Pendekar Penyebar Maut Jilid 17 karya Sriwidjono - SESAAT Yap Kiong Lee menjadi termangu-mangu. Benarkah apa yang dilihatnya tadi? Ataukah semuanya itu hanya karena bayangannya sendiri saja? Ingin benar rasanya dia mencari serta membuktikannya. Tapi bagaimana mungkin? Kedua orang itu dapat bergerak gesit dan cepat seperti iblis, padahal di situ berjubel demikian banyak orang!
Dan misalkan orang itu benar-benar ada di antara mereka, akibatnya justru akan sangat berbahaya. Karena kalau kedua iblis itu menjadi marah dan merasa terganggu kebebasannya, keduanya bisa menjadi pembunuh-pembunuh yang sadis. Bisa saja keramaian yang demikian meriahnya ini berubah menjadi arena berdarah yang mengerikan!
“Uh..... uh!" Mendadak gerobak yang dipakai untuk bersandar Yap Kiong Lee itu bergoyang-goyang. Dari dalam terdengar suara keluhan lirih wanita, yang nada suaranya persis seperti orang yang baru bangun dari tidur. Setelah itu terdengar pula suara laki laki yang menyahut dengan perlahan pula. Dan beberapa saat kemudian kedua buah suara itu terlibat dalam bisikan mesra yang amat panas, sehingga Yap Kiong Lee yang mendengarkannya menjadi merah padam mukanya.
Gerobak itu bergoyang semakin lama semakin keras serta disertai suara tertawa yang semakin lama juga semakin keras, sehingga akhirnya para penonton yang berada di sekitarnya menjadi heran dan merinding. Beberapa orang di antaranya mulai menyingkir dengan takut-takut. Mereka takut kalau-kalau dari dalam gerobak itu tiba-tiba muncul sesosok hantu yang menakutkan.
Mendadak suara tertawa itu berhenti dengan tiba-tiba dan sekejap kemudian terdengar suara gedubrakan yang keras, disertai suara maki-makian kotor yang mendirikan bulu roma. Dan sesaat kemudian terdengar perang mulut yang seru diikuti dengan suara gedebag gedebug orang berkelahi.
Semua penonton yang berada di dekat gerobak itu segera menyingkir ketakutan. Tinggal Yap Kiong Lee yang masih tertegun di tempatnya. Dengan sikap waspada pemuda itu bersiap-siap untuk menjaga segala kemungkinan yang terjadi.
"Grobyaak! Bluuuk.....!" Pintu gerobak itu jebol. Daun pintunya yang terbuat dari kayu tebal terlempar dengan keras ke depan, menimpa keledai penariknya! Tentu saja binatang itu menjadi kaget dan kesakitan, sehingga otomatis kakinya meloncat ke depan sekuat kuatnya! Bagai dihentak oleh tenaga raksasa, gerobak kecil itu melayang ke depan, menerjang kerumunan penonton yang memadati jalan raya tersebut.
Belasan orang penonton langsung menggeletak, terkapar luka parah! Sebagian besar anak-anak dan wanita! Penonton-penonton lainnya langsung berlari cerai berai, berusaha menyelamatkan diri mereka masing-masing. Beberapa orang wanita dan anak-anak kembali menjadi korban lagi, mereka jatuh terinjak-injak penonton lainnya.
Teriakan-teriakan ketakutan, jeritan-jeritan putus asa dan panik, serta tangisan anak-anak yang terlepas dari orang tuanya, berkumandang bersahutan, mengalahkan ributnya suara tambur dan gembreng yang ditabuh oleh para pemain wayang!
Suasana yang kacau itu membuat si keledai semakin menggila. Bersama dengan gerobak yang dihelanya, binatang itu berputar-putar menerjang kemana saja, menceraiberaikan para penduduk yang memadati jalan raya tersebut. Korban bergelimpangan, baik yang disebabkan oleh amukan keledai tersebut, ataupun yang disebabkan karena terinjak-injak penonton lainnya!
Dan suasana menjadi makin kacau dan mengerikan ketika dari dalam gerobak yang terguncang-guncang itu berjatuhan segala macam botol-botol, bumbung bambu, guci-guci, kantong kulit dan sebagainya! Benda-benda tersebut pecah begitu jatuh atau terinjak, dan dari dalamnya keluar segala macam binatang beracun seperti ular, kalajengking, kelabang, lebah, ulat dan lain-lainnya! Binatang-binalang itu langsung menyerang dan menggigit pula karena kaget dan takut!
Korbanpun berjatuhan pula lagi! Apalagi ketika beberapa buah di antara guci-guci itu ternyata berisi bubuk-bubuk atau cairan-cairan beracun yang mematikan! Benda-benda berbahaya itu menyiram tanah memercik ke mana-mana, mengenai orang-orang yang menginjaknya!
Bau amis, bacin dan busuk bertebaran menyelimuti seluruh tempat pertunjukan itu. Belasan penonton Iangsung tergeletak begitu menyedot hawa atau udara beracun tersebut! Mayat-mayat bergelimpangan, berserakan memenuhi arena pertunjukan!
Para tamu yang berada di halaman rumah Kepala Kampung juga tak luput dari musibah tersebut, ketika gerobak maut itu menabrak pagar dan berputar-putar di antara jajaran kursi yang tersedia. Tapi sebelum gerobak itu sempat menerobos pagar, dua sosok bayangan lelaki perempuan tampak melayang keluar dari gerobak.
Keduanya berkejaran, meloncat ke sana ke mari sambil sesekali berhenti untuk saling mengadu kepalan. Mulutnya yang kotor itu tetap saling mencaci dan memaki juga. Dan bersamaan dengan saat gerobak maut itu mengobrak-abrik para tamu, sepasang iblis lelaki perempuan itu juga meloncat kearah panggung wayang, dan membubarkan para pemainnya.
“Lelaki busuk! Lelaki lemah tak berdaya! Kurus berpenyakitan…..! Kubunuh kau!”
“Huh! Perempuan tua! Perempuan gembrot seperti kerbau! Perempuan jelek….!”
“Oh, kau berani berkata begitu….? Suami macam apa itu? Awas, akan kukuliti kulitmu dan akan kumakan jantungmu!”
“Hei, siapa sudi jadi suamimu? Kapan kita menikah? Huh, enaknya.....!”
“Bangsattt……! Kubunuh kau! Kubunuh kaaauuuu……!”
Si iblis wanita yang bertubuh gemuk besar itu menyerang kalang-kabut! Jari-jari tangannya yang berkuku panjang itu menaburkan pasir beracun yang ganas. Akibatnya beberapa orang pemain wayang yang belum sempat pergi menjadi korban pula.
“Wah, suami isteri Im-kan Siang-mo (Sepasang Iblis dari Neraka) dari Ban-kwi to….” Yap Kiong Lee bergumam marah.
Pemuda itu terpaksa bertengger di atas pohon di pinggir jalan untuk menghindari arus penonton yang kacau balau tadi. Dari tempat itu ia dapat melihat dengan jelas amukan gerobak yang ditarik keledai tersebut. Gemetar sudah tangannya untuk menghentikan gerobak tersebut, tapi mengingat arena itu sudah penuh dengan racun dan binatang-binatang berbahaya, apalagi selain Im-kang Sian-mo tampak juga adanya Tee-tok-ci dan Ceng-ya-kang pula, maka ia mengurungkan niatnya untuk sementara. Terlalu berbahaya baginya!
Sebentar saja tempat pesta yang amat meriah itu berubah menjadi arena berdarah yang sangat mengerikan! Mengingatkan orang pada zaman peperangan besar beberapa tahun yang Ialu. Mayat bergelimpangan di jalan, jerit tangis memilukan dan suasana yang porak-poranda!
Yang amat mengherankan Yap Kiong Lee ialah mengapa tak seorangpun dari pihak tuan rumah maupun besannya, yang keluar untuk turun tangan mengatasi huru-hara tadi. Sampai pada Kakek Kam yang ia tahu sangat sakti itupun juga tidak kelihatan batang hidungnya. Baru setelah gerobak beserta keledainya terjerumus di dalam parit dalam dan Sepasang Iblis Im-kan Siang-mo berkelebat pergi, orang tua itu tampak berlari-lari keluar rumah.
“Awas! Semua orang jangan menyentuh benda-benda yang terkena racun iblis tadi! Tanah, pohon, kayu, kursi, meja dan sebagainya.....!" kakek itu memperingatkan semua orang yang masih selamat.
Sementara itu melihat Kam Song Ki sudah keluar, Yap Kiong Lee segera berkelebat pergi, menyusul Sepasang Iblis Neraka tadi. Hampir saja pemuda itu kehilangan jejak buruannya. Sepasang iblis itu lenyap ditelan kegelapan malam ketika tiba ditepian sungai. Kedua orang itu bagaikan hantu yang secara tiba-tiba menghilang begitu saja.
Tepian sungai itu banyak ditumbuhi semak-semak lebat yang menjorok sampai ke tebingnya. Oleh karena itu Yap Kiong Lee menyelusurinya dengan hati-hati sekali, siapa tahu kedua tokoh Ban-kwi to tersebut bersembunyi di dalamnya. Dan ternyata dugaannya memang benar. Sepasang telinganya segera menangkap gemerisiknya daun yang diinjak orang.
Seorang laki-laki gemuk berkepala gundul tampak melintas di hadapannya. Ceng-ya-kang! Hm, iblis itu lagi. Yap Kiong Lee menggeram di dalam hati. Bukankah iblis gundul itu telah membawa pergi kuda-kuda curian itu? Mengapa sekarang dia berada di tempat ini lagi? Mengapa orang itu tidak lekas-lekas pergi ke Pantai Karang? Ada urusan apa dia disini?
Yap Kiong Lee semakin meningkatkan kewaspadaannya. Untunglah baju pemberian peternak kuda tadi berwarna agak gelap, sehingga sangat menolong dia dalam kegelapan malam itu. Dengan leluasa dia menyusup-nyusup mengikuti iblis Ban-kwi to tersebut.
Tiba-tiba Ceng-ya-kang berhenti di bawah pohon siong tua yang berada di dekat tebing yang menjorok ke tengah sungai. Sekejap kemudian dari atas pohon meluncur turun seorang kakek bertubuh kecil, yang tidak lain adalah Tee-tok-ci. Mereka saling berbisik satu sama lain, sehingga Yap Kiong Lee tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan. Sementara itu Yap Kiong Lee malah mendengar suara caci-maki Im-kan Siang-mo di atas tebing yang menjorok ke tengah sungai itu.
“Nah! Bagaimana sekarang…. perempuan busuk? Kendaraan kita telah tiada. Benda-benda kesayangan kita yang kita kumpulkan selama bertahun-tahun ikut lenyap pula.” Bouw Mo-ko memarahi isterinya.
“Hei? Mengapa engkau malah menyalahkan saya? Bukankah engkau kusirnya? Kalau gerobak sampai tak bisa dikendalikan dan menabrak kesana kemari, bukankah itu karena kegoblogan si kusir?”
“Benar memang…..! Tapi bagaimana aku bisa mengendalikan gerobak, kalau engkau terus-menerus memukul dan mau membunuh aku?”
“Nah! Itulah kegobloganmu....! laki-laki kurus....lemah! mengapa engkau tidak bisa berkelahi sambil mengendalikan gerobak?”
“Bangsat! Apa kau juga bisa? Huh, perempuan jelek yang mau menang sendiri saja!”
“Apa katamu? Keparat! Kubunuh kauuuuu.....!”
