Pendekar Penyebar Maut Jilid 20

Cerita silat Mandarin serial Darah Pendekar seri Pendekar Penyebar Maut Jilid 20 karya Sriwidjono
Sonny Ogawa

Pendekar Penyebar Maut Jilid 20 karya Sriwidjono - DEMIKlANLAH, setelah mempersiapkan segala sesuatunya, mereka berangkat ke kota Sin-yang malam itu juga. Mereka ingin Iekas-lekas menemui sahabat mereka itu untuk memberi tahu agar berhati-hati bila menghadapi Chin Yang Kun.

Novel silat Mandarin karya Sriwidjono Pendekar Penyebar Maut Jilid 20

Sementara itu Keh-sim Siauw hiap telah membawa Chin Yang Kun agak jauh dari rumah Pendekar Li itu. Di tempat yang agak lapang, di tepian sungai mereka berhenti dan berdiri berhadapan. Sedangkan Tiat-tung Hong kai dan yang lain lainnya mengambil tempat agak jauh dari kedua orang itu. Mereka berdiri tenang mengawasi Keh-sim Siauw-hiap serta siap apabila diperlukan.

"Nah, apa yang hendak kaukatakan kepadaku lagi?” Chin Yang Kun bertanya.

"Saudara Chin, apakah kau masih menduga bahwa akulah pembunuh ayah dan pamanmu?"

Chin Yang Kun mengerutkan dahinya sebentar, lalu menggelengkan kepalanya. "Tidak!" katanya tegas. "Untuk sementara kecurigaanku tidak kutujukan kepadamu. Aku percaya pada kata-katamu. Aku sudah lama mendengar tentang kau dan sepak terjangmu, dan aku berpendapat bahwa orang seperti engkau tidak mungkin membunuh wanita, apalagi anak-anak yang tak berdosa seperti anak dan isteri Pendekar Li itu.”

"Terima kasih.” Keh-sim Siauw-hiap menghembuskan napas lega dari dadanya "Sekarang marilah kita pikirkan, apa yang harus kaulakukan agar persoalanmu ini menjadi terang! Terus terang aku sendiri juga ikut menjadi penasaran, karena dalam hal ini ternyata justru sayalah yang menjadi terdakwa pertamanya. Padahal demi langit dan bumi aku tak pernah melakukannya sama sekali!”

"Coba kaukatakan, apa yang harus aku lakukan agar persoalan ini menjadi terungkap dengan jelas?” Chin Yang Kun yang tak ingin berbicara dengan panjang lebar lagi itu cepat memotong perkataan Keh-sim Siauw-hiap.

Pendekar dari Pulau Meng-to itu menatap mata Chin Yang Kun sambil mengusap-usap dagunya yang licin. “Jadi kau benar-benar tidak mempunyai barang bukti atau saksi yang dapat digunakan untuk menangkap si pembunuh itu?”

Chin Yang Kun menggeleng. "Kalau begitu yang harus kaulakukan sekarang adalah mencari barang bukti atau saksi mata dalam peristiwa itu! Terutama yang harus kaudapatkan ialah seorang saksi mata, sebab untuk mendapatkan barang bukti terang sudah tidak mungkin lagi. Peristiwa tersebut sudah berlangsung satu tahun yang lalu, semua benda atau barang bukti yang berkaitan dengan peristiwa itu tentu sudah rusak atau hilang.” Keh-sim Siauw-hiap memberi nasehat.

“Saksi mata yang melihat sendiri peristiwa itu? Hmm, bagaimana aku bisa mendapatkan orang semacam itu? Semuanya telah mati.....” dengan tubuh lemah Chin Yang Kun berbisik perlahan.

“Apakah tidak ada seorangpun dari keluargamu atau sahabatmu, yang ikut dalam rombongan ayahmu itu, yang kira-kira masih hidup atau bisa dimintai keterangan?”

“Keluargaku….? Ahh, mereka sudah mati semua…. ibuku…. adikku…. para pengawal dan pemikul tandu. Siang-hui-houw dan Hek….hei! Benar! Masih…. masih ada! Namanya Hek-mou-sai, pengawal ayahku! Tapi… hmm, orang itu tak berada disana malam itu….” Chin Yang Kun yang hampir bersorak itu kembali tertunduk lagi dengan lemah. “Bagaimana?”

“Ada sebenarnya…. tapi orang itu tidak ada disana pada waktu peristiwa tersebut terjadi. Orang itu mendapat tugas untuk menyelidiki jalan yang menuju ke kota Tie-kwan sejak sore hari….”

Keh-sim Siauw-hiap tertunduk lesu pula. “Kalau begitu kau terpaksa harus mencari saksi mata dari pihak lawan!”

“Pihak lawan....?”

“Ya! Kau harus mencari salah seorang kawan dari Pendekar Li yang ikut berada di rumah itu ketika peristiwa tersebut terjadi! Tentu saja jalan ini akan lebih sukar, tapi kau dapat mencobanya. Ehm, apakah kau sudah tahu siapa-siapa saja kawan dari Pendekar Li yang ikut dalam pertempuran itu?”

“Menurut ceritera Pendekar Li…. orang-orang itu adalah Jai-hwa Toat-beng-kwi, Pek-pi Siau-kwi, Hui-chio Tu Seng, Thio Lung dan lain-lainnya. Pendekar Li tidak menyebutnya satu persatu….”

“Jai-hwa Toat-beng-kwi dan Pek-pi Siau-kwi terang sudah tidak mungkin. Kedua orang tersebut sudah tahu masalah ini. Hui-chio Tu Seng sudah mati. Hai! Tinggal Thio Lung sekarang….! Orang itu tidak terlihat di rumah Pendekar Li tadi. Benar! Sekarang kau harus lekas-lekas menghubungi orang itu di kota Sin-yang! Dia menjadi pengurus dari Kim-liong Piauw-kiok disana.”

“Thio Lung? Baiklah, aku malah sudah mengenal beberapa orang dari para anggota Kim-liong Piauw-kiok itu. Bagus….! Aku akan pergi kesana sekarang juga.” Chin Yang Kun berkata dengan bersemangat.

“Silahkan….! Kami akan selalu membantumu!” Keh-sim Siauw-hiap mengangguk.

“Nanti dulu!” tiba-tiba Tiat-tung Lo-kai mencegat langkah Chin Yang Kun.

“Lo-kai….? Jangan!” Keh-sim Siauw-hiap berteriak.

“Siauw-hiap, bagaimana…. bagaimana dengan ketiga orang anak buahku yang mati itu?” pengemis tua itu seolah-olah meratap di depan Keh-sim Siauw-hiap.

“Biarkanlah dia menuntut balas dahulu atas kematian seluruh keluarganya! Setelah itu kau boleh berhitungan dengan dia. Jadi semuanya biar memperoleh kesempatan!”

“Keh-sim Siauw-hiap, ada apa…?” Chin Yang Kun menoleh ke arah pendekar dari Pulau Meng-to dengan wajah tak mengerti.

Muka yang pucat dan tak bergairah itu melirik kepada Chin Yang Kun sekejap, lalu sambil bergumam sedih ia melangkah pergi. “Balas membalas karena dendam…. ohh, kapan semuanya itu akan berakhir? Saudara Chin pergi untuk mencari musuhnya. Setelah bertemu musuh itu tentu akan kau bunuh juga. Tapi di dalam perjalananmu ketika mencari musuh itu kau telah kesalahan tangan membunuh orang pula. Kini sahabat dari orang yang kau bunuh itu datang pula untuk membalas dendam. Nah... lalu apa gunanya membalas dendam itu? Setiap manusia tentu mempunyai kesalahan, maka bukan kewajibannyalah untuk menghukum orang lain. Sudah ada sendiri. Kekuasaan tertinggi yang mengurus dan berhak menindaknya. Manusia tak perlu campur tangan....”

Suara itu makin lama makin perlahan, dan akhirnya lenyap terbawa angin. Bagaikan orang yang lagi terbius oleh sesuatu yang tak dimengertinya, para pembantu Keh-Sim Siauw-hiap melangkah pergi satu persatu meninggalkan tempat tersebut. Dengan wajah tertunduk mereka mengikuti arah suara Keh-sim Siauw-hiap yang telah pergi jauh.

Sekarang tinggal Chin Yang Kun sendiri yang berdiri mematung di tempat itu. Kata-kata yang keluar dari mulut pendekar ternama itu masih terngiang-ngiang di telinganya. Balas-membalas karena dendam? Apakah gunanya semua itu? Paling-paling hanya untuk kepuasan hati saja, entah itu demi kehormatan dirinya, keluarganya, golongannya atau lainnya.

Nah, kalau jutaan manusia yang berada di dunia ini lalu bertindak sendiri sendiri hanya demi kepuasannya masing-masing tanpa menghiraukan manusia lainnya, apakah jadinya kehidupan ini nantinya? Dunia akan hilang peradabannya, manusia akan hilang kepribadiannya. Manusia tak ubahnya dengan seekor binatang. Siapa kuat, dialah yang menang.... dialah yang benar! Betulkah itu?

Chin Yang Kun menghela napas panjang sekali lalu dengan langkah gontai ia berjalan pula meninggalkan tempat itu. Dan hatinya telah mulai goyah. "Uhh, andaikata Liu toa-ko ada disini....” pemuda itu bergumam sambil membayangkan wajah sahabatnya, Liu toa-ko. Sahabatnya itu juga paling tidak suka akan kekerasan dan kemunafikan, meski dia sendiri hidup sebagai perwira yang selalu bergulat dengan peperangan.

Chin Yang Kun berjalan sambil menunduk, tiba-tiba telinganya mendengar desir angin lembut di mukanya dan ketika wajahnya tengadah ia menjadi kaget. Keh-sim Siauw-hiap yang tadi telah pergi meninggalkannya, kini telah berada di hadapannya lagi. Dengan wajah masih tetap tampak murung pendekar itu memandang kepadanya.

"Saudara Chin, maaf aku telah mengganggumu lagi. Kata Tiat-tung Lo-kai, engkau kemarin berjalan bersama-sama dengan Souw Lian Cu. Betulkah? Lalu kemana gadis itu sekarang?"

Sesaat pipi Chin Yang Kun menjadi merah. Untuk sekejap pemuda itu merasa seperti rahasia pribadinya telah diketahui orang. Tapi setelah melihat wajah di depannya itu tidak menunjukkan sesuatu yang aneh, apalagi wajah yang murung itu justru tampak serius sekali, maka Chin Yang Kun segera sadar bahwa Keh-sim Siauw-hiap tidak bermaksud untuk berolok-olok dengannya.

"Apa.... apakah maksudmu menanyakan dia kepadaku?”

Agak bergetar juga suara Chin Yang Kun ketika menjawab pertanyaan itu, sehingga Keh-sim Siauw-hiap malah merasa heran atas sikap itu. "Begini... dia telah beberapa bulan meninggalkan Pulau Meng-to, dan sampai sekarang belum pulang. Padahal gadis itu agak merasa tidak senang hati ketika meninggalkan rumah."

"Ohh... dia telah lebih dahulu meninggalkan dusun ini tadi pagi. Mungkin.... mungkin dia telah berangkat pulang malah. Apakah dia.... .adikmu?"

"Bukan! Dia puteri sahabatku.... Saudara Chin, terima kasih! Aku berangkat dulu!"

Sekali menjejak tanah tubuh pendekar itu lenyap seperti tertiup angin! Kecepatan bergeraknya benar benar tiada taranya, sehingga Chin Yang Kun yang baru saja berbicara dengan pendekar itu hampir-hampir tak mempercayai penglihatannya sendiri.

