Pendekar Penyebar Maut Jilid 12 karya Sriwidjono - YANG KUN sudah tak bisa mengekang lagi kemarahannya, orang itu benar benar bermulut kotor, memaki orang seenaknya. Tanpa menghiraukan lagi rasa sakit pada lukanya. Yang Kun meloncat menerjang Tung-hai Nung-jin.
Kedua telapak tangannya yang terbuka itu menabas ke arah pundak lawan dalam jurus Menatap Lantai Menyembah Raja, jurus ke sebelas dari Hok-te To-hoat. Oleh karena tidak membawa golok maka kedua belah sisi telapak tangan itu dia ayun sebagai golok.
Itulah salah satu keistimewaan Hok te To hoat! Ada beberapa jurus yang dapat dimainkan dengan tangan kosong pula seperti halnya Hok-te Ciang hoat, meskipun perbawanya tentu saja tidak sehebat aslinya.
Melihat pemuda itu telah menyerang dirinya, Tung-hai Nung-jin segera mengelak. Tubuhnya yang kurus itu menggeliat ke belakang seakan mau jatuh terlentang! Tapi bersamaan dengan gerakannya itu kaki kanannya tidak tinggal diam begitu saja. Dengan secara mendadak kaki itu diangkatnya ke atas, ke arah perut lawan yang berayun di depannya.
Sekejap Yang Kun tergagap oleh serangan lawannya. Ternyata kemarahannya tadi membuat dia kurang berhati-hati, sehingga dia kurang memperhitungkan gerakan lawan. Terpaksa dengan mengerahkan sedikit tenaga pemuda itu menjejakkan kakinya ke tanah, hingga tubuhnya melayang ke samping dengan manis.
Yang Kun terhindar dari kaki Tung hai Nung-jin, tapi pengerahan tenaga itu membuat lukanya semakin terasa pedih. Dengan sedikit terbatuk-batuk pemuda itu bersiap kembali menghadapi lawannya.
Sementara itu tampaknya Tung hai Nung jin juga sudah tidak sabar pula. Meskipun mereka tidak takut kepada para penghuni kuil itu, tapi kalau mereka itu maju beramai ramai, bagaimanapun juga akan mengganggu urusannya. Maka tanpa sungkan-sungkan lagi ujung bajunya yang longgar itu meluncur menghantam ke arah Yang Kun. Terdengar suara angin bersiutan menyertai gerakannya tersebut.
Terpaksa Yang Kun mengelak pula ke samping, karena untuk mengerahkan tenaganya lagi ia tidak berani. Kemudian dari arah samping ia mencengkeram ujung baju lawan yang berkibaran seperti kupu-kupu, maksudnya kalau dia dapat meraihnya, lengan itu akan segera diputarnya ke belakang, sehingga dengan mudah dia dapat menghantam tengkuk lawan dengan sisi telapak tangannya.
Tapi lawannya ternyata juga bukan orang sembarangan. Tung hai Nung-jin adalah tokoh kedua di antara kawanan bajak laut di Lautan Timur setelah Tung-hai-tiauw (Rajawali Lautan Timur). Enam-tujuh tahun yang lalu, ketika mendiang Bit-bo ong palsu mengajak San hek houw dan Sin go Mo Kui Ci menyerbu kedudukan Tung hai tiauw, Tung hai Nung jin mampu membuat kedua pembantu Bit-bo ong tersebut merasa kewalahan.
Seperti sudah dapat membaca apa yang akan dimaksudkan oleh Yang Kun, Tung-hai Nung-jin membiarkan ujung lengan bajunya dicengkeram oleh lawan. Tapi bertepatan dengan terpegangnya lengan baju tersebut, ia menekuk sikunya secepat kilat ke arah dada Yang Kun. Sementara kakinyapun tidak tinggal diam. Dengan gerakan memutar kaki kanannya menyapu kaki lawan. Gerakan ini dilakukan sambil mendesak maju.
Tak ada jalan lain bagi Yang Kun selain menangkis siku lawan. Serangan itu cepat sekali datangnya, dan untuk mengelak sapuan kaki dengan meloncat mundur juga percuma, sebab orang itu menyapu sambil mendesak maju. Maka tiada jalan lain terpaksa harus mengerahkan tenaga untuk menangkis serangan itu.
“Desssss!” "Huaakk....!"
Tenaga Yang Kun membalik dihantam oleh arus tenaga sakti Tung-hai Nung jin! Bagaimanapun juga luka dalam itu sangat mengganggu Yang Kun dalam mengerahkan tenaga dalamnya, hingga tidak saja luka itu menjadi bertambah parah, tetapi tenaga dalam yang hanya setengah setengah itu justru menambah kekuatan lawan yang menghantam tubuhnya. Oleh karena itu bagai layangan putus, Yang Kun terlempar ke belakang dengan memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Tung hai Nung jin mengebutkan lengan bajunya untuk menghalau semburan darah yang memercik ke tubuhnya, meskipun begitu toh masih tetap ada juga setetes darah yang memercik mengenai lengannya. “Kurang ajar!" umpatnya sambil mengambil sapu-tangan untuk membersihkan noda darah tersebut.
Tapi laki laki itu menjadi terkejut sekali ketika bekas noda darah itu menjadi hitam dan terasa gatal bukan main. Dan rasa kaget itu semakin menjadi jadi begitu melihat noda hitam tersebut berkembang semakin besar. Tanpa ayal lagi laki-laki itu segera mengambil pisau dan secepat kilat mengorek noda hitam yang mengerikan itu.
“Bangsat, iblis setan….!" umpatnya lagi tapi dengan nada lega begitu dagingnya yang bernoda hitam itu telah terkorek keluar semua, rasa gatal pun juga hilang seketika.
Dengan mata menyala tetapi juga ada sedikit rasa ngeri, Tung-hai Nung-jin menatap korbannya yang terkapar pingsan di atas tanah. Dipandangnya darah yang menetes keluar dari mulut pemuda itu. Darah itu berwarna kehitam-hitaman, sama sekali berbeda dengan warna darah biasa.
"Gila! Bocah ini benar benar penjelmaan iblis, setan dan demit.....!" katanya sambil membungkuk. Kemudian dengan hati-hati agar tidak sampai menyentuh darah maut itu, Tung hai Nung jin memeriksa saku Yang Kun. Tapi biarpun telah mencari kesana kemari, ia tetap tidak bisa mendapatkan potongan emas yang dicarinya itu.
"Hmm, bocah ini berani benar mempermainkan aku....." orang itu mengangkat tangannya ke atas, siap untuk menghabisi nyawa Yang Kun.
"Tahaaan....!" Tiba-tiba dari arah kuil terdengar suara nyaring menghentikan gerakan itu. Dan sekejap kemudian di depan mereka telah berdiri dua orang laki laki. Yang seorang sudah tua dengan kumis dan jenggot panjang yang telah memutih, sedangkan yang seorang lagi agak lebih muda dengan perawakan pendek kekar.
"Hmm, kalian siapa? Mengapa menghentikan gerakanku?" Tung-hai Nung-jin menoleh dengan perasaan tak senang.
"Hei, lucu benar tuan ini.....! Kami adalah penghuni kuil ini, seharusnya kamilah yang bertanya pada tuan..." lelaki pendek yang tidak lain adalah Tong Ciak Cu si itu mengerutkan dahinya.
"Benar, siapakah sebenarnya tuan ini...?" orang tua berjenggot putih yang tidak lain adalah Toat-beng-jin itu ikut bertanya. Matanya yang sipit dan hampir tertutup oleh alis mata itu melirik ke arah gadis cantik yang berdiri agak ke belakang.
"Persetan! Aku tidak perduli kalian siapa, pokoknya cepat sebutkan nama kalian!" Tung hai Nung jin membentak lagi.
Toat-beng jin saling pandang dengan Tong Ciak Cu si, lalu sambil tersenyum Tong Cu-si menjawab, "Lo hu adalah Tong Ciak! Lo-hu menjabat sebagai Kouw Cu-si dalam lm yang kauw. Sedang orang tua yang berada di sebelahku ini adalah Toat-beng-jin, algojo dari aliran kami...."
"Bohoooong.....!" tiba-tiba gadis cantik itu berseru. “Paman, orang ini berbohong. Yang bernama Toat beng-Jin bukan dia, tapi pemuda yang pingsan itulah…!"
"Biar saja!" Tung hai Nung jin mendengus. "Siapapun dia aku tidak peduli! Aku juga belum pernah mendengar nama itu dan aku juga tidak ingin mengenalnya lebih lanjut...!" sambungnya dengan nada angkuh.
"Yaa, paman memang benar. Tidak ada gunanya paman mengenal nama-nama seperti itu, terlalu merepotkan paman saja..." gadis cantik itu mengangguk-angguk.
Toat-beng-jin menatap Tong Cu-si dengan mulut meringis. "Nah, Tong-hiante, tahu rasa kau sekarang...! Apa hiante kira nama kita ini sudah cukup berharga untuk diperkenalkan pada orang lain? Hihi... benar benar celaka!''
"Wah..... ini„... ini., ah, sesungguhnya bukan maksudku untuk menyombongkan nama." Tong Cu si menjadi tersipu-sipu.
"Yaah, sudahlah....." Toat-beng-jin berdesah.
"Anggap saja kita ini memang orang yang tak tahu diri... tapi... kini perbolehkan kami bertanya kepada tuan," lanjutnya sambil menghadap ke arah Tung-hai Nung-jin kembali.
"'Siapakah nama besar tuan, dan apakah maksud tuan ke tempat kami sehingga tuan melukai tamu kami itu?"
"Hmm, aku adalah Tung hai Nung-jin dan gadis ini adalah keponakanku. Kalian tidak perlu tahu maksud kedatanganku kemari, karena aku hanya butuh bertemu dengan bocah ini!" orang itu berkata kaku.
"Tapi pemuda itu adalah tamu kami, dan karena dia masih berada di lingkungan kami maka kami wajib bertanggung jawab terhadap keselamatannya." Tong Ciak segera menukas dengan keras pula.
Tung hai Nung jin maju melangkah dengan mata melotot. "Telah berkali-kali kukatakan, aku tidak peduli siapapun juga! Nah, pergilah! Jangan membuang nyawa di hadapanku......"
Tong Ciak menggeram dengan dahsyat. Kemarahannya sudah tak bisa dibendung lagi. “Tong-hiante, kau bersabarlah.......!” Toat-beng jin menarik lengan kawannya.
Tapi Tong Ciak sudah tidak bisa ditahan lagi, tangan Toat-beng-jin yang memegangnya segera dilepaskannya. "Lo jin-ong, sekali ini kuminta jangan halang-halangi aku. Sungguh! Akan kulabrak mulutnya yang tak sopan itu!" teriaknya keras.
"Cuhh!” Tung-hai Nung-jin meludah lagi, "Congkaknya…. huh, seperti biasa menaklukkan langit saja!"
"Bangsat! Lihat serangan......" Tong Ciak melangkah dengan cepat ke depan, sehingga saking cepatnya kaki itu seperti mengambang saja di atas permukaan tanah. Sedangkan lengannya yang pendek-pendek itu berputar-putar tidak kalah cepatnya di atas kepala, sehingga sepintas lalu lengan itu seperti berubah menjadi berpuluh-puluh pula jumlahnya. Dan berbareng dengan gerakannya itu tiba-tiba berhembuslah angin dingin yang sangat kuat ke sekitarnya.
