Pendekar Penyebar Maut Jilid 09

Cerita silat Mandarin serial Darah Pendekar seri Pendekar Penyebar Maut Jilid 09 karya Sriwidjono
Sonny Ogawa

Pendekar Penyebar Maut Jilid 09 karya Sriwidjono - “CHU TWAKO, namaku yang sebenarnya memang Yang Kun. Dan sebelum berkelana di dunia kang-ouw aku tinggal bersama orang tuaku di suatu lembah yang terpencil di daerah Ho-pak. Aku belajar silat dari ayah dan paman-pamanku. Kami hidup bersama dengan aman dan damai. Bercocok tanam dan menanam gandum sendiri, mendirikan rumah sendiri. Hanya kadang-kadang saja sekali waktu ayah atau pamanku pergi ke kota untuk berbelanja kebutuhan kami yang tidak dapat kami hasilkan sendiri.”

Novel Silat Mandarin Karya Sriwidjono

Yang Kun menghentikan ceriteranya sebentar untuk mengambil napas. Lalu, "Chu-twako…. ternyata kebahagiaan kami iitu tidak berlangsung. Pada suatu hari paman bungsuku kami dapatkan mati dibunuh orang. Aku tidak tahu siapa pembunuhnya. Kata ayah, musuh keluarga kami telah datang menemukan tempat persembunyian kami itu dan kini telah mulai dengan gerakannya untuk menumpas kami semua. Oleh karena itu ayah membawa kami semua meninggalkan lembah tersebut, pergi menghindar dari kejaran mereka...”

“Ah…. masa! Mengapa tidak dilawan saja mereka? Kau saja demikian lihainya, apalagi ayah dan pamanmu. Kukira tidak ada lagi yang mampu melawan keluargamu...!" Chu Seng Kun memotong dengan nada tak percaya.

"Itulah…. Chu-twako! Akupun dulu berpendapat demikian. Tapi kata ayah lawan kami itu tidak hanya satu dua orang, mereka merupakan sebuah kekuatan besar yang mungkin terdiri dari ribuan orang."

"Hah? Ribuan orang?" Chu Seng Kun tersentak kaget. Yang Kun mengangguk. Terbayang kembali peristiwa hebat yang sangat melukai hatinya itu. Wajah ibunya yang selalu ketakutan di dalam perjalanan, wajah ayah dan pamannya yang tak pernah tidur dan beristirahat, serta wajah-wajah adiknya yang pucat pias menahan tangis dan lapar! Dan wajah-wajah yang sangat dicintainya itu kini telah tiada.

Tak terasa air mata pemuda itu mengalir membasahi pipinya. Tapi dengan cepat disekanya dengan lengan bajunya, sambil meminta maaf kepada Chu Seng Kun atas kelemahannya tersebut.

"Aku memahami kesedihanmu itu, Yang-hiante... Lalu di manakah keluargamu itu sekarang?"

Wajah Chin Yang Kun tertunduk semakin dalam. Suaranya hampir tidak terdengar ketika menjawab. “Mereka semua telah pergi….."

"Pergi? Pergi ke…. oh, Yang-hiante maksudmu.... maksudmu...?"

Sekali lagi Yang Kun mengangguk. Matanya kembali berkaca-kaca. "Satu persatu keluargaku dibantai secara menggelap oleh mereka…..”

"Bangsat keji!" Chu Seng Kun terlonjak dari tempat duduknya, sehingga kakek tua yang sedang sibuk menimbun lobang itu tersentak ketakutan.

"Ssssaya... saya...?!" Kakek tersebut tergagap dengan tubuh gemetar.

Chu Seng Kun menjadi tersipu-sipu. "Oh, tidak apa-apa. Kau teruskan pekerjaanmu.....!" katanya sambil duduk kembali disamping Yang Kun.

Untuk beberapa saat orang tua itu masih tetap berdiri bengong, tapi begitu terlihat kedua orang pemuda itu kembali asyik berbicara satu sama lain, ia menjadi lega. Perlahan-lahan ia mengambil alatnya kembali dan meneruskan pekerjaannya.

"Jadi... kau sekarang tinggal sebatangkara saja di dunia ini? Tapi kata Hong.... eh, anu... kata orang kau bersama-sama dengan seseorang ketika ditolong dari penjara bawah tanah itu? Siapa dia? Orang tersebut mengaku sebagal gurumu pada saat itu."

Hampir saja Chu Seng Kun keseleo lidahnya menyebut Hong-siang (Kaisar Han). Untunglah ia segera teringat pesan baginda bahwa dia harus turut menutupi rahasia penyamaran baginda. Dan untuk beberapa saat lamanya pemuda itu menatap wajah Yang Kun. Kalau-kalau kata katanya tadi menimbulkan kecurigaan kawannya. Tapi dilihatnya Yang Kun tidak bereaksi apa apa. Pemuda itu kelihatannya masih terlibat dengan kesedihannya. Chu Seng Kun menjadi lega hatinya. Dengan sabar ia berdiam diri menanti jawaban Yang Kun.

"Dia adalah pembantu ayahku yang paling terpercaya. Dialah satu-satunya orang kami yang sekarang masih tinggal hidup. Besar sekali pengorbanannya terhadap keluargaku. Entah sekarang ada di mana dia....." akhirnya Yang Kun memberikan keterangannya.

"Yang hiante, engkau tidak usah bersedih. Pada suatu saat nanti engkau tentu akan berjumpa pula dengannya. Bagaimanapun juga dia tentu akan mencari engkau pula...."

"Orang itu tidak mungkin mencari aku!" Yang Kun memotong dengan cepat. “Dia telah menganggap aku sudah mati. Bukankah aku diselamatkan oleh Liu-twako dalam keadaan tak bernyawa?"

"Hmm…. kalau begitu kitalah yang akan mencari dia!" ucap Seng Kun tegas.

"Kita.....?" Chin Yang Kun tersentak kaget.

"Benar! Aku akan membantu mencari orang itu. Tentu saja kalau engkau memperbolehkan....”

"Ah, Chu-twako..... mana aku berani menolak uluran tanganmu? Tapi.... tapi......" Yang Kun menyela dengan kikuk.

"Sudahlah Yang-hiante, kau tak perlu sungkan kepadaku. Anggap saja kita bekerja sama dalam hal ini. Kita sama-sama mencari seseorang. Kau mencari orangmu itu, aku mencari adikku....."

"Ya! Ya! Tetapi...."

"Aku tahu! Jangan khawatir! Aku cukup memaklumi kesulitanmu. Engkau tentu akan mengatakan bahwa selain berusaha mencari orangmu engkau akan mengurus juga sesuatu yang tidak boleh diketahui oleh orang lain. Begitu bukan? Haha, Yang-hiante, percayalah kepadaku. Begitu aku tahu engkau sedang mengurus suatu rahasia aku tentu akan cepat-cepat menghindar untuk sementara dari sampingmu. Bagaimana....?"

"Terima kasih, Chu-twako. Kau sungguh sangat bijaksana.”

Chu Seng Kun tersenyum, tapi hanya sebentar, karena wajah itu berubah menjadi tegang dan keruh kembali. "Tapi omong-omong…. eh... siapakah sebenarnya musuh keluargamu itu? Sudahkah kau menemukannya?" katanya berhati-hati.

Perlahan-lahan Yang Kun bangkit dari tempat duduknya, lalu menoleh ke arah kakek tua yang sudah hampir menyelesaikan pekerjaannya itu. “Itulah yang sampai sekarang masih tetap membingungkan aku, Chu-twako! Sebelum meninggal ayah dan pamanku belum pernah memberitahukannya kepadaku, sehingga kini aku mendapatkan kesukaran untuk mengenal mereka." Pemuda itu berkata kesal. “Memang, dalam berkelana selama ini aku telah beberapa kali mencurigai orang! Malah di antaranya adalah orang yang kau sebut Hek-eng-cu dan Kwa Sun Tek itu!"

"Hah?"

"Ya.... tapi kecurigaan itu menjadi kabur kembali. Aku tidak memperoleh bukti yang kuat untuk membuktikan keterlibatan mereka.”

"Ohh...!" Chu Seng Kun bernapas lega. "Tapi…. tapi apakah tidak ada petunjuk barang sedikitpun yang dapat kaupakai untuk melacak para pembunuh itu?"

Yang Kun menggelengkan kepalanya. “Kalau toh ada hal itu tidak cukup kuat untuk membuktikan keterlibatan mereka," keluhnya lirih.

"Lo-jin-ong....." tiba tiba kakek yang telah selesai menimbuni lobang itu menghampiri mereka.

Terpaksa kedua pemuda itu mengakhiri pembicaraan mereka. "Chu-twako, semula maksudku datang ke daerah ini hanya ingin melihat para perampok yang katanya sedang mengganggu penduduk desa Hok-cung. Tapi baru sampai disini perjalananku telah terhambat oleh beberapa peristiwa yang datang secara beruntun tadi….. maka aku bermaksud……”

“Baik. Kita berangkat menuju desa Hok-cung sekarang!” Seng Kun memutuskan.

“Lo-jin ong, saya ikut!" kakek itu memohon kepada Chin Yang Kun.

"Hei, kek! Bukankah kau sudah bebas sekarang? Mengapa engkau tidak lekas-lekas kembali ke kuilmu? Mengapa malah ingin mengikuti kami?" Chu Seng Kun menyela.

Orang tua itu menjawab pertanyaan Chu Seng Kun tanpa berani beranjak dari tempatnya. Kepalanya tertunduk, sedikitpun tidak berani memandang Yang Kun. "Sudah lama sebetulnya saya ingin mengabdi kepada Lojin-ong. Sejak pengangkatan Tai-si-ong (Raja Kuil Agung) baru, kira-kira empat tahun yang lalu saya sudah berusaha untuk menghadap Lo-jin-ong, tapi selalu tidak berhasil. Oleh karena itu kesempatan ini tentu tidak akan saya lewatkan begitu saja. Boleh tidak boleh saya akan ikut Lo-jin-ong!” jawabnya mantap.

"Kakek yang baik..." Yang Kun berkata dengan halus. Tidak enak juga rasanya membohongi kakek itu terus terusan.

"Ketahuilah, sebenarnya aku ini....." Tapi bukan main kagetnya Yang Kun ketika tiba-tiba kakek itu menangis meraung-raung kembali begitu mendengar ucapannya yang sopan dan halus tersebut.

“Lo-jin-ong, jangan bunuh aku! Ampunkanlah diriku yang tua ini! Aku sangat ingin menjadi pelayanmu! Jangan kaubunuh diriku!"

"Kurang ajar! Siapa mau membunuh dirimu? Ngaco! Hmmh...... terserah! Kau boleh mati sekarang atau mau ikut denganku!" Yang Kun berteriak sambil meloncat pergi meninggalkan tempat itu. Menghadapi ulah kakek sinting tersebut hatinya terasa jengkel bukan main. Chu Seng Kun mengangkat pundak. Lalu sambil tersenyum kecut ia juga berlari mengikuti kawannya.

