Pendekar Penyebar Maut Jilid 26 karya Sriwidjono - “TERIMA kasih.... terima kasih!" orang tua itu mengangguk-angguk, lalu mukanya mendongak ke atas dan bersiul nyaring.
"Tai-si-ong……!” serunya tak begitu keras. "Apakah Song Cu-si (Pengurus Perkumpulan she Song) telah menemukan anjing itu?” tiba-tiba terdengar suara halus di belakang mereka.
Lelaki berkerudung itu membalikkan badannya dengan cepat, dan hatinya segera menjadi berdebar-debar! Hanya setombak jauhnya dari tempat ia berdiri tampak seorang kakek tinggi tegap mengenakan kain lebar berwarna kuning seperti pendeta. Tapi bukannya wajah kakek yang berwibawa itu yang membuat hati Ielaki berkerudung tersebut menjadi berdebar-debar, tetapi kedatangannya yang sangat mendadak dan tanpa menimbulkan suara itulah yang amat mengejutkannya. Kakek itu seperti hantu yang muncul begitu saja dari dalam tanah!
Lelaki berkerudung itu mulai mengkhawatirkan peti pusakanya. Dua orang asing yang berada didepannya ini tampaknya mempunyai kesaktian di atas dirinya, sehingga kalau kedua orang itu memang berniat untuk merebut peti pusakanya, dia takkan mungkin bisa mempertahankannya. Jangankan harus melawan mereka semuanya, untuk melawan seorang saja di antara mereka dia mungkin takkan mampu melakukannya.
Seperti halnya orang tua berbadan gemuk tadi, kakek yang baru saja muncul itu juga tertegun melihat topi dan kain yang menutupi wajah Ielaki berkerudung tersebut. Hanya perasaan kagetnya itu bukan disebabkan oleh ketakutan hatinya terhadap hantu tetapi justru disebabkan oleh perasaan aneh dan curiganya yang besar. Apalagi kedatangannya ke tempat ini juga bukan atas prakarsanya sendiri tetapi atas undangan seseorang yang menamakan dirinya Sang Putera Mahkota.
Oleh karena kakek itu belum pernah mengenal Sang Putera Mahkota tersebut, maka hatinya segera menjadi curiga terhadap lelaki berkerudung di depannya itu. Jangan-jangan orang itulah yang mengundang dirinya dan menyebut nama Sang Putera Mahkota sebagai nama samarannya.
Sementara itu orang tua berbadan gemuk itu segera memberi hormat kepada kakek gagah tersebut. “Tai-si-ong (Kepala Kuil Agung), saudara ini memberitahukan kepada kita bahwa anjing putih itu menuju ke arah sana. Katanya anjing itu sedang mengikuti kawanan serigala...."
Kakek gagah itu menatap Ielaki berkerudung itu sekali lagi, lalu mengangguk memberi hormat. "Terima kasih atas bantuan sicu....." katanya dengan suara berat. "Hem, bolehkah lo-hu mengenal nama si-cu yang mulia?"
Lelaki berkerudung itu tidak bisa menjawab dengan segera. Sejak ia menutupi wajahnya dengan topi dan kain hitam itu ia memang bermaksud merahasiakan siapa dirinya. la tak ingin seorangpun mengenal namanya. Oleh karena itu sekarangpun ia tak ingin menyebutkan namanya. Cuma ia harus berhati-hati mengatakannya agar kedua orang lihai itu tidak menjadi tersinggung hatinya. Apafagi dua orang itu tampaknya tokoh-tokoh dari sebuah perkumpulan atau aliran yang besar.
"Maaf, ji-wi lo-cianpwe.... siauw-te belum bisa memperkenalkan diri di hadapan ji-wi sekarang, karena siauw-te kini harus mengemban sebuah tugas penting dan rahasia…..”
“Rahasia? Apakah si-cu ini utusan dari orang yang menyebut dirinya Sang Putera Mahkota?” kakek gagah yang dipanggil Tai-si-ong itu mendesak.
"Sang Putera Mahkota.....? Siapa dia? Apa maksud Lo-cianpwe.......?” lelaki berkerudung itu berseru tak mengerti. Benar-benar tak mengerti!
Kakek gagah itu mengerutkan keningnya, hatinya menjadi bingung. Tampaknya orang berkerudung itu benar-benar tak ada hubungannya dengan orang yang mengundangnya itu. Lalu siapakah orang ini? Mengapa gerak-geriknya mencurigakan benar? "Ah, tidak... tidak! Lo-hu cuma bertanya sambil lalu saja...." akhirnya kakek itu tergagap.
Lelaki berkerudung itu termangu-mangu beberapa saat lamanya, agaknya juga berpikir tentang Sang Putera Mahkota itu. Tapi sejenak kemudian orang itu segera menjadi sadar, sehingga dengan tergesa-gesa dia meminta diri kepada orang tua gagah tersebut.
"Kalau… kalau begitu siauw-te minta diri dahulu untuk meneruskan perjalanan.”
"Baiklah, silahkan....! Sekali lagi terimakasih atas petunjuk si-cu......" kakek gagah yang tidak lain adalah ketua Im Yang-kauw itu terpaksa melepaskan. Sekejap matanya yang mencorong dalam kegelapan itu melirik ke arah peti pusaka yang dibawa oleh orang berkerudung itu dengan perasaan curiga. Tapi oleh karena tidak ada masalah yang mesti dipersoalkan lagi maka kakek gagah itu juga tak ingin berurusan lebih lanjut.
Lelaki berkerudung itu menghela napas lega, kemudian cepat-cepat meninggalkan tempat itu. "Wah, sungguh amat berbahaya....” desahnya di dalam hati.
Sepeninggal orang itu Tai-si-ong dan Pang Cu-si Song Kang (Pengurus Perkumpulan) saling memandang dengan dahi berkerut. "Apa pendapat Tai-si-ong tentang orang aneh itu?" Song Cu-si bertanya kepada ketuanya.
"Agaknya dia baru saja melakukan sesuatu urusan yang sangat penting dan rahasia. Tetapi urusan apakah itu, lo-hu tak bisa menerkanya. Tadi lo-hu malah mencurigai dia sebagai orang yang telah mengirimkan undangan kepada aliran kita, tapi setelah kutanyakan ternyata bukan. Dia malah seperti tidak tahu menahu tentang Sang Putera Mahkota itu. Hmmm, tapi entahlah kalau dia berbohong.” Ketua aliran Im-Yang-kauw itu memberikan pendapatnya.
"Gerak-geriknya mencurigakan benar.... memakai penutup kepala, membawa peti besar…. hmm, seperti pencuri saja!” Song Kang juga memberikan pendapatnya. "Apa sih isi peti itu?"
Tai-si-ong tersenyum geli. "Ah, Song Cu-si ini sungguh aneh. Mana dapat kita mengetahui isinya? Bukankah peti itu selalu didekapnya dan tidak pernah dibuka di depan kita? Hahaha.... kalau Lo-jin-ong ada di sini kita bisa meminta tolong kepadanya untuk menerka isi peti itu dengan ilmu Lin-cui Sui-hoatnya.”
"Ah!" Song Kang Cu-si tersenyum pula dengan tersipu-sipu.
"Sudahlah, mari kita mengejar anjing putih itu! Jangan sampai kita kehilangan arah lagi."
Mereka lalu melesat pergi ke arah kanan seperti yang ditunjukkan oleh orang berkerudung itu. Mereka berkelebat dengan cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuh mereka agar supaya tidak kehilangan jejak anjing putih itu lagi. Tanpa anjing putih tersebut mereka tak mungkin bisa menemukan tempat tinggal Sang Putera Mahkota, sebab dalam surat undangan yang mereka peroleh telah disebutkan bahwa mereka harus mengikuti seekor anjing berbulu putih apabila telah berada di dalam hutan itu.
Kedua orang tokoh puncak aliran Im-yang-kauw itu benar-benar tidak mengetahui bahwa bersamaan dengan langkah mereka itu si anjing putih telah tiba di tempat Chu Bwee Hong berbaring, dan kini anjing putih itu bersama kawan-kawannya sedang bertempur dengan seru melawan kawanan serigala yang mengganggu gadis tersebut.
Melihat Chu Bwee Hong jatuh dan tidak bangkit atau bergerak lagi, kawanan serigala yang sejak tadi telah mengincarnya segera menjadi buas! Mereka saling berdesakan dan rebut dahulu untuk segera menghunjamkan taring mereka masing-masing. Seekor serigala yang bertubuh lebih besar dari pada kawan-kawannya tampak meloncat mendahului, kemudian menggigit kain yang dikenakan oleh Chu Bwee Hong dan menarik-nariknya.
Serigala yang lain segera menyerbu pula mengikuti serigala tersebut. apalagi ketika tampak oleh mereka mangsa itu diam saja tak bergerak ataupun mempertahankan diri. Mereka mencakar, menggigit, mencabik dan menarik-narik, sehingga tubuh Chu Bwee Hong yang halus lembut itu kini mulai terluka dan mengeluarkan darah! Meskipun begitu gadis itu tetap berdiam diri dan tidak berusaha melawan atau mempertahankan diri sama sekali. Gadis itu seperti telah mematikan perasaannya!
Sebentar saja gadis itu tentu akan mengalami peristiwa yang sangat mengerikan apabila tiba-tiba tidak datang sekawanan serigala lain yang dipimpin oleh anjing besar berbulu putih! Anjing besar berbulu putih yang tadi dilihat oleh orang berkerudung itu begitu datang langsung mengajak kawan-kawannya untuk menyerang serigala-serigala yang mengeroyok Chu Bwee Hong tersebut!
Mereka segera terlibat dalam pertempuran yang dahsyat dan menggiriskan. Mereka bertempur dengan kasar dan tak beraturan, asal menyerang dan menggigit saja lawan yang berada di dekatnya. Dan semakin banyak darah yang menetes semakin buaslah mereka! Mereka bertempur dengan hiruk-pikuk! Mereka menyalak, menguik, menggonggong dan melolong! Suaranya keras menggetarkan hutan!
Dan hiruk-pikuk itu ternyata sampai juga ke telinga dua orang lelaki yang pada saat itu sedang menerobos hutan itu pula dari arah timur. Kedua orang lelaki itu terdiri dari seorang kakek tua berusia enampuluhan tahun dan seorang lelaki muda berumur tigapuluhan tahun lebih sedikit. Mereka berdua melesat dengan cepat menerobos lebatnya daun dan pepohonan yang tumbuh dengan rapat di dalam hutan itu, bagaikan dua ekor belalang malam yang terbang berlompatan di antara dahan.
