Pendekar Penyebar Maut Jilid 16 karya Sriwidjono - HONG LUI-KUN Yap Kiong Lee berjalan dari kota raja ke arah timur, sekalian mengikuti pasukan adiknya yang beberapa hari sebelumnya dikerahkan ke sana untuk mengejar sisa-sisa pasukan perusuh yang mundur ke arah timur.
Tapi di sebuah desa yang bernama Hok-cung, Yap Kiong Lee mendapatkan pasukan adiknya telah dapat memusnahkan pasukan lawannya. Meskipun adiknya itu tidak dapat menangkap pimpinannya, sebab khabarnya pimpinan pemberontak itu telah diselamatkan terlebih dahulu oleh pengawal pribadinya yang lihai.
Dari Hok-cung, Yap Kiong Lee berjalan ke selatan, melewati jajaran pegunungan kecil yang membujur ke arah pantai timur. Dia mendaki Bukit Delapan Dewa yang terkenal karena bangunan Kuil Im-yang kauw-nya itu, lalu bermaksud menyusuri sungai yang berada di kakinya.
Tapi di lereng bukit itulah dia dengan tidak sengaja melihat musuh lamanya, yaitu Song bun kwi Kwa Sun Tek! Pemuda lihai putera ketua Tai-bong-pai itu bersama seorang temannya tampak sedang mempermainkan empat orang pengikut lm-yang kauw. Yang tiga orang malahan telah dibunuhnya, sementara yang seorang lagi ia lepaskan supaya dapat memberi laporan kepada pemimpinnya.
Bukan main gembiranya Yap Kiong Lee! Ternyata di tempat yang sunyi sepi itu ia malah dapat menemukan orang yang selama ini ia curigai sebagai pimpinan kaum pemberontak. Padahal sudah setahun lamanya ia berusaha menemukan orang itu untuk menyelidiki keterlibatannya dalam kerusuhan yang terjadi di kota Tie-kwan tempo hari.
Di mana dalam pertempuran dengan kaum perusuh di gedung Si Ciangkun itu, ia melihat adiknya bertempur satu lawan satu dengan seorang musuh, yang mahir ilmu silat Tai-bong-pai! Meskipun saat itu orang tersebut menutupi wajahnya dengan saputangan, tapi Hong lui kun Yap Kiong Lee yakin bahwa orang tersebut tentulah Song bun-kwi Kwa Sun Tek. Musuh lama dari Kaisar Han!
Maka ketika ia menyanggupi permintaan tolong Kaisar Han untuk ikut mencari siapa sebenarnya tokoh yang menggerakkan kaum perusuh itu, Hong-lui-Kun segera memusatkan pencariannya kepada Song-bun-kwi Kwa Sun Tek! Tetapi pemuda iblis itu ternyata sukar sekali dicari. Bagaikan hantu orang itu menghilang dan tak pernah kelihatan lagi!
Malah di gedung pusat Tai-bong-pai sendiri orang telah melupakannya. Biarpun putera ketua mereka sendiri, tapi Song-bun-kwi telah lama diusir oleh ayahnya, sehingga anggota perguruannya sendiri juga tak mempedulikannya lagi.
Setelah membunuh tiga orang anggota Im-yang-kauw, Song-bun-kwi dan temannya lalu pergi meninggalkan Bukit Delapan Dewa. Mereka melintasi bukit-bukit yang berada di sebelahnya, lalu turun ke lembah, dan akhirnya menuju ke tepian sungai yang mengalir di tempat itu.
Dengan sangat berhati-hati, Hong-lui kun mengikuti saja ke mana mereka pergi. Begitu pula ketika dua orang itu mendekati beberapa buah perahu yang berlabuh di tepi sungai tersebut.
Dua orang yang amat sangat dikenal oleh Yap Kiong Lee keluar dari sebuah perahu yang ditambatkan agak ke tengah. Kedua orang itu berdiri di atas geladak, menyongsong Song bun kwi yang baru saja datang.
"Tee-tok-ci dan Ceng-ya-kang...!" Hong-lui-kun bergumam perlahan. "Ahh... jadi benar juga dugaanku selama ini. Si Ciangkun telah diperalat oleh Song-bun-kwi dan orang-orang Ban-kwi-to!”
Yap Kiong Lee menoleh kesana kemari, mencari jalan agar dapat mendekati perahu tersebut. Tapi perahu itu jauh terpisah dari perahu-perahu yang lain, sehingga sukar untuk mendekatinya tanpa terlihat oleh mereka.
"Satu-satunya jalan hanyalah menyelam dan berenang ke sana. Tapi apakah arus sungai ini tidak besar? Walaupun bisa, tapi aku tidak mahir dalam berenang......”
Tapi karena hanya dengan jalan itu ia bisa mendekati lawannya, maka Hong-lui-kun nekad untuk menyelami sungai yang lumayan besarnya itu. Berhati-hati ia beringsut ke hilir. Lalu tempat yang terlindung oleh semak-semak, ia turun ke dalam air dan menyelam!
Tiba tiba dilihatnya perahu tersebut melepaskan ikatannya dan bergerak untuk berangkat. Perlahan-lahan perahu itu berputar, kemudian hanyut ke hilir. Seorang tukang perahu tampak berdiri di buritan mengendalikannya.
Hong-lui Kun tidak jadi berenang. Sambil memegang patahan ranting berdaun rimbun di atas kepalanya, ia menanti lewatnya perahu tersebut di tempatnya. Kemudian dengan hati-hati ia 'menempel' pada dinding perahu. Ranting berdaun lebat yang dibawanya ia pakai untuk menutupi kepalanya yang tersembul di atas air.
Beberapa saat lamanya perahu itu berjalan, tapi Yap Kiong Lee belum juga mendengar percakapan mereka. Suasana di dalam perahu masih tetap sunyi. Tak ada suara sedikitpun selain suara kecipaknya air sungai yang menjilat dinding perahu. Satu jam telah berlalu. Yap Kiong Lee sudah mulai bosan dan kedinginan.
"Kurang ajar! Apa yang diperbuat orang orang itu? Mengapa diam saja sejak tadi." pemuda itu menggerutu di dalam hati. Lalu dengan penasaran diraihnya tali yang tergulung di atasnya, yang terikat kuat pada pagar perahu. Ia bermaksud menjenguk ke dalam.
Tetapi belum juga tali itu terjangkau oleh jarinya, tiba-tiba dari arah depan muncul sebuah perahu lain. Perahu tersebut dengan cepat menyongsong perahu yang 'ditempelnya‟, Beberapa orang pendayung tampak bersemangat sekali dalam mengayunkan dayungnya.
"Ong-ya datang.......!" mendadak Hong-lui-kun mendengar suara serak dari dalam perahu. Agaknya suara orang tinggi besar yang datang bersama dengan Song-bun-kwi tadi.
Yap Kiong Lie mengurungkan niatnya. Dia justru semakin membenamkan tubuhnya. Dari balik daun-daun yang menutupi kepalanya, ia mengintip ke arah perahu yang datang. Beberapa puluh meter sebelum kedua perahu tersebut berpapasan, perahu yang datang dari depan tadi tampak berputar berbalik haluan, kemudian berhenti menantikan perahu yang dinaiki Song-bun-kwi Kwa Sun Tek. Lalu keduanya berlayar berdampingan.
Yap Kiong Lee yang kebetulan berada di antara dua dinding perahu yang sedang berdempetan, dengan leluasa dapat mendengarkan percakapan mereka.
“Ongya......! Apakah ongya sudah terlalu lama menunggu, sehingga terpaksa menyusul kami kemari?" Song-bun-kwi yang cuma terlihat kepalanya saja dari tempat persembunyian Yap Kiong Lee itu membuka suara, menyambut seorang laki-laki misterius di atas perahu yang baru saja tiba.
"Uh! Uh! Uh!” Grobyag!! Tiba tiba dari dalam perahu orang misterius tersebut terdengar suara berisik yang disertai suara manusia yang ditutup mulutnya dengan paksa.
Song-bun-kwi kelihatan tertegun di tempatnya. Begitu pula Tee-tok-ci, Ceng ya-kang dan orang bertubuh tinggi besar yang berdiri dibelakangnya! Hong-Iui-kun yang berada di dalam airpun ikut tegang dan berdebar-debar.
"Permainan apa sebenarnya yang sedang dilakukan oleh orang-orang ini? Song-bun-kwi yang telah diusir oleh perguruannya, iblis-iblis Ban-kwi-to yang biasa membuat kerusuhan dan orang bertopeng yang selalu menyembunyikan wajahnya di balik kerudung hitamnya!!" pemuda itu menduga-duga di dalam hatinya.
"Uh... uh!" sekali lagi terdengar suara berbisik itu.
"Hmh! Kau mau diam atau tidak?” orang berkerudung itu menoleh ke dalam perahu dan menghardik.
"Ongya, siapakah dia?” orang bertubuh tinggi besar itu bertanya.
"Dia adalah murid Si Tua Bangka dari Bing-kauw yang kurang ajar itu!”
"Oh! Mengapa ongya menawannya...?"
"Hmh!" orang berkerudung itu mendengus tak menjawab. Lalu badan yang terbungkus oleh mantel hitam tersebut tampak melayang, menyeberang ke perahu yang ditumpangi Song-bun-kwi dan kawan kawannya. Dengan mengangguk hormat Song-bun-kwi segera mempersilahkan orang itu ke dalam perahunya.
"Silahkan duduk, ongya!”
"Terima kasih!" orang misterius yang dipanggil dengan sebutan ongya itu mengangguk. Lalu katanya kemudian. "Kwa-heng, Wan-heng, Tee-tok-ci dan Ceng-ya-kang! Marilah kalian kupersilahkan pula duduk bersamaku di sini! Banyak yang hendak kubicarakan dengan cu-wi semua....."
Dari tempat persembunyiannya Hong-lui-kun mendengar suara kursi yang ditarik oleh orang-orang tersebut. Agaknya mereka duduk dalam satu meja. "Hm, siapa pula orang ini? Kelihatannya semua orang sangat menghormatinya. Apakah dia yang memimpin kelompok perusuh itu?" pemuda ahli waris Sin-kun Bu-tek itu sibuk menduga-duga di dalam hati. "Kuharap aku tidak salah tebak! Dan kuharap aku benar-benar telah menemukan buruanku itu sekarang!" Dengan perasaan tegang Hong-lui-kun Yap Kiong Lee mendengarkan percakapan mereka.
"Kwa-heng...? Bagaimana dengan rencana yang hendak Kwa-heng lakukan bersama Wan-heng dulu itu? Apakah Kwa-heng sudah melaksanakannya? Bagaimana pula perkembangannya?" orang misterius itu terdengar memulai percakapan mereka.
Terdengar suara tertawa dari dua orang yang baru saja disebut namanya itu. "Hahaha.,..! Ongya, semuanya benar-benar berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan dahulu. Dunia persilatan sudah mulai panas! Seluruh rencana yang telah kita laksanakan, sekarang sudah mulai membawa hasil. Masing-masing perguruan dan golongan yang kita maksudkan telah mulai saling cakar dan saling curiga-mencurigai satu sama lain." Orang she Wan yang datang bersama Song-bun-kwi tadi menjawab pertanyaan itu.
"Apakah para pemimpin mereka telah bertempur satu sama lain?"
"Belum, ongya! Tapi hamba kira hal itu segera akan terjadi takkan lama lagi....." Song-bun-kwi menerangkan. "Masing-masing telah terbakar hatinya, sehingga mereka telah saling mempersiapkan diri....."
