Pendekar Penyebar Maut Jilid 19 karya Sriwidjono - ORANG tua itu terluka lagi. Gerakannya yang ngawur dan tak terkontrol itu mengakibatkan banyak lobang kelemahannya sehingga dengan mudah Jai-hwa Toat-beng-kwi memasukkan jarum-jarumnya. Kini sudah ada empat jarum lagi yang menembus kulitnya, dua buah di dada dan dua buah lagi di dekat pusarnya. Racun yang terkandung pada jarum keciI itu memang bukan jenis racun yang amat ganas.
Tapi meskipun demikian racun itu juga bukan racun yang tidak berbahaya. Hanya daya kerjanya saja yang lamban, padahal pengaruh yang diakibatkannya juga sama saja. Orang yang terkena racun tersebut apabila tidak lekas Iekas diobati, otot-otot tubuhnya akan semakin melemah, sehingga akhirnya orang itu akan menjadi lumpuh dan tak bisa bergerak sama sekali.
“Pengemis malang...! Lihat! Sudah ada lima jarum rahasiaku yang terbenam dalam dagingmu! Nah, mulai sekarang tidak kulawan pun sebenarnya kau sudah akan terjatuh sendiri. Badanmu sedikit demi sedikit akan menjadi lemah dan akhirnya kau akan tergelimpang tak berdaya dengan sendirinya, heheh..."
“Bangsat...”
"Ssst!" Jai-hwa Toat-beng-kwi buru-buru memberi tanda agar lawannya tidak berteriak lagi. "Kau jangan banyak bicara lagi, karena hal itu hanya akan mempercepat kematianmu saja! Menyerahlah saja kepadaku, nanti akan kuberi jalan kematian yang lebih enak, hehe...!"
Ternyata nasib yang amat buruk itu tidak hanya menimpa Tiat-tung Lo-kai saja, karena di arena yang lain kawan-kawannya juga mengalami nasib yang tidak kalah buruknya. Tiat-tung Su-lo yang lihai itu bersama-sama dengan sepasang gadis berbaju hitam, ternyata juga sedang didesak habis-habisan oleh kedua orang lawannya. Kepandaian Pek-pi Sau-kwi memang tidak begitu mengejutkan, yang amat merepotkan justru ilmu pedang Jit-seng kiam-hoat dari Pendekar Li itu.
Ujung pedang yang dihiasi dengan batu permata itu selalu berkelebat mencegat permainan gabungan mereka. Langkah-langkah kaki yang berbentuk empat persegi itu selalu dapat membendung serangan-serangan yang dilancarkan dari mana saja. Lambat-laun mereka berenam seperti terjerat dalam kotak kotak segi empat yang tak ada habis-habisnya! Darah mulai menetes dari lobang-lobang luka yang diakibatkan oleh pedang lawan.
Chin Yang Kun yang berada di atas genting menonton pertempuran itu dengan tenangnya. Dia tidak mempunyai kepentingan sama sekali dengan mereka. Oleh karena itu ia juga tidak mau terlibat dalam pertempuran tersebut. Yang ia cari dan ia nantikan hanyalah Keh sim Siauw-hiap, orang yang menurut penuturan Tan Hok atau Pendekar Li adalah pembunuh ayah dan pamannya! Ia percaya, sebentar lagi pendekar yang sangat ternama itu tentu akan muncul untuk menolong anak buahnya.
Jika ia turut campur dan membantu salah satu pihak, kemungkinan besar pendekar tersebut malah takkan keluar dari persembunyiannya. Benarlah! Panca indera dan perasaannya yang amat terlatih itu mendadak seperti mendengar langkah beberapa orang di luar pintu gerbang halaman, dan sebentar kemudian pintu besar yang tertutup rapat itu telah didobrak dari luar.
"Brraak! Grobyaag!"
“Lam-pangcu (Ketua Perkumpulan Daerah Selatan).....! Jangan khawatir, aku datang menolongmu!”
"Siang-sumoi (kedua orang adik seperguruan)...! Lihatlah, kami telah datang!”
Dari luar pintu, tiba-tiba masuk seorang pengemis dan dua orang gadis manis berbaju serba putih. Pengemis itu berusia kira-kira lima puluh tahun, bermata kocak dengan rambut putih terurai acak-acakan sampai ke bahu. Tangannya menggenggam sebatang tongkat besi yang bentuk dan ukurannya, persis dengan kepunyaan Tiat-tung Lo-kai.
Begitu datang pengemis tua berambut acak-acakan itu langsung terjun membantu Tiat-tung Lo-kai. Tongkat besinya yang panjang terayun datar menghantam perut Jai-hwa Toat-beng kwi. Dilihat sepintas lalu gerakan tongkatnya amat mirip dengan gaya permainan tongkat Tiat-tung Lo-kai. Hanya tenaga dan kecepatannya saja yang berbeda. Gaya permainan tongkat pengemis yang baru tiba ini tampak lebih lamban tetapi tenaga atau kekuatan yang ditimbulkan, ternyata jauh lebih kuat dan lebih dahsyat dari pada kekuatan Tiat-tung Lo-kai.
Oleh karena itu ketika Jai-hwa Toat-beng-kwi mencoba untuk menangkis serangan tersebut, menjadi terkejut setengah mati. Huncwe yang dipegang oleh hantu cabul itu terpental dan hampir saja terlepas dari tangannya. Untunglah dia cepat-cepat melompat meraihnya kembali. Tapi untuk beberapa saat lamanya hantu cabul tersebut hanya berdiri tertegun di tempatnya, seolah-olah ia tak percaya pada kenyataan itu. Dan kesempatan itu dipakai oleh lawannya untuk menolong Tiat-tung Lo-kai.
"Lam-pangcu, kau tidak apa apa bukan!" pengemis berambut acak-acakan itu bertanya.
"Ah, untung saja Pak-pang-cu (Ketua Perkumpulan Daerah Utara) segera datang, kalau tidak... yah, mungkin saja aku sudah tak ada lagi di dunia ini. Eh, di mana Keh-sim Siauw-hiap...?” Tiat-tung Lo-kai memijit-mijit lengan dan dadanya dan berusaha mengeluarkan jarum yang terbenam di tempat itu.
Sementara itu dua orang gadis berbaju putih yang datang bersama-sama dengan ketua Tiat-tung Kai-pang bagian utara itu langsung menghambur ke arena pertempuran yang lain. Sepasang gadis berbaju putih itu menghunus pedangnya dan menyerang Pendekar Li dan Pek-pi Siau-kwi. Pedang mereka menusuk dan kemudian memotong jalur pengepungan yang dilakukan oleh kedua orang itu terhadap kawan-kawan mereka sehingga kepungan itu menjadi patah dan tak berfungsi lagi.
Tiat-tung Su-lo dan kedua orang gadis berbaju hitam-hitam itu meloncat mundur dan berpencar. Semuanya menghela napas lega, seolah-olah batu yang menghimpit mereka telah hilang. "Siang su-ci, terima kasih...!" sepasang gadis berbaju hitam itu mengangguk.
"Maaf, su-moi... kami datang terlambat.”
Mereka lalu berdiri bahu membahu menghadapi Pendekar Li dan Pek-pi Siauw-kwi. Begitu pula dengan Tiat-tung Lo-kai dan ketua Tiat-tung Kai-pang daerah utara yang bergelar Tiat-tung Hong-kai itu! Kedua orang Tiat-tung Kai-pang tersebut juga berdiri bahu membahu di hadapan Jai-hwa Toat beng kwi! Dan tanpa mereka kehendaki bersama sebelumnya pertempuran itu terhenti untuk sementara.
Perkembangan yang terjadi di halaman itu membuat Chin Yang Kun merasa berdebar debar juga di dalam hatinya. Perimbangan kekuatan itu sekarang kelihatannya menjadi berubah lagi. Tampaknya pihak tuan rumah atau pihak dari Pendekar Li jatuh di bawah angin lagi sekarang.
Bala bantuan lawan yang baru tiba itu kelihatannya terdiri dari orang-orang kuat yang berkepandaian tinggi. Dan hal ini benar-benar menggelisahkan hati Chin Yang Kun, karena bila orang orang itu sudah dapat menguasai pihak Pendekar Li, alamat Keh-sim Siauw-hiap takkan muncul sendiri di tempat itu.
"Aku harus memaksa orang itu keluar dari persembunyiannya," pemuda itu menggeram di dalam hatinya. "Asal semua anak buahnya itu dapat kukuasai, mustahil dia takkan keluar....."
Memperoleh keputusan demikian, Chin Yang Kun segera bersiap siap untuk terjun dalam arena pertempuran tersebut. Dikerahkannya seluruh kekuatan Liong-cu-ikang ke seluruh tubuhnya. Sementara itu orang-orang yang saling berhadapan di halaman rumah depan itu telah berbaku hantam kembali dengan dahsyatnya.
Jai-hwa Toat-beng-kwi dikeroyok oleh dua orang ketua Tiat tung Kai pang, sedangkan Pendekar Li yang dibantu oleh Pek-pi Siau-kwi dikeroyok delapan orang, yaitu Tiat-tung Su lo, dua orang gadis berbaju hitam-hitam dan dua orang gadis berbaju putih-putih.
Bagaimanapun juga lihainya Pendekar Li, menghadiri jago jago silat kelas satu seperti delapan orang itu, kewalahan juga akhirnya. Mula-mula Pek-pi Siau-kwi dahulu yang jatuh terkena senjata lawan, kemudian baru Jai-hwa Toat-beng-kwi. Hantu cabul itu harus mengakui kelihaian permainan tongkat gabungan lawannya.
Tapi sebelum orang kaya itu jatuh pula terkena serangan para pengeroyoknya, Chin Yang Kun keburu datang menolongnya. Pemuda itu melesat turun sambil melancarkan pukulan jarak jauhnya.
"Buuuum!" Mereka berloncatan menghindarkan diri dari pukulan itu, sehingga angin pukulan tersebut menghantam tanah berpasir yang mereka pijak. Debu berhamburan ke mana-mana. Sesaat halaman itu menjadi gelap, sehingga rasa-rasanya tak seorangpun bisa melihat kedatangan Chin Yang Kun di tengah-tengah kepulan debu tersebut. Baru beberapa saat kemudian mereka dapat melihat dengan jelas setelah debu yang memenuhi tempat itu habis larut terbawa angin.
"Yang Siauw hiap....! Akhirnya kau datang juga." Pendekar Li menyambutnya dengan hati lega.
"Huh... kau lagi!" dua orang gadis berbaju serba hitam itu tersentak kaget. Otomatis pertempuran menjadi terhenti untuk beberapa saat. Semua mata memandang Chin Yang Kun yang kedatangannya seperti hantu malam yang tersembul dari dalam tanah begitu saja.
“Siapakah dia? Apakah nona mengenalnya....?” Salah seorang dari Tiat tung Su lo bertanya kepada gadis berbaju hitam.
"Su-moi, kau kenal pemuda itu?" gadis berbaju putih itu ikut pula bertanya.
"Su-ci.... dialah pemuda yang kemarin kuceriterakan itu."
"Yang membunuh anggota Tiat-tung Kai-pang dan merebut pedangmu…?”
“Betul!"
"Sungguh kurang ajar! Lo-cianpwe, awas…! Pemuda inilah yang membunuh anak buah Lo-cianpwe di tempat pengungsian itu!"
"Heh? Diakah orangnya,..,? Bangsat!" Tiat-tung Lo-kai mengumpat marah. “Su-lo! Bunuh dia! Jangan diberi ampun orang yang telah berani membunuh anggota perkumpulan kita!"
"Baik, pang-cu!"