Dan dilihat dari cara mereka bergerak yang enteng dan gesit Iuar biasa itu dapat diduga kalau mereka adalah dua orang jago silat berkepandaian tinggi pula, seperti halnya kedua tokoh lm-yang-kauw tadi. Sebenarnyalah, kedua orang lelaki itu memang bukan tokoh sembarangan di dunia persilatan! Si kakek yang rambut kepalanya sudah penuh uban itu tidak lain adalah Put-ceng-li Lojin, ketua Aliran Bing-kauw yang amat terkenal. Sama terkenalnya dengan ketua lm-yang kauw maupun Mo kauw!
Sedangkan lelaki muda yang berjalan di belakangnya itu tidak lain adalah muridnya sendiri, Put-sim-sian Si Dewa Tak Berperasaan! Lelaki muda ini juga tidak kalah terkenalnya dan pada Put-ceng-li Lo-jin, karena sebagai murid pertama dari ketua Aliran Bing kauw dia sudah menyerap seluruh ilmu kepandaian gurunya yang hebat.
Seperti halnya kedua orang tokoh Im-yang kauw tadi, kedatangan mereka berdua di hutan itu juga bermaksud untuk memenuhi undangan Sang Putera Mahkota yang sangat misterius itu. Sama juga dengan Tai-si-ong dari Im-yang-kauw. Put-ceng-li Lojin juga menerima sepucuk surat undangan dari orang yang menyebut dirinya Sang Putera Mahkota beberapa hari yang lalu!
"Hah, itu dia....! Keparat benar anjing itu! Baru sekarang dia muncul." Put-ceng Ii Lo-jin bersorak gembira sambil memasang telinganya.
"Tapi banyak benar suaranya, jangan-jangan itu bukan suara anjing yang kita cari tapi suara kawanan serigala!" Put-sim-sian menyahut dengan suara ragu.
"Alaaa.... apa bedanya serigala dan anjing dalam urusan kita ini? Asalkan dia berbulu putih... itulah yang kita ikuti!" Put-ceng-li Lo jin berkata keras. "Ayoh....!"
Put-sim-sian mengangguk, kemudian meloncat ke depan mendahului gurunya. Put-ceng-li Lo-jin segera mengejarnya pula, sehingga kedua orang guru dan murid itu seperti mau berlomba agar bisa tiba lebih dahulu di tempat hiruk-pikuk tersebut.
Sekejap saja mereka telah sampai. Dan kedatangan mereka itu benar-benar tepat pada waktunya! Mereka melihat dua kelompok serigala sedang bertempur dengan seru. Tapi kelompok pertama, yang dipimpin oleh seekor serigala berbulu putih, kelihatan terdesak dengan hebat! Jumlah mereka yang tampak lebih sedikit dari pada lawan mereka itu semakin lama semakin berkurang juga. Satu persatu tewas dikeroyok oleh Iawan-lawannya. Sehingga ketika Put-ceng-li Lo-jin dan muridnya datang, anjing atau serigala putih itu terpaksa harus melayani keroyokan delapan atau sepuluh ekor lawannya.
"Suhu, lihat... Ada dua kelompok serigala sedang berkelahi!" begitu datang Put-sim-sian berseru. "Dan seekor diantaranya berbulu putih!”
"Hei, benar...! lblis laknat, agaknya memang serigala itulah yang dimaksudkan oleh orang yang menamakan dirinya Sang Putera Mahkota itu!" Put-ceng-li Lo-jin ternganga.
"Su-hu!" tiba-tiba Put-Sim-sian berteriak keras sekali. "Di sana ada sesosok mayat!”
"Heh? Apa katamu….? Ohhh.... benar!"
Sekali lagi dua orang guru dan murid itu seakan berlomba menghampiri "mayat" Chu Bwee Hong! Dan mereka segera menjadi terbelalak begitu melihat tubuh seorang gadis cantik, tergolek dengan kelopak mata terbuka, serta kulit dan pakaian terkoyak-koyak oleh taring serigala.
"Suhu, dia masih hidup...." Put-sim-sian berbisik.
"Ya! Kelihatannya dia tertotok lumpuh sehingga tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Untunglah serigala-serigala itu belum sempat menghancurluluhkan kulit dan dagingnya."
Put-ceng Ii lo-jin berjongkok, kemudian memeriksa denyut nadi dan pernapasan Chu Bwee Hong. Tapi ketua Aliran Bing-kauw itu cepat melepaskan lengan Chu Bwee Hong kembali!
"Ada apa, su-hu?" Put-sim-sian bertanya kaget.
Put-ceng li Lo-jin tidak segera menjawab. Keningnya yang lebar itu berkerut-kerut, sementara kedua telapak tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Beberapa kali orang tua itu mengawasi wajah Chu Bwee Hong yang pucat, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sungguh aneh....!” gumamnya tak jelas.
Tentu saja Put-sim-sian semakin bingung dan tak mengerti. "Su-hu....?"
Tiba-tiba ketua Aliran Bing-kauw itu tersentak bagaikan disengat lebah, sehingga Put-sim-sian yang berada di belakangnya ikut-ikutan melompat ke samping dengan sigapnya. Murid yang telah mendapatkan hampir semua dari ilmu gurunya itu tampak berdiri dengan siap-siaga, seolah-olah sedang menghadapi situasi yang amat gawat!
Tanpa mempedulikan sikap muridnya Put-ceng-Ii Lo jin berkata gagap, seakan-akan baru saja menyaksikan suatu hal yang sangat menggoncangkan batinnya. “Put-sim-sian! Gadis... gadis ini agaknya memang berniat untuk bunuh diri!"
"Hah? Maksud su-hu?"
"Gadis ini tidak mengalami cedera sama sekali! Maksudku... dia tidak tertotok atau pun terluka dalam seperti dugaan kita. Dia sebenarnya bisa bergerak dan melawan serigala-serigala itu kalau mau...."
"Jadi......?!?"
"Gadis ini tampaknya baru saja mengalami pukulan batin yang amat hebat, sehingga ia menjadi putus asa dan berniat bunuh diri!" Put-ceng li Lo-jin menerangkan hasil pemeriksaannya.
"Maksud su-hu gadis itu telah mematikan seluruh perasaannya dan membiarkan dirinya digigit serta dicabik-cabik oleh serigala-serigala buas itu?"
"Benar! Sebenarnya ia mampu membunuh semua serigala itu kalau mau, sebab hanya orang yang mempunyai kepandaian tinggi bisa benar-benar mematikan perasaannya seperti ini. Lihatlah, sekarangpun dia tak melihat kedatangan kita.... padahal matanya terbuka!"
Put-sim-sian mengerahkan Iwee-kangnya, agar dapat melihat lebih jelas di dalam kegelapan malam. Tampak olehnya gadis itu bernapas dengan teratur, sementara bola matanya yang bulat lebar itu menatap kosong ke depan tanpa bergoyah sama sekali. "Lalu apa yang mesti kita kerjakan?" Put-Sim-sian bertanya seraya mendekat.
"Kita membagi tugas. Kau selamatkanlah serigala putih itu dan bunuh saja yang lain-lainnya bila mereka tak mau melarikan diri! Aku akan mengobati gadis ini....."
"Baik!” Put-sim-sian menggeram, lalu dikerahkannya seluruh tenaga dalamnya. Jago muda dari Aliran Bing-kauw itu tak ingin bertele-tele dalam melakukan tugasnya. Ia ingin membereskan kawanan serigala itu dalam sekali gebrak.
Mula-mula tokoh muda itu menghantam ke arah serigala-serigala yang mengeroyok anjing putih tersebut. Serangkum angin yang amat kuat terasa menghembus ke depan dan menerjang ke arah kawanan serigala yang mengeroyok anjing putih itu. Sekejap saja ke delapan ekor serigala itu terlempar dari arena. Mereka jatuh tunggang langgang, lalu melarikan diri. Hanya anjing putih itu saja yang tetap tinggal berdiam diri di tempatnya.
Melihat kawan-kawannya melarikan diri, kawanan serigala yang lain segera mengikuti pula. Kini di dalam arena itu hanya tinggal si anjing putih saja, karena semua lawan dan kawannya telah pergi meninggalkan tempat itu. Mereka kaget dan ketakutan melihat kehebatan pukulan Put-sim-sian!
"Aku telah mengusir mereka, su-hu. Bagaimana dengan gadis itu?”
Put-ceng-li Lo-jin menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya sedikit murung karena belum bisa menyadarkan Chu Bwee Hong yang telah mematikan seluruh perasaannya itu.
"Gadis ini benar-benar telah bersiap untuk mati. Seluruh panca-inderanya telah ditutupnya, sehingga lo-hu mendapatkan kesukaran untuk menyadarkannya kembali. Untuk membukanya lagi, kita harus sabar dan telaten. Lebih dahulu kita harus membangunkan hati dan perasaannya, agar supaya semangat hidupnya kembali berada di dalam getaran darahnya. Untuk itu kita harus selalu menjaga kelancaran peredaran darahnya, agar supaya jiwanya benar-benar tidak padam.”
“Lalu..... apa yang hendak suhu lakukan?”
Put-ceng-li Lo-jin terdiam untuk beberapa saat lamanya. Kelihatannya orang tua itu berpikir sebentar sebelum mengatakan keputusannya. "Gadis ini akan lo-hu bawa pulang," akhirnya orang tua itu berkata. "Lo-hu menjadi sangat tertarik untuk mengetahui sebab musababnya, kenapa dia sampai menjadi begini....”
"Oh.....?" Put-sim sian berdesah. "Tetapi bagaimana dengan maksud kita untuk menghadiri undangan itu? Apakah su-hu hendak membawanya juga ke sana?"
"Memangnya kenapa? Apakah itu tidak boleh?" Put-ceng li Lo-jin menoleh ke arah muridnya. "Huh! Iblis laknat....! Apa pedulimu jika lo-hu ingin membawa kucing, monyet atau kerbau ke tempat mereka? Lo-hu mau datang itu sudah untung bagi mereka. Setiap saatpun suhumu ini bisa saja membatalkan niatnya untuk menemui mereka bila badut yang menyebut dirinya Sang Putera Mahkota itu bertingkah...."
Put-sim-sian tertunduk, ia tidak berani menatap wajah gurunya. Lelaki muda ini sungguh menyesal sekali telah menyinggung perasaan gurunya. Ia benar-benar telah lupa bahwa gurunya itu adalah orang yang paling tidak suka pada segala macam aturan atau kebiasaan yang mengikat kebebasannya.
"Maafkan aku, suhu...." Put-sim-sian meminta maaf.
"Hei? Mengapakah kau ini?" Put-ceng li Lo-jin tersentak, wajahnya semakin tampak gelap, sehingga sekali lagi Put-sim-sian menyadari kesalahannya. Tak seharusnya ia bersikap demikian canggung di hadapan gurunya.