“Gadis itu bukan adiknya, tapi puteri dari sahabatnya. Lalu apa hubungannya gadis itu dengan Keh-sim Siauw-hiap? Tunangannya…? Pemuda itu membatin. Lalu tiba-tiba seperti timbul perasaan tidak senang di dalam hati Chin Yang Kun terhadap Keh-sim Siauw-hiap. Tapi apa yang menyebabkan perasaan tak senang itu, Ching Yang Kun sungguh tidak mengerti.

"Persetan dengan gadis itu!" tak terasa bibirnya mengumpat, sehingga ketika sadar pemuda itu menjadi malu sendiri. Untunglah tak ada orang lain yang mendengarnya.


Dengan tergesa-gesa Souw Lian Cu pergi meninggalkan rumah bekas tempat tinggal kakek Piao Liang atau yang lebih terkenal dengan sebutan Kim-mou-sai-ong itu. Gadis itu bermaksud mengejar orang-orang yang pergi ke Pantai Karang sekalian mau pulang ke Meng-to.

Ada sesuatu hal yang membuat Souw Lian Cu ingin lekas-lekas tiba di tempat penyeberangan ke Pulau Meng-to tersebut. Selain ingin lekas-lekas bertemu dengan Keh-sim Siauw-hiap dan mengatakan tentang harta karun itu, dia juga ingin bertemu dengan wanita ayu dari Bing-kauw yang menuduh Hong-lui-kun memperkosa Put-sia Nio-cu itu.

Souw Lian Cu sama sekali tidak mengira kalau pada saat itu Keh-sim Siauw-hiap justru sedang berada di dusun tersebut. Dia hanya mengira bahwa Keh-sim Siauw-hiap cuma mengirim orang-orangnya seperti biasa untuk berurusan dengan pihak Tan wangwe. Urusan tentang harta yang akan dibagi-bagikan kepada para penduduk miskin!

Souw Lian Cu memang tidak ingin menemui Tiat-tung Lo-kai atau yang lain-lainnya, apalagi harus membantu mereka dalam menghadapi Tan wangwe. Sejak gadis itu berada di Pulau Meng-to, dia memang belum pernah ikut campur dalam urusan Keh-sim Siauw-hiap. Di tempat itu Souw Lian Cu hanya sekedar menumpang atau bersembunyi, karena dia belum mau pulang ke rumahnya sendiri.

Sampai di jalan raya Souw Lian Cu segera membuat rencana, apa yang mesti ia kerjakan agar dia dapat cepat tiba di Pantai Karang itu. Waktunya tidak banyak lagi. Besok malam ia sudah harus sampai disana. Padahal orang orang itu telah lebih dahulu satu malam daripada dirinya.

Kalau mengambil jalan darat, dia harus melalui dusun-dusun dan kota-kota kecil yang memutar. Sebab untuk mengambil jalan memintas memang sukar sekali, selain harus menyusup hutan belukar yang sulit dilalui orang, dia harus melintasi bukit dan jurang yang belum pernah dikenal orang. Padahal waktunya tinggal besok malam saja. Maka apabila harus melalui jalan darat, terang dia akan terlambat dan jerih payahnya akan sia-sia.

Satu-satunya jalan yang tak banyak mempunyai resiko hanyalah melalui air. Jika dari sungai yang mengalir di tepi dusun itu dia naik perahu yang pergi menuju ke Sungai Huang-ho, disana dia dengan mudah bisa menumpang perahu yang berlayar ke arah pantai. Dan kalau semuanya berjalan lancer, dia akan sudah tiba di Pantai Karang itu sebelum waktu tengah malam. Hanya persoalannya sekarang adalah mencari perahu yang hari itu mau berangkat ke sungai Huang ho. Adakah perahu dagang atau perahu muatan yang membawa segala macam hasil bumi dari dusun-dusun di lembah itu yang kebetulan mau berangkat ke sungai Huang ho?

Souw Lian Cu langsung menuju ke bandar yang berada tak jauh dari tempat tinggal Kim mouw-sai-ong. Di sana banyak sekali perahu-perahu nelayan ataupun perahu-perahu dagang yang memuat segala macam hasil bumi dan kerajinan dari berbagai daerah, termasuk juga dari daerah itu sendiri.

Perahu-perahu dagang itu selain membeli hasil-hasil daerah setempat, juga sekalian menjual barang-barang yang dibawanya dari daerah lain. Oleh karena itu selain sebagai bandar perahu, tepian sungai tersebut juga berfungsi sebagai pasar yang sangat ramai.

Maka kedatangan Souw Lian Cu di antara mereka benar-benar tidak menarik perhatian sama sekali. Kalau ada satu dua orang yang memandangnya, hal itu cuma karena kecantikannya yang memang sangat mempesonakan atau karena tangannya yang bunting.

Souw Lian Cu masuk ke sebuah rumah makan yang cukup sederhana untuk mengisi perut sekalian mencari keterangan tentang perahu-perahu yang akan ditumpanginya. Meskipun peralatannya kelihatan sangat sederhana, tetapi rumah makan itu ternyata sangat luas dan banyak langganannya.

Selain beberapa buah meja yang berderet-deret di empernya yang luas, ternyata di dalam masih banyak pula meja kursi yang saat itu telah dipenuhi oleh tamu. Mereka terdiri dari orang-orang kota yang bekerja sebagai tukang dayung, nelayan, pedagang dan lain sebagainya.

Souw Lian Cu berdiri di dekat pintu masuk lalu melongok-longokkan kepalanya untuk mencari meja yang kosong. Beberapa orang pelayan yang sangat sibuk itu tak sempat lagi menyambutnya apalagi membawanya ke meja yang kosong. Karena agak lama belum juga dapat melihat tempat yang kosong, maka beberapa orang laki-laki mulai menggoda dirinya. Tapi semuanya itu tidak dipedulikan oleh Souw Lian Cu.

“Disini masih ada satu tempat yang kosong, nona….”

“Atau duduk saja di kursiku ini. Biarlah, aku duduk di lantaipun tidak apa, hahah….!”

“Ah, tidak enak kalau harus begitu… .bila yang lain duduk dikursi, kamu malah duduk di lantai. Mana ada aturan demikian?” kawannya menyahut.

“Lantas bagaimana kalau memang tidak ada tempat duduk yang lain?” yang lain menyambung.

“Biarlah dia duduk di…. pangkuank saja,” dengan tenangnya orang itu tadi menjawab.

“Hahahah…. enakmu!” kawan-kawannya tertawa terbahak-bahak.

“Hehehe…..hihihi!”

Mata yang bersinar-sinar lembut itu tiba-tiba berkilat tajam. Tapi sejenak kemudian mata itu kembali redup. Agaknya gadis itu tak mau berselisih hanya karena tukang-tukang dayung yang kasar seperti mereka. Sambil menghela napas Souw Lian Cu membalikkan badannya, mau keluar mencari rumah makan yang lain.

Tapi kalau memang sudah ditakdirkan untuk marah, tiba-tiba dari luar pintu muncul empat orang kasar lagi yang menghalangi jalannya. Dengan lagak yang menjemukan empat orang itu pringas-pringis di depan Souw Lian Cu, memperlihatkan gigi-giginya yang besar dan kuning.

“Eeiit, nanti dulu….! Jangan buru-buru kabur dari sini, oh, burung hong-ku yang cantik!”

Keempat orang yang bertampang kasar itu melangkah maju bersama-sama dan mendesak Souw Lian Cu masuk ke dalam ruangan lagi. Empat pasang tangan mereka yang kasar dan berjari-jari besar itu teracung ke depan, seolah-olah mau berebut dulu menggerayangi tubuh Souw Lian Cu.

“Diamlah, anak manis….! Jangan takut, kami tak akan menyakitimu…..haha!”

“Hahaheheh…..harap semua berhenti makan dulu! Sekarang acara kita diselingi sebentar dengan pertunjukan empat kucing besar memburu tikus kecil, hahahahehehihih….!” Salah seorang laki-laki yang mula-mula menggoda Souw Lian Cu tadi berteriak sambil berdiri di atas kursinya.

Suasana dalam rumah makan itu menjadi ribut. Orang-orang kasar yang terdiri dari para tukang dayung, nelayan dan pekerja-pekerja pengangkut barang itu bukannya kasihan melihat gadis itu diganggu oleh rekan mereka, sebaliknya mereka bersorak gembira, seolah-olah mereka mendapat hiburan yang menyenangkan malah! Semua orang berdiri dari tempat duduk mereka dan bertepuk tangan memberi semangat kepada empat orang kawan mereka yang mengepung Souw Lian Cu itu.

Langkah Souw Lian Cu terhenti ketika tiba-tiba punggungnya telah terantuk tiang rumah. Otomatis gadis itu tak bisa mundur lagi. Sebenarnya tak ada minat dalam hati Souw Lian Cu untuk melayani kekurangajaran mereka. Mereka adalah orang-orang kasar yang telah terbiasa berbuat kasar, padahal sebenarnya mereka adalah orang-orang polos yang tidak tahu apa-apa. Mereka hanya sekedar mengandalkan otot-otot mereka yang kokoh dan kekar!

Oleh karena itu dia tidak ingin melawan mereka, apalagi sampai harus menyentuh tubuh orang-orang itu. Dia hanya mau menunjukkan sesuatu kepada orang-orang itu, bahwa ia bukanlah seorang gadis biasa yang mudah diganggu atau dipermainkan oleh orang-orang kasar semacam mereka.

Tapi sebelum gadis itu mempertunjukkan kepandaiannya, dari ruangan yang sebelah dalam lagi muncul seorang pemuda tampan berpakaian mentereng indah! Pemuda itu masih berusia amat muda, mungkin Cuma berselisih dua tiga tahun dengan Souw Lian Cu. Pada pinggangnya yang sebelah kiri tergantung sebuah golok, dimana sarung goloknya dihiasi emas permata yang gemerlapan.

Dari dalam ikut muncul pula di belakang pemuda itu seorang gadis cantik molek yang pakaiannya tidak kalah mewahnya dengan pemuda yang lebih dulu muncul. Berbeda dengan pemuda di depannya yang membawa golok pada pinggangnya, gadis itu hanya membawa sebuah kipas yang selalu digenggam di tangan kanannya.

Hanya saja kalau diperhatikan dengan lebih cermat, orang akan segera melihat bahwa kipas itu bukanlah sebuah kipas biasa yang terbuat dari kertas atau kayu, tetapi sebuah kipas khusus yang terbuat dari lempengan baja yang sangat kuat dan tajam!

“Jangan kurang ajar!” pemuda itu membentak orang-orang yang mengganggu Souw Lian Cu.

Seketika suara yang riuh itu berhenti! Dengan wajah heran orang-orang kasar itu memandang ke dalam, ke arah sepasang muda-mudi yang berwajah elok tersebut. Mulut mereka ternganga seperti melihat dewa yang turun ke bumi. Orang-orang kasar itu memang tidak biasa melihat orang-orang kota yang berpakaian indah dan anggun seperti kedua muda-mudi itu, apalagi pakaian yang dihiasi dengan emas permata seperti itu!

"Ooohho..... ada seorang dewa yang turun kebumi untuk mempersunting seorang gadis dusun rupanya, haha-hehe.....!" salah seorang dari empat orang kasar yang mengganggu Souw Lian Cu tertawa mengejek.

"Hahaheheh..... kali ini kau terpaksa harus mengalah, Lo Houw (Macan Tua)!” kawannya menepuk punggung orang itu dengan tertawa pula. "Lihat! Sebuah gelangnya saja bisa untuk membeli nyawa orang seisi warung ini, hohoho.....!”

