Pendekar Penyebar Maut Jilid 15

Cerita silat Mandarin serial Darah Pendekar seri Pendekar Penyebar Maut Jilid 15 karya Sriwidjono
Sonny Ogawa

Pendekar Penyebar Maut Jilid 15 karya Sriwidjono - "YA, Jarum ulat! Aku mempunyai Jarum yang sangat lembut. Ayahku memberi nama jarum ulat, karena bentuknya yang melengkung kecil seperti ulat. Besarnya tak lebih dari pada ujung duri bunga mawar, tapi kemampuannya benar-benar hebat! Jarum lembut itu akan kumasukkan ke dalam salah sebuah dari urat darahmu. Karena bentuknya yang lentur dan melengkung, jarum tersebut akan bergerak mengikuti aliran darahmu menuju ke jantung. Semakin banyak dan keras engkau bergerak, semakin cepat pula jarum tersebut tiba di pusat jantungmu! Dan itu berarti saat kematianmu telah tiba. Tapi….”

Novel Silat Mandarin Karya Sriwidjono

."Tapi… bagaimana....?” Ceng-ya-kang ketakutan, seakan akan jarum yang mengerikan itu telah menyusup di daIam aliran darahnya.

Sekali lagi Hong lui kun tertawa. “Tapi pada saat yang tepat aku dapat mengambilnya kembali!" akhirnya pendekar muda itu meneruskan. “Asalkan... ah, sudahlah! Bersiaplah sekarang. Aku akan menyerangmu dengan jarum itu...."

"Tungguu...!” Ceng-ya-kang menjerit. "Baiklah! Akan kuberikan obat pemunah yang asli!" Dengan tergesa-gesa iblis itu mengeluarkan pundi-pundinya lagi dan mengambil sepotong akar kering sebesar jari tangan, warnanya putih bersih.

"Rebuslah akar ini dengan segelas air sampai mendidih, lalu minumlah! Ulangi lagi hal itu setiap hari, sampai yang ke lima, dan racun itu akan lenyap!”

Hong-lui kun menerima potongan akar obat itu sambil berkata, "Terima kasih! Tapi aku tetap meminta maaf kepadamu, sebab..... besok pagi jam enam persis aku tetap meminta padamu untuk menemui aku di tempat ini, karena.... jarum ulatku itu telah terlanjur kumasukkan ke dalam pembuluh darahmu!”

"Hah? Kau....! Bangsat! Kapan kau...?" Ceng-ya-kang berjingkrak kaget.

Hong lui-kun Yap Kiong Lee mengebut-ngebutkan lengan bajunya yang longgar. Dengan sikap acuh tak acuh ia berkata, "Lihatlah pergelangan tangan kirimu! Ingatkah kau ketika engkau menangkis pukulan Thian lui-gong-ciangku tadi?”

Tergesa-gesa Ceng ya kang menyingsingkan lengan bajunya dan meneliti pergelangan tangannya dengan cermat. Bukan main kagetnya ketika ia melihat setitik noda berwarna merah, tepat di atas pembuluh nadinya!

"Kau….? Bangsat kejam!" Iblis Gundul itu naik pitam. Tubuhnya yang gemuk tambun menerjang ke arah Hong lui kun.

Tapi dengan mudah pendekar gagah itu mengelakkannya. “Sabarr....! Apakah kau ingin agar jarum itu lekas-lekas sampai dijantungmu?" Hong lui-kun berteriak memperingatkan.

Sambil menggeram marah iblis itu menghentikan gerakannya. Dengan mata menyala menahan geram ia menatap ke arah lawannya. "Apa.... apa maksudmu?" tanyanya serak.

"Jangan panik! Asal aku masih hidup besok, jiwamu juga akan tertolong."

"Kau masih tidak percaya kalau aku telah memberi obat pemunah yang asli?"

Lagi-lagi Hong lui-kun tersenyum penuh arti. "Tentu saja, bung! Setiap orang memang harus berhati-hati apabila berhadapan dengan penghuni Ban-kwi-to. Tapi... jangan khawatir! Akupun takkan mengingkari janji! Asal aku masih bisa kemari besok pagi, kau tentu juga akan selamat."

“Hmmmh!!"

"Nah, sekarang kalian pergilah dari tempat ini sebelum dicium para penduduk itu melampiaskan kemarahannya kepadamu!”

"Baiklah! Besok pagi jam enam aku akan menunggu engkau di tempat ini."

Dengan tertatih-tatih Iblis Gundul itu mengajak anak buahnya pergi meninggalkan warung bubur yang porak poranda itu. Sepeninggal kawanan iblis itu Hong-Iui-kun kembali meneliti akar obat yang diperolehnya. "Kukira iblis gundul itu takkan berani main-main denganku kali ini." gumamnya pelan. Lalu dimasukannya akar itu ke dalam saku bajunya.

Sambil menghela napas Hong-lui-kun Yap Kiong Lee menatap ke sekelilingnya. Dipandangnya para penduduk yang menonton dengan takut-takut di luar halaman. Lalu matanya menebar lagi ke samping warung dan di tempat itu matanya bentrok dengan beberapa pasang mata tajam yang tidak lain adalah Chin Yang Kun dan kawan-kawannya. Sekejap dahi Hong lui-kun tampak berkerut. Salah seorang dari orang itu seperti pernah dikenalnya, tapi ia lupa!

Oleh karena orang itu, yang tidak lain adalah Tong Ciak Cu-si, diam saja tak bereaksi, maka Hong-lui kun juga tidak memikirkannya lagi. Ah... mungkin aku salah mengenali orang, gumamnya dalam hati.

Dengan hati hati Hong Iui kun melangkah kembali ke dalam warung. Di mana mana terlihat sisa-sisa racun yang berceceran. Racun yang tadi telah dipergunakan oleh Ceng-ya-kang ketika bertempur melawan dirinya. Kemudian pendekar itu mendekati mayat Hao Chi dan anak buah Ceng ya-kang yang masih terlentang di atas lantai. Kedua sosok mayat itu telah mulai membusuk.

Perlahan lahan kedua mayat itu ditarik dan diseret keluar dengan tali, lalu dibawa ke tempat yang bebas dari tebaran racun. Seorang kakek tua berperawakan gagah tampak memasuki halaman diiringi oleh empat orang pembantunya. Hong-lui-kun segera dapat menerka, bahwa orang tua tersebut tentulah salah seorang pemimpin desa itu. Dan ternyata dugaannya memang benar!

“Maaf, tai-hiap! Lo-hu adalah kepala dusun ini! Bolehkah lo hu bertanya sedikit?"

"Oh.... tentu saja." Hong lui-kun menjawab tak kalah sopannya.

"Apakah yang telah terjadi di tempat ini? Dan itu mayat siapakah? Hei! itu mayat Hao Chi, pemilik warung ini!” kakek tua itu kaget sekali.

"Maaf, cung-cu (kepala kampung)! Saya tak bermaksud membuat keonaran di tempat ini. Saya sebenarnya kemari hanya untuk makan bubur, tapi... begitu datang kulihat telah terjadi suatu pembunuhan di warung ini. Seorang penjahat berkepala gundul telak membunuh si pemilik warung ini dan berkelahi dengan tamu lainnya. Terpaksa aku turun tangan untuk mengenyahkan orang itu." pendekar itu memberi keterangan. "Tanyalah kepada para penduduk yang menyaksikan peristiwa tadi!"

Kepala kampung itu mengangguk-angguk, percaya karena ia juga telah mendapat laporan dari para pembantunya. "Kalau begitu kami sangat berterima kasih kepada taihiap. Biarlah kami yang akan menyelesaikan kedua mayat itu…."

"Terima kasih, cung-cu. Tapi perbolehkan aku memberi pesan sedikit. Yaitu, tutuplah tempat ini barang satu bulan. Jangan sekali-kali diperbolehkan penduduk masuk pekarangan ini, karena tempat ini telah penuh dengan racun-racun yang berbahaya. Dan… apabila membawa kedua mayat ini nanti, lakukanlah seperti yang telah kulakukan ini. Jangan sekali-kali menyentuh tubuh mayat ini. Nah, aku akan meneruskan perjalananku."

"Taihiap, tunggu dulu.....! Mengapa taihiap begitu tergesa-gesa? Kami persilahkan taihiap untuk singgah lebih dahulu di rumahku.....”

Hong lui-kun menyatakan rasa terima kasihnya sambil meminta maaf karena ia tak dapat menerima undangan tersebut. Pemuda itu mengatakan bahwa ia masih mempunyai banyak urusan lain yang harus ia selesaikan. Lalu sambil menjura pemuda itu berjalan meninggalkan tempat tersebut. Dengan tenang ia mengambil kudanya dan pergi ke arah barat.

Setelah kuda beserta penunggangnya itu telah lenyap di kelokan jalan, kepala dusun tersebut segera memerintahkan anak buahnya untuk menyeret kedua sosok mayat itu ke jalan raya. Kemudian dengan suara lantang orang tua itu memperingatkan penduduknya, agar untuk sementara waktu tidak menginjakkan kaki mereka di halaman tersebut.

Kepada para keluarga Hao Chi dan pelayannya dipersilahkan untuk mengosongkan warung itu, dan mengungsi ke rumah saudara atau tetangga mereka. Rumah dan pekarangan itu dinyatakan sebagai daerah berbahaya dan terlarang, sampai pengaruh racun yang berceceran di tempat tersebut dianggap telah hilang.

Sementara itu Toat-beng-jin dan teman-temannya diam-diam keluar halaman, lalu meninggalkan tempat itu. Sambil melangkah Tong Ciak Cu-si menggerutu tak habis-habisnya.

"Wah, hampir saja Hong-lui-kun tadi mengenal aku. Untung perawakan serta caraku berpakaian sudah banyak sekali perubahannya, sehingga ia tak mengenalku lagi."

"Tapi kulihat dia tadi memandang Tong-hiante agak lama," Toat-beng-jin menyahut.

"Kelihatannya memang demikian. Agaknya orang itu seperti mengenali Tong-locianpwe, hanya mungkin dia belum bisa memastikan siapa sebenarnya Tong-locianpwe ini......" Souw Lian Cu ikut menyatakan pendapatnya.

"Yaa... tapi omong-omong kali ini akulah yang paling sial!"

"Eh, mengapa lo-cianpwe bilang paling sial?" Yang Kun bertanya.

"Habis, kalian semua sudah dapat menghabiskan bubur panas itu, sedang aku belum! Jadi sekarang perutku masih keroncongan, nih!” Yang lain tersenyum menahan geli.

"Eh, omong-omong.,.. mau ke mana kita sekarang?" Toat-beng jin mengalihkan pembicaraan.

"Tadi Tong-locianpwe telah berjanji akan ke tempat mendiang kakek Piao-Liang!" Yang Kun mengingatkan.

“.....ya, tapi yang aku butuhkan sekarang adalah pengisi perut terlebih dahulu,” Tong Ciak Cu-si masih menggerutu "Kalian telah melahap satu mangkuk bubur, sedang aku tidak! Padahal jatahku setiap pagi harus lima mangkok bubur...."

"Wah, Tong-hiante ini yang dipikirkan cuma makan saja....!" Toat beng jin berkelakar.

"Tentu saja! Itu kan sumber tenaga buat kita,.." jago Im-yang-kauw itu membela diri. "Dengan perut kosong, bagaimana kita bisa memainkan lm-yang kun....?"

