Memburu Iblis Jilid 18 karya Sriwidjono - Sambil menarik napas lega Liu Yang Kun lalu meletakkan gadis itu di tanah yang agak datar. "Ah.... dia pingsan lagi!" gumamnya perlahan. Lalu dicobanya untuk menyadarkannya.
Namun sekali lagi hatinya terkesiap melihat keadaan pakaian Ceng Ceng yang tidak karuan macamnya itu. Karena terguling dan tersangkut beberapa kali di bebatuan dan semak-semak, maka pakaian itu hampir-hampir tak berbentuk lagi. Dan biar pun kulit gadis itu banyak yang lecet dan berdarah, namun benar-benar tidak mengurangi daya tariknya. Bahkan bagi Liu Yang Kun hal itu semakin kelihatan merangsang malah.
"Gila! Kalau terus menerus berdekatan dengan gadis ini, aku benar-benar bisa gila nanti! Huh....! Dan pikiranku tampaknya juga semakin kotor dan jahat pula. Selain merasa kasihan aku juga merasa tertarik dan terangsang melihat darah pada kulit wanita... Ah!"
Liu Yang Kun lalu mengurungkan maksudnya untuk mengobati dan menyadarkan Ceng Ceng. Sebaliknya pemuda itu lalu duduk bersemadi, mengumpulkan seluruh kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh buruk itu. Pengaruh buruk yang sejak lama telah bercokol di dalam dirinya, dan kini tampaknya semakin parah dan menjadi-jadi setelah ia mempelajari ilmu warisan Bit-bo-ong yang dirahasiakan itu.
Sambil mengerahkan seluruh kekuatan batinnya, pemuda itu berdoa semoga ia bisa tetap menguasai dirinya, sehingga kekuatan buruk itu tidak dapat mengalahkannya. Pemuda itu juga berharap agar penyakit aneh yang sangat berbahaya bagi gadis-gadis korbannya itu tidak muncul pada saat itu. "Aku tak ingin si Iblis Penyebar Maut itu muncul lagi di tempat ini..." gumamnya dengan perasaan prihatin. "Dengan tubuhku yang sangat beracun ini ia akan segera mati bila aku sampai.."
Demikianlah malam merangkak semakin larut dan angin dingin pun bertiup pula semakin kencang. Karena berada di lereng jurang yang cukup dalam dan juga sedang asyik melawan pengaruh kekuatan buruk yang mau mencengkeram dirinya, maka Liu Yang Kun sama sekali tidak mengetahui atau melihat bahwa Kam Lo-jin dan beberapa orang penduduk Kee-cung telah lewat di atas jurang itu dalam usaha mereka melacak kembali kehilangan Ceng Ceng.
Dengan obor di tangan mereka mencari-cari kalau-kalau Ceng Ceng ditinggalkan oleh penculiknya di hutan itu. Mereka juga menemukan bekas api yang tadi dibuat oleh Liu Yang Kun. Tapi mereka justru menyangka bahwa tempat tersebut telah dipergunakan oleh penjahat itu untuk mencelakai Ceng Ceng. Apalagi ketika mereka menemukan bekas-bekas sobekan pakaian Ceng Ceng, mereka semakin yakin kalau gadis itu benar-benar telah disiksa oleh penculiknya.
Namun karena mereka tidak menemukan siapapun di tempat tersebut, maka mereka menduga bahwa Ceng Ceng masih dibawa pergi oleh penjahat itu. Oleh karena itu mereka lalu meneruskan pencarian mereka di kota An-lei.
Sungguh sayang, tak seorangpun antara penduduk dusun Kee-cung yang mencoba melongok ke jurang. Andai kata mereka itu mau melongok, dan bisa melihat apa yang terjadi di lereng jurang tersebut, maka kemungkinan besar nasib Ceng Ceng benar-benar dapat mereka selamatkan, atau setidak-tidaknya mereka bisa menolong Liu Yang Kun dalam menghadapi 'penyakit anehnya'.
Namun sungguh sayang bahwa tak seorangpun yang melakukannya, sehingga tak seorang pun pula yang dapat mencegah pengaruh iblis yang pada saat ia sedang menggempur sisa-sisa pertahanan Liu Yang Kun. Entah karena suasana lereng jurang yang sunyi dan romantis itu yang menyebabkannya, atau karena suasana malam yang gelap dan dingin itu yang menyebabkannya, tapi yang jelas sedikit demi sedikit pertahanan terakhir Liu Yang Kun telah bobol.
Usaha pemuda itu untuk melawan dan mencegah amukan iblis yang bercokol di dalam tubuhnya tak berhasil. Sejalan dengan tumbuhnya kekuatan iblis yang semakin mencengkeram batinnya, maka terlepas pulalah kesadarannya. Mata yang perlahan-lahan menjadi beringas itu tiba-tiba menoleh ke arah Ceng Ceng.
Dan secara kebetulan pula hembusan angin yang agak kencang menyingkapkan pakaian Ceng Ceng yang nyaris hancur itu. Wajah itu mendadak menjadi merah bagai terbakar api, sementara mata yang melotot itu seakan-akan juga mengeluarkan api pula. Dan sekejap saja kesan sebagai seorang pemuda baik-baik telah lenyap dari wajah Liu Yang Kun. Pemuda itu kini tampak kejam, buas dan mengerikan! Wajahnya persis ketika membunuh bajak laut tadi.
Begitulah, ketika Ceng Ceng siuman dari pingsannya, dan mendapati dirinya dalam pelukan pemuda yang dicintainya, hampir-hampir ia tak percaya. Tapi ketika kenyataan tersebut memang benar-benar ia alami, maka ia menjadi gembira bukan main. Dia lalu membalas pelukan itu dengan tidak kalah hangatnya. Hatinya sungguh menjadi berbahagia sekali sehingga ia membiarkan saja semua perlakuan Liu Yang Kun terhadapnya.
Bahkan ia melayaninya dengan penuh gairah pula. Sama sekali ia telah lupa atau tidak merasakan bahwa badannya penuh luka-luka goresan akibat terjerumusnya dia ke dalam jurang tadi. Yang ada di dalam hati sekarang Cuma rasa bahagia. Bahagia yang tiada taranya.
Demikianlah, malam itu iblis benar-benar berpesta-pora di lereng jurang itu. Apalagi dengan keadaan Liu Yang Kun yang telah berhari-hari berpisah dengan isterinya itu, maka pesta pora tersebut benar-benar menjadi sangat ganas dan hebat luar biasa.
Demikian dahsyatnya pengaruh iblis itu berkecamuk di dalam dada mereka masing-masing, sehingga pesta itu baru selesai menjelang pagi. Keduanya tergolek di tanah dan kemudian tertidur karena kelelahan. Begitu nyenyak tidur Liu Yang Kun sehingga ia baru terbangun kembali ketika matahari telah menyorot mukanya.
Begitu membuka mata pemuda itu cepat melompat bangun. Dengan wajah cemas karena sadar apa yang telah ia lakukan terhadap Ceng Ceng, ia mengawasi gadis yang masih tergolek disampingnya itu.
"Oooh... iblis... iblis itu telah menang lagi! Aku,... aku telah memperkosa gadis ini. Oughh dia... dia tentu telah mati keracunan pula! Ah... tampaknya... tampaknya Si Iblis Penyebar Maut itu sudah mulai akan timbul dan merajalela di dunia kang-ouw lagi setelah... setelah terpendam selama setahun lebih... ooh! Dan.... dan gadis ini adalah korbanku yang pertama! Oooh, Thian... ambil sajalah nyawaku, agar tidak semakin rusak dunia ini oleh ulahku!" pemuda itu merintih, kemudian menjatuhkan diri menelungkup di samping Ceng Ceng. Air matanya deras mengalir membasahi tanah di bawahnya.
"Tuan....?"
Liu Yang Kun tersentak kaget bukan alang-kepalang! Begitu kagetnya pemuda itu sehingga tubuhnya meloncat bangun tanpa terasa. Sambil sebentar-sebentar mengusap-usap matanya, pemuda itu menatap wajah Ceng Ceng seolah tak percaya.
"Nona...? Kau... kau tidak mati keracunan?" desahnya gagap seperti orang bingung.
Tentu saja Liu Yang Kun menjadi kaget dan bingung. Baru sekali ini, selain Tui Lan, ada wanita yang tidak mati oleh daya racun di tubuhnya. Apakah Ceng Ceng juga memiliki darah bening atau mustika penangkal racun seperti halnya isterinya itu?
