Memburu Iblis Jilid 17 karya Sriwidjono - "Sudah kukatakan tadi. Banyak sekali. Di antaranya lagi ialah berita tentang masa kecil dari Pangeran Liu Yang Kun. Menurut berita yang kudengar, sejak kecil pangeran itu tidak mengikuti ayahnya, tapi ikut keluarga lain. Dan kalau aku tak salah dengar, keluarga yang diikuti pangeran itu adalah keluarga bangsawan Chin...."
Liu Yang Kun semakin tak berkutik. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Berkali-kali bibirnya berdesah.
"Dan setelah tumbuh dewasa, pangeran itu ternyata memiliki kepandaian yang hebat luar biasa. Entah dari mana dia mendapatkan kesaktian itu, namun yang terang dalam usianya yang masih sangat muda itu dia telah mampu mengalahkan tokoh-tokoh puncak di dunia persilatan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila namanya ikut tercantum pula di dalam Buku Rahasia yang diributkan orang itu...."
"Aaaah.....?" Liu Yang Kun tersentak. "Buku Rahasia? Buku apakah itu?"
Lagi-lagi Kam Lo-jin tersenyum. "Entahlah. Aku pun belum pernah melihatnya. Berita itu kudengar dari muridku, Keh-sim Siau-hiap Kwee Tiong Li. Katanya di dunia persilatan telah muncul sebuah buku, yang disebut Buku-Rahasia. Selain memuat syair-syair yang berisi ramalan dan petunjuk-petunjuk, buku itu juga mencantumkan Daftar Tokoh-tokoh Terkemuka dewasa ini."
"Daftar Tokoh-tokoh Persilatan Terkemuka dewasa ini? Ah....? Siapakah yang memiliki buku itu? Dan siapa pula yang menulisnya?" Liu Yang Kun bertanya.
Tapi Kam Lo-jin cepat menggoyangkan telapak tangannya. "Eeit, nanti dulu...! Siau-heng belum menjawab pertanyaanku tadi. Lebih baik Siau-heng menjawab dulu, baru nanti bertanya lagi. Jadi percakapan kita ini menjadi enak dirasakan. Bukan hanya aku saja yang harus bercerita dan selalu menjawab pertanyaan Siau-heng...." katanya dengan tertawa.
"Oooh...!" Liu Yang Kun berdesah dan tersipu-sipu. Dan tiba-tiba keringatnya mengalir kembali dengan derasnya. "Bagaimana, Siau-heng.....?"
Liu Yang Kun menatap Kam Lo-jin sebentar, lalu menunduk kembali. Sebelum membuka mulut ia mengambil napas dulu untuk menenangkan hatinya. "Baiklah, Lo-cianpwe. Siau-te akan menjawab pertanyaanmu tadi, biar perasaan Lo-cianpwe menjadi lega. Menjadi yakin. Sebab bagaimanapun juga aku takkan dapat bersembunyi terus menerus dari kenyataan, apalagi kalau aku sudah bertemu dengan orang-orang yang telah mengenalku."
"Jadi....?" sekarang ganti Kam Lo-jin yang mendesak.
Liu Yang Kun mengangguk. "Dugaan Lo-cianpwe memang benar. Siau-te memang putera Hong-siang yang bernama Liu Yang Kun itu yang telah bertahun-tahun meninggalkan istana dan yang setahun lalu telah dikhabarkan mati tertimbun bukit longsor di Kota Soh-ciu." katanya seraya menyingsingkan lengan bajunya dan memperlihatkan guratan huruf Chin Yang Kun di pangkal lengannya.
Tiba-tiba Kam Lo-jin turun dari kursinya dan membungkuk di depan Liu Yang Kun. "Ah, maafkanlah orang tua yang tak tahu sopan-santun ini, Pangeran..." katanya meminta maaf.
Namun dengan cepat Liu Yang Kun menahannya "Lo-cianpwe, kau jangan bersikap seperti itu! Sikap orang-orang Istana yang seperti itulah yang dahulu membuatku tak kerasan berada disamping Hong-siang. Aku telah terbiasa hidup di antara rakyat miskin. Bersama keluarga Chin yang mengasuh aku sejak kecil, aku selalu hidup berpindah-pindah untuk menghindari kejaran musuh. Oleh karena itu aku telah terbiasa hidup menderita. Aku muak terhadap kehidupan istana yang serba gemerlapan dan tata-cara, sementara di luar istana kehidupan rakyat banyak yang sengsara dan menderita. Maka sudah aku putuskan sejak dahulu, bahwa aku akan hidup di luar istana. Aku tak ingin bergelimang kemewahan, sementara hatiku menangis melihat rakyatku hidup di dalam kemiskinan dan penderitaan."
Mendadak Kam Lo-jin berdiri tegak di depan Liu Yang Kun. Matanya mencorong menatap wajah pemuda itu. "Maaf, Pangeran. Pangeran tadi mengatakan bahwa sikapku salah. Tapi ternyata sikap Pangeran itupun juga salah pula…." orang tua itu berkata tegas.
Liu Yang Kun berdiri pula dengan cepat. Dengan wajah keheranan iapun menatap Kam Lo-jin. "Sikapku juga salah? Bagian manakah yang salah? Mengapa Lo-cianpwe dapat berkata demikian?"
"Dilihat dari sudut pribadi pangeran sendiri, sikap itu memang mulia dan baik. Dengan demikian pangeran adalah seorang yang sederhana, berbudi luhur, jujur dan suka menolong manusia yang menderita. Tapi kalau dilihat dari kedudukan dan pangkat pangeran sekarang, maka sikap itu bisa dikatakan terlalu mementingkan diri sendiri."
"Mementingkan diriku sendiri? Maaf, Lo-cianpwe jangan bicara sembarangan. Mengapa Lo-cianpwe menuduhku seperti itu? Bukankah aku malah mengorbankan segala-galanya? Kutinggalkan seluruh kemewahan. Kutinggalkan pula semua kedudukan dan semua hak-hakku di lstana. Kini aku rela hidup miskin dan menderita. Mengapa Lo-cianpwe masih berani menuduhku terlalu mementingkan diriku sendiri?" Liu Yang Kun berseru penasaran.
Lagi-lagi Kam Lo-jin membungkuk dengan hormatnya di depan Liu Yang Kun. Dengan suara tenang orang tua itu berkata. "Maaf, Pangeran! Sekali lagi aku yang telah tua ini memohon maaf kepadamu bila ada kata-kataku yang salah. Tapi aku yang sudah pikun ini memang mengatakan yang sebenarnya. Cobalah Pangeran renungkan! Pangeran adalah satu-satunya putera resmi Baginda Kaisar Han, yang diakui oleh Baginda sendiri dan rakyat banyak. Bagindapun sangat sayang kepada pangeran. Maka tidaklah mengherankan bila takhta kerajaan ini besuk akan jatuh kepada Pangeran pula."
"Aku tidak ingin menjadi Kaisar," Liu Yang Kun memotong dengan cepat.
"Nanti dulu! Harap Pangeran dengarkan dulu perkataanku ini. Dengan kedudukan Pangeran sekarang, ataupun dengan kedudukan Pangeran besuk, Pangeran bisa mendarma-baktikan kesederhanaan, keluhuran budi serta hasil-hasil pemikiran Pangeran yang mulia itu untuk rakyat banyak. Karena Pangeran telah terbiasa menderita dan merasakan kemiskinan rakyat, maka Pangeran tentu akan bisa menolong mereka pula. Karena pangeran telah terbiasa mengalami kesengsaraan dan penderitaan.
"Maka Pangeran tentu tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang sekiranya membuat rakyat sengsara dan menderita. Nah, bukankah dengan demikian Pangeran akan membahagiakan dan menyenangkan rakyat? Tidak cuma menyenangkan dan membahagiakan diri Pangeran sendiri? Mungkin dengan meninggalkan semua kedudukan dan kemewahan itu Pangeran menjadi lega dan bahagia. Tetapi bukankah hal itu terlalu mementingkan diri sendiri?