Sementara itu Pendekar Li beserta Jai-hwa Toat-beng-kwi dan Pek-pi Siau-kwi merasa terkejut bercampur gembira mendengar pemuda andalan mereka itu ternyata justru sudah bermusuhan dengan orang-orangnya Keh-sim Siauw-hiap. Dengan begitu rencana yang telah mereka susun menjadi semakin licin jalannya. Tidak usah mereka dorong lagi pemuda itu tentu akan bertanding mati-matian dengan Keh-sim Siauw hiap.
“Lihat serangan!” Salah seorang dari Tiat-tung Su-lo berteriak ketika empat orang tokoh pengurus Tiat-tung Kai-pang itu menyerbu kearah Chin Yang Kun.
"Huh, ternyata kau juga hanya seorang pengikut dari orang she Li itu! Lo-cianpwe, awas....! Dia lihai sekali!" gadis berbaju hitam-hitam itu meloncat maju pula sambil memperingatkan para pengemis tersebut.
Sekaligus diserang oleh enam orang lawan, sedikitpun Chin Yang Kun tidak merasa gentar. Dengan mudah pemuda itu mengelakkan serangan-serangan para pengeroyoknya. Malah kadang-kadang pemuda itu mencoba menepiskan serangan tongkat atau pedang lawannya dengan lengan telanjangnya. Dan akhirnya setelah yakin kekuatan tangannya mampu menahan senjata lawan, Chin Yang Kun menjadi semakin berani pula. Tebasan pedang lawannya ia tangkis begitu saja dengan lengannya!
Melihat kesaktian Chin Yang Kun, kedua orang gadis berbaju putih itu segera terjun pula ke dalam arena. Ayunan pedang mereka yang lebih galak dan lebih mantap dari pada su-moi mereka yang berbaju hitam itu menyambar-nyambar dengan ganas dan selalu mengarah ke tempat-tempat yang mematikan.
Tapi Chin Yang Kun tetap tak terpengaruh ataupun tergoyahkan oleh serangan-serangan itu. Meskipun sekarang dia dikeroyok delapan orang, tapi mereka tetap tak mampu mendekatinya. Tubuhnya yang terlindung oleh Liong cu-i-kang itu bagaikan kebal terhadap segala macam senjata dan pukulan. Malahan perbawa hawa dingin yang tersebar dari pengaruh tenaga sakti Liong-cu i-kang, membuat lawan lawannya menjadi sesak serta menggigil kedinginan.
“Lam-pangcu! Pak-pangcu.....! Anak ini mempunyai ilmu siluman!" akhirnya salah seorang dari Tiat-tung Su lo berteriak karena tak tahan.
“Heh? Hem, kurang ajar.....! Pak-pangcu, mari kita labrak bersama-sama anak itu!” Tiat-tung Lo-kai mengajak rekannya, Tiat-tung Hong-kai! Tiat-tung Hong-kai mengangguk ragu, tapi tidak segera beranjak dari tempatnya, pengemis yang dianggap gila oleh kebanyakan orang itu belum juga mempercayai apa yang telah dia lihat di depan matanya.
Dalam hati Tiat-tung Hong-kai benar-benar belum dapat menerima seorang pemuda belasan tahun yang belum hilang wajah kekanak-kanakannya mampu menahan pukulan tongkat besi dan sabetan pedang tanpa menderita luka sedikitpun. Padahal lawannya terang bukan tokoh-tokoh sembarangan. Tiat-tung Su-lo adalah pengurus pusat Tiat-tung Kai-pang bagian selatan. Kepandaiannyapun hanya di bawah ketua perkumpulannya.
Sedang dua pasang gadis berbaju putih dan hitam itu adalah pembantu-pembantu utama dari Keh-sim Siauw-hiap sendiri, kepandaiannya justru lebih tinggi bila dibandingkan dengan Tiat-tung Su-lo. Tapi meskipun begitu mereka berdelapan masih terdesak juga menghadapi pemuda itu. Sungguh tak masuk akal! Kini Lam-pangcu dari Tiat-tung Kai pang malah sudah terjun pula ke dalam gelanggang.
Sembilan orang yang mengeroyok Chin Yang Kun sekarang. Tapi lagi-lagi tambahan bala bantuan tersebut seperti tidak ada artinya pula bagi pemuda itu. Kepandaian atau kesaktian pemuda itu seperti tak ada batasnya. Setiap lawan yang mengeroyoknya bertambah, kekuatan dan kesaktiannya seperti ikut bertambah pula.
Akhirnya Tiat-tung Hong-kai sadar juga dari rasa ketidakpercayaannya yang keliru itu. Pemuda yang berada di hadapannya itu memang benar-benar seorang pemuda yang lain dari pada yang lain. Pemuda itu benar-benar seorang pemuda yang berkepandaian sangat tinggi. Mungkin tidak kalah tingginya dengan kepandaian Keh-sim Siauw-hiap yang juga sangat hebat itu. Oleh karena itu tanpa rasa sungkan sungkan lagi Tiat-tung Hong-kai segera terjun pula membantu kawan-kawannya, sehingga sekarang mereka bersepuluh orang mengeroyok pemuda sakti tersebut.
Setelah ikut terjun sendiri dalam arena pertempuran, barulah pengemis gila itu benar-benar terbuka hatinya. Sekarang dia sungguh sungguh percaya dan mengakui bahwa pemuda itu memang lihai bukan main! Biarpun mereka berjumlah banyak tetapi seluruh badan pemuda itu seperti terlindung dalam perisai besi yang kokoh kuat, sehingga tak sebuah senjatapun yang mampu menembusnya.
Sebaliknya, Chin Yang Kun juga tak mudah untuk mengalahkan para pengeroyoknya itu. Selain mereka berjumlah banyak, kepandaian merekapun juga tidak rendah. Mereka bertempur bahu-membahu dan saling melindungi, sehingga Hok-te Ciang-hoat yang dikeluarkan oleh pemuda itu tidak bisa berbuat banyak terhadap mereka. Berkali-kali orang yang akan menjadi kurban pukulannya selalu dapat diselamatkan oleh yang lainnya. Kalau Chin Yang Kun mengerahkan seluruh tenaganya dalam pukulannya mereka tentu menyambutnya secara beramai-ramai pula.
Limabelas jurus telah berlalu dan pertempuran itu belum juga menampakkan tanda-tanda akan berakhir. Pendekar Li dan dua orang kawannya, mendadak seperti tersadar dari rasa kagum dan rasa heran mereka melihat pertempuran yang berlarut-larut itu. Mereka bertiga segera menyadari bahwa pemuda itu bukanlah seorang dewa yang selalu menang dalam setiap pertempuran. Oleh karena itu mereka harus ikut pula turun tangan untuk membantu menyelesaikan pertempuran tersebut.
Maka setelah memberi tanda kepada Jai-hwa Toat beng-kwi dan Pek-pi Siau-kwi agar mengikuti dirinya, Pendekar Li terjun pula ke dalam gelanggang pertempuran. Pendekar Li langsung mencegah Tiat tung Hong-kai, orang yang ia anggap paling berbahaya di antara mereka. Sedang Jai-hwa Toat-beng kwi cepat memilih sepasang gadis berbaju putih sebagai lawannya. Hantu cabul itu membiarkan Pek-pi Siau-kwi sendirian melawan Tiat-tung Lo-kai!
Kini tinggal Tiat-tung Su-lo dan seorang gadis berbaju hitam itulah yang menghadapi Chin Yang Kun. Maka tak heran kalau sebentar saja mereka sudah didesak habis-habisan oleh pemuda itu. Malahan sebentar kemudian salah seorang dari gadis berbaju hitam itu tampak terpental jatuh terkena pukulan Chin Yang Kun. Beberapa saat kemudian diikuti pula oleh dua orang dari Tiat-tung Su lo, mereka juga menggeletak tak berdaya terkena tendangan Chin Yang Kun.
“Cici..... lepaskan tanda peringatan ke atas!” gadis berbaju hitam yang masih sehat itu menoleh, lalu berteriak memperingatkan gadis berbaju putih yang sibuk berunding dengan Jai-hwa Toat-beng-kwi.
"Hehe.... kau mau memanggil bala bantuan lagi? Eee, nanti dulu.....! Kita belum puas bertanding......." Jai-hwa Toat-beng-kwi menyahut sambil memperhebat serangannya, sehingga kedua orang lawannya tak punya kesempatan untuk melepas tanda peringatan itu.
Hal itu memang bisa terjadi karena kekuatan kedua belah pihak memang berimbang. Kekuatan dan kemampuan dua orang gadis itu secara bersama-sama berimbang dengan kekuatan dan kemampuan Jai-hwa Toat-beng-kw! Malah dalam beberapa hal kemampuan Hantu Cabul itu agak lebih menang bila dibandingkan dengan lawannya. Oleh karena itu tidak heran kalau kedua orang gadis itu tak mampu berbuat lain selain harus bertempur dengan konsentrasi penuh ketika Jai hwaToat-beng kwi memperhebat serangannya.
Sedangkan pertempuran antara Pendekar Li dan Tiat-tung Hong-kai tidak kalah pula serunya. Sebagai seorang ketua perkumpulan besar seperti Tiat-tung Kai pang, apalagi Tiat-tung Kai pang bagian utara yang lebih besar dan lebih banyak anggotanya dari pada bagian selatan, Tiat-tung Hong kai benar benar mempunyai kepandaian yang amat tinggi, lebih tinggi dari pada Tiat-tung Lo-kai!
Tetapi lawannya sekarang adalah Pendekar Li, seorang jago silat yang telah mempunyai nama besar pula seperti dirinya, sehingga pertempuran diantara mereka memang sungguh seru sekali. Sulit untuk dapat memastikan dengan segera, siapa yang lebih unggul di antara keduanya.
Begitu pula dengan pertempuran antara Pek-pi Siau-kwi dengan Tiat-tung Lo-kai. Sebenarnya dalam keadaan biasa kepandaian Tiat-tung Lo-kai masih sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaian Pek-pi Siau-kwi, tapi karena pengemis tua itu telah terkena lima buah jarum Jai-hwa Toat-beng-kwi maka kekuatan dan kelincahannya sudah banyak berkurang.
Malahan sejalan dengan semakin kuatnya daya pengaruh racun jarum itu ke dalam tubuh Tiat-tung Lo-kai, Pek pi Siau-kwi semakin mempunyai banyak kesempatan untuk menundukkan orang tua itu. Tetapi seperti juga dengan kedua orang kawannya yang lain, hantu cantik itu harus berjuang dahulu untuk waktu yang lama agar bisa mengalahkan lawannya.
Yang paling celaka dan paling menderita dalam pertempuran itu adalah orang-orang yang terpaksa harus menghadapi Chin Yang Kun! Karena tidak berimbang, maka satu persatu orang-orang yang mengeroyok pemuda itu jatuh terkapar di atas tanah. Mula mula yang jatuh adalah salah seorang dan gadis berbaju hitam itu, kemudian yang kedua adalah dua orang dari Tiat-tung Su-lo.
Sekarang tinggal tiga orang yang melayani Chin Yang Kun, tapi sebentar kemudian merekapun terpaksa mengikuti jejak kawan-kawannya pula. Terpental bergelimpangan di atas tanah! Selesai membereskan para pengeroyoknya Chin Yang Kun mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya tapi Keh-sim Siauw-hiap belum juga muncul. Apakah pemilik Pulau Meng-to itu belum mengetahui kalau anak buahnya sedang di dalam kesukaran?
Tiba-tiba Chin Yang Kun menoleh ke arah gadis berbaju putih yang sedang bertempur melawan Jai hwa Toat-beng-kwi. Sebelum roboh gadis yang berbaju hitam tadi telah menyuruh gadis berbaju putih itu untuk melepaskan tanda peringatan ke atas. Apakah tanda itu dimaksudkan untuk memanggil atau memberi tahu kepada Keh-sim Siauw-hiap?