Sebaliknya, Ceng Ceng sendiri juga menjadi kaget pula melihat sikap Liu Yang Kun yang tiba-tiba seperti orang keheranan itu. Apalagi ketika pemuda itu mengucapkan kata-kata yang tidak dimengertinya.
"Keracunan....? Mengapa aku harus mati keracunan? Apakah..., apakah tempat ini mengandung racun? Ohh, Tuan... Mengapakah engkau ini? Apakah engkau sakit? Eh.... eh, malam tadi kau tampak bersemangat sekali. Lalu bangun tidur tadi kau menangis sedih dan kelihatan amat menderita serta tersiksa batinmu. Kini melihat aku bangun tidur kau tampak kaget sekali. Dan kau pun tiba-tiba berbicara hal-hal yang aneh pula. Ehmm, tuan.... mengapa kau ini sebenarnya?"
Sekejap Liu Yang Kun menjadi gugup juga menerima pertanyaan itu. Tak mungkin kiranya ia menjawabnya. Sebab hal itu berarti ia harus menceritakan keadaan dirinya. Rahasia hidupnya. Rahasia Si Iblis Penyebar Maut yang mengerikan dan menggemparkan itu. Padahal ia tak ingin orang lain tahu tentang hal itu. la ingin melawannya sendiri. Menundukkannya sendiri. Atau kalau bisa, melenyapkan sendiri Si Iblis Penyebar Maut itu dari dalam dirinya.
Sampai sekarang ia memang belum mampu mengalahkan iblis itu. Tapi ia yakin tentu bisa, sebab ia telah merasakan tanda-tandanya. Dahulu, apabila 'penyakit' itu datang, ia sama sekali tak bisa berbuat apa-apa. Tapi sekarang, bila 'penyakit‘ tersebut menyerang dirinya, ia sudah mampu berontak dan melawan untuk beberapa waktu lamanya.
Bahkan kadang-kadang ia merasa seperti akan berhasil mengatasinya, lagi sekarang sudah ada dua wanita yang tidak mati oleh racunnya, yaitu Tui Lan dan Ceng Ceng. Apapun yang menyebabkan kedua wanita itu menjadi kebal terhadap racunnya, tapi hal itulah membuatnya berbesar hati. Harapannya untuk sembuh semakin bertambah besar pula.
"Tuan.....?" Ceng Ceng berdesah dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu lalu menyentuh lengan Liu Yang Kun. Wajahnya yang pucat menampakkan perasaan khawatir yang sangat. Khawatir akan keadaan Liu Yang Kun yang ia rasakan sangat aneh itu. Dan otomatis ia juga mengkhawatirkan keadaan dirinya sendiri. Jangan-jangan sikap pemuda itu disebabkan oleh peristiwa semalam. Jangan-jangan pemuda yang sangat menarik hatinya itu menyesal akan kejadian tersebut. Tiba-tiba Ceng Ceng menangis. Gadis yang sudah terlanjur menyukai Liu Yang Kun itu mendadak menyesali diri sendiri.
Menyesali nasibnya. Kenapa ia tidak bertemu dengan pemuda tampan ini jauh-jauh sebelumnya? Kenapa ia telah bertunangan dengan Cong Tai, pemuda desa berkulit hitam itu? Dan kenapa dulu ia juga bisa tertarik dan tergila-gila kepada pemuda desa yang buruk rupa itu? Dan yang tidak bisa dimengertinya pula, kenapa sebelum bertunangan ia juga rela menyerahkan kehormatannya kepada pemuda desa berkulit hitam itu?
"Oooh....." gadis itu terisak-isak menyesali nasibnya. "Apakah...., apakah dia menyesal karena aku sudah tidak suci lagi?"
Tangis Ceng Ceng itu segera menyadarkan Liu Yang Kun dari lamunannya. Seperti halnya Ceng Ceng, pemuda ini pun menjadi salah tafsir pula melihat tangis tersebut. Pemuda itu menyangka kalau Ceng Ceng menangis karena peristiwa memalukan semalam.
"Maafkanlah aku, nona....! Aku tidak bermaksud mendiamkanmu. Dan aku juga tidak bermaksud membuatmu bingung dengan ulah tingkahku tadi. A-aku.... tadi memang menangis, karena kukira engkau.... engkau telah mati. Mati keracunan. Habis, tanpa sebab apa-apa engkau tidak mau bangun-bangun. Apalagi kalau tidak karena racun? Siapa tahu disini ada racun? Lihatlah, tempat ini sangat menyeramkan....!" pemuda itu mencoba memberi keterangan tentang sikapnya tadi. Keterangan yang amat singkat, sekedar untuk memuaskan hati Ceng Ceng.
"Lalu.... lalu kenapa setelah melihatku segar bugar engkau masih saja termenung dan kelihatan sedih? Apakah…. apakah...?"
"Maafkanlah aku, nona Ceng Ceng. Aku sungguh sangat berdosa kepadamu. Perbuatanku semalam benar-benar terkutuk dan sangat keterlaluan. Tidak seharusnya aku berbuat demikian kepadamu. Engkau telah bertunangan dan aku sendiri juga...."
Ceng Ceng cepat menutup bibir Liu Yang Kun dengan telapak tangannya. Sambil tersenyum manis gadis itu bernapas lega, karena pemuda itu bukan menyesali keadaannya yang sudah tidak suci lagi itu. "Sudahlah, tuan....! Kau tak perlu menyesalkan peristiwa itu karena akupun..... tak menyalahkan perbuatanmu pula. Kita sama-sama menikmatinya. Yang penting bagi kita sekarang adalah bagaimana menyelesaikan urusan kita ini sebaik-baiknya." katanya renyah, tapi wajahnya segera tertunduk dengan maIu-malu.
Tapi ucapan gadis itu benar-benar menyibukkan hati Liu Yang Kun. "Menyelesaikan urusan kita dengan sebaik-baiknya? Apa maksud nona?" sergahnya dengan suara gemetar.
Wajah yang manis itu tiba-tiba menjadi muram. Dengan sorot mata cemas gadis itu menatap Liu Yang Kun. Mulutnya sudah siap untuk menangis kembali. "Mengapa.... eh, mengapa Tuan masih bertanya pula? Tentu saja.... tentu saja tentang urusan kita setelah kejadian malam tadi. Ooooh.... apakah.... apakah tuan tidak bersungguh-sungguh denganku?"
Liu Yang Kun terhenyak. Itu yang ditakutkan. Gadis itu meminta tanggung-jawabnya sebagai akibat pergaulan mereka tadi malam. Padahal sama sekali tidak mencintai gadis itu. Apalagi ia sudah beristeri. Meski pun sekarang ia tidak tahu, apakah Tui Lan itu masih hidup atau sudah mati.
"Bukankah..... bukankah nona sudah mempunyai tunangan?" Liu Yang Kun mencoba menolaknya dengan hati-hati.
"Ah! Aku dengan Cong Tai belum resmi bertunangan. Kami berdua baru dijodohkan oleh orang tua kami masing-masing," Ceng Ceng menukas dengan cepat.
"Ya… ya, meskipun demikian nona tidak boleh meninggalkannya begitu saja. Kalian berdua sudah lama saling mengenal. Orang tua pun juga sudah saling setuju. Begitu pula dengan orang-orang kampung. Mereka telah merestui dan mengetahui jalinan kasih sayang kalian berdua. Apalagi yang harus dipikirkan....? Mengapa hubungan yang sudah sedemikian baiknya itu harus diputuskan atau diurungkan oleh orang asing yang baru beberapa jam lewat dikenal nona? Bukankah nona belum tahu, orang macam apakah aku ini? Jangankan hal-hal yang lain, sedangkan namaku pun nona juga belum tahu, bukan? Bagaimana kalau aku ini juga seorang penjahat seperti halnya orang yang menculik kemarin?" sekali lagi Liu Yang Kun mencoba berdalih.
Seketika Ceng Ceng tak bisa menjawab. Apa yang diucapkan oleh Liu Yang Kun itu memang benar sekali. Jangankan yang lain, nama pemuda itu pun ia tidak tahu. Tapi entah mengapa, hatinya sudah terlanjur bertekuk lutut pada pandangan pertama terhadap pemuda itu. Dan sejak semula ia memang telah memikirkan akibatnya. Itulah sebabnya ia membiarkan pemuda itu menggagahinya semalam.