"Wah, kalau begitu kita harus masuk rumah makan lagi, nih!" Souw Lian Cu yang sudah merasa kenyang itu memberengut.

Toat beng-jin tertawa, sementara Yang Kun hanya tersenyum saja melihat hal itu. "Ha-ha ha... kelihatannya Tong-hiante ingin makan gratis lagi, ya? Tadi di warung Hao Chi kita belum sempat membayar, sekarang sudah mau masuk restoran lagi! Wah!"

"Eh, benar! Kita tadi belum membayar harga bubur yang kita makan...." Souw Lian Cu terkejut.

"Benar! Tapi keadaan demikian ributnya. Kepada siapa kita harus membayarnya....?" tak terasa Chin Yang Kun menyahut. Sesaat ia lupa bahwa ia dan gadis itu masih dalam keadaan "perang dingin"! Baru setelah Souw Lian Cu mengerling tajam kepadanya, Yang Kun menyadari ketelanjurannya. Otomatis muIutnya menjadi terdiam kembali, mukanya merah.

Di tikungan jalan mereka melihat rumah makan yang agak besar. Meskipun hanya sebuah dusun, karena mempunyai bandar air sungai yang ramai, tempat itu tak ubahnya seperti sebuah kota kecil saja keadaannya. Ada penginapan, pasar dan toko-toko kelontong yang berjajar-jajar di sepanjang jalan utamanya.

"Nah, sekarang lo-hu benar-benar mau makan di sini..." Tong Ciak membelok ke arah rumah makan itu.

Toat-beng-jin tersenyum mengikuti. "Coba, ingin kulihat! Apakah Tong-hiante dapat melaksanakan niat itu, hehehe,..."

Tokoh sakti bertubuh pendek itu berhenti melangkah. "Wah! Apakah Lo jin-ong bermaksud bahwa di tempat inipun akan terjadi keributan sehingga aku tak bisa makan pula kembali?"

“Ah, siapa tahu….? Kesialan itu sering kali datang dengan beruntun. Kalau sudah mendapatkan satu, yang lain segera menyusul......" Toat-beng-jin tersenyum lebar.

Tong Cu-si tampak termangu-mangu sebentar. Tapi sesaat kemudian dengan dada tengadah ia telah melangkah kembali ke restoran itu. "Uh! Uh! Perduli amat! Biarlah kalau mau sial lagi Lebih baik kuhabiskan saja sekalian semua kesialan itu pada hari ini. Itu lebih baik dari pada harus menunggu sampai lain hari," ucapnya keras.

Dan tanpa mengucapkan permisi lagi tokoh sakti bertubuh pendek itu melompati tangga yang berada di depan pintu, terus menerobos masuk. Tapi belum juga selangkah ia masuk....

"Siiiing! Siuttt!" Sebatang tombak dengan mata yang berkilau saking tajamnya, tiba-tiba tampak melesat ke arah dadanya. Begitu kuat dan cepat daya luncurnya, membuat jago sakti dari Im-yang-kauw itu terkejut bukan main.

Untunglah, sebagai seorang jago silat berkepandaian tinggi, Tong Ciak tak pernah kehilangan ketenangannya. Apalagi sepanjang hidupnya, selama ini tokoh itu telah kenyang dengan segala macam pengalaman yang hebat-hebat. Jadi biarpun merasa terkejut, tapi rasa terkejut itu tidak terlalu lama. Hanya dalam waktu sedetik tokoh itu telah bereaksi dengan hebatnya.

Dengan sedikit merendahkan tubuhnya, Tong Ciak bergeser ke kiri, sementara tenaga sakti Soa-hu-sin kang yang berada di dalam tubuhnya secara otomatis bergerak melindungi badan. Kemudian dengan jari-jari terbuka telapak tangan kanannya menepis ujung tombak yang telah berada di depan hidungnya!

"Taasss!" KepaIa tombak itu patah seketika dan tangkainya terlempar ke atas dengan kekuatan yang bertambah menjadi berlipat ganda!

"Braaaak! Gedubraaaaak! Brooooll!!"

Tangkai tombak yang terbuat dari besi pilihan itu menghajar tiang penglari yang menyangga genting dan atap restoran bahagian depan. Terdengar suara kayu patah dan sekejap kemudian bangunan depan yang kokoh kuat itu runtuh ke bawah dengan hebatnya. Padahal di sana berdiri. Toat-beng jin, Chin Yang Kun dan Souw Lian Cu!

"Yang hiante! Souw kouw-nio....! Awasss....!" Toat-beng-jin berteriak memperingatkan kedua orang temannya itu. Bencana itu datang begitu mendadak, sehingga orang tua tersebut tidak sempat untuk memikirkan keselamatan mereka.

Beberapa orang penduduk yang saat itu kebetulan lewat atau kebetulan berada di sekitar tempat itu serentak menjerit panik. Mereka ngeri membayangkan nasib ketiga orang asing yang hampir tertimpa reruntuhan atap tersebut! Tak ayal lagi mereka tentu akan menyaksikan tubuh-tubuh berserakan yang tertimbun oleh remukan bangunan yang runtuh itu.

“Gempa bumi lagi......!" seorang nenek tua menjerit ngeri sambil menutupi mukanya. Agaknya perasaan ngeri yang dia alami ketika terjadi gempa bumi beberapa waktu yang lampau masih sangat membekas dalam hatinya.

Tetapi sekejap kemudian rasa kaget dan ngeri yang ada di dalam benak orang orang itu menjadi lenyap seketika dan diganti oleh perasaan kagum dan tak percaya. Ternyata ketiga orang yang mereka khawatirkan itu dalam waktu yang hampir bersamaan mampu meloloskan diri dari bencana tersebut. Orang pertama yang mereka sangka tentu akan menjadi korban reruntuhan itu, yaitu Toat beng jin, ternyata justru menjadi orang pertama yang bisa lolos dari bencana itu malah!

Ternyata kakek tua renta tersebut bukan main tangkasnya. Bagaikan mempunyai sepasang per baja di bawah telapak kakinya, orang tua yang mereka anggap jompo itu melenting mundur dengan cepat sekali. Begitu cepat gerak refleks kakinya, sehingga tubuh tuanya yang kurus kecil itu dalam tempo singkat telah berada dua-tiga tombak jauhnya dari tempat semula.

Sedang orang kedua yang mereka khawatirkan adalah Souw Lian Cu. Selain Souw Lian Cu adalah seorang wanita, gadis itu ternyata telah cacat tangannya. Ternyata kekhawatiran mereka kali inipun telah salah pula. Gadis cantik yang buntung lengannya itu ternyata mampu bergerak lincah seperti burung camar di lautan.

Dengan tangkas gadis itu menjatuhkan diri pada telapak tangannya, dan di lain saat sepasang kakinya melenting ke atas cepat sekali, sehingga sekejap kemudian tubuhnya berputar menjauh seperti kincir angin yang tersapu badai!

Orang ketiga, Chin Yang Kun yang mereka anggap paling kuat, sehingga tentu dapat bergerak paling tangkas, ternyata justru tidak bisa bergerak dari tempatnya malah! Luka dalam yang diderita oleh pemuda itu ternyata sangat mengganggu gerakannya, sehingga berbeda dengan kedua temannya yang bergerak gesit meloloskan diri, pemuda itu justru hanya bisa berdiri diam saja di tempatnya.

Tapi apa yang dipertunjukkan oleh Yang Kun selanjutnya benar-benar membuat semua orang ternganga dan tak habis mengerti! Karena tak bisa berbuat lain selain bertahan, pemuda itu dengan nekad mengerahkan tenaga sakti Liong-cu-i-kangnya! Ia tak menghiraukan lagi rasa sakit di dadanya. Sedetik kemudian terasa berhembus angin dingin yang memancar dari badannya, dan di lain saat baju longgar yang dikenakan oleh pemuda tersebut menggembung seperti balon yang mau meletus.

Pada saat itu pula atap gedung yang runtuh itu jatuh menimpa tubuhnya. Suaranya menggelegar mengerikan. Debu, pasir dan patahan-patahan kayu berhamburan memenuhi tempat itu sehingga untuk sesaat udara menjadi gelap!

“Yang-hiante.....!" Toat-beng-jin dan Tong Ciak berseru hampir berbareng.

''Yang Kunnnn...!" tak terasa Souw Lian Cu ikut berteriak khawatir.

Baru beberapa saat kemudian debu yang memenuhi tempat reruntuhan itu hilang ditiup angin. Dan semua orang yang tadi merasa khawatir, kini menjadi ternganga mulutnya! Suatu pemandangan yang sungguh-sungguh tidak masuk akal telah terjadi di depan mata mereka!

Di depan mereka, di tengah-tengah tumpukan kayu dan genting yang menggunung, mereka melihat Chin Yang Kun masih berdiri tegak seperti semula. Tak sebutir kotoran maupun sepotong kayupun yang mengotori pakaiannya! Dari sepatu sampai ujung rambutnya tampak bersih dan Iicin seperti semula.

Bagaimana hal itu bisa terjadi? Sesungguhnyalah, tenaga sakti Liong-cu-i kang yang dikerahkan oleh Chin Yang Kun tadi memang bukan main hebatnya! Buktinya, pakaian yang dikenakan oleh pemuda itu sampai menggembung seperti balon yang ditiup karena ikut terisi oleh Liong-cu-i kang! Begitu ampuhnya tenaga sakti itu sehingga tubuh pemuda tersebut seperti ulat yang terlindung dalam kepompongnya!

"Yang-hiante, kau tidak apa-apa, bukan....?” Toat-beng jin bertanya sambil menarik si pemuda keluar dari reruntuhan itu.

"Siauwte tidak apa-apa! Cuma, lukaku mungkin telah terbuka kembali....." Yang Kun menjawab agak tersipu. Sekejap matanya melirik ke arah Souw Lian Cu. Dalam suasana yang hiruk-pikuk tadi ia masih dapat mendengar teriakan khawatir dari gadis yang cantik tersebut. Tapi ia menjadi sangat kecewa ketika gadis itu tampak acuh tak acuh kembali.

"Sesungguhnya Yang-hiante memang belum boleh menggunakan tenaga terlalu besar. Tapi tak apalah.....! Yang terpenting Yang-hiante sekarang selamat. Tentang luka dalam itu.,... biarlah kami yang mengurusnya nanti." Toat-beng jin menghibur.

Sementara itu tanpa memperdulikan para penduduk yang datang ke tempat itu, Tong Ciak mendahului kawan-kawannya memasuki restoran. Dengan mata merah tokoh sakti dari lm yang-kauw tersebut mencari orang yang melepas tombak maut tadi.

Ternyata Tong Ciak tidak mendapatkan kesukaran untuk mencarinya. Begitu masuk tokoh itu telah dihadang oleh belasan orang lelaki di depan pintu. Mereka berpakaian ringkas dan bersenjata lengkap, seperti layaknya jago-jago silat dari dunia kang ouw. Salah seorang di antaranya, yang berdiri di tengah, tampak memegang tombak panjang yang bentuk dan bahannya persis dengan tombak yang tadi hampir saja membunuh dia.

“Atas nama Tuan Tan kami mengucapkan selamat datang kepada cuwi semua.....!" orang bertombak panjang itu menjura, diikuti oleh kawan-kawannya yang lain.

Tong Ciak cuma mengangguk dingin. Sebentar dia menoleh, melirik ke arah teman temannya yang mengikutinya masuk, setelah itu matanya kembali menatap ke depan dengan kaku. Peristiwa yang baru saja terjadi, yang hampir saja membunuh dia dan kawan kawannya, benar-benar membuat hatinya marah bukan main.

