Pendekar Penyebar Maut Jilid 23

Cerita silat Mandarin serial Darah Pendekar seri Pendekar Penyebar Maut Jilid 23 karya Sriwidjono
Sonny Ogawa
Pendekar Penyebar Maut Jilid 23 karya Sriwidjono - SETELAH memperoleh keputusan demikian, Hek-eng-cu segera berteriak memberi aba-aba. "Semuanya menerjang ke arah utara. Teroboslah kepungan mereka, Ialu kerahkanlah seluruh kepandaian kalian untuk berloncatan di atas batu-batu karang di sepanjang pantai!"

Teriakan Hek-eng cu itu berkumandang memenuhi lereng yang luas tersebut, mengalahkan suara debur ombak dan gemuruhnya angin laut. Untuk sesaat Yap Tai-ciangkun menjadi kaget dan tertegun. Di dalam hati, panglima muda itu menjadi kagum menyaksikan kecerdikan lawannya.

Memang. Hutan batu karang yang sangat tajam dan berbahaya yang berserakan memenuhi tepian pantai utara Tiong-kok itu tidak mungkin bisa dilewati oleh manusia biasa. Tempat itu sangat terkenal seram dan mengerikan! Hanya kawanan burung laut saja yang dapat menginjakkan kakinya di sana.

Selesai memberi perintah, Hek-eng-cu lantas melenting ke depan dengan cepat sekali. "Wan Lo-heng, mari kita pergi! Jangan membuang-buang waktu! Tinggalkan saja orang-orang itu!" serunya keras ketika lewat di samping Hek-mou sai Wan It.

Tetapi mana Chu Bwee Hong mau melepaskan Hek-eng-cu? Gadis itu benar-benar telah mengalami suatu penderitaan lahir batin karena ulah laki-laki berkerudung tersebut. Maka setelah kini mereka dapat bertemu muka, tak mungkin rasanya gadis itu melepaskan musuh besarnya tersebut begitu saja. Dengan tangkas gadis itu menghadangnya.

"Iblis pengecut....! Mau lari kemana kau?” teriaknya lantang. Kedua belah tangannya segera menghantam ke depan, menyongsong gerakan Hek-eng-cu yang cepat bagai kilat itu.

Hek-eng-cu tak mau kehilangan banyak waktu hanya karena harus melayani Chu Bwee Hong dan kawan-kawannya. Oleh karena itu sambil mengelak ke samping, tangannya menyambar lengan Hek-mou-sai Wan It serta menariknya untuk diajak berlari bersama-sama.

Hampir saja mereka dapat meloloskan diri kalau dari balik sebuah batu karang secara mendadak tidak meluncur belasan jarum rahasia yang tertuju ke arah mereka. Jarum-jarum itu menebar dalam bentuk bunga bwee dan kecepatannya benar-benar sangat menggiriskan!

"Terimalah jarum rahasiaku.....!" terdengar suara yang melengking tinggi dari belakang batu karang itu dan sekejap kemudian muncullah Put-sin Nio-cu di hadapan mereka.

"Bagus, Siau Put-sia....! Marilah kita bunuh laki-laki berwatak iblis ini bersama-sama!" Chu Bwee Hong berseru lega begitu melihat taburan jarum rahasia tadi mampu menahan langkah kaki Hek-eng-cu dan Hek-mou-sai, sehingga kedua orang itu gagal meloloskan diri.

Hek-eng-cu menjadi marah bukan main! Sebenarnya dengan mantel pusakanya yang kebal senjata itu dia tidak takut menerjang hujan senjata yang bagaimana deras sekalipun. Tapi berhubung dia sedang menggandeng Hek-mo-sai Wan It, maka ia terpaksa ikut mengelak pula seperti pembantunya itu. Akibatnya, langkah mereka menjadi tertunda, sehingga di lain saat lawan-lawan mereka telah mengepung pula kembali.

"Bangsat kurang ajar...! Kalian memang orang-orang yang telah bosan hidup!" Hek eng cu menggeram marah. Tangannya yang menggandeng Hek mou-sai itu dilepaskannya, lalu bersiap-siap untuk menggempur gadis yang baru saja memberondong dirinya dengan jarum rahasia tadi.

Tapi wajah di balik kerudung itu kelihatan tertegun, agaknya orang itu mengenali wajah Siau Put-sia yang bundar bagai bulan purnama itu. Wajah dari gadis yang pernah digelutinya di pinggir sungai itu! Hek-eng-cu menjadi tegang. Otomatis tenaga dalamnya bangkit dan siap untuk dipergunakan. Tokoh sakti itu mengawasi Chu Bwee Hong dan Put sia Nio-cu berganti-ganti.

"Seraaaang....!" tiba-tiba Chu Bwee Hong berteriak memberi aba-aba.

Put-swi-kui, Put-ming mo dan Put-sia nio-cu serentak menerjang Hek Eng-cu dan Hek mou-sai. Masing-masing mengerahkan seluruh kekuatan dan kepandaiannya, karena mereka semua tahu bahwa lawan yang mereka hadapi kali ini bukanlah lawan yang sembarangan. Baru lawan mereka yang berbulu lebat itu saja amat sukar dihadapi, apalagi orang berkerudung itu.

Hek-eng-cu dan Hek-mou-sai berpencar, masing-masing menghadapi dua orang lawan. Sambil berpencar mereka menangkis serangan lawan. Hek-eng-cu menangkis pukulan Chu Bwee Hong dan Put-sia Nio-cu, sedangkan Hek-mou-sai menangkis serangan Put-swi-kui dan Put-ming-mo!

"Deeessss!" "Dhuuukh!”

Chu Bwee Hong dan Put-sia Nio-cu yang secara bersama-sama membentur tangkisan Hek-eng-cu tampak terpental dan hampir jatuh. Tapi sebaliknya Hek-mou-sai Wan lt yang menahan pukulan bersama dari Put-swi-kui dan Put-ming-mo, tampak terdorong mundur dan hampir terjengkang! Jadi apabila diperhitungkan, kekuatan mereka secara keseluruhan adalah seimbang.

Tetapi keadaan seperti itu sungguh tidak dikehendaki oleh Hek-eng-cu! Sebab pertempuran seperti ini tentu akan berlangsung lama dan membuang-buang waktu saja. Padahal waktu mereka sangat mendesak sekali. Mereka harus lekas-lekas meloloskan diri dari tempat itu, sebelum Yap Tai-ciangkun dan pasukan pilihannya turun dari atas tebing dan mengepung mereka!

Maka Hek-eng-cu segera mengerahkan seluruh kesaktiannya untuk cepat-cepat membereskan Iawannya. Tulang-tulang dan urat-urat di dalam tubuhnya terdengar gemeratak berkerotokan, seolah-olah tulang dan urat itu saling beradu dan berpatahan. Mantel pusaka yang sedari tadi selalu tersibak ke belakang, cepat ditariknya ke depan sehingga menyelimuti seluruh badannya. Mata yang tertutup oleh tirai tipis itu seakan-akan mencorong di dalam kegelapan. Dan pada saat Hek-eng cu telah siap untuk melontarkan seluruh kekuatannya itulah Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng tiba di tempat itu.

"Cici Bwee Hong, awaaaas....!!" Ho Pek Lian berteriak memberi peringatan kepada Chu Bwee Hong.

"Adik Lian..... eh, Cici Siok Eng........?!?” Chu Bwee Hong yang tidak menyangka akan bertemu dengan dua orang sahabat akrabnya itu menoleh dengan kaget. Sejenak gadis itu lupa bahwa dia sedang berhadapan dengan Hek-eng-cu yang lihai bagai iblis.

Dan kesempatan ini benar-benar tak disia-siakan oleh Hek eng-cu! Melihat pihak lawan kelihatannya hendak bertambah bala bantuan lagi, Hek-eng-cu menjadi semakin beringas! Tokoh hitam itu semakin tidak memikirkan apa-apa lagi! Dalam ketegangan dan kekhawatirannya, Hek-eng-cu sudah tidak mengingat lagi bahwa dia pernah menyukai Chu Bwee Hong, dan pada suatu saat justru bermaksud memilikinya.

Sekarang yang memenuhi hati dan pikirannya hanyalah nafsu untuk membunuh orang-orang yang merintanginya. Itu saja! Maka melihat ada kesempatan bagus untuk membokong lawannya, Hek-eng-cu segera menghantam dengan kekuatan penuh!

Novel silat Mandarin karya Sriwidjono Pendekar Penyebar Maut Jilid 23

Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng menjerit! Put-swi-kui, Put-ming-mo dan Put-sia Nio-cu terpekik pula saking kagetnya! Dan dalam keadaan yang sangat mengejutkan serta sangat tiba-tiba pula itu mereka serentak berusaha untuk menolong Chu Bwee Hong. Secara otomatis Put-sia Nio-cu menaburkan kembali jarum-jarum rahasianya, sementara dua orang kakak seperguruannya juga tampak melontarkan pisau-pisau terbangnya.

Sedangkan Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng yang baru saja datang, secara serentak juga melemparkan senjata yang dipegangnya. Semuanya mengarah ke tubuh Hek-eng-cu, dengan harapan dapat menahan serangan orang itu.

Tapi semuanya itu ternyata tidak diacuhkan oleh Hek-eng-cu! Tokoh berkerudung hitam itu tetap meneruskan serangannya kepada Chu Bwee Hong, sedikitpun tidak memperdulikan hujan senjata yang bertaburan ke arah badannya. Maka sejenak kemudian terjadilah suatu peristiwa yang benar-benar merontokkan hati orang-orang yang berusaha menolong Chu Bwee Hong tadi!

Mendengar jeritan kawan-kawannya, Chu Bwee Hong segera menyadari bahaya yang akan menimpanya. Di dalam keterkejutannnya gadis itu berusaha melindungi dirinya dengan Pai-hud Sin-kangnya yang hebat. Tapi tenaga dalam warisan Bu-eng Sin-yok-ong tersebut ternyata tidak dapat melindungi tubuhnya dari keganasan Pat-hong Sin-ciang lawan!

Tubuh yang tinggi semampai itu terpental tinggi ke udara, lalu jatuh terbanting ke atas pasir. Sesaat tubuh yang molek itu meronta tapi sekejap kemudian lalu diam tak bergerak. Kwa Siok Eng berdiri tertegun di tempatnya, hatinya serasa copot dan jantungnya seperti berhenti berdenyut. Begitu pula dengan Ho Pek lian dan yang lain! Semuanya bagaikan terpesona oleh suasana yang amat mengejutkan itu. Sementara itu rombongan Pek-i Liong-ong telah tiba di tempat ini pula!