Memperoleh pikiran demikian Chin Yang Kun segera melesat menghampiri mereka. Tanpa memberi peringatan lagi tangannya segera bekerja. Mula mula tangan kirinya justru menangkis pukulan Jai hwa Toat beng kwi yang tertuju ke arah tengkuk lawan setelah itu tangan kanannya sebat bagai kilat mencengkeram lengan salah seorang dari kedua gadis itu.
Gadis itu bergerak dengan tidak kalah gesitnya. Dengan mudah serangan Chin Yang Kun yang datang dengan secara tiba-tiba itu dapat ia elakkan. Tapi gadis itu lupa bahwa di dekatnya masih ada Jai hwa Toat-beng kwi yang segera memanfaatkan kelengahan gadis tersebut.
"Wuus!” Gadis itu terbatuk-batuk dengan hebatnya. Ternyata Jai hwa Toat-beng kwi memanfaatkan kesempatan itu dengan meniupkan asap pipanya ke wajah gadis tersebut. Lalu sebelum gadis itu dapat membebaskan diri dari pengaruh asap huncwe, sekali lagi Chin Yang Kun menyambar. Dan kali ini lambaian tangannya benar-benar berhasil! Sekali angkat gadis itu telah terlempar jauh.
"'Nah, lepaskan tanda peringatanmu itu! Panggil Keh-sim Siauw-hiap kemari!" Chin Yang Kun berteriak lantang. Suaranya yang dilandasi Liong-cu-i-kang itu membuat orang-orang yang berada di tempat itu menjadi tertegun dan tergetar hatinya. Sekejap semuanya berhenti bergerak.
"Saudara..... aku sudah berada di sini sejak tadi,” tiba-tiba terdengar suara halus.
Semua orang memandang ke atas tangga pendapa. Dalam keremangan cahaya obor tampak seorang laki-laki muda berdiri tenang di tengah-tengah pintu pendapa yang besar. Biarpun tidak jelas tetapi dengan dandanannya yang rapi itu Keh-sim Siauw-hiap kelihatan tampan dan menarik. Pakaiannya yang lebar dan anggun itu menyebabkan dia lebih tampak sebagai seorang pelajar dari pada sebagai seorang jago silat yang ditakuti orang.
“Keh-sim Siauw-hiap....!” Semua mulut hampir berbareng mengucapkan kata-kata itu. Cuma nada dan cara menyebutkannya yang berlainan. Kawan-kawan dari Keh-sim Siauw-hiap sendiri menyebutkan nama itu dengan wajah dan suara bersyukur, sementara pihak dari Pendekar Li menyebutkannya dengan suara kaget serta khawatir.
Tapi dari semuanya itu yang paling mengagetkan adalah reaksi dari Chin Yang Kun sendiri! Begitu tahu orang yang berada di ambang pintu pendapa itu adalah Keh-sim Siauw-hiap, pemuda itu segera berlari meninggalkan lawan-lawannya, lalu meloncat menaiki tangga yang tinggi itu. Matanya telah berapi-api seakan akan mau melumatkan orang yang telah berani membunuh orang tuanya itu.
Sebaliknya, seperti orang yang mau menghindarkan diri, Keh-sim Siauw-hiap mendadak terbang lewat di atas kepala Chin Yang Kun dan turun di halaman. Kemudian tubuhnya yang tegap itu melesat menghampiri anak buahnya yang tergeletak berserakan di tengah-tengah halaman. Gerakannya cepat bukan main, sehingga tak seorangpun dapat melihat gerakan kakinya. Pendekar itu seolah-olah terbang begitu saja!
“Sebentar, anak muda! Aku akan melihat kawan-kawanku dahulu. Setelah itu baru aku dapat menemui engkau dengan bebas dan leluasa,.." Keh-sim Siauw-hiap berkata diantara langkahnya.
Chin Yang Kun berdiri tertegun di tengah-tengah anak tangga. Matanya menatap kagum seolah-olah tak percaya kepada laki-laki yang kini tampak berlutut di halaman mengobati anak buahnya itu. Hampir-hampir Chin Yang Kun tak percaya bahwa di dunia ini ada seorang manusia dapat bergerak sedemikian cepatnya. Rasa-rasanya orang itu bukanlah seorang manusia, tetapi seekor burung! Tetapi bayangan tubuh ayahnya yang mandi darah dan pamannya yang terluka parah membuat pemuda itu menggeretakkan giginya kembali.
“Pembunuh keji! Jangan lari kau..!” Chin Yang Kun menjerit. Pemuda itu melompat turun dari atas tangga, lalu menyerbu Keh-sim Siauw-hiap kembali. Dari jauh Chin Yang Kun sudah melancarkan pukulan Tiat-gong-ciangnya (pukulan udara kosong atau pukulan jarak jauh). Suaranya menderu serta memancarkan hawa dingin yang hebat, sehingga Keh-sim Siauw-hiap dan orang-orang yang berada di tempat itu terkejut juga dibuatnya. Orang-orang itu segera menyingkir.
Tangan Keh-sim Siauw-hiap yang cekatan itu sudah bisa mengobati empat orang pengemis yang tergabung dalam Tiat-tung Su-lo itu. Kini tinggal dua orang lagi yang terluka dan harus lekas-lekas diobati, yaitu dua orang gadis berbaju hitam-hitam itu. Seperti para pengemis tadi, kedua orang gadis itu terluka karena pukulan beracun Chin Yang Kun.
Tapi sebelum pendekar itu sempat memeriksa luka si gadis, pukulan Chin Yang Kun sudah tiba. Karena tidak ada waktu lagi, terpaksa Keh-sim Siauw-hiap mengungkit tubuh yang tergeletak tersebut dengan sepatunya sehingga melayang ke atas. Lalu sambil berjumpalitan menjauh, Keh-sim Siauw-hiap menyambar tubuh yang terluka itu.
"Buuum!" Tanah dan pasir bekas tempat berpijak Keh-sim Siauw-hiap tadi bertebaran ke udara. Tapi Keh-sim Siauw-hiap bersama gadis itu telah tiada lagi di tempat itu. Pendekar dari Pulau Meng-to itu telah mendaratkan kakinya beberapa langkah dari sana dan meletakkan gadis yang dibawanya di atas tanah. Tangannya cepat mengurut di bagian yang luka, setelah itu tangannya merogoh ke dalam baju dan mengeluarkan sebutir pil berwarna putih.
Tapi sebelum pil tersebut sempat dimasukkan ke dalam mulut si gadis, pukulan Chin Yang Kun keburu datang lagi. Keh-sim Siauw-hiap bergegas menyambar gadis itu lagi. Bagaikan burung walet tubuhnya meluncur jauh ke dekat tangga dan kemudian meletakkan tubuh gadis tadi di sana.
"Buuuum!” Sekali lagi debu dan pasir beterbangan terkena pukulan Chin Yang Kun! Tapi kali inipun tidak menemui sasarannya lagi. Dengan geram pemuda itu melihat lawannya telah berada di dekat tangga dan baru melolohkan sesuatu kepada gadis yang terluka itu. Chin Yang Kun mengerahkan lagi Liong-cu i-kangnya, kemudian tubuhnya meloncat lagi kearah Keh-sim Siauw-hiap.
Tapi Chin Yang Kun kecele lagi! Begitu tubuhnya mulai bergerak mau meloncat, Keh-sim Siauw-hiap sudah terlebih dahulu melesat ke tempat gadis berbaju hitam lainnya. Gadis itu juga tergeletak luka di atas tanah. Seperti juga yang telah dia lakukan terhadap gadis yang pertama, Keh-sim Siauw-hiap dengan cekatan segera memeriksa luka-luka gadis itu. Setelah diurut beberapa kali, gadis itu diberi sebutir pil berwarna kuning.
Tapi seperti juga tadi, pukulan Chin Yang Kun kembali datang dengan menderu-deru, sehingga pil tersebut gagal untuk dimasukkan ke dalam mulut. Keh-sim Siauw-hiap sambil membawa tubuh gadis itu melenting tinggi ke udara, kemudian meluncur ke dekat tangga lagi dengan manisnya. Sambil meletakkan tubuh itu berdampingan dengan tubuh gadis yang pertama, pendekar dari Pulau Meng-to itu memasukkan pil kuning tadi ke dalam mulut si gadis!
“Nah, aku sudah selesai mengobati mereka. Kini aku sudah leluasa untuk menghadapi engkau. Nah, saudara..... coba katakan! Apa sebabnya kau menuduh aku seorang pembunuh keji? Dan kulihat ilmu silatmu hebat bukan main, tapi mengapa kau sudi menjadi pembantu dari Pendekar Li itu?" dengan tenang Keh-sim Siauw-hiap menghadapi Chin Yang Kun. Wajahnya yang tampan tapi amat pucat itu tampak tak bergairah sama sekali ketika menatap Chin Yang Kun.
Pendekar Li segera meloncat ke depan Chin Yang Kun. Sambil bertolak pinggang putera mendiang Perdana Menteri Li Su tersebut berdiri menghadapi Keh-sim Siauw-hiap. “Keh-sim Siauw-hiap! Apa sebenarnya kemauanmu sehingga kau selalu memburu aku kemanapun aku pergi?” tanyanya penasaran, “Bukankah benda itu milikku sendiri? Bukankah sudah wajar kalau aku memiliki harta warisan orang tuaku? Kenapa kau selalu ingin merebutnya?"
Wajah yang amat pucat itu mencoba untuk tersenyum, tapi gagal. Agaknya sudah lama pendekar yang namanya menjulang ke langit itu tidak pernah tersenyum. Buktinya wajah itu bukannya tersenyum, tapi lebih tepat dikatakan meringis! "Pendekar Li, sepintas lalu apa yang kau katakan itu tampaknya benar. Tapi kalau caramu menilai tidak hanya sesempit itu, artinya tidak hanya dari sudut kepentinganmu saja, kukira engkaupun akan segera menyadari sendiri kekeliruanmu. Coba kau pikirlah yang lebih jauh lagi! Siapakah sebenarnya pemilik harta karun yang tersimpan dalam peta itu?"
"Bukankah harta itu milik ayahku? Mendiang Perdana Menteri Li Su? Beliaulah yang mengumpulkannya......”
"Benar sekali! Dialah yang mengumpulkannya. Bagus! Tapi katakan.... dari mana ayahmu itu mengumpulkan harta sebanyak itu? Coba katakan....!”
“Ini....aku....aku tak tahu.” Pendekar Li menjawab kikuk.
“Nah, kau sukar menjawabnya, bukan? Kalau begitu marilah kubantu kau menjawabnya. Dengarlah….! Mendiang Perdana Menteri Li Su mengumpulkan harta benda sebanyak itu dari hasil kerja paksa dan memeras keringat rakyat. Selain itu bersama-sama dengan pejabat-pejabat korup yang lain, ayahmu mencuri dan menggerogoti kekayaan negara untuk kepentingan diri sendiri. Nah, sekarang katakan, sudah semestinya atau tidak kalau harta itu dikembalikan kepada rakyat kecil lagi? Dan sudah wajar atau tidak bila harta karun itu dibagikan kepada fakir miskin?” Pendekar dari Pulau Meng-to itu mendesak Pendekar Li dengan pertanyaannya yang bertubi-tubi.
Pendekar Li terdiam tak bisa menjawab. Wajahnya merah padam, bibirnya gemetar tapi tak sepatah katapun yang keluar dan mulut itu. Lambat laun dapat juga bibir itu berbicara, tapi ternyata yang keluar hanyalah umpatan-umpatan kasar. "Persetan .....! Aku tidak peduli dari mana asal usul harta karun itu! Yang kuketahui hanyalah harta itu kepunyaan mendiang ayahku, karena itu aku harus memilikinya....!"
"Hmm, jangan bermimpi! Kau tak mungkin dapat memilikinya." Keh-sim Siauw hiap mendengus.