Beberapa orang tamu tampak bergegas meninggalkan kursinya. Dengan tergesa-gesa mereka membayar makanannya dan keluar dari pintu samping. Mereka seakan-akan sudah mencium bahaya yang akan terjadi di restoran itu! Sudah beberapa kali mereka menyaksikan peristiwa perkelahian antara orang-orang asing yang baru datang di dusun mereka dengan para pengawal Tan-wangwe.

Melihat lawannya cuma berdiri diam dan tidak menjawab ucapan selamat datangnya, orang bertombak panjang itu menyeringai. Sekali lagi ia memberi hormat, seolah-olah tidak terpengaruh oleh sikap lawannya.

"Ah, maafkanlah kami......! Mungkin tata cara kami dalam menyambut tuan tadi agak sedikit keterlaluan! Tapi... itu memang tata cara kami. Kami hanya bermaksud untuk mengetahui dan membuktikan, dengan siapa kami sekarang sedang berhadapan. Sehingga untuk selanjutnya kami dapat bersikap serta menempatkan diri di hadapan tamu kami....."

"Huh!" Tong Ciak mendengus dan masih tetap berdiam diri. Tokoh sakti dari Im-yang-kauw itu menatap kaku ke arah lawan lawannya. Dipandangnya mereka satu persatu, bagaikan seekor ayam jago yang sedang menilai kekuatan lawan sebelum bertanding di medan laga.

Lelaki bertombak panjang, yang tadi mengucapkan kata selamat datang, berusia sekitar empatpuluhan tahun. Berperawakan sedang, berkumis dan berjenggot tipis serta mengenakan baju longgar berkembang-kembang. Dilihat dari sikapnya sejak tadi, dapat diduga kalau dialah yang memimpin rombongan itu.

Di sebelah kanan dan kirinya berdiri dua orang yang wajahnya sangat mirip satu sama lain. Sama-sama berwajah bengis dan kejam. Hanya kulit tubuh mereka yang agak berbeda, yang satu lebih gelap dari pada yang lain. Mereka berdua sama-sama membawa sebuah tongkat besi yang diberi kaitan baja di sebelah ujungnya.

Lalu di sebelah kiri dari ketiga orang itu tampak berdiri seorang laki-laki gundul tak berbaju, sehingga otot-otot kekar yang bertonjolan di badannya kelihatan dengan nyata. Sepasang mata yang terlindung oleg alis mata yang tebal dan lebat itu kelihatan hampir terpejam saking sipitnya.

Sementara bentuk tulang pipi dan rahangnya yang kokoh persegi itu mengingatkan orang pada bentuk tulang pipi Bangsa Mongol atau Manchu, jari jari tangannya yang kokoh seperti penjepit baja itu memegang cambuk dari kulit ular. Dilihat sepintas lalu dapat diduga bahwa raksasa gundul ini adalah jago gwa kang yang sangat kuat!

Sedangkan belasan orang yang berdiri menebar di belakang keempat jagoan itu adalah pembantu-pembantu yang mereka bawa. Tak ada yang kelihatan menonjol di antara orang orang tersebut, biarpun wajah mereka rata-rata tampak ganas dan kejam.

Beberapa saat kemudian Tong Ciak kelihatan mengambil napas panjang sekali, lali menghembuskannya kembali kuat-kuat. Setelah itu dengan wajah sedikit lebih cerah, ia mengangguk. "Baiklah! Selamat berjumpa!" akhirnya tokoh Im-yang-kauw yang amat sakti itu menjawab. “Tapi........ terus terang saja, kami berempat ini belum merasa mengenal cuwi semua. Oleh karena itu dapatkah cuwi mengatakannya kepada kami? Siapakah cuwi ini? Dan siapakah Tuan Tan yang cu-wi sebut tadi?"

Orang bertombak itu saling berpandangan dengan kawan-kawannya, seolah-olah merasa aneh mendengar pernyataan Tong Ciak tersebut. Tapi beberapa saat kemudian orang bertombak itu tersenyum geli. "Ah, tuan tak perlu berpura-pura di depan kami. Mungkin tuan memang benar-benar belum mengenal kami semua secara pribadi, tapi mengenal Tuan Tan dan apakah kedudukan kami di dusun ini, kukira tuan telah bisa menebak..."

"Tuan Tan....? Menebak...? Apakah maksudmu....?” Tong Ciak semakin tak mengerti kata-kata lawannya. Dengan dahi berkerut jago sakti bertubuh pendek ini menoleh ke arah Toat beng-jin yang berdiri di belakangnya.

Toat-beng-jin juga mengangkat pundaknya tanda tak mengerti pula. "Mungkin orang-orang ini telah salah mengenali kita," bisiknya perlahan.

"Baiklah, kami akan memperkenalkan diri kepada cu-wi...." akhirnya orang bertombak itu memutuskan, setelah beberapa saat lamanya pihak Tong Ciak Cu-si tetap belum mau mengakui kalau mengenal mereka.

“Silahkan...! Kami akan mendengarkannya dengan baik.”

“Kami semua ini adalah para pembantu Tuan Tan yang menjadi penguasa tak resmi di dusun Ho-ma-cun ini… saya adalah Tu Seng…..” orang bertombak itu memperkenalkan diri.

"Ah, Hui-chio (Si Tombak Terbang) kiranya....!” Tong Ciak yang mempunyai banyak pengalaman itu berseru.

"Benar! Agaknya tuan sudah pula mendengar gelar yang diberikan oleh teman-teman kepadaku."

“Tentu saja. Nama saudara pernah menggetarkan kota Ki-ciu ketika saudara masih menjabat sebagai Kepala Pasukan Kerajaan di kota itu.” Tong Ciak yang dahulu adalah Kepala Pasukan Pengawal Istana itu mengenali orang tersebut.

“Heh?!?” Hui Chiu Tu Seng tersentak kaget. “Tuan siapa? Mengapa tuan mengenal masa laluku?”

“Sudahlah! Saudara belum memperkenalkan nama teman-teman saudara yang lain kepada kami...” Tong Ciak Cu-si memotong.

“Baik! Tapi setelah itu kami juga ingin mengetahui nama tuan yang terhormat....” Tong Ciak tersenyum dan saling pandang dengan Toat-beng-jin.

“Yang berada di sampingku ini adalah dua orang bersaudara dari lembah sungai Hoang-ho. Kalangan persilatan menyebut mereka Huang-ho Heng-te (Dua Saudara dari Sungai Huang-ho). Sedang kawanku yang gundul ini datang dari daerah Mongol, namanya Togu. Dia biasa membunuh beruang hanya dengan memuntir kepalanya, maka orang kang ouw memanggilnya Si Pembunuh Beruang!" Tu Seng memperkenalkan semua pembantu-pembantunya. Kemudian dengan rasa ingin tahu ia melanjutkan, "Nah, sekarang beritahukan kepada kami! Siapakah nama serta gelar tuan? Siapa pula teman-teman tuan itu?"

"Hei! Saudara ini aneh benar! Saudara telah menyambut kami di sini. Tentu saja saudara sudah mengenal kami dengan baik....” Tong Ciak balik berkata kepada Tu Seng.

“Ya, tapi.....” orang bertombak itu menjawab dengan gagap.

“Sudahlah...! apa sih sebenarnya maksud kalian menanti dan menyambut kami disini? Kita toh belum saling mengenal dan berhubungan satu sama lain?” akhirnya Toat-beng-jin ikut pula berbicara.

Tu Seng berpaling dan menatap Toat-beng-jin dengan dahi berkerut. “Siapa pula tuan ini?” tanyanya penasaran.

“Meski kusebutkan namaku, kalian juga takkan mengerti! Lebih baik katakan saja maksud kalian yang sebenarnya....atau....kita tak usah saling mengurus kepentingan kita masing-masing.”

“Huh!” tiba-tiba raksasa Mongol yang bernama Togu itu menggeram. “Saudara Tu, tak usah bicara berbelit-belit dengan mereka! Membuang waktu saja! Tuan Tan sudah memberi wewenang kepada kita, jikalau mereka datang, kita diperintahkan untuk menyuruh mereka pulang! Kalau mereka membangkang dan tetap ingin mengganggu keluarga Tuan Tan, kita diperbolehkan menyikat mereka!"

"Saudara Tugu benar! Lenyapkan saja orang orang ini! Habis perkara!" salah seorang dari Huang-ho Heng te yang berkulit gelap ikut berteriak.

"Baiklah! Tapi biarlah mereka memilih, melanjutkan maksud mereka atau membatalkan niat mereka dan meninggalkan tempat ini.” Tu Seng cepat-cepat menenangkan kawan-kawannya yang mulai marah itu.

Lalu dengan wajah kaku Tu Seng berkata ke arah Tong Ciak. Suaranya keras dan penuh ancaman. “Nah! Tuan telah melihat sendiri kemarahan teman-temanku. Oleh karena itu untuk menyingkat waktu, kami takkan bertanya lagi tentang cu-wi semua. Kami tak perduli lagi...! Tapi demi keselamatan cuwi, kuminta cuwi segera meninggalkan dusun kami ini!”

“Dan.... ingatlah! jangan sekali-kali kalian menampakkan diri di hadapan kami! Sekali lagi aku melihat kalian.... huh! Jangan harap kaitan di ujung tongkatku ini mau mengampuni jiwa kalian!” salah seorang dari Huang-ho Heng-te turut membentak.

“Lekas pergi! Mau tunggu apa lagi?” Togu berteriak pula sambil melangkah maju.

Sepasang alis Tong Ciak berkerut sehingga bertemu satu sama lain. Begitu pula dengan Yang Kun dan Lian Cu! Malahan kedua remaja itu telah menjadi merah padam mukanya! Mereka benar-benar tersinggung karena mendapat perlakuan seperti itu.

“Eh! Ada apa pula ini? Sabar....! Sabarlah....!” Toat-beng-jin melangkah maju, berusaha mendinginkan suasana yang telah meruncing itu. Tapi maksudnya yang baik itu ternyata telah diartikan salah oleh lawannya. Togu menyangka bahwa orang tua itu bermaksud untuk melawannya. Maka kedatangannya langsung disambut oleh raksasa gundul tersebut dengan ayunan lengannya yang sebesar paha orang itu.

“Whuuut!”

“Eeit! Lhoh? Bagaimana, nih.....? Sabarrrr.....!" Toat-beng jin mengangkat kedua lengannya ke depan dengan telapak tangan terbuka untuk memberi tahu kepada Togu bahwa dia tak ingin berkelahi.

Tapi dengan tangkas raksasa Mongol itu berputar ke samping, lalu cambuk yang dipegangnya sejak tadi ia sabetkan ke arah lengan yang terjuIur ke depan itu. Lagi-lagi raksasa ini telah salah mengartikan maksud Toat-beng Jin! Raksasa ini mengira lawannya telah melancarkan pukulan jarak jauh kepadanya!

"Wuuuttt! Thaaar!" Cambuk yang digerakkan dengan tenaga raksasa itu menghantam, lalu membelit sepasang lengan Toat-beng-jin yang kurus. Suara ledakan ujung cambuk itu sangat keras sekali, sehingga gedung itu seperti bergetar karenanya. Dan di lain saat tubuh Toat-beng-jin yang kecil itu tampak terangkat dari tempatnya. Kemudian seperti anak panah yang terlepas dari busurnya, tubuh kecil kurus yang terlontar oleh daya sentak ujung cambuk itu terlempar ke atas dan menghantam genting dengan dahsyatnya!