“Bwee Hongggg.....!?!?” tiba-tiba Chu Seng Kun berteriak memilukan. Pemuda itu langsung menubruk adiknya yang terkapar tidak bergerak tersebut.

“Cici.....!!!” Souw Lian Cu menjerit pula. Begitu datang gadis remaja ini langsung menyerang Hek-eng-cu! sekejap terlihat gumpalan asap tipis, yang terdiri dari dua warna di atas ubun-ubunnya. Merah dan putih. Yang berwarna merah segera lenyap begitu tangan kanan Souw Lian Cu memukul ke arah Hek-eng-cu. Sebagai gantinya, tiba-tiba Hek-eng-cu merasa seperti ada badai angin panas yang secara mendadak menerjang ke arah dirinya!

Tentu saja Hek-eng-cu terperanjat bukan kepalang! tokoh berkerudung itu segera teringat kepada seorang musuh besarnya yang juga mahir mempergunakan Ang-pek Sin-kang seperti itu. Tapi perasaan terkejut itu segera berubah menjadi kemarahan yang menyala-nyala.

“Bocah buntung! apa hubunganmu dengan Souw Thian Hai?” bentaknya seraya mengelakkan serangan Souw Lian Cu yang sangat berbahaya itu.

“Aku adalah anaknya! kau mau apa? Takut.....? jangan khawatir, ayahku tidak ada disini sekarang.....!” Souw Lian Cu menjawab tanpa takut sedikitpun. Kaki kirinya segera melayang ke depan, begitu pukulannya dapat dielakkan oleh lawan.

Lagi-lagi Hek-eng-cu terkejut! Badai panas yang tadi menerjang kearah tubuhnya kini tiba-tiba berubah menjadi dingin. Begitu dinginnya sehingga rasa-rasanya malam yang gelap itu mendadak bertiup badai salju yang menggigilkan!

Souw Lian Cu di dalam kemarahannya memang mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Selama empat tahun dia bersama ayahnya, membuat lweekangnya semakin tinggi dan hebat tidak terkira! Tapi kenyataan ini tentu saja membuat Hek-eng-cu semakin bertambah lagi berangnya! Dengan nafsu membunuh orang berkerudung itu segera mengerahkan Pat-hong Sin-ciang sepenuh-penuhnya, lalu dengan siku tangan kanannya ia menyongsong tendangan Souw Lian Cu tersebut.

''Buuuuum!” Benturan tidak bisa dielakkan lagi! akibatnya Souw Lian Cu terlempar tinggi dan jatuh menimpa Chu Seng Kun yang sedang meratapi adiknya. Mereka bertiga terbanting tunggang-langgang di atas pasir yang basah! Bagaimanapun tingginya Ang-pek-Sin-kang Souw Lian Cu ternyata masih belum bisa menandingi lweekang Hek-eng-cu yang maha hebat. Sekali lagi gadis itu mengalami luka dalam yang amat parah.

Biarpun tulang-tulangnya serasa berpatahan semuanya, tapi Souw Lian Cu berusaha untuk bangkit kembali. Tapi lawannya ternyata tidak membiarkannya begitu saja! Melihat gadis itu masih dapat bergerak, tangannya yang masih penuh dengan tenaga Pat-hong Sin-kang itu segera diayun kembali ke arah korbannya!

Kali ini Souw Lian Cu tak mungkin lagi untuk melawan ataupun mengelak! Satu-satunya jalan cuma menanti datangnya maut yang akan mencabut nyawanya saja, karena semua peristiwa itu berlangsung dengan amat cepat dan dalam tempo yang sangat singkat, sehingga tidak seorangpun di tempat itu yang mempunyai kesempatan untuk menolongnya. Tapi apa yang terjadi kemudian benar-benar di luar dugaan atau anggapan tersebut!

Orang yang paling dekat tempatnya dengan Souw Lian Cu, yang tadi telah dianggap mati oleh semua orang, yaitu Chu Bwee Hong, mendadak bergerak dan membuka matanya! Melihat Souw Lian Cu dalam bahaya, tiba-tiba tubuhnya yang sangat lemah itu bangkit berdiri dan menubruk ke arah Souw Lian Cu untuk melindunginya.

“Dhieeeees!” Sekali lagi Chu Bwee Hong bagaikan dilemparkan oleh sebuah tenaga raksasa begitu terkena hantaman Hek-eng-cu! Darah segar tampak menyembur dari mulutnya, membasahi pasir yang basah, lalu tubuhnya terbanting di atas gundukan pasir yang agak lebih kering!

Chu Seng Kun yang tadi ikut tergeletak karena terlanggar oleh tubuh Souw Lian Cu segera melenting bangun dan menghambur kembali ke arah adiknya! "Bwee Hong! Bwee Hong....!" teriaknya.

Tubuh yang pucat bagai mayat itu diguncangnya dengan keras, tapi tubuh tersebut tetap diam tak bergerak. Bibirnya yang berlepotan darah juga tertutup rapat, sementara pelupuk matanya yang berbulu panjang itu juga terkatup rapat, seolah-olah gadis ayu itu memang telah tidak bernyawa lagi!

Sementara itu Souw Lian Cu yang baru saja lolos dari lobang kematian itu telah dipeluk dan dipapah ke tempat yang aman oleh Ho Pek Lian serta Kwa Siok Eng. Dan perhatian dari orang-orang yang saat itu ada di sana seolah-olah tercurah semuanya kepada nasib Chu Bwee Hong dan Souw Lian Cu, sehingga mereka seakan sudah melupakan Hek-eng-cu dan Hek-mou-sai!

Tak heran kalau kesempatan yang bagus ini lantas dipergunakan sebaik-baiknya oleh iblis berkerudung tersebut. Sambil menyambar lengan pembantunya Hek-eng-cu meloncat keluar arena, kemudian melesat ke arah utara, menerjang orang-orang Yap Tai-ciangkun yang ada disana. Put-swi-kui dan Put-ming-mo yang dilewatinya, hanya berdiri diam saja seolah-olah telah kehilangan akal.

Pasukan pengepung yang berada di bagian utara hanya terdiri dari pasukan biasa saja, biarpun mereka juga orang-orang pilihan, yang dipilih oleh Yap Tai-ciangkun sendiri untuk ikut dalam tugas berbahaya ini. Tetapi kepandaian mereka tentu saja tidak sehebat para anggota Sha-cap-mi-wi, sehingga tidaklah heran bila mereka menjadi kocar-kacir ketika diterjang oleh Hek-eng-cu!

Menghadapi kekuatan Hek eng-cu yang maha dahsyat, mereka bagaikan sekelompok semut yang diterjang dan diinjak-injak oleh seekor gajah besar, sehingga sekejap kemudian korbanpun berjatuhan banyak sekali. Maka dalam waktu yang singkat Hek-eng-cu dan Hek-mou-sai Wan It telah dapat membobol kepungan dan lolos ke dalam hutan batu karang yang sukar ditembus oleh manusia biasa.

Dengan kepandaian mereka yang tinggi Hek-eng-cu dan Hek-mou-sai berloncatan di atas ujung-ujung dari batu karang yang tajam dan berbahaya. Sedikit saja kaki mereka terpeleset, alamat tubuh mereka akan hancur tersayat oleh tajamnya permukaan padas dan batu-batu karang yang tajam bagai pisau. Dan sebentar saja mereka telah jauh meninggalkan Pantai Karang. Akhirnya mereka berhenti untuk melepaskan lelah setelah mereka yakin bahwa pasukan Yap Tai-ciangkun tidak mungkin dapat mengejar mereka lagi.

"Huah! Heran benar....! Bagaimana bangsat-bangsat kerajaan itu dapat mengetahui rencana kita yang amat rahasia itu?" Hek-eng-cu menghembuskan napasnya kuat-kuat untuk memuntahkan perasaan kesalnya.

"Entahlah! Hamba juga heran... Untunglah Ong-ya dapat melihat jalan keluar yang baik dari kepungan itu. Hmm, bagaimana dengan keadaan Tee-tok ci dan adik-adik seperguruannya? Adakah mereka bisa meloloskan diri seperti kita?" dengan terengah-engah Hek-mou-sai menyahut.

"Kita nantikan mereka di tempat ini! Kalau mereka bisa lolos, mereka tentu akan datang sebentar lagi. Eh, Wan Loheng.... kenapa dengan pakaianmu?"

Tergesa-gesa Hek-mou-sai Wan It melihat baju dan celana yang dikenakannya. Tampak oleh matanya pakaian itu telah compang-camping, seperti baru saja diiris-iris dengan pisau yang amat tajam. Bukan itu saja. Sepatu yang dipakainyapun ternyata terobek dan tampak bolong di sana-sini.

"Eh.... ini…. ini tentu akibat tergores ujung-ujung batu karang yang sangat runcing itu!" serunya hampir tak percaya. ''Saking tajamnya sampai hamba tidak mengetahuinya..." sambungnya dengan wajah pucat karena ngeri.

Hek-mou-sai Wan It mengawasi pakaian dan mantel yang dikenakan oleh pemimpinnya. Tapi dilihatnya pakaian tersebut masih tetap utuh dan tidak kurang suatu apa. Dengan sangat kagum Hek-mou-sai menatap ke arah Hek-eng-cu. Tapi sebelum mulutnya mengucapkan kata-kata pujian, tiba-tiba dari arah Pantai Karang tampak berkelebat sesosok bayangan yang mendatangi.

“Wan-loheng, awas… ada orang datang! Mungkin dia adalah Yap tai-ciangkun atau salah seorang anak buahnya,” Hek-eng-cu berkata.

Bayangan itu cepat sekali datangnya. Seperti juga yang telah mereka lakukan tadi, bayangan tersebut berloncatan pula diatas ujung-ujung batu karang yang runcing tajam bagai pisau itu. Hanya yang membuat sedikit bergetar di hati Hek-mou-sai Wan It adalah kenyataan bahwa pakaian dan jubah putih yang dipakai orang itu sedikitpun tidak tergores oleh tajamnya batu karang! Padahal orang itu telah berumur lebih daripada delapan puluh tahun.