Malam semakin larut. Udarapun terasa dingin sekali. Tapi Yang Kun tidak memperdulikan semua itu. Bagai seekor kijang ia berloncatan cepat sekali menyusuri jalan besar yang menuju ke desa Hok-cung. Sementara tidak jauh di belakangnya, tampak Chu Seng Kun yang mewarisi Pek-in-gin-kang dari Bueng Sin-yok-ong, menempel terus seperti bayangan saja! Dan tak seorangpun dari kedua orang itu yang mau memikirkan keadaan si kakek tua lagi.

Sekejap saja dusun yang mereka tuju telah berada di depan mata. Biar malam sudah mulai larut, ternyata suara gelak ketawa para perampok itu masih saja terdengar dengan ramainya. Sinar obor yang mereka sulut kelihatan terang benderang menerobos rimbunnya daun dan pepohonan yang melingkari dusun kecil tersebut. Dari jauh kadang-kadang terlihat beberapa orang sedang hilir mudik dengan obor besar di tangan mereka.

Yang Kun berhenti tidak jauh dari mulut jalan yang membelah desa itu. Tampak tujuh atau delapan orang laki-laki kasar berdiri di mulut jalan tersebut, lengkap dengan senjata mereka masing-masing.

“Agaknya mereka menempatkan para pengawal juga di setiap mulut jalan. Kalau begitu mereka memang bukan perampok biasa. Mereka tentu pernah mendapatkan latihan latihan khusus." Yang Kun berkata kepada Chu Seng Kun yang telah berdiri pula di sampingnya.

“Selain itu orang-orang ini sungguh berani sekali. Desa ini hanya beberapa puluh lie dari kota raja, meskipun begitu mereka seakan-akan tidak memperdulikan bahaya itu.” Chu Seng Kun mengiyakan.

“Tapi menurut pembicaraan Hek-eng-cu dan Kwa Sun Tek tadi, perampok ini justru datang dari kota raja. Mereka menyerbu istana kira-kira dua atau tiga hari yang lalu.....”

Yang Kun mengatakan apa yang didengarnya dari kedua tokoh sesat itu. "Hah? Kalau demikian itu pemberontakan namanya...."

"Benar! Chu-twako, hatiku rasanya jadi ingin sekali bertemu dengan Liu twako."

Chu Seng Kun tersenyum penuh arti. Untunglah suasana sangat gelap di sekitar mereka, sehingga senyum itu tak terlihat oleh siapapun juga. “Yang-hiante, lalu apa yang akan kita kerjakan sekarang? Menggasak para penjaga ini atau langsung masuk menemui pimpinan mereka?"

"Bagaimana kalau kita masuk dulu secara rahasia agar kita bisa menilai keadaan sebaik-baiknya?" Chin Yang Kun mengajukan usul.

"Bagus sekali! Itu memang jalan yang terbaik. Dan untuk dapat memperoleh gambaran yang lebih lengkap dan luas, sebaiknya kita masuk secara berpencar. Yang-hiante masuk dari sebelah utara, aku masuk dari sebelah selatan. Kita masing-masing harus berusaha mengumpulkan keterangan sebanyak-banyaknya agar kita dengan mudah dapat menentukan apa yang mesti kita lakukan nantinya. Kita bertemu di tempat mereka berkumpul dan bersuka-ria. Bagaimana, Yang-hiante?”

"Setuju! Mari kita berangkat!" jawab Yang Kun tegas.

Keduanya lalu berpisah. Yang Kun berlari ke arah utara, sedang Chu Seng Kun menyelinap ke arah selatan. Sebentar saja mereka telah lenyap ditelan kegelapan malam. Yang Kun melangkah perlahan lahan menyusuri selokan kecil yang mengalir di tepi dusun. Lalu dengan tenang ia mendekati tembok halaman seorang penduduk yang hanya diterangi oleh lampu minyak, sehingga di antara rimbunnya tanam-tanaman di sekitarnya sinar itu hampir tidak berarti sama sekali.

Melihat tempat itu sepi sekali dan tak seorang penjagapun yang kelihatan Yang Kun segera meloncat ke atas tembok. Matanya yang tajam lalu mengawasi seluruh halaman rumah yang luas di bawahnya. Tampak olehnya halaman yang remang-remang karena cahaya beberapa buah lampu minyak yang ditaruh di beberapa tempat itu benar-benar sangat bersih dan terawat rapi. Suatu tanda bahwa penghuni rumah itu adalah seorang yang berkecukupan serta suka akan kebersihan.

Yang Kun meloncat turun, kemudian berlari menyelinap di antara pohon-pohon perdu dan bergegas melintasi halaman samping. Pemuda itu lalu berhenti sebentar di dekat kandang kuda. Agak lama ia berdiri di tempat itu. Hatinya merasa bergetar. Perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres, yang mungkin dapat membahayakan jiwanya di sekitar halaman itu. Tapi ia tidak dapat mengetahui, bahaya apakah itu?

(Seperti telah diceriterakan di bagian depan, secara tidak sengaja Yang Kun telah berlatih semacam ilmu yang biasa disebut orang Lin-cui Sui-hoat ketika sedang mengobati kakinya di istana. Ilmu kesaktian ini didasarkan pada ketajaman perasaan dan kesempurnaan panca indera manusia. Sehingga apabila ilmu ini telah dipelajari dengan sempurna, orang akan mampu mencium dengan perasaannya, segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya atau yang bakal terjadi di sekitarnya, tanpa melibatkan kelima panca-inderanya secara langsung!)

Ketika Yang Kun akan berkonsentrasi seperti yang dahulu biasa ia lakukan di istana apabila ingin mendengarkan suara hantu seruling, tiba-tiba telinganya mendengar desah napas seseorang di tempat penimbunan rumput. Secepat kilat Yang Kun menjejakkan kakinya ke atas tanah dan di lain saat tubuhnya telah melayang ke tempat itu.

Hampir saja kakinya menginjak tubuh seseorang ketika Yang Kun mendaratkan kakinya di tumpukan rumput tersebut. Untunglah dengan sangat cekatan pemuda itu segera menggeser kakinya ke samping lalu meloncat selangkah lagi ke depan.

"Bangsat! Anjing busuk! Apakah kau tidak bisa menunggu giliranmu sebentar lagi...?” dari dalam tumpukan rumput itu tiba-tiba muncul tubuh seorang laki-laki kasar, bertelanjang bulat mengumpat-umpat ke arah Yang Kun. Badannya yang kekar berbulu lebat itu tampak berkilat kilat karena peluh. Sebelum Yang Kun menjawab makian itu, dari dalam timbunan rumput telah muncul lagi sesosok tubuh wanita, juga bertelanjang bulat, berdiri dengan menangis tersedu-sedu.

"Diam kau, perempuan!!" laki-laki itu menghardik. Tangan kirinya tampak melayang. Plaaakk! Wanita itu tersungkur kembali ke dalam tumpukan rumput. Lalu dengan beringas ia menghadapi Chin Yang Kun dengan bertolak pinggang.

"Kau belum enyah juga? Babi kotor! Apakah ingin kuremukkan dahulu kepalamu hingga hancur? Hah? Kau!"

Mendadak laki-laki itu menghentikan sumpah serapahnya. Baru tersadar kalau yang dia hadapi bukan kawannya. Tiba tiba terdengar suara derit pintu dibuka orang. Yang Kun menjadi terkejut dan agak panik. Dilihatnya pintu samping rumah besar itu terbuka perlahan lahan. Karena tidak ingin usahanya gagal. Yang Kun menjadi mata gelap. Kedua tangannya yang penuh tenaga Liong-cu i-kang itu terayun ke depan dengan dahsyatnya. Laki laki kasar itu berusaha mengelak, tapi mana mampu ia lolos dari tangan yang penuh sin-kang tersebut?

“Prakkk!!" Tanpa sempat berteriak lagi laki laki yang sedang memperkosa wanita itu terlempar dengan kepala hancur berantakan!

"Hei, Lo-go (Buaya Tua)...! Sudah selesai? Lekaslah! Mengapa kau hanya berteriak-teriak saja sejak tadi? Apakah kuda binal itu belum dapat kau tundukkan juga, he...?” seorang lelaki tampak melongok keluar dari pintu yang dibuka tadi.

Dalam saat yang begitu mendesak Yang Kun sudah tidak dapat berpikir banyak lagi. Sambil terjun ke dalam timbunan rumput ia berteriak kasar, menirukan suara laki-laki yang baru saja dibunuhnya tadi. "Diam kau, bangsat….!"

Tak terduga karena tergesa-gesa pemuda itu jatuh persis di atas tubuh si wanita yang malang tadi dan tanpa dia sengaja pula tangannya memegang persis pada buah dada wanita tersebut. kontan saja perempuan itu menjerit kaget! Mendengar jerit perempuan itu orang yang melongok tadi segera tertawa tergelak-gelak.

"Setan kuburan! Buaya tua itu benar-benar seekor kuda gila...!" serunya sambil menutup pintunya kembali. Lalu terdengar suara ketawanya yang kasar bercampur dengan ketawa teman-temannya yang lain.

Yang Kun menjadi lega kembali. Tapi ia segera tersipu-sipu ketika wanita yang ditindihnya itu mendorong dadanya dengan keras. Dengan muka merah ia melepaskan pegangannya dan meloncat berdiri. Dan ia semakin kikuk sekali ketika melihat wanita itu bangkit sambil berusaha menutupi tubuhnya yang telanjang dengan kedua belah tangannya.

"Aku... aku.... oh, maafkan... aku tak sengaja! Sungguh...!" pinta pemuda itu dengan hati tak karuan rasanya.

Dan ketika wanita yang ternyata masih sangat muda itu mulai menangisi nasibnya, Yang Kun makin menjadi bingung dan tidak tahu apa yang mesti dikerjakan. Maklumlah, selama ini pemuda yang masih hijau itu memang selalu tinggal di daerah terpencil serta belum pernah berhubungan dengan wanita, apalagi melihat seorang gadis bertelanjang bulat sedemikian dekatnya.

Maka tak heran kalau keadaan seperti itu benar-benar sangat menggoncangkan jiwanya. Keadaan Yang Kun masih juga seperti orang linglung ketika gadis malang itu sambil menangis melangkah ke arah mayat laki laki yang tadi dengan biadab telah memperkosanya. Yang Kun juga masih terpaku diam ketika melihat gadis itu mencabut pedang lelaki tersebut dan kemudian dengan buas mencacah cacah tubuh yang sudah tidak bernyawa itu.

Barulah ia menjadi tersentak kaget setengah mati ketika gadis itu membalikkan ujung pedang tersebut dan menusukkannya ke dalam lambungnya sendiri. "Nonaaaa.....!?" serunya sendat. Dengan sigap Yang Kun menyambar tubuh si gadis yang terhuyung-huyung mau jatuh. Darah segar tampak menyembur dari luka akibat pedang itu. Tanpa sadar pemuda itu memeluk tubuh yang telanjang tersebut. "Nona.... mengapa kau mengambil jalan yang sependek ini? Bukankah...."

