Pendekar Penyebar Maut Jilid 24

Cerita silat Mandarin serial Darah Pendekar seri Pendekar Penyebar Maut Jilid 24 karya Sriwidjono
Sonny Ogawa

Pendekar Penyebar Maut Jilid 24 karya Sriwidjono - "SENG KUN…. mau kemana kau?" orang tua itu menghardik.

"Aku akan mengejar Hek-eng-cu!"

"Huh!" Pek-i Liong-ong mendengus, lalu melepaskan dekapannya. "Kemana engkau hendak mengejar dia?"

Chu Seng Kun tergagap. "Entahlah.....!”

Pek-i Liong-ong tersenyum kecut. Tangannya menyentuh pundak Chu Seng Kun dan menyuruhnya duduk. "Kalau begitu jangan gegabah…..! Pikirkanlah dahulu apa yang hendak engkau kerjakan, baru bertindak lebih lanjut! Marilah kau duduk dahulu, lohu hendak berbicara sedikit denganmu….!”

"Koko, apa yang dikatakan oleh lo-cianpwe itu memang benar. Kau tenangkanlah dahulu hatimu…!" tiba-tiba Kwa Siok Eng ikut membujuk dengan suara halus.

Chu Seng Kun terperanjat. Suara merdu yang hampir satu tahun tak pernah didengarnya itu benar-benar bagaikan tetesan embun yang menyejukkan hatinya. "Eng-moi, kau...?" sapanya lirih hampir tak terdengar suaranya.

Segala macam perasaan, kaget, gembira, rindu, sedih bergolak memenuhi rongga dadanya. Chu Seng Kun hampir-hampir pemuda itu tak mempercayai pandang matanya sendiri. Tapi karena hatinya baru menderita kesedihan akibat kematian adiknya, semua perasaan tersebut hanya tertahan saja di hatinya. Pemuda itu hanya menatap tunangannya, kekasihnya dari tempatnya berdiri seakan tak percaya. Tapi semua orang tahu belaka apa yang terkandung di dalam hati pemuda itu terhadap tunangannya. Sinar mata pemuda itu ketika menatap kekasihnya seakan telah mengungkapkan semuanya!

"Baiklah…!" akhirnya Chu Seng Kun menundukkan kepalanya, lalu duduk di atas pasir seperti yang diperintahkan oleh Pek-i Liong-ong. "Lo-cianpwe, silahkan berbicara.....!" angguknya kepada ketua Aliran Mo-kauw tersebut.

Pek-i Liong-ong memegang lengan Chu Seng Kun, kemudian dengan pandang mata bersungguh-sungguh orang tua itu berkata, "Seng Kun, di antara kita semua yang menyebut dirinya ahli waris dari ilmu-ilmu mendiang Bu-eng-sin Yok-ong, banyak yang telah mampu mempelajari ilmu silat ciptaan beliau dengan sempurna. Tapi yang amat menyedihkan…. hanya seorang saja selama ini yang mampu mewarisi ilmu pengobatannya yaitu Bu Kek Siang, kakekmu atau ayah angkatmu! Sayang karena kesalahpahaman yang berlarut-larut dia telah terbunuh oleh muridku... " orang tua itu menghentikan kata-katanya sejenak untuk mengambil napas, lalu dengan nada sedih ia melanjutkannya lagi. "Coba kakekmu itu masih hidup... kukira adikmu justru bisa diselamatkan jiwanya."

"Hah…..?!?" Chu Seng Kun melompat saking kagetnya. "Adikku dapat diselamatkan? Me... mengapa lo-cianpwe berkata begitu? Bu…. bukankah Chu… Chu Bwe Hong telah… telah... telah tiada?” dengan suara tinggi tapi seret sekali pemuda itu berseru.

Tentu saja gerakan Chu Seng Kun yang amat mendadak, selagi semuanya telah kembali tenang itu juga mengagetkan pula orang-orang di sekitarnya. Otomatis Pek-i Liong-ong, Kwa Siok Eng dan Ho Pek Lian serta yang lain-lainnya, bangkit pula dengan segera! Kwa Siok Eng dengan cepat memeluk lengan pemuda itu, suaranya bergetar ketika berusaha membujuk tunangannya.

"Koko, tenanglah….! Pek-i Liong-ong lo-cianpwe belum selesai berbicara...."

"Benar, twa-ko…. biarlah Pek-i Liong-ong Lo-cianpwe menyelesaikan dahulu kata-katanya!" Ho Pek Lian ikut menenangkannya.

Yang paling runyam menghadapi semua kejadian itu adalah orang-orang Bing-kauw yang tadi datang bersama dengan Chu Bwee Hong! Rasanya mereka menjadi salah tingkah untuk berbuat sesuatu! Sebenarnya, melihat keadaan isteri suhu mereka itu, mereka sudah gatal tangan untuk berbuat sesuatu. Rasa-rasanya Put-sia Nio-cu dan kedua orang kakak seperguruannya.

Put swi-kui dan Put ming-mo sudah tidak tahan lagi untuk membiarkan tubuh Chu Bwee Hong menggeletak di sana. Sebetulnya mereka ingin segera mengangkat mayat itu pulang ke tempat mereka, dan mereka ingin lekas-lekas mengantarkannya kepada guru atau ketua mereka!

Tetapi melihat tubuh tersebut dipeluk dan diratapi oleh beberapa orang muda yang tampaknya adalah keluarga atau sahabat dari Chu Bwee Hong sendiri, malah agaknya salah seorang diantaranya justru saudara kandung dari isteri suhu mereka itu, maka mereka menjadi ragu-ragu dan tak berani mengganggu. Mereka bertiga hanya saling pandang dengan bingung serta tak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Wajah mereka kelihatan tegang dan pucat.

Sementara itu Chu Seng Kun telah menjadi tenang kembali. Perlahan-lahan Pek-i Liong-ong lalu mengajaknya duduk di atas pasir seperti tadi. Ho Pek Lian dan yang lain-lain segera ikut duduk pula mengitari mereka, seolah-olah mereka takut tidak bisa mendengarkan apa yang hendak dikatakan oleh ketua Aliran Mo-kauw tersebut.

Yap Tai-ciangkun yang telah selesai pula mengatur para perajuritnya, perlahan-lahan juga datang menghampiri tempat itu. Tetapi melihat wajah-wajah mereka yang tegang, panglima muda tersebut segera menghentikan langkahnya. Panglima itu tampaknya tak ingin mengganggu mereka, apalagi di sana ada Ho Pek Lian, murid kesayangan kaisar junjungannya.

Maka wajahnya yang tampan itu segera berpaling, kemudian mendongak ke atas, memandang ke arah bintang-bintang yang mulai pudar karena langit telah mulai terang disentuh sinar matahari fajar. Beberapa saat kemudian kepalanya tertunduk kembali, mengawasi barisan para perajuritnya yang berbaris pergi meninggalkan tempat itu. Beramai-ramai mereka menggotong kawan-kawan mereka yang terluka atau yang mati, naik ke atas tebing dipimpin oleh Gui goanswe.

Novel silat Mandarin karya Sriwidjono Pendekar Penyebar Maut Jilid 24

"Lo-cianpwe, apakah... apakah maksud perkataan lo-cianpwe tadi?" Chu Seng Kun yang telah menjadi tenang kembali itu menatap ke arah Pek-i Liong-ong dengan pandang mata penuh harap.

Sebaliknya orang tua itu tampak menghela napas dengan hati-hati sebelum menjawab pertanyaan tersebut. Baru setelah beberapa saat kemudian ketua aliran Mo-kauw yang amat terkenal itu membuka mulut untuk memberi keterangan. Mula-mula dia berceritera tentang hal Bu-eng Sin-yok-ong dan Datuk-datuk Besar Persilatan yang hidup pada zamannya. Kemudian dia juga bercerita tentang kehebatan dan kedahsyatan ilmu orang-orang tua tersebut. Begitu dahsyatnya ilmu mereka sehingga sepintas lalu mereka seperti dapat menciptakan sebuah mujijat!

"Seng Kun, engkau tentu pernah diberi tahu oleh Bu Kek Siang tentang tingkah maupun adat kebiasaan yang aneh-aneh dari mendiang Empat Datuk Besar Persilatan tersebut, bukan? Misalnya, mereka berempat selalu saja berlomba-lomba meningkatkan kepandaian mereka masing-masing, untuk kemudian setiap lima tahun sekali mereka mengadakan suatu pertemuan guna memperlihatkan kehebatan ilmu masing-masing!"

“Ya... yaa!" Chu Seng Kun mengangguk-angguk.

“Dan kau tentu telah mendengar pula bahwa pada pertemuan mereka yang terakhir di Gunung Hoa-san yaitu sebelum mereka taklukkan satu-persatu oleh kakek Souw, masing-masing telah sempat mengeluarkan kehebatan dan kedahsyatan ilmu mereka....”

“Ya.... yaa, benar!"

“Nah, di dalam pertemuan itulah Bu-eng sin-yok-ong telah membuat suatu mukjijat di depan lawan-lawannya, sehingga mereka menjadi takluk dan menjunjungnya sebagai orang yang terlihai diantara mereka berempat...."

"Ehmmm.... ya?”

"Seng Kun, tahukah kau mukjijat apakah yang telah dipertunjukkan oleh mendiang cikal bakal perguruan kita itu?"

"Aku…. aku...." Seng Kun tidak bisa segera menjawab.

Pek-i Liong-ong tersenyum. "Mendiang suhu waktu itu menghidupkan kembali seekor kelinci yang sengaja telah dibunuh lebih dahulu oleh mereka!" katanya penuh rasa kagum dan bangga. Di dalam mengucapkan kata-kata "menghidupkan kembali" tadi Pek-i Liong-ong sengaja mengejanya dengan perlahan tapi nadanya jelas dan keras, sehingga Chu Seng Kun bagai diketuk hati dan perasaannya.

“Ouhhh…..??!” pemuda itu berdesah dengan termangu-mangu. Matanya menjadi kosong ke depan, sementara bibirnya yang pucat itu bergetar dengan tegang. "Menghidupkan kembali.... ya, menghidupkan kembali seekor kelinci yang telah mati! Ahh….”

Tiba-tiba pemuda itu melesat ke depan melewati kepala Souw Lian Cu yang duduk di mukanya! Dengan amat tangkas lengannya menyambar mayat Chu Bwee Hong, dan membawanya ke tempat yang bersih dan terlindung diantara batu-batu karang yang berserakan di pantai itu. Tentu saja yang lain-lain menjadi terkejut sekali, kecuali Pek-i Liong-ong. Orang tua itu segera mencegah Kwa Siok Eng dan kawan-kawannya yang hendak mengejar pemuda tersebut.

