Pendekar Penyebar Maut Jilid 07 karya Sriwidjono - YANG KUN terdorong keras ke samping terhuyung-huyung. Tenaga pengemis itu memang sangat hebat, apalagi kedudukannya memang lebih menguntungkan. Begitu dapat berdiri tegak kembali, yang pertama-tama diperbuatnya oleh Yang Kun adalah memeriksa lengan tangannya. Melihat lengan itu tetap dalam keadaan baik dan tidak kurang suatu apa, begitu juga badannya, pemuda tersebut malah menjadi terheran-heran di dalam hati. Cepat pemuda itu menoleh ke arah lawannya.
“Aduuuh… oh… gatal…! Gataaaaal…! Gatal dan panaaas….! Argggg…!”
Yang Kun ternganga. Tampak di depan matanya pengemis yang beradu tenaga dengan dia tadi terguling-guling di atas tanah dalam keadaan sekarat. Dari seluruh lubang di tubuhnya mengalir darah segar. Dan tidak lama kemudian orang itu menghembuskan nafasnya yang penghabisan dalam keadaan yang sangat mengerikan.
Untuk sesaat suasana di tempat itu menjadi hening sepi. Semua orang tidak menyangka sama sekali kalau pengemis yang amat lihai itu akan mati dengan begitu mudahnya. Dan kedua orang pengemis yang lain tampak termangu-mangu pula seperti tidak percaya pada apa yang telah terjadi. Tapi begitu menyadari pada apa yang telah terjadi, mereka menjadi sangat marah sekali. Dengan berteriak keras mereka meloncat, menyerang ke arah pembunuh yang telah menghabisi nyawa temannya.
Sekarang Yang Kun telah yakin pada kemampuan ilmunya. Maka melihat kedua orang lawannya yang lain menyerbu ke arah dirinya, ia sudah tidak merasa ragu-ragu lagi. Kembali dikerahkannya Lion-cu-i-kang sepenuhnya ke arah lengan. Begitu serangan mereka tiba, pemuda itu menyongsong dengan kedua belah tangannya.
“Kraaaak…!” “Auuuugh…!”
Seperti dua buah layang-layang putus, tubuh kedua orang pengemis itu terlontar kembali dengan nyawa melayang dari tubuhnya. Mereka jatuh berdebam di tanah dengan darah mengalir dari semua lubang tubuhnya. Kulit mereka menjadi merah bagai kepiting yang baru saja direbus. Selain digempur dengan tenaga dalam yang sangat hebat, ternyata kedua orang itu menderita keracunan yang mematikan pula.
Yang Kun memandang kepada korbannya dengan termangu-mangu, lalu mengawasi kedua belah telapak kakinya yang terbenam ke dalam tanah. Tampak wajahnya sedikit muram. Timbul juga perasaan menyesal di dalam hati pemuda itu. Sebenarnya tak ada niat di hatinya untuk membunuh mereka. Maka pemuda itu hanya melirik saja ketika para piauw-su dari Kim-liong Piauw-kiok menjura menyatakan rasa terima kasih mereka. Sedikitpun ia tidak merasa gembira atas kemenangan itu.
“Saudara tadi mengatakan bahwa dunia ini tidak akan aman lagi kalau ada orang yang sedikit-sedikit suka membunuh orang. Lalu apa bedanya perbuatan saudara ini dengan para pengemis itu?” tiba-tiba terdengar suara perlahan dari tengah-tengah penonton.
Tersentak Yang Kun dari lamunannya. Dilihatnya dua orang gadis berparas manis datang menghampiri dirinya. Pakaian hitam-hitam yang mereka kenakan benar-benar tampak menyolok di antara kulit mereka yang putih bersih. Sebuah pedang pendek tampak tergantung pada masing-masing pinggangnya. Yang Kun tergagap tidak dapat menjawab pertanyaan mereka. Setelah semua kemarahannya hilang pemuda itu memang merasa menyesal atas perbuatannya.
“Nah, bukankah saudara tidak dapat menjawabnya? Maka untuk selanjutnya saudara tidak usah membual dengan kata-kata yang muluk-muluk, karena saudara sendiri ternyata juga bukan orang yang baik. Dalam hal ini ternyata saudara tidak ada bedanya pula dengan orang-orang Tiat-tung Kai-pang itu. Malah kalau ditimbang, saudara justru lebih kejam dan bengis daripada mereka. Mereka cuma membunuh dua orang sementara saudara membunuh tiga orang…”
“Benar! Aku memang terlalu terburu nafsu sehingga menjadi lupa diri….” Yang Kun mengakui dengan gagah.
“Tapi penyesalan saudara itu sudah terlambat. Bagaimanapun saudara telah menanam bibit permusuhan dengan Tiat-tung Kai-pang dan Keh-sim Siauw-hiap.”
“Apa boleh buat! Nasi telah menjadi bubur….. Aku tidak takut, apalagi ingkar!” Yang Kun berkata dengan dada tengadah.
“Bagus! Saudara memang seorang ksatriya tulen! Sekarang bersiaplah…!” kedua gadis berbaju hitam itu membentak.
“Bersiap…? Apa maksud nona? Apakah…?” Yang Kun terperanjat setengah mati. Sedikitpun dia tidak mengetahui apa maksud kedua orang gadis manis tersebut.
“Mereka berdua adalah anak buah Keh-sim Siauw-hiap!” salah seorang dari para piauw-su itu membisiki Yang Kun.
“Harap tuan berhati-hati! Kepandaian mereka sangat tinggi. Lebih tinggi dari pada kepandaian orang-orang Tiat-tung Kaipang itu.”
“Hah?!? Anak buah Keh-sim Siauw-hiap…?” pemuda itu ternganga.
“Perkataan piauw-su itu adalah benar… kami memang para pembantu dari Keh-sim-Siauw-hiap. Mereka telah mengenal kami dengan baik. Apakah sekarang saudara menjadi takut?” gadis manis tersebut berkata dengan tandas.
Tersinggung kembali rasa keangkuhan pemuda itu. “Hmh… takut? Gila! Mana ada kata-kata takut di hatiku? Majulah! Apabila aku sampai kalah melawan kalian, aku akan membunuh diri didepan hidungmu!” serunya marah.
“Oh… Tuan, ja… jangan terlalu memandang rendah gadis itu! Dialah yang merampas barang kawalan kami. Kepandaiannya benar-benar sangat tinggi…” piauw-su tadi memegang tangan Yang Kun dengan khawatir.
“Ah, tak usah saudara bersumpah seperti itu. Sedikitpun kami tidak ingin melihat saudara membunuh diri di hadapan kami. Nah, sekarang pilihlah di antara kami berdua, yang mana di antara kami yang akan saudara lawan?” gadis itu berkata tenang.
Keangkuhan pemuda itu kembali tersentuh oleh perkataan gadis tersebut. “Memilih? Huh! Membuang-buang waktu saja. Majulah, nona berdua sekalian, biar lekas beres!”
Kedua gadis itu justru terlongong-longong seperti orang kehilangan akal melihat kesombongan Yang Kun. Begitu pula orang-orang lainnya. Para piauw-su yang berada di dekat Yang Kun menatap pemuda itu dengan perasaan aneh. Waraskah pemuda ini?
“Tuan…? Adakah tuan bersungguh-sungguh? Maaf… kami bukan tidak mempercayai kepandaian tuan, tetapi… tetapi… sesungguhnyalah kedua wanita itu mempunyai kepandaian yang sangat tinggi. Kami tujuh bersaudara telah dikalahkan hanya oleh salah seorang diantara mereka….” seorang dari para piauw-su itu berbisik kembali.
“Sudahlah! Silahkan saudara sekalian minggir. Tolong bawa mayat-mayat itu sekalian…!”
Salah seorang dari kedua gadis berbaju hitam itu maju ke depan. “Saudara agaknya ingin lekas-lekas membunuh diri. Tapi kami tidak sekejam itu. Biarlah aku saja yang menghadapi saudara…..” katanya perlahan. “nah, lekaslah saudara mengeluarkan senjata! Biarlah kuhadapi dengan tangan kosong.”
“Telah kukatakan tadi, majulah kalian bersama-sama! Dan hunuslah pedang kalian itu! Atau kalian akan mati di sini tanpa sempat lagi mempergunakannya?” Yang Kun membentak tidak kalah garangnya.
“Saudara sungguh sangat takabur. Baiklah, akan kulihat sampai di mana saudara dapat bertahan untuk tidak mempergunakan senjata.” gadis itu berkata sambil bersiap-siap untuk menyerang.
“Majulah berbareng, kataku!” Yang Kun menjerit marah. “Dan hunus pedang itu!”
Tubuhnya yang jangkung itu tiba-tiba mencelat ke depan dengan cepat sekali. Begitu cepatnya sehingga gadis yang berada di depannya itu menjadi terkejut sekali. Kali ini Yang Kun memang mengerahkan seluruh kepandaiannya. Dia tidak mau berlaku setengah-setengah lagi. Dari mulutnya terdengar suara desis yang mengerikan.
Gadis itu meloncat ke samping sehingga serangan Yang Kun menemui tempat kosong. Lalu dengan tidak kalah gesitnya gadis tersebut memukul Yang Kun dari arah samping. Hembusan angin panas menerjang pemuda itu bersama-sama dengan serangan yang menuju pinggangnya. Begitu menjejakkan kakinya di atas tanah, Yang Kun cepat memutar badannya. Kedua belah tangannya segera menyongsong ke depan untuk memapaki pukulan lawan.
Gadis itu tampak mengerahkan seluruh tenaganya guna menindih tenaga Yang Kun yang terlontar ke arah dirinya. Tapi gerakan pemuda itu ternyata hanya merupakan gerak tipu saja. Sebelum kedua belah tangan mereka saling berbenturan, Yang Kun segera menarik serangannya dan menggantinya dengan cengkraman ke arah gagang pedang lawan yang masih tergantung di atas pinggang.
Gadis itu menyentakkan tangannya kembali dengan kaget. Kakinya melangkah selangkah untuk menghindari cengkraman lawan yang datang. Tetapi bukan main kagetnya gadis itu ketika dilihatnya lengan lawan yang terulur ke arah gagang pedangnya tersebut mulur (bertambah panjang) menjadi satu setengah kali lipat dari lengan manusia biasa. Maka tak ampun lagi senjatanya telah berpindah ke tangan lawannya itu.
Begitu berhasil merampas pedang lawannya, Yang Kun segera melenting ke arah gadis yang lain. Pedang rampasannya ia sabetkan ke arah leher gadis yang masih berada di pinggir arena tersebut. Selain sangat cepat gerakan pemuda itu benar-benar tidak terduga oleh lawannya.
Memperoleh serangan yang begitu mendadak, gadis itu menjadi kelabakan. Otomatis tangannya mencabut pedang pendeknya, lalu dengan gugup berusaha untuk menangkis serangan tersebut sedapatnya.