Gadis itu menggeliat sebentar, lalu membuka matanya. “Ti.... ada gunanya aku hidup.... Ke-ke-luargaku telah mereka bunuh semuanya...! Aku juga sudah tidak layak untuk hidup lagi! Mereka... telah menghina diriku ohhh....!" Kepala itu jatuh terkulai, nyawanya melayang.

"Keparat busuk...! Kalian benar-benar harus dilenyapkan!” Yang Kun menggeram dengan marah. Hati-hati tubuh itu diletakkan oleh Yang Kun di atas timbunan rumput, lalu dengan hati-hati pula tubuh yang telanjang tersebut ditutup dengan baju luarnya yang lebar. Kemudian dengan mengangguk kaku pemuda itu menggeram di hadapan mayat yang malang tersebut. “Kau beristirahatlah dengan tenang, nona. Akan kubalaskan sakit hatimu ini. Percayalah!”

Dengan wajah yang menyeramkan Yang Kun menoleh ke arah pintu yang tadi dibuka oleh kawan si pemerkosa itu. Lalu perlahan lahan kakinya melangkah mendekatinya. Di depan pintu itu tiba-tiba Yang Kun berhenti. Hatinya terasa bergetar kembali. Malah sekarang terasa lebih keras dari pada tadi. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, tapi tidak ada barang sesuatunya yang mencurigakan. Halaman itu tetap sepi. Hanya yang membuat pemuda itu merasa agak aneh ialah suasana di dalam rumah tersebut.

Semula dari dalam rumah besar itu terdengar suara percakapan dari beberapa orang teman penjahat yang dibunuhnya tadi, tapi sekarang di dalam rumah itu juga tampak sunyi. Tentu saja keadaan itu menambah keresahan di hati Yang Kun. Dugaannya bahwa ada sesuatu yang aneh telah terjadi di sekitarnya semakin kuat. Berindap-indap Yang Kun mendekati pintu tersebut dan membukanya perlahan-lahan. Ternyata pintu itu tidak dikunci dari dalam.

“Hah?!?” Yang Kun ternganga di depan pintu. Di dalam rumah tampak beberapa sosok tubuh bergelimpangan tidak teratur. Ada yang tertelungkup di atas meja, ada yang terlentang di atas meja, ada yang terlentang di atas kursi dan ada yang terkapar di atas lantai. Semuanya dalam keadaan pingsan dan tertotok lumpuh seluruh anggota badannya!

Tanpa mengurangi kewaspadaan Yang Kun memasuki ruangan dan memeriksa tubuh-tubuh yang bergelimpangan tersebut. Dua orang diantaranya, yang tertelungkup diatas meja, masih tampak bergoyang-goyang lengannya di bawah meja, suatu tanda bahwa peristiwa yang membuat mereka berkeadaan seperti itu belum lama berlalu.

Yang Kun semakin meningkatkan kewaspadaannya. Ternyata apa yang dia rasakan sejak dia memasuki halaman tadi benar-benar tidak salah. Ada orang lain yang memasuki tempat ini pula dan telah membereskan semua penjahat itu selagi ia sibuk mengurus gadis malang tersebut. Yang Kun memeriksa kamar kamar yang lain. Keadaannya sama saja, di sana juga terdapat tubuh-tubuh bergelimpangan di antara makanan dan minuman yang berserakan pula.

Mereka tergeletak dalam posisi yang aneh-aneh. Ada yang bersandar di dinding dengan mulut masih menggigit makanan, ada yang terduduk di atas kursi dengan tangan masih memegang cangkir, malah ada empat orang yang terkapar di atas lantai dalam posisi memperebutkan guci arak! Dan ada beberapa benda di tempat itu yang masih kelihatan bergoyang goyang, tanda bahwa peristiwa ini juga baru saja terjadi.

Yang Kun berlari memasuki kamar belakang kalau kalau orang tersebut masih berada di sana. Tapi kamar belakang juga sepi, tak seorangpun yang kelihatan di tempat itu. Di dapur Yang Kun malahan mendapatkan keluarga tuan rumah telah menjadi mayat. Seorang laki laki tua dengan istrinya yang berwajah mirip sekali dengan gadis yang bunuh diri itu! Di atas tumpukan kayu juga tampak beberapa mayat anak anak yang semuanya menderita luka bekas siksaan.

Untuk sesaat kepala Yang Kun menjadi pening. Bayangan wajah ibu dan adik-adiknya berkelebat di depan matanya. Dendam yang selama ini tersekap di dalam tubuhnya menyala kembali dengan hebatnya. Pemuda itu menggeretakkan giginya. Tiba-tiba terdengar suara gemerisik di luar rumah. Bergegas pemuda itu meloncat keluar.

Tapi di luar tetap sunyi sepi. Hanya di pekarangan sebelahnya terdengar suara maki-makian beberapa orang perampok yang sedang mabuk. Agaknya di sana juga sedang dikunjungi oleh kawanan perampok seperti halnya di tempat ini. Dengan perasaan berang Yang Kun melesat ke pekarangan sebelah. Tapi ketika meloncati tembok halaman, hati pemuda itu terasa berdesir kembali. Perasaannya mengatakan bahwa ia telah didahului orang lagi.

Benarlah! Di rumah itupun ia mendapatkan para perampok telah tertotok pingsan, berserakan di segala tempat! Yang Kun berlari keluar kembali, lalu dengan gesit ia melesat ke rumah sebelahnya lagi. Dan seperti yang terjadi di kedua tempat itu, di sinipun telah terjadi hal yang sama. Para perampok yang bercokol di tempat itu juga telah pingsan tertotok oleh orang yang mendahuluinya!

Begitulah, setiap kali Yang Kun melongok ke rumah penduduk yang ia curigai ada kawanan perampoknya, ia hanya menemukan tubuh tubuh yang bergelimpangan di atas lantai. Gila! Macam apa pula orang itu? Gerakannya demikian gesit dan kepandaiannya begitu hebat, pemuda itu membatin.

Kawanan perampok itu sedemikian banyaknya dan satu atau dua orang di antaranya tentu juga mempunyai kepandaian pula, tapi hanya dalam tempo yang sangat singkat sudah dapat dilumpuhkan oleh orang misterius tersebut. Dan tanpa menimbulkan suara ribut pula! Sungguh menakjubkan!

Sementara itu Chu Seng Kun yang menyelidiki dari arah selatan juga telah mengalami peristiwa yang mendebarkan. Pemuda yang berkepandaian tinggi itu menyelinap di antara pohon-pohon rindang yang memagari pinggiran desa sebelah selatan. Hampir di setiap tempat ia melihat kelompok para perampok bersuka ria dengan makan dan minum, dilayani oleh para wanita penduduk desa, sementara para suami dan anak anak mereka menonton dengan wajah ketakutan di antara rumah rumah mereka yang hampir roboh digoyang gempa itu.

"Kurang ajar! Ini terang bukan perampok lagi. Kekuatan yang demikian besar seperti ini terang membutuhkan waktu lama untuk menghimpunnya. Dan untuk memimpin pasukan besar seperti ini tentulah harus orang yang hebat serta disegani pula oleh mereka." Chu Seng Kun bergumam di antara langkahnya "Lalu.... siapakah pemimpin itu?"

Chu Seng Kun segera meloncat ke atas pohon dan bersembunyi di antara daun daun yang rimbun ketika sampai di sebuah rumah besar yang berada di pinggir jalan besar yang menghubungkan desa itu dengan desa sebelahnya. Rumah tersebut terang benderang dengan sinar obor yang ditaruh di segala tempat. Belasan anggota perampok tampak hilir-mudik sambil bersuka-ria dengan cara masing-masing.

Rumah yang berada di seberang jalanpun tak kalah ramainya. Selain ramai tempat itu juga kelihatan dijaga ketat oleh pengawal-pengawal bersenjata tombak. Para wanita yang melayani di tempat itu juga lebih banyak dan masih muda-muda, biarpun seperti di tempat lain rata-rata wajahnya mereka juga tampak suram serta sangat menderita. Beberapa di antaranya malah kelihatan pucat dan putus asa. Tak heran jikalau Yang Kun, kawannya yang masih muda itu sampai bertekad untuk menolong para penduduk itu, demikian pikir Chu Seng Kun di dalam hati.

Sambil berlindung di antara rimbunnya daun Chu Seng Kun merambat dari dahan ke dahan, sehingga akhirnya ia dapat mencapai di atas rumah di seberang jalan. Lalu tubuhnya melorot turun ke atas genting. Kemudian dengan sangat hati-hati ia membuka sebuah genting untuk dapat mengintai ke dalam. Semua itu dikerjakan oleh Chu Seng Kun tanpa menimbulkan kecurigaan para perampok yang bertebaran di bawahnya.

Dengan Pek-in-gin-kangnya yang sangat tinggi tak sepotong dahanpun tampak bergoyang ketika diinjaknya dan tak selembar daunpun kelihatan tanggal dari kelopaknya ketika tersenggol badannya. Seperti seekor kucing hitam tubuhnya yang jangkung itu bertengger di atas genting yang telah dibukanya, dan kedua buah matanya yang tajam itu mengawasi ke dalam ruangan yang dijaga ketat pada bagian luarnya tersebut.

Mula-mula terlihat oleh Chu Seng Kun beberapa orang gadis duduk di dekat pintu masuk. Dengan wajah tunduk mereka bersimpuh di hadapan seorang pemuda yang duduk di atas kursi kebesaran. Gadis-gadis itu juga tampak pucat dan takut. Sesekali mereka tampak melirik dengan takut ke arah laki laki muda yang kelihatan sedih di atas kursinya itu.

Chu Seng Kun tergetar hatinya. Kelihatannya pemuda itulah yang memimpin semua perampok di desa ini. Seorang pemuda halus berusia tiga-puluh tahun dengan pakaian sutera yang sangat mahal! Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendatangi ruangan tersebut. Para pengawal yang berada di depan pintu kelihatan sibuk memberi jalan.

"Pangeran...! Ah, mengapa pangeran masih juga memikirkan hal itu? Pangeran….” seorang laki-laki kurus berwajah keras dan kasar menyapa pemuda tersebut sambil memasuki ruangan. Sarung pedangnya yang panjang tampak terayun-ayun di pinggang kirinya.

Pemuda yang duduk lesu di atas kursinya itu menoleh sekejap, lalu kembali merenung seperti semula. "Sam-mo (Iblis ke Tiga), pergilah! Jangan ganggu aku!" katanya perlahan. Tapi seperti seorang hamba yang sudah hapal akan watak tuannya, orang yang dipanggil Sam-mo itu tetap datang mendekat dan berdiri di samping kursi kebesaran itu. Dengan wajah penuh senyuman orang itu menjura.

“Perjuangan kita kali ini memang menemui kegagalan, pangeran. Tapi bukan berarti bahwa kita tidak mempunyai kesempatan lagi di masa datang. Kalau dipikirkan kembali, gerakan yang kita lakukan beberapa hari yang lalu memang terlalu tergesa gesa. Kita kurang teliti memperhitungkan kekuatan Kaisar Han yang berada di kota raja. Ayahanda pangeran belum memperhitungkan jago-jago Sha-cap-mi-wi yang ternyata sangat hebat itu!”