"Tapi... tapi.... bukankah aku belum resmi menikah dengan tunanganku. Aku..... aku masih bebas. Aku masih dapat memutuskan ikatan pertunangan itu,‖ Ceng Ceng membantah namun suaranya sudah mulai tersendat-sendat karena hatinya juga sudah mulai ragu pula akan niat baik Liu Yang Kun.
Liu Yang Kun sendiri terpaksa menarik napas panjang menghadapi kekerasan hati gadis itu. Sesungguhnyalah, dalam hati pemuda itu merasa sangat berdosa dan bersalah kepada Ceng Ceng. Keputusan yang terbaik dalam peristiwa ini memang hanya mengawini gadis itu. Ia pun menyadari hal itu. Tapi bagaimana ia bisa mengawini gadis yang tidak dicintainya? Gadis yang baru dikenalnya dari satu hari itu?
Masakan hanya karena 'kecelakaan‘ yang memang benar-benar tak bisa ia hindari itu ia harus mengorbankan seluruh kehidupannya di kemudian hari? Akan tetapi bagaimana ia harus menerangkan hal itu kepada Ceng Ceng?
Namun belum juga mulutnya terbuka untuk memberi jawaban, gadis itu sudah lebih dahulu menangis. Ternyata melihat keraguan Liu Yang Kun, gadis itu semakin bertambah yakin akan maksud dan kehendak pemuda yang dicintainya itu. Tampaknya Liu Yang Kun merasa berat untuk mengawininya. "Uh-huuu.... uh-huuu....." Ceng Ceng terisak-isak semakin keras.
Tentu saja Liu Yang Kun menjadi kelabakan malah. Maksudnya untuk memberi keterangan secara halus dan hati-hati menjadi gagal. Dalam keadaan demikian gadis itu takkan bisa menangkap dan mencerna semua pertimbangannya. Dan jalan yang terbaik hanyalah berterus terang. Oleh karena itu dengan hati berat Liu Yang Kun terpaksa menempuh jalan yang sedikit menyakitkan itu. Ia mengutarakan semua isi hatinya kepada Ceng Ceng."Nona. Terus terang aku mengaku bersalah dan berdosa besar kepadamu. Dan untuk semua itu aku bersedia menerima hukumanmu. Kau boleh melakukan apa saja kepadaku. Bahkan aku bersedia menyerahkan nyawaku bila kau ingin membunuhku. Tapi.... kalau disuruh mengawinimu, ehm.... maaf, aku tidak bersedia. Selain aku tidak mencintaimu, aku.... akupun juga telah beristeri pula. Dan.... dan isteriku itu malah sedang hamil tua sekarang."
"Ooough-hhuuu.... huu!" Ceng Ceng tersentak kaget dan menangis semakin keras.
"Maaf, nona Ceng Ceng.... Selain aku juga tak ingin melukai tunanganmu, kakekmu dan orang-orang Kee-cung semua. Aku bukanlah pemuda baik-baik seperti yang kau kira..."
"Tapi..... tapi mengapa tuan memperkosa aku tadi malam? Uh-huu...."
"Itulah kesalahanku! Aku tak tahan melihat keadaan nona. Nah! Terserah kepada nona! Aku siap menerima hukuman apa saja darimu...." Liu Yang Kun menundukkan kepalanya. Tak sampai hatinya melihat kesedihan Ceng Ceng. Tapi apa boleh buat, ia juga tak ingin melawan hati nuraninya sendiri. Dan untuk itu ia sanggup menerima hukumannya. Ia takkan melawan seandainya gadis itu ingin membunuh atau mencabut nyawanya.
Demikianlah, Liu Yang Kun lalu berdiri di atas lututnya di depan Ceng Ceng. Kepalanya tertunduk dalam-dalam, seperti seorang pesakitan yang sedang menantikan hukumannya. Namun sudah sedemikian lama ia menanti, hukuman tersebut ternyata tidak kunjung tiba juga. Gadis itu masih saja berdiam diri di tempatnya. Hanya isaknya saja yang semakin lama semakin jarang terdengar.
Meskipun demikian Liu Yang Kun tetap menepati janjinya. Sama sekali ia tak beranjak dari tempatnya. Pemuda ini benar-benar rela menebus dosanya, walaupun ia harus mati karenanya.
"Tidaaak! Tidak! Aku tidak mau menghukummu....!" tiba-tiba Ceng Ceng bangkit dan berteriak, kemudian merambat naik ke atas jurang dengan tergesa-gesa.
"Nonaaa....?" Liu Yang Kun tersentak kaget, tapi sama sekali tak beranjak dari tempatnya. Entah mengapa ia seperti terbengong dan tak kuasa menggerakkan kakinya untuk mengejar. Baru setelah gadis itu mencapai di atas bibir jurang, Liu Yang Kun bangkit untuk mengejarnya. Sekali mengerahkan Bu-eng Hwe-tengnya, tubuhnya segera melesat ke atas bagai burung terbang dari sarangnya. Sekejap saja dia telah berada di samping Ceng Ceng.
Namun bersamaan dengan waktu itu pula, dari arah utara terdengar langkah dan percakapan orang ke tempat itu. Ceng Ceng dan Liu Yang Kun sama-sama kagetnya. Sehingga untuk sesaat keduanya juga sama-sama melupakan urusan mereka. Seketika Ceng Ceng menghentikan tangisnya, sedangkan Liu Yang Kun juga menunda niatnya untuk membujuk gadis itu.
Glodag ... glodag... glodak! Terdengar pula suara pedati di antara percakapan orang itu. Dan tidak lama kemudian muncullah sebuah pedati kecil disurung orang, dimana di dalamnya tergolek seorang lelaki berkulit hitam, yang kelihatannya sedang menderita luka-luka.
Di belakang pedati itu mengiringkan belasan orang lelaki pula, yang beberapa orang di antaranya juga dibalut dengan kain akibat luka-lukanya, hanya beberapa orang saja yang tampak sehat tak kurang suatu apa. Dan di antara mereka itu adalah seorang kakek tua berpakaian sederhana, namun kelihatan gesit dan tangkas sekali.
"Kam Lo-jin....?" tak terasa bibir Liu Yang Kun memanggil nama orang tua tersebut.
"Pangeran.... eh, anu.... Liu Siau-heng? Kaukah itu? Heii...? Ceng Ceng....? Kau juga?" kakek tua itu tersentak kaget apalagi ketika melihat Ceng Ceng yang nyaris telanjang itu. Dengan cepat kakek itu membuka jubahnya dan menyelimutkannya di badan Ceng Ceng.
"Hei, Ceng Ceng? Wah, kau selamat?" yang lain ikut menyapa.
"Ceng Ceng! Kami semua ini mencarimu! Lihat, Cong Tai terluka!"
Orang-orang itu segera mengelilingi Ceng Ceng. Mereka kelihatan gembira bukan main. Tapi sebaliknya Ceng Ceng sendiri masih tampak bengong dan gugup. Gadis itu sama sekali tak tahu apa yang harus ia lakukan. Liu Yang Kun lah yang kemudian maju untuk memberi keterangan.
"Cu-wi....! Secara kebetulan aku berjumpa dengan bajak laut yang menculik nona Ceng Ceng. Dan sungguh beruntung pula aku bisa membunuh penjahat itu dan membebaskan nona Ceng Ceng."
Belasan orang penduduk Kee-cung itu mengangguk-angguk kepala mereka. Mereka yang semula kurang senang kepada Liu Yang Kun itu tampak sangat bersyukur dan berterima kasih kepada pemuda itu. Kecuali Kam Lo-jin. Meskipun orang tua itu juga ikut bergembira dengan keadaan Ceng Ceng itu, namun beberapa kali matanya menatap wajah Liu Yang Kun dengan curiga.
Tampaknya orang tua yang arif itu mencium sesuatu hal tidak beres atau kurang wajar antara Ceng Ceng dan Liu Yang Kun. Tapi karena orang tua itu tidak bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka, maka ia pun tetap berdiam diri pula. Apalagi Ceng Ceng sendiri juga tak berkata apa-apa.
"Terima kasih, Siau-heng. Kami sungguh bergembira sekali kau dapat menyelamatkan Ceng Ceng. Lihatlah, kepergian kami sampai di sini inipun juga mau mencari Ceng Ceng," akhirnya orang tua itu menjawab perkataan Liu Yang Kun.