Gurunya itu paling tidak suka disanjung mau pun dihormati seperti guru-guru lain di dunia ini. Di dalam aliran mereka Put-ceng-li Lo-jin selalu bersikap bebas dan tak pernah menuntut perlakuan istimewa dari anggota perkumpulannya. Dari para muridnyapun tidak! Mereka biasa bersikap seperti teman akrab dari pada sebagai guru dan murid!
“Baiklah! Kalau begitu marilah kita berangkat sekarang!” akhirnya Put-sim-sian menemukan kembali adat kebiasaannya. Sekali menghentak tanah tubuhnya telah melayang ke depan mendahului su-hunya. Anjing putih itu menyalak dan mengikutinya dari belakang.
"Hai, bangsaaaat! Kaubawalah gadis ini! Masakan suhumu yang harus menggendongnya?" Put ceng-li Lo jin berteriak.
"Nanti sajalah bergantian, su-hu! Sekarang su-hu saja dahulu yang membawanya! Aku masih lelah karena baru saja bertempur melawan serigala-serigala tadi...!" dari jauh Put sim-sian berteriak menjawab.
"Keparat! Iblis laknat...! Murid goblog!" Put ceng-li Lo-jin menggerutu, dan mengumpat-umpat.
Terpaksa dengan perasaan enggan orang tua itu mengangkat tubuh Chu Bwee Hong dan kemudian menaruhnya di atas pundaknya. "Bangsat, berat nian......!" keluhnya lagi.
Dengan beban yang berat di atas pundaknya ketua Aliran Bing-kauw itu melangkah dengan cepat mengejar muridnya. Meski pun beberapa kali terdengar mulutnya mengumpat dan menggerutu, tapi langkah kakinya ternyata cepat bukan main. Dilihat dari kejauhan tubuhnya yang agak bungkuk itu seperti seekor burung yang terbang rendah di atas tanah, cepat dan gesit.
Tetapi belum juga seratus langkah orang tua itu berlari, tiba-tiba langkahnya berhenti. Sambil membetulkan letak tubuh Chu Bwee Hong orang tua itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sepasang matanya yang tajam mencorong itu seolah-olah dapat menembus rimbunnya semak-perdu di sekelilingnya. "Siapakah di situ.....?" sapanya tiba-tiba.
Terdengar desir langkah kaki seseorang di balik semak-semak sebelah kiri orang tua itu. Kemudian seorang kakek tua berbadan tegap dan seorang kakek gemuk berkepala besar tampak keluar dari kegelapan. Kedua orang yang tidak lain adalah Tai-si-ong dan Pang Cu-si Song Kang itu segera memberi hormat kepada Put-ceng-li Lo-jin.
"Selamat berjumpa, Bing Kauw-cu (Ketua Aliran Bing-kauw)! Sungguh tak terduga kita bisa saling berjumpa di tempat ini. Angin apakah yang meniup Bing Kauw-cu hingga malam-malam begini sampai datang ke hutan ini?” Tai-si-ong dari Im-yang-kauw itu menyapa lebih dulu untuk menghilangkan kekagetan hatinya melihat ketajaman panca-indera Put-ceng-li Lo-jin.
"Hei! Tai si-ong dan Pang Cu-si Song Kang rupanya...! Selamat bertemu! Selamat bertemu!" Put-ceng-li Lo jin yang tidak menyangka akan berjumpa dengan ketua Aliran Im-yang-kauw itu membalas pula dengan hangatnya. "Bagaimana khabarnya? Baik bukan?"
"Terima kasih! Kami semua sehat-sehat saja selama ini...." Pang Cu-si lekas-lekas menjawab.
"Hahaha.... Tai-si ong.... Song Cu-si, hampir saja lo-hu tidak mengenal kalian Iagi. Habis sudah lama benar kita tak saling bertemu.... eh, sejak pibu besar itu, bukan....?" Put-ceng-li Lo-jin yang tak pernah peduli akan perasaan orang lain itu tertawa gembira. PadahaI kata-katanya yang ceplas-ceplos tentang pi-bu besar itu membuat kedua tokoh Im-yang-kauw tersebut menjadi kikuk dan tak enak hati. Mereka seperti diingatkan kembali pada masa-masa kacau dan pertempuran besar di antara kedua aliran mereka beberapa tahun yang lalu. Sebuah pertempuran yang melibatkan pula diri mereka masing-masing!
“Benar.... benar!” Pang Cu-si Song Kang terpaksa menjawab pula dengan mulut meringis. "Malah....malah pada perjumpaan kita yang terakhir, Bing Kauw-cu hampir saja bertempur dengan aku...."
"Bertempur? Eh, benar... benar, Song Cu-si benar. Sayang pada saat itu su-hengku Put-chien-kang Cin-jin mencegahnya. Buset. Kalau tidak... heheh, salah satu dari kita tentu tidak akan bisa menikmati hidup sampai hari ini, hahahaha...."Song Kang mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah ketua Bing-kauw yang sedang tertawa gembira itu lekat-lekat. Diperhatikannya dengan seksama kalau-kalau ketua Bing-kauw bermaksud menyinggung perasaannya. Tapi serentak dilihatnya orang tua itu tertawa lepas tanpa bermaksud apa-apa, iapun segera tertawa pula mengikutinya.
"Ah, misalkan pertempuran itu tetap berlangsung juga.... bisa dipastikan akulah yang tidak akan bisa hidup sampai hari ini,” Katanya merendah.
"Hei, belum tentu! belum tentu!" Put-ceng li Lo-jin cepat-cepat menukas. "Di dalam Aliran Bing-kauw kepandaianku memang tak ada yang bisa melawan. Tapi kesaktian Song Cu-si sendiri tentu juga luar biasa hebatnya! Bila tidak demikian, masakan Song Cu-si dipilih menjadi Pang Cu-si Im-yang-kauw segala...."
“Ya.... tapi semuanya itu bila dibandingkan dengan kesaktian Bing Kauw-cu akan tidak ada artinya lagi." Song Kang tetap merendahkan diri.
"Wah, siapa bilang? Kita masing-masing mempunyai keistimewaan dan kelebihan sendiri-sendiri dalam ilmu silat. Kita tidak bisa mengatakan, siapa yang lebih baik dan siapa yang lebih jelek, sebelum keduanya diadu satu sama lain....."
"Ya, tapi....."
"Wah, Song Cu-si ini sungguh menjengkelkan benar! Masakan ilmu silat milik diri sendiri malah dipandang rendah dan diremehkan begitu. Sungguh tidak baik! Bukankah demikian, Tai-si-ong...?" Put-ceng-Ii Lo-jin penasaran.
“Memang!" ketua Aliran lm yang-kauw itu terpaksa mengangguk mengiyakan.
"Nah, itu lihat...! Apa kataku? Tapi kalau Song Cu-si masih tetap juga tak percaya, boleh kita mengadunya saja sekarang....." Put-ceng li Lo-jin yang selalu berbicara ceplas-ceplos itu menantang dengan enaknya, seolah-olah pertempuran mengadu nyawa itu hanya merupakan sebuah permainan ringan yang tak membahayakan jiwanya.
Tantangan halus itu sungguh sangat mengagetkan dan tidak diduga sama sekali oleh kedua tokoh lm-yang-kauw tersebut. Terutama Pang Cu-si Song Kang yang langsung menerima tantangan itu! Tapi kekagetan mereka itu bukanlah disebabkan karena mereka takut dan segan terhadap ilmu kepandaian Put ceng-li Lojin. Bukan!
Mereka sama sekali tidak takut atau gentar menghadapi ketua Aliran Bing kauw tersebut. Yang mereka takutkan adalah akibat dari pertempuran itu! Siapapun pihak yang kalah dalam perkelahian nanti tentu akan membawa dendam di dalam hatinya. Dan hal itu sungguh berbahaya sekali!
Baik Put-ceng-li Lo-jin maupun Tai-si-ong adalah ketua dari sebuah aliran yang amat besar dan ternama. Dendam di dalam hati mereka tentu akan berakibat buruk pada kedamaian dan ketenteraman masyarakat umum seperti juga yang pernah terjadi beberapa tahun yang lalu. Oleh karena itu tantangan tersebut sungguh amat mengagetkan kedua tokoh Im-yang-kauw tersebut. Kaget, karena tantangan itu justru keluar dari mulut Put ceng li Lo-jin, ketua Aliran Bing-kauw yang besar itu.
Pang Cu-si Song Kang dan Tai-si-ong saIing pandang dengan wajah tegang. Mereka menjadi serba salah. Melayani tantangan itu berarti mereka menyulut api pertentangan yang selama ini telah dapat didamaikan dengan susah payah oleh bekas-bekas pimpinan mereka. Tapi kalau mereka tidak mau melayani tantangan tersebut, mereka akan kehilangan harga diri mereka di mata orang lain. Mereka akan dicap sebagai penakut dan pengecut!
"Ahh, Bing Kauw-cu ini suka benar berkelakar....” Tai-si-ong masih juga tersenyum untuk mendinginkan suasana yang sangat berbahaya itu.
Tapi Put-ceng-li Lo-jin seperti tak melihatnya. Tokoh yang selalu menurutkan selera hatinya sendiri itu malah meletakkan tubuh Chu Bwee Hong di tempat yang bersih dan aman, lalu berdiri mempersiapkan diri untuk bertarung.
“Lo-hu tidak berkelakar...." katanya meyakinkan. "Lo-hu malah ingin membuktikan kepada Song Cu-si, bahwa ilmu silat itu harus diadu lebih dahulu untuk membuktikan kalah menangnya."
Tiada pilihan lagi bagi Song Kang selain melayani tantangan itu. "Baiklah..." akhirnya pengurus perkumpulan dari aliran Im-yang-kauw itu mengangguk. "Bing Kauw-cu akan kulayani. Marilah….!”
Tai-si-ong terpaksa tak bisa mencegahnya lagi. Dengan perasaan berdebar-debar dia melangkah mundur, serta membiarkan kedua jago silat berkepandaian tinggi itu saling berhadapan. Dilihatnya Song Kang membuka pakaian luarnya yang lebar, sementara Put-ceng li Lo-jin menantinya di tengah-tengah arena.
"Bing Kauw-cu, maafkan....!" tiba-tiba Pang Cu-si Song Kang mendahului menyerang. Pakaian luarnya yang lebar itu diayunkan depan, tertebar bagaikan selembar jala ke arah kepala Put-ceng-li Lo-jin.
“Thian-kuan-pi-tee (Langit Menutupi Bumi)....." Tai-si-ong berdesah melihat jurus yang dipergunakan oleh pembantunya itu. Thian-kuan-pi-tee adalah jurus pembuka dari Im-hong-ciang, sebuah dari ilmu silat andalan Im-yang kauw. Ilmu silat ini sangat mengandalkan Iwee-kang yang tinggi dan dapat dimainkan dengan senjata apa saja, terutama dengan benda-benda yang sifatnya lentur atau lemas.