"Jangan khawatir! Biarlah dia mengerahkan segala kemampuannya untuk menghidupkan kembali adiknya, moga-moga berhasil dan belum terlambat! Marilah kita ikut berdoa...!"

"Menghidupkan kembali....? Bagaimana mungkin?" Put ming-mo dan Put-swi kui berdesah tak percaya.

Begitu pula dengan Souw Lian Cu dan Put sia Nio-cu. Sementara Yap Tai ciangkun yang juga mendengar apa yang dikatakan oleh ketua Aliran Mo-kauw tadi ikut menjadi terheran-heran pula. Tapi panglima muda yang juga seorang keturunan dari salah seorang Datuk Besar Persilatan itu, pernah pula mendengar cerita tentang kelinci tersebut dari ayahnya.

“Sudahlah, kalian tak usah heran! Mendiang Bu-eng Sin-yok-ong memang mempunyai ilmu pengobatan yang susah diukur tingginya. Dan diantara seluruh anak cucu muridnya mungkin hanya pemuda itulah yang dapat mewarisi ilmu kepandaiannya tersebut...." Pek-i Liong-ong memberi keterangan lagi.

Demikianlah, dengan perasaan tegang dan hati berdebar mereka menantikan hasil pengobatan itu. Yap Tai-ciangkun tampak menghampiri Pek-i Liong-ong dan berbicara satu sama lain dengan suara lirih. Sedangkan Souw Lian Cu paling tampak gelisah dan tegang diantara semuanya, kelihatan mondar-mandir dengan air mata tetap bercucuran.

Sementara Kwa Siok Eng, Ho Pek Lian dan tiga orang murid Bing-kauw itu juga tampak gelisah bukan main. Cuma mereka bisa sedikit menahan diri sehingga tidak mondar-mandir seperti Souw Lian Cu. Mereka hanya berdiri diam dengan mata tak berkedip, memandang ke arah mana Chu Seng Kun tadi membawa adiknya.

Chu Seng Kun sendiri setelah selesai membaringkan tubuh Chu Bwee Hong di tempat yang bersih dan terlindung, segera membuka semua pakaian yang melekat di badan gadis itu. Sejenak pemuda itu menatap wajah adiknya yang tetap gilang-gemilang meskipun wajah itu dikotori oleh pasir dan bercak-bercak darah roti yang membeku. Sedikitpun kulit itu tidak menjadi pucat membiru ataupun menjadi kaku membeku. Malah ketika tangannya meraba pipi dan dahi adiknya, kulit tersebut juga tidak terasa dingin seperti layaknya seorang yang sudah mati.

"Benar! Benar.... dia belum mati! Dia belum mati! Aku harus mencobanya.... aku harus mencobanya! Ya, Tuhan… aku harus mencoba menggunakan ilmu Mengikat Nyawa Menyambung Jalan Darah itu, mulutnya berkemak-kemik seperti orang yang sedang berdoa.

Beberapa saat lamanya Chu Seng Kun termenung, mengingat-ingat catatan yang pernah dibacanya dalam buku ilmu pengobatan peninggalan Bu-eng Sin-yok-ong. Di bagian akhir dari buku tersebut ada tertulis sebuah catatan tentang batas "mati-hidup" manusia atau binatang di mata seorang tabib atau seorang ahli pengobatan!

Menurut Bu-eng Sin-yok-ong mati itu ada dua macam, yaitu yang ia namakan mati sempurna dan mati belum sempurna! Kadang-kadang di dalam masyarakat umum, seseorang telah dianggap mati hanya karena detak nadinya sudah tidak ada lagi atau pernapasannya telah berhenti berjalan. Padahal anggapan seperti itu belum tentu benar.

Mungkin orang itu memang sudah tidak bernapas lagi dan urat nadinya juga sudah tidak berdenyut pula, tetapi apabila alat-alat tubuh penting lainnya, seperti jantung atau yang lain, masih tetap tetap berfungsi, meskipun lemah sekali, bagi Bu-eng sin-yok-ong keadaan seperti itu belum dapat disebut mati. Bagi seorang tabib seperti dia kematian yang demikian ini ia sebut sebagai kematian belum sempurna.

Dan kematian seperti ini masih dapat ditolong bila pertolongan lekas-lekas diberikan kepadanya. Biasanya kematian belum sempurna itu terjadi pada kematian-kematian mendadak, seperti disambar petir, jatuh, terkena benda keras atau terkena pukulan yang mengandung tenaga dalam seperti halnya Chu Bwee Hong tadi.

Di dalam buku tersebut juga disebutkan oleh Bu-eng Sin-yok ong, bahwa tindakan pertama yang harus dikerjakan untuk menolong kematian yang belum sempurna itu adalah lekas-lekas membantunya untuk mengaktifkan kembali denyut jantung dan jalan pernafasannya. Adapun cara-caranya juga diuraikan dengan jelas dan terperinci oleh Bu-eng sin-yok-ong.

Setelah yakin apa yang harus ia kerjakan menurut petunjuk-petunjuk di dalam buku pengobatan itu, Seng Kun segera mengeluarkan semua alat-alat pengobatan yang selalu dibawanya. Diambilnya beberapa buah jarum emas yang mempunyai bentuk yang beraneka-warna lalu dengan lincah jari-jarinya menari-nari mengurut dan menusukkan belasan jarum tersebut ke dalam daging dan urat di seluruh badan adiknya.

Kemudian jari telunjuknya berkelebatan dengan gesit sekali menotok berbagai jalan darah di tubuh Chu Bwee Hong. Lalu yang terakhir telapak tangan kanannya menekan dada adiknya, persis pada jantungnya! Bersamaan dengan hentakan-hentakan tangannya pada dada itu, Chu Seng Kun meniupkan udara bersih melalui mulut adiknya.

Berulang-ulang hal itu dilakukan oleh Chu Seng Kun sehingga peluhnya mulai bercucuran membasahi pakaiannya. Sebenarnya apa yang dia kerjakan itu bukanlah suatu pekerjaan yang berat, bahkan pemuda itu tak pernah meninggalkan tempatnya. Yang tampak sibuk bekerja keras hanyalah sepasang lengannya saja.

Tapi yang amat melelahkan bagi Chu Seng Kun adalah caranya berkonsentrasi untuk mengerahkan tenaga sakti, kemudian mengaturnya sesuai dengan petunjuk di dalam buku, dan selanjutnya membagi tenaga sakti tersebut sesuai dengan aturannya dalam menotok, mengurut serta dalam membenamkan ujung jarum emasnya! Semuanya harus tepat, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang, karena semuanya telah mempunyai takarannya sendiri-sendiri! Kesalahan sedikit saja akan bisa menggagalkan usahanya!

Perlahan-lahan wajah yang pucat itu berubah menjadi kemerah-merahan dan sedikit demi sedikit jantung yang bergetaran lemah itu mulai berdenyut kembali. Gelembung paru-paru yang semula juga sudah berhenti bekerja itu kini tampak berfungsi kembali. Dan akhirnya api yang telah padam itu kini mulai tampak menyala kembali!

Bukan main suka-citanya Chu Seng Kun! Teori ilmu pengobatan yang ia dapatkan dari buku peninggalan Bu-eng Sin-yok-ong dan baru kali ini ia mencobanya, ternyata berhasil dengan sukses. Adiknya yang oleh semua orang telah dianggap mati itu kini ternyata telah berhasil ia hidupkan kembali!

“Ya, Tuhan.... terima kasih atas karunia-Mu!" pemuda itu berbisik, dan saking tidak kuat menahan luapan gembiranya..... tubuhnya justru menjadi lemas, kemudian tergeletak pingsan! Pingsan di samping tubuh adiknya yang justru semakin menjadi sadar.

Sementara itu Souw Lian Cu yang tidak lagi mengendalikan ketegangan hatinya, mulai bermaksud mendatangi tempat di mana Chu Seng Kun mengobati adiknya. Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng cepat-cepat mencegahnya.

"Lian Cu…. kau jangan mengganggunya. Itu sangat berbahaya bagi mereka. Goyahnya konsentrasi Chu twa-ko akan bisa menggagalkan semua usahanya. Biarlah Chu twako mengerahkan kemampuannya dengan tenang.....” Ho Pek Lian membujuk.

Souw Lian Cu menghentikan langkahnya. Matanya menatap wajah Ho Pek Lian yang cantik itu dengan bimbang. "Kau... kau siapa?" cetusnya dengan dahi berkerut.

Ho Pek Lian saling pandang dengan Kwa Siok Eng, lalu keduanya mencoba untuk tersenyum meskipun tidak berhasil. Kegelisahan dan ketegangan hati mereka tentang nasib Chu Bwee Hong membuat mereka tak bisa tersenyum dengan baik biar sekilaspun!

"Lian Cu, apakah kau sudah lupa kepada kami?" akhirnya Ho Pek Lian berkata, ”Memang, kalau kau tadi tidak memperkenalkan dirimu dihadapan Hek-eng-cu, kamipun tidak mengenalmu lagi.Kau sudah begitu besar dan cantik sekarang."

Souw Lian Cu semakin menjadi bingung. Rasa-rasanya dia memang pernah bertemu dengan kedua orang gadis cantik di depannya itu, tapi ia sudah lupa di mana ia pernah melihatnya. Agaknya Ho Pek Lian merasakan pula kebingungan Souw Lian Cu tersebut, buktinya dia segera menerangkan siapa adanya mereka.

"Agaknya ketegangan dan kegelisahanmu itu telah membuat kau sukar mengingat-ingat siapa kami ini... Lian Cu, kalau kau masih ingat kepada Chu Bwee Hong tentunya kau juga masih ingat kepada cici Siok Eng ini, karena gadis ini adalah tunangan Chu Seng Kun, kakak dari Chu Bwee Hong itu. Dan aku adalah Ho Pek Lian, sahabatnya....." Ho Pek Lian menghentikan kata-katanya sebentar untuk melihat kesan di wajah Souw Lian Cu lalu dengan perlahan tapi jelas gadis itu melanjutkan keterangannya. "Dan kami semua ini adalah sahabat-sahabat erat ayahmu!"

"Ooooh....!” Souw Lian Cu menjerit, kini dia telah mengingat kembali gadis-gadis yang dulu pernah melepas budi kepadanya itu. Dengan cepat gadis remaja itu menubruk dan menangis di dada Ho Pek Lian! “Ciciiii.... aku telah berdosa! Aku telah berdosa!" ratapnya menyedihkan.

"Berdosa? Berdosa kepada siapa? Ah, kau jangan berpikir yang bukan-bukan...! Lian Cu, marilah.... tenangkanlah hatimu!"