"Benar, tuan. Bahkan kami sudah sampai di kota An-lei tadi malam. Di sana kami malah berjumpa lagi dengan kawanan penjahat.... eh, bajak laut yang menculik Ceng Ceng itu. Kemudian karena tidak dapat menguasai hatinya, Cong Tai berkelahi dengan mereka. Cong Tai kalah, sehingga kami terpaksa membantunya. Dan selanjutnya dapat tuan lihat sendiri, banyak di antara kami yang terluka, terutama Cong Tai. Itu pun karena jasa Kam Lo-jin. Coba tidak ada dia, kami semua yang tidak bisa silat ini tentu akan dibantai habis oleh penjahat itu." Kepala Desa Kee-cung yang juga ikut dalam rombongan itu menambahkan.
"Ah.... aku pun hampir dibunuh pula oleh mereka." Kam Lo-jin merendah!
Tentu saja Liu Yang Kun tersenyum mendengar ucapan orang tua itu. Masakan Kam Song Ki, guru dari Keh-sim Siau-hiap itu, hampir dibunuh oleh bajak laut rendahan semacam anak buah Tung-hai tiauw itu? Jangankan hanya belasan orang bajak laut itu yang datang, meski Tung-hai-tiauw sendiri yang memimpin seluruh anak buahnya, belum tentu mereka bisa menangkap orang tua itu, apalagi membunuhnya.
Sementara itu seperti orang bingung Ceng Ceng yang menjadi pusat perhatian mereka justru hanya diam saja di tempatnya. Seperti orang yang telah kehilangan akal gadis itu hanya terlongong-longong diam seperti patung. Matanya menatap pedati yang berisi tubuh tunangannya itu.
Gadis itu baru sadar ketika kakeknya menepuk pundaknya. "Ceng Ceng! Lihatlah Cong Tai itu! Dia terluka parah karena mencarimu. Kenapa kau diam saja?"
"A-a-apa....?" Ceng Ceng tiba-tiba berseru. Matanya terbelalak. "Cong Tai terluka parah karena ingin menyelamatkanku?" sambungnya. Dan secara tiba-tiba pula gadis itu merasa sangat bodoh dan berdosa sekali. Kenapa ia yang selama ini telah menyanding intan permata, masih juga mencari-cari intan permata itu di tempat lain?
"Cong Taiii....!?" Ceng Ceng memekik, lalu berlari ke pedati. Dipeluknya kepala tunangannya itu dengan deraian air matanya. Wajah yang pucat pasi itu membuka matanya. Dan mata itu segera bersinar lega begitu melihat siapa yang sedang memeluk dirinya.
"Ceng Ceng....? K-kau.... kau tidak apa-apa? Oh, syukurlah....." pemuda berkulit hitam itu berbisik sambil menyeringai kesakitan.
"Ouuuh, Cong Taiiiiiii....! Maafkanlah aku!" Ceng Ceng menjerit lalu menangis seperti anak kecil di dada tunangannya.
Semuanya menghela napas terharu. Demikian pula dengan Liu Yang Kun. Selain merasa lega, pemuda itu juga merasa semakin berdosa pula terhadap sepasang merpati itu. Hatinya menjadi malu. Oleh karena itu diam-diam ia melangkah pergi meninggalkan tempat tersebut.
Demikianlah, Liu Yang Kun lalu meneruskan perjalanannya ke kota An lei. Dan dia tetap mengambil jalan di sepanjang sungai itu. Selain pemandangannya indah, di sepanjang sungai itu juga banyak perkampungan penduduk, sehingga sewaktu-waktu ia lapar atau ingin beristirahat, dengan mudah ia mendapatkannya.
Menjelang tengah hari pemuda itu sampai di sebuah desa yang agak besar. Mungkin lebih besar dari pada Kee-cung. Dan seperti halnya di desa Kee-cung, rumah-rumah penduduk di desa itu pun menggerombol pula di tepian sungai. Tapi berbeda dengan penduduk desa Kee-cung yang rata-rata bertani, penduduk desa itu banyak yang lebih menyukai sebagai nelayan. Maka tak mengherankan kalau di pinggir sungainya banyak terdapat perahu kecil atau sampan untuk mencari ikan.
"Ah, andaikata aku bisa menyewa atau menumpang perahu itu ke An-lei..." pemuda itu bergumam dengan hati kecewa, sebab ia tahu bahwa ia tak mungkin bisa melaksanakannya. Selain di kantongnya tidak ada uang, perahu-perahu kecil itu tidak akan pernah dibawa oleh pemiliknya sampai di An-lei. Kota itu sangat jauh, dan di beberapa tempat terdapat pusaran-pusaran air yang sangat berbahaya.
Begitulah, sambil menarik napas panjang Liu Yang Kun melangkahkan kakinya memasuki dusun itu. Dan jalan yang membujur di sepanjang sungai itu kelihatan ramai sekali. Beberapa orang nelayan yang baru saja menambatkan perahunya tampak berlalu-lalang di jalan itu. Sementara wanita dan anak-anak juga kelihatan sibuk pula di antara mereka. Ada yang membawa hasil tangkapan ikan suami atau ayah mereka. Ada pula yang menjinjing bakul makanan untuk makan siang suami atau ayah mereka itu. Dan ada pula yang hanya berhilir-mudik menawar ikan atau membawa barang dagangan mereka.
"Mayat....! Mayaaaaaatt...! Ada mayat terapung di sungaiiiiii...!" tiba-tiba seorang nelayan yang baru saja datang dari sungai berteriak sambil berlari-lari. Wajahnya pucat, napasnya tersengal-sengal. Seketika tempat itu menjadi gempar luar biasa. Semua orang, lelaki maupun wanita, segera berlarian ke tepi sungai.
"Mayat...? Mayat siapa?"
"Wanita atau lelaki?"
Mereka berlari sambil bertanya-tanya, tapi tak seorangpun yang menjawab, karena yang lain juga tidak tahu pula. Mereka segera berdiri berdesakan di tepi sungai itu. Empat orang nelayan cepat melepaskan sebuah sampan ke dalam air, lalu mendayungnya ke tengah sungai. Mereka bergegas menuju ke arah mayat yang terapung di tengah-tengah aliran sungai itu.
Namun karena sungai tersebut amat lebar, mungkin lebih dari limapuluh atau enampuluh tombak lebarnya maka mereka berempat terpaksa mendayung sampan itu untuk beberapa waktu lamanya. Dan dengan perasaan tegang para penonton yang berada di tepi sungai itu juga ikut berdebar-debar pula menantikannya.
"Ah, ternyata kedatanganku di dusun ini pun telah disambut pula oleh sesosok mayat yang terapung di atas sungai. Persis seperti di desa Kee-cung kemarin. Hmm... jangan-jangan di sini pun aku akan memperoleh kesulitan pula seperti kemarin." Liu Yang Kun mengeluh.
Meskipun demikian pemuda itu tetap mendekat dan ikut berdesakan pula di antara mereka. Mula-mula orang yang ada di dekatnya memang tidak bereaksi atas kedatangannya. Seluruh perhatian mereka hanya tertuju ke arah kawan mereka yang sedang mendayung perahu di tengah-tengah sungai. Tetapi ketika secara tidak sengaja mereka menoleh dan melihat wajah Liu Yang Kun yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, maka satu-persatu lalu beringsut menjauhinya.
Dusun itu meskipun luas dan besar, tapi terletak di tempat yang terpencil dan jarang didatangi orang luar. Mereka hanya terbiasa melihat wajah-wajah mereka sendiri, dan hampir tak pernah melihat wajah orang lain selain penduduk dusun itu sendiri. Hanya kadang-kadang saja mereka menerima penduduk dari dusun yang lain. Itupun orang orang yang telah mereka kenal pula, seperti halnya penduduk Kee-cung!
Maka tidaklah mengherankan bila kedatangan Liu Yang Kun yang belum pernah mereka lihat sebelumnya itu, membuat mereka agak takut dan curiga. Satu persatu menyingkir dari dekat pemuda itu, sehingga akhirnya Liu Yang Kun terpaksa berdiri sendirian di tempatnya.
"Nah, tampaknya hawa permusuhan sudah tertiup kepadaku..." pemuda itu akhirnya menghela napas panjang. Sambil menundukkan mukanya, Liu Yang Kun lalu melangkah pergi dari tempat itu. Ia tak jadi melihat mayat yang terapung di atas sungai tersebut. Ia tak ingin mendapatkan kesukaran seperti di desa Kee-cung kemarin.
