Pendekar Penyebar Maut Jilid 22

Cerita silat Mandarin serial Darah Pendekar seri Pendekar Penyebar Maut Jilid 22 karya Sriwidjono
Sonny Ogawa

Pendekar Penyebar Maut Jilid 22 karya Sriwidjono - SEKALl lagi Souw Lian Cu menatap Pek-i Liong-ong, karena sebagai orang yang hanya ikut menumpang perahu, gadis itu merasa tak berhak untuk memutuskannya. Sementara bagi Pek-i Liong-ong sendiri masalah itu ternyata juga tidak terlalu dipikirkan benar. Mereka toh juga mau pergi ke pantai, apalagi perahu itu sebenarnya milik orang itu pula. Maka ketua Aliran Mo-kauw itu juga balas menjura.

"Ahh.... perahu kamilah yang tuan tabrak tadi. Oleh karena perahu kami tenggelam, maka kami lalu memakai perahu tuan ini sebagai ganti. Maka tak usah sungkan-sungkan lagi, marilah sekarang kita bersama sama ke pantai ...! Kebetulan kami ayah beranak ini memang mau pergi ke sana pula." orang tua itu berkata halus.

"Terima kasih... terima kasih!" orang yang basah kuyup itu membungkukkan tubuhnya berulang-ulang. "Akulah yang bersalah karena menabrak perahu tuan, maka silahkan mengambil perahuku ini kalau tuan suka....!"

Begitulah, akhirnya Souw Lian Cu dan Pek-i Liong-ong mendapatkan seorang kawan lagi dalam perjalanan mereka. Seorang kawan yang bersikap aneh dan mencurigakan! Souw Lian Cu diam-diam memperhatikan orang itu dengan seksama, dari rambutnya yang digelung ke atas sampai pada dandanannya yang sederhana seperti seorang pengembara itu.

Orang itu berusia kira-kira tigapuluh dua atau tigapuluh tiga tahun. Tubuhnya hanya sedang-sedang saja, tapi tampak tegap dan cekatan, seperti layaknya seorang prajurit. Hanya yang amat mengherankan adalah gerak-geriknya yang kaku dan tegang seolah-olah sedang menghadapi bahaya besar. Berkali-kali orang itu menoleh ke belakang atau menghela napas panjang, seakan-akan tidak sabar melihat jalannya perahu yang sangat lambat tersebut.

Padahal perahu itu meluncur dengan cepat sekali ke depan mendahului yang Iain-lainnya, sehingga kalau dipikirkan, keadaan perahu tersebut sudah amat berbahaya sebenarnya! Selain sewaktu-waktu dapat terbalik perahu yang berlayar di sungai saat itupun bukan main banyaknya. Apalagi bila diingat bahwa perahu itu melaju tanpa penerangan sama sekali!

Untunglah di langit tak banyak terlihat gumpalan awan, sehingga sinar bintang yang beribu-ribu jumlahnya itu dapat sedikit menyibak tirai kegelapan malam. Meskipun tak jarang mereka terpaksa harus menerima umpatan dan makian orang karena perahu mereka hampir menghantam atau menyenggol perahu lain.

Untunglah Pek-i Liong-ong benar-benar seorang jurumudi yang hebat dan pandai! Berkali-kali ketua Aliran Mo-kauw itu dapat menyelamatkan perahu mereka dengan amat mengagumkan, sehingga di mata orang yang melihatnya seolah-olah orang tua itu memang benar-benar seorang tukang perahu atau seorang pelaut yang amat berpengalaman! Padahal tidak demikian sebenarnya....!

Bagi yang memperhatikan tentu akan segera tahu bahwa tokoh puncak Aliran Mo-kauw itu Iebih banyak mempergunakan kesaktiannya dari pada menggunakan keahliannya dalam mengemudikan perahu. Hanya saja cara yang dipergunakan oleh tokoh sakti itu begitu halusnya sehingga jarang orang yang bisa menangkapnya, apalagi kegelapan malam itu amat membantu pula!

Dan ternyata orang yang menumpang perahu mereka itu amat kagum pula melihat ketangkasan Pek-i Liong-ong! Orang itu juga menyangka bahwa Pek-i Liong-ong dan Souw Lian Cu memang benar-benar keluarga pelaut atau tukang perahu yang sudah sangat berpengalaman sekali.

"Ah, kalian ayah beranak ini memang betul-betul jagoan perahu yang hebat!" serunya gembira. "Marilah! Kita tentu akan tiba di pantai tidak lama lagi! Dan aku... ooh!"

Tiba tiba dengan gugup orang itu mengawasi perahu besar di hadapan mereka Perahu besar yang dinaiki oleh pemuda sasterawan dan sepuluh orang berperawakan tegap tangkas tadi!

"Eh, jangan terlalu dekat bila mendahului perahu itu! Menyisihlah agak jauh!" orang itu berseru kepada Pek-i Liong-ong dengan tegang.

Tentu saja Pek-i Liong-ong dan Souw Lian Cu menjadi heran sekali. Tapi ketua Aliran Mo-kauw itu mengabulkan pula permintaan tersebut. Selain tidak ingin ribut-ribut dengan penumpang mereka, orang tua itu juga tidak ingin perjalanan mereka yang terbatas waktunya tersebut mendapat hambatan di jalan. Maka dengan tangkas Pek-i Liong-ong membelokkan ujung perahunya ke samping, sehingga perahu tersebut lewat pinggir sungai, jauh dari perahu-perahu itu.

Tetapi di jalur tepi sungai ternyata lebih padat lalu lintasnya. Di situ banyak perahu-perahu besar kecil, maupun sampan-sampan nelayan, yang lalu lalang menuju ke tempat tujuan mereka masing-masing! Memang arus di bagian tepi tidak begitu besar dan berbahaya seperti halnya di tengah sungai.

Oleh karena itu untuk berjalan cepat di daerah yang padat itu terpaksa Pek-i Liong ong harus semakin meningkatkan "kebolehannya" dalam mengemudikan perahunya. Seperti seekor ular air yang berenang di antara daun-daun ilalang yang mencuat di permukaan air, perahu tersebut meluncur berlenggak-lenggok di antara perahu-perahu lainnya.

Sepandai-pandai tupai melompat sekali waktu akan jatuh pula. Begitu juga halnya dengan Pek-i Liong ong! Meskipun sudah mengerahkan segala kehebatannya dalam mengemudikan perahu, ternyata dalam kepadatan lalu-lintas di bagian pinggir sungai itu tetap saja ia menyerempet sebuah sampan kecil yang dikemudikan oleh seorang nelayan hingga terbalik.

Hampir saja Souw Lian Cu menjerit. Begitu pula dengan penumpang mereka itu, Pek-i Liong-ong secara reflek malah sudah bergerak mau menolong nelayan yang terjerumus ke dalam air itu. Tapi semuanya segera mengurungkan niat masing-masing! Mereka justru ternganga melihat reaksi nelayan yang terjungkal dari sampannya tersebut.

Bagaikan seekor cengkerik meloncat, nelayan itu melenting tinggi ke atas dan berputar-putar sebelum akhirnya hinggap dengan enteng di atas perahu mereka. Sedikitpun tidak ada goncangan ketika kaki orang itu mendarat di atas perahu mereka yang melaju pesat! Souw Lian Cu dan Pek-i Liong-ong sampai melongo saking kagetnya meskipun dasar dari kekagetan mereka masing-masing sangat berbeda.

Souw Lian Cu merasa kaget karena sekali lagi dia menyaksikan sebuah pertunjukan gin-kang yang maha hebat dari seorang nelayan di Sungai Huang-ho sehingga gadis yang juga tumbuh dari keluarga sakti menjadi heran pula dibuatnya. Gadis itu benar-benar tak habis mengerti mengapa di dunia ini ternyata banyak orang yang mempunyai ilmu mengentengkan tubuh yang sangat hebat?

Pertama kali ia melihat kedahsyatan gin-kang Keh-sim Siauw-hiap. Kemudian yang kedua kali ialah tokoh aneh yang bergelar Hek-eng cu. Selanjutnya berturut-turut ia menyaksikan kehebatan gin-kang Put chien-kang Cin-jin dan Pek-i Liong-ong. Sekarang diatas sungai ini lagi-lagi ia melihat nelayan melompat berputar-putar tinggi di udara seakan-akan seekor burung terbang saja!

Sedangkan Pek-i Liong-ong merasa kaget karena tokoh puncak Aliran Mo-kauw itu segera mengenal gaya loncatan dari nelayan tersebut. Gaya meloncat seperti yang dilakukan oleh nelayan itu amat sangat dikenalnya karena gaya tersebut adalah ciri gaya Pek-in Gin-kang warisan Bu-eng Sin-yok-ong gurunya!

Novel silat Mandarin karya Sriwidjono Pendekar Penyebar Maut Jilid 22

Tapi Pek-i Liong-ong tidak segera dapat mengenali siapa adanya nelayan yang mahir Pek-in Ginkang itu, karena nelayan yang berdiri beberapa langkah di depannya itu menutupi kepalanya dengan caping lebar sehingga sinar bintang tak dapat mencapai wajahnya yang gelap itu.

"Kau siapa?" Pek-i Liong-ong menyapa dengan hati-hati.

Nelayan itu menghela napas panjang sekali seolah ada beban berat yang menindih hatinya. "Seharusnya aku yang rendah ini memanggil susiok-couw kepadamu karena memang demikianlah seharusnya urut-urutannya. Tapi karena kau pernah memhunuh ayah angkatku atau keponakan muridmu sendiri maka lebih baik aku tak memanggil apa-apa kepadamu...." akhirnya nelayan itu mengeluarkan suaranya yang kaku.

"Hah, kau Bu Seng Kun… anaknya Bu Kek Siang?"

"Benar! Tidak salah! Aku adalah putera Bu Kek Siang dan namaku yang sebenarnya adalah Chu Seng Kun bukan Bu Seng Kun!” nelayan itu menjawab sambil membuka topinya sehingga wajahnya yang tampan itu terlihat dengan jelas.

"Ooooooh…!" Souw Lian Cu dan Pek-i Liong-ong berdesah hampir berbareng. Keduanya benar benar tak menyangka dapat bertemu dengan pemuda itu di sini karena keduanya memang telah mengenal pemuda yang menyamar sebagai nelayan itu sebelumnya.