"Benar!” pemuda itu tiba-tiba berkata sambil melepaskan sebuah gelang dari tangannya, sebuah gelang emas yang harganya tentu sangat mahal sekali. Mungkin bisa untuk membeli rumah makan itu beserta seluruh isinya. “Gelang ini memang bisa untuk membeli kepala kalian semua! Oleh karena itu gelang ini akan kuberikan kepada kalian agar kalian tidak mengganggu gadis itu!”

“Koko, jangan....! kenapa gelang pemberian ayah itu kau berikan pada orang-orang kasar seperti mereka?” mendadak gadis cantik yang tidak lain adalah Tiau Li Ing itu berteriak mencegah maksud kakaknya.

“Biarlah, di rumah masih banyak yang lain,” pemuda itu berkata sambil tetap melemparkan gelang tersebut ke arah kerumunan orang-orang kasar itu. “Nona! Kau kemarilah....!” pemuda tampan itu berteriak ke arah Souw Lian Cu.

“Huraaa.....!” seluruh orang yang berada di dalam rumah makan itu bersorak. Tanpa memikirkan apa akibatnya, semua berloncatan dari kursinya dan berlari menerjang ke arah jatuhnya gelang emas tadi. Bagaikan kerumunan semut yang merubung sebutir sisa makanan orang-orang itu tumpang-tindih tak beraturan!

Mereka saling mencakar, menggigit, memukul, menendang orang yang terdekat, sehingga suasana rumah makan itu benar-benar kacau balau tidak karuan. Mereka menghancurkan meja, kursi, barang pecah belah dan lain-lainnya. Pemilik rumah makan itu beserta pelayannya juga sudah lupa kepada miliknya sendiri, mereka ikut tunggang-langgang berebut dengan orang-orang itu.

Sementara itu Souw Lian Cu cepat-cepat menghindar dari kebuasan orang-orang kasar itu. Dengan tenang gadis itu menyusup ke dalam, menemui dua orang kakak beradik yang kaya raya tersebut.

“Marilah, nona, silahkan masuk! Marilah duduk bersama di meja kami!” pemuda tampan itu menyapa dan mempersilahkan masuk.

Tapi Souw Lian Cu menjadi terkejut ketika berhadapan dengan gadis cantik yang berdiri di belakang pemuda itu. Pikirannya segera melayang ke kuil Im-yang-kauw yang berada di lereng Bukit Delapan Dewa. Kemudian wajah Chin Yang Kun yang sangat menyebalkan itupun melintas dalam ingatannya, tapi wajah yang terbayang dalam ingatannya itu tampak sedang kesakitan karena baru saja dilukai oleh paman gadis cantik yang kini berada di depannya ini. Tung-hai Nung-jin!

Souw Lian Cu segera mengenali gadis itu sebagai gadis cantik yang dahulu pernah datang bersama Tung-hai Nung-jin ke kuil di Bukit Delapan Dewa itu, karena pada waktu itu dia turut pula menyaksikan pertempuran antara Tung-hai Nung-jin tersebut dengan Tong Ciak Cu-si. Tapi karena pada saat itu Souw Lian Cu menonton pertempuran tersebut bersama-sama dengan para anggota Im-yang-kauw yang lain, maka gadis cantik itu tak sempat melihatnya.

“Hei, kenapa....?” pemuda itu bertanya ketika melihat Souw Lian Cu agak tertegun melihat adiknya. “Ini adikku....” pemuda itu memperkenalkan kepada gadis itu.

“Tidak apa-apa, terimakasih....! Terima kasih!” Souw Lian Cu mengangguk-angguk.

Pemuda itu bersama dengan adiknya mengajak Souw Lian Cu masuk ke dalam. Tapi baru saja mereka melangkah, dari dalam telah keluar seorang kakek kurus berpakaian mewah pula seperti kedua orang kakak beradik itu. Dibelakang kakek kurus tersebut mengikuti tiga orang laki-laki berwajah kasar dan keras seperti penjahat.

“Eh, paman Phang Kui.....” pemuda tampan itu tersenyum menyambut orang tua tersebut.

“Heh! Ada apa ramai-ramai ini? Mengapa orang-orang di luar itu pada ribut benar?”

“Paman, lihat tuh diluar....! Kiat Su koko baru saja mengobral perhiasannya lagi.” Tiau Li Ing mengadu kepada orang tua itu, yang tidak lain adalah Tung-hai Nung-jin. Sedangkan tiga orang yang berdiri di belakang orang tua itu tidak lain adalah Tung-hai Sam-mo!

“Ah, cuma sebuah gelang emas saja, paman...” kakak si gadis yang bernama Tiau Kiat Su itu membela diri.

“Memang harta seperti itu tidak berarti banyak bagi kita. Tapi apakah kau tidak memikirkan akibatnya? Apakah kau tidak membayangkan bahwa orang-orang itu akan menyusahkanmu nantinya?”

“Bagaimana bisa orang-orang kasar seperti itu dapat menyusahkan aku, paman?”

“Kau ini memang belum dapat berpikir matang, Kiat Su. Sudahlah... sekarang marilah kita lekas-lekas pergi dari tempat ini sebelum orang-orang itu mengerumuni kita! Li Ing, Sam-mo, ayoh kita kembali ke perahu!”

“Baik, susiok! Su-te, su-moi... mari kita pergi Jangan membikin marah susiok!” orang tertua dari Tung-hai Sam-mo menoleh sebentar kepada Kiat Su dan Li Ing, lalu melangkah pergi diikuti oleh dua orang adik seperguruannya yang lain.

Kiat Su memandang Souw Lian Cu, kemudian tersenyum dan mengangkat pundaknya. "Mereka adalah paman dan suhengku. Yang tua tadi pamanku, sedang tiga orang yang serem-serem itu murid ayahku. Mereka memang suka marah-marah dan terlalu berhati-hati sekali. Marilah kau turut kami saja! Kalau ada disini terus, kau akan diganggu oleh orang-orang itu lagi. Marilah, nona...eh, maaf.... bolehkah aku tahu namamu?"

"Terima kasih, namaku Souw Lian Cu. Biarlah aku meneruskan perjalananku sendiri saja. Silahkan saudara cepat-cepat meninggalkan rumah makan ini! Perkataan pamanmu tadi memang benar, orang-orang kasar itu akan menyusahkanmu nantinya.”

“Koko, ayolah....! Paman tentu akan marah kalau kita terlalu lama disini nanti.” Li Ing ikut mendesak kakaknya.

“Ah, kalian ini sama saja dengan orang tua itu. Menyusahkan? Apanya yang menyusahkan? Apa berbahayanya orang-orang kasar seperti mereka?”

Souw Lian Cu saling pandang dengan Tiau Li Ing. “Berbahaya memang tidak! Aku percaya saudara tidak akan membutuhkan banyak waktu untuk membasmi mereka. Sekali cabut saja golok yang berada di pinggang saudara itu, mereka akan bergelimpangan tak bisa bangun lagi! Tetapi apa akibatnya setelah itu? Saudara akan dikejar-kejar dan dicari-cari oleh para petugas kerajaan, lalu para pendekar dan para jago silatpun kemungkinan besar juga akan menguber-uber saudara.

"Nah, apakah enaknya hidup demikian? Mungkin saudara memang tidak takut, tapi bukankah kehidupan saudara tidak akan bebas seperti burung di udara lagi? Setiap saat dan setiap waktu saudara harus selalu waspada, hati selalu waswas dan curiga, karena setiap saat orang yang menguber-uber saudara bisa datang. Padahal saudara belum mengenal para petugas kerajaan, pendekar atau yang lain, yang memburu saudara itu...." tiba-tiba saja Souw Lian Cu berkhotbah seperti pendeta di hadapan para muridnya, sehingga Kiat Su dan Li Ing menjadi terheran-heran.

“Nona Souw, kau.....?” Kiat Su ternganga mulutnya.

Kedua kakak beradik itu memang tidak menyangka sama sekali kalau gadis buntung yang baru saja mereka tolong, yang tadi kelihatan ketakutan ketika dikerumuni orang-orang kasar itu, dapat mengeluarkan kotbah seperti itu. Memang setelah mendengarkan ucapan-ucapan gadis itu tadi, hati mereka menjadi sadar, tetapi yang masih sangat mengherankan mereka adalah ucapan-ucapan tersebut.

Mereka tak mengira bahwa ucapan-ucapan seperti itu keluar dari mulut seorang gadis dusun yang masih muda belia dan kelihatan sangat lemah ini. Pantasnya ucapan-ucapan seperti itu tentu dikeluarkan oleh seorang dewasa, yang telah matang baik jiwa maupun pengalamannya.

Souw Lian Cu mengangguk sambil sekali lagi menyatakan rasa terima kasihnya, lalu bergegas meninggalkan ruangan itu pula. Tinggallah kini kedua kakak beradik itu yang masih saling memandang dengan dahi berkerut.

“Ko-ko, agaknya perbuatanmu kali ini benar-benar salah alamat! Aku berani bertaruh gadis itu tadi tentu bukan gadis sembarangan. Kelihatannya saja amat lemah, tapi kukira kepandaiannya tidak kalah dengan kepandaianmu.”

“Tapi mengapa dia diam saja ketika diganggu oleh orang-orang kasar itu?”

“Apakah kau sudah lupa pada perkataannya tadi? Ia tak ingin dikejar-kejar dan dimusuhi oleh banyak orang. Gadis itu ingin hidup bebas seperti burung di udara.”

Kiat Su tercenung dan menundukkan kepalanya. Dalam hati pemuda itu membenarkan ucapan gadis aneh tersebut. Tapi begitu ia mau membuka mulut untuk mengajak adiknya meninggalkan tempat itu pula, tiba-tiba dari luar terdengar suara ribut-ribut orang-orang kasar tadi yang hendak memasuki ruangan itu.

"Ayo kita meminta lagi kepada pemuda itu. Ayoh...!”

"Yaa, kita minta saja kepadanya....!”

"Kalau tidak boleh kita sikat saja semuanya....!”

Kiat Su saling memandang dengan Li Ing. Seperti mendapat aba-aba mereka berdua segera meloncat melalui jendela dan kabur dari tempat itu. Keduanya segera berlari menuju perahu mereka yang berlabuh tidak jauh dari tempat itu.

“Nah, benar juga kata-kata gadis buntung itu.” Li Ing tertawa diantara langkah kakinya. “Belum juga membunuh kita sudah berlari-lari dikejar orang, hi-hi....apalagi kalau kita sudah membasmi mereka tadi.”

“Sudahlah, jangan banyak omong! Apakah kau sendiri juga tidak suka membunuh orang? Coba kau hitung, berapa banyak manusia tak berdosa yang telah menjadi korban kipasmu itu?”

Ternyata mereka berdua telah lama dinantikan oleh ketiga orang suhengnya itu. Maka, setelah keduanya naik ke atas perahu, perahu itupun segera berangkat. Beberapa orang kasar yang sudah berlarian sampai di pinggir sungai tampak mengacung-acungkan kepalan mereka sambil berteriak-teriak marah.

Sementara rombongan keluarga bajak laut dari Laut Timur itu berangkat meninggalkan dusun Ho-ma cun, Souw Lian Cu juga telah jauh meninggalkan tempat tersebut. Gadis itu tak mau lagi berurusan dengan tukang tukang perahu yang kasar, oleh karena itu dengan nekad dia berlari menyusuri sungai tersebut kearah hilir. Dalam hati Souw Lian Cu berharap, siapa tahu malah ada perahu nelayan yang dapat ia tumpangi nanti. Toh mesti banyak perahu yang berlayar di atas sungai itu.