"Brraak!!” Genting itu jebol dan berlobang besar sekali sedang tubuh Toat-beng-jin yang menabraknya terus meluncur keluar lubang dengan derasnya. Pecahan kayu dan genting berhamburan ke bawah membuat beberapa orang di antara anak buah Tu Seng berloncatan menghindar.

“Lo cianpwe!”

"Lo-cianpwe....!"

Yang Kun dan Souw Lian Cu berteriak hampir berbareng. Hampir saja mereka meloncat pula ke arah genting yang berlobang itu untuk menolong Toat-beng-jin yang lenyap dari pandang mata mereka. Tapi dengan tangkas Tong Ciak segera menahan lengan mereka.

“Yang-hiante! Souw-kouwnio! Biarlah! Jangan hiraukan Lo-jin-ong! Beliau tidak apa-apa....." Pengurus Agama itu berbisik didekat telinga mereka. "Marilah kita layani saja orang-orang ini....!”

Togu tampak amat puas dengan apa yang baru saja ia lakukan itu. Dengan tertawa lebar ia memandang Tong Ciak yang masih tertegun mengawasi lobang genting di atas ruangan itu. "Nah! Sudah kalian lihat nasib tua bangka yang bermaksud melawanku itu, bukan? Memang amat kasihan sekali! Tubuhnya tentu sudah remuk dan sukar dikenal lagi apabila mayatnya kita ambil dari atas genting itu....."

"Haha....." Yang Kun terpaksa tertawa perlahan, tak kuasa menahan kegelian hatinya.

"Kurang ajarr.....!!" raksasa itu mengumpat keras sekali. "Monyet kecil, apa yang kau tertawakan?"

Selanjutnya tanpa memberikan suatu peringatan lagi Togu menerjang ke arah Chin Yang Kun dengan ganasnya. Kepalan tangannya yang sebesar periuk nasi itu menghajar ke arah mulut yang mentertawakan dirinya tersebut. Terdengar suara mengaung akibat kerasnya kepalan itu terayun. Tong Ciak dan Souw Lian Cu cepat-cepat meIoncat ke samping untuk menjaga agar tidak ikut terkena sasaran pukulan itu.

"Awas, Yang-hiante! Hati-hatilah sedikit dalam mengerahkan tenaga saktimu! Jangan sampai kekuatanmu yang aneh itu membunuhnya.....!" tokoh bertubuh pendek itu berteriak keras. Tokoh Im-yang-kauw itu ternyata tidak mengkhawatirkan kesehatan Yang Kun, tetapi justru khawatir kalau pemuda itu sampai kesalahan tangan membunuh lawannya malah!

Tapi Yang Kun hampir tidak mendengar seruan itu. Dia yang masih belum sembuh dari sakitnya itu sedang berusaha keras menghindari pukulan lawan. Kakinya yang panjang itu menjejak lantai, sehingga tubuhnya yang jangkung terlontar ke atas dengan cepatnya.

Pukulan Togu lewat dengan deras di bawah kaki Yang Kun, sehingga tubuh raksasa itu nyelonong lewat pula. Keadaan itu benar-benar tidak disia-siakan oleh Yang Kun. Dengan memutar badannya di atas udara Yang Kun berbalik mengulurkan tangan ke arah tubuh Togu yang lewat di bawahnya. Hawa yang sangat dingin terasa memancar dari lengan yang terulur itu, sementara lapat-lapat terdengar suara mendesis dari bibir diatasnya.

“Cuuuusssss…..!”

“Yang-hiante, jangan…..!” Tong Ciak berseru kaget.

“Saudara Togu… awas dibelakangmu!” Huang-ho Heng-te berteriak bersama-sama, dan di lain saat tubuh dua bersaudara itu tampak melesat ke arena pula. Ternyata Togu sendiri telah mencium bahaya itu pula. Maka tanpa menoleh lagi, ia mengayunkan cambuknya ke belakang dengan kekuatan penuh.

“Wuuutt! Thaaarr!”

Yang Kun buru-buru menarik tangannya, ia takkan membiarkan cambuk itu membelit lengannya seperti Toat-beng-jin tadi. Kemudian sambil mengerahkan Liong cu-I-kang ke arah lengan kiri, Yang Kun melompat ke depan lagi untuk memburu lawannya.

Tapi pada saat itu pula sepasang tongkat berkait dari Huang-ho Heng-te telah datang menyerbu, dari belakang. Tongkat itu memukul ke arah pangkal lengannya, sementara kaitan baja yang dipasang pada ujungnya itu kelihatan meringis seperti taring yang siap menggigit pundaknya. Sedang tongkat yang kedua datang beberapa detik lebih lambat. Tongkat itu menyapu ke arah pinggang dari arah samping. Keduanya digerakkan oleh tenaga dalam yang amat kuat.

Sebenarnya kalau Yang Kun mau meneruskan serangannya, yang ia tujukan ke arah Togu, dia pasti berhasil. Tapi jikalau hal itu ia lakukan, ia tentu akan mendapat kesukaran dalam mengelakkan serangan Huang-ho Heng-te. Oleh karena itu dengan amat terpaksa pemuda itu mengurungkan serangannya. Lengan kirinya yang telah terulur ke depan itu ia tarik kembali, kemudian sambil bergeser ke samping dia memainkan Panglima Yi Po Mengatur Barisan, jurus ke tujuhbelas dari Hok-te Ciang-hoat!

Sambil menarik lengan kirinya tadi, Yang Kun menundukkan tubuhnya, sehingga ayunan tongkat yang pertama melayang lewat di atas kepalanya. Setelah itu tubuhnya bergeser ke samping dengan cepat sekali, sehingga tongkat yang kedua juga lewat di depan perutnya. Tapi ketika badannya mau tegak kembali, tiba-tiba luka di dalam dadanya terasa menyengat kembali dengan hebatnya.

“Oouwghh......!” pemuda itu berdesah sambil mencengkeram dadanya.

Kejadian di atas, sejak penyerangan Togu ke arah Yang Kun sampai kedua orang bersaudara Huang-ho Heng-te menyerbu dengan tongkatnya berlangsung dalam tempo yang sangat cepat sekali. Sehingga dipandang sepintas lalu, seolah-olah serangan tongkat Huang-ho Heng-te tadi dapat mengenai sasarannya.

“Yang Kun.....!” tanpa terasa Souw Lian Cu berdesah perlahan.

“Hei?!?” Tong Ciak Cu-si tersentak kaget pula. Tokoh itu merasa kalau Yang Kun tadi bisa menghindari serangan-serangan lawannya dengan baik, tapi kenapa pemuda itu kini mengaduh kesakitan? Apakah pemuda itu terkena serangan gelap dari salah seorang musuhnya?

Hampir berbareng Tong Ciak dan Souw Lian Cu melesat datang menghampiri Chin Yang Kun. Tetapi pemuda itu segera menolak ketika tokoh Im-yang-kauw tersebut bermaksud menolong dia. Dengan air muka kesakitan, tetapi sinar matanya menunjukkan perasaan bahagia pemuda itu mengawasi Souw Lian Cu yang ikut datang di dekatnya. Sudah dua kali gadis yang amat membencinya itu menunjukkan perasaan khawatir terhadap keselamatannya.

Sementara itu Souw Lian Cu yang tidak merasa kalau sedang diperhatikan oleh Chin Yang Kun, masih melihat dengan sibuk ke arah dada dan perut Yang Kun, mencari cari bagian mana dari tubuh pemuda itu yang terluka. Tampaknya gadis itu amat bernafsu sekali untuk mengetahui dan memeriksa badan Yang Kun, tapi terhalang oleh perasaan malu di hatinya. Oleh karena itu dengan tegang gadis tersebut hanya bisa meremas-remas tangannya sambil berulang-ulang menoleh kepada Tong Ciak Cu-si.

“Yang hiante, apakah engkau terluka?" Tong Ciak bertanya.

"Hahahaha...... anak ingusan! Kau tahu sekarang bahwa tidak mudah melawan kami," salah seorang dari Huang ho Heng-te tertawa menghina. "Pulang saja kembali ke pangkuan ibumu! Lihatlah! Kawan-kawanmu juga amat mengkhawatirkan keselamatanmu!"

Yang Kun menoleh dengan cepat. Serasa ada bara api di dalam bola matanya yang mencorong bagai mata harimau itu. Kulit mukanya yang putih juga berubah menjadi kemerah-merahan. Kehadiran Souw Lian Cu di dekatnya membuat ia cepat sekali tersinggung oleh olok-olok tersebut. Maka ketika sekali lagi Tong Ciak mengulurkan tangnnya untuk menolong dia, Yang Kun segera menolaknya dengan tegas.

"Tong Lo-cianpwe, siauw-te tidak terluka oleh senjata monyet-monyet itu! Sungguh!"

"Lalu.... apakah luka dalam itu terasa sakit lagi?”

Chin Yang Kun mengangguk. "Tapi sekarang sudah tidak terasa lagi…. " sambung pemuda itu sambil melirik Souw Lian Cu.

"Kalau begitu kau beristirahatlah saja agar luka itu tidak semakin parah! Biarlah aku dan Souw kouwnio yang akan mengurus orang-orang itu.....”

“Tidak! Saya tidak akan mundur. Monyet itu telah menghina aku.......”

"Babi busuk yang mau mampus!" tiba-tiba Togu memaki keras sekali. Raksasa ini benar-benar tak tahan melihat pemuda yang tadi sudah hampir termakan oleh cambuknya itu masih dapat membual dan sangat meremehkan dia dan kawan-kawannya. Apalagi kata makian "monyet" itu benar-benar menyinggung perasaannya.

“Anak ini memang ingin lekas-lekas menghadap Giam-lo-ong (Dewa Kematian)!” Huang-ho Heng-te berteriak. Sepasang tongkat berkaitnya menyambar ke depan disertai hembusan angina yang kuat, suatu tanda kalau tenaga yang mereka pergunakan juga bukan tenaga sembarangan.

“Tong-Locianpwe! Souw kouwnio! Silahkan minggir! Biar kuhadapi sendiri orang-orang ini!” Chin Yang Kun berseru.

Dalam sekejap pemuda itu telah mengerahkan Liong-cu-i-kangnya yang ampuh. Kemudian sambil meloncat ke samping pemuda itu mengibaskan lengannya yang penuh terisi tenaga sakti. “Whuuussss!!” hembusan udara dingin yang bukan main kuatnya menerpa kearah lawan, sehingga senjata Huang-ho Heng-te yang terayun ke depan tadi melenceng ke samping dibuatnya. Sementara kedua orang bersaudara itu tampak gelagapan seperti anak kecil yang terbenam di dalam air.

Ternyata bukan hanya para pengawal Tan-wangwe itu saja yang terpengaruh oleh keampuhan Liong-cu-i-kang! Ternyata Tong Ciak Cu-si dan Souw Lian Cu yang berada di dekatnya juga merasakan kehebatan tenaga sakti tersebut. Tong Ciak yang bermaksud mendekati Chin Yang Kun juga merasakan hembusan angin dingin yang mendorong ke arah tubuhnya, sehingga tokoh sakti itu menjadi terkejut sekali. Otomatis Soa-hu-sin-kangnya menebar melindungi tubuh. Udara yang sama-sama dinginnya keluar dari badan Tong Ciak Cu-si, menyongsong hembusan udara dingin yang berasal dari tangan Chin Yang Kun!