"Heh? Apa.....? Apa maksudmu? Kau mau merampasnya dari tanganku?” Pendekar Li melangkah setindak ke depan. Kedua orang pengawalnya, Jai-hwa Toat-beng-kwi dan Pek-pi Siau-kwi, segera maju pula mendampinginya. Mereka berdiri di kanan kiri Pendekar Li, siap untuk membantu majikan mereka itu.
Melihat itu Tiat-tung Hong kai dan Tiat-tung Lo-kai segera ikut bergerak pula ke depan. Kedua orang tua ini bersiap-siap pula untuk membantu Keh-sim Siauw-hiap.
"Benar, Pendekar Li. Aku memang bermaksud merampas harta itu bila kau tak mau menyerahkannya dengan baik-baik. Harta itu akan kukembalikan kepada rakyat yang berhak. Nah, kini lebih baik kau tak usah banyak omong. Berikan potongan emas yang berisi peta itu!” Keh-sim Siauw hiap mulai serius.
"Hahaha..... alasan kuno! Merampas harta untuk dibagikan kepada fakir miskin! Hahaha!" Pendekar Li tertawa mengejek. "He, siapa percaya omonganmu? Apakah harta itu tidak akan kau simpan sendiri? Hahah..."
"Diam! Lekas serahkan! Atau.... aku harus membunuhmu dahulu, baru nanti kugeledah tempat tinggalmu ini?" Keh-sim Siauw-hiap menghardik, tangannya telah diangkat, siap untuk melancarkan serangan maut.
“Berhentiii.....!" tiba-tiba Chin Yang Kun yang berada dibelakang rombongan Pendekar Li itu berteriak keras sekali. Tangannya mendorong ke arah punggung Pendekar Li dan Jai hwa Toat-beng-kwi. "Ayoh, menyingkirlah kalian dari depanku!”
Pendekar Li dan kedua orang pembantunya terpaksa melompat ke samping ketika tiba-tiba terasa ada hembusan angin dingin yang menyerang punggung mereka. Kebetulan ketiga-tiganya melompat mendekati tempat Tiat-tung Lo-kai dan Tiat-tung Hong-kai berdiri. Maka tanpa diberi komando lagi mereka segera bergebrak dengan sengitnya. Ketika Keh-sim Siauw-hiap melangkah lagi ke depan untuk membantu anak buahnya, Chin Yang Kun segera mencegatnya.
"Keh-sim Siauw-hiap, jangan hiraukan mereka! Biarlah mereka bertempur sendiri!"
Pendekar dari Pulau Meng-to itu menghentikan langkahnya. Wajahnya yang pucat tak bergairah itu menoleh. Dahi yang selalu tampak berkerut itu kelihatan berkilat-kilat ditimpa sinar obor yang suram. "Apa maksud saudara....?” tanyanya datar.
Chin Yang Kun mendekat lagi. Dengan sinar mata penuh dendam pemuda itu menggeram. "Kau tak perlu terlalu mendesak atau membunuh orang itu! Tidak ada gunanya. Dia tak membawa potongan emas itu!"
"Hmh? Lalu...... maksud saudara, saudarakah yang membawanya?" mata yang redup itu mulai berkilat, sehingga Chin Yang Kun agak tergetar juga memandangnya.
"Aku juga tidak...." Chin Yang Kun menggeleng.
Mata yang dingin itu semakin berkilat. Kerut-merut pada dahi itu juga semakin bertambah banyak. "Lalu siapa......?"
Mereka berdiri berhadapan, tak lebih dari lima langkah jauhnya. Chin Yang Kun dan Keh-sim Siauw-hiap! Sama-sama masih muda, tapi juga sama-sama mempunyai kepandaian yang tidak lumrah manusia. Keduanya saling menatap bagai ayam aduan yang siap mau berlaga.
"Siapa.....?" Keh-sim Siauw-hiap bertanya lagi, kini suaranya sedikit lebih keras.
"Hek-eng-cu!"
"Hek-eng-cu....? Mata itu terbelalak sekejap, tapi kemudian meredup kembali, "Jangan mengada-ada! Orang itu tak mungkin tahu tentang persoalan ini. Dia hanya sibuk dengan rencana pemberontakannya saja."
Chin Yang Kun tersenyum mengejek. "Benar. Semula dia memang tak tahu menahu tentang peta harta karun itu. Tapi dia dan kawan-kawannya secara tak sengaja telah menemukannya. Lengkap. Dua potong emas itu sekaligus!”
"Hei, di mana mereka menemukan benda itu? Dan.... bagaimana kau juga tahu tentang masalah dua potong emas itu?” Keh-sim Siauw-hiap menatap tajam. Kini pendekar itu mulai percaya pada omongan Chin Yang Kun.
“Yang sepotong mereka merampasnya dari tanganku dan yang sepotong lagi mereka merampas dari tangan Tung-hai Sam-mo. Nah, jelas bukan? Kini mereka telah berangkat ke tempat yang ditunjukkan dalam peta itu. Besok malam.... tepatnya pada saat tengah malam, mereka akan sudah berkumpul di tempat tersebut untuk mengambil harta karun itu....”
“Hah....?” wajah yang pucat itu tampak menegang, lalu dengan cepat kakinya bergeser ke depan, mendekati Chin Yang Kun. Tapi sebaliknya Chin Yang Kun juga bergeser pula ke samping dengan gesitnya, sehingga mereka tetap berdiri berhadapan dalam jarak lima langkah.
Sementara itu pertempuran antara Pendekar Li dan dua orang ketua partai pengemis tersebut benar-benar ramai bukan main! Kepandaian dari Pendekar Li memang lebih tinggi daripada kepandaian Tiat-tung Hong-kai serta Tiat-tung Lo-kai. Oleh karena itu sebentar saja Pendekar Li yang dibantu oleh kedua orang pembantunya itu dapat mendesak lawannya. Tapi ketika dua orang gadis berbaju putih datang menolong Tiat-tung Hong kai, maka pertempuran itu menjadi agak berimbang.
Salah seorang dari gadis berbaju putih itu bersama-sama dengan Tiat-tung Hong-kai, mengeroyok Pendekar Li. Sedangkan gadis yang satunya lagi bersama dengan Tiat-tung Lo-kai menghadapi Jai-hwa Toat-beng-kwi dan Pek-pi Siau-kwi. Meskipun begitu tampaknya kedudukan Pendekar Li agak sedikit lebih baik dari pada lawannya.
"Yang Siauw-hiap, marilah kita selesaikan mereka dengan segera, sebelum bala bantuan mereka datang lagi....!” Pendekar Li masih juga sempat berteriak kearah Chin Yang Kun. Agaknya orang ini merasa takut apabila Chin Yang Kun terlalu banyak omong dengan Keh-sim Siauw-hiap.
Sementara itu Keh-sim Siauw-hiap sendiri dalam keadaan tegang masih tetap mendesak Chin Yang Kun dengan pertanyaannya yang gencar. “Saudara, benarkah ceritamu itu...? Benarkah?"
"Mengapa aku mesti berbohong kepadamu? Kau dapat bertanya juga kepada Hong lui-kun Yap Kiong Lee, apakah kata-kataku tadi bohong atau tidak! Hmm, kenal tidak kau dengan Hong-lui-kun Yap Kiong Lee?” Chin Yang Kun menjawab pertanyaan lawannya dengan keras pula.
“Gila!” Keh-sim Siauw-hiap mengumpat. Tapi pendekar itu semakin percaya seratus persen pada kata-kata Chin Yang Kun. “Tentu saja aku kenal padanya. Tapi..... eh, mengapa dia juga tahu tentang masalah peta ini?"
"Hehehe,... kau jangan mengira bahwa hanya engkau sendirilah yang mengetahui tentang rahasia peta itu. Setiap orang kini sudah tahu belaka akan rahasia harta karun tersebut! Kau datang ke tempat yang ditunjukkan dalam peta itu besok tengah malam….hehe, kau akan melihat banyak orang yang berebut untuk mengambil harta itu!”
Mata Keh-sim Siauw-hiap terbelalak karena hatinya semakin tegang. Tiba-tiba tubuhnya melesat ke depan, kedua belah tangannya menerkam pundak Chin Yang Kun. Gerakannya sungguh amat mendadak dan cepatnya bukan main, sehingga tak seorangpun tahu bagaimana caranya ia bergerak! Tahu-tahu kedua belah tangan itu tinggal beberapa jengkal saja dari sasarannya!
Chin Yang Kun mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mengelak. Memang sejak semula pemuda itu sudah bersiap siaga! Dari Hong-lui-kun Yap Kiong Lee dia telah mendengar bahwa ginkang Keh-sim Siauw-hiap benar-benar tiada taranya di dunia ini. Meskipun demikian ternyata Chin Yang Kun tetap saja agak terlambat.
Memang, Keh-sim Siauw-hiap gagal mencengkeram pundak Chin Yang Kun. Tapi cengkeraman tersebut hanya selisih beberapa senti saja dari pundaknya, sehingga bajunya yang lebar itu menjadi hancur pangkal lengan bajunya akibat jeriji Keh-sim Siauw-hiap yang luput mencengkeram dagingnya. Dan kelambatan yang mengakibatkan rusaknya lengan baju itu membuat Chin Yang Kun menjadi marah sekali.
"Berhenti!" pemuda itu berteriak dengan Liong-cu i-kangnya, sehingga rasa-rasanya malam yang cerah penuh bintang itu tiba-tiba ada petir menyambar dengan dahsyatnya.
Beberapa orang penjaga yang berjaga jaga di sekeliling halaman itu langsung menggeletak karena tak tahan. Orang-orang yang sedang asyik bertanding itu juga menghentikan gerakan mereka dengan mendadak. Yang lwee-kangnya sedikit rendah tampak sempoyongan mau jatuh. Masing-masing berusaha dengan sekuat tenaga agar selaput pendengarannya tidak pecah.
Tapi sekejap kemudian Jai-hwa Toat-beng-kwi telah memulai lagi pertempurannya itu. Hantu cabul itu tidak menyia-nyiakan kesempatan selagi lawannya, Tiat-tung Lo-kai, belum bisa mengatasi pengaruh teriakan Chin Yang Kun tadi. Untunglah gadis berbaju putih, yang berada di samping Tiat-tung Lo-kai, mengetahui siasat licik tersebut. Dengan marah sekali pedangnya menghantam huncwe Jai-hwaToat-beng-kwi! Dan pertempuran yang tertunda itu berkobar pula kembali dengan hebatnya.
Keh-sim Siauw-hiap menatap mata Chin Yang Kun lekat-lekat. Rasanya mata itu semakin lama semakin tampak mencorong seperti mata seekor naga di kegelapan malam. Diam-diam pendekar dari Pulau Meng-to itu sedikit merinding juga hatinya. Tak ia sangka ia kan bertemu dengan seorang pemuda hebat di rumah Pendekar Li ini.
Tadi secara mendadak ia benar-benar telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyerang pemuda itu. Ia sudah amat yakin bahwa serangannya akan berhasil, karena selama ini ia belum pernah gagal dengan serangan seperti itu. Tapi kenyataannya sungguh memalukan. Biarpun dia dapat mencengkeram lengan baju pemuda itu hingga hancur, tapi sebagai seorang pendekar ternama mukanya benar-benar terasa panas karena malu. Dia yang telah mencuri kesempatan ketika menyerang tadi ternyata mengalami kegagalan!
“Mengapa saudara menyuruh aku berhenti untuk menyerangmu?” Keh-sim Siauw-hiap membuka mulut untuk mengurangi rasa kikuknya. Pendekar ini bertanya seolah-olah dia tadi memang sudah benar-benar mau memulai pertempuran, padahal sebetulnya dia tadi ingin menangkap Chin Yang Kun untuk memaksa agar pemuda itu lekas-lekas mengatakan tempat dimana harta karun itu berada.