Sepasang suami isteri itu saling berbaku hantam kembali. Kali ini malah lebih seru lagi dari pada tadi. Kalau semula perkelahian mereka cuma sesaat-sesaat, yaitu mereka lakukan sambil berlari-lari, sekarang mereka benar-benar saling berhadapan beradu dada. Mereka tidak berlari-lari. Mereka sungguh-sungguh bertempur habis-habisan sekarang!
“Hei! Hei! Berhenti.....!” Tee-tok-ci dan Ceng-ya-kang berteriak berbareng.
Tapi mana mau kedua manusia sinting itu berhenti? Mereka hanya melirik sekejap, lalu melanjutkan pertempuran mereka lagi. Biarpun mereka tahu bahwa yang datang adalah kedua orang suhengnya sendiri, tapi kedua orang itu tetap tidak ambil pusing!
Tentu saja Tee-tok ci dan Ceng-ya-kang menjadi marah dan merasa diremehkan sekali. Maka tanpa berpikir panjang lagi keduanya langsung terjun ke arena dan ikut bertempur diantara mereka. Tee-tok-ci menghadapi Hoan Mo-li, sedangkan Ceng-ya-kang menahan Bouw Mo-ko!
“Kurang ajar! Toa-suheng, menyingkirlah….! Jangan kau halang-halangi aku! Akan kubunuh suamiku itu!”
“Huh! Bunuh saja perempuan jelek itu, Toa suheng! Jangan sungkan-sungkan lagi! Aku sudah bosan mendengar ocehannya.....” Bouw Mo-ko tak mau kalah suara.
“Diam kau, cacing kurus!” Ceng-ya-kang membentak sambil menangkis serangan Bouw Mo-ko. “Kalau tak mau diam akan kuludahi mukamu yang tak sedap itu!”
“Heh! Kalian berdua ini benar-benar seperti anak kecil yang tak tahu diri saja. Kalau kalian memang tidak cocok dan saling membenci satu sama lain..... huh, mengapa kalian tidak bercerai saja?” Tee-tok-ci ikut pula menghardik.
“Nah… itu dia! Aku setuju!” Bouw Mo-ko berteriak.
“Diammm…..! Kau memang ingin mencoba ludahku, yaa….? Hmm, cuh…. cuh!” Ceng-ya-kang menyemburkan ludah inti racunnya.
Dengan tergesa-gesa Bouw Mo-ko memiringkan mukanya. Meskipun begitu ternyata gerakannya itu belum dapat membebaskannya dari serangan suhengnya. Gumpalan ludah yang meluncur kearah wajah itu memang dapat ia hindari, tapi percikan-percikan yang mengikutinya ternyata masih bertaburan mengenai topinya. Terdengar suara berkeratak seperti suara hujan yang menimpa genting, ketika topi itu terlempar ke atas dengan lobang-lobang kecil pada setiap permukaannya. Dengan wajah pucat Bouw Mo-ko meloncat mundur.
Dan sebelum bentrokan diantara mereka berlangsung kembali, Tee-tok ci tampak mengeluarkan alat tiupnya yang terkenal itu. “Semuanya berhenti…..! kalau tidak, peluitku ini akan kubunyikan… dan kalian semua akan menjadi santapan tikus-tikus sungai.” Ancamnya serius.
“Kalian semua ini memang benar-benar tak tahu diri! Saudara seperguruan yang hanya tinggal enam orang saja… tak mau rukun juga. Mana bisa dihargai orang?” tiba-tiba terdengar suara wanita yang datang.
Yap Kiong Lee yang berada di tempat persembunyiannya terkejut pula di dalam hati. Dari tempat gelap, cuma beberapa langkah saja dari persembunyiannya, muncul sepasang wanita kembar yang dandanannya sangat menyolok dan berlebih-lebihan.
“Wah, lengkap sudah mereka kali ini. Tadi Tee-tok-ci, lalu Ceng-ya-kang, kemudian…. Im-kan Siang-mo, sekarang…. Jeng-bin Siang-kwi! Sayang iblis yang nomer dua, Tiat-siang-kwi, sudah meninggalkan dunia…..”
“Sam sumoi dan Su sumoi.....” Tee-tok ci menyapa perlahan. “Kalian semua ini benar-benar teledor dan tak berhati-hati! Sudah sekian lamanya diintai musuh tidak juga merasakan….!” Jeng-bin Sam-ni mengomel marah.
“Hah?”
"Apa? Diintai musuh...?"
Semuanya terkejut bukan main. Tak terkecuali Tee-tok-ci, orang tertua dan terlihai di antara berenam saudara seperguruan itu. Mereka memandang tak percaya kepada Jeng-bin Siang-kwi yang kembar tersebut. Tapi melihat kesungguhan nada suara sepasang wanita itu mereka toh menjadi berdebar-debar pula akhirnya. Dengan mata mendelik mereka memandang ke sekeliling tempat tersebut.
Sementara itu Yap Kiong Lee yang berada di tempat persembunyiannya ternyata tidak kalah terperanjatnya dari pada mereka. Otomatis tenaga saktinya menyebar ke seluruh urat-urat darahnya, siap untuk dikerahkan sewaktu waktu.
Tapi sebelum pemuda itu keluar dari tempat persembunyiannya, dari bawah tebing tiba-tiba muncul lima orang tua berseragam pengemis. Mereka rata-rata berusia lima atau enampuluh tahun dan masjng-masing memegang sebuah tongkat besi sepanjang lengan mereka sendiri. Biarpun mengenakan baju lusuh dan penuh tambalan, tetapi sikap dan wajah mereka sedikitpun tidak mencerminkan wajah seorang peminta minta.
Dan bersamaan dengan munculnya kelima orang pengemis tersebut dari arah pobon siong dimana Tee-tok-ci tadi bersembunyi, mendadak juga muncul dua orang gadis cantik pula. Kedua orang gadis cantik itu mendaratkan kaki mereka dengan manis di depan keenam iblis Ban-kwi-to tersebut. Yang satu berwajah cerah dan bersanggul tinggi, sementara yang lain agak kurus serta pucat! Umur mereka sekitar duapuluh tiga atau duapuluh empat tahun dan sama-sama cantiknya!
Sekali lagi Yap Kiong Lee dibuat terkejut oleh kedatangan mereka. Tapi bukan karena kecantikan mereka yang mempesonakan itu yang mengagetkannya, tapi kenyataan bahwa ia telah mengenal merekalah yang membuatnya terperanjat. Yang berwajah cerah dan amat cantik itu adalah Ho Pek Lian, murid dari Kaisar Han. Sedangkan yang berwajah pucat dan kurus, tapi berbau wangi, adalah Kwa Siok Eng, puteri ketua Tai-bong-pai!
Setahun yang lalu kedua orang gadis itu bersama dengan Chu Seng Kun, telah pergi berkelana untuk mencari Chu Bwe Hong yang Ienyap diculik orang! “Hah?!?" tiba-tiba Yap Kiong Lee menepuk dahinya. "Ingat aku sekarang! Wanita ayu.... wanita ayu yang bersama-sama dengan orang Bing-kauw itu..... hah, bukankah…. bukankah dia adalah Chu Bwe Hong? Wah, benar! Masa aku sampai lupa juga?" pemuda itu sibuk sendiri dengan pikirannya.
Sementara itu suasana tegang dan mencekam telah menyelimuti perjumpaan yang tak disangka-sangka tersebut. Tee-tok-ci segera membelalakkan matanya begitu melihat siapa yang datang.
"Hoho hihi.... selamat berjumpa nona-nona cantik! Lo-hu sungguh tak mengira sama sekali kalau dapat bertemu dengan musuh-musuh lama di sini. Haha, nona dulu sungguh beruntung dapat lolos dari lorong jebakan di bawah tanahku..."
"Ya.....! Dan sekarang giliran kami untuk membalas perlakuanmu itu." Ho Pek Lian menjawab.
“Hihi-hohoho..... mau membalas? Ooo.... jangan harap! Dulu kalian selamat karena ada Yap Lo-cianpwe dan puteranya yang sakti (Yap Kiong Lee). Tapi kini kalian cuma ditemani pengemis-pengemis kelaparan seperti ini. Hihi hahaah...!”
"Bangsat!” tiba-tiba salah seorang dari pengemis itu membentak. "Kami tidak ada hubungannya sama sekali dengan kedua orang nona ini....! Kami adalah utusan-utusan dari Keh-sim Siauw-hiap. Jangan ngawur....!"
“Ohh, begitu! Wah... jika demikian bakalan ramai, nih! Tiga pihak saling berhadapan dan sebentar lagi kita bisa main bunuh-bunuhan, eh-eh-eh….! Bukankah begitu, koko…..?” Hoan Mo-li yang tadi baru saja berhantam dengan suaminya, kini menggelendot manja.
“Hmm, tentu saja…..kita dapat saling berlomba nanti siapa yang paling banyak membunuh orang di tempat ini.” Bouw Mo-ko tersenyum senang.
Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng juga saling pandang dengan bibir tersenyum, sedikitpun mereka tidak gentar menghadapi tokoh-tokoh iblis dari Ban-kwi-to yang berdiri lengkap di depan mereka. Ho Pek Lian tampak menghunus pedangnya, sementara Kwa Siok Eng mengeluarkan ikat pinggangnya yang panjang.
“Tee-tok-ci! Ayo! Apakah kita akan langsung saja menyelesaikan hutang-piutang kita itu disini....?” Kwa Siok Eng yang kelihatan pucat dan lemah lembut itu menantang.
“Eh? Oh.....hoho, tentu saja!” kakek berperawakan kecil itu sedikit tertegun malah, melihat keberanian si gadis, “Tapi.... eh, tunggu sebentar! Aku akan bertanya terlebih dahulu kepada para tukang korek sampah itu...."
"Manusia bermuka tikus yang menjijikkan! biarpun kami seorang pengemis tapi tak pernah mengorek sampah seperti katamu itu. Kami justru sudah terbiasa memberi ampun kepada musuh-musuh kami. Hanya sekali ini…. mungkin kami tidak akan memberikannya kepadamu.” Salah seorang dari pengemis itu menggeram marah.
“Heh? Oh... hohoho, agaknya kalian juga mempunyai keberanian pula. Tapi agaknya kalian belum mengenal siapa kami ini, heheh..... heheh!”
“Persetan! Siapapun adanya kalian, kami kaum Tiat-tung Kai-pang tidak pernah takut!”
“Wah, celaka….! Kali ini korban kita benar-benar cuma seorang pengemis! Dan hanya dari Tiat-tung Kai-pang pula! Huh! Rugi... benar-benar rugi!” Hoan Mo-li yang sangat cerewet itu membuka mulutnya lagi.
“Babi kurang ajarrrr.....! kalian sungguh menghina Tiat-tung Lo-kai!” pengemis yang marah tadi meloncat maju.
“Lo-cianpwe, hati-hati…..” Ho Pek Lian memperingatkan orang itu. “Mereka adalah iblis-iblis dari Ban-kwi to!”
“Ooh!” pengemis itu berhenti melangkah. Ternyata nama Ban-kwi to itu sedikit menggetarkan dadanya juga.
Tee-tok ci tertawa melihat keragu-raguan orang. “Nah! Mengapa kalian mengintai dan memata-matai kami, hah?” tanyanya keras.
“Siapa…. siapa memata-matai kalian? Huh! Kamilah yang lebih dahulu berada di tempat ini, baru kemudian kalian! lihat sampan-sampan kami di tepi sungai itu! Kalau kami datang belakangan, bukankah kalian akan mendengar suara kami?” jawab Tiat-tung Lo-kai marah, biarpun tidak segarang tadi. Bagaimanapun juga nama Ban-kwi to tetap mengecutkan hatinya. Bukan kepandaian atau kesaktiannya yang menakutkan dia tetapi kehebatan racun mereka!