“Sahabat, kalian berhentilah dahulu barang sebentar....!” begitu datang orang tua itu menjura dengan hormat. “Lo-hu adalah ketua aliran Mo-kauw ingin berbicara sedikit dengan tuan....”

Hek-eng-cu menoleh ke arah pembantunya, seolah-olah ingin mengatakan bahwa dia belum pernah mengenal ataupun berhubungan dengan orang yang mengaku sebagai ketua Aliran Mo-kauw tersebut. Dengan dahi berkerut Hek-mou-sai Wan It juga mengangkat pundaknya, sebagai tanda bahwa diapun juga belum pernah mengenalnya.

Orang tua yang tidak lain adalah Pek-i Liong-ong itu agaknya mengetahui keheranan lawannya. Oleh karenanya orang tua itu lekas-lekas memberi keterangan. “Tuan berdua tentu sangat bingung dan heran melihat lo-hu mengejar tuan berdua di tempat ini. Mungkin di dalam hati tuan menyangka bahwa lo-hu adalah kawan atau pengikut dari pasukan yang mengepung Pantai Karang itu tadi….”

“Hmm, kalau begitu siapa tuan sebenarnya?” Hek-eng-cu bertanya dengan hati-hati. Ginkang orang tua itu tinggi sekali, mereka harus berhati-hati menghadapinya. “Mengapa tuan juga berada di pantai itu, kalau bukan kawan atau anak buah Yap Tai-ciangkun?”

“Ah, mengapa harus orang-orang Yap Tai-ciangkun saja yang mesti di tempat itu? Kukira rahasia tentang harta karun itu bukan rahasia lagi. Sekarang setiap orang telah tahu belaka tentang hal itu. Coba lihat…..! Apakah gadis bertangan buntung itu tadi juga anak buah Yap-ciangkun? Apakah orang-orang Bing-kauw tadi juga anak buah Yap Tai-ciangkun?”

“Hah? Jadi kalian telah tahu pula tentang harta karun mendiang Perdana Menteri Li itu? Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Hek-eng-cu berseru kaget.

Pek-I Liong-ong tersenyum dengan tenang. “Haha…. itu disebabkan oleh karena kurang cermatnya anak buahmu itu menjaga dirinya, sehingga dengan mudah diikuti oleh petugas kerajaan,” katanya sambil menatap ke arah Hek-mou-sai Wan It.

“Pembantuku kurang cermat?” Hek-eng-cu berseru sambil mengawasi Hek-mou-sai yang berada disampingnya.

“Benar! Coba dia kau suruh mengingat-ingat ketika pergi ke Kuil Delapan Dewa bersama dengan pembantumu yang lain, yang kurus berpakaian putih-putih itu….! Apakah ia merasa kalau pada saat itu telah diikuti oleh Hong-lui-kun Yap Kiong Lee, salah seorang kepercayaan dari Kaisar Han?”

“Ohhh…. jadi Hong-lui-kun telah mengikuti aku sejak dari Kuil Delapan Dewa itu?” Hek-mou-sai menegaskan dengan suara gemetar. “Mengapa aku tidak mengetahuinya?”

“Hahaha....jangankan engkau, sedang pemimpinmu yang lihai itupun tak tahu kalau perahunya telah kemasukan pencuri.”

"Apa? Perahuku kemasukan pencuri?" Hek-eng-cu berteriak.

Pek-i Liong ong menghela napas panjang. "Eh, maksudku tuanpun tidak tahu puIa bahwa Hong-lui-kun juga telah ikut masuk ke dalam perahu yang tuan pakai untuk mengadakan perundingan itu."

"Ooooh, jadi itulah yang menyebabkan rahasia tentang harta karun ini telah bocor. Lalu mengapa tuanpun ikut mengetahuinya pula? Apakah Hong lui-kun telah mengatakannya juga kepada tuan?” Hek-eng-cu menggeram.

"Ah, itu tidak perlu karena aku juga telah mendengarnya sendiri dari mulut tuan.”

"Oh, jadi tuan juga telah ikut masuk pula ke dalam perahuku?"

"Tidak! Lo-hu cuma mengikuti perahu tuan dari tepian sungai saja. Tapi hal itu sudah cukup bagi lo-hu untuk ikut mendengarkan pembicaraan tuan."

"Kalau begitu kedatangan tuan ke Pantai Karang ini juga ingin memperebutkan harta karun itu? Tapi, mengapa tuan mengejar kami? Tuan telah melihat sendiri bahwa kami belum sempat mengambilnya.” Hek-eng-cu berkata dengan kaku.

Sekali lagi Pek-i Liong ong tersenyum. "Tuan telah salah terka! Lo-hu tidak mempunyai minat sedikitpun untuk memiliki harta karun tersebut."

"Lalu.... apa maksud tuan mengejar kami?" Hek-mou-sai yang sejak tadi hanya diam saja ikut berbicara saking herannya.

Pek-i Liong ong tidak lekas-lekas menjawab pertanyaan itu. Dengan tenang orang tua itu menengadahkan kepalanya yang berambut putih ke arah Iangit yang bertaburan bintang. "Hal inilah yang hendak kubicarakan dengan tuan tadi...." akhirnya orang tua itu membuka mulutnya.

"Lekaslah tuan katakan! Kami tidak mempunyai banyak waktu lagi," Hek-mou-sai membentak.

Orang tua itu menunduk kembali, matanya yang mencorong itu menyambar ke arah Hek mou-sai, sehingga yang belakangan ini menjadi terkejut hatinya. "Baiklah, akan lo-hu katakan... Apakah sebabnya tuan mengadu-domba Aliran Mo-kauw, Bing-kauw dan lm yang kauw? Tuan tidak usah mungkir, karena lo-hu telah mengetahui semuanya...." Pek-i Liong-ong langsung mengatakan maksudnya.

Hek-eng-cu saling memandang dengan Hek-mou-sai, seolah-olah ingin saling mencari pertimbangan, apa yang mesti mereka katakan kepada orang tua itu. Hek-mou-sai tampak menganggukkan kepalanya, sebagai tanda bahwa dia menyerahkan semuanya kepada Hek-eng-cu. Orang berkerudung itu menghela napas panjang sekali, seakan-akan mau mencari kekuatan agar dirinya dapat lebih tenang menghadapi orang tua yang amat lihai tersebut.

"Baiklah. Karena tuan juga telah berterus terang kepada kami, maka kami pun juga akan berkata terus terang pula kepada tuan," akhirnya Hek-eng-cu berkata tegas dan keras. "Memang kamilah biang keladi pertumpahan darah antara ketiga aliran itu! Akulah yang memerintahkannya! Aku bermaksud membuat keadaan di negara ini menjadi kacau dan ribut, sehingga aku dapat leluasa melaksanakan rencana dan cita-citaku. Nah, tuan mau apa sekarang? Mau menuntut balas? Marilah kulayani sekarang juga....”

Pek-i Liong-ong menatap kedua orang lawannya dengan tajam, tangannya mengelus jenggotnya yang melambai-lambai di depan dadanya. Suaranya masih halus dan lembut ketika menjawab tantangan Hek-eng-cu tersebut. “Baiklah, agaknya maksudku untuk membawa tuan ke tempat kami dengan baik-baik tidak akan tuan penuhi. Sebenarnya kami hanya ingin agar tuan mau menjernihkan kemelut itu di hadapan kami semua..."

"Hmh!!" Hek eng-cu mendengus. ''Agaknya tulangku yang tua ini terpaksa harus bekerja keras malam ini...." Pek-i Liong-ong menyingsingkan lengan bajunya, lalu bersiap-siap untuk bertempur mati-matian dengan Hek-eng-cu.

Sementara itu pertempuran di Pantai Karang sendiri sepeninggal mereka masih berlangsung dengan hebatnya. Tee-tok-ci dan saudara-saudara seperguruannya berusaha untuk membobol kepungan Yap Tai-ciangkun. Tapi menghadapi demikian banyak pasukan, apalagi belasan di antaranya adalah anggota pasukan Sha-cap mi-wi, benar-benar sangat berat bagi mereka.

Racun racun yang mereka pergunakan memang membuat banyak korban, tapi pasukan yang datang mengeroyok merekapun seperti tiada habis-habisnya pula. Mati satu datang empat, mati empat datang pula yang sepuluh, sehingga akhirnya racun mereka telah habis mereka pergunakan.

Lalu mulailah Tee-tok-ci dan saudara-saudaranya mengalami kesukaran dalam menghadapi para pengepungnya. Dan yang pertama-tama mendapatkan kesulitan adalah pasangan suami isteri Im-kan Siang mo yang bertempur di atas tebing. Di dalam kesulitan mereka, sepasang iblis dari neraka itu masih saja meneruskan adat kebiasaannya, mereka selalu bertengkar dan saling memukul setiap ada kesempatan. Tidak lupa mulut mereka selalu mengoceh tidak karuan.

“Nah, apa daya kita sekarang? Semua senjata dan racun milik kita telah hilang bersama pedati kita itu. Sekarang kita tidak punya apa-apa lagi untuk melawan anjing-anjing kerajaan ini,” Hoan Mo-li si Iblis Wanita bersungut-sungut kesal, seolah-olah menyalahkan suaminya.

Biarpun teramat gemuk dan agak kurang waras, tapi sepak-terjangnya di dalam pertempuran ternyata sangat menggiriskan lawan-lawannya. Lengannya yang pendek-pendek itu ternyata sanggup meringkus dua atau tiga orang sekaligus, lalu membantingnya atau melemparkannya ke bawah tebing. Tak seorangpun yang masih hidup apabila telah kena ringkus olehnya, mereka tentu putus napasnya atau berpatahan tulang-tulangnya.

Tapi yang mereka hadapi bukan cuma satu atau dua orang saja, melainkan sepasukan besar tentara kerajaan. Maka kehebatan yang mereka perlihatkan itu tidak berlangsung lama. Begitu dua atau tiga orang anggota Sha-cap-mi-wi ikut mengeroyok mereka, mereka berdua tidak bisa berkutik lagi. Merekalah yang kini harus mati-matian mempertahankan hidup mereka.

“Mengapa kau menyalahkan aku? Bukankah kau sendiri yang memulai dengan perselisihan pada waktu itu? Mengapa sekarang kau menjatuhkan kesalahan itu kepadaku?” Bouw Mo-ko, suami perempuan itu berteriak menjawab keluh-kesah isterinya.