Ternyata harapan Souw Lian Cu untuk memperoleh tumpangan perahu itu tak pernah terlaksana. Memang banyak perahu yang lewat, tapi semuanya tentu sudah sarat dengan muatannya sendiri. Atau kalau ada perahu nelayan yang Iewat mereka tak mau membawa Souw Lian Cu sampai ke muaranya, yaitu Sungai Huang ho! Tujuan itu terlalu jauh bagi mereka, sehingga gadis itu terpaksa tidak jadi menumpang perahu-perahu nelayan tersebut.

Sungai itu mengalir menembus tengah-tengah hutan sekarang, maka Souw Lian Cu semakin sukar untuk mengikutinya. Meskipun begitu ada keuntungannya juga. Matahari yang telah mencapai puncaknya itu tak mampu membakar kepalanya sebab pohon-pohon besar yang tumbuh rindang di kanan kiri sungai itu telah memayunginya.

Aliran sungai itu membentuk sebuah telaga kecil di tengah-tengah hutan lebat itu sebelum mengalir kembali ke tujuannya. Telaga itu mempunyai garis tengah kira-kira lima atau enampuluh meter. Memang tidak begitu lama! Airnyapun juga tidak dalam, kira-kira cuma satu atau satu setengah meter saja. Maka batu batu besar yang banyak terdapat di dalamnya tampak bertonjolan pada permukaan airnya.

Bagian tepi dari telaga kecil tersebut merupakan pasir landai yang agak luas, sehingga permukaan air telaga itu tidak terjangkau oleh rindangnya daun-daun pepohonan yang mengelilinginya. Maka wajah matahari yang bersinar terik di tengah hari itu dapat langsung berkaca pada permukaannya. Bersih dan terang menyilaukan!

Souw Lian Cu yang sudah merasa kelelahan itu langsung mencuci tangan dan kakinya di air yang dangkal tersebut. Lalu sambil menghela napas segar gadis itu menjatuhkan dirinya di pasir yang empuk. Dengan beralaskan kedua belah lengannya Souw Lian Cu berbaring melepaskan semua kepenatannya. Sekarang baru terasa kalau perutnya belum diisi sejak pagi tadi. Tapi di tengah-tengah hutan begini, ke mana dia dapat memperoleh makanan?

Souw Lian Cu jadi teringat pada rumahnya sendiri. Rumah yang dihuninya dengan ayahnya, karena ibunya telah tiada di dunia ini semenjak ia masih berusia dua tahun. Rumahnya itu juga dibangun di dekat sungai dan di daerah yang terpencil pula seperti tempat ini. Hanya bedanya aliran sungai yang mengalir tak jauh dari rumahnya itu berasal dari sebuah air terjun yang letaknya juga tidak begitu jauh dari rumah tersebut.

Dia merasa tenang, tenteram, damai dan bahagia tinggal di rumah itu meskipun ia cuma hidup berdua saja dengan ayahnya. Ayahnya sangat memanjakannya, sangat menyayanginya, sehingga kadang-kadang ia merasakan dirinya seperti seorang bayi yang harus selalu ditolong oleh ayahnya dalam segala hal.

Dan ketika pada suatu hari ia memprotes perlakuan ayahnya itu, dengan sedih ayahnya mengatakan bahwa semua itu dilakukan untuk menebus perasaan dosa dan perasaan bersalah ayahnya terhadap dia. Sebagai seorang ayah, ayahnya itu merasa sangat berdosa besar terhadap Tuhan karena telah menerlantarkan anaknya sendiri hampir sepuluh tahun lamanya. Biarpun hal itu juga bukan kesalahan ayahnya, sebab ayahnya sakit ingatan saat itu.

"Ayah......" Souw Lian Cu berbisik menyebut nama ayahnya. Matanya terpejam, seolah mau membayangkan wajahnya yang telah dia tinggalkan lagi dua tahun yang Ialu. Wajah ayahnya itu tentu sangat sedih, karena dia tinggal kabur selama ini. Memang, pertemuan antara Souw Lian Cu dan ayahnya itu ternyata tidak berlangsung lama.

Mereka bertemu kembali enam tahun yang lalu, saat Souw Lian Cu masih berusia sebelas tahun! Dan empat tahun kemudian Souw Lian Cu telah kabur pula kembali dari rumahnya. Jadi kedua orang ayah dan anak itu hanya bisa menikmati pertemuan mereka di rumah terpencil itu selama empat tahun saja.

Dalam tahun-tahun pertama pertemuan antara Souw Lian Cu dan ayahnya itu memang terasa sangat berbahagia, tenang dan damai. Tapi kebahagiaan tersebut lantas menjadi goyah ketika Souw Lian Cu mulai mengetahui bahwa ayahnya ternyata menyimpan sebuah rahasia.

Mulai tahun yang ke empat, sejak gadis itu sering kali mendengar igauan ayahnya di waktu malam, Souw Lian Cu mulai mengerti bahwa ayahnya ternyata mempunyai hubungan batin lagi dengan seorang wanita. Dan wanita yang selalu menjadi igauan ayahnya itu telah dikenal oleh Souw Lian Cu pula, karena wanita ayu itu telah beberapa kali melempar budi kepadanya.

Meskipun selama itu ayahnya tak pernah mengatakan bahwa dia akan kawin dengan wanita itu, tapi Souw Lian Cu benar-benar tak menyukai keadaan ayahnya tersebut. Gadis itu menganggap bahwa ayahnya telah mulai mengkhianati mendiang ibunya. Dan hal ini benar-benar amat dibencinya!

Maka ketika pada suatu hari ada seorang laki-laki datang membawa wanita ayu itu ke rumahnya, pikiran Souw Lian Cu menjadi pepat dan kesal bukan main. Tanpa banyak cing-cong lagi gadis itu segera kabur meninggalkan rumahnya. Gadis itu bahkan tak mau minta diri dahulu kepada ayahnya, karena gadis itu tak mau melihat atau menyaksikan pertemuan antara ayahnya dengan wanita tersebut.

Begitulah, tanpa membawa bekal uang ataupun pakaian Souw Lian Cu berkelana seorang diri menjelajah desa dan kota dengan hati sedih. Berhari-hari ia tak makan secara teratur, karena ia hanya mengisi perutnya kalau secara kebetulan dia dapat memperoleh binatang buruan.

Untuk meminta makanan kepada penduduk ia malu, tapi kalau harus membeli makanan sendiri ia tidak mempunyai uang. Jangankan untuk makan, sedangkan untuk berganti pakaian saja ia tak bisa! Terpaksa bila pakaian sudah bau kecut, gadis itu pergi ke sungai yang sunyi untuk mencucinya.

Sebenarnya bisa saja gadis itu mempergunakan kepandaiannya yang sangat tinggi itu untuk mendapatkan uang atau pakaian, tapi karena sejak kecil dia memperoleh pendidikan budi pekerti baik, maka rasanya tak tega gadis itu melakukannya. Dia merasa lebih baik menerima saja nasib yang sekarang sedang menimpanya. Gadis itu seolah-olah sudah tak punya gairah lagi untuk hidup.

Apalagi jika mengingat pada ayahnya, satu-satunya keluarga yang masih dipunyainya, kini tentu sudah bersanding berbahagia dengan wanita yang datang itu! Padahal apa yang dituduhkan oleh Souw Lian Cu kepada ayahnya itu sebenarnya tak benar sama sekali. Andaikata saja gadis itu mau menunggu.

Menunggu dan melihat, apa sebetulnya yang terjadi setelah laki-laki dan wanita itu bertemu dengan ayahnya, mungkin Souw Lian Cu benar-benar akan menyesal bukan main! Dan mungkin Souw Lian Cu tidak akan sesengsara itu keadaannya. Sebaliknya gadis itu tentu akan segera menyadari kesalah-tafsirannya.

Tapi takdir memang menghendaki demikian. Souw Lian Cu harus berpisah lagi dengan ayahnya, mengembara terlunta-lunta tak ubahnya seorang gelandangan yang tiada sanak maupun saudara. Tiap hari gadis itu cuma berjalan menyusup desa menjelajah kota tak tentu tujuan, sampai-sampai soal kesehatannyapun tak dia hiraukan sama sekali! Jiwanya benar-benar sudah patah. Semangat hidupnya juga telah hilang.

Maka tak heran kalau akhirnya Souw Lian Cu jatuh sakit. Benar-benar sakit! Bagaimanapun tinggi kepandaiannya, tapi karena jiwanya telah rapuh, apalagi ditambah jarang makan dan minum teratur, maka tetap saja tubuhnya itu tak kuat bertahan lagi. Dan dalam keadaan sakit dan lemah itu Souw Lian Cu tetap berjalan, meskipun lambat dan tertatih-tatih.

Gadis itu tidak ingin mati di tengah-tengah masyarakat desa atau kota, sehingga nanti dikira seorang gelandangan atau pengemis yang mati kelaparan, tapi gadis itu ingin mati di tempat sunyi dan tak seorangpun manusia yang melihatnya. Oleh karena itu Souw Lian Cu berjalan tersaruk-saruk ke daerah perbukitan dan hutan belantara.

Entah di hutan mana gadis itu tak tahu, tapi pada suatu hari ia dicegat oleh sekawanan perampok yang mau mengganggu dan memperkosanya. Dalam keadaan biasa, biar sepuluh kali lipat kekuatan mereka, semuanya takkan menang melawan Souw Lian Cu. Tapi karena keadaannya sudah benar-benar amat parah, maka jangankan untuk melawan sedang untuk menjaga agar tetap berdiri saja sudah amat sukar.

Oleh karena itu dengan mudah sekali kawanan perampok itu membelejeti pakaiannya hingga telanjang bulat dan berebutan untuk lebih dulu memperkosanya. Tubuh Souw Lian Cu yang telanjang bulat itu ditarik ke sana ke mari untuk rebutan para perampok tersebut. Pada saat yang gawat itulah datang Keh-sim Siauw-hiap menolong gadis tersebut.

Secara kebetulan pendekar yang sangat terkenal itu lewat di tempat itu dan menolong Souw Lian Cu! Saking marahnya seluruh kawanan perampok itu dibabat habis oleh Keh-sim Siauw-hiap! Tak seorangpun dibiarkan hidup. Kelakuan mereka yang sangat biadab itu benar-benar tak diampuni oleh Keh-sim Siauw-hiap.

Begitulah, akhirnya Souw Lian Cu dirawat dan dibawa pulang ke Pulau Meng-to oleh Keh-sim Siauw-hiap. Di atas pulau kecil yang indah bagai sorga itu Souw Lian Cu tinggal bersama-sama para pembantu Keh-sim Siauw-hiap yang semuanya adalah wanita dan masih gadis-gadis pula. Dan anehnya, semua gadis-gadis pembantu Keh-sim Siauw-hiap itu rata rata mempunyai latar beIakang atau pengalaman yang sama dengan Souw Lian Cu.

Mereka rata-rata sampai ke tempat itu karena ditolong dari lembah kesengsaraan atau diselamatkan dari maut oleh Keh-sim Siauw-hiap! Dan gadis-gadis itu sengaja dibawa oleh pendekar terkenal tersebut, karena mereka sudah tak mempunyai keluarga atau tempat tinggal lagi.

Di atas pulau tersebut, selain memperoleh pelajaran ilmu silat dari Keh-sim Siauw-hiap sendiri, para gadis itu bertugas mengurus dan menyiapkan segala keperluan Keh-sim Siauw-hiap yang jarang sekali keluar dari kamarnya. Begitu jarangnya pendekar itu keluar dari kamarnya sehingga kalau mengajar silatpun hanya dari balik kerei penutup pintunya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pendekar tampan yang punya nama besar itu menderita patah hati yang sangat parah sebelum pergi menyendiri di pulau tersebut.