"Padahal dengan kemampuan, kedudukan dan jabatan Pangeran itu Pangeran bisa berbuat lebih banyak untuk rakyat yang miskin dan sengsara? Apakah sikap Pangeran itu tidak sama dengan sikap seorang Panglima Perang yang meninggalkan pasukannya hanya karena tidak suka perang dan kekerasan? Apakah sikap Panglima Perang yang berbuat seperti itu justru tidak akan menjerumuskan pasukannya ke lembah kehancuran?"
"Ouooh....!" Bagaikan air es kata-kata Kam Lo-jin yang panjang lebar itu mendinginkan hati Liu Yang Kun. Perlahan-lahan pemuda itu duduk kembali. Wajahnya tertunduk. Tiba-tiba hatinya menjadi sadar akan kekeliruannya selama ini. Dia memang terlalu mementingkan dirinya sendiri. Dia telah menyianyiakan harapan rakyat. Dia juga telah menyakiti dan menyengsarakan hati ayahnya. Dia memang seperti Panglima Perang yang meninggalkan pasukannya di medan perang, hanya karena tidak menyukai peperangan dan kekerasan.
"Oh, Lo-cianpwe.... maafkanlah kebodohanku. Aku mengaku salah. Hatiku memang terlalu mementingkan diri sendiri. Jiwaku sungguh kerdil.'' pemuda itu merintih.
Tapi dengan cepat, Kam Lo-jin menghiburnya. Dengan gaya seorang tua yang telah amat kenyang dengan pahit-getirnya kehidupan, Kam Lo-jin menepuk-nepuk pundak Liu Yang Kun. "Maaf, Pangeran Pangeran tidak perlu berkecil hati. Pangeran masih amat muda, maka tak mengherankan kalau hati dan pikiran belum sepenuhnya terbuka. Dalam hal lain, misalnya dalam hal ilmu silat, Pangeran memang telah cukup mendapatkan ujian dan tempaan, sehingga dalam hal ini Pangeran boleh dikatakan telah lulus dan mencapai tingkat yang tertinggi. Namun dalam hal kematangan jiwa, pikiran dan kehidupan, Pangeran masih harus belajar banyak. Semuanya itu membutuhkan waktu..."
Liu Yang Kun menengadahkan mukanya. Sambil menarik nafas panjang ia bertanya: "Lalu.... apa yang harus saya kerjakan, Lo-cianpwe?"
"Tentu saja Pangeran harus selekasnya pulang ke istana, menemui Baginda Kaisar Han, dan memohon maafnya..."
"Tapi....." Liu Yang Kun memotong, namun tak kuasa melanjutkannya.
"Tapi Pangeran belum merasa siap dan masih enggan untuk melakukannya?" Kam Lo-jin yang arif itu menebak hati Liu Yang Kun.
Pemuda itu cepat mengangguk. "Benar, Lo-cianpwe. Tapi bukannya aku tak mau melakukannya. Aku hanya belum siap sekarang."
Kam Lo-jin menghela nafas. "Baiklah. Hal itu memang tidak dapat dipaksa. Terserah kepada Pangeran sendiri. Namun aku sangat bergembira atas kesediaan Pangeran untuk pulang itu. Terima kasih."
Demikianlah, untuk beberapa waktu lamanya mereka tidak berbicara lagi. Masing-masing disibukkan oleh pikiran dan perasaan mereka sendiri. Baru beberapa waktu kemudian Liu Yang Kun seperti tersentak dari ketermenungannya. "Eh, Lo-cianpwe... Lo-cianpwe tadi mengatakan bahwa didunia persilatan telah muncul sebuah buku yang disebut orang Buku Rahasia. Malah lo-cianpwe tadi juga mengatakan bahwa di dalam buku tersebut juga dicantumkan nama-nama Tokoh-tokoh Persilatan Terkemuka dewasa ini.... Ehm, siapakah pemilik sebenarnya dari buku itu? Dan siapakah penulisnya?"
"Haha..... tampaknya Pangeran menjadi tertarik juga akan buku itu. Menurut berita yang kudengar, buku itu adalah milik Ban-hoat Sian-seng dari Puncak Gunung Hoa-san. Tapi entah bagaimana caranya, buku itu jatuh ke tangan Bok Siang Ki yang tinggal di tengah gurun Go-bi. Dan entah bagaimana pula caranya, buku itu lalu muncul di dunia persilatan, sehingga banyak tokoh yang mengetahuinya. Kemudian dari mulut ke mulut isi buku itu diceritakan pula kepada orang lain, hingga sebentar saja berita itu telah membikin gusar dan penasaran banyak orang, karena di dalam salah satu bagiannya buku itu menuliskan urutan Daftar Tokoh-tokoh Persilatan Terkemuka dewasa ini. Mereka menjadi penasaran karena nama mereka tertulis pada nomer-nomer yang paling akhir, sementara pada nomer-nomer paling atas banyak tercantum nama-nama yang sama sekali belum dikenal di dunia persilatan."
"Eh, tadi lo-cianpwe mengatakan bahwa namaku juga ikut tertulis pula di dalam daftar itu. Apakah.... apakah locianpwe tahu nomor urutanku?"
Kam Lo-jin tersenyum. "Nah! Bukankah Pangeran ikut menjadi penasaran pula seperti yang lain?"
"Ah!" Liu Yang Kun berdesah dan tersipu-sipu.
"Tapi tak apa. Sudah wajar kalau Pangeran menjadi penasaran pula. Sebab bagaimanapun juga Pangeran masih sangat muda. Darah masih panas. Apalagi dalam urusan Ilmu silat seperti ini.."
"Ah, lo-cianpwe."
Sekali lagi Kam Lo-jin tersenyum. "Maaf, Pangeran... Aku sendiri juga hanya mendengar dari orang lain, sehingga aku juga tidak tahu persis urut urutannya. Menurut apa yang kudengar, pada urutan yang pertama sampai ke lima tertulis nama-nama Ban-bok-bu-giok-hong, yaitu singkatan nama dari Ban-hoat Sian-seng, Bok Siang Ki, Bu-tek Sin-tong, Giok-bin Tok-ong dan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai. Sedangkan urutan yang keenam sampai dengan kesepuluh aku tak begitu jelas urut-urutannya. Kalau tak salah, yang berada di urutan yang keenam ada dua orang, yaitu Lo-sin-ong dan aku. Lalu di urutan yang ketujuh juga ada dua orang, yaitu Toat-beng-jin atau Lo-jin-ong dari Im-Yang-kauw dan Pangeran sendiri."
"Ohh?!""Kemudian di urutan yang ke delapan malah ada tiga nama, yaitu Keh-sim Siau-hiap, muridku sendiri, Pek-i Liongong, bekas suhengku juga, dan Put Chien-kang Cin-jin, dari aliran Bing kauw. Dan yang tertulis di urutan yang kesembilan dan kesepuluh adalah Put-ceng-li Lo-jin dan Tung-hai-tiauw."
''Lalu....? Urutan-urutan selanjutnya?" Liu Yang Kun bertanya pula.
"Wah.... aku tak bisa menghapalnya, Pangeran. Banyak sekali. Mungkin sampai nomor yang ketigapuluh. Dan kadang-kadang setiap nomer tertulis dua nama atau lebih. Tapi.... yang jelas Pangeran termasuk dalam Bu-lim Cap-hiong (Sepuluh Jago Persilatan)." Kam Lo-jin mengakhiri keterangannya dengan tersenyum.
Liu Yang Kun ikut tersenyum pula. Sambil menghela napas pemuda itu memberi komentar, ‖Ah… ada-ada saja! Enak saja menuliskan urut-urutan kesaktian orang di dalam buku. Tak heran kalau banyak yang marah dan penasaran. Hmmh…! siau-te sendiri belum pernah berjumpa, apalagi sampai dicoba oleh penulisnya. Masakan dengan begitu ia sudah bisa mengukur kemampuanku?"