Souw Lian Cu tak mungkin bisa melupakan wajah itu, karena pemuda itu adalah kakak kandung Chu Bwe Hong, gadis yang pernah melepas budi kepadanya tapi juga yang membuatnya lari dari rumahnya sekarang ini. Sementara bagi Pek-i Liong-ong, peristiwa menyedihkan yang menimpa ayah angkat pemuda itu memang merupakan beban batin yang maha berat baginya selama ini.

Beberapa tahun yang silam, sebelum dirinya menjadi ketua Aliran Mo-kauw, memang pernah terjadi perselisihan hebat di antara anak murid keturunan Bu-eng Sin-yok-ong. Perselisihan itu terutama terjadi antara anak muridnya sendiri melawan anak murid mendiang suhengnya. Dan pada suatu saat tanpa sepengetahuannya Bhong Kim Cu dan Leng Siau, muridnya yang kini menjabat sebagai Kau Tai-shih dari Aliran Mo-kauw pergi menyerang ke kediaman ayah angkat Chu Seng Kun dan membunuhnya.

Sebenarnya peristiwa itu sangat memilukan hatinya tapi karena sudah terlanjur ia sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi selain menghukum berat kedua orang muridnya itu. Apalagi jika diingat bahwa perselisihan itu memang bukan hanya karena kesalahan kedua orang muridnya saja. Tetapi bagaimana juga peristiwa itu memang sangat melukai hatinya.

"Bukankah kau sudah mengetahui masalah yang sebenarnya yang menyebabkan terjadinya peristiwa menyedihkan itu?" Pek-i Liong-ong dengan sedih menatap muka Chu Seng Kun.

Chu Seng Kun menghela napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya kembali dengan kuat, seolah mau melemparkan ganjalan yang menghimpit hatinya. "Aku dan adikku memang sudah menyadari semuanya, kami memang tidak bisa menyalahkan siapapun dalam peristiwa itu. Malahan kalau mau dikaji, pihak kamilah yang lebih dulu bersalah karena telah menyebabkan kematian puteramu. Tapi…. bagaimanapun juga ayah angkatku telah mati karena muridmu! Oleh sebab itu aku tetap tidak mau menyebut susiok-couw kepadamu, meskipun di dalam hati aku sudah tak ingin mengingat lagi peristiwa itu." pemuda itu berkata dengan nada kaku.

"Baiklah... baiklah! Kita tak usah memikirkannya lagi! Lo-hu menjadi sangat sedih pula karenanya..." Pek-i Liong-ong berdesah dengan sedihnya. "Lo-hu jadi teringat kepada mendiang anakku pula..."

Sementara itu perahu yang mereka tumpangi telah berada di jalur tengah sungai kembali, sehingga tempatnya menjadi lapang dan tak banyak berpapasan dengan perahu lain lagi. Semuanya berdiam diri, sibuk dengan jalan pikiran masing-masing. Orang yang tadi tercebur ke dalam sungai dan kini juga ikut menumpang dalam perahu mereka itu tampak berdiam diri pula seperti mereka. Hanya wajahnya saja yang kelihatan bengong mendengar pembicaraan Pek-i Liong-ong dengan Chu Seng Kun yang tidak keruan ujung pangkalnya itu.

“Maaf, Lo-hu telah menyerempet sampanmu sehingga terbalik....” akhirnya Pek-i Liong-ong memecahkan kesunyian itu. “Tapi tak apalah….! Biarlah kita berperahu bersama-sama untuk sementara. Kemanakah tujuanmu? Ke pantai juga seperti kami?”

“Ke pantai juga boleh. Aku tak mempunyai tujuan yang tetap, karena aku sedang mencari seseorang di sekitar perairan sungai ini." Chu Seng kun menjawab tanpa menoleh. Matanya yang tajam itu meneliti setiap perahu yang mereka lewati, seakan-akan memang sedang mencari seseorang yang dia maksudkan itu.

"Siapakah yang kau cari itu? bolehkah Lo-hu mengetahuinya? Siapa tahu aku melihatnya?” Pek-i Liong-ong mengerutkan keningnya. "Hek-eng-cu!"

“Hek-eng-cu?” Pek-i Liong-ong, Souw Lian Cu dan orang yang ikut menumpang perahu mereka itu berseru kaget hampir berbareng.

"Ya! Mengapa...?” ganti Chu Seng Kun sekarang yang terkejut. Satu-persatu dipandangnya ketiga orang yang berdiri di depannya. Pek-i Liong-ong, Souw Lian Cu dan orang asing yang pakaiannya basah kuyup itu. Sementara itu Pek-i Liong-ong dan Souw Lian Cu, yang baru saja berseru kaget itu juga tampak terheran-heran memandang kepada penumpang mereka yang basah kuyup tersebut. Dalam hati mereka bertanya-tanya, mengapa orang itu juga tersentak kaget ketika mendengar nama Hek-eng-cu?

“Ah, tidak apa-apa.....” Pek-i Liong-ong yang menjadi curiga itu lekas-lekas menjawab pertanyaan Chu Seng Kun untuk menutupi kekagetannya. “Lo-hu pernah pula mendengar nama yang pada akhir-akhir ini menjadi sangat terkenal itu. Hanya sayang sampai saat ini Lo-hu belum pernah mendapat kesempatan untuk menjumpainya. Tapi.... siapa tahu kita nanti dapat berjumpa dengannya?” orang tua itu mengakhiri kata-katanya dengan tersenyum penuh arti kepada Souw Lian Cu.

“Benar! Siapa tahu kita nanti dapat bertemu dengan orang itu?" gadis itu mengangguk pula sambil mengedipkan matanya.

Agaknya Chu Seng Kun menangkap pula isyarat-isyarat yang diberikan oleh Pek-i Liong-ong tersebut. Hanya ia sedikit ragu-ragu ketika memandang ke arah Souw Lian Cu karena dia merasa tidak mengenal gadis bertangan buntung itu. Oleh karena itu dengan perlahan-Iahan ia melangkah mendekati Souw Lian Cu.

"Maaf, nona. Bolehkah aku mengenal namamu.......?" sapanya halus.

Souw Lian Cu tersenyum pula, dan setiap orang tentu akan memuji betapa cantiknya kalau gadis itu membuka mulutnya. "Namaku Souw Lian Cu, Chu-taihiap...." jawabnya dengan halus pula.

"Souw Lian Cu..?" Chu Seng Kun berseru kaget. Matanya melirik sekejap ke arah lengan yang buntung itu. "Apakah kau ini puteri saudara Souw… Souw Thian Hai?”

Souw Lian Cu mengangguk, mulutnya masih tetap tersenyum manis sekali.

"Wah, aku benar-benar sudah tak mengenalmu lagi. Kau sudah demikian besar sekarang. Lalu dimanakah ayahmu itu sekarang?" Chu Seng Kun tertawa gembira sambil menepuk-nepuk pundak gadis itu.

"Ayahku berada di rumah. Dia....."

"Hei? Berada dirumah.....?" pemuda itu terkejut.

"Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan ayahmu, katanya sudah berbulan-bulan dia berada di tempat seorang keluarga bekas pangeran Chin! Dia malah menjadi pengawal pribadi putera pangeran Chin itu...."

"Ohh?" sekarang ganti Souw Lian Cu yang terhentak kaget. "Ayahku menjadi pengawal pangeran Chin? Ah, dimana ayahku sekarang....?" gadis itu mengguncang guncang lengan Chu Seng Kun.

Tentu saja Chu Seng Kun menjadi bingung dan tak mengerti melihat sikap gadis itu. Tadi gadis itu berkata bahwa ayahnya berada di rumah tapi setelah ia mengatakan bahwa beberapa hari yang lalu ia telah berjumpa dengan ayahnya, gadis itu malah menjadi kaget dan bertanya tentang ayahnya! Bagaimana ini….?

Agaknya Souw Lian Cu mengetahui kebingungan Chu Seng Kun tersebut. Perlahan-lahan gadis itu melepaskan pegangannya. "Ah, maaf, Chu Tai-hiap.... Aku sampai lupa diri," katanya meminta maaf. "Aku memang sudah lama sekali meninggalkan rumah. Maka aku menjadi kaget ketika Chu Tai-hiap tadi mengatakan telah bertemu dengan ayahku beberapa hari yang lalu. Eh, dimanakah ayahku itu sekarang?"

"Lhoh, bagaimana sih engkau ini....?"

"Chu Tai-hiap, sudahlah…. panjang sekali kalau diceritakan. Nanti kita berbicara lagi tentang itu kalau ada waktu. Sekarang yang ingin kuketahui adalah, di mana ayahku itu?”

Chu Seng Kun tidak mendesak lagi. Pemuda itu bisa meraba, tentu ada masalah apa-apa di antara gadis ini dengan ayahnya, sehingga gadis ini meninggalkan rumahnya dan berbulan-bulan tak berhubungan lagi dengan ayahnya tersebut.

"Sayang aku tak mengerti dimana ayahmu berada sekarang. Hanya ketika aku bertemu dengan dia di desa Hok-cung, dia pergi dengan putera pangeran Chin itu...." pemuda itu memberi keterangan.

Souw Lian Cu menjadi lemas kembali. Berita tentang ayahnya yang telah bertahun-tahun dia tinggalkan itu membuat hatinya menjadi sedih. Perasaannya tergugah, dan kini rasanya dia menjadi rindu sekali kepada ayahnya itu.

Chu Seng Kun menghela napas. Pemuda itu dapat merasakan kesedihan yang diderita oleh gadis tersebut. Maka untuk mengalihkan perhatian ia menoleh kepada laki laki basah kuyup yang sedari tadi cuma diam saja itu.

"Hmm, siapakah saudara ini....? Apakah saudara juga satu rombongan dengan nona Souw Lian Cu?”

"Ah, benar.....! Lo-hu juga sampai lupa menanyakannya. Sudah sekian lamanya berperahu bersama, kita belum juga saling mengetahui nama masing-masing..." Pek-i Liong-ong tersentak pula dari lamunannya. Dengan sikap ramah ketua Aliran Mo-kauw itu menatap penumpangnya tersebut.

Orang itu semakin tampak kegugupannya. Dengan gagap ia menjawab. "Aku... aku... eh, namaku Liok Cwan….."

"Liok Cwan…?” Chu Seng Kun dan Pek-i Liong-ong menyebut nama itu dengan kening berkerut. Keduanya seperti mau memeras ingatan mereka masing-masing, siapa tahu mereka pernah mendengar nama itu di dalam perbendaharaan hati mereka.