“Cesssss!” Untuk sesaat Souw Lian Cu yang juga ikut terdorong oleh tenaga Yang Kun tampak menggigil menahan dingin. Pertemuan antara Liong-cu-i-kang dan Soa-hu-sin-kang yang sama-sama bersifat dingin itu menciptakan suasana yang luar biasa dinginnya, sehingga gadis yang belum sembuh dari sakitnya itu sangat menderita karenanya. Untunglah keadaan itu hanya berlangsung dalam sekejap mata saja. Bersamaan dengan tergempurnya kuda-kuda Tong Ciak Cu-si, serangan hawa dingin itu lenyap pula.

Tanpa terasa Tong Ciak dan Souw Lian Cu telah terdorong mundur beberapa langkah kebelakang! Begitu sadar, tokoh sakti dari Im-yang-kauw itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Hatinya kagum bukan main! Biarpun tokoh sakti itu juga belum mengerahkan seluruh tenaganya, tetapi pemuda itu juga belum pulih kesehatannya.

Sedang Souw Lian Cu yang terpaksa tidak dapat bertahan dari kekuatan yang dikeluarkan oleh Chin Yang Kun, menjadi semakin tidak senang dengan pemuda itu. Dalam hati ia menganggap Yang Kun terlalu sombong dan bermaksud memamerkan kehebatannya! Oleh karena itu sambil menggigit bibirnya keras-keras, gadis itu menatap ke depan dengan wajah keruh.

Sementara itu Huang-ho Heng-te tampak berdiri termangu-mangu di tempatnya. Mereka hampir tidak mengerti apa sebenarnya yang telah terjadi. Tahu-tahu tongkatnya seperti terdorong ke samping dengan kuatnya. Seolah-olah baru saja ada badai setan yang melanda mereka berdua.

Tapi beberapa saat kemudian, setelah kedua orang bersaudara itu menyadari apa sebenarnya yang terjadi, mereka menjadi pucat dan gemetar. Sekarang mereka baru memaklumi bahwa terhindarnya pemuda itu dari reruntuhan tadi bukanlah sekedar hanya suatu kebetulan saja, tapi memang disebabkan oleh kepandaian dan kesaktian pemuda itu pula! Mendadak saja keberanian mereka menjadi surut, apalagi ketika Yang Kun memandang mereka dengan bengis. Serasa ada jilatan api dalam bola mata itu yang akan membakar mereka.

Togu dan Hui chio Tu Seng tercekat pula di dalam hati mereka. Seperti juga dengan Huang ho Heng-te, sekarang mereka menyadari bahwa lawan yang mereka hadapi sekarang bukanlah lawan yang enteng! Tanpa terasa mereka menatap kedua orang kawan si pemuda yang berdiri tenang di pinggir. Rasa-rasanya mereka mengenal orang tua bertubuh pendek kekar itu pula!

Tapi mereka berjumlah banyak, dan hal ini membangkitkan kembali keberanian mereka. Apalagi mereka berada di kandang sendiri. Masih banyak teman-teman mereka yang akan menolong apabila mereka mendapat kesukaran.

"Tangkap mereka….!” Hui-chio Tu Seng akhirnya berteriak ke arah anak buahnya.

Belasan orang bersenjata itu serentak berloncatan menyerang Yang Kun dan kawan-kawannya. Ruangan restoran yang tidak begitu luas itu menjadi sesak dan riuh oleh perkelahian mereka yang tidak beraturan. Segala macam senjata tajam yang berkilat-kilat saking tajamnya, tampak bersiutan mencari mangsa di antara keributan itu.

Hui-chio Tu Seng segera menghambur kearah Tong Ciak. Tombaknya yang tajam itu meluncur ke depan, seolah terbang dari pegangannya. Dia memilih Tong Ciak sebagai lawannya karena ia menganggap bahwa orang tua itulah yang terlihai diantara ketiga orang lawannya. Dan di dalam hati ia juga ingin mengetahui siapa sebenarnya orang itu.

Tong Ciak menghindar dengan cepat ke kiri, lalu membalas pula dengan tidak kalah hebatnya! Sepasang lengannya yang kuat itu berkelebat cepat menyerang dan menangkis gerakan tombak Tu Seng yang lincah dan cepat itu.

Di tempat lain Souw Lian Cu tampak bertempur melawan lima orang anak buah Tu Seng. Meskipun kelima orang itu berkelahi dengan bersemangat dan ganas, apalagi mereka berlomba-lomba untuk segera mengakhiri perlawanan si gadis, tapi tampak dengan jelas bahwa mereka bukan lawan yang seimbang bagi gadis cantik tersebut. Biarpun hanya berlengan sebelah, tapi lengan yang putih mulus itu ternyata mampu melayani mereka dengan baik. Malahan kadang-kadang lengan itu mampu menangkis senjata tajam lawannya.

Yang paling hebat dan seru adalah arena dimana Chin Yang Kun berkelahi! Seluruh anak buah Tu Seng yang masih tersisa menghambur semua kearah pemuda itu. Selain Togu dan Huang-ho Heng-te, ternyata lebih dari duabelas orang lagi menyerbu dan mengeroyoknya. Terpaksa pemuda itu menggerakkan lagi segala kekuatannya untuk melayani mereka. Beberapa kali tampak pemuda itu berdesis dan mendekap dadanya, terutama bila ia terpaksa harus menangkis senjata lawannya.

Luka yang diderita oleh Yang Kun itu memang sangat mengganggu perlawanannya. Beberapa kali pemuda itu harus menarik atau mengurungkan serangannya hanya karena luka itu tiba-tiba saja terasa menyengat dadanya. Atau kadang-kadang tenaga yang telah ia persiapkan menjadi buyar ketika harus melewati daerah yang terluka. Atau kadang-kadang pemuda itu harus mengurungkan serangannya, karena apabila ia teruskan justru akan sangat berbahaya bagi kesehatannya.

Oleh karena itu, biarpun berkepandaian sangat tinggi, Yang Kun kali ini benar-benar mengalami kerepotan. Padahal musuh yang mengeroyoknya demikian banyaknya! Untuk meminta tolong kepada Souw Lian Cu atau Tong Ciak, pemuda ini merasa malu. Apalagi tadi ia sudah menolak ketika Tong Ciak bermaksud menolong dia.

Dalam keadaan terpepet Yang Kun menjadi nekad! Tanpa memperdulikan lagi pada mati hidupnya, ia mengerahkan tenaga sakti Liong-cu-i-kang sepenuh penuhnya! Dan bersamaan dengan suara desis ular dari bibirnya, badannya memancarkan gelombang udara yang luar biasa dinginnya. Begitu dingin sehingga untuk sekejap lawan lawannya seperti membeku tak bisa bergerak di tempat masing-masing!

Tapi sekejap kemudian Togu dan Huang-ho Heng te segera dapat melepaskan diri dari pengaruh itu. Selanjutnya, dengan berseru keras mereka melompat ke depan, menerjang Yang Kun dengan hebatnya. Sepasang tongkat berkait dari dua bersaudara itu menghantam ke arah Yang Kun dengan kekuatan penuh. Sedangkan Togu juga tidak mau kalah dengan temannya, cambuk kulit ularnya tampak melayang ke arah pinggang Yang Kun dengan ganas sekali. Suaranya mengaung bagaikan suara angin topan bertiup.

Yang Kun memang sudah tidak memikirkan lagi mati hidupnya! Ia telah merasa bahwa kekuatannya takkan dapat bertahan untuk beberapa lama lagi. Oleh karena itu sebelum kekuatan itu habis ia ingin melumpuhkan dahulu lawan-lawannya!

Selagi yang lain belum mampu mengatasi pengaruh Liong-cu-i-kangnya, Yang Kun mengumpulkan seluruh kekuatan tenaga saktinya ke arah lengan! Dan berbareng dengan datangnya serangan Togu dan Huang-ho Heng-te, pemuda itu melontarkan serangan ke depan. Badai angin beracun yang luar biasa hebatnya terasa menghantam ke arah lawan-lawannya! Suaranya menderu menggiriskan!

"Wuuuussss!!" "Dheeesss!"

“Huuaaaakk!”

"Aduuuuuh!"

Seperti diterjang oleh hembusan badai topan yang ganas, belasan anak buah Tu Seng yang mengeroyok Chin Yang Kun terpental kesana kemari. Sekejap mereka berkelojotan sambil menggaruk-garuk tubuhnya yang gatal, lalu mati!

Tapi Yang Kun juga tidak bisa mengelakkan serangan Togu dan Huang ho Heng-te yang menghantam tubuhnya! Dengan disertai suara keras tiga buah senjata itu menghajar dengan telak pada tubuhnya, sehingga di lain saat dari mulutnya tampak menyembur darah segar yang berwarna kehitam-hitaman! Dan Huang ho Heng-te yang berada di dekatnya tak mampu menghindarkan diri lagi dari semburan darah tersebut. Leher dan dadanya basah oleh darah Yang Kun!

"Waduh! ToIonnggg....!”

Sambil mencengkeram leher dan dadanya Huang-ho Heng-te berguling-guling di atas lantai. Jari-jarinya sibuk mencakar-cakar kulitnya yang terkena darah beracun dari Chin Yang Kun. Akhirnya setelah kulit itu terkoyak-koyak, keduanya mati dengan wajah mengerikan!

Togu yang berada di sebelah belakang Yang Kun terbelalak ngeri menyaksikan nasib kawan-kawannya itu. Dengan tubuh gemetar raksasa yang biasanya sangat pemberani itu melepaskan tangkai cambuknya yang membelit pinggang Yang Kun kemudian dengan wajah ketakutan raksasa Mongol itu meloncat melarikan diri!

Yang Kun yang telah terluka parah itu menggeram. Ia tak mau kehilangan musuhnya itu. Tapi kakinya terasa kaku dan sukar untuk bergerak lagi. Oleh karena itu dengan kekuatannya yang terakhir ia mengerahkan ilmu pamungkasnya, Kim-coa-ih-hoat!

“Hiyaaat!” Sambil membalikkan tubuh pemuda itu mengulurkan lengannya ke arah lawan yang telah berlari sejauh tiga meter dari tempatnya berdiri.

“Aughh....!!” raksasa itu berteriak mengerikan. Badan yang sebesar kerbau itu tertarik kembali ke belakang dan di lain saat terlontar ke atas ke arah lobang genting yang tadi dibuat oleh tubuh Toat-beng-jin!

“Hei! mengapa kau menyusul aku di ke sini?” tiba-tiba Toat-beng-jin muncul dari lobang itu seraya menangkap tubuh Togu, lalu dengan ringan orang tua itu melayang turun sambil membawa Togu ke bawah.

“Ohh... kau!?! Kau belum mati? Auwghh...!” raksasa itu terbelalak begitu melihat siapa yang memondongnya, tapi sesaat kemudian tubuhnya tampak meronta, lalu mati. Cengkeraman jari tangan Yang Kun tadi ternyata telah mematahkan tulang lehernya.

Tapi pada saat yang bersamaan Yang Kun juga jatuh terkulai dan menggeletak pingsan di atas lantai. Dari mulutnya masih mengalir darahnya yang berbahaya itu.

“Yang-hiante!”

“Oh, Yang Kun.....!”