"Bagus! Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih! Kwa-heng dan Wan-heng memang hebat sekali! Jadi sekarang kita tinggal menanti saja saat yang tepat! Kita bersama-sama akan bergerak, dan eh, lalu bagaimana dengan cap kerajaan itu? Apakah kalian semua telah mencium jejaknya?" tiba-tiba orang berkerudung itu mengalihkan pembicaraannya.
Hong-lui kun yang masih berada di bawah perahu itu menjadi tegang bukan main. Cap kerajaan! Mereka ternyata juga mencari benda keramat itu! Maka dengan hati berdegup keras, pemuda itu menempelkan telinganya lekat-lekat ke dinding perahu, agar dapat lebih jelas mendengarkan perkataan mereka.
Hening sejenak. Semuanya terdengar menghela napas panjang. "Maaf, ongya! Mengenai hal yang satu ini kami semua masih menghadapi kegelapan. Tak seorangpun dari kami yang bisa mendapatkan berita tentang benda ini. Yang dapat kami ketahui hanyalah siapa-siapa yang saat ini juga sedang memburu benda keramat itu!" orang she Wan itu kembali menundukkan kepalanya.
"Hmm, siapakah selain kita yang menginginkan benda tersebut?"
"Kaisar Han dan bekas Putera Mahkota Wangsa Chin!"
"Hah? Apa?!!" orang berkerudung itu terlonjak kaget, sehingga yang lain ikut-ikutan terperanjat pula.
"Ongya? Mengapa.....? Ada yang salah?" Song bun-kwi segera berlutut di atas lantai perahu, kemudian diikuti pula oleh yang lain-lain.
"Ah, tidak! Tidak! Tidak apa-apa! Silahkan kalian duduk kembali.....! Aku hanya tidak mengira kalau ternyata kelompok lain yang memburu cap kerajaan itu adalah bekas Putera Mahkota itu! Hmm... jadi orang itu belum mati juga."
"Memang belum mati! Malah hamba dengar justru bekas Putera Mahkota itulah yang memimpin penyerbuan yang berkedok pengungsi ke kota raja beberapa hari yang lalu." Song-bun-kwi menyahut dengan perasaan sedikit aneh.
Orang berkerudung yang tidak lain adalah Hek-eng-cu, yaitu seorang tokoh misterius yang mempunyai ambisi untuk menjadi raja dengan cara menghancurkan kekuasaan Kaisar Han itu, tidak berkata lebih lanjut. Orang itu kelihatan termenung dan termangu mangu, sehingga para pembantunya menjadi semakin merasa heran. Tak biasanya pemimpin mereka itu bersikap demikian. Tapi untuk bertanya mereka tak berani, apalagi mereka tak bisa mengetahui apa yang tersirat dalam wajah yang tertutup kain kerudung itu.
"Ongya...! Tak perlu Ongya merasa khawatir, apalagi bersedih hati. Walaupun kami belum bisa mendapatkan cap kerajaan itu, tetapi kami telah memperoleh mustika yang tak kalah berharganya pula..." Song-bun-kwi yang tidak tahan melihat keadaan tuannya itu segera mendekati.
Hek-eng-cu menoleh dengan cepat. Wajah yang terlindung oleh topi dan kerudung hitam tersebut tampak menegang sebentar. "Oh! Apa yang Kwa-heng maksudkan?" tanyanya singkat.
"Ongya!" orang she Wan yang berada dibelakang Song-bun-kwi itu ikut mendekat pula. "Apakah Ongya masih ingat ketika kita mendapatkan potongan emas yang berbentuk aneh di saku baju Chin Yang Kun dahulu itu? Ketika hamba dan Tee-tok-ci berhasil menjebak pemuda itu di kota Tie-kwan dan membawanya ke gedung Si Ciangkun?”
"Ya, aku ingat....! Lalu maksud Wan-heng?"
"Ternyata goresan-goresan yang terpahat pada potongan emas itu menunjukkan sebuah peta penyimpanan harta karun mendiang Perdana Menteri Li Su yang bukan main besarnya!”
"Hah??" sekali lagi Hek-eng-cu tampak terkejut sekali. "Benarkah.....? Tapi kulihat goresan peta yang terlukis disitu seperti terpotong-potong dan tidak lengkap!"
"Ong-ya benar. Potongan emas itu memang terdiri dari dua bagian sebenarnya. Yang sepotong telah Ongya bawa. Sedangkan yang sepotong lagi...." Orang berbadan gemuk besar itu tidak melanjutkan perkataannya.
“Yang sepotong lagi...?” Hek-eng-cu menegaskan.
"Yang sepotong lagi baru saja hamba peroleh dari tangan Tung-hai Nung-jin pagi tadi!" Song bun-kwi menyambung perkataan kawannya.
"Heh, coba kulihat!"
Song-bun kwi merogoh saku bajunya, lalu menyerahkan potongan emas yang telah banyak membawa kurban itu. "Inilah benda itu, Ongya....”
Orang berkerudung itu segera menyambar potongan emas yang berada di telapak tangan Song-bun-kwi, lalu ditelitinya dengan seksama. Lalu dengan tergesa-gesa tangannya merogoh ke balik jubah hitamnya, dan di lain saat tangannya telah memegang potongan emas yang rupa dan bentuknya persis dengan potongan emas yang baru saja diberikan oleh pembantunya. Dua buah potongan emas itu dilekatkan satu sama lain dan persis benar!
"Ah! Benar! Kwa-heng! Wan-heng! Tee-tok-ci! Ceng-ya-kang...! Lihatlah! Peta itu benar-benar lengkap sekarang!" katanya sambil meletakkan potongan emas itu di atas meja sehingga semua orang bisa menyaksikannya.
"Hei! Aku tahu tempat ini!" tiba-tiba Ceng-ya-kang menjerit.
"Hah? Benarkah? Lekas kau sebutkan, Ngo-sute!" Tee-tok-ci mencengkeram lengan adik seperguruannya.
"Benar, Ngo-sicu! Kalau engkau tahu, lekas katakan......!" Orang she Wan itu ikut mendesak.
Semuanya menatap dan menanti perkataan yang akan diucapkan oleh orang kelima dari Ban-kwi-to itu. Termasuk juga Hong-lui-kun Yap Kiong Lee, yang mendengarkan percakapan itu sejak tadi!
"Goresan ini bukan gambar peta…. tapi lukisan Pantai Karang di sebelah selatan Laut Po-hai!" Iblis gundul itu berkata tegas.
"Pantai Karang? Pantai tempat penyeberangan ke Pulau Meng-to itu?" Tee-tok-ci dan Song bun-kwi bertanya hampir berbareng.
"Betul! Lihatlah...! Bukankah di sebelah kiri ini adalah lukisan Batu Kepala Naga yang menjorok ke tengah laut itu! Dan yang ini! Bukankah ini gambar Batu Kilin Mandi yang terkenal itu?"
"Hah, benar! Jadi... gambar garis-garis ini dimaksudkan sebagai laut, bukan kode-kode sandi atau yang lain. Dan coretan coretan ini adalah lukisan-lukisan batu karang yang berada di tempat itu. Lalu..... ah, Ngo-sute..... kau benar! Lo-hu sering juga lewat di sana!” Tee-tok-ci berteriak gembira.
"Hmm, untunglah aku mempunyai pembantu Tee-tok-ci dan Ceng-ya-kang, yang telah biasa mengarungi pantai-pantai sebelah timur. Coba kalau tidak! Siapa yang akan dapat mengenal gambar ini?” Hek-eng cu mengangguk-angguk senang. "Sekarang tinggal terserah kepada kita, kapan kita akan berangkat mengambil harta karun itu."
'Wah... semakin cepat kita berangkat, hamba kira akan semakin baik. Dalam urusan mencari rejeki ini, berlaku pepatah: Siapa cepat akan dapat! Siapa tahu sudah ada orang lain pula yang mengetahui rahasia ini?" Song-bun-kwi memberi saran.
"Kwa-heng benar......! Tapi kita tidak boleh berangkat kesana bersama-sama......”
"Eh? Maksud Ongya......!" semuanya menatap Hek-eng-cu tak mengerti.
Agaknya orang berkerudung hitam itu sudah mengira kalau akan mendapat pertanyaan seperti itu. "Cu-wi tidak usah kaget. Dalam saat-saat seperti sekarang ini, di mana terompet sangkakala sudah dekat untuk kita bunyikan, kita tidak boleh selalu menggerombol bersama-sama! Kita semua sudah tahu bahwa pihak lawan juga mempunyai orang-orang pilihan, yang tersebar di mana-mana. Oleh karena itu kita mulai sekarang harus berhati-hati. Siapa tahu salah seorang dari kita, entah cu-wi entah aku, telah dicurigai atau diikuti oleh mereka! Andaikata benar demikian, jangan sampai sekali tepuk mereka dapat menangkap kita semua!"
Semuanya menundukkan kepala. Sadar bahwa perkataan pemimpin mereka itu memang benar adanya. Apa gunanya jerih payah mereka selama ini, kalau semuanya telah tertangkap musuh?
“Cu wi semua.... kukira tak seorangpun diantara kita yang belum mengetahui tempat yang disebutkan oleh Ceng-ya-kang Lo-heng tadi. Setiap orang sudah tahu tempat penyeberangan ke Pulau Mengzto itu. Maka dari sini kita berpisah dulu. Masing-masing mencari jalan sendiri-sendiri ke Pantai Karang itu. Dan dua hari lagi, tepat diwaktu tengah malam kita berkumpul lagi di tempat itu! Setuju......?"
"Baik, Ongya....!" semuanya menjawab hampir berbareng.
Sungguh sukar untuk digambarkan, bagaimana perasaan Hong-lui kun yang dapat mendengarkan pembicaraan mereka sejak tadi. Ada perasaan puas, senang dapat menemukan buruannya, sekaligus mengetahui rencana mereka. Tetapi ada juga perasaan takut dan khawatir melihat perkembangan ternyata sudah sedemikian jauhnya. Selain itu hatinya merasa tegang juga mendengar rencana orang-orang itu untuk mengambil harta karun di Pantai Karang!
"Wah, repot! Mana yang harus kukerjakan terlebih dahulu? Melapor kepada Hong siang, mengikuti salah seorang dari mereka, atau mencari bala bantuan yang terdekat untuk menghadapi mereka?” pemuda sakti itu kebingungan.
"Ongyaa... di depan ada perahu yang menghalangi jalan kita!” tiba-tiba orang yang bertugas di atas geladak berteriak keras.
Hek-eng cu beserta para pembantunya bergegas naik ke atas geladak. "Ingat! Kita berpencar dan berjumpa kembali di Pantai Karang dua hari lagi." orang berkerudung itu menegaskan kembali.
Di depan kedua buah perahu mereka tampak sebuah perahu besar berhenti di tengah-tengah sampai dalam posisi melintang. Melihat keadaannya, mudah diduga bahwa perahu besar tersebut sedang bermaksud menghadang mereka. Belasan orang laki-laki berpakaian ringkas tampak berjejer-jejer di atas geladaknya yang luas.
"Orang Bing-kauw....." Hek-eng-cu bergumam perlahan.