"Ya... ya, aku Liok Cwan.... seorang pedagang dari Kota Raja Tiang An. Apakah tuan sudah pernah mendengar namaku?"

Chu Seng Kun menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lalu apa maksud tuan pergi ke pantai malam-malam begini?" pemuda itu bertanya.

"Ough... oh, anu... anu... soal dagang tentu saja. Aku mau menemui seseorang.... eh, maksudku... aku mau menemui langganan di sana."

“Ehmm!"

Semuanya berdiam diri lagi. Sementara orang yang mengaku bernama Liok Cwan itu semakin kelihatan gelisah dan tidak tenang. Beberapa kali orang itu mengusap muka dan lehernya dengan telapak tangan, seolah mau mengeringkan keringatnya yang bercampur dengan air sungai yang tadi membasahi tubuhnya.

Malam semakin dingin. Sementara permukaan airpun semakin melebar, sehingga rasa-rasanya perahu mereka sedang berlayar di sebuah telaga yang panjang dan tak tentu ujungnya. Tetapi dengan demikian perahu mereka malah dapat melaju dengan lebih tenang, karena gelombang air sungai juga tampak mereda. Meskipun demikian Pek-i Liong-ong masih harus tetap waspada pula dalam mengemudikan perahunya, karena ternyata di sekitar mereka masih tetap banyak perahu yang berlayar seperti mereka.

Chu Seng Kun mendekati Souw Lian Cu, kemudian duduk di sampingnya. Liok Cwan berdiri jauh di ujung perahu, sementara Pek-I Liong-ong tampak sibuk memegang kemudi di buritan.

“Kau tidak merasa dingin, nona……?” Chu Seng Kun membuka percakapan.

“Tidak!” Souw Lian Cu menggeleng, lalu menundukkan kepala. Mereka berdiam diri kembali.

“Jadi…. kau sudah lama sekali meninggalkan ayahmu? Ah, dia tentu kebingungan mencarimu. Mengapa kau tidak berusaha menemui ayahmu? Kulihat dia seperti sedang dalam kesukaran sekarang....” sekali lagi Chu Seng Kun mencoba menarik perhatian Souw Lian Cu, dan kali ini berhasil.

"Kesukaran? Apa yang taihiap maksudkan?” gadis itu tersentak dari duduknya. "Bukankah dia pergi bersama... ah, tidak!" tiba-tiba gadis itu membungkam mulutnya sendiri. Sekilas matanya yang bening lembut itu berkilat tajam menatap Chu Seng Kun. Sepintas lalu seperti akan marah tapi tak jadi.

Sebenarnya Souw Lian Cu mau mengatakan bahwa ayahnya tentu pergi bersama Chu Bwee Hong, adik perempuan Chu Seng Kun itu! Sebelum dia pergi meninggalkan rumah dahulu dia melihat wanita ayu itu datang bersama seorang lelaki ke rumahnya. Tapi Souw Lian Cu tak jadi mengatakannya.

"Mengapa nona...?" Chu Seng Kun mendesak, tapi gadis itu tetap tak mau menyebutkannya, sehingga akhirnya Chu Seng Kun melanjutkan sendiri kata-katanya. "Memang ayahmu pergi dengan pangeran Chin itu… dan inilah yang amat mengherankanku! Selamanya ayahmu tak mau menjadi pelayan orang, apalagi menjadi tukang pukuI seperti itu. Tentu ada apa-apanya dalam hal ini.....”

"Apakah ayah tidak bertanya tentang aku ketika bertemu dengan tai-hiap?"

"Ah, waktu itu kami bertemu dalam sebuah pertempuran yang luar biasa ributnya, sehingga tiada waktu untuk berbincang-bincang dengannya. Hanya yang kulihat waktu itu ialah ayahmu seperti sedang tertekan jiwanya karena harus melindungi seseorang tanpa dia kehendaki."

"Oh, ayah….!" gadis itu mengeluh dengan sedih. Timbul perasaan sesalnya karena telah meninggalkan ayahnya.

Chu Seng Kun membiarkan gadis itu merenung untuk beberapa saat lamanya, sehingga suasana menjadi sunyi kembali seperti tadi. Pek-i Liong-ong masih sibuk dengan tiang kemudinya, sedangkan Liok Cwan juga masih berdiri gelisah di ujung perahu.

"Nona.... mengapa kau tega meninggalkan ayahmu sampai berbulan-bulan lamanya? Bukankah kalian bertemu dan berkumpul bersama juga belum lama? Apakah engkau tidak merasa kasihan kepada ayahmu? Bagaimana kalau saking sedihnya dia menjadi kambuh kembali penyakitnya....?" dengan lembut Chu Seng Kun menegur Souw Lian Cu, seperti menegur adiknya sendiri.

Dalam hati Chu Seng Kun merasakan, tentu ada suatu persoalan pelik yang membuat gadis ini pergi meninggalkan ayahnya. Hanya yang belum bisa diketahui oleh pemuda itu adalah persoalan apakah itu? Meskipun demikian Chu Seng Kun berusaha untuk menyadarkan Souw Lian Cu agar mau kembali kepada ayahnya. Sebab bagaimanapun juga pemuda itu sudah merasa dekat sekali dengan Souw Thian Hai, ayah gadis ini.

Mereka bersahabat akrab sekali, karena Chu Seng Kun itulah yang dahulu merawat dan mengobati penyakit lupa ingatan Souw Thian Hai. Malah tidak hanya itu saja hubungan baik yang terjadi di antara mereka karena tanpa diduga adik Chu Seng Kun yang bernama Chu Bwee Hong ternyata secara diam-diam jatuh cinta kepada Souw Thian Hai yang telah duda dan beranak satu itu. Mungkin kalau tidak karena ulah Hek-eng-cu yang menculik adiknya itu mereka telah menikah dengan bahagia.

Diingatkan tentang penyakit ayahnya, Souw Lian Cu menjadi merah mukanya. Dan Chu Seng Kun menjadi salah tafsir, pemuda itu mengira Souw Lian Cu telah benar-benar tergugah perasannya dan sudah teringat kembali kepada penderitaan ayahnya. Tampaknya gadis itu mulai menyesali kelakuannya. Maka dari itu Chu Seng Kun segera menyambung perkataannya. "Nah, apakah engkau tidak merasa kasihan kepada ayahmu? Mengapa.....?"

Tapi pertanyaan itu terhenti dengan tiba-tiba. Dengan kaget Chu Seng Kun mengawasi Souw Lian Cu yang berdiri dengan mendadak. Dengan muka merah dan mata berkilat-kilat karena penasaran gadis itu menatap Chu Seng Kun.

"Mengapa? Mengapa....? Mengapa engkau hanya menyalahkan aku saja? Mengapa engkau tidak menyalahkan yang lain juga? Mengapa ayahku itu mesti kawin lagi dengan orang lain, misalnya?" gadis itu berseru dengan bibir gemetar dan hampir menangis, membuat Pek-i Liong-ong tersentak kaget melihat mereka. Orang tua itu terlongong-longong mengawasi Chu Seng Kun dan Souw Lian Cu silih berganti. Begitu juga dengan Liok Cwan!

"Heh? Mau kawin lagi...? Kawin dengan siapa?" Chu Seng Kun berdiri juga dengan tidak kalah terkejutnya. Otomatis pemuda itu lantas teringat kepada adiknya yang hilang.

"Dengan siapa lagi kalau tidak dengan enci Chu Bwee Hong, adikmu....?" Souw Lian Cu menjawab keras, dengan muka masib tetap meradang.

"Whah? Apaaaa...? Adikku? Di mana dia sekarang?" Chu Seng Kun berteriak dan meloncat untuk menyambar lengan Souw Lian Cu.

Tapi dengan tidak kalah gesitnya, Souw Lian Cu melejit ke belakang melewati atap perahu dan mendarat di dekat Pek-i Liong-ong. Gerakannya yang amat ringan itu bukan main indahnya, sehingga Liok Cwan yang semula tidak menyangka bahwa gadis remaja itu bisa ilmu silat, menjadi ternganga mulutnya.

Tetapi Chu Seng Kun cepat mengejar pula dengan lebih tangkas lagi. Meskipun bergerak kalah dulu, tetapi ternyata mereka mendarat di lantai perahu secara berbareng! Mereka berdiri berhadap-hadapan lagi. Saking tegang hatinya, Chu Seng Kun sampai pucat-pias wajahnya.

Memang dapat dimaklumi kalau Chu Seng Kun bersikap demikian. Dua tahun lamanya pemuda itu mencari adiknya tanpa mengenal lelah. Di dalam hati ia percaya bahwa pada suatu saat ia tentu dapat bertemu dengan adiknya tersebut. Meskipun Hek-eng-cu, yaitu orang yang melarikan Chu Bwee Hong mengatakan bahwa adiknya telah mati, tetapi pemuda itu tetap tidak mempercayainya. Chu Seng Kun percaya bahwa adiknya masih tetap hidup. Maka begitu mendengar Souw Lian Cu menyebut nama adiknya, otomatis pemuda itu seperti orang kesetanan!

"Souw Lian Cu! Apakah kau melihat Chu Bwee Hong? Dimana dia sekarang?” Chu Seng Kun berteriak keras tanpa mempedulikan Pek-i Liong-ong yang berdiri tak jauh dari tempatnya.

“Seng Kun! Ingatlah, kenapa kau ini....?" Pek-i Liong-ong berseru memperingatkan.

Chu Seng Kun menoleh. Wajahnya masih tetap tegang. "Lo-cianpwe, jangan khawatir…! Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin bertanya kepada gadis ini tentang adikku, Chu Bwee Hong. Adik perempuanku itu telah lenyap diculik oleh Hek-eng-cu dua tahun yang lalu dan sampai hari ini belum juga kembali….”

"Diculik oleh Hek-eng-cu dua tahun yang lalu?" sepasang mata Souw Lian Cu terbelalak dan wajahnya menjadi pucat seketika. "Jadi.... jadi lelaki yang datang ke rumahku bersama enci Bwee Hong itu adalah Hek-eng-cu?" gadis itu berseru dengan suara serak.