“Siapa menyalahkan engkau? Aku Cuma menyesali nasib kita…. aduhh!”

Tiba-tiba sebuah tendangan dari salah seorang anggota Sha-cap-mi-wi mengenai pantat wanita gemuk itu, sehingga kata-katanya terputus di tengah jalan. Tubuh yang besar seperti gajah itu terpental ke depan dan menabrak sebuah pohon. Tentu saja wanita itu menjadi marah sekali. Kedua belah telapak tangannya digosok-gosokkannya satu sama lain, lalu memukul ke arah para pengeroyoknya yang mau memanfaatkan keadaannya yang runyam tadi.

“Bussss!”

“Aduuuuh...!" Dua orang pengeroyoknya jatuh terkapar di atas tanah. Mereka berkelojotan seperti orang kepanasan, tapi sebentar kemudian mereka menggigil kedinginan, lalu selanjutnya meninggal dunia seperti udang kering. Para pengeroyok yang lain mundur ketakutan.

Dua orang anggota Sha-cap-mi-wi maju dengan sigap dan tangkas. Keduanya memegang pedang yang panjang. "Awas! Serang saja dengan senjata kalian yang panjang! Jangan terlalu dekat dan jangan sekali-kali menangkis pukulan mereka! Mereka mempunyai pukulan Im-yang Tok-ciang yang sangat beracun….”

Salah seorang dari anggota Sha-cap-mi-wi itu berteriak memperingatkan kawan-kawannya. Sebagai seorang jago silat kelas satu di dunia kang-ouw, para anggota Sha-cap-mi-wi tahu belaka segala ilmu yang aneh-aneh di dunia persilatan. Biarpun mereka belum pernah melihat atau mengenal ilmu pukulan yang dilancarkan oleh wanita iblis tersebut, tapi guru mereka telah menceritakan serba sedikit tentang segala macam pukulan beracun di dunia ini, termasuk pula ilmu pukulan Im-yang Tok-ciang dari Im-kan Siang-mo tadi.

Demikianlah, Im-yang Tok-ciang yang dikeluarkan oleh sepasang iblis itu akhirnya tidak berarti pula lagi. Hujan senjata yang dilancarkan oleh para pengepung itu benar-benar sangat menyulitkan Im-kang Siang-mo. Berkali-kali ujung senjata lawan menggores dan melukai badan suami-isteri itu, sehingga tubuh kedua iblis itu lambat laun seperti binatang buruan yang terluka mandi darah oleh senjata para pemburunya. Kalau sekali-kali sepasang suami isteri itu mau membalas menyerang, dua orang anggota Sha-cap-mi-wi itu segera mencegat dan memotongnya, sehingga otomatis serangannya menjadi gagal.

"Gila! Sungguh gila! Moi-moi, tampaknya kita memang akan mati hari ini...." Bouw Mo-ko merintih seperti orang yang sudah berputus asa. Badannya yang kurus itu tampak seperti bukan manusia lagi saking banyaknya darah yang berlepotan di sekujur tubuhnya.

"Koko... aku juga takut! Orang-orang ini kelihatannya seperti roh-roh haus darah dari orang-orang yang pernah kita bunuh. Kini mereka datang semua menyusup ke dalam tubuh para pengeroyok kita ini untuk membalas dendam kepada kita, hiiiii....." Hoan Mo-li merintih pula ketakutan. Iblis wanita ini keadaannya juga tidak lebih baik dari pada suaminya. Badannya yang gemuk tambun itu telah tersayat-sayat mengerikan. Beberapa buah Iobang luka yang mengucurkan darah, tampak terbuka di beberapa tempat.

"Jangan mengulur-ulur waktu! Cepat bunuh kedua iblis ini!" tiba-tiba seorang berpakaian perwira muncul dan memberi perintah.

Dua orang anggota Sha-cap-mi-wi datang lagi memberi bantuan. Maka sebentar kemudian sepasang Iblis yang telah terdesak hebat itu makin tak bisa berbuat apa-apa. Sabetan golok dari salah seorang anggota Sha-cap-mi-wi yang baru datang itu tidak dapat dielakkan lagi oleh Hoan Mo-li. Akibatnya sebelah kaki iblis wanita itu putus dan melayang ke udara. Tak ayal lagi badan yang gemuk itu jatuh ke tanah dan selanjutnya iblis tersebut tak kuat lagi menangkis hujan senjata yang mencacah-cacah tubuhnya! Tubuh itu hancur bagaikan cacahan daging bakso!

"Tolong....!" Dalam ketakutan dan kengeriannya Bouw Mo-ko meloncat pergi mau meloloskan diri. Tapi sebuah tombak panjang menyongsong perutnya. Bouw Mo-ko berusaha mengelak dengan menghantam ujung tombak tersebut. Usahanya berhasil, tapi di lain saat beberapa buah senjata pedang dan golok telah membabat ke arah kaki dan perutnya. Terpaksa dengan wajah pucat dan napas memburu, Bouw Mo-ko meIenting lagi ke atas.

Tapi sungguh celaka! Sebatang tombak berkait dari salah seorang pengeroyoknya berhasil menggantol celananya, sehingga maksudnya untuk meloncat ke udara itu menjadi kandas di tengah jalan. Maka tak ampun lagi beberapa buah senjata yang menyerang tubuhnya tadi dengan telak mengenai sasarannya!

"Ibliiiis laknat keparaaat… aduuuh!!!” Disertai teriakannya yang menyayat hati tubuh Iblis Ban-kwi-to itu rebah ke atas tanah. Beberapa saat lamanya tubuh tersebut meregang seperti ayam disembelih, dari mulutnya masih terdengar sumpah-serapahnya, untuk kemudian terkapar mati!

Sejenak orang-orang yang mengeroyok Im-kan Siang-mo tadi termangu-mangu di tempat masing-masing. Mereka seolah-olah baru sadar bahwa mereka tadi telah membunuh sepasang iblis dengan cara yang amat mengerikan. Di dalam hati rasa-rasanya mereka baru saja membunuh binatang buruan yang sangat berbahaya.

“Ayoh! jangan terus berdiri mematung disitu! Lihat kawan-kawan kita masih bertempur di bawah sana.....!” perwira yang memberi perintah tadi berteriak kembali menyadarkan mereka.

Bagaikan dibangunkan dari tidur mereka orang-orang itu lantas berlari menuruni Iereng membantu kawan-kawan mereka yang sedang mengepung Tee-tok-ci, Ceng-ya-kang dan Jeng bin Siang-kwi! Dan kedatangan mereka itu memang sangat membantu para pengepung iblis-iblis dari Ban-kwi-to tersebut.

Sebaliknya bagi Tee-tok-ci yang sudah terdesak hebat itu, bala bantuan tersebut semakin menyulitkan kedudukannya. Tubuhnya yang kecil itu mulai menerima tusukan dan sabetan senjata para pengepungnya, sehingga pakaiannya menjadi compang-camping dan penuh noda darah.

“Anjing-anjing busuk keparaaaat...! Ayo, jangan main keroyokan kalau memang kalian berani! Marilah beradu dada satu lawan satu!” di dalam kerepotannya Tee-tok-ci memaki dan mengumpat saking marahnya.

Tentu saja umpatan dan tantangan itu tak dipedulikan oleh lawan-lawannya. Mereka justru semakin gencar mendesak iblis itu agar pertempuran tersebut lekas selesai. Tiga orang anggota Sha-cap mi-wi yang baru saja turun dari atas tebing tadi segera menyerang Tee-tok-ci dari tiga jurusan, sementara dua orang anggota Sha-cap-mi-wi lainnya, yang sejak semula telah mengepung iblis tersebut, mendesak dari depan dan belakang.

Mereka berlima menyerang berbareng dari segala jurusan, sehingga rasa-rasanya Tee-tok-ci takkan mungkin bisa menyelamatkan diri lagi. Apalagi jika diingat bahwa kepandaian dari masing-masing anggota Sha-cap mi-wi tersebut tidak berselisih banyak dengan Tee-tok-ci sendiri.

Ternyata apa yang terjadi selanjutnya adalah benar-benar di luar dugaan para anggota Sha-cap-mi-wi tersebut. Dalam keadaan terpojok itu, tiba-tiba Tee-tok-ci menarik sebuah cambuk panjang dari pinggangnya. Lalu dengan cepat bagai kilat cambuk itu diputar untuk menyongsong hujan senjata yang tertuju ke arah dirinya. Cambuk itu mengeluarkan suara mengaung saking hebatnya tenaga dalam yang mendorongnya.

Terdengar suara berdencing berkali-kali ketika sabetan cambuk itu mampu mementalkan laju senjata yang bertaburan ke arah badannya. Otomatis lima orang anggota Sha-cap-mi-wi itu berloncatan mundur. Semuanya meneliti senjata masing-masing, kalau-kalau senjata mereka mengalami kerusakan terbentur cambuk lawan.

Kesempatan itu dipergunakan oleh Tee-tok-ci untuk mengambil peluit pemanggil tikusnya, kemudian berbareng dengan serangan para pengeroyoknya kembali, dia meniup peluit tersebut dengan kerasnya. Suaranya melengking tinggi, mengalahkan suara ombak dan angin laut yang gemuruh tiada henti-hentinya.

Tapi sudah sekian lamanya menanti, Tee-tok ci belum juga melihat binatang-binatang yang diharapkannya itu. Padahal ledakan-ledakan cambuknya sudah tidak dapat melindungi dirinya lagi dari sengatan-sengatan senjata lawannya. Beberapa sobek luka telah menganga pula di beberapa bagian tubuhnya sehingga darah yang keluarpun semakin banyak pula. Akibatnya kekuatan tubuhnyapun juga semakin berkurang.

“Demi demit setan dan iblisss.... apakah tempat ini tak ada tikus sama sekali?” tokoh pertama dari Ban-kwi-to itu menyumpah-nyumpah.

“He?! Mengapa kau berteriak-teriak mencari tikus? Bukankah engkau sendiri seekor tikus....?” salah seorang anggota Sha-cap-mi-wi mengejek. Sambil mengejek tak lupa tombaknya yang panjang itu ditusukkan ke arah leher Tee-tok-ci dengan ganas.