Pemuda yang sebenarnya telah mulai marah karena bajunya terobek itu tersenyum mengejek. “Kita belum selesai berbicara, mengapa engkau tadi tiba-tiba menyerangku? Huh! Aku telah berbicara banyak dan aku telah menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, kini ganti aku yang akan bertanya kepadamu dan engkau kuharap menjawab pula pertanyaanku dengan baik!”
"Aku belum selesai dengan pertanyaanku.....” Keh-sim Siauw-hiap memotong.
"Persetan! Kau telah menyerang aku…. Itu berarti kau telah selesai! Tapi kalau kau memang masih ingin bertanya lagi, akupun juga masih bersedia menjawabnya. Tapi..... nanti setelah aku selesai bertanya kepadamu. Bagaimana....?”
"Baik! Cepatlah kau bertanya, aku akan menjawabnya bila aku dapat!"
"Sebentar......!" Chin Yang Kun berdesah melalui hidungnya. Matanya memandang ke langit seolah-olah ingin menghitung ribuan bintang yang pada saat itu tampak bertaburan di sana. Lalu sambil melangkah perti menjauhi arena itu pemuda tersebut berkata pelan, ”Ikutilah aku...!”
Wajah yang pucat itu tampak kemerah-merahan karena merasa dipermainkan. “Mau kemanakah kau? Mengapa tidak lekas kau sebutkan pertanyaanmu itu?” Keh-sim Siauw-hiap menggeram marah. Baru sekali ini saja sejak namanya menjadi terkenal dan ditakuti orang, Keh-sim Siauw-hiap menemui orang yang berani bertingkah di depannya. Sudah berani bertingkah orang itu tak mengenal rasa takut pula, seolah-olah yang dihadapinya Cuma seorang dari tingkat rendahan saja!
Memang bisa dimaklumi bila Keh-sim Siauw-hiap sampai merasa tersinggung menghadapi tingkah Chin Yang Kun tersebut. Selama lima-enam tahun ini pendekar dari Pulau Meng-to itu selalu dihormati, disegani dan ditakuti orang. Nama Keh-sim Siauw-hiap sudah begitu termashurnya hingga tak seorangpun berani bertingkah atau mempermainkannya! Dan citra seperti itu sudah merasuk mendarah daging dalam jiwa Keh-sim Siauw-hiap, sehingga pendekar itu merasa tersinggung melihat tingkah polah Chin Yang Kun yang seenaknya sendiri itu.
"Anak muda! Engkau masih ingin berbicara dengan baik-baik atau tidak? Kalau masih, lekas katakan kemauanmu.....! Kalau tidak, hmm.... jangan menyesal....!" Keh-sim Siauw-hiap sekali lagi menggeram. Kedua belah tangannya kelihatan terkepal dan siap untuk turun tangan! Mata yang semula redup dan tak bergairah itu kini tampak mencorong marah ketika menatap punggung Chin Yang Kun yang berjalan menjauhinya.
Tetapi Chin Yang Kun seperti orang yang tak mengenal bahaya! Tanpa memperdulikan kemarahan maupun ancaman Keh-sim Siauw-hiap terhadapnya, pemuda itu tetap berjalan ke pojok pendapa tanpa menoleh. Dengan tidak kalah garangnya pemuda itu justru membentak. “Apakah kau ingin agar setiap orang mendengar tempat harta karun itu? Hmm…. baik!”
Chin Yang Kun berhenti melangkah lalu badannya berputar menghadap Keh-sim Siauw-hiap dengan cepat sekali. Dalam keremangan malam itu tatapan matanya tidak kalah mencorongnya dengan sinar mata Keh-sim Siauw-hiap ketika berteriak. "Baik! Kalau begitu aku akan berteriak sekeras-kerasnya di sini, supaya seluruh dunia tahu tempat itu! Dengarrrr...! Tempat itu berada di…”
"Tutup mulutmu!" tiba-tiba Keh-sim Siauw-hiap menjerit dengan tidak kalah kerasnya. Kemudian pendekar itu melesat bagai kilat ke depan Chin Yang Kun. Suaranya gemetar ketika berkata. "Keparat! Kau benar-benar.... gila! Baik, aku mengalah. Mari kira pergi dari tempat ini!”
"Hmh!" Chin Yang Kun mendengus atau membuang napas kuat-kuat dari hidungnya. "Tapi kau jangan dekat-dekat denganku...!"
"Mengapa….?"
“Untuk menjaga diri! Gin-kangmu terlalu cepat bagiku! Aku khawatir kau akan menyerangku Iagi dengan mendadak seperti tadi." Chin Yang Kun menjawab sambil melangkahkan kakinya.
"Dan... kau takut tak bisa mengelak atau menghindarinya?” Keh-sim Siauw-hiap mengejek.
“Benar! Aku memang takut dan khawatir tak bisa mengelakkan seranganmu. Dan hal itu berarti....” Chin Yang Kun tidak meneruskan perkataannya.
“Berarti apa?” Keh-sim Siauw-hiap tersenyum bangga.
“Berarti bahwa aku.... terpaksa harus membunuhmu!”
“Hah? Apa katamu?” pendekar dari Pulau Meng-to itu tersentak kaget. Matanya berkilat marah. Otomatis langkahnya berhenti.
Chin Yang Kun berhenti pula. Tubuhnya yang jangkung itu segera bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan. "Mengapa? Apakah engkau tersinggung mendengar kata-kataku tadi? Jangan terburu nafsu! Masih banyak waktu untuk kita bertanding nanti. Urusan kita atau pembicaraan kita itu selesaikan dahulu ...” desahnya pelan.
“Tapi........ apa maksud perkataanmu tadi?" Keh-sim Siauw-hiap penasaran. Benar-benar penasaran sekali!
"Aku hanya ingin mengatakan yang sebenarnya." Chin Yang Kun menjawab. "Kalau aku sudah terpepet dan tak bisa mengelak lagi, apa yang mesti kukerjakan selain… menyongsong seranganmu itu dengan seluruh tenagaku pula? Dan hal inilah yang sebenarnya kutakutkan dan kukhawatirkan! Aku takut kau takkan kuat menahan gempuran lwee-kangku….”
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Keh-sim Siauw hiap mendengar kata-kata yang sombong luar biasa itu! Hanya karena ia masih membutuhkan keterangan tentang tempat harta karun itu saja yang membuat pendekar tersebut tidak segera mencekik leher Chin Yang Kun.
"Dan kalau kau mati....." pemuda itu masih meneruskan perkataannya yang menyakitkan itu, "…aku akan kehilangan jejak pembunuh ayahku lagi! Maaf! Maaf…. aku tidak bermaksud menyombongkan diri, aku hanya mengatakan apa yang kupikirkan dalam benakku saja, lain tidak…”
“Bocah sombong…..!”
“Kau tidak percaya? Boleh coba!” Chin Yang Kun menantang. “Kau lihat tiang pojok pendapa itu? Tiang itu ada sepuluh meter jaraknya dari tempat ini. Nah, apakah kau mampu menghantamnya hingga roboh dari sini? Ingat, hanya dengan tangan kosong saja….! Kalau dengan bantuan kerikil, batu atau lainnya…. aku percaya engkau dapat melakukannya. Tapi dengan tangan kosong dan hanya mengandalkan lwee-kang saja, apakah kau mampu?”
“Kurang ajar! Bocah sombong, apakah kau juga mampu?” pucat pias wajah Keh-sim Siauw-hiap saking tak kuat menahan perasaannya.
“Tentu saja! Lihatlah….!”
“Yang Siauw-hiap….! Menunggu apa lagi? Bereskan saja Keh-sim Siauw-hiap itu!” Pendekar Li yang sibuk melawan Tiat-tung Hong-kai itu berteriak.
Chin Yang Kun tidak memperdulikan teriakan itu. Ia baru menghimpun tenaga sakti Liong-cu i-kangnya! Dengan posisi badan lurus kaki kirinya ia lempar ke belakang sejauh-jauhnya, sehingga tubuhnya yang jangkung itu seakan-akan seekor ular yang tiarap di atas tanah. Kaki kanannya tertekuk rendah sekali sebagai tiang tumpuan seluruh berat badannya. Kedua belah telapak tangan pemuda itu dirangkap di depan mukanya seolah-olah orang menyembah.
Dan sebentar kemudian dari mulut pemuda itu terdengar suara desis ular yang makin lama semakin keras. Dan sejalan dengan suara desis ular tersebut, tiba-tiba Keh-sim Siauw-hiap merasakan hembusan udara dingin yang semakin terasa menggigilkan. Lalu sesaat kemudian kedua belah telapak tangan tadi tiba-tiba mendorong ke depan, ke arah tiang pendapa yang terbuat dari kayu besi sebatang paha orang dewasa itu!
"Ssssssssssss.......!”
"Kraaak! Broooool!” Tiang kayu itu patah ditengah dan dengan mengeluarkan suara hiruk-pikuk pojok pendapa itu runtuh ke bawah. Orang-orang yang sedang bertempur di halaman itu seketika berhenti semua, dengan air muka heran mereka mengawasi Chin Yang Kun dan Keh-sim Siauw-hiap yang berdiri berhadapan.
"Yang Siauw hiap, ada apa....?" Pendekar Li berseru dengan dahi berkerut.
"Jangan pikirkan aku! Selesaikan saja urusanmu sendiri! Aku sedang mencoba kekuatan dengan Keh-sim Siauw-hiap..." Chin Yang Kun berteriak pula menjawab.
“Benar! Pemuda itu berkata benar. Marilah kita selesaikan dulu pertempuran kita! Jangan mengurusi yang lainnya!” Tiat-tung Hong-kai berkata sambil mengayunkan tongkatnya ke tengkuk Pendekar Li.
Pendekar Li terpaksa mengelak, kemudian dengan pedangnya ia membalas pula serangan itu. Gerakan tersebut lalu diikuti oleh yang lainnya sehingga sebentar kemudian mereka telah bertempur kembali dengan serunya.
Sementara itu Keh-sim Siauw-hiap benar-benar merasa terpukul hatinya melihat kekuatan lwee-kang Chin Yang Kun yang luar biasa dahsyatnya itu. Dalam hati pendekar itu terpaksa mengakui kehebatan lwee-kang lawannya.
“Keh-sim Siauw-hiap, bagaimana....?" Chin Yang Kun minta pertimbangan.
"Hebat sekali! Kau memang benar-benar hebat!” Seret sekali rasanya kata-kata itu keluar dari tenggorokan Keh-sim Siauw-hiap, sehingga hampir hampir suara itu hanya dapat dia dengar sendiri saja. Segala macam perasaan dongkol, marah, penasaran, terhina, tapi juga sekaligus kagum, seperti bergabung menjadi satu, sehingga terasa memenuhi rongga dadanya dan menyumbat tenggorokannya!
"Maaf, sebenarnya bukan sifat saya menyombongkan diri di muka orang lain," Chin Yang Kun berkata lagi. Agaknya pemuda itu merasakan juga apa yang kini sedang berkecamuk di dalam hati lawannya. "Tetapi semua itu terpaksa kulakukan demi untuk meyakinkan kau, serta untuk menarik perhatianmu pula, agar kau mau bersungguh-sungguh dan tidak terlalu memandang enteng kepadaku. Aku ingin agar kau menanggapi dengan serius persoalan persoalan atau pertanyaan yang akan kuajukan kepadamu nanti, bukan hanya sekedar sebuah persoalan sepele yang datang dari seorang anak kemarin sore yang belum punya nama di kalangan persilatan!"
Chin Yang Kun menghentikan kata-katanya. Dengan tenang dipandangnya Keh-sim Siauw-hiap yang berdiri tidak jauh darinya. Beberapa saat kemudian, setelah dilihat oleh pemuda itu mata yang mencorong dari Keh sim Siauw-hiap telah meredup kembali, ia berbalik dan melangkahkan kakinya menuju ke pohon rindang yang tumbuh di pinggir halaman depan tersebut.