Dan seperti halnya ilmu silat Aliran Im-yang-kauw lainnya, ilmu silat Im-hong-ciang ini juga mempunyai ciri khas yang sama yaitu gerakan-gerakannya amat halus dan rumit serta kaya akan gerak-gerak tipuan. Maka untuk mempelajarinya dengan sempurna tiap anggota Im-yang-kauw terpaksa menekuninya selama bertahun-tahun.
"Setan belang! Hei, Song Cu-si....! Lo-hu berani bertaruh, ilmu silat yang kaupergunakan ini tentu ilmu Silat Im-hong-ciang yang sangat terkenal itu! Betul tidak?" sambil mengelak Put-ceng-li Lo-jin berteriak. Kakek tua ini mengelak dengan cara yang sangat unik. Mula-mula orang tua ini berjongkok dengan cepat, setelah itu meloncat ke samping seperti seekor katak melompat.
Gagal menjaring tubuh lawannya Song Kang tidak meneruskan serangannya. Orang tua yang lihai itu berdiri diam saja di tempatnya seraya menggulung "jaringnya". Diam-diam hatinya memuji ketajaman mata Put-ceng-li Lo-jin, bisa mengenal ilmu silat yang ia keluarkan, meskipun baru melihat satu jurus saja. Dan hal itu berarti dia harus lebih berhati-hati lagi menghadapi ketua Bing-kauw itu.
"Dan aku juga berani bertaruh pula bahwa lompatan yang Kauw-cu lakukan tadi tentu bahagian dari ilmu Chuo-mo-ciang itu, bukan?" katanya pula agar tidak kalah gertak, padahal ia cuma menduga-duga saja.
"Hahaha-hehe…..!?” Put-ceng-li Lo-jin yang memang telah mempersiapkan Chuo-mo-ciang itu mulai kumat sintingnya. Tubuhnya yang agak bungkuk itu masih tetap berjongkok, sementara matanya yang kecil itu mulai kocak melirik kesana kemari, "Hehehe.... setan belang! Setan Laut! Setan Neraka! Setan... heh, pokoknya segala setan bau busuk, hehehehe....!
"Ternyata Song Cu-si sudah mengenal pula ilmu setanku (Chuo-mo-ciang berarti Ilmu Menangkap Setan)....."
Selesai berbicara Put-ceng li Lo-jin meloncat ke atas, menubruk ke arah lawannya! Gayanya meloncat masih tetap seperti tadi, yaitu dengan punggung membungkuk dan lutut ditekuk menempel perut. Cuma sekarang, sambil meloncat tubuh itu berputar-putar di udara. Persis seperti seorang pemain akrobat yang berjungkir-balik di udara. Dan sambil meloncat orang tua itu mulai berceloteh tidak karuan.
"Song Cu-si, coba kau tebak nama dari jurusku ini...." katanya dengan nada bergurau. “Tidak tahu, bukan? Nah, dengarlah ceritaku......!''
Tapi sebelum cerita itu sempat keluar dari mulutnya, serangannya ternyata telah lebih dulu sampai di tempat Song Kang. Sepasang kaki dan tangannya tampak mencuat keluar bergantian, mencakar dan menendang bagian dada dan kepala Pang Cu-si Song Kang. Suara pukulannya terdengar gemuruh menderu seperti suara pohon besar yang tumbang terkena angin ribut!
Song Kang terkejut. Tokoh kedua dari Im-yang-kauw setelah Tai-si-ong dan Lo-jin-ong ini benar-benar terperanjat melihat perubahan dari serangan tersebut. Serangan yang semula tampak ringan dan tidak membahayakan itu tiba-tiba berubah ganas dan mematikan setelah sampai di sasaran! Kekuatan lawan yang semula dia perkirakan biasa-biasa saja itu mendadak seperti bertambah menjadi berlipat ganda jumlahnya.
Karena belum bisa menjajagi ilmu lawannya yang aneh dan amat membahayakan itu, maka Song Kang terpaksa tidak berani menyambut atau memapaki serangan tersebut. Tokoh Im-yang-kauw itu memilih jalan menghindari serangan tersebut daripada harus menyongsongnya. Sambil melangkah mundur tiga tindak dia menyabetkan pakaian luarnya ke arah Put-ceng li Lo-jin!
Kali ini tokoh Im-yang-kauw itu tidak mau bersikap segan-segan lagi. Dikerahkannya seluruh kekuatannya sehingga kain baju yang dipegangnya itu berubah menjadi keras dan kaku seperti besi baja.
Melihat lawannya melangkah mundur dan tidak berani dengan langsung menyongsong serangannya, Put-ceng-li Lo-jin segera mempersiapkan serangan berikutnya. Kedua belah kakinya cepat-cepat dilipat kembali di depan perutnya, sementara sepasang lengannya juga segera dikembangkan di samping tubuhnya. Semua gerakannya itu dilakukan dalam keadaan masih melayang di udara!
“Jurus katak melompat ini terdiri dari delapan belas gerakan. Diciptakan oleh suhengku Put-chien-kang Cin-jin tatkala dia bertapa di Telaga Hijau....” sambil menghindari sabetan Song Kang, ketua Aliran Bing-kauw itu memulai ceritanya.
“Saat itu suheng sedang pepat pikirannya karena sudah hampir setahun penuh dia belum dapat juga menyelesaikan bahagian terakhir dari ilmu Chuo-mo-kang ciptaannya. Padahal perselisihan antara aliran kami dan aliran kalian sudah semakin meruncing, dimana setiap waktu dapat saja meletus menjadi perang terbuka. Dan apabila semua itu benar-benar terjadi, kaum kami tentu akan repot menghadapi Ilmu Sakti Kulit Domba (Im-yang-kun) kalian.....”
Sambil tetap mendengarkan cerita Iawannya Song Kang melongo menyaksikan cara Put-ceng li Lo-jin mengelakkan sabetan kain bajunya. Dengan sangat enteng dan gesit ketua Bing-kauw itu tampak menahan daya luncurnya lalu menggeliat di udara beberapa kali, setelah itu melayang ke samping dengan manisnya. Semua itu dilakukan orang tua tersebut tanpa harus menginjakkan kakinya di atas tanah lebih dahulu, sehingga dilihat dari bawah seperti seekor burung yang sedang terbang zig-zag di udara.
“Orang tua ini memang tidak boleh dianggap enteng. Salah-salah aku malah bisa kehilangan waktu kalau tak lekas-lekas menandinginya dengan ilmu pamungkasku (ilmu andalan). Toh dia juga telah mengeluarkan Chuo-mo-ciangnya.....” Song Kang berdesah di dalam hati.
Maka jago Im-yang-kauw itupun lekas-lekas membuang baju yang dipegangnya, kemudian mengerahkan Im-yang Sin-kang sebelum ia menyerbu dengan Im-yang-kun atau Ilmu Silat Kulit Dombanya yang terkenal itu.
Sementara itu Put-ceng-li Lo-jin terus saja melanjutkan ceritanya. Orang tua itu sama sekali tidak mengambil pusing pada semua perubahan sikap lawannya. “Saking pepatnya suhengku pergi bertapa menyendiri di Ceng-ouw (Telaga Hijau). Berbulan-bulan dia hidup di sana bersama dengan ribuan katak yang memenuhi telaga yang luas dan dalam itu. Tanpa disengaja suhengku selalu melihat dan memperhatikan segala gerak-gerik ribuan katak itu setiap hari, sehingga lambat-laun suheng bisa melihat keanehan dan kehebatan gerakan mereka. Suheng seperti memperoleh ilham untuk menyelesaikan ilmu ciptaannya itu. Maka dengan semangat yang meluap-luap dia menyaring semua yang dilihatnya itu dan mengambil inti-sarinya, lalu menuangkannya dalam gerakan-gerakan ilmu silat yang hebat......”
"Jadi.... pada saat dilangsungkannya pi-bu besar itu Put-chien-kang Cin-jin baru saja dapat menyelesaikan Chuo-mo-kangnya?” Song Kang bertanya dengan kening berkerut.
Put-ceng li Lo jin tertawa. "Benar!" katanya. "Untunglah pada waktu itu su-hengku dengan akal muslihatnya dapat menyeret Tai-si-ong kalian yang lama ke dalam arena pi-bu satu lawan satu. Kalau tidak, wah.... kami tentu akan dapat kalian gulung dengan mudahnya. Soalnya baru su-hengku saja yang dapat memainkan Chuo-mo-kang itu. Lainnya belum berkesempatan untuk mempelajarinya."
Selesai berbicara tiba-tiba Put-ceng li Lo jin menjauhkan tubuhnya ke depan. Tapi sebelum tubuh itu menyentuh tanah, mendadak tubuhnya tampak mental ke atas kembali dengan cepat seperti sebuah bola yang membentur benda yang tak kelihatan. "Awas serangan...!" teriaknya memperingatkan. Sepasang kakinya meluncur lebih dahulu ke depan, menuju ke arah kepala Song Kang.
Tapi Song Kang juga telah bersiap-siaga pula dengan iImu Sakti Kulit Dombanya. Begitulah sepasang kaki lawannya meluncur datang dengan maksud menggunting Iehernya dia segera meliukkan badan seraya merendahkan tubuhnya ke depan, sehingga kedua belah kaki Put ceng-li Lo-jin lewat di atas kepalanya. Kemudian dengan badan yang masih dalam keadaan meliuk itu Song Kang mencengkeram ke atas, ke arah lutut Put-ceng-li Lojin. Dan jurus yang dia keluarkan ini adalah jurus Meniti Pelangi Meraih Awan, yaitu baris ke dua bait pertama dari pantun yang tertulis pada lembar ke tujuh kulit domba itu.
Di dalam mempelajari Ilmu Sakti Kulit Domba Song Kang telah mencapai tingkatan yang tidak rendah. Bersama dengan Tai-si-ong, dia telah mencapai lembar yang ke sepuluh. Maka dapat dibayangkan betapa hebat kepandaiannya. Kelihatannya saja kesepuluh jari-jarinya itu hanya mengancam ke arah lutut lawan, tapi di mata seorang ahli akan segera terlihat bahwa setiap jari-jari itu ternyata telah mengancam semua titik jalan darah mematikan di badan Put-ceng-li Lo-jin!
Ternyata Put-ceng-li Lo jin melihat bahaya itu pula. Buktinya tubuhnya yang meluncur dengan kaki di depan itu segera melengkung ke atas seperti batang bambu yang meliuk tertiup angin, lalu sekejap kemudian melejit lagi ke atas bagaikan seekor ulat daun! Lagi-lagi semua gerakan itu dilakukan oleh Put-ceng-li Lo-jin tanpa harus menyentuh tanah lebih dahulu. Seolah ketua Bing kauw itu bukanlah manusia tetapi seekor burung yang mampu bergerak seenaknya di udara!