"Tidak! Tidak! Oooh.... aku benar-benar orang yang berdosa!" Souw Lian Cu tetap menjerit-jerit di dada Ho Pek Lian.

"Lihatlah, cici.... tangan kiriku ini! Dahulu cici Bwee Hong yang mengobati ketika putus akibat senjata San-hek-houw. Mungkin aku sudah mati kehabisan darah kalau ci-ci Bwee Hong tidak ada! Dia sungguh baik sekali kepadaku. Sebaliknya akulah orang yang rendah budi dan tak tahu kebaikan orang. Aku pernah menjadi marah dan tak mau menemui cici Bwee Hong ketika dia datang mengunjungi ayahku. Aku malah minggat dari rumahku, karena tak ingin melihat dia bertemu dengan ayahku. Uhh-huu... betapa jahatnya aku.”

“Sudahlah, Lian Cu… kau tak perlu menyesalinya! Semuanya telah berlalu, kau tak usah memikirkannya lagi!” Ho Pek Lian membujuk.

“Aku tak usah memikirkannya lagi? Uhh-huuu... tidak mungkin! Cici Bwee Hong begitu baiknya, tak mungkin aku dapat melupakannya…..! Cici Pek Lian dapat melihat sendiri tadi, dalam keadaan terluka parah dia tetap mengorbankan dirinya untukku, uhh-huuu…..!”

Ho Pek Lian tak kuasa lagi membujuk gadis itu, begitu pula dengan Kwa Siok Eng, sehingga kedua gadis itu terpaksa membiarkannya menangis terus. Menghadapi keadaan seperti itu Pek-i Liong-ong juga tidak bisa berbuat apa-apa. Orang tua itu hanya dapat bersedakap memeluk dada sambil mengelus-elus jenggotnya. Sedangkan Put-sia Nio-cu dan kedua orang suhengnya, yang sejak semula memang belum mengenal Souw Lian Cu juga diam saja menyaksikannya. Sebentar-sebentar mereka malah menoleh ke tempat di mana su-bo mereka tadi hilang dibawa Chu Seng Kun.

Sementara itu di tempatnya berbaring Chu Bwee Hong lambat laun mulai menemukan kesadarannya kembali. Perlahan-lahan matanya terbuka dan beberapa saat lamanya mata itu dikejap-kejapkan karena tak tahan menatap sinar matahari yang mulai menerangi langit. Lengan yang putih mulus itupun mulai bergerak pula, demikian juga kakinya, dan tidak lama kemudian tubuh yang molek tanpa penutup badan barang sesobekpun itu, mulai bergerak untuk duduk.

Angin laut yang dingin menggigilkan itu membuat Chu Bwee Hong menjadi terkejut dan sadar bahwa tubuhnya dalam keadaan telanjang sama sekali. Sekejap matanya terbelalak, bayangan Hek-eng-cu yang pernah memperkosanya berkelebat dalam benaknya. Apalagi ketika ia menoleh, dilihatnya seorang pemuda menggeletak di sampingnya!

Mata yang semula redup itu mendadak menjadi beringas! Dengan tangkas gadis itu bangkit berdiri, tapi tiba-tiba tubuhnya terjatuh kembali, dari mulutnya mengalir darah segar. Ternyata luka dalamnya yang amat parah tadi menghalangi gerakannya. Otomatis Chu Bwee Hong mendekap dadanya dan untuk kedua kalinya gadis itu terperanjat bukan kepalang! Cuma rasa kagetnya kali ini diikuti oleh perasaan gembira.

Begitu mendekap dadanya gadis itu segera menyentuh belasan jarum emas yang tadi dibenamkan di sekujur badannya oleh Chu Seng Kun. Jarum-jarum tersebut mencuat di berbagai tempat diatas dada, perut dan lehernya, bagaikan anak-anak panah kecil yang menancap ke dalam dagingnya. Dan begitu melihat jarum-jarum emas itu Chu Bwee Hong segera mengenal jarum-jarum yang sering dipergunakan oleh keluarganya dalam pengobatan. Maka gadis itu segera menoleh serta memperhatikan pemuda yang terlentang di sampingnya itu.

"Ko-ko....?!?” Chu Bwee Hong segera mengenali wajah kakaknya. Ditubruknya tubuh Chu Seng Kun dan dibenamkannya kepalanya ke dada kakaknya yang telah dua tahun Iebih ditinggalkannya itu. Meskipun tubuh itu diam saja tak bereaksi, Chu Bwee Hong tetap saja memeluknya dengan perasaan rindu. Terdengar sedu-sedan dari dalam dada gadis yang cantik bagai bidadari tersebut.

Perlahan-lahan Chu Seng Kun siuman pula dari pingsannya, dan begitu sadar pemuda itu segera terkejut melihat ada orang yang memeluknya. Dia segera bangkit sehingga tubuh Chu Bwee Hong yang menindihnya ikut terbawa pula. Tapi serentak tahu siapa yang sedang memeluk dirinya, Chu Seng Kun segera membalas memeluk pula. Air matanya tak dapat ia bendung pula, sehingga mengalir turun membasahi rambut adiknya.

"Koko.... kau kurus sekali ...” Chu Bwee Hong melepaskan diri dari pelukan kakaknya, kemudian mengawasi mata kakaknya yang cekung seperti tengkorak itu.

Chu Seng Kun tersenyum dan di dalam senyuman itu tampak benar perasaan bahagianya. “Tentu saja badanku kurus sekali, karena dua tahun lamanya aku berjalan tanpa mengenal lelah mencarimu...."

“Aku sungguh berdosa kepadamu, koko.....”

"Sudahlah, jangan pikirkan itu! Kita telah dipertemukan kembali oleh Tuhan, sungguh betapa bahagianya hatiku. Nanti kita bercerita yang banyak. Sekarang marilah kita menemui teman-teman lama kita....! Eh, pakaianmu!”

"Ohh!”

"Sudahlah, tadi dalam keadaan panik tergesa-gesa semua pakaianmu telah kurobek-robek. Tidak sabar rasanya menunggu untuk melepaskannya. Nih, kaupakai sajalah pakaianku! Biarlah aku memakai bekas-bekas kain sobekanmu. Nanti aku meminjam kepunyaan orang.”

Kedua orang kakak beradik itu lalu keluar dari tempat tersebut dan berjalan ke arah dimana Pek-i Liong-ong dan yang lain-lain telah menunggu.

“Hei, Lian Cu… lihatlah! Cici Bwee Hong telah hidup kembali…..!!” Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng berteriak sekali begitu melihat Chu Bwee Hong dan Chu Seng Kun muncul di hadapan mereka.

“Hah? Mana…..? Oh, ciciii….!” Souw Lian Cu menjerit sekuat-kuatnya serentak melihat Chu Bwee Hong benar-benar datang menghampiri mereka. Gadis itu bergegas melepaskan diri dari pelukan Ho Pek Lian, lalu bagaikan seekor anak kijang yang menyongsong kedatangan induknya dia meloncat ke arah Chu Bwee Hong. Tapi belum juga sampai, tiba-tiba tubuhnya terjerembab ke depan dan tersungkur di atas pasir.

“Lian Cu.....!” Ho Pek Lian dan Chu Bwee Hong berteriak berbareng, dan keduanya segera melesat ke depan untuk menolong.

Tapi Chu Seng Kun cepat-cepat menahan adiknya. "Sabar...! Kau jangan terlalu banyak mengeluarkan tenaga, tubuhmu masih lemah dan luka dalammu belum sempat kuobati. Biarlah aku saja yang menengok gadis itu, kelihatannya diapun sedang menderita luka dalam pula seperti engkau.”

Chu Seng Kun melangkah dengan cepat menghampiri Souw Lian Cu yang sudah dipeluk oleh Ho Pek Lian. Sementara itu Put-sia Nio-cu dan kedua orang suhengnya bergegas menyongsong Chu Bwee Hong. Dengan perasaan gembira yang meluap-luap Put-sia Nio-cu merangkul pinggang Chu Bwee Hong. Sedangkan Pek-I Liong-ong dan Yap Tai-ciangkun hanya saling pandang saja dengan takjub.

“Bukan main… bukan main! Anak itu benar-benar berhasil menandingi kehebatan Bu-eng Sin-yok-ong!” Pek-I Liong-ong berdesah kagum.

“Ya…. yaa, sungguh tidak masuk diakal… orang mati dapat dihidupkan kembali.” Yap Tai-ciangkun menggeleng-gelengkan kepalanya pula.

Keduanya, Pek-i Liong-ong dan Yap Tai-ciangkun, lalu melangkah pula mendekati Souw Lian Cu. Mereka melihat gadis itu pucat-pasi wajahnya. Chu Seng Kun dengan cekatan mengurut dan menotok di beberapa bagian tubuhnya, kemudian sambil menekan di bagian perut Souw Lian Cu, Chu Seng Kun memasukkan hawa hangat dari dalam tubuhnya. Dan perlahan-lahan kulit muka Souw Lian Cu berubah menjadi kemerah-merahan kembali.

"Nah, selesailah sudah...." Chu Seng Kun berkata sambil tersenyum. "Ini ada lima butir pil, harap nona minum satu persatu setiap hari, niscaya luka itu akan sembuh dengan segera!"

"Terima kasih, twa-ko...." Souw Lian Cu mengangguk. Gadis itu lalu bangkit berdiri, matanya menatap kesana kemari mencari Chu Bwee Hong. Dan begitu melihat orang yang dicarinya berdiri tak jauh darinya, ia segera melesat menghampiri.

"Ci-ciiiii....!" serunya lantang.

"Lian Cu!" Chu Bwee Hong meninggalkan murid-murid suaminya, kemudian menyongsong kedatangan Souw Lian Cu. Mereka saling berpelukan seperti halnya seorang ibu dan anak yang telah lama tidak berjumpa. Rasa-rasanya semua kerinduan mereka telah mereka curahkan pada saat itu juga.

"Cici... kau maafkanlah aku, aku telah berdosa besar terhadapmu. Aku sekarang benar-benar sudah menyadari, betapa rendahnya budiku. Kau memang seorang yang sangat baik dan berbudi luhur....."

"Hei, anak manis.... kau ini omong apa? Siapa yang berdosa dan siapakah yang rendah budi itu? Kau jangan berkata yang bukan-bukan....!"

“Sudahlah, cici.... kau jangan menggoda aku! Aku telah benar-benar bertobat dan takkan mau mengulanginya lagi. Sekarang marilah kita bersama-sama pulang menemui ayah….! Kita hidup bersama menjadi satu dan akan menjadi satu keluarga yang berbahagia. Ohhh, alangkah senangnya...! Eh, cici... tahukah kau? Setiap saat ayah selalu memikirkanmu. Setiap hari dia selalu melamun, tapi oleh karena takut ketahuan aku, maka ayah selalu menyembunyikannya..."