Song-bun-kwi saling memandang dengan orang she Wan yang berdiri di sampingnya, begitu pula Tee-tok-ci dan Ceng-ya-kang! "Ongya, apakah maksudnya mereka menghadang kita? Adakah mereka sudah mengetahui kalau kita yang mengadu domba mereka?" Song-bun-kwi mengerutkan keningnya.
"Atau mereka ingin memiliki pula peta harta karun itu?" Ceng-ya-kang ikut menduga-duga pula.
Sementara itu Hong-lui-kun Yap Kiong Lee ikut berdebar-debar pula hatinya.
"Uhh! Uhh! Uhhhh!" Tiba-tiba suara aneh dari dalam perahu yang sebelah kanan tadi terdengar lagi oleh Hong-lui-kun. Malah sekarang terdengar lebih keras dari pada tadi Ternyata yang lain-lainpun mendengar suara itu pula, sehingga otomatis semuanya menoleh ke arah Hek-eng-cu.
"Ah, benar..... Aku belum sempat menceritakannya kepada kalian semua," orang berkerudung itu menerangkan.
"Ongya.....?”
"Aku telah menangkap seorang anak murid Bing-kauw kemarin sore. Bocah itu secara tak sengaja telah melihat dan mendengarkan pembicaraanku dengan Tan-wangwe dari dusun Ho ma-cun. Aku takut anak itu membocorkan keterlibatan Tan-wangwe dalam perjuangan kita ini kepada orang-orangnya Liu Pang, maka kutangkap dia.....! Semula aku tak menduga kalau dia murid Put-ceng-li Lojin...." Hek-eng-cu berhenti sebentar. Suaranya ketika menyebut nama Put-ceng li Lo jin terdengar sangat geram, menandakan kalau dia betul-betul amat membenci pada nama itu!
"Tapi ketika beberapa orang Bing kauw datang dan berusaha membebaskan anak itu, aku baru tahu kalau dia adalah murid tua bangka yang tak mengenal aturan itu. Aku tak mau membuang-buang waktu melayani mereka, maka kubawa anak itu kemari. Tak kusangka orang-orang Bing-kauw itu masih saja membuntuti aku.....”
"Oh... kalau begitu kita gempur saja mereka sekarang!" Tee-tok-ci yang selalu haus darah itu menyeringai buas.
"Benar, Ongya! Kita sikat mereka agar tahu rasa!” Ceng-ya-kang mendukung usul kakak seperguruannya.
"Tidak!” Hek-eng-cu berkata tegas. "Kita tidak perlu melayani mereka! Apa gunanya rencana yang telah kita buat itu kalau kita membunuh mereka di sini? Biarlah kekuatan mereka itu mereka pergunakan untuk saling baku hantam dengan Im-yang kauw dan Mo-kauw besok!"
"Ah, maaf... kami benar-benar amat bodoh! Apa yang Ongya katakan itu memang betul sekali…” Tee tok-ci dan Ceng-ya-kang mengangguk-angguk.
"Oleh karena itu janganlah lupa.....! Kita menyebar dari tempat ini, dan..... bertemu kembali dua hari yang akan datang!"
"Baik, Ongya...." semuanya mengiyakan.
Kedua buah perahu yang ditumpangi Hek eng-cu dan para pembantunya itu tampak semakin dekat dengan perahu orang-orang Bing kauw. Hek-eng-cu tidak berusaha untuk memberi perintah kepada pendayung-pendayung perahunya agar menghentikan dayungan mereka, sehingga kedua buah perahu itu masih tetap melaju dengan pesat. Agaknya tokoh pemberontak itu memang sengaja mau membentur perahu lawan!
"Jangan takut! Biarpun perahu mereka lebih besar dari pada perahu kita, tapi perahu mereka dalam posisi melintang. Perahu itu takkan tahan menghadapi gempuran dua buah perahu kita.....! Nah, dalam keributan yang disebabkan oleh benturan kapal kita nanti, kita harus berpencar dan berusaha menyelamatkan diri kita masing-masing! Jangan melawan kalau tidak terpaksa...! Nah, marilah kita bersiap diri!" Hek-eng-cu berteriak.
Sementara itu Hong Iui-kun menjadi terkejut setengah mati begitu tahu maksud orang berkerudung yang ingin membenturkan perahu yang ditempelnya itu ke perahu lawan! Tanpa membuang waktu lagi ia meraih gulungan tali yang terikat pada dinding perahu di atas kepalanya, lalu menariknya kuat-kuat, sehingga tubuhnya yang berada di dalam air itu terlontar ke dalam perahu. Tepat di samping orang Bing-kauw yang ditawan oleh orang berkerundung itu!
"Penyelundup....! Awas musuh!" salah seorang anak buah Hek-eng-cu yang melihat kedatangan Hong-Iui-kun tiba-tiba berteriak.
Bagaikan sebuah bayangan Hek-eng-cu terbang kembali ke perahunya. Ketika dilihatnya ada seorang pemuda berada di dekat tawanannya, tanpa pikir panjang lagi ia melontarkan pukulan Pat-hong-sin-ciangnya yang ampuh bukan alang kepalang!
Sekejap Hong-lui-kun merasa bagai digencet oleh kekuatan yang tak kelihatan dari segala arah. Dan ketika matanya menatap ke arah mata lawan yang sedang terbang ke tempatnya, pemuda itu seperti melihat sinar matahari yang mencorong ganas, seolah-olah mau membakar tubuhnya! Tapi herannya, angin yang tertiup ke arah tubuhnya demikian dingin membekukan!
ltulah pukulan Pat-hong-sin-ciang (Pukulan Sakti Delapan Penjuru), yang dahulu merupakan ilmu andalan Bit-bo-ong! Ilmu yang sangat menggiriskan ini adalah gabungan antara tenaga dalam dan ilmu sihir! Siapa saja yang menjadi sasaran dari ilmu ini akan menjadi kaku kedinginan dan sukar bergerak seperti orang tergencet dalam lumpur tanah liat!
Tapi Hong-lui kun segera menyadari keadaannya yang gawat. Dengan segala kemampuan yang ia dapatkan selama ini, ia meronta dan menghentakkan seluruh kekuatan ilmunya! Whuuaaah! Kemudian setelah berhasil membebaskan diri dari himpitan ilmu lawan, Hong-lui-kun segera mengayunkan lengannya ke depan, menyongsong pukulan Hek-eng-cu! Kedua-duanya mengerahkan seluruh kemampuannya! Dan pertemuan antara dua kekuatan raksasa itu bersamaan waktunya dengan membenturnya dua buah perahu Hek-eng-cu ke arah perahu Bing-kauw!
"Kkrrroaaaakk!"
"Dhuuuuaar!"
"Hwaduuh! Tolong......!" Perahu Bing-kauw yang besar itu terbelah dengan suara yang menggiriskan menjadi tiga bagian! Para penumpangnya terlempar berhamburan ke dalam sungai. Dan sebentar kemudian terdengar jeritan ngeri dari orang-orang yang tidak bisa berenang.
Tapi kedua buah perahu kecil yang menabraknya ternyata juga tidak kalah parah keadaannya. Begitu membentur, kedua perahu itu langsung terbalik dan menumpahkan seluruh isinya, kecuali Hek-eng-cu dan Hong-lui-kun Yap Kiong Lee! Ternyata sebelum benturan tersebut terjadi, kedua tubuh mereka telah lebih dahulu terlempar ke udara akibat pertemuan tenaga pukulan mereka sendiri! Keduanya tercebur ke dalam air dan hanyut bersama dengan yang lain!
Rasa sakit dan linu-linu membuat Hong lui-kun untuk beberapa saat menjadi permainan gelombang sungai. Tapi sesaat kemudian setelah ia sadar bahwa ia dalam keadaan bahaya, pemuda itu segera mengerahkan semua sisa-sisa kekuatannya untuk berenang ke pinggir.
Tak terduga tubuh pemuda itu melanggar sesosok tubuh yang terikat kaki tangannya, hingga tentu saja orang tersebut tidak bisa menggerakkan badannya untuk berenang. Ah, orang ini tentulah orang yang ditawan oleh orang misterius tadi, Hong-lui-kun berkata di dalam hatinya. Melihat orang itu sudah pingsan, tanpa berpikir lebih lanjut Hong-lui-kun segera menyeretnya pula ke tepian.
Sementara itu tirai senja telah mulai turun menutupi daerah sekitar tempat kedua orang itu mendarat. Dengan susah payah Hong-lui-kun yang kepayahan itu menyeret orang yang pingsan tersebut di atas pasir. Lalu dengan mata yang berkunang kunang serta badan yang semakin lemas pemuda itu menggendong orang yang ditolongnya ke tempat yang aman. Kakinya tersaruk-saruk menaiki tebing sungai yang tidak begitu tinggi lagi kemudian menjatuhkan dirinya di atas rumput tebal.
"Perawakan orang ini tidak begitu besar. Tapi tubuhnya kok berat nian, uhh... kiranya dagingnya demikian gemuk!”
Hong-Iui-kun menggerutu diantara sadar dan tidak sadar. Meskipun tidak sampai merenggut nyawanya, tetapi ternyata pukulan Hek-eng-cu tadi membuat tubuh Hong-lui-kun menjadi lemah sekali. Selain pukulan Pat-hong-sin-Ciang lawan memang agak sedikit lebih unggul dari pada pukulan Thian-lui-gong-ciangnya, kedudukan Hek-eng-cu yang menyerang dari atas tadi memang lebih menguntungkan posisinya! Seakan-akan pukulan lawan menjadi berlipat ganda, karena ditunjang oleh berat badannya.
Dengan mata hampir terpejam, Hong-lui-kun masih ingat untuk mengendurkan ikat pinggang dan melepaskan bajunya. Dan sebelum ia benar-benar menjadi pingsan, ia juga masih berusaha untuk melepas tali yang mengikat kaki tangan orang itu, sekalian melepas pula baju basah yang dikenakannya. Tapi pemuda itu menjadi terkejut bukan main...!
Suatu pemandangan yang belum pernah ia lihat selama hidupnya tampak terpampang di balik baju yang baru saja dibukanya! Tapi pemandangan yang hebat itu tak dapat ia nikmati sampai puas, karena sesaat kemudian ia telah jatuh pingsan!
"Perempuann......?!?" keluhnya terputus. Sudah selayaknya kalau Hong-lui-kun menjadi amat terkejut begitu mengetahui siapa sebenarnya tawanan Hek-eng-cu yang baru saja ia selamatkan itu. Keadaan tubuhnya yang sangat lemah itu menyebabkan Hong-lui-kun tak bisa mempergunakan panca inderanya dengan baik.
Pemuda itu benar benar tak mengira kalau orang yang ia tolong tersebut adalah seorang gadis yang sangat cantik. Dan Hong-lui-kun yang kini pingsan semakin tidak mengira ataupun membayangkan, bahwa seseorang telah datang ke tempat itu selagi ia pingsan. Dan orang itu adalah...
"Uhhh….. benar-benar gila! Untunglah aku mengerahkan seluruh tenaga dalamku, kalau tidak... hmm, bisa-bisa aku sudah tidak ada lagi di dunia ini! Tak kusangka bocah itu memiliki tenaga dalam demikian kuatnya. Hmmh, siapa sebenarnya bocah itu? Adakah ia orang Bing-kauw pula?" tiba-tiba Hek-eng-cu keluar dari permukaan air dan kemudian berjalan tersaruk-saruk ke atas tebing.