Memang, semua gerakan yang dilakukan oleh Put-ceng-li Lo-jin itu tampaknya sangat tidak masuk akal dan mustahil dilakukan. Tapi memang justru itulah yang menjadi keistimewaan Chuo-mo-kang! Semua gerakan-gerakan Chuo-mo-kang memang terdiri dari gerakan-gerakan aneh yang kadang-kadang tidak masuk akal!
Demikianlah, akhirnya kedua orang itu terlibat dalam pertempuran yang amat dahsyat! Masing-masing mengeluarkan ilmu puncak dari aliran mereka, Chuo-mo-kang melawan Im-yang sin-kun atau Ilmu Sakti Kulit Domba! Begitu dahsyatnya pertempuran itu sehingga rasanya tidak kalah seru dengan pertempuran put-chien-kang Cin-jin melawan Tai-si-ong pada beberapa tahun berselang.
Pertempuran itu mengakibatkan beberapa batang pohon tumbang dan beberapa rumpun semak perdu jebol dari tempatnya. Angin pukulan mereka yang penuh Iwee-kang itu menyambar-nyambar, membawa tiupan angin besar, sehingga debu dan kerikil beterbangan menggelapkan arena pertempuran itu. Duapuluh lima jurus telah berlalu. Beberapa saat kemudian tigapuluh juruspun telah terlampaui pula.
Song Kang mulai bergetar hatinya. Im-yang Sin-kun sudah hampir habis ia mainkan, tapi lawannya masih tetap garang dan berbahaya. Sedikitpun Put ceng-li Lo-jin tidak kelihatan kendor ataupun menjadi berkurang kekuatannya. Orang tua itu masih tampak gesit dan berbahaya. Tampaknya setiap saat kekuatannya malah semakin bertambah besar saja! Dan yang semakin membuat dongkol dan gemas Song Kang, ketua Bing kauw itu bertempur sambil berceloteh tidak keruan artinya.
“Setan alas! Setan laut! Setan laut mandi di sungai. Sungainya kering karena kepanasan...! Hahahaha...!” Song Kang mengerahkan kekuatannya, lalu menyerang semakin cepat dan ganas. Kedua belah telapak tangannya bergantian menyerbu ke depan, berusaha membungkam mulut yang ceriwis itu.
Tapi Put ceng-li Lo-jin ternyata juga meningkatkan kemampuannya. Orang tua itu bergerak semakin aneh dan gila! Meloncat, tiarap, berjongkok, terlentang dan lain sebagainya. Pakaiannya yang semula bersih dan rapih itu sudah tidak keruan lagi macamnya. Kotor, sobek dan tak teratur lagi letaknya. Rambutnya yang tadi tersisir halus kini telah menjadi acak-acakan dan berlepotan tanah serta pasir. Sungguh orang takkan mengira lagi kalau orang tua itu adalah seorang ketua aliran yang amat terkenal. Put-ceng li Lo-jin sekarang tak ubahnya seorang gila yang sedang kumat penyakitnya.
Oleh karena itu meskipun Song Kang menambah kekuatannya dan meningkatkan kecepatan geraknya, keadaan tetap tidak berubah juga. Kedahsyatan ilmu lawannya yang konyol serta gila-gilaan itu semakin terasa menggencet ilmunya, sehingga lambat-laun Im-yang Sin-kun yang dia mainkan menjadi seret dan tak bisa berkembang sebagaimana biasanya. Jangankan mau membungkam mulut Put-ceng-li Lo-jin yang ceriwis itu, untuk melindungi dirinya sendiri saja tokoh Im-yang-kauw itu sudah mulai kewalahan!
Tentu saja Tai-si-ong yang melihatnya menjadi tegang dan gelisah. Tanpa terasa peluhnya ikut bercucuran. Beberapa saat lamanya pemimpin Aliran Im-yang-kauw itu berdiri gelisah tak tahu apa yang mesti ia lakukan. Menolong salah, tidak membantupun salah. Sebenarnya bisa saja ketua lm-yang-kauw itu menolong muka pembantunya dengan cara menggantikannya melawan Put-ceng-li Lo-jin. Tapi celakanya kepandaian silat yang dipunyainya juga tak berbeda jauh dengan tingkat kepandaian Pang Cu-si Song Kang.
Jadi apabila dia yang maju menghadapi Put-ceng-li Lo-jin, keadaannya akan tetap sama saja. Sama-sama celakanya. Malahan jika dia yang maju, kekalahan itu justru akan membawa pengaruh dan akibat yang lebih parah malah! Karena sebagai seorang pemimpin aliran, kekalahan yang dideritanya tentu akan menyangkut pamor dan kehormatan perkumpulannya.
Sementara itu Put-ceng-li Lo-jin semakin mendesak Pang Cu-si Song Kang. Gerakannya semakin meraja-lela menguasai arena. Ilmu Sakti Kulit Domba yang dimainkan oleh Song Kang sudah habis dikeluarkan semua. Meskipun begitu tetap saja tidak bisa membendung amukan Chuo-mo-ciangnya. Bagaimanapun juga ketua Aliran Bing-kauw itu ternyata masih lebih kuat dan lebih matang ilmunya.
Tiba-tiba terdengar suara anjing melolong keras sekali di kejauhan. Suaranya mengalun tinggi menggetarkan hutan itu. Begitu kuat dan kerasnya lolongan tersebut sehingga mampu memecahkan perhatian kedua orang yang sedang adu tenaga itu. "Haaauuunnngg....!"
"Bangsat! Keparat! Anjing berkudis tak tahu diuntung….! Hampir saja lo-hu melupakan sesuatu! Huh! Iblis...! Setannn......" ketua Aliran Bing-kauw yang telah berada di atas angin itu mendadak mengumpat-umpat sambil meloncat mundur. Kemudian dengan cekatan melesat ke tempat Chu Bwee Hong dan membawanya pergi dan tempat tersebut.
"Tai-si-ong.... Pang Cu-si! Maaf lo-hu masih ada urusan penting sehingga tak bisa menemani kalian lebih lama lagi! Lain waktu saja kalau ada kesempatan permainan ini kita lanjutkan kembali...!" teriaknya dari kejauhan.
Sesaat kemudian tempat itu telah menjadi sunyi kembali. Tinggallah kini kedua tokoh aliran Im-yang-kauw itu memandang kegelapan dengan wajah lesu. Mereka baru saja dikalahkan oleh lawan bebuyutan mereka. Diam-diam mereka menjadi sakit hati dan berjanji bahwa suatu saat mereka harus bisa membalas kekalahan mereka ini. Demi kehormatan aliran mereka, mereka harus belajar lebih keras lagi menekuni Ilmu Sakti Kulit Domba. Syukur dapat menyelesaikannya sampai pada lembar yang ke tigabelas.
Demikianlah, kedua orang tokoh pimpinan Im-yang-kauw itu lalu melanjutkan perjalanan mereka kembali dengan perasaan lesu. Dalam hati mereka sedikit menyesal, mengapa Toat-beng-jin atau Kauw Cu-si Tong Ciak tidak pergi bersama mereka. Apabila seorang saja di antara kedua orang itu berada bersama mereka, mereka percaya kekalahan itu takkan mungkin terjadi. Hanya kedua orang kawan mereka itulah kiranya yang akan mampu menundukkan ketua Bing-kauw yang sakti tersebut.
Begitu keluar dari hutan itu Put-ceng-li Lo-jin sudah ditunggu oleh muridnya. “Apakah yang terjadi, su-hu? Kenapa lama sekali?” Put-sim-sian bertanya dengan nada khawatir. Dipandangnya tubuh gurunya yang kotor tidak keruan itu.
“Ahaa.... sepeninggalmu tadi lo-hu bermain-main sebentar dengan orang-orang Im-yang-kauw,” Put-ceng-li Lo-jin menjawab acuh tak acuh.
“Orang-orang Im-yang-kauw?” Put-sim-sian terkejut. “Siapakah mereka, su-hu….?”
“Tai-si-ong dan Pang Cu-si Song Kang!”
“Ya! memangnya kenapa? Kau kira mereka dapat mengalahkan gurumu?”
“Jadi.....?”
“Sudahlah, mari kita berangkat! Lihatlah puncak bukit itu! Ada api unggun di sana.....mungkin disanalah tempat pertemuan kita dengan Sang Putera Mahkota itu.”
Baru saja ketua Bing-kauw itu menutup mulutnya, dari puncak bukit tiba-tiba terdengar lagi suara lolongan anjing itu. Nadanya tinggi melengking dan mengalun panjang sekali, bagaikan suara hantu yang memanggil-manggil mangsanya. Sungguh seram dan mendirikan bulu roma.
"Itu dia suara anjing itu...." Put-ceng-li Lo-jin berdesah, kemudian mempercepat langkahnya.
Bukit itu sangat terjal dan tak ada jalan setapak untuk naik ke atas. Oleh karena itu Put-ceng li Lo-jin dan Put-sim-sian terpaksa berloncatan di atas ujung-ujung batu yang bertonjolan di sana-sini.
"Su-hu, berikanlah gadis itu kepadaku. Biarlah aku kini yang membawanya......" Put-sim-sian menoleh ke arah gurunya yang berloncatan sambil memanggul Chu Bwee Hong di sampingnya.
"Tak usah! Biarlah kubawanya sendiri!”
"Hei, su-hu marah kepadaku?"
"Keparat! Siapa yang marah kepadamu?” Put-ceng-li Lo-jin melotot. "Awas, jangan berkata yang bukan-bukan! Kubunuh kau nanti........!"
"Tapi kenapa sejak tadi su-hu diam saja?”
Tiba-tiba Put-ceng li Lo-jin menghentikan langkahnya, lalu dengan kasar meletakkan tubuh Chu Bwee Hong di atas tanah. Mereka telah berada di atas bukit. "Bangsat keparat! Setan tetekan! Kenapa sekarang kau jadi mengurusi aku? Ingin berkelahi, yaa? Ayoh.... kulayani kau!"
Put-ceng-li Lo-jin yang tidak pernah menghiraukan peradatan itu berteriak-teriak dan menantang muridnya sendiri, sementara Put-sim-sian yang tidak menyangka gurunya akan menjadi marah begitu cuma berdiri saja ketakutan.
"Hahahahaha... apakah yang datang ini Put-ceng-li Lo-jin dari Bing-kauw? Selamat datang! Selamat datang! Terima kasih atas kesediaan Lo-jin memenuhi undangan kami..." tiba-tiba seorang kakek tinggi tegap datang menyongsong kedatangan mereka. Beberapa orang pengawal tampak mengiringi kakek gagah itu dengan obor di tangan masing-masing.