"Marilah ke bawah pohon itu. Kita berbicara di sana." pemuda itu berkata di antara langkahnya.
“Yang-siauw-hiap, mau kemanakah kau…? Jangan terlalu memberi hati kepada Keh-sim Siauw-hiap! Bunuh saja dia, habis perkara!" lagi-lagi Pendekar Li berteriak di belakang mereka.
“Tutup mulutmu, pengecut! Ayoh, selesaikan dulu urusan kita ini!" Tiat-tung Hong-kai membentak. Tongkat besinya dengan galak menyambar-nyambar mencari sasaran.
“Bangsat! Kau pengemis tua ini memang sudah bosan hidup rupanya!" Pendekar Li menjadi marah bukan main. Dengan ganas pedangnya menghujam ke arah tenggorokan lawan, tapi ujung pedang itu segera berputar setengah lingkaran ketika tampak Tiat-tung Hong-kai mengelak ke kiri. Kini ujung pedang tersebut berusaha mencocok sepasang mata pengemis tua itu.
Tiat-tung Hong-kai berusaha menangkis dengan tongkatnya, tapi sudah tak keburu lagi. Satu-satunya jalan hanyalah menjatuhkan diri ke belakang, tapi itu pun tak berani ia lakukan sebab di belakangnya berdiri Jai hwa Toat-beng-kwi yang sedang bertempur dengan Tiat tung Lo-kai. Kalau melakukannya, itu sama saja ia menyerahkan diri untuk dihantam oleh Hantu Cabul tersebut.
Untunglah dalam keadaan sulit seperti itu, datang pertolongan dari gadis berbaju putih. Dengan berteriak keras gadis itu melompat dan menangkis ujung pedang yang sudah nyaris mencocok mata itu dengan pedangnya. Traaang! Biarpun harus terhuyung-huyung, tapi jiwa Tiat-tung Hong-kai selamat.
"Wah, terima kasih nona. Marilah kita hadapi lagi orang ini bersama-sama....!"
Demikianlah, mereka lantas terlibat dalam pertempuran yang sengit kembali. Begitu juga halnya dengan arena yang lain. Jai-hwa Toat-beng-kwi tampak bertanding dengan seru melawan Tiat-tung Lo-kai yang dibantu oleh sepasang gadis berbaju hitam yang agaknya telah sembuh dari luka-lukanya. Sedangkan Pek-pi Siau-kwi tampak masih bertanding seimbang dengan gadis berbaju putih lainnya.
Sementara itu Chin Yang Kun dan Keh-sim Siauw-hiap sudah berada di bawah pohon yang rindang itu. Mereka berdiri berhadap-hadapan sejauh lima langkah, karena seperti kata-katanya tadi, Chin Yang Kun takut kalau mereka berdiri terlalu dekat.
“Nah, lekaslah kau katakan saja semua kemauanmu, aku akan mendengarkannya dengan sungguh-sungguh!” Keh-sim Siauw-hiap mendahului berkata.
“Terimakasih!” Chin Yang Kun mengangguk. Lalu, “Pertama-tama ingin kuajak tuan untuk mengingat-ingat sebuah peristiwa yang terjadi kira-kira setahun yang lalu. Peristiwa itu berlangsung di suatu daerah terpencil di luar kota Tie-kwan. Tepatnya di rumah Pendekar Li yang dibangun di tengah-tengah padang ilalang. Sebuah rumah bergenting merah.... masih ingatkah kau?”
“Setahun yang lalu....di rumah Pendekar Li....yaa....ya aku masih ingat. Lantas bagaimana?” Keh-sim Siauw-hiap mengangguk-angguk.
“Bagus! Terimakasih! Sekarang kulanjutkan....” Chin Yang Kun menatap lawannya dengan air muka tegang. "Peristiwa itu terjadi pada waktu lewat tengah malam, sudah menjelang pagi malah."
"Lewat tengah malam..... menjelang pagi.... lalu terus bagaimana?"
“Pada saat itu di rumah tersebut sedang berlangsung sebuah pertempuran seru, antara para pembantu Pendekar Li melawan lima orang tak dikenal yang kesasar memasuki rumah itu. Kelima orang tak dikenal itu semuanya membawa golok dan salah seorang diantaranya ternyata cuma pelayan mereka saja. Pelayan itu sudah amat tua dan menderita sakit.” Chin Yang Kun menghentikan kata-katanya sebentar. Lalu sambungnya lagi.
"Nah, pada saat sedang berlangsung pertempuran sengit itulah datang lagi seorang laki laki tak dikenal ke rumah itu untuk mencari Pendekar Li. Laki laki tak dikenal itu datang untuk meminta sebuah benda pusaka yang berwujud potongan emas kepada Pendekar Li. Karena benda itu tak diberikan oleh Pendekar Li, maka laki-laki tak dikenal itu lantas mengamuk! Semua orang yang berada di rumah dibunuhnya tanpa pandang bulu, termasuk wanita, anak-anak dan sekaligus lima orang lelaki yang sebelum kedatangannya telah bertempur dengan pihak tuan rumah!”
Pendekar dari Pulau Meng-to itu mendengarkan ceritera Chin Yang Kun dengan sungguh-sungguh. Tapi semakin panjang cerita itu semakin banyak pula kerut-merut di dahi Keh-sim Siauw-hiap! Dan akhirnya ketika ceritera itu selesai, pendekar yang amat disegani dan dihormati orang itu justru terlongong-longong mengawasi Chin Yang Kun, seperti seorang murid bodoh yang kebingungan karena belum bisa menangkap keterangan atau mata pelajaran yang diberikan oleh gurunya.
Sebaliknya pemuda yang baru saja selesai menceritakan riwayat kematian ayah dan pamannya itu kelihatan sulit mengendalikan emosinya. Dengan mata merah dan jari-jari tangan terkepal pemuda itu membalas tatapan mata Keh-sim Siauw-hiap. Suaranya terdengar gemetar ketika mulutnya berbicara.
“Nah, Keh-sim Siauw-hiap... bagaimana dengan ceritera itu? Kau tentu sudah menangkap apa yang kumaksudkan, bukan?"
“Menangkap? Menangkap yang mana yang kau maksudkan? Eh, maaf.... aku benar benar belum tahu apa yang kaumaksudkan dalam cerita itu. Sebenarnya.... sebenarnya aku juga sudah dapat menebak arah dan tujuan dari ceritamu itu, tapi karena ada sebagian yang tak kumengerti, maka aku jadi bingung menangkap maksud dari ceritamu itu.”
“Jangan berbelit-belit! Lekas katakan pendapatmu!” Chin Yang Kun menggeram.
“Baiklah....!” pendekar yang bernama besar itu menghela napas panjang. Lalu sambil melipat tangannya di depan dada pendekar itu memutar tubuhnya membelakangi Chin Yang Kun, agaknya hatinya mulai tersentuh dan tidak tega melihat ketegangan dan kesedihan yang terpancar dalam sinar mata pemuda itu. Seraya melihat anak buahnya yang sedang bertempur dengan Pendekar Li, Keh-sim Siauw-hiap berkata,
”Aku dapat menduga siapa yang kau maksudkan dengan orang tak dikenal, yang datang pada waktu lewat tengah malam di rumah Pendekar Li, untuk meminta benda pusaka yang berwujud sebuah potongan emas itu….! Hmm.... orang itu.... aku, bukan? Benar! Orang itu memang aku, aku masih ingat itu! Dan aku tidak akan ingkar! Tapi kalau dikatakan bahwa saat kedatanganku itu bertepatan dengan sedang berlangsungnya pertempuran antara lima orang bersenjata golok melawan Pendekar Li... itu tidak benar!
"Aku yakin betul hal itu. Ketika aku datang kerumah itu, yang kutemukan hanyalah mayat-mayat yang bergelimpangan dimana-mana. Aku tak melihat siapapun disana selain mayat-mayat itu. Jangankan melihat lima orang bersenjata golok, sedangkan Pendekar Li dan kawan-kawannya pun tak kutemui dalam rumah tersebut.”
“Bohong!” tiba-tiba Chin Yang Kun berteriak tinggi, memotong ucapan Keh-sim Siauw-hiap. “Kau sengaja berbohong! Kau tidak berani mengakui perbuatanmu! Kau takut menerima pembalasan dari orang-orang yang telah kau bunuh! Pengecut……!”
Tiba-tiba Keh-sim Siauw-hiap berputar dengan cepat. Cepat sekali malah! Sehingga Chin Yang Kun menjadi terkejut sekali dan segera bersiap-siap penuh. Apalagi ketika pemuda itu melihat mata lawannya telah berkilat-kilat menunjukkan kemarahannya.
“Anak muda! Kau benar-benar anak kurang ajar dan tak tahu diuntung! Coba, lihat… siapakah aku ini? Kau sudah mengenalnya, bukan? Kalau kau belum pernah melihatku, setidak-tidaknya telingamu tentu sudah pernah mendengar nama dan sepak terjangku, bukan? Nah, kini perbandingkanlah sendiri dengan dirimu! Siapakah engkau dan siapakah Keh-sim Siauw-hiap itu? Apakah yang pernah kau perbuat di dunia persilatan dan…. apakah yang sudah kau sumbangkan pada dunia ini?
"Lalu kau cobalah memperbandingkan dengan apa yang pernah diperbuat dan disumbangkan oleh Keh-sim Siauw-hiap itu? Maaf…. jauh sekali, bukan? Nah, sekarang cobalah pergunakan otakmu, mengapa orang seperti Keh-sim Siauw-hiap itu mau melayani engkau seperti sekarang ini? Menuruti segala kemauanmu, kau bentak-bentak seenakmu sendiri, padahal dimana-mana setiap orang sangat menghargai dan menghormati Keh-sim Siauw-hiap?”
Keh-sim Siauw-hiap yang sedang marah itu menghentikan kata-katanya sebentar. Melihat lawannya yang masih muda itu tertegun dan berdiam diri saja di tempatnya, Keh-sim Siauw-hiap menghela napas berulang-ulang. Tapi apabila teringat kembali, betapa anak muda itu memaki-maki dan mengumpat dia, hatinya menjadi panas lagi.
“Apakah kau menganggap Keh-sim Siauw-hiap takut kepadamu? Takut pada kehebatan lwee-kangmu yang dahsyat itu? Hmmm…. kau benar-benar sangat keliru kalau mempunyai anggapan demikian.” Pendekar itu menghentikan lagi kata-katanya. “Mungkin lwee-kangmu memang lebih tinggi dari pada lwee-kangku! Meskipun aku percaya bahwa selisihnya juga tidak banyak dan itu satu-satunya kelebihanmu dari pada saya.
"Tapi, apakah kemenangan dalam pertarungan itu cuma ditentukan oleh lwee-kang saja? Itu hanya bisa terjadi pada zaman purbakala dahulu, dimana dalam setiap pertandingan orang-orang yang sedang bertarung bergantian memukul lawannya untuk menunjukkan kekuatan tubuhnya. Sekarang zamannya sudah berbeda. Apa gunanya kekuatan lwee-kangmu itu kalau aku bisa mengelakkannya?
"Paling-paling kau hanya bisa menghancurkan benda-benda yang berada disekitarku saja seperti tadi. Dan sementara itu dengan gin-kangku aku bisa leluasa menyerangmu dengan pedangku. Mau kutusukkan matamu atau kuhunjamkan pada ubun-ubun kepalamu atau dimana saja yang tak bisa kau lindungi dengan kekuatan lwee-kangmu.”
“Yang Siauw-hiap….! Mengapa kau diam saja? Ayolah…..!” dari jauh Pendekar Li berteriak-teriak kembali.
“Jangan hiraukan orang itu! Pikirkan saja perkataanku tadi!” Keh-sim Siauw-hiap menggeram.