Kam Lo-jin mengangkat pundaknya. "Yah, setiap orang memang berkata begitu pula. Terutama yang berada di urutan belakang. Mereka menjadi marah. Apa lagi yang merasa kemampuannya tidak kalah dengan orang yang tertulis di atasnya. Perselisihan dan bentrokan pun lantas timbul di antara mereka. Dan akibatnya dunia persilatan menjadi resah dan panas. Setiap orang ingin memperbaiki kedudukannya. Mereka menantang orang-orang yang berada di urutan atasnya."
"Oh..... sampai demikian hebat pengaruhnya?" Liu Yang Kun menyela.
Kam Lo-jin mengangguk. "Ya. Dan mereka pun lalu berlomba-lomba pula untuk meningkatkan ilmu mereka. Berbagai macam cara mereka lakukan. Ada yang menempa diri dengan lebih tekun mendalami ilmunya. Ada yang menambah ilmunya dengan mempelajari ilmu silat lain yang lebih tinggi. Dan ada pula yang mencari obat-obat atau mustika-mustika berkhasiat tinggi, yang dapat melipatgandakan kesaktian mereka."
"Mustika berkhasiat tinggi?" Liu Yang Kun yang merasa memiliki mustika racun itu menyela.
"Benar. Mungkin Pangeran telah pernah mendengar pula tentang mustika atau pusaka yang mampu menambah atau melipat-gandakan kesaktian pemiliknya seperti misalnya darah ular-raksasa Ceng-liong-ong di danau Tai Ouw yang mampu melipat-gandakan Iwe-kang orang yang meminumnya."
"Darah ular raksasa Ceng-liong-ong?" Liu Yang Kun tersentak kaget.
"Ya! Pangeran pernah mendengarnya pula, bukan? Atau Pangeran malah ikut memperebutkannya juga setengah bulan yang lalu?"
"Setengah bulan yang lalu? Apa maksud Lo-cianpwe?"
Kam Lo-jin mengerutkan dahinya. "Ah! Apakah Pangeran tidak ikut menyaksikan keramaian di atas danau Tai Ouw pada malam bulan purnama setengah bulan yang lalu itu?" serunya heran.
Liu Yang Kun cepat menggelengkan kepalanya. Dengan air muka keheranan dia memandang orang tua itu. "aku sama sekali tak mengetahuinya. Apakah Lo-cianpwe juga menonton keramaian itu?‖ pemuda itu balik bertanya. Ternyata Kam Lo-jin juga menggelengkan kepalanya.
"Tidak Pangeran. Aku sudah merasa terlalu tua untuk ikut memperebutkannya. Aku hanya menyuruh Keh-sim Siau-hiap Kwee Tiong Li untuk mewakiliku. Ia masih muda, sehingga mustika itu sangat penting buat dia. Tapi katanya ular raksasa Ceng-liong-ong tidak muncul pada malam itu. Entah mengapa…?"
Liu Yang Kun terhenyak untuk beberapa saat lamanya. Sadarlah ia sekarang mengapa mendadak Liong-cu-i-kangnya bertambah dahsyat. Ternyata semua itu karena khasiat darah ular raksasa Ceng-liong-ong yang telah diminumnya. Dan tentu saja ular raksasa itu tak muncul di atas Danau Tai Ouw karena telah mati dibunuhnya. Malahan mustika racun ular itu telah berada di tangannya pula.
"Kalau begitu antara lorong di bawah tanah itu dengan Danau Tai Ouw memang ada hubungannya...." pemuda itu membatin. Tapi pemuda itu tidak mengatakan apa-apa. Apalagi tentang peristiwa yang dia alami di dalam lorong gua itu. Ia hanya mengangguk-angguk mendengar cerita orang tua itu.
Setelah saling berdiam diri beberapa saat lamanya, Kam Lo-jin lalu buka pembicaraan lagi. Kali ini nada suaranya terdengar bersungguh-sungguh kembali. "Maaf, Pangeran.... Pangeran tadi belum bercerita tentang cara bagaimana.. Pangeran menyelamatkan diri dari timbunan tanah longsor itu. Hmm, bolehkah aku mendengarnya?"
Liu Yang Kun tersentak kaget dari lamunannya. Pertanyaan yang tiba-tiba tentang tanah longsor itu benar-benar membuatnya berkeringat. Beberapa saat lamanya ia berdiam diri untuk mencari jawaban yang tepat, namun tidak menyinggung keadaan atau pengalamannya di dunia bawah tanah itu.
"Ah....! Sebenarnya aku tidak tertimbun oleh bukit yang longsor itu, Lo cianpwe. Aku masih terlindung oleh celah-celah batu di mana aku berada, sehingga aku bisa keluar melalui sela-sela atau lorong-lorong kecil yang kudapati di tempat itu."
"Begitukah? Wah, kalau begitu Thian benar-benar masih melindungimu, Pangeran." Kam Lo-jin berkata hampir tak percaya.
Tapi Liu Yang Kun tak menyahutnya lebih lanjut. Entah mengapa pemuda itu tak ingin menceritakan pengalamannya di gua-gua di dalam tanah itu. Pemuda itu tak ingin bercerita tentang perkawinannya dengan Tui Lan dan tak ingin bercerita pula tentang buku-buku Bit-bo-ong maupun perkelahiannya dengan Ceng-liong-ong itu.
"Lalu.... apa rencana Pangeran selanjutnya? Kemana sebenarnya tujuan Pangeran sekarang?"
Pemuda itu menatap wajah Kam Lo-jin lalu menggeleng. "Entahlah, Lo-cianpwe. Aku sama sekali tak mempunyai tujuan yang pasti. Aku hanya ingin berjalan terus, sampai akhirnya aku menjadi bosan sendiri. Setelah itu mungkin aku akan kembali ke istana, untuk menghadap Hong-siang dan memohon maaf atas kesalahanku."
"Hmmm.... Dan Pangeran benar-benar akan menempuh jalan sungai itu ke arah utara?"
"Ya!"
Keduanya lalu berdiam diri kembali. Tapi kesunyian itu tidaklah lama karena dari jalan tampak seorang gadis memasuki halaman rumah Kam Lo-jin itu.
"Lo-jin....! Aku membawakan lauk kesukaanmu!" dari jauh gadis itu telah berseru sambil mengangkat tempat sayur yang dijinjingnya.
"Ah, Ceng Ceng.... repot benar kau ini! Bukankah aku sudah bisa memasaknya sendiri?" Kam Lo-jin pura-pura menggerutu.
"Tapi kan tidak seenak masakanku....." Ceng Ceng membantah.
"Ya, tentu saja....." Kam Lo-jin menjawab dengan tersenyum. Lalu, "Tapi.... mengapa kau hanya sendirian saja? Dimanakah tunanganmu? Mengapa dia tidak mengantarkanmu?"
Tiba-tiba wajah yang manis itu merengut. Apalagi ketika Liu Yang Kun ikut menatapnya pula, seolah-olah juga menunggu jawabannya. "Mengapa aku harus membawanya pula. Huh! Lo-jin memang suka mengganggu aku. Kalau begitu aku mau pulang lagi saja." katanya kesal seraya membalikkan tubuhnya.
"Eee.... eeee..... nanti dulu! Kenapa menjadi marah? Bukankah aku hanya bergurau?" Kam Lo-jin cepat-cepat berseru pula seraya menepuk pundak gadis itu.
"Habis, Lo-jin juga keterlaluan…." Gadis itu berhenti dan merengut. Matanya mengerling dengan wajah dongkol. Namun kepalanya segera tertunduk begitu bertatapan dengan Liu Yang Kun. Air mukanya berubah menjadi merah.