Tee-tok-ci yang sedang mengelak dari serangan pedang dan golok lainnya, tak ada kesempatan lagi untuk menangkisnya. Cambuknya yang baru saja digunakan untuk menangkis serangan, masih terjulur di sebelah belakang punggungnya. Harus membutuhkan waktu untuk menariknya ke depan. Padahal hanya dalam waktu sedetik, ujung tombak tersebut telah berada di depan tenggorokannya!

Dalam keadaan terpepet, Tee-tok-ci terpaksa menyambut serangan itu dengan gerakan yang sangat berbahaya bagi dirinya. Kepalanya menunduk dengan cepat dan giginya menyongsong ujung tombak serta menggigitnya dengan kuat!

Lehernya memang selamat, sehingga nyawanya tidak jadi melayang ke alam baka. Tapi sodokan tombak anggota Sha-cap-mi-wi itu juga bukan sodokan anak kecil yang tidak punya kekuatan sama sekali, sodokan tersebut dilakukan dengan sandaran Iweekang yang amat kuat! Maka tidaklah heran, meskipun selamat tubuh Tee-tok-ci sendiri akhirnya terjengkang dan giginya rontok separuh!

Celakanya, para pengeroyoknya tidak lagi memberi kesempatan kepada iblis itu untuk berdiri dan bersiap-sedia kembali. Begitu Tee-tok-ci terlentang di atas tanah, anggota anggota Sha-cap-mi-wi yang mengeroyoknyapun segera menghujaninya dengan tusukan dan sabetan senjata mereka secara bertubi-tubi!

Tiga buah senjata dapat dielakkan oleh Tee-tok-ci, dan sebuah lagi bisa dia tahan dengan cambuknya. Tetapi sabetan golok yang melintang ke arah perutnya tak mampu lagi dia hindari! Maka sekejap kemudian perut itu telah terbelah dari kanan ke kiri dan ususnya terburai keluar!

"Demit iblis tak berjantung... adaoooouh?!?!" sambil mengumpat Tee-tok-ci melenting berdiri. MeIihat ususnya berhamburan keluar, iblis yang sudah terbiasa membunuh dan menyiksa orang itu terbelalak, mulutnya menjerit dan ternganga! “Ouh, de... demit setan... k... -kenapa pe... perutku ini? Keparaat...!" dengan tangan menggigil karena ngeri dan ketakutan, Tee-tok-ci meraup ususnya yang bergantungan itu, lalu bergegas menjejalkannya kembali ke dalam perutnya yang menganga!

Para pengepung Tee-tok-ci justru tertegun melihat pemandangan yang mengerikan itu. Sekejap mereka seperti sekelompok orang yang kehilangan akal malah!

"Lekaslah bunuh dia....! Mengapa kalian malah terbengong saja di situ?" tiba-tiba perwira yang turun dari atas tebing tadi berteriak menyadarkan mereka.

Bagaikan mendapat komando, orang-orang itu segera meloncat menyerang berbareng. Lima buah senjata dari para anggota Sha-cap-mi-wi dengan ditambah beberapa pucuk senjata lagi dari para perajurit yang lain tampak meluncur menuju ke arah tubuh Tee-tok-ci.

Iblis itu masih berusaha untuk mengelakkannya, tetapi mana mampu badan yang sudah sangat lemah itu melawan sedemikian banyaknya senjata yang tertuju kepadanya? Maka disertai dengan teriakannya yang menyayat hati, Tee-tok-ci rebah dengan tubuh yang sudah tidak karuan macamnya. Belasan senjata yang menerjang ke arah dirinya tadi membuat tubuhnya tercerai-berai kemana-mana!

Para perajurit yang mengepung tempat tersebut lantas bersorak-sorai menyambut kematian Tee-tok-ci yang telah membawa banyak korban jiwa itu. Dan sorak-sorai ini benar-benar membuat Jeng-bin Siang-kwi yang bertempur tidak jauh dari tempat itu, menjadi semakin tergetar ketakutan hatinya.

Sepasang wanita kembar itu dikepung oleh enam orang anggota Sha-cap-mi-wi yang mempergunakan berbagai macam senjata, seperti juga saudara-saudara mereka yang lain, sepasang wanita kembar tersebut juga mengalami tekanan yang berat dari para pengepungnya. Banyak mayat para perajurit yang berserakan di sekitar pertempuran mereka, yaitu mayat para perajurit yang tadi termakan oleh racun-racun yang disebarkan oleh kedua iblis wanita itu.

Tapi sekarang racun-racun yang dibawa oleh Jeng-bin Siang-kwi telah habis, padahal musuh-musuh utama mereka justru belum mati. Kini anggota-anggota Barisan Sha-cap-mi-wi yang lihai-lihai itu malah mendesak mereka tanpa ampun, dan benar-benar tidak mudah untuk menghadapi jago-jago dari Sha-cap-mi-wi tersebut. Kepandaian mereka rata-rata sangat tinggi, mungkin tidak berselisih banyak dengan kepandaian kedua wanita itu sendiri.

Memang, untuk beberapa saat lamanya Jeng-bin Siang-kwi dapat bertahan, tapi sejalan dengan berjalannya waktu, kekuatan merekapun menjadi semakin susut juga. Dan apa yang mereka takutkan sejak semula terjadilah! Sekali dua kali senjata para anggota Sha-cap-mi-wi itu mulai menyentuh dan melukai kulit Jeng-bin Siang-kwi! Dan semakin lama sentuhan-sentuhan tersebut semakin sering terjadi, sehingga beberapa saat kemudian darah mulai membasahi tubuh dan pakaian kedua orang wanita tersebut.

Dan sejalan dengan semakin seringnya senjata lawan melukai kulit mereka, hati merekapun semakin dicekam oleh rasa ketakutan yang hebat. Kedua iblis wanita itu telah sering kali mempermainkan orang sebelum mereka membunuhnya. Kini mengalami sendiri bagaimana rasanya hendak mati dibunuh orang, hati mereka menjadi ketakutan setengah mati.

“Cici…. apa… apakah yang mesti kita lakukan?” Jeng-bin Su-nio dengan suara gemetar berseru ke arah kakaknya. “Apakah… kita menyerah saja kepada mereka?”

“Menyerah? Tidak mungkin….! Lihatlah toa-suheng itu! Mereka telah menyiksanya sampai mati. Mungkinkah mere…. mereka…. akan…. akan memberi ampun kepada kita?” Jeng-bin Sam-ni menjawab gagap antara kerepotannya.

“La…. lalu….?” adiknya mendesak lagi.

“Kita melawan sampai mati!"

"Hahahah.... kalian tak perlu ketakutan begitu!Sudah selayaknya kalian menerima pembalasan kami. Lihatlah, berapa orang kawan kami yang telah mati karena racun tadi? Berapa puluh manusia yang telah menjadi korban kebiadaban kalian selama ini?” salah seorang anggota Barisan Sha-cap-mi-wi yang mengeroyoknya mengejek.

Demikianlah, sepasang iblis kembar menghadapi pengepung mereka dengan beradu panggung. Tapi karena tenaga mereka telah susut jauh maka daya perlawanan merekapun sudah tidak berarti lagi buat lawan-lawannya. Selagi mereka sibuk menangkis dan mengelakkan beberapa buah serangan yang melanda mereka, sebatang tombak besar telah menerobos pertahanan mereka dan merobek celana serta melukai pantat Jeng-bin Sam-ni!

Kaitan yang terpasang pada tombak tersebut menggaet dan membawa sebagian kain celana Jeng-bin Siang-kwi, sehingga pantat yang masih mulus dan merangsang itu tampak dengan nyata. Kontan yang melihatnya menjadi tertegun! Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Jeng-bin Sam-ni. Melihat orang bertombak tadi menjadi terlongong-longong melihat pantatnya, ia segera menghadiahi dengan sebuah tendangan, yang dengan telak mengenai dada orang itu.

"Bressss!"

"Aduuuuh!?" Memperoleh hasil demikian, iblis wanita itu segera memperoleh akal.

“Su-moi....! Marilah kita tanggalkan semua pakaian kita! Lekas! Kita bertempur dengan tidak usah pakai baju saja......!”

“Cici....! Apakah kau sudah gila?"

"Jangan membantah! Lekaslah....!" Jeng-bin Sam-ni sendiri segera merobek-robek pakaian yang dikenakannya, sehingga sebentar kemudian iblis yang cantik itu telah telanjang bulat. Tubuhnya yang putih itu dan selalu terawat baik itu memang benar-benar mempesonakan. Apalagi dalam keremangan malam yang hanya bersinarkan ribuan bintang tersebut, rasa-rasanya wanita itu bagaikan seorang peri yang turun ke bumi.

Tipu daya itu ternyata memang benar-benar menggoncangkan iman para pengeroyoknya. Kepungan mereka menjadi kendor, dan serangan mereka yang semula amat gencar itu menjadi kalang-kabut tak teratur lagi! Maka tidaklah heran ketika Jeng-bin Sam-ni membalas menyerang mereka, beberapa orang tidak sempat mengelak lagi. Dua dari enam orang pengeroyoknya terluka parah kena cakarannya.

Melihat tipu muslihat cicinya membawa hasil, Jeng-bin Su-nio lekas-lekas membuka pakaiannya pula. Bagi wanita-wanita cabul seperti mereka, soal buka-membuka baju bukan menjadi persoalan lagi. Enak saja baginya menyobeki pakaiannya sampai bugil.

Begitulah, kini dengan adanya dua tubuh mulus di hadapan mereka, orang-orang itu menjadi semakin terpecah-belah perhatiannya. Masing-masing menjadi salah tingkah dalam gerakannya, sehingga beberapa orang lagi menjadi korban pembalasan Jeng-bin Siang-kwi!

"Kurang ajar.....! Kalian ini benar-benar kerbau bodoh yang mudah terbujuk oleh keindahan-keindahan semu seperti itu!" tiba-tiba perwira yang berwibawa tadi membentak dengan suara menggeledek.

"Maafkan kami, Gui Goan-swe (Jendral Gui)...." salah seorang dari anggota Sha-cap-mi-wi yang terluka itu menunduk di depan perwira tersebut.

Gui Goan-swe adalah salah seorang panglima kerajaan yang amat disegani oleh anak buahnya. Dia adalah pembantu utama dari Yap Tai-ciangkun, dan bertugas sebagai panglima pasukan bertombak dan pasukan berkuda. Usianya kira-kira enam puluh tahun, dua kali lipat usia Yap Tai-ciangkun, tapi meskipun begitu gerakannya masih tetap tangkas dan gesit.