“Trang!” Bunga api berpijar ketika kedua buah senjata itu saling berbenturan di udara. Tampak tubuh si pemuda berjumpalitan lebih dahulu di udara sebelum dengan manis mendarat di atas tanah. Sedang si gadis tampak memutar badannya setengah lingkaran untuk mengurangi daya tekan lawan yang hebat.
Dan begitu berdiri tegak gadis itu secara kebetulan berada di belakang punggung lawannya, sehingga dengan enak gadis itu memanfaatkan kesempatan tersebut untuk membokong lawan dari belakang. Jarak di antara mereka hanya dua langkah saja. Maka menurut aturan, serangan tersebut tak mungkin dielakkan lagi. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri hanya dengan menangkis pedang itu.
Tapi mana mungkin hal itu dilakukan? Sebagai manusia normal, untuk menggerakkan lengan tangan ke belakang sungguh suatu hal yang sulit dan amat kikuk sekali. Misalnya bisa, juga takkan dapat mengejar lagi kecepatan gerak lawan. Tapi kali ini gadis itu ternyata juga terkecoh oleh kehebatan dan keanehan Kim-coa-ih-hoat seperti juga kawannya tadi….!
Gadis itu menjadi gembira bukan main begitu melihat tusukan pedangnya telah menyentuh baju lawan. Tetapi sedetik kemudian kegembiraan itu berubah menjadi kekagetan yang luar biasa. Dengan mata terbelalak gadis itu melihat suatu hal yang menakjubkan dan mustahil dapat dilakukan oleh manusia biasa. Gadis tersebut melihat lengan si pemuda terlipat ke belakang dengan siku tertekuk terbalik, sehingga pedang yang terpegang dalam tangannya dapat menangkis pedang yang tertuju ke arah punggungnya.
Dan selagi gadis itu masih dalam keadaan tercengang dan tertegun, Yang Kun menyerangnya kembali dengan cengkeraman tangannya. Dengan mudah pedang si gadis dapat dirampasnya. Dan tidak itu saja, pundak si gadispun dapat ia cengkeram pula dengan tangannya. Lalu begitu tangan itu bergerak, tubuh gadis itu terlempar ke arah kawannya, sehingga dengan terburu-buru kawannya tersebut menyanggahnya.
“Hunuslah pedang dan majulah berbareng, kataku!” Yang Kun berseru lantang. “Nah, apa kata kalian sekarang?”
Kedua orang gadis itu terdiam tak tahu apa yang mesti mereka katakan. Peristiwa yang menimpa mereka tadi masih mencekam perasaan mereka. Demikian cepat dan membingungkan seperti dalam mimpi saja. Begitu juga para penonton. Banyak di antara mereka malah tidak tahu apa yang telah terjadi dengan ketiga orang itu.
Tahu-tahu kedua orang gadis tersebut telah dikalahkan oleh pemuda itu. Begitu juga dengan orang-orang Kim-liong Piauw kiok. Mereka masih ternganga keheranan menyaksikan sepak terjang pemuda yang menolong mereka itu. Sungguh tidak mereka sangka sejak semula bahwa pemuda itu begitu saktinya.
“Baiklah! Kali ini kami berdua mengaku kalah. Tapi sebenarnya di dalam hati kami belum sepenuhnya mengaku kalah. Saudara telah memanfaatkan waktu dan keanehan ilmu silat saudara untuk menjebak kami. Jadi belum berarti kalau ilmu silat kami adalah lebih rendah dari pada ilmu silat saudara. Hal itu dapat dibuktikan apabila kita bisa mengadu ilmu dengan tenang serta jujur….” salah seorang dari kedua gadis itu berkata.
“Hmh! Begitukah pendapat kalian?” Yang Kun mendengus. “Apakah kalian berani bertaruh?”
“Hal ini…” Tiba-tiba terlihat sesosok bayangan berkelebat dengan cepat sekali dari kerumunan para penonton. Bayangan itu berjumpalitan beberapa kali di udara sebelum mendarat dengan ringan di depan kedua gadis tersebut.
“Cici….” bayangan itu menoleh ke arah kedua orang gadis tersebut penuh wibawa, ”Tak usah cici melayani tantangan pemuda ini! Lebih baik cici pulang saja ke Meng-to (Pulau Mimpi)…!”
“Nona Souw…..! Kami memang sedang mencari nona. Nona disuruh pulang selekasnya!” kedua orang gadis itu berseru berbareng begitu mengetahui siapa yang datang. Kedua orang gadis berbaju hitam itu tampak sangat menghormat kepada gadis cantik yang baru tiba tersebut.
Sementara itu di lain pihak Yang Kun menjadi sangat terkejut sekali begitu melihat siapa yang datang di hadapannya. Di pandangnya dengan seksama tubuh gadis cantik yang hanya bertangan sebelah itu. Gadis yang tadi dilihatnya membantu para pengungsi yang sakit. Gadis yang sempat menyentuh perasaannya dan menimbulkan rasa iba di dalam hatinya. Ternyata gadis cantik itu segolongan dengan mereka dan mempunyai kepandaian yang tinggi pula. Gingkang yang baru saja dipertunjukkan tadi adalah ginkang tingkat tinggi. Gadis cantik bertangan buntung itu menganggukkan kepalanya.
“Baik!” Aku memang sudah ingin pulang kembali. Ayolah, kita berangkat bersama-sama!”
Lalu tanpa memperdulikan lagi pada Yang Kun, ketiga orang gadis itu beranjak pergi meninggalkan tempat tersebut. “Hei, kalau kalian tak mau lagi bertarung denganku, kembalikan barang-barang kawalan para piauw-su yang telah kaurampas itu!” Yang Kun berteriak di belakang mereka.
Gadis buntung itu berputar dengan cepat. Matanya yang jeli dan lebar itu mengawasi Yang Kun dengan tajam. Sinar kemarahan tampak di dalam pandang mata gadis itu. “Kalau saudara menginginkan barang-barang itu kembali, silahkanlah saudara mengambilnya di Meng-to pada tanggal lima bulan depan…!”
Yang Kun menjadi tergagap mendapat semprotan gadis itu. Heran! Hilang semua kegarangan dan kesombongannya selama ini. “Aku… aku… eh, bukan itu maksudku…! Aku tidak mempunyai sangkut-paut sebenarnya dalam hal ini. Aku tidak kenal dengan mereka,” pemuda itu menerangkan. Jarinya menunjuk ke arah rombongan piauw-su yang berdiri di dekatnya. “Maka… aku tidak bermaksud ke Meng-to untuk... menerima undanganmu itu.”
“Huh! Lalu apa maksudmu membantu mereka dan membunuh kawan-kawan Keh-sim Siauw-hiap ini? Hanya untuk gagah-gagahan dan memameran kepandaian saja?”
Memang benar-benar mengherankan sekali. Sedikitpun pemuda itu tidak menjadi marah atau tersinggung oleh perlakuan gadis tersebut, membuat para penonton merasa heran juga. Padahal tadi pemuda itu demikian garang dan sombong bukan main.
“Eh… aku tadi hanya tidak menyukai ada kekejaman dan kebengisan orang-orang Tiat-tung Kai-pang itu terhadap para piauw-su dari Kim-liong Piauw-kiok ini. Barang-barang mereka sudah dirampas, orangnya masih dihina dan dibunuh pula…”
“Hmm… itulah kalau orang terlalu usil dan suka mencampuri urusan orang. Apakah saudara telah mengetahui, mengerti atau memahami persoalannya?”
“Ini… ini…. aku tidak tahu…”
“Nah, itulah! Dan saudara telah mencampurinya. Tapi semuanya sudah terlanjur. Saudara tidak boleh ingkar lagi. Saudara telah membunuh sahabat-sahabat dari Keh-sim Siauw-hiap dan itu berarti bahwa saudara telah tersangkut pula dalam urusan ini.”
Yang Kun mengangguk tegas. “Nona… aku memang tidak ingkar. Akan aku hadapi semuanya, apapun yang terjadi.”
“Bagus! Bersiaplah mulai sekarang! Jalan yang akan saudara lalui tidak akan selicin dulu lagi. Banyak aral yang akan melintang di jalan karena perbuatan saudara ini!”
Gadis itu membalikkan badannya, lalu bergegas pergi dengan diikuti oleh kedua orang temannya. Mereka keluar dari halaman itu dan lenyap di tikungan jalan.
Orang-orang dari Kim-liong Piauw-kiok itu datang mengelilingi Yang Kun untuk sekali lagi menyatakan rasa terima kasih mereka. Tapi pemuda itu hanya mengangguk kecil, kemudian melangkah pergi dari tempat itu pula. Di dekat pintu halaman Yang Kun dihentikan oleh orang yang telah menolong dirinya dan membawanya ke tempat ini.
“Tuan…. apakah tuan tidak jadi bermalam di sini?”
“ohh…. tidak! Terima kasih! Saya bermaksud untuk meneruskan perjalanan saya sekarang juga. Sekali lagi saya mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan tuan itu….” Yang Kun menjura dengan hormat. Kemudian pemuda itu meneruskan langkahnya. Tapi di tengah pintu halaman pemuda itu menoleh lagi.
“Tuan…. di manakah tuan mengubur nenek saya itu? Maksud saya…. di kampung mana?”
“Oh, apakah tuan belum pernah ke tempat ini? Nenek itu kami makamkan di dekat sumber air baru yang muncul di sebelah selatan Hok-cung….”
“Hok-cung (Kampung kelelawar)? Di manakah itu?”
“Ah, agaknya tuan memang bukan orang dari sini. Kampung Hok-cung itu terletak di sebelah timur Pesanggrahan Delapan Dewa, yaitu sebuah pesanggrahan yang sering dipergunakan oleh Baginda Kaisar Han apabila sedang ingin menyendiri.”
“Terima kasih!”
Yang Kun berjalan dengan kepala tertunduk. Dia tak tahu apa yang pertama-tama mesti ia lakukan setelah dirinya terbebas dari penjara bawah tanah itu. Sebenarnya banyak tugas-tugas yang harus dia selesaikan, antara lain mencari benda pusaka yang diwariskan oleh leluhurnya. Kemudian juga mencari musuh-musuh besar keluarganya yang telah membantai ayah, ibu dan paman-pamannya. Setelah itu dia juga mendapat tugas dari nenek buyutnya untuk mencari seorang gembala yang bernama Pao Liang untuk mengantar abu neneknya itu.
Matahari telah mulai terbenam. Hari telah berangsur-angsur menjadi gelap. Yang Kun berjalan perlahan-lahan ke arah kampung Hok-cung yang tadi telah ditunjukkan oleh penolongnya. Ia bermaksud bertanya kepada seseorang tentang arah yang benar, tapi sudah sekian lamanya dia berjalan belum pernah sekalipun ia berjumpa atau berpapasan dengan seseorang. Apalagi jalan yang dia lalui sekarang memang sebuah jalan gunung yang sunyi. Malam hari pula.
Baru sekarang pemuda itu memasuki pedusunan, ia baru dapat melihat beberapa orang laki-laki duduk menggerombol di sebuah gardu penjagaan kampung. Orang-orang itu serentak berdiri begitu melihat dirinya. Seorang di antaranya lalu melangkah ke jalan dan menghentikan perjalanannya.