Sekali lagi Chu Seng Kun menyambar lengan Souw Lian Cu, dan kali ini gadis itu tidak mengelak lagi. Gadis itu telah menjadi lemas karena khawatir atas nasib ayahnya. "Jadi... eh, jadi Hek-eng-cu telah membawa Bwee Hong ke rumahmu? Lalu... lalu bagaimana keadaannya? Di mana dia sekarang?” Chu Seng Kun mengguncang lengan yang dipegangnya itu keras-keras.

Souw Lian Cu yang sekarang telah mulai merasakan adanya sesuatu hal yang tidak beres dalam persoalan ini segera bercerita tentang apa yang telah terjadi di rumahnya pada dua tahun yang lalu. Semuanya ia ceritakan tanpa terkecuali, termasuk pula rasa tidak suka dalam hatinya berhubung ayahnya teIah jatuh cinta lagi kepada wanita lain selain ibunya.

"Oohh....!” Chu Seng Kun berdesah dan menjadi lemas pula seperti Souw Lian Cu. "Jadi... jadi kau juga tak tahu pula kemana Chu Bwee Hong pergi? Oh, kemana sebenarnya anak itu? Apakah dia benar-benar telah dibunuh oleh Hek-eng-cu...?" pemuda itu mengeluh sedih, kemudian menjatuhkan dirinya di atas bangku.

"Hmmh... adikmu diculik oleh Hek-eng-cu? Kenapa engkau tidak mencari orang itu dan mengambiInya kembali?” tiba-tiba Pek-i Liong-ong menggeram. Bagaimanapun juga sikap yang ditunjukkan oleh Chu Seng Kun tadi kepadanya, tetapi kedua kakak beradik itu tetap keponakan muridnya juga. Maka perbuatan Hek-eng-cu itu sedikit banyak juga membuat malu dirinya pula.

"Aku telah menemui orang itu. Tetapi selain kepandaiannya sangat tinggi, kawannyapun sangat banyak dan rata-rata ilmu mereka setingkat dengan aku. Bagaimana aku bisa menang melawan dia....?” Chu Seng Kun menjawab hampir merintih.

"Begitukah...?" Pek-i Liong-ong merah mukanya. "Coba kau sebutkan, siapa saja teman-temannya itu!"

Chu Seng Kun menghela napas. "Song-bun-kwi Kwa Sun Tek, enam orang Iblis dari Ban-Kwi-to dan seorang jago lihai lagi yang belum kukenal namanya!" pemuda itu menyebutkan semua lawannya.

"Hmmh, baik...!" ketua Aliran Mo-kauw itu menggeram lagi. "Seng Kun! Dengarlah! Kini kau bersiap-siaplah, karena sebentar lagi kita akan bertemu dengan Hek-eng-cu....! Kau hadapilah musuhmu itu dengan tenang! Biarlah aku nanti yang membantumu menghadapi kawan-kawannya..."

"Hah? Jadi penjahat keji itu benar-benar berada di sekitar tempat ini?" Chu Seng Kun terlonjak dari tempat duduknya.

"Benar! Tunggulah....!" Pek-i Liong-ong menjawab tegas.

"Oh, Tuhan... terima kasih!"

Demikianlah, malam telah semakin larut dan perahu mereka juga semakin dekat dengan tempat tujuan. Suara debur ombak juga sudah mulai terdengar pula di telinga mereka.

"Nah, lihatlah itu! Lautan telah kelihatan dari tempat ini...."

Pek-i Liong-ong menunjuk ke kaki langit sebelah timur, di sana sebuah garis putih tampak membentang dari utara ke selatan. Sebuah garis melengkung yang seolah-olah membatasi langit dan bumi. Souw Lian Cu melangkah ke ujung perahu, kemudian memandang garis putih itu dengan takjub.

"Alangkah indahnya....!" gadis itu bergumam perlahan.

"Ya! Tapi sebentar lagi kita juga harus segera merapat ke pinggir, karena sangat berbahaya sekali membawa perahu kecil ini ke muara. Tempat itu benar-benar sangat berbahaya. Hanya perahu-perahu besar saja yang dapat melewatinya. Itupun kalau cuaca sedang baik. Di muara itu terdapat pusaran-pusaran air yang mampu menghisap dan menelan perahu-perahu kecil seperti kepunyaan kita ini untuk kemudian dimuntahkan kembali di tengah-tengah laut sana," tiba-tiba orang yang bernama Liok Cwan itu menyahut dengan wajah ketakutan, sehingga Souw Lian Cu yang sedang menikmati keindahan alam itu menjadi ngeri pula hatinya.

Tapi apa yang dikatakan oleh orang itu memang benar pula. Beberapa saat kemudian perahu mereka telah mencapai dusun yang terakhir, yaitu sebuah dusun yang tumbuh di pinggir sungai seperti juga halnya dusun Ho-ma-cun yang siang tadi mereka tinggalkan. Mereka melihat banyak sekali perahu-perahu dan sampan yang ditambatkan pada tonggak-tonggak kayu yang disediakan di tepian sungai.

Meskipun waktu telah larut malam, keadaan di tempat itu ternyata masih tampak hidup dan bergairah. Warung-warung kecil yang bertebaran di sepanjang sungai juga masih tampak terbuka pintunya. Sehingga sinar lampunya yang terang benderang menyorot keluar melalui pintu dan jendelanya, menyibakkan selubung kegelapan malam yang melingkupi dusun kecil tersebut. Beberapa orang lelaki tampak hilir-mudik di sekitar warung-warung itu. Dari jauh kelihatan seperti bayang-bayang hitam yang sekali-kali tampak menembus cahaya lampu yang keluar dari pintu warung.

Pek-i Liong-ong membelokkan perahunya ke pinggir, kemudian menambatkannya di tempat yang kosong. Semuanya ikut turun, dan Liok Cwan bergegas datang mendekati Pek-i Liong-ong untuk memberikan bayaran emas yang telah ia janjikan tadi. Tapi dengan tegas ketua Aliran Mo-kauw itu menolaknya.

"Ah, tidak usah. Berikan saja benda itu kepada fakir miskin yang lebih membutuhkan!"

"Fakir miskin....? Oh, ya.... ya! Terima kasih! Akan saya laksanakan perintah tuan ini. Sekarang aku... aku mohon diri!" Liok Cwan terbungkuk-bungkuk mengiyakan. Dan sebentar kemudian orang itu telah melangkah pergi dengan tergesa-gesa dan menghilang dalam bayang-bayang kegelapan malam.

"Siapakah sebenarnya orang itu? Gerak-geriknya mencurigakan sekali.....!" Chu Seng Kun bergumam perlahan.

Pek-i Liong-ong melangkah menghampiri Chu Seng Kun dan berdiri di samping pemuda itu. Matanya yang tajam berkilat itu menatap ke tempat gelap, di mana Liok Cwan tadi menghilang. "Entahlah. Mungkin juga dia salah seorang yang tahu masalah harta karun itu dan sekarang datang untuk ikut memperebutkannya," orang tua berkata perlahan pula.

"Harta karun? Harta karun apa itu?" Chu Seng Kun bertanya heran. "Jadi tujuan lo-cianpwe kemari ini untuk memperebutkan harta karun? Ah, lalu bagaimana rencana pertemuan kita dengan Hek-eng-cu itu?"

"Ahaa, bersabarlah...! Sebentar lagi kita juga akan bertemu dengan dia, sebab dialah yang nanti menjadi tokoh utama dalam masalah perebutan harta karun ini," Pek-i Liong-ong menjawab cepat. Lalu dengan cepat pula orang tua itu menceritakan serba sedikit tentang pertemuan di Pantai Karang tengah malam nanti.

"'Pantai Karang? Bukankah tempat itu adalah tempat penyeberangan ke Pulau Meng-to? Apakah dalam hal ini Keh-sim Siauw-hiap ikut terlibat juga?"

Pek-i Liong-ong tidak menjawab. Orang tua itu hanya mengangkat pundaknya tanda tak mengerti lalu berjalan perlahan ke tempat yang agak gelap. Chu Seng Kun dan Souw Lian Cu segera melangkah pula mengikutinya. Dari tempat itu mereka memperhatikan orang-orang yang hilir-mudik di sekitar mereka.

"Apakah yang lo-cianpwe cari?” Souw Lian Cu bertanya.

"Lebih baik kita berhati-hati di sini. Kulihat banyak orang yang mencurigakan berkeliaran di tempat yang sepi ini. Siapa tahu ada orang yang telah mengenal kita?"

"Apakah kita tidak langsung saja menuju ke Pantai Karang sekarang?” Souw Lian Cu bertanya.

"Tentu! Tapi kita mesti melalui orang-orang itu pula, bukan? Tiada jalan lain selain menerobos dusun ini bila kita mau menuju ke Pantai Karang itu. Sebelah timur dusun ini adalah rawa-rawa, sementara sebelah barat adalah bukit-bukit terjal yang sukar dilalui. Jika kita mengambil jalan dengan cara mengendap-endap di pinggiran dusun, kita justru akan dicurigai orang. Siapa tahu kita malahan berjumpa dengan seorang tokoh sakti di sana?"

"Jadi.....?”

“Kita menyeberangi jalan dusun ini....!" Pek-i Liong-ong menjawab tegas.

Kemudian mereka bertiga keluar dari tempat gelap itu dan berjalan perlahan ke Jalan besar yang membelah dusun kecil itu. Dengan sikap yang wajar, seolah-olah mereka bertiga adalah rombongan pedagang yang sedang kemalaman di jalan dan kini bermaksud singgah untuk mencari penginapan di dusun itu. Mereka melangkah di antara orang-orang yang hilir mudik di jalan tersebut. Mereka sengaja melewati tempat-tempat yang agak gelap dan tidak mendapatkan sinar secara langsung dari pintu dan jendela warung yang terbuka.

Sementara itu secara diam-diam mereka mengawasi orang-orang yang sedang makan minum di dalam warung serta orang-orang yang hilir mudik dan berpapasan dengan mereka di jalan. Meskipun diantara orang-orang yang mereka jumpai itu tidak ada yang terasa aneh atau mencurigakan tapi Pek-i Liong-ong percaya bahwa tentu ada seorang atau dua orang diantara orang-orang itu yang mempunyai tujuan yang sama dengan mereka, yaitu pergi ke Pantai Karang.