Dalam gerakan mereka ke Pantai Karang itu Gui Goan-swe mendapat tugas untuk membawa pasukan bertombaknya untuk mengepung pantai tersebut, sementara Yap Tai ciangkun sendiri memimpin para anggota Sha-cap-mi-wi yang dibawanya.

Gui Goan-swe memberi tanda kepada para anggota Sha-cap-mi-wi yang tadi telah berhasil membunuh Im-kan Siang-mo dan Tee-tok-ci agar terjun ke dalam arena, membantu teman mereka yang terdesak itu.

"Bunuhlah dua orang wanita cabul itu! Awas, jangan terpengaruh oleh kecantikan mereka seperti kawan-kawanmu tadi. Berpikirlah yang jernih! Dalam pertempuran ini, siapa yang lengah akan mati....! Maka kita memilih mati atau memilih membunuh mereka!"

"Akan kami kerjakan Goan-swe…..” lima orang itu menjawab tegas. Lima orang berkepandaian tinggi itu segera terjun ke dalam pertempuran membantu kawan-kawan mereka, mengepung Jeng-bin Siang-kwi!

Sesaat mereka memang agak kikuk melawan dua orang wanita cantik yang bertelanjang bulat seperti itu. Mereka sering menjadi ragu-ragu bila harus memukul ke arah dada yang ranum atau ke arah bagian bawah yang menggairahkan itu. Tapi setelah beberapa kali mereka justru hampir mati karena keragu-raguan mereka sendiri itu, mereka lantas benar-benar menjadi sadar. Mereka sendirilah yang akan menjadi korban apabila mereka tidak bersungguh-sungguh!

Maka dalam pertempuran selanjutnya kelima orang anggota Sha-cap-mi-wi tersebut lalu bertempur dengan sungguh-sungguh. Mereka membuang jauh-jauh pikiran yang mengganggu perasaan mereka itu dan melabrak dua orang wanita cabul tersebut tanpa ampun! Keadaan itu tentu saja membuat Jeng-bin Siang-kwi menjadi mati kutu. Mereka kembali terdesak dengan hebat.

Beberapa kali mereka mencoba menggoda lawan-lawan mereka dengan gerakan gerakan yang berani dan sangat cabul, tapi kali ini siasat mereka sudah tidak mempan lagi. Orang orang itu lebih takut kepada Gui Goan-swe dari pada melayani cumbuan mereka. Begitulah, beberapa saat kemudian tubuh mereka yang halus mulus itu mulai dikoyak oleh senjata lawan lagi.

Semakin lama semakin sering, sehingga keduanya menjadi ketakutan dan menjerit-jerit lagi. Mereka mencoba bertahan mati-matian, tapi para anggota Sha-cap-mi-wi tersebut sudah tidak mengenal ampun. Serangan orang-orang itu justru semakin ganas dan kejam, sehingga beberapa jurus kemudian tubuh kedua wanita cabul itu sudah kehilangan daya rangsangnya. Tubuh itu kini telah berubah menjadi merah bersimbah darah!

Sebuah tombak menusuk dari belakang secara tak terduga, sehingga Jeng-bin Su-nio tak kuasa lagi mengelakkannya. Otomatis iblis itu mengayunkan lengannya menangkis, tapi ujung tombak yang tajam tersebut sudah terlanjur menancap di pahanya. Biarpun batang tombak itu akhirnya menjadi patah terkena pukulannya, tapi ujung besinya yang tajam tetap tertanam di dalam pahanya. Sakitnya bukan kepalang!

Jeng-bin Su-nio jatuh terduduk, tapi segera bangkit kembali dengan terpincang-pincang. Kakaknya bermaksud menolong, tapi sebilah golok justru membuatnya terjungkal ke tanah. Tanpa ia duga salah seorang lawan mereka telah membabat ke arah kakinya, sehingga kaki kanannya terbacok hampir putus.

“Ciciiii…..! Aku tak mau dibunuh oleh mereka…..!” Jeng-bin Su-nio menubruk kakaknya.

“Su-moi, akupun tak mau pula….!” Jeng-bin Sam-ni berteriak pula menyayat hati.

Dua orang iblis kembar itu saling berangkulan. Dan seperti sudah berunding sebelumnya, sambil berpelukan mereka saling mencengkeram pelipis saudaranya, sehingga di lain saat jiwa mereka telah melayang bersama-sama! Tubuh mereka lalu jatuh berdebam di atas tanah.

Peristiwa itu sungguh amat mengejutkan para anggota Sha-cap-mi-wi yang mengepungnya. Serangan bersama yang telah mereka siapkan terpaksa mereka urungkan dengan mendadak. Dengan senjata teracung dan siap menerjang, mereka tercenung bagai patung di tempat masing-masing. Mereka benar-benar tidak mengira kalau iblis cabul tersebut hendak bunuh diri.

"Nah, sekarang tinggal seorang saja lawan kita…." Gui Goan-swe berteriak lagi, tangannya menunjuk ke arah Ceng-ya-kang yang berlari-lari main kucing-kucingan dengan para pengeroyoknya.

Ceng-ya-kang memang sangat cerdik, mungkin lebih cerdik dari pada saudara-sandaranya. Sebelum pertempuran dimulai, dia telah menilai lebih dulu kekuatan lawan yang tampak di sekitarnya. Begitu tahu perajurit yang dikerahkan oleh Yap Tai-ciangkun sangat banyak sekali, maka dia telah mengambil keputusan untuk tidak melawannya. Bagaimanapun sakti dan hebat senjata racun mereka, takkan mungkin dapat membunuh sekian banyak orang. Maka sebelum kekuatannya menurun dan racun yang dibawanya habis, dia sudah dapat keluar dari kepungan itu. Dan cara yang dipilihnya adalah berlari-lari di antara semak dan batu karang, sambil bermain kucing-kucingan dengan jago-jago mereka! Hal ini memang telah dilakukannya.

Ceng-ya-kang selalu menghindar apabila bertemu dengan lawan-lawan tangguh seperti para anggota Sha-cap-mi-wi, tapi segera membunuh apabila berhadapan dengan perajurit-prajurit biasa. Suasana yang gaduh dan medan yang sangat lebat dengan semak-semak perdu itu memang amat enak dan cocok untuk main kucing-kucingan. Sebentar keluar dan bertempur untuk membunuh para perajurit kemudian begitu ada jago kuat melayaninya, ia lantas menyusup lenyap ke dalam semak-semak. Selanjutnya muncul lagi di tempat lain untuk berbuat yang serupa pula!

Itulah sebabnya, meskipun pertempuran sudah sekian lamanya berkecamuk, Ceng-ya-kang masih tetap segar bugar dan genit. Ludahnya yang sangat beracun itu selalu saja memperoleh korban perajurit-perajurit yang berani menghadang langkahnya.

Tapi oleh karena Yap Tai-ciangkun memang sengaja menyebar para anggota Sha-cap-mi-wi di segala tempat, maka kemana pun Ceng-ya-kang berlari, dia akan selalu bertemu dengan jagoan istana tersebut. Oleh karena itu beberapa saat kemudian, tanpa terasa Ceng-ya-kang tergiring ke arah pantai dengan sendirinya. Baru setelah kakinya menginjak hamparan pasir, iblis gundul itu sadar akan kesalahan langkahnya.

Tapi kesadaran tersebut sudah terlambat! Begitu tubuhnya yang gemuk itu melenting ke atas batu karang besar di depannya, matanya segera melihat gelombang air di bawahnya. Dan ketika iblis itu membalikkan tubuhnya, dibawah batu karang tersebut telah berderet-deret anggota Sha-cap-mi-wi yang mengepungnya. Semuanya telah siap mengejar ke atas batu karang!

Sekejap seperti hilang semangat Ceng-ya-kang! Wajahnya yang kehijau-hijauan itu seakan kehilangan semua darahnya. Tubuhnya yang berlemak itu sedikit gemetar. Rasa-rasanya malaikat elmaut telah datang untuk menjemputnya.

"Celaka, agaknya hanya sampai sekian saja hidupku di dunia ini....!" iblis itu membatin ketika beberapa orang perajurit tampak melemparkan tombak mereka ke arah dirinya.

Ceng-ya-kang menunduk dan lewatlah belasan batang tombak tersebut di atas kepalanya. Tapi hatinya segera berdebar-debar ketika beberapa orang anggota Sha-cap-mi-wi berloncatan ke atas batu karang yang diinjaknya. Dan kekhawatirannya semakin menjadi-jadi begitu serangan yang mereka lakukan kemudian, benar-benar sukar sekali dielakkan.

Satu atau dua serangan mereka masih dapat ditanggulangi, tetapi serangan-serangan mereka yang lain sungguh-sungguh tak bisa dihindarinya lagi! Maka tanpa ampun pula beberapa buah pukulan dan sayatan senjata lawan telah mulai melukai badannya. Sakitnya bukan main.

"Berdoalah, karena sebentar lagi nyawamu akan segera melayang ke alam baka, mengikuti arwah saudara-saudaramu...!" salah seorang dari para pengepungnya mencemooh.

"Cuh! Cuh! Cuh....!” Iblis gundul itu menjawab dengan ludahnya ke arah orang yang memperolokkannya tersebut.

Tetapi dengan mudah orang yang bukan lain adalah anggota Sha-cap-mi-wi itu mengelakkannya. Dengan memutar badannya setengah lingkaran ke sebelah kiri, orang itu justru membalas serangan Ceng-ya-kang tersebut dengan sabetan goloknya. Suaranya mendesing ketika golok itu berkelebat ke arah leher Ceng-ya-kang!

Sebenarnya sabetan golok itupun takkan menyulitkan bagi Ceng-ya-kang! Dengan mudah iblis berkepala gundul itu akan dapat menghindarinya. Tetapi yang amat menyulitkan iblis tersebut adalah serangan-serangan lain yang membarengi sabetan golok itu. Karena bersamaan dengan sabetan golok yang tertuju ke lehernya tersebut, beberapa orang pengeroyoknya yang lain juga telah menyerangnya dengan senjata mereka masing-masing. Ada yang menyerang pinggangnya, ada yang menyerang dadanya dan ada pula yang membabat ke arah kakinya.