“Kami tidak peduli, kau datang lebih dulu atau datang belakangan. Tapi yang jelas kalian telah mengintai kami. Untunglah aku melihatnya……” Jeng-bin Su-nio mendengus.
“Dan…. hal itu sudah merupakan alasan bagi kami untuk membunuh kalian secepatnya.” Jeng-bin Sam-ni menambahkan.
"Benar! Benar sekali......!” suami isteri Im-kan Siang mo bertepuk gembira.
“Nah! Apa yang mesti kalian tunggu lagi? Ayoh, siapa yang ingin mati duluan? Cuh! Cuh!” Ceng-ya-kang yang sejak semula hanya berdiam diri itu tiba-tiba meluncur ke depan, menyerang Tiat-tung Lo-kai dengan semburan ludahnya yang ampuh!
Tiat-tung Lo-kai mengelak sambil memutar tongkatnya di depan dada, untuk menghalau percikan ludah itu. Tokoh ini sering mendengar bahwa salah seorang dari iblis Ban-kwi to ada yang gemar mempergunakan air ludah untuk membunuh lawannya.
“Hai! Hai! Ngo-suheng…..!” Hoan Mo-li meloncat ke depan sambil menjerit, diikuti oleh Bouw Mo-ko, suaminya. “Biar aku dulu yang membunuh dia…..!”
“Eh, enaknya….! Aku dulu, dong…..!” Bouw Mo-ko segera menyela tak mau kalah. “Ngo-suheng, berikan saja dia padaku!”
“Kurang ajar, kau mau berebut lagi denganku? Baik! Marilah kita tentukan dulu, siapa yang lebih jago diantara kita…..! Heiitt!”
Kedua orang suami isteri itu kembali berkelahi lagi. Tapi Tee-tok ci segera meniup peluitnya, sehingga kedua orang itu segera menghentikan perkelahian mereka pula.
“Huh, manusia sinting! Kenapa kalian lanjutkan juga perselisihan itu?” kakek bertubuh kecil itu membentak marah.
“Habis kami tak punya lawan yang lain lagi, sih…! Satu-satunya lawan kita telah diambil oleh Ngo-suheng." Hoan Mo-li yang gendeng itu menjawab sekenanya.
"Hah, kalian benar-benar buta! Tidakkah kalian lihat di tepi sungai itu masih ada empat ekor tukang korek sampah yang lain?"
"Apa? Masih... hei, benar! Koko, lihatlah! Disana masih ada yang lain.....!” Hoan Mo-li bersorak gembira.
Sepasang iblis itu langsung berebutan menghambur ke arah lawan, yaitu empat orang pengemis yang tidak lain adalah Tiat-tung Su-lo! Mereka segera terlibat dalam pertempuran yang seru dan kasar.
“Wah, terus bagaimana dengan kita ini, cici...?” Ho Pek Lian saling pandang dengan Kwa Siok Eng.
"Kenapa mesti bingung? Marilah kita yang sama-sama wanita ini bermain-main berpasangan!” Jeng-bin Sam-ni dan adiknya Jeng-bin Su-nio melangkah ke depan sambil tersenyum.
Ho Pek Lian juga tersenyum. Tapi senyumnya mendadak hilang ketika tiba-tiba dilihatnya sepasang iblis kembar itu menaburkan sesuatu dari tempat bedaknya. Baunya sangat harum dan bubuk lembut berwarna putih itu melayang tertiup angin!
Belum juga Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng dapat menduga apa sebenarnya maksud sepasang iblis kembar itu menaburkan bedaknya, kedua tokoh Ban-kwi to tersebut sudah menyusuli gerakannya dengan mengayunkan kaki mereka ke depan. Kaki Jeng-bin Sam-ni terarah ke pusar Ho Pek Lian, sedangkan kaki Jeng-bin Su-nio tertuju ke ulu hati Kwa Siok Eng!
Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng tidak mau mendesak lawannya, maka tendangan itu sengaja tidak dielakkan oleh mereka berdua. Dengan mengerahkan lwee-kang ke lengannya, mereka menyongsong tendangan-tendangan tersebut dengan pukulan!
“Dhuuukkk! Dhuuuukk!”
“Ciiiitt! Ciiittt!”
“Auuuuuuhgh….!” Sepasang iblis kembar itu terpental ke belakang, kemudian jatuh berguling-guling.
Sebaliknya Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng tampak terdorong mundur sambil memekik kesakitan. Sambil menyeringai menahan sakit keduanya berusaha mencabut jarum-jarum kecil yang menembus lengan mereka. Sungguh tak disangka sama sekali oleh mereka, bahwa bersamaan dengan beradunya kepalan tadi, dari ujung sepatu lawan meluncur jarum rahasia yang mengenai lengan mereka. Serangan itu demikian mengejutkan, sehingga keduanya tak mampu lagi untuk mengelak.
Sementara itu Jeng-bin Siang-kwi segera bangkit kembali dengan tangkas. Meskipun terpental keduanya ternyata tidak mengalami luka apa-apa. Melihat senjata rahasianya dapat mengenai sasaran hatinya gembira bukan main. Dengan tertawa gembira keduanya meloncat ke depan dan menyerang lawannya yang sudah tidak berdaya itu.
Yap Kiong Lee tertegun seperti patung batu ditempatnya. Pemuda itu sungguh tak mengira kalau Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng dapat terkecoh demikian mudahnya. Terluka pada gebrakan pertama! Sungguh tak masuk di akal. Padahal sebagai murid Kaisar Han, Ho Pek Lian tentu mempunyai kepandaian sangat tinggi.
Begitu juga dengan Kwa Siok Eng. Gadis puteri Ketua Tai-bong-pai itu malah memiliki kesaktian yang lebih hebat lagi malah. Tapi hanya dalam satu gebrakan mereka telah dapat dilukai oleh Jeng-bin Siang-kwi. Malahan sekarang jiwa mereka justru terancam oleh lawannya. Betapa mengherankan!
Sementara itu pertempuran antara Im-kan Siang-mo dan Tiat-tung Su-lo, benar-benar merupakan sebuah pertempuran yang sangat acak-acakan tapi juga sangat mengerikan! Dua orang melawan empat orang! Lazimnya, karena melawan empat orang musuh, suami isteri itu masing-masing tentulah mengambil dua orang sebagai lawannya. Atau kalau lawan terlalu kuat, mereka tentu memilih berpasangan untuk melawan keempat orang musuhnya sekaligus. Itu yang lazim! Tapi pertempuran yang terlihat kali ini benar-benar lain dari pada yang lain.
Ternyata suami isteri yang tak pernah akur setiap harinya itu masih saja meneruskan persaingan dan perselisihan mereka dalam pertempuran ini. Dasar orang-orang dari golongan sesat, bukannya mereka saling melindungi atau saling menolong, tapi justru saling berebut dan saling menjatuhkan malah.
Suami isteri itu berlomba-lomba untuk dapat membunuh lawan sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu mereka saling berebut lawan, masing-masing ingin melawan sendiri keempat orang musuh mereka. Kalau yang satu hamper dapat membunuh lawannya, yang lain justru merintanginya. Kalau perlu justru menyerang suami atau isterinya malah!
Oleh karena itu pertempuran mereka tersebut amat tepat kalau dikatakan sangat acak-acakan, tapi juga sangat mengerikan! Untung bagi Tiat-tung Su-lo, persediaan racun dan binatang-binatang piaraan kedua suami isteri itu kini amat terbatas, sebab seluruh harta benda mereka hilang dan hancur bersama gerobak mereka. Coba kalau tidak demikian, mereka tentu sudah mengalami kesukaran sejak tadi.
Tee-tok-ci yang menonton di pinggir arena tampak tersenyum lega. Semua saudaranya berada di atas angin. Ceng-ya kang yang bertempur melawan ketua Tiat-tung Kai-pang daerah selatan juga telah dapat mengurung lawannya. Tongkat besi yang dipegang oleh Tiat-tung Lo-kai tidak dapat menahan lagi semburan-semburan ludah Ceng-ya kang sepenuhnya. Beberapa kali pengemis tua itu jatuh berguling-guling menghindari serangan lawannya.
Hampir seluruh batang jarum itu terbenam ke dalam daging, sehingga sukar sekali rasanya bagi Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng untuk mencabutnya. Apalagi mereka tidak mempunyai banyak waktu! Belum juga mereka sempat mencabutnya barang sebatang, Jeng-bin Siang-kwi telah datang menyerang lagi. Kali ini sepasang iblis kembar itu menyerang dengan kuku-kukunya yang panjang seperti cakar. Kuku yang tajam meruncing tersebut mencakar ke arah leher dan muka. Lapat-lapat tercium bau harum semerbak, seperti bau bunga mawar yang sedang mekar.
“Awas, Pek Lian! Kukunya mengandung racun mawar hitam....!” Kwa Siok Eng berteriak.
Tanpa mempedulikan lagi pada jarum-jarum yang menancap pada lengannya Ho Pek Lian meloncat ke belakang mengikuti Kwa Siok Eng, sehingga kuku-kuku yang mencakar ke arah dirinya menjadi luput. Lalu dengan gesit kakinya melangkah ke samping, dan pedang yang berada di tangannya ia tusukkan ke depan, mengarah ke pinggang Jeng-bin Sam-ni. Sementara ia lihat Kwa Siok Eng juga sedang menyabetkan ikat pinggangnya kearah leher Jeng-bin Su-nio.
Tapi tiba-tiba Ho Pek Lian menjadi bingung. Mendadak lawannya, Jeng-bin Sam-ni, berubah menjadi dua, sehingga tusukan pedangnya ia hentikan pula dengan mendadak. Matanya ia kejap-kejapkan, tapi pandangannya tetap tidak berubah. Malah sekarang tidak Cuma Jeng-bin Sam-ni yang berjumlah dua orang, tapi semua benda yang dilihatnya juga berubah menjadi dua buah pula. Ia lihat kawannya, Kwa Siok Eng, juga berubah menjadi dua!
Ternyata keanehan yang membingungkan itu menimpa pula pada Kwa Siok Eng. Puteri ketua Tai-bong-pai itu juga mengalami keadaan yang sama dengan Ho Pek Lian. Semua benda yang dilihatnya seperti berubah menjadi dua pula, sehingga otomatis serangan ikat pinggangnya juga berhenti di tengah jalan.
Kedua gadis itu belum menyadari, bahwa semua itu adalah karena pengaruh bedak wangi yang tadi ditebarkan oleh Jeng-bin Siang-kwi. Bedak wangi itu dinamakan Seribu Wajah. Apabila seseorang menyedotnya melalui lobang pernapasan, maka racunnya akan mengganggu system urat syaraf pada mata orang itu, sehingga pandang matanya menjadi terganggu. Semakin banyak racun yang disedot, semakin parah pula gangguan yang diakibatkan.
Bedak ini pulalah yang mengangkat nama Jeng-bin Siang-kwi di dunia persilatan selama ini. Dan senjata andalan mereka terburu-buru mereka keluarkan, karena mereka tahu dengan siapa kini mereka berhadapan. Kalau cuma berkelahi secara wajar, tak mungkin mereka dapat menang melawan kedua orang gadis lihai tersebut. Untuk melawan puteri ketua Tai-bong-pai itu saja mungkin mereka berdua akan mengalami kesukaran.