"Kelihatannya seperti tidak ada apa-apa tapi bila kita rasakan dengan sungguh-sungguh, kita akan merasakan sesuatu yang aneh dan menegangkan menyelubungi dusun ini. Lihatlah orang-orang yang duduk makan minum di dalam warung itu!" Pek-i Iiong-ong menunjuk ke sebuah warung di pinggir jalan. "Kelihatannya mereka makan dan minum dengan wajar. Tapi bila kita perhatikan benar-benar, kalian akan menemukan seorang atau dua orang yang selalu melirik ke sana ke mari, seolah-olah sedang mencari sesuatu. Misalkan orang yang berbaju kuning dan biru itu...,”

Chu Seng Kun dan Souw Lian Cu cepat memperhatikan dengan seksama dua orang yang ditunjuk oleh Pek-i Liong-ong itu. Dua orang itu tampak tegap dan gagah, gerak-geriknya juga sangat tenang dan berwibawa. Mereka duduk terpisah agak jauh, meskipun begitu mereka sering tampak memberi isyarat atau saling berkedip satu sama lain.

"Ah! Lo-cianpwe, aku mengenal dua orang itu!" tiba-tiba Chu Seng Kun berseru tertahan.

“Siapakah mereka?" ketua Aliran Mo-kauw itu tertegun.

"Mereka adalah anggota barisan Sha-cap-si-wi (Tigapuluh Pengawal Rahasia Kerajaan)!”

"Anggota Sha-cap-si-wi yang amat terkenal dan sangat dibangga-banggakan oleh Kaisar Han itu?”

"Benar. Aku pernah mengenal dua orang itu ketika pada suatu hari aku berjumpa dengan Kaisar Han. Kedua orang itu malah pernah diperbantukan padaku ketika Kaisar Han berusaha membantu aku untuk mencari adikku."

“Hmmmm.... Ialu apa maksudnya kedua orang itu di sini? Apakah Kaisar Han juga telah mencium berita tentang harta karun itu? Rasanya mustahil..." Pek-i Liong-ong mengerutkan keningnya.

"Mungkin Kaisar Han memang telah mendengar juga tentang hal itu. Tetapi mungkin juga belum!" Chu Seng Kun menyatakan pendapatnya. "Setahun yang lalu Kaisar Han telah menyebar tigapuluh orang pengikut pilihan itu ke seluruh negeri untuk mencari Cap Kerajaan yang hilang. Hanya persoalannya sekarang adalah... apakah kedatangan dua orang ini kemari dalam rangka mencari Cap Kerajaan itu atau bukan?"

Mereka berbincang sambil berjalan. Tapi kini mereka harus semakin berhati-hati, karena di dusun itu ternyata berkumpul jago-jago silat dari kerajaan pula. Mereka berjalan dengan hati-hati di tempat-tempat yang gelap yang jauh dari sinar lampu.

Tiba-tiba Souw Lian Cu menggamit lengan Pek-i Liong-ong dan Chu Seng Kun. Gadis itu lalu mengangkat jari telunjuknya ke arah bangunan yang mirip dengan kandang kuda di dekat warung yang paling ujung.

"Lo-cianpwe, lihat.....! Bukankah dia orang yang bernama Liok Cwan tadi?”

"Mana? Oh, benar...! Sedang berbicara dengan siapa dia?"

Sambil memperlambat langkah kaki mereka melirik ke arah Liok Cwan. Tampak oleh mereka Liok Cwan sedang berdiri berhadapan dengan seorang laki-laki berbadan tinggi gemuk di emper sebuah kandang kuda yang tak jauh letaknya dari jalan. Sebuah lampu teng yang tergantung di depan pintu kandang menerangi wajah kedua orang itu. Keduanya tampak asyik berbicara dengan serius, kelihatannya sedang membicarakan persoalan yang amat penting.

“Hei, bukankah orang itu….?” Pek-i Liong-ong dan Chu Seng Kun berdesah berbareng sehingga mereka saling memandang satu sama lain dan tidak meneruskan perkataannya.

“Hah? Siapa….?” Souw Lian Cu memandang kedua orang temannya itu berganti-ganti.

“Dia adalah salah seorang dari dua orang mencurigakan yang telah kuikuti jejaknya itu."

“Hei?! Jadi orang itu adalah kawan dari Hek-eng-cu? Hmm, kalau begitu Liok Cwan itu juga salah seorang kawan dari Hek-eng-cu pula. Wah, kita tadi terkecoh jadinya! Setengah seharian dia berperahu dengan kita, kita sampai tidak menyadarinya. Padahal kita tadi membicarakan persoalan Hek-eng-cu seenak kita sendiri...." Souw Lian Cu menggerutu.

"Benar! Kita memang kurang berhati-hati tadi. Kita terlalu meremehkan orang yang sebenarnya wajib kita curigai. Awal pertemuan kita yang sangat aneh itu seharusnya telah membuat kita berwaspada terhadap dia. Tapi ....sudahlah! Semuanya telah terlanjur. Hanya kini kita tidak bisa enak-enakan lagi, karena orang yang akan kita jumpai tentu telah tahu akan kedatangan kita. Mungkin mereka akan menyambut kita secara meriah atau mungkin juga malah tidak menyambut sama sekali! Mungkin mereka tidak akan menampakkan diri karena tidak ingin rahasia mereka diketahui orang lain.”

Pek-i Liong-ong bergegas menyelinap meneruskan langkahnya, diikuti oleh Chu Seng Kun dan Souw Lian Cu. Mereka melangkah dengan cepat, sehingga sebentar kemudian mereka telah keluar dari dusun itu.

"Marilah kita mengerahkan gin-kang kita, agar kita lekas-lekas meninggalkan tempat ini! Kawan-kawan Hek-eng cu yang berada disini tentu akan berusaha mencari kita.”

Pek-l Liong-ong menjejakkan kakinya ke tanah dan sekejap kemudian tubuhnya telah melesat ke depan dengan cepat sekali! Chu Seng Kun mengikuti pula tidak kalah gesitnya. Tubuhnya yang jangkung itu 'terbang‟ di belakang Pek-i Liong-ong seperti bayang-bayang saja. Sebagai ahli waris ilmu Pek-in Gin-kang, mereka berdua dapat bergerak cepat seperti kilat. Hanya tingkatan ilmu mereka saja yang berbeda, Pek-i Liong-ong sebagai ahli waris langsung dan Bu-eng Sin-yok-ong tampak lebih matang dan lebih sempurna dari pada Chu Seng Kun.

Kedua orang itu melesat pergi meninggalkan Souw Lian Cu begitu saja, karena agaknya mereka telah yakin bahwa gadis itu akan dapat berlari cepat pula seperti mereka. Sebagai keturunan keluarga Souw, Souw Lian Cu tentulah mempunyai gin-kang yang hebat juga, meskipun belum sehebat dan setinggi ayahnya tentunya.

Memang benar juga. Karena dua orang kawannya telah melesat meninggalkan dirinya, Souw Lian Cu terpaksa mengerahkan pula ilmu meringankan tubuhnya agar dapat mengejar mereka. Bagaikan seekor kijang berlari kaki gadis itu menjejak tanah dan berloncatan cepat sekali menerobos semak belukar meninggalkan dusun kecil tersebut. Biarpun tidak bisa mengejar Pek-i Liong-ong dan Chu Seng Kun, tetapi setidaknya dia juga tidak akan tertinggal jauh.

Demikianlah, mereka bertiga berlari cepat sekali menuju ke Pantai Karang yang letaknya sudah tidak begitu jauh lagi dari tempat itu. Mereka berlari di antara semak-semak belukar, rumput-rumput ilalang dan batu-batu karang yang bertonjolan di tepi pantai.

"Lihat, kita sudah hampir tiba di Pantai Karang! Pukul berapa sekarang?" Pek-i Liong-ong menoleh sambil memperlambat langkah kakinya.

"Sudah hampir tengah malam. Kita masih mempunyai sedikit waktu lagi untuk melihat-lihat suasana di tempat itu…" Chu Seng Kun menjawab.

"Dimanakah Souw Lian Cu?”

"Dia masih berada di belakang!" Chu Seng Kun mengarahkan ibu jari tangannya ke belakang melalui pundaknya.

Pek-i Liong ong menghentikan larinya, kemudian menoleh ke belakang. "Hebat juga gin-kang gadis itu…!"

"Tentu saja, seekor singa tak mungkin beranakkan kambing! Souw Thian Hai demikian saktinya, masakan anaknya tidak bisa apa-apa?" Chu Seng Kun berhenti berlari pula dan berdiri di depan Pek-i Liong-ong.

"Kau benar, Seng kun….."

Sebentar kemudian Souw Lian Cu telah datang, napasnya terengah-engah. "Wah, kalian ini sungguh kejam! Masakan aku ditinggalkan begitu saja...." gadis itu menggerutu dengan bibir cemberut.

Pek-i Liong-ong datang menghampiri Souw Lian Cu dan menepuk-nepuk pundak gadis itu. "Sudahlah, kau jangan marah! Bukankah kita sedang mengejar waktu tadi? Sekarang kita dapat berjalan bersama-sama lagi. Lihat, kita telah sampai di Pantai Karang!"

Orang tua itu menunjuk ke bawah lereng, di mana air laut menjilat pantai. "Oh? Tapi… tapi dimanakah adanya batu-batu karang yang berbentuk aneh itu?" tiba-tiba Souw Lian Cu berseru perlahan.

"Hah? Hei, Lian Cu.... kau benar! Dimanakah batu-batu itu?" Pek-i Liong-ong tersentak kaget pula seperti orang yang baru dibangunkan dari tidurnya.

"Oh, iya! Kemana larinya batu-batu itu? Dan…. Eh, kenapa pula angin laut ini bertiup demikian kuatnya?" Chu Seng Kun ikut berseru heran juga.

Seperti diketahui bahwa pantai tempat penyeberangan ke Pulau Meng-to itu disebut orang dengan nama Pantai Karang, karena di pantai itu berserakan batu-batu karang besar yang mempunyai bentuk aneh-aneh. Ada yang seperti seekor naga sedang mengangakan mulutnya, ada yang menyerupai manusia sedang berkelahi, dan ada juga yang mirip seekor binatang kilin, yaitu seekor binatang yang sangat disenangi dan dipuja oleh sebagian penduduk negeri itu.

Tapi sekarang batu-batu tersebut tidak ada di sana, semuanya hilang lenyap tak berbekas. Kini yang terlihat justeru gelombang air yang bergulung-gulung menggelora menghajar pantai. Buih air yang berwarna putih tampak pula memenuhi pinggiran pantai yang menjorok ke tengah laut itu. Sementara hembusan angin laut yang amat kuat tampak menerbangkan butiran-butiran air yang memercik ketika gulungan ombak menghempas tebing karang!