Sebulan kemudian Souw Lian Cu telah sehat kembali seperti sediakala. Tapi selama itu pula gadis itu tak pernah bertemu atau melihat Keh-sim Siauw-hiap. Yang merawat dan menemaninya setiap hari hanyalah gadis-gadis para pembantu dari Keh-sim Siauw-hiap itu saja. Hanya kadang-kadang datang empat gadis kepercayaan Keh-sim Siauw-hiap ke kamarnya, yaitu dua pasang gadis yang disebut Siang In dan Siang Yen oleh teman-temannya.

Dan Souw Lian Cu cepat akrab pula dengan mereka. Dari empat orang itulah Souw Lian Cu mengenal dan mengetahui siapakah sebenarnya orang yang telah menolong dirinya dari bahaya maut itu dan apa saja yang terjadi ketika dirinya diperebutkan oleh sekawanan perampok yang hampir saja akan memperkosanya itu. Souw Lian Cu dibawa ke pulau itu dalam keadaan lemah dan kalut baik jiwa maupun raganya.

Hanya karena ketekunan Keh-Sim Siauw-hiap saja gadis itu dapat hidup sehat kembali seperti sedia kala. Biarpun luka yang sebenarnya, yaitu luka parah di relung hatinya, belum terobati sama sekali! Maka tak heran bila sifatnya yang semula memang sudah amat pendiam itu menjadi semakin tampak tertutup, kaku dan murung! Dan menjadi semakin lengkaplah penghuni pulau sorga itu dengan orang-orang aneh yang bersifat kaku, tertutup dan menyendiri!

Tempat yang jauh dari dunia ramai itu terasa semakin cocok bagi Souw Lian Cu untuk bersembunyi dan mengubur kenangan masa lalunya yang tak pernah berbahagia. Bayangan tentang ayahnya dihapuskannya sama sekali dari dalam ingatannya. Kehidupan sehari-harinya dia lalui dengan tak bergairah, dingin dan hati yang kosong sama sekali, seolah-olah apa yang dia jalani di atas pulau tersebut cuma menunggu hari akhir yang akan datang menyambutnya.

Rasanya memang aneh sekali. Mengherankan malah! Masih semuda itu usia Souw Lian Cu, masih muda belia sekali malah, tapi perkembangan hati, jiwa dan perasaannya sudah demikian jauh dan dalam sekali. Oleh karena itu, sorot mata dan sikapnya sudah tampak demikian dewasa dan matang sekali, benar-benar sangat bertolak belakang dengan umur dan wajahnya yang masih muda belia tersebut.

Sifat dan gaya hidup yang dilakukan oleh Souw Lian Cu itu ternyata juga tak diacuhkan atau diperdulikan oleh penghuni-penghuni pulau lainnya. Biarpun setiap harinya mereka akrab satu sama lain, tapi mereka benar-benar tak mau tahu urusan pribadi masing masing. Sehingga sepintas lalu kehidupan di atas pulau itu bagaikan sekumpulan robot atau boneka yang bekerja tolong-menolong satu sama lain, namun tak berhati dan berperasaan sama sekali.

Setahun sudah Souw Lian Cu tinggal di pulau mimpi itu dan selama itu pula Souw Lian Cu tidak pernah keluar dari pulau tersebut. Souw Lian Cu tak pernah pergi ke daratan untuk mengurus segala macam urusan seperti yang dilakukan oleh gadis-gadis pembantu Keh-sim Siauw-hiap lainnya. Souw Lian Cu juga tidak pernah belajar silat seperti gadis-gadis itu, sehingga tak seorangpun mengetahui bahwa sebenarnya kepandaiannya sangat tinggi, mungkin tak berselisih banyak dengan Keh-sim Siauw-hiap sendiri.

Anehnya meski sudah setahun di pulau tersebut, satu kali pun belum pernah Souw Lian Cu bertemu ataupun saling berbicara dengan Keh-sim Siauw-hiap, orang yang menolongnya! Masing-masing tenggelam dalam benteng kemurungannya sendiri-sendiri. Hanya kadang-kadang saja Souw Lian Cu melihat Keh-sim Siauw-hiap dari jauh, yaitu kalau pendekar besar itu sedang menemui tamunya.

Keduanya, Keh-sim Siauw-hiap maupun Souw Lian Cu, seakan-akan sudah melupakan satu sama lain. Seolah-olah pendekar itu juga sudah lupa sama sekali bahwa dia pernah menolong dan membawa gadis itu ke pulaunya. Bagi Keh-sim Siauw-hiap hal itu mungkin saja memang benar, mengingat begitu banyaknya gadis yang dia tolong dan dia bawa ke pulaunya itu. Lain halnya dengan Souw Lian Cu.

Meskipun selama ini gadis itu hidup dengan hati kosong dan tak acuh pada keadaan sekelilingnya, tapi pertolongan dan budi baik pendekar berhati murung itu tak pernah dilupakannya. Mungkin perasaannya itu tak berbeda juga dengan gadis-gadis lain yang berada di atas pulau tersebut.

Para gadis itu semula juga tak perduli dan tak mengacuhkan siapa pun juga. Hanya ada setitik rasa terima kasih kepada penolong mereka itu. Itu saja, lain tidak! Tapi setelah beberapa tahun tinggal di tempat terasing itu dan mengetahui keadaan Keh-sim Siauw hiap yang sebenarnya, serta mengetahui pula akan sepak-terjangnya yang mulia, rata-rata perasaan terima kasih itu lalu berkembang atau bertambah dengan lain lain perasaan lagi. Rata-rata semuanya menjadi hormat, kasihan, kagum, sayang, cinta, dan tak ingin membiarkan atau melihat pendekar itu selalu bermuram durja!

Apa yang terasa di dalam hati gadis gadis pembantu Keh sim Siauw hiap itu ternyata kemudian juga timbul dan berkembang di dalam sanubari Souw Lian Cu. Meskipun dalam setahun itu ia tak pernah bertemu atau bercakap cakap sendiri dengan Keh sim Siauw-hiap, namun segala macam cerita dan dongeng tentang pendekar tersebut selalu didengarnya dari gadis gadis itu.

Rata-rata semua cerita yang didengar oleh Souw Lian Cu itu tentu berkisar tentang kepahlawanan, kebaikan budi atau kemuliaan hati Keh-sim Siauw hiap terhadap siapa saja, terutama kepada kaum lemah dan miskin. Sehingga tanpa terasa bayangan yang amat menyenangkan dan mengagumkan seperti itu semakin lama semakin terpateri di hati Souw Lian Cu, dan akhirnya menimbulkan perasaan simpati yang mendalam.

Dan perasaan seperti itu ternyata semakin lama semakin erat membelit hati Souw Lian Cu, sehingga gadis yang semula amat pemurung dan tak bergairah hidup itu kini mulai tampak bercahaya kembali. Ternyata perasaan cinta dan memikirkan orang lain itu justru membuatnya hidup dan bersemangat pula kembali.

Mulailah kini Souw Lian Cu berlatih silat lagi, biarpun secara diam-diam dan tak seorangpun tahu. Lalu badannya yang semula telah menjadi kurus kering itu kini mulai tanpa berisi kembali, karena dengan timbulnya semangat di dalam jiwanya itu membuat dia mau memikirkan lagi keadaan tubuhnya.

Beberapa bulanpun telah berlalu pula kembali. Sekarang keadaan Souw Lian Cu telah tiada bedanya dengan keadaan gadis-gadis yang lain. Hanya yang sangat memberatkan hati gadis yang masih muda belia itu ialah belum adanya kesempatan untuk bertegur sapa dengan orang yang amat dikaguminya itu. Sudah satu setengah tahunan dia berada di atas pulau tersebut, tapi ternyata ia belum juga memperoleh kesempatan untuk saling bertatap muka dengan pendekar itu.

Berbagai jalan telah ditempuh oleh Souw Lian Cu, sampai-sampai gadis ini ikut menonton pula ketika pendekar itu mengajar silat. Tapi ternyata pendekar itu hanya memberi aba aba dari balik pintu kamarnya. Penasaran dan pegal sekali rasa hati Souw Lian Cu! Tapi yang lebih menyakitkan dan membuatnya kesal adalah sikap Keh-sim Siauw-hiap kepadanya selama satu setengah tahun ini. Sudah sekian lamanya ia berdiam di pulau itu, tapi tiada perhatian sedikitpun dari pendekar tersebut kepadanya.

Kelihatannya pendekar murung itu benar-benar sudah lupa dan tak ingat lagi kepadanya. Kadang kadang timbul maksud yang kurang baik dari Souw Lian Cu. Suatu saat gadis itu ingin membuat gara-gara atau membikin kerusuhan agar Keh-sim Siauw hiap mau sedikit memberi perhatian kepadanya. Tapi setelah dipikir lebih panjang, Souw Lian Cu merasa tidak tega pula untuk melaksanakannya. Perasaannya menjadi tidak tega bila membayangkan wajah tampan yang tak pernah senyum itu.

Akhirnya gadis itu hanya bisa menunggu saja, saat kapan dia bisa memperoleh kesempatan untuk saling berhadapan muka dengan pria yang amat menarik hatinya tersebut. Dan kesempatan itu ternyata datang juga akhirnya! Pada suatu hari secara tak sengaja ada sekelompok bajak laut yang terdampar ke pulau Meng-to. Mereka berjumlah lebih dari duapuluh orang dan dipimpin oleh seorang bertubuh kecil pendek, tapi ternyata mempunyai kepandaian yang amat tinggi.

Pulau Meng-to yang saat itu baru ditinggalkan oleh Keh-sim Siauw-hiap menjadi panik luar biasa. Semua penghuni adalah wanita dan yang paling dapat diandalkan cuma Siang In dan Siang Yen. Oleh karena itu mana mungkin mereka dapat menghadapi sekian banyak lawan yang buas-buas dan biasa berkelahi itu?

Sekejap saja empat orang Siang In dan Siang Yen telah terlibat dalam keroyokan belasan orang lawannya. Mereka berempat tak punya kesempatan Iagi untuk menolong kawan-kawannya yang lain. Padahal masih banyak anggota bajak laut yang bebas berkeliaran menjarah rayah harta benda mereka, sementara pemimpin bajak laut itu juga masih bertolak pinggang menonton anak buahnya.

Keadaan benar-benar amat gawat bagi penghuni pulau itu. Dan pada saat yang gawat itulah kemudian muncul Souw Lian Cu sebagai malaikat penolong! Mula mula Souw Lian Cu melumpuhkan terlebih dahulu anggota perampok yang tidak terikut dalam pertempuran. Sebelum orang-orang itu merusak dan membuat kerusuhan di tempat tinggal mereka, satu persatu orang-orang tersebut ditotok roboh oleh Souw Lian Cu.

Setelah semuanya sudah dapat dikuasai, barulah Souw Lian Cu kembali ke arena pertempuran. Tapi apa yang sekarang dilihat oleh Souw Lian Cu di arena pertempuran sungguh amat mengejutkannya. Belasan orang anggota perampok yang tadi mengeroyok Siang In dan Siang Yen, kini telah menggeletak bergelimpangan, agaknya sudah dapat dibereskan oleh empat orang gadis kepercayaan Keh-sim Siauw-hiap itu.

Tapi yang sangat mengagetkan Souw Lian Cu adalah tujuh orang lelaki bersenjatakan rantai besi yang kini datang membantu kepala bajak laut tadi. Kelihatannya tujuh orang tersebut baru saja tiba, dan kini bersama-sama dengan kepala bajak tadi tampak sedang mengepung Siang In dan Siang Yen!