"Membasahi Badan di Antara Ilalang!” Toat-beng-jin bergumam dengan takjub begitu melihat jurus yang dikeluarkan oleh temannya itu. "Jurus kedua dari lembar pertama kuIit domba, tapi gerakan kakinya telah diubah... hmm, ini tentulah Soa hu-lian-ciang ciptaan Kim-mou Sai-ong itu!"
Jika Toat-beng-jin saja demikian takjubnya, apalagi orang lain seperti Tung-hai Nung-jin. Orang berperawakan kurus itu benar benar terperanjat setengah mati! Dia sungguh tak menyangka sama sekali bila di atas daratan ia akan menjumpai ilmu silat yang demikian hebatnya. Sejak muda ia memang jarang sekali menginjakkan kakinya di daratan Tiongkok. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau dia tidak mengenal Toat-beng-jin maupun Tong Ciak Cu si.
Meskipun, demikian dia juga bukan tokoh sembarangan pula. Di antara ribuan bahkan mungkin laksaan anggota bajak laut, yang tersebar di Lautan Timur yang maha luas, antara daratan Tiongkok, pulau pulau es di utara dan Kepulauan Jepang serta pulau-pulau kecil lainnya di daerah selatan, tidak seorangpun yang tidak mengenal nama Tung-hai Nung-jin atau Si Petani Lautan Timur. Sebutan itu saja sudah merupakan papan nama yang menakutkan dan menggiriskan setiap penghuni lautan dan pantai-pantai di sekitarnya.
Oleh karena itu keterkejutannya tadi hanya berlangsung sebentar saja, karena di lain saat ia telah melejit dengan tangkasnya ke arah samping, lalu secepat kilat berputar ke belakang lawan malah. Langkah kakinya benar-benar aneh dan cepat bukan main, seperti main petak saja, sehingga seorang tokoh sakti seperti Toat-beng-jin sampai melongo dan menggeleng-gelengkan kepala dibuatnya.
"Pantas orang ini demikian sombongnya, ilmunya memang sungguh hebat! Hehe... tapi sekarang dia mendapatkan lawan yang cocok,” Tokoh sakti itu berkata di dalam hatinya.
Memang benar ucapan yang dikeluarkan oleh Toat-beng jin itu. Kedua orang yang kini sedang bertempur itu agaknya sama-sama mengandalkan cepatnya gerakan sebagai inti dari ilmu silat mereka. Dan hal itu memang tidak aneh!
Mereka berdua sama-sama berasal dari daerah yang sejenis. Tung-hai Nung-jin berasal dari daerah yang setiap harinya selalu bergaul dengan air, sehingga ilmu yang ia pelajari harus pula sesuai dengan tempat di mana ia selalu berada. Badan atau tubuhnya haruslah seenteng kapas agar supaya ia tetap bisa bergerak lincah di atas permukaan air.
Oleh karena itu tidaklah heran kalau gerakannya cepat bukan main, karena lambat sedikit saja niscaya tubuhnya akan kelelap dan tenggelam ke dalam air. Begitu pula Tong Ciak Cu-si! Meskipun dalam bentuk yang berbeda tetapi sifat dari tempat tinggal mereka adalah sama.
Sebelum terjun ke dunia persilatan, Tong Ciak Cu-si bertempat tinggal di sebuah danau atau rawa pasir yang ganas. Dikatakan ganas, karena pasir lembut bercampur air itu sangat panas dan selalu bergerak tak menentu. Benda betapapun kecilnya akan terhisap masuk dan tak mungkin dapat dicari kembali, sebab selain amat luas, danau pasir itupun mempunyai kedalaman yang tak mungkin dijajagi!
Oleh karena itu, seperti halnya Tung hai Nung-jin, Tong Ciak Cu-si juga mendapatkan ilmu yang sesuai dengan sifat tempat tinggalnya. Gerak kaki Tong Ciak Cu-si haruslah sigap dan cepat agar supaya kaki itu tidak terlanjur amblas dan terhisap oleh putaran pasir yang ganas. Sebab sekali kaki itu terbenam sampai di lutut jangan harap orang itu bisa mencabutnya dari daya hisap pasir panas tersebut.
Maka pertempuran yang terjadi kaIi ini sungguh suatu pertempuran yang amat menarik untuk dilihat. Gerakan-gerakan mereka cepat seperti kilat, sehingga sukar sekali diikuti oleh pandang mata biasa. Keduanya berkelebat berputar-putar saling membelit dan berpencar dalam kecepatan tinggi, hingga orang tidak bisa melihat jelas yang mana Tung hai Nung-jin dan yang mana Tong Ciak Cu-si! Keduanya berubah menjadi bayang-bayang hitam yang bergulat dengan seru.
Toat-beng jin dan gadis cantik itu terpaksa mundur beberapa langkah ke belakang. Angin pukulan kedua orang itu begitu dahsyatnya sehingga dalam radius beberapa meter di sekeliling mereka seperti sedang terjadi serangan angin puting-beliung yang bergemuruh mengerikan.
Tigapuluh jurus telah berlalu dan belum juga salah seorang di antara mereka kelihatan kalah, sehingga badai angin yang mereka timbulkan juga semakin menjadi-jadi. Keadaan taman bunga itu menjadi rusak dan porak poranda, sementara para penghuni kuil yang sudah berkumpul di tempat itu hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala saja.
Tiba tiba terdengar suara benturan yang amat keras, dan sesosok tubuh terlempar keluar dari arena pertempuran. Otomatis pertempuran itu menjadi berhenti dan badai anginpun segera lenyap pula. Toat beng-jin melangkah ke depan dengan tergesa gesa, diikuti oleh para penghuni kuil yang lain. Dengan hati tegang mereka bergegas untuk segera ingin tahu siapa yang terlempar dari arena tersebut.
Orang yang terlempar itu tampak berjungkir balik di udara sebelum menginjakkan kakinya di tanah. Meskipun begitu ketika kaki itu mendarat di atas tanah, tubuhnya masih tetap terhuyung sedikit, suatu tanda bahwa benturan tadi benar-benar menggoncangkan tubuhnya. Dan begitu muka itu menengadah kembali, semua orang menjadi lega, termasuk pula Si Kakek Tua Pencabut Nyawa Toat-beng-jin! Karena orang tersebut adalah Tung-hai Nung-jin!
"Penyu kotor bau busuk...!" umpat orang itu tak habis-habisnya. Memang tidaklah mengherankan kalau orang itu mengumpat tak habis-habisnya. la sebagai tokoh sakti yang selama ini hampir tak pernah terkalahkan, selain oleh Tunghai-tiauw (Rajawali Lautan Timur), benar-benar merasa terpukul oleh kenyataan yang ia hadapi sekarang.
Dia sungguh tidak mengira sama sekali bahwa dalam penampilannya yang pertama di atas daratan Tiongkok, ia telah menemukan seorang lawan yang amat tangguh. Lebih tangguh dari yang ia duga sebelumnya sehingga ia harus menelan pil pahit karenanya!
Ternyata dalam pertempurannya selama lebih dari tigapuluh jurus tadi, ia sungguh-sungguh dapat diibaratkan sebagai anak burung yang sedang belajar terbang, tapi sudah berani mengarungi samudra bersama kawanan burung yang lain.
Memang, bagi para penonton yang tidak dapat melihat dengan jelas jalannya pertempuran itu akan menganggap bahwa pertempuran tersebut adalah pertempuran yang seimbang. Tapi bagi dirinya sendiri yang langsung menghadapi tokoh Im-yang-kauw itu benar-benar merasa betapa ilmunya yang dibangga-banggakan itu tak mampu mengimbangi kehebatan ilmu lawan.
Dari mula mereka bergerak sudah dapat ia rasakan bahwa gerakan kaki tangannya yang selama ini ia bangga-banggakan sebagai gerak kilat yang tidak mungkin dapat dilampaui kecepatannya oleh siapapun juga, ternyata menemukan lawan yang jauh lebih cepat malah.
Tenaga saktinya yang sejak dahulu juga sangat dibangga-banggakan sebagai tenaga sakti yang jarang menemukan lawan seimbang, kini ternyata harus mengakui pula keunggulan tenaga lawannya sehingga dalam benturan yang melibatkan seluruh tenaga sakti mereka, tubuhnya terlempar keluar arena tanpa dapat dicegah Iagi.
Oleh karena itu Tung-hai Nung-jin tidak lekas-lekas menerjang lawannya kembali. Lebih dahulu ia membenahi diri serta mempersiapkan segala kemampuannya. Setelah siap barulah ia melangkah maju mendekati Tong Ciak Cu-si kembali.
Sementara itu melihat ada kesempatan untuk menolong Yang Kun, Toat-beng-jin segera beranjak mendekati tempat di mana pemuda itu tergeletak lalu menggotongnya ke pinggir. Dengan pertolongan beberapa orang anak buahnya, Toat beng-jin menotok dan mengurut tubuh Yang Kun di beberapa tempat, sehingga luka tersebut tidak menjadi semakin parah atau membahayakan.
"Nah, gotonglah pemuda ini ke kamarnya...!" orang tua itu memberi perintah kepada anak buahnya, kemudian ia sendiri kembali menonton ke arah pertempuran yang telah siap meletus lagi.
"Berhenti! Jangan kalian bawa anak itu ke mana-mana! Dia adalah tawananku! Tak seorang pun boleh membawa pergi dia." Tung-hai Nung-jin berteriak memperingatkan.
Orang-orang yang menggotong Yang Kun saling pandang dengan bingung, tak tahu apa yang mesti mereka kerjakan. Mereka memang benar-benar tidak tahu persoalan apa yang sedang mereka hadapi sebenarnya.
"Jangan hiraukan orang itu! Laksanakan perintah Lo jin-ong! Biarkanlah aku yang akan menghadapinya!” tiba tiba Tong Ciak berteriak pula tak kalah kerasnya. Dengan langkah tegap dan dada membusung tokoh sakti dari Im yang-kauw itu melangkah di antara anak buahnya dan Tung-hai Nung-jin!
"Penyu busuk berkaki pendek!" Tung hai Nung-jin menggeretakkan giginya. "Jangan buru buru berbesar hati dan besar kepala karena dapat melemparkan aku keluar arena. Pertempuran yang sesungguhnya baru akan dimulai. Bersiaplah!"
Dengan muka merah karena menahan berang, tokoh bajak laut berbadan kurus itu melepas jubah dan baju atasnya yang gemerlapan, sehingga dada yang ceking tapi terbalut oleh otot otot kenyal itu menjadi terbuka dan dapat dilihat oleh semua orang. Gulungan bajunya ia lemparkan kepada keponakannya, lalu tangannya mencabut senjata yang tadi tertutup oleh jubahnya yang lebar.
Senjata yang menyerupai mata pacul itu besarnya hanya selebar telapak tangan, gagangnyapun tampak pendek sekali. Tapi ketika Tung hai Nung-jin menarik gagang itu ke atas maka terciptalah sebuah pacul kecil bergagang panjang, karena gagang yang pendek tersebut ternyata dapat diperpanjang dan diperpendek.
"Nah penyu berkaki pendek... keluarkanlah senjatamu!" tantangnya sambil memasang kuda-kuda.