Orang itu terbelalak kaget! Tergesa gesa ia membetulkan letak topi dan kerudungnya ketika tiba-tiba ia melihat dua sosok tubuh tergolek di hadapannya! Dan hatinya semakin terkejut sekali ketika mengenali wajah Hong lui-kun yang pingsan! Tapi rasa kaget itu segera lenyap begitu melihat pemandangan lain yang menyentuh nafsu birahinya. Hek-eng cu benar-benar tidak menyangka bahwa gadis yang semalam telah ditangkapnya itu memiliki tubuh yang demikian indahnya!
Semakin dipandang tubuh molek itu semakin mempesonakan Hek eng cu sehingga tanpa terasa darahnya mulai terbakar. Pelan pelan kakinya melangkah mendekati. Lalu sepasang tangannya mulai menggerayangi tubuh setengah polos itu dan jari-jarinya yang gemetar berusaha melepas pakaian yang masih tertinggal. Dan sesaat kemudian terjadilah perbuatan yang sangat tercela dan terkutuk di atas tebing sungai itu...!
Entah berapa lama hal itu berlangsung, tapi gadis cantik yang merasa kesakitan itu tiba-tiba tersadar dari pingsannya. Dan bisa dibayangkan betapa terperanjatnya dia begitu tahu ada orang yang sedang menindih dan memperkosanya! Mungkin seribu letusan petirpun takkan bisa mengagetkannya seperti rasa kagetnya saat itu!
"Arrghhh...!!” gadis itu meronta dan menjerit sejadi jadinya. Tangannya mencakar muka lawannya sehingga kerudung beserta topi Hek-eng-cu terlepas dari tempatnya.
Hek-eng-cu cepat cepat menutupi mukanya dan meloncat pergi dengan cepat sekali! Orang berkerudung itu sudah tidak mempedulikan lagi, bagaimana sepeninggalnya gadis yang telah ia gagahi itu jatuh pingsan kembali. Gadis itu pingsan lagi gara-gara tak kuat menanggung hantaman batin yang demikian beratnya!
Senja yang menyedihkan itu berangsur-angsur menjadi gelap dan bintang-bintang di langitpun mulai bermunculan. Suasana benar benar sunyi dan sepi. Pohon pohon yang rindang itu berdiri kaku tak bergerak. Daun-daunnyapun tergantung diam di kelopaknya, seolah-olah tak ada angin yang berhembus di tempat itu.
Suara belalang dan cengkerik yang biasa meramaikan tepian sungai itu belum juga menampakkan lagunya. Sedangkan gelombang air sungai yang biasa berkecipak menjilati tebing-tebing batu itu kini juga tampak mengalun tenang sekali. Hampir-hampir tidak beriak sama sekali.
Suasana pada saat itu benar-benar lain dari kebiasaannya. Seolah-olah alam ikut berduka cita atas musibah yang menimpa diri gadis cantik murid Put ceng-li Lo jin tersebut. Perlahan-lahan Yap Kiong Lee membuka matanya. Pemuda itu sedikit terperanjat begitu menyadari hari telah menjadi malam. Bintang-bintang telah bertaburan memenuhi angkasa.
"Ohh..... lama benar aku tak sadarkan diri,” katanya perlahan. Untuk beberapa saat pemuda itu masih tetap saja berbaring di tempatnya. Badannya masih terasa kaku dan lemas. Terbayang dalam benaknya, peristiwa yang terjadi di gedung Si Ciang kun setahun yang lalu. Yaitu ketika ia menemani adiknya menggerebeg rumah perwira yang bersekongkol dengan kaum perusuh itu.
Ketika adiknya hampir berhasil menangkap Song bun-kwi, tiba-tiba saja datang orang berkerudung meloncat ke atas tembok, dan menolong putera ketua Tai-bong-pai tersebut. Orang itu mengenakan mantel hitam yang kebal terhadap senjata dan orang itu mahir memainkan Bu eng Hwe-teng dan Pat hong-sin ciang warisan Bit bo-ong!
"Ah, sekarang sudah mulai terang bagiku, siapa sebenarnya tokoh-tokoh pemberontak yang ingin meruntuhkan kekuasaan Kaisar Han. Hanya yang belum dapat kuketahui ialah siapa tokoh misterius yang selalu berlindung di balik kedok hitam itu! Yang terang, orang itu telah mewarisi kesaktian mendiang Bit-bo-ong yang maha hebat."
"Ahhh.... aduuuh….!!” Yap Kiong Lee meloncat berdiri dengan cepat. Semua otot tubuhnya menegang, sehingga tubuh atasnya yang terbuka itu semakin tampak jantan dan gagah. Matanya terbelalak menatap ke tubuh telanjang yang tergolek tak jauh dari tempatnya berdiri. Sedang wajahnya yang tampan itu menjadi pucat sekali begitu melihat cairan darah yang mengalir di atas paha putih mulus itu!
"Aduuuh.... ohh..... keparat busuk!" gadis itu merintih kembali.
"Nonaaaa...?!?" Yap Kiong Lee meloncat menghampiri gadis itu.
Tiba-tiba gadis itu terbelalak ngeri menatap Yap Kiong Lee! Lalu wajah itu berubah menjadi buas! "Bangsat keji! Kubunuh kau!! Keparaaaat...." gadis itu menjerit histeris. Jari jari yang berkuku runcing itu mencakar dengan ganas ke arah muka Yap Kiong Lee. Sepasang kakinya yang berbentuk bagus itupun tak tinggal diam! Beberapa kali tumit yang bulat kecil berwarna merah jambu itu nyaris menghantam muka dan dada Yap Kiong Lee! Untunglah pemuda itu tak pernah kehilangan ketangkasannya.
Dengan gerakan-gerakan yang cepat dan manis ia selalu bisa lolos dan serangan si gadis yang membabi-buta. Malah akhirnya pemuda itu dapat meringkus si gadis yang malang tersebut. “Nona... nona... kau sadarlah! Jangan membabi buta begitu....!"
"Lepaskan! Iblis keji.......! Lepaskan!!” gadis itu menjerit jerit, kemudian pingsan lagi dalam pelukan Yap Kiong Lee.
Dengan sangat berhati-hati sekali Yap Kiong Lee membaringkan tubuh telanjang itu di atas pasir yang kering. Lalu dengan gemetar ia mencoba mengembalikan pakaian si gadis yang berserakan di atas rumput. Hanya pemuda itu agak mendapatkan sedikit kesukaran ketika harus memasukkan lengan baju yang sebelah kiri, sebab jari-jari tangan kiri gadis itu mencengkeram sebuah topi berkerudung dengan amat kuatnya. Meski dalam keadaan pingsan, ternyata jari jari itu tak dapat dibuka dengan paksa, seolah-olah tangan itu telah menjadi beku!
"Ahh....!" Yap Kiong Lee tertegun. Pemuda itu menatap dengan tajam kerudung hitam yang amat dikenalnya itu. Lalu perlahan-lahan pandangannya beralih ke bawah ke arah paha putih mulus yang ternoda oleh darah itu. Dan sesaat kemudian Yap Kiong Lee telah dapat menduga, apa sebenarnya yang terjadi di tempat itu sewaktu dia pingsan. Keparat Hek-eng-cu itu telah datang ke tempat tersebut, kemudian mempergunakan kesempatan untuk memperkosa gadis itu selagi dia tidak sadarkan diri.
"Bangsat benar orang itu….!” Yap Kiong Lee lalu duduk terpekur di samping tubuh molek itu. Dipandangnya wajah cantik tersebut dengan seksama. Meski sudah pingsan, wajah itu masih tetap juga menampakkan kesedihan dan penderitaan batinnya yang hebat! Tanpa terasa Yap Kiong Lee menghela napas panjang sekali. Hatinya benar-benar tersentuh. Dan diam-diam hatinya merasa menyesal dan ikut bersalah pula. Tak seharusnya ia membawa gadis itu kemari, dan tak seharusnya pula ia membuka pakaian gadis itu sebelumnya. Sekarang dia sendirilah yang menerima getahnya! Gadis itu menyangka bahwa dialah yang telah memperkosanya...!
"Oh, Tuhan.... bunuh sajalah aku! Uh... hu.... huu...!" begitu sadar lagi gadis itu meratap dan menangis sesenggukan. Suaranya sangat memilukan, sehingga hati Yap Kiong Lee bagai dicopot rasanya. Otomatis timbul rasa bencinya terhadap Hek-eng-cu!
"Bangsat keji!" pemuda itu menggeram marah. "Kubunuh kau bila bertemu denganku.....!”
“Hah.....?!? Kau....? Keparat, kubunuh kauuu....!" gadis itu bangkit dengan wajah buas, lalu sambil menjerit ia menubruk Yap Kiong Lee. Sekali lagi gadis itu menyerang membabi buta!
“Nona.... tahan! Kau telah salah sangka. Aku tidak pernah berbuat buruk terhadapmu!" Yap Kiong Lee berteriak pula, mencoba memberi keterangan.
Gadis itu tampak tertegun sebentar, tapi serentak melihat lagi tubuh atas Yap Kiong Lee yang telanjang, wajahnya kembali beringas pula. Apalagi ketika sadar bahwa badannya yang tadi telanjang bulat itu kini telah tertutup pakaian kembali, kemarahannya semakin tambah berkobar kobar!
“Setan! Iblis! Ohh.... kubunuh kau!"
Yap Kiong Lee terpaksa melayaninya dengan sungguh-sungguh! Bagaimanapun juga ilmu silat gadis itu tidak boleh dianggap rendah. Pukulan dan tendangan kakinya amat kuat dan mantap, apalagi ditunjang oleh Iwee-kang yang tinggi pula. Malah beberapa kali Yap Kiong Lee sempat dibuat bingung oleh jurus-jurus si gadis yang aneh dan membingungkan! Kalau tidak waspada, salah-salah dirinya bisa terjungkal malah!
Untunglah ilmu yang dimiliki Yap Kiong Lee masih sedikit lebih matang dan lebih tinggi tingkatnya, apalagi gadis itu bersilat dengan kemarahan yang tak terkendalikan, sehingga bagaimanapun juga gerakan-gerakannya tidak terkontrol dengan baik lagi. Oleh karena itu setelah Yap Kiong Lee yakin bahwa kata-katanya tak mungkin bisa menyadarkan lawannya, ia mulai membalas serangan-serangan yang ditujukan kepadanya. Dan serangan-serangan balasannya itu benar-benar merepotkan lawannya. Akhirnya gadis itu tertotok roboh oleh jari-jari Yap Kiong Lee yang ampuh!
Bertepatan dengan saat itu di atas tebing kelihatan beberapa sosok bayangan berdiri berjejer-jejer mengawasi Yap Kiong Lee dengan mata menyala. Salah seorang di antaranya adalah wanita, yang dalam keremangan malam tidak begitu jelas raut wajahnya.
"Nah, apa kataku... bukankah Siau Put-sia berada di sini? Telah kudengar jeritannya tadi…" wanita itu menunjuk ke bawah. Tubuhnya yang tinggi ramping itu bergoyang-goyang seperti pohon yang-liu (cemara) tertiup angin, sehingga Yap Kiong Lee menjadi terpesona dibuatnya.
"Hong-cici....!!" lawan Yap Kiong Lee yang disebut dengan nama Siau Put-sia itu menjerit.
Orang orang yang berada di atas tebing itu segera berloncatan turun dan berpencar dalam posisi mengepung. Dua orang di antaranya bergegas lari menghampiri Siau Put-sia, untuk membebaskannya dari totokan Yap Kiong Lee.