“Nah, coba sekarang kau pikirkan.... apa sebabnya Keh-sim Siauw-hiap sampai mau melayani engkau, menuruti kemauanmu di tempat ini?”
“Kau ingin mengetahui tempat dimana harta karun itu disimpan!” Chin Yang Kun menjawab kaku.
“Benar. Itulah alasannya. Jadi bukan karena takut seperti dugaanmu tadi. Aku justru berjudi dengan maut serta menyabung nyawa untuk mendapatkan harta karun itu. Padahal seperti yang selalu kulakukan selama ini, harta itu hendak kubagi-bagikan kepada rakyat miskin. Belum pernah selama ini aku mengambil barang sedikitpun dari harta yang kubagikan kepada orang-orang miskin itu.”
Bagaikan terbuka hati Chin Yang Kun sekarang setelah mendengar uraian yang panjang lebar dari Keh-sim Siauw-hiap. Pemuda itu dapat merasakan kebenaran kata-kata yang diucapkan oleh pendekar itu kepadanya. Dan kini Chin Yang Kun percaya bahwa apa yang diceritakan oleh Keh-sim Siauw-hiap di rumah Pendekar Li itu tentu benar. Cerita dari Pendekar Li itulah yang kini harus diusutnya. Jangan-jangan orang yang telah mengganti namanya menjadi Tan Hok itulah yang membohongi dia.
“Jadi… tuan tidak membunuh mereka?” akhirnya Chin Yang Kun bertanya, sekedar untuk mengusir kecanggungan yang terjadi diantara mereka.
"Tidak!"
"Lalu siapa yang membunuh mereka itu?" kali lagi Chin Yang Kun bertanya seolah-olah pada dirinya sendiri. Suaranya terdengar sedih juga sangat penasaran.
Sambil menengadahkan kepalanya ke langit Keh-sim Siauw-hiap menyilangkan kembali kedua belah tangannya di atas dada. Beberapa kali terdengar suara elahan napasnya, seakan-akan ikut memikirkan dan merasakan apa yang berkecamuk di dalam dada Chin Yang Kun.
“Maaf, anak muda. Sudah sekian lamanya kita berbicara, tapi aku belum sempat menanyakan namamu. Eh, bolehkah aku mengetahui namamu? Apakah kau salah seorang keluarga dari Pendekar Li itu? Atau kau..... ah, benar..... apakah kau salah seorang keluarga dari..... dari lima orang bersenjata golok yang kesasar ke rumah Pendekar Li itu?"
Tanpa terasa Chin Yang Kun mengangguk. "Aku.... aku memang putera dari salah seorang yang bersenjatakan golok itu. Namaku adalah Yang Kun.... Chin Yang Kun!”
"Chin Yang Kun.....! Lalu mengapa engkau tadi menuduh aku yang membunuh ayahmu? Apakah kau juga berada di tempat itu ketika peristiwa tersebut terjadi?"
“Tidak!"
“Ehmm..... lalu siapa yang mengatakan hal itu kepadamu?"
"Tan Hok...., eh. Pendekar Li."
"Ohh..... dia rupanya. Kalau begitu tanyakan kepadanya, mengapa dia membohongimu? Aku yakin dia mengetahui peristiwa yang sesungguhnya, karena dialah pemilik rumah itu."
"Tapi mengapa dia menyatakan bahwa tuanlah pembunuh ayahku?"
"Orang itu sangat takut kepadaku. Berbulan-bulan dia bersembunyi di dusun ini untuk menghindari aku dan para pembantuku. Kukira engkau hanya diperalat oleh mereka untuk menghadapi aku, sebab mereka melihat kepandaianmu sangat tinggi."
"Kalau begitu aku akan meminta pertanggungan jawab Pendekar Li...." Chin Yang Kun segera beranjak dari tempatnya.
Tapi Keh-sim Siauw hiap segera menahannya. “Eit, nanti dulu! Kau belum mengatakan tempat di mana harta karun itu berada."
“Ah, benar.... Kau pergilah ke Pantai Karang di dekat Teluk Po hai! Tepat di waktu tengah malam besok akan ada suatu pertemuan di sana."
"Hei, tempat itu adalah tempat penyeberangan menuju ke pulau tempat tinggalku. Tapi mana mungkin besok? Tempat itu sangat berbahaya dalam enam tujuh hari ini, karena saat ini adalah musim pasang besar dan badai laut. Tiap nelayan tahu hal itu. Akupun tak bisa pulang dalam saat saat begini....”
"Tapi menurut penuturan Hong lui-kun Yap Kiong Lee, Hek eng-cu dan anak buahnya akan datang ke sana besok malam,"
“Ohh... kau memperoleh berita ini dari Hong lui-kun Yap Kiong Lee rupanya. Tapi percayalah kepadaku. Pantai itu sangat berbahaya dalam beberapa hari ini. Mungkin Hek-eng-cu tidak tahu tentang hal itu."
"Lalu?" Chin Yang Kun menatap Keh-sim Siauw-hiap dengan tajam.
"Biarlah! Aku tidak perlu tergesa-gesa ke sana. Semuanya tentu akan menanti sampai badai itu berhenti dan laut menjadi surut kembali. Dan menurut pengalaman hal itu baru akan terjadi enam atau tujuh hari lagi. Sekarang aku akan melihat dulu caramu mengadili Pendekar Li. Siapa tahu aku dan para pembantuku masih diperlukan sebagai saksi? Kalau aku pergi, orang itu mungkin masih akan bisa mengarang cerita yang bukan-bukan untuk mengadu domba kita lagi. Biarlah aku berada disini dahulu. Siapa tahu aku diperlukan pula nanti?”
“Terima kasih! Tapi kumohon kau jangan ikut campur apabila terjadi apa-apa nanti.” Pemuda itu semakin yakin ketulusan hati Keh-sim Siauw-hiap.
“Baik!” Keh-sim Siauw-hiap menyetujui. Kemudian teriaknya,” Hong-kai! Lo-kai! Siang In! Siang Yen.....! Kalian harap mundur semua......!”
Dengan patuh Tiat-tung Hong kai, Tiat-tung Lo-kai, dua orang gadis berbaju putih-putih yang dipanggil dengan sebutan Siang In (Sepasang Awan) dan dua orang gadis berpakaian serba hitam yang disebut Siang Yen (Sepasang Asap), menghentikan serangan mereka. Berturut-turut mereka melompat mundur menjauhi lawan-lawannya. Pertempuran berhenti.
Pendekar Li dan dua orang pembantunya saling memandang dan mengawasi lawan-lawan mereka yang mundur meninggalkan pertempuran dengan perasaan tak mengerti. Dengan perasaan curiga mereka menoleh ke tempat Keh-sim Siauw-hiap, tapi betapa terkejutnya mereka serentak melihat Chin Yang Kun sedang melangkahkan kakinya ke tempat mereka bersama-sama dengan Keh-sim Siauw-hiap!
Mereka segera mengenal bahaya, tapi untuk lari terang tidak mungkin lagi. Mereka Cuma bertiga dan berada di tempat yang lapang pula. Dan disana ada Keh-sim Siauw-hiap yang dapat bergerak seperti siluman.
“Bagaimana, Li Tai-hiap?" hampir berbareng Jai-hwa Toat-beng-kwi dan Pek-pi Siau-kwi bertanya, suaranya bergetar tanda hati mereka benar-benar merasa khawatir sekali. Sebenarnya hati Pendekar Li pada saat itu juga tidak kalah khawatirnya dengan mereka. Tapi orang tua itu masih dapat menyembunyikan perasaannya. Malah dengan tenang ia masih bisa tersenyum dan membesarkan hati para pembantunya.
"Tenanglah....! Biarlah aku yang menyelesaikannya."
Mereka berdiri berhadap-hadapan. Chin Yang Kun dan Pendekar Li! Jai hwa Toat-beng-kwi dan Pek-pi Siau-kwi tampak dengan tegang berdiri di belakang Pendekar Li. Sedangkan Keh-sim Siauw hiap dan para pembantunya yang lain lain berada agak jauh dari mereka.
"Siauw hiap, apa yang telah terjadi sebenarnya? Mengapa Siauw hiap urung bertanding dengan anak muda itu? Mengapa sekarang mereka malah mau saling cakar-cakaran sendiri?” Tiat-tung Lo-kai yang berada di sisi Keh-sim Siauw-hiap itu berbisik keheranan.
“Heheh…. benar! Ada apa sih sebenarnya?” Tiat-tung Hong-kai menyambung pula.
Keh-sim Siauw-hiap memandang kedua orang tua itu dengan wajah murung. Ciri khas dari pendekar muda yang bertempat tinggal di Pulau Meng-to itu. “Pemuda itu telah diperalat oleh Pendekar Li untuk menghadapi aku. Sekarang pemuda itu hendak meminta pertanggungan jawab Pendekar Li karena telah berani memperalatnya....”
“Lalu bagaimana urusan pemuda itu dengan kita?” Tiat-tung Lo-kai mengerutkan keningnya.
“Urusan….? Urusan apakah itu?” Keh-sim Siauw-hiap menatap bingung.
"Siauwhiap, pemuda itu telah membunuh tiga orang anggota Tiat-tung Kai pang beberapa hari yang lalu." salah seorang gadis berbaju hitam memberi keterangan. "Hahh?" sekarang ganti Keh-sim Siauw hiap yang kaget. "Benarkah?"
“Benar, Siauw-hiap. Kebetulan aku berada di tempat itu pula saat itu. Mereka berkelahi di tempat penampungan para pengungsi. Mula-mula tiga orang anak buah Tiat tung Lo-kai berselisih dengan rombongan Kim-liong Piauwkiok. Lalu pemuda itu membantu anggota Kim-liong Piauw-kiok tersebut.” Gadis itu menerangkan terlebih jelas lagi.
Pendekar itu terdiam sesaat, lalu sambil menghela napas panjang ia berkata kepada Tiat-tung Lo-kai. “Lo-kai….! Biarlah urusan itu kita tunda dahulu untuk sementara. Sekarang biarlah pemuda itu menyelesaikan urusannya dengan Pendekar Li.”
“Baik!" Tiat-tung Lo-kai mengiyakan.
Sementara itu pembicaraan antara Chin Yang Kun dan Pendekar Li kelihatan semakin bertambah panas. Berulang kali Chin Yang Kun mendesak lawannya agar menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di rumah bergenting merah malam itu. Tapi Pendekar Li selalu mengatakan seperti apa yang telah dia ceriterakan kepada Chin Yang Kun di dalam kamar sore tadi.
Sehingga akhirnya justru Chin Yang Kun sendirilah yang menjadi bingung dan tak bisa memutuskan siapa sebenarnya yang telah berbohong kepadanya. Selain menjadi bingung, pemuda itu juga menjadi mendongkol dan penasaran bukan main! Tapi kepada siapa dia harus menumpahkan rasa kemendongkolannya itu ia tidak tahu.
“Kau berani bersumpah bahwa yang datang pada malam itu dan membunuh semua orang yang ada disana adalah benar-benar Keh-sim Siauw hiap? Kau yakin benar akan hal itu?” akhirnya pemuda itu menjerit jengkel.
“Siapa lagi selain dia? Hanya Keh-sim Siauw hiap yang selalu mencari aku! Memburu aku! Dan hanya dialah satu-satunya jago silat di dunia yang mampu membunuh sekian banyak tokoh-tokoh dunia persilatan tanpa mengalami kesukaran.
Kawan-kawanku adalah jago-jago silat kelas satu dan lima orang pendatang yang bersenjatakan golok itu juga bukan tokoh-tokoh sembarangan pula. Tapi dalam jangka waktu pendek, mereka telah dibunuh semua tanpa mereka sempat menyaksikan siapa yang telah membunuhnya. Nah, siapakah di dunia ini yang mampu bergerak seperti siluman selain Keh-sim Siauw hiap?” pendekar Li menjawab dengan tidak kalah kerasnya.