Tak mungkin rasanya Ceng-ya-kang melayani semua serangan tersebut. Dan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari semua serangan itu hanyalah meloncat ke belakang! Tapi kalau dia melakukan hal itu berarti dia harus terjun ke laut yang ganas bergelora di belakangnya! Sedetik iblis itu menjadi ragu-ragu dan tak tahu apa yang mesti diperbuatnya! Tapi dalam sedetik itu pula semua serangan lawannya telah datang dan hampir menyentuh kulitnya! Tak ada pilihan lain lagi!

Dalam kesempatan yang terakhir Ceng-ya-kang melompat ke belakang! Golok itu telah menyerempet lehernya dan menyobek kulitnya sehingga darahnya segera keluar membasahi bajunya. Untunglah ujung golok tersebut tidak mengores tenggorokan ataupun urat nadinya. Iblis gundul itu terbebas dari serangan pengepungnya, tapi di lain saat tubuhnya tidak bisa membebaskan diri dari cengkeraman laut di bawahnya! Sebentar saja tubuhnya telah lenyap tergulung oleh gelombang air laut yang bergelora!

Para pengepungnya bergegas menjenguk ke bawah dengan perasaan kesal dan marah, mereka sebenarnya ingin mencincang tubuh Ceng-ya-kang sampai lumat! Iblis gundul itu banyak membunuh kawan-kawan mereka. Tapi apa daya, ternyata iblis itu lebih suka mati ditelan air Iaut dari pada mati di tangan mereka.

Sementara itu di tempat lain, tidak jauh dari tempat itu, Yap Tai-ciangkun kelihatan marah-marah karena buronannya ternyata telah lolos dari kepungan anak buahnya. Orang berkerudung itu sudah pergi dengan banyak meninggalkan korban pada para perajurit. "Kurang ajar....'' Panglima muda itu menggeram marah lalu menggapai empat orang Sha-cap-mi-wi yang selalu mengawalnya. “Ayoh, kalian ikut aku mengejar orang itu.....!” perintahnya.

Tanpa mempedulikan bahaya yang terhampar di depan mereka, Yap Tai-ciangkun serta empat orang anak buahnya melesat mengejar Hek-eng-cu. Mereka berlari dan berloncatan di atas ujung-ujung batu karang yang tajam dan amat licin. Mereka tidak memikirkan lagi bahwa sedikit saja kaki mereka terpeleset, mungkin tubuh mereka sudah tidak akan tertolong lagi.

Mereka berlima memang dapat mengejar Hek-eng-cu, sebab seperti telah diceritakan di bagian depan bahwa iblis berkerudung itu terpaksa melayani tantangan Pek-i Liong-ong. Dan kedatangan mereka di tempat pertempuran antara Hek-eng-cu dan Pek-i Liong-ong itu ternyata bagaikan malaikat penolong yang menyelamatkan nyawa dan kehormatan ketua aliran Mo-kauw tersebut.

Hek-eng-cu maupun Pek-i Liong-ong merupakan tokoh-tokoh sakti yang kesaktiannya benar-benar tidak lumrah manusia. Kepandaian silat mereka boleh dikatakan sudah mencapai kesempurnaan, sehingga sepak terjang mereka sangat menakjubkan, bagaikan dewa-dewa di dalam dongeng saja!

Mereka berdua dapat bergerak secepat angin, karena keduanya sama-sama jago ginkang yang tiada taranva. Ilmu silat merekapun luar biasa tingginya, karena keduanya juga sama-sama keturunan datuk ilmu silat yang amat sangat ternama pada zaman seratus tahun yang lalu. Maka kalau sekarang kedua jago itu bertempur satu sama lain, dapat dibayangkan betapa hebat dan dahsyatnya pertempuran tersebut. Apalagi pertempuran mereka itu mengambil tempat yang luar biasa berbahayanya, yang bagi jago-jago silat biasa tak mungkin bisa menginjaknya.

Meskipun begitu, setelah seratus jurus lebih mereka bertempur, mulailah kelihatan kelebihan-kelebihan Hek-eng-cu atas Iawannya. Meskipun ilmu mereka setanding, tetapi kekuatan tubuh Pek-i Liong-ong yang telah amat tua itu ternyata lambat-laun tidak kuat mengimbangi kekuatan dan daya tahan dari tubuh Hek-eng-cu yang masih muda. Apalagi semuanya tadi masih ditambah lagi dengan mantel pusaka yang dikenakan oleh Hek-eng-cu!

Mantel pusaka itu ternyata benar-benar sangat bermanfaat dan sangat menolong pemakainya di dalam pertempuran tersebut! Dalam hal ilmu mereka yang seimbang, mantel pusaka tersebut ternyata sungguh-sungguh berguna sekali! Maka tidaklah heran apabila seratus jurus kemudian Pek-i Liong-ong mulai tampak mengalami kerepotan. Lambat-laun tapi pasti, ketua Aliran Mo-kauw itu semakin terdesak dan mulai tampak mengkhawatirkan!

Untunglah sebelum orang tua itu menjadi korban Hek-eng-cu, Yap Tai-ciangkun dan empat orang anak buahnya telah tiba di tempat tersebut. Dan kedatangan panglima muda itu ternyata sangat mengejutkan iblis berkerudung tersebut. Tanpa diduga iblis itu cepat-cepat meloncat pergi meninggalkan Pek-i Liong-ong! Dengan potongan bambu yang tadi ia pakai untuk meluncur di atas permukaan air, iblis tersebut terjun ke dalam air dan…..melesat pergi meninggalkan tempat itu.

"Kurang ajar....!" Yap Tai-ciangkun mengumpat. Dengan mata melotot panglima yang masih sangat muda itu menatap bayangan Hek-eng-cu yang semakin lama menjadi semakin kecil.

"Ahh.... kedatangan Yap Tai-ciangkun ternyata telah menyelamatkan nyawaku dari keganasan orang itu," Pek-i Liong-ong menjura dan menyatakan rasa terima kasihnya.

YapTai-ciangkun membalikkan badannya ...dan menjadi kaget begitu menyadari siapa yang telah menjadi lawan Hek-eng-cu tadi. “Oh, Lo-cianpwe kiranya...!” tegur panglima itu dengan terbata-bata. "Pikiranku hanya tertuju kepada Hek-eng-cu saja hingga tak tahu kalau lo-cianpwe-lah yang menjadi lawannya tadi...."

Pek-i Liong-ong tersenyum sambil menyeka keringat yang mengalir di muka dan di lehernya. Pertempurannya tadi ternyata telah banyak menguras tenaga dan kemampuannya. "Benar, Tai-ciangkun…. Io-hu-lah yang tadi hampir saja mati di tangan iblis lihai itu," orang tua itu mengangguk-angguk.

Yap Tai-ciangkun memandang ke tengah laut kembali, seolah mau mencari bayangan Hek-eng-cu diantara gulungan ombak yang tinggi bergelora itu. Yang lain menjadi ikut-ikutan memandang ke arah laut, dan untuk beberapa saat lamanya mereka berdiam diri bagaikan sekelompok patung yang dipasang di atas batu karang.

"Eh! Mengapa tidak kulihat pembantu Hek-eng-cu yang tadi ikut melarikan diri itu?” tiba-tiba Yap Tai-ciangkun mengerutkan keningnya.

"Ohhh.... orang itu telah disuruh pergi oleh Hek-eng-cu sebelum kami bertempur tadi…." Pek-i Liong-ong memberi keterangan.

"Hemm..." Yap Tai-ciangkun menghela napas panjang.

"Tapi.... hal ini sungguh amat kebetulan sekali bagi lo-hu. Coba kalau orang itu belum disuruh pergi oleh Hek-eng-cu, lohu kira Yap Tai-ciangkun hanya tinggal menemukan mayatku saja di sini."

"Ahhh! Lo-cianpwe sungguh pandai merendahkan diri..." panglima muda itu menundukkan kepalanya dengan lesu, hatinya terasa kecewa bukan main karena orang yang hendak ditangkapnya itu telah meloloskan diri dengan cara yang tak mungkin dikejar olehnya. Beberapa saat lamanya mereka berdiam diri kembali. "Kalau begitu kita kembali saja ke Pantai karang! Kita....” akhirnya panglima yang amat tersohor itu berkata. Tapi kata-katanya segera terputus, ketika tiba-tiba dilihatnya anak buahnya tampak termangu-mangu dengan wajah pucat.

"Ka.... kalian kenapa....?"

Serentak empat orang anggota Sha-cap-mi-wi itu memandangi ujung pakaian masing-masing yang compang-camping tidak karuan, lalu mereka bersama-sama memandangi pula pakaian panglima mereka yang tersayat-sayat juga seperti kepunyaan mereka.

Tentu saja gerak-gerik anak buahnya itu sangat membingungkan Yap Tai-ciangkun! Otomatis panglima muda itu menundukkan mukanya pula, mengamati pakaian yang dikenakannya, dan... tiba-tiba matanya menjadi terbelalak!

“Oh?!" serunya tertahan, lalu memandang pakaian anak buahnya yang keadaannya hampir sama dengan pakaian yang dikenakannya! Setelah itu tanpa terasa ia memandang jubah lebar yang dipakai oleh Pek-i Liong-ong! Jubah itu tampak utuh sama sekali, meskipun tadi dipakai untuk bertempur mati-matian dengan Hek-eng-cu!

Sekali lagi panglima muda kepercayaan Kaisar Han itu menghela napas, diam-diam hatinya sedikit bergetar juga melihat kenyataan tersebut. Rasanya dia menjadi kecil sekali bila diperbandingkan dengan orang tua itu. Tiba-tiba hatinya menjadi kecut. Pikirannya segera membayangkan, apa jadinya kalau dia mesti berhadapan sendiri dengan Hek-eng-cu yang kesaktiannya ternyata justru lebih hebat dari orang tua itu?

"Ah, ternyata aku terlalu berani dan terlalu gegabah kali ini. Untunglah iblis itu tidak bermaksud melayani aku dan anak buahku. Lain kali aku harus lebih berhati-hati bila bertemu dengannya...." Yap Tai ciangkun berkata di dalam hatinya. Lalu perlahan-Iahan kakinya melangkah kembali ke Pantai Karang.

"Lo-cianpwe, marilah kita ke Pantai Karang kembali....!" katanya dengan sopan.