"Siau-sumoi...!"
"Ji-suheng! Sam-suheng....." mata Siau Put-sia merah berkaca-kaca, siap untuk meledakkan tangisnya.
Benarlah, begitu bebas, gadis itu segera menubruk dan membenamkan kepalanya di dada wanita ayu tersebut. Tangisnya benar-benar meledak tak terbendung Iagi! Begitu sedihnya tangis itu sehingga semuanya menjadi heran dan curiga. Tak biasanya gadis cantik yang amat lincah dan bengal itu menangis demikian memilukan!
“Put-sia, ada apa...? Kenapa kau menangis demikian sedihnya?” alis yang sangat indah itu berkerut. Jari jarinya yang halus itu juga membelai rambut Siau Put sia, sehingga gadis malang itu semakin menjadi-jadi tangisnya.
Sementara itu bagaikan sebuah patung batu, Yap Kiong Lee berdiri tertegun di tempatnya. Matanya terbelalak memandang wanita yang luar biasa cantiknya itu. Semakin lama ia memandang, semakin yakin pula hatinya, bahwa wanita itu pernah dilihat dan dikenalnya!
Sebaliknya, wanita tersebut tidak menyadari kalau dirinya sedang diperhatikan oleh Yap Kiong Lee. Ia sedang sibuk memusatkan perhatiannya kepada gadis yang menangis di dadanya. Wanita itu menduga, tentu ada terjadi sesuatu yang hebat yang menimpa diri gadis ini sehingga menangis demikian sengsaranya.
"Put-sia... kau kenapa? Ayoh, katakan saja! Apakah laki-laki itu telah menggodamu...?" tanyanya dengan suara gemetar, seolah olah wanita itu sudah dapat menebak apa yang telah terjadi. "Put sia...??"
Tapi yang ditanya tidak menjawab, tangisnya justru semakin bertambah hebat. "Kurang ajar.....! Kau apakan sumoiku?" tiba-tiba salah seorang suhengnya yang tadi memunahkan totokan Yap Kiong Lee, melompat ke depan dengan garangnya. Tangannya terayun deras ke arah kepala pemuda itu. Suaranya tajam mengaung, sehingga diam-diam Yap Kiong Lee tercekat di dalam hatinya, ia benar-benar berhadapan dengan lawan berat sekarang!
"Tunggu....!!" pemuda itu mengelak dengan tidak kalah gesitnya. "Jangan sembarangan menuduh orang! Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Malah akulah yang menolong gadis itu...”
"Bohong....!" orang yang menyerangnya berteriak pula. "Lihat keadaan dirimu itu? Kenapa kau buka pakaianmu kalau kau tak bermaksud kurang ajar terhadap sumoiku? Huh! Jangan harap kau bisa menyelamatkan diri dari hukuman kami!"
"Plaaaak!" Kedua tangan mereka yang penuh tenaga itu saling bertemu satu sama lain. Yap Kiong Lee tergetar mundur dua langkah, sementara lawannya tampak terhuyung huyung beberapa langkah ke belakang dan hampir jatuh.
"Sam-te (adik ketiga)..." seorang lagi yan tadi juga menolong Siau Put-sia, datang memeluk orang itu. Tapi orang itu segera melepaskan pelukan kakak seperguruannya.
"Aku belum apa-apa, ji-suheng! Aku terlalu memandang remeh kekuatannya, sehingga aku cuma mengerahkan separuh bagian dari tenaga dalamku. Kauminggirlah. Biarlah adikmu saja yang menghajar dia, agar dia tidak berani main-main lagi dengan Bing-kauw.....!"
"Tapi kau berhati-hatilah....! Kulihat orang itu memang berkepandaian tinggi."
"Jangan khawatir, Ji-suheng, percayalah kepadaku!" adiknya berkata mantap. “Bagaimanapun perkasanya dia, tak mungkin mengalahkan kebijaksanaan! Ibarat besi, meski kuat dan keras, akan tetap mencair melawan api......”
"Bagus. Sam-te! Tapi kebijaksanaan itu tidak cuma milik satu orang saja di dunia ini. Kalau dia membawa air, apipun tak ada gunanya lagi..."
"Ah, Ji-suheng! Bukankah banyak tanah di tempat ini?"
"Ya! Tapi kau lupa bahwa dia... adalah besi!"
"Ohh....?!” adik seperguruannya terdiam. "Lalu bagaimana.....?"
Kakak seperguruannya tersenyum. "Ikuti sajalah aliran sungai.....!"
"Baik!” su-tenya mengangguk.
Kemudian dengan langkah perlahan orang itu maju ke depan Hong lui kun lagi. Wajahnya sudah tidak merah padam seperti tadi. Kini orang itu bersikap lebih sabar dan tenang. tidak Kasar dan berangasan seperti sikapnya semula. Orang itu benar-benar menuruti dan mengindahkan nasihat suhengnya.
Kini justru ganti Yap Kiong Lee yang menjadi bingung dan serba salah! Selain merasa serba salah karena tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, pemuda itu juga bingung mendengar percakapan kedua orang yang aneh-aneh dan seperti berbau filsafat itu. Dia memang sering mendengar dan membaca filsafat filsafat kuno, biarpun tidak pernah mempelajarinya secara bersungguh-sungguh.
Apalagi sampai mendalaminya. Meskipun demikian, paling tidak ia bisa berfilsafat serba sedikit. Tapi mendengar percakapan mereka tadi sungguh-sungguh merasa pening! Cara mereka mengungkapkan kata-kata filsafat yang seenaknya sendiri itu benar-benar memusingkan orang!
Yap Kiong Lee memang sudah pernah mendengar serba sedikit tentang Aliran Bing-kauw. Baik tentang ajaran ajarannya maupun tentang ciri dan keanehan para penganutnya. Pemuda itu juga tahu bahwa di dalam Aliran Bing kauw banyak berkumpul tokoh-tokoh sakti yang jarang ada tandingannya di dunia kang-ouw. Oleh karena itu dia mulai berpikir, apa yang sebaiknya ia lakukan dalam peristiwa seperti ini.
Sementara mereka saling bersitegang, wanita ayu itu membawa Siau Putsia ke tempat yang agak lapang dan bersih. Tangis dara itupun sudah mulai reda, sehingga di antara isaknya sudah dapat diajak berbicara.
"Siau Put-sia...? Apakah sebenarnya yang terjadi padamu? Apakah pemuda yang bertelanjang dada itu benar-benar telah mengganggu engkau? Ayolah, anak manis.... kau jawablah pertanyaan cicimu ini! Benarkah dugaan cicimu itu? Benar…?" wanita ayu itu mendesak dengan suara yang halus dan lembut.
Gadis itu mulai tersedu-sedu kembali. Sukar benar rasanya menjawab pertanyaan yang sangat menyedihkan hatinya itu. Oleh karena itu ia hanya mengangguk-angguk saja ketika cicinya terus mendesak juga.
“Hah?!? Jadi kau benar-benar di... di....? Oh, manusia keji!"
“Ciciii.... Uh-huuuu..... uh-huuuuuu......” gadis itu kembali menangis keras keras.
Wajah cantik dari wanita ayu itu berubah menjadi pucat seperti kertas. Matanya yang bulat cemerlang itu terbelalak ke depan, memandang ke arah pertempuran antara kawannya dengan laki-laki keparat yang telah memperkosa adiknya itu. Lalu perlahan-lahan wajah itu berubah kemerah-merahan, sementara mulutnya yang berbentuk indah itu tampak merapat sehingga giginya terdengar saling beradu dan menimbulkan suara gemeretuk.
"Iblis keji! Hmm... bunuh dia!!" tiba-tiba bibir yang tipis itu berteriak dengan suara bergetar, tangannya menunjuk ke arah Yap Kiong Lee!
Bagaikan mendapatkan aba-aba, orang-orang Bing-kauw yang berada di tempat itu segera maju menyerang Yap Kiong Lee! Dengan kemarahan yang meluap-luap mereka mengeroyok untuk segera dapat membunuh pemuda kurang ajar itu.
Tentu saja Yap Kong Lee menjadi repot bukan main. Baru melawan dua orang kakak beradik seperguruan itu tadi saja belum tentu menang, kini harus pula melawan yang lain-lainnya. Oleh karena itu hanya dalam tempo yang singkat ia telah terdesak dengan hebat! Ilmu silat Aliran Bing-kauw yang sangat aneh aneh itu, benar-benar membingungkannya. Untunglah ilmu yang ia pelajari sudah demikian mantap, serta pengalamannya pun sudah matang, sehingga bagaimana pun juga sulitnya ia masih bisa mempertahankan diri.
Sementara itu Siau Put-sia belum reda juga tangisnya. Dengan sedih gadis itu masih terisak-isak di dalam dekapan wanita ayu tersebut. Malahan dari sepasang mata cicinya itu kini tampak mengalir pula air matanya yang bening.
"Sudahlah, Put-sia...! Berhentilah menangis! Aku tahu betapa sedihnya hatimu.... cici juga pernah...." wanita itu menghentikan kata-katanya dan menghela napas berat sekali.
Siau Put-sia cepat-cepat melepaskan pelukannya. Dengan wajah sendu serta muka berurai air mata ia menatap cicinya yang cantik bagai bidadari itu. "Cici, kau...... kau tidak marah kepadaku? Kau...... kau dapat memahami kesengsaraanku? Kau... kau.... oh, tapi bagaimana dengan suhu nanti?" gadis itu mulai mau menangis lagi.
Wanita ayu itu cepat meraih Siau Put-sia serta memeluknya lagi. "Jangan takut! Apakah kaukira suhumu itu seorang yang bengis dan kejam?" wanita itu membujuk. "Dengarlah...! Dahulu akupun mengalami juga perlakuan seperti yang kaualami ini. Padahal saat itu aku juga masih remaja puteri seperti engkau sekarang ini. Coba bayangkan, betapa sedihnya hatiku pada saat itu! Begitu sedihnya sehingga cicimu memutuskan untuk bunuh diri saja. Untunglah suhumu datang menolong. Dengan penuh kelembutan dan kasih sayang beliau membimbing tanganku agar dapat tegak kembali dan menikmati lembutnya sinar matahari setiap pagi..."
"Cici..... kau..... kau?" Siau Put-sia terbelalak mengawasi cicinya. "Jadi kau..... dahulu itu... juga diperkosa orang?"
"Benar! Memang demikian. Tapi kau lihat sekarang cicimu masih bisa berbahagia dan menjadi orang tua yang baik, bukan....?"
"Ah, cici....! Kau ini berbicara seperti seorang nenek-nenek saja. Bukankah usia cici terpaut tidak banyak denganku? Bukankah suhu membawamu pulang baru dua tahun yang lalu.....? Cici ini bisa saja....." gadis itu mulai kelihatan cerah mukanya.
"Ya.... tapi aku akan menjadi isteri suhumu sekarang! Dipandang dari jalur tingkatannya, aku sekarang akan menjadi orang tua.... orang tua yang amat berbahagia....." wanita itu tersenyum sambil mengusap air mata yang tadi membasahi pipinya.
"Benarkah cici merasa berbahagia di samping suhu? Ah, cici tentu berbohong kepadaku." Siau Put-sia menengadahkan mukanya. "Aku sering melihat cici duduk melamun...."