Tapi belum juga sepuluh langkah pemuda itu berjalan, tiba-tiba para penonton yang berdiri di pinggir sungai itu menjerit keras sekali. Beberapa orang segera berlarian ke arah perahu mereka. Otomatis Liu Yang Kun menghentikan langkahnya dan menoleh dengan cepat. Dan pandangannya segera terpaku ke tengah sungai, di mana keempat orang nelayan yang ingin mengambil mayat itu sedang timbul tenggelam dipermainkan arus air. Ternyata perahu mereka telah terbalik.
Sekejap Liu Yang Kun menjadi ragu-ragu. Menolong mereka atau tidak? Dan sementara itu para nelayan lain yang ingin menolong kawan-kawan mereka itu telah mengayuh sampan mereka dengan sekuat tenaga. Namun untuk mencapai tempat kecelakaan itu memang membutuhkan waktu yang lama. Padahal keempat orang nelayan tadi semakin kepayahan dipermainkan arus air.
Sekali lagi Liu Yang Kun menjadi ragu-ragu. Dengan Bu-eng Hwe-tengnya yang ampuh sebenarnya ia mampu menolong mereka dengan cepat. Tapi ia merasa ragu-ragu, apakah maksud baiknya itu akan memperoleh tanggapan yang baik pula dari penduduk desa itu? Jangan-jangan ia malah dituduh sebagai pembunuh dari mayat itu nanti?
Demikianlah, selagi hati pemuda itu masih tercekam oleh keragu-raguannya, maka dari kerumunan penonton yang memadati pinggiran sungai itu tiba-tiba melesat sesosok bayangan ke tengah-tengah sungai. Bayangan itu meluncur di atas permukaan air beralaskan dua potong bambu yang diikatkan di bawah sepatunya. Gerakannya demikian ringan dan tangkasnya, sehingga sepintas lalu seperti seekor capung yang baru bercanda di atas permukaan telaga.
"Aaaaa....!" Hampir semua orang berdesah kagum menyaksikan kesaktian itu. Demikian pula halnya dengan Liu Yang Kun.
Meskipun belum sedahsyat Bu-eng Hwe-tengnya namun ilmu mengentengkan tubuh orang itu benar-benar hebat tiada terkira. Mungkin cuma ada beberapa orang saja di dunia persilatan ini yang memiliki gin-kang setinggi itu. Hampir saja Liu Yang Kun menyangka bahwa orang itu adalah Kam Lo-jin. Tapi begitu melihat perawakannya yang jangkung, pemuda itu segera menghapuskan dugaannya itu.
Kam Lo-jin tidaklah sejangkung dan setinggi bayangan itu. "Heran! Mengapa di daerah yang sepi dan terpencil ini bermunculan jago-jago silat kelas satu?" pemuda itu bergumam di dalam hati.
Bayangan itu cepat mengangkat kembali perahu yang terbalik tadi. Kemudian dengan cepat pula tangannya menyambar para nelayan yang tercebur ke dalam air itu dan meletakkannya di dalam perahu. Pekerjaan yang sulit itu ternyata dia kerjakan dengan gampang dan cepat luar biasa.
Malahan yang terakhir kali ia mencongkel mayat yang terapung tadi dengan ujung bambu yang terikat pada sepatunya. Dan sekejap saja mayat itu telah berada di dalam perahu pula. Kemudian bayangan itu ikut masuk ke dalam perahu, dan selanjutnya membawa perahu tersebut ke pinggir. Beberapa orang nelayan yang tadi bermaksud hendak menolong kawan-kawan mereka segera menyongsong kedatangannya. Mereka mengambil alih perahu tersebut.
Dan kedatangan perahu itu segera disambut oleh penduduk yang memadati pinggiran sungai itu. Sebagian dari mereka segera mengurus kawan-kawan mereka yang mengalami kecelakaan, sementara yang sebagian lagi cepat mengurusi mayat yang terapung di sungai tadi.
"Mayat seorang wanita muda....!" beberapa orang di antara mereka berdesah dengan suara gemetar.
"Tampaknya.... korban kekerasan! Lihat... ia hampir tak mengenakan pakaian sama sekali!" yang lain menyahut.
"Benar. Agaknya seseorang telah menggagahinya dengan paksa. Kemudian membunuhnya dan membuang jasadnya ke dalam sungai...."
"Sungguh kejam dan keji sekali." Demikianlah, semua perhatian hanya tercurah kepada mayat yang diketemukan itu.
Kecuali Liu Yang Kun. Diam-diam pemuda itu mengawasi tokoh sakti yang memiliki ilmu mengentengkan tubuh yang amat luar biasa itu. "Hmm, siapakah dia? Kepandaiannya amat sangat tinggi. Mungkin lebih tinggi dari ketua-ketua persilatan yang kukenal. Tapi mengapa aku belum pernah melihatnya? Sungguh mengherankan sekali. Ada apa sebenarnya di dunia persilatan sekarang ini? Mengapa tiba-tiba bermunculan tokoh-tokoh sakti yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia? Setahun yang lalu aku terjebak di dalam tanah karena ulah Giok bin Tok-ong dan Bu-tek Sin-tong, dua orang tokoh sakti yang mempunyai kesaktian seperti iblis. Dan sekarang.... ah, siapa tahu masih ada lagi tokoh tokoh lain yang muncul pada saat aku terkurung di dalam tanah itu?"
Kalau pemuda itu masih disibukkan oleh berbagai macam pikiran tentang orang yang baru saja memperlihatkan kesaktiannya itu, maka penduduk kampung itu pun masih digemparkan pula oleh berbagai macam dugaan tentang mayat yang mereka ketemukan tersebut.
"Ah, seperti halnya orang-orang Kee-cung kemarin, ternyata kita pun telah menemukan pula mayat yang hanyut disungai ini. Mungkin memang benar juga dugaan orang-orang Kee-cung itu, yang mengatakan bahwa di hulu sungai ini telah berkeliaran seorang jai-hwa-cat keji, yang suka membunuh korbannya setelah berhasil menggagahinya." seorang nelayan muda mengatakan pendapatnya.
"Agaknya memang demikian halnya. Tak kulihat segores luka pun di tubuhnya...." yang lain menyambung.
Mendadak orang yang memiliki ginkang tinggi itu tertawa dingin. Suaranya amat bening dan nyaring, suatu tanda bahwa tenaga dalamnya juga telah mencapai kesempurnaan. Dan sekali lagi kenyataan itu benar-benar mengejutkan hati Liu Yang Kun.
"Ah, tampaknya orang ini benar-benar sulit dijajaki ilmunya..." pemuda itu berdesah di dalam hati.
Sementara itu semua orang yang berkerumun di tempat tersebut terkejut pula mendengar suara itu. Tapi mereka cepat menyadari pula bahwa mereka tadi belum menyatakan terima kasih kepada orang itu. Begitu sibuknya mereka, sehingga mereka menjadi lupa kepada orang yang telah membantu dan menolong kawan-kawan mereka itu.
"Tai-hiap, maafkanlah kami. Kami semua sampai lupa menyatakan rasa terima kasih kami kepada tai-hiap." Salah seorang di antara orang-orang itu mewakili teman-temannya.
Sekali lagi orang itu tertawa dingin. Dan diam-diam Liu Yang Kun memperhatikan wajahnya. Sungguh sulit menentukan umurnya. Mukanya masih tampak segar seperti halnya anak muda belasan tahun. Namun kalau melihat raut mukanya yang kokoh keras dengan garis-garisnya yang tajam dan kuat, orang tentu menyangka kalau usianya sudah lebih dari limapuluh tahun. Apalagi kalau dilihat rambut alis matanya yang sudah bercampur dengan warna putih itu.
"Hmm.... kukira dugaan kalian tentang jai-hwa-cat tadi memang tidak salah. Aku telah mendengar pula, bahwa akhir-akhir ini Si Iblis Penyebar Maut yang menghilang di Kota Sohciu setahun yang lalu telah muncul kembali di dunia persilatan." orang itu berkata. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Liu Yang Kun!
"Gila! Bagaimana hal itu bisa terjadi! Aku toh baru keluar dari lorong gua di bawah tanah itu. Dan aku belum sempat pergi kemana-mana pula. Huh! Bagaimana dia bisa mengatakan kalau Si Iblis Penyebar Maut telah muncul kembali di dunia persilatan? Apakah orang itu sedang menyindir aku? Ataukah di dunia persilatan memang benar-benar muncul Si Iblis Penyebar Maut yang lain? Kurang ajar!" pemuda itu mengumpat-umpat di dalam hati.