Put-ceng li Lo-jin menoleh, keningnya berkerut. Otomatis tangannya menyambar tubuh Chu Bwee Hong kembali dan menaruh lagi di pundaknya. "Eh? Oh? Beng Goan-swe….?” ketua Aliran Bing-kauw itu tergagap kaget. Orang tua ini benar-benar tak mengira kalau bekas jenderal besar itu menyambutnya di tempat ini. Siapakah yang tak pernah mengenal dan mendengar nama bekas jenderal besar Dinasti Chin yang sangat dihormati rakyat itu?
"Ah, aku sudah bukan seorang jenderal lagi, Lo-jin! Sekarang aku sudah menjadi orang biasa seperti kalian. Marilah....!"
Tapi Put-ceng-li Lo-jin masih tetap termangu-mangu dan tidak beranjak dari tempatnya. Hatinya masih diliputi perasaan tidak percaya, bahwa bekas jendral yang amat dikagumi orang itu kini berada di tempat ini dan sekarang malah sedang menyambut kedatangannya. Berbagai macam pertanyaan berkecamuk di dalam hatinya, jangan-jangan orang yang mengirimkan surat undangan itu adalah bekas Jenderal Beng Tian ini. Tapi apakah maksud dan tujuannya sehingga bekas jenderal Dinasti Chin ini mengundang dia? Apakah bekas jenderal ini bermaksud merebut takhta kembali?
“Lo-jin, marilah.....! Kenapa termangu-mangu saja? Mari kuperkenalkan dengan beberapa orang kawan!" Beng Tian menjura.
"Eh! Oh! Bangsat! Setan! Keparat! Mengapa pula Io-hu ini?" Put-ceng-li Lo-jin tersentak dari lamunannya, kemudian mengumpat-umpat seperti biasanya. "Sungguh pikun...."
Beng Tian tertawa. "Ahaha, Lo-jin benar-benar tidak berubah. Sejak dahulu selalu santai dan senang berkelakar."
Tapi Put-ceng-li Lo-jin tak mengacuhkan lagi komentar Beng Tian itu. Ketua Aliran Bing kauw yang aneh itu sudah kembali ke sifatnya yang asli, tidak pedulian dan seenaknya sendiri. Sambil menggandeng lengan muridnya orang tua itu melangkah ke tempat yang telah ditunjukkan oleh Beng Tian tadi. "Goan-swe keliru. Lo-hu tidak berkelakar. Lo-hu kini memang sudah pikun karena sakit gigi, hehehe...” katanya sambil tertawa.
Di atas puncak bukit tersebut ada sebuah lapangan atau dataran yang agak luas. Di tempat itu telah dipasang beberapa buah obor sehingga tempat tersebut menjadi terang benderang. Belasan orang lelaki dan wanita telah kelihatan berkumpul di sana. Mereka duduk-duduk mengelilingi api unggun yang dibakar di tengah-tengah lapangan itu.
Semuanya segera berdiri dan memberi salam kepada Put-ceng-li Lo jin yang baru saja datang. Seorang kakek dan nenek yang berwajah keras dan serius mcmpersilahkan ketua Bing-kauw itu duduk di antara mereka. Sekejap hati Put ceng-li Lo-jin menjadi tergetar kembali. Ia mengenal beberapa orang yang duduk di tempat itu, termasuk pula kakek dan nenek yang mcmpersilahkan dia duduk tadi. Orang-orang itu bukanlah orang-orang sembarangan, karena mereka adalah ketua-ketua persilatan yang terkenal.
Kakek dan nenek itu adaIah jago-jago tua di dalam dunia persilatan. Mereka adalah suami isteri Yap Cu Kiat dan Siang-houw Nio-nio, ayah-ibu dari Hong lui-kun dan Yap Tai-ciangkun! Yap Cu Kiat adalah keturunan langsung dari Sin-kun Bu-tek, sementara Siang-houw Nio-nio adalah bekas pengawal pribadi Kaisar Chin Si.
Di dekat mereka duduk pula sepasang lelaki dan wanita tua yang wajahnya dingin menyeramkan. Seperti halnya Yap Cu Kiat, kedua orang itu juga merupakan sepasang suami isteri yang amat sangat terkenal di dunia kang ouw. Mungkin justru lebih dikenal orang dari pada suami isteri Yap Cu Kiat tersebut, karena mereka adalah suami-isteri Kwa Eng Ki, ketua Tai-bong-pai!
Selanjutnya Put-ceng li Lo-jin melihat pula Pek-i Liong-ong dan dua orang pembantu utamanya, Bhong Kim Cu dan Leng Siau. Mereka bertiga duduk diam di tempat masing-masing. Kemudian agak jauh dari tempat mereka tampak berkumpul beberapa orang kepala suku dari daerah barat beserta para pengawalnya. Mereka tampak kasar dan ganas, apalagi dengan pakaian mereka yang terbuat dari kulit binatang itu.
"Hati-hatilah...!” Put-ceng-li Lo-jin berbisik kepada muridnya. Untuk pertama kalinya Put-sim-sian melihat gurunya demikian serius.
"Hmm, mengapa tuan rumah belum juga menampakkan diri? Lo-hu tidak mempunyai banyak waktu, karena lo-hu mempunyai urusan yang lain," tiba-tiba Kwa Eng Ki berdiri.
Yap Cu Kiat cepat berdiri dari tempat duduknya. "Maaf, saudara Kwa. Sang Putera Mahkota sedang sibuk mengobati luka seseorang, sehingga agak terlambat menemui cu-wi semua...." katanya menerangkan.
"Luka? Siapakah yang terluka?" ketua Tai bong-pai itu bertanya dengan kening berkerut.
"Salah seorang dari tokoh yang kita undang pula yaitu Hong-gi-hiap Souw Thian Hai!"
"Dia? Siapakah yang melukai pendekar muda itu?” Kwa Eng Ki kaget. Semuanya juga kaget. Rata-rata semua tokoh yang berada di tempat itu telah mengenal nama besar Hong-gi-hiap Souw Thian Hai. Meskipun masih muda tetapi kepandaian pendekar itu telah diakui kehebatannya oleh hampir setiap tokoh kangouw. Oleh karena itu semuanya menjadi heran, siapakah orangnya yang mampu melukai pendekar muda itu?
"Entahlah. Yang terang anak muda itu terkena racun katak api. Untunglah Sang Pangeran menyimpan obat pemunahnya, yaitu darah ular salju."
"Ohhh....!"
Tiba-tiba di bawah terdengar lagi suara Beng Tian mempersilahkan tamunya. "Ah! Itu mungkin Sang Pangeran sudah datang....” Yap Cu Kiat berdesah.
Semuanya berdiri kembali, lalu bersama-sama mereka melongok ke bawah. Demikian juga dengan Put-ceng li Lo-jin. Begitu inginnya orang tua itu melihat wajah Sang Pangeran Mahkota sehingga ia ikut-ikutan pula berdiri diantara mereka. Tetapi apa yang dilihatnya justru membuat hatinya menjadi tegang malah! Tampak Beng Tian naik ke atas mengiringkan Tai-si-ong dan Pang Cu-si Song Kang dari Aliran Im-yang-kauw!
Sesaat para tamu yang berada di atas puncak itu berdesah kecewa. Tapi oleh karena yang datang kali ini juga bukan tokoh sembarangan di dunia persilatan, maka merekapun terpaksa memberi salam pula. Hanya saja ketika semuanya kembali ke tempai duduk masing-masing, Kwa Eng Ki tetap berdiri di tempatnya. Ketua Tai-bong-pai yang amat sakti itu menjura ke arah tuan rumah, kepada suami isteri Yap Cu Kiat dan Beng Tian. "Maaf, saudara Yap, saudara Beng, aku yang rendah terpaksa harus mengundur.....”
"Sang Pangeran telah tiba!" mendadak terdengar suara teriakan pengawal yang berjaga di bawah, sehingga perkataan yang diucapkan oleh Kwa Eng Ki terhenti di tengah jalan dan menjadi urung untuk meminta diri.
Dua orang kakek berkepala gundul dengan kain kuning dilampirkan di atas pundaknya memimpin para pengawal yang mengiringkan seorang lelaki berpakaian mewah gemerlapan. Para pengawal itu kemudian menyebar di pinggir arena pertemuan, sementara dua orang berkepala gundul itu segera mendekati lelaki berpakaian mewah tersebut dan mengiringkannya ke kursi yang telah tersedia. Kemudian seperti sepasang anjing penjaga yang setia, keduanya berdiri di samping kursi itu.
"Pangeran....." Yap Cu Kiat dan isterinya memberi hormat kepada lelaki itu, yang kemudian diikuti pula oleh tamu-tamu lainnya.
Pangeran Mahkota itu berdiri menyambut penghormatan mereka, lalu mempersilahkan semuanya untuk duduk kembali. Lalu dengan suara yang halus dan berwibawa pangeran itu berkata kepada tamu-tamu yang diundangnya. Kata-katanya lancar dan tegas, seolah-olah memang telah dipersiapkan sebelumnya.
"Cu-wi sekalian....! Maafkanlah keterlambatan saya. Salah seorang dari tamu yang kami undang telah dilukai orang, sehingga saya terpaksa turun tangan mengurusnya. Untunglah luka itu belum terlambat. Tapi pendekar muda itu terpaksa harus beristirahat beberapa lamanya...."
Para tamu menghela napas. "Mungkin ada beberapa orang dari tamu undangan kami yang tidak menyukai berlangsungnya pertemuan ini, sehingga mereka berusaha mengacaukannya." Pangeran itu berkata lagi. "Tapi tak apalah... Kami akan tetap meneruskan pertemuan ini! Apalagi kami menyadari, betapa sulit dan sukarnya mempertemukan tokoh-tokoh persilatan seperti tuan-tuan ini. Apabila hanya karena persoalan kecil seperti itu kita lalu menjadi gagal, niscaya kita takkan mampu berbuat yang besar lagi. Nah... oleh karena itu marilah kita buka saja pertemuan kita kali ini!”
"Hahahah..... bagus.... bagus! Itulah yang lo-hu inginkan. Pegal rasanya kalau disuruh menunggu terus menerus." Put-ceng-li Lo-jin yang tidak sabaran itu berseru pula.
Semua yang hadir di tempat itu menoleh ke tempat Put-ceng-li Lo-jin, tidak terkecuali Tai-si-ong dan Song Kang yang baru datang. Kedua tokoh Aliran Im-yang kauw itu tampak kaget dan tegang melihat lawan mereka telah berada di tempat itu pula.
"Sayangnya lo-hu benar-benar tak mengerti dan merasa belum pernah mengenal dengan tuan yang menamakan diri Sang Putera Mahkota ini. Bangsat...! Sejak dari rumah otakku cuma dipenuhi dengan teka-teki tentang nama itu! Sungguh penasaran!" ketua Bing-kauw itu berteriak lagi.