“Maaf, saudara siapa? Mengapa malam-malam begini berjalan seorang diri?”
Yang Kun mengerutkan keningnya. Ada sesuatu yang tidak beres dilihatnya pada sikap orang itu. Seperti ada suatu kecurigaan yang ditujukan kepada dirinya. Dilihatnya kawan-kawan dari orang itu juga telah turun ke jalan dan bersiap-siap menghadapi dirinya.
“Saudara… aku seorang pengembara yang sedang mencari sebuah kampung yang bernama Hok-cung. Namaku adalah Yang Kun. Tolonglah… adakah di antara saudara-saudara sekalian yang mengetahui letak kampung tersebut?” pemuda itu menjawab pertanyaan dengan halus.
Tapi bukan main terkejutnya Yang Kun ketika orang-orang itu tiba-tiba mengepung dirinya sambil mengacungkan senjata mereka. “Hah! Agaknya engkau juga kawan dari para penculik dan perampok itu, kurang ajar! Akan kami tangkap engkau lebih dahulu sebelum engkau bergabung dengan teman-temanmu itu.” teriak orang itu dengan geram. Lalu orang itu menoleh ke arah kawan-kawannya yang telah bersiap-siap pula untuk menyerang. “Tangkap orang yang mencurigakan ini! Kita sandera dia sebagai alat penukar untuk membebaskan gadis-gadis kita yang telah diculik oleh teman-temannya!”
Dan tanpa berkata-kata lagi orang-orang itu segera menyerang Yang Kun. Senjata mereka yang terdiri dari bermacam-macam bentuk itu menyerang bagai hujan ke arah tubuh pemuda tersebut. Tapi dengan tangkas Yang Kun meloncat ke atas, melampaui kepala mereka, kemudian turun dengan ringan di belakang orang-orang itu.
“Tahan! Saudara-saudara harap bersabar! Aku bukan seorang perampok, apalagi menjadi seorang penculik gadis!” teriaknya mendongkol.
“Hmm, penipu! Kawan-kawanmu dulu juga berkata begitu. Katanya mau menolong warga kampung ini dari penderitaan akibat serangan gempa, tak tahunya malah merampok dan menculik gadis-gadis kami. Oleh karena itu sekarang kami tidak akan percaya lagi pada omongan orang…”
Wah, repot sekali nih, pemuda itu berpikir. Tanpa menundukkan mereka terlebih dahulu, tentu sangat sukar untuk mengajak mereka bicara. Maka pemuda itu lalu bersiap-siap pula untuk menghadapi orang-orang yang sudah mata gelap tersebut. Kedua tangannya ia tekuk di depan dada, sedang badannya yang jangkung itu mendorong ke depan.
Dari mulutnya terdengar suara desisan yang mengalun mengikuti gelombang pernapasannya. Tapi karena dia tidak ingin mengulang kejadian seperti beberapa saat yang lalu, di mana pukulannya ternyata menewaskan ketiga orang pengemis dari Tiat-tung Kai-pang, maka pemuda itu hanya mengerahkan seperempat saja dari kekuatannya.
Ketika orang-orang itu menyerang kembali, Yang Kun sengaja diam saja menanti. Dan begitu senjata mereka telah berada di depan matanya, kedua lengannya segera melayang ke depan dengan cepatnya. Lebih cepat dari luncuran senjata lawan-lawannya. Dan di lain saat, jari-jarinya telah membagi totokan serta merampas senjata mereka. Gerakan pemuda itu cepat bukan main sehingga sebelum orang-orang itu menyadari keadaannya, senjata mereka telah berpindah semuanya ke tangan Yang Kun.
Baru setelah mereka sadar apa yang telah terjadi, mereka menjadi gemetar ketakutan. Mereka sungguh tidak menyangka sama sekali bahwa pemuda tampan yang mereka kepung dan akan mereka tangkap itu ternyata mempunyai kesaktian yang sangat hebat.
Sementara itu setelah berhasil menguasai lawannya, Yang Kun membuang senjata-senjata yang telah dirampasnya itu melangkah menghadapi mereka lagi. Ditatapnya wajah orang yang pertama-tama menghadang dirinya tadi.
“Apakah engkau yang memimpin semua kawan-kawanmu ini?”
Dengan tubuh gemetar orang itu mengangguk. “Nah, ceritakan kepadaku semuanya! Apa yang telah terjadi di tempat ini beberapa waktu lalu sehingga kalian menyangka bahwa aku adalah salah seorang anggota dari para perampok yang kalian benci.”
Sambil mengusap peluh dingin yang mengalir di dahinya orang itu menceritakan apa yang telah menimpa para gadis di kampungnya. Setelah siang harinya terjadi bencana alam yang menimbulkan banyak korban itu, pada sore harinya kampung mereka kedatangan tiga orang laki-laki asing. Begitu datang, mereka langsung membantu para penduduk yang sedang ribut mencari harta dan anggota keluarganya yang hilang atau diduga tertimbun dalam reruntuhan rumah mereka masing-masing.
Mereka pergi ke sana ke mari membantu orang-orang yang memang sangat membutuhkan pertolongan. Tidak tahunya perbuatan mereka itu hanya sebagai kedok saja agar mereka bisa mengetahui siapa-siapa yang mempunyai harta benda banyak dan anak gadis yang cantik. Malam harinya mereka datang lagi dengan membawa belasan orang kawan-kawannya untuk merampok dan menculik gadis-gadis di kampung mereka itu.
Para perampok itu membawa hasil rampokan mereka ke Hok-cung yang letaknya tak jauh dari kampung mereka itu. Di sana mereka berpesta-pora bersama-sama dengan teman-teman mereka yang lain dan disaksikan oleh penduduk setempat yang gemetar ketakutan melihat kekejaman mereka. Harta benda penduduk yang masih tersisa dan terhindar dari malapetaka mereka pakai untuk berpesta, sementara gadis-gadis yang mereka culik mereka ajak menari dan minum arak secara paksa. Dan akhirnya pada pagi hari gadis-gadis itu mereka perkosa secara bergantian. Siapa saja yang merintangi dan mengganggu perbuatan mereka tentu mereka bunuh tanpa ampun.
“Bangsat keji!” Yang Kun berteriak marah mendengar penuturan orang itu. Matanya yang tajam itu mencorong ganas sehingga orang-orang kampung itu menjadi semakin ketakutan melihatnya.
“Lagi-lagi perampok…! Lagi-lagi perampok…!” pemuda itu menggeram dengan penuh penasaran. “Hei, mengapa kalian tidak pergi ke kota yang terdekat untuk melaporkan mereka? Mengapa kalian malah mencegati orang-orang yang tidak bersalah?”
Orang-orang itu semakin gemetar tubuhnya. “Kami… kami tidak berani…. eh…. tidak seorangpun dari kami yang berani berangkat ke kota untuk melapor. Seselain itu, tidak ada gunanya pula kalau kita melaporkannya. Sebab… sebab kami dengar para perampok yang berada di kampung Hok-cung itu justru baru saja kembali dari penyerbuan mereka ke kota. Malah kata beberapa orang yang menyaksikannya, jumlah mereka banyak sekali. Ribuan jumlahnya. Dan di kota, perampok-perampok itu telah menyerbu dan merusak istana kaisar sebelum mereka dihalau dan dicerai-beraikan oleh pasukan Yap Tai-ciangkun.”
Bukan main terperanjatnya pemuda itu. Istana kaisar diserang gerombolan perampok? Ah, tentu orang-orang ini yang salah terka. Sungguh tidak masuk akal apabila kawanan perampok sampai berani menyerang kota raja. Apalagi sampai menyerbu istana! Yang disangka sebagai perampok itu tentulah gerombolan para pemberontak yang ingin membunuh Kaisar Han, Yang Kun berpikir di dalam hatinya.
Yang Kun lalu teringat akan gerombolan pembunuh yang mengadakan pertemuan di rumah Si Ciangkun di kota Tiekwan beberapa bulan yang lalu. Mungkinkah gerombolan itu yang menyerang kota raja? Jikalau benar-benar mereka, hmmm… sungguh kebetulan sekali baginya. Akan kubasmi mereka sehingga tak seorangpun yang tersisa, pemuda itu menggeram di dalam hati!
“Ayo, antarkanlah aku menemui perampok-perampok itu! Akan kumusnahkan mereka semuanya!” Yang Kun menunjuk kepada orang itu.
“Ini… ini… anu, mana aku berani kesana?” orang itu segera menyahut dengan muka pucat.
“Sudahlah! Antarkan saja aku!” Yang Kun meloncat pergi sambil menyambar lengan orang itu. Orang itu berteriak minta tolong kepada teman-temannya, tapi tak seorangpun berani bergerak untuk menolong. Teman-temannya malah bubar melarikan diri. Lenyap ditelan oleh gelapnya malam.
Yang Kun menurunkan orang itu di tempat yang sepi di tengah tengah persawahan. “Sekarang tunjukkan arahnya! Di manakah letak dari kampung Hok-cung itu?”
“Baik… a...akan saya tunjukkan!” orang itu menjawab ketakutan.
Yang Kun mengikuti orang itu sambil sibuk memikirkan apa yang akan ia perbuat sesampai di tempat para perampok itu nanti. Haruskah dia menghadapi gerombolan itu secara terang-terangan? Ataukah dia mesti menghadapinya dengan secara sembunyi-sembunyi dan main kucing-kucingan? Baik kulihat dulu keadaan di sana, setelah itu baru kupikirkan tindakan apa yang mesti kuambil, Yang Kun bergumam.
Langit biru bersih, Bintang-bintang bertaburan di angkasa raya. Berkelap-kelip, sepintas lalu seperti mutiara yang berserakan di atas beludru berwarna biru maya. Maka dari itu biarpun bulan belum tampak menampilkan diri, suasana jalan yang mereka lalui sudah tampak terang benderang. Dari jauh telinga Yang Kun sudah dapat mendengar suara gaduh yang suara ketawa para perampok yang berpesta di kampung Hok-cung.
“Itu mereka, tuan!” kembali orang yang mengantarnya mengigil ketakutan.
“Baik! Kau pulanglah kembali! Aku dapat mencari sendiri sekarang.”
“Terima kasih, tuan. Terima kasih…!” dengan sangat gembira orang itu bergegas pergi meninggalkan Yang Kun.
Akhirnya Yang Kun meneruskan perjalanannya tanpa penunjuk jalan lagi. Tapi suara gelak ketawa dari gerombolan perampok itu dapat ia pakai sebagai pedoman dari langkahnya. Semakin lama gaung suara gelak ketawa mereka semakin keras terdengar oleh tenaga pemuda itu, menandakan bahwa kampung yang dicarinya tersebut telah berada di depan matanya. Benarlah, di antara bayang-bayang hitam yang menyelimuti udara di sekitar tempat itu, Yang Kun melihat berkelipnya lampu-lampu obor yang dinyalakan orang kira-kira satu lie di depannya.