Sejak lawannya itu melepas jubah dan baju, Tong Ciak beserta para penganut Im-yang-kauw yang lain telah terbelalak keheranan. Mereka tercengang-cengang memandang ulah Tung-hai Nung-jin yang aneh tersebut, mereka seolah-olah melihat seekor banteng aduan yang sedang bersiap untuk turun ke gelanggang, dimana segala macam hiasan dan penutup badan ditanggalkan dulu sebelum masuk gelanggang aduan.
Tapi Tung-hai Nung-jin tampak serius dan tidak terlihat sama sekali kalau ia mau berolok-olok. Oleh karena itu Tong Ciak Cu-si juga meningkatkan kewaspadaannya. Tokoh Im-yang-kauw ini tak ingin terjebak karena kelalaiannya sendiri. Maka perlahan lahan tangannya diangkat dan disilangkan di depan dadanya, sementara kedua kakinya tertekuk ke depan, sehingga tubuhnya yang pendek itu hampir-hampir seperti sedang berjongkok.
"Hmm! Seranglah aku, jangan sungkan-sungkan, karena selama ini lohu tak pernah memegang senjata! Seperti yang kau katakan, seekor penyu hanya mengandalkan kekerasan tubuhnya, ia tak pernah membawa senjata untuk melawan musuhnya!"
"Penyuuu..." bajak laut itu tidak meneruskan makiannya.
"Betul! Penyu itu sekarang sedang bersiap-siap untuk menghajar seekor belut kurus yang tidak tahu diri,” Tong Ciak melanjutkan.
Kini keadaan menjadi berbalik. Kalau tadi adalah si pendek Tong Ciak yang tidak bisa mengekang kemarahannya, kini ganti Tung-hai Nung-jin yang terbakar oleh sikap yang ditunjukkan lawannya. Dengan suara menggeledek pimpinan bajak itu mengayunkan paculnya ke arah kepala Tong Ciak! "Lihat serangan!"
Pacul kecil itu terayun deras dengan disertai hembusan angin tajam, membuat rambut dan ujung pakaian Tong Ciak berkibar-kibar saking kuatnya. Tapi dengan cepat pula kuda-kuda separuh jongkok itu bergeser ke belakang tanpa menggerakkan atau merubah posisi badan sama sekali. Baru setelah mata pacul yang tajam itu menghantam tanah di depannya, tangan yang semula bersilang itu dengan cepat mematuk ke arah tangan lawan yang memegang tangkai pacul!
Gerakan tangan itu bukan main cepatnya sehingga dipandang sepintas lalu justru seperti tidak bergerak malah. Cuma anginnya saja yang bersiut keras, menandakan kalau gerakan itu ditopang oleh tenaga dalam yang tinggi. Tentu saja Tung-hai Nung-jin tak ingin lengannya dipatuk oleh jari-jari lawan, tapi untuk menarik tangannya yang memegang pacul itu terang tidak mungkin.
Sebab gerakan yang demikian terang akan kalah cepat dengan gerakan lawan, kecuali kalau tangannya melepaskan tangkai pacul itu terlebih dahulu. Tapi jika ia berbuat demikian, berarti ia akan kehilangan senjatanya. Dan hal itu sungguh sangat memalukan, masa dalam satu jurus ia harus melepaskan senjata itu.
Maka, jalan satu-satunya hanyalah menangkis jari jari itu dengan tangan kirinya yang bebas. Dan hal itu benar benar dilakukan oleh Tung-hai Nung-jin. Begitulah, dengan suara keras tangan kirinya memotong ke depan, ke arah lengan Tong Ciak yang terjulur ke ujung gagang paculnya.
“Tasssss!” Dua buah lengan yang sama-sama penuh berisi tenaga sakti berbenturan dengan amat kuatnya dan keduanya sama-sama tergetar mundur beberapa tindak. Tapi sekali lagi tampak kalau tenaga Tung hai Nung-jin masih belum dapat mengimbangi Soa-hu-sin-kang Tong Ciak Cu-si.
"Setan……!" Tung-hai Nung-jin menggeram marah. Kemudian pacul itu ia lintangkan di depan dada dan sambil memasang kuda-kuda yang amat rendah ia mengerahkan seluruh tenaga saktinya. "Hah!” Dan tiba tiba… brol! Dari seluruh pori-pori kulitnya menetes air keringat yang amat banyak. Semakin lama semakin banyak sehingga akhirnya air keringat itu mengucur menetes netes bagai air hujan yang mengalir dari atas genting! Dan begitu orang itu bergerak, maka air keringat yang berbau kecut itu berhamburan memercik ke mana-mana.
Sungguh menjijikkan! Tapi justru itulah salah satu dari keistimewaan ilmu Silat Ban-seng-kun, andalan Tung-hai Nung-jin! Jangan dikira butiran-butiran air keringat itu tidak ada gunanya. Malah butiran-butiran air keringat itulah yang sering membuat pusing lawan. Selain baunya yang kecut menjijikkan, butiran air keringat itu terlepas dari badan karena terdorong oleh sinkang yang tinggi. Maka tidaklah mengherankan apabila tetesan air keringat itu mampu melobangi baju dan kulit musuh.
Tong Ciak Cu si yang baru sekali ini melihat keanehan seperti itu segera melangkah ke samping untuk mengambil jarak, agar supaya ia punya kesempatan untuk menilai gerakan lawan apabila lawan menyerang dengan mendadak. "Hmm, jadi inilah sebabnya, mengapa ia melepas bajunya. Tapi kalau cuma soal keringat itu, aku tak perlu merasa khawatir. Toh aku punya Soa-hu-sin-kang yang mempunyai sifat menolak. Asal aku mengerahkan sin-kang itu sekuat tenaga niscaya tetesan keringat itu takkan sampai mengenai tubuhku. Yang harus aku perhatikan justru senjatanya yang aneh itu, siapa tahu ada rahasia tersembunyi didalamnya." Tong Ciak Cu-si berkata di dalam hati.
Demikianlah, kedua-duanya telah menyadari kehebatan masing-masing. Oleh karena itu masing-masing tidak mau bertindak ceroboh. Masing-masing terlalu hati hati sekali, sehingga pertempuran mereka kali ini tentulah merupakan sebuah pertempuran yang alot dan lama.
Benarlah! Begitu mereka saling gebrak, maka cara mereka menyerang maupun mengelak sedemikian hati-hatinya sehingga meskipun beberapa jurus telah berlalu, mereka tetap belum dapat melepaskan serangan yang berarti. Baru setelah pertempuran mereka menginjak pada jurus ke sepuluh, masing-masing sudah sedikit mengenal gaya pertempuran lawan, sehingga pada jurus-jurus selanjutnya pertempuran itu menjadi semakin hidup dan berbahaya.
Luncuran luncuran mata pacul yang berkelebat kesana kemari mengejar nyawa itu tampak semakin cepat dan mengerikan. Dilihat dari luar arena seperti bayangan bianglala yang saling berbelit di atas permukaan air laut. Sementara tetesan air keringat yang berhamburan dari badannya tampak gemerlapan ditimpa sinar mentari pagi.
Tapi gerakan Tong Ciak juga tidak kalah hebatnya. Meskipun tidak memakai senjata, tapi kedua pasang lengan dan kakinya yang pendek-pendek itu bergerak seperti baling-baling cepatnya sehingga sambaran pacul Tung-hai Nung-jin yang berkelebatan di kanan kirinya itu tak pernah bisa menyentuh ujung bajunya.
Begitu pula dengan percikan air keringat yang mengucur tak henti-hentinya itu, tak setetespun yang dapat mengenai kulit maupun pakaiannya. Semuanya tersapu buyar dihembus Soa-hu-sin-kang sebelum butiran-butiran air menjijikkan itu mampu mendekati tubuhnya.
Duapuluh juruspun telah berlalu lagi dan biarpun sudah memegang senjata ternyata Tung-hai Nung-jin tetap tak bisa merebut kemenangan. Semakin lama justru semakin tampak permainan paculnya banyak mengalami hambatan. Beberapa kali gerakan paculnya terputus dan terhambat oleh cegatan-cegatan tangan Tong Ciak yang menerobos cepat bagai kilat.
Bagaimanapun juga Soa-hu-sin-kang yang diciptakan oleh Kim-mou Sai-ong berdasarkan lembaran kulit domba itu masih jauh lebih tinggi mutunya dari pada Ban-seng-kun (Pukulan Selaksa Bintang) Tung-hai Nung-jin.
Toat-beng-jin dan para pengikut Im-yang kauw yang lain melihat pula keadaan yang menguntungkan bagi Kauw Cu-si mereka itu. Dengan hati tegang tapi gembira mereka menonton pertempuran tingkat tinggi yang jarang bisa mereka saksikan selama hidup. Diam-diam mereka juga semakin mantap dan bangga terhadap Im-yang-kun yang mereka pelajari, biarpun yang mereka ketahui dan mereka terima sekarang baru bagian kulitnya saja.
Sedang Toat-beng-jin yang selama ini juga telah berusaha mendalami ilmu itu menurut keyakinannya sendiri, sesekali tampak mengangguk anggukkan kepalanya pula. Orang tua itu mengagumi gerakan-gerakan Tong Ciak dalam memainkan Soa-hu lian ciang. Biarpun belum pernah melihat gerakan-gerakan itu tetapi orang tua itu seakan-akan sudah sangat mengenalnya, sebab bagaimana pun juga ilmu itu tercipta dari sumber yang sama dengan ilmunya, yaitu lagu yang tertulis padu gulungan kulit domba itu!
Begitulah, beberapa saat kemudian pertempuran itu semakin tampak berat sebelah. Meskipun bertangan kosong, ternyata sepasang tangan Tong Ciak yang gesit itu secara pasti dapat mengurung gerak pacul lawan yang ganas. Sehingga tanpa dapat dicegah lagi gerakan gerakan pacul itu semakin lama semakin ngawur dan tidak terkontrol lagi.
Pada suatu saat, ketika Tong Ciak meloncat keatas untuk menghindari serangan pacul yang menghantam ke arah kakinya, Tung-hai Nung jin memburunya dengan sabetan yang berbahaya ke arah perut. Sementara itu butiran-butiran keringat orang itu juga melesat bagai peluru-peluru kecil yang mengikuti lajunya mata pacul tersebut.
Para penonton menahan napas, begitu pula Toat-beng-jin! Serangan itu benar-benar sangat berbahaya! Sungguh tak mereka sangka, dalam keadaan terdesak orang bertubuh kurus itu mampu membalas dengan serangan yang begitu bagus. Maka dengan hati berdebar dan mata melotot mereka memandang ke arah Tong Cu-si, mereka ingin menyaksikan cara bagaimana jago mereka itu menghindarinya.
Tapi semuanya menjadi pucat ketika Tong Ciak sama sekali tidak berusaha menghindar dari sambaran pacul yang tinggal sejengkal lagi dari perutnya itu. Seolah-olah tidak sadar akan bahaya yang mengancamnya, Tong Ciak justru mengayunkan sisi telapak tangannya ke arah kepala lawan.
