adalah sangat mudah bagi wanita itu untuk membunuh mereka.

“Siang-moi, engkau tidak mungkin lagi untuk meloloskan diri dari tempat ini. Kenapa engkau tidak lekas-lekas menyerahkan saja tawananmu itu? Biarpun engkau telah membunuh salah seorang diantaranya, tetapi kukira apabila engkau menyerahkan Kaisar Han itu dengan tak kurang suatu apa, engkau akan diberi kelonggaran juga nanti.” Bu Hong Seng-jin berteriak dari bawah.

“Hmm, jangan bermimpi! Sampai matipun aku tidak akan menyerahkannya. Sekarang aku akan beristirahat sebentar, nanti aku akan berusaha untuk menerobos kembali kepungan kalian. Kalau toh aku tidak dapat melakukannya, kaisar ini akan aku bunuh lebih dahulu baru aku mengadu jiwa dengan kalian semua.”

Semua terdiam. Mereka menanti dengan tegang. Melihat gelagatnya wanita itu benar-benar akan membuktikan segala ucapannya tersebut. Para perwira dan Bu Hong Seng-jin hanya saling pandang dengan bengong. Mereka tidak tahu harus berbuat bagaimana untuk membebaskan junjungan mereka itu. Tiba-tiba….

“Yap Tai-ciangkun telah datang….! Harap semua prajurit minggir!” terdengar para prajurit yang berada di daerah belakang berteriak-teriak bersahut-sahutan.

Kepungan itu otomatis menyibak ke samping dengan sendirinya. Mereka dengan tegap memberi penghormatan kepada panglima mereka yang baru tiba. Yap Tai-ciangkun dengan pakaian kebesarannya yang gemerlapan tampak berjalan dengan gagah diiringi oleh para pengawal khususnya. Di depan Bu Hong Seng-jin panglima itu tampak mengangguk dengan hormat sekali, lalu berhenti. Kepalanya mendongak ke atas ke arah puncak menara itu.

“Bu Hong supek, apakah penculik itu masih berada di atas sana? Bagaimana dengan keadaan baginda kaisar?”

“Kim-ji…. kau…. ah…. kau…..” Bu Hong Seng-jin tak bisa bicara.

“Supek, ada apakah? Kenapa supek kelihatan…..?”

“Hmmm…….. Kim-ji, akhirnya kau datang juga ke tempat ini. Apakah engkau akan menangkap aku pula?” tiba-tiba wanita yang berada di atas menara itu berseru ke bawah.

Kalau ada halilintar menyambar di dekat telinga Yap Taiciangkun pada saat itu mungkin tidak akan mengagetkannya seperti ketika ia mendengar suara wanita yang datang dari atas menara itu. Sedikitpun panglima itu tidak membayangkan bahwa ia akan bertemu dengan ibunya di tempat ini dan dalam suasana seperti ini pula. Sejenak Yap Tai-ciangkun hanya terlongong-longong diam tak bisa berkata-kata. Berbagai macam perasaan sedang bergulat di dalam hatinya! Antara perasaan senang, sedih, kaget, gembira, menyesal, takut dan lain sebagainya.

"Ibuuu….” Panglima itu menyapa ibunya lirih. Bayangan seorang panglima besar yang setiap kali membuat ketakutan barisan musuh kini seperti hilang lenyap dari tubuhnya. Yang terpancar dari wajahnya kini hanya sebuah bayangan dari seorang anak yang ketakutan di hadapan ibunya.

Tentu saja semua gerak-gerik serta keadaan Yap Tai-ciangkun yang seperti itu membuat para perwira dan prajurit yang berada di tempat itu menjadi terheran-heran tak mengerti. Mereka tidak mengerti, kenapa panglima mereka yang gagah perkasa itu memanggil ibu kepada musuh yang menculik kaisar mereka? Kenapa agaknya panglima mereka itu menjadi ketakutan di hadapan wanita tua itu?