Yang Kun mempercepat langkahnya. Tapi beberapa waktu kemudian tiba-tiba didengarnya suara gemericik air tidak jauh dari jalan yang dilaluinya. Yang Kun berhenti melangkah. Lalu bergegas ia mencari arah suara air mengalir itu. Sebuah sungai yang mengingatkan dia akan gua-gua di bawah tanah serta neneknya!
Yang Kun berloncatan di antara tanah-tanah retak dan bongkah-bongkah batu yang berserakan akibat gempa itu. Dan semakin mendekati suara air itu, semakin banyak pula bongkah-bongkah batu yang harus dilompatinya. Tanah-tanah retak yang dijumpai pemuda itupun semakin dalam dan semakin lebar pula. Sedangkan karena dalamnya tanah yang retak tersebut kadang-kadang menjadi terisi air.
Akhirnya sampai juga Yang Kun ke tempat di mana suara air yang didengarnya itu berasal. Pada sebuah tebing gunung yang terbelah menjadi dua bagian, tampak sebuah mata air yang menyembur dengan deras sekali. Airnya yang melimpah ruah itu mengalir ke bawah, melalui sela-sela bongkah batu yang berserakan di bawahnya.
Seketika itu juga Yang Kun menjadi teringat kembali pada peristiwa yang menimpa dirinya beberapa waktu yang lalu. Yaitu pada saat dirinya dilahirkan kembali ke dunia ramai dari dalam perut bumi. Bongkah-bongkah batu yang kini diinjak dan dilompatinya itu adalah batu-batu yang dulu ia singkirkan ketika ia berusaha untuk menolong nenek buyutnya.
Dan di tempat ini pulalah neneknya memberikan seluruh tenaga Liong-cu-i-kangnya kepada dirinya. Dan menurut keterangan para pengungsi itu, di tempat ini pulalah neneknya telah dikuburkan. Bergegas Yang Kun mencari kuburan itu dan menemukannya di tempat yang agak tinggi, tempat di bawah pohon cemara yang telah hampir tumbang digoyang gempa.
Pemuda itu merasa lega dan bersyukur di dalam hati melihat makam itu tidak kekurangan suatu apa. Hanya sekarang ia harus memikirkan, apa yang mesti diperbuatnya dengan makan neneknya itu. Apakah ia harus membongkarnya sekarang dan membakar jenasahnya? Atau biarkan seperti ini saja dahulu, baru setelah semua urusannya nanti telah selesai ia kembali lagi ke sini untuk mengurusnya?
Belum juga pemuda itu memperoleh keputusan apa yang mesti ia kerjakan, mendadak dari jauh terdengar suara suitan nyaring memecah kesunyian malam. Pemuda itu segera berlindung di balik sebuah batu besar, karena suara itu bergerak menuju ke tempat di mana ia sekarang berada.
Bukan main terperanjatnya pemuda itu ketika tiba-tiba di atas sebuah batu besar yang tidak jauh dari tempat ia bersembunyi telah berdiri seorang laki-laki tinggi kurus. Hampir seluruh badan orang itu tertutup oleh mantel hitamnya yang lebar dan panjang sampai ke bawah lutut. Kepalanya tertutup pula dengan sebuah topi lebar yang bagian pinggirnya terjuntai kain sutera tipis, sehingga wajah itu menjadi tertutup dan tidak kelihatan dari luar.
Yang membuat kaget Yang Kun bukanlah dandanannya yang aneh itu tapi orang yang mengenakannya! Biarpun dahulu hanya melihat orang itu sebentar saja tapi Yang Kun takkan mungkin dapat melupakannya. Sebab ketika dirinya ditangkap secara licik oleh gerombolan yang ingin merebut pusaka warisan keluarga Chin di kota Tie-kwan, Yang Kun sempat melihat bahwa orang inilah yang ternyata menjadi pemimpin dari gerombolan tersebut. Gerombolan yang sampai saat ini ia anggap sebagai gerombolan yang bertanggung jawab atas terbantainya seluruh keluarganya.
Belum juga hilang rasa kagetnya, Yang Kun mendengar lagi langkah seseorang yang datang menuju ke tempat itu. Dan tak lama kemudian di depan orang berkerudung itu telah berdiri seorang laki-laki berpakaian putih-putih. Wajahnya yang putih pucat itu hampir tertutup pula oleh rambutnya yang dibiarkan lepas terurai ke bawah. Sekali lagi Yang Kun dibuat kaget setengah mati begitu memandang dandanan orang yang baru tiba itu! Hanya kekagetannya sekali ini dibarengi dengan geraman hebat di hatinya.
Laki-laki berbaju putih itu telah dikenalnya pula dengan baik, karena orang inipun termasuk salah seorang pimpinan dari gerombolan itu pula. Orang inilah yang telah menyuruh seorang yang bergelar Tee-tok-ci untuk menyiksa dia dan Hekmou-sai dengan barisan tikus-tikusnya. Hampir saja pemuda itu tidak dapat mengekang kemarahannya. Tetapi ia segera menyabarkan dirinya. Ia tidak boleh gegabah! Orang itu tidak seorang diri di sana.
Di depannya berdiri seorang laki-laki yang ilmu meringankan tubuhnya benar-benar sangat mengetarkan hati. Jika ia bertindak ceroboh, boleh jadi malah dia sendiri yang akan menjadi korbannya. Oleh karena itu Yang Kun tetap berdiam diri di tempatnya. Dengan mata menyala pemuda itu mengawasi gerak-gerik dua orang tersebut.
“Mungkin benar dugaanku itu. Orang-orang ini dan anak buah merekalah yang kiranya oleh para penduduk itu sebagai perampok yang berani menyerang istana Kaisar Han. Dan mereka sebetulnya memang bukan perampok tetapi memang sebuah gerombolan pemberontak yang telah dipersiapkan untuk mengambil alih kekuasaan Kaisar Han!” pemuda itu berkata di dalam hati.
“Sayang agaknya gerakan mereka beberapa hari yang lalu telah menemui kegagalan. Dan kini mereka mundur dari kota raja benar-benar menjadi perampok! Mereka menjarah, merampok harta benda penduduk dan mengacau keamanan negeri.”
Yang Kun menghentikan lamunannya ketika melihat orang berkerudung itu mengulapkan tangannya ke arah laki-laki berbaju putih di depannya. “Bagaimana hasil penyelidikanmu, Kwa-heng?” orang berkerudung itu berkata memecah kesunyian malam.
Laki-lai berbaju putih itu membungkuk dengan hormat sekali. “Ong-ya, apakah Wan Lo-cianpwe belum datang menghadap?”
“Belum. Mungkin dia belum dapat datang pada malam ini. Dia aku perintahkan untuk pergi menyelidiki istana di kota raja. Adakah berita yang mengatakan bahwa istana telah diserang oleh para pengacau itu benar adanya? Aku juga ingin mengetahui siapakah yang ingin mendahului kita dalam memperebutkan takhta kerajaan itu?”
“Ong-ya, agaknya berita itu memang benar. di dusun sebelah ini siauw-te telah melihat beberapa puluh orang bersenjata sedang berpesta-pora mengganggu para penduduk. Siauw-te dengar mereka memang sebagian dari para pengacau yang beberapa hari yang lalu telah menyerbu kota raja.”
“Hahaha… Liu Pang itu sungguh sial sekali nasibnya. Baru lima tahun di atas singgasana sekarang telah mulai dirongrong berbagai macam kesulitan. Sudah dikacau istananya masih dihancurkan pula oleh gempa yang dahsyat! Kwa-heng inilah tandanya Thian tidak merestui segala perbuatannya. Hal tersebut juga dapat dipakai sebagai tanda bahwa saat-saat kejatuhannya telah berada di ambang pintu!”
“Benar! Ong-ya lah yang sebentar lagi akan menggantikannya. Karena Ong-yalah sebenarnya yang lebih berhak menduduki singgasana emas itu. Kami semua telah bersiap siaga menanti perintah dari Ong-ya, kapan pemberontakan itu akan dimulai. Kapan barisan kita itu diperbolehkan bergerak untuk menghancurkan kekuatan Kaisar Han!”
“Haha… kau sabar dulu, Kwa-heng! Kukira saat itu tidak akan lama lagi. Kita tidak boleh terlalu tergesa-gesa. Kita harus benar-benar memperhitungkan seluruh keadaan. Baiklah… kita menunggu berita dari Wan-heng! Kalian berdua adalah pembantu-pembantu utamaku. Aku harus mendengarkan nasehat kalian semua, lalu bersama-sama kita merundingkannya. Baru setelah itu aku akan memutuskan apa yang mesti kita perbuat selanjutnya dengan pasukan kita itu.”
“Terserah Ong-ya kalau begitu…”
Kini semakin jelas bagi Yang Kun, apa sebenarnya masalah besar yang dahulu pernah diucapkan oleh ayah dan pamannya. Masalah besar yang selalu dirahasiakan oleh orang-orang tua itu kepadanya. Masalah besar yang kata pamannya sedang dihadapi oleh keluarganya. Keluarga Chin!
Berdasarkan peristiwa-peristiwa yang dialaminya selama ini Yang Kun sudah dapat meraba serba sedikit, apa sebetulnya masalah besar yang sedang dihadapi oleh keluarga Chin tersebut. Menurut pengamatannya, yang dimaksudkan dengan masalah besar oleh pamannya itu tentulah masalah tentang takhta kerajaan!
Sebagai keturunan dari keluarga Chin yang masih tinggal hidup, Ayah dan pamannya merasa berhak untuk mendapatkan kembali takhta yang direbut oleh Kaisar Han. Apalagi ayah dan pamannya juga merasa telah memegang warisan pusaka kerajaan yang diperebutkan itu, biarpun karena sesuatu hal benda itu belum sempat diambilnya.
Itulah pula sebabnya, mengapa pamannya tidak dapat menyebutkan siapa saja sebenarnya yang memusuhi keluarganya. Selain itu pamannya juga tidak bisa mengatakan siapakah sebenarnya musuh yang sedang dihadapi oleh keluarga Chin dalam menghadapi masalah besar itu. Sekarang baru jelas bagi Yang Kun tentang sebab-sebab dan duduk persoalannya. Tentu saja pamannya tidak bisa mengatakan siapa saja yang menteror dan membikin sengsara keluarganya, karena musuh yang mereka hadapi adalah sebuah kekuatan besar yang terdiri dari ratusan, bahkan ribuan orang jumlahnya.
Kemungkinan malah tidak itu saja. Dari percakapan dua orang di hadapannya itu dapat ditarik kesimpulan bahwa kekuatan besar yang kini sedang bersaing untuk mendapatkan takhta ternyata tidak cuma satu golongan saja. Oleh karena itu otomatis yang memperebutkan atau mengincar pusaka warisan keluarganya juga semakin tidak bisa dihitung lagi jumlahnya.