“Hi-hi-hi…. Kalian berdua telah terkena dua macam racun kami. Bedak seribu wajah dan jarum bulu merak! Bukankah kepala kalian terasa pening sekarang? Nah, sebentar lagi lengan kalian yang terkena jarum itu juga akan lumpuh!” Jeng-bin Sam-ni tertawa gembira.
“Kurang ajar! Wanita keji!” Ho Pek Lian menjerit marah. Gadis itu tak mempedulikan lagi rasa pening di kepalanya. Dengan sekuat tenaga ia menabas salah satu dari bentuk Jeng bin Sam-ni dengan pedangnya. Wuuuut! Dan wanita iblis itu tak berusaha untuk mengelakkannya, sehingga pedang dengan telak memotong pinggangnya!
“Lhoh…..?” Ho Pek Lian membelalakkan matanya. Tadi ia merasa bahwa pedangnya benar-benar telah mengenai pinggang lawan, tapi mengapa tubuh yang terpotong itu masih tetap berdiri utuh di depannya?
“Hi-hi-hi…. ayohh! seranglah kami sepuasmu!” Jeng-bin Sam-ni tertawa mengejek.
“Cici…..? Bagaimana ini…..?” Ho Pek Lian berteriak bingung.
“Adik Lian! Kau hanya menyerang bayangannya!” Kwa Siok Eng yang cerdas itu menerangkan. “Kalau ingin mengenai…..tabaslah semuanya!”
Sambil menerangkan Kwa Siok Eng sendiri juga menyerang Jeng-bin Su-nio. Ikat pinggangnya yang panjang itu melecut kearah dua bayangan Jeng-bin Su-nio sekaligus! Bau dupa yang sangat wangi keluar dari tubuhnya, menyertai tenaga sakti Hio-yan Sin-kang yang ia kerahkan!
Benar juga! Kedua bentuk bayangan itu meloncat menghindarkan diri, dan kemudian secara berbareng membalas serangan Kwa Siok Eng. Sekejap kemudian mereka telah terlibat kembali dalam pertempuran yang sangat seru. Kwa Siok Eng dengan ikat pinggangnya melawan dua buah bayangan Jeng-bin Su-nio dengan racun-racunnya! Oleh karena setiap menyerang harus mengenai kedua buah bayangan itu sekaligus, maka sebentar saja Kwa Siok Eng menjadi mandi keringat.
Demikian juga halnya dengan Ho Pek Lian. Murid dari Kaisar Han ini terpaksa harus mengerahkan tenaga dua kali lipat untuk melawan Jeng-bin Sam-ni. Celakanya, tenaga dalamnya tidak setinggi Kwa Siok Eng, sehingga sebentar saja kepalanya semakin menjadi pening, dan….. bayangan tubuh lawan tiba-tiba tampak bertambah banyak. Tidak hanya dua….tiga…atau empat, tetapi….belasan! lebih celaka lagi, lengan kirinya yang terkena jarum tadi mendadak tak bisa digerakkan sama sekali. Lumpuh! Tak lama kemudian Kwa Siok Eng menyusul pula, lengannya juga tak dapat digerakkan!
Dalam keadaan gawat bagi semua orang itu tiba-tiba terdengar bentakan yang menggeledek menulikan telinga. Dan mendadak saja, tanpa seorangpun tahu dari mana datangnya, di depan Tee-tok-ci telah berdiri membelakangi pertempuran, seorang pria gagah berjubah abu-abu! Pakaiannya sangat bersih dan baik seperti potongan seorang terpelajar (siucai). Cuma karena membelakangi pertempuran, wajahnya tak dapat dilihat oleh Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng.
“Keh-sim Siauw-hiap!” Tiat-tung Lo-kai dan Tiat-tung Su-lo tiba-tiba menjura. Otomatis pertempuran menjadi terhenti.
“Lo-kai! Su-lo! Kalian lanjutkan tugas kalian. Biarlah orang-orang ini aku yang mengurusnya….” Keh-sim Siauw-hiap memberi perintah kepada para pengemis itu.
Tiat-tung Lo-kai dan keempat pembantunya membungkuk kembali dengan hormat, lalu melangkah pergi kearah sampan mereka. “Baik, Siauw hiap.....!”
Tapi Hoan Mo-li menjadi penasaran sekali. Tak rela rasanya melepas mangsa yang telah berada di depan mulutnya itu. Tubuhnya yang gendut itu berkelebat menghadang mereka. “Hei! Berhenti.....!” bentaknya.
“Lo-kai! Su-lo! Berjalanlah terus! Jangan hiraukan dia!” Keh-sim Siauw-hiap berseru.
“Huh! Coba saja menerobos aku kalau bisa.....” wanita gendut itu bersiap-siap. Sesaat kemudian suaminya juga datang mendampinginya.
Tiba-tiba.... ya, tiba-tiba saja, karena seperti juga tadi, tak seorangpun mengetahui bagaimana pendekar muda itu bergerak, tahu-tahu pendekar tersebut telah berada di depan Im-kan Siang-mo! Sepasang tangannya yang sedari tadi selalu terlipat di atas dadanya, mendadak meluncur ke depan dengan luar biasa cepatnya.
“Dhees! Dhieess!”
Sepasang Iblis Neraka itu terlempar ketika berusaha menangkisnya. Setelah itu dengan cepat pula pendekar muda tersebut kembali ke depan Tee-tok-ci dan tetap membelakangi arena! Sedangkan kelima orang pengemis itu dengan tenang melanjutkan langkah mereka, seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa di depan mereka. Mereka naik ke atas sampan dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Yap Kiong Lee menggeleng-gelengkan kepalanya. Hatinya kagum bukan main melihat kehebatan gin-kang orang itu. "Bukan main cepatnya.......! Kiranya Bu-eng Hwe-teng bukanlah satu-satunya gin-kang nomer wahid di dunia ini….." desahnya di dalam hati.
Ternyata Tee-tok-ci dan saudara-saudaranya merasa kecut juga di dalam hati. Selama hidup belum pernah mereka menyaksikan ilmu gin-kang demikian sempurnanya. Seperti siluman saja.
"Nah, Tee-tok-ci.... Bawalah semua saudaramu pergi meninggalkan tempat ini! Dan jangan coba-coba kalian mengganggu orangku lagi!”
“Keparat!” Ceng-ya-kang yang berada dibelakang Keh-sim Siauw-hiap tiba-tiba menerjang. Tanpa memberi peringatan lebih dahulu, tokoh kelima dari Ban-kwi to itu menyerang dengan senjata rahasianya. Tujuh buah paku baja yang mengandung racun kelabang hijau melesat dari tangannya, menuju ke tujuh jalan darah terpenting di punggung Keh-sim Siauw-hiap.
Melihat Ceng-ya-kang sudah memulai, Tee-tok-ci dan Jeng-bin Siang-kwi juga tidak mau kalah. Mereka menyerang Keh-sim Siauw-hiap dari segala jurusan. Tee-tok-ci yang secara tiba-tiba telah memegang sebatang cambuk, tampak menyabetkan cambuknya ke arah leher lawan. Sedangkan Jeng-bin Siang-kwi tampak menyerang ke arah perut dan pinggang dengan kuku-kuku mereka.
Yap Kiong Lee membelalakkan matanya, takut tak bisa melihat dengan jelas gerakan-gerakan mereka. “Tai-hiap.....awasss!” Ho Pek Lian yang masih berkunang-kunang itu menjerit tanpa terasa.
“Traak! Dhug! Tesss!”
"Oohh.....!?!?" Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu Keh-sim Siauw-hiap telah lolos dari kepungan iblis-iblis Bun-kwi-to itu. Dengan membelakangi mereka, pendekar muda tersebut telah berdiri di pinggir tebing sungai, tiga tombak dari tempatnya semula. Kedua tangannya tampak memegang tujuh buah paku dan potongan ujung cambuk! Perlahan-lahan benda-benda itu dibuangnya ke tengah sungai.
Tee-tok ci saling pandang dengan adik-adiknya. Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar mereka mengawasi punggung Keh-sim Siauw-hiap. Kemudian masing-masing menunduk, melihat senjata yang mereka pergunakan. Tee-tok-ci melihat ujung cambuknya yang telah putus, Jeng-bin Siang-kwi memandang kuku-kukunya yang patah ujungnya dan Ceng-ya-kang menatap paku-pakunya yang belum sempat ia lontarkan! Mereka benar-benar terantuk batu kali ini.
"Kalian belum juga pergi dari tempat ini?”
“Hmm, baiklah..... Kami mengaku kalah kali ini. Tapi suatu saat kami akan mencari tuan untuk membalas kekalahan ini.” Tee-tok-ci menggeram.
“Jangan khawatir. Aku tak pernah lari dari orang-orang yang mencariku. Pergilah ke Meng-to sepuluh hari lagi! Aku akan menjamu semua musuh-musuhku pada hari itu.”
“Baik! Kami akan kesana untuk minta pengajaran…..” Ceng-ya-kang menjawab mewakili saudara-saudaranya.
Tee-tok ci melesat pergi diikuti saudara-saudaranya, termasuk Im-kan Siang-mo yang terluka. Yap Kiong Lee menjadi gugup dan kelabakan. Di suatu pihak dia ingin terus mengikuti para iblis itu, tapi di lain pihak ia juga ingin bertemu dengan gadis-gadis itu barang sebentar. Dan belum juga ia dapat mengambil keputusan, Keh-sim Siauw-hiap tiba-tiba terbang ke depan melintasi sungai meninggalkan mereka.
“Tai-hiap….!” Ho Pek Lian berseru memanggil. Tapi yang dipanggil tetap berjalan terus seolah tak mendengarnya. Kakinya melangkah enteng di atas permukaan air, seakan-akan diatas sungai itu terhampar permadani yang tak kelihatan.
"Bukan main! Bukan main.....! Hanya dengan beralaskan papan kecil ia mampu berjalan di atas permukaan air. Siapakah sebenarnya dia?" Yap Kiong Lee sekali lagi menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Saudara Yap, beritahukanlah kepada gadis-gadis itu bahwa racun yang masuk ke dalam tubuh mereka akan punah apabila diobati dengan cairan merah yang selalu dibawa oleh nona Kwa Siok Eng.” Tiba-tiba telinga Yap Kiong Lee mendengar suara Keh-sim Siauw-hiap yang dikirim melalui ilmu Coan-im-jib-hit.
“Gila!” Yap Kiong Lee tersentak kaget. Ternyata orang itu tahu pula kalau dia bersembunyi disana. “Hmm, siapakah dia? Mengapa sudah tahu namaku pula?”
“Cici, lengan kiriku tak bisa digerakkan lagi. Lumpuh. Padahal kepalaku semakin terasa pening, mataku berkunang-kunang, sehingga engkau menjadi berpuluh buah banyaknya bila kupandang. Oh, cici… kita keracunan.”
“Benar, Lian-moi…. kita memang terkena racun iblis-iblis itu. Sayang kita bukan seorang ahli pengobatan. Oh, coba kalau Seng Kun toa-ko ada disini…. Oh, Tuhan….. masih hidupkah dia?”
“Nona Ho…..! Nona Kwa…..! Maaf, aku yang datang…..” Yap Kiong Lee keluar dari persembunyiannya, dan melangkah mendekati kedua gadis yang kena racun itu. Tentu saja kedatangannya benar-benar amat mengejutkan mereka.
“Yap toako…..!” Ho Pek Lian berseru.
“Yap kongcu…..!” Kwa Siok Eng ikut pula menyapa.
"Yap Toako! Sungguh kebetulan sekali. Mengapa engkau sampai pula di tempat ini? Oh, Tuhan…. terimakasih…. terimakasih! Engkau agaknya memang belum menghendaki jiwa kami.” Ho Pek Lian menengadahkan mukanya ke langit dengan wajah gembira.