Sebaliknya Kam Lo-jin yang sudah tua itu segera maklum menyaksikan sikap si gadis yang kemalu-maluan itu. Dengan menghela napas panjang ia memandangi wajah Pangeran Liu Yang Kun yang tampan itu. Dan hatinya diam-diam menjadi kasihan kepada Ceng Ceng.
"Ceng Ceng, apakah pekerjaanmu sudah selesai semua? Hmm..... jangan-jangan kakekmu mencarimu nanti." Sambil menerima kiriman itu Kam Lo-jin mencoba untuk menyuruh pergi gadis itu dengan halus.
Tapi tampaknya kedatangan Ceng Ceng kesitu memang ingin bertemu dengan Liu Yang Kun. Entah bagaimana terjadinya, namun panah asmara tampaknya telah mengenai cucu Kepala Desa itu.
"Ah, pekerjaanku sudah beres semuanya. Kakek takkan mencariku lagi." Gadis itu cepat mengelak.
"Aaaaa....!" Kam Lo-jin berdesah panjang. Sekilas wajahnya suram.
Dan perasaan Liu Yang Kun yang tajam agaknya juga merasakan pula sikap kedua orang itu. Oleh karena itu untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan, ia segera mohon diri kepada Kam Lo-jin. Meskipun sebenarnya orang tua itu belum puas bertemu dan berbincang-bincang dengan Liu Yang Kun, tapi ia terpaksa membiarkan anak muda itu pergi meninggalkan rumahnya. Lebih baik pemuda itu pergi dari pada nanti terjadi persoalan-persoalan lain dengan gadis cucu kepala desanya itu.
Di lain pihak keberangkatan Liu Yang Kun yang mendadak dan seolah-olah menghindari dirinya itu benar-benar sangat mengecewakan dan melukai hati Ceng Ceng. Dengan cepat gadis itu melangkah keluar pula, lalu tanpa pamit kepada Kam Lo-jin dia pulang ke rumahnya. Kam Lo Jin menghembuskan napas dalam-dalam. Ia tak tahu harus berbuat bagaimana, karena semuanya berlangsung dengan cepat dan tak terencana. Namun demikian di dalam hati orang tua itu cukup bersyukur dengan keadaan tersebut.
Hal itu akan lebih baik dari pada terjadi hal-hal yang sebaliknya karena bagaimana pun juga kedua anak muda itu tidak mungkin bisa bersatu. Liu Yang Kun adalah seorang pangeran, putera tunggal Kaisar Han, sementara Ceng Ceng hanya seorang gadis dusun dan juga sudah bertunangan pula.
"Aaaaah....!" Kam Lo-jin berdesah panjang sambil mengelus-elus jenggotnya. Matanya suram mengawasi punggung Liu Yang Kun dan Ceng Ceng yang telah jauh meninggalkan halaman rumahnya.
Perlahan-lahan orang tua itu membalikkan tubuhnya, kemudian melangkah memasuki rumahnya. Tapi sebelum ia menutup pintunya kembali, dari arah kemana Ceng Ceng tadi pergi tiba-tiba terdengar suara jeritan wanita.
"Toloooooong.....!
"Perampok! Perampok….! Perampok….!"
"Penculik! Awaaas..... Tangkap!"
Sebentar saja dusun itu menjadi gempar luar biasa. Kam Lo-jin tidak jadi menutup pintunya. Sebaliknya dengan kecepatan tinggi tubuhnya melesat ke luar halaman. Tubuh yang tua dan kelihatan lemah itu mendadak berubah menjadi tangkas dan beringas bukan main. Kakinya berloncatan ke tempat keributan dengan gesitnya, laksana seekor kijang muda mencari induknya.
Dan orang tua itu segera terkesiap menyaksikan keributan yang terjadi di tengah tengah jalan desanya. Belasan orang asing bersenjata lengkap tampak bertempur dalam suasana tidak seimbang dengan penduduk desa Kee-cung itu. Bahkan pertempuran itu lebih tepat disebut pembantaian dari pada pertempuran yang sesungguhnya. Bagaikan kelompok kambing yang ketakutan di padang perburuan, penduduk desa itu tercerai-berai dan bergelimpangan diterjang oleh belasan orang asing yang kejam dan buas seperti serigala.
Kemarahan Kam Lo-jin tak bisa dibendung lagi. Mulutnya menggeram dengan dahsyatnya. Begitu kuat getarannya, sehingga orang-orang yang berada di dalam arena itu merasa bagai diguncang isi dadanya. Dan sebelum orang-orang asing itu menyadari apa yang telah terjadi, tubuh mereka telah jatuh tunggang-langgang pula diterjang oleh angin pukulan orang tua itu. Untunglah meskipun marah orang tua itu bukanlah manusia yang suka membunuh orang, sehingga pukulannya tidak bermaksud untuk melenyapkan jiwa lawannya.
Walaupun demikian orang-orang yang bermaksud buruk di desa itu menjadi ketakutan melihat Kam Lo-jin. Sambil tertatih-tatih dan terpincang-pincang mereka melarikan diri dari tempat itu. Mereka berlari ke arah sungai. Kam Lo-jin lalu bergegas menolong penduduk yang menjadi korban. Tapi baru saja orang tua itu berjongkok, tiba-tiba datang Kepala Desa berlari-lari dari arah sungai. Orang yang umurnya juga hampir sebaya dengan Kam Lo-jin itu berteriak-teriak bagai orang kesurupan.
"Lo-jin....! Lo-jin...! Tolong... tolonglah, cucuku Ceng Ceng di-diculik…. pen…. penjahat!"
"Apa…? Ceng Ceng diculik orang? Dia... dia tadi baru saja dari rumahku…." Kam Lo-jin berseru pula tak kalah kagetnya.
"Benar....! Dia....dia baru saja diculik oleh pimpinan para penjahat yang menyerbu desa kita! Dia.... dia dibawa naik kuda!"
"Naik kuda? Kurang ajar….! Cung cu, kalau begitu tolong kau urus kawan kawan kita yang terluka ini! Aku akan mengejar cucumu!"
"Ba-baik, Lo-jin! Orang….. orang itu berlari ke arah Utara!" Kepala Desa itu memberi keterangan.
Tanpa menyia-nyiakan waktu lagi Kam Lo-jin melesat ke arah sungai. Di tempat itu Kam Lo-jin bertemu dengan rombongan penjahat yang lain. Dan mereka memiliki kepandaian yang lumayan juga, sehingga orang tua itu terpaksa turun tangan pula untuk menjaga agar mereka tidak mengumbar kekejamannya di kalangan penduduk.
"Dari mana sebenarnya penjahat-penjahat ini? Mengapa demikian banyak jumlah mereka?" orang tua itu membatin.
"Heiiii, awaaas! Disini ada ikan hiu besar!" salah seorang berteriak begitu menyaksikan kehebatan Kam Lo-jin.
"Siapkan jaring....!" yang lain menyambung. Orang-orang itu lalu bertebaran mengelilingi Kam Lo-jin. Masing-masing menggenggam tali panjang, yang ujungnya dikaitkan dengan sebuah jangkar kecil terbuat dari besi tajam. Mereka lalu berputaran sambil sesekali menyabitkan jangkar-jangkar kecilnya ke arah Kam Lo-jin.
"Hmm, agaknya mereka bajak laut dari laut timur. Tapi sungguh mengherankan sekali, bagaimana mereka bisa sampai di tempat ini? Dusun ini cukup jauh dari pantai." sambil mempersiapkan dirinya Kam Lo-jin berkata di dalam hati.
Demikianlah, beberapa saat kemudian orang-orang itu benar-benar menyerang Kam Lo-jin. Jangkar-jangkar kecil itu bertebaran bagai hujan ke tubuh orang tua itu. Namun dengan gin-kangnya yang hebat tiada tara Kam Lo-jin mengelak, menangkis dan menyambar besi-besi berkait itu dengan amat mudahnya. Kakinya bergeser, melangkah, melompat dan melejit dengan ringannya dalam ilmu Ban-seng-po Lian-hoan (Langkah Selaksa Bintang Beralih), sebuah ilmu meringankan tubuh yang selama ini menjadi kebanggaan Kam Lo-jin dan muridnya, Keh-sim Siau-hiap Kwee Tiong Li.