Tong Ciak dan Souw Lian Cu menjerit berbareng. Keduanya bergegas datang, dan lawan yang mereka hadapi mereka tinggalkan begitu saja.

“Awasss! Jangan sentuh darahnya!!” Toat-beng-jin berteriak memperingatkan kedua orang itu. Toat-beng-jin lalu bergegas menotok beberapa jalan darah di badan Yang Kun dengan sebatang ranting, sehingga tidak berapa lama kemudian darah yang mengalir keluar itu berhenti. Lalu bersama dengan Tong Ciak Cu-si, orang tua itu menyalurkan tenaga sakti yang mereka miliki ke tubuh Yang Kun. Dan lima menit kemudian Yang Kun telah siuman kembali.

Sementara itu Tu Seng yang telah kehilangan banyak teman itu cepat-cepat meninggalkan restoran tersebut bersama anak buahnya yang tersisa. Ia bermaksud melaporkan kejadian itu kepada Tuan Tan dan memperingatkan majikannya agar berhati-hati. Ternyata lawan yang mereka tunggu adalah lawan yang sangat berbahaya. Tu Seng tidak tahu bahwa dia telah salah alamat kali ini.

Sepeninggal Tu Seng dan kawan-kawannya, Toat-beng-jin memanggil pemilik restoran dan meminta tolong agar mengurus mayat-mayat yang berserakan di tempat itu. "….saudara telah menyaksikan sendiri, bahwa orang orang yang mengaku sebagai pembantu Tuan Tan itulah yang memulai peristiwa ini. Untunglah kami semua tak kurang suatu apa. Oleh karena itu, kalau saudara tidak terima dengan keadaan restoran yang rusak ini, saudara harap meminta ganti rugi kepada Tuan Tan....”

“…dan jangan sekali-kali kau menyentuh darah itu!” Tong Ciak menyambung perkataan Toat-beng jin seraya menunjuk ke arah ceceran darah yang tadi keluar dari mulut Yang Kun.

Kemudian bersama-sama Souw Lian Cu dan Chin Yang Kun, kedua tokoh Im-yang-kauw itu keluar meninggaIkan tempat berdarah tersebut. “Sekarang kita langsung ke rumah mendiang Su-couw saja.” Tong Ciak bersungut-sungut.

“Lo-hu memang benar-benar sial hari ini. Ingin menikmati sarapan pagi saja tidak kesampaian….”

“Hahaha.... apa kataku! Kesialan itu memang sering datang dengan beruntun....” Toat-beng-jin tertawa. “Ini saja tentu belum selesai. Aku percaya sebentar lagi Tuan Tan tentu akan menemui kita bersama seluruh kekuatannya....”

“Heh?!?” Tong Ciak berhenti melangkah. “Ah, biar sajalah! Kuhabiskan sekalian mereka kalau berani datang.”

“Ah!” Toat-beng-jin berdesah, tapi tak berkata lebih lanjut. Rumah kuno itu benar-benar sangat menyedihkan keadaannya. Selain kotor bangunan itu sudah banyak yang rusak. Genting dan dindingnya banyak yang telah pecah dan longsor. Begitu pula dengan kayu-kayunya, telah banyak yang lapuk dan patah. Bagian yang agak utuh hanyalah bangunan yang berdiri di pojok halaman belakang, yaitu bangunan yang dahulu merupakan bangunan yang diperuntukkan sebagai gudang, dapur maupun kandang binatang piaraan.

Biarpun juga tidak boleh dikatakan bersih, tapi bangunan yang disebut belakangan ini sedikit tampak kalau sering dijamah orang. Daerah di sekitarnya tampak bekas-bekas tangan manusia yang menjamahnya. Bekas-bekas goresan sapu tampak di atas tanah di sekitarnya, sementara di samping bangunan itu tampak terlihat sebuah lobang tempat sampah yang besar. Malahan pada saat itu gundukan sampah kering yang berada di dalamnya tampak mengeluarkan asap tipis, agaknya baru saja dibakar orang.

Di depan rumah terdapat tali panjang yang direntang dari pohon kecil ke tiang kayu yang berada di pojok bangunan. Beberapa buah baju dan celana tua tampak tergantung di atasnya. Sedang di halaman sumur terlihat sebuah jambangan penuh terisi air, sementara ember untuk mengambil air yang terletak di dekatnya masih basah bekas dipakai orang.

“Hmm.... sepi benar kelihatannya.” Tong Ciak Cu-si bergumam diantara langkahnya. “Kemanakah kakek Kam itu......?”

“Mungkin sedang menyiapkan makanan di belakang. Lihat dapurnya berasap!” Toat-beng-jin menunjuk ke arah dapur.

Dengan diikuti oleh ketiga orang kawannya Tong Ciak menyeberangi halaman tengah yang amat luas itu, menuju ke bangunan belakang, dimana kakek penunggu rumah tersebut tinggal. Mereka melewati pohon-pohon rindang yang banyak bertebaran tak terurus di tempat itu. Mereka langsung menuju ke arah dapur, dimana tadi mereka telah melihat asap yang mengepul di sana.

Tiba-tiba mereka berhenti melangkah. Ada sesuatu yang membuat hati mereka merasa curiga. Mereka seperti mendengar suara orang bertempur di tempat itu.

“Lo jin-ong....! Apakah Lo-jin-ong mendengar suara itu?” Tong Ciak menoleh.

Toat-beng-jin mengangguk. "Yaa... seperti orang bertempur dengan tangan kosong."

Tiba-tiba…... "Braaak! Bluk!"

Salah satu sisi dari dinding dapur yang terbuat dari anyaman bambu itu terlepas dari tempatnya, dan dari dalam melayang sesosok tubuh terjatuh keluar. Tapi dengan sigap orang itu melenting tegak kembali, sebelum beberapa orang tampak berloncatan keluar dari lobang dinding dan mengepungnya.

“Hong-lui-kun Yap Kiong Lee….!” Tong Ciak berseru tertahan begitu melihat siapa yang terjatuh keluar itu tadi.

“Tiat-tung Lo-kai!” Souw Lian Cu tanpa terasa juga menjerit lirih begitu matanya memandang kearah orang-orang yang mengepung pemuda itu.

Tapi meskipun perlahan, ternyata seruan mereka itu telah terdengar oleh orang-orang yang sedang berkelahi tersebut. Bergegas mereka menoleh kearah rombongan Toat-beng-jin yang baru tiba. Hong-lui-kun menatap dengan pandang mata asing, karena pemuda itu telah lupa sama sekali dengan Tong Ciak. Telah lebih dari lima tahun mereka tidak saling bertemu, apalagi Tong Ciak sekarang memelihara kumis dan jenggot pula.

Sementara itu salah seorang dari para pengepung Hong-lui-kun yang berbadan bongkok dan memegang tongkat besi, tampak terkejut ketika melihat Souw Lian Cu. Orang tua yang kira-kira berumur enampuluh tahun itu mengibaskan lengan bajunya yang penuh tambalan.

“Hei, Souw kouwnio!” sapanya ramah, meskipun matanya masih tetap tegang melirik ke arah Hong-lui-kun Yap Kiong Lee.

Souw Lian Cu melangkah tiga tindak ke depan. Dengan wajah heran gadis itu memandang kakek pengemis yang ia panggil Tiat-tung Lo-kai (Pengemis Tua Bertongkat Besi). “Lo-cianpwe….. ada apa ini? Mengapa lo-cianpwe mengepung dia?”

"Souw kouwnio, kau beristirahat sajalah di pinggir! Biarlah orang ini kubereskan terlebih dahulu. Dia berani menghalang-halangi perintah Keh sim Siauw-hiap....."

"Omong kosong! Kalian hanya berbohong didepanku. Tak mungkin seorang pendekar ternama seperti Keh sim Siauw-hiap memberi perintah untuk merampok harta benda orang lain." Hong lui-kun Yap Kiong Lee menangkis tuduhan tersebut.

"Huh! Kau tahu apa tentang perjuangan kami!" Tiat-tung Lo-kai membentak.

“Perjuangan?” Hong-lui-kun tersenyum. “Ah, kalian ini benar-benar sudah terbalik jalan pikirannya. Perjuangan macam apa perbuatan merampok milik orang-orang lain itu?”

“Persetan! Kau memang mau menghina kami…..!” Tiat-tung Lo-kai berteriak.

Tongkat besi yang mengkilap kehitam-hitaman itu terayun ke depan dengan derasnya, lalu diikuti oleh para pengepung yang lain. Mereka menyerang dengan senjata mereka masing-masing, yaitu tongkat besi yang bentuk maupun warnanya sama dengan kepunyaan Tiat-tung Lo-kai! Hanya besar kecilnya yang berbeda. Mungkin hal itu untuk menunjukkan tinggi rendahnya kedudukan mereka masing-masing di dalam perkumpulan. Dan tongkat Tiat-tung Lo-kai yang lebih kecil dan lebih pendek dari tongkat kawan-kawannya itu menunjukkan bahwa kedudukannya lebih tinggi daripada kedudukan mereka.

Hong lui-kun menghindar dengan cepat, lalu tanpa sungkan ia membalas pula dengan tak kalah kerasnya. Sehingga beberapa saat kemudian di halaman kosong yang sepi itu terjadi pertarungan yang hebat. Masing-masing tak mau mengalah, meskipun masing masing menyadari bahwa lawan yang mereka hadapi kali ini adalah lawan yang amat sakti. Baik Hong-lui-kun maupun Tiat-tung Lo-kai dan kawan kawannya sama-sama terkejut di dalam hati, masing-masing tidak menyangka bahwa lawan yang berada di depan mereka demikian kuatnya!

Terutama bagi Tiat-tung Lo-kai dan kawan-kawannya! Mereka sungguh terkejut setengah mati ketika menyadari betapa hebatnya kepandaian pemuda yang berani menghalangi rencana mereka itu. Tiat-tung Lo-kai yang menjabat sebagai ketua Tiat-tung Kai-pang itu hampir tidak mau mengerti kenapa dirinya yang telah dibantu oleh empat orang pembantu utamanya belum juga bisa menundukkan lawan yang hanya seorang itu? Mungkinkah kesaktian pemuda tersebut melebihi kesaktian Keh sim Siauw hiap yang pernah mengalahkan mereka?

Sedang rasa terkejut di hati Hong-lui-kun lebih dititik beratkan kepada bayangannya tentang tokoh yang bergelar Keh-sim Siauw-hiap, yang mampu mengendalikan jago-jago sakti seperti kelima pengemis yang mengepungnya itu. Kalau untuk menundukkan kelima orang yang menjadi anak buahnya saja demikian sukarnya, bagaimana pula kehebatan orang yang disebut dengan Keh-sim Siauw-hiap itu?

Sementara itu Toat-beng-jin dan kawan-kawannya hanya dapat berdiri diam saja di tempat masing-masing. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, karena kedua-duanya tidak mereka kenal. Dan persoalan yang mereka perdebatkanpun juga tidak mereka ketahui.

“Souw kouwnio….! Kau mengenal para pengemis itu?” akhirnya Tong Ciak membuka mulut untuk bertanya kepada Souw Lian Cu.

“I….ya!” gadis itu mengangguk dengan gugup.

“Siapakah mereka?”

“Aaa… mereka adalah sahabat-sahabat Keh-sim Siauw-hiap. Mereka adalah orang-orang dari Tiat-tung Kai-pang!”