Mendengar umpatan Put-ceng-li Lo-jin, kedua orang pengawal berkepala gundul itu menjadi marah. Keduanya beranjak dari tempatnya untuk melabrak mulut ketua Aliran Bing-kauw tersebut. Tapi Sang Pangeran itu cepat-cepat mencegahnya.
"Jangan berkelahi! Biarlah Yap Lo-enghiong saja yang mengurusnya....!" katanya.
Yap Cu Kiat berdiri dari tempat duduknya, setelah menerima isyarat Sang Pangeran. Dengan suara kaku tokoh dari Utara itu mengangguk ke arah Put-ceng-li Lo-jin. "Kauw-cu memang benar. Belum banyak orang yang mengenal putera mahkota dari mendiang Kaisar Chin Si ini! Hal itu disebabkan karena pangeran ini jarang sekali pergi keluar dari kota raja..."
Tiba-tiba Siang-houw Nio-nio yang berangasan itu ikut pula berseru dari tempat duduknya. "Tapi bagi orang yang pernah ikut berjuang melawan pemberontak Chu Siang Yu di daerah perbatasan utara beberapa tahun yang lalu, tentu sudah mengenal beliau beserta sepak-terjangnya di dalam melawan pasukan asing! Meskipun keberangkatan beliau ke perbatasan itu adalah hasil tipu daya mendiang Perdana Menteri Li Su.
"Tapi perjuangan beliau bersama Beng Tian Goan-swe di sana takkan dapat dilupakan oleh rakyat banyak! Beliaulah sebenarnya yang benar-benar berhak menduduki singgasana kerajaan pada saat ini, karena beliaulah putera mahkota satu-satunya dari mendiang Sri Baginda Kaisar Chin Si. Beliaulah yang paling berhak mewarisi tahta ayahandanya, bukan Lui Pang bekas penyamun itu!"
Tempat itu menjadi hening untuk beberapa saat lamanya. Semuanya termangu-mangu memandang ke arah Pangeran Mahkota yang kehilangan kedudukannya itu. Beng Tian tampak bergeser maju pula. "Sungguh betul apa yang baru saja diucapkan oleh Siang-houw Nio-nio itu. Cu-wi semua tentu telah mengenalku. Aku yang rendah ini adalah bekas Panglima tentara Kerajaan Chin...."
Semua hadirin masih tampak berdiam diri. Sang Pangeran bangkit dari tempat duduknya. Tangan kanannya diangkat ke atas. "Cu-wi semua...! Cu-wi telah mendengarkan kata-kata para pembantuku tadi. Oleh karena itu sekarang cu-wi tentu sudah meraba di dalam hati, apa maksud kami mengundang cu-wi semua ke sini....”
“Pangeran bermaksud.... mengajak kami melawan Kaisar Han?" Kwa Eng Ki bertanya lantang.
"Betul!” Sang Putera Mahkota menjawab tegas.
"Ah, maafkan kami kalau begitu...!" Kwa Eng Ki cepat-cepat menjura. "Seperti yang telah diketahui oleh orang banyak, selama ini Tai-bong-pai tak pernah melibatkan diri ataupun ikut campur dalam urusan pemerintahan. Sejak nenek moyang kami mendirikan perguruan Tai bong-pai sampai sekarang, tak seorangpun ahli warisnya yang pernah terlibat dalam urusan negara. Maka sungguh sangat menyesal sekarangpun kami tak berani melanggar adat yang telah digariskan oleh leluhur kami itu."
Tai-si-ong dari Im-yang-kauw tiba-tiba berdiri pula dari tempat duduknya. "Yap Eng-hiong (Pendekar Yap)....!" sapa ketua Aliran Im-yang-kauw itu halus. "Bukannya kami mau mengekor atau ikut-ikutan menolak ajakan yang sangat bersahabat ini, tapi seperti juga halnya dengan Ketua Tai-bong-pai tadi, kamipun tak ingin merusak anggapan masyarakat terhadap kami selama ini. Perkumpulan kami adalah sebuah perkumpulan yang bertumpu pada aliran kepercayaan, dimana maksud dan tujuan utamanya, adalah demi perdamaian dan kebahagiaan hidup manusia. Oleh karena itu apapun alasannya peperangan merupakan sebuah pantangan bagi aliran kami. Sebab peperangan itu hanya akan merusak kehidupan dan kedamaian manusia....”
"Hahaha! Saudara Kwa, Tai-si-ong.... kalian benar! Lo-hu juga sangat benci peperangan! Karena perang anak-isteriku mati! Karena perang aku jadi begini... hehehe...! Bangsat! Keparat!" Put-ceng li lo-jin tiba-tiba berteriak pula dengan kerasnya.
Semuanya menjadi tegang. Orang-orang yang berada di pihak Sang Pangeran itu telah menjadi merah mukanya. Para kepala suku yang liar dan kasar itu mulai mencengkeram senjata masing-masing. Dan salah seorang dari kepala suku itu, bangkit dari tempat duduknya. Tubuhnya yang tinggi besar tampak gemetaran menahan marah. Orang itu melangkah ke depan sambil menyeret ruyungnya (penggadanya) yang besar sekali, sebesar paha orang itu.
"Picik! Pikiran kalian sungguh picik sekali!" orang itu juga berteriak tak kalah lantangnya dengan Put-ceng-li Lo-jin. "Kalian hanya berpikir dari sudut kepentingan kalian sendiri saja, tanpa mempedulikan nasib orang lain yang menderita. Kalian saling berlomba-lomba menyebarkan ajaran aliran kepercayaan kalian yang cinta damai itu, sementara para penyamun yang berkuda menindas dan merampok di sekeliling kalian. Benarkah perbuatan kalian itu? Begitukah caranya engkau mendamaikan dan membahagiakan umat manusia di dunia ini?” Orang itu melanjutkan kata-katanya dengan berapi-api.
Tai-si-ong dan Kwa Eng Ki terperangah. Begitu pula dengan Put-ceng-li Lo-jin. Cuma karena pembawaan watak mereka yang berlainan, maka cara mereka menanggapi dampratan itupun juga berbeda pula. Ketua Tai-bong-pai yang berwatak kaku dingin dan tak kenal ampun itu tampak semakin pucat wajahnya. Matanya yang bersinar dingin itu berkilat-kilat menyeramkan, mengandung hawa pembunuhan. Mulutnya tetap terkatup rapat, tapi setiap orang sudah merasakan bahwa setiap saat tangannya bisa membunuh orang!
Berbeda dengan ketua Aliran Im-yang-kauw! Sebagai seorang ketua dari sebuah aliran kepercayaan, yang setiap harinya bergelut dengan ajaran-ajaran agama, maka sikapnyapun kelihatan lebih lapang dan terkendali. Meskipun perasaan dan hatinya juga sama-sama terbakar oleh ucapan kepala suku liar tersebut, tapi dia lebih dapat menahan dan menguasai kemarahannya. Hanya sesaat wajahnya menjadi merah, tapi sebentar kemudian kembali biasa lagi. Cuma mulutnya tampak meringis kikuk. Lain pula dengan Put-ceng-li Lo-jin! Orang tua itu hanya mengerutkan keningnya sebentar, kemudian menoleh dan tertawa kepada muridnya.
"Sim-sian, ke sini! Kau, bangsat!"
"Ada apa, suhu?" tergopoh-gopoh Put-sim sian menghadap gurunya.
"Dengarlah, anak goblog! Ternyata ada juga orang yang mau berbantah dengan gurumu di sini. Kau heran tidak?"
Put-sim-sian menggeleng. "Apa yang mesti diherankan? Toh, hampir setiap hari kulihat su-hu selalu bertengkar dan berkelahi dengan orang? Apanya yang aneh?"
"Hei? Apa yang kau katakan? Anak setan! Gila kau.....! Berani kau........?" suara Put-ceng-li Lo-jin meninggi. Tapi sesaat kemudian, bagaikan orang yang baru sadar dari mimpinya, suaranya kembali menurun. "Ahh.... mungkin kau memang benar juga. Kenyataannya memang demikian. Kalau dihitung-hitung setiap harinya, lo-hu memang lebih banyak berkelahinya dari pada tidaknya. Apalagi musim-musim panas begini, mulut dan tangan ini rasanya selalu gatal dan ingin berkelahi saja..."
"Tapi sekarang su-hu berada di tempat orang, su-hu tak boleh berkelahi dan membunuh orang seenaknya sendiri,” Put-sim-sian memperingatkan gurunya.
"Yaa.... tapi tolong kau beritahukan kepadanya agar mau menahan diri dan tidak mencari gara-gara kepadaku!"
Enak saja kedua orang guru dan murid itu membicarakan kepala suku liar tersebut, seolah-olah keduanya tidak memandang sebelah mata sama sekali. Tidak heran kalau ulah mereka itu membuat kepala suku liar tersebut menjadi tersinggung dan marah bukan buatan. Sambil memutar-mutarkan senjatanya di atas kepalanya orang itu menyerbu ke tempat Put-ceng-li Lo-jin. Langkah kakinya yang besar-besar itu berdebam di atas tanah bagaikan gajah berlari.
"Tahan!" tiba-tiba Yap Cu Kiat berseru. Tubuh orang tua itu melesat dari tempat duduknya dan menghadang di depan Put-ceng-li Lo-jin. Kedua belah lengannya tampak merentang ke kanan dan ke kiri untuk mencegah agar kedua orang itu tidak jadi berkelahi. Dan telapak tangannya menghembus angin yang Iuar biasa kuatnya, sehingga kedua orang yang dilerainya bagaikan tertahan oleh tenaga yang luar biasa kuatnya.
Kepala suku liar itu tampak berhenti dengan tiba-tiba bagaikan menabrak sebuah tembok baja, sementara Put-ceng li Lo-jin yang hendak bangkit berdiri itu tampak terduduk kembali dengan paksa bagai didorong oleh tenaga raksasa. Untuk sesaat wajah ketua Bing-kauw itu menjadi pucat, matanya terbelalak! Tapi sebentar kemudian wajahnya berubah menjadi merah kembali. Bagaikan seorang yang menemukan benda kesayangannya orang tua itu berteriak kegirangan.
"Ha! Ini baru sebuah kepandaian benar-benar....!" Tapi sebelum orang tua itu berbuat onar lebih Ianjut, muridnya telah lebih dahulu memperingatkan, "Su-hu, ingat! Kita sedang menjadi tamu di sini.....”
Put-ceng-li Lo-jin yang telah bersiap untuk berdiri kembali itu menghela napas kecewa. Dengan lesu dia duduk kembali di tempatnya. Sepasang matanya yang kecil berkilat sekejap ke arah muridnya. "Bangsat! Setan kecil! Jaga mulutmu...!” bentaknya gemas. "Tahu begini tak kuajak kau ke tempat ini! Hmm, awas kau! Akan kuhajar sendiri kau nanti untuk melemaskan otot-ototku apabila malam ini tak ada orang yang mengajakku berkelahi."