“Jangan banyak omong! Yang kumaksudkan dan kutanyakan adalah keyakinanmu! Apakah kau melihat dengan jelas wajah atau rupa Keh-sim Siauw hiap saat itu?” Chin Yang Kun membentak saking mendongkolnya.
“Siapa yang dapat melihat dengan jelas pada waktu malam seperti itu? Apalagi gerakannya demikian cepat seperti setan?” Pendekar Li ikut-ikutan menjawab dengan suara tinggi.
“Oooo... jadi kaupun juga belum yakin sekali, bukan? Tepatnya... kau hanya menduga saja, biarpun dugaanmu itu memang sangat masuk akal dan beralasan sekali!” suara Chin Yang Kun menurun dengan nada kesal.
“Yaa!” Pendekar Li menyahut dengan nada yang tetap keras. “Tapi... dugaan itu benar, bukan? Nah, sekarang tak usah kita ribut dan bertengkar yang tidak karuan! Tanyakan saja kepadanya, benar tidak dia pergi kerumahku malam itu?”
Chin Yang Kun terdiam tak bisa menjawab. Meskipun hati pemuda itu sangat kesal dan mendongkol setengah mati, tapi kata-kata yang diucapkan oleh orang itu memang sangat beralasan dan tidak dapat dipersalahkan.
"Aku memang pergi ke rumahmu malam itu!" tiba-tiba Keh sim Siauw-hiap tak dapat menahan mulutnya lagi. Pendekar itu memang telah berjanji untuk tidak mencampuri urusan mereka. Tetapi melihat Chin Yang Kun menjadi kebingungan dan tak bisa memutuskan sendiri perkara itu, maka Keh-sim Siauw-hiap menjadi tak tega untuk berdiam diri terus-menerus.
"Nah, kau dengar itu?” Pendekar Li hampir bersorak.
“Tapi..... aku tak membunuh mereka!” pendekar dari Pulau Meng-to itu lekas-lekas memberi keterangan. “Ketika aku datang, mayat-mayat itu sudah bergelimpangan di sana."
"Aaa,... itu alasan kuno! Anak kecilpun berkata begitu." Pendekar Li mencemooh.
“Bangsat! Jagalah mulutmu,…!” kini Keh-sim Siauw-hiap yang tidak dapat mengendalikan diri malah. Tangannya diangkat, siap untuk menghajar Pendekar Li. Otomatis Tiat-tung Lo-kai dan yang lain-lain menyebar, mengepung Pendekar Li dan kedua orang pembantunya!
“Tahaan.....!" tiba-tiba Chin Yang Kun berseru. Tubuhnya yang jangkung itu melesat dengan cepat dan berdiri di antara mereka. "Keh-sim Siauw-hiap, biarkan mereka tetap hidup! Kematian mereka tidak akan menjernihkan suasana, tetapi justru akan lebih menggelapkan persoalan ini. Kalau engkau membunuh mereka, hal itu sama saja engkau telah membunuh saksi-saksi terpenting dalam perkara ini. Setiap orang justru akan mencurigai engkau, karena engkau salah seorang terdakwa yang telah membunuh beberapa orang saksi.....”
"Lalu..... apa maumu?"
"Biarlah mereka kita tinggalkan dulu di sini. Aku akan berusaha menyelidiki perkara ini sampai selesai dan menangkap para pelakunya."
"Baiklah, aku takkan membunuh mereka. Tapi tunggu dulu, kau jangan tergesa-gesa pergi dari tempat ini!”
“Ada apa....?" Chin Yang Kun mengerutkan dahinya.
"Aku telah mengenal orang-orang ini untuk beberapa waktu lamanya. Aku telah mengetahui benar sifat dan watak mereka. Oleh karena itu aku berani bertaruh bahwa sepeninggal kita nanti mereka akan segera angkat kaki dan lari terbirit-birit dari tempat ini, sehingga untuk selanjutnya kau akan mengalami kesukaran untuk menemukannya kembali."
“Kurang ajar! Kau benar-benar menghina kami! Kau sama saja mengatakan bahwa kami cuma sekumpulan orang-orang pengecut! Huh, benar-benar tak mau bercermin diri. Kaulah sebenarnya yang pengecut! Berani berbuat tapi tak berani bertanggung jawab! Beraninya cuma dengan orang-orang yang lebih lemah!" Pendekar Li naik pitam.
"Tutup mulutmu!” Chin Yang Kun menghardik. Lalu pemuda itu menoleh ke arah Keh-sim Siauw-hiap dan berkata, "Lalu bagaimana maksudmu?”
"Hmm, apakah kau tak mempunyai barang bukti sedikitpun? Sebenarnya apa yang diceriterakan oleh orang itu banyak sekali kelemahannya. Asal kau mempunyai tanda atau barang bukti, kukira amat mudah untuk mendesaknya agar mau berceritera tentang apa yang sesungguhnya terjadi di dalam rumahnya itu.”
"Aku sudah menceriterakan apa yang telah terjadi di rumahku malam itu! Dan aku tidak bohong! Kaulah yang berbohong!”
“Diam!” Chin Yang Kun membentak, lalu, “Di mana segi kelemahannya? Coba sebutkan!”
"Dia mengatakan dengan yakin bahwa aku telah membunuh semua orang yang ada di dalam rumahnya itu. Tapi coba kaupikir......,kalau orang-orang yang tak kukenal seperti lima orang bergolok itu saja telah aku bunuh semuanya, mengapa justru orang-orang yang kucari-cari seperti mereka ini malah kudiamkan saja? Bukankah hal itu tidak tidak masuk akal?”
“Siapa bilang tidak masuk akal? Mereka kau bunuh karena engkau tidak ingin ada orang luar yang tahu tentang masalah harta karun itu. Dan kau tidak membunuh aku dan kawan-kawanku karena akulah yang menyimpan potongan emas itu! Kalau aku mati, kau akan kehilangan jejak harta karun tersebut! Nah, apa katamu….?” Pendekar Li cepat memotong ucapan Keh-sim Siauw-hiap.
Pendekar dari Pulau Meng-to itu menjadi merah padam mukanya, tapi Chin Yang Kun yang sudah percaya seratus persen kepala kejujuran Keh-sim Siauw-hiap segera menyabarkannya. "Sudahlah! Biarkan saja dia mengoceh tidak keruan! Lalu apa kecurigaanmu yang lain?"
Keh-sim Siauw-hiap menghela napas panjang. “Aku tidak mencurigainya sebenarnya. Aku Cuma heran kenapa orang itu seolah-olah yakin benar bahwa akulah yang membunuh semua orang itu. Sekarang aku malah menjadi khawatir, jangan-jangan memang ada orang yang menyaru sebagai aku malam itu! Ah, andaikata kedatanganku di rumah tersebut bisa lebih awal lagi, mungkin aku dapat menyaksikan semuanya.....”
“Janganlah engkau berpikir yang bukan-bukan! Marilah kita sekarang mengurus orang-orang ini saja! Nah, apa lagi segi kelemahan dari ceritera Pendekar Li tadi yang dapat kita pakai untuk mengusut kebenarannya?” Chin Yang Kun mendesak.
“Banyak sekali sebenarnya. Tapi tanpa barang bukti maupun saksi juga tidak ada gunanya. Semuanya hanya akan berhenti pada kecurigaan-kecurigaan saja.”
“Lalu…..?” Chin Yang Kun menyahut dengan kecewa.
“Sudahlah! Marilah kita tinggalkan tempat ini dahulu! Nanti kita rundingkan cara dan jalan keluar yang paling baik untuk mengusut persoalanmu ini." Keh-sim Siauw hiap berkata perlahan, lalu dia mengajak semua pembantunya agar pergi meninggalkan orang-orang yang mereka kepung tersebut. Dengan wajah penasaran Chin Yang Kun meninggalkan pula tempat itu.
"Wah, hampir saja aku menghadap Gia-lo-ong hari ini....!" Pek-pi Siau-kwi menghela napas lega setelah semuanya pergi meninggalkan halaman itu.
"Benar, akupun juga demikian....." Jai-hwa Toat beng-kwi berdesah keras seakan-akan melepaskan semua ketegangan hatinya. Lalu dengan tersenyum Hantu Cabul itu memandang pada Pendekar Li. "Li Taihiap, kau memang benar-benar hebat! Kau dengan ketabahan hati itu benar-benar telah membuat pemuda itu menjadi bingung dan tak tahu siapa yang harus dipersalahkan. Sampai-sampai seorang pendekar besar seperti Keh-sim Siauw-hiap ikut-ikutan menjadi salah tingkah dan tak tahu apa yang mesti ia kerjakan, hahaha....”
Tapi Pendekar Li tetap diam saja di tempatnya. Orang itu seperti tak mengacuhkan pada sanjungan-sanjungan Jai-hwa Toat-beng-kwi. Malah seperti orang yang sedang memikirkan sesuatu, mulutnya tampak berkemak-kemik mengucapkan sesuatu yang tak didengar oleh kedua orang pembantunya.
“Heran! Sungguh heran.....!” akhirnya keluar juga perkataan yang jelas dari mulutnya.
“Heran? Apakah yang heran?" hampir berbareng Jai hwa Toat-beng-kwi dan Pek-pi Siau-kwi bertanya. Kedua orang ini memandang Pendekar Li dengan wajah tak mengerti.
“Hei, mengapa kalian tidak melihat sesuatu yang aneh dalam peristiwa ini?” Pendekar Li balik bertanya kepada dua orang pembantunya tersebut.
“Apanya yang aneh….?” Jai-hwa Toat-beng-kwi memandang bingung.
Pendekar Li menarik lengan kedua orang itu agar datang lebih dekat. “Eh, bukankah sejak semula yang kita khawatirkan adalah kesaksian dari Keh-sim Siauw-hiap itu? Kita tidak bisa mengelak lagi bila orang itu mengatakan apa yang sebenarnya terjadi di rumah itu. Tapi ternyata dia mengingkarinya….! Hehe, apakah Keh-sim Siauw-hiap itu takut kepada bocah itu pula?”
“Oh ho….benar juga. Padahal dia ikut membunuh pula dua orang diantaranya. Malahan kalau aku tak salah dengar, kedua orang yang dibunuhnya itu justru orang she Chin sendiri!” Jai-hwa Toat-beng-kwi akhirnya sadar juga pada keanehan dari peristiwa tersebut.
“Tapi keadaan itu justru amat menguntungkan kita. Biar saja, yang penting kita sudah selamat.” Pendekar Li tertawa gembira.
“Biarpun tanpa harta karun itu?” Jai-hwa Toat-beng-kwi menatap Pendekar Li dengan tajamnya.
“Ah, biarkan saja harta karun itu. Disinipun kita sudah makmur dan kaya raya, mau apa lagi? Kita pikirkan harta yang belum keruan macamnya itu dengan enteng saja. Kita nikmati dulu apa yang telah kita peroleh ini dengan baik.”
“Tapi… bagaimana kalau pemuda itu mendapatkan bukti atau saksi yang lain?” Pek-pi Siau-kwi tiba-tiba menyela.
"Hah? Maksudmu...." Pendekar Li tersentak kaget.
“Masih ada seorang lagi yang lolos dari kebuasan Keh-sim Siauw-hiap pada malam itu!"
"Siapa?"
"Thio Lung! Pemilik Kim-liong Piauw-kiok. Sahabat kita itu ikut pula di antara kita pada malam mengerikan tersebut." Pek-pi Siau-kwi menerangkan.
“Heh, betul...! Kita harus lekas lekas memberitahukan hal ini kepadanya." Jai-hwa Toat-beng-kwi berteriak kaget.
"Ya, kalian benar! Mari kita berangkat ke Sin-yang untuk menemui saudara Thio!" Pendekar Li menyetujui gagasan itu...