“Kim-ji! Kenapa engkau diam saja? Benarkah engkau akan menangkap ibu sendiri? Apa kata ayahmu nanti kalau mendengar sepak terjangmu ini?” Kembali suara wanita itu terdengar dari puncak menara. Dan suara ini semakin membuat panglima yang sudah biasa menghancurkan lawan di medan laga ini makin bertambah bungkam seribu bahasa.

“Siang-moi, kenapa engkau tidak juga berasa kasihan kepada puteramu sendiri? Apakah engkau ingin agar puteramu ini kehilangan muka di hadapan semua anak buahnya? Apakah engkau ingin agar puteramu ini mengorbankan jiwa untuk menebus semua ini?” Tiba-tiba Bu Hong Seng-jin berseru sambil maju ke depan. Pendeta itu merasa kasihan melihat keponakannya kehilangan akal di hadapan ibunya.

Bagai tersentak pula Yap Tai-ciangkun dari keadaannya mendengar seruan supeknya itu. Keadaan yang tak terduga ini memang sangat mengejutkan hatinya. Tetapi seruan pamannya itu benar-benar membuat dirinya sadar kembali akan kedudukannya. Ia adalah seorang panglima kerajaan. Dan kaisarnya kini dalam cengkeraman seorang musuh. Ia harus berusaha untuk membebaskannya biarpun musuh itu adalah ibunya sendiri. Dan ia bersedia untuk berkorban jiwa seperti ucapan supeknya itu, demi untuk tanggung jawabnya ini. Maka dengan langkah yang tegap dan penuh kepercayaan diri Yap Tai-ciangkun maju ke samping Bu Hong Seng-jin.

“Supek, silahkan supek mundur! Biarlah keponakanmu saja yang menyelesaikannya!” Dengan dada tengadah panglima muda itu menghadap ke puncak menara. Suaranya terasa getir di dalam hati, meskipun diucapkan dengan tegas dan lancar.

“Ibu, agaknya ibu memang tidak menyukai aku. Agaknya ibu memang sudah tidak perduli akan kebahagiaan puteramu ini. Dahulu ketika aku masih kecil, di mana aku benar-benar sangat membutuhkan kasih sayang ibu, ibu justru pergi meninggalkan rumah untuk menjadi pengawal pribadi Kaisar Chin. Aku hanya tinggal bersama ayah yang lebih banyak di ruang samadinya dari pada membimbing diriku. Untunglah di rumah itu ada Yap suheng yang memanjakan aku. Sekarang setelah anakmu ini memperoleh kebahagiaan di sini ibu datang lagi untuk menghancurkannya…..”

“Kim-ji, anakku….”

“Sebentar, ibu, jangan potong dahulu kata-kataku! Ibu, meskipun begitu sebagai seorang anak yang berbakti, aku tidak akan melawan kepada ibu. Tetapi aku hanya memohon kepada ibu untuk melepaskan Hong-siang demi tanggung jawab dan nama baik anakmu yang tidak kau sukai ini…..”

“Kim-ji….”

“Sepatah kata lagi, ibu. Dan untuk kebebasan dari Hong-siang itu aku bersedia menghabisi nyawaku sendiri di hadapan ibu, agar ibu merasa puas di dalam hati. Nah, ibu…. aku akan menghitung sampai tiga. Bersama dengan hilangnya nyawaku nanti kuharap ibu menepati janji untuk melepaskan Hongsiang! Nah…. satu…..!” Yap Tai-ciangkun mulai menghitung sambil menempelkan ujung pedangnya didadanya.

“Anakku….. kau……!” wanita itu berdesah dengan wajah pucat.

“Yap Tai-ciangkun……!” para perwira berseru.

“Dua……!”

“Kim-ji……!” Bu Hong Seng-jin melangkah maju.

“Tiga!” Yap Tai-ciangkun menghabiskan hitungannya. Dengan tenang ujung pedang yang ia bawa itu ia tusukkan ke arah dadanya.