Kali ini Chu Seng Kun benar-benar terkejut sekali. Pangeran? Pangeran dari mana, tanyanya dalam hati. Sejak semula ia dan Yang Kun memang telah bercuriga pada kekuatan yang sangat besar ini, tapi ia benar-benar tidak menyangka kalau kekuatan itu dipimpin oleh seorang pangeran. Apabila demikian kekuatan ini memang telah dipersiapkan oleh seseorang untuk melakukan pemberontakan kepada pemerintahan Kaisar Han!

Chu Seng Kun menjadi semakin bergairah untuk mengetahui tentang orang-orang ini. Matanya dengan tajam mengawasi orang orang yang berada di dalam ruangan tersebut.

"Kau melupakan sesuatu, Sam-mo...." pemuda yang dipanggil dengan sebutan pangeran itu terdengar menukas kata-kata pembantunya yang baru saja tiba tersebut.

"Ayahanda memang tergesa-gesa dalam melancarkan serangan itu. Tetapi hal itu karena sangat terpaksa. Menurut penyelidikan yang dilakukan oleh Siang-houw Nio Nio Locianpwe, ada kekuatan lain yang lebih besar dari kekuatan kita juga sedang bersiap-siap untuk menggulingkan kekuasaan Kaisar Han. Kekuatan yang sangat besar itu dipimpin oleh seorang manusia aneh yang selalu menyembunyikan wajahnya di balik topi bertutup sutera tipis.

Siang-houw Lo cianpwe tidak bisa menebak siapakah orang tersebut, hanya di dalam kalangan persilatan orang aneh itu dipanggil dengan nama Hek-eng-cu! Nah, karena ayahanda tidak ingin didahului oleh orang itu, terpaksa beliau mengerahkan kekuatan kita selekasnya. Sungguh menyesal sekali kita telah gagal dan kekuatan kita menjadi bercerai berai seperti sekarang....."

Pemuda itu menghela napas berulang-ulang. Tampak benar betapa sedihnya dia. Sebaliknya, orang yang dipanggil dengan sebutan Sam-mo itu tampak menyeringai kurang senang. "Pangeran...!” ucapnya perlahan. "Seharusnya ayahanda pangeran harus lebih berhati-hati jikalau mau mengambil keputusan."

"Hah? Apa maksudmu? Kau ingin.....?" pemuda itu tersentak marah.

Tapi dengan cepat orang itu menyabarkannya. “Jangan tergesa gesa marah, pengeran....! Hamba tidak bermaksud apa-apa. Hamba hanya ingin memberi peringatan tentang sesuatu hal yang mungkin telah dilupakan oleh ayahanda pangeran.” katanya sambil membungkuk hormat.

"Hmh! Lekas katakan apa yang kau maksudkan!" pemuda itu membentak.

Orang yang dipanggil dengan nama Sam-mo itu tersenyum, kakinya melangkah mendekati pemuda tersebut, lalu berbisik perlahan, “Seharusnya ayahanda pangeran tidak boleh percaya seratus persen kepada wanita tua itu. Kita semua telah tahu bahwa dia adalah ibu dari Yap Tai-ciangkun, panglima besar yang diandalkan oleh Kaisar Han! Siapa tahu ada hubungan rahasia antara ibu dan anak itu? Kelihatannya saja wanita tua itu berada di pihak kita, tapi siapa tahu ia membantu musuh? Dengan mendorong-dorong kepada ayahanda pangeran agar lekas-lekas menggerakkan pasukan, selagi kita belum siap benar, berarti sama saja dengan menjerumuskan kita pada kehancuran. Maaf, pangeran jangan menjadi marah dahulu....! Hamba harap pangeran merenungkan dulu kata-kata hamba ini, baru kemudian kita perbincangkan lagi…!” orang itu menutup ucapannya dengan membungkuk hormat sekali, ketika dilihatnya pemuda tersebut menatap dirinya dengan mata merah.

Pangeran muda itu kembali menghela napas panjang. Mukanya tertunduk lagi seperti semula. Dengan acuh ia menggerakkan tangannya. "Tinggalkan aku sendiri, Sam-mo! Jangan ganggu aku lagi!”

“Baiklah, pangeran...!" orang itu menjawab halus. Tapi sebelum dia pergi, dari luar mendadak terdengar suara nyaring dari penjaga pintu yang memberitahukan kedatangan seseorang untuk menghadap.

"Orang ke dua dari Tung-hai Sam-mo datang menghadap....!"

"Ji-ko.....I" Sam-mo menoleh ke arah pintu.

Seorang laki-laki berperawakan tegap dan memelihara kumis dan jenggot tebal tampak memasuki ruangan. Sama dengan adik seperguruannya, Ji-mo (Iblis ke Dua) juga menyandang pedang panjang di pinggang kirinya. Wajahnya yang tertutup kumis dan jenggot itu tampak ganas dan kejam.

“Maaf, hamba mengganggu sebentar, Pangeran.....” katanya membungkuk di ambang pintu.

"Ji-mo (Iblis ke Dua), ada apa...?" Pangeran itu memandang dengan dahi berkerut.

"Pangeran.... " Iblis itu mendekat dan menjura dengan hormat. "Kita harus lekas lekas menentukan sikap, karena orang yang kita kirim ke kota raja telah mengirim berita bahwa pasukan Yap Tai Ciangkun sudah berangkat untuk menumpas pasukan kita disini. Diperkirakan tengah hari besok mereka sudah akan tiba di tempat ini. Toako sekarang sedang berkeliling desa untuk mempersiapkan semua teman-teman.”

“Apa? Begitu cepatnya Yap Tai Ciangkun mengirim pasukan? Apakah suasana di kota raja sudah pulih dan baik kembali?” pangeran itu bangkit dari tempat duduknya dengan tegang. Kedua telapak tangannya mencengkeram pegangan kursi kebesarannya hingga hancur. Lapat-lapat tercium bau sangit bagai bau kayu terbakar!

Sejenak orang-orang yang berada di dalam ruangan itu tersentak kaget. Begitu pula dengan Chu Seng Kun yang berada di atas genting. Ternyata pangeran yang masih muda itu mempunyai lwee-kang yang cukup tinggi pula! Tak heran sikapnya demikian keras dan sedikit sombong!

"Demikianlah khabar yang dikirimkan kepada kita, pangeran!" jawab Iblis ke Dua dengan tegang pula.

“Kurang ajar...! Lalu bagaimana dengan pasukan ayahanda pangeran yang mundur ke arah barat? Apakah kita sudah mengetahui beritanya?”

"Belum! Tapi menurut pendengaran orang kita tersebut pasukan ayahanda pangeran untuk sementara akan tetap aman, sebab ayahanda pangeran telah membawa pasukan itu ke arah Pegunungan Kun-lun yang luas. Sangat sukar bagi pasukan Yap Tai Ciangkun untuk mengejarnya."

"Lalu….. berapa besar kekuatan pasukan yang dikirim oleh Yap Tai ciangkun ke tempat ini? Adakah mereka lebih besar dari pada pasukan kita?"

“Tidak begitu banyak, pangeran! Pasukan itu tidak lebih dari seribu orang, hanya separuh dari kekuatan kita disini. Tapi mereka membawa peralatan yang lebih lengkap dan bahan makanan yang sangat banyak untuk persediaan mereka. Ada lebih dari duapuluh kereta besar yang mereka pakai untuk membawa bahan makanan itu. Agaknya mereka telah bertekad untuk mengejar kita sampai dapat!”

“Bah! Gila betul! Berarti tiada pilihan lain bagi kita selain bertempur menghadapi mereka. Tak ada gunanya kita lari atau menghindar dari mereka. Mereka akan tetap membuntuti kita dan akhirnya kita toh akan terpaksa berhadapan juga dengan mereka. Kemungkinan kita akan berada di pihak yang lemah malah! Dengan mudah pasukan yang mempunyai persediaan makan lebih dari cukup itu akan menangkap pasukan kita yang lelah dan kelaparan!”

"Lalu..... apa yang mesti kita perbuat sekarang, pangeran?" Ji-mo dan Sam mo bertanya hampir berbareng.

"Pergilah kalian berdua menyusul Toa mo. Siapkan seluruh kekuatan kita malam ini juga. Besok pagi akan kita atur persiapan untuk menyongsong pasukan musuh!"

"Baik!" kedua orang itu menjawab, lalu bergegas mereka meninggalkan ruangan tersebut.

Chu Seng Kun melihat pangeran itu dengan gelisah dan tegang berjalan mondar-mandir di dalam ruangan. Hampir saja ia meninggalkan genting itu ketika tiba-tiba pangeran tersebut berseru ke arah penjaga.

''Pengawal! Panggil Hong-gi-hiap Souw Thian Hai kemari! Lekas!”

Bukan main terkejutnya Chu Seng Kun mendengar seruan pangeran itu. Pemuda itu sampai lupa bahwa dirinya sedang berada di atas genting dan sedang mengintai orang. Sehingga tanpa terasa ia bergerak dan menyentuh genting yang baru saja ia buka tadi. Terdengar suara gaduh ketika genting tersebut lepas dan meluncur turun ke bawah, kemudian jatuh serta pecah berantakan diantara kumpulan pengawal yang sedang makan minum bersama.

"Babi! Bangsat! Anjing!" para pengawal itu menyumpah-nyumpah.

"Siapa berada di atas? Turun!" pangeran itu dengan kaget juga berteriak.

Hampir tak terikuti oleh pandangan mata biasa pangeran itu bergerak menyambar kursi kebesarannya, lalu dilontarkan ke atas ke arah di mana Chu Seng Kun berada. Terdengar suara gemuruh, lalu diikuti suara ribut yang hebat ketika kursi tersebut menghantam genting dan langit-langit kamar, sehingga atap di mana Chu Seng Kun tadi mendekam bagaikan meledak hancur berkeping keping. Para pengawal dan para wanita yang berada di tempat itu bergegas menyelamatkan diri dari reruntuhan kayu dan genting yang berjatuhan ke arah mereka.

Chu Seng Kun terpaksa meloncat pula menyelamatkan diri. Rasa kaget ketika mendengar disebutnya nama Hong-gi-hiap Souw Thian Hai tadi masih melekat di hatinya, sehingga ia menjadi salah langkah ketika bermaksud untuk melarikan diri. Bukannya meloncat kembali ke atas pohon, tapi kakinya justru meloncat turun ke atas tanah. Tentu saja sebelum dia menyadari kekeliruannya, para perampok itu dengan sigap telah mengepungnya.

"Mata mata musuh! Mata-mata musuh! Tangkap!” teriak mereka bersama sama.

Berbagai macam bentuk senjata meluncur menyerang Chu Seng Kun! Terpaksa pemuda itu mengerahkan Pek-in gin-kang untuk mengelak ke sana ke mari, kemudian dengan Kim-hongkun dia balas menyerang para pengepungnya dengan hebat. Terdengar beberapa orang diantara pengepungnya berteriak kesakitan sambil melepaskan senjata mereka, ketika secara aneh kedua tangan dan kaki Seng Kun dapat menerobos pertahanan mereka serta melukai tubuh mereka.