Tetapi dengan semakin jelasnya masalah besar itu bagi Yang Kun, justru membuat pemuda itu malah semakin pusing untuk menentukan siapa-siapa yang telah membunuh keluarganya. Dulu pemuda itu beranggapan bahwa pembunuh keluarganya tentunya orang-orang yang ingin merebut pusaka warisan itu. Dan karena yang dijumpainya pertama kali dan terbukti juga ingin merebut pusaka itu adalah rombongan dari orang berbaju putih itu, maka saat itu ia telah memastikan bahwa orang-orang itulah yang telah membantai seluruh keluarganya.
Tidak tahunya yang mengincar dan ingin memiliki pusaka warisan itu tidak hanya satu golongan saja. Tidak hanya rombongan orang berbaju putih itu saja. Tetapi masih ada golongan yang lain! Wah, repot juga sekarang, pemuda itu berpikir di dalam hati. Dugaannya bahwa orang berbaju putih dan gerombolannya itu yang bertanggung jawab terhadap kematian keluarganya menjadi pudar sekarang. Artinya bisa juga orang-orang itu yang berbuat, tapi bisa juga tidak!
“Terpaksa aku harus menyelidikinya lagi secara lebih teliti,” pemuda itu memutuskan dalam hati.
Ketika Yang Kun memandang lagi ke depan dilihatnya kedua orang itu telah bersiap-siap untuk meninggalkan tempat tersebut. Orang berkerudung itu telah berdiri berdampingan dengan laki-laki berbaju putih di atas tanah. Kepalanya yang tertutup topi lebar itu mendongak ke arah bulan muda yang baru saja muncul di atas langit.
“Kwa-heng, aku mendengar kedatangan seseorang ke tempat ini. Mari kita pergi!”
“Marilah, Ong-ya…”
Tetapi belum juga mereka melangkah, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang sangat mengagetkan semua pihak. Baik pihak kedua orang itu maupun pihak Yang Kun yang masih berada di tempat persembunyiannya!
“Berhenti!!”
Dua orang yang sesungguhnya telah bersiap-siap untuk pergi itu benar-benar terkejut dengan kehadiran orang yang sangat tiba-tiba tersebut. Mereka sungguh tidak menduga sama sekali bahwa gerakan orang yang baru tiba itu demikian cepatnya. Baru saja orang berkerudung itu mendengar langkahnya, orang itu telah berada di depan mereka.
Begitu juga dengan Yang Kun. Selain dikagetkan oleh kehebatan gin-kang orang itu, Yang Kun dikagetkan pula oleh kenyataan tentang siapa yang telah datang di hadapan kedua orang yang diintipnya itu. Yang Kun benar-benar masih dapat mengingat dengan jelas, siapakah orang yang baru saja tiba itu. Pemuda itu tidak mungkin melupakannya karena dia berhutang jiwa dengan orang itu. Tetapi sungguh di luar dugaan. Ternyata orang itu juga sangat kaget begitu tahu siapa yang berdiri di samping orang berkerudung itu.
“Kau…?” desah orang itu tertahan.
“Kau…?” laki-laki berbaju putih itu berdesah pula.
“Hei?!?” orang berkerudung itu mengangkat wajahnya. “Kwa-heng, apakah kau juga telah mengenal orang ini?”
Laki-laki berbaju putih itu cepat menggangguk dengan tegas. “Tentu saja, Ong-ya. Bangsat inilah yang telah memelet dan membujuk adik siauw-te dengan ketampanan wajahnya sehingga adik siauw-te yang belum berpengalaman itu menjadi terpikat olehnya.”
“Kurang ajar…!” saking marahnya orang yang baru datang itu sampai tidak dapat berkata apa-apa selain mengumpat.
Orang berkerudung itu menoleh kepada pembantunya. “Kwa-heng, orang ini sungguh tidak tahu diri. Sudah mengaet adik orang, masih memaki-maki kakaknya pula! Hmm, mengapa tidak kau bunuh saja dia?”
“Siauw-te memang akan membunuhnya! Sejak dia menggoda adik Siauw-te, siauw-te telah berketetapan hati untuk melenyapkannya dari muka bumi.” laki-laki berbaju putih itu mengeram.
Orang yang baru datang itu menggeram pula menahan hati. Tapi agaknya ia tidak bernapsu untuk melayani tantangan orang berbaju putih tersebut. Dia justru menghadapi orang berkerudung dengan mata yang menyala-nyala. “Hmm… akupun tidak akan lari apabila saudara memang ingin membuat perhitungan dengan aku. Tapi tidak sekarang! Kedatanganku kali ini untuk membuat perhitungan lebih dulu dengan Ong-yamu yang bergelar Hek-eng-cu (Bayangan Hitam) itu!”
“Apa maksudmu?” laki-laki berbaju putih itu membentak.
Pendatang baru itu mengebutkan ujung lengan bajunya yang lebar. “Sudahlah! Biar aku berurusan sendiri dengan Hek-eng-cu! Kau minggirlah!”
“Anjing kurapan! Selesaikan dulu urusan kita!” orang berbaju putih itu meloncat marah.
Melihat orang berbaju putih itu menyerang dirinya, orang yang baru datang itu cepat meloncat ke samping. Kemudian sambil membalikkan badan ia balas menyerang dengan cengkraman tangan kanannya ke arah mata lawan. Lengan bajunya yang longgar itu sampai melembung saking cepatnya tangan itu bergerak.
Orang berbaju putih itu tersentak kaget juga melihat kegesitan lawannya. Dengan amat tangkas ia menarik kepalanya ke belakang, sehingga cengkraman orang itu gagal mencapai wajahnya. Lalu sebelum lawannya itu sempat menyusuli lagi dengan serangan lain, orang berbaju putih itu cepat melangkah dua tindak ke belakang dan kembali di tempatnya semula.
Orang yang baru datang itu juga tidak mengejar lebih jauh. Masing-masing berdiri berhadapan kembali seperti tadi. Masing-masing menatap lawannya dengan tajam, seolah-olah ingin menjajaki kemajuan apa yang didapat oleh lawan selama lima tahun tidak berjumpa. Selama ini, masing-masing merasa telah memperoleh kemajuan yang pesat dalam ilmu masing-masing.
Tapi dalam gebrakan pertama tadi masing-masing merasa pula bahwa pihak lawan juga telah mendapatkan kemajuan dalam ilmu silatnya. Oleh karena itu tampaknya keduanya menjadi lebih berhati-hati. Masing-masing tidak berani gegabah dan memandang enteng lawannya lagi.
Sementara itu di balik tempat persembunyiannya Yang Kun menggeleng-gelengkan kepalanya. Hatinya kagum bukan main melihat ketangkasan dan kegesitan orang-orang itu. Inilah baru benar-benar jago silat kelas satu. Gerakan mereka dalam menyerang, mengelak, meloncat, berputar lalu berdiri tegak kembali di tempat semula itu mereka lakukan dengan amat cepat dan manis serta tidak lebih dari pada sekejap mata!
Betapa mengagumkan! Melihat ini, jago-jago silat seperti para pengemis Tiat-tung Kai-pang, para piauw-su Kim-liong Piauwkiok dan gadis berbaju hitam itu menjadi seperti tidak ada artinya lagi. Orang berbaju putih itu tampak mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, sehingga beberapa saat kemudian tampak semua keringat yang berada di badannya seperti menguap menjadi kabut tipis di sekeliling tubuhnya. Bau dupa hio tercium semerbak ke mana-mana.
“Hio-yen Sin-kang…!” lawannya menggeram. “Kwa Sun Tek! Apakah engkau tidak dapat menunda dulu urusan kita ini? Apakah engkau tidak mau memberi sedikit kesempatan kepadaku untuk membuat perhitungan dengan Hek-eng-cu itu?”
“Tidak bisa, Seng Kun! Sebab bila kuberi kesempatan itu kepadamu, selama hidup aku tidak akan bisa mengadakan perhitungan denganmu…” laki-laki berbaju putih yang dipanggil dengan nama Kwa Sun Tek itu menggelengkan kepalanya.
“Maksudmu…?” pendatang baru yang ternyata adalah pemuda ahli pengobatan itu bertanya menegaskan.
“Maksudku… engkau tak mungkin hidup lagi bila berhadapan dengan Ong-ya.”
“Bedebah bermulut lancang…! Kalau begitu majulah kalian berbareng! Akan kulihat macam apa kepandaian kalian itu!” Chu Seng Kun berteriak marah sekali.
Pemuda ahli pengobatan itu menerangkapkan kedua belah telapak tangannya di depan dada. Tubuhnya tampak bergetar menahan tenaga Pai-hud Sing-kang (Tenaga Sakti Menyembah Buddha) yang tersalur ke seluruh badannya. Paihud Sing-kang adalah ciptaan mendiang Bu-eng Sin-yok-ong yang sakti.
Lalu bersama-sama dengan hentakan napasnya yang berat Chu Seng Kun menyerang lawannya. Kedua belah telapak tangannya yang tadi terkatup di depan dada ia lontarkan ke depan dalam jurus Kim-hong-pai-thian (Burung Hong Emas Menyembah langit)! Jurus ke tiga dari ilmu silat andalan mendiang Bu-eng Sin-yok-ong yang disebut Kim-hong-kun-hoat (Ilmu Pukulan Burung Hong Emas).
Udara hangat menerpa tubuh Kwa Sun Tek. Rasanya nyaman dan nikmat ke dalam badan. Tapi orang itu tidak mau lengah karenanya, sebab di balik kehangatan itu terkandung bahaya yang dapat membawa maut. Cepat Hio-yen Sing-kang yang telah ia persiapkan tadi ia salurkan ke lengan tangannya, lalu dengan membentak keras kedua tangannya mendorong ke depan untuk memapaki pukulan Chu Seng Kun.
Sebuah tenaga sedot yang luar biasa kuatnya seperti mau menarik tubuh pemuda ahli pengobatan itu ke arah lawannya. Tapi biarpun demikian, ilmu pukulan lawan yang bersifat aneh itu tidak membuat pemuda itu menjadi takut atau tergetar hatinya. Bagi seorang ahli pengobatan seperti dia, tak sebuah hal pun yang membuat dirinya takut atau merasa aneh.
Apalagi dia memang sudah sangat mengenal ilmu silat lawannya itu. Adik Kwa Sun Tek adalah calon istrinya. Dan ilmu kepandaian Kwa Siok Eng, calon istrinya itu, tidak kalah pula tingginya dengan lawannya ini.
“Deeessssssss…!!” Dua buah tenaga sakti yang berlainan sifatnya tetapi sama-sama merupakan ilmu yang sukar dicari tandingannya, saling berbenturan satu sama lain. Tampak asap mengepul dari kedua pasang tangan mereka yang bertemu. Kwa Sun Tek tampak terhuyung-huyung ke belakang dua tiga langkah, sementara Chu Seng Kun tampak terseret pula dua langkah ke depan oleh daya sedot lawannya yang aneh itu.