“Kim-ji! Tahan! Aku menyerah!” wanita itu berteriak tinggi. Tubuh Kaisar Han ia buang begitu saja ke arah para prajurit yang berada di bawah menara, sementara ia sendiri terjun ke arah putera satu-satunya.

“Trakk……!” Bu Hong Seng-jin yang saat itu telah berada di samping Tai-ciangkun cepat menghantam ke arah ujung pedang itu, sehingga dua buah jari tangannya putus. Tetapi ujung pedang itu dapat terpental ke samping, meskipun ujungnya yang telah menembus daging tersebut sempat mematahkan sebuah tulang iga Yap Tai-ciangkun! Darah menyembur keluar, tapi jiwa panglima itu tertolong.

Wanita tua yang sangat sakti itu langsung menubruk puteranya dengan air mata bercucuran. Sementara itu tubuh Kaisar Han yang melayang dari atas itu telah ditangkap beramai-ramai oleh para prajurit dan dibawa ke tempat yang aman. Beberapa orang perwira tampak maju bersama para anak buahnya untuk meringkus wanita sakti yang sedang lengah karena menangisi Yap Tai-ciangkun itu. Senjata mereka meluncur dengan cepat ke arah punggung wanita yang sedang membungkuk tersebut.

“Tahan!” Bu Hong Seng-jin berteriak menggeledek.

“Kraaaaaak…..! Dessss…….!”

Bersama-sama dengan Bu Hong Seng-jin, Yap Tai-ciangkun yang mengetahui bahaya tersebut, sehingga tubuh ibunya ikut terjengkang ke belakang. Wanita Sakti itu lolos dari kematian, tetapi sepasang lengan Yap-Tai-ciangkun dan Bu Hong Sengjin juga mengalami luka-luka pula terkena senjata mereka.

“Berhenti!” Yap Tai-ciangkun menggertak anak buahnya. “Siapapun tidak boleh melukai ibuku. Beliau telah menyerahkan tubuh Hong-siang kepada kita dengan tidak kurang suatu apa. Kini beliau aku bebaskan untuk pergi dari tempat ini. Untuk itu aku akan mempertanggungjawabkan sendiri kepada Hong-siang nanti. Tan-ciangkun…..!”

“Ya……!”

“Beri ibuku ini sebuah perahu dan biarkan beliau menyeberangi telaga ini!”

“Baik, Tai-ciangkun!”

“Ingat, tak seorangpun boleh mengganggu dia!”

“Anakku…. Bagaimana luka-lukamu? Mengapa engkau berlaku bodoh seperti itu? Bagaimana semuanya menjadi seperti ini? Ohh…… ibumu memang telah berlaku kejam terhadapmu selama ini…….” wanita itu merintih.

“Perahu untuk ibu telah tersedia, Ibu…… lekaslah ibu keluar dari tempat ini! Jangan menunggu sampai Hong-siang siuman dari pingsannya!” Yap Tai-ciangkun memotong kata-kata ibunya.

“Tidak! Aku tidak akan pergi lagi dari sisimu! Biarlah mereka membunuhku, aku tidak takut! Aku tidak akan pergi jika tidak dengan engkau, anakku!”

“Ibu, kenapa ibu masih saja tidak mengerti hati anakmu ini? Apakah ibu ingin melihat kehancuranku? Kenapa ibu tidak membiarkan aku hidup tenteram dan bahagia dengan jalan hidupku sendiri? Jalan hidup yang kurintis sendiri sejak ibu meninggalkan diriku dahulu?”

“Kim-ji…… aku sangat menyayangimu, nak!”

“Aku tahu, ibu! Tapi silahkanlah sekarang ibu naik perahu untuk meninggalkan tempat ini. Pada suatu saat nanti apabila aku masih hidup, aku akan mengunjungi ibu.”

“Kim-ji…. anakku!”

“Lekaslah, ibu! Atau ibu benar-benar ingin melihat aku bunuh diri sekarang?”