Sekejap orang menjadi bertanya-tanya, apa sebenarnya maksud tokoh bertubuh pendek tersebut. Benarkah dia tidak menyadari bahaya itu? Ataukah dia memang ingin mengadu jiwa? Atau ada maksud lain yang tersembunyi? Tapi sungguh janggal rasanya kalau tokoh sakti seperti dia sampai tidak tahu kalau ada bahaya yang mengancamnya.
Dan semakin janggal lagi rasanya kalau tokoh itu mempunyai kehendak untuk mengadu jiwa, toh dia sudah berada di atas angin saat itu. Oleh karena itu satu satunya kemungkinan terakhir, yaitu memang ada sesuatu maksud tersembunyi di balik segala keanehan yang dia lakukan itu.
Agaknya Tung-hai Nung jin juga berpikir demikian. Nalurinya yang telah ditempa oleh berbagai macam pengalaman merasakan pula adanya keanehan itu, sehingga mata pacul yang telah menembus pakaian lawan itu cepat-cepat ia lepaskan begitu saja. Lalu dengan tergesa ia membuang tubuhnya ke belakang untuk menghindari pukulan yang tertuju ke arah kepalanya. Kemudian dengan gerak tipu Trenggiling Turun Gunung ia menjauhi lawannya.
"Brett....." Mata pacul yang tajam itu benar-benar membabat perut Tong Ciak dengan dahsyatnya. Apalagi ketika tangan Tung-hai Nung-jin telah melepaskan pegangannya, daya luncur dari senjata itu semakin tampak menggiriskan. Dengan disertai suara kain robek senjata itu melayang jauh keluar halaman kuil, meninggalkan serpihan-serpihan kain yang berhamburan di udara.
Sementara itu, Tong Ciak Cu-si yang ternyata tidak mengalami luka sedikitpun tampak menggeliat di udara, kemudian tubuhnya meluncur turun mengejar ke arah larinya Tung-hai Nung-jin. Semua gerakan yang ia perlihatkan itu ia lakukan selama berada di udara, sedikitpun tak menyentuh tanah, sehingga Toat-beng-jin yang sedari tadi selalu mengikuti semua gerakannya menjadi melongo.
"Ohh.... sungguh-sungguh hebat! Ini… ini tentulah jurus yang tertera pada lembar kedua belas atau ketiga belas! Aku... aku sama sekali tak mengenalnya!" kakek itu bergumam dengan terbata bata.
Sesungguhnyalah, karena ingin lekas-lekas mengakhiri pertempuran itu, Tong Ciak telah mengeluarkan jurus Berasa Mabuk di Atas Awan yaitu jurus yang dipetik dari syair lagu pada lembar yang kedua belas. Itulah sebabnya Toat-beng-jin yang baru sampai pada lembar kesebelas sama sekali tidak mengenalnya.
Tung-hai Nung jin yang berguling-guling menjauh untuk menghindari serangan lawan tampaknya semakin terpojok. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk memperbaiki kedudukannya. Kedua tangan Tong Ciak seperti berubah menjadi ribuan banyaknya dan semuanya tampak mengurung dan memburu dia. Sehingga sekejap kemudian salah satu dari bayangan tangan itu dapat memasuki pertahanannya dan menghajar dadanya.
“Dukkkk!"
“Huaaaak!" Tung hai Nung jin terpental dan roboh di samping keponakannya. Dari mulutnya mengalir darah segar.
"Pamannn......" gadis cantik itu lekas-lekas berjongkok disampingnya dengan wajah pucat.
"Jangan khawatir, lukaku tidak parah! Berdirilah!” Tung-hai Nung Jin membesarkan hati keponakannya, lalu dengan tertatih tatih ia juga bangkit sambil menyeka darah yang menempel disudul bibirnya. Kemudian dengan berpegangan pada lengan gadis itu, Tung-hai Nung jin menghadapi Tong Ciak.
"Baiklah, kali ini aku mengaku kalah. Biarlah, pada lain kesempatan aku akan menemui tuan kembali....." katanya dengan meringis karena menahan sakit. "Nona Li Ing, marilah kita pergi...!"
“Bagaimana dengan potongan emas itu, paman? Nanti ayah marah....."
“Biarlah! Lain kali saja kita kembali..." Tung-hai Nung jin membalikkan tubuhnya, lalu dengan diikuti oleh keponakannya ia melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
Toat-beng-jin segera meloncat menghampiri Tong Ciak Cusi. "Hebat! Tong-hiante, kau benar-benar hebat! Eh, apakah jurusmu yang terakhir tadi adalah jurus yang kau ambil dari kulit domba itu juga?"
Tong Ciak tersenyum kemalu-maluan. "Ah, Lo-jin-ong terlalu memuji. Jurus tadi memang berasal dari lembar yang ke duabelas, yaitu dari syair lagu bait pertama baris kedua yang berbunyi Berasa mabuk di atas awan.... Tapi aku sebenarnya belum merasa puas pada gerakanku tadi. Seharusnya aku benar benar mematikan perasaan tatkala menggeliat di udara, sehingga bagaikan orang yang sedang mabuk aku benar-benar tidak mengacuhkan segala sesuatu yang berada di sekitarku. Tapi saat itu ternyata aku masih merasa takut pada ayunan cangkul Tung-hai Nung-jin, menyebabkan gerakan selanjutnya menjadi tersendat. Akibatnya, hampir saja orang itu lolos dari tanganku..."
Demikianlah, kedua tokoh Im-yang kauw itu segera memerintahkan anak buahnya untuk membenahi tempat yang rusak akibat pertempuran tadi. Kemudian sementara Toatbeng-jin ikut bekerja, Tong Ciak menaiki tangga yang menuju ke tempat patung perunggu. Dengan hormat sekali tokoh bertubuh pendek itu berlutut di depan patung.
"Kim-mou Sai-ong sucouw, terimalah hormat dari cucu muridmu. Moga-moga semua jurus Soa-hu lian-ciang yang kubawakan tadi tidak mengecewakan su-couw....,” katanya menunduk.
"Tong-hiante, marilah kita masuk kembali kedalam kuil!" terdengar suara Toat-beng-jin dari bawah.
Matahari merangkak semakin tinggi, sehingga panas yang dimuntahkan juga terasa semakin menyengat. Toat-beng-jin bersama sama Tong Ciak Cu si memasuki kamar yang dipergunakan untuk merawat Yang Kun.
"Lo-jin-ong, luka dalam pemuda ini benar benar parah sekarang. Eh, kenapa dia tadi sampai berada di halaman samping itu? Apakah ia bermaksud melarikan diri dari kuil ini?” Tong Ciak berbisik ketika telah berada di depan pembaringan Yang Kun.
Toat beng jin menghela napas dan mengangguk. "Ya... dia merasa tersinggung oleh perbuatan aku, sehingga dia bermaksud meninggalkan kuil kita. Sebenarnya aku telah meminta maaf padanya, tapi ia telah berketetapan hati untuk pergi dari sini. Dan aku tak bisa lagi menahannya. Akhirnya terjadilah peristiwa itu....”
Kedua orang tokoh Im-yang-kauw itu mengawasi Yang Kun yang masih belum siuman dari pingsannya. Tampak oleh mereka wajah pemuda itu amat pucat, pernapasannyapun tidak teratur, malah terkadang kelihatan tersengal-sengal.
"Tong-hiante, pemuda ini mempunyai watak yang keras hati. Jika kita menunggu dia siuman, kemungkinan besar kita justru tidak akan dapat mengobatinya. Dia tentu akan menolak maksud kita untuk mengobatinya. Oleh karena itu lebih baik kita berusaha mengobatinya sekarang juga. Dengan tenaga kita berdua kukira hasilnya akan lebih baik, tapi......"
Toat beng-jin menghentikan perkataannya sebentar, lalu, "Tapi kita harus berhati-hati terhadap darahnya yang mengandung racun mematikan!"
"Hah...!” Tong Cu-si terlonjak.
Toat-beng-jin tersenyum. “Tong-hiante.. ketahuilah....! Pemuda yang kita cari ini mempunyai banyak keanehan pada tubuhnya. Pertama, pemuda ini mempunyai lweekang yang sangat tinggi, melebihi Iwee-kang seorang ahli silat yang telah belajar selama seratus tahun. Kedua, tanpa ia sadari ia hapal akan isi gulungan kulit domba kita di luar kepala. Ketiga, darah yang mengalir dalam tubuhnya ternyata mengandung racun ganas. Tapi anehnya, sedikitpun ia tak terpengaruh oleh keadaan itu. Seakan-akan ia telah kebal terhadap racun, atau... agaknya ia memang beracun sejak lahir seperti halnya binatang ular dan kelabang!"
"Bagaimana Lo jin-ong mengetahui semua itu? Oh, maaf! Pikun benar aku ini....! Tentu saja dengan Lin-cui Sui-hoat (ilmu Tidur di Atas Permukaan Air), Lo-jin-ong akan mengetahui segalanya.....”
"Tong-hiante, engkau jangan beranggapan seperti itu, karena anggapan seperti itu benar benar salah sama sekali! Mahir Lin-cui Sui-hoat itu bukan berarti mengetahui segalanya. Di kemudian hari Tong-hiante akan kecewa apabila masih mempunyai anggapan demikian, apalagi jika Tong-hiante juga berniat mempelajarinya."
Tong Ciak berdiri diam tak bersuara, hanya kepalanya saja yang mengangguk angguk mendengar keterangan Toat beng jin itu.
“Sudahlah, Tong-hiante... lo-hu mengetahui semuanya tentang pemuda ini bukan karena lo-hu mahir Lin-cui Sui-hoat, tapi karena lo-hu sudah mengikutinya sejak tiga hari yang lalu, yakni dari tempat pengungsian orang-orang Hi-san-cung. Di dusun itu pemuda ini telah membunuh tiga orang pengikut Tiat-tung Kai-pang dan melukai dua orang gadis pembantu Keh-sim Siauwhiap dari Pulau Meng-to. Kemudian di dekat mata air baru yang muncul di seberang dusun Hok-cung ia melukai Hek-eng-cu pula.
"Sehingga ketika pemuda ini menyelinap ke tengah-tengah para perampok yang menduduki dusun Hok-cung, Io-hu mendahului langkahnya, menotok pingsan para penjaga yang akan dilaluinya, agar supaya tidak banyak kurban yang jatuh akibat pukulan beracunnya. Tapi tak kusangka ketika berhadapan dengan pemimpin perampok, pemuda ini justru mendapat luka yang parah malah!"
"Ohh...!" Tong Ciak terlongong-longong. Tokoh Im-yang-kauw bertubuh pendek ini memang tidak menyangka sama sekali kalau pemuda itu sedemikian hebatnya. Membunuh pengikut Tiat-tung Kai-pang, lalu melukai pembantu Keh-sim Siauw-hiap terus melukai lagi Hek-eng-cu!
Sungguh menakjubkan, padahal semuanya adalah orang-orang kuat dan telah punya nama di dunia persilatan. Terutama Keh-sim Siauwhiap dan Hek-eng-cu! Kedua buah nama yang terakhir itu adalah dua di antara tiga nama yang sangat populer dan menjadi buah bibir kaum persilatan selama lima tahun terakhir ini.
Seperti telah diketahui, sejak selesainya perang besar yang menumbangkan kekuasaan Kaisar Chin lima tahun yang lalu, di dunia persilatan muncul tiga orang jago muda yang kepandaiannya benar benar amat menakjubkan. Ketiganya malang melintang di dunia kang-ouw seperti malaikat saja karena kesaktiannya yang hebat seperti dewa, sehingga selama ini belum pernah terdengar mereka menemukan tanding.