"Sudahlah, nona... Panjang sekali kalau diceritakan. Yang paling perlu sekarang adalah mengobati racun yang masuk ke dalam tubuh nona dulu.”
"Apakah Yap-kongcu mempunyai obatnya?” Kwa Siok Eng bertanya ragu.
"Eh, benar.... Apakah toako mempunyai obat pemunahnya?” Ho Pek Lian kembali merasa khawatir.
"Oo.... tentu saja! Hmm, nona Kwa.... dimana botol kecil yang berisi cairan merah itu? Botol yang nona peroleh ketika nona memasuki sarang Tee-tok-ci beberapa tahun yang lalu?”
"Hei, benar! Mengapa aku sampai melupakannya? Yap-kongcu, engkau benar! Inilah dia botol itu! Aku tak pernah meninggalkan dia barang sekejappun. Heran, mengapa aku sampai melupakannya?” Kwa Siok Eng mengeluarkan sebuah botol kecil dari dalam saku bajunya.
"Nah, itu dia! Sekarang lebih dahulu hirup udara yang keluar dari dalam botol ini!” Yap Kiong Lee mengambil botol itu dari tangan Kwa Siok Eng dan membuka tutupnya, lalu mendekatkan mulut botol tersebut ke hidung pemiliknya. Setelah Kwa Siok Eng mengisapnya berkali-kali, Yap Kiong Lee ganti membawa botol itu ke hidung Pek Lian.
"Nah, sekarang rasa pening itu sudah hilang, bukan? Kini tinggal mengobati tangan yang lumpuh...."
Yap Kiong Lee menyingkap lengan baju Kwa Siok Eng, sehingga jarum-jarum yang menembus pada kulit gadis itu kelihatan dengan nyata. Kemudian dengan hati-hati Yap Kiong Lee mencabutnya satu-persatu, baru setelah itu bekasnya diolesi dengan cairan merah yang berada di dalam botol. Begitu pula yang dilakukan oleh Yap Kiong Lee terhadap Ho Pek Lian, sehingga akhirnya kedua-duanya terbebas dari maut.
“Terimakasih, Yap toako.”
“Sebentar, nona... aku tidak mempunyai banyak waktu disini. Aku harus lekas-lekas mengikuti para iblis Ban-kwi to tadi. Ada sebuah tugas dari Baginda Kaisar yang harus aku selesaikan, yang berhubungan dengan para iblis tersebut.” Yap Kiong Lee segera berkata, ketika dilihatnya kedua gadis itu mau mengajaknya mengobrol.
“Tapi.....”
"Sudahlah! Lain kali saja kita mengobrol! Sekarang dengarkan saja omonganku!” pemuda itu berhenti sebentar untuk mengambil napas. "Nona Kwa! Bukankah setahun yang lalu nona bersama dengan nona Ho dan saudara Chu, pergi mencari nona Bwe Hong yang hilang?"
"Be-benar, Yap Kongcu! Apa.... apakah kau melihatnya?"
"Eh?Jadi nona belum dapat menemukan dia?" Yap Kiong Lee ganti bertanya.
''Be-belum!" tiba-tiba gadis itu menunduk sedih. "Kami malah telah kehilangan Chu Toako pula.....”
"Berbulan-bulan kami mencarinya, kami serasa telah putus asa, tapi mereka tak pernah kami ketemukan juga." Ho Pek Lian menyambung perkataan temannya.
Yap Kiong Lee seperti ikut pula merasakan kesedihan mereka itu. "Dengarlah, nona...! Aku memang benar-benar telah bertemu dengan nona Bwe Hong!”
"Hah?”
"Hei? Betulkah?”
Kedua orang gadis itu mencengkeram lengan Yap Kiong Lee erat-erat, seakan-akan mematahkannya. Mata yang indah itu terbelalak seakan tak percaya.
“Nona itu katanya telah menjadi isteri Put ceng-li Lo-jin dari Bing-kauw sekarang. Aku secara tak sengaja telah bertemu dengan dia beberapa jam yang lalu, dan pada mulanya aku benar-benar tak mengenalnya. Kini dia beserta rombongannya sedang menuju ke Pantai Karang di dekat teluk Po-hai.”
“lsteri Put-ceng-li Lo-jin.....?" Kedua gadis itu menyela dengan mulut ternganga. “Apakah dia sudah gila?"
Yap Kiong Lee melepaskan pegangan gadis-gadis itu, lalu menjura memberi hormat. “Nah, aku pergi sekarang! Aku takut tak bisa menemukan jejak para iblis itu lagi.”
Sekali berkelebat Yap Kiong Lee lenyap dari hadapan Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng. Pemuda itu berlari-lari ke arah mana iblis tadi menghilang. Kini tinggal kedua orang gadis itu yang saling memandang satu sama lain, seolah-olah tak percaya pada apa yang mereka alami.
“Enci Bwe Hong kawin dengan Tua Bangka yang Tak Tahu Aturan itu? Ohh… cici, benarkah itu? Ah, tidak mungkin! Enci Bwe Hong cantik seperti bidadari… huh, apakah dia menjadi gila dan dunia ini sudah tidak ada lelaki lain lagi?” Ho Pek Lian mengguncang-guncang lengan Kwa Siok Eng dengan hati penasaran.
Kwa Siok Eng tidak segera menjawab. Beberapa kali ia menghela napas berat. “Lian-moi, dalam hati aku juga tidak mempercayainya. Aku sudah sangat mengenal calon iparku itu luar dalam. Tak mungkin rasanya dia berbuat seperti itu... tapi, rasa-rasanya Yap kongcu juga tak mungkin membohongi kita pula. Yap kongcu adalah seorang pendekar besar, kepercayaan Kaisar pula serta kakak dari Yap Tai ciangkun pula. Tak mungkin dia omong sembarangan…..”
“Lalu… bagaimana cici?”
“Marilah kita buktikan kebenarannya! Kita pergi ke Pantai Karang sekarang!”
“Ayoh!” Ho Pek Lian menjawab tak sabar.
Sementara itu di tempat lain, Yap Kiong Lee sedang sibuk berputar-putar mencari jejak buruannya. Ternyata waktu yang hanya sebentar tadi telah membuat dia kehilangan jejak mereka. Hampir saja pemuda itu berputus asa, ketika tiba-tiba ia mendengar suara telapak kaki kuda di arah peternakan kuda itu. Bergegas Yap Kiong Lee berlari kesana dan ternyata benar juga! Di atas padang rumput itu dilihatnya Ceng-ya kang bersama enam orang kawannya, sedang memacu kuda masing-masing.
Tidak ada jalan lain bagi Yap Kiong Lee untuk dapat mengejar mereka selain turut mencuri seekor kuda pula seperti mereka. Dan diatas tanah peternakan tersebut memang amat banyak kuda-kuda yang berkeliaran. Yap Kiong Lee memilih seekor yang tegap dan gagah, kemudian menaikinya. Sambil berjanji di dalam hati, bahwa pada suatu saat ia akan mengembalikannya kepada yang empunya, Yap Kiong Lee memacu kuda tersebut untuk mengejar Ceng-ya-kang.
Semalam suntuk mereka berkuda naik gunung turun bukit, menyusuri aliran sungai, menuju ke arah timur laut. Dalam perjalanan Yap Kiong Lee selalu mengambil jarak agar tidak diketahui oleh orang-orang yang dibuntutinya, sementara di dalam hatinya selalu bertanya-tanya, dimana sebenarnya para iblis Ban-kwi to yang lain? Ternyata yang sedang ia buntuti sekarang hanyalah Ceng-ya kang dan anak buahnya yang tadi mendayung perahu. Tee-tok ci dan yang lain-lain tak kelihatan sama sekali.
Pada saat fajar mulai menyingsing, mereka memasuki dusun Ho-ma-cun. Dusun yang dikatakan oleh kakek Kam Song Ki sebagai desa tempat tinggalnya. Yap Kiong Lee bertanya kepada salah seorang petani yang sedang mengerjakan sawahnya, dimana gerangan rumah kakek Kam atau yang lebih dikenal dengan Kam Lo-jin itu?
Dan begitu tahu bahwa rumah tersebut tidak demikian jauh lagi dari tempat itu, Yap Kiong Lee tidak segera meninggalkan tempatnya berdiri. Sambil beristirahat ia menonton petani itu mengayunkan cangkulnya.
“Ah…. pagi yang segar!” pemuda itu merentangkan lengannya sambil menghirup udara sebanyak-banyaknya. “Biarlah aku beristirahat disini sebentar. Kukira mereka juga takkan segera melanjutkan perjalanan ini. Mereka tentu mampir di warung untuk mencari sarapan pagi.”
Petani itu meletakkan cangkulnya. Dengan heran ia mengawasi Yap Kiong Lee yang tidak segera meninggalkan tempat itu. “Tuan mau kemana….?” Tanyanya ingin tahu.
“Oh! Aku adalah keponakan Kam Lo-jin yang ingin menjenguk dia. Tapi hari masih demikian pagi, lebih baik aku melepaskan lelah dahulu disini. Boleh, bukan?”
“Ah, tentu….tentu saja boleh.” Petani itu menjawab dengan tersipu-sipu. “Tapi… tapi harap tuan berhati-hati di dusun kami.
Banyak orang di tempat kami yang tak suka kepada orang asing, terutama para anak buah Tan wangwe,” lanjut orang itu polos.
“Hei, begitukah? Ah, biarlah. Asal aku baik-baik membawa diri, tak mungkin mereka mengganggu aku.” Yap Kiong Lee tersenyum. “Hei, mengapa paman berhenti mencangkul? Silahkan paman bekerja! Atau… apakah beradanya aku disini telah mengganggu pekerjaan paman?”
“Ah, tidak… tidak!” petani itu segera mengambil cangkulnya kembali dan mengayunkannya ke tanah.
Yap Kiong Lee tersenyum melihat betapa tanah yang gembur itu amat mudah sekali dicangkul. “Wah, tanah paman sungguh subur sekali….” Pemuda itu memuji.
"Oo.... bukan..... bukan! sawah ini bukan kepunyaanku! Tak seorangpun di seluruh lembah yang mempunyai sawah sendiri. Sejak kedatangan Tan-wangwe di dusun Ho-ma-cun, seluruh daerah yang ada di lembah sungai ini jatuh dalam cengkeramannya. Eh..... eh, maaf.... maksudku... maksudku, daerah ini telah dibeli semuanya!" dengan wajah ketakutan petani itu memperbaiki kata-katanya yang "terlanjur" lepas dari mulutnya tadi.
"Eh? Ada apa paman? Jangan takut, aku bukan kerabat Tan wangwe. Aku benar-benar orang asing disini, aku datang dari kota raja.”
“Ohh.... anu... eh... bukan... bukan itu....!” petani itu terbelalak, memandang ke arah seberang jalan dengan wajah pucat.
Yap Kiong Lee menoleh dan matanya ikut terbelalak! Tampak Tiat-tung Lo-kai dan Tiat-tung Su-lo berjalan tergesa-gesa ke arah mereka. Dan ketika pemuda itu memandang kepada si petani lagi, keheranannya semakin tambah memuncak. Petani itu membuang paculnya dan lari terbirit-birit.
“Tidak! Tidak....! Aku tidak apa-apa....!” jeritnya ketakutan.
Belum juga Yap Kiong Lee tahu apa yang sebenarnya terjadi, tiba-tiba dilihatnya Tiat-tung Lo-kai dan Tiat-tung Su-lo telah berkelebat mengejar petani itu.