Dari luar arena tampak betapa repotnya empat orang gadis itu menghadapi delapan orang lawannya. Apalagi delapan orang itu bertempur dengan kotor dan kasar! Selain cara bertempur mereka yang kasar dan buas, mulut merekapun tak henti-hentinya mengeluarkan perkataan perkataan yang kotor dan menjijikkan, sehingga sedikit banyak membuat hati empat orang gadis itu gemetar dan ngeri.

Pertempuran itu memang tidak berimbang. Selain jumlahnya yang dua kali lipat, kepandaian dari masing-masing perompak itu hanya sedikit di bawah salah seorang dari gadis berbaju putih tersebut. Jadi malah lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan yang berbaju hitam! Maka tidaklah heran kalau gadis-gadis itu segera terdesak dan terkurung dengan hebat!

Demikianlah, akhirnya Souw Lian Cu terjun pula memasuki gelanggang pertempuran. Mula-mula Siang In dan Siang Yen segera berteriak memperingatkan Souw Lian Cu, tapi serentak mereka melihat kehebatan ilmu kepandaian Souw Lian Cu, mereka menjadi tertegun dan melongo malah! Mereka lupa sama sekali kalau sedang bertempur, sehingga tanpa ampun lagi Siang Yen dapat ditubruk dan diringkus oleh lawannya.

Tapi sekejap kemudian mereka berdua dapat terbebas kembali ketika tiba-tiba dua orang yang meringkusnya roboh berkelojotan tertusuk jari-jari Souw Lian Cu yang ampuh! Akhirnya enam perompak yang masih tertinggal itu semua mengeroyok Souw Lian Cu. Sedangkan Siang ln dan Siang Yen masih tetap berdiri mematung di tempat masing-masing. Mereka berempat memandang ke arah Souw Lian Cu dengan pandang mata tak percaya. Benar-benar tak percaya!

Satu setengah tahun mereka berkumpul bersama, tapi mereka benar-benar tak mengira kalau gadis cacat yang tampak lemah itu demikian lihainya. Memang! Apa yang dipertunjukkan oleh Souw Lian Cu pada saat itu memang sangat menakjubkan siapa saja yang melihatnya. Termasuk juga Siang In, Siang Yen dan para perompak itu sendiri! Tangannya yang hanya tinggal sebelah itu ternyata sungguh ampuh dan menggiriskan sekali.

Jangankan sampai menyentuh tubuh lawannya, baru angin pukulannya saja ternyata mampu melukai para perompak tersebut. Maka tanpa membutuhkan waktu yang lama, keenam perompak itu segera jatuh bergelimpangan di atas tanah. Senjata mereka yang berat-berat dan menakutkan itu ternyata tak ada manfaatnya sama sekali.

Dapat dibayangkan, bagaimana sikap dan sambutan para gadis-gadis penghuni pulau itu terhadap kemenangan Souw Lian Cu tersebut. Bagaikan layaknya seorang ratu yang baru menang perang Souw Lian Cu disambut dengan hangat dan penuh kekaguman oleh rekan-rekannya. Dan mulai saat itu semuanya sangat menghormat dan takut kepada gadis cacat tersebut.

Sementara itu Souw Lian Cu sendiri tidak bergembira dengan hasil kemenangannya tersebut. Kemenangan-kemenangan seperti itu sudah biasa ia peroleh dalam perantauannya. Jangankan hanya perampok perampok seperti itu, jago silat yang berkepandaian lebih tinggipun pernah dia kalahkan. Yang selalu ia sesalkan ialah tidak adanya Keh-sim Siauw-hiap di atas pulau tersebut saat itu, sehingga sepak terjangnya yang hebat tadi tak dilihat oleh pendekar itu.

Maka tanpa menghiraukan sanjung-puji kawan kawannya Souw Lian Cu pergi mengunci diri di dalam kamar seperti biasanya. Dan para gadis pembantu Keh-sim Siauw-hiap itupun tak berkecil hati mendapatkan sikap yang demikian dari Souw Lian Cu. Mereka telah terbiasa dengan sikap Souw Lian Cu yang seperti itu! Dengan tenang mereka bersama-sama mengurus para perompak yang telah mereka tundukkan itu. Orang-orang kasar itu mereka ikat dan mereka kumpulkan menjadi satu di sebuah kamar yang kokoh, sambil menantikan kedatangan Keh-sim Siauw-hiap.

Malamnya Souw Lian Cu tidak dapat tidur. Pikirannya selalu tertuju pada Keh sim siauw-hiap saja. Maka gadis itu lantas keluar dari kamarnya dan pergi ke tempat para perompak itu disekap. Di depan kamar Souw Lian Cu berjumpa dengan Siang ln dan Siang Yen. Keempat gadis itu dengan dibantu oleh beberapa orang lagi selalu menjaga para tawanan tersebut. Mereka sadar bahwa kalau sampai lolos, para tawanan itu benar-benar sangat berbahaya. Terutama kepala bajak dan orang-orang yang bersenjatakan rantai itu!

Setelah yakin bahwa para perompak itu tidak mungkin lolos lagi, maka Souw Lian Cu lalu ke luar. Dengan langkah perlahan gadis itu berjalan menuju ke arah pantai. Dia tak memperdulikan tiupan angin laut yang menerpa dengan suhu yang amat menggigilkan itu. Makin lama makin jauh, sehingga akhirnya gadis itu sampai di bagian utara dari Pulau Meng to. Di sana pantainya berpasir sehingga dapat dipakai untuk menaikkan sampan atau menambat perahu. Memang di tempat itulah perahu perahu milik Keh-sim Siauw-hiap ditambatkan.

Souw Lian Cu menjatuhkan dirinya di atas pasir yang lembut. Sambil memandang ke arah bintang-bintang yang bertaburan di langit, gadis itu kembali meneruskan lamunannya tentang Keh-sim Siauw-hiap. Tiba tiba telinganya mendengar suara desir kaki yang menginjak pasir!

Souw Lian Cu segera bangkit dengan tangkasnya. Meskipun begitu ketika kakinya berdiri tegak, orang itu telah berada tepat di depannya. Bukan main terkejutnya Souw Lian Cu! Ilmu mengentengkan tubuh orang itu benar-benar hebat sekali. Sambil melangkah mundur Souw Lian Cu menatap orang itu dengan tajam. Tubuh orang itu tampak gemuk sekali dengan pakaian yang lebar dan kedodoran, sehingga hampir seluruh tubuhnya tertutup pakaian.

Tapi yang amat mengejutkan Souw Lian Cu adalah kepala orang itu. Kepala itu ditutup dengan keranjang anyaman dari bambu, sehingga wajahnya tak kelihatan sama sekali. Tentu saja Souw Lian Cu merasa aneh dengan dandanan orang itu. Gadis itu merasa seolah-olah orang yang baru datang itu memang sengaja menyembunyikan wajahnya dari dia.

Yang lebih mengejutkan lagi, begitu datang orang itu langsung menyerang dengan ganasnya. Oleh karena itu tiada jalan lain bagi Souw Lian Cu selain mempertahankan diri dengan mati-matian. Keduanya langsung terlibat dalam sebuah pertempuran yang dahsyat dan mengerikan. Meskipun gemuk ternyata gerakan orang itu luar biasa gesitnya, ilmu silatnyapun amat hebat dan sukar diduga maksudnya. Beberapa kali terpaksa Souw Lian Cu bergetar mundur setiap kali harus beradu lengan.

Sepuluh jurus, duapuluh jurus, tigapuluh jurus, dan akhirnya limapuluh juruspun telah berlalu, tapi pertempuran tersebut belum juga menampakkan tanda-tanda siapa pemenangnya. Mereka saling bergantian mendesak lawannya, sehingga akhirnya Souw Lian Cu menjadi tidak sabar lagi. Menurut pengamatan Souw Lian Cu, lawannya itu sengaja mengulur-ulur waktu. Setiap gadis itu mendesak, dengan gin-kangnya yang tinggi orang itu tentu meloncat berputar-putar menghindarkan diri.

Sebaliknya apabila Souw Lian Cu agak mengendur, orang itu tentu akan segera mencecarnya dengan hebat. Souw Lian Cu meloncat ke belakang dengan cepat. Lalu sebelum lawannya mengejar, gadis itu tampak mengerahkan tenaga saktinya. Sekejap kemudian tampak dua macam asap tipis mengepul di atas ubun-ubunnya. Yang satu berwarna merah dan yang lain berwarna putih. Tampak lawannya meloncat mundur pula dengan kaget.

Tangannya menuding ke depan, sementara bibirnya terdengar berseru agak gagap. "Aih, kau.., kau siapa? Apa....?”

Tapi sebelum orang itu dapat menyelesaikan pertanyaannya, Souw Lian Cu sudah menerjangnya dengan ganas. Lengan Souw Lian Cu yang tinggal sebelah kanan saja itu terayun ke depan ke arah dada. Asap tipis yang tadi tampak mengepul di atas ubun-ubun lenyap bersamaan dengan saat gadis itu mengayunkan lengannya. Terdengar suara mendesir lembut dan secara tiba-tiba orang berkerudung keranjang bambu tersebut tampak menggigil tubuhnya.

“Ah!” orang itu berdesah sambil meIoncat mundur lagi sejauh-jauhnya. Lalu dengan tergesa-gesa orang itu juga mengerahkan tenaga sakti andalannya. Kedua belah telapak tangannya ia rangkapkan di depan dada seperti gerakan Buddha yang sedang menyembah, sehingga secara tiba-tiba pula dari dalam tubuhnya tersebar udara hangat ke sekelilingnya. Kemudian kedua belah telapak tangan itu tampak mendorong ke arah Souw Lian Cu dengan dahsyatnya.

Souw Lian Cu bergeser ke kiri dengan cepat, kemudian sambil berputar kaki kirinya menghantam perut lawannya. Berbeda dengan ketika menggerakkan lengan kanan tadi, sekarang kaki kiri yang menerjang ke perut lawan itu membawa angin panas yang seolah-olah mau membakar tubuh lawannya itu. Tentu saja perubahan ini sangat mengagetkan orang berkerudung keranjang itu! Apalagi serentak melihat asap tipis yang berwarna merah tadi juga ikut lenyap berbareng dengan gerakan kaki tersebut.

Orang itu mendoyongkan tubuhnya ke kiri, sehingga tendangan Souw Lian Cu yang mengarah ke perut tadi tidak mengenai sasaran. Lalu bersamaan dengan itu orang berkerudung bambu tersebut mencengkeram pinggang kanan Souw Lian Cu dengan jari-jari tangan kanannya. Terdengar suara berkerotok pada buku-buku jari tangan itu, menandakan orang tersebut mengerahkan semua kekuatannya!

Karena tak ada kesempatan untuk mengelak lagi, maka Souw Lian Cu segera memapaki cengkeraman tersebut dengan tangan kanannya. Sekali lagi udara berubah suhunya! Kalau angin yang menyertai kaki kiri tadi bersuhu dingin, sekarang lengan kanan itu membawa angin yang amat panas! Dan perubahan hawa yang selalu berganti-ganti ini benar-benar membingungkan lawan Souw Lian Cu itu.

"Taaaasss!" Dua buah telapak tangan saling membentur di udara. Kedua-duanya tergetar mundur empat lima langkah ke belakang! Tergesa-gesa mereka melihat telapak tangan masing-masing. Tapi setelah ternyata semuanya tidak mengalami cedera apa-apa, mereka langsung terlibat lagi dalam pertempuran yang amat seru. Dan untuk beberapa jurus orang berkerudung bambu itu terpaksa harus berhati-hati dengan pukulan lawannya yang aneh tersebut.