Liu Yang Kun benar-benar menjadi penasaran. Meskipun demikian pemuda itu juga tidak mengurangi kewaspadaannya. Siapa tahu orang itu memang sudah mengetahui keadaannya dan kini memang sedang menyindir dirinya?
Diam-diam pemuda itu mengerahkan seluruh himpunan tenaga sakti Liong-cu i-kangnya! Urat-uratnya pun tampak menegang! Kalau memang benar dugaannya, maka lawannya kali ini benar-benar lawan yang paling berat yang pernah ia hadapi.
Tapi orang itu tak menunjukkan sikap yang mencurigakan. Sedikitpun tidak menunjukkan tanda-tanda kalau ia sedang menyindir dirinya. Bahkan orang itu seperti tidak tahu kalau sedang ia awasi. Malahan beberapa waktu kemudian terdengar suaranya meminta diri.
"Ah, tampaknya aku terlalu mencurigai orang...." akhirnya Liu Yang Kun menarik napas panjang.
"Tai-hiap, bolehkah kami mengetahui nama besarmu?" masih terdengar suara seorang nelayan menanyakan nama orang berkepandaian sangat tinggi itu.
Orang itu kembali tertawa dingin. "Sebutnya saja aku dengan nama Ki. Tanpa tambahan apa-apa lagi, karena aku memang tidak mempunyai she atau sebutan yang lainnya." jawabnya acuh tak acuh.
Tentu saja para nelayan itu menjadi bingung dan tak mengerti. Bagaimana mungkin seseorang tidak memiliki she atau nama keluarga di negeri mereka ini? Masakan orang itu lahir begitu saja, tanpa ayah dan ibu? Namun untuk menanyakan sebab-sebabnya, mereka tidak berani. Mereka takut kalau orang yang memiliki kesaktian seperti dewa itu menjadi marah karenanya.
Demikanlah, tanpa berkata-kata lagi orang yang bernama Ki itu berkelebat pergi meninggalkan tempat itu. Dia melesat ke arah utara, mungkin bermaksud ke Kota An-lei pula. Gerakannya cepat bukan main, sehingga sekejap saja bayangannya telah hilang dari pandangan.
Melihat orang itu juga menuju ke arah utara, Liu Yang Kun menjadi gembira sekali. Hatinya yang masih diliputi rasa penasaran terhadap orang itu bagai didorong untuk lekas-lekas mengejarnya. "Heran! Siapa sebenarnya orang itu? Mengapa ia berkata bahwa Si Iblis Penyebar Maut telah muncul lagi?" sambil mengerahkan Bu-eng Hwe-tengnya untuk mengejar orang itu Liu Yang Kun menduga-duga di dalam hati.
Maka mereka berdua pun lalu saling berkejaran di tepian sungai itu. Mereka menerobos hutan, berlompatan di atas bebatuan dan berlari-lari di tebing sungai dalam kecepatan tinggi. Karena masing-masing mengerahkan gin-kangnya maka tubuh mereka seperti lenyap dari pandangan mata. Tubuh mereka berubah seperti bayang-bayang yang berkelebatan di antara batu-batu, pohon atau dedaunan.
Sama sekali orang itu tidak mengetahui kalau dirinya sedang diikuti oleh Liu Yang Kun. Hal itu disebabkan karena Bu-eng Hwe-teng yang dipelajari Liu Yang Kun memang telah mencapai puncak kesempurnaannya, sementara orang itu sendiri juga terlalu percaya dan membanggakan kepandaiannya sehingga kurang berwaspada dan kurang bercuriga terhadap keadaan sekelilingnya. Apalagi sepanjang aliran sungai itu lebat dengan batu-batu dan pepohonan, sehingga memudahkan bagi Liu Yang Kun untuk menyelinap dan bersembunyi bila diperlukan.
Ternyata orang itu berlari terus bagaikan sedang mengejar sesuatu. Satu jam. Dua jam. Dan orang itu tetap belum mengendorkan larinya. Gerakannya masih cepat, lincah dan gesit bukan main! Sedikitpun tidak kelihatan lelah atau menurun kemampuannya. Napasnya pun masih tetap halus dan teratur, seakan-akan ia tak pernah mengeluarkan tenaga sedikitpun.
Liu Yang Kun semakin merasa kagum sekali. Selain ginkangnya sangat tinggi, orang yang bernama Ki ini ternyata memiliki Iwee-kang yang amat luar biasa pula. Untunglah dia telah mendapatkan kemajuan yang dahsyat pula ketika berada di dalam lorong-lorong gua itu. Coba kalau ia tidak memperoleh kemajuan-kemajuan itu, tak mungkin rasanya dia bisa mengikuti orang itu.
Akhirnya matahari pun bergulir semakin rendah ke arah barat. Dan sinarnya yang panas terasa mulai meredup pula. Namun demikian orang yang bernama Ki itu tetap saja berlari ke arah An-lei, sehingga lambat-laun timbul juga perasaan bosan di hati Liu Yang Kun. "Huh! Mengapa ia tak kunjung berhenti juga?" pemuda itu menggerutu.
Hampir saja Liu Yang Kun menghentikan langkahnya. Tapi niat itu segera ia urungkan karena orang itu tiba-tiba juga mengendorkan larinya. Malah sesaat kemudian orang itu berlari-lari kecil menjauhi aliran sungai, dan selanjutnya melangkah memasuki hutan.
Liu Yang Kun cepat bersembunyi. Lalu dengan mengendap-endap ia mengikuti langkah orang itu. Di tempat yang agak lapang orang itu berhenti, kemudian bersiul panjang. Suaranya nyaring melengking, seperti suara suling yang ditiup sekeras-kerasnya.
Terdengar desir angin yang sangat halus. Dan tiba-tiba saja dari balik rimbunnya dedaunan berkelebat tiga orang lelaki datang menghadap di depan orang itu. Biarpun tidak setinggi orang bernama Ki tersebut, namun gin-kang orang-orang itu juga hebat bukan main. Gerakan mereka hampir tidak mengeluarkan suara, walaupun kaki mereka menginjak daun-daun kering yang menumpuk di tempat itu. Untuk sesaat Liu Yang Kun menjadi berdebar-debar hatinya. Jangan-jangan kedatangannya telah diketahui oleh orang-orang itu.
"Sam-eng (Tiga Garuda)...!" orang yang bernama Ki itu memangggil.
"Ya, Tuanku....!" ketiga orang yang baru datang itu menyahut berbareng. Kepala mereka tertunduk dalam-dalam seakan-akan mereka sangat takut dan sangat hormat kepada orang yang bernama Ki itu.
Liu Yang Kun mengerutkan keningnya. la sangat heran mendengar sebutan yang ditujukan kepada orang yang bernama Ki itu. Mengapa orang itu disebut Tuanku? Apakah ia seorang raja atau bangsawan tinggi? Kalau memang demikian halnya, lalu bangsawan atau raja dari manakah dia itu?
Liu Yang Kun mencoba untuk mengingat-ingat. Saat itu di Negeri Tiongkok memang banyak sekali bekas raja-raja kecil, atau bangsawan-bangsawan muda, yang sejak ditaklukkan oleh mendiang Kaisar Chin Si, praktis tidak mempunyai kekuasaan lagi. Mungkin orang yang bernama Ki itu juga termasuk salah satu di antara mereka. Namun untuk mengingat-ingatnya tentu saja sangat sulit bagi Liu Yang Kun. Selain jumlah mereka sangat banyak, pemuda itu sendiri juga tidak begitu banyak mengenal mereka.
"Sam-eng! Bersiaplah! Kita menuju ke Cin-an sekarang. Dimanakah kuda kalian?" orang yang bernama Ki itu berkata lagi.
Ketiga orang yang dipanggil dengan sebutan Sam-eng itu menengadahkan mukanya. Ada terbersit rasa heran di wajah mereka, namun mereka tak berani bertanya.
"Baik, tuanku. Biarlah kami mengambil kuda itu dahulu. Mereka kami ikat didalam hutan." salah seorang dari ketiga orang itu menjawab.
Ketiga orang itu lalu menyelinap kembali ke dalam hutan. Dan tidak lama kemudian mereka telah kembali lagi dengan kuda tunggangan mereka masing-masing. Salah seorang di antaranya malah menuntun pula seekor kuda lagi untuk tuannya itu. Demikianlah, beberapa saat kemudian mereka berempat telah pergi meninggalkan tempat itu. Tinggallah kini Liu Yang Kun sendirian di sana. Pemuda itu sudah merasa segan untuk mengikuti mereka lagi. Apalagi mereka kini menunggang kuda.