“Tangkap dia! Dia tentu mata-mata Tan-wangwe yang mau melaporkan kedatangan kita.” Ketua Tiat-tung Kai-pang daerah selatan itu berteriak.
Apa dayanya seorang petani dusun biasa melawan jago silat seperti mereka. Belum juga ada sepuluh meter ia berlari, para pengemis itu telah datang menangkapnya. Petani itu menggeliat-geliat dan melonjak-lonjak ketakutan, mengira bahwa dia telah ditangkap oleh para pengawal Tan-wangwe.
“Lepaskan dia!” tiba-tiba Yap Kiong Lee membentak.
Agaknya Tiat-tung Lo-kai telah menduga sebelumnya, bahwa Yap Kiong Lee tentu akan membantu petani itu. Dari jauh mereka telah melihat kedua orang itu saling berbincang dan bercakap-cakap sebelum mereka datang.
“Pegang dulu orang ini!” orang tua itu mendorong si petani kearah Tiat-tung Su-lo. “Biar kuhadapi temannya yang sombong itu.”
Tiat-tung Lo-kai berdiri menghadapi Yap Kiong Lee. "Anak muda, kelihatannya kau mempunyai bekal kepandaian juga, sehingga berani membentak kami. Tapi engkau benar-benar akan menyesal nanti, kalau tahu siapa sebenarnya yang kauhadapi kali ini.”
“Menyesal? Eh, mengapa saya mesti menyesal? Saya hanya ingin mencegah, agar Lo-cianpwe tidak menyakiti petani yang tidak tahu apa-apa itu. Aku tahu bahwa Lo-cianpwe adalah Tiat-tung Lo-kai yang terkenal itu.”
“Ho..... jadi kau sudah tahu siapa aku? Kalau begitu kau memang benar-benar bernyali besar. Tapi aku tahu, keberanianmu itu tentu disebabkan oleh karena kau merasa berada di daerah sendiri, hingga sewaktu-waktu kau dapat meminta bantuan teman-temanmu yang berkumpul di tempat Tan wangwe.”
“Maksud Lo-cianpwe....?”
“Maksud kami? He-he.... maksud kami tetap akan kami laksanakan. Pihak kami juga tidak takut menghadapi kawan-kawanmu yang banyak itu. Harta benda Tan wangwe yang tidak halal itu akan tetap kami ambil dan akan kami bagikan kepada para penduduk yang membutuhkan. Nah, kau mau apa?”
“Tapi… tak mungkin rasanya kalau Keh-sim Siauw-hiap memberi perintah seperti itu.” Yap Kiong Lee menatap tak percaya.
“Huh, kau tahu apa tentang Keh-sim Siauw-hiap?”
Yap Kiong Lee mengusap dagunya yang licin, sementara sepasang matanya menatap kosong ke depan. Benar, ia membatin. Ia memang belum mengenal pendekar itu. Yang ia kenal dan ia ketahui barulah ceritera tentang kesaktian dan sepak-terjang pendekar itu di dunia persilatan. Meskipun khabarnya pendekar itu suka mengganggu harta benda para hartawan, tapi semuanya dilakukan demi menolong rakyat miskin.
Jadi tak mungkin rasanya kalau pendekar itu sampai memerintahkan anak buahnya untuk merampok. Masih terngiang-ngiang di dalam telinganya, pesan-pesan yang bernada bersahabat dari pendekar itu tadi malam.
“Ah, Lo-cianpwe.... sudahlah! Aku takkan mencampuri urusan Keh-sim Siauw-hiap dan Tan wangwe. Tapi aku minta dengan sangat agar petani itu dilepaskan!” akhirnya pemuda itu mengambil keputusan.
"Kurang ajar! Kau bilang tidak akan mencampuri urusan kami, tapi kau meminta agar kami melepaskan tawanan kami. Huh, apa bedanya itu?" Tiat-tung Lo-kai berteriak sambil mempersiapkan tongkat besinya.
Tapi Yap Kiong Lee telah berketetapan hati untuk membebaskan petani tersebut, meskipun dalam hati sebenarnya ia tak ingin bentrok dengan mereka. Apalagi iapun tak ingin berlama-lama di tempat itu. Maka dia segera mengerahkan segenap kemampuannya, dan sekejap kemudian ia telah bergerak mendahului lawannya!
Tubuhnya yang tegap gagah itu mendadak melenting tinggi ke atas, melampaui kepala Tiat-tung Lo-kai dengan cepat sekali. Dan sebelum ia mendaratkan kakinya di dekat Tiat-tung Su-lo yang menjaga si petani, Yap Kiong Lee melontarkan pukulan Thian-lui-gong-ciangnya!
“Bummmm!” Tanpa ampun lagi keempat orang itu terjengkang ke belakang, dan sebelum semuanya menyadari apa yang terjadi, Yap Kiong Lee telah menyambar si petani dan membawanya ke atas punggung kudanya, dan di lain saat kuda tersebut sudah melompat pergi meninggalkan mereka.
“Kejar dia!” begitu sadar Tiat-tung Lo-kai berteriak marah.
Tapi sebentar saja kuda itu telah hilang dari pandangan mereka, membuat mereka semakin marah dan mendongkol. Yap Kiong Lee memperlambat langkah kudanya. Mereka telah memasuki jalan besar yang menjadi jalan utama dusun Ho-ma-cun.
"Tuan.,,... biarlah aku turun di sini saja. Rumahku sudah tidak jauh lagi dari sini," pinta petani itu dengan suara gemetar. Peristiwa tadi benar-benar amat menakutkan bagi dirinya.
“Baiklah, paman, kau pulanglah! Ingatlah, kau tidak perlu takut kepada siapapun! Para pengemis yang menangkapmu tadi bukanlah anak buah Tan wangwe, tapi justru orang-orang dari pihak lawan Tan wangwe."
Petani itu mengangguk-angguk sambil mengucapkan terima kasih, lalu melangkah pulang dengan cepat sedangkan Yap Kiong Lee segera meneruskan perjalanannya pula. Perlahan-lahan ia mengendarai kudanya memasuki jantung dusun yang amat ramai itu.
Dilihatnya orang-orang yang berlalu lalang di pinggir jalan dengan seksama, siapa tahu Ceng-ya-kang dan kawan-kawannya berada diantara mereka? Toko-toko dan warung-warung makanan telah mulai ramai pula dengan pembelinya, sehingga pemuda itu juga harus menambah lagi kewaspadaannya.
Tiba-tiba di depan warung bubur Yap Kiong Lee melihat banyak orang berkerumun. Oleh karena sangat tertarik, ia membelokkan kudanya kesana. Siapa tahu orang-orang Ban-kwi to yang biasa membikin keributan itu ada disana.
Ternyata dugaannya betul. Begitu masuk ke halaman warung, semua orang telah memperhatikannya. Dan di dalam warung itu sendiri ia melihat Ceng-ya kang beserta anak buahnya telah duduk menunggu dia. Karena sudah terlanjur, maka Yap Kiong Lee juga tidak mau kalah gertak. Dengan tenang ia memasuki warung tersebut, dan duduk di hadapan Ceng-ya kang.
“Sudahlah, Yap kongcu. Cerita selanjutnya telah kami saksikan sendiri tadi pagi. Tak usah engkau melanjutkannya…..!” Tong Ciak memotong ceritera yang dituturkan oleh Yap Kiong Lee.
“Hei, dimana Lo-cianpwe menyaksikannya?” Hong-lui-kun Yap Kiong Lee mengerutkan dahinya.
“Ha-ha-ha….! Kami semua berada di halaman warung itu pula, bercampur dengan para penonton yang lain.” Toat-beng-jin tertawa. “Oleh karenanya kami dapat menyaksikan sepak terjang Yap Siauwhiap dari awal hingga akhir.”
“Cuma yang kami herankan ialah mengapa Yap kongcu tidak segera menghentikan perlawanan Ceng-ya-kang, sehingga akibatnya justru Yap kongcu sendiri yang menderita rugi. Soalnya menghadapi iblis-iblis beracun yang suka mengobral racun seperti mereka, kita harus lekas-lekas melumpuhkannya. Kalau tidak…. nah, justru kita sendirilah yang termakan oleh racun mereka!” Tong Ciak memberi komentar lagi.
Yap Kiong Lee mengangguk. “Memang benar perkataan Lo-cianpwe tadi. Tapi... selain iblis itu memang lihai, siauwte memang juga tidak tega untuk membunuhnya. Bagaimanapun juga iblis itu dahulu adalah sahabat dari Kim-sute.”
“Eh.....ya! lalu bagaimana dengan jam enam pagi besok? Apakah Yap kongcu benar-benar akan menemui dia di warung bubur itu lagi?”
Yap Kiong Lee tertawa terbahak-bahak, sehingga Chin Yang Kun dan Souw Lian Cu yang sedari tadi selalu merengut saja menjadi ikut-ikutan tersenyum. “Ha-ha-ha... mungkin Lo-cianpwe sudah menduga sejak semula, bahwa perbuatanku itu sebenarnya hanya gertak sambal belaka, agar iblis itu sungguh-sungguh memberikan obat pemunah racunnya yang asli, ha-ha-ha....”
“Lalu....?” Tong Ciak menegaskan.
“Lo-cianpwe! Guruku tak pernah mempunyai jarum Ulat, apalagi memberikannya kepadaku. Semuanya itu hanyalah karanganku saja, agar dia ketakutan dan benar-benar memberikan obatnya yang asli kepadaku. Ternyata tipu muslihatnya itu memang benar-benar berhasil. Hal itu dapat dibuktikan ketika akar obat yang diberikan kepadaku itu siauwte serahkan kepada Kam Lo-cianpwe.... untuk diperiksa.”
“Wah, celaka!" tiba-tiba Tong Ciak memekik dengan nada sesal, sehingga sangat mengagetkan teman-temannya yang lain. "Jadi.... jadi Kam Lojin yang selama lebih dari lima tahun kusuruh menunggu rumah ini, sesungguhnya... adalah Song Ki Lo-cianpwe yang terkenal itu? Sungguh bodoh dan berdosa sekali aku! Mataku benar-benar buta, tak bisa melihat permata di depan hidungku......."
"Lo-ya..." terdengar suara halus dan tahu-tahu di ambang pintu telah berdiri seorang kakek tua renta menjinjing keranjang obat-obatan. Biarpun sudah amat tua, tetapi badannya masih kelihatan kuat dan kokoh. Dengan pandang mata heran orang tua itu mengawasi tamu-tamunya yang memenuhi ruangan kecil itu. Lalu dengan hormat kakek sakti itu menjura kepada Tong Ciak, majikannya. "Lo-ya......!" sapanya sekali lagi.
Semuanya bergegas berdiri, tak terkecuali Tong Ciak Cu-si. Dengan khidmat mereka menghormat kepada orang tua itu, sehingga Kakek Kam yang belum menyadari keadaannya menjadi kaget dan bingung.
"Kam Lo-cianpwe.....! Maaf kami mengganggu ketenangan rumah ini." Toat-beng-jin yang sudah tua itu membuka suara mewakili teman-temannya.
Kakek tua itu tidak segera menjawab. Matanya yang sipit tertutup keriput itu berkilat-kilat memandang ke arah Yap Kiong Lee. Pemuda ahli waris dari perguruan Sin-kun Bu-tek itu segera maju dengan tersipu-sipu.
"Maaf, Lo-cianpwe. Siauw-te sudah menceriterakan semuanya kepada mereka."