Tapi beberapa waktu kemudian orang berkerudung bambu itu agaknya telah bisa membaca keanehan ilmu silat Souw Lian Cu. Buktinya sekarang pukulan Souw Lian Cu yang aneh itu tak bisa mengecoh lawannya lagi. Malah kini Souw Lian Cu yang justru terdesak oleh serangan orang berkerudung itu. Beberapa kali tampak pukulan orang berkerudung bambu yang diselang-seling dengan cengkeraman itu membingungkan Souw Lian Cu.

Dan pada suatu saat cengkeraman orang itu datang dengan sangat tak terduga sehingga Souw Lian Cu tak dapat mengelak lagi. Tapi gadis itu dalam keadaan terpepet juga tak mau tinggal diam. Jari telunjuknya yang ampuh itu membarengi serangan lawan dengan tutukan ke arah perut.

“Cuuss!" "Breeet!"

Souw Lian Cu terdengar menjerit kecil kemudian roboh ketika cengkeraman tangan itu melumpuhkan seluruh sendi-sendi tulangnya. Tapi tusukan jari tangan gadis itu juga dengan telak mengenai perut lawannya. Hanya yang sangat mengherankan orang itu seperti tidak merasakan apa-apa. Pakaiannya yang robek tertusuk jari tangan Souw Lian Cu tadi hanya diusap-usapnya sebentar, lalu tidak dipedulikannya lagi.

Tentu saja Souw Lian Cu yang roboh di atas pasir itu menjadi kaget sekali. Mungkinkah orang itu kebal tubuhnya? Tapi semua keanehan itu segera terjawab ketika orang itu cepat-cepat membuka pakaiannya. Badan yang gemuk itu tiba-tiba menjadi "kurus” begitu pakaiannya ditanggalkan! Ternyata orang itu mengenakan baju rangkap enam atau tujuh buah dan tebal-tebal, sehingga badannya kelihaian gemuk luar biasa. Begitu tebalnya lapisan baju tersebut sehingga tusukan jari Souw Lian Cu tadi tak dapat mencapai kulit yang berada di dalamnya.

Selanjutnya orang itu membuka pula anyaman keranjang yang menutupi kepalanya. Souw Lian Cu dengan tegang menantikan rupa di balik keranjang bambu tersebut. Dan ternyata gadis itu menjadi lemas setelah melihat siapa yang berada di balik kerudung anyaman bambu itu. "Kau....?" gadis itu berdesah dengan suara gemetar.

"Ya!" jawab orang itu yang tidak lain adalah Keh-sim Siauw-hiap sendiri.

Pendekar itu segera memunahkan totokan yang melumpuhkan Souw Lian Cu, kemudian duduk di dekat gadis itu. Tentu saja keadaan yang tidak diduga-duga sebelumnya ini membuat Souw Lian Cu menjadi kikuk dan serba salah. Berbagai macam perasaan berkecamuk di dalam dada gadis yang sedang dimabuk asmara tersebut. Perasaan tegang, gembira, takut, malu, bahagia dan lain sebagainya. Semuanya terasa memenuhi dadanya, sehingga gadis itu justru menjadi bisu dan tak berani bersuara sedikitpun!

“Nona...... aku minta maaf karena telah mengejutkanmu!" pendekar itu membuka pembicaraan sambil memandang riak gelombang yang bergulung-gulung menghantam karang. "Tak seharusnya aku mempermainkan orang yang telah membantu aku mempertahankan pulau ini dari tangan para perompak...."

"Kau.... kau sudah tahu? Mereka memberitahukan padamu?"

Pendekar itu menggeleng. "Tak seorangpun yang memberitahukan hal itu kepadaku. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri siang tadi. Secara kebetulan aku memang sudah pulang."

“Kalau begitu.... mengapa kau tidak lekas-lekas keluar untuk mengusir perompak itu?"

"Aku kalah dulu dengan kau! Kedatanganku persis pada saat kau terjun memasuki gelanggang pertempuran...."

"Oh! Jadi kau melihat juga ketika aku melabrak mereka?" wajah Souw Lian Cu tampak gembira, sehingga suaranya seolah-olah mau bersorak.

Tentu saja gerak-gerik gadis itu tak lepas dari pengamatan Keh-sim Siauw-hiap yang berpengalaman. Tapi pendekar itu hanya mengira bahwa gadis yang merasa telah berjasa itu tentu ingin agar jasanya itu diketahui dan dihargai oleh dia sebagai penguasa tertinggi di pulau tersebut. Sedikitpun pendekar yang bernama besar itu tidak menyangka dan tidak menduga bahwa bukan itu yang sebenarnya terkandung di dalam hati Souw Lian Cu. Ada hal lain yang lebih dalam tapi benar benar tidak terlintas dalam benak Keh-sim Siauw-hiap!

"Ya! Dan... aku sungguh tidak mengira kalau nona mempunyai kepandaian setinggi itu.” Keh-sim Siauw-hiap mengangguk. "Tapi sampai kau melumpuhkan mereka semua, aku belum bisa menebak ciri-ciri perguruanmu. Maka aku lantas mengujimu di sini. Sebab bila aku langsung bertanya kepadamu, engkau tentu akan berdiam diri atau takkan mau menjawab." pendekar itu menghela napas panjang, lalu. "Siang In dan Siang Yen setiap hari selalu bercerita kepadaku, bagaimana kau selalu diam, membisu dan menutup diri selama ini...! Nah, sekarang aku sudah tahu siapa sebenarnya engkau. Hanya yang belum kuketahui ialah, apakah hubunganmu dengan Hong gi-hiap Souw Thian Hai? Apakah engkau adiknya? Ataukah engkau dari keluarganya yang lain?"

Souw Lian Cu sungguh amat kagum melihat ketajaman mata pendekar itu. Hanya dengan melihat cara-caranya dia memainkan ilmu silat, pendekar itu langsung dapat menebak asal usul dari perguruannya. Tapi untuk mengetahui lebih terang lagi alasan-alasan apa yang dipakai oleh Keh-sim Siauw-hiap hingga tahu asal-usul perguruannya, Souw Lian Cu mencoba untuk mengelak.

"Mmm, mengapa kau mempunyai anggapan bahwa aku datang dari perguruan yang sama dengan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai?"

Keh-sim Siauw-hiap menatap Souw Lian Cu dengan tajamnya. "Nona, engkau takkan bisa mengelabui aku lagi. Di dunia ini hanya ada satu orang saja yang mempunyai ilmu Tai-lek Pek-kong-ciang, dan orang itu tidak lain adalah Hong-gi-hiap Souw Thian Hai! Dan menurut berita yang selalu kudengar, ilmu tersebut tidak pernah diajarkan kepada orang lain, melainkan hanya kepada keluarganya saja. Maka sekarang yang akan kutanyakan kepadamu ialah apakah hubunganmu dengan Hong-gi hiap Souw Thian Hai?"

Memang, Souw Lian Cu tak dapat mengelak lagi. Tokoh besar seperti Keh-sim Siauw-hiap itu memang sukar untuk dibohongi, apalagi tak enak rasanya membohongi orang yang amat dipujanya setinggi langit itu. Oleh karena itu dengan suara perlahan dan kepala tertunduk Souw Lian Cu mengakui siapa sebenarnya dirinya. "Aku memang keluarga dekat dengan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai. Dia adalah..... ayahku! Namaku adalah Souw Lian Cu..."

"Hei? Anaknya....? Souw Thian Hai mempunyai anak sebesar kau ini? Ah…. yang benar saja, nona! Umur Souw Thian Hai itu tak berbeda banyak dengan aku, dan aku dengan dia sudah saling mengenal dengan baik. Paling-paling usianya sekarang tentu baru tiga puluh atau lebih sedikit. Masa dia telah mempunyai puteri sebesar kau? Ataukah mungkin engkau hanya.... hanya puteri angkatnya saja?"

Gadis itu agak tersinggung ketika menjawab. "Aku adalah benar-benar puteri kandungnya! Ayahku memang masih terlalu muda ketika kawin dengan mendiang ibuku. Dan sekarang ayahku sudah berusia tiga puluh enam tahun, meskipun tampaknya masih sangat muda...!”

"Ooh...!" Keh-sim Siauw-hiap mengendorkan kata-katanya sambil mengangguk, sadar bahwa ucapan yang dia keluarkan tadi sedikit menyinggung perasaan gadis itu. "Oh, maafkanlah aku kalau begitu! Tapi... mengapa nona meninggalkan ayahmu sedemikian lamanya? Mengapa ketika itu kau kuketemukan di hutan dalam keadaan sakit parah? Mengapa kau lalu diam saja di pulau ini demikian lamanya? Mengapa kau tak memberitahukan kepadaku bahwa kau adalah puteri Hong-gi-hiap Souw Thian Hai? Dan… mengapa kau tak lekas-lekas pulang setelah sembuh dari sakitmu? Mengapa kau...?”

"Karena kau tak pernah memperhatikan aku!" tiba-tiba Souw Lian Cu menjerit penasaran, memotong pertanyaan-pertanyaan Keh-sim Siauw-hiap yang membanjir keluar dari mulutnya itu. Gadis itu lalu bangkit dari atas pasir dan berlari pergi. Sekilas terdengar sedu-sedannya!

Tapi hanya dengan sekali lompat saja, pendekar itu telah berada di depan Souw Lian Cu. Dengan kuat lengan pendekar itu mencengkeram kedua pundaknya, "Tenanglah, Lian Cu....! Mengapa kau IaIu menjadi marah karena aku tak pernah memperhatikanmu? Bukankah kita.....?"

Tetapi sekali lagi Keh-sim Siauw-hiap tak dapat meneruskan perkataannya. Gadis yang berada di depannya itu balas memandang dengan beraninya. Di antara derai air mata yang mengalir di atas pipinya itu jelas terpancar ungkapan cinta yang amat mendalam, sehingga pendekar yang telah kenyang mengenyam pahitnya cinta itu menjadi kaget dan tak bisa berkata apa-apa. Wajah tampan yang pucat dan muram itu segera tertunduk.

Perlahan-lahan tangan yang mencengkeram pundak Souw Lian Cu itu terlepas dan tergantung kaku di tempatnya. Wajah yang sudah pucat dan muram itu semakin tampak kelam dan murung. Dahi yang lebar itu juga tampak berkerut-kerut seolah menahan suatu beban yang amat berat. Dan dari dalam dada yang bidang itu terdengar pula suara elahan napas yang panjang berkali-kali!

Dan semua gerak-gerik itu tak lepas dari pandang mata Souw Lian Cu! Gadis itu segera tahu bahwa perasaan cintanya tak memperoleh sambutan seperti yang dia harapkan. Seperti yang telah selalu ia dengar, pendekar murung itu tak pernah melupakan cinta pertamanya. Hati yang sudah membeku itu tak pernah dapat mencair lagi...!

"Ooooh......!" Souw Lian Cu berlari sambil menutupi mukanya dengan tangannya yang tinggal sebelah. Dengan hati hancur gadis malang itu mengambil sebuah perahu dan meluncur pergi meninggalkan Pulau Meng-to.

"Souw Lian Cu....!” Keh-sim Siauw-hiap berbisik lirih. Tangannya teracung ke depan, seakan-akan mau menahan kepergian gadis itu.

Demikianlah, Souw Lian Cu pergi ke daratan Tiongkok kembali dan berkelana tak tentu tujuan pula. Untunglah selama dia berada di Pulau Meng-to, Siang In dan Siang Yen selain memberi pakaian juga memberi beberapa buah perhiasan pula, sehingga beberapa buah kalung, cincin dan gelang emas itu dapat dia jual untuk biaya makan-minumnya selama berbulan-bulan. Gadis itu pernah pula membantu seorang pembesar kerajaan di kota Kuang-Ti dalam membekuk seorang buruan negara, sehingga memperoleh hadiah yang tidak sedikit pula.