Tentu saja para penjahat itu menjadi gugup dan bingung sekali. Tiba-tiba saja lawan mereka yang telah tua itu seperti lenyap terbungkus asap. Dan asap itu berkelebatan di sekitar mereka, beralih ke sana kemari, sambil membentur dan merebut senjata mereka.
"Gilaaa.....!" salah seorang diantaranya mengumpat ketika jangkarnya terlepas dari tangannya, sedangkan tubuhnya terbanting di atas tanah.
Dan kejatuhan orang itu segera diikuti pula oleh kawan-kawannya. Mereka bergelimpangan tanpa mengerti sebab-sebabnya. Mereka hanya melihat gulungan asap itu menerjang mereka, dan tahu-tahu mereka terdorong atau terlempar jatuh begitu saja.
"Nah, kalian mau pergi dari sini atau tidak? Kalau tidak mau, hemm.... baiklah, aku akan membunuh kalian semua!" Kam Lo-jin dengan berdiri tegak membentak penjahat-penjahat yang sudah tidak berdaya itu.
"Badai topan! Lariii....!" salah seorang berseru kuat-kuat, kemudian lari mendahului kawan-kawannya. Dan sekejap kemudian yang lainpun segera ikut melarikan diri pula.
Dengan tangkas mereka menceburkan diri kesungai dan berenang ke arah perahu mereka yang menunggu di tengah sungai. Di sana mereka telah ditunggu pula oleh teman-teman mereka yang tadi dihajar Kam Lo-jin di tengah jalan desa itu.
"Sungguh mengherankan sekali. Apakah di tengah lautan sana sudah tidak ada perahu yang dapat mereka rampok lagi, sehingga mereka berkeliaran sampai di daratan terpencil seperti ini?" Kam Lo-jin menggerutu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Setelah dapat mengusir para penjahat itu, Kam Lo-jin lalu meneruskan langkahnya untuk mengejar pemimpin penjahat yang melarikan Ceng Ceng. Karena jaraknya sudah agak lama, apalagi pemimpin penjahat itu mempergunakan kuda maka Kam Lo-jin mengalami kesulitan dalam melacaknya. Sampai matahari turun ke barat, Ceng Ceng serta penculiknya tidak dapat ia ketemukan. Padahal orang tua itu sudah sampai di kota An-lei pula. Oleh karena itu dengan wajah lesu orang tua itu kembali ke desa kee-cung.
Sementara itu desa Kee-cung seolah-olah dalam keadaan muram dan berkabung. Hampir seluruh penduduknya berkumpul di Balai Desa. Mereka membawa obor untuk menerangi halaman rumah kepala desa, yang kini diubah untuk sementara menjadi tempat menyimpan dan merawat para korban kekejaman penjahat tadi siang.
Sedang kepala desa itu sendiri tampak gelisah bukan main. Bolak-balik ia mondar-mandir dari rumahnya ke jalan, untuk melihat kedatangan Kam Lo-jin. Wajahnya yang telah berkeriput itu tampak lesu dan kusut, sekusut pakaian yang dikenakannya. Dan hampir saja dia tak kuasa mengendalikan dirinya ketika dilihatnya orang yang ditunggunya itu kembali tanpa membawa cucunya.
"Ba-bagaimana Lo... Lo-jin? dimanakah cucuku?" desahnya terengah engah seperti orang yang baru saja dikejar hantu. Kedua tangannya mencengkeram dan mengguncang-guncang tubuh Kam Lo-jin dengan kerasnya.
Kam Lo-jin menatap kepala desanya itu dengan pandang mata kasihan dan penuh penyesalan. Kemudian dengan sangat berat ia menggelengkan kepalanya. Aku.... aku tak bisa menemukannya, Cung-cu. Maafkanlah aku...."
"Ooooooh....!" kepala desa itu menjerit, lalu tak sadarkan diri.
Seorang pemuda berkulit hitam, namun tampak gagah dan gesit, cepat datang menolong kepala kampung itu. "Kakek……!" serunya khawatir. Dan orang-orang yang berada ditempat itupun lalu menjadi gempar dan ribut. Tapi dengan cepat Kam Lo-jin menenangkan hati mereka.
"Sudah! Kalian semua harap tenang! Cung-cu tidak apa-apa. Dia hanya pingsan karena kaget mendengar cucunya tak bisa kuselamatkan. Sudahlah! Harap kalian duduk kembali dengan tenang. Nanti kita pikirkan lagi cara yang lain untuk mencari gadis itu." Orang tua itu berseru. Lalu katanya kepada pemuda berkulit hitam itu, "Cong Tai! Marilah kita bawa Cungcu ini ke dalam rumah. Kau pun tak perlu bersusah hati. Nanti kita cari lagi tunanganmu itu. Marilah...!"
"Ba-baik, Lo-jin...." pemuda itu menyahut dengan suara sedih pula.
Demikianlah semua orang di Balai Desa itu dengan hati sedih membayangkan kesengsaraan yang kini tentu sedang dialami oleh Ceng Ceng. Mereka membayangkan bahwa gadis itu tentu sedang disiksa dan dihina melampaui batas kemanusiaan oleh penjahat yang menculiknya. Atau mungkin gadis itu sudah dibunuh mati oleh penjahat itu setelah diperkosanya.
Tak seorangpun dari penduduk Kee-cung itu yang membayangkan, apalagi mengetahui bahwa bayangan atau dugaan mereka tersebut adalah salah. Pada waktu itu sama sekali Ceng Ceng tidak disiksa atau diperlakukan secara tidak manusiawi oleh penculiknya, apalagi sampai menderita sengsara atau dibunuh seperti bayangan mereka itu. Tapi sebaliknya saat itu Ceng Ceng sedang berada di puncak kebahagiaannya malah!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, gadis itu dengan perasaan malu dan tersinggung meninggalkan rumah Kam Lojin. Entah mengapa, sikap Liu Yang Kun yang tak peduli dan acuh terhadap dirinya itu membuat hatinya merasa panas dan tersinggung. Sambutan yang dingin dari pemuda yang tiba-tiba sangat menarik perhatiannya itu benar-benar jauh di luar dugaannya.
Semula, menilik sikap dan kelakuan Liu Yang Kun ketika mengganggu dia di tepi sungai itu, Ceng Ceng merasa yakin bahwa pemuda itu amat tertarik kepada dirinya. Oleh karena itu ketika dia berkunjung ke rumah Kam Lo-jin, yang saat itu sedang menjamu Liu Yang Kun, hatinya benar-benar merasa yakin pula kalau pemuda itu tentu akan merasa sangat bergembira melihat dirinya.
Bahkan mungkin pemuda itu akan mengulangi lagi sikapnya di tepi sungai itu. Dan bila memang demikian halnya, Ceng Ceng sudah mempersiapkan pula jawabnya. Gadis itu akan bersikap jinak jinak merpati sehingga pemuda itu akan bertambah gemas dan penasaran terhadapnya.
Tetapi apa yang ada didalam bayangannya itu ternyata jauh sekali bedanya dengan kenyataannya. Ternyata pemuda itu tidak menyambutnya dengan gembira seperti dugaannya. Sebaliknya pemuda itu pergi begitu saja, seakan-akan belum pernah mengenal dirinya.
Begitulah, dalam keadaan kesal dan penasaran, Ceng Ceng berjalan tergesa-gesa menuju ke rumahnya. Karena kesal maka pikirannya menjadi kusut dan pepat, sehingga kewaspadaannya pun menjadi hilang pula. Dan tiba-tiba saja wajahnya menjadi pucat ketika empat orang lelaki kasar mencegat jalannya.
"Twa-ko, lihat....! Ternyata ada juga perawan cantik di dusun terpencil ini!" salah seorang dari empat orang kasar itu berkata sambil menunjuk ke arah Ceng Ceng.