"Oh, Tuhan.....!" Chu Bwee Hong berdesah dengan hati tak keruan rasa. Untuk beberapa saat lamanya wanita ayu itu tak bisa berkata-kata, apalagi untuk menjawab ajakan Souw Lian Cu tadi. Wajahnya mendongak ke arah awan yang berarak melintasi udara di atas pantai itu. Tampak benar betapa sedihnya sinar mata tersebut.

Memang tak bisa disalahkan. Sejak dahulu, sejak dia masih gadis Chu Bwee Hong hanya mempunyai satu keinginan, satu cita-cita, seperti juga gadis-gadis yang lain, yaitu menikah dan hidup bersama dengan orang yang amat dicintainya. Dan orang itu tidak lain adalah Souw Thian Hai, ayah Souw Lian Cu! Tapi itu dahulu!

Ternyata Tuhan telah menentukan lain. Seseorang telah menjebak dirinya dengan sebuah akal yang licik dan kotor, sehingga ia terjatuh dalam jebakan dan menjadi korban kebiadaban orang itu. Chu Bwee Hong menderita aib dan malu, sehingga akhirnya menjadi putus asa! Dan dalam keadaan tak ingin hidup itulah Put-ceng-li Lo-jin datang menolongnya. Meskipun dengan tingkah dan gaya yang sangat urakan, tapi ketua Aliran Bing-kauw itu ternyata dapat menyadarkan hatinya.

Akhirnya Chu Bwee Hong dibawa oleh orang tua itu ke gedung pusat Aliran Bing-kauw. Dan ketika ia melahirkan anak haram itu, sekali lagi Put-ceng-li Lo-jin menolong aib yang telah mencoreng mukanya. Orang tua itu dengan mengorbankan nama baiknya sebagai ketua sebuah Aliran ternama, segera menikahinya dan mengakui bahwa anak yang dilahirkan itu adalah anaknya. Dan selanjutnya orang tua yang sangat baik hati ini merawat mereka seperti layaknya seorang ayah yang merawat keluarga yang amat dicintainya.

Demikianlah, maka tak heran kalau wanita ayu itu menjadi serba salah dan tak tahu apa yang mesti ia lakukan menghadapi peristiwa seperti itu. Saking bingung dan pepatnya, Chu Bwee Hong malah hanya berdiri saja terlongong-longong di tempatnya. Hanya air matanya saja yang keluar tak henti-hentinya, sebagai tanda bahwa hati dan perasaannya benar-benar hancur berserakan!

"Cici, kenapa kau diam saja? Apa yang masih kauragukan Iagi? Bukankah...?"

"Kurang ajar...!" tiba-tiba Put-sia Nio-cu berseru. Murid bungsu Put-ceng-li Lo-jin itu melesat mendekati Chu Bwee Hong dan Souw Lian Cu. Dengan perasaan tidak senang gadis itu menuding ke arah Souw Lian Cu, suaranya keras ketika berkata, ”Hmm, bukankah kau gadis buntung yang menghadang aku di KuiI Delapan Dewa beberapa hari yang lalu? Kau sungguh gadis yang kurang ajar dan tak tahu kesopanan....! Mengapa kau memaksa-maksa suboku untuk pergi menemui ayahmu? Kau anggap suboku itu wanita macam apa? Huh, kau sungguh kurang ajar sekali terhadap istri suhuku!"

Telinga Souw Lian Cu menjadi merah seketika! Dengan cepat gadis itu melepaskan diri dari pelukan Chu Bwee Hong. Dengan tidak kalah garangnya Souw Lian Cu berteriak lantang. "Apa katamu….? Aku gadis yang tidak tahu kesopanan? Huh, jaga mulutmu! Kau tahu siapa cici Bwee Hong ini? Dia adalah...."

"….isteri suhuku!" Put-sia Nio-cu memotong dengan cepat.

"Perempuan gila...! Kuhajar mulutmu!” Souw Lian Cu tak dapat mengekang lagi kemarahannya. Tangannya bergetar, tenaga saktinya berpencar dari tantian (pusar) menyebar ke seluruh tubuh. Tapi ketika melewati tempat di mana Souw Lian Cu tadi menerima pukulan Hek-eng-cu, gadis itu menjerit keras dan tersungkur ke depan.

"Aduuuuh....!?!”

"Lian Cuuuu....!" Chu Bwee Hong tiba-tiba tersadar dari lamunannya. Dengan cekatan wanita ayu itu menubruk Souw Lian Cu dan memeluknya kembali.

Meskipun dadanya masih terasa sakit bukan main, Souw Lian Cu meronta di dalam pelukan Chu Bwee Hong. Gadis itu menatap Put-sia Nio-cu dengan beringas dan kalau Chu Bwee Hong tidak memegangnya dengan kuat, mungkin dia sudah menerjang murid bungsu Put-ceng-Ii Lo-jin tersebut. "Lepaskan aku, ci-ci....! Akan kugampar mulut kuntilanak yang menghina engkau itu! Masa cici dikatakan sebagai isteri tua bangka yang tak tahu aturan itu...!" serunya marah.

Sungguh dapat dibayangkan bagaimana perasaan Chu Bwee Hong pada saat itu. Begitu hebat pukulan tersebut sehingga rasa-rasanya hatinya tidak kuat lagi menanggungnya. Maju salah, mundur salah, tapi diampun rasa-rasanya juga salah! Meski demikian wanita ayu itu tak hendak melepaskan lengan Souw Lian Cu, jari-jarinya dengan kuat mencengkeram lengan gadis remaja itu.

“Dia memang isteri suhuku! Mengapa engkau menjadi marah? Apakah aku tidak boleh mengatakan yang sebenarnya? Kurang ajar…..! Seharusnya engkaulah yang harus kugampar mulutmu!" Put-sia Nio-cu berteriak pula tak mau kalah.

"Perempuan gilaaaa....!" Souw Lian Cu tak kuat lagi menahan kemarahannya. Tapi Chu Bwee Hong semakin bertambah kuat memegangnya, sehingga gadis yang mau meluapkan kemarahannya itu menjadi heran dan tak tahu maksud wanita ayu tersebut.

"Cici, mengapa kau... kau... cegah aku?”

Chu Bwee Hong tak bisa menjawab. Kaku benar rasanya lidahnya, sehingga tak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Sebaliknya air matanya tampak membanjir keluar seolah sebagai pengganti dari jawaban yang seharusnya ia berikan.

Tentu saja keadaan itu semakin membingungkan hati Souw Lian Cu. Gadis yang memang tidak mengetahui masalahnya itu segera mengguncang-guncangkan lengan Chu Bwee Hong yang memegangnya. Dengan hati penasaran gadis remaja itu mendesak terus, sehingga akhirnya keluar juga jawaban dari mulut Chu Bwee Hong, meskipun seret dan hampir tak terdengar sama sekali!

“Lian Cu, tolonglah… kalian… kalian jangan berkelahi satu sama lain! Kalian… kalian berdua adalah orang-orang yang ku… kusayangi.”

“Hah?!? Jadi… jadi benar apa yang tadi dikatakan oleh… oleh perempuan gila itu? Cici… memang sungguh-sungguh isteri dari… dari Tua Bangka Tak Tahu Aturan itu…..?” Souw Lian Cu cepat memotongnya, suaranya bergetar seakan-akan gadis itu telah menjadi ketakutan akan kebenaran dari pertanyaannya itu.

Chu Bwee Hong melepaskan pegangannya, kemudian menutup wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya. Suaranya sendat ketika menjawab, ”Be… benar, Lian Cu… ohhh!” Dan wanita ayu itu tersedu-sedu menyesali nasibnya!

“Oh!” Souw Lian Cu terpekik, lalu jatuh terduduk di atas pasir dengan tubuh lemas. Hilang sudah semua angan-angannya tentang keluarga yang berbahagia itu!

Chu Seng Kun yang sejak tadi memang sengaja membiarkan adiknya menyelesaikan urusannya sendiri itu, tak kalah pula kagetnya mendengar pernyataan tersebut. Adiknya menjadi isteri Put-ceng-li Lo-jin yang urakan itu? Benar-benar tidak masuk akal? Tapi….adiknya telah mengakuinya, sehingga hal itu memang benar-benar terjadi dan bukan sandiwara!

Perlahan-lahan pemuda yang amat ahli dalam pengobatan itu mendekati adiknya, lalu memegang pundak yang bergoyang-goyang karena menahan sedu-sedan tersebut. Dengan rasa penuh kepahitan pemuda itu membujuk Chu Bwee Hong.

“Bwee Hong....! Sudahlah, jangan terlalu kau pikirkan semua itu! Kita dua bersaudara ini agaknya memang bernasib jelek. Tapi biarlah.... kita tak perlu terkecil hati, apalagi menyesalinya. Siapa tahu semuanya itu hanyalah merupakan jalan untuk menuju ke arah kebahagiaan yang lebih sempurna?"

"Koko... oh, ko-ko!" Chu Bwee Hong menubruk dada Chu Seng Kun dan menangis seperti anak kecil.

Chu Seng Kun menghela napas panjang sekali. "Sudahlah, Bwee Hong....! Marilah kita pergi dahulu dari tempat ini! Lihatlah, kita sudah dinantikan oleh banyak orang....!"

Chu Bwee Hong mengusap air matanya dengan ujung lengan bajunya, kemudian dengan perasaan perih wanita ayu itu melirik ke arah Souw Lian Cu dan Put-sia Nio-cu, yang sedang menatap pula kepadanya dengan wajah pucat. "Lian Cu... Siau Put-sia, ikutilah aku! Kita selesaikan semuanya ini nanti dengan baik-baik. Marilah...." ajak Chu Bwee Hong tersendat-sendat.

Semuanya lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Yap Tai-ciangkun bersama-sama dengan Pek-I Liong-ong berjalan lebih dahulu, menaiki lereng tebing yang luas tersebut. Di belakang mereka, Chu Seng Kun menggandeng lengan adiknya. Dan paling belakang adalah rombongan Put-sia Nio-cu ditambah dengan Souw Lian Cu, Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng.

Semuanya berjalan dengan mulut terkatup, tak seorangpun yang membuka suara. Mereka berjalan melintasi rumpun-rumpun perdu yang rusak berpatahan akibat pertempuran malam tadi. Yap Tai-ciangkun dan Pek-i Liong-ong yang berada di depan cepat mencapai ujung tebing. Di sana Yap Tai-ciangkun telah dinantikan oleh empat orang pengawalnya dan seorang pemuda tegap gagah, yang tidak lain adalah Hong lui kun Yap Kiong Lee, kakak Yap Tai-ciangkun sendiri!