Tapi para perampok itu semakin banyak yang datang, sehingga tempat tersebut menjadi penuh sesak oleh mereka. Chu Seng Kun tampak berkeringat juga akhirnya. Rasa rasanya sukar pula untuk melepaskan diri dari kepungan itu. Apalagi para perampok yang baru saja banyak minum arak itu menyerang dengan nekad, tanpa merasa takut sedikitpun.

Mula mula Chu Seng Kun hanya berusaha melumpuhkan mereka tanpa melukai badan mereka. Tapi setelah beberapa saat lamanya, mereka ternyata tidak juga jerih, padahal korban serangannya telah bertumpuk-tumpuk berserakan di sekitar tempat itu. Bagaikan kawanan semut yang ganas mereka tetap merubung dirinya, kemanapun dia pergi.

Beberapa saat kemudian justru dirinya yang mendapat luka karena sambaran pedang salah seorang diantara mereka malah! Akhirnya pemuda itu menjadi marah. Dengan berteriak keras tubuhnya melenting tinggi ke atas. Sekejap terdengar suara gemeretak tulang-tulangnya ketika pemuda itu mengerahkan tenaga sakti Pai-hud-ciangnya yang hebat! Lalu begitu tubuhnya turun kembali, terasa oleh para pengepungnya itu seakan-akan udara di sekitar mereka menjadi hangat bagai dihembus oleh udara panas. Dan sebelum orang orang itu sadar, kaki dan tangan Chu Seng Kun yang penuh lwee-kang tersebut telah menghantam ke arah mereka.

"Plak! Plak! Blukk! Blukk!"

"Aduuh!"

"Auughh!"

"Ohhhh!"

Bagai rumput alang alang dilanda air bah, beberapa orang di antara para pengepung itu tercabut dari tempatnya dan berpelantingan menimpa kawan-kawannya, sehingga untuk sesaat lamanya Chu Seng Kun terlepas dari kepungan mereka.

Tapi sebelum pemuda tersebut dapat memanfaatkan suasana yang kacau balau itu, dari luar telah meloncat tiga sosok bayangan menghadang di depannya. Ketiga sosok bayangan tersebut mengambil tempat di sekitar tubuhnya, agaknya menjaga agar dia tidak dapat melarikan diri.

Chu Seng Kun memperhatikan mereka dengan seksama dan ternyata dua di antara mereka telah ia lihat di dalam ruangan tadi. Ji-mo dan Sam-mo dari Tung-hai Sam mo! Dan oleh karena yang datang sekarang adalah tiga orang, pemuda itu segera bisa menebak bahwa yang lain tentulah Toa-mo. Mereka bertiga kini telah lengkap berada di hadapannya!

"Berhenti!" ketiga orang iblis dari Laut Timur itu berteriak berbareng. Wajah mereka yang bengis dan kasar itu memperlihatkan kemarahan yang tertahan.

Melihat sikap mereka, Chu Seng Kun merasa bahwa akan percuma saja bila ia ingin memberi keterangan kepada mereka. Apapun yang akan dia katakan tentu tidak akan mereka percaya. Tampaknya ketiga Iblis yang ganas itu hanya ingin berkelahi dan membunuh, lain tidak! Oleh karena itu Chu Seng Kun tidak berkata sepatahpun. Dia justru mempersiapkan seluruh tenaga Pai-hud ciangnya. Dan sebelum mereka berkata lebih lanjut, kedua belah lengannya telah terayun ke depan dengan dahsyatnya.

"Wuuuuussss…..!" Serangkum angin hangat menerpa ketiga orang lawannya dan membuat hawa malam yang dingin itu menjadi terasa nyaman dan nikmat. Begitu nyamannya sehingga ketiga orang lawannya itu seperti sedang dibelai-belai oleh tangan-tangan yang halus. Mata mereka menjadi berat dan rasa-rasanya tadi kepingin tidur.

Tetapi sesaat kemudian ketika tangan Chu Seng Kun yang penuh lwee-kang itu telah berada di dekat tubuh mereka, mereka baru menjadi sadar dan kelabakan setengah mati. Mereka baru sadar ketika dalam kenyamanan suasana itu tiba-tiba dada mereka seperti ditindih oleh barang yang beratnya ribuan kati, sehingga pernapasan mereka rasa-rasanya menjadi tersumbat dan sukar untuk bernapas.

Darah mereka bergolak dan otomatis lwee-kang mereka meronta untuk mengadakan perlawanan. Dan sungguh untung bagi mereka bahwa pada saat-saat terakhir mereka bertiga mampu menghimpun lwee-kang masing-masing dan melontarkannya secara berbareng!

“Bummmmm…..!” dua buah himpunan lwee-kang bertemu di udara dan menimbulkan suara menggelegar seperti ombak menghantam gunung karang.

Chu Seng Kun terdorong mundur dua langkah ke belakang, sementara ketiga lawannya jatuh terguling-guling beberapa meter jauhnya. Ketiga orang iblis dari Laut Timur itu melenting berdiri dengan cepatnya. Mula-mula wajah mereka menunjukkan perasaan heran dan takjub melihat kekuatan pemuda yang berada di hadapannya itu, tapi sejenak kemudian wajah mereka berubah menjadi gelap dan penuh nafsu membunuh.

"Bangsat! Anjing busuk yang mau mampus. Setan mana yang mengirim engkau ke mari?” Toa mo mengumpat umpat.

"Hai, orang asing! Apa yang ditugaskan oleh Yap Tai ciangkun kepadamu? Menyelidiki kekuatan kami di sini?" Ji mo yang garangpun ikut berteriak.

Ketika Chu Seng Kun tetap diam dan bahkan telah mempersiapkan lagi serangannya, mereka tidak berani lagi banyak omong. Toa-mo segera memberi isyarat kepada saudaranya untuk membentuk barisan Ang-cio hi-tin.

"Siapapun adanya dia kita tidak peduli! Karena dia berani memasuki daerah kita, kita harus membungkam mulutnya untuk selama-lamanya. Siapkan Ang cio hi-tin! Lekas!"

Ketiga iblis tersebut cepat mencabut pedang mereka yang aneh. Kecuali Ji-mo yang memegang dua buah pedang, yang lain memegang sebuah pedang di tangan kanan mereka masing-masing. Masing-masing menempatkan dirinya di belakang kakak seperguruannya yang tertua secara berurutan.

Chu Seng Kun melangkah setindak ke belakang melihat formasi lawan yang aneh itu. Dalam perantauannya selama ini ia belum pernah melihat atau mendengar bentuk barisan seperti itu. Dipandangnya senjata lawan yang panjang seperti gergaji sambil membayangkan moncong dari ikan cucut yang pernah ia lihat.

“Ang-cio-hi-tin! Barisan Cucut Merah! Apakah itu? Adakah itu sebuah nama ilmu silat andalan mereka yang mereka mainkan secara bersama? Dimanakah letak kehebatannya?”

Tapi Chu Seng Kun tidak memperoleh banyak waktu lagi untuk berpikir. Ketiga iblis itu telah meloncat ke arah dirinya dan menyerang dengan pedang gergajinya! Seng Kun melangkah ke samping dengan tergesa-gesa untuk menghindari serangan itu, tapi karena ia tidak membawa senjata apapun, maka untuk selanjutnya ia hanya bisa mengelak saja kesana kemari, sedikitpun tidak berani menangkis.

Padahal serangan lawan hampir tidak pernah berhenti dan memberi peluang bagi dirinya untuk mengambil napas. Tentu saja keadaan itu sungguh membuat ia menjadi repot sekali! Beberapa kali senjata gergaji itu hampir saja mengenai tubuhnya. Untunglah Pek-in Gin-kang yang ia kerahkan masih mampu menolongnya.

Tapi keadaan seperti itu terang tidak bisa berlangsung lama, apalagi ketika lapat-lapat ia mencium bau amis dari senjata yang aneh tersebut. Pemuda itu melirik ke sekelilingnya, mencari senjata yang dapat ia pakai untuk menahan serangan lawan. Dan ia menjadi gembira ketika beberapa jauh dari tempatnya berdiri tergeletak sebuah golok besar yang tadi ditinggalkan oleh para pengepungnya. Maka sambil mengelak dari cecaran lawannya ia beringsut sedikit demi sedikit ke arah tempat tersebut. Tapi Toa mo tampaknya mencium maksudnya itu.

“Singkirkan golok itu!” teriaknya ke arah anak buahnya yang menonton di pinggir arena, sementara pedang gergajinya semakin menekan lawannya.

Gila. Chu Seng Kun menyumpah di dalam hati. Tampak beberapa orang perampok mengambil golok yang diincarnya itu. Terpaksa pemuda itu mengerahkan tenaga Pek-hudciangnya untuk mencari tempat-tempat lowong dari ketiga orang musuhnya.

Tapi Ang-cio-hi-tin tersebut memang benar-benar hebat! Pertahanan dari pedang sepasang yang dipegang oleh Ji-mo sungguh kuat sekali, padahal kedua buah pedang yang dipegang oleh Toa-mo dan Sam-mo selalu menyerang secara bergantian.

“Hahahaha…. orang asing! Kini baru terbuka matamu, bukan? Haha….. jangan harap kau bisa lolos dari tangan kami! Satu kali goresan saja dari pedang kami, kau akan berjingkrak-jingkrak seperti monyet kena terasi… dan ginkangmu yang hebat itu tidak akan bisa lagi menolongmu.” Ji-mo yang bersuara lantang itu terkekeh-kekeh gembira.

“Eh, pemuda tampan! Sudahkah engkau mendengar Racun Ubur-ubur Laut yang bisa bikin gatal itu? Hihihihi….itulah dia kalau engkau ingin merasakannya! Terimalah sebuah goresan saja dari pedang kami, hohoho…..!” Sam-mo yang bertubuh kecil itu ikut mengolok-olok. Dari belakang ia mengayunkan pedangnya dari samping tubuhnya.

“Racun Ubur-ubur Laut? Bukankah racun tersebut adalah racun yang hampir membunuh Yang Kun, temanku itu? Kalau begitu apakah orang ini pula yang melukainya…….?” Dengan kaget Chu Seng Kun berdesah di dalam hati.

“Chu-toako!” tiba-tiba terdengar suara memanggil dari luar arena. “Serahkan orang itu kepadaku! Dialah yang hampir membunuh aku dahulu….!”

Dan sebelum gema suara itu hilang, dari semak-semak di belakang mereka melayang sesosok tubuh ke tengah-tengah arena. Di lain saat di dalam arena telah bertambah dengan seorang pemuda lagi. Chin Yang Kun! Kali ini giliran dari Tung-hai Sam-mo yang dibuat kaget setengah mati. Tapi rasa kaget itu segera berubah menjadi perasaan gembira bukan main begitu melihat siapa yang datang.