Mereka itu adalah Hong-gi-hiap Souw Thian Hai, Keh-sim Siauw-hiap dan Hekeng cu. Ketiga buah nama ini selalu menjadi pembicaraan orang dan sangat ditakuti dimanapun mereka. Ketenaran nama mereka benar benar menghapus dan mengungguli ketenaran jago-jago tua yang selama ini hanya terdengar namanya saja, karena jago-jago tua itu tak pernah menampakkan diri mereka di dunia kang-ouw. Mereka Iebih suka menyepi di tempat pertapaannya atau mengurung diri di tempat tinggaInya yang terpencil.
"Pemuda ini telah melabrak para pembantu Keh-sim Siauwhiap dan melukai Hek-eng-cu, tapi kenapa pemimpin perampok yang menduduki desa Hok-cung bisa melukainya? Apakah pemimpin perampok itu lebih lihai dari pada Hek-eng-cu?” Tong Ciak akhirnya bertanya kepada Toat beng-jin.
"Sebab pemimpin perampok itu mempunyai seorang pengawal yang hebat!”
"Heh? Siapakah dia.....?”
"Hong-gi hiap Souw Thian Hai!"
"Hah…..?!?" Tong Ciak terperanjat.
"Entahlah, aku pun tak tahu, apakah sebabnya pendekar muda itu sampai menjadi anggota perampok." Toat beng-jin menerangkan.
"Apakah mungkin ingatannya terganggu kembali?"
"Terganggu? Eh, Tong-hiante.... apakah Tong-hiante pernah bertemu atau mengenal dia sebelumnya?"
Tong Ciak bangkit dari kursinya. Sambil memeluk dada ia melangkah berputar putar di dalam kamar. Matanya menatap langit-langit sementara ingatannya tampak melayang layang ke masa lalu. "Lo-jin-ong.... lo-jin-ong tentu belum lupa akan cerita masa laluku sebelum aku kembali diterima sebagai warga Im-yang-kauw," katanya dengan menghela napas panjang sekali. "Dahulu aku adalah seorang Kepala Pengawal Istana yang mendapat kepercayaan penuh dari Kaisar Chin Si Hong-te untuk menjaga keamanan seluruh kompleks istana beserta semua isi dan keluarga kerajaan yang berada di dalamnya. Bersama Beng Tian Goan-swe (Jendral Beng Tian) sebagai panglima balatentara kerajaan, aku dikenal sebagai Sepasang Singa dan Harimau Kerajaan," tokoh bertubuh pendek itu menghentikan lagi ceritanya, seakan-akan ingin mengenang kembali masa kejayaannya dahulu.
"Suatu saat aku mendapat perintah yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku, yaitu perintah untuk mengawal seorang tawanan penting keluar kota raja. Sebelum berangkat Baginda Kaisar memesan dengan sangat agar aku melindungi tawanan itu baik-baik, karena Baginda telah memperoleh khabar bahwa Barisan Para Pendekar yang dipimpin oleh Liu Pang (Kaisar Han sekarang) akan berusaha membebaskan tawanan itu......"
“Bukankah tawanan itu adalah Menteri Ho Ki Liong?'' Toat beng-jin menyela.
Tong Ciak terbelalak sebentar lalu mengangguk. "Benar! Nah, ternyata peringatan yang diberikan oleh Baginda itu benar benar terjadi di tengah perjalanan. Barisan kami dicegat oleh sekawanan pendekar yang dipimpin oleh murid wanita Liu Pang yang bernama Ho Pek Lian. Tapi dengan mudah para perajuritku mengalahkan mereka. Hampir saja kawanan pencegat itu tertangkap semua ketika secara tak terduga kusir kereta yang membawa tawanan kami itu memberontak dan mengamuk. Bagai orang gila kusir itu menghajar siapa saja yang berada di depannya, termasuk aku sendiri....."
Tong Ciak tidak meneruskan ceritanya, lalu matanya yang lebar itu memandang ke arah Toat-beng-jin. "Lo jin-ong tahukah Lo jin-ong.... siapakah kusir yang mengamuk itu?"
"Tentu saja Hong-gi hiap Souw Thian Hai!" Toat-beng-jin menjawab cepat.
"Eh, mengapa Lo-jin-ong dapat menerka begitu tepat?"
"Haha... hal itu bukanlah suatu teka-teki yang sulit! Dan yang terang tidak perlu menggunakan Lin-cui Sui-hoat segala. Haha... bukankah Tong-hiante hendak bercerita tentang Hong-gi-hiap Souw Thian Hai tadi? Nah, mengapa aku harus mencari jawaban yang lain.....?”
"Oh, iya! Lo jin-ong benar juga."
Kemudian kedua tokoh tinggi Im-yang-kauw itu terdiam dan tenggelam dalam arus pikiran masing masing.
“Sudahlah! Kita tak usah bersusah-susah memikirkan orang lain. Pendekar sakti seperti Souw Thian Hai, apalagi sudah terkenal dengan julukannya Hong-gi-hiap (Pendekar Gila Yang Berbudi), tentulah seorang yang mempunyai watak yang aneh-aneh." Toat beng jin akhirnya berkata. "Tentu ada maksudnya mengapa ia sampai bergabung dengan para perampok seperti itu. Seperti juga yang hiante ceritakan tadi, setiap orang juga tidak tahu apa sebabnya ia menyamar sebagai kusir kereta. Tong hiante, sekarang marilah kita lekas-lekas mengobati pemuda ini saja, nanti keburu dia siuman kembali!”
"Ah, Lo jin-ong benar....! Marilah!" Tong Ciak tergagap seperti orang yang baru saja diingatkan pada sesuatu yang sangat penting.
Demikianlah, dengan hati-hati agar mereka berdua tidak terkena racun yang berada di dalam darah Yang Kun, kedua tokoh Im-yang kauw itu berusaha mengobati luka si pemuda dengan Im-yang kang mereka. Sementara itu, tanpa mereka ketahui di luar kuil telah terjadi pula suatu keributan yang mengakibatkan beberapa orang mereka menjadi korban lagi.
Telah diceritakan sebelumnya bahwa Tung-hai Nung-jin bersama keponakannya telah pergi meninggalkan kuil dengan menanggung kekalahan yang memalukan. Tokoh bajak laut yang semula amat yakin dengan kemenangannya karena selama ini ilmunya hampir tak pernah mendapatkan lawan yang berarti, ternyata dalam langkah pertamanya di daratan Tiongkok kali ini sudah membentur batu karang yang amat keras. Tokoh dari Lautan Timur itu melangkah lemas, diikuti oleh keponakannya yang cantik tapi berwatak ganas itu.
"Kekalahan seperti itu saja mengapa mesti disesali!" tiba-tiba terdengar suara orang menegur dari pinggir jalan.
Tung-hai Nung-jin dan keponakannya cepat berbalik dengan tangan telah berada di atas tangkai senjata masing-masing. Dengan tajam mereka memandang ke arah laki-laki muda berpakaian putih-putih dan laki laki bertubuh besar berjenggot lebat yang berdiri tenang di bawah pohon siong tua di pinggir jalan. Mereka belum begitu jauh dari bangunan kuil.
"Saudara berbicara dengan kami?" Tung-hai Nung-jin menggeram menahan marah. Agaknya pengalamannya tadi membuat tokoh ini bersikap lebih hati-hati sekarang.
"Hmm, tidak keliru! Merasa tersinggung?" laki-laki yang berbaju putih menjawab seenaknya.
Gila! Tokoh bajak laut yang garang itu kini benar-benar mengumpat di dalam hati. Jantungnya seolah-olah terbakar dengan mendadak! Biasanya dialah yang selalu bersikap demikian terhadap orang lain. Sungguh tidak ia sangka kekalahan yang dideritanya tadi seakan-akan menjadi titik tolak dari keruntuhannya, sehingga semua orang seperti meremehkan dirinya.
"Kau memang bosan hidup!" teriaknya keras menyertai paculnya yang melayang ke depan ke arah muka lawan.
"Pamannn....!” keponakannya berusaha mencegah, tapi mana mau orang yang sedang marah itu berhenti?
"Hahaha.... gadis cantik, jangan khawatir. Pamanmu yang sudah lemah ini tidak akan kubunuh, asalkan…" laki-laki berbaju putih yang tidak lain adalah Song-bun kwi Kwa Sun Tek itu tidak meneruskan kata-katanya.
"Bangsat! Laki-laki ceriwis! Kau ingin berlaku kurang ajar kepadaku?" gadis cantik itu melotot. ''Jangan bermimpi! Kipas besiku ini akan mengirim nyawamu ke alam baka...."
"Hahaha.... Wan-locianpwe, lihatlah gadis ini! Sungguh cantik dan garang! Sayang kita sedang mengemban tugas dari Ong-ya, kalau tidak.... wah,, enak juga rasanya bermain-main dengan nona yang begini cantik." Song-bun-kwi berseru sambil mengelak dari sambaran pacul.
"Ah, Kwa sicu ini sungguh suka sekali bergurau. Mana mau gadis demikian manisnya bergaul dengan orang tua seperti aku? Kalau aku sih lebih suka meminta potongan emas yang disimpan oleh pamannya itu, hehe…..”
"Tentu saja, Wan-locianpwe! Kita ke sini kan juga untuk benda tersebut."
Pacul Tung hai Nung jin menyambar-nyambar bagai elang mencuri mangsa, meski begitu Song-bun kwi tampak masih enak-enakan. Laki-laki muda berbaju putih itu mengelak kesana kemari sambil mengobrol, seakan serangan lawannya yang bertubi-tubi itu tak berbahaya sama sekali baginya. Baru setelah mata pacul yang tajam itu menggores lengan bajunya hingga sobek, Song bun-kwi terkejut.
"Huh! Tak kusangka engkau mempunyai kepandaian juga barang sedikit. Tak heran tokoh Im-yang-kauw yang berbadan pendek tadi mengalami kesukaran untuk menundukkanmu."
Song bun-kwi menggeram pelan sambil mengamat amati lengan bajunya yang sobek. "Tetapi hati-hatilah, kini engkau berhadapan dengan orang Tai-bong-pai. Sekali saja engkau salah langkah, maka nyawalah taruhannya...!"
"Cuh!” Tung-hai Nung-jin meludah, untuk menunjukkan kepada lawan bahwa dia juga tidak merasa gemetar atau takut sedikitpun. Baju luarnya yang longgar itu ia lepaskan perlahan-lahan.
"Paman, kau baru saja terluka." gadis cantik itu sekali lagi menahan tangannya. "Biarlah keponakanmu saja yang menghadapinya...”
"Li Ing, kau minggirlah! Kau lihat saja pamanmu…..!”
Melihat lawannya telah melepaskan bajunya, Song bun-kwi tidak berani bermain-main pula. Tadi secara sembunyi sembunyi telah ia saksikan kepandaian orang itu ketika melawan tokoh Im-yang-kauw yang bernama Tong Ciak. Maka iapun segera melepaskan ikat pinggang yang melilit perutnya. Sebuah ikat pinggang yang terbuat dari kulit ular yang ulet, di mana pada ujungnya dipasangi alat pengikat yang terbuat dari besi baja!