"Twa-ko....!" panglima muda itu menyapa kaget.

“Kim-sute...! Pek-i Liong-ong Lo-cianpwe....!” Yap Kiong Lee menyambut kedatangan adiknya, lalu menjura kepada ketua Aliran Mo-kauw tersebut.

“Ah, tak kukira putera Yap Lo-te (adik Yap) sudah demikian besar-besar dan hebat-hebat sekarang...." Pek-i Liong-ong menyambut penghormatan Yap Kiong Lee itu dengan tersenyum. "Bagaimana dengan ayah dan ibumu? Baik-baik saja, bukan? Sudah, lama sekali lo-hu tidak berjumpa dengan mereka….”

Yap Kiong Lee saling pandang dengan adiknya, lalu dengan gagap dan kikuk pemuda itu mengangguk-angguk. “Yaa… yaa…!” sahutnya terbata-bata.

Tentu saja orang tua itu menjadi heran tapi melihat kedua orang kakak beradik itu tampaknya memang sedang berusaha menyembunyikan sesuatu, maka orang tua itu tidak mendesaknya lebih lanjut.

"Twa-ko, kenapa kedatanganmu terlambat benar? Pertempuran telah selesai....." Yap Tai-ciangkun segera mengalihkan pembicaraan mereka.

Yap Kiong Lee mengambil napas lega. “Panjang ceritanya! Di tengah jalan aku berjumpa dengan Song-bun-kwi Kwa Sun Tek. Dia ternyata telah mencium gerakan pasukan sehingga dia bergegas mau pergi ke tempat ini untuk memberi peringatan kepada kawan-kawannya. Oleh karena itu dengan segala daya-upaya aku mencoba menghalang-halanginya. Kami bertempur sambil berkejar-kejaran. Dia selalu berusaha meloloskan diri dari hambatanku, tapi aku juga tak mau melepaskannya. Hampir semalaman aku bertempur dengannya. Akhirnya karena tak kuasa melepaskan diri dari aku, orang itu nekad terjun ke dalam jurang, sehingga aku tak bisa mengejarnya lagi….”

''Oh, makanya Hek-eng-cu tadi cuma didampingi oleh orang yang twa-ko katakan tinggi besar itu saja....”

Sementara itu Chu Seng Kun dan Chu Bwee Hong tiba pula di atas tebing. Oleh Yap Tai-ciangkun kedua kakak beradik itu dibawa ke hadapan kakaknya. Mereka adalah sahabat-sahabat lama. Dahulu, sekitar tujuh atau delapan tahun yang lalu, mereka pernah berjuang bersama-sama membantu pasukan Kaisar Han. Maka pertemuan antara Chu Seng Kun dan Yap Kiong Lee itu benar-benar sangat menggembirakan kedua belah pihak.

Matahari mulai muncul di ufuk timur dan pantai karang yang indah itupun mulai bermandikan cahaya terang kemerah-merahan. Semua benda yang tersentuh oleh sinar itu rasa-rasanya menjadi semakin bertambah cantik dan mempesonakan. Burung-burung camar mulai tampak keluar pula dari sarangnya. Mereka berkicau dan beterbangan di atas pantai, berputar-putar melawan angin, seolah-olah sedang bermain-main dengan sinar pagi yang hangat.

Sementara itu di daratan, batu-batu karang, tumbuh-tumbuhan perdu dan rumput-rumput yang mulai dijilat oleh hangatnya sinar mentari pagi, tampak seperti mengepulkan asap tipis berwarna-warni, semakin lama semakin tebal, sehingga dari kejauhan pantai tersebut lalu bagaikan dibungkus oleh kabut yang mentakjubkan!

Setelah saling menyapa dengan Chu Seng Kun, Yap Kiong Lee lalu mengangguk ke arah Chu Bwee Hong yang sejak naik ke atas tebing itu selalu menunduk saja dengan sedih. Mula-mula Yap Kiong Lee menjadi kaget begitu tahu siapa wanita ayu itu, tapi karena sudah terlanjur mengangguk ia terpaksa menyapanya juga. Hanya kali ini suara Yap Kiong Lee agak bergetar karena teringat peristiwa di tepi sungai dua hari yang lalu.

Dan agaknya kekhawatiran Yap Kiong Lee itu menjadi kenyataan juga. Begitu mendengar suara Yap Kiong Lee, Chu Bwee Hong segera mendongak menatap pemuda tersebut. Tiba-tiba wajahnya menjadi beringas. Bayangan orang berkerudung yang memperkosa dirinya dan Put-sia Nio-cu kembali membakar hatinya.

“Bangsat keji! meskipun engkau telah melucuti kedok dan pakaianmu aku tetap takkan lupa kepadamu…..!” wanita ayu itu menjerit seraya meloncat menerkam Yap Kiong Lee.

Pemuda itu segera melejit ke samping menghindarkan diri. Dengan suara parau dia mencoba menjelaskan tentang kesalahpahaman mereka pada malam yang naas itu. Tapi mana mau Chu Bwee Hong menerima keterangan pemuda itu? Wanita itu dengan ganas tetap menyerang Yap Kiong Lee, begitu bernafsunya sehingga dia tak mengingat lagi pada luka dalamnya yang parah!

Maka tidaklah heran jika beberapa saat kemudian dia sendirilah yang menjadi korban dari kemarahannya itu. Belum ada tiga jurus Chu Bwee Hong telah terhuyung-huyung mau roboh! Meskipun begitu wanita itu dengan semangat tinggi tetap nekad menyerang Yap Kiong Lee.

Tentu saja Chu Seng Kun sangat bingung menyaksikan perbuatan adiknya itu. Pemuda yang benar-benar tidak mengetahui persoalannya itu segera melesat ke depan memegangi lengan adiknya. "Bwee Hong, sabarlah...! Mengapa kau menyerang Yap twa-ko? Apa kesalahannya? Dia teman baik kita sendiri, bukan dari rombongan musuh...” katanya memberi keterangan.

"Apa? Teman baik? Huh! Ko-ko, kau telah dikelabuhinya....! Ketahuilah, dialah… iblis itu! Dialah yang sering mengenakan kerudung hitam dan mantel hitam itu!" Chu Bwee Hong berteriak dalam pegangan kakaknya. Dengan wajah tetap beringas wanita ayu itu menuding ke arah Yap Kiong Lce.

"Orang berkerudung hitam.....? Maksudmu Yap Twa-ko ini adalah penyamaran dari Hek-eng-cu? Eh, maksudku... Hek-eng-cu itu adalah penyamaran dari.... Yap Twa-ko?" Chu Seng Kun mengerutkan keningnya tak percaya.

"Betul!" jawab Chu Bwee Hong mantap.

"Aaah, nona.... sabarlah dahulu....!" Yap Tai-ciangkun cepat menengahi.

Tapi belum juga panglima muda itu bertindak lebih lanjut, tiba-tiba dari bawah tebing seorang gadis cantik melompat ke atas, kemudian menerjang Yap Kiong Lee dengan membabi buta. Sesaat kemudian dua orang laki-laki tampak meloncat pula dari bawah tebing dan turut mengeroyok Yap Kiong Lee.

“Iblis biadab.... rasakan pembalasanku!" gadis cantik yang tidak lain adalah Put-sia Nio-cu menjerit bagaikan orang gila. Tangannya terayun ke depan dan puluhan jarum berbisa tampak melesat ke arah Yap Kiong Lee seperti hujan gerimis.

Yap Kiong Lee terkejut bukan main! Otomatis tenaga saktinya bergolak, sehingga ketika kedua telapak tangannya menyongsong kedatangan jarum jarum berbisa tersebut, otomatis pula lwee-kangnya membanjir keluar! Maka tidaklah heran jika dari telapak tangan itu mendadak menghembus angin kencang yang mampu membuyarkan jarum-jarum berbisa tersebut. Malah tidak hanya itu saja pengaruhnya! Hembusan angin itu ternyata juga mengguncangkan tubuh Put-sia Nio-cu serta mendorongnya selangkah ke belakang!

“Thian-lui-gong-ciang!" Kwa Siok Eng dan Ho Pek Lian yang baru saja tiba di atas tebing itu berdesah berbareng begitu menyaksikan pengaruh pukulan Yap Kiong Lee itu.

"Thian lui-gong-ciang....!” Pek-i Liong-ong berbisik pula.

Sementara itu Put-sia Nio-cu dan kedua orang su-hengnya tidak pula kalah kagetnya. Sejak semula mereka memang telah mengetahui bahwa kepandaian pemuda itu memang tidak boleh dipandang ringan. Pertempuran mereka di pinggir sungai dua hari yang lalu telah menjadikan pengalaman bagi mereka. Tapi dalam keadaan mendadak pemuda tersebut mampu mengerahkan tenaga sakti demikian hebatnya, sungguh di luar dugaan mereka.

Apalagi mampu mendorong Put-sia Nio-cu yang kepandaiannya juga tidak rendah! Oleh karena itu mereka bertiga juga tidak mau bertele-tele pula, mereka langsung saja mengerahkan ilmu puncak masing-masing! Maka sekejap kemudian terjadilah pertempuran dahsyat, satu lawan tiga, antara jago jago silat kelas satu di atas tebing itu.

Yap Tai-ciangkun yang sedianya mau menengahi perselisihan antara Chu Bwee Hong dan kakaknya, menjadi bingung juga melihat perkembangan itu. Panglima muda itu sungguh tidak mengerti, mengapa semua orang agaknya sangat membenci kakaknya? Kedua orang wanita itu menuduh dan memaki kakaknya sebagai iblis keji dan iblis biadab. Apa sebenarnya yang telah dilakukan oleh kakaknya terhadap mereka? Tadi ia mendengar Chu Bwee Hong menuduh kakaknya sebagai Hek-eng-cu.

Apakah sebabnya? Benarkah kakaknya itu menyamar sebagai pemimpin pemberontak itu? Rasanya tidak mungkin! Yap Kiong Lee sendirilah yang memberitahukan kepadanya dan kepada Kaisar Han juga tentang rencana pemberontakan Hek-eng-cu tersebut. Dan kakaknya sendiri juga yang merencanakan penggerebegan di Pantai Karang itu.

Tetapi mengapa kedua wanita itu kelihatannya sangat yakin atas tuduhannya? Dan mengapa secara kebetulan kakaknya juga baru muncul setelah Hek-eng-cu pergi? Dan ketika dia mengejar Hek-eng-cu tadi malam, mengapa pula iblis itu segera meninggalkan pertempurannya dengan Pek-i Liong-ong, begitu ia datang menghampiri mereka?