“Hahaha-hohoho… anak setan! Benar-benar ajaib! Dicari-cari kemana-mana tidak ketemu tidak dicari malah datang sendiri! Hohoho…. Sudah digariskan oleh takdir bahwa kau memang harus mampus di tangan kami. Nah, lekas berikan benda itu kepada kami!” Sam-mo yang sejak dahulu masih juga takabur itu tertawa berkepanjangan.

“Benar, engkau agaknya selama ini juga mencari kami untuk mengembalikan benda berharga kepunyaan pendekar Li itu…”

Toa-mo menyambung perkataan adiknya. “Dan… jangan sampai kami melukai engkau lagi dengan pedang ini,” Ji-mo ikut berbicara.

Ketiga orang iblis itu benar-benar tidak memandang dengan sebelah mata kepada Chin Yang Kun. Mereka masih meremehkan pemuda itu sebagaimana pada pertemuan mereka setahun yang lalu, dimana pada saat itu mereka dapat melukai dan menawan pemuda tersebut tanpa kesulitan.

“Yang-hiante, iblis inikah yang dulu melukai engkau….?” Chu Seng Kun menyambut kedatangan kawannya dengan gembira.

"Benar!" pemuda itu mengangguk. “Oleh karena itu biarkanlah aku membalaskan sakit hatiku itu.” Yang Kun berkata mantap.

“Tapi kuminta Yang-hiante tidak membunuh mereka! Toh dahulu Yang-hiante juga tidak sampai mati di tangan mereka.....” Chu Seng Kun yang sangat mengetahui siapa adanya Chin Yang Kun sekarang benar-benar merasa khawatir jikalau pemuda itu akan menyebar kematian di tempat tersebut.

Yang Kun menoleh sekejap kepada temannya lalu dengan sedikit mengangguk dia kembali mengawasi lawannya. “Asal mereka tidak terlalu mendesakku, aku juga tidak akan membunuh mereka,” katanya. “Aku hanya ingin membalas perlakuan yang pernah mereka lakukan kepada diriku....”

Kedua orang pemuda itu berbicara seenaknya seakan-akan Tung-hai Sam-mo yang mereka bicarakan itu tidak berada di hadapan mereka. Mereka berbicara seolah-olah mereka berdua telah yakin benar bahwa mereka pasti dapat menundukkan lawan-lawannya dengan mudah!

Tak heran jika iblis itu menjadi marah bukan main. Seakan berdiri semua rambut di kepala mereka mendengar kata-kata yang bernada meremehkan tersebut! Apalagi perkataan itu dikeluarkan oleh dua orang yang mereka anggap berkepandaian di bawah kemampuan mereka.

“Gila! Benar-benar gila......!” Toa-mo mencak-mencak. “Bocah! Apakah engkau telah lupa bahwa kau tadi nyaris mampus di tangan kami? Dan... kau bocah yang dulu juga mau mampus pula! Apakah kau juga telah melupakan pengalamanmu ketika kami seret dari luar kota Tie-kwan sampai ke tempat tinggal pendekar Li itu?” teriaknya sambil melotot ke arah dua pemuda itu berganti-gantian.

Tapi sedikitpun kedua pemuda itu tidak menggubris kemarahan iblis tersebut. Keduanya justru saling memandang dengan senyum dikulum. Hampir meledak rasanya dada ketiga iblis yang biasa ditakuti orang itu.

"Hiyaaaaaat.....!" ketiga-tiganya berteriak berbareng. Dengan formasi Ang-cio-hi-tin yang pernah mereka pakai untuk menundukkan Chin Yang Kun, Tung-hai Sam-mo kembali menyerang pemuda tersebut. Pedang gergaji yang berada di tangan Toa-mo meluncur cepat ke arah tenggorokan Yang Kun. Gerakan mereka persis gerakan seekor ikan cucut yang sedang menerjang mangsanya. Biarpun hanya Toa mo yang menyerang, tetapi ternyata kedua orang adiknya juga ikut melayang bagai menempel di badan Toa-mo!

Tetapi Chin Yang Kun yang mereka hadapi sekarang bukanlah Chin Yang Kun beberapa tahun yang lalu. Selain kepandaiannya telah maju berlipat ganda, pemuda tersebut memang telah mempersiapkan diri jika sekali waktu bertemu kembali dengan musuh lamanya itu. Dan kini cita-citanya tersebut telah terlaksana, tanpa terduga ia dapat berhadapan muka dengan mereka!

Tapi untuk menjajagi kekuatan mereka bila bandingkan dengan kekuatannya sekarang, Yang Kun tidak lekas-lekas menginjak tempat kelemahan barisan itu. Beberapa saat lamanya ia masih berusaha mengelak kesana kemari dengan sesekali juga melontarkan serangan balasan. Kadang-kadang terbersit juga pada pikiran Yang Kun untuk mengadu kekuatan tenaga dalamnya yang ampuh itu dengan kekuatan gabungan mereka yang dulu mampu menggempur dan menggencet dirinya.

Tapi ia menjadi ragu-ragu. Ia telah berjanji dengan Chu Seng Kun tadi bahwa ia tidak akan membunuh mereka. Ia takut kalau tenaga Liong-cu-I-kangnya itu tidak mampu mereka tahan, sehingga mereka menjadi lumat karenanya. Selain itu ia telah berjanji kepada dirinya sendiri bahwa ia akan membalas perlakuan mereka dahulu dengan mempergunakan racun mereka sendiri. Agar mereka juga tahu bagaimana rasanya Racun Ubur-ubur laut itu!

Oleh karena itu pertempuran satu lawan tiga tersebut masih berlangsung dengan sengitnya. Tung-hai Sam-mo yang marah dengan garang berusaha meringkus lawannya yang masih muda, sementara lawannya itu masih juga meloncat-loncat mengitari barisan mereka.

“Memecah Karang memotong jalan…!” Toa-mo meneriakkan jurus yang harus mereka lakukan.

“Melepas Sirip berbalik jalan!” sambungnya lagi. Tidak mengherankan kalau selama ini barisan mereka itu belum pernah menemukan lawan. Gerakan mereka memang benar-benar gesit dan tangkas. Sepintas lalu hampir tak terlihat lowongan sedikit pun pada pertahanan mereka.

Mereka melenting, meloncat, menerkam dan menghindar secara berbareng. Mereka bagaikan terdiri dan satu perasaan saja. Tenaga yang mereka lontarkan juga bukan main kuatnya, karena dalam barisan itu tenaga mereka juga terkumpulmenjadi satu. Setiap serangan dan tangkisan yang dilakukan oleh salah seorang dari mereka tak ubahnya kekuatan gabungan dari mereka bertiga!

Untunglah Hok-te Ciang-hoat dari Chin Yang Kun telah disempurnakan oleh neneknya sehingga kehebatannya sudah menjadi berlipat ganda pula. Oleh karena itu meski Ang-cio-hitin demikian hebatnya, pemuda itu tetap bisa melayaninya dengan tangkas, tanpa mengalami kesulitan sama sekali.

Tentu saja keadaan itu membuat Chu Seng Kun yang tadi juga menghadapi barisan itu menggeleng-geleng kagum. Sungguh bukan main pesatnya kemajuan yang dicapai oleh temannya itu.

"Moga-moga hati dan jiwanyapun berkembang ke arah yang baik dan lurus. Pemuda dengan kepandaian seperti dia sungguh sangat berbahaya apabila sampai berjalan di jalan yang gelap dan kotor……” pemuda ahli pengobatan itu berdoa dalam hati.

Ketika sekali lagi Yang Kun mampu meloloskan diri dari serangan lawannya yang hebat dan ganas, Chu Seng Kun menggeleng-gelengkan kepalanya. Ilmu silat kawannya ini benar-benar hebat, katanya dalam hati. Mungkin dia sendiri tidak bisa berbuat seperti itu. Dan hebatnya pemuda itu seperti belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya! Kadang-kadang tampak pemuda itu seperti masih mau menjajagi kepandaian Tung-hai Sam-mo!

Belasan jurus telah berlalu pula. Sekarang kelihatan kalau Tung-hai Sam-mo mulai dijalari oleh kegelisahan. Lawan yang dulu pernah mereka kalahkan itu kini ternyata telah berubah menjadi sangat perkasa. Jangankan mengalahkannya, sedang untuk melindungi diri dan mempertahankan barisan merekapun kini tampaknya mulai susah. Gerakan tangan dan kaki lawan mereka semakin tampak membingungkan serta sulit diduga!

Agaknya Chin Yang Kun sudah dapat menyelami gaya permainan ketiga iblis tersebut. Beberapa kali pemuda itu seperti sudah dapat membaca maksud dan arah dari gerakan mereka. Sehingga setiap jurus yang mereka keluarkan tentu akan dipotong dan dibikin kocar-kacir sebelum jurus itu selesai mereka lakukan. Dan agaknya kegelisahan Tung hai Sam-mo ini terasa pula oleh anak buah mereka yang berada di pinggir arena. Mereka tampak mulai ribut dan siap untuk turun tangan membantu pemimpin mereka itu.

"Nah! Apakah kalian belum juga mengaku kalah dan meletakan pedang itu?” Yang Kun mengejek.

Ternyata ketiga iblis itu sudah mata gelap! Rasa malu dan penasaran membuat mereka gelap mata dan tak mempedulikan lagi keselamatan mereka! Mereka menyerang membabi buta.

“Tahan…!” Yang Kun berseru, hingga ketiga orang lawannya terpaksa menghentikan amukan mereka. “agaknya kalian belum sadar kalau kalah. Kalian belum percaya kalau aku masih menyayangi jiwa kalian. Huh, kalau aku mau, tanpa bergerak ke tempat lainpun kalian takkan bisa mencelakakan diriku…..”

"Babi sombong....! coba buktikan ucapanmu,” Toa-mo berteriak makin marah. Bersama kedua adiknya ia kembali menerjang Chin Yang Kun. Yang Kun tertawa gembira.

“Baik, lihatlah.....!” Pemuda itu melingkar ke samping untuk menghindari terkaman ujung pedang Toa-mo. Lalu ketika dilihatnya iblis itu masih juga memburunya pemuda itu cepat-cepat melangkah mundur lima tindak ke belakang. Melihat gerakan itu Toa-mo yang sedang marah menjadi tertawa dan menghentikan serangannya.

“Hahaha.... anak muda, kau tadi bilang tidak akan bergerak dari tempatmu. Lalu mengapa kau sekarang malah berlari mundur sambil terkencing-kencing begitu?”

Sekejap Yang Kun seperti mau marah, tetapi di lain saat matanya menjadi redup kembali. “Hm, jangan bergembira dahulu.....! Aku memang belum mulai.....”

“Persetan! Kalau begitu mengapa engkau tidak lekas lekas memulainya? Masih menunggu saat yang baik bagi kematianmu? Ayo!”

Tiga orang iblis dari Laut Timur itu memasang kuda-kuda berdasarkan barisan Ang-cio-hi-tin mereka. Toa-mo yang berdiri di depan menyilangkan tangan kirinya di depan dada, sementara tangan kanannya yang memegang pedang terjulur lurus ke atas. Ji-mo yang berdiri di belakangnya tampak menyilangkan juga kedua bilah pedangnya diatas kepala, sementara kedua kakinya ditekuk rendah sekali.