"Bagus! Kalau begitu gadis ini untukku! Akan kubawa gadis ini ke An-lei. Nah, beritahukanlah kepada teman-teman kita nanti, bahwa aku akan mendahului pergi ke An-lei! Kutunggu kalian semua di sana!" orang yang disebut twa-ko yang tampaknya adalah pimpinan mereka berteriak gembira.
"Twa-ko hendak menggendong gadis ini sampai di An-lei?"
"Tentu saja tidak, goblog! Bukankah kita tadi melihat seekor kuda di rumah dekat sungai itu? Aku akan membawanya dengan kuda itu."
"Bagus, Twa-ko! Bagus....! Silakanlah kalau begitu! Kami akan mencari mangsa juga di dusun ini, hehehe...!"
Sementara itu Ceng Ceng segera sadar bahwa ia sedang menghadapi penjahat. Cepat ia membalikkan tubuhnya, dan bermaksud kembali ke rumah Kam Lo-jin. Tapi penjahat yang dipanggil twa-ko itu ternyata lebih cepat lagi. Dengan menyeringai kotor penjahat itu menubruk Ceng Ceng.
Gadis itu menjerit ketakutan, dan berusaha mengelak! Tapi apa dayanya! Menghadapi lelaki kasar itu ia tak bisa berbuat banyak. Dengan mudahnya ia diringkus. Meskipun ia berusaha meronta dan melawan dengan sekuat tenaganya, tapi penjahat itu benar-benar sangat kuat. Terlalu kuat baginya. Sehingga akhirnya ia hanya bisa menjerit-jerit dan melolong-lolong.
Tapi sebelum penduduk desa itu datang menolong dia, penjahat itu buru-buru membawanya pergi dari tempat itu. Di dekat sungai penjahat itu mencuri kuda milik seorang penduduk, kemudian dengan kuda curian tersebut penjahat itu membawanya lari meninggalkan desa Kee-cung.
"Toloooooooong....!"
"Huah-ha-ha-ha-ha...! Tak ada gunanya berteriak-teriak lagi, manis! Warga dusun itu sedang gempar dan ribut menghadapi anak-buahku, huah-ha-ha ha!"
Lalu dengan tertawa puas penjahat itu memacu kuda curiannya. Dan sambil memegang kendali tak lupa ia menggerayangi tubuh korbannya. Tentu saja Ceng Ceng menjerit dan meronta-ronta semakin kuat lagi.
"Huah-ha-ha-ha-ho-ho! Kau benar benar seekor kijang yang masih segar dan lincah! Bukan main...! Sungguh gembira sekali hatiku, huah-ha-ha-ha...!"
Kuda itu berlari semakin cepat menerobos semak belukar dan hutan lebat yang memadati tepian sungai itu. Untunglah biarpun cuma jalan setapak, namun ada juga jalan yang biasa dilalui orang di sepanjang sungai tersebut sehingga perjalanan mereka tidak begitu terhambat karenanya. Tetapi dengan demikian harapan Ceng Ceng untuk memperoleh pertolongan justru menjadi semakin jauh malah. Apalagi ketika akhirnya udara menjadi gelap karena matahari telah terbenam di balik gunung.
Sementara itu Liu Yang Kun yang juga berjalan menerobos hutan dalam tujuannya ke kota An-lei itu terpaksa kemalaman pula di perjalanan. Sambil menggerutu dan mengumpat-umpat di dalam hati pemuda itu lalu mencari tempat yang cocok untuk tidur. Setelah mendapatkan dahan pohon yang cocok untuk beristirahat nanti, maka ia lalu mengumpulkan ranting-ranting kering untuk mengusir nyamuk,...
Halaman 42 – 43 hilang….
Bu-eng Hwe-teng (Loncat Terbang Tanpa Bayangan) warisan Bit-bo-ong memang sebuah ilmu meringankan tubuh yang hebat tiada tara, apalagi ditunjang oleh Liong-cu-i-kang yang telah mencapai tingkat yang sempurna pula. Maka sungguh tidak mengherankan bila kuda yang berlari cepat itu segera bisa terlampaui dengan mudahnya!
"Berhenti!!!!" pemuda itu menghardik sambil menghadang di tengah jalan. Kedua buah tangannya siap untuk menyerang bila lawannya tidak mau menurut perintahnya.
Bangsat keparat...! Pergi dari jalan ini!" penunggang kuda.yang tidak lain adalah penjahat yang menculik Ceng Ceng itu berteriak berang seraya menghentikan kudanya.
"Tolong.....! Tolooooooong!" Ceng Ceng yang berada didalam dekapan lelaki kasar itu menjerit-jerit. Pakaian yang melekat di badannya sudah tidak karuan lagi letaknya.
Liu Yang Kun terbelalak memandang gadis itu. "K..kau...?" serunya hampir tak percaya.
Sebaliknya Ceng Ceng sendiri kaget pula memandang Liu Yang Kun. Meski pun demikian hatinya lantas menjadi gembira dan penuh harapan. Ia benar-benar mengharap agar pemuda itu dapat membebaskannya dari cengkeraman penjahat yang menculiknya.
''Tuan... to-tolong..... tolonglah saya!" ia merintih.
"Diam!" penjahat itu menghardik dengan bengisnya. Tak lupa tangannya yang kuat seperti capit besi itu mencengkeram lengan Ceng Ceng, sehingga gadis itu menjerit kesakitan.
Liu Yang Kun terbakar hatinya. "Kurang ajar! Lepaskan dia....!" Bentaknya menggeledek.
"Persetan! Jangan ganggu urusanku! Kubunuh kau nanti!" penjahat itu berteriak pula tak kalah berangnya.
"Kau tak mau juga melepaskan gadis itu?" Liu Yang Kun masih memberi kesempatan.
"Bangsat! Kaulah yang harus enyah dari sini....
Halaman 46 – 47 hilang lagi....
....Ceng Ceng yang berada di dalam pelukannya tiba-tiba memberontak dan mencakar mukanya. Ternyata kesempatan sedikit itu benar-benar hendak dipergunakan oleh gadis itu untuk melepaskan diri dari cengkeraman penculiknya.
"Perempuan binal, kubunuh kau..!‖ bajak laut yang tercakar mukanya itu menjadi marah. Jari-jarinya yang besar besar itu mencengkeram dada Ceng Ceng.
Tapi Liu Yang Kun yang melihat gadis itu dalam bahaya, cepat bertindak. Tubuhnya melesat bagai kilat ke depan kemudian tangannya menyambar tubuh Ceng Ceng dengan ilmunya Kim-coa-ih-hoat! Wuuut! Lengan pemuda itu bertambah panjang hampir dua kali lipat panjangnya.
"Aaauuuuu....?!" Ceng Ceng menjerit keras ketika pakaiannya yang sudah tidak keruan letaknya itu terenggut lepas dari tubuhnya, dan ia sendiri terbanting jatuh dari punggung kuda itu. Untung dengan cepat pula Liu Yang Kun menyambar tubuhnya.
"Bangsat! Kubunuh kau!" bajak laut itu berteriak marah, lalu menjejak perut kudanya dan menerjang ke arah Liu Yang Kun.
Tapi dengan Bu-eng Hwe-tengnya Liu Yang Kun segera menyelinap ke samping dengan tangkasnya. Walaupun harus menggendong Ceng Ceng, namun pemuda itu sama sekali tidak kehilangan kelincahannya. Bagaikan bayang-bayang hitam ia terus berputar pula ke belakang lawannya, kemudian tangannya yang bebas terayun ke tengkuk bajak laut itu dengan hebatnya.
Bajak laut yang mendadak merasa kehilangan lawannya itu tiba-tiba terkesiap. Bergegas ia meloncat turun dari punggung kudanya. Dia merasa ada gelombang udara dingin bertiup ke arah punggungnya. Begitu dingin udara itu sehingga punggungnya terasa tebal dan kaku.