Dan sesaat kemudian pagi yang indah itu telah diributkan pula dengan suara pertempuran mereka yang sangat seru. Masing-masing menampilkan kepandaian mereka yang hebat dan dahsyat. Seperti ketika melawan Tong Ciak Cu-si, Tung-hai Nung-jin mengayun paculnya dalam ilmu Ban-seng-kun yang luar biasa itu. Senjata panjang itu berkelebat cepat di udara dan bergerak gesit di segala tempat, sehingga dari jauh seperti bintang berekor yang beralih tempat dari sudut ke sudut langit.
Sedang Song bun-kwi Kwa Sun Tek juga bersilat dengan tidak kalah garangnya. Ikat pinggang kecil yang lemas itu dalam tangannya menjadi senjata pembunuh yang amat mengerikan. Alat pengikat yang terbuat dari besi baja itu tampak menyambar nyambar ganas disertai suara mengaung yang menggiriskan. Jangankan hanya manusia yang terdiri dari kulit dan daging, sedang batu karang yang keraspun hancur tersabet oleh ikat pinggang itu.
Pertempuran itu berlangsung dengan dahsyatnya sehingga debu di sekitar mereka menjadi berhamburan, mengepul tinggi di udara, membuat kaget beberapa orang pengikut Imyang-kauw yang mau pergi ke sungai untuk mencari air. Dengan tergesa-gesa empat orang Im yang-kauw berlari ke tempat pertempuran. Masing-masing menyiapkan tongkat pemikul airnya, kalau-kalau diperlukan nanti.
"Hei! Hei! Berhenti! Jangan berkelahi di tempat suci ini.....!" teriak mereka beramai-ramai.
Tapi pertempuran itu mana mungkin dapat dihentikan lagi sebelum salah seorang dari mereka terkalahkan. Masing-masing tentu tidak mau menarik diri dan menghentikan serangannya, karena hal itu berarti memberi kesempatan kepada lawan untuk menyerang dirinya secara mudah.
"Hahaha.... sudahlah! Biarkanlah mereka bertempur sampai selesai!" orang yang dipanggil dengan nama Wan-locianpwe itu tertawa.
“Tapi tempat ini adalah tempat suci dan masih termasuk wilayah kuil kami....." salah seorang penganut Im yangkauw itu menerangkan.
“Ah, kalian lebih baik melihat saja di sini bersama aku...! Jangan membuat jengkel kami!” Wan locianpwe mengerutkan keningnya.
"Kurang ajar! Kalian ini memang orang-orang liar yang tak tahu kesopanan!" kata pengikut Im-yang-kauw itu. Tongkat yang dipegangnya meluncur deras ke arah pertempuran, maksudnya untuk memisahkan kedua jago yang sedang berkelahi itu.
"Hei! Telah kukatakan tadi, jangan ganggu mereka! Mengapa kalian tetap tidak mau mengindahkan perkataanku itu?" orang she Wan yang datang bersama dengan Song-bunkwi itu berseru marah. Lengannya yang besar dan berbulu lebat itu memukul dengan tangan terbuka ke arah tongkat yang meluncur. Terdengar suara hembusan angin yang kuat, yang meluncur keluar dari telapak tangan yang terbuka itu. Dan di Iain saat terdengar suara letupan kecil yang mengakibatkan patahnya batang tongkat itu menjadi beberapa bagian.
"Krek! Krakk!"
Pelempar tongkat itu dan teman temannya melongo menyaksikan hebatnya pukulan lawan. Orang bertubuh besar itu hampir tidak menggerakkan kakinya dan jarak antara dia dengan tongkat itu masih terpaut sekitar sepuluh langkah, tapi hawa pukulannya ternyata sudah mampu mematahkan tongkat pemikul air. Maka dapat dibayangkan betapa tingginya ilmu silat orang itu.
Tetapi mengingat mereka masih berada di kandang sendiri, apalagi terdiri dari banyak orang, maka keempat orang Imyang kauw itu segera menghapus rasa ketakutan di hati mereka. Dengan garang salah seorang dari mereka melangkah maju.
"Kurang ajar! Bagaimanapun hebatnya kepandaianmu, tapi sekarang kau sedang berada di wilayah kami. Kau tidak dapat bertindak sesuka hatimu sendiri. Nah, sekarang hentikan pertempuran mereka! Kalau tidak kami akan bertindak sesuai dengan peraturan yang berlaku di sini."
"Hmmh!” orang she Wan itu menggeram semakin marah. "Orang bermata buta! Meski pun kini aku sedang berada di wilayah kalian, tetapi kalian juga harus tahu siapa pula aku ini...!"
“Kami tidak peduli pada siapa pun...!”
"Kalian sama sekali juga tidak peduli kalau aku dan kawanku itu orang Bing-kauw?" orang bertubuh besar itu mulai memasang aksi.
Benar juga. Ucapan orang itu yang mengaku sebagai anggota Aliran Bing-kauw, benar-benar mengejutkan empat orang Im yang-kauw tersebut. Peristiwa menyedihkan yang mengakibatkan matinya salah seorang dari kawan mereka pada hari kemarin masih sangat membekas di dalam hati mereka. Untung pada saat itu secara kebetulan Toat-beng jin segera tiba di kuil mereka, sehingga luapan kemarahan mereka dapat segera dibendung oleh pemimpin mereka itu. Coba kalau tidak, mungkin mereka telah pergi meluruk ke pusat perkumpulan Aliran Bing kauw dan mengamuk di sana.
Kini secara tiba-tiba ada orang yang bersikap sombong yang mengaku sebagai anggota Aliran Bing-kauw di depan mereka, maka dari itu tidak heran kalau kemarahan mereka tiba-tiba saja juga meledak tanpa dapat dikendalikan lagi. Hampir berbareng keempat orang tersebut melesat menerkam ke arah laki laki yang mengaku sebagai orang Bing-kauw tersebut.
"Bangsat! Kemarin kawanmu sudah berani membunuh pimpinan kuil kami, sekarang kalian masih berani berkeliaran di s ini. Lihat serangan!"
"Hahahe..... kerucuk-kerucuk (orang dari tingkat rendahan) macam kalian ini masih juga berani berlagak di depanku...”
Sungguh mengagumkan sekali gerakan orang yang bertubuh besar itu. Demikian berat badannya tapi gerakannya ternyata gesit sekali. Sekali menjejakkan kaki tubuh yang sebesar gajah itu melesat ke atas, melampaui kepala lawan-lawannya, lalu dengan enteng serta tidak mengeluarkan suara kakinya mendarat di belakang para penyerangnya. Kemudian dari tempat itu ia membalas serangan lawan dengan jari jarinya yang terbuka seperti tadi.
"Wuuuuuuus…..”
Keempat orang Im-yang kauw terkejut setengah mati, mereka tidak mengira kalau gerakan lawan begitu enteng dan gesit. Oleh karena itu mereka menjadi kelabakan begitu musuh telah berada di-belakang mereka dan kini justru sudah mengirim pukulan jarinya yang menggiriskan itu. Dan kelalaian mereka ini sungguh mencelakakan diri mereka. Tak ada kesempatan lagi bagi mereka untuk mengelakkannya.
Orang itu hanya berjarak kurang lima langkah dari tempat mereka berdiri, sedang batang tongkat yang berjarak sepuluh langkahpun telah hancur dilanda pukulan orang itu. Satu-satunya jalan hanya mengerahkan tenaga sakti mereka masing-masing untuk bertahan.
"Hah! Sss,… ouughhh..!" Jari jari orang she Wan itu tidak sampai menyentuh punggung lawannya, tapi keempat orang lm-yang-kauw itu merasa seperti disodok oleh benda tumpul yang amat keras, sehingga pemusatan tenaga mereka menjadi buyar dan tersungkur ke depan tak berdaya.
Blukk!! Tak ampun lagi mereka berempat terjerembab ke atas tanah dan tak bisa bangun kembali. Dari mata, telinga, hidung dan mulut mereka mengeluarkan darah. Hanya seorang saja yang agaknya masih diberi kesempatan untuk hidup oleh orang yang mengaku datang dari Bing kauw tersebut.
"Ohh.... kau... kau berani membunuh kami.....?" orang yang masih bernapas itu merintih.
"Hahaha…. mengapa tidak berani? Tak seorangpun yang kami takuti didunia ini, apalagi seperti kalian...! Bukankah kedua orangku kemarin telah datang pula ke tempat ini untuk mengobrak-abrik kuilmu? Haha, kini kau pun masih kuberi kesempatan untuk melaporkan kejadian ini. Nah, pergilah!”
"Baiklah....! Kau... kau jangan pergi dahulu! Kebetulan Lo.... Lo-jin-ong..... ada di...sini, kalian akan tahu rasa,.. nanti! Ough....!?!" dengan lemah orang itu merangkak pulang ke kuilnya.
“Hahahaha..... kau laporkan kepada setan manapun aku tidak peduli. Kepada Lo jin-ong atau kepada Siauw jin-ong, terserah... ha ha…!'' orang she Wan itu tertawa gelak-gelak.
Sementara itu pertempuran antara Tung-hai Nung-jin dengan Song-bun-kwi sudah mencapai titik puncaknya. Kedua tokoh silat berkepandaian tinggi itu telah mengeluarkan segala macam ilmu silat andalan mereka. Masing-masing telah mengeluarkan semua kemampuannya, karena masing-masing juga tahu bahwa lawan yang mereka hadapi kali ini benar-benar bukan lawan sembarangan.
Sayang karena Tung-hai Nung-jin sudah mengalami luka terlebih dahulu, maka lambat laun tenaganya mulai terganggu. Pada setiap benturan tenaga yang terjadi, rasanya luka yang dideritanya tampak semakin bertambah parah. Keadaan itu dilihat pula oleh Tiauw Li Ing, keponakan Tung hai Nung jin yang berwajah molek tapi berwatak sadis itu. Dengan cepat gadis itu menyembuyikan sepasang kipas besinya di balik ujung lengan bajunya yang lebar, lalu perlahan-lahan ia melangkah mendekati pertempuran.
"Dukkk!” Kedua buah lengan mereka kembali saling beradu di udara, dan sekali ini Tung-hai Nung-jin tampak terhuyung-huyung mau jatuh. Wajahnya kelihatan pucat sekali. Dan meskipun keringat maut yang keluar dari tubuhnya masih saja mengalir dengan derasnya, tapi warna keringat itu telah berubah menjadi kemerahan.
“Phang su-siok (paman Phang).....!" Li lng berlari mendekati.
"Gila! Setan! Ilmu orang ini benar-benar tidak boleh dipandang enteng. Perguruan Tai bong-pai memang hebat! Sayang aku sudah terluka lebih dahulu, kalau tidak... huh jangan harap Pukulan Pengisap Darahnya dapat melukai diriku!" katanya sambil melepaskan tangan Tiauw Li Ing yang memegang lengannya. "Li Ing, kau minggirlah!”
“Paman, lukamu...."
"Ha-ha ha ha.... asal kalian berikan potongan emas itu kepada kami, kami akan mengampuni nyawamu," sekali lagi orang she Wan itu tertawa gelak-gelak.