Sedang Sammo yang berada di ujung belakang dari barisan itu tampak memegang tangkai pedangnya dengan kedua buah telapak tangannya, seperti layaknya seorang tukang kayu yang ingin membelah tonggak pohon dengan kapaknya! Itulah pembukaan dari jurus Ikan Cucut Menunggang Ombak! Sebuah jurus yang kaya dengan variasi dan kembangan!

Jurus itu biasa mereka pergunakan untuk menghadapi musuh yang lihai dan sukar mereka hadapi. Karena dengan jurus yang kaya dengan perubahan tersebut mereka cepat dapat menyesuaikan diri dengan gaya dan gerakan lawan apabila mereka secara tak terduga menemukan lawan yang berat.

Dan itu berarti ketiga iblis tersebut mulai berhati-hati dalam menghadapi Chin Yang Kun. Agaknya mereka mulai berpikir kalau-kalau lawannya kali ini memang telah maju pesat sejak pertemuan mereka dahulu. Siapa tahu pemuda ini telah memperoleh seorang guru yang pandai?

Sebaliknya, pemuda yang secara diam-diam sudah menyiapkan sebuah cara untuk menundukkan Ang-cio-hi tin itu dengan tenang mengerahkan sebagian dari tenaga Liongcu-i-kangnya. Tampaknya pemuda itu juga tidak mau meremehkan barisan Cucut Merah lawannya. Dahulu ia pernah pula merasakan bagaimana hebatnya barisan tersebut.

Apalagi dalam perang tanding seperti kali ini mereka tentu akan mengerahkan segala kemampuan yang mereka miliki untuk menjaga nama baiknya selama ini. Oleh karena itu tentu tidak mudah pula bagi pemuda tersebut untuk begitu saja menjalankan rencananya. Mereka tentu akan melindungi tempat kelemahan mereka itu dengan ketat sekali.

Sementara itu suasana di luar arena terjadi sedikit kegaduhan ketika dari dalam rumah besar yang dijaga ketat itu keluar seorang pemuda berpakaian sutera indah. Pemuda itu berjalan tegap diikuti oleh seorang laki-laki gagah bertubuh tinggi besar.

"Siauw Ongya...! Siauw Ongya...!” para perampok itu berteriak teriak menyambut pemuda berpakaian indah tersebut.

Semula, baru mendengar nama Hong-gi-hiap Souw Thian Hai disebut oleh pangeran itu saja Chu Seng Kun sudah merasa kaget setengah mati. Kini begitu melihat siapa yang benar-benar datang di belakang pangeran itu, Chu Seng Kun rasanya malah seperti sedang bermimpi dan hampir-hampir tidak mempercayai apa yang telah dilihatnya.

Laki-laki tampan bertubuh tinggi besar itu sungguh-sungguh Hong-gi-hiap Souw Thian Hai yang sangat dikenalnya! Sementara itu empat orang jago yang telah siap untuk bertarung di dalam arena itu telah mulai berlaga. Mereka tidak mempedulikan sama sekali keributan kecil yang disebabkan oleh kedatangan pangeran itu. Masing-masing telah dicekam suasana tegang di antara mereka sendiri. Masing-masing tidak mau melepaskan mata dan perhatian kepada lawan yang berada di depannya. Dan pertempuran mereka kali ini benar-benar hebat luar biasa.

Tung-hai Sam-mo yang menyadari bahwa mereka kini sedang berhadapan dengan seorang jago muda berkepandaian tinggi, benar-benar mengerahkan segala kemampuan mereka dalam Barisan Cucut Merah itu. Mereka bertiga bergerak dengan lincah dan gesit secara berbareng, sehingga sepintas lalu mereka seperti bukan terdiri dari tiga orang manusia tetapi seperti lengket menjadi satu jiwa saja.

Mereka meloncat, menerjang, menghindar dan menjatuhkan diri dengan manis sekali seperti tiga orang pemain akrobat yang sedang memainkan gaya dan gerakan ikan cucut di lautan. Mereka menyerang dan bertahan dengan rapi sekali. Mereka agaknya juga telah menyadari tempat kelemahan mereka, sehingga dalam pertempuran mereka itu mereka sungguh sungguh memperkuat tembok pertahanan dari barisan mereka tersebut.

Sedangkan Chin Yang Kun yang kali ini ingin membuktikan ucapannya bahwa ia sebenarnya mampu menundukkan Ang cio-hi-tin juga berusaha sekuat tenaga untuk membuktikannya. Biarpun karena alasan-alasan yang telah disebutkan di muka pemuda itu tidak mau mengeluarkan ilmu pemberian nenek buyutnya.

Ternyata Hok te Ciang-hoat yang telah disempurnakan itu telah lebih dari cukup untuk menghadapi Barisan Cucut Merah ketiga iblis tersebut. Gerakan tangan dan kakinya yang kuat dan cepat itu ternyata mampu menahan dan membendung gerakan ikan cucut yang dilakukan oleh ketiga iblis tersebut!

Sehingga lambat laun ikan yang ganas itu semakin terpojok dan sulit bergerak seperti layaknya seekor ikan yang terperangkap di dalam jarring! Kemanapun mereka akan bergerak rasa rasanya selalu membentur kekuatan lawan yang melingkupinya. Akhirnya beberapa saat kemudian justru ketiga orang itulah yang terkurung dan tidak bisa bergerak lagi dengan leluasa. Hok te Ciang-hoat dari Chin Yang Kun yang hebat itu mengurung dan mendesak mereka.

“Setan! Ibliiis…!" Toa-mo yang suka mengumpat itu berteriak penasaran.

“Hei, kau memaki siapa?" Yang Kun dengan tenang membalas seloroh itu. "Apakah engkau memaki dirimu sendiri? Haha.... sungguh baru kali ini aku mendengar ada orang memaki julukannya sendiri! Benar benar tidak aturan!"

"Anjing! Babi! Cacing busuk.......! Kubunuh kau!” Toa-mo meralat makiannya.

“Hahaha….. cobalah kalau bisa! Tapi sementara itu aku akan membuktikan bahwa Ang-cio-hi-tin kalian ini benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa kepadaku meski aku hanya berdiri diam saja di suatu tempat….!”

"Bangsaaaat…..! Kau sungguh sombong sekali! Lekas kau lakukan... Iekaaaas....!" Kemarahan Tung-hai Sam-mo benar-benar telah mencapai ubun-ubun. Dengan Ang-cio-hi-tin mreka menerjang Chin Yang Kun tanpa perhitungan lagi. Dalam benak mereka hanya ada satu keinginan yaitu lekas-lekas menggasak pemuda sombong itu dan mencincangnya sampai lumat. Begitu bernafsunya mereka sehingga mereka tidak begitu memperhatikan lagi pertahanan mereka!

Dan inilah yang dikehendaki Chin Yang Kun. Di antara amukan mereka yang membabi buta ia melihat banyak lowongan yang terbuka. Maka tanpa menanti waktu lebih lama lagi Yang Kun melejit ke depan, menerobos pertahanan lawan dan menurunkan kakinya di samping tubuh Ji-mo.

Ji-mo segera menyongsong dengan pedang gergajinya. Tapi pemuda itu dengan mudah mengelakkannya, lalu dengan sedikit mengerahkan Liong-cu-i-kang pada jari-jarinya pemuda itu menjentik pedang lawan.

“Tingggg!” Pedang itu membalik dengan keras dan benar saja menyobek leher Ji-mo sendiri. Untuk saat itu segera membuang diri ke belakang, biarpun oleh karena hal itu ia menjadi terhuyung-huyung keluar dari dalam barisan. Otomatis bentuk barisan tersebut menjadi rusak. Dan kalau saja Chin Yang Kun pada saat itu mau meneruskan serangannya, tak pelak lagi barisan tersebut akan hancur.

Tapi Yang Kun ternyata tidak mempergunakan kesempatan baik itu. Pemuda itu hanya melangkah ke depan mengikuti gerakan kaki Ji-mo yang goyah. Tampaknya ia benar-benar ingin membuktikan ucapannya tadi, bahwa ia mampu membuat barisan yang sangat dibangga-banggakan itu tak berkutik sama sekali terhadap dirinya! Pemuda itu berusaha menempel terus di sebelah Ji mo yang malang.

Kedua Iblis yang lain segera menyesuaikan diri. Mereka segera mendekati Ji-mo guna menyusun lagi barisan mereka. Mereka belum menyadari bahwa lawannya sudah menginjak titik kelemahan mereka. Mereka baru merasa terkejut ketika mereka bertiga sama sekali tidak bisa menyerang pemuda itu.

Mereka menjadi kikuk dan tak bisa menyerang lawan yang berada di samping perut dan cucut mereka! Bagai seekor belatung ketiga iblis itu melejit kesana kemari, berusaha dengan sekuat tenaga menghindari tempelan Chin Yang Kun. Tapi seperti seekor lintah pemuda itu tetap melekat di samping mereka.

“Nah, kalian lihat! Bukankah barisan kalian ini sudah tidak berguna lagi......? Baik moncong maupun sirip ekor kalian tidak mampu menyentuh tubuhku! Satu-satunya jalan hanyalah mempergunakan pedang Ji-mo. Tapi seperti kalian lihat tadi, begitu Ji-mo ikut menyerang….. barisan ini tidak punya pertahanan lagi! Sekali terjang Ang-cio-hi-tin ini akan hancur!” Yang Kun berseru diantara langkahnya.

"Kurang ajar! Monyet busukkk...!" Tung hai Sam-mo semakin naik pitam. Mereka menyerang semakin ngawur. Kini tidak lagi dalam formasi Ang-cio-hi-tin. Mereka menyerang berserabutan.

“Heeiiitt!” Yang Kun menjejakkan kakinya ke atas tanah dan tubuhnya melenting tinggi melampaui kepala lawannya sehingga ketiga orang musuhnya untuk sekejap seperti kehilangan sasaran.

Dan sebelum ketiga orang itu menyadari keadaannya, Yang Kun sekali lagi menyerang mereka. Dengan jurus liong-ong-sao-te (Raja Naga Menyapu Tanah) kaki pemuda itu dari atas menyapu tiga kepala lawan yang berada dibawahnya. Angin tajam yang meniup di atas mereka segera menyadarkan ketiga iblis tersebut dari kebengongannya.

Secara berbareng mereka bertiga menjatuhkan diri di atas tanah, kemudian berguling menjauhkan diri. Mereka bergerak dengan sangat tangkas dan sigap. Meskipun begitu ternyata gerakan mereka masih terlalu lamban bagi Chin Yang Kun! Pemuda itu dengan gesit telah mendahului dan memotong gerakan tersebut.

Bagai kilat menyamber kedua belah tangan Chin Yang Kun menyambar ke arah lawannya dan sebelum semua orang tahu apa yang telah terjadi, ketiga iblis dari Laut Timur itu telah kehilangan pedang masing-masing. Semuanya telah berpindah ke tangan Chin Yang Kun! Dan sebelum ketiga iblis itu mampu berdiri dengan tegak, pedang yang berada di tangan pemuda itu kembali meluncur ke arah pemiliknya masing-masing dengan dahsyat.