Apakah..... apakah.... ahh! Yap Tai-ciangkun tak berani melanjutkan pikirannya. Bagaimanapun juga panglima muda itu tak ingin mencurigai kakaknya. Baginya, kakaknya itu adalah orang yang sangat dihormatinya.

Jalan pikiran Pek-i Liong-ong ternyata juga tidak berbeda dengan jalan pikiran Yap Tai-ciangkun tersebut. Ketua Aliran Mo-kauw itu juga menjadi bingung dan ragu-ragu. Jangan-jangan tuduhan Chu Bwee Hong terhadap Yap Kiong Lee itu memang benar. Orang tua itu lantas teringat juga ketika dia mengikuti secara diam-diam di belakang Yap Kiong Lee sewaktu pemuda itu membuntuti Wan It dan Kwa Sun Tek dari Kuil Delapan Dewa tempo hari. Waktu itu ketika sampai di pinggir sungai Yap Kiong Lee juga lantas menghilang, dan sebagai gantinya ia melihat Hek-eng-cu datang dengan perahunya.

"Ah!" Pek-i Liong-ong tidak berani melanjutkan angan-angannya pula. "Tapi masakan bocah itu demikian lihainya, sehingga aku-pun dikalahkannya? Rasa-rasanya juga mustahil. Tapi siapa tahu bocah itu sudah dapat mempelajari ilmu-ilmu Bit-bo-ong almarhum? Nyatanya orang yang bertempur denganku malam tadi memang telah mahir dengan Pat-hong-sin-ciang, Kim-hong-kun serta Bu-eng-hwe-teng...."

Di antara semua orang itu hanya Souw Lian Cu saja yang bersikap netral. Begitu naik ke atas tebing dan melihat pertempuran itu, Souw Lian Cu lantas berlari mendekati Chu Bwee Hong yang berada di dalam pegangan kakaknya. Gadis remaja itu menyentuh lengan Chu Bwee Hong dan menatap dengan sinar mata yang mengandung pertanyaan.

"Cici, mengapa mereka berkelahi dengan Hong-lui kun Yap Kiong Lee?"

Dengan tatapan mata yang masih beringas, Chu Bwee Hong menuding ke arah Yap Kiong Lee, "Mereka tidak berkelahi dengan Hong-lui-kun Yap Kiong Lee, tapi mereka hendak menangkap orang yang sering mengenakan kedok kerudung hitam itu."

"Hek-eng-cu....?" Souw Lian Cu menegaskan.

"Ya!"

"Ahhh! Tidak mungkin.....! Mereka keliru!" Souw Lian Cu berteriak.

"Apanya yang keliru?'' Chu Bwee Hong membentak dengan dahi berkerut, sehingga Souw Lian Cu tersentak kaget mendengarnya. Baru sekali ini gadis itu melihat Chu Bwee Hong bersikap demikian garangnya.

"Maksudku Yap Siauw-hiap itu tidak mungkin orang yang sering mengenakan kerudung hitam itu. Yap Siauw-hiap pernah bercerita…..”

"Omong kosong! Pemuda itu telah membohongimu, sebab kami mempunyai bukti tentang penyamarannya tersebut." Chu Bwee Hong memotong dengan cepat, suaranya masih tetap kaku.

"Bukti.....?"

"Sudahlah, Lian Cu.... kau tak perlu ikut campur! Biarlah kami yang menyelesaikannya...." nada suara Chu Bwee Hong mulai menurun begitu melihat bayang-bayang kecemasan di wajah Souw Lian Cu.

"Tapi....?” gadis itu menoleh kepada Chu Seng Kun yang masih tetap memegangi pundak adiknya.

Pemuda itu menundukkan matanya, tak berani beradu pandang dengan sinar mata Souw Lian Cu. Pemuda itu sendiri juga ikut terpengaruh oleh pandangan adiknya yang menuduh Yap Kiong Lee sebagai Hek-eng-cu! Hanya hatinya masih ragu-ragu dan belum mantap.

"Oooh...!" Souw Lian Cu menutup mulutnya dengan telapak tangannya dan tak berani berkata-kata lagi. Dengan muka pucat dia menatap lagi ke arah pertempuran.

Pertempuran satu lawan tiga itu tampak semakin seru dan ramai. Tiga orang murid Put-ceng-li Lo-jin itu benar-benar telah mewarisi sebagian besar dari ilmu kepandaian gurunya. Ketika Souw Lian Cu memandang ke arah mereka, Put-swi-kui dan Put-ming-mo baru saja melancarkan ilmu Chuo-mo-ciang mereka yang gila-gilaan itu. Dan seperti juga yang dulu pernah disaksikan oleh gadis itu, mereka memainkan jurus-jurus tersebut dengan berceloteh tidak keruan pula.

Tapi tingkat kepandaian Hong-lui-kun Yap Kiong Lee memang sudah boleh dikatakan mendekati kesempurnaan. Dalam hal ilmu silat mungkin kepandaiannya telah menyamai ayahnya, dan apabila diperbandingkan dengan tingkat ilmu Pek-i Liong-ong, mungkin selisihnya pun hanya tipis sekali. Hanya dalam hal Iwee-kang pemuda itu memang masih harus mengakui kehebatan jago-jago dari angkatan tua tersebut.

Maka pertempuran itu sungguh ramai sekali. Jika hendak diperbandingkan kekuatan mereka, mungkin gabungan kekuatan ketiga orang murid Bing-kauw tersebut masih terlampau kuat bagi Yap Kiong Lee. Tetapi karena kekuatan itu setiap saat dapat dipecah-belah persatuannya, apalagi jika diingat kemampuan perorangannya semuanya tak ada yang menang dengan Yap Kiong Lee, ditambah lagi pemuda itu selain cerdas juga menang pengalaman.

Maka pertempuran itu benar-benar menjadi sebuah pertempuran yang dahsyat bukan main. Kalau toh akhirnya Yap Kiong Lee lalu kelihatan terdesak, hal itu bukan disebabkan oleh karena kepandaian pemuda itu yang kalah tetapi karena masih adanya keragu-raguan di dalam hati pemuda tersebut untuk meneruskan pertempuran itu. Sebab dasar dari pada berlangsungnya pertempuran itu oleh masing-masing pihak sungguh amat berbeda sekali.

Ketiga orang murid Bing-kauw itu bertempur untuk membunuh Yap Kiong Lee, sebab Yap Kiong Lee adalah musuh besar su-bo mereka. Sementara bagi Yap Kiong Lee pertempuran tersebut lebih bersifat terpaksa karena hanya untuk membela diri. Apalagi pemuda itu tahu bahwa sebenarnya lawan-lawannya tersebut hanya salah paham dan keliru menduga saja.

Tetapi perkembangan itu benar-benar sangat mencemaskan hati YapTai-ciangkun. Betapapun hatinya telah menjadi ragu-ragu, tapi ia tetap tidak rela kalau kakaknya mendapatkan kesukaran. Maka sekejap kemudian panglima itu telah melesat ke tengah-tengah pertempuran dan menghentikannya.

"Semuanya berhenti! Siapa yang tidak mau mengindahkan akan berhadapan dengan pasukan kerajaan!" teriaknya lantang sambil berdiri dengan kaki terpentang lebar. Keempat orang anggota Sha-cap-mi-wi yang selalu mengawalnya segera mengambil posisi mengurung tempat tersebut.

"Gila.....!" Put-swi-kui mengumpat dan terpaksa menghentikan serangannya, demikian juga dengan dua orang adik seperguruannya. Bagaimanapun juga dia tak ingin berselisih dengan pasukan kerajaan yang amat kuat itu.

Dengan napas lega Yap Kiong Lee meloncat pula surut ke belakang. Wajahnya tampak kemerah-merahan karena baru saja mengerahkan seluruh kemampuan dan tenaganya. “Dengarlah Kim-sute...! Demi Tuhan aku bukanlah orang berkerudung seperti yang mereka tuduhkan itu. Mereka telah salah menduga..." pemuda itu membela diri.

"Bohong! Aku telah melihatnya sendiri dia mengenakan kedok itu. Malah aku juga pernah merebut dan membuka kerudungnya. Lihat, inilah benda itu!" Put-sia Nio-cu menjerit sambil mengeluarkan selembar kain hitam dan membantingnya di depan Yap Kiong Lee.

Semua orang terperangah! Kain itu memang mereka kenal sebagai kain tipis yang sering dipakai oleh Hek-eng-cu! Wajah Yap Tai-ciangkun menjadi pucat. Hatinya semakin menjadi cemas. Dengan air muka tegang panglima muda itu memandang kakaknya, seolah-olah menuntut agar kakaknya yang sangat ia hormati itu segera membantah kenyataan tersebut.

Pek-i Liong-ong yang biasanya bersikap sangat tenang itu kini juga tampak gelisah dan tegang. Begitu pula halnya dengan Chu Seng Kun. Pemuda itu dengan mata terbelalak lebar mengawasi Yap Kiong Lee dan kain hitam itu berganti-ganti. Keraguan di hati kedua orang itu semakin bertambah besar sekarang. Sementara Souw Lian Cu yang tadi masih memihak Yap Kiong Lee, kini juga tampak mulai ragu-ragu pula.

Yap Kiong Lee sendiri juga kelihatan tertegun melihat semua orang memandang tajam kepadanya. Meskipun tidak takut tetapi perasaannya menjadi tergetar pula karenanya. Sebab ada kesalahan sedikit saja dalam ia memberi keterangan, mungkin jiwanya takkan tertolong lagi. Oleh karena itu pemuda tersebut tidak tergesa-gesa dalam menjawab tuduhan Siau Put-sia tadi.

Pertama-tama Yap Kiong Lee balas menatap satu persatu orang-orang yang mengawasinya untuk menunjukkan kepada mereka bahwa apa yang dia katakan itu tidaklah bohong. Lalu setelah mengambil napas pemuda itu perlahan-lahan, namun jelas, memberi keterangan. "Nona, kukira aku tak perlu bercerita tentang kejadian di tepi sungai pada malam itu....."

"Manusia kejam....!" lagi-lagi Put-sia Nio-cu menjerit keras sekali dan bersiap mau menerjang Yap Kiong Lee, tapi dengan cekatan Put ming-mo menahannya, sebab begitu gadis itu tadi menjerit dua orang pengawal Yap Tai-ciangkun segera bergerak hendak turun tangan.

Yap Kiong Lee mengedarkan pandangannya sekali lagi. Melihat semua orang tetap berdiam diri menunggu keterangannya, ia segera melanjutkannya lagi. "Karena apa yang kuketahui juga tidak banyak. Pada saat perahu itu pecah bertabrakan dan kita semua tercebur ke dalam sungai, sebenarnya tubuhku telah terluka dalam. Dan apabila nona mau mengingat-ingat kembali dengan lebih baik, nona tentu akan teringat bahwa lukaku itu adalah akibat pukulan Hek-eng-cu!"