"Su-hu, kau gila...!" Put-sim-sian tersenyum. Tentu saja adegan itu membuat orang-orang yang hadir di dalam pertemuan itu menjadi heran. Belum pernah rasanya selama ini mereka melihat watak-watak yang aneh dan sinting seperti ketua Bing-kauw dan muridnya itu. Masakan ada seorang murid dan guru saling memaki demikian enaknya seperti kawan mainnya saja. Padahal mereka adalah tokoh-tokoh puncak dari sebuah aliran terkenal yang amat disegani orang!
"Sudahlah! Sudahlah!" Beng Tian yang semula hanya berdiri di pinggir arena itu ikut pula meloncat ke dalam kalangan. "Marilah kita duduk kembali yang baik....! Kita berunding lagi secara baik-baik! Siapapun berhak untuk mengemukakan pendapatnya. Pertemuan kita ini adalah pertemuan yang bebas. Kita tidak akan memaksakan kehendak kita kalau saudara-saudara yang lain tidak menyetujuinya. Marilah....!"
"Bagus! Demikianlah seharusnya. Lo-hu setuju pendapat Beng Goan-swe ini......” Pek-i Liong-ong dari Aliran Mo-kauw, yang sejak tadi belum pernah membuka suara, ikut pula menyatakan pendapatnya.
Akhirnya suasana yang panas itu dapat didinginkan kembali. Semuanya duduk lagi di tempat masing-masing. Kepala suku liar itu terpaksa diam saja ketika bekas jendral Beng Tian itu menuntunnya kembali ke tempat duduknya.
"Sudahlah, saudara Kosang.....! Tak perlu saudara layani kedua orang sinting itu. Demi Sang Putra Mahkota yang kita junjung tinggi, biarlah kita mengalah sekali ini." salah seorang kepala suku yang lain turut membujuk kepala suku yang marah tersebut.
"Hmm, orang tua itu memang sinting dan patut dikasihani. Mungkin dia terlalu mengandalkan kepandaiannya sehingga dia lupa dengan siapa dia sedang berhadapan. Apa gunanya kepandaiannya itu bila berhadapan dengan anak buah kita yang beribu-ribu jumlahnya? Mungkin ia bisa membunuh sepuluh atau duapuluh orang kita, tapi selanjutnya.....? Dia akan dicacah menjadi bakso!" seorang kepala suku yang lain lagi terdengar bergumam pula dengan geram.
Sang Putra Mahkota berdiri dari tempat duduknya. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi untuk meminta perhatian para tamu yang hadir di dalam pertemuan tersebut. Kemudian dengan suara jelas dan mantap ia berkata, "Cu wi sekalian....! Seperti yang telah dikatakan oleh Beng Lo-cianpwe tadi, pertemuan kita malam ini memang sebuah pertemuan yang bebas. Tidak ada paksaan ataupun keharusan untuk berbuat sesuatu yang tidak diinginkan oleh pihak-pihak yang tidak menyetujuinya. Semuanya bebas untuk menyatakan pendapatnya atau pergi dari sini apabila dia tidak menyukainya. Sekali lagi, saudara-saudara bebas untuk menentukan sikap!"
Hening. Semuanya diam mendengarkan. Hanya Put-ceng-li Lo-jin yang menoleh kesana kemari dengan meringis. Ketua Aliran Bing-kauw itu hampir saja tertawa melihat wajah-wajah yang tegang di sekelilingnya.
Yap Cu Kiat berdiri pula dari tempat duduknya. "Dan maksud Pangeran mengadakan pertemuan ini adalah untuk memberi keterangan kepada saudara-saudara tentang duduk persoalan sebenarnya dari kemelut negeri kita sekarang ini. Siapakah sebenarnya Sang Pangeran yang kini berada di hadapan kita ini, dan siapakah sebenarnya Kaisar Han yang bertahta itu? Dengan keterangan itu kita akan dapat mengambil kesimpulan, siapakah sebenarnya yang berhak duduk di atas singgasana kerajaan....!"
"Dan apabila cu-wi telah mengetahui duduk persoalannya, maka kami percaya cu-wi tentu takkan segan-segan lagi membantu Sang Pangeran....!" Siang-houw Nio-nio menyambung perkataan suaminya dengan penuh keyakinan.
Semuanya tetap terdiam mendengarkan. Tak seorangpun yang berbicara ataupun menanggapi ajakan tersebut.
“Bagaimanakah pendapat saudara-saudara?” Beng Tian bertanya sambil mengedarkan pandangannya.
"Aku dan seluruh rakyatku berdiri di belakang Sang Putera Mahkota!" kepala suku yang bernama Kosang itu berteriak sambil berdiri.
"Seluruh bala tentara suku Wei yang aku pimpin juga siap di belakang Sang Putera Mahkota!" kepala suku yang ikut menenteramkan hati Kosang juga berdiri.
"Bangsa Uighur juga siap untuk mengenyahkan Liu Pang!" kepala suku yang menggeram ketika melihat kesintingan Put-ceng-li Lo-jin tadi juga ikut berteriak pula.
"Kami juga!"
"Kami juga!"
Semua kepala suku yang berada di tempat itu akhirnya berdiri menyatakan kesediaan mereka untuk membantu perjuangan Putera Mahkota dalam merebut kembali haknya. Bersama-sama dengan anak buah yang mereka bawa para kepala suku liar itu bersorak-sorak menyatakan dukungan mereka.
Sang Putera Mahkota mengangkat tangannya ke atas dan meminta kepada orang-orang itu agar tenang kembali. Setelah itu Sang Pangeran dengan wajah gembira menyatakan perasaan terima kasihnya.
Tapi suasana gembira itu ternyata tidak dapat mereka nikmati dengan sepenuhnya. Mereka segera menyadari bahwa beberapa orang di antara tamu-tamu itu hanya berdiri diam dan tidak bergembira seperti mereka. Tamu-tamu tersebut, yang tidak lain adalah suami-isteri Kwa Eng Ki, Pek-i Liong-ong, Put ceng-li Lo-jin, Tai-si-ong dan yang lain lagi cuma mengawasi kegembiraan mereka dengan kening berkerut.
Yap Cu Kiat cepat-cepat maju ke depan. Dengan suara halus namun tegas orang tua itu bertanya kepada Pek-i Liong-ong, sahabatnya sejak masih muda dulu. "Ouwyang Lo-heng (nama Pek-i Liong-ong adalah Ouwyang Kwan Ek), kita masih selalu bersahabat bukan? Bagaimanakah pendapat Lo-heng dalam hal ini?"
Ketua Aliran Mo-kauw itu berdesah dan tidak segera menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Sekilas matanya menatap Yap Cu Kiat, kemudian menunduk ke tanah, "Saudara Yap, kukira persoalan ini bukanlah persoalan teman atau pribadi antara kau dan aku. Yang kalian sodorkan kepadaku ini adalah persoalan negara. Dan persoalan itu bukanlah persoalan kecil, tapi sebuah persoalan yang amat besar! Dan sesungguhnyalah aku tak berani turut campur dalam urusan besar ini....!"
"Jadi....?" Yap Cu Kiat mendesak.
"Kukira sudah jelas keteranganku. Apapun yang terjadi aku masih tetap sahabatmu. Tapi.... persoalan ini bukan masalah sahabat atau bukan sahabat! Persoalan ini adalah persoalan negara, dan dalam hal ini aku tak bisa membantumu. Maafkan aku....!”
"Nah... apa kataku?" tiba-tiba Siang-houw Nio-nio menjerit. "Sejak dulu sudah kukatakan kepadamu! Jangan bersahabat dengan perantau yang tak punya guna itu! Tidak ada manfaatnya! Nah, bagaimana sekarang...? Begitukah yang kaukatakan sahabat sejati itu?”
Nenek yang berwatak keras dan berangasan itu berdiri marah-marah di depan Yap Cu Kiat, suaminya. Kedua belah tangannya berkacak pinggang dan menuding-nuding ke arah Pek-i Liong-ong secara bergantian. Tidak enak rasanya Pek-i Liong-ong melihat sahabatnya itu berbantah dengan isterinya hanya karena persoalan dirinya. Oleh karena itu dia segera mengajak kedua muridnya untuk meninggalkan tempat itu.
"Maafkan aku, saudara Yap...." ketua Aliran Mo-kauw itu menjura ke arah Yap Cu Kiat. Setelah itu lalu mengangguk ke arah Putera Mahkota, Beng Tian dan yang lain-lain."Berhenti....! Huh, enaknya! Jangan harap kau bisa pergi dari tempat ini dengan selamat!" tiba-tiba Siang-houw Nio-nio berteriak.
Suasana segera berubah menjadi tegang sekali. Mata Pek-i Liong-ong dan kedua orang muridnya tampak berkilat-kilat, suatu tanda bahwa mereka telah mempersiapkan seluruh kesaktiannya.
"Hu-jin (isteriku), biarkan mereka pergi!" mendadak terdengar suara Yap Cu Kiat membentak keras sekali, sehingga puncak bukit itu seolah-olah bergetar.
Siang-houw Nio-nio terkejut sekali, sehingga kakinya meloncat surut dengan tergesa-gesa. Mukanya yang berkeriput itu tampak pucat ketika memandang suaminya. Bibirnya gemetar melihat kemarahan suaminya.
"Apa..... apa maksudmu?" tanyanya gagap.
"Mengapa hu-jin masih belum tahu juga? Biarkanlah saudara Ouwyang melakukan apa yang diinginkannya! Bukankah dimuka telah kita katakan bahwa setiap orang bebas menyatakan pendapat menentukan sikapnya?"
“Tetapi.....”
“Tak ada tetapi lagi! Segala sesuatunya tetap berjalan seperti yang telah ditetapkan!"
“Benar! Aku juga sependapat dengan Yap Eng-hiong….." bekas Jendral Beng Tian mengangguk-anggukkan kepalanya, menyetujui ucapan Yap Cu Kiat. ''Kita harus menghormati ketentuan yang telah kita sepakati sendiri."
Siang-houw Nio-nio tampak kecewa sekali. Tapi dia sudah tidak bisa berkutik lagi. Selain para kepala suku itu, semua kawan-kawannya tampaknya juga setuju pada ucapan suaminya tersebut. Oleh karena itu dengan lesu wanita tua itu duduk kembali di tempatnya.
Hampir bersamaan Tai-si-ong, Put-ceng li Lo-jin dan Kwa Eng Ki juga berdiri dari tempat duduknya dan menjura ke arah Yap Cu Kiat dan Putera Mahkota. Satu persatu mereka meminta diri dan menyatakan pendapatnya, bahwa mereka tetap tidak ingin mencampuri urusan tersebut....