Wanita ayu itu tersentak kaget. Sekejap wajah yang molek itu tampak murung, tapi sesaat kemudian kelihatan berseri-seri pula kembali. "Ah, kau ini aneh-aneh saja. Tentu saja aku sering melamun, karena aku pun sering teringat keluargaku. Aku.... eh, Put-sia, apa yang kau bawa itu?” Wanita itu terkejut ketika melihat topi berkerudung hitam yang masih dalam cengkeraman Siau Put-sia.
“Ohh... ini.... Ini.... ini topi orang itu! Saya cengkeram dan lepas dari kepalanya ketika ia,,.,, memper.... memperkosa aku." gadis itu kembali gemetar mau menangis. Topi yang aneh itu buru-buru ia lepaskan, seolah-olah terpegang oleh gadis itu sebuah barang yang sangat menjijikkan.
Tapi lain halnya dengan wanita ayu tersebut. Topi yang aneh itu cepat dipungutnya, kemudian dengan teliti dipandanginya benda tersebut dari segala arah. Wajahnya berubah menjadi merah padam secara mendadak!
"Put-sia! Benarkah lelaki itu tadi mengenakan topi dan kerudung ini?” serunya dengan tegang. Wajah yang biasanya lembut dan tenang itu tampak menjadi ganas dan kejam, sehingga Put-sia menjadi ketakutan. Belum pernah gadis itu melihat cicinya berwajah demikian!
"Be..... benar!”
"Bangsat keji! Akhirnya kujumpai juga engkau....!"
Jarak antara tempat mereka dan arena pertempuran mungkin lebih dari pada lima tombak, tapi meskipun begitu hanya dengan sekali lompat saja wanita ayu itu sudah dapat mencapainya! Benar-benar membuat semua orang yang melihatnya menjadi kagum bukan main!
Dan begitu sampai, wanita itu Iangsung menghantamkan ujung sepatunya ke arah tengkuk Yap Kiong Lee! Suaranya terdengar mencicit tajam, suatu tanda bahwa lwee-kang wanita ayu tersebut benar-benar sangat tinggi. Padahal keadaan Yap Kiong Lee saat itu sudah amat parah. Beberapa kali pemuda itu terpaksa jatuh berguling-guling karena harus menahan serangan lawannya yang bertubi-tubi, terutama serangan dua orang laki-laki yang menolong Siau Put sia tadi! Ilmu silat kedua orang itu benar-benar sangat tinggi, mungkin tidak kalah dengan ilmu silat adiknya Yap Tai ciangkun.
Maka ketika ujung sepatu tersebut datang menghunjam ke arah tengkuknya, Yap Kiong Lee sudah tak bisa berkutik lagi. Seluruh anggota badannya sudah ia pergunakan untuk melayani para pengeroyoknya. Yang dapat ia usahakan, hanyalah menggeser posisi tubuh saja, sehingga ujung tumit itu tidak jadi menghantam tengkuk tapi mengenai bahu kanannya!
"Dhieeek!!" Tubuh yang sangat perkasa itu terlempar jauh dan berguling-guling. Tapi sedetik kemudian tubuh tersebut sudah berdiri tegak kembali. Ternyata tendangan yang amat keras itu tidak sampai membuatnya luka. Dengan menggeram kuat pemuda itu telah bersiap-siap pula kembali.
"Kau.......?” sapanya, begitu tahu siapa yang datang.
"Benar! Kau masih ingat aku...? Gadis yang pernah kaubuat sengsara ini?"
Yap Kiong Lee mengusap usap matanya dengan punggung tangan, seakan-akan tak percaya lagi pada penglihatannya. Seorang gadis yang pernah ia buat sengsara? Rasanya ia memang pernah mengenal gadis yang amat cantik ini, tapi membuatnya sengsara? Ah, selama hidupnya seperti belum pernah menyengsarakan seorang gadis. Apalagi gadis yang luar biasa cantiknya seperti ini!
Tapi.... tunggu! Benar! ingat dia sekarang! Tujuh atau delapan tahun yang lalu ketika ia bersama ayahnya pergi ke sarang Iblis Ban kwi-to untuk membebaskan adiknya Yap Kim yang saat itu ditawan oleh Ceng-ya-kang, ia berjumpa dengan beberapa orang muda-mudi berkepandaian silat tinggi, sahabat dari Kaisar Han sekarang. Dan salah seorang di antaranya adalah wanita yang kini berada di hadapannya itu! Malah kalau ia tak salah, wanita ayu ini adalah sahabat karib Ho Pek Lian, murid dari Kaisar Han itu!
Tapi hanya itu yang dia ingat. Setelah peristiwa tersebut, rasanya ia tak pernah berjumpa lagi dengan gadis itu. Oleh karena itu ia benar-benar bingung dan penasaran mendengar tuduhan yang tak masuk akal tersebut. Menyengsarakannya? Gila, sungguh gila, pemuda itu menggeram di dalam hatinya.
"Nah, kau sudah mengingatnya...?" tiba-tiba wanita itu mengagetkan Yap Kiong Lee dari lamunannya.
“Tunggu, nona.....!"
"Nyonya!" wanita itu menghardik. "Aku sekarang adalah isteri Ketua Bing kauw!"
"Ohh..... maaf!" Yap Kiong Lee mengangguk. "Tapi..... tapi aku... aku benar-benar tak mengerti apa yang nyonya tuduhkan itu. Menyengsarakan...? Menyengsarakan yang bagaimana?"
"Kurang ajar! Pengecut! Lupakah kau pada peristiwa yang telah kau lakukan dua tahun yang lalu? Ketika kau membohongi aku dengan mengatakan bahwa temanku telah terluka parah? Tapi ternyata aku hanya kau peralat untuk memeras kawanku itu. Sehingga peti pusakanya dapat kau rampas. Meskipun begitu engkau tetap belum puas. Engkau masih juga membunuh dia dan.... dan…. dan menyengsarakan kehidupanku! Kau benar-benar manusia berhati iblis!”
"Nona... eh, nyonya... apa... apa yang kau katakan itu? Aku benar-benar tak mengerti!" Yap Kiong Lee menoleh kesana kemari dengan perasaan bingung.
"Huh, pengecut besar! Kau tidak usah mungkir! Lihatlah ini!" wanita itu membentak sambil membanting topi berkerudung hitam yang tadi dibawa oleh Siau Put sia. "Nah, milik siapakah benda itu? Jawab!"
“Ohh!?” Yap Kiong Lee terbelalak. "Hmm, benar-benar celaka pemuda itu menggerutu dalam hati! Ternyata wanita itu juga pernah menjadi korban orang berkerudung itu. Celakanya dia yang tak mengetahui apa-apa malah dituduh sebagai pelakunya. Tapi untuk menjelaskan kepada mereka sekarang, apa sebenarnya yang telah terjadi, tentu takkan mereka percaya begitu saja. Wanita itu sudah sangat yakin bahwa dialah yang telah menyamar sebagai orang berkerudung itu.
Oleh karena itu jalan satu-satunya hanyalah melarikan diri dulu untuk sementara dari hadapan mereka. Dan selanjutnya ia harus bisa membuktikan bahwa bukan dirinyalah yang berbuat itu. Atau paling tidak dia harus bisa mempertemukan orang-orang ini dengan orang berkerudung yang sesungguhnya.
Begitulah! Setelah memperoleh keputusan demikian, Yap Kiong Lee segera bersiap siap untuk lolos dari tempat itu. Seluruh tenaga dalamnya ia kerahkan sepenuh penuhnya, sementara kaki dan tangannya telah siaga untuk memainkan ilmu Silat Angin Puyuh kebanggaannya!
Melihat gelagat tersebut si wanita ayu segera memberi aba aba kepada kawan-kawannya. “Bunuh orang ini! Jangan biarkan dia lolos!"
Tanpa diulang lagi, orang-orang itu segera menyerang Yap Kiong Lee! Tapi pemuda sakti yang telah bersiap siaga ini segera menyambut pula dengan hangat. Sepasang tangannya tampak meluncur ke depan dalam pukulan Thian-lui gong-ciang yang maha dahsyat!
"Buuuumm! Buuuuumm….!" Bagaikan kilatan petir yang meledak, pukulan jarak jauh itu menyambar para pengeroyoknya.
Tapi ternyata orang-orang Bing kauw tersebut juga tidak kalah cerdiknya. Mereka sadar bahwa kekuatan perorangan mereka masih jauh di bawah Yap Kiong Lee. Maka dari itu mereka enggan untuk beradu tangan seorang lawan seorang. Dengan cerdik mereka menyongsong setiap pukulan lawan secara bersama-sama! Akibatnya, pukulan Yap- Kiong Lee yang amat dahsyat itu menjadi pudar dan sedikitpun tak mempunyai pengaruh apa apa terhadap lawannya.
“Gila! Orang-orang ini kelihatannya sudah biasa terlatih untuk bertempur secara bersama-sama. Mereka dengan cepat bisa saling menyesuaikan diri dan saling melindungi!” pemuda ahli waris Sin-kun Bu-tek itu menggerutu tak habis-habisnya.
Begitu juga keadaannya ketika pemuda itu memainkan ilmu Silat Angin Puyuhnya. Dua orang kakak beradik seperguruan yang sejak semula sudah bertempur dengan dia itu segera merubah pula cara bersilat mereka. Bagaikan orang tidak waras kedua orang itu mulutnya berceloteh tidak keruan sementara tingkahnya dalam bersilatpun bukan main anehnya! Dalam tiupan angin yang membadai akibat kedahsyatan Ilmu Silat Angin Puyuh Yap Kiong Lee, kedua orang itu tampak terhuyung-huyung dan berjingkrak jingkrak bagaikan orang gila!
"Ada kuda sedang bunting, haha hihi..! Tapi... meski bunting, tak ada anaknya!" yang muda tertawa terkekeh kekeh. Sambil tertawa ia menirukan jalannya seekor kuda yang sedang bunting. Cuma ketika lewat di samping Yap Kiong Lee, sepasang kakinya benar-benar menyepak ke arah kepala pemuda itu dengan ganas. Untunglah pemuda itu cukup waspada. Hampir saja kepalanya benar-benar terlepas kena sepakan kuda yang menggelikan tersebut.
Ketika Yap Kiong Lee segera membalas sepakan kuda itu dengan jurus Kan-seng-kai-pei (Memandang Bintang Menghaturkan Cawan), orang itu buru-buru meloncat mundur sambil berteriak-teriak ketakutan.
“Tolong... tolong! Dia mau membelejeti celana dalamku! Hoa... hoaaa...!” Orang itu mundur sambil memegangi tali celananya, sementara kedua lututnya diangkatnya bergantian. Hanya anehnya, setiap lutut itu diangkat, tentulah persis dan bertepatan dengan datangnya pukulan Yap Kiong Lee. Sehingga seperti tidak disengaja, gerakan lutut itu selalu memunahkan serangan lawan!
"Hihihi haaaha,... kuda bunting! Hohoho.....! Lihat!" tiba-tiba kakak seperguruan orang itu berjingkat-jingkat pula mendekati. "Kuda jantan yang membuntingimu telah datang, hehehehe…!”
Sambil berjingkat hidungnya mendengus-dengus, pantatnya megal-megol. Dari arah samping gayanya itu persis seekor kuda jantan yang sedang mabuk birahi. Anehnya, setiap pantat itu tertuju kearahnya, Yap Kiong Lee merasakan hembusan angin tajam yang amat kuat melanda dirinya! Begitu kuatnya sehingga dapat menahan angin pukulan Thian-lui gong-ciang!