"Heran. Siapakah sebenarnya orang itu? Namanya sangat aneh dan kepandaiannya pun sangat tinggi. Dan tampaknya juga mempunyai pengaruh atau kedudukan yang tinggi pula. Wah, kelihatannya dengan munculnya Buku Rahasia itu tokoh-tokoh yang selama ini tak mau memperlihatkan jejaknya, telah ikut terjun pula ke dunia kang-ouw...." sambil berjalan kembali ke tepian sungai pemuda itu memutar pikirannya.
Kemudian pemuda itu melanjutkan langkahnya ke kota Anlei yang tak begitu jauh lagi. la sengaja berjalan seenaknya untuk memulihkan kembali tenaganya. Sebab meskipun ia juga tidak merasa lelah seperti halnya orang yang diikutinya itu, tetapi bagaimanapun juga ia telah mengerahkan lweekang dan gin-kangnya secara berlebihan pula. Dan sambil melangkah Liu Yang Kun masih meneruskan lamunannya tentang orang-orang yang baru dijumpainya tadi.
"Mereka akan langsung pergi ke Cin-an dengan naik kuda. Tampaknya mereka sangat tergesa-gesa pula, sehingga mereka tidak sempat singgah bermalam di Kota An-lei. Hmm... ada apa di Kota Cin-an? Apakah yang hendak mereka kerjakan di sana?"
Akhirnya Liu Yang Kun memasuki kota An-lei bersamaan dengan terbenamnya matahari di balik gunung. Orang-orang telah mulai menyalakan lampu rumahnya. Mereka juga telah menutupi daun-daun jendela mereka. Meskipun demikian keramaian kota itu tidak menjadi berkurang karenanya.
Orang-orang justru banyak yang keluar untuk menikmati kehidupan malam kota itu malah. Terutama para tamu atau pendatang, yang datang dari daerah lain. Mereka berjalan-jalan, hilir-mudik menikmati udara malam, di jalan utama yang membentang di tengah-tengah kota tersebut. Mereka melihat-lihat keramaian warung-warung, toko-toko atau tempat-tempat hiburan yang banyak terdapat di kanan-kiri jalan itu.
"Tuan Chin....? Bukankah Siauw ya (Tuan muda) ini adalah Chin ln-kong (Tuan penolong Chin)?" tiba-tiba Liu Yang Kun dikejutkan oleh teguran seseorang.
Cepat pemuda itu menoleh. Dicarinya orang yang menyapa dengan She atau nama keluarganya yang lama itu. Dan tidak jauh dari tempatnya tampak seorang lelaki berusia setengah baya tersenyum kepadanya. Lelaki itu mengenakan pakaian yang bersih dan ringkas seperti layaknya seorang pengawal atau pelatih silat. Di atas ikat-pinggangnya juga terlihat gulungan cambuk yang melilit pinggangnya. Beberapa saat lamanya Liu Yang Kun memeras otaknya untuk mengingat-ingat, tapi ia tetap tak bisa mengenal orang itu.
"Siapakah.... Tuan ini? Mengapa telah mengenal namaku?"
"Aha! Jadi tuan-muda ini betul-betul tuan Chin? Terima kasih... terima kasih! Sungguh aku tak menyangka kalau aku bisa bertemu dengan Tuan Chin di kota ini, hahaha......" orang itu kembali tertawa dengan suka-citanya. "Tuan Chin, agaknya kau telah lupa kepadaku. Tapi aku tak mungkin lupa kepada Tuan Chin, karena Tuan Chin pernah menyelamatkan nyawaku dan nyawa sebagian besar anggota perkumpulan Kim-liong Piauw-kiok (Perusahaan Ekspedisi Naga Emas) kami. Tuan Chin, aku adalah Toan Hoa, pengurus dari Kim-liong Piauw-kiok."
Liu Yang Kun menghela napas lega. Selain merasa lega karena ia telah mengingat kembali orang itu, ia juga merasa lega karena tampaknya orang itu tidak mengenalnya sebagai Liu Yang Kun putera dari Kaisar Han. "Ah, saudara Toan rupanya. Mengapa saudara Toan ada di sini? Apakah ada tugas mengawal barang?" la balas menyapa orang itu.
"Benar. Tapi kami sudah menyelesaikannya siang tadi. Kini aku dan anak buahku tinggal bersenang-senang menikmati malam di Kota An-lei ini, sebelum kami pulang besok pagi."
"Lalu.... bagaimana khabarnya Kim-liong Lo-jin? Apakah beliau masih memimpin perusahaan Kim-liong Piauw-kiok?"
Tiba-tiba wajah Toan Hoa menjadi sedih. "Ah, beliau sudah menutup mata tiga tahun yang lalu. Sekarang aku sendiri yang memimpin perusahaan itu, karena semua murid beliau telah tiada pula."
"Eh, Jadi....?"
"Sudahlah, Tuan Chin. Tak enak berbicara sambil berdiri begini. Marilah kita omong-omong sambil meminum arak hangat untuk memeriahkan pertemuan yang tak terduga ini! Bagaimana....?" Toan Hoa mengundang dengan bibir tersenyum.
"Wah, ini... ini....?" Liu Yang Kun menjawab kikuk karena merasa tak membawa uang sama sekali.
Tapi Toan Hoa tampaknya memaklumi keadaannya. Dengan setengah memaksa orang itu menarik lengan Liu Yang Kun. "Marilah, Tuan Chin! Kau jangan menolak undanganku. Aku benar-benar ingin memeriahkan pertemuan ini dengan makan minum ala kadarnya."
Liu Yang Kun tak bisa menolaknya lagi. Ia menurut saja ketika dibawa ke sebuah rumah makan yang besar. Dan ia terpaksa merapihkan pakaiannya karena rumah makan itu ternyata penuh dengan tamu.
"Tuan Chin menginap di mana?" Toan Hoa bertanya setelah mereka mengambil tempat di sebuah meja kosong.
"Ah, aku baru saja datang di kota ini. Aku belum sempat kemana-mana...."
"Kalau begitu, Tuan Chin menginap saja di tempat ini. Selain mengusahakan rumah makan, tempat ini memang sebuah penginapan pula."
"Tapi...." Liu Yang Kun mencoba mencegah.
"Maaf, kuharap Tuan Chin jangan menolak maksud baikku ini. Aku benar benar ingin menjamu Tuan Chin malam ini...." Toan Hoa memohon dengan sangat. Lalu serunya kepada pelayan yang kebetulan lewat di samping mereka.
"Pelayan.....! Apakah kamar yang berada di samping kamarku itu masih tetap kosong?"
"Oh, masih tuan....." pelayan itu menjawab dengan amat hormat.
"Kalau begitu siapkanlah kamar itu untuk tamuku ini! Kemudian tolong kau katakan pula kepada pengurus restoran untuk menghidangkan masakannya yang paling istimewa dan arak Hang-ciu di meja ini!"
"Baik, tuan...."
"Ah, saudara Toan.... kau menjadi repot benar!" Liu Yang Kun berdesah.
Demikianlah, keduanya lalu makan dan minum sepuas-puasnya. Masakan dari restoran itu memang enak sekali. Apalagi minumannya adalah arak dari Hong-ciu yang telah disimpan selama bertahun-tahun di dalam gudang di bawah tanah. Rasanya benar-benar keras, segar dan harum luar biasa. Tak heran kalau akhirnya Toan Hoa mulai terpengaruh oleh "panasnya" arak istimewa itu.
"Tuan Chin, dimana.... dimanakah kau selama empat atau lima tahun ini? Aku tak pernah mendengar namamu selama ini. Apakah.... apakah engkau telah menyepi dan mengasingkan diri di tempat yang sunyi?"
Liu Yang Kun yang melihat kawannya telah terpengaruh oleh minuman keras mengiyakan saja pertanyaan itu. "Saudara Toan, kau jangan minum lagi! Lihat, mukamu sudah mulai kemerah-merahan...!" tambahnya seraya mencegah Toan Hoa menuangkan lagi arak ke cawannya.
Tapi Toan Hoa tak peduli. Sambil tersenyum lebar ia tetap saja menuangkan araknya. Matanya yang sudah mulai kocak dan berair itu menatap Liu Yang Kun dengan senangnya. "Ah, kalau begitu... kalau begitu Tuan Chin tak tahu sama sekali peristiwa-peristiwa menggemparkan yang telah terjadi di dunia kang-ouw kita selama ini? Uh!"