"Bangsat busuk majulah kalian berbareng, Tung-hai Nung-jin tidak akan mundur selangkahpun! Dan... dengarlah, aku tidak akan menyerahkan benda itu kepada kalian! Cuh!!" Tung hai Nung-jin tak mau kalah teriak. Kemudian tanpa memberi peringatan lagi paculnya menyambar ke depan dengan dahsyatnya.
Tapi Song-bun-kwi juga telah bersiap-siap sejak tadi. Maka begitu terlihat olehnya tangkai pacul itu bergerak ke arahnya, iapun segera melejit ke samping dengan gesitnya. Dan sebelum lawannya menyusuli lagi serangannya, putera ketua Tai-bong-pai itu telah mengubah cara bersilatnya.
Kalau semula tokoh Tai-bong pai itu bersilat dengan gerakan-gerakan yang kuat dan mantap, kali ini gerakannya berubah menjadi sebaliknya. Tubuhnya yang berdiri tegak itu bergerak kaku seperti boneka wayang di atas panggung, kadang-kadang malah bergoyang-goyang seperti mau jatuh terjerembab ke atas tanah.
Ilmu silat Tung-hai Nung-jin sendiri adalah ilmu silat yang aneh dan mengerikan, tapi melihat ilmu silat Song-bun-kwi, tokoh bajak laut itu tetap saja merasa seram di dalam hatinya. Dengan dahi berkerut jago dari Lautan Timur itu mengamat-amati ilmu silat Song-bun kwi tanpa berkedip "Hiiiiii...."
Tiba-tiba tubuh yang bergerak kaku itu meluncur ke arah Tung hai Nung jin dengan kepala terlebih dahulu. Tentu saja gerakan yang mendadak ini benar-benar sangat mengejutkan tokoh bajak laut tersebut. Apalagi serangan dengan kepala seperti itu benar-benar amat aneh dan baru kali ini dilihatnya. Selain terasa aneh rasanya juga membingungkan pula!
Tapi Jago silat dari Lautan Timur itu tak mempunyai banyak waktu untuk menduga-duga maksud gerakan lawan, karena sekejap kemudian serangan itu telah berada di depan matanya. Otomatis pacuI yang telah siap di atas kepala itu diayun ke depan untuk menghantam kepala yang meluncur datang.
"Wuut!" pacul itu membelah udara dengan derasnya. "Duukk!" pacul tersebut menghantam dengan kuat sekali! Tetapi bukan kepala lawan yang terkena mata pacul, melainkan tanah yang berada di depan Tung hai Nung-jin sendiri.
"Gila!" Tung-hai Nung-jin mengumpat. Matanya nyalang mencari kepala lawan yang lenyap secara mendadak.
"Hi-hi-hi.... jangan bingung! Aku ada disini!” tiba-tiba terdengar suara Song-bun-kwi di belakangnya.
Tanpa menoleh lagi Tung-hai Nung-jin menyabetkan paculnya ke belakang. Tapi sekali lagi pacul itu menemui tempat kosong, karena lawannya dengan sigap telah menjatuhkan diri dengan terlentang di atas tanah seperti sesosok mayat yang terkapar di pekuburan! Sekali lagi Tung-hai Nung-jin terperanjat menyaksikan keanehan dan kehebatan ilmu lawan. Kembali paculnya menghantam ke arah tubuh yang tergeletak kaku tersebut.
"Dukk!" Tubuh itu menggelinding ke kanan dengan cepat sehingga sekali lagi pacul itu menghantam tanah. Debu berhamburan menggelapkan udara di sekitar tempat itu. Dan di lain saat, sebelum asap debu itu lenyap disapu angin, tiba-tiba terdengar suara teriakan Tung-hai Nung-jin yang menyayat hati.
"Aaaaaaaa.......!"
“Phang su-siok.....!" Tiauw Li Ing melesat kedepan menyongsong tubuh pamannya.
"Li Ing..... lukaku benar parah sekarang! Sayang benda itu terpaksa harus kita berikan…" Tung-hai Nung-jin menatap keponakannya dengan terengah-engah. Tangannya merogoh dan mengeluarkan potongan emas dari saku celananya. "Nih! Kau…. Kau berikan kepadanya...!"
“Tidak! Biarlah aku yang menghadapinya sekarang!" gadis itu berkata tegas. Perlahan-lahan kepala pamannya ia letakkan di atas rumput.
Tapi Tung-hai Nung-jin lekas-lekas menyambar lengan gadis itu. "Li Ing, kau jangan terlalu sembrono! Dia bukan lawanmu, apalagi dia masih ada kawannya. Biarlah kita mengalah saja hari ini. Lain kali kita datang lagi dengan ayahmu beserta seluruh kekuatan kita....heh heh..."
"Tapi..." gadis itu masih penasaran.
"Sudahlah! Berikanlah saja benda ini….!"
"Hahaha.... bagus, pamanmu itu memang benar. Mari, berikan benda itu kepada kami! Dan... kami akan menepati janji, kalian boleh pergi dengan bebas!" Song-bun-kwi yang hamper tidak pernah tertawa itu ikut membujuk.
Gadis itu berdiri termangu mangu sambil memegang potongan emas itu erat-erat. Barulah sesaat kemudian kepalanya yang molek itu mengangguk. "Baiklah! Kuberikan benda ini kepadamu. Tapi ingat! Sebulan lagi kami akan mencari kalian untuk mengambilnya kembali!"
Dengan sebat gadis itu melemparkan potongan emas tersebut ke batu karang yang berada di depannya. Kraash! Potongan emas yang lunak itu menancap ke batu karang dengan kuatnya. "Ambillah......!" geramnya.
"Wan Locianpwe, kita harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini pula. Jangan sampai siasat yang kita lakukan ini keburu ketahuan orang-orang Im-yang-kauw.” Song bun-kwi mengajak kawannya, setelah kedua korbannya tadi lenyap dari pandangan mereka. Dengan tangkas tubuhnya yang kurus itu melesat menghampiri batu karang. Lalu mencabut potongan emas yang tertancap di sana dengan dua buah jarinya saja.
"Hahaha… Ong-ya kita benar-benar beruntung, tanpa diduga telah memperoleh dua buah potongan emas yang berisi peta tempat penyimpanan harta karun. Agaknya perjuangan kita kali ini memang benar-benar akan berhasil!"
"Tentu saja, Kwa-hiante! Hahaha.... marilah kita segera pergi dari sini! Sebentar lagi para penghuni kuil itu tentu akan berdatangan kemari, dan pemuda bekas majikanku itu bisa menggagalkan rencana kita kalau dia melihat serta mengenalku nanti."
"Ah, dia tentu berbaring saja di tempat tidurnya. Bukankah ia telah terluka parah oleh pukulan Tung-hai Nung-jin tadi? Nah, sudahlah... marilah ouugh, aduuhh...!" tiba-tiba Song bun-kwi berteriak tinggi sambil membanting potongan emas yang dipegangnya.
"Kwa sicu, ada apakah...?” kawannya tersentak kaget.
"Setan busuk iblis kuntianak…..!" Song-bun-kwi mengumpat-umpat dengan kasar sekali. Tangannya dengan cekatan mengambil pisau, lalu memotong kedua buah jarinya yang tadi memegang potongan emas itu.
Dengan mata melotot orang she Wan itu melihat potongan jari kawannya yang jatuh di atas tanah. Potongan jari tersebut warnanya sudah berubah menjadi kebiru-biruan, sedang tulang yang berada di dalamnya sudah remuk bagai tepung.
"Gila! Racun apa pula itu?" katanya serak, "Wan Locianpwe. lihat....! Hampir saja tulang-tulangku remuk menjadi tepung kalau aku tidak cepat cepat memotong jari tanganku! Sungguh ganas sekali gadis itu!" Song-bun-kwi menggerutu sambil membalut lukanya. Beberapa kali ia mengamati-amati jari tangan kanannya yang kini tinggal tiga buah jari saja.
"Sudahlah, Kwa-sicu…. Kau tak usah terlalu menyesali jari tanganmu itu. Anggap saja sebagai pengorbanan terhadap perjuangan kita. Lihat! Jari-jari tangankupun sudah tidak utuh pula lagi! Semuanya kukorbankan demi suksesnya sandiwara yang diperintahkan oleh ongya kita, yaitu untuk memancing pengakuan dari mulut Chin Yang Kun tentang Cap Kerajaan itu. Ah... Kwa-sicu, engkau tentu belum melupakan peristiwa yang terjadi di gedung Si Ciangkun setahun yang lalu, bukan? Yaitu ketika pertemuan kita itu diketahui oleh pasukan pemerintah, sehingga kita lalu dikepung oleh Yap Tai-ciangkun?"
"Wan Lo-cianpwe memang benar,.,! Marilah kita segera meninggalkan tempat ini!" Song-bun-kwi mengiyakan. Lalu dengan saputangan diambilnya potongan emas yang ia banting tadi. Dan sekejap kemudian mereka telah lenyap diantara rimbunnya pepohonan yang tumbuh di lereng bukit tersebut.
Sementara itu kedatangan orang Im-yang-kauw yang terluka parah itu sungguh-sungguh sangat mengagetkan semua penghuni kuil lainnya. Orang-orang yang kebetulan berada di pendapa segera berlarian menolong dan mengangkatnya masuk. Beberapa orang diantara mereka segera berlari ke dalam, melaporkan hal itu kepada Toatbeng-jin dan Tong Cu-si.
Kedua tokoh Im yang-kauw yang baru saja selesai mengobati Chin Yang Kun itu bergegas pula mengikuti anak buahnya, setelah lebih dahulu menyuruh salah seorang untuk menunggu Yang Kun. Dengan berlari lari kecil mereka melintasi halaman tengah lalu meloncat ke pendapa di mana orang yang terluka parah itu dibaringkan.
Salah seorang yang berada di tempat itu segera memberi laporan, bagaimana mereka melihat dan menolong kawan mereka yang terluka itu serta membawanya ke pendapa. Sayang karena lukanya amat parah, sampai kini orang itu belum bisa memberi keterangan apa apa.
Sambil mengangguk-angguk Toat beng-jin dan Tong Ciak Cu-si memeriksa luka yang diderita oleh anak buahnya tersebut. Begitu selesai keduanya tampak saling memandang dengan dahi berkerut.
“Lagi... lagi korban pukulan tenaga sakti yang ampuh..." Tong Ciak Cu si bergumam.
“Benar... semacam Pek-khong-ciang (Pukulan Udara Kosong),"
Toat beng-jin mengangguk. "Hanya, entah tokoh sakti mana yang telah berbuat ini?”
Maka begitu orang itu dapat membuka kembali matanya dan dapat diajak berbicara kembali, Toat beng jin bergegas menanyakan seluruh persoalannya. Dan meskipun dengan tersendat-sendat orang itu akhirnya bisa juga menceriterakan semua kejadian yang telah ia alami bersama ketiga kawannya.
"Kurang ajar! Biarlah aku yang pergi ke sana untuk melabrak mereka!" tiba-tiba Tong Ciak melesat keluar pendapa dan berlari menuruni bukit.
"Tong-hiante tunggu.....!" Toat-beng-jin melesat keluar pula. "Kita berangkat ke tempat itu bersama-sama......!"