Begitulah selama berbulan-bulan gadis itu berkelana seorang diri untuk menghibur hatinya yang sedih dan pepat. Dan selama itu pula gadis itu tak pernah lupa mengamalkan kepandaiannya yang hebat untuk menolong rakyat. Sudah banyak sekali penjahat yang menjadi korban keampuhan tangan tunggalnya! Dan sudah tak terhitung pula orang miskin dan menderita yang telah ditolongnya. Apalagi ketika terjadi gempa bumi besar itu.

Mengingat akan gempa bumi itu, Souw Lian Cu lantas teringat kepada Yang Kun, pemuda yang ia jumpai di Hi-san-cung dan membunuh orang Tiat-tung Kai-pang itu. Pemuda pendiam, tetapi menurut dia sombong bukan main. Entah apa yang menyebabkannya, tapi Souw Lian Cu amat benci sekali kepada pemuda yang berkepandaian sangat tinggi tersebut. Mungkin yang membuatnya tidak suka adalah sinar mata pemuda itu. Pemuda sombong itu selalu memandangnya dengan pandangan aneh dan mesra, sehingga ia menjadi risih dan kikuk.

Souw Lian Cu kemudian teringat juga ketika bersama-sama dengan Siang Yen mau kembali pulang ke Pulau Meng-to. Tapi ternyata di tengah jalan ia berbalik pikiran dan pergi meninggalkan Siang Yen. Gadis itu menjadi malu kalau nanti harus bertemu kembali dengan orang yang telah menolak cintanya.

Di tengah jalan ia melihat perkelahian antara orang-orang Bing-kauw dan Mo-kauw. Lalu Souw Lian Cu menolong orang orang Bing-kauw yang lebih sedikit jumlahnya. Tapi gadis itu ternyata harus berhadapan dengan ketua Mo-kauw sendiri yang kepandaiannya lihai bukan main. Akhirnya dengan menderita luka dalam yang parah, Souw Lian Cu dibawa ke Kuil Delapan Dewa, kuilnya orang-orang dari Aliran Im-yang-kauw!

Di dalam kuil itu ternyata Souw Lian Cu bertemu kembali dengan Yang Kun yang dibencinya. LaIu bersama-sama dengan dua orang tokoh puncak Im-yang-kauw, Souw Lian Cu dan Yang Kun, mengadakan perjalanan bersama ke Gedung Pusat Im-yang-kauw, yang jaraknya lebih dari dua hari perjalanan.

Apabila mengenangkan kembali saat-saat di dalam perjalanan itu, Souw Lian Cu menjadi amat kesal terhadap dirinya sendiri. Karena di dalam perjalanan itu dia terpaksa tidak dapat terus-terusan membenci pemuda yang amat sombong itu. Ternyata banyak pula segi kebaikan pemuda itu yang patut dihargai dan dikagumi. Meskipun tentu saja kebaikan itu tidak sehebat dan setinggi kebaikan Keh-sim Siauw-hiap, tokoh pujaannya!

"Bocah sombong itu memang lebih tampan dan jauh lebih muda dari pada Keh-sim Siauw-hiap, tapi mana mampu dia menyaingi nama Keh-sim Siauw-hiap yang amat harum dan tersohor itu? Mana dapat pemuda itu berbuat kebajikan dan kebaikan seperti halnya sepak terjang Keh-sim Siauw-hiap selama ini?” tanpa terasa Souw Lian Cu mulai membanding-bandingkan kedua pemuda itu di dalam lamunannya.

"Krosaaaak! Jleeeg!"

"Ohh!" tiba-tiba Souw Lian Cu tersadar dari lamunannya. Dengan tangkas tubuhnya yang sedang berbaring di atas pasir tepi telaga itu melenting berdiri. Tapi sebentar kemudian hatinya yang kaget dan tegang itu menjadi tenang kembali. Orang yang datang dengan tiba-tiba di pinggir telaga kecil di tengah hutan itu ternyata adalah Put-gi-ho dan Put-chih to, orang yang telah ditolongnya tapi juga pernah menolongnya membawa ke Kuil DeIapan Dewa itu.

Sementara itu kedua orang Bing-kauw itu ternyata juga sangat kaget sekali melihat Souw Lian Cu berada di tempat itu. Mereka berduapun ternyata juga tidak menduga kalau akan bertemu dengan Souw Lian Cu di tempat yang sangat terasing itu.

"Nona, kau.....? Eh, mengapa... mengapa nona berada ditempat ini?" Put-gi-ho yang tinggi kurus itu melongo.

"Ah, kalian lagi...." Souw Lian Cu membuang napas kuat-kuat, kemudian kembali duduk diatas pasir lagi.

"Eeee.... kenapa nona duduk pula lagi? Ayoh kita cepat-cepat pergi dari sini! Sebentar lagi di pinggir telaga ini akan ada pertempuran sengit Iagi..." Put-gi-ho menarik lengan Souw Lian Cu dengan wajah pucat dan khawatir. Tentu saja Souw Lian Cu menjadi bingung dan tak mengerti. Sambil berjalan mengikuti dua orang anggota Aliran Bing-kauw itu dia bertanya. "Apa katamu? Pertempuran? Pertempuran apa itu?"

Sambil mengajak Souw Lian Cu memanjat sebatang pohon yang rimbun daunnya, dua orang Bing-kauw itu memberi keterangan. "Harap nona jangan marah! Kami minta nona bersembunyi dahulu di atas pohon ini sampai pertempuran itu selesai nanti!”

"Iya! Tapi pertempuran apa itu? Lekas kau katakan!"

"'Pertempuran seperti dahulu lagi. Orang orang dari aliran kami dengan Aliran Mo-kauw!" Put-gi-ho menjelaskan.

"Maka kami ajak nona ke sini untuk bersembunyi karena kami tidak ingin dituduh membawa bala-bantuan dari luar…." Put-chih to ikut memberi keterangan.

"Ah, kalian ini orang-orang tua benar-benar seperti anak kecil saja, masih suka berkelahi! Lalu mana kawan kalian yang lain? Apakah cuma kalian berdua saja?”

"Hehe... tidak! Sebentar lagi yang lain akan datang…." Put-chih to yang gemuk itu tersipu-sipu. “Nah, maafkanlah kami, nona….! Kami terpaksa akan berada di tepi telaga itu agar tidak dituduh mengingkari janji."

Kedua orang Bing-kauw itu segera terjun kembali ke atas tanah dan melangkah ke pinggir telaga. Dan betul juga, tidak lama kemudian datang beberapa orang kawan mereka ke tempat itu. Mereka datang dengan naik perahu yang kini mereka tambatkan di tepi sungai.

"Mereka akan tiba sebentar lagi," salah seorang di antara mereka berkata kepada Put-gi-ho dan Put-chih-to. "Tadi mereka berada di belakang perahu kami."

"Lalu..... bagaimana dengan suheng kita Put-pai-siu Hong-jin? Apakah dia juga bisa datang ke tempat ini?" Put-gi-ho menggoyang-goyangkan pundak orang itu dengan cemas.

"Jangan khawatir...! Dalam mabuknya kemarin Put-pai-siu Hong-jin su-heng berkata bahwa dia tentu datang. Tapi dia harus berusaha mengelabuhi su-pek (uwa guru) Put-chien-kang Cin-jin dahulu baru bisa berangkat ke sini.....”

"Bagaimana kalau Put-sim-sian su-heng tahu? Bukankah Put-sim-sian su-heng selalu menjadi wakil Put-ceng-li Lo-jin suhu kalau beliau sedang tidak ada di rumah?”

"Jangan takut! Kalau dengan kita semua atau dengan adik-adik seperguruannya sendiri, Put-sim-sian suheng mungkin dapat bertindak dengan keras, tapi kalau menghadapi suhengnya, Put-pai-siu Hong-jin itu, hehe.... tak mungkin dia berani berlaku kurang ajar!" orang itu menjawab dengan tertawa.

"Ah, kau ini! Jangan memandang begitu rendah terhadap Put-sim-sian suheng! Kau tahu mengapa suheng kita itu diberi nama Put-sim sian (Dewa Tak Berperasaan).....?” Put-chih-to merengut tak senang.

“Tentu saja. Tapi kau juga harus tahu, mengapa murid su-pek itu diberi nama Put-pai-siu Hong-jin (Si Gila Yang Tak Punya Malu)....." orang yang berbicara dengan Put-chih-to itu tak mau mengalah pula.

"Hei, sudahlah! Jangan berbantah saja! Lihatlah itu.... mereka telah datang!" Put-gi-ho membentak.

Sebuah perahu yang cukup besar merapat ke tepi sungai, lalu dari dalamnya tampak berloncatan belasan orang berjubah hijau dan dua orang berjubah biru. Dengan sangat lincah dan gesit mereka melesat menghampiri orang-orang Bing-kauw yang telah berdiri menunggu. Mereka berdiri berkelompok dan saling berhadapan dalam jarak empat meter. Kedua orang yang berjubah biru itu berdiri di depan kawan-kawannya, berhadapan langsung dengan Put-gi-ho dan Put-chih-to yang juga berdiri di depan teman-temannya.

"Hmm, apakah kalian sudah datang semuanya?" Put-gi-ho melangkah maju mewakili teman-temannya. Kedua belah tangannya bertolak pinggang dan sepasang kakinya berdiri renggang.

"Benar! Inilah semuanya orang-orang kami, yang dahulu berhadapan dengan engkau dan kawan-kawanmu itu. Apakah engkau sekarang juga sudah siap?" salah seorang dari kedua orang yang berjubah biru melangkah maju pula untuk mewakili teman-temannya. "Sekarang engkau tak boleh mengatakan lagi, bahwa pihak kami Iebih banyak dari pada pihakmu.”

"Tidak usah cerewet! Kini tiba saatnya bagi kami untuk menebus kekalahan kami dahulu." Put-gi-ho membentak.

Kemudian tanpa banyak pertanyaan lagi Put-gi-ho segera menerjang lawannya yang berjubah biru itu dan sekejap kemudian mereka berdua telah bertempur dengan seru sekali. Orang Mo-kauw lainnya segera maju pula mencari lawan mereka masing-masing, sehingga sebentar kemudian di atas pasir lembut itu telah terjadi pertempuran besar yang amat hiruk-pikuk. Put-chih-to juga sudah mendapatkan lawan yang seimbang, yaitu orang berjubah biru lainnya.

Demikianlah, pada waktu tengah hari yang panas itu, di tengah-tengah hutan lebat, terjadilah sebuah pertempuran ulangan yang seru antara kelompok anggota Aliran Mo-kauw dan kelompok anggota Aliran Bing-kauw, yang dahulu sudah pernah pula saling berhantam. Kini mereka saling bertempur pula lagi untuk melanjutkan pertempuran mereka dahulu, yang terhenti serta terganggu oleh kedatangan Souw Lian Cu dan Ketua Aliran Mo-kauw.

Sementara itu Souw Lian Cu menonton pertempuran tersebut dari atas pohon yang tidak jauh dari arena pertempuran itu. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya gadis itu bersungut-sungut tiada habis-habisnya.

"Wah, orang-orang ini sungguh-sungguh sudah gila semua. Mana pertempuran yang sudah lama berlalu masih tetap dilanjutkan juga sekarang. Dan Put-gi-ho serta Put-chih-to itu benar-benar orang yang tak tahu diri pula! Dahulu sudah dikalahkan oleh dua orang berjubah biru itu, kini masih juga berani melawannya lagi..."

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.