Tiada waktu atau kesempatan sama sekali bagi Tung-hai Sam-mo untuk mengelak. Semuanya berlangsung dalam tempo yang sangat cepat. Jangankan untuk menggerakkan badan, sedang untuk mengejapkan mata saja rasa-rasanya sudah tidak keburu lagi! Maka di lain saat terdengar suara jeritan mereka ketika pedang-pedang itu menghujam ke dalam paha mereka masing-masing.

“Nah! Inilah pembalasanku! Kalian rasakan juga racun ubur-ubur laut kalian itu.....!” Yang Kun berseru diantara suara lolongan mereka.

“Hmm…..sungguh kejam!” tiba-tiba terdengar suara desah seseorang dari pinggir arena.

Chin Yang Kun cepat membalikkan tubuhnya. Dengan tajam matanya menatap laki-laki muda yang mengeluarkan suara itu. Seorang laki-laki muda dengan pakaian bersih dan indah! Beberapa orang pengawal tampak melingkarinya. Dan salah seorang di antaranya, yang bertubuh tinggi besar benar-benar membuat pemuda itu tersentak kaget bukan kepalang!

Beberapa saat lamanya Yang Kun seperti tidak percaya pada penglihatannya! Beberapa kali pemuda itu mengejap-ngejapkan matanya, persis seperti yang dilakukan pula oleh Chu Seng Kun! Kedua-duanya sama-sama terkejut setengah mati! Hanya kekagetan mereka kali ini mempunyai dasar yang berlainan.

Bagi Chu Seng Kun, selain tidak menyangka bahwa ia akan dapat bertemu muka dengan sahabat lamanya yang telah lama tidak pernah jumpa, pemuda itu juga merasa kaget melihat sahabat itu kini berbalik memusuhi pemerintahan Kaisar Han!

Sementara bagi Chin Yang Kun, perasaan kaget itu lebih didasarkan pada rasa gembiranya dapat bertemu dengan salah seorang yang dianggapnya telah membantai seluruh keluarganya. Pada waktu ibu dan adik-adiknya mati diracun orang di tengah hutan itu, si pembunuh meninggalkan surat agar ia pergi ke tepi sungai Huang-ho untuk menemui orang itu. Dan di dalam gubug yang telah ditentukan itu ia menjumpai orang ini!

Saat itu ia dapat menangkap orang ini, sayang karena kelalaiannya orang ini dapat melarikan diri. Dalam waktu yang singkat, wajah Yang Kun yang semula cerah karena dapat membalas dendam terhadap Tung-hai Sam-mo, berubah menjadi keruh kembali. Hatinya tampak bergolak dengan hebat. Bayangan ibu dan adik-adiknya yang mati keracunan kembali menggoda hatinya.

Tapi sebelum pemuda itu berbuat lebih lanjut, laki-laki muda yang dikawal oleh musuh besarnya itu telah melangkah ke depan. Dengan garang ia menunjuk ke arah Tung-hai Sam mo yang bergulingan di atas tanah karena menderita gatal di sekujur tubuhnya itu.

"Souw-taihiap... Bawa mereka ke pinggir dan obatilah!" perintah laki-laki muda yang dipanggil siauw-ongya oleh para pengikutnya itu.

Pengawal berperawakan tinggi besar yang dipanggil dengan nama Souw taihiap itu melangkah maju tanpa berkata sepatahpun. Wajah yang sebenarnya sangat ganteng itu tampak sangat dingin dan kaku, sedikitpun tidak memancarkan perasaan yang terkandung di dalam hatinya.

Dengan langkah ringan ia mendekati Tung-hai Sam-mo bergulingan di tengah-tengah arena, menotoknya beberapa kali kemudian menyeret mereka kepinggir dan menyerahkan kepada pengawal-pengawal yang lain. Semua itu ia kerjakan dengan cepat dan tangkas sehingga semua orang baru sadar ketika semua itu telah selesai dikerjakannya.

"A Hai... eh saudara Souw! Selamat berjumpa!” Chu Seng Kun yang sudah sekian lamanya berdiri mematung itu menyapa dengan suara bergetar. Oleh karena sedikit gugup pemuda itu sampai memanggil dengan namanya saja. Sebuah nama yang dipakai oleh Souw taihiap itu ketika masih menderita sakit ingatan dahulu.

Pengawal itu tergagap dan menoleh dengan cepat! Matanya yang dingin itu terbelalak, seperti orang yang sedang tersentak dari sebuah lamunan yang mengecewakan. Sekejap mata ia memancarkan sinar kegembiraan yang besar, tapi sedetik kemudian sinar itu menjadi layu kembali. Malahan beberapa kali tampak oleh Chu Seng Kun, sahabat lamanya itu menghela napas berulang-ulang.

“Saudara Chu..." sahabat itu akhirnya berdesah perlahan, "….. sayang kita terlambat berjumpa sehingga kita terpaksa harus berdiri berseberangan. Aku..... ahh, sudahlah!"

"Saudara Souw! Apa…. apakah maksudmu? Apakah yang terjadi? Kau......?" pemuda ahli pengobatan itu terbelalak bingung menyaksikan sikap sahabatnya yang aneh.

"Saudara Chu, sungguh panjang kalau diceritakan. Sekarang lebih baik kalian meninggalkan tempat ini, sebelum...”

"Souw taihiap, mengapa berhenti? Ringkus juga kedua mata-mata Kaisar Han itu! Jangan biarkan lolos!" siauw-ongya yang berpakaian indah itu memberi perintah lagi.

Wajah pendekar itu tampak menegang sebentar kemudian tertunduk lesu kembali. Matanya yang sayu itu menatap jauh ke depan. "Orang ini adalah temanku. Dia bukan penjahat atau mata-mata. Biarkanlah dia pergi....” ucapnya datar.

“Huh! Apakah Souw taihiap sudah mulai membangkang terhadap perintahku?” siauw-ongya itu menegur tak senang. “Apakah Souw-taihiap sudah melupakan.....?”

“Baik! Akan kutangkap dia!” pendekar itu berteriak dengan penuh penasaran. Suaranya menggeledek, menggetarkan pucuk-pucuk pohon yang tinggi. Lalu dengan enggan ia menunduk ke arah Chu Seng Kun. “Saudara Chu.... maafkan aku! Aku benar-benar seorang yang tidak tahu membalas budi! Dengan sangat terpaksa hari ini aku harus menangkap kalian....”

“Bangsat! Pembunuh keji! Lihatlah mukaku....” Yang Kun yang sejak tadi juga hanya berdiam diri itu tiba-tiba berteriak keras. Kakinya yang panjang itu meloncat dengan tangkas ke muka.

“Yang-hiante, tunggu.....! Jangan.....!” Chu Seng Kun berteriak khawatir.

Tapi dengan tegak dan dada tengadah Chin Yang Kun telah berdiri di depan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai. Matanya menyala seakan mau membakar tubuh lawan yang berada di mukanya. Kedua tangannya terkepal di depan dadanya, siap untuk melontarkan Liong-cu-i-kangnya yang ampuh.

“Pembunuh licik! Apakah kau masih mengenal aku?” geramnya menahan marah.

Hong-gi-hiap cuma melirik sekejap, sedikitpun tidak terpengaruh oleh sikap Chin Yang Kun yang ganas dan mengandung nafsu membunuh itu. “Hmm, aku belum pernah melihatmu, apalagi mengenalmu. Siapakah engkau? Mengapa engkau menuduh aku sebagai pembunuh licik?" Hong-gi-hiap balik bertanya. Lalu sambungnya lagi dengan nada agak ragu, “Apa.... apakah ada salah seorang dari keluargamu yang telah kubunuh?"

"Kau memang telah melupakanku. Tapi aku tidak akan pernah lupa pada pembunuh ibu dan adik-adikku!” Chin Yang Kun menjawab tegas.

Hong-gi-hiap Souw Thian Hai menghela napas dengan berat sekali, kepalanya tertunduk semakin dalam. Kelihatan betapa sedih hatinya. “Engkau mungkin benar! Hampir sepuluh tahun aku kehilangan ingatanku, dan selama itu pula aku tak sadar pada apa yang telah kukerjakan. Mungkin pada saat itu pulalah aku telah kesalahan tangan membunuh keluargamu…..”

Sementara Chu Seng Kun menjadi semakin bingung menyaksikan keadaan tersebut. Belum juga hilang rasa kaget dan herannya, kini ditambah lagi dengan sikap Yang Kun yang aneh terhadap Hong-gi-hiap Souw Thian Hai, sahabat lamanya! “Yang-hiante, bersabarlah….! Mengapa pula kau ini?” serunya melerai. Kemudian melihat kawannya itu tidak dapat juga disabarkan, ia baru menghadapi Hong-gi-hiap Souw Thian Hai. “Saudara Souw, kawanku ini agaknya telah mencurigai engkau, bahwa kau telah membunuh keluarganya, saudara Souw, benarkah engkau meracuni wanita dan anak-anak setahun yang lalu? Tepatnya di hutan sebelah utara kota Tie-kwan?"

Hong-gi hiap menoleh dengan cepat. Matanya yang mencorong itu tampak berkilat merah. Kelihatannya ia tersinggung mendengar tuduhan itu. "Setahun yang lalu...? Saudara Chu, jikalau aku sampai berbuat jahat ataupun perbuatan tidak baik yang lain pada sepuluh atau lima tahun yang lalu, mungkin semua orang akan percaya, karena pada saat itu aku menderita sakit lupa ingatan. Tapi setelah penyakit tersebut kausembuhkan pada lima tahun berselang....apakah semua orang masih mempercayainya juga kalau aku berbuat sekeji itu? Dan harap direnungkan baik-baik, pernahkah Hong-gi-hiap Souw Thian Hai mempergunakan racun? Kukira, kalau hanya untuk membunuh orang saja kedua tanganku ini sudah lebih dari cukup. Tak perlu aku mempergunakan senjata ataupun tetek bengek seperti racun itu.....!”

Chu Seng Kun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia percaya seratus persen pada kata-kata itu, karena ia tahu betul macam apa Hong-gi-hiap Souw Thian Hai itu. Apa yang baru saja diucapkan oleh pendekar sakti itu memang benar adanya.

Lain halnya dengan Chin Yang Kun! Selain selama ini dia memang belum pernah mendengar ataupun melihat sepak terjang Hong-gi-hiap Souw Thian Hai, pemuda itu memang benar-benar telah dibutakan oleh dendam yang menyala di dalam hatinya. Ucapan yang panjang lebar dari pendekar sakti itu justru ditafsirkan sebagai kata-kata hinaan terhadap dirinya.

“Bangsat! Betapa sombongnya engkau.....!”

“Hah? Apa-apaan ini? Souw taihiap, mengapa tidak lekas-lekas turun tangan juga?” tiba-tiba siauw-ongya itu berteriak tak sabar. “Cepat ringkus mereka....!”

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.