"Ohh...." akhirnya Kam Song Ki menunduk, lalu dengan halus mempersilahkan para tamunya untuk duduk kembali. "Silahkan! Silahkan cuwi semua duduk! Silahkan Tong lo-ya! Maaf, aku tak mempunyai tempat duduk yang baik...!"
“Kam Lo-cianpwe, jangan membuatku malu di depan begini banyak orang. Sekarang siauwte sudah tahu, siapa sebenarnya Lo-cianpwe. Dan hal itu benar benar membuat siauwte merasa amat malu dan berdosa sekali. Oleh karena itu sekarang tidak ada lagi sebutan Lo-ya atau pelayan penunggu rumah lagi. Yang ada sekarang adalah Tong Ciak dan Kam Lo-cianpwe!” pengurus bagian keagamaan dari lm-yang-kauw itu menyesali kebodohannya.
"Baiklah... baiklah! Sekarang memang sudah saatnya bagiku untuk meninggalkan rumah ini dan mengembara lagi entah ke mana. Sudah terlalu lama aku beristirahat."
"Kam Lo-cianpwe....!” Tong Ciak berseru.
"Maaf, Tong sicu. Aku memang sudah merencanakan hal ini berbulan-bulan yang lalu, bukan karena apa-apa. Sungguh kebetulan Tong sicu berkunjung kemari, sehingga aku tak perlu mencarimu untuk menyerahkan kembali rumah ini. Dan aku sungguh amat berterima kasih sekali atas kemurahan hati Tong sicu memberi tempat berteduh padaku."
“Kam Lo-cianpwe.....!”
"Sudahlah, Tong-sicu. Marilah, lebih baik kau perkenalkan tamu-tamumu ini kepadaku!“
“Ba-baik, Kam Lo-cianpwe!”
Karena merasa tak mungkin dapat lagi menahan maksud orang tua itu, maka Tong Ciak tak ingin mempersulit pula. Satu-persatu ia memperkenalkan teman temannya. Ketika ia menyebutkan nama Toat-beng-jin, Kam Song Ki segera menjura dan memotong.
“Ah, kiranya Toat-beng-jin Loheng adanya.... Kudengar dalam Aliran Im-yang-kauw terdapat sebuah ilmu yang ditulis dalam lembaran kulit domba, namanya Im-yang Kun-hoat, benarkah?”
“Ah, pengetahuan Lo-cianpwe sungguh luas sekali. Apa yang Lo-cianpwe dengar itu memang benar. Tapi ilmu tersebut bukanlah sebuah ilmu yang sangat baik, apalagi jika diperbandingkan dengan Kim-hong Kun-hoat warisan Bu-eng yok-ong.” Toat-beng-jin berkata merendah.
"Ah, Toat-beng-jin Lo-heng terlalu merendahkan diri. Padahal mendiang Kim-mou-Sai-ong juga mengakui kehebatan ilmu tersebut. Malah katanya ilmu yang dipelajari oleh datuk besar itu juga bersumber pada lembaran kulit domba tersebut. Bukankah begitu, Tong-sicu?” Kam Song Ki menoleh dan menanyakan hal itu kepada Tong Ciak.
“Be-benar!” terpaksa tokoh bertubuh pendek itu mengiyakan.
“Nah, marilah....! Sebelum aku pergi, aku akan mengobati Yap kongcu dahulu.”
Tapi ketika terpandang oleh orang tua itu wajah Chin Yang Kun yang pucat, ia menjadi tertegun. Tergesa-gesa ia melangkah mendekati si pemuda. "Eh, kelihatannya Siauw sicu ini sedang menderita luka dalam....”
"Hei! Benar! Mengapa kita sampai melupakannya?" sekali lagi Tong Ciak berteriak mengagetkan teman-temannya.
“Wah! Tong Lo-cianpwe ini mengejutkan orang saja! Ada apa,sih....?" Souw Lian Cu menggerutu. "Ah, maaf.... maaf! Anu... maksudku...., mengapa kita sampai melupakan bahwa Kam Lo cianpwe ini adalah murid mendiang Bu-eng Sin-yok-ong? Mengapa kita tidak meminta tolong sekalian, agar beliau mau mengobati luka nona Souw dan luka Yang hiante? bukankah luka itu akan segera sembuh dan tidak usah bertele-tele lagi seperti sekarang?”
“Hmm, betul juga.” Toat beng-jin mengangguk membenarkan. Lalu tokoh sakti dari Im-yang-kauw ini segera mengatakan hal itu kepada Kam Song Ki.
Kam Song Ki juga tidak berkeberatan. Tapi ketika orang tua itu mencari tahu, siapa yang melukai kedua muda-mudi tersebut, ia menjadi kaget setengah mati. Jawaban yang ia terima dari Toat beng jin sungguh membuatnya tertegun.
Tapi perasaan kaget itu ternyata tidak hanya dimonopoli oleh Kam Song Ki saja. Diam-diam Souw Lian Cu sendiri juga menjadi terkejut bukan main. Sebelumnya gadis itu memang tidak tahu atau lebih tepatnya, gadis itu tidak pernah mempedulikan siapa yang melukai pemuda yang dipandang sangat sombong itu.
"Yang melukai saudara ini Hong-gi-hiap Souw Thian Hai? Hah? Dan yang melukai nona itu Pek-i Liong-ong dari Mo-kauw?” Kam Song Ki berseru kaget.
"Benar, Lo-cianpwe. Mengapa....?" Tong Ciak menjawab dengan tergesa-gesa.
Kam Song Ki menundukkan kepalanya. Beberapa saat kemudian barulah ia menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadanya. "Pek-i Liong-ong itu adalah suhengku….” jawabnya pelan.
"Ohh....!?!" Souw Lian Cu yang baru menderita kaget itu tertunduk kehilangan semangat. Harapan yang semula telah mekar di dalam hatinya kembali hilang begitu tahu si kakek itu adalah sute dari Pek-I Liong-ong sendiri.
Agaknya Kam Song Ki melihat juga kekecewaan yang tersimpul pada wajah gadis cantik itu. Maka kakek tua itu segera melanjutkan ucapannya, “Baiklah! Kalau yang melukai Nona Souw itu memang benar suhengku sendiri, malah menjadi kewajibanku untuk mengobatinya. Anggap saja pertolonganku ini sebagai tebusan dari kesalahan suhengku itu.”
Demikianlah, hari itu Kam Song Ki benar-benar sibuk sekali. Seorang diri ia harus mengobati Yap Kiong Lee, Chin Yang Kun dan Souw Lian Cu. Biarpun tidak semahir gurunya, Bu-eng Sin-yok-ong, tapi kalau cuma mengobati luka dalam seperti itu ia masih bisa juga. Ketika senja telah mulai turun, semuanya telah dapat ia selesaikan. Yang Kun dan Souw Lian Cu masih harus beristirahat di atas pembaringan sampai besok pagi, sementara Yap Kiong Lee sudah bebas untuk pergi kemana-mana.
Malam itu semuanya terpaksa menginap di dalam rumah induk serta membersihkannya. Lumayan buat tidur mereka.
“Tadi malam aku seperti mendapat firasat bahwa Tong sicu akan berkunjung kemari. Itulah sebabnya setelah ikut membantu membereskan akibat kerusuhan di pesta pengantin, aku langsung pulang kemari. Untung badan yang telah rapuh ini masih kuat juga untuk berlari.” Kam Song Ki berceritera sebelum mereka berangkat tidur.
“Ah, Lo-cianpwe ini suka benar bergurau." Tong Ciak segera memotong perkataan kakek itu. "Siapakah orangnya di dunia ini yang mampu berlari lebih kencang daripada Locianpwe? Sedangkan Bit-bo-ong yang mahir Bu eng Hwe-teng saja tak mampu mengejar, apalagi yang lain!"
"Benar….! Siauwte yang berangkat lebih dulu dan.... naik kuda, toh masih tetap kalah cepat juga." Yap Kiong Lee tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Wah, Yap Kongcu sih.... anak muda, suka mampir-mampir!" Kam Song Ki membantah dengan nada bergurau.
Semuanya tertawa, sampai cangkir teh yang dipegang oleh Toat beng jin miring tak terasa, dan isinya tumpah membasahi jenggotnya putih panjang itu.
“Eeeh?!" tiba tiba Kam Song Ki menjadi bersungguh-sungguh. “Toat beng jin Lo-heng, siapa sebenarnya kedua anak muda itu? Maksudku asal usulnya......?"
“Maksud Locianpwe... kedua anak muda yang terluka dalam itu? Ah, mengapa Lo cianpwe bertanya demikian? Apakah Locianpwe sudah mengenal mereka?"
Kam Song Ki menggeleng dengan cepat. “Bukan! Bukan itu yang kumaksudkan,..."
"Lalu....? Ooh.... maaf Lo-cianpwe. Kalau Lo-cianpwe bertanya tentang asal usul kedua anak muda itu.., hem... sungguh menyesal kami juga tidak tahu. Mereka selalu menyembunyikan keadaan mereka selama ini."
"Uh, heran! Mengherankan benar!" Kam Song Ki mengetuk-ngetuk dahinya.
"Kam Locianpwe? Ada apa dengan mereka?" Yap Kiong Lee menjadi heran juga melihat kelakuan orang tua itu.
"Begini. Tadi ketika aku memeriksa denyut nadi Nona Souw, aku menemukan suatu keanehan pada sistim peredaran darahnya. Bahagian kanan dan bagian kiri dari tubuhnya sama sekali berbeda tekanannya. Bagian kanan, tekanan darahnya Iebih kuat dan alirannya juga lebih cepat dari pada yang sebelah kiri. Sehingga ketika kusuruh mengerahkan tenaga, anggota badannya yang sebelah kanan amat panas, sementara yang sebelah kiri amat dingin. Ketika secara sambil lalu kutanyakan asal usulnya, dia diam saja dan meneteskan air mata!" kakek itu menghentikan kata-katanya sebentar untuk melihat kesan para pendengarnya, sesaat kemudian baru ia melanjutkan perkataannya.
"Lo-heng, Tong sicu... kelihatannya gadis itu memendam sebuah rahasia tentang kesedihan yang sangat mendukakan hatinya. Padahal kalau melihat tenaga dalamnya yang aneh tadi, terang kalau dia bukan orang sembarangan. Paling tidak tentu keturunan atau anak murid orang sakti!"
"Menurut penuturannya sendiri tadi pagi, dia tinggal bersama Keh sim Siauw-hiap di Pulau Meng-to. Mungkin juga dia adalah murid atau keluarga dari pendekar yang amat terkenal itu?" Tong Ciak menduga-duga.
"Mungkin betul juga dugaan Tong Lo-cianpwe itu." Yap Kiong Lee mengangguk angguk. "Apakah Lo cianpwe tidak memperhatikannya ketika aku sedang bercerita panjang lebar pagi tadi? Hmm kulihat wajahnya berubah hebat ketika siauwte mulai menyebut nama Pantai Karang yang merupakan pintu gerbang penyeberangan ke Pulau Meng-to. Beberapa kali kulirik wajah gadis itu kelihatan sedih mendengarkan ceritaku."
Kam Song Ki cepat-cepat mengangkat dan menggerak-gerakkan tangannya tanda tak setuju. “Tidak! Tidak! Eh... anu, maksudku dia bukan murid atau keluarga dari Keh-sim Siauw-hiap. Bukan...." katanya sedikit ragu-ragu.
"Maksud Kam Locianpwe? Apakah Lo-cianpwe mengenal Keh-sim Siauw-hiap dan keluarganya?" Yap Kiong Lee bertanya heran.
"Ya.... ya.. aku sangat mengenalnya."