"Gila...!" bajak laut itu mengumpat seraya mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengusir serangan hawa dingin itu.
Sementara itu Liu Yang Kun tidak meneruskan serangannya. Melihat lawannya meloncat turun dan membiarkan kuda tunggangannya pergi, ia tak mau mengejar lagi. Dibiarkan orang itu mengambil napas. Bahkan ia sendiri lalu menurunkan pula tubuh Ceng Ceng ke atas tanah. Entah karena takut atau kaget ketika terbanting dari punggung kuda tadi, ternyata Ceng Ceng telah pingsan dalam pondongannya.
"Ooooooh!" Sekejap Liu Yang Kun tertegun melihat tubuh Ceng Ceng yang hampir tak berpakaian sama sekali itu. Untuk sedetik darahnya bergolak, namun cepat ditahannya. Matanya segera dipejamkannya. Ia takut pemandangan itu akan menggugah penyakit lamanya. Lalu dengan terhuyung-huyung ia mundur menjauhinya.
Tapi kesempatan itu tak disia-siakan oleh lawannya. Bajak laut itu segera menarik rantai besi yang membelit pinggangnya lalu menyabetkannya ke punggung Liu Yang Kun sekuat-kuatnya. Walaupun tubuhnya tidak sebesar dan sekuat adiknya Si Gajah Laut Tiong Pan Kang, namun tenaga yang ia keluarkan ternyata sungguh mengejutkan!
Kalau ayunan rantai Tiong Pan Kang menimbulkan suara gemerincing yang riuh disertai angin menderu-deru, sebaliknya ayunan rantai bajak laut itu tak menimbulkan suara apa-apa selain suara anginnya yang mencicit tajam! Namun akibat dan pengaruhnya terasa lebih berbahaya bagi lawan.
Desir angin tajam yang melanda punggungnya itu cepat menyadarkan pikiran Liu Yang Kun! Bayangan dan keinginan buruk yang tadi hampir menguasai otaknya segera sirna oleh bahaya yang tiba-tiba mengancamnya! Namun sebaliknya seperti seekor binatang buas yang kehilangan mangsanya, tiba-tiba segala kemarahannya meluap dengan hebatnya!
Mata yang biasa bersinar lembut itu tiba-tiba berubah mencorong mengerikan! Dan berbareng dengan itu pula mulutnya berdesis keras seperti ular marah! Kemudian seperti hantu saja mendadak tubuh pemuda itu lenyap! Hilang dari sasaran rantai besi itu! Dan ketika bajak laut itu menjadi kebingungan mencarinya, tiba-tiba dari belakang punggungnya terdengar suara desis yang mendirikan bulu romanya.
Seketika bajak laut itu menjadi gemetar ketakutan! Dalam takutnya bajak laut itu cepat membalikkan tubuh seraya menyabetkan rantainya ke belakang! Namun sekali lagi bajak laut itu membelalakkan matanya. Ayunan rantainya terhenti dengan mendadak, sehingga ujungnya menukik turun menghantam tanah.
"K-k-k-kau...! Si-si-sia... siapa?" desahnya gugup dan ketakutan.
Ternyata Liu Yang Kun yang sedang marah itu telah menghentakkan seluruh kemampuannya dalam ilmu warisan Bit-bo-ong! Matanya yang mencorong itu tampak buas dan berwarna kemerahan, seperti mata iblis di dalam kegelapan! Begitu mencekam dan mengerikan, sehingga mempengaruhi jiwa dan perasaan bajak laut itu! Dan demikian tergoncangnya jiwanya, sehingga melemaskan seluruh otot dan kekuatannya!
Oleh karena itu ketika tangan Liu Yang Kun yang marah itu menyambar dadanya, bajak laut itu sama sekali tak mampu bergerak untuk mengelakkannya. Dia hanya bisa mengeluh panjang ketika pukulan Liu Yang Kun itu mengenai dadanya. Dan selanjutnya tubuhnya terlempar jauh dengan isi dada yang nyaris hancur!
Buuuuuuk! "Aarrrrgghhhh....!" Mata bajak laut itu mendelik. Mulutnya terbuka. Napasnya tersengal-sengal dan sebentar-sebentar menyemburkan darah dari lubang mulut dan hidungnya. Kaki dan tangannya meregang seperti ayam disembelih.
Namun demikian nyawanya belum juga mau meninggalkan raganya. Beberapa kali mata itu berkedap-kedip, seolah-olah amat penasaran, bingung dan tak mengerti, kenapa tiba-tiba dirinya menjadi lemas tak bisa bergerak, seakan-akan tercekam oleh pengaruh sihir yang maha dahsyat?
Sementara itu pemandangan yang sangat mengerikan tersebut ternyata disaksikan pula oleh Ceng Ceng yang sudah siuman dari pingsannya. Dengan tubuh gemetar gadis itu menatap darah yang menyembur-nyembur dari mulut bajak laut itu. Hampir saja gadis itu menjadi pingsan kembali melihat pemandangan yang belum pernah ia saksikan selama hidupnya itu.
Namun gadis itu tetap bertahan jangan sampai pingsan kembali. Ia harus cepat berlalu dari tempat berbahaya itu. Ia harus cepat pulang kembali ke desanya. Tetapi apa yang dilihatnya kemudian, benar-benar sangat menggoncangkan jiwanya, sehingga akhirnya ia tak kuasa bertahan lagi. Ia pingsan untuk yang kedua kalinya. Apa sebenarnya yang menyebabkan gadis itu pingsan kembali?
Ternyata Liu Yang Kun yang telah menjadi marah itu benar-benar seperti orang kemasukan setan atau iblis! Bajak laut yang sudah sekarat tapi belum juga mau mati itu, tiba-tiba ditubruknya, lalu diangkatnya, kemudian dibantingnya lagi, sehingga mengeluarkan suara berderakan seperti tulang yang berpatahan. Tidak cuma itu. Tubuh yang sudah remuk itu masih diinjaknya, kemudian diangkat lagi dan disabetkan ke sebuah pohon besar!
Bruees! Dengan suara gemuruh pohon tersebut tumbang dan patah di tengah-tengahnya, sementara tubuh bajak laut itupun juga hancur lumat pula seperti cacahan daging yang berserpihan kemana-mana! Tak secuilpun bagian tubuhnya yang bisa dikenali lagi.
"Oooouuuggh....?!?" setelah menjadi sadar kembali Liu Yang Kun mengeluh kaget, seperti orang yang tiba-tiba merasa sakit di dalam badannya. Apalagi ketika telah menyadari pula apa yang baru saja ia lakukan terhadap bajak laut itu, seketika Liu Yang Kun menjadi lemas. Sambil menjatuhkan dirinya di atas pohon yang tumbang itu ia duduk merunduk. Kedua beIah tangannya menutupi wajahnya, seolah-olah ia sangat menyesali perbuatannya. Dan dari sela-sela jari itu mengalir air mata kesedihannya.
"Ya, Thian.... kenapa tiba-tiba aku menjadi sedemikian buas dan kejamnya, sehingga aku seakan-akan telah melupakan diriku sendiri? A-apa sebenarnya yang telah terjadi di dalam diriku? Ooooh.... apakah karena... karena ilmu warisan Bit-bo-ong itu?" pemuda itu mengeluh dan berdesah sambil menjambaki rambutnya.
Lalu terlintas di dalam benak Liu Yang Kun kata-kata tulisan tangan Hoa San Lo-jin yang tertulis di setiap halaman terakhir pada buku-buku warisan Bit-bo-ong itu. Orang Tua dari Gunung Hoa-san itu memperingatkan bahwa halaman-halaman terakhir dari buku warisan Bit-bo-ong tersebut benar-benar sangat berbahaya, oleh karena itu telah dirobeknya agar tidak dibaca orang lagi.