Sekali lagi Liu Yang Kun yang tak ingin kawannya itu menjadi mabuk hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebaliknya ia berkeras mencegah agar kawannya itu tidak menambah lagi minumannya. Dan Toan Hoan memang menurut. Namun karena orang itu memang telah terlanjur minum terlalu banyak, maka bicaranya pun juga sudah mulai melantur.
"Wah, rugi....! Tuan Chin benar benar rugi kalau begitu! Coba kalau tuan Chin tidak menyepi dan ikut memeriahkannya, waah.... dunia persilatan benar-benar akan lebih gempar lagi, hehehe!" Toan Hoa mulai mengoceh.
"Saudara Toan.....?" Liu Yang Kun mencoba mencegah kawannya, agar tidak berbicara yang lebih melantur lagi, karena ia takut kawannya itu akan membuka kedoknya sebagai putera Kaisar Han.
Tapi mulut Toan Hoa sudah tidak bisa dihentikan lagi. Mulut yang sudah terpengaruh oleh arak itu mengoceh terus. Hanya saja suaranya tidak keras lagi. Ia hanya berbisik-bisik saja seperti sedang membicarakan rahasia orang. Dan Liu Yang Kun terpaksa tak tega untuk melarangnya lebih keras lagi.
"Tuan Chin...! Mula-mula dunia persilatan digemparkan oleh munculnya sebuah buku, yang disebut orang Buku Rahasia. Selain berisi ramalan-ramalan dan petunjuk-petunjuk yang sulit dimengerti, buku itu juga memuat daftar urutan TOKOH-TOKOH PERSILATAN TERKEMUKA dewasa ini. Dan daftar itu ternyata telah mengundang kerusuhan dan kegemparan di mana-mana. Tokoh-tokoh persilatan yang semula tidak pernah menampakkan dirinya di dunia Kangouw, tiba-tiba ikut pula keluar dari tempat pertapaannya. Mereka menjadi penasaran pada daftar urut-urutan yang mereka anggap kurang benar itu." Toan Hoa berhenti mengoceh sebentar. Tangannya berusaha meraih guci arak yang ada di depan Liu Yang Kun, tapi pemuda itu cepat menyingkirkannya.
"Sudah kukatakan, saudara Toan tak boleh minum lagi." Liu Yang Kun memperingatkan.
Toan Hoa tersenyum kemalu-maluan, namun ia tak tersinggung karenanya. Sebaliknya mulutnya yang berbau arak itu malah melanjutkan lagi ocehannya. "Kudengar nama Tuan Chin ikut tertulis pula di dalam Buku Rahasia itu, yaitu pada urutan yang ke-tujuh. Sungguh hebat sekali! Sayang tuan tak pernah menampakkan diri selama ini. Padahal yang lain-lain sudah saling bermunculan untuk mengukur kesaktian mereka masing-masing. Rata-rata mereka merasa penasaran pada urutan-urutan nama yang tertulis di dalam buku itu."
"Jadi semua tokoh yang tertulis di dalam daftar itu telah muncul dan menampakkan diri mereka di dunia persilatan?" Liu Yang Kun memotong.
"Sebagian besar.... sudah! Hanya satu atau dua orang saja yang belum. Tampaknya orang-orang itu masih menunggu saat yang tepat untuk memunculkan diri. Termasuk Tuan Chin sendiri misalnya....."
"Ah, aku toh hanya orang biasa, yang tak seharusnya ditulis di dalam daftar itu. Mungkin bukan aku yang dimaksudkan oleh penulisnya, karena aku belum pernah merasa dicoba atau dinilai ketinggian ilmuku." Liu Yang Kun cepat merendahkan diri.
"Wah, Tuan Chin suka benar merendahkan diri. Siapakah yang tak tahu kehebatan ilmumu selama ini? Malahan aku sendiri pernah menyaksikannya, yaitu ketika Tuan Chin mampu menahan ilmu Hong-gi-hiap Souw Thian Hai dulu." Toan Hoa mengingatkan kembali peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu, yaitu ketika Toan Hoa dan rombongan para piauwsunya dicegat perampok di dekat Kota Poh-yang,
"Hmm...... itu karena Hong-gi-hiap yang mau mengalah kepadaku." Liu Yang Kun tetap merendah. "Tapi.... eh, siapa sajakah tokoh-tokoh yang telah muncul itu?" Toan Hoa tersenyum gembira melihat perhatian Liu Yang Kun.
"Banyak sekali. Beberapa orang diantaranya adalah.... Bu-tek Sin-tong, Giok-bin Tok-ong, dan Lo-sin-ong!" jawabnya sambil menghitung jarinya.
"Bu-tek Sin-tong, Giok-bin Tok-Ong, Lo-sin-ong...?" Liu Yang Kun mengulang dengan kening berkerut, seolah-olah ia pernah mendengar pula nama-nama itu.
"Ya! Tuan Chin pernah mengenal mereka?" Toan Hoa mendesak.
Namun Liu Yang Kun segera menggelengkan kepalanya. "Entahlah...! Aku sudah lupa lagi. Mungkin aku memang pernah mendengarnya, tapi... hmm, entahlah!" jawabnya kurang yakin.
Tiba-tiba Toan Hoa mengacungkan ibu jarinya. "Tokoh-tokoh itu benar-benar memiliki kesaktian yang hebat luar biasa! Terutama yang disebut Bu-tek Sin-tong itu! Meskipun tubuhnya kerdil seperti anak lelaki berusia sepuluh tahun tapi kesaktiannya benar-benar seperti dewa!" pujinya setinggi langit.
Liu Yang Kun tersentak kaget, sehingga cawan arak yang dipegangnya hampir lepas dari tangannya. "Kerdil? Oh... apakah dia mempunyai jenggot dan rambut yang putih panjang serta dibiarkan terurai sampai di telapak kakinya?" Bisiknya sedikit keras.
"Betul!" Toan Hoa bersorak seraya menepuk meja, sehingga tamu-tamu yang lain menjadi kaget dibuatnya.
"Ah...!" Liu Yang Kun menjadi kaget dan tegang pula. Apalagi ketika semua mata tertuju ke arah mejanya. Untuk menjaga segala kemungkinan terpaksa Liu Yang Kun menarik tangan kawannya, dan membawanya pergi ke kamar yang telah mereka pesan tadi. Kepada pelayan restoran, Liu Yang Kun meminta agar semua rekening dibebankan kepada temannya yang sedang mabuk itu. Pelayan itu mengiyakan dengan hormat, lalu mengantarkan mereka ke kamar.
"Ha! Siapa bilang aku mabuk! Wah... kita belum selesai minum, nih?" Toan Hoa masih mencoba menyangkal.
Tapi Liu Yang Kun cepat mencengkeram lengannya dan setengah menyeret kawannya itu ke kamarnya. Apalagi ketika sekilas matanya melihat dua orang lelaki yang duduk di pojok ruangan menatap tajam ke arahnya.
"Siapakah mereka....??" dua orang lelaki itu bertanya kepada pelayan, setelah pelayan itu kembali dari mengantarkan Liu Yang Kun.
"Oh, mereka adalah para piauw-su dari Kim-liong Piauwkok. Yang mabuk tadi adalah Toan Hoa, pengurus Kim-liong Piauw-kok yang sekarang. Tuan berdua telah mengenal mereka?"
Kedua orang itu saling memandang satu sama lain, kemudian menggeleng-gelengkan kepala mereka. "Belum...." mereka menjawab hampir berbareng.
Namun setelah pelayan itu pergi, kedua orang itu saling berbisik. "Bhong su-heng, aku seperti telah mengenal pemuda yang bertubuh jangkung itu."
"Benar, Leng su-te. Aku pun seperti pernah melihatnya pula. Tapi aku lupa, entah di mana...?"
"Hmm... aku agak curiga kepadanya. Kulihat matanya bersinar cemerlang serta berkilat-kilat ketika mengawasi kita tadi. Aku berani memastikan bahwa lwee-kangnya tentu tinggi sekali. Ah... Jangan-jangan dia bukan orang Kim-liong Piauw-kok, tapi...?"
"Orangnya Tung-hai-tiauw maksudmu?" orang yang disebut su-heng itu melanjutkan. Dan orang yang dipanggil sute itu mengangguk. Tapi mulutnya tak menjawab.