"Seng Kun, kau lihatlah! Agaknya sekarang memang sedang terjadi air pasang di sini…!” Pek-i Liong ong berkata sedikit lebih keras, karena tiupan angin mulai bergemuruh menulikan telinga mereka.

"Hmm, kelihatannya malah akan terjadi badai laut di sini." Chu Seng Kun berseru pula sambil mengusap mukanya yang mulai basah pula oleh hembusan angin yang mengandung air.

Pek-i Liong-ong menengadahkan kepalanya dan menatap awan hitam yang bergumpal-gumpal menutupi bintang. Kemudian sambil menghela napas dalam-dalam orang tua itu mengawasi pantai yang sunyi sepi itu. "Dugaanmu agaknya memang benar. Sebentar lagi mungkin akan terjadi badai laut yang dahsyat. Hmmm, lalu... bagaimana dengan pertemuan itu, ya….?” Pek-i Liong-ong berkata.

"Entahlah! Tempat ini kelihatannya sepi benar...." Chu Seng Kun menoleh kesana kemari.

"Yaa… kelihatannya memang sepi, tapi keadaan yang sebenarnya kukira tidak demikian halnya. Aku berani bertaruh di sini tentu telah banyak orang yang bersembunyi dan menantikan saat keluarnya atau saat diketemukannya harta karun itu. Aku yakin diantara semak-semak dan batu-batu karang itu tentu ada orangnya." Pek-i Liong-ong bergumam pula sambil menebarkan pandangannya, ke lereng tebing yang berada di bawah mereka.

Chu Seng Kun menatap ketua Aliran Mo-kauw itu sebentar kemudian mengangguk-angguk. Dalam hatinya pemuda itu membenarkan kata-kata orang tua tersebut. "Lalu....... apa yang mesti kita perbuat, lo-cianpwe?” tanyanya perlahan, sehingga hampir saja suaranya hilang tersapu angin laut yang bertiup amat kencang itu.

"Ya..... tentu saja kita harus menunggu keluarnya orang yang akan kita cari itu." orang tua itu menjawab. "Marilah kita mencari tempat persembunyian yang enak!"

"Mari. Eh, nona Souw.... marilah kita beristirahat dahulu!" Chu Seng Kun mengajak Souw Lian Cu yang sedari tadi cuma diam saja tak berkata-kata.

Gadis itu kelihatan terkejut. "Apa? Oh, anu.... ya,... ya.... marilah!'' katanya tergagap, sehingga Chu Seng Kun yang melihatnya menjadi tersenyum.

"Ah, engkau melamun.... nona," pemuda itu berkata sambil melangkah mengikuti ketua Mo-kauw.

"Oh! Tidak... tidak!" gadis itu tersipu-sipu malu.

Pek-i Liong-ong berjalan ke samping kiri di mana terdapat banyak batu-batu karang besar yang berserakan diantara semak-semak perdu yang lebat. Ternyata orang tua itu tidak menuruni lereng tebing yang luas itu.

"Kita tak usah turun mendekati pantai. Biarlah kita di atas sini saja. Dengan berada di atas kita bisa melihat dengan bebas ke lereng dan ke pantai. Setiap orang yang muncul di tempat itu akan segera kita ketahui.”

Akhirnya ketiga orang itu memilih duduk berdesakan di celah sebuah batu karang besar yang berlobang besar di tengah-tengahnya. Pek-i Liong-ong duduk bersila di tengah, sementara Chu Seng Kun dan Souw Lian Cu duduk di kanan kirinya. Mereka duduk diam tanpa mengeluarkan ucapan sepatah katapun, mereka menatap lereng tebing di depan mereka dengan sikap tegang.

Rasanya waktu berjalan dengan lambat sekali. Rasanya kaki Souw Lian Cu sudah mulai kesemutan, tapi suasana di tempat itu masih tetap sepi dan sunyi. Mereka tak melihat sesosok bayangan pun yang muncul atau melintasi lereng di depan mereka. Sejak tadi mereka cuma melihat bayang-bayang hitam dari semak-semak kecil atau batu-batu karang yang bertebaran di lereng nun luas itu.

"Jam berapa sekarang,...?" Pek-i Liong-ong yang sudah mulai tidak sabar itu menoleh kepada Chu Seng Kun. "Sudah lewat tengah malam,..."

"Heran! Apakah orang-orang itu tidak jadi kemari? Kakiku rasanya sudah kesemutan....." orang tua itu mengeluh sambil melirik Souw Lian Cu. "Bagaimana,, nona.....?"

Souw Lian Cu seperti tak mendengar pertanyaan itu. Gadis itu sudah mulai melamun lagi. Wajahnya yang ayu itu tampak menatap dengan tegang dan gelisah ke tengah-tengah lautan. Hati dan pikirannya telah dipenuhi lagi dengan bayangan Keh-sim Siauw-hiap, seorang lelaki pemurung yang mengasingkan diri di Meng-to karena cintanya yang gagal.

"Nona Souw....” Chu Seng Kun memanggil pula dengan suara perlahan.

Souw Lian Cu tetap tak bereaksi sedikitpun. Wajah itu malah tampak semakin sendu sehingga Pek-i Liong-ong dan Chu Seng Kun saling memandang dengan heran. Apalagi ketika wajah yang semula sendu itu tiba-tiba berubah menjadi berseri-seri gembira. Mata yang bening indah itu menatap dengan suka-cita ke tengah-tengah lautan, seolah-olah gadis itu menemukan kekasihnya di sana.

“Dia... dia datang....! Oh, dia benar-benar datang...." gadis itu mendadak berbisik dengan gembira.

Pek-i Liong-ong menoleh kepada Chu Seng Kun dengan kening berkerut, begitu pula dengan pemuda itu! Chu Seng Kun menatap ketua Aliran Mo-kauw tersebut dengan wajah tak mengerti! Tapi keduanya secara otomatis lalu menoleh ke atas ke tengah laut, mengikuti arah pandangan Souw Lian Cu. Dan tiba-tiba mata mereka menjadi terbelalak!

"Hah?!? Lo-cianpwe.… lihat! Ada orang datang dengan meluncur di atas ombak...!" Chu Seng Kun berseru perlahan, jarinya menunjuk ketengah laut, ke arah bayangan hitam yang meluncur di atas permukaan air.

Pek-i Liong-ong mengangguk-angguk. Orang tua itu juga melihat sesosok bayangan hitam yang berjalan cepat di atas permukaan air yang bergelombang besar. Bayangan yang tidak begitu jelas dalam keremangan malam itu tampak timbul tenggelam dipermainkan ombak. Mantel lebar yang membelit pundaknya berkibar ke belakang ditiup angin, sehingga sepintas lalu seperti sebuah perahu yang sedang memasang layer.

“Hek-eng cu…!" ketua Aliran Mo-kauw itu berbisik. “Keh-sim Siauw hiap....!” Souw Lian Cu berbisik pula didalam hatinya.

Ternyata jalan pikiran mereka berbeda. Souw Lian Cu yang sedang terbelenggu oleh bayangan pendekar Pulau Meng-to itu menganggap bayangan yang meluncur di atas permukaan air laut tersebut adalah Keh-sim Siauw hiap. Sedangkan Pek-i Liong ong dan Chu Seng Kun yang sejak semula memang ingin menemui Hek-eng-cu di situ, segera mengira bahwa bayangan tersebut tentulah orang yang mereka cari-cari itu.

Bayangan itu meluncur datang semakin dekat, sehingga caranya meluncur di atas permukaan air itu terlihat dengan jelas. Di bawah sepasang sepatunya tampak terikat sepotong bambu sepanjang satu setengah atau dua meter. Sekali-sekali potongan bambu itu tampak mencuat di atas permukaan air.

Orang itu memakai pakaian hitam-hitam dan mantel berwarna hitam pula. Kepalanya tertutup sebuah topi lebar terbuat dari bambu hitam yang halus anyamannya. Dan dari jauh wajahnya tidak begitu jelas terlihat, apalagi dari pinggiran topinya terjuntai lembaran sutera tipis yang menutupi seluruh wajah orang itu.

Bayangan hitam yang tidak lain memang Hek-eng cu itu mulai memasuki perairan Pantai Karang. Dan sebelum tubuhnya yang ringan bagai kapas itu meloncat ke daratan, dari dalam mulutnya terdengar suara siulan nyaring yang melengking mengatasi gemuruhnya ombak dan angin yang berkecamuk di tempat itu.

"Suuuiiiiiitt....!" Tiba-tiba suasana lereng tebing yang semula amat sepi dan sunyi itu kini seperti berubah menjadi hidup. Siulan-siulan kecil terdengar bersahut-sahutan di antara semak-semak belukar yang tumbuh pada lereng yang landai itu meskipun suara itu terdengar amat perlahan sekali. Sementara suara-suara binatang-binatang kecil, seperti cengkerik, belalang dan serangga-serangga malam lainnya, mendadak juga terdengar bersahut-sahutan pula.

"Dengarlah, suara-suara itu sangat mencurigakan sekali, bukan? Lo-hu berani bertaruh suara-suara itu bukanlah suara-suara binatang yang sesungguhnya..." Pek-i Liong-ong berbisik kepada Chu Seng Kun.

"Maksud Io-cianpwe....?”

"ini adalah suara-suara orang yang sejak tadi telah menunggu di tempat ini. Mereka memberi isyarat kepada teman-temannya....”

Hek eng-cu meloncat tinggi ke atas untuk melepaskan diri dari permukaan air yang mulai mengusap bibir pantai. Orang itu lalu berjumpalitan di udara untuk mematahkan daya lontar dari arus ombak, sekalian melepaskan potongan bambu yang terikat di bawah sepatunya. Kemudian dengan ringan sekali tubuhnya mendarat di atas sebongkah batu karang yang tersembul dari dalam tanah.

Gerakan-gerakannya ketika meloncat, kemudian berjumpalitan sambil melepas potongan bambu, lalu mendaratkan kaki di batu karang, benar-benar sangat cepat, tangkas dan lincah! Begitu hebatnya ilmu meringankan tubuh orang itu sehingga jago-jago gin-kang seperti Pek-i Liong-ong dan Chu Seng kun itupun masih tetap ternganga kagum melihatnya.