"Gila! Benar-benar dunia sudah gila! Ilmu silat apa pula ini...?” Yap Kiong Lee kebingungan. Pemuda itu tidak tahu bahwa kedua orang lawannya ini adalah murid langsung dari ketua Bing-kauw sendiri, Put-cengli Lo-jin! Oleh karena itu tidaklah heran kalau mereka sangat lihai dan mewarisi ilmu-ilmu aneh dari alirannya.
Put-ceng-li Lo-jin mempunyai empat orang murid, dan semuanya telah mewarisi seluruh ilmunya yang aneh-aneh! Muridnya yang pertama adalah Put sim-sian (Dewa Tak Berperasaan), seorang jago silat yang tak pernah keluar dari pintu perguruannya, oleh karena itu sering mewakili tugas- tugas gurunya bila sedang berhalangan.
Murid kedua dan ketiga adalah orang-orang yang kini sedang bertempur melawan Yap Kiong Lee. Mereka adalah Put-swi-hui (Hantu Tak Berdosa) dan Put ming-mo (Setan Tak Bernyawa). Sedang murid yang terakhir adalah Put-sia Nio-cu atau gadis yang dipanggil dengan sebutan Siau Put-sia itu tadi.
Selain mereka, Aliran Bing-kauw masih mempunyai seorang "sesepuh" yang hampir tak pernah keluar dari gua pertapaannya. Dia adalah Put chien-kang Cin-jin (Pendeta Yang Tidak Waras), kakak seperguruan Put ceng-li Lo-jin sendiri. Dan Pendeta Yang Tidak Waras ini juga mempunyai seorang murid yang tidak kalah gilanya dengan dia sendiri, namanya Put-pai siu Hong jin (Si Gila Yang Tak Punya Malu)!
"Hehe.... seekor kuda ingin membuntingi singa! Hoho,... bisa tidak, yaa..,?" Put-swi-kui yang megal-megol itu tertawa pringas-pringis. (Hong-lui-kun yang perkasa itu mereka ibaratkan seekor singa).
Tiba-tiba tubuh yang megaI megol itu melesat ke atas dan menubruk ke arah punggung Yap Kiong Lee. Gerakan itu dilakukan seperti hanya sambarangan saja dan kelihatannya cuma main-main belaka! Tapi bukan main terperanjatnya Yap Kiong Lee ketika mendadak sepasang kaki dan tangan orang itu mencakar ke arah pelipisnya dan menendang ke arah pinggangnya! Gerakannya cepat bukan kepalang dan kekuatannyapun benar-benar susah diukur. Tahu-tahu serangan orang itu telah menempel pada kulitnya!
Repotnya lagi, bersamaan dengan datangnya serangan Put-swi-kui tersebut, Si Kuda Bunting Put-ming-mo juga melancarkan cengkeraman maut ke arah ulu hati Yap Kiong Lee. Sambil menyerang tak lupa mulutnya berceloteh.
"Hihi ha ha..... mengapa kawin saja tak bisa? Apa salahnya kuda mengawini singa? Toh sama-sama binatangnya? Hihi…! Ayolah kubantu! Hahahhah.. Si Kuda Bunting membantu jantannya untuk kawin lagi! Haha-hoho... rusak! Rusak! Dunia benar-benar sudah rusak!”
Dapat dibayangkan, betapa gawatnya keadaan Yap Kiong Lee saat itu. Serangan Put swi-kui sudah menempel pada kulitnya! Padahal tanpa diduga-duga Put-ming-mo juga menyerang ulu hatinya! Dan yang terang pemuda itu sudah tidak punya kesempatan lagi untuk mengelak. Oleh karena itu satu-satunya jalan cuma bertahan dan berusaha melindungi diri dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya! Selain itu, guna menghindari akibat yang lebih parah, Yap Kiong Lee menggeliatkan tubuhnya sedikit agar serangan lawan tidak langsung mengenai pelipis dan ulu hatinya.
"Hhhilee!!"
"Heeek!" Yap Kiong Lee terjerembab dan berguling-guling di atas tanah. Sekejap ia meringis kesakitan, kepalanya terasa pening dan dadanya terasa ngilu! Celakanya, belum juga dia sempat berdiri, lawan-lawannya yang lain telah datang pula menggempurnya.
"Bangsat! Orang-orang tidak waras ini benar-benar telah memaksa aku untuk mempergunakan pedang…." Dan sesaat kemudian, sebat dan cepat bagaikan kilat, Yap Kiong Lee menghunus sepasang pedang pendeknya, lalu menyongsong gempuran orang-orang tersebut keras lawan keras!
"Breees! Croooot!”
"Hwuaah! Aduuuuh!"
"Ohhh..... kantung nasiku!"
"Lhuh? Ke mana lenganku.....?"
Sekali lagi Yap Kiong Lee terlempar berguling-guling ke tepi sungai! Tapi di lain pihak para pengeroyoknyapun tampak jatuh bergelimpangan tergores pedang pendeknya. Sepasang pedang pendek yang tersembunyi di balik lengan baju itu sungguh tak diduga oleh lawan-lawannya. Untunglah pemuda itu tak bermaksud membunuh mereka. Dan dalam kesempatan selagi mereka terpukau oleh kejadian tersebut, Yap Kiong Lee cepat-cepat menghambur ke dalam sungai. Byuuur! Selamatlah dia.....
"Kejar dia....!" wanita ayu itu menjerit.
Tapi dengan sangat tangkas Yap Kiong Lee segera menyelam dan berenang ke seberang. Kemahirannya bermain dalam air sejak kecil sungguh amat menguntungkannya. (Sejak kecil hingga dewasa, Yap Kiong Lee dan adiknya tinggal di tengah-tengah telaga bersama ayahnya. Malah bekas gedung perkumpulan Thian-kiam-pang yang dipimpin oleh Yap Cu Kiat, ayahnya, juga didirikan di tengah-tengah telaga tersebut.)
Beberapa saat kemudian pemuda itu telah mendarat di seberang. Sambil melambai-lambaikan tangannya ia berteriak ke arah lawan-lawannya yang berdiri mendongkol di tepinya yang lain. "Kalau ingin mengejar aku, pergilah ke Pantai Karang dua hari lagi! Kutunggu kalian di sana, tepat di waktu tengah malam.....!"
Ada beberapa orang Bing-kauw yang mencoba untuk berenang pula ke seberang, tapi baru beberapa langkah sudah kembali lagi. Sungai yang dalam dan lebar itu terlalu deras arusnya.
"Kurang ajar!" wanita ayu itu menghentak-hentakkan kakinya ke tanah, hatinya mendongkol sekali. Untunglah kedua orang murid suaminya, Put swi-kui dan Put-ming-mo segera membujuknya.
"Sudahlah, subo..... Biarlah dia lolos kali ini. Lain kali kita takkan lengah lagi. Kalau kata-katanya benar, dua hari lagi kita dapat menangkapnya di Pantai Karang. Cuma kita harus waspada dan hati-hati menghadapinya. Kalau dia sampai berani menantang kita seperti itu, tentu dia sangat yakin bahwa dia akan menang. Mungkin dia akan mempersiapkan teman-temannya untuk menghadapi kita.” Put-swi-kui, yang ketika bertempur dengan Yap Kiong Lee tadi bersikap seperti orang gila, kini ternyata dapat mengeluarkan ucapan yang baik dan urut.
"Benar! Toh Siauw-sumoi juga sudah dapat kita selamatkan..." Put-ming-mo menambahkan. Orang ini benar-benar tidak menyangka bahwa persoalannya tidak hanya sesederhana itu. Wanita itu tampak kesal bukan main.
“Cici.....” tiba-tiba Put-sia Nio cu menyentuh lengannya.
"Oh, Put-sia…..” Wanita ayu itu memeluk Put-sia Nio-cu, demikian pula sebaliknya. Keduanya, saling berpelukan untuk beberapa saat lamanya, seakan-akan mereka ingin saling menghibur kedukaan hati masing-masing.
Tapi sikap mereka tersebut membuat yang lain menjadi bingung dan tak habis mengerti. Semuanya mengerutkan dahi dengan mulut meringis. Mereka sungguh tak habis pikir, apa sih yang ditangisi oleh perempuan-perempuan itu?
Huh, dasar wanita...., gerutu mereka di dalam hati! Cuma persoalan begitu saja dipikir sampai mendalam. Pakai menangis pula lagi. Kenapa sih? Toh... Siau Put-sia telah selamat? Apalagi yang mesti dipikirkan? Kalau toh misalkan perbuatan orang itu mereka anggap suatu penghinaan, mengapa mesti susah-susah juga? Cari saja pemuda kurang ajar itu dan...... bunuh! Habis perkara!
“Cici….? Apakah dia.....?" Put-sia Nio-cu melepaskan pelukan kakaknya. Wajahnya yang cantik tapi sendu itu menatap dengan penuh pertanyaan.
Lama juga wanita itu tak menjawab. Tapi ketika wajah sendu yang berada di hadapannya itu terus mendesak, ia mengangguk pula akhirnya. Air mata yang semula hanya menggenangi pelupuk mata, menetes turun di atas pipinya yang licin.
"Benar, Put-sia.....! Laki-laki berkerudung itu pulalah yang menodaiku......" ucapnya Iirih.
Put-swi-kui dan adik seperguruannya Put ming-mo mengajak kawan-kawannya untuk mengurus yang terluka. Yang hanya terluka kecil mereka obati dengan obat bubuk atau mereka olesi dengan cairan obat, sedang yang terluka agak parah mereka balut dan digotong oleh teman-temannya yang lain. Kemudian mereka naik kembali ke atas tebing dan selanjutnya pergi meninggalkan tempat itu.
"Put-swi-kui dan Put-ming-mo ikut aku ke Pantai Karang! Yang lain boleh pulang membawa yang luka dan melapor kepada Put-ceng-li Lo jin......!" Wanita ayu itu memberi aba-aba.
Tempat itu kembali sepi. Malam semakin terasa dingin. Anginpun seakan-akan juga bertiup lebih kencang, sehingga kabutpun seolah-olah juga dipaksa untuk turun lebih cepat pula.
Yap Kiong Lee yang basah kuyup dan tak berbaju itu juga merasa dingin. Sambil terbungkuk-bungkuk memeluk dada ia melangkah mengikuti derasnya aliran sungai itu. Ketika terlihat olehnya secercah sinar api di kejauhan, ia menjadi gembira bukan main. Dengan berlari-lari kecil, kakinya melangkah mendekati.
Api itu kelihatannya amat dekat, tapi sudah sekian lamanya ia berlari ternyata belum juga sampai. Baru setelah naik turun jurang dan bukit kecil, sumber api itu kelihatan dengan nyata. Dan kenyataan itu benar-benar sangat menggembirakan hatinya.
Sebuah dusun kecil tampak ramai dan terang benderang dengan obor-obor yang menyala di segala tempat. Suara tambur dan gembreng terdengar menggema memeriahkan suasana malam yang dingin. Terdengar suara sorak-sorai gembira di antara riuhnya suara tambur dan gembreng yang ditabuh.
"Ah, ada keramaian di sana......" Yap Kiong Lee tersenyum gembira, Iangkahnya menjadi lebih cepat. Tapi Iangkahnya berhenti dengan mendadak. Lapat-lapat ia mendengar suara orang bertempur tidak jauh dari tempat itu. Malah di antara dencingnya suara senjata ia mendengar suara tertawa yang dikenalnya.