Lalu keduanya berdiri tegak kembali untuk mempersiapkan diri. Chu Seng Kun mengamat-amati kedua belah lengannya, kalau-kalau pukulan Hiat-chuo-kun-hoat (Ilmu Pukulan Penghisap Darah) lawannya dapat menembus pertahanannya. Dan hatinya menjadi lega begitu melihat kedua lengannya tetap dalam keadaan bersih, tak setetespun darahnya yang merembes keluar dari kulitnya. Sebaliknya Kwa Sun Tek juga meneliti keadaan di dalam tubuhnya. Dan begitu terasa olehnya semua jalan darah dalam keadaan normal dan tidak kurang suatu apa diapun menjadi lega pula.
Beberapa saat kemudian kedua orang itu terlibat pula kembali dalam sebuah pertempuran yang dahsyat. Mereka sama-sama keturunan dari Datuk Besar Persilatan yang hidup pada ratusan tahun yang lalu. Kwa Sun Tek adalah keturunan Cui-beng Kui-ong dari Tai-bong-pai, sedangkan Chu Seng Kun adalah keturunan Bu-eng Sin-yok-ong! Masing-masing mempunyai keistimewaan dan kehebatannya sendiri-sendiri.
Pertempuran itu benar-benar suatu pertempuran yang hebat dan dahsyat. Masing-masing mengerahkan segala kemampuannya. Kedua-duanya tidak membawa senjata. Mereka bertempur dengan tangan kosong. Tapi dengan tingkat kesaktian seperti mereka, tangan dan kaki sama juga berbahayanya dengan senjata. Dengan tangan kosong mereka mampu membelah batu dengan kakinya mereka mampu meruntuhkan batu karang!
Baru kali inilah Yang Kun dapat menyaksikan sebuah pertarungan yang demikian hebatnya. Debu dan pasir, bahkan kerikil dan batu-batu kecil yang berhamburan ke mana-mana terlanda angin pukulan mereka. Sehingga sepintas lalu tempat tersebut seperti sedang dilanda oleh angin puting beliung. Bahkan batu besar tempat dia berlindung juga tidak luput dari hamburan pasir dan batu tersebut. Dan lapat-lapat hidung pemuda itu mencium bau hio yang menyesakkan nafas.
Orang berkerudung yang di kalangan persilatan dikenal dengan sebutan Hek-eng-cu itu tampak pula menjauhi badai pasir tersebut. Di dunia persilatan orang itu mendapat gelar Hek-eng-cu, karena ilmu meringankan tubuhnya telah sempurna, sehingga banyak orang yang hanya mampu melihat bayangannya saja tanpa dapat mengenal siapa dirinya. Meskipun demikian ternyata orang ini juga menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ilmu meringankan tubuh Chu Seng Kun yang mempesonakan itu.
Pek-in Gin-kang warisan Bu-eng Sin-yok-ong itu memang bukan main hebatnya! Untunglah aku memperoleh warisan buku-buku pusaka itu. Kalau tidak, akupun takkan mampu menghadapi Pek-in gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh Awan Putih) pemuda ini.” Hek-eng-cu berkata di dalam hati.
Apa yang dikatakan oleh orang berkerudung itu memang benar adanya. Satu-satunya kelebihan dari Chu Seng Kun atas lawannya memang hanyalah ilmu meringankan tubuhnya yang hebat itu. Kim-hong-kun-hoat (Ilmu Pukulan Burung Hong Emas) yang dikeluarkannya ternyata tidak dapat menindih Hiat-chuo-kun-hoat lawannya. Begitu pula tenaga Pai-hud-sinkangnya, sedikitpun tidak bisa mengungguli Hio-yen-sin-kang lawannya. Dalam segala hal mereka memang seimbang.
Maka dari itu Chu Seng Kun tidak menyia-nyiakan kelebihannya itu. Ia mengerahkan Pek-in gin-kang sepenuhnya sehingga lawannya menjadi repot dalam mengembangkan ilmunya yang aneh dan mengerikan tersebut. Dan akhirnya biarpun lambat pemuda itu dapat mendesak laki-laki berbaju putih yang bernama Kwa Sun Tek itu.
Diam-diam Yang Kun bersorak di dalam hatinya. Kebalikannya, orang berkerudung itu tampak tegang dan khawatir. Jari-jarinya yang panjang-panjang itu tampak mencengkeram batu karang yang berada di sebelahnya. “Gila! Lihai benar bocah ini!” gumamnya perlahan.
“Duueesssssss…!!” Sekali lagi kedua buah pasang lengan mereka saling beradu di udara. Chu Seng Kun tergetar mundur tiga langkah, sementara Kwa Sun Tek tampak terhuyung-huyung tidak dapat menjaga keseimbangannya. Sejenak mereka saling berdiri beradu pandang. Sedikitpun tidak ada tanda-tanda kelelahan setelah sekian lamanya mereka mengadu tenaga.
Tiba-tiba Chu Seng Kun dikagetkan oleh perubahan gerak-gerik lawannya. Tampak oleh pemuda ahli obat itu lawannya melipat kedua belah lengannya di depan dada seperti orang yang kedinginan. Sedangkan tubuhnya yang kurus itu tampak berdiri lurus seperti sebuah tonggak kayu yang tertancap di atas tanah. Hanya yang sangat aneh tapi juga sangat mengerikan adalah gerak-gerik dari tubuh yang kaku kejang tersebut. Tubuh itu bergoyang-goyang ke kanan dan ke kiri seperti tonggak pohon yang mau rebah karena tertiup badai.
Dan belum juga rasa kaget itu hilang, Chu Seng Kun melihat tubuh yang kaku seperti mayat itu melayang ke arah dirinya. Heran! Bersamaan dengan tubuh lawan yang melayang ke arah dirinya itu, Seng Kun merasa serangkum hawa yang luar biasa dinginnya menerjang dan melibat tubuhnya. Begitu dingin hawa tersebut sehingga rasa-rasanya pemuda itu ingin melipat lengannya seperti yang dilakukan oleh lawannya.
Selain itu, Chu Seng Kun merasa adanya suatu perubahan yang aneh pada alam sekelilingnya! Udara seperti berubah menjadi gelap dan suasana alam seperti berubah menjadi sunyi. Padahal pemuda itu masih melihat bintang-bintang yang bertaburan di langit. Dan bulanpun masih pula tampak bersinar di angkasa.
“Hmm, sungguh gila! Ini pengaruh dari ilmu Kwa Sun Tek yang aneh itu. Bocah ini benar-benar telah mewarisi semua ilmu iblis dari Tai-bong-pai!” Chu Seng Kun menggeram didalam hatinya.
Pemuda ahli obat itu lalu teringat pada kata-kata yang pernah diucapkan oleh Kwa Siong Eng, tunangannya, bahwa salah sebuah ilmu rahasia dari Tai-bong-pai yang paling mengerikan adalah Ilmu Silat Mayat Mabuk. Ilmu tersebut sangat sukar dipelajari, karena harus mempergunakan ilmu sihir dan ilmu hitam untuk melengkapinya. Hanya ayahnya, ketua Tai-bong-pai, yang telah menguasainya. Ternyata pemuda berbaju putih itu kini telah menguasainya pula.
Tapi Chu Seng Kun tidak mempunyai banyak waktu untuk memikirkan ilmu silat lawan yang aneh itu. Beberapa detik kemudian tubuh kaku dari lawannya telah meluncur tiba. Bagai sebatang anak panah yang dilepaskan dari busurnya, kepala dari Kwa Sun Tek menghantam ke arah dadanya. Chu Seng Kun mengerahkan Pek-in ginkangnya untuk meloncat dan menghindari serangan itu. Dan tubuh Kwa Sun Tek meluncur lewat di sampingnya. Sehingga tubuh yang lurus kaku itu menghujam ke arah batu besar di belakang Chu Seng Kun dengan kepala terlebih dahulu.
Yang Kun hampir saja memejamkan matanya karena tak ingin melihat kepala orang berbaju putih itu pecah berantakan menghantam batu besar tersebut. Tapi mata yang telah hampir terpejam itu menjadi terbelalak kembali ketika melihat tubuh kaku Kwa Sun Tek itu membuat suatu gerakan aneh dan menakjubkan sebelum membentur batu.
Beberapa jengkal sebelum menghantam batu, kedua buah lengan yang semula terlipat di dalam dada tiba-tiba mengembang keluar. Bagaikan sepasang per baja, kedua buah lengan itu melindungi kepala dan menahan daya luncur dari tubuhnya.
“Dunggggg!” Tubuh yang lurus dan kaku itu menekuk sebentar ketika menghantam batu, lalu bagai seekor ulat daun, tubuh itu melenting kembali ke arah Chu Seng Kun dengan kecepatan yang berlipat ganda. Kali ini tubuh kaku itu meluncur dengan kaki terlebih dahulu. Dengan deras dan kuat tumit itu meluncur ke arah pinggang dan punggung Chu Seng Kun yang terbuka.
Kembali Yang Kun menggeleng-gelengkan kepalanya. Pengalaman yang dilihatnya kali ini benar-benar sangat berharga sekali. Tampak oleh Yang Kun orang berkerudung yang berdiri tak jauh dari tempatnya itu juga menghela napas kagum. Beberapa kali dilihatnya orang itu mengangguk-angguk, sehingga tirai sutera hitam yang menutupi wajahnya itu kelihatan melambai-lambai. Mungkin juga baru kali inilah dia menyaksikan seluruh kepandaian dari pembantunya yang dipercaya itu.
Gerakan melenting dan membalik dari Kwa Sun Tek itu memang sangat aneh dan di luar dugaan semua orang. Termasuk pula Chu Seng Kun yang menjadi sasaran dari serangan tersebut! Pemuda ahli pengobatan itu benar-benar tidak menyangka bahwa lawannya akan menyerang lagi dengan gerakan yang begitu aneh, sehingga ketika tumit itu tinggal sejengkal lagi dari punggungnya, baru pemuda itu menyadari akan keterlambatannya.
Dan keterlambatannya itu benar-benar dibayar mahal oleh Chu Seng Kun. Tak ada kesempatan lagi buat pemuda ahli pengobatan itu untuk mengelakkan serangan tersebut. Padahal untuk menangkisnya juga sulit, karena harus memutar tubuh dahulu baru menangkis. Sehingga satu-satunya jalan hanya menahan serangan itu dengan pengerahan lweekangnya.
“Desssss…!‟ Kedua buah tumit Kwa Sun Tek tepat mengenai sasarannya, sehingga tubuh Chu Seng Kun terbanting dengan keras ke tanah. Untunglah dalam saat-saat terakhir pemuda itu dengan Pek-in ginkang masih mampu menggeser badannya, sehingga sasaran dari serangan tersebut bergeser ke arah pundak dan siku tangannya.
Sekali sudah terbanting ke atas tanah, pemuda ahli obat itu sudah tidak bisa memperbaiki posisinya lagi. Dan lawannyapun tidak mau memberi kesempatan pula, sehingga dalam keadaan terbaring Chu Seng Kun dicecar habis-habisan oleh lawannya!
Tak ada kesempatan sedikitpun bagi Chu Seng Kun untuk bangkit dari atas tanah. Bagai seekor cacing tanah yang sedang dipermainkan oleh paruh burung bangau, pemuda itu menggeliat ke sana ke mari untuk menghindari serangan lawannya. Dan keadaan ini tak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian pemuda itu terpaksa tidak dapat menghindari lagi serangan Ilmu Silat Mayat Mabuk itu.