"Bohong!" Put-sia Nio-cu berteriak setinggi langit. "Kau sendirilah Hek-eng-cu itu!"

Yap Kiong Lee tersenyum kecut. “Nona, cobalah kau ingat-ingat kembali saat-saat menjelang tabrakan itu terjadi...! Ingatkah nona ketika dari luar perahu mendadak ada seorang pemuda yang meloncat ke samping nona untuk melepaskan ikatan nona, tapi keburu diketahui oleh orang yang mengikat nona? Mungkin nona tidak sempat melihat wajah pemuda itu, tapi... nona tentu masih ingat pula ketika pemuda tersebut saling mengadu pukulan dengan orang berkerudung itu, bukan? Mungkin nona juga tidak begitu memperhatikan, betapa keras dan hebatnya pukulan tersebut, sebab beradunya pukulan mereka bersamaan waktunya dengan pecahnya kapal yang nona tumpangi!"

"Oogh….!?!” tiba-tiba tubuh Put-sia Nio-cu menjadi lemas, sehingga gadis itu jatuh terduduk di atas tanah. Mukanya ia tutup dengan kedua belah telapak tangannya dan tangisnya mulai meledak.

Chu Bwee Hong segera berlari menubruknya. "Put-sia....! Put-sia....! Ada apa? Mengapa kau tiba-tiba menangis? Apakah…. apakah.... ceritanya itu benar?"

Tanpa membuka telapak tangan yang menutupi wajahnya Put-sia Nio-cu mengangguk-angguk. "Be.... benar, ci-ci...! Ooooh....!" gadis itu menangis semakin keras, seakan-akan kenyataan itu justru semakin menambah rasa penyesalannya. Rasa-rasanya lebih senang diperkosa oleh pemuda gagah itu dari pada oleh orang yang tidak dia ketahui macam apa rupanya!

"Oh, jadi....?” Chu Bwee Hong mendesak.

"Ciciii… uh-huuu....!" Put-sia Nio-cu menyembunyikan mukanya di dada Chu Bwee Hong.

"Bagaimana Put-sia....? Jadi dia tu.... dia itu bukan.....” wanita ayu itu mengguncang pundak Put-sia Nio-cu.

Sekali lagi gadis itu mengangguk-angguk di dada Chu Bwee Hong. "Tampaknya,.... dia.... dia memang bukan Hek-eng-cu! Uh-huuuu...!"

Plong! Hilang rasanya semua ganjalan yang menindih hati dan perasaan Yap Tai-ciangkun! Dengan perasaan lega panglima muda itu mendekati kakaknya, lalu mengajaknya menemui Pek-i Liong-ong dan Chu Seng Kun, dan disambut oleh kedua orang tersebut dengan ramah.

"Ah, hampir saja aku juga menyangka Yap Siauw-hiap adalah Hek-eng-cu." Pek-I Liong-ong tertawa.

“Lo-cianpwe ini ada-ada saja. Mana dapat kepandaianku disejajarkan dengan orang itu?" Yap Kiong Lee menunduk lalu melirik ke arah Put-sia Nio-cu yang masih terisak-isak di dada Chu Bwee Hong. Tampak benar bahwa pemuda itu sangat menaruh kasihan terhadap penderitaan gadis cantik tersebut.

Akhirnya Put-sia Nio-cu dapat juga dibujuk. Perlahan-lahan Chu Bwee Hong mengajaknya meninggalkan tempat tersebut. Chu Seng Kun begitu melihat adiknya melangkah pergi, segera mengikuti pula bersama-sama dengan Kwa Siok Eng dan Ho Pek Lian. Yang Iain-lain bergegas pula berjalan di belakang mereka.

"Heran aku! Kenapa sih siau-sumoi itu? Asal berjumpa dengan pemuda itu tentu menangis keras seperti anak kecil yang kehilangan mainannya....." Put-ming-mo yang berjalan di baris yang paling belakang bersama suhengnya, bersungut-sungut dengan kesal.

"Kau diam sajalah!" Put swi-kui membentak. "Akupun juga bingung....”

Matahari telah melewati garis cakrawala, sehingga sinarnya yang cerah kemerah-merahan itu memantul menyilaukan mata di atas permukaan air laut. Rombongan yang terdiri dari limabelas orang itu berjalan beriringan ke arah selatan, menuju ke muara Sungai Huang-ho kembali. Mereka melangkah naik turun tebing dan batu karang di sepanjang Teluk Po-hai.

Pagi itu desa di tepian muara Sungai Huang-ho tersebut benar-benar menjadi sibuk dan ramai bukan kepalang. Pasukan Yap Tai-ciangkun yang terdiri dari duaratus orang lebih itu tampak tersebar di tempat tersebut setelah semalam suntuk mereka berjaga dan bertempur. Mereka berusaha mengendorkan otot-otot mereka dan melepaskan lelah di mana saja, di emper-emper rumah penduduk, di bawah pohon-pohon yang rindang, ataupun yang kebetulan ada sedikit uang tampak duduk-duduk di dalam warung sambil minum-minum bersama kawan-kawannya.

Belasan orang anggota Sha-cap-mi-wi yang dibawa oleh Yap Tai-ciangkun untuk membantu pasukan tersebut tampak hilir-mudik dan bersenda-gurau dengan para perajurit yang rata-rata bersikap sangat hormat dan segan terhadap mereka. Apalagi semuanya menyadari bahwa tanpa bantuan mereka yang rata-rata sangat lihai, lebih lihai dari pada perwira-perwira atasan mereka sendiri, pertempuran tadi malam tak mungkin dapat mereka selesaikan dengan begitu memuaskan.

Yap Tai ciangkun, Gui-goanswe, Yap Kiong Lee dan Pek-i Liong-ong tampak duduk-duduk beristirahat di rumah kepala kampung, sementara di kamar belakang Chu Seng Kun dengan ditunggui oleh tunangannya dan Ho Pek Lian, mengobati luka-luka Souw Lian Cu dan Chu Bwee Hong. Sedangkan Put-sia Nio-cu dan dua orang suhengnya melepaskan lelah di kamar yang lain.

Dengan keahliannya yang amat hebat itu Chu Seng Kun sebentar saja telah dapat menyembuhkan luka dalam yang diderita oleh Chu Bwee Hong dan Souw Lian Cu. Mereka tinggal beristirahat saja selama beberapa hari untuk memulihkan kembali tenaga mereka.

"Kalian berdua jangan terlalu banyak mengerahkan tenaga untuk dua atau tiga hari ini agar kemampuan kalian bisa cepat pulih kembali seperti sedia kala! Dan khusus untuk Bwee Hong....." Chu Seng Kun menghentikan kata-katanya sebentar sambil mengawasi wajah adiknya yang masih pucat itu. “Kau terpaksa harus berlatih Iwee-kang dari permulaan kembali. Sebagian besar dari himpunan sin-kangmu telah merembes keluar sewaktu kau mati tadi."

"Jadi aku tak bisa bersilat lagi?” Chu Bwee Hong bertanya sambil mengerutkan keningnya.

“Ooo masih... masih! Jangan khawatir, kau masih tetap bisa memainkan Kim-hong-kun-hoat dan Pek-in Gin-kang. Cuma sekarang semua gerakan dari ilmu tersebut hanya mengandalkan tenaga luar (gwa-kang) dari tubuhmu saja. Iwee-kangmu sudah tak bisa kau andalkan lagi....” Chu Seng Kun tertawa untuk membesarkan hati adiknya.

"Oooh….!” Chu Bwee Hong tertunduk lemas di tempatnya, ada juga perasaan menyesal di hatinya. Bagaimanapun juga ia telah menghimpun sin-kangnya selama belasan tahun dengan susah-payah.

Tapi sekali lagi kakaknya menghibur. “Sudahlah, kau tak usah menyesalinya....! Yang penting engkau telah selamat dan sehat kembali. Perkara kepandaian seperti itu engkau bisa mempelajarinya kembali. Siapa tahu dengan adanya peristiwa seperti itu kau justeru dapat mempelajari lwee-kang kita dengan lebih baik dan hebat?”

"Ah, koko.... kau ini pandai benar menghibur hati orang! Ibarat sebuah tabungan, tenaga sakti itu kita peroleh dengan menambahnya sedikit demi sedikit setiap hari, sehingga dalam waktu yang lama himpunan sin-kang tersebut menjadi besar dan kuat! Nah, kalau sekarang tabungan kita itu hilang, bukankah kita harus memulainya lagi dari awal? Dan bukankah itu berarti kita telah kehilangan waktu yang tidak sedikit? Bukankah dengan demikian kita akan ketinggalan dari yang lain, meskipun kita dapat mempelajarinya kembali?" Chu Bwee Hong menatap wajah kakaknya dengan menyeringai kecut.

Chu Seng Kun mendekati adiknya dan menepuk-nepuk pundaknya. "Bwee Hong, engkau jangan cepat berputus asa! Engkau jangan mempunyai pikiran seperti itu, karena pikiranmu itu belum tentu betul. Kau tahu, dunia ini penuh kemungkinan-kemungkinan yang kadang-kadang tidak dapat kita ramalkan ataupun kita perhitungkan dengan akal manusia! Banyak sekali hal-hal yang sangat asing dan gelap di luar jangkauan akal budi kita semua...! Oleh karena itu kita jangan lekas menjadi putus asa,” katanya halus.

Chu Bwee Hong menghela napas panjang sekali seraya menatap wajah kakaknya dengan pandang mata mengerti. "Koko, maafkan aku. Aku tak bersungguh-sungguh di dalam ucapanku tadi. Sebenarnya aku sama sekali juga tidak menyesali kehilangan sin-kangku itu, apalagi sampai berputus asa karenanya," katanya dengan perlahan pula. "Aku bahkan sudah tidak peduli lagi seandai tadi aku benar-benar mati karena pukulan Hek-eng-cu!" lanjutnya seperti orang yang tidak punya pengharapan atau semangat untuk hidup.

"Oh?! Jadi... eh, lalu mengapa engkau tampaknya menjadi demikian sedihnya?" Chu Seng Kun tersentak dan termangu-mangu memandang wajah adiknya.

Chu Bwee Hong mengatupkan bibirnya rapat-rapat, lalu perlahan-lahan berdiri dan melangkah ke jendela. Dipandangnya awan putih yang berarak di atas langit yang cerah biru itu. Matanya berkaca-kaca dan raut mukanya yang cantik ayu tersebut kelihatan berduka. "Aku hanya sedih bila teringat pada nasibku...! Mengapa hidupku ini selalu dirundung malang dan penderitaan? Mengapa kebahagiaan itu selalu dijauhkan dari aku sejak aku dilahirkan di dunia ini....? Mengapa....?”