"Hah? Tapi gadis itu memang benar-benar mengenal anak buah Keh-sim Siauwhiap. Tadi pagi dia saling menyapa dengan Tiat-tung Lo-kai. Dari pembicaraan mereka dapat ditarik kesimpulan bahwa gadis itu memang tinggal di pulau itu."
"Entahlah! Tapi aku yakin bahwa Keh-sim Siauw-hiap tak punya hubungan apa-apa dengan gadis itu." Kam Song Ki juga merasa heran.
Hening sejenak. Masing-masing berpikir dan menduga-duga di dalam hati sendiri. "Hmm... kalau begitu memang penuh rahasia dan sangat aneh asal-usul gadis itu." Toat beng-jin menghela napas. "Jadi... jadi hal itukah yang membebani perasaan Kam Lo-cianpwe tadi?"
"Benar! Tapi tidak cuma itu saja.....”
"Maksud Lo-cianpwe?"
"Seperti sudah kita ketahui tadi bahwa keadaan gadis itu sangat aneh dan penuh rahasia, bukan? Tapi ternyata..... pemuda itu jauh lebih aneh dan mengerikan lagi dari pada keadaan gadis itu!"
"Maksud Lo-cianpwe..... saudara Yang Kun?"
"Ya!..... Keadaan tubuh pemuda itu benar-benar sangat aneh dan mengerikan. Darahnya sangat beracun. Racun asli dari tubuhnya, bukan karena terkena racun dari luar! Aneh sekali, bukan? Masa ada manusia beracun di dunia ini?" orang tua itu kelihatan sangat heran dan penasaran. “Padahal ketika kuperiksa, tenaga saktinya hebat bukan main! Mungkin orang-orang tua seperti kita yang telah bergelut dengan ilmu silat selama puluhan tahun, masih harus pikir-pikir dulu kalau bentrok dengan dia! Sungguh!"
"Apakah Lo-cianpwe juga menanyakan pada dia tentang asal-usulnya?'' Tong Ciak yang sedikit banyak telah mengenal keadaan Yang Kun itu bertanya.
“Ya! Tapi seperti juga dengan gadis itu, ia tidak mau mengatakannya. Dia cuma mengatakan bahwa dia sudah tak mempunyai keluarga lagi. Seluruh keluarga dan kerabatnya telah habis dibantai orang.”
"Memang demikian juga yang dia katakan kepada kita....." Toat beng-jin mengiyakan.
Semuanya terdiam kembali. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Yap Kiong Lee tampaknya ingin bertanya tentang sesuatu hal kepada Kam Song Ki, tapi melihat orang tua itu seperti sedang memikirkan sesuatu, hatinya menjadi ragu-ragu.
Sebenarnya Yap Kiong Lee ingin menanyakan, siapa sebenarnya Keh-sim Siauw-hiap itu. Mengapa pendekar itu kelihatannya telah mengenal dia? Apakah hubungannya pendekar itu dengan Kam Song Ki? Tapi semua pertanyaan itu tak kunjung keluar dari mulutnya, sehingga pertemuan itu bubar cuma bergulung-gulung saja dalam hatinya.
"Besok saja kalau ada waktu Iuang akan kutanyakan....." pemuda itu berkata di dalam hati.
Tapi esok paginya orang tua itu telah pergi! Di atas pembaringannya dia meninggalkan pesan bahwa ia akan berkelana kembali menurutkan langkah kakinya.
“Orang seperti Kam Lo cianpwe itu memang takkan betah tinggal terlalu lama di suatu tempat. Padahal usianya sudah lebih dari delapanpuluh tahun. Tapi karena pandai ilmu pengobatan dan kepandaiannya sangat tinggi, maka tubuhnya masih kokoh kuat untuk berkelana kemana saja." Tong Ciak berkata seperti kepada dirinya sendiri.
Toat-beng-jin dan Yap Kiong Lee yang berada di sampingnya tidak menyahut. Keduanya hanya berdiam diri saja, seolah menyesalkan kepergian orang tua yang terlalu cepat itu.
"Lalu.... apa rencana kita sekarang, Tong Cusi?” Algojo tua dari Im-yang kauw itu akhirnya membuka mulut.
"Tentu saja pulang ke Gedung Pusat. Masalahnya sekarang cuma kedua anak muda itu ikut kita lagi atau tidak? Mereka sudah sembuh dan tidak membutuhkan pertolongan kita lagi," Tong Ciak menjawab.
"Lalu bagaimana dengan rencana kita untuk menarik dia ke perkumpulan kita itu?"
Tong Ciak menghela napas. "Lo-jin-ong, apa gunanya kita memaksa kalau dia sendiri tak mempunyai minat sama sekali kepada aliran kita? Kita tak usah tergesa gesa. Biarlah dia berpikir dan menentukan pilihannya sendiri. Sekarang hatinya masih diliputi dendam, sehingga tak mempunyai waktu untuk memikirkan masalah yang lain. Kita nantikan saja perkembangannya kelak setelah hatinya menjadi dingin kembali. Pokoknya kita berdua telah menanamkan pengertian dalam dadanya, macam apa Aliran Im-yang kauw kita."
"Wah, Tong Cusi benar. Memang tak ada gunanya kita memaksakan kehendak kita!"
Kedua orang tokoh lm-yang-kauw itu lalu mempersiapkan segala sesuatunya sebelum mereka berangkat. Sementara Yap Kiong Lee juga bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu bersama kudanya.
"Yap-kongcu hendak pergi kemana?" Tong Ciak mendekati Yap Kiong Lee yang sedang sibuk membenahi kudanya.
"Menemui Ceng-ya kang dulu di warung Hao Chi."
"Hahaha......!" Tong Ciak yang jarang-jarang tertawa itu terkekeh kekeh geli. "Maksudku.... setelah Yap-kongcu menemui dia?"
"Entahlah, Lo-cianpwe. Mungkin ke Pantai Karang...."
Akhirnya Yap Kiong Lee berangkat mendahului yang lain. Kudanya yang tegar itu melangkah pelan ke jalan besar, menuju ke bekas Warung Hao Chi.
"Tong Lo-cianpwe.... pergi ke manakah Yap toako tadi?" tiba-tiba Souw Lian Cu keluar dan mendekati Tong Ciak Cu-si.
"Ooh, Nona Souw.... Sudah baikkah kesehatanmu? Syukurlah! Anu... Yap kongcu telah berangkat meneruskan perjalanannya." tokoh bertubuh pendek itu menerangkan. Matanya yang tajam itu menatap wajah gadis di depannya lekat-lekat, agaknya ingin menjenguk isi hati gadis yang sangat misterius itu.
Souw Lian Cu tidak menyadari kalau sedang diperhatikan orang. Matanya yang bulat indah itu menatap redup dan kosong ke depan, ke arah mana Yap Kiong Lee tadi pergi. Wajahnya pucat dan rambutnya kusut. Meskipun demikian kecantikannya yang khas dan masih asli itu ternyata tidak menjadi surut, tapi justru semakin tampak menonjol malah.
"Lo-cianpwe, di manakah Kam Lo-cianpwe? Apakah dia masih tidur?"
"Dia sudah pergi, nona. Dia meninggalkan rumah ini sebelum kita semua bangun." Toat-beng-jin keluar menghampiri mereka. Tangannya menjinjing buntalan.
“Ooh.....?!" gadis itu terhenyak. "Siauw-te belum mengucapkan terima kasih padanya."
"Ah... tak perlu, nona. Bagi Kam Lo-cianpwe mengobati orang itu sudah ia anggap sebagai kewajibannya." Toat-beng-jin tersenyum. "Lalu apa rencana nona sekarang? Pulang atau terus ikut kami? Sekarang kami tidak bisa memaksa lagi, karena nona sekarang sudah sembuh."
"Benar, Nona Souw..... Engkau sudah sembuh sekarang, dan tidak memerlukan lagi pengobatan kami. Nona kini bebas untuk menentukan tujuan nona..." Tong Ciak ikut memberi keterangan.
“Baik, Lo-cianpwe! Siauw-te memang bermaksud untuk pergi pula sekarang. Siauw-te ingin lekas-lekas pulang ke Pulau Meng-to. Tapi lebih dulu terimalah rasa terima kasih siauw-te yang sebesar-besarnya atas budi baik Lo-cianpwe berdua, yang sudi merawat siauwte sehingga siauwte masih bisa hidup sampai sekarang." gadis itu menekuk kedua kakinya dan berlutut didepan Tong Ciak dan Toat-beng-jin.
"Hai! Hai! Bangunlah....!” tergopoh-gopoh Tong Ciak membangunkan si gadis.
"Terima kasih Ji-wi Locianpwe, siauw-te mohon permisi....." Tanpa menantikan keluarnya Chin Yang Kun lagi, Souw Lian Cu meninggalkan rumah bersejarah tersebut.
Toat-beng-jin dan Tong Ciak mengawasinya sampai hilang dari pandangan mereka. Sebenarnya banyak hal-hal yang ingin mereka ketahui dari gadis itu, tapi keduanya enggan untuk menanyakannya, khawatir akan melukai perasaan gadis yang sangat aneh tersebut.
"Seorang gadis yang aneh! Siapakah sebenarnya dia?" Tong Ciak bergumam.
Sementara itu Chin Yang Kun juga sudah bangun pula. Sambil mengucak-ucak matanya pemuda itu melompat dari tempat tidurnya. Tubuhnya terasa amat enteng dan segar. Dadanya tak terasa sesak dan sakit lagi. Dan ketika ia mencoba mengerahkan tenaga saktinya, semuanya berjalan baik dan lancar. Malah rasanya lebih baik lagi dari pada dahulu. Sinar matahari telah menerobos lobang-lobang jendelanya. Di atas meja kecil di dekat pembaringan telah tersedia pula secangkir teh.
"Wah..... terlambat bangun aku rupanya!" Yang Kun berkata perlahan. Chin Yang Kun berdiri tegak di tengah ruangan. Kedua lengannya ia silangkan di depan dada. Berkonsentrasi. Dia ingin mencoba Liong cu-i-kang dan Kim-coa ih-hoatnya! Apakah semuanya sudah lancar kembali seperti dahulu?
Sekejap kemudian mulutnya berdesis seperti ular merah. Dan sesaat kemudian hawa dingin meniup dari dalam perutnya, menebar memenuhi ruang tidur yang besar itu. Makin lama udara dingin itu semakin bertambah menggigilkan, sehingga cangkir teh yang berada di atas meja itu seperti bergetar dan menguapkan asap.
"Ah, ternyata tenagaku benar-benar sudah pulih kembali. Kini akan kucoba mengerahkan kim-coa ih-hoat.....!"
Yang Kun menarik kaki kirinya lurus ke belakang, sementara kaki kanannya tetap berada di tempatnya. Cuma kaki kanan itu ia tekuk ke bawah, agar lebih kuat untuk menyangga tubuhnya. Kedua lengannya tetap ia silangkan di depan dada.
Kemudian matanya yang telah berubah tajam mencorong itu menatap ke depan, ke arah jendela yang jaraknya sekitar tiga meter dari tempatnya berkonsentrasi. Tiba-tiba.... "Hiyaaaaaat!"
Telapak tangan kiri pemuda itu tiba-tiba terayun deras ke depan, menimbulkan desiran suara angin yang mendesis. Wuuuuusss….! Tapi anehnya, meski lengan itu telah terulur penuh ke muka, telapak tangan itu masih tetap saja meluncur jauh ke depan, menjangkau kancing jendela serta membukanya. Padahal jarak jendela itu tidak kurang dari tiga meter jauhnya...!