“Desss…!” “Aughh…!”
Tersentak Yang Kun melihat pemandangan itu. Saking kagetnya pemuda itu meloncat keluar dari tempat persembunyiannya tanpa terasa, lalu dengan sigap menghambur ke arena untuk menolong pemuda yang pernah melepas budi kepadanya itu. Tampak oleh Yang Kun, orang berbaju putih itu sudah bersiap-siap untuk melepaskan serangan berikutnya.
“Berhenti…!” Yang Kun berteriak sekuat tenaga. Tubuhnya yang jangkung itu menyambar ke arah pertempuran dengan dahsyatnya. Tangan kanannya terulur ke depan untuk mencengkeram punggung laki-laki berbaju putih itu, dengan maksud agar orang itu mengurungkan maksudnya menyerang Chu Seng Kun yang sudah tidak berdaya.
Dan penampilan Yang Kun yang sangat tiba-tiba itu memang mengagetkan semua pihak. Terutama orang berbaju putih yang sudah siap dengan serangan mautnya. Orang ini mengira bahwa kawan dari Chu Seng Kun telah datang untuk menolong calon korbannya itu. Begitu pula orang berkerudung yang sedari tadi menyaksikan pertarungan itu. Selain sangat kaget karena tidak dapat mengetahui kehadiran Yang Kun yang berada di balik batu tersebut, orang misterius itu juga menyangka bahwa Yang Kun adalah kawan dari Chu Seng Kun pula.
“Kwa-heng, awas di belakangmu…!” Hek-eng-cu memberi peringatan kepada pembantunya.
Orang berbaju putih itu merasakan pula hawa pukulan Yang Kun yang tertuju ke arah punggungnya, tapi dia tidak bergitu mengacuhkannya. Selain dia sangat percaya pada kemampuan ilmunya, serangan yang tertuju ke arah punggungnya itu masih terlalu jauh pula darinya. Sehingga ia masih mempunyai banyak kesempatan untuk menangkis atau menghadapinya setelah dia membereskan korbannya itu terlebih dahulu.
Tetapi bukan main terperanjatnya orang berbaju putih itu. Hampir-hampir dia tidak percaya pada apa yang telah terjadi. Ternyata semuanya berjalan di luar dugaan, tidak seperti yang telah dia bayangkan semula. Semula Kwa Sun Tek berpikir bahwa ia masih mempunyai banyak waktu untuk menghadapi serangan ke arah punggungnya itu, karena orang yang menyerangnya itu masih empat lima meter jauhnya dari tempat dia berdiri.
Di luar dugaan serangan itu ternyata justru datang lebih cepat dari pada maksud hatinya untuk memukul mati Seng Kun! Baru saja tangannya bergerak ke atas, serangan yang tertuju ke arah punggungnya itu telah menyelinap tiba! Dengan tergesa-gesa Kwa Sun Tek meloncat menjauh untuk menghindari cengkeraman lawannya yang baru tiba itu.
Tapi belum sempat juga ia berbalik, tahu-tahu punggung bajunya telah kena dicengkeram lawan. Dan di lain saat tubuhnya telah terlempar tinggi di udara. Begitu mendarat lagi di atas tanah. Kwa Sun Tek terlongong-longong tak habis mengerti. Dilihatnya orang yang menyerang dirinya itu masih tegak berdiri dua tiga meter jauhnya dari tempat dia berdiri tadi. Tapi benar-benar sial dangkalan, mengapa punggung bajunya sampai kena dicengkeramnya tadi?
Hek-eng-cu yang dari semula selalu mengawasi gerak-gerik Chin Yang Kun, tersentak kaget sekali setelah dengan jelas dapat mengetahui siapa sebenarnya pemuda yang menolong Chu Seng Kun itu. Tidak itu saja. Diapun mengetahui dengan jelas apa yang telah terjadi dengan pembantunya itu sehingga pembantunya tersebut terlempar ke udara.
“Kwa-heng… kau tidak apa-apa, bukan? Lihatlah anak muda itu! Dia… dia… bukankah dia Chin Yang Kun yang dulu kau tangkap dan kita jebloskan ke penjara di bawah tanah itu?”
“Chin Yang Kun…” laki-laki berbaju putih itu mendesah.
“Saudara Yang Kun…” terdengar suara Chu Seng Kun menyapa begitu mengetahui siapa yang telah datang menolongnya.
Dengan tersenyum puas karena dapat menolong Chu Seng Kun, Yang Kun menghampiri ahli pengobatan itu dan membuatnya bangkit dari atas tanah. “Chu twa-ko… engkau tidak apa-apa bukan?” Yang Kun bertanya khawatir melihat muka Chu Seng Kun yang pucat. Bibirnya membiru dan tubuh yang dipegangnya terasa dingin bukan main.
“Jangan khawatir, aku tidak apa-apa…! Ini hanya pengaruh dari ilmu silat orang itu saja. Begitu aku terkena pukulannya, tenaga Pai-hud Sin-kang yang kukerahkan menjadi buyar sehingga pertahananku menjadi lemah. Akibatnya pengaruh dari ilmu iblis itu memasuki diriku. Saudara Yang Kun, terima kasih! Sebentar kalau aku telah memakan obat, badanku tentu akan menjadi baik kembali.”
“Syukurlah kalau begitu….”
Sementara itu Hek-eng-cu dan Kwan Sun Tek semakin yakin kalau orang yang berada di depan mereka itu memang benar-benar Chin Yang Kun adanya. “Ong-ya, anak ini memang bocah yang kita cari dahulu. Tapi mengapa sekarang…?”
“Benar! Aku juga sangat heran! Dari mana anak ini memperoleh ilmu yang begitu dahsyat? Kwa-heng tidak melihatnya tadi… ketika ia menyerang punggung Kwa-heng dari kejauhan, lengannya mulur (memanjang) menjadi dua kali lipat panjangnya! Oleh karena itu biar Kwa-heng meloncat pergi, tangan itu tetap mengejar juga.”
“Oh? Jadi… hmm?!? Dan… lwee-kang anak itu juga hebat sekali! Hio-yen Sin-kang yang siauw-te kerahkan ternyata tidak berhasil membendung tenaganya.”
“Jika demikian kita memang harus berhati-hati menghadapinya.”
“Ong-ya apakah kita akan menangkapnya sekali lagi untuk memaksa agar dia mengaku di mana cap Kerajaan itu disembunyikan? Kita telah membongkar hampir semua goa di negeri kita, baik yang bernama goa harimau maupun yang bukan, tapi benda itu tetap belum kita ketemukan.”
“Ya! Tapi kita tidak boleh memandang rendah bocah itu sekarang! Kepandaian bocah itu ternyata telah meningkat dengan hebatnya.”
Tapi belum juga mereka menggerakkan kaki untuk melangkah, tampak Yang Kun dan Chu Seng Kun mendahului tiba di depan mereka. Kedua orang ini tampak datang dengan pandang mata merah penuh rasa dendam. Chu Seng Kun yang telah menjadi baik kembali setelah minum obat, tampak menatap Hek-eng-cu dengan mata menyala. Sementara Yang Kun juga memandang mereka tanpa berkedip.
“Nah, Hek-eng-cu! Di mana adikku kau sembunyikan? Lekas katakan!” teriak Chu Seng Kun kepada Hek-eng-cu.
Tidaklah mengherankan kalau Chu Seng Kun yang biasanya tenang dan sabar itu kini dapat menjadi demikian kasar dan marahnya. Ketenangan dan kesabaran hatinya telah habis dimakan perasaan tegang dan khawatir selama berbulan-bulan sejak ia berkelana ke seluruh pelosok negeri untuk mencari jejak adiknya yang hilang. Apalagi usaha pencariannya itu dapat dikatakan sebagai usaha yang sangat mustahil dan penuh sia-sia. Sehingga pertolongan dari seorang kaisar seperti Kaisar Hanpun tidak memperoleh hasil apa-apa.
Usaha pemuda itu dalam mencari adiknya dapat diibaratkan sebagai mencari sebuah jarum yang terjatuh ke dalam samodra luas. Sangat sulit dan mustahil diketemukan kembali! Betapa tidak? pemuda itu tidak mempunyai petunjuk sama sekali, ke mana atau di mana adik perempuannya itu pergi.
Pemuda itu juga tidak mengetahui, apa yang menyebabkan adiknya itu pergi meninggalkan rumah dan dengan siapa adiknya itu pergi. Adiknya seperti hilang begitu saja dari muka bumi ini. Satu-satunya petunjuk yang dapat dipegangnya hanyalah sebuah topi bambu lebar yang pada pinggirnya digantungi kain sutera tipis berwarna hitam. Itupun kalau boleh dianggap sebagai petunjuk.
Karena topi tersebut hanyalah pemberian dari seorang pemilik warung, yang merasa bahwa tempat tinggalnya pernah dipakai oleh seorang laki-laki yang terlihat oleh pemilik warung itu berjalan bersama dengan adiknya. Tapi bagaimana mungkin untuk mencari pemilik topi tersebut di antara jutaan penduduk di dunia ini?
Tapi karena terdorong oleh perasaan sayang dan cinta terhadap adiknya, membuat pemuda itu tidak pernah mengenal perasaan putus asa. Biarpun kawan-kawannya yang membantu dia telah putus asa dan menghentikan usaha pencarian itu, ia tetap tekun dan terus mencari tanpa mengenal lelah.
Thian agaknya merasa kasihan juga kepada pemuda itu, sehingga akhirnya ketekunannya tersebut membuahkan hasil juga. Ketika keluar dari kota Tie-kwan bersama-sama dengan Kwa Siok Eng, tunangannya, dan nona Ho Pek Lian, murid Kaisar Han, Chu Seng Kun menuju ke kota Lou-yang dan menginap di kota itu. Mereka ingin memulai penyelidikan mereka di kota tersebut.
Ketika Chu Seng Kun yang selalu tekun dan selalu memanfaatkan setiap waktunya untuk mencari adiknya itu secara kebetulan berjalan-jalan seorang diri di pinggiran kota, matanya melihat seorang gemuk tinggi besar sedang berusaha mengobati luka-lukanya. Sebagai seorang ahli obat Chu Seng Kun menjadi sangat tertarik dengan mendekati orang itu. Maksudnya hanyalah ingin membantu orang itu mengobati luka-lukanya.
Tak disangkanya orang itu justru menjadi marah dan mengusirnya pergi. Tentu saja keadaan itu membuat Chu Seng Kun menjadi melongo keheranan. Sungguh aneh sekali sikap orang itu! Biasanya orang tentu sangat berterima kasih apabila ada orang yang memperhatikan penderitaannya.