Demikianlah, Yap Tai-ciangkun dengan Pek-i Liong-ong berloncatan lagi di atas karang-karang tajam tersebut, diikuti oleh empat orang anggota Sha-cap-mi-wi, menuju ke Pantai Karang kembali. Panglima muda itu bersama para pengawalnya terpaksa lebih berhati-hati lagi dalam menjejakkan kaki mereka di ujung-ujung karang yang tajam itu. Kini mereka menjadi takut jangan-jangan tidak hanya pakaian mereka saja yang tersayat koyak oleh batu-batu karang tersebut, tapi termasuk juga kulit dan daging mereka!

Mereka tiba kembali di Pantai Karang tak lama kemudian. Malam telah menjelang pagi. Embun pagi telah membasahi rumput dan batu-batu yang mereka injak. Udara terasa dingin bukan main. Apalagi ketika angin laut tampak semakin kencang meniupkan percikan-percikan air Iaut yang semakin gemuruh menggelora! Rasa-rasanya percikan-percikan air tersebut seperti gerimis yang tercurah dari langit saja layaknya.

Mereka menyaksikan pertempuran telah selesai. Tak seorangpun iblis-iblis dari Ban-kwi-to tadi yang masih hidup. Semuanya telah mati dan mayat-mayat mereka telah dikumpulkan oleh perajurit, kecuali mayat dari Ceng-ya-kang. Mayat Ceng-ya-kang tidak dapat mereka ketemukan, karena mayat itu telah hilang digulung ombak.

Gui Goan-swe bergegas menyongsong Yap Tai-ciangkun, serta melaporkan semua tugas yang telah dikerjakannya. Pihak lawan telah dapat mereka tumpas semuanya, meski korban dari para perajurit yang mereka bawa juga tidak sedikit jumlahnya. Sayang Hek-eng-cu dan seorang pembantunya dapat meloloskan diri dari kepungan para perajurit.

"Aku sudah mengetahuinya, karena aku dan empat orang anggota Sha-cap-mi-wi telah berusaha mengejar mereka, tapi gagal." Yap Tai-ciangkun mengangguk-angguk dengan wajah tidak bergembira, karena maksud dan gerakan mereka ke pantai itu tidak dapat berhasil seluruhnya.

Biarpun pentolan-pentolan orang-orang yang bermaksud untuk meletuskan pemberontakan itu telah mereka basmi semuanya, tetapi pemimpin utamanya ternyata belum dapat mereka musnahkan. Oleh karena itu bahaya timbulnya pemberontakan masih belum hilang, sewaktu-waktu masih dapat timbul kembali. Panglima muda itu memandang mayat-mayat para perajuritnya yang bergelimpangan di atas tanah. Mayat-mayat itu telah dikumpulkan bersama-sama dengan mayat-mayat para Iblis dari Ban-kwi-to.

"Mengapa belum kulihat Kiong Lee su-heng di sini? Apakah dia belum tiba?” Yap Tai-ciangkun menanyakan kakaknya.

"Entahlah, hamba juga belum melihat kehadiran Yap Tai-hiap tadi...." Gui Goan-swe menjawab perlahan. "Kalau kakak paduka sudah ada disini, hamba kira korban kita tidak akan sebanyak ini….”

Sementara itu Pek-i Liong-ong begitu datang langsung menghampiri pemuda pemudi yang sedang mengerumuni tubuh Chu Bwee Hong. Dari jauh orang tua itu telah mendengar ratap tangis Siok Eng, Pek Lian maupun Lian Cu. Ketiga orang gadis itu seperti sedang bersaingan dalam meratapi tubuh Chu Bwee Hong, sementara Seng Kun malah hanya berjongkok diam di samping mereka, seperti orang yang sedang kehilangan akal.

“Hei, kenapa dia…..?” Pek-I Liong-ong terkejut begitu melihat tubuh Chu Bwee Hong yang tergolek diam di atas pasir. Mulut dan dada gadis ayu itu masih tampak berlepotan darah.

Dengan tergesa-gesa ketua Aliran Mo-kauw itu menyibakkan gadis-gadis yang sedang mengerumuni Chu Bwee Hong, kemudian memeriksa nadi dan pernapasan gadis ayu tersebut. Tapi betapa terperanjatnya orang tua itu begitu dirasakannya detak jantung dan pernapasan gadis itu sudah tidak ada lagi. Gadis ayu yang masih terhitung cucu muridnya sendiri itu ternyata telah mati!

Pek-i Liong-ong lalu berdiri perlahan-lahan diikuti oleh beberapa pasang mata yang berurai air mata di dekatnya. Orang tua itu menatap tubuh Chu Bwee Hong dengan tak kalah sedihnya. Sungguh malang benar gadis ini, dia membatin.

“Bagaimana… lo… lo-cianpwe?” Souw Lian Cu menyentuh lengan Pek-I Liong-ong dan bertanya dengan suara sendu. Gadis remaja ini merasa sangat sedih dan pilu. Hatinya seperti ditimbuni oleh perasaan bersalah terhadap wanita itu, yang semula sangat membencinya tetapi ternyata sangat baik kepadanya itu. Wanita itu ternyata mengorbankan nyawanya demi dia!

"Ooooh...!” Souw Lian Cu mengguncang lengan Pek-i Liong-ong dengan keras ketika orang tua itu tidak segera menjawab pertanyaannya. "Lo-cianpwe.... me.... mengapa diam saja? Lekas katakan.... bagaimana dengan Hong Cici? Apakah dia masih bisa diselamatkan? Lo-cianpwe... lo-cianpwe....”

"Dia telah.... mati!" orang tua itu akhirnya menjawab singkat.

“Ciciiii....!” Souw Lian Cu menjerit keras sekali. Dengan mata bercucuran gadis itu mengedarkan pandangannya ke arah Siok Eng, Pek Lian dan Seng Kun. Tapi gadis itu segera mendekap mukanya ketika dilihatnya orang-orang itu memandang kaku kepadanya, seolah-olah semuanya mempersalahkan dirinya.

“Oh, tidak… tidak! Cici kau tidak boleh mati! Kau boleh kawin dengan ayah sekarang. Aku tidak akan menghalang-halanginya lagi. Aku telah menyadari bahwa hatiku selama ini memang buta, tidak dapat melihat ketulusan dan kebaikan budimu kepadaku… huhuhu…!” Souw Lian Cu menangis sejadi-jadinya, tampak benar betapa menyesalnya dia!

Tentu saja pernyataan yang diucapkan oleh gadis itu benar-benar sangat mengejutkan para pendengarnya, terutama Siok Eng dan Pek Lian! Tapi dengan demikian mereka lantas bisa meraba-raba, apa yang sebenarnya telah terjadi antara Chu Bwee Hong dan keluarga Souw.

Chu Seng Kun yang duduk berjongkok disamping mereka masih kelihatan termangu-mangu bagaikan patung batu yang tak bernyawa. Pemuda itu seperti tidak melihat dan mendengar ribut-ribut yang terjadi di dekatnya, matanya memandang kosong ke depan, mulut terkatup rapat, dan tangannya yang terkulai di samping tubuhnya itu tampak mencengkeram pasir di bawahnya!

Kelihatan benar bahwa pemuda itu bertahan untuk tidak menangis, tetapi dari pelupuk matanya yang terbuka lebar itu tampak dengan jelas air matanya turun tak ada habisnya. Sekali-sekali wajahnya menunduk sebentar, menatap wajah adiknya yang terkulai diam di depannya. Walaupun wajah itu kotor dan berlepotan darah, tapi kecantikannya tetap tampak cemerlang.

Seng Kun semakin tidak bisa membendung deras air matanya. Terbayang dalam pikirannya semua kenangan tentang adik satu-satunya itu. Dari kecil mereka berdua selalu menderita bersama. Sejak ayahnya pergi meninggalkan mereka dan ibunya, karena ayahnya ditangkap oleh tentara mendiang Kaisar Chin sampai mereka berdua diambil anak angkat oleh kakaknya sendiri karena ibunya juga meninggal, mereka berdua selalu bersama-sama. Mereka selalu merasakan susah dan gembira bersama, sehingga pada suatu hari mereka berdua juga terpaksa pergi dari rumah kakeknya karena kakek dan neneknya telah dibunuh orang pula.

Makin dipikirkan Seng Kun semakin merasa kasihan terhadap adiknya. Adiknya hampir tak pernah merasakan kebahagiaan. Semenjak kecil hingga dewasa dia selalu menderita. Sampai ketika ia mulai jatuh cinta kepada seorang pria pun ia mengalami kekecewaan. Pria tersebut ternyata telah beristeri dan punya anak.

"Bwee Hong...." Seng Kun mengeluh dengan bibir gemetar. ''Sungguh kasihan benar nasibmu, adikku…..” Hampir saja Seng Kun tak bisa menahan sedu-sedannya. Untunglah dengan kekerasan hatinya ia mampu menindasnya.

Untuk yang kesekian kalinya pemuda itu menatap wajah adiknya kembali. Wajah itu masih tetap tak berubah, masih tampak ayu dan cantik bukan main, seolah-oIah kulit itu tidak menjadi beku dan pucat. Sayang wajah yang sangat ayu itu ternyata tidak membawakan keberuntungan dan kebahagiaan kepada pemiliknya, tetapi justru mengundang bahaya dan malapetaka terhadap adiknya.

Seorang lelaki dengan akal busuknya telah menipu dan menjebak adiknya, sehingga pada suatu hari Chu Bwee Hong hilang lenyap tak tentu rimbanya. Dua tahun lamanya dia mencari, naik gunung mendaki bukit, menyusup hutan dan desa tanpa mengenal lelah. Dia tak memikirkan lagi keadaan dirinya, sampai-sampai tunangannya sendiripun telah dilupakannya, sehingga banyak orang yang menganggap dirinya telah menjadi gila.

Tiba-tiba Seng Kun mengeretakkan giginya. Setelah dua tahun dia mengalami penderitaan yang tidak ringan, dan kini bisa bertemu dengan adiknya ternyata dia cuma bisa memeluk mayatnya! Di depan matanya Chu Bwee Hong dibunuh orang, dibunuh oleh lelaki buruk yang menipu adiknya itu!

"Bangsaaaaat...!” tiba-tiba pemuda itu berteriak keras sekali, sehingga mengagetkan yang lain-lain. "Demi Tuhan... aku tidak akan berhenti memburu engkau untuk mencincang dan membunuhmu!" geramnya lagi. Hampir saja dia meloncat untuk memburu Hek-eng-cu, untunglah Pek-i Liong-ong mendekapnya dari belakang...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.