“Siang-moi, ayolah…. Kau masih menyayangi anakmu seperti katamu tadi, bukan? Biarlah kau turuti katakatanya….” Bu Hong Seng-jin cepat menengahi. Ditariknya lengan wanita itu ke arah perahu yang telah disiapkan oleh Tai Ciangkun.

“Baiklah…. baiklah, aku menurut. Tapi…. kuharap engkau benar-benar mencari ibumu kelak.” Wanita itu melangkah ke perahu sambil mencucurkan air mata.

Yap Tai-ciangkun mengangguk. Dia juga tidak kuasa lagi untuk berkata-kata. Dipandanginya ibunya itu sehingga mendarat di pinggir seberang.


Dasar Telaga itu sungguh sangat dalam. Tubuh Yang Kun yang bagaikan dilempar dari atas itu tenggelam ke bawah dengan cepat hingga hampir mencapai dasar telaga. Dan ketika daya lontar dari atas itu telah habis sehingga tubuh pemuda tersebut mulai terangkat kembali ke atas permukaan air, tiba-tiba datang sebuah arus air yang menyeret tubuh itu berputar menyusuri dasar telaga.

Arus tersebut menyeret tubuh Yang Kun ke arah sebuah lubang besar yang berada di dekat dasar telaga. Seperti mulut seorang raksasa lubang itu menyedot tubuh Yang Kun ke dalamnya serta menggulungnya di dalam aliran sungai di bawah tanah. Entah berapa saat lamanya pemuda itu terseret oleh aliran sungai tersebut. Tahu-tahu ketika pemuda itu siuman kembali dari pingsannya, ia telah mendapatkan dirinya di sebuah gua yang aneh. Sebuah gua yang langit-langit dan dindingnya terdiri dari batu bening yang beraneka macam warnanya, sehingga rasanya seperti di dalam mimpi saja. Tubuhnyapun terbaring di atas pasir lembut yang berkilau berwarna-warni.

Yang Kun meringis menahan sakit ketika mencoba untuk bangkit, sehingga niatnya untuk duduk diurungkannya. Rasanya tulang-tulang rusuk dan lengannya pada berpatahan semua. Maka pemuda itu membiarkan dirinya terbaring diam di tempat tersebut. Hanya kedua buah matanya saja yang sedang melirik ke sana ke mari, memperhatikan segala sesuatu yang berada di sekitarnya.

Di manakah dirinya sekarang? Apakah dia telah ditawan oleh wanita sakti itu dan kini telah dibawa ke sarangnya? Lalu ke mana sahabatnya itu? Apakah Liu-toakonya itu dapat menyelamatkan diri dari keganasan musuh? Yang Kun sibuk mengingat-ingat segala kejadian yang telah menimpa dirinya beberapa saat yang lalu. Sejak ia menolong sahabatnya yang terpukul jatuh dari atas pagoda sampai ia tidak sadarkan diri akibat ikut menangkis pukulan wanita sakti itu. Peristiwa selanjutnya ia sudah tidak tahu menahu lagi.

“Biarlah aku tetap berbaring saja di sini sembil menanti kedatangan orang yang telah membawa diriku kemari…..” pemuda itu berkata di dalam hati. Lalu dipejamkannya matanya sehingga akhirnya ia tertidur.

Yang Kun tidak mengetahui berapa lama ia telah tertidur ketika mendadak ia terbangun. Telinganya yang sudah terlatih untuk mendengarkan suara-suara lembut itu tiba-tiba dikejutkan oleh suara hantu bernyanyi yang telah sangat dikenalnya itu. Hanya bedanya suara seruling itu sekarang terdengar begitu kerasnya sehingga hantu tersebut seperti meniupnya di ruangan itu juga. Malah ketika hantu tersebut mengucapkan pantunnya, pemuda itu merasa seakan-akan hantu tersebut mengucapkannya di depannya.

"Sinar bulan di antara bintang, Membasahi padan di antara ilalang."