“Orang Tiat-tung Kai-pang?” Yang Kun menyela dengan kaget, sehingga Tong Ciak dan Toat-beng-jin menatapnya dengan tajam.

Yang Kun memang amat kaget. Ia menjadi teringat peristiwa di tempat pengungsian dulu, ketika ia secara tidak sengaja membunuh tiga orang Tiat-tung Kai-pang yang bermusuhan dengan orang Kim-liong Piauw-kok. Pemuda ini selalu teringat akan peristiwa itu, karena pada saat itu pulalah ia bertemu dengan Souw Lian Cu untuk pertama kalinya dan pada saat itu pulalah ia menyadari kehebatan ilmu yang diturunkan oleh nenek buyutnya.

“Wah, urusannya tentu akan bertambah runyam kalau orang-orang ini mengetahui kalau aku yang telah membunuh teman-temannya…..” pemuda itu membatin. Tak terasa Yang Kun menoleh kearah Souw Lian Cu. Kebetulan gadis cantik itu juga baru memandang Chin Yang Kun sehingga kedua pasang mata mereka bentrok satu sama lain dan keduanya buru-buru memalingkan mukanya dengan cepat.

Sementara itu Tong Ciak dan Toat-beng-jin yang sedari tadi mengawasi Souw Lian Cu tampak melangkah maju dengan tegang.

"Sahabat-sahabat Keh-sim Siauw-hiap…..? Eh, jadi... Souw-kouwnio, kau..... apakah kau juga datang dari Meng-to?" Tong Ciak bertanya.

Souw Lian Cu melirik sekejap kepada Yang Kun, kemudian mengangguk.

"Ooh!" Tong Ciak dan Toat beng-jin berdesah perlahan.

Di dalam arena, pertempuran semakin bertambah seru. Hong-lui-kun yang dikeroyok lima orang tokoh pimpinan Tiat-tung Kai-pang itu tidak menjadi kendor, bahkan semakin tampak bertambah garang malah! Beberapa kali gerakan kaki dan tangannya yang selalu diikuti oleh tiupan angin yang menderu-deru itu membobol kepungan lawan yang rapat, meskipun sesaat kemudian kepungan itu menjadi rapat pula kembali. Kelima tokoh puncak Tiat tung Kai-pang itu memang bukan tokoh tokoh sembarangan.

Diantara banyak perkumpulan pengemis yang tumbuh di dunia persilatan, perkumpulan pengemis Tiat-tung Kai-pang adalah perkumpulan yang paling tersohor dan paling banyak pengikutnya. Mereka tersebar di mana-mana, di seluruh kota kota besar, baik di daerah selatan yang padat penduduknya maupun di daerah utara yang dingin dan kering tanahnya. Begitu hebat dan besarnya, perkumpulan itu sehingga untuk mengurusnya terpaksa dibagi menjadi dua daerah, yaitu daerah selatan dan daerah utara. Tiat-tung Kai-pang daerah selatan diketuai oleh Tiat-tung Lo-kai yang kini sedang bertempur itu sedangkan daerah utara diketuai oleh Tiat-tung Hong-kai (Pengemis Sinting Bertongkat Besi)!

Masing-masing daerah mempunyai jago-jago yang berkepandaian tinggi. Seperti keempat tokoh yang kini membantu Tiat-tung Lo-kai tersebut! Mereka adalah para pembantu utama dari Tiat-tung Lo-kai, pengurus harian perkumpulan Tiat-tung Kai-pang daerah selatan. Keempat orang itu lebih dikenal orang dengan sebutan Tiat-tung Su-lo (Empat orang tua dari perkumpulan tongkat besi). Setiap orang dari Tiat-tung Su-lo mempunyai kepandaian sangat tinggi dan hanya berselisih sedikit dengan ketuanya, Tiat-tung Lo-kai!

Oleh karena itu dapat dibayangkan betapa hebatnya kepandaian Hong-lui kun Yap Kiong Lee yang mampu melayani keroyokan kelima tokoh sakti tersebut, tanpa sedikitpun kelihatan lelah ataupun terdesak!

"Gila! Sungguh gila! Pemuda ini memang keturunan iblis...!” Tiat-tung Lo-kai mengumpat-umpat di antara ayunan tongkatnya.

Sekali lagi tongkat besi dari kakek bongkok tersebut menyabet ke arah kaki Hong-Iui kun dalam Jurus Mengorek Sampah Mencari Tulang, sebuah jurus yang selalu dibangga-banggakan oleh orang tua itu karena sangat luar biasa keampuhannya. Selama hidupnya belum pernah ada seorang tokohpun yang mampu menghadapi jurus tersebut selain Keh-sim Siauw-hiap!

Tongkat itu bergetar seolah-olah menjadi beberapa buah tongkat saking kuatnya tangan yang menggerakkannya. Lalu setelah sampai pada sasarannya, tongkat tersebut berputar dengan kencang dalam genggaman, seakan-akan tongkat itu benar-benar mengorek sampah untuk mencari tulang yang tertimbun di dalamnya.

Kali ini Hong-lui-kun agaknya tak mungkin bisa mengelak lagi, apalagi ketika keempat tongkat Tiat-tung Su-lo ikut menghantam ke arah dada dan kepalanya. Semua jalan untuk menghindar telah ditutup oleh tongkat lawan! Dan kelima orang jago Tiat-tung Kai-pang itu sudah mulai mengembangkan senyumnya, mereka telah membayangkan lawan yang ulet itu jatuh terkapar di depan kaki mereka.

"Nah, sekarang hatimu tentu menyesal sekali, mengapa dirimu sampai ikut campur dalam urusan ini, haha. Tapi penyesalan itu takkan berguna lagi! Sebentar lagi tubuhmu akan tergeletak di atas tanah tak berdaya." Tiat tung Lo-kai tertawa gembira.

"Huh! Jangan bermimpi! Kau lihatlah baik-baik .. hiyaaat!" tiba-tiba Hong Iui-kun menggeram bagai singa marah. Entah dari mana pemuda itu mengambilnya, tahu-tahu tangannya telah menghunus sepasang pedang pendek. Dan cara memegangnyapun sangat aneh! Tangkai pedang itu dipegang secara terbalik, sehingga mata pedang yang tajam itu melengket sejajar dengan lengannya dan terlindung oleh lengan bajunya yang lebar. Cara memegangnya persis orang memegang belati! Sepintas lalu seperti tak memegang apa-apa.

Di lain saat pemuda itu meloncat ke atas, menghindari sabetan tongkat Tiat-tung Lo kai, sambil mengerahkan tenaga untuk menangkis keempat tongkat lainnya yang menerjang ke arah tubuh atasnya. Terdengar suara gemerincing yang amat keras ketika sepasang pedang yang terlindung di balik lengan baju itu menghantam tongkat lawan, sehingga keempat tongkat itu terpental lepas dari genggaman para pemiliknya.

"Traaaang....!!!”

"Ochh....?!"

“Ahhh...?!?"

Keempat Tiat-tung Su-lo itu terbelalak seperti orang kehilangan akal. Kejadian itu benar-benar mengejutkan mereka dan sedikitpun tidak terlintas dalam pikiran mereka bahwa kemenangan yang telah berada di depan mata tersebut berubah menjadi kekalahan yang amat memalukan. Tenaga gabungan empat orang Tiat-tung Su-lo yang selama ini amat ditakuti orang, kini ternyata telah ditaklukkan oleh seorang pemuda!

Bergegas keempat orang pengurus Tiat tung Kai-pang daerah selatan itu meloncat mundur. Dengan mulut melongo mereka mengawasi tongkat mereka yang jatuh berserakan di atas tanah.Di pihak lain, Tiat-tung Lo-kai yang telah kehilangan sasaran tongkatnya, menjadi marah bukan main. Tongkat yang berputar dalam genggamannya itu segera meluncur keatas mengejar lawan. Gerakannya sangat enteng dan sederhana, tapi ternyata mengandung tenaga yang hebat sekali. Itulah jurus Mencongkel Tanah Mencari Sisa-sisa Makanan yang ampuh!

Tapi Hong-lui-kun yang berada di atas dan baru saja mementalkan tongkat lawan itu tak berdiam diri begitu saja! la tak ingin selangkangannya dihajar ujung tongkat Tiat-tung Lo-kai! Maka sebelum senjata itu menyentuh pakaiannya, Hong Iui-kun cepat berjumpalitan dan menukik ke bawah. Sepasang pedang yang dipegangnya terayun menyilang, memapaki tongkat Tiat-tung Lo-kai!

"Traanng!” Tubuh bongkok dari Tiat-tung Lo-kai terpental dan terjerembab ke depan, sedang Hong-lui-kun tampak terhuyung-huyung sedikit setelah mendarat di atas tanah. Dan di dekat mereka tampak potongan ujung tongkat besi Tiat-tung Lo-kai yang baru saja tergunting oleh sepasang pedang Hong-lui kun Yap Kiong Lee.

Lagi-lagi semua orang dikejutkan oleh kehebatan ilmu silat pedang warisan Sin-kun Bu-tek yang jarang diketahui orang, tak terkecuali Toat-beng-jin dan Tong Ciak! Yang mereka ketahui selama ini, Sin-kun Bu-tek sangat terkenal dengan tangan kosongnya. Dan tokoh sakti itu tak pernah mempergunakan senjata selama hidupnya!

"Tong-hiante, agaknya selain mempelajari ilmu warisan leluhurnya, pemuda itu juga belajar kepada orang lain....." Toat-beng-jin bergumam.

"Mungkin juga...."

Setelah dapat mengalahkan lawannya, Hong lui-kun segera menyarungkan pedang pendeknya kembali. Ternyata pedang itu disembunyikan di bawah lengan bajunya. "Nah! Apa kata kalian sekarang?" katanya datar.

"Hmh! jangan sombong dahulu! Kami memang mengaku kalah sekarang. Tapi bagaimanapun juga kami tidak akan mengurungkan rencana kami semula. Kami tidak datang sendirian ke desa ini. Keh-sim Siauw-hiap telah mengirim beberapa orang untuk mengawani kami. Tunggulah.....!" Tiat-tung Lo kai menjawab dengan penasaran. Kemudian dengan terbungkuk-bungkuk orang tua itu mengajak Tiat-tung Su-lo meninggalkan tempat tersebut.

"Lo-cianpwe...." Souw Lian Cu berlari mendekati ketua pengemis itu.

"Ooh... iya! Souw-kouwnio!" Tiat-tung Lo-kai menghentikan langkahnya. Ia benar benar telah lupa bahwa di situ ada Souw Lian Cu, gadis yang selama ini sering kali ia lihat di Pulau Meng-to. Gadis yang ia tahu sangat lihai dan sangat dekat hubungannya dengan Keh-sim Siauw-hiap. Tapi kakek bongkok itu segera mengerutkan dahinya.

"Souw kouwnio, pemuda itu telah menghina kita. Dan ia telah berusaha menggagalkan rencana Keh-sim Siauw hiap! Mengapa engkau berdiam diri dan tak mau membantu kami?"

Souw Lian Cu tersentak kaget. la tak menyangka mendapatkan pertanyaan demikian. “Lo-cianpwe.... aku..... aku sedang terluka dalam ....." katanya gagap.

"Oh??!" kini orang tua itu yang terkejut. "Luka dalam....? Mengapa nona tidak lekas-lekas pulang untuk berobat?"