Bagaikan sepasang burung walet yang sedang mandi cahaya matahari pagi, kedua jago Im-yang-kauw tingkat atas itu berkejaran, menuruni lereng dan jurang yang curam dengan ginkang mereka yang hebat. Mereka sengaja mengambil jalan memintas sekalipun daerah yang mereka lalui sangat terjal dan berbahaya.
Tapi tempat itu telah sepi. Tak seorangpun yang tampak di sana selain ketiga sosok mayat dari anak buah mereka yang mati itu. Mereka memang melihat bekas-bekas dari pertempuran tersebut, tapi orangnya sudah tidak tampak lagi di sana.
"Iblis pengecut!" Tong Ciak Cu-si memaki dengan hati kesal.
“Tong-hiante... sudahlah! Mari kita urus mayat mayat kawan kita ini dahulu!"
"Sebentar, Lo jin-ong...! Belum puas rasanya kalau belum menemukan orang itu!" Tong Ciak menyahut penasaran, lalu tubuhnya yang pendek itu melesat lagi ke depan dan menghilang di balik rimbunnya daun.
Toat beng-jin hanya mengawasi saja kepergian kawannya dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tong Cu-si ini memang bersemangat sekali! Agaknya dia benar-benar merasa penasaran dan marah..."
Sambil menyeret dan mengumpulkan mayat-mayat itu, Toat-beng-jin mengamat-amati bekas-bekas pertempuran di sekitarnya. Tampak oleh orang tua itu bekas-bekas sepatu yang melesak dalam ke dalam tanah, suatu tanda bahwa lwee-kang dari orang orang yang bertempur tadi sangatlah tingginya. Selain itu tampak beberapa bongkah batu karang yang pecah atau terbelah akibat gempuran senjata. Begitu pula semak-semak dan tanaman yang tumbuh di tempat itu, semuanya rusak, seperti baru saja dilanda angin topan yang maha dahsyat.
"Huh, kurang ajar benar!" terdengar suara umpatan. Dan sesaat kemudian bayangan Tong Ciak Cu-si telah berkelebat tiba.
''Ketemu?" Toat-beng-jin menyapa.
Tong Ciak mengepalkan tinjunya kuat kuat, sehingga buku-buku tangannya mengeluarkan suara gemeretak. "Tidak! Pengecut-pengecut itu telah melarikan diri...!" ia menggeram dan menggeleng keras keras. "Lo jin-ong, menurut pendapat Lo-jin-ong.... apakah mereka sungguh-sungguh orang Bing kauw?"
Toat-beng jin berdiri tegak. Matanya yang hampir tertutup oleh alis yang berjurai panjang keputihan itu, menatap ke puncak bukit dengan pandang mata kosong. Lalu dengan diikuti oleh tarikan napasnya yang berat orang tua itu menjawab pelan.
"Entahlah! Aku tidak bisa menerkanya. Hanya dalam hati aku merasa bahwa kita harus berhati-hati dan tidak boleh gegabah dalam mengurus persoalan ini.”
"Lalu... bagaimana kita akan menyelesaikan persoalan yang semakin meruncing ini? Belum juga orang kita yang terbunuh kemarin dimakamkan, sekarang orang. Bing kauw telah membunuh lagi."
Toat-beng-jin kelihatan resah juga hatinya. Beberapa kali ia mengusap-usap jenggotnya yang panjang. "Menurut penuturan orang kita yang terluka parah itu, lawan dari Tung-hai Nung-jin adalah seorang yang bertubuh kurus dan berpakaian putih-putih. Sedangkan orang yang melukai dia dan membunuh kawan-kawannya adalah seorang laki-laki tinggi besar berbulu lebat pada lengan dan dadanya. Hmmm.... Tong-hiante, pernahkah engkau mendengar atau melihat tokoh Bing kauw yang berperawakan seperti itu?"
Tong Ciak mengerutkan dahinya untuk mengingat-ingat, tapi rasa-rasanya ia memang belum pernah melihat tokoh Bing-kauw yang mempunyai ciri badan seperti itu. "Aku belum pernah berkenalan dengan tokoh tokoh Bing kauw sampai sekarang," jawabnya pelan. "Meskipun begitu selama ini rasanya aku belum pernah mendengar seorang tokoh Bing kauw yang mempunyai ciri demikian. Tapi....?"
"Tapi..... apa, Tong-hiante?"
"Tapi siapa tahu orang itu baru saja masuk menjadi anggota Aliran Bing kauw dan menjadi tokoh baru di sana?"
Toat-beng jin membanting pandangannya ke tanah. Dengan lesu ia mengangguk-angguk. "Mungkin juga! Orang aneh seperti Put ceng-li Lo-jin memang sukar diduga maksud dan perbuatannya. Apalagi ia seorang tokoh yang tidak pernah mengindahkan segala peraturan umum….”
"Memang benar." Tong Ciak mengangguk pula membenarkan. "Orang tua itu memang selalu melakukan perbuatan yang berlawanan dengan adat-istiadat umum. Berita terakhir yang aku dengar, kakek yang sudah mau masuk ke liang kubur itu kini kawin lagi dengan seorang gadis remaja dan mempunyai seorang anak.”
Toat-beng jin tersenyum geli, sehingga matanya yang sipit itu semakin hilang tersembunyi dalam kerumunan bulu mata dan alisnya yang lebat. "Kalau aku tak salah umur Put-ceng li Lo jin itu sembabat dengan umurku. Tapi kemauan manusia memang tidak sama satu sama lain dan umur bukanlah merupakan ukurannya!" orang tua itu memberi komentar.
“Lo jin-ong.....! Tong Cu-si......!" dari jauh tiba-tiba terdengar suara anak buah mereka yang ikut pula mengejar ke tempat itu.
"Oh, mereka telah datang! Sungguh kebetulan, biarlah mereka membawa mayat mayat ini ke kuil...." Toat beng-jin berdesah lega. Kemudian mereka berdua segera meninggalkan tempat itu, setelah lebih dahulu menyongsong kedatangan orang-orang tersebut.
"Kami tidak mendapatkan lagi pembunuh-pembunuh itu di tempat ini. Mereka telah pergi melarikan diri. Kami hanya menemukan mayat-mayat kawan kita. Nah, bawalah pulang mayat-mayat itu! Kami akan berangkat lebih dahulu.”
Demikianlah, Toat-beng-jin dan Tong Ciak merundingkan persoalan yang menimpa perkumpulan agama mereka bersama sama. Apa yang harus mereka lakukan dan mereka tempuh sehubungan dengan musibah yang menimpa kuil cabang mereka di Bukit Delapan Dewa tersebut!
"Tong-hiante! Baiklah, semuanya ternyata masih sangat gelap bagi kita. Oleh karena itu kita lebih baik pulang ke Gedung Pusat terlebih dahulu dan mengadakan musyawarah dengan Tai-si-ong dan para Penasehat Agama yang lain......”
Tokoh bertubuh pendek itu tampak kecewa bukan main. Sebenarnya ia bermaksud untuk secara langsung menemui Put ceng-li Lo-jin dan menanyakan tentang persoalan itu kepadanya. Tapi karena Toat-beng-jin telah memutuskan demikian, ia sebagai orang yang mempunyai kedudukan lebih rendah terpaksa harus menurut.
Dalam Aliran Im-yang-kauw, jabatan Lojin-ong (Ketua Agama Yang Sangat Dihormati) yang kini diduduki oleh Toat beng-jin, adalah jabatan yang paling tinggi dan paling disegani oleh semua pengikutnya. Sebab dengan kedudukan itu Toat beng-jin berhak menghukum siapa saja dari para anggota Im-yang-kauw yang dirasakan bersalah. Itulah sebabnya mengapa di dunia persilatan Toat beng-jin dikenali sebagai Algojo dari Aliran im-yang-kauw!
"Lalu bagaimana dengan sepasang remaja yang sedang kita rawat lukanya itu?" akhirnya tokoh yang bertubuh pendek itu bertanya kepada Toat-beng-jin.
"Yaaahh.... oleh karena kita belum selesai secara menyeluruh dalam mengobati mereka, kita terpaksa harus membawanya pula. Bagaimana pendapat Tong-hiante?"
"Ah, saya sih hanya menurut perintah Lo jin-ong saja...”
"Baiklah kalau begitu. Hari ini dan malam nanti kita beristirahat! Besok pagi kita pulang kembali ke Gedung Pusat!” Toat-beng-jin berkata tegas.
'"Dan.... mayat-mayat anggota kita itu?”
"Kita pasrahkan saja kepada mereka sendiri untuk mengurusnya."
Mereka berdua lalu pergi ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Mereka bersila dan bersemadi untuk memulihkan kekuatan mereka, agar tenaga mereka menjadi segar kembali.
Ketika matahari telah terbenam dan bulan yang penuh itu menggantikannya di angkasa. Yang Kun merasa bahwa lukanya telah menjadi ringan. Perlahan-lahan pemuda itu turun dari pembaringannya. Dibukanya jendela kamarnya, sehingga sinar bulan yang terang benderang itu menyegarkan isi kamarnya dan melapangkan seluruh urat urat di dadanya.
"Uuuuuhhh.... betapa segarnya! Agaknya lukaku sudah menjadi baik kembali!" desaknya lega. Ketika pemuda itu membuka pintu dan bermaksud keluar, seorang penjaga yang berdiri tak jauh dari kamarnya segera menghampiri.
"Saudara Yang. Tong Cu si berpesan bahwa kau belum boleh pergi ke mana-mana, sebab luka itu masih harus diobati dua tiga kali lagi......" katanya halus.
"Hah, sekarang kau tidak memanggilku dengan Lo-jin-ong lagi!" pemuda itu berkata di dalam hati. Oleh karena itu ia menjawab dengan tersenyum pula. "Jangan khawatir! Aku tidak akan pergi terlalu jauh dari kamarku. Aku hanya ingin menikmati indahnya sinar bulan yang cemerlang ini... Emm, boleh bukan?"
Penjaga itu ikut tersenyum pula, "Ah.... kelihatannya Yang-sicu ini suka benar pada bulan purnama. Kemarin malam...."
"Hmmm, tentu saja aku menyukai bulan, karena aku dilahirkan persis pada saat bulan sedang bersinar dengan cemerlang." Yang Kun memotong. Lalu, "Dan sejak zaman purba, sinar bulan yang gilang gemilang itu selalu membuat cerita-cerita indah, yang sukar dilupakan... eh, benar,... mengapa ketika aku selesai meniup suling kemarin, semua penghuni kuil ini berlutut kepadaku?" tiba-tiba pemuda itu membelokkan percakapan itu.
Orang itu tampak berdesah perlahan. Mukanya yang bersih dan belum terlalu tua itu tengadah ke arah bulan, seakan ingin turut pula menikmati semua keindahan yang dikatakan oleh pemuda yang berada di hadapannya.
"Yang-sicu, kata para leluhur kami, orang terakhir yang bisa menyanyikan lagu itu adalah Kim-mou Sai-ong Su-couw, yang patungnya telah kau lihat kemarin itu. Maka tak heran kalau kami semua berlutut kepadamu ketika engkau dapat menyanyikan lagu itu pula. Seakan-akan engkau memang telah dikirim oleh Su-couw kepada kami untuk mengajarkan nada lagu tersebut."
"Eh... bukankah Tong Cu-si kalian itu masih cucu murid dari Kim mou Sai-ong? Apakah beliau juga tidak bisa menyanyikan lagu tersebut...?"