“Bwee Hong.....” Chu Seng Kun bangkit pula dari tempat duduknya.

“Dosa apakah sebenarnya yang telah kuperbuat sehingga aku mengalami nasib seperti ini....? Ohh...!” Chu Bwee Hong menutup mukanya dan menangis tersedu-sedu.

“Hong-moi.....” Kwa Siok Eng bergegas menghampiri calon adik iparnya dan merangkulnya.

“Cici Bwee Hong...!” Ho Pek Lian berdesah pula dengan sedihnya.

Chu Seng Kun jatuh terduduk kembali dikursinya. Mukanya tertunduk dalam-dalam demikian mengawasi lantai, sehingga beberapa saat lamanya ruangan itu menjadi sunyi. Yang terdengar sekarang hanyalah isak tertahan dari Chu Bwee Hong saja. Souw Lian Cu dan Ho Pek Lian yang biasanya banyak omong itupun tampak termangu-mangu pula seperti Chu Seng Kun.

Akhirnya Chu Seng Kun bergerak menggeser tempat duduknya dan otomatis semuanya bagaikan terjaga dari kesunyiannya. Perlahan-lahan pemuda itu mendekati adiknya dan menyentuh punggungnya. “Bwee Hong, janganlah kau bersedih.... anggap saja semuanya itu sebagai cobaan Tuhan yang sedang diberikan kepadamu. Siapa tahu semuanya itu memang korban yang harus kau berikan sebelum engkau memperoleh kebahagiaan yang lebih sempurna? Marilah, adikku...! Kau duduklah lagi yang baik, buanglah kesedihanmu itu jauh-jauh, lalu... marilah kita berbicara tentang pengalamanmu selama ini dengan baik-baik! Lihatlah, cicimu Siok Eng dan nona Pek Lian telah berada disini semua...! Mereka berdua juga tidak mengenal lelah selama berbulan-bulan untuk mencarimu."

"Benar, Hong-moi..... marilah, kita duduk dan berbicara baik-baik!" Kwa Siok Eng merangkul dan menuntunnya kembali ke kursi. Semuanya duduk kembali di kursinya.

"Bwee Hong, ketahuilah....." Chu Seng Kun membuka percakapan. “Dua tahun lamanya kami bertiga, aku.... cicimu dan nona Pek Lian, berkelana tanpa mengenal lelah menjelajah ke seluruh pelosok negeri untuk mencarimu. Kami bertiga bagaikan orang buta yang bersusah payah mencari sebatang jarum dalam tumpukan jerami! Bagaimana tidak? Engkau hilang lenyap tanpa meninggalkan jejak sama sekali. Bagaimana kami harus mencarimu? Satu-satunya petunjuk hanyalah sebuah topi yang dibalut oleh kerudung tipis berwarna hitam…”

“Benar, cici… kemanakah sebenarnya engkau selama ini? Apakah sebenarnya yang telah terjadi sehingga engkau menghilang sedemikian lamanya?” Ho Pek Lian menyambung kata-kata Chu Seng Kun.

Sementara itu Kwa Siok Eng dengan lembut merangkul pundak Chu Bwee Hong dan mengusap air mata yang mengalir di pipi adik iparnya tersebut dengan saputangannya. “Hong-moi, lekaslah kau bercerita....! Aku juga sudah tak sabar lagi untuk mendengarnya,” gadis itu membujuk pula.

Kepala yang tertunduk itu perlahan-lahan diangkat, kemudian sisa-sisa air mata yang masih menempel pada pipinya ia keringkan dengan saputangan. Setelah itu mata yang berbulu lentik tersebut mengawasi orang-orang yang berada di sekitarnya. Melihat semuanya menatap kepadanya dengan sinar mata mengharap, Chu Bwee Hong menjadi tidak tega pula untuk berdiam diri terus-menerus.

“Baiklah, akan kuceritakan semua kemalangan dan semua penderitaan yang kualami itu kepada kalian, tapi sebelumnya aku minta maaf karena telah membuat kalian ikut menderita pula karenanya, dan aku sungguh sangat berterimakasih sekali atas perhatian kalian kepadaku.” Wanita cantik itu akhirnya berkata.

“Cici.....” tiba-tiba Souw Lian Cu berseru lirih dan beranjak dari tempatnya untuk keluar dari ruangan tersebut. Gadis remaja itu merasa tidak enak hati untuk ikut mendengarkan cerita Chu Bwee Hong tersebut.

Tapi Chu Bwee Hong segera menahannya. "Lian Cu, mau pergi kemanakah kau....? Jangan pergi dulu, kau dengarlah dulu ceritaku...!"

"Ah, cici.... aku....." Souw Lian Cu tetap merasa kikuk.

Chu Bwee Hong menghela napas. "Lian Cu, kau tak usah pergi! Engkau harus mendengarkannya malah, karena justru engkaulah yang paling berhak untuk mengetahuinya."

"Aku....?" Souw Lian Cu ternganga.

"Benar! Kemarilah....!"

Dengan ragu-ragu gadis itu melangkah mendekati Chu Bwee Hong, lalu duduk di samping wanita ayu tersebut. Chu Seng Kun, Kwa Siok Eng dan Ho Pek Lian saling pandang dengan sinar mata bingung. Mereka bertiga benar-benar tidak tahu apa maksud Chu Bwee Hong dengan mengatakan bahwa justru Souw Lian Cu itulah orang yang paling berhak mendengarkan ceritanya tersebut.

Dua tahun yang lalu...! Chu Bwee Hong tinggal bersama dengan kakaknya, Chu Seng Kun, di rumah bekas tempat tinggal ayah angkat mereka. Rumah itu memang jauh dari perkampungan penduduk, karena rumah itu dibangun oleh ayah angkat mereka di tengah-tengah hutan.

Tetapi biarpun rumah tersebut berada jauh terpencil di tengah-tengah hutan, ternyata setiap harinya banyak orang yang datang untuk meminta obat kepada mereka. Ternyata kepandaian Chu Seng Kun dalam hal pengobatan telah tersebar ke mana-mana, bahkan telah sampai di luar daerah mereka sendiri. Meskipun tidak kaya tapi mereka hidup berkecukupan dengan cara menjual obat-obatan serta menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan mereka.

Kadang-kadang begitu banyaknya orang yang datang untuk meminta pertolongan Chu Seng Kun, sehingga pemuda itu hampir-hampir tidak pernah mempunyai waktu untuk beristirahat. Untunglah selain mahir dalam ilmu pengobatan Chu Seng Kun juga seorang jago silat yang berkepandaian sangat tinggi, sehingga kerja keras seperti itu tidak pernah mempengaruhi kesehatannya.

Sementara itu selain membantu kakaknya bila sedang memberi pengobatan kepada orang yang datang membutuhkan pertolongan mereka, Chu Bwee Hong juga mengerjakan semua pekerjaan di dalam rumah mereka. Dua atau tiga hari sekali gadis itu pergi ke kota untuk membeli segala keperluan mereka sehari-hari. Oleh karena gadis itu juga bukan gadis sembarangan, apalagi sejak kecil telah belajar ilmu silat tinggi, Chu Seng Kun juga tidak mengkhawatirkan keselamatan adiknya tersebut bila pergi ke kota sendirian.

Demikianlah, pada suatu hari Chu Bwee Hong juga berangkat ke kota untuk berbelanja seperti biasanya. Hanya kali ini keberangkatan gadis itu sungguh sangat berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Kali ini gadis itu kelihatan amat lesu dan tak bergairah sama sekali. Wajahnya selalu tertunduk sedih dan sekali-kali tampak berhenti untuk menghela napas berat. Langkahnya gontai, kadang-kadang seperti tak melihat jalan yang sedang dilaluinya, sehingga gadis yang berkepandaian silat tinggi itu kadang-kadang hampir terjerembab ke depan karena kakinya terantuk batu.

Di dalam kotapun gadis itu banyak membuat orang-orang yang telah mengenalnya menjadi terheran-heran ketika mereka berpapasan. Gadis itu berjalan bagaikan sebuah boneka yang tidak bernyawa dan seringkali tidak menjawab tegur sapa yang mereka berikan. Padahal biasanya gadis itu sangat ramah dan baik sekali kepada siapapun juga, apalagi kepada orang-orang yang telah dikenalnya.

Sebenarnya keadaan Chu Bwee Hong yang aneh tersebut sudah lama dicium oleh kakaknya. Jadi keanehan tersebut telah berlangsung lama. Cuma karena Chu Seng Kun belum tega untuk menanyakannya, apalagi Chu Bwee Hong sendiri tampaknya juga selalu mengelak apabila diajak bicara, maka selama itu pula keanehan tersebut masih belum terungkapkan juga.

Dan keanehan yang terjadi pada diri Chu Bwee Hong hari itu adalah puncak dari keanehan sikapnya selama ini. Kalau pada hari-hari sebelumnya gadis itu masih mampu mengendalikan perasaan dan sikapnya, kali ini agaknya sudah tidak bisa lagi. Mungkin beban batin yang selama ini masih dapat ia tahan dengan sekuat tenaga, kini sudah tidak dapat mempertahankan pula lagi. Itulah sebabnya gadis tersebut berjalan bagaikan sebuah boneka yang tidak bernyawa.

Apakah sebenarnya latar belakang dari sikap Chu Bwee Hong yang sangat aneh itu? Sebenarnya orang tidak akan menganggap aneh lagi apabila sudah mengetahui latar belakang dari sikap gadis yang telah menjadi dewasa tersebut. Malahan orang akan menganggapnya wajar dan biasa bila hal seperti itu menimpa pada gadis secantik Chu Bwee Hong! Sebab hal-hal yang aneh seperti itu tentu akan dialami pula oleh remaja-remaja yang lain.

Memang tak ada sesuatu kekuatan pun yang bisa merubah sikap atau watak seseorang selain cinta kasih! Cinta kasih yang telah dianugerahkan oleh Tuhan kepada ummatNya, termasuk juga semua manusia yang hidup di dunia ini! Seorang pendiam mendadak bisa pandai bicara, atau sebaliknya seorang yang sangat cerewet tiba-tiba berubah menjadi pendiam bagaikan seorang bisu! Seorang kasar kadang-kadang berubah menjadi lembut dan suka berkhayal seperti seorang penyair, tapi sebaliknya seorang pujangga tersohor kadang-kadang malah lalu berubah menjadi dungu dan tolol...!

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.