"Lukaku bukan luka biasa. Hanya beberapa orang tertentu yang bisa mengobatinya. Dan di antaranya adalah kedua orang yang datang bersama aku itu......" Souw Lian Cu menunjuk kearah Toat beng-jin dan Tong Ciak. “Mereka adalah tokoh-tokoh tingkat atas dari Im-yang kauw!”

"Im... yang.... kauw?" kakek itu semakin kaget, kemudian bergegas meninggalkan Souw Lian Cu dengan tergesa-gesa.

Souw Lian Cu menghela napas berat, lalu berjalan kembali ketempatnya semula.

"Nona, apa katanya? Rencana apakah sebenarnya yang akan dilakukan oleb Keh-sim Siauw-hiap di sini?" Tong Ciak menyongsong Souw Lian Cu.

"Merampok Tan-wangwe!" tiba tiba Hong-lui-kun menjawab pertanyaan tersebut. "Tapi aku tak mempercayainya. Tak mungkin pendekar ternama seperti Keh-sim Siauw-hiap mempunyai rencana seperti itu."

Ketika semuanya memandang dirinya, Hong-lui-kun segera tersadar bahwa ia belum saling mengenal dengan mereka. "Oh, maaf... Cuwi ini siapa? Apa keperluan cu-wi datang ke tempat kakek Kam ini?" tanyanya agak tersipu.

Chin Yang Kun yang sangat mengagumi sepak-terjang Hong-lui-kun sejak melihatnya pertama kali di warung Hao Chi itu cepat melangkah ke depan. Dengan tenang pemuda itu menunjuk ke arah Tong Ciak Cu-si. "Beliau itu adalah pemilik dari rumah dan pekarangan peninggalan Kim-mou Sai-ong ini. Oleh karena kebetulan sedang lewat di dusun ini, maka beliau bermaksud singgah sebentar untuk menemui penjaganya."

"Pemilik rumah ini.....? Benarkah? Siapa....? hei, Tong Tai-ciangkun rupanya!" tiba-tiba pemuda itu memekik kaget serentak mengenali wajah Tong Ciak Cu-si.

"Yap-kongcu...!" Tong Ciak terpaksa balas menyapa pula.

"Ah, Tong Tai-ciangkun. Siauwte benar-benar tak mengenalmu tadi. Coba saudara ini tak mengatakan bahwa engkau adalah pemilik rumah, aku sungguh takkan menyangkanya... Oh! Mari silahkan masuk! Kam-Lo-jin (kakek Kam) sedang keluar mencari obat untuk mengobati racun yang mengeram dalam badanku..." dengan amat ramah pendekar muda itu mempersilahkan mereka masuk ruangan dapur yang jebol dindingnya tersebut.

"Ah, Yap-kongcu.... lo-hu sekarang tidak menjabat sebagai Tai-ciangkun lagi." Tong Ciak membetulkan sebutan yang diucapkan oleh Hong lui kun kepadanya.

"Ah, benar.,... maaf...... maaf!"

Karena tak ada kursi yang dapat mereka gunakan untuk duduk, maka masing masing mencari tempat duduk sendiri seadanya. Sementara Hong-lui-kun sambil membersihkan bekas-bekas dinding dapur yang jebol, mempersilakan Tong Ciak beserta teman temannya untuk duduk menunggu Kam Lojin.

"Silahkan duduk.....! Kukira sebentar lagi Kam Lojin tentu akan segera datang. Biarlah kubersihkan dahulu tempat ini......”

"Ah, Yap-kongcu kuperkenalkan dulu dengan kawan kawanku ini!" Tong Ciak menarik lengan pemuda tersebut.

"Wah, siauw-te menjadi tidak enak hati terhadap Tong Lo-cianpwe. Siauwte telah menyebabkan dinding bambu ini roboh....."

"Alaa.... biarlah, Yap-kongcu tak perlu merasa sungkan. Toh bangunan rumah ini memang sudah lapuk."

Kemudian tokoh Im-yang kauw bertubuh pendek itu memperkenalkan teman-temannya kepada pemuda ahli waris Sin-kun Bu-tek tersebut. MuIa mula Souw Lian Cu, lalu Chin Yang Kun dan kemudian yang terakhir Toat-beng-jin!

"Oh.... jadi Lo-cianpwee yang berada di mukaku ini adalah Algojo dari perkumpulan Im-yang kauw yang sangat terkenal itu? Ah, Lo-cianpwe... siauw-te sungguh amat beruntung sekali dapat berkenalan dengan Lo-cianpwe.” Hong lui-kun cepat-cepat menjura dengan hormat. “Nama besar lo-cianpwe sudah lama terdengar sampai di kota raja."

"Ah, penghormatan Siauw taihiap ini justru membuat lo-hu menjadi malu malah. Seharusnya aku yang tua inilah yang harus mengagumimu. Siauw-taihiap masih sangat muda tetapi telah mempunyai nama yang demikian cemerlang. Setiap orang mengatakan bahwa Kaisar Han sekarang mempunyai pembantu seekor singa yang garang. Tak sebuah kekuatanpun di dunia ini yang mampu meruntuhkan kekuasaan Kaisar Han selama singa itu masih hidup. Dan kata orang singa itu adalah Yap Kongcu!”

"Hahahah.... khabar itu juga terlalu dibesar-besarkan pula. Seekor singa yang garang? Haha…. dahsyat benar! Mana kuat aku mengenakan nama sehebat itu?” pemuda sakti itu tertawa terbahak-bahak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Lo-cianpwe.....” tiba-tiba Hong-lui-kun menghentikan tertawanya, wajahnya menjadi serius. "Lo-cianpwe tahu? Apa sebabnya siauwte berada di sini.....?"

Dahi Toat-beng-jin tampak berkerut sebentar dan matanya yang tajam menatap secara aneh. Tapi sesaat kemudian kepalanya mengangguk tegas, bibirnya tersenyum. "Tahu! Mau berobat, bukan?"

“Hei! Lo-cianpwe sudah tahu?”

“Haha… bukankah Yap Kongcu tadi pernah mengatakan bahwa Kam Lojin sedang pergi mencari obat untuk mengobati badannya yang keracunan?” Tong Ciak menyela. “Kenapa Yap Kongcu terkejut?”

“Wah, pikun benar aku ini.” Hong lui-kun mengetuk-ngetuk jidatnya dengan jari. Lalu sambil membuang napas berat pemuda sakti itu melanjutkan perkataannya. “Benar! Siauw-te memang terkena racun. Dan Siauwte kemari ini mau berobat kepada Kam Lojin. Nah… siapa bilang siauwte tak terkalahkan? Siapa bilang siauwte ini seekor singa yang garang? Hehe… bukankah berita tersebut terlalu dibesar-besarkan orang? Lo-cianpwe….”

Lalu tanpa diminta lagi Hong lui-kun Yap Kiong Lee menceritakan semua kejadian yang baru saja dia alami, yang sebagian diantaranya juga telah disaksikan sendiri sendiri oleh Toat-beng-jin dan kawan-kawannya.


Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kaisar Han yang cerdik itu telah memerintahkan orang-orang kepercayaannya untuk mencari cap kerajaan yang hilang. Selain itu Baginda juga menyebar para anggota Sha-cap-mi-wi yang terkenal kehebatannya, untuk mengadakan penyelidikan ke seluruh negara.

Sejak peristiwa penangkapan Si Ciangkun di kota Tie-kwan setahun yang lalu, dimana telah terbukti bahwa ada kekuatan tersembunyi yang bermaksud memberontak terhadap negara. Apalagi ketika sebulan yang lalu terjadi serbuan besar-besaran ke istana kaisar, yang hampir saja berhasil menguasai kota raja, Baginda semakin yakin bahwa di dalam negara masih banyak golongan yang tidak menyukai kekuasaannya.

Kaisar Han sebenarnya bukanlah seorang yang haus kekuasaan ataupun kehormatan. Kaisar Han yang dahulu adalah seorang petani dusun itu juga bukan seorang yang berambisi besar untuk menjadi seorang raja diraja. Kaisar Han adalah seorang manusia yang sangat sederhana, dan tak suka pada sesuatu yang berbau gemerlapan.

Baginda hampir tak pernah mengenakan pakaian-pakaian kebesaran yang indah, dan selama lima-enam tahun ia berkuasa belum pernah baginda memakai mahkota intan berlian yang disediakan. Baju yang dipakai baginda sehari hari tak bedanya dengan baju yang ia pakai sebelum ia menjadi kaisar, yaitu pakaian seorang pendekar persilatan atau pakaian seorang petani dusun yang sederhana.

Dalam kehidupan sehari-harinya, baginda juga melarang para punggawa atau hamba sahayanya bersikap terlalu berlebih-lebihan dalam menghormatinya. Tak jarang seorang penjaga atau seorang dayang istana hanya mengangguk atau tersenyum menundukkan kepala saja apabila berpapasan dengan baginda.

Tapi di dalam tubuh yang amat sangat sederhana itu ternyata berakar watak ksatria dan cinta tanah air yang hebat! Di dalam jiwa yang lemah lembut itu ternyata berisi tanggung jawab yang besar terhadap negaranya. Dan rasa tanggung jawab yang amat besar terhadap kelangsungan hidup bangsanya inilah agaknya yang membuat dia mau duduk di atas singgasana!

Kaisar yang amat sederhana tapi berjiwa besar ini tak rela bila negaranya diperintah oleh seorang raja yang kejam dan lalim. Dia rela terbelenggu di dalam lingkungan istana dan meninggalkan kehidupan bebasnya demi rakyat kecil yang dicintainya!

Begitulah. Karena rasa kagum terhadap kebesaran jiwa Kaisar Han itulah Hong-lui-kun tanpa diperintah ikut pula berkelana mencari cap pusaka yang hilang! Dan demi Yap Kim, adiknya, Yap Kiong Lee turut pula mencari kaum perusuh yang berniat memberontak!

Bersama para anggota Sha cap-mi-wi, pemuda sakti itu berkelana mencari berita ke seluruh pelosok negara. Setiap bulan atau setiap saat yang telah ditentukan mereka pulang kembali ke kota raja untuk melaporkan hasil yang mereka peroleh, serta menentukan langkah langkah yang akan mereka tempuh selanjutnya.

Tapi hampir setahun lebih pendekar muda itu berkelana, berita tentang cap kerajaan itu belum juga mereka peroleh. Yang mereka dapatkan dalam jangka waktu yang cukup panjang tersebut hanyalah berita tentang kaum perusuh yang berusaha menumbangkan kekuasaan Kaisar Han! Itupun tidak banyak! Mereka hanya tahu tentang pemusatan-pemusatan pasukan liar di beberapa daerah!

Celakanya, ketika kaum perusuh menyusup ke kota raja diantara kaum pengungsi, mereka tidak ada yang tahu sama sekali. Hampir saja kota raja yang baru saja dilanda gempa bumi itu digilas rata oleh pasukan perusuh. Untunglah para anggota Sha cap mi-wi kebetulan sedang pulang semua ke kota raja, sehingga kaum perusuh yang sudah hampir dapat menguasai istana itu dipukul mundur kembali.

Beberapa hari setelah usaha pemberontakan yang gagal tersebut, Hong-lui-kun Yap Kiong Lee kembali berkelana mencari cap kerajaan lagi. Dia naik gunung turun gunung, masuk kota menjelajah desa, tanpa mengenal lelah. Akhirnya jerih-payahnya itu memperoleh hasil pula, meskipun belum seperti yang ia harapkan...

Selanjutnya,
PENDEKAR PENYEBAR MAUT JILID 16
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.