"Bu-eng Hwe-teng... ilmu warisan mendiang Si Raja Kelelawar!" Pek-i Liong-ong menghela napas.

"Ya! Sungguh mengherankan sekali, dari mana orang itu memperoleh ilmu sakti tersebut? Mungkinkah orang itu memang keturunan dari mendiang Bit-bo-ong?" Chu Seng Kun termangu-mangu pula.

Sebenarnya, melihat musuhnya telah muncul, rasanya Chu Seng Kun sudah tidak dapat menahan lagi kemarahannya. Tetapi oleh karena pemuda itu tahu bahwa Hek-eng-cu sebentar lagi akan dikelilingi oleh para pembantunya, maka kemarahannya itu terpaksa dipadamnya untuk sementara. Apalagi pemuda itu menyadari bahwa kepandaiannya masih belum bisa disejajarkan dengan lawannya itu. Kali ini ia hanya dapat mengandalkan pada bantuan Pek-i Liong-ong, yang sebenarnya masih terhitung susiok-couwnya sendiri.

"Bagaimanakah Lo-cianpwe....? Apakah kita akan menemui orang itu sekarang?” Chu Seng Kun menatap ke arah Pek-i Liong-ong.

"Marilah...!” orang tua itu mengangguk.

Tapi sebelum mereka beranjak dari tempat persembunyian itu, tiba-tiba dari arah selatan berkelebat sesosok bayangan yang berlari menuju ke tempat di mana Hek-eng-cu berada.

"Eit, sebentar...! Ada orang datang...." Pek-i Liong-ong menahan lengan Chu Seng Kun.

“Ah, bukankah dia pembantu Hek-eng-cu yang tadi kasak-kusuk dengan Liok Cwan?” Chu Seng Kun berbisik dengan dahi berkerut.

Bayangan bertubuh tinggi besar dan berbulu lebat itu memang tidak lain adalah Wan lt, tangan kanan Hek-eng-cu yang terpercaya. Orang yang berkepandaian sangat tinggi itu melesat datang di bawah batu karang tempat di mana Hek-eng-cu berpijak, dan memberi hormat kepada orang berkerudung hitam tersebut dengan tergesa-gesa.

"Ong-ya.....”

"Wan-heng, kenapa yang lain belum tiba? Apakah...?”

"Entahlah, hamba tidak tahu. Tapi kedatangan hamba kemari justru membawa….”

"Hah? Apa? Lekas katakan!" Hek-eng-cu memotong perkataan Wan-it, ketika orang yang menjadi pembantu utamanya itu tampak gugup dan tergesa-gesa.

"Maaf, Ong-ya! Hamba membawa berita yang mungkin akan mengejutkan hati Ong-ya nanti. Anu...pertemuan kita ini ternyata telah tercium oleh Kaisar Han!” orang yang bernama Wan It itu memberi laporan.

"Apa....? Kaisar Han telah mengetahuinya?" Hek-eng-cu tersentak.

"Benar, Ong-ya... Baginda malah sudah mengutus Yap Tai-ciangkun dan belasan anggota pasukan Sha-cap-mi-wi kemari. Mungkin sekarang mereka sudah berada di sekitar tempat ini pula....” Wan It mengangguk, lalu menebarkan pandangannya ke segala penjuru.

"Lalu...?" Hek-eng-cu ikut pula mengedarkan pandangannya kesekitarnya.

"Lebih baik kita menunda saja pertemuan kita hari ini. Kita harus cepat-cepat meloloskan diri dari sini, siapa tahu Yap Tai-ciangkun mengerahkan pula pasukannya? Tadi Liok Ciangkun datang menemui hamba dan memberi tahu kepada hamba tentang keadaan di kota raja. Katanya Kaisar Han telah mencium pula maksud kita untuk memberontak.....”

"Hah! Kurang ajar! Siapa yang berani membocorkan rahasia kita?" Hek-eng-cu menggeram, sambil menghentakkan kakinya, sehingga batu karang besar yang diinjakkan itu bergetar seperti mau roboh. "Kalau begitu mari kita pergi! Kita kesampingkan dulu harta karun ini. Sekarang yang lebih penting adalah urusan kita sendiri.....”

"Bagaimana dengan kawan-kawan kita yang lain?" Wan It bertanya.

"Nanti kita urus belakangan pula! Marilah...!" Hek-eng-cu meloncat turun dari atas batu besar tersebut dan mengambil potongan bambu yang tadi dilepaskannya.

Tapi tiba-tiba dari balik semak-semak yang berada di depan mereka muncul tiga sosok bayangan mencegat langkah mereka. Seorang wanita yang cantik luar biasa dan dua orang lelaki bertubuh sedang!

“Berhenti!" wanita cantik yang tidak lain adalah Chu Bwee Hong itu berteriak.

Hek-eng-cu dan Hek-mou-sai Wan It tertegun, mereka segera bersiap-siap. Tapi setelah mengetahui siapa yang datang, mereka segera tersenyum dan mengendorkan urat-uratnya. Hek-mou-sai Wan It malahan tertawa gembira sekali.

"Hahaha... sungguh kebetulan sekali! Dulu kita mendapatkan kesukaran untuk menculiknya, sekarang tanpa dicari malah sudah datang sendiri untuk menyerahkan diri...!”

Orang berbadan gemuk besar itu berkata sambil menoleh ke arah Hek-eng-cu. "Ong-ya, gadis yang tuan inginkan dahulu itu kini justru telah berada di depan kita. Apakah kita perlu menangkapnya lagi?"

Muka yang tertutup kain itu menatap kepada pembantunya, lalu mengangguk. "Jangan banyak membuang waktu! Lekas kerjakanlah....!" ia memberi perintah.

"Baik!” Hek-mou-sai menyahut lalu tubuhnya yang besar itu melesat maju. Tapi dua orang lelaki yang datang bersama Chu Bwee Hong itu segera menyongsongnya.

"Hihi haha... selamat bertemu kembali, Tukang Culik yang gagal! Di mana Si Kurus temanmu itu?” lelaki yang lebih tua, yang berwajah putih pucat, menyapa Hek-mou-sai Wan It dengan mulut pringas-pringis.

"Hahaha…. Put-swi-kui! Hantu Tak Berdosa! Marilah kita lanjutkan pertempuran kita dahulu! Kau jangan terlalu berbesar hati karena bisa mengusir aku tempo hari. Sekarang kulihat suhengmu Put-sim-sian yang lihai itu tidak datang bersamaan," Hek-mou-sai menjawab perkataan Put-swi-kui dengan tidak kalah ramahnya.

"Hei, kenapa mesti harus twa-suheng yang melawanmu? Kami berdua kukira juga sudah cukup untuk mengusirmu...!" lelaki di samping Put-swi-kui, yang tidak lain adalah Put-ming-mo, Si Setan Tak Bernyawa, berteriak sambil menepuk-nepuk perutnya.

"Begitulah pendapatmu? Mari kita buktikan saja...!" Hek-mo-sai berkata seraya menerjang ke depan. Otomatis Put-swi-kui dan Put-ming-mo berpencar untuk menghadapinya.

Sementara itu di tempat persembunyian, Pek-i Liong-ong terjadi sedikit ketegangan ketika Chu Seng Kun secara mendadak melihat adiknya yang telah bertahun-tahun menghilang itu kini tiba-tiba muncul di depannya! Hampir saja pemuda itu tak bisa mengendalikan hatinya dan melompat keluar dari persembunyiannya. Untunglah Pek-i Liong-ong cepat bertindak menahan lengannya.

“Seng kun, sabarkanlah hatimu...! Jangan gegabah! Lihatlah di balik semak-semak di depan kita itu...! Bukankah orang-orang itu adalah orang-orang dari Ban-kwi-to?"

"Tapi…. tapi... wanita itu adikku!" hampir saja Chu Seng Kun berteriak karena tidak bisa mengendalikan perasaannya.

“Ya.... ya, Lo-hu tahu. Tapi apa gunanya kau keluar dari tempat ini kalau di depan itu kau sudah dicegat oleh mereka? Hmm, pakailah otakmu! Jangan terburu-buru...!"

"Oooh....!" Chu Seng Kun berdesah lemas, karena menyadari ketergesaannya. "Lo-cianpwe, lalu apa yang harus kita kerjakan?”

"Nah, begitu! Sekarang marilah kita berputar, mencari jalan yang lebih aman untuk bisa mencapai ke tempat adikmu!”

Begitulah, mereka bertiga lalu keluar dengan hati-hati dari lobang batu karang tersebut. Mereka berjalan mengendap-endap di antara semak-semak yang mengelilingi lereng yang Iuas itu. Pek-i Liong-ong berjalan paling depan, sedangkan Chu Seng Kun berada di belakang sendiri. Adapun Souw Lian Cu yang hatinya sebenarnya tidak begitu merasa gembira karena harus menemui wanita yang telah merebut kasih sayang ayahnya, tampak berjalan dengan lesu di tengah-tengah kedua orang laki-laki tersebut.

Sementara itu hanya beberapa tombak saja jauhnya dari tempat persembunyian mereka tadi, dua orang gadis cantik kelihatan kaget dan tegang pula seperti mereka. Salah seorang diantaranya yang berkulit sangat putih kepucat-pucatan tampak menudingkan jarinya ke arah Chu Bwee Hong.

“Adik Lian, lihatlah...! Bukankah dia Chu Bwee Hong...?" serunya tertahan.

"Ah, benar! Wanita itu memang cici Bwee Hong...." gadis yang lain yang bersanggul tinggi dan berwajah cerah, menyahut dengan suara tegang pula.

"Marilah kita pergi ke sana…!”

"Ayoh, cici Siok Eng….”

Keduanya lalu meloncat keluar dan berlari menuruni lereng.

"Eeee, bukankah itu gadis yang bertengkar dengan kita di tepi sungai kemarin?" tiba-tiba terdengar suara serak dari semak-semak di sebelah kiri mereka, dan sekejap kemudian muncullah seorang laki-laki gemuk berkepala gundul menghadang kedua orang gadis itu.

"Berhenti, kelinci-kelinci manis! Mau ke mana kalian? Heheh, agaknya dunia ini memang sempit benar, ke manapun juga kita pergi ternyata selalu bertemu pula."

Kwa Siok Eng dan Ho Pek Lian menghentikan langkah mereka dan berdiri berdampingan mengawasi tubuh Ceng ya-kang yang gemuk kehijau-hijauan itu.