Namun dengan ketajaman pikiran dan perasaannya, ternyata Liu Yang Kun mampu mengendalikan dirinya lagi. Tiba-tiba ia seperti orang yang kehilangan kepribadiannya sendiri dan berubah menjadi iblis yang kejam dan buas luar biasa. Kemudian Liu Yang Kun teringat pula akan kata-kata terakhir dari Paman Bungsunya, yaitu ketika menyerahkan buku-buku warisan Bit-bo-ong itu kepadanya.
"Anakku, kembalikanlah buku-buku ini kepada Hong-gi-hiap Souw Thian Hai! Kalau engkau tidak bisa melakukannya, hmm.... lebih baik kau musnahkan saja! Jangan sekali-kali kau miliki atau kau pelajari isinya, karena hal itu benar-benar sangat berbahaya sekali! Ilmu yang tertulis di dalam buku-buku ini tampaknya memang benar-benar diciptakan oleh seorang manusia iblis, sehingga ilmu yang dahsyat itupun seolah-olah mempunyai pengaruh buruk, kotor dan jahat terhadap orang yang mempelajarinya."
Dan buku-buku itu memang dikembalikannya kepada Honggi-hiap Souw Thian Hai. Tapi dalam perjalanan hidupnya, buku itu ternyata jatuh kembali kepadanya. Dan semua itu benar-benar tak disengajanya. Semuanya seperti telah diatur oleh Thian.
"Oooh... apakah aku ini memang telah ditakdirkan untuk menjadi orang jahat...? Mengapa semua keburukan, kejelekan dan kesengsaraan seolah-olah ditumpukkan Thian di tubuhku? Dan mengapa pula selama ini aku seperti tak mampu mengelak maupun menghindarkannya?" Liu Yang Kun mengeluh dan mengutuki dirinya sendiri.
"Tuan....?" tiba-tiba terdengar suara perlahan, namun benar-benar amat mengejutkan pemuda itu.
"Apaaa....?"Liu Yang Kun berdesah dan bangkit dengan tergesa. Di hadapannya telah berdiri Ceng Ceng, gadis yang telah ditolongnya itu.
Kini gadis itu telah menutupi kembali badannya dengan pakaiannya yang terlepas tadi, meskipun sudah sobek-sobek. Gadis itu menundukkan kepalanya kembali. Kata-kata yang hendak keluar dari mulutnya tiba-tiba tertelan lagi. Sebaliknya dengan sibuk tangannya merapihkan pakaiannya yang sudah bolong dan sobek itu. Wajahnya berubah menjadi merah kemalu-maluan.
Karena gadis itu menundukkan wajahnya, maka Liu Yang Kun menjadi lebih berani. Namun demikian melihat sikap Ceng Ceng yang gemetar dan kemalu-maluan itu hatinya menjadi berdebar debar pula. Otomatis pemuda itu teringat lagi akan sikap Ceng Ceng di rumah Kam Lo-jin tadi siang.
"Ah.... jangan-jangan dia telah jatuh hati kepadaku. Hmm... bisa repot aku nanti," keluhnya di dalam hati. Tapi Liu Yang Kun segera menghapuskan bayangan itu. Ia harus cepat-cepat bertindak sebelum terlanjur. Oleh karena itu dengan menguatkan hatinya ia menyapa lebih dahulu.
"Nona Ceng Ceng...? Kau sudah siuman kembali? Hmm, kalau... kalau begitu marilah kau kuantar pulang kerumah kakekmu lagi!" ucapnya singkat agar ia tak menjadi gemetar pula menghadapi gadis manis itu.
Namun gadis itu cepat mengangkat wajahnya. Matanya yang bening itu menatap Liu Yang Kun dengan tajamnya. Ada sesuatu yang aneh di dalam sinar mata itu. Sesuatu yang membikin Liu Yang Kun menjadi berdebar-debar, panas dingin dan serba salah. Apalagi ketika bibir yang tipis itu tampak terbuka dan bergetar seakan-akan hendak memohon sesuatu kepadanya, Liu Yang Kun semakin bingung dan salah tingkah.
"Saya... saya tak mau kembali!" mendadak bibir itu menjawab. Jawaban yang benar-benar sangat mengejutkan Liu Yang Kun.
"A-apa....? Nona.... nona tak mau kembali? Mengapa?" pemuda itu berseru saking herannya. Lenyaplah semua kerisauan dan kebingungannya tadi. Matanya melotot ke arah Ceng Ceng.
Tiba-tiba gadis itu menjadi murung dan ketakutan. Wajahnya tertunduk kembali. Tapi mulutnya terkatup rapat tak menjawab.
"Me-mengapa nona tak mau kembaIi?" Liu Yang Kun berseru pula.
Mendadak gadis itu menutupi wajahnya dan menangis terisak-isak. "A-apaa guna.... gunanya saya kembali! Hkk....! Saya telah dilarikan oleh penjahat selama setengah hari. Apa kata orang kampungku nanti? Apakah mereka masih bisa menerimaku kembali? Bagaimana tanggapan tunanganku nanti? Hk... hkk! Oh, semuanya tentu akan mencemoohkan aku. Apalagi kalau mereka melihat pakaianku ini...."
Liu Yang Kun menghela napas. Diam-diam dia membenarkan juga ucapan gadis itu. Orang desa memang masih terlalu kolot dan menjunjung tinggi kesucian dan martabat mereka. "Ah... bukankah kita bisa memberi keterangan kepada mereka? Dan tentang pakaian itu, hmm... nona bisa mencari ganti sebelum menemui mereka nanti." pemuda itu mencoba memberi saran.
"Tidak bisa! Kampungku masih sangat kuat menjaga martabat dan adat istiadat! Mungkin mereka masih merasa kasihan dan memaafkan aku, tapi di dalam hati mereka tetap akan memandang rendah kepadaku.... hkk... kk!"
"Huh, gila! Sungguh gila kalau mereka masih berpandangan seperti itu." Liu Yang Kun tiba-tiba berseru marah.
Ceng Ceng menangis semakin keras. Selain menangisi nasibnya sendiri gadis itu juga menjadi ketakutan melihat kemarahan Liu Yang Kun. Walaupun sangat kagum dan tertarik kepada pemuda itu, tapi gadis itu juga tak lupa pada kebuasan dan keganasan Liu Yang Kun ketika membunuh penculiknya tadi.
Tiba-tiba Ceng Ceng bangkit berdiri. Sambil membetulkan pakaian dan mengusap air matanya gadis itu memohon diri. "Maaf, Tuan! Biarlah aku pergi saja agar tidak menyusahkanmu. Terima kasih atas pertolonganmu...." katanya serak, lalu memberi hormat dan melangkah pergi.
"Hei! Heii....! Nona hendak pergi kemana?" Liu Yang Kun berteriak kaget.
"Entahlah...! Aku hanya ingin pergi. Entah kemana... Pokoknya... jauh dari tuan...." gadis itu menjawab di antara isaknya, dan sama sekali tak menoleh ataupun berhenti melangkah.
Liu Yang Kun lah yang kini menjadi bingung dan serba salah. Mau menyusul ia takut urusan di antara mereka akan semakin bertambah runyam tapi kalau tidak menyusul ia mengkhawatirkan keselamatan gadis itu. Bagaimana gadis itu akan mencari jalannya di dalam kegelapan malam di hutan yang lebat ini?
"Nona....?" Liu Yang Kun berdesah memanggil, tapi keraguan dan keenggannya memaksanya tak bergerak dari tempatnya.
"Aaaaiiiiih...!" Mendadak terdengar suara jeritan Ceng Ceng. Gadis itu terperosok ke dalam jurang.
Liu Yang Kun melesat bagai terbang cepatnya. Begitu melihat Ceng Ceng terguling-guling di lereng jurang, pemuda itu lalu terjun memburunya. Kemudian bagaikan elang menyambar ia menangkap gadis itu. Dan keduanya segera tersangkut di atas pohon besar yang tumbuh di lereng tersebut....