"Oh, suara Ceng-ya kang....." Berindap-indap Yap Kiong Lee mendekati tempat itu, sebuah padang rumput, terletak di antara sungai dan dusun tersebut. Dari jauh ia telah melihat beberapa orang bertempur dengan seru. Dalam keremangan malam bayangan mereka tampak berkelebatan seperti ayam berlaga. Sesekali teriakan mereka menguak memecahkan kesepian malam.
Tapi belum juga Yap Kiong Lee dapat datang terlebih dekat, terdengar suara mengaduh beberapa orang yang kesakitan, kemudian sepi! Dan begitu Yap Kiong Lee tiba di tempat itu, yang ia dapatkan hanyalah mayat-mayat bergelimpangan sementara di kejauhan didengarnya suara derap kaki kuda yang berlari pergi.
“Uh! Uh!”
"Hei! Ada yang masih hidup......" Yap Kiong Lee berdesah. Pemuda itu melompat datang. Bau amis yang amat keras merangsang hidungnya, membuat pemuda itu semakin berhati-hati dalam setiap langkahnya. Apalagi ketika dilihatnya mayat-mayat itu berwarna kehijau-hijauan.
"Uh! Uh!”
Yap Kiong Lee berjongkok. Dalam keremangan malam ia melihat orang tersebut merintih sambil mendekap dadanya. Dari sela-sela jari tangannya tampak mengalir darah. Tidak seperti mayat-mayat yang lain, kulit orang itu tidak berwarna kehijau-hijauan.
“Coba kulihat lukamu......" Yap Kiong Lee membungkuk.
"Sia… siapakah tu... tuan..,..? Oh, to... longlah aku!Bawalah aku kerumah! Biarlah Kam Lo-jin yang mengobatiblukaku.....”
Yap Kiong Lee menotok beberapa jalan darah di sekeliling luka itu, sehingga darah yang mengalir menjadi berhenti. Kemudian sambil memanggul tubuh itu Yap Kiong Lee bertanya, "Dimana rumahmu?"
"Dipinggir dusun itu… Rumah bes... besar bercat kuning...."
Yap Kiong Lee berlari menyeberangi padang berumput tebal itu. Beberapa kali ia berpapasan dengan kelompok kuda yang sedang memakan rumput. Kelihatannya tempat itu merupakan sebuah peternakan kuda. Yap Kiong Lee melihat sebuah rumah besar bercat kuning di pinggir dusun.
Rumah itu dikelilingi kandang-kandang kuda yang amat banyak. Rumah itu sebenarnya merupakan rumah yang amat besar dan bagus, sayang di bagian samping dan belakang tampak retak-retak, mungkin diakibatkan oleh gempa bumi yang terjadi beberapa waktu berselang.
Empat orang lelaki yang berjaga-jaga di depan rumah menyuruh Kiong Lee berhenti. "Siapa....?" salah seorang di antaranya bertanya. "Lo Sam... aku! Aku.... aku terluka!" orang yang berada diatas pundak Kiong Lee menjawab.
"Hei.....? Twa-ko? Kenapa engkau?" tiba-tiba keempat orang itu kaget. Berebutan mereka menolong orang yang terluka itu, sehingga hampir melupakan Yap Kiong Lee.
"Eh, sahabat... marilah masuk!" salah seorang yang mendadak teringat kepada pemuda itu segera mempersilahkannya masuk.
Rumah itu menjadi gempar seketika. Beberapa orang segera berlari ke belakang, memberi tahu pemilik rumah. Yap Kiong Lee duduk diam di tempatnya. Matanya mengawasi hiasan hiasan dari kertas yang dipasang di pendapa rumah tersebut. Beberapa orang perempuan tampak sibuk di beranda tengah. Kelihatannya mereka sedang merayakan sesuatu di rumah besar ini.
Seorang pelayan datang memberi seperangkat pakaian kepada Yap Kiong Lee, dan tentu saja diterima dengan senang hati oleh pemuda tersebut. Bergegas ia mengganti pakaiannya yang basah dan bersamaan dengan itu dari dalam rumah keluar pemilik rumah yang mengenakan pakaian yang gemerlapan. Di sampingnya mengikuti seorang tua yang membuat Kiong Lee mengejap-ngejapkan matanya karena tak percaya apa yang dilihatnya. "Kam Lo-cianpwe.,...!" desahnya perlahan.
“Eh? Yap Siauw-hiap (Pendekar Muda Yap)..." orang tua itu tak kalah kagetnya.
Orang tua yang tak lain adalah Kam Siong Ki, murid bungsu mendiang Bu-eng Sin-yok-ong itu segera datang mendekati Yap Kiong Lee. Sambil menggandeng lengan, kakek sakti itu berbisik di telinga Yap Kiong Lee, "Eh, Yap Siauw-hiap...! Jangan panggil aku Kam Lo-cianpwe! Aku cuma dikenal sebagai orang tua yang bisa mengobati orang di daerah ini. Dan aku tak ingin orang-orang di sini mengetahui siapa sebenarnya aku ini. Biarlah mereka tetap menyangka demikian...."
Sekali lagi kakek sakti yang tak ingin dikenal orang itu menatap muka Yap Kiong Lee, lalu perlahan-lahan tangannya menarik lengan pemuda ke depan, menghampiri pembaringan yang dipergunakan untuk menidurkan orang yang terluka tadi. Orang yang ada di tempat itu segera menyisih memberi jalan. Dan si pemilik rumah yang ikut memeriksa orang yang terluka itu bangkit menyongsong pula.
"Kam lojin (Kakek Kam), dia baru saja berkelahi dengan para pencuri kuda di dekat sungai. Keenam orang kawannya telah tewas terkena racun pencuri-pencuri itu." pemilik rumah itu memberi keterangan.
"Biarlah aku periksa lukanya....." Kakek Kam menyahut dan memperkenalkan Yap Kiong Lee sebagai keponakannya.
"Ah, sungguh kebetulan sekali saudara Yap yang menolong orangku. Kam Lojin ini sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri. Itulah sebabnya beliau kami undang ke sini untuk menghadiri pernikahan anak lelakiku malam ini. Sungguh tak kusangka pencuri pencuri kuda itu mempergunakan kesempatan selagi kami sekeluarga sedang sibuk mempersiapkan perayaan ini."
Yap Kiong Lee membalas penghormatan tuan rumah tapi dia tidak berkata sepatahpun. Pemuda itu tak ingin menakut-nakuti tuan rumah dengan mengatakan bahwa yang mencuri kuda mereka bukanlah pencuri biasa, melainkan seorang iblis dari Ban-kwi-to. Hanya kepada Kam Song Ki pemuda itu mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.
Kam Lojin memeriksa luka orang itu dan mengobatinya. Biarpun banyak mengeluarkan darah, tapi luka itu tidaklah berbahaya. Hanya merupakan luka luar saja. Oleh karena itu setelah diberi obat dan dibalut, Kam Lojin hanya menyuruhnya beristirahat saja untuk beberapa hari.
"Lo-ya, utusan dari pihak pengantin perempuan telah tiba." tiba-tiba seorang pelayan masuk memberi laporan. "Katanya pengantin laki-laki telah ditunggu kedatangannya....!”
“Hah? Mana mereka? Wah, celaka... aku belum siap." pemilik rumah itu gugup.
Sekali lagi rumah itu menjadi ribut. Mereka bergegas mempersiapkan pengantin lelaki dengan segala upacaranya, sehingga semuanya melupakan kehadiran Yap Kiong Lee di tempat itu. Kakek Kam yang ikut menjadi wakil pihak pengantin lelaki juga tak punya waktu lagi untuk mendampinginya. Tapi Yap Kiong Lee menyadari kesibukan mereka. Sedikitpun pemuda sakti itu tidak berkecil hati karenanya.
"Ayoh! Kau ikut sekalian dalam rombongan pengantin ini...!" Kam Song Ki mengajak Kiong Lee sebelum iring-iringan itu berangkat.
“Ah, terima kasih Lo... eh, Lojin!" Pemuda itu menolak.
“Wah, kalau begitu kau mampirlah di rumahku kalau ada waktu. Kau carilah aku di dusun Ho-ma-cun..... sepuluh lie dari tempat ini."
"Baik!" Begitu rombongan pengantin itu berangkat, Yap Kiong Lee juga berpamit untuk meneruskan perjalanannya. Mula-mula orang yang berada di dalam rumah itu melarangnya, begitu juga orang yang ditolongnya itu. Tapi karena Yap Kiong Lee bersikeras juga untuk berangkat, mereka terpaksa melepaskannya.
Yap Kiong Lee berjalan menyusuri jalan besar yang membelah dusun kecil itu. Ia bermaksud menengok keramaian itu pula. Beberapa orang laki perempuan tampak berbondong-bondong bersama anak-anak mereka. Tampaknya mereka juga ingin menonton keramaian yang diadakan oleh Kepala Kampung mereka, sehubungan dengan hajatnya mengawinkan anak perempuannya yang sulung. Keramaian itu tentulah sebuah keramaian yang diadakan secara besar-besaran, mengingat besannya adalah Lo-wangwe, peternak kaya di dusun mereka.
Rumah kepala kampung itu persis berada di perempatan jalan, dan tempat tersebut telah padat dengan penonton yang ingin menyaksikan pertunjukan wayang. Karena panggung tempat pertunjukan itu didirikan di pinggir jalan, maka praktis para penontonnya menjadi tersebar memenuhi jalan raya. Sementara para pedagang kecil memanfaatkan keramaian itu dengan menjajakan dagangannya di tepian jalan.
Yap Kiong Lee membaurkan dirinya di antara penonton yang bertebaran di tengah jalan. Sambil menyilangkan kedua lengannya di dada, pemuda itu bersandar pada gerobag kecil yang diparkir di tepi jalan. Gerobak itu tertutup semua pintu dan jendelanya, mungkin pemiliknya ikut pula bercampur di antara penonton. Sedangkan kedua ekor keledai penariknya dibiarkan mengorek-ngorek kotak tempat makanan yang disediakan di depannya.
Upacara perkawinan telah selesai dilakukan. Sepasang pengantinnya telah dipersandingkan di atas kursi yang disediakan. Para tamu mulai menikmati makanan yang disuguhkan, sementara di ruangan depan juga telah dimulai dipertunjukkan tari tarian rakyat yang amat mempesonakan. Pihak tuan rumah memang sengaja mendatangkan para penari itu dari kota.
Semakin malam penonton semakin banyak, apalagi ketika acara tari-tarian sudah selesai dan pertunjukan wayang telah mulai dipertontonkan. Para penonton mulai berdesak-desakan berebut tempat di depan panggung sehingga suasana menjadi hingar-bingar dan ramai bukan main! Apalagi ketika para pemain wayangnya telah mulai mempertunjukkan kebolehannya di atas panggung, para penonton mulai bersuit-suit dan bertepuk tangan dengan riuhnya.
Yap Kiong Lee tetap saja bersandar pada gerobag itu. Ia enggan untuk ikut berdesakan di antara mereka. Sambil menonton, sesekali ia memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di dekatnya. Siapa tahu ia berjumpa dengan seseorang yang telah dikenalnya.
Tiba-tiba pemuda itu tersentak kaget. Sekilas matanya melihat Tee-tok-ci dan Ceng-ya kang di antara kerumunan orang di depannya. Tapi ketika ia menegaskan lagi, kedua orang itu telah hilang dan tak kelihatan lagi bayangannya...