Pendekar Penyebar Maut adalah seri kedua dari rangkaian cerita silat serial Darah Pendekar. Kisah ini lanjutan langsung dari seri sebelumnya, yaitu Darah Pendekar. Pendekar Penyebar Maut merupakan karya Sriwidjono.
Malam telah sangat larut, bulan yang pucat dan tinggal sepotong itu sudah jauh pula condong kearah barat. Titik-titik embun sudah bertebaran pula turun ke bumi. Menebar seperti gumpalan awan yang melayang-layang dari langit, mengendap perlahan-lahan ke bawah, menjadi kabut yang menyelimuti segala makhluk serta benda yang berada di atas bumi, sehingga segalanya menjadi kabur dan kelihatan samar-samar.
Dinginnya bukan alang-kepalang! Dingin dan sunyi. Apalagi jika sekali datang angin berhembus. Biar sangat lemah sekali pun, ternyata sudah cukup untuk menggerakkan beberapa pucuk daun cemara yang paling tinggi. Sehingga beberapa di antaranya terpaksa melepaskan butiran-butiran air embun yang telah terkumpul pada setiap ujungnya. Berjatuhan ke bawah, menimpa pucuk pucuk daun yang lain, menyebabkan pucuk-pucuk yang lain itu tak kuasa pula menahan muatan mereka sendiri.
Dan untuk beberapa saat bagaikan runtuhnya gunung mutiara yang digoyang gempa, ribuan butir embun itu jatuh bertaburan ke bawah. Dingin gemerlapan. Memercik, kesana-kemari. Sebagian membasahi rumput, sebagian lagi langsung berjatuhan ke bumi dan lenyap terhisap oleh tanah yang basah.
Suasana malam itu memang benar-benar dingin dan sunyi. Terlebih-lebih suasana di dalam hutan lebat yang tumbuh di sebelah utara kota Tie-kwan itu. Tak sebuah makhlukpun yang tampak hidup di tempat itu. Biar seekor binatang malam yang paling kecil sekalipun.
Hutan itu tumbuh dengan lebat di lereng lereng Bukit Ular. Yaitu sebuah rangkaian dari beberapa buah bukit yang letaknya membujur sepanjang sepuluh lie di tepi Sungai Huang-ho, persis di sebelah utara kota Tie-kwan, di Propinsi Shan-tung. Selain lebat hutan tersebut tumbuh di atas tanah yang terjal serta berbukit-bukit, sehingga tempat tersebut sangat licin dan berbahaya sekali.
Maka dari itu biarpun letaknya berada di tepi arus lalu lintas sungai serta berada tidak jauh dari perkampungan penduduk, tidak seorangpun selama ini yang pernah menginjakkan kakinya di tempat tersebut. Apalagi dalam suasana malam yang dingin seperti itu.
Tetapi ternyata suasana malam itu agak lain dari biasanya. Dalam pekatnya kabut yang dingin mencekam itu, samar-samar terlihat beberapa sosok tubuh yang berdiri tegak tak bergerak di antara gelapnya bayang-bayang pohon. Semuanya diam tak bergerak. Sehingga sekilas pandang bagaikan sekumpulan hantu yang sedang bangkit dari kuburnya. Senyap dan mengerikan!
Mereka berjumlah empat belas orang, berdiri berkumpul ditempat yang sedikit lapang dan rata. Berdiri mengelilingi empat buah tandu yang berisi wanita dan anak-anak. Dan dilihat dari gerak-gerik mereka dengan mudah dapat diduga bahwa mereka terdiri dari satu rombongan...