"Awas, cici Siok Eng! Iblis gundul ini tentu tidak sendirian...."

"Benar, anak manis, kita memang selalu pergi bersama-sama. Aih, tampaknya kalian dapat melepaskan diri dari pengaruh Bedak Seribu Wajahku. Huh, siapakah yang mengobati kalian?" mendadak dari balik batu karang di depan mereka muncul pula Jeng bin Siang-kwi sambil bertolak pinggang.

Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng saling memandang, kemudian mereka tersenyum bersama-sama, sedikit pun tidak kelihatan takut melihat lawan yang lebih banyak jumlahnya itu. "Apakah hebatnya bedak murahan seperti kepunyaan kalian itu? Paling-paling hanya untuk permainan anak-anak di desa."

"Kurang ajar!" Sepasang iblis kembar itu naik pitam. Keduanya lalu menerjang Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng! Dan kedua gadis cantik itupun segera melayani mereka dengan hangat pula.

"Adik Lian, berhati-hatilah dengan tipu muslihat dan racun mereka! Jangan sampai engkau terperdaya….!” Kwa Siok Eng memberi peringatan kepada Ho Pek Lian sambil mengelak dari sambaran kuku-kuku Jeng-bin Sam-ni. Sebentar kemudian mereka berempat telah terlibat dalam pertempuran yang seru dan ramai.

Melihat kedua orang gadis itu telah bertempur dengan sucinya, Ceng-ya-kang lalu meninggalkan tempat itu. Dengan cepat tubuh yang gemuk tersebut berlari menuruni lereng menuju ke tempat Hek-eng-cu berada. Tapi belum juga sampai di sana, Hek-eng-cu telah menoleh ke atas dan berteriak memperingatkan.

"Ceng ya-kang...! Di manakah saudara-saudaramu yang lain? Lekas ajak mereka meninggalkan tempat ini! Cepat! Kita nanti bertemu di tempat biasanya! Tempat ini telah dikepung oleh pasukan Yap Tai ciangkun…!"

"Ong-ya.....? Bagaimana?” Ceng-ya-kang menjadi gugup. Otomatis langkahnya berhenti.

"Jangan membantah! Nanti kita bicarakan persoalannya setelah kita lolos dari pantai ini. Pergilah! Cepat!" Hek-eng-cu berteriak lagi.

Ceng-ya-kang terpaksa menurut. Dengan sigap tubuhnya berbalik dan berteriak ke arah Jeng-bin Siang-kwi. "Cici… lekas pergi! Tinggalkan saja kelinci-kelinci itu! Tempat ini telah dikepung oleh....”

"Hahahaha... kalian sudah terlambat. Menyerahlah saja!" tiba-tiba di atas tebing muncul sesosok bayangan yang berdiri dengan kaki terpentang lebar dan bertolak pinggang. Pakaiannya yang lebar model pakaian sasterawan itu berkibar dihembus angin. Kemunculannya segera diikuti oleh berpuluh-puluh sosok bayangan lain yang tersebar di lereng itu, seolah-olah mereka memang telah dipersiapkan untuk mengepung Pantai Karang tersebut.

Dalam keremangan malam, senjata mereka tampak gemerlapan ditimpa sinar rembulan dan bintang. Sementara di sekeliling pemuda yang berpakaian model sastrawan itu sendiri, juga terlihat beberapa sosok bayangan yang berdiri kaku seolah-olah sekawanan anjing yang sedang menjaga keselamatan tuannya.

“Yap Kim....?" Ceng-ya-kang berbisik seakan tak percaya. Tokoh berkepala gundul itu tampak tertegun melihat pemuda tampan berpakaian model sastrawan tersebut, karena wajah itu benar-benar sangat dikenalnya.

Sementara itu pertempuran antara Jeng bin Siang-kwi melawan Ho Pek Lian yang dibantu oleh Kwa Siok Eng, otomatis juga berhenti pula. Semuanya memandang ke atas tebing dengan perasaan kaget. Mereka melihat belasan, bahkan puluhan sosok bayangan hitam yang berdiri kaku berjejer-jejer, seperti jajaran pagar bambu di halaman rumah.

"Cici Siok Eng, lihat....! Bukankah orang yang berpakaian seperti sastrawan itu adalah Yap Tai-ciangkun?" Ho Pek Lian berseru sambil menunjuk ke atas tebing.

"Eh, benar....! Yap Tai-ciangkun....! Mengapa pula dia berada di sini? Apakah sebenarnya yang telah terjadi di tempat ini?" Kwa Siok Eng menatap Ho Pek Lian dengan dahi berkerut.

"Entahlah, aku juga tidak tahu. Kemarin Yap Toa-ko juga tidak mengatakan apa-apa kepada kita...." Ho Pek Lian menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tapi.... sudahlah, kita tak usah berpusing-pusing memikirkannya! Yang perlu sekarang adalah urusan kita sendiri Marilah kita menemui Cici Chu Bwee Hong dahulu! Kelihatannya dia sedang menemui kesulitan dengan orang berkerudung itu..."

"Menurut kata Chu Seng Kun, orang itu adalah penculiknya....."

"Kalau begitu, marilah kita lekas-lekas kesana.....!”

Kedua orang gadis itu lalu melesat turun menuruni lereng, meninggalkan Ceng-ya-kang dan Jeng-bin Siang-kwi yang masih terpaku melihat pasukan Yap Tai-ciangkun di atas tebing. Rasa-rasanya Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng sudah tidak tahan lagi untuk segera memeluk dan mencium pipi Chu Bwee Hong yang selama ini telah membuat mereka kelabakan dan tak bisa makan enak dan tak enak tidur.

"Oh, alangkah gembiranya hati Chu Seng Kun nanti, bila melihat aku telah dapat membawa pulang kembali adiknya.... Kwa Siok Eng bersorak di dalam hati.

Perkembangan yang sangat mendadak yang terjadi di Pantai Karang itu ternyata juga sangat mengejutkan hati Hek-eng-cu pula! Hampir-hampir orang itu tidak mempercayai penglihatannya sendiri. Tempat yang semula tampak lengang dan sepi itu tiba-tiba saja berubah menjadi ramai dan penuh orang! Keadaan ini benar-benar tak disangkanya dan sejak semula memang tak pernah masuk dalam perhitungannya.

Keputusan untuk berkumpul di Pantai Karang itu baru ditetapkan dua hari yang lalu! Itupun hanya diketahui oleh orang-orang kepercayaannya saja! Bagaimana hal itu sampai diketahui oleh Kaisar Han? Masakan khabar itu bisa bocor? Mungkinkah ada yang membocorkannya?

Tapi rasa-rasanya tidak ada di antara para pembantunya yang berani berkhianat! Dia telah percaya penuh kepada para pembantu utamanya itu! "Persetan! Yang penting sekarang adalah bagaimana meloloskan diri dari kepungan ini!" Hek-eng-cu menggeram.

Hek eng-cu menebarkan pandangannya. Dilihatnya Hek-mo-sai Wan It masih tampak bertempur dengan seru melawan pengeroyoknya. Sedangkan di atas lereng tampak Jeng-bin Siang-kwi dan Ceng-ya kang telah bersiap-siap dengan racun-racunnya, sementara tidak jauh dari tempat itu Tee-tok ci juga tampak berdiri tenang di atas sebongkah batu karang.

Meskipun di sekitar mereka telah dikepung oleh pasukan Yap Tai-ciangkun, keempat saudara seperguruan dari Ban-kwi-to itu kelihatan tenang sekali. Sedikitpun tidak ada perasaan takut yang membayang di wajah mereka. Tampaknya mereka sudah amat percaya kepada kemampuan diri mereka masing-masing.

Hek-eng cu kemudian mempertajam daya pendengarannya. Ternyata telinganya juga mendengar suara ribut-ribut di atas tebing dan kalau tidak salah adalah suara suami isteri lm-kan Siang-mo! Dugaan Hek-eng-cu itu memang benar. Suara ribut di atas tebing itu memang suara lm-kan Siang-mo yang sedang dikeroyok oleh pasukan Yap Tai-ciangkun. Sepasang iblis termuda dari Ban-kwi-to itu begitu datang langsung dikepung dan dikeroyok oleh anak buah Yap Tai-ciangkun.

Tentu saja suami isteri sinting itu menjadi marah bukan main. Sambil meneriakkan sumpah serapah yang kotor dan kasar mereka mengamuk. “Hmmm, di manakah Song-bun-kwi kwa Sun Tek….?

Apakah dia belum datang? Kalau begitu justru sangat kebetulan sekali malah! Lebih mudah bagiku untuk menyelamatkan para pembantuku ini…..”

Sekali lagi Hek eng-cu mengedarkan pandangannya, kali ini untuk menilai keadaan. Orang berkerudung yang sangat misterius itu sedang berpikir keras, jalan apa yang mesti mereka tempuh untuk dapat meloloskan diri dari tempat itu.

Mengerahkan para pembantunya untuk naik ke atas tebing serta membobol kepungan Yap Tai-ciangkun terang tidak mungkin. Selain kekuatan mereka kalah kuat, posisi mereka juga tidak menguntungkan. Dengan mudah mereka akan dihantam dari atas dan dicerai-beraikan!

Meluncur di atas permukaan air seperti dirinya tadi, juga tidak mungkin! Di antara para pembantunya itu tak seorangpun yang mempunyai gin-kang sesempurna dirinya. Jangankan harus berdiri di atas sepotong bambu, sedang disuruh berada di atas selembar papan saja belum tentu mereka bisa!

Satu-satunya jalan cuma menerobos kepungan lawan yang berada di lereng, lalu berlari dan berloncatan menyusuri hutan karang berduri yang banyak terdapat di sepanjang pantai! Jalan itu memang jalan yang sangat berbahaya dan tak mudah dilalui orang. Mungkin hanya binatang-binatang yang mempunyai sayap saja yang mampu melewatinya.

Tapi justru keadaan yang seperti itulah yang sangat menguntungkan bagi mereka. Tak mungkin rasanya semua anak buah Yap Tai ciangkun itu dapat melewati hutan Karang yang tajam berduri itu. Paling-paling hanya akan ada beberapa orang lagi selain Yap Tai-ciangkun yang bisa melewati tempat tersebut. Dan itu berarti bahwa orang yang akan mengejar mereka hanya terdiri dari beberapa orang saja. Dengan demikian sangat mudah bagi mereka untuk membereskannya....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.