Oleh karena merasa penasaran atas sikap orang yang sangat aneh itu, Chu Seng Kun secara diam-diam justru selalu membayanginya. Dalam hati sebenarnya ia hanya ingin mengetahui, apa sebenarnya yang menyebabkan sehingga orang itu mempunyai kelakuan yang begitu anehnya. Kemanapun orang itu pergi, Seng Kun selalu mengikutinya. Begitu juga ketika orang itu berlari keluar kota dan menuju ke arah bukit-bukit kecil yang melingkari kota tersebut.
Di sebuah kuil kosong yang telah hampir roboh karena tidak terawat, orang itu berhenti. Kedua tangannya bertepuk tiga kali, setelah itu dengan mendongakkan kepala ke atas orang itu bersuit panjang satu kali. Lalu beberapa saat kemudian dari dalam kuil terdengar suara nyaring yang mempersilahkan orang itu masuk ke dalam kuil.
“Wan Li-heng (saudara Wan)… silahkan masuk. Kami semua telah menanti Wan Lo-heng sejak tadi.”
Karena hari masih sore dan di sekitar tempat itu tidak ada tempat berlindung yang baik, maka Chu Seng Kun tidak berani mengikuti orang itu masuk ke dalam kuil. Chu Seng Kun berlindung di antara semak-semak yang tumbuh tidak jauh dari bangunan tersebut. Dengan sabar dia menanti di tempat itu, biarpun sebenarnya hatinya ingin segera mengetahui apa yang diperbuat oleh orang itu dan kawan-kawannya di dalam kuil. Tetapi untuk berlari menyeberangi halaman kuil yang terbuka itu terang tidak mungkin!
Tetapi sebelum hari menjadi gelap, orang yang tadi dia ikuti telah melangkah keluar dari pintu kuil. Seng Kun segera memasang matanya dengan seksama. Dia ingin tahu, siapa saja yang berada di dalam kuil tersebut. Dan kedua buah matanya terbelalak lebar begitu melihat orang-orang yang melangkah keluar dari dalam kuil tersebut.
Beberapa orang di antara mereka telah dikenalnya atau diketahuinya dengan baik. Di antaranya adalah Si Tikus Tanah Beracun dan tiga orang adik seperguruannya, yaitu Iblis Kembar Jeng-bin Siang-kwi dan Si Gundul Ceng-ya-kang! Adapun seorang lagi yang telah dikenalnya pula dengan baik adalah Song-bun-kwi Kwa Sun Tek (Setan Berkabung)! Yaitu laki-laki rambut riap-riapan yang mengenakan baju putih bersih itu.
Tapi yang membuat kaget dan terbelalak mata Chu Seng Kun bukanlah orang-orang yang telah dikenalnya itu, tetapi justru orang yang belum pernah dilihat maupun dikenalnya malah. Orang yang dimaksudkan itu berperawakan tinggi kurus dan melangkah di samping Song-bun-Kwi Kwa Sun Tek. Pakaiannya yang berwarna kelabu tua itu tertutup oleh sebuah mantel hitam sampai di bawah lututnya. Tetapi bukan pakaian maupun jubah mantelnya yang lebar itu yang membuat Chu Seng Kun tergetar di dalam hati, tapi, topi lebar yang dikenakan oleh orang itu!
Topi itu terbuat dari anyaman bambu yang sangat halus. Dan pada pinggirannya terjuntai kain sutera tipis yang menutupi wajah pemakainya. Otomatis Chu Seng Kun menjadi teringat pada topi pemberian seorang pemilik warung minuman kepadanya. Topi tersebut sampai sekarang masih disimpan dengan baik dan rupa maupun bentuknya persis dengan yang dipakai oleh orang yang sedang keluar dari kuil itu!
Chu Seng Kun merasa dadanya seperti mau meledak saking menahan perasaan gembira yang memenuhi seluruh rongga hatinya. Ia seperti menemukan jarum yang selama ini dicari-carinya di dalam gelombang samodra luas. Biarpun dalam kegembiraannya kali ini dia juga tidak mau meninggalkan kewaspadaannya.
Dia tidak mau tergesa-gesa mencegat orang itu untuk menanyakan persoalan adiknya. Sekarang orang itu sedang dikelilingi oleh tokoh-tokoh silat yang bukan sembarangan. Mereka adalah iblis-iblis dari dunia persilatan yang mempunyai kepandaian atau kesaktian yang tidak lumrah manusia.
Begitulah, karena takut kehilangan jejak orang bertopi lebar tersebut, Chu Seng Kun tidak sempat memberi tahu kepada nona Ho dan tunangannya di penginapan. Dengan Pek-in ginkangnya yang hebat pemuda itu membuntuti orang-orang tersebut kemanapun mereka pergi, dengan sangat hati-hati sekali.
Tujuh orang itu berlari-lari menyusup hutan keluar hutan dan melalui tanah kosong serta perbukitan. Dan akhirnya mereka masuk ke dalam sebuah lembah yang dikelilingi oleh bukit-bukit yang tinggi. Beberapa orang bersenjata tampak menyongsong mereka, kemudian bersama-sama dengan ketujuh orang itu memasuki pintu gerbang lembah.
Chu Seng Kun terpaksa mencari tempat yang terlindung dan menaiki bukit untuk masuk ke dalam lembah tersebut. Dan Seng Kun melihat perkemahan orang-orang bersenjata yang menebar di tanah yang luas! Tampak pula oleh Seng Kun ketujuh orang itu telah berada di suatu tanah yang lapang, dikelilingi oleh ribuan orang bersenjata.
Seng Kun menjadi berdebar-debar hatinya. Pasukan apa pula ini? Mengapa ada pemusatan pasukan di tempat yang tersembunyi begini? Pasukan siapakah gerangan? Tak mungkin kalau orang-orang ini adalah pasukan pemerintah, karena pasukan kerajaan maupun pasukan para kepala daerah tentu memakai seragam dan perlengkapan perang yang komplit.
Sedangkan pasukan yang berada di lembah itu tampak bercampur baur serta tak berseragam. Sepintas lalu seperti kumpulan orang-orang kang-ouw (persilatan) yang sedang berkumpul untuk memilih seorang beng-cu (pemimpin rakyat)!
Malam itu Chu Seng Kun terpaksa tidur di atas pohon. Maksud hatinya untuk bertemu empat mata dengan orang berkerudung itu belum dapat terlaksana. Orang itu selalu dikelilingi oleh kawan-kawannya!
Menjelang pagi Seng Kun dikejutkan oleh langkah kaki beberapa orang yang lewat di bawah pohon tempat dia berlindung. Ketujuh orang yang dibuntutinya itu tampak sedang pergi meninggalkan lembah itu lagi. Dengan tergesa-gesa Seng Kun turun dari atas pohon dan mengikuti langkah mereka.
Ketujuh orang itu berlari menuju ke arah sungai dan menyewa sebuah perahu besar. Chu Seng Kun terpaksa menyewa sebuah perahu pula. Mereka berperahu hampir sepanjang hari. Beberapa buah dusun dan kota telah mereka lewati, sehingga akhirnya pada suatu sore hari perahu orang-orang itu berlabuh di suatu perkampungan kecil.
Ketujuh orang itu turun dari perahu dan kembali berlari-lari melintasi bukit dan pegunungan. Dan akhirnya mereka berhenti di kaki sebuah bukit terjal yang mempunyai puncak menembus awan. Satu persatu mereka merembet naik.
Chu Seng Kun yang selalu mengikuti langkah mereka juga turut memanjat tebing itu pula. Sampai di atas tampak oleh pemuda itu sebuah gua besar yang menghadap ke arah timur. Mulut gua itu menyerupai mulut seekor harimau yang sedang menganga.
Tempat itu benar-benar sangat sepi. Ketujuh orang yang telah naik terlebih dahulu tadi tak seorangpun yang kelihatan. Agaknya mereka telah masuk semua ke dalam gua tersebut. Biarpun hatinya sangat berhasrat untuk melihat ke dalam. Tapi Chu Seng Kun tidak berani secara gegabah memasuki gua itu. Pemuda itu memilih di luar saja menunggu mereka.
Bintang tampak mulai bermunculan di langit. Sinarnya yang berkelap-kelip itu ternyata mampu mengusir kegelapan yang menyelubungi bukit terjal tersebut, sehingga Seng Kun dapat melihat dengan jelas seluruh permukaan bukit itu. Dengan hati tegang Seng Kun duduk mengawasi ke arah mulut gua. Dan baru pada saat menjelang tengah malam orang-orang itu keluar lagi dari dalam gua. wajah mereka kelihatan lesu, marah dan kecewa.
“Gila! Mungkinkah pemuda itu membohongi aku?” tiba-tiba orang yang pertama-tama dibuntuti Chu Seng Kun itu mengeram marah. Sambil melangkah ke tempat di mana mereka tadi memanjat tebing, kawan-kawannya menyabarkan orang itu.
“Sudahlah, Wan Lo-heng! Mungkin yang dimaksudkan oleh pemuda itu bukanlah Goa Harimau Gunung) ini. Mungkin yang dimaksudkan adalah Goa Harimau yang lain.” Tee-tok-ci yang berperawakan kecil itu menghibur dengan suaranya yang nyaring.
“Benar…! Rasanya memang tidak mungkin kalau bocah itu sampai membohongi Wan Lo-cianpwe. Sandiwara yang Wan Lo-cianpwe lakukan waktu itu sungguh sangat hebat, sampai aku sendiri juga tidak menyangka maupun menduganya.” Song-bun-kwi Kwa Sun Tek ikut meredakan kemarahan orang itu.
“Tentu saja Kwa-sicu tidak akan menduga akan hal itu, karena sandiwara itu memang telah dipersiapkan oleh Ong-ya untuk menjebak bocah she Chin itu. Kami sebelumnya juga belum pernah mengenal Wan Lo-heng! Baru setelah Ong-ya menemui kami dan Tee-tok-ci suheng serta memberi perintah tentang rencana jebakan itu kami berkenalan dengan Wan Loheng,” salah seorang dari Jeng-bin Siang-kwi berkata sambil tersenyum ke arah kawannya yang berbaju putih tersebut.
Orang berkerudung yang selalu diincar oleh Chu Seng Kun itu tampak menghentikan langkahnya, kemudian kepalanya yang tertutup oleh kerudung hitam itu menoleh kepada orang yang dipanggil dengan nama Wan Lo-heng tersebut.
“Wan Lo-heng jangan cepat menjadi kecewa! Perkataan saudara-saudara kita ini memang benar. Marilah kita pergi ke Laut Timur! Aku pernah mendengar bahwa di salah satu pantainya juga terdapat sebuah goa yang bernama Goa Harimau. Mungkin goa itulah yang dimaksudkan oleh pemuda itu.”
Demikianlah, dengan terpaksa Chu Seng Kun mengikuti mereka kembali ke arah yang mereka tuju. Pemuda itu selalu berharap bahwa sekali waktu orang berkerudung tersebut pergi meninggalkan teman-temannya barang sebentar agar ia dapat berhadapan muka satu lawan satu. Tapi harapannya itu tidak pernah terlaksana. Orang itu kelihatannya sangat diagung-agungkan oleh teman-temannya, sehingga kemanapun orang itu pergi tentu ada beberapa orang yang menemaninya....