Tak terasa mulut Yang Kun ikut bergumam menyanyikan lagu itu. Tapi ia menjadi kaget dan heran ketika mendadak suara nyanyian itu berhenti. Dan tidak tahu dari mana datangnya tiba-tiba di depannya telah berdiri seorang nenek tua renta. Bukan main kagetnya pemuda itu. Nenek tua tersebut tak ubahnya seperti hantu. Begitu tuanya nenek itu sehingga hampir-hampir tiada lagi rambut yang tumbuh di kepalanya.

Beberapa lembar rambutnya yang putih yang masih tinggal itu juga lebih tepat disebut tengkorak dari pada dikatakan sebagai kepala dari seorang manusia yang masih hidup. Mulutnyapun kelihatan kosong tak bergigi sama sekali. Nenek itu hampir tak memakai penutup badan sama sekali, hanya sebuah sobekan kain kecil yang menutupi bagian bawahnya, sehingga tubuhnya yang seperti kerangka berselaput kulit tipis itu kelihatan nyata sekali. Satu-satunya tanda yang bisa dipakai untuk membedakan apakah orang itu laki-laki atau wanita hanyalah kedua buah dadanya yang tergantung tipis bagai lidah yang terulur keluar itu.

“Siapakah yang mengajarkan bunyi pantun itu kepadamu?”

Yang Kun menoleh ke kanan dan ke kiri dengan bingung, lalu sekali lagi ia berusaha untuk bangkit tetapi tetap tidak bisa. Pertanyaan itu seperti diucapkan oleh nenek tersebut, tapi herannya bibirnya yang telah keriput itu sedikipun tidak kelihatan bergerak.

“Ayo, jawab! Kenapa malah menoleh ke sana kemari? Siapa yang kau cari? Tidak ada orang lain di gua ini selain aku dan kau!”

“Aku…. ah... aku……” Yang Kun masih bingung. Sekali lagi matanya mengawasi nenek tua tersebut, tapi bibir itu tetap diam tak bergerak seperti tadi.

“Hmmm, agaknya engkau heran melihat aku bisa berkata-kata tanpa menggerakkan bibirku. Uh, apa sukarnya berbuat seperti itu… hei, kenapa diam saja? Ayo jawab pertanyaanku tadi!”

“Aku…… aku telah sering mendengar lagu itu.”

“Heh, kurang ajar! Apakah engkau telah siuman beberapa hari yang lalu? Lalu kenapa berpura-pura masih pingsan, begitu?”

“Siuman beberapa hari yang lalu? apakah maksud locianpwe? Aku sungguh tidak mengerti. Aku pingsan baru beberapa saat yang lalu, kenapa lo-cianpwe katakan telah beberapa hari yang lalu?”

“Hihihihi… sungguh menyebalkan! Beberapa saat yang lalu? Hihihihi… ketahuilah, anak muda… eh, siapakah namamu?”

“Chin Yang Kun!”

“Heh, ketahuilah…… kau telah pingsan selama satu bulan disini.”

“…….satu bulan?” Yang Kun tersentak kaget. Satu bulan. Benarkah itu? Lalu apa yang terjadi setelah dia pingsan itu? Bagaimana kelanjutan dari peristiwa yang terjadi pada saat itu? Dan di manakah dia sekarang? Siapa pula nenek tua itu?

“Hei… siapa namamu tadi?”

Tiba-tiba pemuda itu dikejutkan oleh pertanyaan nenek tersebut. Yang Kun menatap wajah berkeriput itu dengan termangu-mangu. Ia melihat mata yang cekung itu menatap dirinya dengan tegang.

“Siapa namamu? Kenapa diam saja?” nenek tua itu berteriak. Lagi-lagi meremang bulu kuduk pemuda itu mendengar suara tanpa gerakan mulut atau bibir tersebut.

“Chin Yang Kun... Chin Yang Kun nama siauw-te!” jawabnya terbata-bata...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.